UPACARA NENGGET PADA MASYARAKAT SUKU KARO (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun)
SKRIPSI
DIAJUKAN GUNA MEMENUHI SALAH SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA (S-1) ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
OLEH ERLINA SEMBIRING 04 0905014
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .............................................................................. 5 1.3. Lokasi Penelitian.................................................................................... 6 1.3.1. Letak Lokasi Dan Keadaan Penduduk Desa Saran Padang ........... 6 1.3.2. Latar Belakang Sosial Budaya ..................................................... 9 1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian .............................................................. 10 1.5. 1.4.1. Tujuan Penelitian ........................................................................ 10 1..2.
Manfaat Penelitian ..................................................................... 10
1.5. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 10 1.6. Metode Penelitian ................................................................................. 14 1.6.1. Tipe Penelitian ............................................................................ 14 1.6.2. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 15 1.6.1.1.Data Primer ............................................................................ 15 1.6.2.1.a. Observasi Atau Pengamatan .................................... 15 1.6.2.2.b. Informan ................................................................. 15 1.6.2.3.c. Wawancara ............................................................. 16 1.6.2.2.1. Wawancara Mendalam ................................ 16 1.6.2.2.2. Wawancara Bebas ....................................... 17 1.6.2.2. Data Sekunder ..................................................................... 17 1.6.3. Analisa Data ............................................................................... 17
BAB II MASYARAKAT KARO 2.1. Asal Usul Etnis dan Nama Karo ............................................................. 19 2.2. Daerah Wilayah Budaya Masyarakat Karo ............................................ 21 2.3. Sistem Sosial ......................................................................................... 22
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
2.3.1. Klen (Marga), dan Kampung Asal ............................................... 23 2.3.2. Senoiritas .................................................................................... 25 2.3.3. Asal Keturunan ............................................................................ 26 2.3.4.Masyarakat Desa dan Kepeminpinanya ......................................... 26 2.3.5. Sistem Politik ............................................................................... 27 2.4. Sistem Budaya Masyarakat Karo............................................................ 29 2.4.1.Sistem Kekerabatan ....................................................................... 29 2.4.2.Sistem Kepercayaan ...................................................................... 35 2.4.3.Prinsip Hidup Masyarakat Karo ..................................................... 38 2.4.4.Sistem Gotong Royong .................................................................. 39 2.4.5. Perkawinan ................................................................................... 40
BAB III UPACARA NENGGET 3.1. Upacara Nengget.................................................................................... 47 3.2. Peralatan Dalam Pelaksanaan Upacara Nengget ..................................... 48 3.4. Pelaksana Upacara Nengget .................................................................. 49 3.4.1. Kalimbubu ................................................................................... 51 3.4.2. Anak Beru .................................................................................... 53 3.4.3. Sembyak/Senina ........................................................................... 56 3.5. Waktu dan Pelaksanaan Upacara Nengget .............................................. 59 3.6. Manfaat Pelaksanaan Upacara Nengget .................................................. 62 3.7. Kedudukan Upacara Nengget Di Tengah-Tengah Pengobatan Modern ... 63
BAB IV STUDI KASUS DALAM UPACARA NENGGET 4.1. Keluarga Yang Berhasil Mendapatkan Keturunan .................................. 66 4.1.1 Keluarga G. Tarigan Dengan R. br Bangun ................................... 66 4.1.2. Manfaat Yang Diperoleh Dari Upacara Nengget ........................... 68 4.2. Keluarga Yang Belum Berhasil Mendapatkan Keturunan ....................... 69 4.2.1. Keluarga M. Ginting Dengan B. br Sembiring .............................. 69 4.2.2. Manfaat Yang Diperoleh Dari Upacara Nengget ........................... 74
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ............................................................................................ 76 5.2. Saran...................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 78 LAMPIRAN
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
ABSTRAK Erlina Sembiring, 2009. Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif Desa Saran Padang Kecamatan Dolok Silau Kabupaten Simalungun). Skripsi ini terdiri dari 5 bab + 80 halaman + daftar pustaka + lampiran. Setiap kelompok masyarakat mempunyai berbagai jenis upacara kebudayaan dan upacara religi yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Proses dan pelaksanaanya juga berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak sekali aneka jenis upacara kebudayaan yang terdapat di Indonesaia. Seperti halnya upacara nengget yang terdapat pada masyarakat Karo, upacara nengget adalah upacara yang dilakukan pada keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum memiliki keturunan, upacara ini juga dapat dilakukan pada keluarga yang sudah memiliki keturunan akan tetapi semuanya laki-laki atau perempuan. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan tentang pelaksanaan upacara nengget yang dilakukan masyarakat Karo yang hidup (tinggal) di Desa Saran Padang. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui manfaat upacara nengget dan untuk melihat sejauh mana kebertahanan upacara nengget sebagai salah satu upacara pengobatan tradisional yang berdampingan dengan pengobatan modern yang dewasa ini berkembang di desa-desa khususnya Kabupaten Karo.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya, sebab kebudayaan ada karena adanya masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud dari kebudayaan adalah adat istiadat sedangkan upacara merupakan wujud nyata aktivitas dari adat istiadat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia baik itu aspek sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Dalam masyarakat tradisional kegiatan mengaktifkan kebudayaan itu antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan beberapa upacara tradisional yang memang menjadi sarana sosialisasi bagi kebudayaan yang telah dimantapkan lewat pewarisan (transformasi) tradisi. Setiap tindakan manusia secara keseluruhan disebut kebudayaan yang didalamnya terdapat unsur-unsur secara keseluruhan bisa di dapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua suku bangsa di Dunia. Unsur-unsur ini di sebut dengan istilah unsur kebudayaan universal yang terdiri dari tujuh unsur kebudayaan.Salah satu kebudayaan universal adalah sistem religi (sistem kepercayaan) yang di dalamnya termuat sistem upacara, baik berupa upacara tradisional maupun upacara modern merupakan suatu pranata yang di perlukan. Masyarakat manusia sebagai usaha untuk memenuhi hasratnya untuk melakukan komunikasi dengan kekuatan-kekuatan adi kodrati karena di dalamya termuat simbol-simbol yang berfungsi sebagai alat komunikasi dengan mahluk lain (Koentjaraningrat,1981;203-204).
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Seperti halnya pada masyarakat Karo, terdapat berbagai bentuk upacara yang berhubungan dengan kepercayaan religius mereka. Menurut Bangun (1986:41) walaupun masyarakat Karo secara resmi telah dimasuki oleh ajaran agama seperti agama Kristen Protestan, Islam, dan Katolik namun masih ditemui pada pemeluk agama tersebut
adanya keterikatan kepada kepercayaan
tradisionalnya, seperti kepercayaan pada roh-roh nenek moyang dan benda-benda yang mereka anggap keramat.Masih banyak ditemukan perjimatan, pergi ke goagoa, penghormatan kepada roh-roh nenek moyang dengan berbagai jenis upacara, adanya pengobatan-pengobatan tradisional dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Karo tidak bisa meninggalkan kepercayaan tradisionalnya, meskipun mereka telah memeluk agama yang melarang hal-hal tersebut. Salah satu kepercayaan masyarakat Karo adalah Pemena, yang berarti : kepercayaan suku bangsa Karo terhadap suatu benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib terhadap roh-roh yang berdiam disuatu temapat yang mempunyai kekutan luar biasa. Selain Pemena masih banyak jenis-jenis kepercayaan yang diyakini masyarakat Karo. Mereka masih meyakininya sampai sekarang dan masih ada sebagian yang masih dilaksanakan sampai sekarang meskipun sudah hampir punah seiring dengan kemajuan jaman. Nengget adalah salah satu jenis upacara yang sampai saat sekarang ini masih dilaksanakan atau masih diyakini oleh masyarakat Karo. Nengget dilakukan dengan mengadakan kejutan terhadap keluarga yang sudah lama berumah tangga tetapi belum memiliki keturunan. Nengget juga bisa dilakukan terhadap keluarga yang suadah memiliki keturunan namun semuanya perempuan supaya keluarga ini memiliki keturunan anak laki-
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
laki. Kepercayaan ini sudah ada sebelum pangaruh kebudayaan Hindu di tanah Karo, namun sampai sekarang kepercayaan ini masih diyakini oleh beberapa orang. Nengget adalah salah satu jenis upacara religi yang sampai saat sekarang ini masih dilaksanakan atau masih diyakini oleh masyarakat etnik Karo. Nengget itu sendiri berarti
mengadakan kejutan kepada keluarga yang sudah lama
menikah tetapi belum memiliki keturunan. Nengget secara harafiah berarti membuat kejutan atau membuat orang terkejut. Dalam konteks Upacara, Nengget erat kaitannya dengan adat istiadat Karo, dimana di dalam adat nggeluh (adat orang hidup) Karo diatur berdasarkan
merga silima ( lima marga pada
masyarakat Karo yaitu : Tarigan, Sembiring, Ginting, Karo-karo dan Peranginangin), rakut sitelu (tiga tingkatan silsilah dalam masyarakat Karo yaitu : kalimbubu, anak beru dan senina), dan tutur siwaluh adalah : delapan jenis tutur yang ada pada masyarakat Karo, diantaranya : puang kalimbubu, kalimbubu, senina , sembuyak, senina sipemeren, senina sepengalon/sendalanen, anak beru. Tutur adalah : tingkat hubungan persaudaraan antara satu dengan yang lainnya. Ada tiga kelompok dalam masyarakat Karo yaitu: kalimbubu (pihak penerima wanita), senina (saudara), dan anak beru (pihak pemberi wanita). Peranan masing-masing yang telah diatur dan disesuaikan sedemikian rupa dan tidak semua orang perorangan bebas berbicara dengan orang. Ada aturan-atuaran yang telah
dibuat, sebagai contoh seorang menantu laki-laki tidak bisa berbicara
langsung dengan ibu mertuanya, hal ini adalah pantang atau tabu. Ketiga kelompok tersebut diatas memiliki peranan yang penting dalam pelaksanaan upacara nengget. Sebelum upacara nengget dilaksanakan maka terlebih dahulu
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
ketiga kelompok harus berembuk untuk membicarakan pelaksanaan dari upacara ini. Selain ketiga kelompok ini peranan dukun sangat diperlukan untuk menentukan apa saja yang harus disediakan dan hari baik apa yang akan digunakan sebagai pelaksanaan dari upacara ini. Menurut Julianus (2006), ada berbagi jenis nengget berdasarkan fungsinya: Nengget, yang dilakukan menurut adat Karo. Dengan melakukan kejutan bagi keluarga yang belum memiliki keturunan dengan harapan agar keluarga ini memperoleh keturunan (laki-laki dan perempuan). Lentarken, yaitu upacara nengget yang dilakukan ketika ada yang meninggal dunia atau pada acara lainnya. Pelaksanaanya dilakukan ketika sedang menari keluarga yang tidak memiliki keturunan tiba-tiba ditangkap oleh turangkunya atau rebunya dia, kemudian diosei (dipakaikan pakaian adat Karo secara terbalik) seperti pada acara nengget. Setelah diosei dilakukan acara menari. Jera la mupus, yaitu upacara nengget yang dilakukan pada acara memasuki rumah barunya, di depan pintu masuknya mereka dihalangi rebunya (turangkunya) 1, sambil berkata “Majera kam la mupus ?”( jeralah kau yang belum punya keturunan) maka yang oleh empunya rumah menjawab “ jera !”. Hal ini dilakukan sebanyak empat kali, dan pada hitungan yang ke-4 ini juga mempunyai makna yaitu selpat yang artinya: putus hubungan dengan hal-hal yang tidak baik. Setelah empat kali ditanya maka mereka diperbolehkan memasuki rumah barunya. Sengget yaitu terkejut ini mempunyai proses yang mempunyai arti bagi masyarakat Karo. Misalnya seseorang yang terkejut dapat menjadi sakit karena ditinggalkan oleh jiwa atau tendinya ini bisa jadi
1
kicat atau terjepit di sebuah batu, di sebuah tempat yang angker, dan
Hubungan yang tabu untuk berbicara secara langsung harus memakai perantara.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
sebagainya. Untuk melepaskan tendi ini maka biasanya jug dilakukan upacara melepas tendi ini seperti raleng tendi bisanya adalah manuk kahul (ayam persembahan) yang dilepas. Acara ini masih dipercayai orang Karo sebagai salah satu kegiatan upacara sekaligus sebagai sarana pengobatan bagi salah satu keluarga yang belum memiliki keturunan, pada masa lalu bahkan sampai sekarang. (http://www.tanahkaro.com/ simalem/ content/view/681/177/). Pelaksana dari upacara nengget ini adalah dari keluarga pihak pemberi dara (kalimbubu). Kalimbubu ini sendiri berarti pihak pemberi dara, dan merupakan pihak yang harus benar-benar dihargai, dihormati dan juga dijaga perasaannya jangan sampai dia merasa sakit hati. Suku karo meyakini apabila kalimbubu marah karena merasa tidak dihoramati maka, hal itu akan mengakibatkan hal-hal yang tidak di inginkan misalnya, padi tidak tumbuh, tidak ada keturunan, anak sakit dan lain sebagainya. Kalimbubu sering juga disebut sebagai Dibata Idah yang artinya Tuhan yang dapat dilihat. Kalimbubu mempunyai perbedaan dari sukut/sembuyak, karena kalimbubu dibedakan secara berjenjang mulai dari atas sampai ke bawah. Selain kalimbubu, anak beru juga mempunyai peran yang penting dalam upacara ini, anak beru itu sendiri berati : pihak keluarga laki-laki yang kawin atau mengambil anak perempuan suatu keluarga, golongan anak beru yang sama dengan kalimbubu dalam hal jenjang atau derajat berdasarkan keturunan. Oleh karena itu anak beru juga diberi nama sesuai dengan jenjang atau tingkatannya untuk dapat membedakan satu dengan yang lain. Selain kalimbubu dan anak beru masih ada lagi yang lebih memiliki paranan yang sangat penting dalam upacara ini yaitu turangku atau rebu. Yakni
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
dalam upacara ini dia sangat memiliki peranan yang sangat penting. Turangku inilah yang nantinya akan menyiramkan air suci atau lau si malem-malem kepada keluarga tersebut. Padahal sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari turangku ini tidak dapat saling bertegor sapa dengan mereka (keluarga yang disengget). Hal ini di pantangkan menurut adat karo yang disebut rebu.
1.2.Perumusan Masalah Dalam kehidupan masyarakat Karo khususnya masyarakat Desa Saran Padang upacara nengget adalah salah satu upacara yang berkaitan dengan pengobatan tradisional yang sampai sekarang masih bertahan dan dipercayai oleh masyarakat setempat, walaupun pengobatan tradisional sudah hampir punah oleh pesatnya kemajuan jaman dan semakin berkembangnya pengobatan-pengobatan modern. Sehubungan dengan itu yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan upacara nengget dilakukan 2. Apa manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan upacara ini? 3. Mengapa masyarakat karo masih mempercayai upacara nengget dan mengapa upacara nengget masih bisa bertahan sampai sekarang, sementara pengobatan-pengobatan modern semakin mudah di jumpai di Kabupaten Karo bahkan di desa Saran Padang.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
1.3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Saran Padang , Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun. Pertimbangan memilih lokasi penelitian ini adalah karena penduduknya mayoritas suku bangsa Karo, dan upacara nengget masih tetap dilaksanakan walaupun tidak terlalu sering. Selain itu, alasan penulis memilih Desa ini sebagai lokasi penelitian karena penulis juga berdomisili di daerah ini.
