ETNIK-SAINS: KECENDERUNGAN GENRE SASTRA DI ERA GLOBALISASI Ekarini Saraswati Universitas Muhammadiyah Malang Abstrak Karya besar yang dihasilkan dalam khazanah sastra Indonesia muncul ketika negara Indonesia dalam keadaan tidak stabil. Sastra Etnik merupakan karya sastra yang dapat digali dari khazanah kebudayaan kita yang kaya mulai Sabang hingga Merauke. Adapun sains merupakan cara pengemasan tema etnik tersebut dengan seperangkat alat dari berbagai bidang ilmu. Sastra yang berbau etnik dapat diambil dari khazanah kehidupan bangsa Indonesia yang kemudian dikemas dengan membaurkan fiksi dan non-fiksi juga sains. Ketiga hal ini kiranya yang akan dapat bertahan dan bersaing dalam kehidupan globalisasi. Implikasi terhadap penelitian dapat menggunakan pendekatan intertekstual dari Riffatere dan Yulia Kristeva, implikasi terhadap pengajaran dapat menggunakan pendekatan yang memberikan kebebasan siswa untuk memaknai karya sastra yakni pendekatan Respons Pembaca. Kata kunci: etnik sains, intertekstual, respons pembaca
PENDAHULUAN Mencermati tema yang diajukan oleh panitia, penulis menduga ada semacam sikap pesimistis yang dirasakan tentang keberadaan sastra pada masa depan. Dalam hal ini terutama sastra Indonesia, tentu saja termasuk juga orang-orang yang terlibat di dalamnya (pengarang, peneliti, juga guru). Memang, sikap tersebut dapat dimengerti dan wajar mengingat keadaan negara Indonesia saat ini dalam keadaan carut marut hampir pada setiap sektor. Apabila kita melihat fenomena sebelumnya, sebenarnya ada titik-titik harapan yang dapat kita petik. Karya besar yang dihasilkan dalam khazanah sastra Indonesia muncul ketika negara Indonesia dalam keadaan tidak
stabil. Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang juga Belenggu lahir ketika keadaan negara Indonesia dijajah Belanda . Puisi-puisi Chairil Anwar muncul ketika bangsa Indonesia berjuang mewujudkan kemerdekaan dari penjajahan Jepang demikian juga puisi-puisi Taufik Ismail lahir ketika bangsa Indonesia berjuang melawan tirani. Bagaimana sebenarnya masa depan sastra Indonesia dan sastra Indonesia masa depan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita dapat melihat ke belakang dengan mengamati perjalanan sastra Indonesia selama ini dan melihat ke depan dengan berusaha memperkirakan bentuk sastra Indonesia kemudian yang tentu saja tidak terlepas dari rencana dunia tentang globalisasi internasional.
Jurnal Artikulasi Vol 4No.2 Agustus 2007ͳͲͻ
Menghadapi era globalisasi nanti banyak orang Indonesia yang merasa pesimis sehingga muncul berbagai pertanyaan terutama mengenai kesiapan bangsa Indonesia menghadapi persaingan dengan bangsa lain. Kepesimisan ini dialami tidak hanya di bidang sastra juga bidang ekonomi, bidang politik, bidang hukum dan bidang pendidikan. Untuk menghadapi globalisasi itu tentu kita perlu memiliki jati diri yang kuat yang tidak mudah terbawa arus kebudayaan bangsa lain. Jati diri yang kita bangun tentu yang sifatnya khas sehingga dapat bersaing di dunia Internasional. Penulis mengajukan sebuah kecenderungan genre sastra ini berdasarkan berbagai kecenderungan sastra Indonesia selama ini. Sastra Etnik merupakan karya sastra yang dapat digali dari khazanah kebudayaan kita yang kaya mulai Sabang hingga Merauke. Adapun sains merupakan cara pengemasan tema etnik tersebut dengan seperangkat alat dari berbagai bidang ilmu. Genre sastra ini diharapkan tidak membuat