ISBN: 978-602-18235-0-7
Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012
PARADIGMA PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI Wiwik Kusdaryani IKIP Veteran Semarang
Abstrak Dalam persaingan era globalisasi ini, kemenangan ditentukan oleh mutu SDM. Mutu SDM itu sendiri ditentukan oleh pendidikan bermutu baik pada tingkat dasar, menengah maupun tinggi. Pendidikan memegang peranan kunci dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini sesuai dengan cita-cita dan sumpah dari founding fathers kita untuk membangun suatu masyarakat Indonesia yang kuat, demokratis, mandiri, menghayati nilai-nilai untuk bersatu dalam kebhinekaan, menguasai ilmu dan teknologi, dan mampu bersaing dalam era kehidupan domestik dan global. Kenyataan menunjukan, meskipun kegiatan pendidikan telah berlangsung di Indonesia selama 65 tahun sejak Indonesia, namun belum berhasil menyediakan SDM berkualitas. Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, sektor pembangunan pendidikan tidak pernah ditempatkan menjadi prioritas pembangunan. Akibatnya mutu pendidikan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Pilipina, Singapura, Thailand. Oleh karena itu, paradigma pendidikan Indonesia di masa datang harus memperhatikan tantangan global dengan mewujudkan pendidikan untuk semua, mengembangkan kewirausahaan, dan berpedoman pada karakter bangsa. Kata Kunci: globalisasi, pendidikan untuk semua, karakter bangsa
Pendahuluan Perubahan yang terlihat mencolok pada era globalisasi dan terlihat sangat tajam adalah faktor percepatan. Ini disebabkan oleh kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, maupun kemajuan yan pesat dalam bidang transportasi khususnya penerbangan antar benua. Integritas perkembangan komunikasi dan teknologi informasi yang semakin cepat mengharuskan dunia pendidikan untuk mempersiapkan berbagai kebutuhan perangkat keras, perangkat lunak serta perangkat intelektual. Globalisasi telah menciptakan dunia semakin terbuka dan saling ketergantungan antar bangsa dan antarnegara. Bagi negara maju memang sangat menguntungkan karena mereka bertindak sebagai subjek tetapi bagi negara berkembang akan memberikan dampak yang yang merugikan sebab negara berkembang lebih cenderung sebagai sasaran atau objek globalisasi. Melihat kondisi yang seperti ini maka diperlukan antisipasi yang tepat dari negara berkembang khususnya negara Indonesia salah satunya melalui dunia pendidikan. Tantangan yang menghadang dunia pendidikan Indonesia saat ini meliputi: heterogenitas tingkat pendidikan masyarakat, keterpurukan perekonomian masyarakat, kekurangmerataan tingkat pendidikan pendidikan, serta mulai lunturnya nilai-nilai moral. Heterogenitas tingkat pendidikan masyarakat Indonesia dapat dilihat pada masyarakat di seluruh kepulauan Indonesia. Masih banyak penduduk yang buta aksara terutama di pedesaan, di samping mayoritas sudah dapat membaca dan menulis bahkan banyak yang sarjana. Pada jenjang sekolah dasar, terutama di pedesaan banyak anak-anak usia sekolah yang tidak pernah mengikuti sekolah dasar, putus sekolah, di samping banyak yang tamat sekolah dasar. Hal yang sama juga
46 PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Univet Bantara Sukoharjo
Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012
ISBN: 978-602-18235-0-7
terjadi pada jenjang pendidikan SLTP dan SLTA. Penyebab utamanya adalah masalah kemiskinan dan ketidakmampuan orang tua menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal dan berbagai pelatihan keterampilan teknis bagi anak-anak (pemuda) sangat terbatas, jumlah pemuda putus sekolah meningkat, bahkan banyak yang tidak pernah sekolah, jumlah pemuda melek huruf fungsional sangat rendah, dan mutu SDM generasi muda sangat buruk.