1.4.Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.4.1.Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan upacara nengget yang dilakukan masyarakat Karo yang hidup (tinggal) di Desa Saran Padang. Penelitian bertujuan untuk mengetahui manfaat upacara nengget. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kebertahanan upacara nengget sebagai salah satu upacara pengobatan tradisional berdampingan dengan pengobatan modern yang dewasa ini berkembang di desa-desa Kabupaten Karo. 1.4.2.Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah wacana dalam memahami kehidupan masyarakat suku Karo terutama dalam pelaksanaan upacara nengget dan untuk memperoleh data yang akurat terhadap suatu objek, sehingga dapat memberi manfaat bagi masyarakat Karo khususnya yang masih meyakini dan melaksanakan upacara nengget ini.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
1.5.Tinjauan Pustaka Masyarakat adalah pendukung suatu kebudayaan, baik itu masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Dimana dalam kenyataan hidup bermasyarakat. Kebudayaan mempunyai arti penting dalam mempengaruhi prilaku dan cara berpikir para anggotanya. Kebudayaan menurut Suparlan (1983) adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapinya serta untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Sikap pada dasarnya berada pada diri seseorang individu, namun meskipun demikian sikap biasanya juga
dipengaruhi
oleh
nilai-nilai
budaya
tersebut
(Suparlan
dalam
Koentjaraningrat, 1981:26). Upacara tradisional merupakan salah satu manifestasi dari kreasi manusia sebagai mahluk sosial, yang terlahir dalam bentuk upacara tardisional dengan berbagai jenisnya seperti, kelahiran, kematian, dan perkawinan. Umunya kepercayaan tradisional terdapat pada kalangan masyarakat pedesaan berkaitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan mereka. Upacara tradisional adalah upacara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu kala sampai sekarang dalam bentuk yang relatif tetapi dalam upacara tradisional merupakan kegiatan nasional yang melibatkan para warga masyarakat, dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan bersama (Koentjaraningrat, 1989:225). Upacara tradisional banyak kita jumpai atau kita lihat dari lingkungan masyarakat yang ada di sekitar kita. Dalam kaitannya dapat terbaca melalui tingkah laku resmi warga masyarakat yang dilakukan dalam peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan kekuatan supernatural atau gaib. Kekuatan itu dapat
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
berupa kekuatan roh-roh, mahluk-mahluk halus dan kekuatan sakti. Terutama mengenai mengapa manusia percaya kepada sesuatu kekuatan yang lebih tinggi dari padanya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dan cara-cara yang beraneka ragam untuk mencari hubungan denagan kekuatan yang dipercayainya (Koentjaraningrat, 1981:251). Hal itu terjadi pada masayrakat Ndembu, Upacara merupakan ikatan utama antar orang dan antar kelompok. Menurut Victor Turner (1968:21) upacaraupacara di masyarakat Ndembu dapat digolongkan ke dalam dua bagian, diantaranya upacara krisis hidup dan upacara gangguan. Yang dimaksud dengan upacara krisis hidup di sini adalah upacara-upacara yang diadakan untuk mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami oleh manusia karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Sedangkan upacara gangguan adalah: masyarakat Ndembu menghubungkan nasib sial dalam kegiatan mereka sehari-hari seperti, berburu, ketidak teraturan reproduksi pada kaum wanita dan bentuk panyakit lainnya. Roh leluhur mengganggu mereka sehingga membawa nasib sial. Upacara adat merupakan keperluan simbolis manusia yang mengharapkan keselamatan. Upacara adat itu sendiri merupakan rangkaian tindakan yang ditata oleh adat yang berlaku yang berhubungan dengan berbagai peristiwa (Subagyo, 1981:116). Sedangkan (Koentjaraningrat, 1977:241) berpendapat bahwa upacara timbul karena adanya dorongan perasaan manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib. Semua unsur yang ada di dalamnya baik itu saat upacara, benda-benda yang digunakan, juga orang-orang yang terlibat di dalamnya dianggap keramat.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Suatu upacara dapat dilihat sebagai suatu pertunjukan simbol, pertunjukan simbol ini biasanya dilakukan melalui berbagai bentuk pertukaran yang pada pokoknya melibatkan pihak pemberi dan pihak penerima. Namun pertukaran bukan hanya berbentuk sifat ekonomis tetapi juga bersifat menyeluruh., yang merangkum aspek-aspek kehidupan. Adapun aspek-aspek kehidupan tersebut adalah : politik, religi,seni, pengetahuan, pertukaran berdasarkan pada klasifikasi sosial dengan cara hubungan-hubungan sosial yang diperoleh baik melalui keturunan, perkawinan, maupun transaksi-transaksi sosial lainnya. Demikian juga melalui pertukaran mencoba mengupayakan kesehatan maupun keselamatan secara umum yang pada prinsipnya bersumber dari pikiran-pikiran tentang adanya hubungan sakral dari benda-benda yang dipertukarkan dengan kategori-kategori sosial (Mauss, 1992:225). Memahami upacara berarti juga harus mempelajari simbol-simbol yang digunakan dalam upacara tersebut. Dalam hal ini simbol merupakan manifestasi yang nampak dari ritus tersebut, simbol-simbol selalu digunakan dalam ritus. Maka Victor Turner (1968) menegaskan bahwa tanpa mempelajari simbol yang dipakai dalam suatu upacara maka kita akan merasa sulit untuk memahami upacara tersebut dan masyarakat-masyarakatnya. Sedangkan untuk melihat konsep tentang upacara nengget dari sudut pandang orang Karo peneliti harus menguasai bahasa setempat. Sehubungan dengan penguasaan bahasa lokal, Malinowski mengisyaratkan kepada para peneliti, hanya melalui kominikasi dari warga masyarakat yang diteliti itulah seorang peneliti dapat memperoleh pengertian yang mendalam tentang gejala-gejala sosial yang ditelitinya (Malinowski dalam Koentjaraningrat 1987) Boas mengatakan “ jika tujuan kita
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
sungguh-sungguh untuk memahami pikiran suatu masyarakat maka seluruh analisa pengalaman harus didasarkan pada konsep-konsep mereka, bukan konsep kita” (Boas dalam Spradley 1997:28). Beberapa penelitian yang pernah di lakukan berkatian dengan upacara tradisional diantaranya adalah : upacara tolak bala yang di lakukan Elisabet (1992). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Upacara tolak bala ini bertujuan untuk menolak, melenyapkan atau penawar bencana yang menimpa warga masyarakat yang bersangkutan. Diharapkan, setelah melaksanakan upacara tolak bala akan tentram dan tenang. Selain upacara tolak bala masih ada lagi penelitian yang berhubungan dengan pengobatan tradisioanal seperti, upacara cawir bulung yang dilakukan Tarigan (1990). Upacara cabur bulung adalah perkawinan antara seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Tetapi tidak sama halnya dengan pasangan suami istri yang sah menjadi miliknya melainkan hanya sebagai “simbol”. Tidak semua orang Karo mengalami perkawinan tersebut. Upacara cabur bulung dilakukan karena anak yang akan di cabur bulungkan tersebut sering sakit-sakitan, mendapat mimpi buruk, sehingga terasa menggangu hidupnya. Menurut orang Karo, wajarlah bila upacara cabur bulung dilaksanakan agar anak tersebut tidak sakit-sakitan lagi dan tidak lagi mendapat mimpi buruk (Tarigan 1990). Sehubungan dengan upacara nengget ini menurut peneliti sangat menarik untuk diteliti karena upacara nengget ini beda dari upacara-upacara lainnya yang ada pada masyarakat suku Karo.Pada masyarakat Karo banyak sekali jenis-jenis upacara yang dapat kita temui diantaranya: ndilo wari udan, erpangir kulau, ngarkari, muncang, dan masih banyak lagi. Perbedaan dari upacara nengget dari
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
upacara-upacara lainnya adalah terlihat bahwa pada upacara nengget segala sesuatu atau rencana pelaksanaanya sangat dirahasiakan dan apabila keluarga yang akan disengget tersebut mengetahui tentang rencana pelaksanaan nengget ini maka upacara ini dinyatakan batal. Karena jika upacara ini masih tetap dilaksanakan juga namun keluarga tersebut sudah mengetahui rencana pelaksanaan upacara tersebut maka upacara nengget ini dikatakan tidak berhasil dan sia-sia.
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Tipe Penelitian Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu memberikan gambaran tentang upacara nengget. Yakni upacara tradisional masyarakat karo yang berkaitan dengan pengobatan tradisional yang sampai saat ini masaih mampu bertahan secara berdampingan dengan pengobatan modern. Menurut Whitney (1960), penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandanganpandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. 1.6.2. Teknik Pengumpulan Data Ada dua macam data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. 1.6.2.1. Data Primer Untuk mendapatkan data primer digunakan :
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
1.6.2.1.a. observasi atau pengamatan Dalam melakukan observasi2 atau pengamatan, peneliti perlu membuka dan menjalin kerjasama yang baik dengan para informannya. Hal ini bertujuan untuk menjalin kerjasama yang baik dengan para informan yang diteliti untuk melakukan suatu perubahan yang mengarah perbaikan, sesuai dengan kehendak dan kebutuhan. Peneliti harus terjun langsung ke lapangan tempat penelitian sehingga data yang diharapkan dapat diperoleh secara akurat dan jelas. Dalam hal ini peneliti sudah pernah menyaksikan secara langsung proses dan pelaksanaan upacara nengget tersebut. Di sini peneliti dapat melihat bagaimana gambaran tentang pelaksanaan upacara nengget tersebut . Paling jelas peneliti dapat melihat adalah bagaimana keluarga yang belum memiliki keturunan dikejutkan dan disiram dengan air si malem-malem. 1.6.2.1.b.Informan Informan dalam penelitian ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu: informan pangkal, informan kunci, dan informan biasa. Informan pangkal adalah orang yang mengetri suatu masalah, namun bukan ahlinya dan dari informan ini biasanya kita bisa bisa mendapatkan informasi lain. Informan kunci adalah orang yang mempunyai keahlian mengenai suatu masalah. Sedangkan informan biasa adalah orang-orang yang mengenali suatu masalah penelitian tetapi tidak begitu tahu akan penjelasan lebih dalam terhadap masalah yang dikaji. Spradley
2
observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera sebagai alat bantu utamanya selain panca indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit. Karena itu obserfasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakn pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dinbantu dengan panca indera lainnya. Seseorang yang melakukan pengamatan tidak selamanya menggunakan panca indera mata saja tetapi selalu mengaitkan apa yang dilihatnya dengan apa yang dihasilkan oleh panca indera lainnya seperti apa yang Ia dengar, apayang Ia cicipi, apa yang Ia cium dari penciumannya dan bahkan dari apa yang Ia rasakan dari sentuhan-sentuhan kulitnya (Bungin, 2002:115).
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
mengidentifikasikan lima persyaratan minimal untuk memperoleh informasi yang baik, yaitu: 1. enkulturasi penuh, maksudnya informan mengetahui budaya mereka dengan baik tanpa harus memikirkannya. Mefeka melakukan berbagai hal secara otomatis dari tahun ketahun. 2. keterlibatan langsung, maksudnya informan harus terlibat dalam suasanakebudayaan mereka dan menerapkannya setiap hari. 3. suasana budaya yang tidak dikenal. 4. waktu yang cukup, maksudnya pada saat melakukan wawancara waktu diharapkan sesuai dengan kondisi informan. 5. non analitis, maksudnya informna yang baik memberikan penjelasan berdasarkan konsep mereka, bukan konsep dari luar (Spradley, 1997:61-70). Dalam penelitian ini yang menjadi informan pangkal adalah para pengetua adat atau orang-orang yang dituakan di desa tersebut. Sedangkan untuk informan pokok adalah para keluarga yang sudah pernah melaksanakan kegiatan upacara nengget. Sedangkan untuk informan ke tiga adalah informan biasa yaitu warga masyarakat desa setempat. 16.2.1.c. wawancara Ada dua macam wawancara yang dilakuakn dalam penelitian ini yaitu : wawancara mendalam (depth interview) dan wawancara bebas. 1.6.2.2.1. Wawancara mendalam Wawancara mendalam3 dilakukan dengan pedoman wawancara atau interview guide yang di tujukan pada informan-informan kunci seperti tokoh adat, kepala desa, serta anggota masyarakat di lokasi penelitian yang pernah melakukan
3
wawan cara mendalam secara umum adalah proses memperolej keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang akan diwawncarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawncara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian kekhasan wawancara mendalam adalah ketyerlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin, 2002:108)
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
upacara nengget. Fungsi dari interview guide ini hanya sebagai panduan bagi peneliti agar pertanyaan yang diajukan tidak lari dari pokok permasalahan. 1.6.2.2.2. Wawancara bebas Wawancara yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang dapat beralih dari satu pokok lain dan tidak terikat pada satu pusat pokok masalah sehingga data yang terkumpul bersifat beraneka ragam (Suyono1985;437). Dalam metode wawancara bebas, peneliti terlebih dahulu meneliti atau memasuki lapangan penelitian dan melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat supaya mendapatkan hasil wawancara yang baik. Data yang didapat dari wawancara dijadikan sebagai data tambahan sehingga data yang diperoleh sebelumnya menjadi lebih lengkap dan akurat. 1.6.2.2. Data Sekunder Data sekunder di kumpulkan melalui perpustakaan seperti, melalaui buku (literatur), hasil-hasil penelitian, informasi dari internet dan catatan-catatan yang ada pada lembaga terkait seperti kantor kecamatan dan kantor lurah setempat. Data sekunder di perlukan untuk melengkapi data primer. 1.6.3 Analisa Data Analisa data merupakan proses mengatur data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola. Setelah data-data diperoleh dari lapangan akan diteliti kembali, diedit untuk melihat kembali lengkapnya hasil wawancara dari daftar interview guide. Setelah data dipelajari dan ditelaah, maka langkah selanjutnya adalah diadakan reduksi data dengan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
mengadakan keabsahan data. Pengolahan dan analisa data ini bertujuan untuk menghasilkan data yang lebih lengkap dan akurat.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
BAB II JENIS-JENIS UPACARA YANG ADA PADA MASYARAKAT KARO
2.1. Letak Lokasi Dan Keadaan Penduduk Desa Saran Padang Desa Saran Padang merupakan desa yang subur, mempunyai tanah yang mempunyai unsur humus berwarna hitam dan juga banyak mengandung unsur hara, luas tanah dan tata guna Desa Saran Padang sekitar 292 Ha.Desa Saran Padang merupakan desa yang sudah maju dan desa yang mudah dijangkau dengan prasarana transportasi darat. Pemanfaatan lahan desa Saran Padang terdiri dari: ladang seluas kurang lebih ± 82 Ha, kebun 22 Ha, pemukiman 75 Ha, pekuburan 1 Ha, tanah kosong 102 Ha, dan sisanya pegunungan. Tanah di desa ini sebagian bergelombang dan terjal, tanah yang datar atau areal yang lapang digunakan sebagai tempat untuk perumahan dan juga untuk perladangan. Desa Saran Padang terletak pada ketinggian kurang lebih ± 1.200 -1500 dpl (di atas permukaan laut), dan curah hujan rata-rata antara 2400 mm – 2600 mm, dengan hari hujan rata-rata 16 hari. Curah hujan seperti ini sanagat mempengaruhi kualitas pertanian di desa ini. Musim kemarau hanya terjadi pada bulan juli – agustus.Sedangkan kelembaban udara maksimum mencapai 95 % dan minimum 85 % . hal ini pula yang menyebabkan daerah ini pada siang hari dan malam hari terasa sangat dingin. Kelembaban udara sangat mendukung perekonomian pada sektor pertanian. Temperatur pada siang hari berkisar antara 24 – 27 °C dan pada malam hari berkisar antara 18 - 20°C. Desa Saran Padang mempunyai 4 dusun, masing-masing dusun I, dusun II, dusun III, dan dusun IV yang pemukimannya menyatu. Masing-masing dusun dikepalai oleh kepala dusun,
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
yang berfungsi untuk mempercepat proses administrasi. Adapun batas-batas dari desa Saran Padang adalah sebagai berikut: •
Utara
: pegunungan Bukit Barisan
•
Selatan
: Desa Purba Tua
•
Barat
: Desa Paribuan
•
Timur
: Kabupaten Deli Serdang
Keadaan penduduk merupakan gambaran dari berbagai lapisan masyarakat yang bermukim dan bertempat tinggal di suatu tempat. Penduduk desa Saran padang terdiri dari 298 kepala keluarga (KK), dengan jumlah penduduk keseluruhannya 1.325 jiwa, yang terdiri dari 657 jiwa laki-lakidan perempuan 668 jiwa, dan mayoritas penduduk desa ini adalah suku karo dan simalungun. Demikan juga halnya dengan keyakinan yang dianut di Desa ini, mayoritas agama Kristen protestan, Katolik, dan hanya sebagian kecil yang menganut agama Islam. Jumlah penduduk yang beragama Kristen Protestan 1.218, sedangkan untuk Katolik 96, dan untuk Islam hanya 39. Mayoritas penduduk Desa Saran Padang ini bertani dan hanya sebagian kecil saja yang berpropesi sebagai pegawai Negri dan Swasta. Masyarakat Desa Saran Padang mengenal berbagai sistem kesatuan hidup setempat. Beberapa kesatuan hidup setempat seperti : sopo, rumah atau jabu , kesain, dan kuta. Sopo adalah tempat untuk berteduh jika hari sedang hujan atau hari sangat terik. Sopo ini biasanya berada di ladang atau di sawah. Selain itu sopo juga dipergunkan sebagai gudang penyimpanan alat-alat untuk bekerja di ladang atau di sawah. Selain untuk kegunaan diatas sopo juga digunakan sebagai tempat tinggal para buruh tani yang berasal dari luar daerah ini dan kebanyakan beretnis jawa.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Jabu atau rumah adalah keluarga inti yang kecil. Bentuk yang lebih besar dari jabu adalah kesain atau pekarangan rumah yang merupakan kesatuan hidup. Kumpulan dari kesain membentuk satu kuta