ketinggalan dari segi sains dan tidak menjadikan kehilangan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia SEJARAH SASTRA INDONESIA Untuk menjawab tantangan di era globalisasi nanti, kita harus berani melihat ke belakang, ke sejarah sastra Indonesia yang telah dilewati. Sastra Indonesia hingga sekarang dapat dibagi dalam beberapa periode. Periode pertama (1920-1942) berdasarkan penelitian Boen S. Umarjati (2000) tentang perkembangan novel di Indonesia diduga merupakan rekaman pertama masyarakat dan kebudayaan Indonesia terhadap persoalan yang muncul
akibat modernisasi yang untuk masa ini dapat disebut sebagai westernisasi. Pada masa ini karya ditentukan oleh penjajah dengan penerbit Balai Pustakanya yang diharapkan tidak merongrong pemerintahan dan dapat mendidik masyarakat. Weternisasi tidak dapat dihindarkan karena pada periode ini banyak muncul pengarang yang memiliki latar belakang pendidikan Barat seperti Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane. Karya-karya yang menonjol pada periode ini di antaranya novel Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, dan Belenggu. Novel Siti Nurbaya sekalipun masih menggunakan kecenderungan lama dengan semua watak utamanya meninggal sebelum tiba ke bagian akhir buku, menggunakan rangkaian pantun yang panjang-panjang, watak utama rajin berkata-kata untuk memecahkan suatu persoalan dengan menggunakan peribahasa dan pepatah adat, namun kisahnya dapat dikatakan menarik bagi pembaca yang menilai roman menurut ukuran Barat (Teeuw, 1978: 87 ). Novel Salah Asuhan memiliki daya tarik sendiri karena berterus terang membicarakan masalah diskriminasi ras dan sosial (Teeuw, 1978: 95) Novel Layar Terkembang, termasuk ke dalam roman bertendens dan merupakan novel yang paling kuat dalam menampilkan pemikiran Indonesia. Watakwatak utamanya merupakan manusia modern dan bebas, dan masalah mereka ialah bagaimana menginsyafi tanggung jawab mereka sebagai manusia muda yang terpelajar dalam suatu masyarakat Indonesia yang sedang dibangun (Teeuw, 1978:95) Novel terakhir yang banyak dibicarakan orang karena keberaniannya mengangkat tema hubungan pria dan wanita yang tidak Jurnal Artikulasi Vol 4No.2 Agustus 2007ͳͳͲ
sesuai dengan adat Timur bangsa Indonesia, yaitu novel Belenggu. Novel ini membicarakan tak lain tentang para intelektual modern, juga masalah arti kehidupan dan bersifat universal (Teeuw, 1978:96) Di bidang puisi yang sangat menonjol pada periode ini adalah Amir Hamzah yang dijuluki sebagai Raja Penyair. Menurut Teeuw (1978: 123) Amir Hamzahlah satusatunya penyair sebelum perang Indonesia yang telah mencapai taraf Internasional dan mempunyai nilai kesusastraan yang abadi. Kekayaannya dari segi bentuk dan yang lebih khusus alat-alat puisi yang dipergunakan. Aspek-aspek umum struktur persajakan dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. wujudnya, hubungannya dengan manusia lain. Periode kedua (1940-1960) merupakan kurun yang penuh pertikaian fisik. Periode ini menandai tahap awal kemerdekaan Republik Indonesia yang masih diwarnai upaya-upaya rekonsiliasi oleh Belanda atau usaha-usaha pemecahbelahan negara kesatuan. Menurut hasil penelitian Boen S. Oemarjati (2000) tergambar bahwa nilai estetis yang terdapat dalam novel-novel tersebut memiliki alur yang tidak terlalu rumit, penokohan lebih sering menggunakan kata ganti orang pertama aku, latar terjadi dalam kehidupan sehari-hari dari berbagai jenis latar budaya di Indonesia dan tokoh yang ditampilkan memiliki kekuatan batin (dapat mengendalikan perasaan) dalam menghadapi berbagai gejolak sosial dan juga menghadapi berbagai karakter orang. Di bidang puisi kita kenal Chairil Anwar yang ekspresionis juga berhasil mengangkat
