DAFTAR ISI Alam Maya foto & olah digital : Sjuaibun Iljas, S.Sos
Pergeseran Sistem Pendidikan di Era Globalisasi, Sambas Prabawa ............................................................................................... 3
Tuntutan Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Globalisasi, Abdul Malik .....................................................................................................
19
Pendidikan ditengah Globalisasi, Hanafiah ...........................................................................................................
31
Dampak Globalisasi terhadap Dunia Pendidikan di Indonesia, Hendi Suhendrava iviuchtar dan Revita Januarsari .......................................... 42
Rujuk Mutu Internasional dalam Pendidikan, Suhedra Yusuf .................................................................................................
Risiko Reputasi pada Perguruan Tinggi Swasta, Wahdi Suwardi ................................................................................................. 77
Peningkatan Potensi Peserta Didik Melalui Pendekatan Kontinum Paedagogi-Andragogi, 93 Ikka Kartika ......................................................................................................
Kompetensi Guru dalam Era Globalisasi, Agus Hermawan ...............................................................................................
102
Pendidikan Nilai untuk Eliminasi Dampak Negatif Globalisasi, Nani Nuraeni ....................................................................................................
109
Sistem Hukum Indonesia Abad XXI: Kesiapan Masyarakat Muslim lndonesia dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi, Imas Rosidawati ...............................................................................................
129
Globalisasi Pendidikan Ditinjau dari Sisi System Informasi dan Komputer, Asep Wasid dan Yudi Herdiana .......................................................................
149
61
Ibrahim D., Peran Karantina Pertanian dalam Era Perdagangan Bebas, 159 Ibrahim Danuwikarsa .......................................................................................
Rancangan Perangkat ESM Untuk Peperangan Electronic, Elan Jaelani ......................................................................................................
Media, Publik dan Politik, Yosal Iriantara ..................................................................................................
167
176
Fungsi Perpustakaan dalam Pelayanan Referensi bagi Peneliti, Resmaya ...........................................................................................................
190
Pendekatan Inkuiri dalam Pelajaran IPA, Didin Wahidin ..................................................................................................
201
Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Miskawaih Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Modern, Akhmad Roziqin ..............................................................................................
211
PENINGKATAN POTENSI PESERTA DIDIK melalui pendekatan KONTINUM PEDAGOGI – ANDRAGOGI
Oleh Ikka Kartika
Abstrak. Keberhasilan pembelajaran, sangat ditentukan oleh implementasi kurikulum yang dilakukan pendidik yang akan bermuara pada pelaksanaan pembelajaran. Pendidik harus berupaya agar peserta didik dapat membentuk kompetensi dirinya sesuai denganyang telah digariskan dalam kurikulum (SK-KD) dan dijabarkan dalam Reenact Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dalam hal ini, akan terjadi interaksi individu dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku ke arahyang lebih baik. Tugaspendidik adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku. Agar memperoleh hasilyang optimal, pengondisian mengacu pada prinsipprinsip paedagogi dan pendekatan andragogi karena keduanya saling melengkapi dalam upaya menggali potensi peserta didik ke arah peningkatan kompetensi dirinya. Kata Kunci. Strategi pembelajaran, kontinum paedagogi dan andragogi.