dan dalam satu kuta ada satu
peminpin kuta yang disebut pangulu atau penghulu. Biasanya yang menjadi pangulu adalah orang yang bermarga tarigan karena yang bermarga tarigan ini diyakini sebagai oarang yang pertama kali mendiami atau membangun desa Saran Padang ini. Akan tetapi karena kemajuan jaman dan sudah bercampurnya suku bangsa yang mendiami desa ini maka kebiasaan itu hilang. Kondisi rumah bila ditinjau dari segi bangunan maupun dari segi kesehatan sudah cukup baik. Sebagian rumah sudah terbuat dari batu (permanen) dan sebagian lagi terdiri dari papan (semi permanen), dan pada umumnya bentuk rumah di desa ini sudah mengikuti bentuk rumah di kota. Tepat di tengah desa terdapat jambur atau losd yang digunakan masyarakat setempat sebagai tempat untuk melaksanakan upacara seperti pesata perkawinan, upacara kematian, dan juga sebagai tempat musyawarah Desa. 2.1.1. Latar Belakang Sosial Budaya a. Bahasa bahasa yang digunakan penduduk setempat dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa daerah. Bahasa daerah yang digunakan antara lain bahasa karo, bahasa batak toba, dan bahasa simalungun. Masing-masing penduduk tau dan dapat menggunakan ketiga bahasa ini, baik anak-anak, pemuda-pemudi, hingga orang tua. Ketiga bahasa ini digunakn dalam segala aktivitas mereka untuk memperlancar komunikasi. Sedangkan bahasa indonesia hanya digunakan di
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
sekolah, bahkan pada kantor pemerintah setempat yaitu kantor kepala desa, bahasa yang digunakan pegawai kantor itu adalah bahasa daerah juga. b. Seni kesenian tradisional sudah jarang dilakukan sepenuhnya di desa ini, dimana rumah tradisional tidak dapat lagi ditemukan, pada saat pesta adat seni musik tradisional juga tidak digunakan lagi, kecuali untuk pakain ulos dan uis gara pada pesta adat. Bentuk rumah di desa sudah hampir sama bentuknya sehingga kita tidak dapat lagi membedakan rumah antar suku bangsa yang berbeda. Tata dekorasi di dalam rumah dan halaman juga hampir sama untuk keseluruhan. c. Religi Koentjaraningrat (1974:142) membedakan antara agama, relegi dan kepercayaan. Agama adalah semua agama yang secara resmi diakui pemerintah, relegi adalah sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secera resmi seperti Konghucu, dan berbagai aliran kebatinan, sedangkan kepercayaan mempunyai arti yang khas ialah komponen kedua dalam tiap agama maupun relegi. Walaupun Koentjaraningrat membedakan antara agama, relegi dan kepercayaan, perbedaan ini hanyalah memudahkan pemahaman saja, sedangkan inti dari antara agama, relegi dan kepercayaan, sama yaitu percaya akan adanya Yang Maha Tunggal (Tuhan), sebagai Penguasa Tunggal. Menurut Rijoatmodjo (1953:110), pada suku Batak terdapat tiga tingkatan kepercayaan; tingkatan pertama percaya akan adanya Sang Pencipta Alam. Sang pencipta ini bersemayam di langit yang tinggi, tingkatan kedua, tempat berdiamnya Batara Guru, Soripada, Manggala Bulan, dan tingkatan ketiga tempat bersemayamnya para dewa dan ruh. Dalam masyarakat
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Karo tingkatan kepercayaan ini, tingkat pertama disebut dengan Guru Butara, tingkat kedua disebut Tuhan Padukah ni Aji dan tingkat ketiga disebut Tuhan Banua Koling. Ketiganya disebut Satu Debata (Tuhan Yang Esa). Kepercayaan seperti ini disebut juga agama Pelbegu. Dalam pandangan Tambun (1953), agama Pelbegu ini banyak persamaannya dengan agama Hindu. Tetapi agama pelbegu ini bukanlah agama Hindu, kemungkinan agama pelbegu ini dipengaruhi agama Hindu besar sekali. Pandangan terhadap pelbegu ini kemudian berubah menjadi negatif, malah dianggap sebagai bukti dari sebuah kebiadapan. Pelbegu diidentikkan dengan "orang bodoh", orang bodoh yang tidak mengikut i aliran zaman, penduduk 'pedalaman yang dalam segala hal tertinggal' demikian kata Fischer (1954:122). Agama Pelbegu disebut juga agama pemena. Pemena artinya adalah pertama. Agama pertama yang masuk ke Indonesia adalah agama Hindu, maka agama Hindu inilah agama universal yang pertama datang ke wilayah Nusantara termasuk Karo. Inti dari ajaran agama ini adalah selain percaya akan adanya Yang Maha Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), sebagai pencipta langit dan bumi beserta semua isinya, juga percaya masih ada kekuatan lain yang dapat membantu mereka selama hidup di muka bumi ini. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka menekankan pemujaan kepada kekuatan yang dianggap langsung dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka selain ingin hidup aman aman dan damai di dunia, juga ingin selamat sampai ke akhirat. Dalam masyarakat Karo percaya akan adanya Yang Maha Esa, suatu bukti, suatu kesadaran akan adanya kekuatan-kekuatan di luar diri manusia, di luar kelompoknya. Kesadaran ini mereka ekspresikan ke dalam beberapa perbuatan dan kegiatan. Bentuk ekspresi
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
kepercayaan mereka ini adalah: Silan, silan ini adalah suatu kepercayaan yang menganggap pohon-pohon kayu yang besar atau batu yang besar dianggap ada mahluk halus sebagai penghuinya. Agar penghuninya tidak mengganggu, maka kepadanya disediakan persembahan. Pagar. Pagar adalah roh nenek moyang yang menjadi pelindung keluarga. Pagar ini merupakan pemujaan penduduk kampung sebagai pengormatan kepada arwah leluhur. Letak pagar ini umumnya di sekeliling kampung. Buah Huta-Huta. Buah Huta-Huta sama dengan pagar, bedanya, Buah Huta- Huta ini lokasinya di tengah kampung. Ndilo Tendi, memanggil roh orang yang telah memanggil dunia untuk diajak berdialog dengan keluarganya, melalui perantaraan seorang dukun wanita. Erpangir Kulau. Erpangir Kulau adalah satu kebudayaan masyarakat Karo yang bersifat kepercayaan, fungsinya untuk membersihkan diri, agar terhindar dari berbagai kesulitan, malapetaka dan lain sejenisnya. Kegiatan ini dapat dilakukan perorangan maupun bersama keluarga. Pelaksanaan kegiatan ini dipimpin oleh seorang dukun yang disebut Guru Sibaso. Perumah Begu. Perumah Begu adalah salah satu kepercayaan. Dalam kepercayaan ini masyarakat Karo percaya orang yang telah meninggal dunia, rohnya dapat dipangggil dan diajak berdialog, melalui seorang dukun (Guru Sibaso). Untuk melaksanakan upacara, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, dan ada tahap-tahap tertentu yang harus dilalui. Nengget. Nengget adalah upacara yang dilakukan terhadap suami istri yang sudah lama berumah tangga, tetapi belum juga dikarunia anak. Atau kepada pasang suami istri yang jenis kelamin anaknya hanya wanita saja. Melalui upacara nengget (membuat terkejut), diharapkan ada perubahan, bagi pasangan suami istri yang belum
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
dikarunia anak, diharapkan akan mendapat anak. Bagi pasangan suami istri yang anaknya semua misalnya wanita saja, diharapkan akan segera mendapatkan anak laki-laki, sebagai penerus klen suaminya. Ngarkari adalah upacara untuk menghindarkan keluarga dari kemalangan atau kesialan. Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun yang disebut Guru Sibaso. Perselihi adalah upacara untuk menghindari kemalangan yang mungkin terjadi di `dalam sebuah keluarga. Ngulakken adalah upacara pengobatan dari sesuatu penyakit. Ngeluncang, adalah upacara pengobatan terhadap sesuatu penyakit yang dibuat oleh orang lain, atas bantuan si dukun, penyakit tersebut dikembalikan kepada sipembuatnya. Njunjungi Beras Piher adalah upacara ritual mengusir roh-roh jahat dari desa, sehingga masyarakat desa terhindar dari segala malapetaka. Selain tersebut di atas masyarakat Karo juga percaya kepada Jinujung. Jinujung adalah roh pelindung seseorang. Kemudian ada lagi yang disebut Guru, guru ini adalah orang yang mempunyai indra keenam, fungsinya selain sebagai "dokter" juga sebagai peramal. Demikian juga halnya di Desa Saran Padang masih meyakini berbagai upacara religi. Walaupun Di Desa Saran Padang ini sudah menganut agama modren namun penduduknya masih mempercayai atau melakukan ritual kepercyaan kuno, seperti melakukan upacara nengget untuk masyarakat karo.
2.2. Erpangir Ku Lau Erpangir ku lau berasal dari kata pangir, yang berarti langir, oleh sebab itu erpangir artinya adalah berlangir. Pada tulisan ini penulis tidak membahas pengertian berlangir dalam keadaan biasa, misalnya : seperti mencuci rambut atau
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
keramas. Akan tetapi arti erpangir dalam upacara religius menurut kepercayaan tradisional Karo. Jadi, erpangir
adalah suatu upacara religius berdasarkan
kepercayaan tradisional suku Karo ( pemena ), dimana seseorang/keluarga tertentu melakukan upacara berlangir dengan/tanpa bantuan dari guru, dengan maksud tertentu. Pada masa lalu Kebudayaan Erpangir Ku Lau merupakan kegiatan Sakral bagi masyarakat Suku Karo, yaitu mandi ke sungai dengan memberi sesajen agar kelak di kemudian hari diberkati Tuhan Yang Maha Esa. Acara erpangir ku lau samapi saat ini masih ada di beberapa tempat yang dilaksanakan dalam upacara perkawinan, membuat nama anak dan menolak penyakit yag dibuat oleh roh -roh jahat. Erpangir merupakan suatu teknik penyembuhan pada orang Karo yakni penyembuhan yang dilakukan dengan upacara yang di dalamnya mengakup kesurupan, iringan mysik tradisional, nyanyian, penggunaan mantra, dan memberikan ramuan dibagian tubuh. Erpangir berfungsi untuk menolak bala atau menolak mara bahaya yang menimpa suatu keluarga atau individu. Adapun jenis bala yang ditolak dalam upacara erpangir ku lau ini adalah: 1) Berasal dari luar individu, yaitu perbuatan seseorang iri hati terhadap individu tersebut yang mungkin karena konflik atau masalah tertentu dan mungkin karena adanya gangguan dari mahluk halus. 2) Berasal dari diri individu itu sendiri, yaitu karena kelalaian-kelalaian dari individu. Sebagai contoh misalnya individu tersebut berguru kepada seseorang untuk memperoleh ilmu kekebalan tubuh. Kenyataannya yang diberikan oleh guru tempatnya berguru tersebut bukan hal yang baik
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
sehingga tubuhnya tidak dapat menerima ilmu tersebut dan menjadikannya sakit. Selain
fungsinya sebagai penolak
bala, erpangir juga berguna untuk
menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam menyembuhkan penyakit erpangir tidak dapat dipisahkan dari praktek-paraktek penyembuhan yang ada pada masyarakat Karo. 2.2.1. Alsan-alasan Erpangir Ada beberapa alasan mengapa seseorang/keluarga tertentu mengadakan upacara erpangir. Adapun alasan-alasan itu, adalah : a) Upacara Terima Kasih Kepada Tuhan Atau Dibata Dalam hal ini erpangir sebagai upacara terima kasih dan syukur kepada Dibata (Tuhan) yang telah memberikan rahmat tertentu. Misalnya : memperoleh keberuntungan, terhindar dari kecelakaan, memperoleh hasil panen yang berlimpah, sembuh dari penyakit, dan lain sebagainya. b) Menghindarkan suatu malapetaka yang mungkin terjadi. Dalam hal ini orang Karo melakukan upacara erpangir sebagai upaya untuk menghindarkan suatu malapetaka yang akan terjadi, itu biasanya sudah terlebih dahulu diterka melalui firasat atau suatu mimpi yang buruk, atau berdasarkan keterangan dan saran dari guru. c) Menyembuhkan suatu penyakit . Erpangir adakalanya juga diadakan sebagai upaya untuk mengobati suatu jenis penyakit tertentu. Misalnya untuk mengobati orang gila, atau yang diserang oleh begu atau roh jahat. d) Mencapai maksdud tertentu. Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Erpangir juga dilakukan sebagai upaya untuk memohon sesuatu kepada Tuhan, misalnya agar cepat mendapatkan jodoh, mendpat keberuntungan, memperoleh kedudukan yang baiak, dan lain sebagainya. 2.2.2. Jenis-jenis Erpangir Upacara erpangir ku lau dapat dibedakan tiga jenis berdasarkan besar kecilnya upacara tersebut dilakukan. Besar kecilnya jenis upacara ini terkait dengan jumlah peserta upacara atau kerabat yang terlibat dalam upacara tersebut dan jenis hewan yang disembelih. Disamping itu juga berpengaruh kepada tempat pelaksanaan upacara. Meskipun sebenarnya kategori ini tidak sepenuhnya dipakai khusus untuk upacara erpangir ku lau, tetapi biasa kegiatan erpangir ku lau merupakan suatu runtutan dari upacara utama, misalnya kegiatan erpangir ku lau diadakan karena akan dilaksanakan upacara perkawinan, dan sebagainya. Jadi sebenarnya pengelompokan jenis yang dimaksud adalah pengelompokan berdasarkan upacara perkawinan tersebut. Namun khusus untuk upacara erpangir ku lau bisa saja dilakukan dalam bentuk besar sampai bentuk yang paling kecil, yaitu ritual erpangir yang dilakukan oleh pribadi-pribadi. Adapun jenis-jenis dari upacara erpangir ku lau ini adalah : 1. Pangir Selamsam Pangir Selamsam adalah suatu pangir yang paling kecil, pangir Selamsam biasanya disebut juga sebagai kerja singuda karena jenis upacaranya lebih kecil dan singkat, dimana peralatannnya hanya terdiri dari : rimo (jeruk purut), baja (getah kayu besi), minyak kelapa, dan sebuah mangkuk putih untuk tempat pangir. Pertama-tama mangkuk diisi dengan air putih, kemudian belah jeruk purut dan peras ke dalam mangkuk, lalu masukkan baja dan minyak ke dalam mangkuk
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
tersebut, maka pangir sudah jadi. Pangir selamsam ini biasanya dilakukan karena mendapat mimpi buruk. Upacara ini biasanya cukup dihadiri oleh sangkep nggeluh dari unsur-unsur anggota keluarga yang paling dekat saja, dimana peranan masing-masing individu tersebut sangat penting dalam proses adat yang berlaku bagi masyarakat Karo. Unsur-unsur telu sedalanen seperti kalimbubu, anak beru dan senina, tidak semuanya terlibat. Dalam upacara pangir Selamsam ini, biasanya hewan yang disembelih cukup hanya hewan yang berkaki dua saja, misalnya ayam. Waktu dan pelaksanaan upacara ini biasanya dilakukan pada saat hari belah purnama raya, yaitu pada hari-hari ketika bulan purnama. Waktunya biasa dilakukan pada malam hari dan sendirian di sebuah sungai atau di tempat pemandian umum pada malam hari. 2. Pangir Sintengah. Pangir sintengah adalah suatu sebutan untuk pesta atau upacara yang sifatnya menengah. Upacara ini merupakan satu tingkat dibawah upacara yang termasuk dalam kategori kerja sintua. Pada upacara jenis ini meskipun juga melibatkan unsur-unsur sangkep nggeluh kerabat, namun tidak selengkap anggota kerabat yang terlibat dalam upacara kerja sintua. Dalam kerja sintua hampir melibatkan seluruh kerabat yang jauh dan dekat, serta penduduk kampung. Namun dalam kerja sintengah unsur-unsur kerabat yang diundang pada umumnya kerabat yang memang terlibat dalam kegiatan adat dalam sebuah keluarga tertentu. Hal inilah yang menyebabkan sehingga upacara ini dinamakan kerja sintengah.Hewan yang disembelih dalam upacara ini juga biasanya hewan yang berkaki empat, hewan yang dimaksud berkaki empat dalam hal ini adalah
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
kambing, lembu, babi, dan kerbau. Adapun perlengkapan yang diperlukan dalam pangir sintengah ini adalah terdiri dari : penguras, yakni ramuan dari air (air kelapa muda), jeruk purut, baja, minyak kelapa. a. Empat jenis jeruk, tetapi jeruk purut (rimo mukur) harus ada. b. Kudin taneh (kuali yang terbuat dari tanah), sebagai tempat penguras (pangir). c. Dilakukan di lau sirang (di tempat air mengalir terbelah menjadi dua aliran). d. Memakai pertolongan guru. 3. Pangir Mbelin (Agung) Pangir mbelin disebut juga sebagai kerja (Pesta) sintua merupakan pesta yang paling besar yang ada pada masyarakat Karo. Pada pesta ini harus melibatkan seluruh sangkep nggeluh, yaitu orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan yang empunya hajatan serta seluruh anak kampung dimana pesta tersebut dilaksanakan. Pada upacara ini biasanya hewan yang disembelih adalah sapi (lembu). Dalam kerja sintua ini seluruh kerabat yang dikenal dengan sangkep nggeluh, yang terdiri dari tiga unsur yaitu kalimbubu (pihak pemberi wanita), senina (saudara-saudara yang melakukan hajatan), dan anak beru (pihak penerima wanita). Masing-masing pihak dalam tiga status sosial tersebut mempunyai peranan masing-masing serta bagaimana mereka berlaku dalam upacara tersebut. Misalnya anak beru biasanya mempersiapkan segala sesuatunya seperti memasak makanan untuk seluruh peserta upacara tersebut, dan mengatur segala sesuatunya untuk keberhasilan upacara pihak kalimbubunya. Demikian juga dengan pihak senina dan kalimbubu mempunyai fungsi dan
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
peranan masing-masing dalam setiap upacara maupun dalam kegiatan sehari-hari. Meskipun pelaksanaan upacara adat yang terkait dengan erpangir ku lau dilangsungkan di Jambur, namun upacara erpangirnya sendiri tetap diadakan di sungai. Dalam kegiatan ini biasanya tidak hanya menggunakan alat musik yang relatif kecil, yaitu gendang telu sedalanen saja, tetapi juga menggunakan gendang yang lebih besar yang disebut dengan gendang lima sedalanen. Dalam upacara ini juga diadakan landek (menari) sesuai dengan peranannya masing-masing dalam upacara tersebut. Dalam pelaksanaan pangir ini juga memerlukaan peralatanperalatan sebagai berikut : a. penguras b. tujuh jenis jeruk, jeruk purut harus ada c. wajan (belanga), sebagai tempat penguras (pangir). d. Dilakukan di lau sirang. e. Diletakkan di atas sagak (corong bambu) dan disampingnya diberi janur (lambe). f. Pada zaman dahulu jenis ini pangir diikuti dengan bunyi senapan. g. Erkata gendang (memakai alat musik Karo). Pada umumnya setiap pangir, selalu dimantrai (itabasi) atau disebut imangmangi, tabas (mantra) ini biasanya diucapkan oleh guru dengan menembangkannya atau dinyanyikan. Tabas ini dipercayai mempunyai kekuatan magis untuk mempengaruhi atau menyembuhkan penyakit tertentu. Tabas (mantra) dalam bahasa Karo, dimulai dengan berbagai jenis kata pembukaan.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