pemikiran filsafat eksistensialis dalam beberapa karyanya. (Teeuw, 1978: 205) Sedangkan periode ketiga (1960 hingga 1980-an) memiliki fenomena yang berbeda. Menurut Teeuw (1979:200) pada periode 1960-1980-an terjadi pembaruan yang dilakukan oleh tiga penulis novel yaitu: Budi Darma, Iwan Simatupang dan Putu Wijaya. Budi Darma misalnya yang mengungkapkan ketidakbulatan cerita yang mengisyaratkan ketidakbulatannya manusia, tokoh paradoksal, kekaburan dunia, sedangkan, Iwan Simatupang telah meninggalkan tradisi realisme formal. Cerita-cerita Iwan berisi contoh-contoh pertama tentang tokoh tanpa nama, tak sempurna dan abstrak, antipsikologis dan non-antropomorfis. Kisah membawa jalannya sendiri, tanpa tertahan oleh kemungkinan-kemungkinan fisik, sosiologis atau psikologis. Alur menjadi alur lawan dan kisah pun menjadi terbuka ke segala arah. Gayanya pun menjadi seperti esai, bersuasanakan puisi, konotasi dan asosiasi arti kata-kata lebih menentukan arus cerita ketimbang arti kata-kata itu sendiri. Latarnya antah berantah, tak ada konteks sosial atau fisik yang berarti dan pentas tempat peristiwa-peristiwa berlangsung miskin dengan ciri-ciri untuk bisa dikenali.Putu Wijaya memadukan novelnovel sosial dengan unsur-unsur absurditas dan sangat mencekam lewat suasana yang dibangunnya kira-kira merupakan suatu bentuk peralihan dari tingkat perkembangan paham kenyataan (realisme) ke paham keganjilan (absurdisme). Pada periode ini juga dikenal sastra profetik dan sastra javanese. Sastra profetik dilahirkan di antaranya oleh Sutarji Chalzoum Bachri, Jurnal Artikulasi Vol 4No.2 Agustus 2007ͳͳͳ
Abdul Hadi W.M. dan Emha Ainun Najib di bidang puisi, Danarto dan Kuntawijaya di bidang cerpen, sedangkan sastra yang dipengaruhi kebudayaan Jawa di antaranya Umar Kayam, Linus Suryadi A.G. di bidang cerpen dan novel. Periode Keempat (1980-2000) sastra indonesia dikejutkan dengan munculnya dua penulis novel wanita Ayu Utami dan Dee dengan genre yang lain dan dianggap oleh beberapa pengamat sebagai pembaru. Ayu Utami dikenal dengan novel Saman yang telan menjuarai sayembara penulisan novel yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. Dikatakan bahwa novel Saman sangat penting dalam perkembangan kesuastraan Indonesia. Sebagaimana tergambar dalam pengantar dalam novel Saman Faruk beranggapan bahwa "dalam sejarah sastra Indonesia tak ada novel yang sekaya novel ini ... lebih kaya daripada Para Priyayi Umar Kayam dan Ziarah Iwan Simatupang". Selanjutnya seolah membenarkan anggapan Faruk, Umar Kayam mengemukakan bahwa novel ini "susah ditandingi penulis-penulis muda sekarang" bahkan menurut pendapatnya, penulis tua pun belum tentu dapat menandinginya. Arif Zulkifli mengemukakan bahwa peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam novel itu dibangun berdasarkan riset yang ketat yang dapat dibandingkan dengan keketatan riset pada novel-novel sejarah karya Pramudya Ananta Toer. Pramudiya Ananta Toer sendiri agaknya menggarisbawahi aspek isi ini ketika ia mengemukakan bahwa ia tidak kuat untuk melanjutkannya karena "Melanjutkan membaca ini rasanya saya jadi tapol lagi". Hal senada diungkapkan oleh