A. PENDAHULUAN Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP digulirkan dalam rangka mewujudkan amanah Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, yang dinyatakan dalam pasal 36 ayat (2) bahwa "Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik". Satuan pendidikan di sekolah dapat mengembangkan kurikulum dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Implikasinya, implementasi KTSP di setiap sekolah dan satuan pendidikan akan memiliki warna yang berbeda di setiap daerah. Keberhasilan implementasi kurikulum sangat bergantung pada pendidik dan kepala sekolah. Pendidik dalam hal ini dituntut untuk mengembangkan strategi implementasi kurikulum yang sesuai dengan karakteristik sekolah dan satuan pendidikan, sesuai dengan kondisi, karakteristik dan kemampuan peserta didik serta sesuai dengan kebutuhan wilayah. Dalam kaitannya dengan KTSP Mulyasa (2007 : 4-5) menekankan bahwa pendidik harus mampu menyusun pelaksanaan pembelajaran yang tidak saja baik tetapi juga mampu memberikan keleluasaan gerak kepada peserta didik untuk mencari, membangun, membentuk, mengaplikasikan serta mengembangkan ilmu, pengetahuan, teknologi dan seni dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya dikatakan bahwa pengkonstruksian dan penyusunan pengetahuan berlangsung dan dilakukan dari, oleh dan untuk peserta didik. Pendidik harus mampu merancang interaksi yang harmonis antar komponen sistem pembelajaran sehingga pembelajaran berlangsung dalam suasana fun, demokratis dan menyenangkan (joyful teaching and learning). Hal ini sejalan dengan pendapat Buchori (1995:23-24). bahwa perlu digunakan formula umum yang disebut'trasformasi pendidikan', yaitu perubahan watak dan bentuk pada sekolah-sekolah kita, yaitu, dari sekolah tempat
menghafal menjadi sekolah tempat belajar berfikir. Dari kelas yang berdesak-desakan menjadi sekolah yang memberikan keleluasaan bergerak, dan sebagainya. Menurut Freire (1972) kondisi pendidikan yang serba merjekan akan melahirkan “budaya diam”. Strategi pembelajaran seperti ini hendaknya diawali sejak pendidikan dasar dan dilanjutkan pada pendidikan menengah agar perubahan kompetensi yang mencakup sikap, kemampuan dan keterampilan dapat terbentuk sejak dini.
B. PENTINGNYA PENINGKATAN POTENSI PESERTA DIDIK Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) dikemukakan bahwa standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan,pengetahuan, kepribadian, ahlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan pendidikan lebih lanjut. Sedangkan standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Standar lulusan ini sangat relevan dengan pernyataan Komisi Pendidikan untuk Abad ke21 (Sa'ud, 2007: 1113 dan 1115) yang menyatakan bahwa kompetensi lulusan pendidikan dasar melihat bahwa pendidikan dasar sebagai sebuah "paspor" yang sangat diperlukan individu untuk hidup dan mampu memilih apa yang mereka lakukan, mengambil bagian dalam pembangunan masyarakat masa depan secara kolektif, dan terus menerus belajar. Sedangkan pendidikan menengah merupakan awal dari penguatan dan pengembangan potensi dominan peserta didik yang terpotret pada jenjang pendidikan dasar. Oleh karena itu, program belajar pendidikan dasar harus mengembangkan potensi peserta didik secara terpadu dan sinergis, sedangkan program belajar dan pembelajaran pada jenjang pendidikan menengah harus memperhatikan pengembangan potensi dominan peserta didik, sehingga program belajar dapat mendukung suksesnya kehidupan peserta didik, baik pengembangan individu maupun sebagai anggota masyarakat. Permasalahannya dalam hal ini berkaitan dengan "bagaimanakah menyampaikan pesanpesan kurikulum kepada peserta didik untuk membentuk kompetensi mereka sesuai dengan karakteristik dan kemampuan masing-masing"?. Menurut Mulyasa (2008: 183), "pembentukan kompetensi peserta didik merupakan kegiatan inti pembelajaran, antara lain mencakup penyampaian informasi tentang materi pokok atau materi standar, membahas materi standar untuk membentuk kompetensi peserta didik, serta melakukan tukar pengalaman dan pendapat dalam membahas materi standar atau memecahkan masalah yang dihadapi bersama". Selanjutnya dikatakan bahwa pembentukan kompetensi peserta didik perlu dilakukan dengan tenang dan menyenangkan. Hal ini menuntut aktivitas dan kreativitas pendidik. Pembentukan kompetensi dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya. Hal ini dapat dilakukan bila dalam implementasi kurikulum, seluruh peserta didik terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosialnya. Bila mengacu pada teori pendidikan modern, dalam hal ini peserta didiklah yang harus dijadikan subyek dan obyek dalam proses pembelajaran. Rogers menyebutnya dengan istilah 'student centered atau learner centered' atau disebut dengan kegiatan pembelajaran yang “terpusat pada peserta didik”, karena kegiatan belajar sebenarnya merupakan proses kegiatan ego dari peserta didik (Knowles, 1980 : 45). Kondisi seperti ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan
peserta didik, baik keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran maupun keberhasilan proses pembelajaran.