2.2.3. Peralatan dan makna peralatan dalam pelaksanaan erpangir ku lau Perlengkapan yang dibutuhkan untuk melakukan upacara ku lau adalah : a. Lau (sungai) Untuk melakukan upacara erpangir ku lau mutlak membutuhkan lau (sungai), karena bagi orang Karo pelaksanaan upacara ini harus di air yang mengalir. Air mengalir ini juga mempunyai makna membawa hal-hal yang tidak baik dalam tubuh seseorang. Sungai ini sendiri berbagai macam bentuknya, ada di sungai yang mengalir tunggal, ada di sungai yang membentuk beberapa anak sungai, dan ada juga yang dilakukan di sungai yang sudah dibangun menjadi tempat khusus sebagai tempat erpangir. b. Pangir (air keramas untuk ritual) Bahan utama pangir ini biasanya adalah rimo mukur (jeruk purut) dan lau (air), dan bahan-bahan dedaunan khusus yang diambil dari hutan, serta minyak wangi. Minyak wangi yang digunakan biasanya adalah minyak wangi cap air mata duyung. Banyaknya air pangir ini tergantung berapa banyak yang hendak ipangiri atau yang mau dikeramasi secara ritual. Biasanya pangir ini ditaruh dalam mangkuk mbentar atau mangkok putih yang terbuat dari bahan porselen dengan ukurannya relative kecil saja kira-kira seukuran dengan mangkok bakso. Namun apabila yang hendak erpangir berjumlah banyak, maka jumlah jeruk purut dan air yang dibutuhkan juga cukup banyak, maka tempat pangir ini juga biasanya di buat di dalam ember. c. Guru (pembimbing atau pemimpin ritual). Dalam upacara ritual erpangir dalam ketegori jenis upacara yang besar sampaii kecil (kerja sintua, kerja sintengah dan kerja singuda) peran guru sangat
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
penting hadir dalam upacara tersebut sebagai mediator sekaligus pembimbing jalannya upacara erpangir tersebut. Guru atau kadang juga disebut orang sebagai dukun atau tabib adalah orang yang mempunyai keahlian khusus untuk melakukan berbagai macam upacara ritual. Guru inilah yang kemudian berperan sebagai juru pangir atau yang memandikan atau mengkeramasi individu-individu yang terlibat dalam upacara tersebut. Guru diyakini dapat mengobati, menghilangkan hal-hal yang tidak berkenan (kotor), penyakit yang ada pada manusia. Dalam erpangir yang relative kecil, misalnya yang hanya dilakukan individu-individu saja, misalnya acara erpangir untuk membersihkan tubuh karena ada roh-roh tertentu yang berdiam dalam dirinya sebagai pelindung, misalnya begu jabu, maka kehadiran guru dalam acara erpangir tidaklah terlalu penting. Acara erpangir cukup dilakukan sendiri saja, karena dia sendiri telah mengerti apa permintaan roh-roh atau spirit yang ada dalam tubuhnya itu. Hal ini juga karena sebelumnya juga dia sudah melalui proses ipangiri oleh guru, sehingga dia juga dapat melakukan erpangir bagi dirinya d. Gendang Karo (musik pada masyarakat Karo) Gendang Karo yang dimaksud disini adalah perangkat ensambel musik yang dibutuhkan sebagai musik pengiring dalam pelaksanaan upacara tersebut. Orang Karo selalu menyebut yang terkait dengan musik dengan kata gendang. Oleh sebab itu pada masyarakat Karo kata gendang tersebut mempunyai makna jamak. Setidaknya ada lima pengertian gendang tersebut sesuai dengan konteksnya, yaitu: (1) gendang sebagai nama lagu: (2) gendang sebagai ensambel musik; (3) gendang sebagai instrument musik; (4) gendang sebagai repertoar; dan (5) gendang sebagai upacara. Gendang yang dimaksud dalam upacara erpangir ku
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
lau adalah gendang sebagai ensambel musik. Ensambel musik yang digunakan dalam erpangir ku lau adalah gendang telu sedalanen, yaitu sering juga disebut dengan gendang kulcapi. Ensambel musik ini dimainkan oleh tiga orang pemain yang diberi gelar si erjabaten. Ensambel ini terdiri dari tiga buah instrument musik, yaitu (1) kulcapi (long neck lute) sebagai pembawa melodi, yaitu gitar tradisional Karo dengan senar dua buah dengan interval kwint; (2) keteng-keteng, yaitu alat musik bersenar yang dipukul. Alat musik ini terbuat dari satu ruas bamboo betung, dan dari badan bamboo itu sendiri dibuat senar dua buah sebagai pengganti suara penganak (small gong) dan gung (gong); (3) mangkuk mbentar, yaitu mangkok putih. Disamping ensambel musik gendang telu sedalanen tersebut, sering juga digunakan gendang blobat. e. Si man pangiren (orang yang diupacarakan). Siman pangiren adalah orang yang hendak dikeramasi. Orang yang hendak dikeramasi ini adalah individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat yang ingin melakukan upcara ritual karena berbagai latar belakang. Namun tujuannya adalah pembersihan dari hal-hal yang kotor atau yang tidak diinginkan atau kemalemen ate. f.Belo cawir Belo cawir adalah sebutan untuk sirih yang sempurna, dalam arti daun sirih yang paling bagus. Sirih yang disebut cawir adalah tidak mempunyai robekan di daunnya, tidak berwarna bintik-bintik hitam, tidak daun sirih muda, tetapi cukup “tua”. Sirih yang bagus juga, serat sisi belakang daunnya biasanya berwarna ke merah-merahan, apabila warnanya hijau, maka itu tidak dikategorikan sebagai sirih, tetapi disebut gatap. Selain itu daun sirih ini juga
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
dilengkapi dengan perlengkapan lainnya yang merupakan satu kesatuan, yaitu mbako tabeh (tembakau), mayang (pinang yang sudah dibelah), kapur dan gamber (gambir). Kadang-kadang juga dibutuhkan rokok, rokok ini biasa sebagai persembahan kepada roh-roh yang diyakini datang di tempat upacara. Biasanya rokok tersebut dihisap oleh sang medium atau guru. Dan ini pertanda bahwa roh tersebut telah datang di tempat upacara. Sirih dan rokok seperti inilah yang dibutuhkan sebagai salah satu perlengkapan upacara erpangir ku lau. Orang yang mau dipangiri atau anggota kerabatnya juga biasanya memberikan belo cawir tersebut kepada sang guru untuk meminta tolong agar dibantu dan melaksanakan upacara erpangir tersebut. g. Cimpa Cimpa adalah kue tradisional khas karo yang terbuat dari tepung ketan di campur dengan gula. Cimpa ini biasa sebagai makanan, namun juga dapat dijadikan sebagai persembahan kepada roh-roh tertentu yang dianggap sakral dan keramat. 2.2.4. Waktu dan tempat pelaksanaan. Untuk melakukan upacara erpangir ku lau, terlebih dahulu harus dirembukkan dengan guru si meteh wari telu puluh, yaitu dukun yang mengetahui hari yang baik dan buruk, yang mengetehaui kapan pelaksanaan upacara tersebut yang paling baik dilaksanakan sehingga hasilnya juga diharapkan baik. Pada masyarakat Karo hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir dapat dilihat berdasarkan sistem penanggalan orang Karo sendiri. Tidak semua hari dapat dijadikan sebagai hari untuk melakukan upacara erpangir. Namun ada hari-hari tertentu yang diyakini sebagai hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
(berkeramas). Masyarakat Karo mempunyai sistem penanggalan sendiri yang disebut wari-wari Karo kelender Karo. Dalam Sistem penanggalan ini satu tahun dibagi menjadi dua belas bulan, satu bulan (paka) dibagi tiga puluh hari, satu hari dikelompokkan lagi menjadi bagian-bagian terkecil lagi yang tidak hanya mengenal malam, pagi, siang, sore dan malam, namun lebih rinci dari jam per jam. Berdasarkan hari-hari yang ada maka hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir adalah : (1). Nggara si mbelin (2). Adatia turun (3). Beras pati tanggkep (4). Cukera dudu (lau) (5). Belah purnama raya (6). Nggara enggo tula (7) Aditia turun Ketujuh hari tersebutlah merupakan hari yang baik menurut kepercayaan sidekah atau kepercayaan orang zaman dulu kala, sebagai hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir Tempat upacara erpangir ku lau tergantung kepada jenis upacara itu sendiri. Jika upacara ini merupakan upacara kerja sintua, maka kegiatan erpangir sendiri biasanya dilaksanakan di sebuah sungai atau di sebuah tempat di luar kampung yang telah ditentukan, tetapi upacara selanjutnua biasanya diadakan di jambur (balai pertemuan). 2.2.5. Peserta Upacara. Yang dimaksud peserta dalam kegiatan ini adalah orang-orang yang terlibat dalam upacara erpangir ku lau tersebut. Yang menjadi peserta tentunya
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
adalah tergantung kepada jenis upacara yang dilakukan, besar kecilnya. Ini berdampak kepada siapa-siapa saja yang akan terlibat di dalamnya selain orang yang akan dipangiri. Jika upacara erpangir ku lau upacara kerja sintua maka seluruh kerabat dan orang-orang kampung biasanya akan ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Namun jika erpangir ku lau dalam skala yang relative kecil, misalnya kerja singuda maka biasanya yang terlibat hanya kerabat-kerabat dekat saja. Demikian juga jika erpangir dilakukan oleh individu-individu karena mempunyai silengguri, yaitu jinujung yang hubungannya lebih bersifat pribadi, maka pesertanya cukup individu yang mempunyai jinujung itu sendiri. Dan pelaksanaannya juga cukup singkat saja, bahkan lebih rahasia, dan tidak diketahui oleh masyarakat luas. Pelaksanaannya pun biasanya malam hari pada saat bulan purnama dan sebagainya. 2.2.6. Pelaksanaan upacara erpangir ku lau. Upacara erpangir ku lau biasanya dilakukan pada pagi hari, atau disebut juga nangkih-nangkih matawari dalam bahasa Karo (naik-naik matawari) berangkat dari rumah ke sungai. Anak beru dari orang yang akan melaksanakan upacara tersebut membawa segala peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan upacara tersebut. Tiba di sungai anak beru menggelarkan tikar untuk orang yang akan dipangiri sebagai tempat duduk. Beberapa anak beru yang lain membuat anjab (suatu tempat persembahan) yang terbuar dari bambu dengan kaki pencagak sebanyak tiga buah, sehingga berbentuk meja yang berbentuk segitiga. Sedangkan guru atau dukun membuat cagak (suatu tempat berdoa) dengan membuat gundukan pasir sungai sebesar mangkok porselin, kemudian ditancapkan sebuah
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
ranting kayu di pasir tersebut untuk tempat kepitan sirih dan diatasnya dan disebelahnya diletakkan mangkok berisi air ramuan jeruk purut. Letak cagak dan ajab berdekatan, diatas ajab diletakkan berbagai jenis persembahan untuk roh-roh gaib antara lain : ayam, makanan, sirih, kelapa muda, dan kain putih. Kemudian guru membungkus kepalanya dengan kain putih dan berdiri menghadap cagak dengan tangan mengapit sehelai sirih dalam posisi menghormat sambil mengucap kata-kata persembahan kepada ro-roh gaib. Setelah itu guru meminpin upacara kemudian memotong jeruk dengan berbagai bentuk potongan yang kemudian dimasukkan kedalam sebuah baskom plastik yang berisi air yang diambil anak beru dari sungai. Setelah campuran air jeruk (pangir) selesai guru menyiram kepala yang akan dipangiri tersebut. Setelah selesai dipangiri orang-orang yang hadir dalam upacara tersebut juga diberi kesempatan untuk meminum air pangir, dan setelah acara erpangir selesai maka bersiap-siap untuk kembali ke rumah. Saat mereka tiba di rumah mereka sudah disambut dengan gendang.
2.3.Upacara Tolak Bala Upacara Tolak Bala sebagai upacara tradisional, merupakan bagian dari kebudayaan, yang melibatkan seluruh warga masyarakat pendukungnya, dalam usaha untuk mencapai tujuan keselamatan bersama. Upacara tolak bala berhubungan dengan lingkaran aktivitas mata pencaharian npenduduk setempat, terutama menyangkut pertanian yang erat kaitannya dengan saat-saat tertentu pada musim menanam atau musim panen. Upacara tolak bala berasal dari kata “tolak” yang berarti kegiatan yang dilakukan manusia untuk menolak, mencegah, atau
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
menangkal segala bencana. Sedangkan kata “bala” ialah malapetaka atau bencana alam lainnya yang menimpa kehidupan warga masyarakat seperti wabah penyakit baik terhadap manusia, ternak maupun tanaman penduduk. Jadi pengertian tolak bala adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat setempat dalam upaya menolak, melenyapakan atau penawar bencana yang menimpa warga masyarakat yang bersangkutan. Diharapkan setelah melakukan upacara tolak bala ini akan kembali tenang dan tentram serta hasil pertanian penduduk desa yang melaksanakan upacara tolak bala ini akan mendapatkan hasil yang baik juga. 2.3.1. Latar Belakang Pelaksanaan Upacara Tolak Bala Pelaksanaan upacara tolak bala ini tidak terlepas dari sistem mata pencaharian penduduk yang sebagian besar bertani. Upacara tolak bala ini dilaksanakan sekali dalam setahun dan dalam pelaksanaanya seluruh anggota masyarakat ikut ambil bagian dalam pelaksanaan upacara ini. biasanya pelaksanaan upacara ini diadakan pada tempat-tempat pintu masuk kampunng yang mempunyai simpang empat atau pada jalan utama masuk ke desa. Kepercayaan yang terkandung dalam upacara tolak bala ini merupakan kepercayaan tradisional, yang masih kuat pada masyarakat yang dilaksanakan untuk keselamatan kampung, menagkal wabah penyakit, dan meminta pertolongan pada kekuatan adikodrat agar mendapat rezeki. Latar belakang dilaksanakannya upacara tolak bala berhubungan dengan alam kepercayaan mereka, bahwa ada sesuatu yang harus mereka laksanakan agar hasil dari pertanian mereka mendapatkan hasil yang baik. Dengan masukkya inovasi pertanian, teknik tradisional mulai ditinggalkan masyarakat, maka
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
orientasi masyarakat desa adalah meningkatkan hasil produksi pertanian sekaligus meningkatkan sistem perekonomian masyarakat. 2.3.2. Waktu dan Pelaksanaan Upacara Tolak Bala Sebagaimana lazimnya penyelenggaran upacara diperlukan persiapan dan perlengkapan upacara. Hal ini antara lain menyangkut petugas pelaksana upacara, pemberitahuan dan tempat pelaksanaan upacara tolak bala tersebut, serta alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan upacara tersebut yang kesemuanya ini perlu dimusyawarahkan terlebih dahulu. Musyawarah pelaksanaan upacara tolak bala ini biasanya diadakan pada pagi hari, hal ini dilakukan karena menurut kepercyaan penduduk desa dan pengetua-pengetua adat, apabila suatu pekerjaan itu dimulai pada saat matahari naik atau pada saat pagi hari maka akan membawa hasil yang baik. Demikian juga halnya pada upacara tolak bala ini hari pelaksanaanya tergantung pada hasil kesepakatan bersama dalam musyawarah. Pelaksanaan upacara tolak bala diadakan setelah satu minggu musyawarah tersebut, dan penetapan upacara tolak bala bisanya diadakan pada hari jumat petang sekitar jam 6.45 sore. Waktu penyelenggaraan upacara biasanya dilaksanakan pada saat petani mulai menanam padi. 2.3.3. Tempat Pelaksanaan Upacara Tolak Bala Upacara tolak bala diadakan pada setiap pintu masuk kampung atau jalan utama masuk desa dan tempat-tenpat pemabndian umum. Alasan mengapa tempat ini yang dipilih sebagai tempat pelaksanaan upacara tolak bala karena tempat ini perlu dijaga acar roh-roh jahat segera menyingkir keluar dari desa, karena desa tersebut sudah dijaga oleh kekuatan suci dari Tuhan.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
2.3.4. Pelaksana Upacara Tolak Bala Adapun pelaksana dari upacara tolak bala ini adalah terbagi kedalam dua bagian yaitu pihak pelaksana utama dan pihak pembantu pelaksana upacara. Pihak pelaksana utama ini adalah seorang dukun yang cukup terkenal di Desa terebut, dalam pelaksanaan upacara ini dukun bertugas sebagai pemimpin jalannya upacara mulai dari awal sampai selesainya upacara tersebut. Selain itu upacara ini juga dibuka secara resmi oleh Kepala Desa. Sedangkan untuk pihak pembantu pelaksana terdiri dari orang tua desa atau pengetua adat yang tau banyak mengenai upacara tolak bala ini. dalam hal ini para petani juga mempunyai peranan yang cukup penting dalam pelaksanan upacara tolak bala, karena dalam hal ini mereka lah yang meminta agar upacara ini dilaksanakan. Dalam upacara ini mereka memohon dan mengharapkan keberhasilan hasil pertanian mereka kepada Tuhan, dan mencegah timbulnya bencana apapun yang dapat mengaggu pertanian mereka. 2.3.5. Pelaksanaan Upacara Tolak Bala Sebelum upacara dimulai dilakukan terlebih dahulu persiapan dengan menyusun petugas utama dan pembantu dalam penyelenggaraan upacara dan sekaligus membagi tugas apa yang harus dikerjakan dan apa-apa saja yang harus disediakan oleh masing-masing pihak. Setelah selesai pembagian tugas maka hari pelaksanaan upacara ditetapkan sesuai dengan kesepakatan bersama. Tepat pada hari yang telah ditentukan
maka seluruh warga dan pihak-pihak yang telah
ditentukan sebagi pelaksana upacara datang ke tempat pelaksanaan upacara. Upacara tolak bala ini diawali dengan pembacaan doa setelah pembacaan doa ini selesai maka para petani membawa segala jeis hasil pertaniannya dan
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
ditaruh di tengah tempat upacara untuk didiakan, dan hadirin yang lainnya yang punya maksud lain dan harapan mereka ingin dikabulkan juga boleh turut membawa sesajen lain. Setelah acara doa pembukaan selesai, lalu para pemuka Desa terdiri dari para orang tua kampung yang sudah mengerti banyak tentang pelaksanaan upacara tolak bala mulai menyalakan obor dan membakar kemenyan dan merangkaikan tujuh kembang dan jeruk purut kemudian jeruk purut dipotongpotong lalu dimasukkan atau dicampurkan kedalam air dalam guci tanah liat. Maknanya
sebagai obat
penawar
dan penangkal
penyakit
bagi
yang
mengusapkannya ke kepalanya. Air ramuan tersebut ditaburkan ke sekeliling tempat upacara berlangsung. Setelah semuanya selesai maka dilanjutkan dengan acara makan bersama, yang sebelumnya telah disediakan oleh kaum ibu dari rumahnya masing-masing secara sukarela. Acara makan bersama ini merupakan ahir dari pelaksanaan upacara tolak bala dan seluruh peserta upacara dapat kembali ke rumah masing-masing.