Y.B. Mangunwijaya yang mengemukakan bahwa novel ini dapat dinikmati dan berguna sekali bagi pembaca yang dewasa dan jujur, khususnya "mengenai dimensidimensi politik, antropologi sosial, dan teristimewa lagi agama dan iman." Para kritikus dan pemerhati sastra tampaknya juga beranggapan bahwa dari segi cara ungkapnya novel ini mempunyai keunggulan. Sapardi Djoko Damono mengemukakan bahwa novel ini "memamerkan teknik komposisi yang ... belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri lain." Ignas Kleden dengan puitis mengatakan bahwa "Pada beberapa tempat yang merupakan puncak pencapaiannya, kata-kata bagaikan bercahaya seperti kristal." Dee dengan novel Supernova- nya dianggap juga sebagai pembaru dalam sejarah novel Indonesia. Tommy F. Awuy dalam sebuah tulisannya di Kompas 1 April 2001 berjudul Supernova: Tantangan baru bagi Kritik Sastra menulis "Novel Supernova ditulis dalam bingkai multi disipliner dengan fokus pada teori fisika (problem pertentangan antara teori modern dengan kontemporer). Saya sendiri beranggapan bahwa gaya ini adalah yang pertama dalam sejarah novel Indonesia." Tommy F. Awuy mengomentari Supernova dari dua segi, yaitu pemikiran multidisipliner dan pembaruan dalam sejarah sastra Indonesia. Penekanan pada multidispliner juga diakui oleh beberapa pengamat yang terdapat dalam pengantar novel Supernova. Teori fisika diakui oleh seorang ahli fisika Bambang Sugiharto yang menyatakan bahwa Supernova merupakan sebuah petualangan intelektual yang Jurnal Artikulasi Vol 4No.2 Agustus 2007ͳͳʹ
menerabas segala sekat disipliner; semacam perselingkuhan visioner yang mempesona antara fisika, psikologi, religi, mitos dan fiksi. Selanjutnya Taufik Ismail mengemukakan dari segi pembaruan yang dilakukan Dewi Lestari menurutnya salah satu kesegaran baru yang muncul dalam sastra Indonesia. Penelusuran nilai lewat sains, spiritualitas dan percintaan yang cerdas, unik dan mengguncang. Kebaruan itu sendiri diakui juga oleh Arswendo bahwa selama puluhan tahun dia membaca karya-karya sastra dia merasakan kehangatan baru dan membuat dia terseret di dalamnya. Juga Jakob Sumardjo yang menilai argumentasi-argumentasi baru terhadap nilai lama sehingga pembaca memiliki persepsi baru tentang keberadaannya Pada periode ini juga dikenal beberapa pengarang lain di antaranya Afrizal Malna yang terkenal dengan puisi gelapnya, cerpenis Sitor Srangenge dan Seno Gumira Aji Darma yang dikenal dengan penggunaan penggunaan kata-katanya yang cerdas. Secara umum perkembangan sastra Indonesia dengan ciri khas yang dihasilkannya dapat ditampilkan dalam bagan berikut ini: Periode Prosa 1920Modern 1940 (westernisasi), diskriminasi sosial, watak modern dan bebas
Puisi Modern (westernisasi), struktur persajakan b. Melayu dan b. Indonesia
19401960
19601980
19802000
Alur tidak rumit, sudut pandang aku, latar belakang budaya Indonesia, Ketidakbulatan cerita, tokoh: paradoksal, tanpa nama, tak sempurna dan abstrak, latar antah berantah, gaya esai, profetik dan latar Jawa Telaah riset, multidisipliner, kekaburan fiksi dan kenyataan, gaya bahasa yang kaya. Sudut pandang menyebar
Ekspresionis, filsafat eksistensialis
Profetik, mantra, membebaskan kata dari makna
Gelap, prosais