Pendidikan untuk Semua Krisis ekonomi yang berawal dari krisis moneter tahun 1997, memiliki pengaruh signifikan terhadap dunia pendidikan Indonesia. Jumlah masyarakat miskin dan yang hidup dibawah garis kemiskinan meningkat. Pengangguran terbuka sudah mencapai 40 juta orang. Ditambah lagi pengangguran terselubung. Akibat langsung terhadap pendidikan adalah jumlah anak putus sekolah pada semua jenjang pendidikan meningkat. Indikator sosialnya adalah meningkatnya anak jalanan dan keluarga jalanan di kota-kota besar. Pada Pendidikan tinggi, banyak mahasiswa yang diharapkan menjadi calon intelektual muda, terpaksa cuti kuliah karena keterbatasan ekonomi keluarga. Bagi siswa SLTP dan SLTA yang putus sekolah, masalahnya akan lebih rumit. Rumit karena pada usia ini, emosi mereka belum stabil, tidak toleran terhadap orang lain, agresif secara fisik, rendah kesadaran akan kesalahan diri, dan menunjukkan perilaku yang egoistik (Kartadinata dan Dantes, 1997: 65). Apabila keluarga dan pemerintah tidak tanggap terhadap permasalahan ini, maka cepat atau lambat pengaruh lingkungan yang tidak kondusif akan membuat mereka terlibat pada kenakalan remaja, tawuran, penyalahgunaan narkoba, atau perilaku-perilaku kejahatan yang lebih ekstrim. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembangunan pendidikan berhubungan erat dengan pembangunan ekonomi, terutama pembangunan ekonomi yang berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik. Mengenai kesalahan pembangunan ekonomi dan pengaruh negatifnya pada pendidikan, H.A.R Tilaar ( 2000: 4-5), menyatakan bahwa: Pembangunan ekonomi yang dijadikan panglima dengan hanya memprioritaskan target pertumbuhan telah melahirkan pembangunan ekonomi yang tanpa perasaan. Akibatnya terjadi kesenjangan antardaerah, antarsektor, dan antarmasyarakat. Struktur ekonomi yang tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik telah menyebabkan ekonomi yang rapuh dan ketergantungan industri pada bahan baku impor. Selanjutnya, kehidupan ekonomi semakin lama semakin tergantung pada utang luar negeri yang besar. Akibat kehidupan ekonomi yang demikian ialah lahirnya sistem pendidikan yang tidak peka untuk meningkatkan daya saing, yang tidak produktif karena tergantung pada bahan baku impor. Selanjutnya, pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya. Sejalan dengan itu lahirlah ekonomi biaya tinggi karena korupsi yang melahirkan penanganan ekonomi yang tidak profesional tetapi mengikuti jalan pintas. Dengan sendirinya output pendidikan tidak mempunyai daya saing apalagi mempunyai daya saing global. Konsep "pendidikan untuk semua" mempunyai makna bahwa semua warga negara mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang baik, juga mempunyai kewajiban untuk membangun pendidikan nasional yang bermutu. Konsekwensinya diperlukan pemerataan pendidikan. Apa saja kendala yang dapat kita pelajari dari pemerataan pendidikan ini? Paling sedikit terdapat lima kendala internal yang menghambat pemerataan pendidikan yaitu : (1) kendala geografis, artinya banyak pulau-pulau atau daerah-daerah yang sulit dijangkau pendidikan karena faktor komunikasi; (2) sarana pendidikan yang terbatas akibat alokasi dana yang sangat minim; (3) pemerintah masih mengutamakan pembangunan ekonomi sebagai Univet Bantara Sukoharjo
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
47
ISBN: 978-602-18235-0-7
Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012
prioritas, sementara pendidikan belum memperoleh porsi yang wajar; (4) tidak ada penghargaan yang wajar terhadap profesi guru, terutama yang menyangkut kesejahteraan, padahal kunci utama pendidikan bermutu ialah mutu guru itu sendiri; dan (5) perencanaan pendidikan yang sentralistik yang mengabaikan kemampuan dan karakteristik daerah. Kadar ketahanan yang rendah dari suatu bangsa dalam menghadapi globalisasi akan menyeret negara tersebut dalam lembah hitam. Apa yang dibawa oleh arus globalisasi tidak semuanya berdampak positif. Namun sebagai negara berkembang yang memanfaatkan kemajuan teknologi dan komunikasi hendaknya bersikap selektif terhadap masuknya segala pengaruh globalisasi. Dewasa ini memang sangat terasa akan dampak negatif yang diterima oleh para generasi muda dalam menghadapi globalisasi maraknya kasus asusila, tindak anarki, dan lemahnya pertahanan harga diri merupakan bukti nyata bahwa negara Indonesia mengalami dekadensi moral. Untuk itu sikap selektif dan menyaring nilai-nilai serta sekaligus menanamkan nilai-nilai moral pada generai muda untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan globalisasi, yang sudah dihadapi dan dialami dan terus akan dialami. Tanpa usaha untuk mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi masa depan, negara Indonesia akan mengalami krisis nilai. Djiwandono dalam makalahnya mengenai "Globalisasi dan Pendidikan Nilai" (dalam Sindhunata, 2001:108) mengemukakan bahwa masuknya nilai-nilai baru akan mengacaukan sistem nilai. Krisis nilai ini sebenarnya sudah lama kita rasakan. Tetapi, selalu lebih terlambat daripada tidak mengusahakan sama sekali.