2.4. Upacara Caburken Bulung (Kawin Gantung) Kata Caburken Bulung bersal dari dua kata yaitu Caburken dan Bulung, Caburken berarti tebarkan sedangkan bulung berarti daun. Jadi pengertian caburken bulung adalah tebarkan daun atau taburkan daun. Menurut masyarakat Karo upacara ini diberi istilah caburkan bulung karena upacara ini merupakan upacara perkawinan semasa anak-anak sehingga hanya bersifat simbolik saja. Walaupun ada harapan-harapan untuk kelak hidup bersama menjadi suami istri yang sebenarnya, upacara itu sendiri bukannlah merupakan suatu ikatan perkawinan. Dalam pelaksanaan upacara ini tidak semua orang Karo dapat
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
melaksanakannya melainkan hanya orang yang yang bertutur impal 4 saja yang boleh di caburken bulungkan. Upacara ini dianggap sah, namun setelah upacara cabur bulung ini mereka tidak hidup bersama layaknya suami istri. Hal inilah yang dimaksud dengan caburken bulung karena upacara ini diibaratkan dengan menabur daun di tanah, walaupun ditabur sebanyak-banyak mungkin tak akan mungkin tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya sepasang suami istri yang akan membentuk keluarga yang baru. 2.4.1. Latar Belakang Pelaksanaan Upacara Caburken Bulung Pelaksanannya pada mulanya ditujukan untuk memohon berkat atau pasupasu dari pihak kalimbubu. Pihak kalimbubu bagi oarang Karo merupakan pihak yang harus dihormatidan dianggap sebagai Dibata ni idah penjelmaan dari Tuhan yang nampak, jadai mereka harus selalu menghormati kalimbubunya. Selain disebabkan hal di atas upacara caburken bulung juga dapat dilaksanakan karena mimpi buruk tentang si anak. Misalnnya orang tuanya bermimpi anaknya hilang atau kawin dengan orang lain yang tidak dikenal, ataupun mimpi-mimpi lainnya yang dianggap mengganggu ketentraman hidup si anak. Jadi menurut kepercayaan orang Karo, datangnya mimpi buruk merupakan pertanda tidak baik bagi keselamatan si anak. Sehingga harus dilaksanakan upacara caburken bulung untuk mengembalikan keadaan semula. Karena secara umum caburken bulung mereka anggap sebagai suatu upaya untuk mengikat tendi (roh) si anak dengan impalnya. Sehingga maut yang selama ini sudah hampir menjemput si anak (karena tendinya sudah pergi) tak akan berhasil karena tendinya sudah diikat dengan impalnya (seseorang yang dianggap lebih ideal dan berhak untuk mengawininya). 4
Anak paman, perkawinan yang dianggap ideal bagi masyarakat Karo.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
2.4.2. Waktu dan Pelaksana Upacara Caburken Bulung Waktu merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan, pemilihan waktu yang tepat akan membuat sesuatu keadaan menjadi serasi sehingga apa yang menjadi tujuan pelaksanaan akan tercapai. Sebaliknya pelaksanaan yang dilakukan tanpa perhitungan waktu akan kurang membawa hasil atau bahkan mungkin bisa menjadi sesuatu yang tak punya arti apa-apa. Waktu pelaksanaan upacara caburken bulung ini biasanya dilaksanakan pada hari budaha ngadep, karena hari ini dianggap hari yang baik dan akan membawa keberuntungan serta memberikan berkat. Pelaksanaan upacara ini biasanya disarankan oleh orang tua dari anak yang sakit ataupun orang tua yang mengalami mimpi buruk. Waktu pelaksanaan upacara caburken bulung ditentukan oleh guru si meteh wari si telu puluh (guru yang tahu memilih hari baik diantara 30 hari yang ada). Pelaksanaan upacara caburken bulung dilakukan di rumah kalimbubu, hal ini dikarenakan karena pihak kalimbubu adalah pihak yang harus dihormati. Namun apabila pelaksanaan upacara ini dilakukan dengan mengundang semua kerabat jauh dan dekat (sangkep nggeluh) maka pelaksanaanya dilakukan di jambur (balai Desa). Pihakpihak yang hadir dalam pelaksanaan upacara caburken bulung ini asalah, anak beru sebagi pihak dari laki-laki, kalimbubu, dan kerabat dekat lainnya yang mempunyai peranan penting dalam upacara ini. 2.4.3. Pelaksanaan Upacara Caburken Bulung Setelah semua kerabat yang di undang datang maka pelaksanaan upacara caburken bulung ini sudah dapat dimulai. Kedua anak yang akan dicaburken bulung tersebut mengenakan pakaian adat Karo sama halnya seperti pakaian adat
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
pada pengantin Karo. Akan tetapi ada juga beberapa orang yang mengadakan upacara caburken bulung tetapi tidak memakai pakaian adat Karo yang lengkap, karena ini bukan suatu keharusan. Setelah semuanya selesai maka kedua anak tersebut di bawa ke jambur, dan tempat duduknya disusun berdasarkan kelompoknya. Anak yang dicaburken bulung tersebut di dudukkan di tengahtengah dengan posisi si perempuan berada disebelah kiri si laki-laki. Setelah semua ini selesai maka pembicaraan dimulai oleh pihak kalimbubu, dengan berkata pada si anak laki-laki : “Ini piso pengambat, kuberikan untukmu sebagai pengikat tendimu dan impalmu, supaya terikat tendimu. Sebab sudah diikat tendimu dengan impalmu supaya kamu tidak sakit-sakit lagi. Dan mimpu buruk yang hendak mengganggu hidupmu semuanya hilang dan berganti dengan kebaikan dan kesejahteraan”.
Setelah piso pengambat diberikankepada anak laki-laki maka kemudian diangkat dan di letakkan di atas kepalanya, kemudian piso tersebut digigit oleh anak laki-laki itu. Kemudian pembicaraan dilanjutkan oleh anak beru, ini biasanya dilakukan oleh ibu dari anak laki-laki dengan berkata kepada si anak perempuan : “Enda permen (menantu) kuberikan cincin pengikat untuk mengikat tendi kamu dengan impalmu, supaya kamupun sehat-sehat memakainya, jangan lagi kamu sakit-sakitan dan semua keinginanmu dapat tercapai di hari-hari mendatang”.
Kemudian cincin tersebut dimasukkan ke dalam jari manis anak perempuan tersebut, seterusnya diambil padang teguh (rumput ilalang) yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu oleh anak beru dan diikatkan pada tangan mereka masing-masing. Setelah upacara tersebut maka acara selanjutnya adat membayar utang untuk kalimbubu. Dalam acara membayar utang adat ini ada
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
yang dibayar penuh seperti adat perkawinan dan ada pula yang membayar separuhnya, bahkan ada yang dibayar sebagian saja menurut keinginan mereka yang mengadakan upacara. Setelah ini selesai maka upacara caburken bulung dianggap sudah selasai.
2.5. Mesur-Mesuri (Tujuh Bulanan) Mesur-mesuri sering juga disebut dengan maba manuk mbur, yaitu upacara tujuh bulanan bagi seorang perempuan yang sedang hamil. Untuk anak pertama, upacara ini bernama mesur-mesuri sementara untuk anak kedua dan seterusnya disebut maba manuk mbur atau mecah-megah tinaruh. Adapun tujuan dari dari upacara ini adalah untuk mempersiapakan si ibu melahirkan anak. Oleh karena itu, masalah-masalah psikis harus diselesaikan terlebih dahulu agar si ibu dapat melahirkan dengan selamat. Pihak-pihak yang hadir dalam upacara ini adalah : orang tua dari sembuyak kalimbubu singalo bere-bere, kalimbubu singalo perkempun, kalimbubu singalo perbibin, dan anak beru. 2.5.1. Pelaksanaan Mesur-mesuri (Tujuh Bulanan) Pelaksanaan mesur-mesuri ini biasanya dilakukan hanya dalam acara yang cukup sederhana saja, karena mansud dan tujuan diadakannya upacara ini hanyalah semata-mata untuk mendoakan keselamatan dan kesehatan si ibu dan calon anak yang akan dilahirkan. Dalam penentuan hari pelaksanaannya juga tidak terlalu dipermasalahkan karena dalam hari apa saja juga upacara ini dapat dilaksanakan. Pada hari yang telah ditentukan para rombongan pelaksana upacara mesur-mesuri ini datang dengan membawa nasi serta ayam yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Sesampainya di rumah ibu yang sedang mengandung
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
tersebut duduk berdampingan dengan suaminya, dan kemudian mereka diberi makan. Setelah itu barulah mereka didoakan supaya keluarganya selalu dalam keadaan baik-baik saja, serta ibu yang sedang mengandung tersebut sehat dan selamat sampai pada waktunya melahirkan dan anak yang dikandungnya juga dapat lahir dalam keadaan sehat dan normal serta keluarganya juga selalu dalam keadaan baik. Setelah acara berdoa selesai maka dilanjutkan dengan acara makan bersama dengan semua rombongan yang ikut dalam acara tersebut. Akhir dari acacara mesur-mesuri ini ditutup dengan doa juga dan kemudian para rombongan dapat kembali ke rumah masing-masing, setelelah semua ini selesai maka acara mesur-mesuri ini sudah selesai.
2.6. Ergunting (Menggunting Rambut Pertama Kali) Dalam adat istiadat Karo mengunting rambut anak untuk pertama kali juga dilakukan dengan suatu upacara yang disebut “ ergunting “. Upacara ergunting ini dilakukan pada saat anak berusia satu satu hingga dua tahun (saat di sudah mulai pandai berbicara) ergunting ini juga mempunyai tujuan untuk kesehatan si anak, agar anak tersebut selalu sehat dan terhindar dari hal-hal buruk. Sebelum ergunting berlangsung terlebih dahulu ditanyakan mengenai upah apa ataupun apa saja permintaan si anak agar ia bersedia di pangkas. Seteleh upah diberitau, pada hari yang telah ditentukan diundanglah mamana dan mamaina ( paman dan istri paman tersebut ) ke kampung mereka supaya memangkas beberena (anak saudara perempuannya).
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
2.6.1. Proses Pelaksanan Ergunting Sebelum pelaksanaan ergunting ini terlebih dahulu dipersiapkan beberapa peralatan yang dipakai dalam pelaksanaan ergunting ini dan kesemuanya ini harus sudah dipersiapakn demi kelancaran proses pelaksanaan ergunting. Adapun peralatan yang harus disediakan adalah : bulung-bulung simelias gelar 5, lau meciho, dua piso man pergunting, ditambah dengan upah yang telah dimintanya, yakni bisa berupa pisang dan cimpa(maknan yang terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan gula merah). Setelah semua peralatan dipersiapkan maka acara ergunting dapat dimulai. Pada tempat pelaksanaan ergunting ini digelarkan tikar dan tikar putih sebagai tempat duduk mamana (pamannya) dan ibunya sambil menggendong anaknya dipangkuannya. Pertama ibunya memberi belo cawir (sirih) kepada turangna (saudara laki-laki), agar dia bersedia menggunting rambut beberena dan saudara perempuan suaminya (beruna) sebanyak sepuluh sada kali (sebelas kali), dengan maksud gelah ersada tendi ku rumah (supaya bersatu roh ke rumah). Rambut yang ada di piseren (putaran rambut di abgian atas kepala) si anak di gulung dan diikat mamana dengan benang putih. Kemudian dibasuhnya kepala dan rambut anak itu dengan air putih (lau meciho) dan bulung-bulung simalemmalem sampai semuanya basah, kemudian mulai dipotong mamana dengan piso sedikit demi sedikit dan rambut yang sudah dipotong disimpan oleh maminya. Setelah dipotong mamana rambutnya sekali di potong langsung anak tersebut digendong ibunya kerumah sambil duduk sebentar, kemudian kembali lagi ke halaman, demikian hingga tiga kali berturut-turut. Setelah itu rambut 5
Daun-daun yang bernama baik, air pitih, dua piso untuk memotong rambut.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
beberena sudah bisa dipotong sampai habis, semua rambut yang sudah digunting ditimbangkan dengan uang. Kalau timbangannya sesuai dengan rupiah maka diberikanlah rupiah sebagai upah mamana, tapi kalau timbangan rambut sesuai dengan uang maka diberikanlah uang sebagai upah mamana sesuai dengan berat timbangan rambut tersebut. Setelah semuanya selesai maka acara ergunting sudah dianggap selesai.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
BAB III UPACARA NENGGET
3.1.Upacara Nengget Mendapatkan keturunan bagi masyarakat Batak, khususnya pada masyarakat Batak Karo adalah suatau hal yang amat penting. Walaupun dengan perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira lagi apabila mempunyai anak laki-laki,
karena ini berhubungan dengan penerus
keturunan dari klannya, dimana masyarakat Karo menganut garis keturunan berdasarkan garis ayah. Namun akibat-akibat biologis dan non-biologis banyak pasangan suami istri yang belum mendapat keturunan walaupun telah bertahuntahun membina hubungan rumah tangga. Salah satu upacara yang dipercayai dan yang dilakukan masyrakat Karo untuk memperoleh keturunan adalah dikenal dengan nengget, yaitu membuat sumi istri tersebut terkejut. Nengget adalah suatu upacara yang dilakukakan menurut adat Karo, yaitu dengan membuat kejutan (sengget) ke suatu keluarga tertentu, karena alasan tertentu dan dengan tujuan tertentu. Di sini terdapat unsur kepercayaan bahwa dengan mengejutkan keluarga itu akan tercapai keinginan. Oleh karena itu pelaksanaanya pun dilakukan secara rahasia, keluarga yang isengget tidak boleh mengetahui hal tersebut. Upacara nengget ini adalah: mengadakan kejutan kepada keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum memiliki keturunan. Kata nengget itu sendiri berarti membuat terkejut salah satu pasangan suami istri yang sudah lama menikah tetapi belum memiliki keturunan. Sampai saat sekarang upacara ini masih tetap diyakini dan dipercayai oleh masayarak Karo khususnya
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
di Desa Saran Padang. Mereka menganggap upacara ini dapat memberi keturunan pada mereka, selain ingin mendapat keturunan upacara ini juga biasanya dilakukan pada keluarga yang sudah memiliki keturunan akan tetapi semuanya perempuan, dalam kata lain ingin mendapatkan keturunan anak laki-laki. E
3.2. Latar Belakang Dan Tujuan Pelaksanaan Upacara Nengget Upacara nengget yang di laksanakan di Desa Saran Padang ini tidak terlepas dari unsur kepercayaan tradisional masyarakat Karo, dimana dalam pelaksanaan upacara ini tidak ada sedikitpun terkandung unsur-unsur medis. kepercayaan yang ada di belakang upacara nengget ini merupakan kepercayaan tradisional, yang masih kuat pada masyarakat Karo khususnya di Desa Saran Padang ini. Pada dasarnya pelaksanaan upacara nengget ini ditujukan untuk memohon supaya keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum keturunan diberikan keturunan. Selain itu nengget ini juga bisa dilakukan kepada keluarga yang sudah memiliki keturunan akan tetapi semuanya perempuan dimana pada masyarakat Karo hal seperti ini dianggap tidak baik apabila tidak mempunyai keturunan laki-laki, karena dianggap tidak ada yang akan meneruskan marganya (klan). Upacara nengget juga dapat dilakaukan pada orang yang sakit karena mengalami mimpi buruk atau juga orang yang terkejut di suatu tempat yang dianggap keramat.
3.3. Peralatan-Peralatan Dalam Pelaksanaan Upacara Nengget Seperti halnya dengan upacara-upacara lainnya upacara nengget ini juga memerlukan berbagai jenis peralatan-peralatan yang semuanya harus sudah
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
disediakan sebelum upacara dilaksanakan, karena semua peralatan ini sangat memiliki peranan yang sangat penting demi kelancaran upacara negget dan apabila salah satu peralatan yang sudah ditentukan tidak ada pada saat pelaksanaan upacara maka pelaksanaan upacara ini tidak sempurna.. Adapun peralatan-peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan upacara ini adalah sebagai berikut : 1. nasi dan lauk pauknya 2. uis arinteneng (salah satu jenis ulos pada masyarakat karo) 3. batu (anak batu) sebagai simbol anak 4. uis kapal/ ndawa (salah satu jenis ulos pada masyarakat karo) 5. gendang (tidak menjadi keharusan) 6. lau simalem-malem (air yang telah dicampurkan dengan berbagai ramuan) jenis jenis yang terdapat pada ramuan tersebut adalah adalah : a. air b. ubung-ubung c. lak-lak galuh sitabar d. besi-besi sangka sempilat e. beras-beras f. sampe lulut g. bunga sapa h. bunga engkiong Setiap peralatan-peralatan ini mempunyai makna dan fungsi masingmasing, dan mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya. Apabila salah satu dari perlengkapan ini tidak ada maka perlengkapan ini dikatan tidak sempurna.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Oleh sebab itu sebelum upacara nengget dilaksanakan maka, semua perlengkapan ini sudah harus disediakan agar tepat pada hari pelaksanaanya semuanya sudah lengkap tersedia sehingga pelaksanaan upacara dapat berjalan dengan lancar.
3. 4. Pelaksana Upacara Nengget Orang Karo menganut sistem kekerabatan yang sifatnya patrineal tetapi orang Karo juga mengenal sebutan untuk garis keturunan yang berasal dari pihak ibu. Garis keturunan yang berasal dari pihak ibu ini disebut dengan bere-bere sedangkan garis keturunan yang berasal dari pihak ayah disebut merga, untuk kaum laki-laki dan beru untuk kaum perempuan. Maka, apabila seseorang itu ayahnya bermarga sembiring
dan ibunya tarigan maka anaknya bermarga
sembiring bere-bere tarigan. Artinya merga sembiring adalah nama kerluarga yang didapat dari ayah, sedangkan bere-bere tarigan adalah nama yang didapat dari pihak ibu. Setiap orang Karo mempunyai garis hubungan kekerabatan seperti: -
Merga/ Beru yakni nama keluarga yang diwarisi pihak ayah, laki-laki disebut merga sedangkan perempuan disebut beru.
-
Bere-bere yaitu nama keluarga yang didapat dari pihak ibu.