C. PENDEKATAN ANDRAGOGI DAN PAEDAGOGI Paedagogi adalah "suatu ilmu dan seni mengajar anak" (Cross, 1981) sedangkan andragogi diartikan sebagai ilmu dan seni membantu orang dewasa melakukan kegiatan belajar Sudjana (2001 : 36 ). Knowles (dalam Srinivasan, 1977) menyebutnya sebagai 'the art and science to helping adult a learner' . Knowles (dalam Kamil, 2007: 301-302) mengembangkan empat pokok asumsi orang dewasa sebagai berikut: (1) Konsep diri. Orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri dan karena kemandirian inilah mereka membutuhkan penghargaan dari orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (self determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (self direction). Apabila dihadapkan pada kondisi dan situasi yang tidak sesuai dengan konsep dirinya, maka akan timbul penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan; (2) Peranan pengalaman.Dalam perjalanan hidupnya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman manis dan pahit. Hal ini menjadikan mereka menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Implikasinya, dalam pembelajaran harus dipilih metoda dan teknik yang banyak melibatkan partisipasi peserta didik; (3) Kesiapan belajar. Bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik atau biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas serta peranan sosialnya; (4) Orientasi belajar tidak berpusat pada materi pembelajaran akan tetapi berpusat pada pemecahan masalah yang sedang dihadapi dalam kehidupan keseharian terutama yang berkaitan dengan fungsi dan peranan sosialnya. Selanjutnya dikatakan bahwa paedagogi dan andragogi merupakan dua pendekatan rancang bangun dan pengoperasian program pendidikan yang berbeda. Bentuk dasar model paedagogi adalah suatu rencana isi (content plan) yang menuntut para pendidik untuk menjawab empat pertanyaan saja, yaitu: (1) apakah isi yang perlu dicakup; (2) bagaimana isi itu dapat diorganisasikan ke dalam satuan yang terkelola; (3) bagaimana urutan yang paling logis untuk menyajikan satuan-satuan tersebut; (4) alat apakah yang paling efisien untuk , menyampaikan isi tersebut. Pada andragogi, rancang bangun program pendidikan lebih bersifat proses (process design). Proses andragogi mengandung tujuh pertanyaan yang harus dijawab oleh pendidik, yaitu: (1) prosedur apakah yang paling menghasilkan suasana yang mendorong belajar;(2) prosedur apakah yang dapat digunakan untuk membawa peserta didik terlibat dalam perencanaan; (3) prosedur apakah yang dapat digunakan untuk membantu peserta didik mengidentifikasi kebutuhan belajarnya secara realistis dan bertanggung jawab; (4) prosedur apakah yang dapat digunakan untuk membawa warga belajar menerjemahkan kebutuhan yang telah didiagnosis ke dalam tujuan belajar; (5) prosedur apakah yang dapat digunakan untuk membantu peserta didik mengidentifikasikan sumber-sumber belajar dan mengembangkan strategi pemanfaatannya guna mencapai tujuan belajar; (6) bagaimana membantu peserta didik membuat rencana tujuan belajar, (7) bagaimana melibatkan peserta didik di dalam penilaian belajar mereka. Model paedagogi menekankan pada pentingnya aktivitas pendidik dalam mengajar peserta didik. Perencanan, pelaksanaan dan penilaian proses serta hasil belajar dilakukan dan dikendalikan oleh pendidik. Sedangkan peserta didik hanya berperan sebagai pengikut kegiatan yang ditampilkan pendidik. Bahan belajar terdiri dari konsep-konsep dasar atau
materi belajar yang baru dan peserta didik membutuhkan informasi yang tuntas dan gamblang dari pendidik. Model andragogi menekankan pada srategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik adalah kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajarannya. Strategi ini menekankan bahwa peserta didik adalah pemegang peran dalam proses keseluruhan pembelajaran, sedangkan pendidik berfungsi selaku fasilitator dalam pembelajaran peserta didik. Kedua pendekatan ini dianggap berlawanan, namun kemudian dikembangkan pendekatan kontinum (continuum learning approach) yang tidak mempertentangkan keduanya. Pendekatan paedagogi dapat diterapkan pada awal proses pembelajaran, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan prinsip-prinsip andragogi, atau sebaliknya, bahkan andragogi pun dapat digunakan dalam pembelajaran kepada anak-anak. Pendekatan kontinum ini didasarkan pada asumsi yang dikemukakan Knowles (1977), bahwa pada intinya semakin dewasa peserta didik: (1) konsep dirinva semakin berubah kepada sikap mengarahkan diri dan saling belajar di antara mereka; (2) pengalaman yang dapat dijadikan sumber belajar semakin bertambah; (3) kesiapan belajar untuk menguasai tugas-tugas yang berkaitan dengan peranan mereka dalam kehidupan semakin dirasakan; (4) semakin berorientasi pada penggunaan basil belajar yang dapat dimanfaatkan segera dalam kehidupan; (5) semakin diperlukan keterlibatan mereka dalam perencanaan, diagnosis kebutuhan, penentuan tujuan belajar dan evaluasi serta proses dan basil belajar. Asumsi Knowles tersebut dapat dimaknai bahwa pendekatan kontinum tumbuh sebagai akibat dari tumbuhnva kebutuhan pengembangan diri selama proses pembelajaran berlangsung dan kebutuhan pengembangan diri itu sendiri dipengaruhi oleh kematangan berpikir serta pengaruh lingkungan. Dalam hal ini, pendidik memegang peranan penting untuk memfasilitasi tumbuhnya pengembangan diri peserta didik melalui penggunaan metoda pembelajaran yang lebih partisipatif.