Paradigma Baru Pendidikan Indonesia di Era Globalisasi Abad ke-21 adalah era globalisasi dengan ciri-ciri adanya saling keterbukaan dan ketergantungan antarnegara. Akibat saling keterbukaan dan ketergantungan ditambah dengan arus informasi yang sangat cepat maka kompetisi antarnegara pun akan semakin ketat terutama pada bidang ekonomi. Bagi Indonesia globalisasi ini tidak hanya memiliki dimensi domestik akan tetapi juga dimensi global. Dari segi dimensi domestik globalisasi ini memberi peluang positip terutama untuk mengadopsi dan menerapkan inovasi yang datang dari luar untuk meningkatkan peluang kesempatan kerja bagi masyarakat. Di samping itu dari segi keuntungan domestik, pengaruh globalisasi ini dapat mendidik masyarakat untuk memiliki pola pikir kosmopolitan dan pola tindak kompetitif, suka bekerja keras, mau belajar untuk meningkatkan keterampilan dan prestasi kerja. Dari segi global, kita hidup di dalam dunia yang terbuka, dunia yang tanpa batas. Perdagangan bebas serta makin meningkatnya kerjasama regional memerlukan manusia-manusia yang berkualitas tinggi. Kehidupan global merupakan tantangan sekaligus membuka peluangpeluang baru bagi pembangunan ekonomi dan bagi SDM Indonesia yang berkualitas tinggi untuk memperoleh kesempatan kerja di luar negeri. Di sinilah tantangan sekaligus peluang bagi peningkatan mutu pendidikan Indonesia baik untuk memenuhi SDM yang berkualitas bagi kebutuhan domestik maupun global. Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang kehidupan global di atas, diperlukan paradigma baru pendidikan. H.A.R. Tilar (2000:19-23) mengemukakan pokok-pokok paradigma baru pendidikan sebagai berikut: (1) pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis; (2) masyarakat demokratis memerlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis; (3) pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global; (4) pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis; (5) di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu mengembangkan kemampuan berkompetisi di dalam rangka kerjasama; (6) pendidikan harus mampu mengembangkan kebhinnekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia
48 PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Univet Bantara Sukoharjo
Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012
ISBN: 978-602-18235-0-7
yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan masyarakat, dan (7) yang paling penting, pendidikan harus mampu meng-Indonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi warga negara Indonesia. Paradigma baru pendidikan di atas mengisyaratkan bahwa tanggung jawab pendidikan tidak lagi dipikulkan kepada sekolah, akan tetapi dikembalikan kepada masyarakat dalam arti sekolah dan masyarakat sama-sama memikul tanggung jawab. Dalam paradigma baru ini, masyarakat yang selama ini pasif terhadap pendidikan, tiba-tiba ditantang menjadi penanggung jawab pendidikan. Tanggung jawab ini tidak hanya sekadar memberikan sumbangan untuk pembangunan gedung sekolah dan membayar uang sekolah, akan tetapi yang lebih penting masyarakat ditantang untuk turut serta menentukan jenis pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, termasuk meningkatkan mutu pendidikan dan memikirkan kesejahteraan tenaga pendidik agar dapat memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didik.