-
Binuang adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari pihak nenekya (nenek dari pihak ibu)
-
Kempu yakni nama keluarga yang diwarisi seseorang dari ibu neneknya (dari pihak ibu)
-
Soler yakni nama keluarga yang diwarisi seseorang dari ibu neneknya (pihak ibu), (Prints,1985;42).
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Selain hal tersebut di atas orang Karo juga mengenal lima jenis marga induk yang biasanya disebut dengan merga si lima. Kelima marga tersebut adalah sebagai berikut : Karo-karo, Sembiring, Ginting, Tarigan, dan Perangin-angin. Masing-masing dari kelima marga ini masih terbagi lagi kedalam beberapa submerga. Tinggi rendahnya kedudukan orang Karo didasarkan pada sistem kekerabatan, bukan berdasarkan pangkat atau jabatan. Sistem kekerabatan ini adalah sangkep si telu atau sering juga disebut daliken si telu, daliken si telu dapat dilihat berdasarkan unsur pendukung daliken si telu itu yaitu kalimbubu, senina/sembuyak dan anakberu. Sebagai sistem kekerabatan sifatnya terbuka. Kedudukan seseorang, sebagai anakberu, atau kalimbubu, atau senina sembuyak, bergantung kepada situasi dan kondisi. Sistem kekerabatan seperti ini bersifat sangat demokratis. Dalam hal ini tugas dan peranan masing-masing antara kalimbubu, senina, dan anak beru dalam suatu kegiatan upacara berbeda-beda. Berdasarkan fungsinya, kalimbubu dalam struktur sangkep si telu adalah sebagai pemegang keadilan dan kehormatan, ini diumpamakan sebagai badan legislatif, pembuat undang-undang, atau sebagai dewan pertimbangan agung, yang siap memberikan saran kalau diminta. Saran yang diberikannya, walaupun dia dekat dengan salah seorang dari yang meminta saran, sarannya tetap bersifat obyektif konstruktif. Hal ini maka pihak kalimbubu disebut juga Dibata Ni Idah (Tuhan yang Kelihatan). Senina/sembuyak ini diumpamakan sebagai eksekutif, kekuasaan pemerintahan. Mereka bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyaksembuyaknya,baik ke dalam maupun keluar, dan bila perlu mengadopsi anak yatim piatu dari saudara yang sesubklen. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Sesubklen sama dengan saudara kandung. Sedangkan anakberu diumpamakan sebagai badan yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, anakberu menjadi juru pendamai bagi perselisihan yang ada. Jadi rakut si telu adalah landasan sistem kekerabatan dan menjadi landasan dari semua kegiatan, khususnya kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara adat istiadat dan interaksi antar sesama masyarakat Karo. Rakut si telu ini didukung oleh tiga aktor yang dikenal dengan : kalimbubu, senina/sembuyak, dan anak beru. Atau dengan bahasa lain rakut si telu adalah jaringan kerja sosial- budaya yang bersifat gotong royong dan kebersamaan yang terdapat pada masyarakat Karo. 3.4.1. Kalimbubu Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan dibata ni idah (Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela. Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anakberu tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila selesai makan, pihak anakberu tidak akan berani menutup piringnya sebelum pihak kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati dianggap tidak sopan. Dalam hal nasehat, semua nasehat yang diberikan kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus dihormati.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Adapun orang-orang yang masuk ke dalam kelompok Kalimbubu ini adalah ipar, mertua, mertua ayah, mertua kakek, mertua kakek ayah, dan ayah mertua mertua kakek, paman dari ibu, anak perempuan paman (paman dari pihak ibu) atau anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, termasuk suami dari mereka yang menjadi istri klen lain. Dalam acara-acara adat, masing-masing kelompok ini mempunyai peranan masingmasing. Peranan ini tidak kaku, artinya bila seseorang pada pesta si A berperan sebagai Kalimbubu, maka pada pesta si B, dia dapat berperan sebagai Anakberu. Jadi kedudukan seseorang itu tergantung kepada kedekatan hubungan kekerabatan dengan penyelenggara acara yang memang masing termasuk dalam lingkungan keluarganya. Dalam banyak literatur tentang masyarakat Karo, Kalimbubu ini didefinisikan adalah kelompok pemberi dara atau gadis (Prints, 1986:66, Bangun, 1989:11). Adapun peranan dan fungsi para Kalimbubu ini dalam struktur daliken si telu adalah sebagai supremasi keadilan dan kehormatan. Oleh Darwan Prints (Prints, 1986:67) diumpamakan sebagai legislatif, pembuat undang-undang. Oleh Roberto Bangun, (Bangun, 1989:12) sebagai dewan pertimbangan agung, pemberi saran kalau diminta. Dan sarannya, berpedoman kepada obyektif konstruktif dalam kaitan keutuhan keluarga. Hal ini maka pihak kalimbubu disebut juga Dibata Ni Idah (Tuhan yang Kelihatan). Dalam acara-acara adat, dia harus hadir, dan masing-masing mendapat peran. Misalnya dalam acara upacara kematian, ketika jenajah akan dikebumikan, bagian kepala dari jenajah dipanggul oleh pihak kalimbubu dari yang meninggal. Dalam pesta sukacita, yang berperan sebagai kalimbubu dilayani sebaik mungkin oleh pihak anakberu dalam hal ini adalah penyelenggara pesta.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Hak kalimbubu ini dalam struktur (daliken si telu) rakut si telu: 1. Berhak mendapat segala kehormatan dari anakberunya (diprioritaskan). 2. Dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak anakberunya. Yang menjadi tugas dan kewajiban kalimbubu: 1. Memberikan saran-saran kalau diminta oleh anakberunya. 2. Sesuai dengan haknya dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak anak-berunya,
maka
kalimbubu
berhak
memaksakan
bentuk
perdamaiannya kepada anakberunya yang saling berselisih dan ngotot. Hal ini sesuai dengan julukan yang diberikan kepadanya yaitu Dibata Ni Idah(Tuhan yang Kelihatan). 3. Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga. 4. Mengosei anak berunya (meminjamkan dan mengenakan pakaian adat) di dalam acara-acara adat. 5. Berhak menerima ulu mas, bere-bere (bagian dari mahar) dari sebuah perkawinan, maneh-maneh (tanda mata atau kenang-kenangan) dari salah seorang anggota anakberunya. 3.4.2. Anak beru Terjadi hubungan Kalimbubu Anakberu karena adanya perkawinan,perkawinan ini boleh perkawinan langsung maupun tidak langsung. Hal ini maka anakberu disebut penerima wanita. Dalam literatur dijelaskan, anakberu adalah para pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri (Prints, 1986:64, Bangun, 1981:109). Oleh Darwan Prints (Prints, 1986:67) anak beru ini diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan. Dalam hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut. Pada dasarnya setiap individu Karo mempunyai anakberu, minimal anakberu merga (subklen). Dalam acara adat pelaksanaan tugas seperti di atas adalah tugas anakberu (Anakberu Mas Pedemuken beserta anakberu menteri dan anakberu ngukuri), mereka sebagai pelaksana acara. Anakberu Singerana (Anakberu yang Berbicara) bertugas sebagai protokol. Anakberu Cekoh Baka Tutup beserta anakberu iangkip/iampu/darah, bertugas mengatur pembagian tugas. Demikian pentingnya peran anakberu dalam acara-acara adat. Dalam pelaksanaan acara adat Anakberulah yang pertama datang dan juga yang trakhir pulang. Lebih lanjut dapat dijelaskan mengenai tugas anakberu tersebut dalam sutu kegiatan upacara, adapun tugas anakberu tersebut adalaha sebagai berikut: 1. Mengatur jalannya pembicaraan runggu (musyawarah) adat. 2. Menyiapkan hidangan pada pesta. 3. Menyiapkan peralatan yang diperlukan pesta. 4. Menanggulangi sementara semua biaya pesta. 5. Mengawasi semua harta milik kalimbubunya yaitu wajib menjaga danmengetahui harta benda kalimbubunya. Ia juga berhak membuka rahasia kalimbubunya. Tugas seperti ini ditangani oleh Anakberu Cekoh Baka. 6. Menjadwal pertemuan keluarga. 7. Memberi khabar kepada para kerabat yang lain bila ada pihak kalimbubunya berduka cita.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
8. Memberi pesan kepada puang kalimbubunya agar membawa ose (pakaian adat) bagi kalimbubunya. Tugas seperti ini ditangani oleh Anakberu Cekoh Baka. 9. Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya. Sedangkan hak Anak Beru adalah: a) Berhak mengawini putri kalimbubunya, dan biasanya para kalimbubu tidak berhak menolak. b) Berhak mendapat warisan kalimbubu yang meninggal dunia Anakberu berdasarkan tutur, terbagi atas:
Anakberu Tua. Anakberu Tua adalah pihak penerima anak wanita dalam tingkatan nenek moyang yang secara bertingkat terus menerus minimal tiga generasi. Tugas Anakberu (ditunjuk salah satu diantara yang ada) adalah sebagai kordinator atau komandan dalam acara adat yang diadakan oleh pihak kalimbubunya. Hal-hal mendasar yang selalu dihadapi dan harus diselesaikannya secara adil adalah masalah perkawinan, pembagian harta benda, mendirikan rumah dan sebagainya.
Anakberu Taneh, adalah penerima wanita pertama, ketika sebuah kampung selesai didirikan.
Anakberu berdasarkan kekerabatan:
Anakberu Jabu (Cekoh Baka Tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh Baka artinya orang yang langsung boleh mengambil barang simpanan kalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Anakberu Iangkip, adalah penerima wanita yang menciptakan jalinan keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya yang sekarang. Anakberu ini disebut juga anakberu langsung yaitu karena dia langsung mengawini anak wanita dari keluarga tertentu. Masalah peranannya di dalam tugas-tugas adat, harus dipilah lagi, kalau masih orang pertama yang menikahi keluarga tersebut, dia tidak dibenarkan mencampuri urusan warisan adat dari pihak mertuanya. Yang boleh mencampurinya hanyalah anakberu jabu.
Anakberu Menteri. Anakberu Menteri adalah Anakberu dari Anakberu. Fungsinya menjaga penyimpangan-penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah maupun ketika acara adat sedang berlangsung. Anakberu Menteri ini memberi dukungan kepada kalimbubunya yaitu anakberu dari pemilik acara adat.
Anakberu Singukuri adalah anakberu dari anakberu menteri, fungsinya memberi saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga yang diperlukan.
3.4.3. Sembuyak/Senina Senina adalah pertalian saudara senenek atau semerga. Fungsi senina demikian penting, karena akan menjadi jaminan (sikaku) dan patner yang partisipatif. Senina dan semua keluarganya akan ikut mendukung semua pelaksanaan adat istiadat dan dahulu, juga ikut berperang melawan musuh seninanya. Bahkan pada waktu tertentu akan menjadi jaminan sukut. Dalam musyawarah adat, sukut/ sembuyak akan diwakili oleh senina. Senina dalam
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
musyawarah adat juga berfungsi sebagai penyambung lidah pihak sembuyak dan juga sebagai dan penengah. Faktor inilah maka masyarakat Karo sangat memelihara hubungannya dengan para seninanya, walau pun tidak sesubmerga dan seketurunan yang jelas sejarahnya, namun mengingat kaitan semerga dan saling membutuhkan itu mereka tetap saling membantu. Dalam literatur dijelaskan senina adalah mereka yang bersaudara karena mempunyai merga yang sama, namun bukan karena subklen sama. Pada dasarnya setiap individu Karo mempunyai senina/sembuyak. Apakah itu senina si seh ku sukut (senina yang berkerabat langsung dengan pemilik acara adat, disebut juga senina langsung) dan gamet, senina erkelang ku sukut (senina yang berkerabat berperantara dengan pemilik acara adat). Senina sukut (langsung) ada dua, pertama disebut sembuyak, dalam acara pesta perkawinan ia menerima rudangrudang, dan kedua biak senina, dalam pesta perkawinan ia menerima senina kuranan. Sedangkan senina berperantara terdiri dari 4 yaitu sepupu dari ibu (sepemeren), dalam perkawinan dia menerima perbibin (nama mahar yang diberikan kepada pihak saudara-saudara perempuan yang sesubklen dengan ibu kandung pengantin), sepengambilan (siparibanen), dalam perkawinan dia menerima "perbibin" yang berasal dari istrinya, sepengalon yang berasal dari bebere/anakberu, dan sendalanen dari kalimbubu/singempoi impal, (Prints, 1986:67) senina/sembuyak ini diumpamakan sebagai eksekutif, kekuasaan, pemerintahan. Secara umum terjadinya hubungan perseninanaan ini disebabkan (1) peratliandarah, (2) sesubklan (Semerga/seberu), (3) Sepemeren (ibu bersaudara), (4) siperibanen (istri bersaudara), (5) mempunyai istri dari beru (sesubklen) yang
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
sama, (6) mempunyai suami yang bersaudara (kandung, gamet, atau seklen). Adapun tugas senina/sembuyak adalah (1) mengawasi pelaksanaan tugas paraanakberunya, (2) secara bersama-sama menanggung sementara semua biaya pesta. Sedangkan hak senina dan sembuyak adalah (1) mendapat pembagian harta (hanya yang bersembuyak, seibu seayah), (2) dalam hal anak wanita kawin, berhak mendapat mas kawin (tukor). Hubungan kekerabatan senina disebabkan seklen, atau hubungan lain yang berdasarkan kekerabatan. Senina ini dapat dibagi dua bagian yaitu: 1) Senina berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena seklen (merga). Senina berdasarkan kekerabatan. Ini dapat dibagi lagi atas: Senina Siparibanen perkerabatan karena istri saling bersaudara. Senina Sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling bersaudara, sehingga mereka mempunyai berebere (merga ibu) yang sama. Senina Sepengalon (Sendalanen) persaudaraan karena pemberi wanita yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena sesubklen (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan klen istri. Hal ini maka dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat, apabila tidak diminta. Senina Secimbangen (untuk wanita), mereka yang bersenina karena suami mereka sesubklen (bersembuyak).
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Tugas senina adalah memimpin pembicaraan dalam musyawarah, bila dikondisikan dengan situasi sebuah organisasi adalah sebagai ketua dewan. Fungsinya adalah sebagai sekaku, sekat dalam pembicaraan adat, agar tidak terjadi friksi-friksi ketika akan memusyawarahkan pekerjaan yang akan didelegasikan kepada anakberu. Jenis Sembuyak Sembuyak adalah mereka yang sesubklen sama, atau orang-orang yang seketurunan (dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga batih, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini karena perempuan mengikuti suaminya. Peranan sembuyak (yang seklen) adalah bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu dari saudara yang seklen. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Sesubklen sama dengan saudara kandung. Sembuyak dapat dibagi menjadi dua bagian: A. Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka bersaudara karena sesubklen (merga). B. Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi atas: C. Sembuyak Kakek adalah kakek yang bersaudara kandung. D. Sembuyak Bapa adalah bapak yang bersaudara kandung. E. Sembuyak Nande adalah ibu yang bersaudara kandung. Demikian juga halnya pada pelaksanaan upacara nengget, pada pelaksanaan upacara ini dihadiri oleh seluruh kelompok kerabat dari masingmasing pihak. Adapun pihak-pihak yang hadir dalam pelaksanaan upacara
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
nengget adalah: pihak kalimbubu atau pihak pemberi dara, senina/sembuyak, dan anak beru ketiga pihak ini memiliki peranan yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Selain ketiga pihak ini masih ada lagi pihak yang paling berperan dalam pelaksanaan upacara nengget yaitu turangku atau rebu, dimana turangku inilah yang nantinya akan menyiramkan lau si malem-malem pada pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan tersebut. Padahal pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak dapat saling bertegur sapa karena hal ini dipantangkan bagi masyarakat Karo ini disebut dengan istilah rebu, apabila mereka ini ingin mengatakan sesuatu maka harus melalui perantara. Rebu itu sendiri artinya pantangan, dilarang, tidak boleh atau tidak dibenarkan melakukan sesutu menurut adat Karo, bagi siapa yang melanggar maka ini dikatakan tidak tau adat dan dicemooh oleh masyarakat. Istilah rebu pada masyarakat Karo dapat dibedakan atas tiga pihak diantaranya adalah : 1. Antara mami (mertua wanita) dengan kela (menantu pria). Dalam pengetian sempit mami adalah ibu dari istri kela, sedangkan kela adalah suami dari anak wanita mami. 2. Antara bengkila (mertua pria) dengan permain (menantu wanita) bengkila dalam pengertian sempit adalah ayah dari suami seorang wanita. 3. Antara turangku dengan turangku. Pengertian rebu dalam masyarakat Karo adalah dilarang berbicara, dilarang duduk sebangku, misalnya dengan mertua yang berbeda jenis kelamin dan dilarang berbicara dengan suami ipar atau ustri yang berbeda jenis kelamin. Rebu ini sebagai tanda adanya batas kemerdekaan diri, adanya rasa diri
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
berkebebasan, melalaui perilaku seperti ini orang meningkatkan dan sadar akan perinsip sosial dalam cara hidup berkerabat maka melalui rebu orang akan mampu mengontrol prilaku dan perbuatannya sendiri. Rebu melahirkan mehangke atau enggan dan dari enggan tersebut dapat melahirkan rasa hormat seseorang. Hormat menimbulkan sopan santun, dan ini adalah unsur mendidik bagi masyarakat Karo.