GENRE SASTRA DI ERA GLOBALISASI SERTA IMPLIKANYA TERHADAP PENELITIAN DAN PENGAJARAN Berdasarkan kecenderungan berbagai tradisi sastra yang mewarnai karya sastra di Indonesia. Dapat diketahui kemungkinan genre yang mampu bersaing di era globalisasi. Misalnya yang berbau etnik yang dapat diambil dari khazanah kehidupan bangsa Indonesia yang kemudian dikemas dengan membaurkan fiksi dan non-fiksi juga sains. Ketiga hal ini kiranya yang akan dapat bertahan dan bersaing dalam kehidupan Jurnal Artikulasi Vol 4No.2 Agustus 2007ͳͳ͵
globalisasi. Contoh kongkrit dapat kita ambil dari khazanah cerita parahiyangan Cerita Sangkuriang. Cerita Sangkuriang dapat dikemas dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu apakah itu dari psikologi tentang odipus compleks, filsafat, biologi bagaimana implikasi terhadap perkawinan insect atau dari segi agama. Demikian juga dengan cerita Calon Arang dapat dikemas dengan menggunakan disiplin ilmu fisika untuk menelaah kesaktiaannya dan sebagainya. IMPLIKASI TERHADAP PENELITIAN Karena penulisan satra menggunakan multidisiplin, maka penelitian yang dilakukan tidak terlepas dari pendekatan intertekstual yang dicetuskan oleh Riffatere dan Yulia Kristeva (dalam Zaimar, 1991: 25-27). Kemudian selain itu pendekatan dekonstruksi. Yunus (dalam Fananie, 2000: 151) mengemukakan bahwa dekonstruksi adalah post-strukturalisme yang bersifat ekstrem.Sifat ekstrem yang dimaksud adalah pemaknaan karya sastra bisa dimulai dari aspek apa saja bahkan dari persoalan yang paling kecil yang semula tidak diperkirakan banyak orang.Setiap makna tidak lagi diikat oleh unsur struktur. Ia bisa berdiri sendiri dari sebuah jalinan atau unsur-unsur yang ada kehadirannya tidak diikat oleh suatu poros kombinasi tapi oleh poros pemilihan. Peletak dasar dekonstruksi adalah Jaquest Derida. Menurut Derida, makna bisa digali justru dari unsur yang selama ini tidak dihiraukan. Ia bisa berasal dari unsur dalam teks, tetapi bisa juga dari unsur di luar teks. Menurut Derida (Terry Eagleton, 1983:147) unsur yang dianggap tidak logis atau mapan
dalam konteks struktur secara tidak langsung kadang-kadang justru akan muncul berulang-ulang. Unsur tersebut di satu sisi mungkin mempunyai kekuatan atau bahkan poros makna karya, pada sisi yang lain bisa jadi unsur tersebut justru mengaburkan makna.unsur-unsur seperti ini pasti terdapat dalam teks sastra, baik secara implisit maupun eksplisit. Inilah unsur yang oleh Derrida disebut sebagai dissemination. Unsur tersebut bisa dinyatakan melalui impuls lambang-lambang yang bersifat puitis atau estetis yang semula mapan, padahal sebenarnya merupakan pintu untuk melihat hakikat makna atau realitas di luar teks. Konsep tersebut oleh Barthes disebut sebagai lambang yang merupakan “jendela atau sinar” untuk melihat objek sesungguhnya yang dipikirkan seorang pengarang. IMPLIKASI TERHADAP PENGAJARAN Demikian juga untuk pengajaran perlu kesiapan guru untuk mengetahui berbagai pengetahuan. Dengan sering dipertanyakannya pengajaran sastra saat ini, perlu ada pendekatan yang efektif dalam pengajaran sastra. Pendekatan yang sering digunakan di Amerika adalah reader respons yang memberikan kesempatan pada siswa untuk memberikan tanggapan terhadap karya sastra. Berdasarkan disertasi Yoyo Mulyana (2000) diketahui bahwa pengajaran respons lebih efektif dibandingkan dengan pengajaran lainnya. Reader respons merupakan perkembangan pemikiran pendekatan sastra dari segi pembaca yang dikembangkan oleh Wolfgang Iser dari Jerman Wolfgang Iser Jurnal Artikulasi Vol 4No.2 Agustus 2007ͳͳͶ