Pendidikan Karakter Bangsa Hiruk pikuk membumikan karakter merupakan refleksi dari Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Dalam prioritas bidang pendidikan, pemerintah memprogramkan penguatan metodologi dan kurikulum dengan tindakan penyempumaan kurikulum dan metode pembelajran aktif berdasarkan nilai- nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Budaya sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia perlu dihargai, diakui, dan dilestarikan keberadaannya. Selain itu budaya juga menandakan tingkat peradapan manusia. Karakter sebagai suatu ’moral excellence’ atau akhlak dibangun di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya (bangsa). Karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki warga negara bangsa Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa diarahkan pada upaya mengembangkan nilai-nilai yang mendasari suatu kebajikan sehingga menjadi suatu kepribadian diri warga negara (Kemdiknas, 2011: 7). Pendidikan karakter menurut Murphy dalam Albertus (2010: 192-193) adalah pemahaman, perawatan, dan pelaksanaan keutamaan (practice of virtue). Oleh karena itu pendidikan karakter di sekolah mengacu pada proses penanaman nilai-nilai, berupa pemahaman-pemahaman, tata cara merawat dan menghidupi nilai-nilai itu, serta bagaimana seorang siswa memiliki kesempatan untuk dapat melatihkan nilai-nilai tersebut secara nyata.
Univet Bantara Sukoharjo
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
49
ISBN: 978-602-18235-0-7
Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012
Pendidikan budaya dan karakter bangsa ini dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional (Depdiknas, 2010: 7). Nilai-nilai yang diajarkan bersumber dari nilai-nilai agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Dalam praktiknya pendidikan karakter bangsa ini terintegrasi dalam semua kegiatan sekolah maupun pembelajaran semua mata pelajaran. Harapannya nilai-nilai ini tidak hanya dikenalkan pada semua peserta didik tetapi diimplementasikan dalam semua kegiatan dan perilaku peserta didik. Menurut Pedoman Sekolah tentang Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter bangsa (2010) delapan belas nilai karakter yang dikembangkan meliputi: (1) jujur, (2) disiplin, (3) religius, (4) toleransi, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (l2) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komuniktif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab. Meskipun telah dirumuskan 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya untuk melanjutkan nilai-nilai prakondisi yang telah dikembangkan. Pemilihan nilai-nilai tersebut beranjak dari kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing, yang dilakukan melalui analisis konteks, sehingga dalam implementasinya dimungkinkan terdapat perbedaan jenis nilai karakter yang dikembangkan antara satu sekolah dan atau daerah yang satu dengan lainnya. Implementasi nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan dapat dimulai dari nilai-nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan, seperti: bersih, rapi, nyaman, disiplin, sopan dan santun.
Pendidikan Kewirausahaan Untuk menghadapi tantangan globalisasi diperlukan sikap mental dan kompetensi yang baik sehingga mampu meningkatkan mutu SDM. Untuk itu diperlukan pendidikan yang berkualitas. Mutu penyelenggaraan pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator. Beberapa indikator mutu hasil pendidikan yang selama ini digunakan diantaranya adalah nilai Ujian Nasional (UN), persentase kelulusan, angka drop out (DO), angka mengulang kelas, persentase lulusan yang melanjutkan ke jenjang pendidikan di atasnya. Indikator-indikator tersebut cenderung bernuansa kuantitatif, mudah pengukurannya, dan bersifat universal. Di samping indikator kuantitatif, indikator mutu hasil pendidikan lainnya yang sangat penting untuk dicapai adalah indikator kualitatif yang meliputi: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Indikator kualitatif tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik dan berkaitan dengan pembentukan sikap serta perilaku wirausaha peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun, memiliki sikap dan perilaku wirausaha. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat menurut Ali Ibrahim Akbar (dalam Puskur, 2010:1-2) ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill dari pada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter termasuk karakter kewirausahaan peserta didik sangat penting untuk segera ditingkatkan. Sehubungan dengan hal tersebut, peningkatan mutu
50 PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Univet Bantara Sukoharjo
Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012
ISBN: 978-602-18235-0-7