3.5. Waktu Dan Pelaksanaan Upacara Nengget Waktu merupakan suatu hal yang sangat perlu diperhatikan, pemilihan waktu yang tepat akan membuat sesuatu keadaan menjadi serasi sehingga apa yang menjadi tujuan pelaksanaan akan tercapai. Sebaliknya pelaksanaan yang dilaksanakan yang dilakukan tanpa perhitungan waktu akan membawa hasil yang kurang baik atau bahkan bisa menimbulkan hasil yang tidak berarti apa-apa. Orang Karo sejak lama menyadari hal itu, setiap pekerjaan tidak pernah dilakukan sesuka hati tanpa perhitungan. Semua pekerjaan akan selalu terlebih dahulu dicarikan waktu yang tepat. Misalnya dalam memasuki rumah baru tidak semua hari boleh dilakukan namun hari yang tepat dan diyakini dapat membawa berkat bila kita menempati rumah tersebut adalah wari beras pati (hari beras pati). Selanjutnya untuk upacara buang sial dilakukan pada wari aditia turun (hari aditia turun) dan lain sebagainya. Demikian juga sebaliknya pada upacara nengget waktu dan hari pelaksanaanya juga harus ditentukan terlebih dahulu dan dicari hari yang tepat sehingga pelaksanaan upacara nengget ini tidak sia-sia. Dalam pemilihan hari pelaksanaan upacara ini biasanya disarankan oleh pihak yang akan melaksanakan upacara nengget, selain itu dalam pemilihan hari ini juga dapat dibantu oleh
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
seorang dukun atau guru simeteh wari si telu puluh (guru yang tau memilih hari yang baik di antara 30 hari yang ada pada hari-hari Karo). Pelaksanaan upacara nengget ini biasanya dilakukan pada malam hari tepat pada saat keluarga tersebut sedang beristrahat. Hal ini sangat menentukan dalam proses pelaksanaan upacara nengget, karena apabila keluarga tersebut mengetahui rencana pelaksanaan nengget tersebut maka upacara ini dikatakan tidak berhasil. Proses pelaksanaan upacara nengget ini dilakukan secara sangat rahasia, sebelum upacara nengget dilaksanakan maka kalimbubu dan anak beru bermusyawarah untuk melakukan nengget. Apabila keluarga yang akan disengget tersebut belum memiliki anak laki-laki maka inisiatif untuk melakukan upacara adalah dari pihak kalimbubu. Sebaliknya, bila keluarga yang akan disengget belum memiliki anak perempuan maka inisiatif untuk melaksanakan upacara adalah dari pihak anak beru. Acara nengget ini biasanya dilakukan pada malam hari, pada saat keluarga yang akan disengget sedang berkumpul. Tepat pada hari yang telah ditentukan rombongan nengget berangkat dari satu tempat tertentu, misalnya dari rumah kalimbubu atau anak beru dan semuanya harus berjalan secara rahasia. Pada malam pelaksanaan upacara nengget telah diatur siasat agar keluarga yang akan disengget berda di rumahnya. Misalnya salah seorang kerluarga dekat datang ke rumahnya membicarakan hal-hal yang penting, atau seorang tamu yang sangat dihormatinya berjanji datang ke rumahnya pada malam itu untuk membicarakan suatu hal. Peralatan-peralatan nengget dipersiapakan, seperti : tumba beru-beru diisi lau simalem-malem (air yang telah dicampur dengan berbagai ramua) dan diserahkan kepada turangku si dilaki (istri dari ipar suami)
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
dan turangku si diberu (suami dari adik kakak suaminya). Mereka ini dalam kehidupan sehari-hari adalah rebu atau pantang untuk saling bertegor sapa secara langsung, kemudian masing-masing turangku ini masuk ke rumah yang akan disengget secara diam-diam. Dengan tiba-tiba masukalah turangku dengan menyiramkan turangkunya dengan lau si malem-malem, sambil berkata “ e maka mupus anak lah engko, adi lang la kita rebu rasa lalap “ yang artinya “ maka jumpa keturunan lah engkau, kalau tidak sampai tua kita tidak rebu “. Pada waktu yang bersamaan gong dipukul sehingga menimbulkan suara yang riuh dan kaum perempuan menari. Kemudian semua rombongan masuik ke rumah, lalu keluarga yang disengget diosei (dipakaikan pakaian adat) secara terbalik yang laki-laki dipakaikan pakaian adat perempuan sedangkan yang perempuan dipakaikan pakaian adat laki-laki. Setelah selesai diosei maka keluarga ini dipasangkan oleh klsimbubu dan gendangpun dipukul untuk menari bersama. Pada saat acara menari suami istri yang disengget disatukan dan makan dalam satu piring pasu dengan nasi dan lauknya ayam (sangkep) yang khusus dibuat oleh kalimbubu. Sesudah mereka makan barulah orang yang hadir dalam upacara ini makan bersama-sama. Selesai acara makan maka diadakan musyawarah atau runggu yang isinya menanyakan : unek-unek (manek-manek) yang disengget kepada kalimbubu, kalau memang ada maka masalah itu harus diselesaikan pada malam itu juga. Selain itu keluarga yang disengget tersebut juga ditanyai apakah ia mempunyai keinginan tertentu, yang masih belum kesampaian sampai sekarang sehingga hal ini dapat terus mengaggu pikiran keluarga tersebut. selanjutnya ipalu gendang (gendang dipukul) dan diaturlah acara menari sebagai berikut:
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
1. menari dari pihak sukut 2. menari dari pihak sembuyak/senina/sipemeren/siparibanaen/sedalanen 3. menari dari pihak anak rumah 4. menari dari pihak kalimbubu 5. menari dari pihak anak beru Setelah acara menari selesai maka acara untuk upacara nengget telah selesai dan boleh tidur atau bercakap-cakap. Besok paginya setelah selesai acara makan pagi, runggupun dimulai lagi yaitu untuk bembayar uang jujuran (pedalen emas) seperti pada acara kawin. Uang jujuran ini disesuaiakn dengan daerah/tempat dilakukannya pelaksanaan upacara nengget. Untuk biaya dari pelaksanaan nengget ini ditanggung oleh pihak yang berinisiatif melakukan upacara, misalnya apabila inisitif pelaksanaan nengget dari pihak kalimbubu maka biayanya ditanggung oleh kalimbubu. Sebaliknya apabila inisiatif nengget datang dari pihak anak beru maka biayanya dari pihak anak beru.
3.6. Manfaat Pelaksanaan Upacara Nengget Setiap upacara yang dilaksanakan akan memberikan manfaat bagi yang melaksanakannya, baik itu memperoleh kesehatan, keselamatan dan bahkan memperoleh ketenangan dalam kehidupannya. Demikian juga halnya pada pelaksanaan upacara nengget akan memberikan manfaat bagi pelaksananya. Walaupun kadang kala pelaksanaan upacara ini tidak memberikan hasil yang diharapkan pada orang yang melaksanakannya. Akan tetapi banyak manfaat yang didapatkan dari pelaksanaan upacara ini. Manfaat yang paling tampak dari pelaksanaan ini adalah adanya rasa kekerabatan dari kedua belah pihak keluarga
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
yang disengget. Selain itu bagi keluarga yang disengget tersebut ada yang mendapatkan keturunan sesuai dengan apa yang diharapkan, akan tetapi ada juga yang tidak tercapai seperti apa yang diinginkan sebelumnya. Namun hal seperti ini bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk melaksanakan upacara nengget untuk kedua kalinya.
3.7. Kedudukan Upacara Nengget Di tengah-tengah Pengobatan Modern Upacara nengget merupakan satu dari beberapa jenis upacara tardisional yang ada pada masyarakat Karo. Sealin upacara nengget ini masih banyak lagi jenis-jenis upacara lainnya. Namun walaupun demikian ada juga upacara yang sudah hampir terlupakan karena kemajuan zaman dan semakin pesatnya pengobatan modern. Lain halnya dengan upacara nengget ini yang sampai sekarang masih tetap eksis walaupun pengobatan-pengobatan medis sudah semakin modern dan berkembang pesat. Seperti halnya pada masayarakat di Desa Saran Padang, upacara nengget ini masih tetap dilaksanakan pada keluarga yang belum memiliki keturunan walaupun di Desa tersebut sudah ada tersedia sarana pengobatan medis. Masyarakat Desa Saran Padang meyakini bahwa melalui upacara nengget ini keluarga yang sudah lama berumah tangga tersebut dapat memberikan keturunan kepada keluarga tersebut. Namun abila setelah melakukan upacara ini tetapi keluarga tersebut belum juga mendapatkan keturunan maka tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk melakukannya lagi untuk kedua kalinya dan bahkan sampai beberapa kali. Meskipun pengobatan-pengobatan modren telah berkembang pesat, tetapi masyarakat Desa Saran Padang masih tetap meyakini upacara nengget ini. Dalam
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
hal ini bukan berarti masyarakat Desa Saran Padang tidak mengenal yang namanya pengobatan medis akan tetapi bagi mereka upacara nengget ini merupakan suatu tradisi yang wajar dilakukan apabila salah satu dari keluarga mereka yang sudah lama berkeluarga dan belum dikaruniai anak. Kedudukan upacara nengget di tengah-tengah perkembangan pengobatan modern tidak ada perbedaannya, dengan kata lain hampir sama kedudukannya dan upacara nengget ini diterima dengan baik oleh masyarakat Desa Saran Padang. Tanpa adanya pandangan dari masyarakat setempat bahwa siapa yang melakukan upacara ini dianggap tidak percaya dengan pengobatan medis. Bahkan tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang telah disengget untuk tidak berobat ketempat pengobatan medis, karena tidak ada larangan bagi mereka apabila sudah melakukan upacara nengget maka tidak boleh lagi berobat ketempat manapun.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
BAB IV STUDI KASUS DALAM UPACARA NENGGET
Setiap kali kelompok atau individu yang mengadakan sesuatu hal atau pekerjaan, tentu saja mempunyai tujuan dan harapan baik itu berupa harapan kesehatan, rezeki, keselamatan, dan juga keturunan seperti halnya pada upacara nengget ini. Namun kadang kala apa yang telah kita kerjakan dan yang kita harapkan itu tidak memberikan hasil yang baik seperti yang kita rencanakan sebelumnya. Sama halnya dalam pelaksanaan upacara nengget ini tentunya mempunyai tujuan dan maksud dari pelaksanaannya, dan setiap kelompok yang melaksanakannya tentu saja mengharapkan hasil yang baik sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Akan tetapi ada juga kelompok yang tidak berhasil mendapatkan atau tidak tercapai tujuannya seperti apa yang di inginkan sebelumnya. Namun walupun demikian tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk melaksanakannya kembali sampai maksud dan tujuannya itu tercapai. Dalam bab ini penulis akan memaparkan mengenai studi kasus dari pelaksanaan upacara nengget yang dilaksanakan di Desa Saran Padang serta manfaat apa saja yang diperoleh keluarga ini setelah melakukan upacara nengget dan bagaiman tanggapan mereka tentang upacara nengget ini. Studi kasus ini terjadi antara keluarga yang berhasil mendapatkan keturunan setelah mengadakan upacara nengget yaitu : keluarga G. Tarigan dengan R. br Bangun dan keluarga yang belum berhasil mendapatkan keturunan setelah mengadakan upacara nengget yaitu : keluarga M. Ginting dengan B. br Sembiring.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
4.1. Keluarga Yang Berhasil Mendapatkan Keturunan 4.1.1 Keluarga G. Tarigan dan R. br Bangun Keluarga ini tinggal di Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, pekerjaan mereka sehari-hari adalah bertani. Mereka menikah pada tahun 2003, tepatnya pada tanggal 20 nopember 2003. Setelah menikah mereka tidak langsung memiliki rumah sendiri dan masih tinggal di rumah orang tua dari pihak laki-laki. Hal ini dikarenakan pada saat itu mereka belum memiliki cukup tabungan untuk membangun rumah sendiri. Sekitar enam bulan mereka tinggal di rumah orang tua laki-laki dan pada saat itu pekerjaan mereka hanya bertani, modal untuk bertani ini juga sebagian besar dari mertuanya ( ibu dari pihak laki-laki ).Hasil pertanian mereka pada saat itu cukup membawa hasil sehingga mereka dapat membangun rumah sendiri dan pisah dari mertuanya. Selama satu tahun mereka tidak pernah berpikir masalah keturunan, mereka sibuk dengan urusan ladang mereka yang semakin hari semakin berkembang mereka hanya berusaha untuk terus menambah tabungan. Setelah mereka berkeluarga selama dua tahun belum juga dikaruniai anak, berbagia macam cara telah dilakukan baik itu berobat secara medis maupun secara non medis bahkan beberapa keluarga dekat juga sudah banyak yang menyarankan untuk berobat ke dokter maupun ke pengobatan alternatif. Tetapi hasilnya tetap saja tidak ada. Dana yang mereka keluarkan untuk ini tidak sedikit, sampaisampai mereka putus asa dan berhenti berobat, yang mereka lakukan pada saat itu hanya rajin berdoa dan beribadah. Keluarga dari kedua belah pihak juga sudah hampir putus asa dan menyarankan kepada mereka agar mengadopsi anak saja. Kata mereka “sekalian jadi pemancing” mana tau setelah mereka adopsi anak
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
mereka bisa dapat keturunan, karena di Desa Saran Padang ini ada juga yang sudah melakukan itu dan memang benar mereka bisa dapat keturunan. Sampai pada akhirnya orang tua dari pihak perempuan mendapat mimpi bahwa mereka harus mengadakan upacara nengget pada anaknya tersebut dan kalau ini tidak dilakukan maka anaknya tersebut sampai kapanpun tidak akan mempunyai keturunan seperti apa yang mereka harapkan. Setelah mendapat mimpi ini orang tua dari pihak sperempuan tersebut tidak langsung percaya bahkan mengabaikannya mimpi itu begitu saja. Samapi pada malam berikutnya dia kembali mendapat mimpi yang sama dan akhirnya dia menceritakan semua mimpinya tersebut pada seluruh anggota keluarga dan keluarga dekat lainnya. Setelah itu barulah mereka merencanakan untuk mengadakan upacara nengget pada anaknya tersebut. Tak lupa juga mereka menceritakan maksud baik mereka ini kepada keluarga dari pihak laki-laki mereka menyambut baik rencana dari pelaksanaan upacara nengget ini. Maka mulailah direncanakan kapan hari pelaksanaan dan siapa-siapa saja yang diundang dalam upacara. Rencana pelaksanaan upacara ini benar-benar dirahasiakan dari keluarga yang akan disengget tersebut. Semua kegiatan yang menyangkut upacara ini harus benar-benar dirahasiakan dari keluarga yang akan disengget karena apabila mereka sampai mengetahui rencana ini, maka pelaksanaen upacara ini dikatakan gagal. Pada hari yang telah ditentukan para rombongan yang telah diundang datang dan berkumpul di rumah yang telah ditentukan tempatnya, dan mempersiapkan segala keperluan yang akan dibawa pada saat pelaksanaan upacara.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Tepat pada jam satu malam para rombongan datang dan menggedor-gedor pintu mereka, awalnya mereka takut untuk membuka pintu karena mereka mengira kalau itu maling atau orang gila yang keluyuran malam hari. Tetapi karena pintu terus digedor-gedor akhirnya mereka keluar juga dan pada saat mereka membuka pintu mereka langsung disiram dengan lau simalrm-malem (air yang telah dicampur dengan berbagai ramuan). Pada saat itu mereka berdua terkejut dan langsung menangis sampai-sampai si istri pingsan karena terkejut. Kemudian mereka disiram dengan lau si malem-malem secara bergantian oleh rombongan sambil memberikan nasehat-nasehat supaya mereka cepat mendapat keturunan. Setelah ini selesai maka dilanjutkan dengan acara makan bersama namun sebelum itu terlebuh dahulu mereka dipakaikan pakaian adat secara terbalik, yakni yang perempuan memakai bulang-bulang sedangkan yang laki-laki memakai tudung. Pada sat makan mereka makan dalam satu piring, makanan ini dibuat khusus oleh kalimbubu kepada mereka. Beberapa bulan setelah diadakannya upacara nengget ini istri dari yang disengget tersebut mengandung, pada awalnya mereka tidak percaya atas apa yang terjadi sampai akhirnya mereka konsultasi ke dokter kandungan, dan menyatakan bahwa si istri tersebut sedang mengadung dengan usia kandungannya satu bulan. Setelah mengetahui bahwa si istri positif mengandung maka kabar baik ini segara diberitahukan kepada keluarga lainnya. Kabar baik ini cukup menggembirakan bagi seluruh anggota keluarga besar baik itu dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempaun. Mungkin karena terlalu merasa gembira dan bersyukur maka keluarga ini mengadakan acara syukuran kecil-kecilan. Dalam hal ini pelaksanaan nengget yang mereka laksanakan dikatakan berhasil dan
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
mendapatkan hasil yang baik karena secara kebetulan anak yang lahir juga anak laki-laki. Dua tahun kemudian istrinya mengandung lagi dan melahirkan anak perempuan. 4.1.2. Manfaat Yang Diperoleh Dari Upacara Nengget Banyak manfaat yang mereka peroleh dari upacara nengget ini, salah satu diantaranya adalah mereka mendapatkan keturunan seperti apa yang mereka harapkan. Selain itu mereka juga semakin menyadari bahwa upacara nengget ini benar-benar dapat membantu mereka dalam mendapatkan keturunan. Bagi keluarga ini upacara nenggetlah yang telah membantu mereka sehingga mereka mendapatkan keturunan. Selain itu keluarga ini juga sangat berterima kasih kepada keluarga yang telah mengadakan upacara nengget kepada mereka, karena upacara nengget tersebutlah yang membuat keluarga ini menjadi sempurna dan mempunyai dua orang anak. Bukan hanya itu saja kekerabatan dengan seluruh anggota keluarga juga semakin erat. Tanggapan keluarga ini terhadap upacara nengget cukup baik, mereka sangat mendukung upacara ini dan mengharapkan supaya upacara nengget ini tetap ada dan eksis walaupun pengobatan-pengobatan modren sudah sangat banyak dan berkembang dengan pesat.