(Selden, 2000: 117) berpendapat bahwa tugas kritikus (guru) bukan menerangkan teks sebagai objek, melainkan lebih menerapkan efeknya kepada pembaca. Kodrat teks itulah yang mengizinkan beraneka ragam kemungkinan pembacaan. Istilah “pembaca” dapat dibagi menjadi “pembaca implisit” dan “pembaca nyata”. Yang pertama adalah pembaca yang dicipta sendiri oleh teks untuk dirinya dan menjadi “jaringan kerja struktur yang mengundang jawaban”, yang mempengaruhi kita untuk membaca dalam cara tertentu. “Pembaca nyata” itu menerima citra mental tertentu dalam proses pembacaan; bagaimanapun juga, citraan itu akan secara tak terhindarkan diwarnai oleh “persediaan pengalaman yang ada”. Sekalipun sebuah karya sastra tidak menghadirkan objek, karya itu tidak mengacu kepada dunia ekstra-sastra dengan memilih norma tertentu, sistem nilai “pandangan dunia”. Norma-norma ini adalah konsep tentang realitas yang menolong manusia untuk membuat arti akan kekacauan pengalaman mereka. Teks itu mengambil “repertoir” norma-norma semacam itu dan menunda validitasnya dalam dunia. Penekanan Iser bersifat fenomenologis: pengalaman pembacaan pembaca ada di pusat proses sastra. Dengan memecahkan kontradiksi di antara bermacam sudut pandang yang berkembang dari teks itu atau dengan mengisi “kesenjangan” di antara sudut-sudut pandang dengan bermacam cara. Pembaca menyerap teks itu ke dalam kesadaran mereka dan membuatnya menjadi pengalaman mereka sendiri. Tampaknya ada
juga teks yang menyediakan perangkat istilah yang dapat diaktualisasikan artinya oleh pembaca, “gudang pengalaman” pembaca sendiri akan ambil bagian dalam proses itu. Kesadaran pembaca yang ada akan membuat penyesuaian-penyesuaian terhadap kedalaman tertentu agar dapat menerima dan memproses sudut pandang asing yang dihasirkan teks ketika pembacaan terjadi. Situasi ini menghasilkan kemungkinan bahwa “pandangan dunia” pembaca sendiri mungkin dimodifikasikan sebagai suatu hasil penghayatan, perjanjian, dan pelaksanaan unsur-unsur teks yang sebagian tidak ditentukan. Mengikuti bimbingan Ingarden dan Mukarovsky, Iser menuntut sifat khas sastra sebagai tiadanya korelasi yang pasti antara fenomena yang dideskripsikan dalam teks sastra dengan objek-objek dalam dunia “kehidupan nyata”, dan akibatnya, sulit untuk diuji. “Pada saat ini”, menurut Iser, “muncul sejumlah indeterminasi yang bersifat khas bagi semua teks sastra, karena mereka tidak mengizinkan acuan pada situasi kehidupan nyata yang identik”. Inilah sifat khas teks sastra yang dihadapi pembaca dengan pengalaman individual. Dua kemungkinan untuk “menormalkan” indeterminasi (menjadi) terbuka baginya: entah ia memproyeksikan standar ukurannya sendiri terhadap teks, ataukah dia siap merevisi prakonsepsinya sendiri. Teks sastra adalah “terbuka”. Atau, menurut istilah Iser, “teks-teks fiksi tidak identik dengan situasi nyata. Teks-teks itu tidak mempunyai pasangan yang pasti dalam kenyataan. Dalam hal ini, teks-teks tersebut hampir bisa dikatakan tidak bertempat, di luar substrata historis yang menyertainya. Namun, Jurnal Artikulasi Vol 4No.2 Agustus 2007ͳͳͷ