D. IMPLIKASINYA TERHADAP PROSES PEMBELAJARAN Implikasi penggunaan pendekatan kontinum ini harus diarahkan pada kemampuan pendidik untuk bersikap fleksibel dalam menghadapi kegiatan pembelajaran, sesuai pendapat Munandar (1999 : 209) bahwa fleksibilitas merupakan kunci keberhasilan dalam modifikasi proses dan metoda pembelajaran". Beberapa hal yang perlu diperhatikan pendidik dalam penggunaan pendekatan kontinum adalah sebagai berikut. Pertama, kepedulian pendidik terhadap masa depan peserta didik dan kemauan untuk merubah cara pendekatan yang sudah diyakini pencapaiannya. Ini berkaitan dengan kompetensi paedagogik yaitu kemampuan pendidik dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kedua, memandang peserta didik bukan hanya sebagai obyek belajar, yaitu :" ... dianggap sebagai individu yang belum memahami apa yang harus dipahami, sehingga melalui proses pengajaran mereka dituntut memahami segala sesuatu yang diberikan pendidik" (Sanjaya, 2007 : 497). Peserta didik harus dipahami juga sebagai subyek belajar,
dimana "Keterlibatan peserta didik dalam pendidikan tidak sebatas sebagai pendengar, pencatat dan penampung ide-ide pendidik, tetapi lebih dari itu, ia terlibat aktif dalam mengembangkan dirinya sendiri" (Iman, 2003 : 3). Dalam hal ini pendidik tidak hanya berperan sebagai pengajar, namun juga sebagai fasilitator, moderator, motivator di samping sebagai pemimpin belajar Ketiga, memiliki pemahaman dan kemampuan dalam menggunakan metoda dan teknik yang digunakan dalam kedua pendekatan tersebut. Dalam pendekatan paedagogi, teknik yang umum digunakan antara lain: ceramah, tanya jawab, diskusi, inquiry, demonstrasi, eksperimen dan lain-lain . Sedangkan dalam pendekatan andragogi menurut Sudjana (2007: 350-351) ada tiga metoda yang bisa digunakan, yaitu : (1) metoda pembelajaran individual, antara lain teknik: tutorial, bimbingan, magang, sorogan, dan lain-lain; (2) metoda pembelajaran kelompok, antara lain teknik: diad/triad, ceramah bervariasi, diskusi, curah pendapat, simulasi, bermain peran, pecahan bujur sangkar, cawan ikan, demonstrasi, dan lain-lain; (3) metoda pembelajaran komunitas, antara lain teknik: demonstrasi, kontak sosial, komunikasi sosial, aksi partisipatif, dan lain-lain. Keempat, mengakui bahwa dirinya bukanlah sumber belajar satu-satunya, melainkan ada sumber belajar lain seperti : ,,...massage/pesan, misalnya data, buku, gagasan dan lain-lain; materials/perangkat lunak, seperti slide, film, majalah, video, modul dan lain-lain; device/alat, misalnya OHI, tape recorder, radio dan lain-lain; technique/tehnik, misalnya pedoman, metoda, teknik; setting/lingkungan, misalnya ruang kelas, pasar, kebun binatang, dan lain-lain" (AECT dalam Sofa, 2009). Dapat pula ditambahkan bahwa perkembangan teknologi internet memberi peluang untuk memperoleh sumber belajar yang sangat luas dan sangat beragam yang dapat dimanfaatkan oleh pendidik maupun peserta didik dalam proses pembelajaran. Kelima, mampu merubah peran dirinya tidak hanya sebagai pengajar, namun juga sebagai fasilitator, moderator, motivator di samping sebagai pemimpin belajar. Dalam hal ini, pendidik dapat berperan sebagai : (1) Fasilitator belajar, artinya pendidik sebagai pemberi kemudahan-kemudahan kepada peserta didik dalam melakukan pembelajarannya. Kemudahan itu bisa diupayakan dalam berbagai bentuk, antara lain menyediakan sumber dan alat-alat belajar, menyediakan waktu belajar yang cukup, memberikan bantuan kepada peserta didik yang memerlukan, menunjukkan jalan keluar dalam pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik , menengahi perbedaan pendapat yang muncul di antara peserta didik ; (2) Moderator Belajar, artinya pendidik sebagai pengatur arus pembelajaran peserta didik. Dalam hal ini pendidik menampung persoalan yang diajukan peserta didik dan mengembalikan lagi persoalan tersebut kepada peserta didik lain untuk dijawab dan dipecahkan. Jawaban peserta didik tersebut dikembalikan kepada penanya atau kepada kelas untuk dinilai bersama kebenarannya sebagai jawaban. Dengan demikian setiap peserta didik dikondisikan untuk aktif memberikan respons terhadap pertanyaan yang diajukan. Di samping sebagai pengatur arus kegiatan, pendidik juga harus menarik kesimpulan bersama peserta didik atas semua jawaban masalah yang dibahas dan diajukan peserta didik ; (3) Motivator Belajar, artinya sebagai pendorong agar peserta didik man melakukan pembelajaran. Pendidik harus menciptakan kondisi kelas yang dapat merangsang peserta didik melakukan pembelajaran secara kelompok maupun secara individual; (4) Pemimpin Belajar, artinya pendidik merencanakan, melaksanakan dan mengontrol kegiatan peserta didik belajar. Merencanakan kegiatan peserta didik belajar terutama menentukan tujuan belajar peserta didik , aktivitas yang harus dilakukan peserta didik dan sumber-sumber belajar yang haru dipersiapkan. Mengorganisasikan pembelajaran artinya menentukan dan mengarahkan pembelajaran peserta didik, mengatur lingkungan belajar, mengoptimalkan
sumber-sumber belajar dan mendorong motivasi belajar peserta didik. Mengontrol pembelajaran peserta didik dimaksudkan mengawasi,memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk, mencatat kekurangan dan kesalahan untuk dibahas dan diperbaiki, menilai proses belajar dan hasil belajar yang dicapainya. Posisi ini menuntut pendidik memiliki kesanggupan-kesanggupan mengelola kelas, melakukan hubungan sosil dengan peserta didik, memahami peserta didik secara individual dan memberikan bimbingan belajar. Pola kepemimpinan kelas yang demokratis merupakan ciri utama dalam proses pengajaran. Beberapa ciri yang menonjol dalam pembelajaran yang demokrtis dalah adanya partisipasi semua peserta didik dalam belajar, adanya kebebasan peserta didik mengemukakan pendapatnya dalam memecahkan masalah yang dipelajarinya, adanya kesediaan peserta didik untuk menerima dan mempertimbangkan pendapat peserta didik lain, adanya kesempatan bagi para peserta didik untuk menarik kesimpulan dari hasil belajarnya. Keenam, untuk melaksanakan perannya tersebut, pendidik harus mampu merubah hubungannya dengan peserta didik. Ada beberapa hal yang harus tampak dalam hubungan pendidik dengan peserta didik melalui proses belajar, yaitu : (1) Pendidik tidak mendominasi pembicaraan, tetapi lebih banyak memberikan rangsangan berpikir kepada peserta didik untuk memecahkan masalah; (2) Pendidik menyediakan dan mengusahakan sumber belajar tertulis maupun sumber manusia bagi peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik sendiri dapat menjadi sumber belajar bagi peserta didik lainnya atau bahkan bagi pendidik di samping pendidik itu sendiri sebagai sumber belajar; (3) pendidik melaksanakan kegiatan pembelajaran bervariasi, yaitu ada kegiatan yang dilakukan oleh semua peserta didik , ada kegiatan yang dilakukan secara kelompok dan ada pula kegiatan yang dilakukan peserta didik secara mandiri. Penetapan pembelajaran diatur oleh pendidik secara sistematis dan terencana; (4) Hubungan pendidik dengan peserta didik harus bersifat manusiawi seperti hubungan orang tua dengan anak. Pendidik menempatkan diri sebagai pembimbing semua peserta didik yang memerlukan bantuan manakala mereka menghadapi persoalan belajar. Pada saat tertentu, hubungan pendidik dan peserta didik juga bisa sejajar