4.2. Keluarga Yang Belum Berhasil Mendapatkan Keturunan 4.2.1. Keluarga M. Ginting dan B. br Sembiring Keluarga ini menikah pada tahun 2000 pada tanggal 19 oktober 2000, pada awal mereka menikah mereka belum memiliki pekerjaan tetap dan tinggal di rumah orang tua dari pihak laki-laki. Selama dua bulan mereka tinggal di rumah orang tua dari pihak laki-laki, selanjutnya mereka tinggal di rumah kontrakan dan
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
mulai berusaha sendiri mulai membuka ladang sendiri dan mengusahakan pekerjaan tambahan lainnya seperti membuka warung kecil-kecilan. Dilihat dari keberuntungan rejekinya dapat dikatakan keluarga ini cukup berhasil karena hasil dari pertanian mereka berhasil terus dan usaha kecil-kecilan mereka juga mendapatkan penghasilan yang lumayan membantu. Tetapi dalam mendapatkan keturunan keluarga ini tidak seberuntung seperti mereka mendapatkan rejeki. Keluarga ini juga tinggal di Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, selama satu tahun berumah tangga mereka belum juga diberikan keturunan. Awalnya bagi mereka ini wajar-wajar saja, mungkin belum saatnya hanya itu yang membuat mereka tetap sabar. Pada saat usia pernikahan mereka memasuki dua tahun, keluarga ini mulai sadar bahwa mereka harus melakukan sesuatu supaya menadapatkan keturunan. Mulailah berobat, awalnya mereka berobat ke dokter sepesialis kandungan tetapi trtap saja tidak berhasil. Bukan hanya satu dokter saja yang mereka datangi melainkan sudah sampai lima dokter yang mereka kunjungi. Hampir sampai satu tahun mereka berobat ke dokter sepesialis kandungan tapi, hasilnya tetap saja tidak ada. Hal ini tidak juga membuat keluarga ini putus asa, mereka tetap mencoba berobat sampai ke pengobatan alternatif segala jenis ramuan sudah di coba, dari yang asin, pahit, manis dan bahkan rasa yang cukup aneh di lidah juga sudah mereka rasakan tetapi hasilnya tetap saja sama. Sampai akhirnya mereka merasa bosan dan berhenti berobat. Mungkin karena keluarga dari pihak mereka juga sudah putus asa, sempat juga keluarga ini di anjurkan untuk mengadopsi anak dari panti asuhan atau dari rumah sakit, tetapi mereka tidak mau dengan alasan takutnya nanti anak yang
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
mereka dapat tidak sesuai denagan apa yang diharapkan. Bukan hanya itu saja bahkan anak dari abang suaminya juga pernah mereka asuh selama setengah tahun, alasan kenapa dibuat seperti ini supaya dapat menjadi pemancing. Mana tau selama mereka mengasuh anak abangnya tersebut keluarga ini mendapatkan keturunan, tetapi hasilnya tetap saja tidak ada. Mulai saat itu keluarga ini mulai berhenti berharap, keluarga dekat lainnya juga sudah pasrah dan menyerahkan semuanya pada yang di atas. Pada tahun 2004 ada inisiatif dari pihak anak beru untuk melakukan upacara nengget kepada keluarga ini, dan maksud baik mereka diterima oleh pihak kalimbubu. Semua persipan upacara dipersipakan oleh pihak anak beru karena inisiatif untuk mengadakan upacara nengget datang dari pihak anak beru, bahkan hari pelaksanaannya juga mereka yang tentukan sendiri. Malam pada saat pelaksanaan upacara nengget akan dilaksanakan semua para rombongan yang telah diundang datang dan berkumpul di rumah anak beru. Tepat pada pukul satu dini hari rombongan datang dengan membawa segala perelengkapan upacara. Tata cara upacaranya sama seperti upacara nengget lainnya, mereka di siram dengan air suci (lau si malem-malem) secara bergantian oleh para rombongan dan kemudian di pakaikan pakaian adat secara terbalik dan makan bersama. Dalam pelaksanaan upacara ini tidak ada diiringi dengan gendang atau musik. Setelah pelaksanaan upacara nengget ini selesai seluruh anggota keluarga berharap supaya keluarga yang belum memiliki keturunan tersebut secepat mungkin mendapatkan keturunan sehingga upacara yang mereka lakukan tidak sia-sia begitu saja. Mungkin Tuhan berkehendak lain bukan seperti apa yang mereka harapkan, selama enam bulan mereka menuggu hasil dari upacara nengget
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
tetapi hasilnya tetap saja tidak ada.
Sampai-sampai keluarga yang belum
memiliki keturunan tersebut merasa malu dan meminta kepada keluarga besarnya baik itu dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan supaya tidak terlalu memikirkan mereka karena keadan mereka yang belum juga mendapat keturunan. Tetapi yang namanya orang tua tidak akan pernah rela melihat anaknya sedih karena tertekan perasaan oleh beban hidup yang dibawa anaknya apapun akan dilakukannya supaya anaknya bahagia. Sampai pada akhirnya bapak (orang tua laki-laki) dari istri yang belum memiliki keturuan tersebut bermimpi bahwa mereka harus melakukan upacara nengget untuk kedua kalinya akan tetapi tata cara upacara nengget yang akan mereka lakukan bukan seperti upacara nengget yang biasa orang Karo lakukan, melainkan harus di gabung dengan tata cara upacara nengget batak Toba. Pada dasarnya pelaksanaan nengget untuk kedua kalinya dilkaukan tidak menjadi masalah bagi mereka tetapi yang menjadi masalah adalah kenapa harus dilkaukan juga dengan memakai adat batak Toba. Padahal keluarga dari pihak perempuan asli bersal dari suku Karo tidak ada sedikitpun percampuran dengan suku Batak Toba. Mungkin karena ini merupakan amanat yang diberikan oleh orang yang telah mendahului mereka maka upacara nengget itu dilaksanakan juga sama seperti apa yang telah dikatakan dalam mimpi tersebut. Pelaksanaannya ternyata tidak semudah upacara nengget yang biasa dilakukan oleh suku Karo, pelaksanaan nengget yang dilakukan dengan tata cara suku Toba jauh lebih rumit. Biasanya pada pelaksanaan nengget yang dilakukan suku Karo hanya dengan menyediakan satu ekor ayam yang dimasak secara utuh dan ini yang nantinya diberikan kepada keluarga yang belum memilki keturunan
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
tersebut. Beda dengan Toba mereka harus menyediakan deke boru silalahi (ikan yang khusus diberikan pada perempuan yang bermarga silalahi) ukuran serta beratnya juga tidak boleh sembarangan dan warnanya juga harus benar-benar hitam. Ikan ini nantinya akan di masak secara utuh dan dibalut dengan daun tebu. Pada saat memasak ikan ini harus benar-benar dijaga agar jangan sampai patah, karena apabila patah atau retak sedikit saja maka ikan ini tidak layak untuk diberikan kepada boru silalahi tersebut. Selain ikan ini masih ada lagi yang harus disediakan yautu nitak, nitak ini adalah makanan yang terbuat dari tepung beras yang dibentuk sedemikian rupa dan bentuknya tersebut juga mempunyai makna tertentu sehingga dalam pembuatannya juga tidak sembarangan orang yang tau. Nitak ini tidak diberi campuran apa-apa hanya terbuat dari tepung beras dan campuran air sedikit. setelah dibentuk sedemikian rupa maka nitak ini dimasak dengan cara dikukus. Nitak ini akan diberika kepada istri dari pasangan yang belum memiliki keturunan bersamaan dengan ikan boru silalahi yang telah dimasak. Waktu dan tata pelaksanaan dari upacara nengget ini dilakukan sama seperti pelaksanaan upacara nengget yang dilakukan oleh suku Karo. Keluarga yang belum memiliki keturunan di siram dengan air si malem-malem secara bergantian oleh para rombongan. Setelah itu mereka di berikan pakaian adat Toba walaupun tidak lengkap melainkan hanya memakai ulos saja yang diberikan oleh pihak kalimbubu. Penutup dari upacara ini makan bersama dengan para rombongan dan setelah semuanya selesai maka upacara ini dikatan sudah selesai dan para rombongan dapat pulang ke rumah masing-masing. Satu tahun setelah pelaksanaan upacara nengget yang dilakukan oleh pihak kalimbubu tidak juga
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
mendapatkan hasil seperti apa yang mereka harapkan. Mulai saat itu pihak keluarga sudah mulai putus asa dan merasa tidak ada harapan lagi, dan bahkan keluarga yang belum memiliki keturunan tersebut juga tidak berharap banyak lagi. Segala macam cara sudah dilakukan tetapi hasilnya tetap sama tidak juga berhasil seperti apa yang diharapkan. Bukan hanya sampai disitu saja usaha yang mereka lakukan bahkan pada saat ada acara (mengangkat tulang-tulang dari kuburan dan dipindahkan ketempat lain yang telah disediakan) kakek (bulang) dari istri yang belum memiliki keturunan, mereka juga sempat di sengget oleh bibinya (saudara perempuan dari ayah) di kuburan. Dengan cara menyiramkan air secara tiba-tiba tanpa sepengetahuan mereka, disini istri dari yang belum memiliki keturunan tersebut sempat pingsan karena benar-benar terkejut. Setelah si istri ssadar seketika orang yang berada disekitar tempat itu menari dan menarik-narik pasangan yang belum memiliki keturunan tersebut agar ikut menari bersama mereka. Pasangan ini dipasangkan dengan turangkunya yang perempuan dibuat berpasangan dengan turangkunya yang laki-laki, sedangkan yang laki-laki dipasangkan dengan turangkunya yang peremupuan padahal secara adat hal ini dianggap sangat tidak wajar dan dipantangkan. Pada saat menari mereka dikelilingi oleh bibinya sambil ersurak atau berteriak sehingga suasana menjadi ramai. Pasangan ini tetap diajak menari sampai mereka menjadi seluk atau tidak sadarkan diri. Pada saat pasangan ini tidak sadarkan diri mereka ditanyai oleh bibinya apakah selama ini ada sura-sura (keinginan) yang belum disampaikan oleh bibinya sehingga keluarga ini belum juga mendapatkan keturunan, atau apakah ada perkataan dan tingkah laku bibinya
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
yang menyakitkan hati pasangan ini. Apabila ada keinginan dari pasangan ini yang belum dismpaikan oleh bibinya maka secepat mungkin sura-sura (keinginan) itu harus disampaikan. Biasanya sura-sura itu berupa cincin yang terbuat dari suasah bagi perempuan dan rawit (pisau) bagi laki-laki. Pada saat itu memang ada sura-sura pasangan ini untuk meminta cincin dari bibinya dan rawit dari mamanya. Satu minggu setelah mereka disengget maka bibinya dan mamanya datang mengantarkan cincin dan rawit tersebut kepada pasangan ini dalam hal ini tidak ada acara khusus dan keluarga yang datang juga hanya sedikit. Dengan tujuan supaya keluarga ini secepat mungkin mendapatkan keturunan seperti apa yang diharapkan oleh semua keluarga. Tetapi semua usaha ini tetap saja tidak berhasil karena sampai sekarang keluarga tersebut masih saja belum memiliki keturunan, padahal mereka telah berkeluarga hampir selama sembilan tahun. 4.2.2. Manfaat Yang Diperoleh Dari Upacara Nengget Manfaat yang deperoleh keluarga ini dari upacara nengget tidak terlalu banyak, karena setelah beberapa kali mereka disengget mereka tetap saja tidak mendapatkan keturunan seperti apa yang mereka harapkan. Tetapi bagi mereka upacara nengget ini adalah suatu upacara yang cukup membantu bagi keluarga yang belum memiliki keturunan, karena setelah diadakannya upacara nengget ini mereka tidak lagi putus asa dan tidak merasa malu dengan kata lain mereka dapat mengatakan ini sebagai cobaan dan mungkin saja pada saat ini mereka belum beruntung seperti apa yang dialami oleh pasangan ini. Menurut keluarga ini bukan upacara nengget itu yang salah walaupun sudah beberapa kali mereka disengget dan belum mendapatkan keturunan juga, bagi mereka ini hanya sebagai cobaan
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
dari yang di atas mungkin memang belum saatnya mereka mendapatkan keturunan. Selain daripada itu manfaat yang diperoleh dari upacara nengget ini adalah bahwa mereka semakin sadar kalau bukan mereka saja yang merasa terbebani karena belum memiliki keturunan, melainkan seluruh keluarga juga ikut merasa terbebani dengan keadaan keluarga ini yang belum juga memiliki keturunan. karena pada masyarakat Karo apabila tidak memiliki keturunan maka tidak akan ada lagi yang akan meneruskan marganya. Tanggapan pasangan ini terhadap upacara nengget sama seperti tanggapan keluarga G. Tarigan, yaitu mengharapkan supaya upacara negget ini tetap ada dan tidak terlupakan karena kemajuan zaman. Dan jangan pernah beranggapan bahwa upacara nengget ini adalah suatu jenis upacara yang menentang ajaran agama.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN Mendapatkan keturunan bagi masyarakat Batak, khususnya pada masyarakat Batak Karo adalah suatau hal yang amat penting. Walaupun dengan perkembangan pemikiran yang semakin maju masyarakat Karo lebih gembira lagi apabila mempunyai anak laki-laki,
karena ini berhubungan dengan penerus
keturunan dari klannya, dimana masyarakat Karo menganut garis keturunan berdasarkan garis ayah. Namun akibat-akibat biologis dan non-biologis banyak pasangan suami istri yang belum mendapat keturunan walaupun telah bertahuntahun membina hubungan rumah tangga. Salah satu upacara yang dipercayai dan yang dilakukan masyrakat Karo untuk memperoleh keturunan adalah dikenal dengan nengget, yaitu membuat sumi istri tersebut terkejut. Upacara Nengget adalah : mengadakan kejutan kepada salah satu keluarga yang sudah lama berumah tangga tetapi belum memiliki keturuan. Nengget ini tidak hanya ditujukan pada keluarga yang belum memiliki keturunan akan tetapi upacara ini juga bisa dilakukan pada keluarga yang sudah memiliki keturunan namun semuanya perempuan. Upacara Nengget adalah salah satu jenis upacara religi yang sampai saat sekarang ini masih dilaksanakan atau masih diyakini oleh masyarakat etnik Karo. Pelaksana dari upacara nengget ini bisanya dari pihak kalimbubu, dan anak beru. Selain kalimbubu dan anak beru masih ada lagi yang lebih memiliki peranan yang cukup penting dalam pelaksanaan upacara nengget ini, yaitu turangku atau besan. . Turangku adalah: orang yang tabu untuk bertegor
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
sapa dalam kehidupan sehari-hari, apabila mereka ingin berbicara harus memakai kata nina turangku atau dusebut sebagai kata istilah. Turangku inilah yang pertama sekali menyiramkan air suci atau lau si malem-malem kepada keluarga tersebut. Padahal sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari turangku ini tidak dapat saling bertegor sapa dengan mereka
(keluarga yang di sengget). Hal ini di
pantangkan menurut adat karo istilah ini disebut dengan istilah rebu. Proses pelaksanaan upacara negget dilakukan pada malam hari, tepatnya pada saat keluarga tersebut sedang beristrahat. Pada malam pelaksanaan upacara para rombongan datang dengan membawa segala perlengkapan upacara yang telah ditentukan sebelumnya. Sesampainya di rumah pasangan yang akan disengget, para rombongan masuk kerumah dan menyiramkan lau si malemmalem (air yang dicampurkan dengan beberapa ramuan) kepada pasangan tersebut secara bergantian. Setelah itu pasangan dipakaikan pakaian adat Karo secara terbalik laki-laki dipakaikan pakaian perempuan dan yang perempuan dipakaikan pakaian laki-laki. Kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama dengan para rombongan lainnya. Apabila setelah pelaksanaan upacara ini keluarga yang telah disengget tersebut belum juga mendapatkan keturunan maka, tidak menutup kemungkinan untuk melakukan upacara nengget untuk kedua kalinya. Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan upacara nengget ini adalah untuk memohon supaya keluarga tersebut mendapatkan keturunan.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
5.2. SARAN Untuk dapat terus mempertahankan upacara nengget maka disini penulis menyarankan beberapa hal, diantaranya adalah: 1. Masyarakat Karo harus tetap mempertahankan keaneka ragaman jenisjenis upacara yang terdapat pada masyarakat Karo supaya tidak punah akibat kemajuan zaman. 2. Masyarakat Karo khususnya di Desa Saran Padang harus tetap mempertahankan
upacara
nengget
supaya
tetap
eksis
walaupun
pengobatan modern sudah berkembang pesat. 3. Perlunya pemahaman mengenai upacara nengget, bahwa upacara nennget itu bukan suatu upacara yang ditentang oleh ajaran agama. 4. Memperkenalkan upacara nengget kepada masyarakat awam lainnya di luar etnis Karo, sehingga mereka dapat lebih memahami apa sebenarnya yang menjadi maksud dan tujuan upacara nengget.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
DARTAR PUSTAKA
Bangun, Teridah. 1986.
Perkawinan Masyarakat Batak Karo. Jakarta : PT Kesaint Blanc
Bungin,Burhan. 2002.
Metode
penelitian
kualitatif.
Surabaya:
PT.
Grafindo
Raja
Persada.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan
dan
agama.
Yogyakarta: Kanisius. H.G, Tarigan. 1990.
percikan budaya karo. Bandung : Yayasan Merga Silima.
Koentjaraningrat. 1989. Pengantar
Ilmu
Antropologi.
Jakarta: Rineka cipta. 1987. Metode-metode
Penelitian
Masyarakat. Jakarta : PT Gramedia 1981. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : UI Perss
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Kessing, Roger M. 1992.
Antropologi Prespektif
Budaya:
Suatu
Kontemporer. Erlangga.
Jakarta. Mauss, Marcel. 1992.
Pemberian
(bentuk
dan
fungsi
pertukaran di masyarakat kuno) : Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Perangin angin, Martin.L 2004.
Orang Karo Diantara orang batak. Jakarta: Sora mido.
Prinst, Darwan. 2004. Adat Karo. Medan 1984. Sejarah
dan
Kebudayaan
Karo:
Yrama. Jakarta.
Suparlan, Parsudi. 1984.
Manusia,
Kebudayaan,
dan
lingkungannya. Depdikbud. Jakarta. Spradley, James P. 1997.
Metode Etnografi. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta
Saifuddin, Fedyani, Achmad. 2005.
Antropologi pengantar
Kontemporer kritis
(suatu
mengenai
paradigma)
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.
Sitepu sempa, sitepu bujur, sitepu A.G. 1996.
Pilar Budaya Karo. Medan
Suyono, Ariyono. 1985.
Kamus
Antropologi.
Jakarta:
Akademika pressindo.
Erlina Sembiring : Upacara Nengget Pada Masyarakat Suku Karo (Studi Deskriptif: Desa Saran Padang, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun), 2009.