sebenarnya keterbukaan inilah yang menyebabkan teks-teks itu mampu membentuk berbagai situasi yang dilengkapi oleh pembaca dalam bacaan-bacaan pribadinya. Keterbukaan teks fiksi bisa ditiadakan hanya dalam tindakan pembacaannya.” Hanya dalam tindakan pembacaan indeterminasi bisa diganti oleh makna. (Fokkema, 1998:185) Pendapat Iser yang abstrak di atas dicoba dikongkretkan oleh Segers (2000) dengan melakukan eksperimen terhadap cerpen sastra terpopuler di Amerika yang dilakukan di Universitas Yale dan Universitas Virginia. Dalam eksperimennya Segers mengevaluasi karya sastra berdasarkan segi intelektual dan emosional. Unsur Intelektual meliputi: Struktur (menyajikan bagian-bagian yang terintegrasi dengan baik dan koheren), Bahasa (menyajikan pemakaian bahasa secara terampil dengan sikap yang jelas dan meyakinkan), Karakterisasi (menyajikan potret sifat manusia yang dapat dikenali), Tema (menyajikan tema atau gagasan besar yang dikembangkan dengan jelas), Tempo (menyajikan action yang terbatas yang bergerak dengan cepat), Plot (menyajikan garis action yang dikembangkan dengan
jelas). Unsur emosional meliputi: Keterlibatan: (membawa pembaca kepada satu jenis keterlibatan pribadi, baik dalam watak maupun tindakan.), Emosi (mempunyai dampak pada emosi pembaca), Minat (cukup menarik untuk membawa pembaca ke arah refleksi/analisis lebih lanjut). Keaslian (memberi perspektif yang segar dan berbeda kepada pembaca). Sukacita (membangkitkan ketegangan tertentu di hati pembaca).
PENUTUP Akhir kata era globalisasi merupakan masa depan yang harus dilalui. Untuk itu kita perlu mempersiapkan diri dengan berbagai perangkat kemampuan yang dapat dijadikan alat meningkatkan eksistensi diri sehingga dapat bersaing secara global. Mudah-mudahan dari UMM ini dapat lahir penulis sastra yang handal, peneliti yang disegani dan guru yang berwibawa yang dapat mengantarkan siswa menghargai karya sastra Indonesia.
Jurnal Artikulasi Vol 4No.2 Agustus 2007ͳͳ
DAFTAR PUSTAKA Dee, 2001. Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Bandung: Trudee. Eagleton, Terry. 1986. Literary Theory. London: Oxford University. Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: UMS Press Fokkema, D.W. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Diterjemahkan J.Pratadiharja & Kepler Silaban. Jakarta: Gramedia. Gani, R. 1988. Pengajaran Sastra Indonesia, Respon dan Analisis. Jakarta: Depdikbud. Iser, Wolfgang, 1989. Persfecting: From Reader Response to Literary Anthropology. London: The John Hopkins Press Ltd. Luxemburg, Mieke Bal dan Willem G. Westeijn, 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Cetakan Keempat. Jakarta;Gramedia. Mulyana, Yoyo. 2000. Keefektifan Model Mengajar Respons Pembaca dalam Pengajaran Pengkajian Puisi. Disertasi Oemarjati, Boen S. 2000. Novel Indonesia 15 Tahun Sesudah Kemerdekaan (1946-1960): Telaah Struktur Estetika danTema. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional. Pesona Sains dalam Fiksi Oleh C Sri Sutyoko Hermawan
Rossenblatt, Louise M. 1978 The Reader the Text the Poem: The Transactional Theory by the Literary Work. USA: Southern Illinois University Press. Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Sastra. Terjemahan Suminto A. Sayuti. Yogyakarta: Adicita Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. Great Britain: The Harvester Press Limited. Selden, Raman. 1989. Practicing Theory and Literature an Introduction. Tokyo: Harvester Wheatsheaf. Supernova: Tantangan Baru bagi Kritik Sastra Oleh Tommy F Awuy Teeuw, A. 1978. Sastra Baru Indonesia I. Flores: Nusa Indah. Teeuw, A. 1979. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Zaimar, Okke. 1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta: Intermasa Jurnal Artikulasi Vol 4No.2 Agustus 2007ͳͳ