bagaikan dengan sesama teman; (5) Pendidik senantiasa menghargai pendapat peserta didik , terlepas dari benar atau salah, dan tidak diperkenankan membunuh, mengurangi atau menekan pendapat peserta didik di depan peserta didik lainnya dalam pemecahan masalah belajar. Ketujuh, memahami bahwa anak memiliki perasaan, pikiran, kehendak dan kebutuhan sama halnya dengan orang dewasa. Prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak yang menjadi landasan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak antara lain harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Prinsip ini sesuai dengan teori kebutuhan Maslow (1970), bahwa hiearki kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan fisik, rasa aman, untuk diakui, untuk diakui, untuk dihargai dan aktualisasi diri. Kebutuhan ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa tapi juga pada anak hanya dengan intensitas yang berbeda.
E. PENUTUP Untuk memperoleh hasil pembelajaran yang efektif, yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik, tidak hanya menggunakan satu metoda pembelajaran, tapi menggunakan multi metoda dengan multi teknik. Pendekatan paedagogi yang umum digunakan pada pendidikan formal dapat digunakan secara kontinum dengan pendekatan andragogi yang umum digunakan pada pendidikan orang dewasa. Keduanya memiliki
keunggulan untuk saling melengkapi dan saling menguatkan. Namun, efisiensi dan efektifitas penggunaannya harus didukung oleh kemampuan pendidik untuk merubah cara pandang, sikap dan perilakunya terhadap peserta didik dan proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA Freire, Paulo (1972), The Pedagogy of the Oppressed, New York : Herder and herder. Sudjana, D,(2000), Metoda & Teknik Pembelajaran Partisipatif, Bandung : Falah Production Mulyasa,E.,(2008), Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Kemandirian Pendidik dan Kepala Sekolah, Bandung : Bumi Aksara Buchori, Mochtar.,(1995), Transformasi Pendidikan, Jakarta : PT Pustaka Sinar Harapan dengan IKIP-Muhammadiyah Jakarta Press. Sa'ud, Udin Syaefudin, Pendidikan Dasar dan Menengah, Dalam Ali,M., Ibrahim,R., Sukmadinata,N.S., Sudjana,D, Rasyidin, W, (Penyunting), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung : Pedagogiana Press. Knowles, Malcolm S, (1980) Knowles, Malcolm S, (1977), The Modern Practice of Adult Education : Andragogy versus Paedagogy, New York : Association Press. Cross, Patricia K., (1981), Adults as Learners, Sans Fransisco : Jossey-Bass Pubi. Srinivasan, Lyra, (1977), Perspektives on Nonformal Adult Learning, New York World Education. Sudjana, D, Andragogi Praktis, Dalam Ali,M., Ibrahim,R., Sukmadinata,N.S., Sudjana,D, Rasyidin, W, (Penyunting), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung : Pedagogiana Press. Sudjana, D,(2001), Pendidikan Luar Sekolah, Wawasah, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Teori Pendukung, Azas, Bandung : Falah Production. Iman, Muis Sad, (2004), Pendidikan Partisipatif, Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Jogyakarta : Safiriana Insania Press. Munandar, S.C.Utami, (1999), Kreativitas dan Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Kamil, Mustofa, Teori Andragogi, Dalam Ali,M_, Ibrahim,R., Sukmadinata,N.S., Sudjana,D, Rasyidin, W, (Penyunting), I1mu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung : Pedagogiana Press. Maslov; Abraham, H.,(1970), Motivation and Personality New york : Harper and Row PublishersSofa, Pakde. Sanjaya,Wina, Pengajaran, Dalam Ali,M., Ibrahim,R., Sukmadinata,N.S., Sudjana,D, Rasyidin, W, (Penyunting), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung Pedagogiana Press.