pembelajaran dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar perlu dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Hasil Studi Cepat tentang pendidikan kewirausahaan pada pendidikan dasar dan menengah yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (27 Mei 2010) diperoleh informasi bahwa pendidikan kewirausahaan mampu menghasilkan persepsi positif akan profesi sebagai wirausaha. Bukti ini merata ditemukan baik di tingkat sekolah dasar, menengah pertama, maupun menengah atas, bahwa peserta didik di sekolah yang memberikan pendidikan kewirausahaan memberikan persepsi yang positif akan profesi wirausaha. Persepsi positif tersebut akan memberi dampak yang sangat berarti bagi usaha penciptaan dan pengembangan wirausaha maupun usaha-usaha baru yang sangat diperlukan bagi kemajuan Indonesia. Berkaitan dengan ketercapaian tujuan pendidikan nasional terutama yang mengarah pada pembentukan karakter yang terkait dengan pembentukan sikap dan perilaku wirausaha peserta didik, selama ini belum dapat diketahui secara pasti. Hal ini mengingat pengukurannya cenderung bersifat kualitatif, dan belum ada standar nasional untuk menilainya. Berdasarkan realita, menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), proyeksi angka pengangguran pada 2009 ini naik menjadi 9% dari angka pengangguran 2008 sebesar 8,5%. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penganggur pada Februari 2008 telah tercatat sebesar 9,43 juta orang. Sementara jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2008 mencapai 111,48 juta orang (Puskur, 2010: 2). Untuk mengurangi angka pengangguran salah satu cara yang bisa dilakukan adalah perlu dikembangkannya semangat entrepreneurship sedini mungkin, karena suatu bangsa akan maju apabila jumlah entrepreneurnya paling sedikit 2% dari jumlah penduduk. Pada tahun 2007, jumlah wirausaha di Singapura ada sebesar 7,2%, Amerika Serikat 2,14% , Indonesia yang jumlah penduduk kurang lebih sebesar 220 juta, jumlah entrepreneurnya sebanyak 400.000 orang (0,18%), yang seharusnya sebesar 4.400.000 orang. Berarti jumlah entrepreneur di Indonesia kekurangan sebesar 4 Juta orang (Puskur, 2010: 2). Berdasarkan kenyataan yang ada, pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat. Banyak pendidik yang kurang memperhatikan penumbuhan sikap, minat dan perilaku wirausaha peserta didik, baik di sekolah-sekolah kejuruan, maupun di pendidikan profesional. Orientasi mereka, pada umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja. Untuk itu, perlu dicari penyelesaiannya, bagaimana pendidikan dapat berperan untuk mengubah manusia menjadi manusia wirausaha. Untuk mencapai hal tersebut bekal apa yang perlu diberikan kepada peserta didik agar mampu menjadi wirausaha yang tangguh dan siap bekerja di kantor sehingga mampu menghidupi dirinya. Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), pembinaan karakter wirausaha juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter wirusaha di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan seharihari. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan kewirausahaan adalah pengembangan nilai-nilai dari ciri-ciri seorang wirausaha. Menurut para ahli kewirausahaan, ada banyak nilainilai kewirausahaan yang mestinya dimiliki oleh peserta didik maupun warga sekolah yang lain. Namun, di dalam pengembangan model naskah akademik ini dipilih beberapa nilai-nilai kewirausahaan yang dianggap paling pokok dan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.
Univet Bantara Sukoharjo
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
51
ISBN: 978-602-18235-0-7
Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012
Penutup Mengubah paradigma pendidikan di Indonesia memerlukan proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak. Transisi ini memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik sistem (struktur)nya, kulturnya, maupun figurnya, dengan tuntutan-tuntutan baru di dunia pendidikan. Oleh karena itu, kita tidak bermimpi bahwa perubahan ini akan berlangsung sekali jadi dan baik hasilnya. Dengan demikian, fleksibiltas dan eksperimentasi-eksperimentasi yang menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam penyelenggaraan pendidikan perlu didorong.
Daftar Pustaka Albertus, DK. 2010. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Depdiknas 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta. Penerbit Kementerian Departemen Pendidikan Balitbang Pusat Kurikulum. Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Kemdiknas. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan. Jakarta: Badan Litbang Puskurbuk. Sindhunata, (editor), 2001. Menggagas Pradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Jogjakarta. Penerbit Kanisius. Slamet PH. 2000. Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah Disampaikann dalam Seminar Regional dengan Tema "Otonomi Pendidikan dan Implementasinya dalam EBTAN Sunaryo Kartasasmita dan Nyoman Dantes, 1997. Landasan-Landasan Pendidikan Sekolah Dasar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktirat Jenderal Tilaar, H.A.R, 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
52 PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Univet Bantara Sukoharjo