BENTUK NURI-NURI PADA UPACARA ADAT KEMATIAN SUKU KARO (KAJIAN PRAGMATIK)
EDI KHALMA
ABSTRAK Isi dan tujan dari nuri-nuri yang tuturkan oleh pihak kalmbubu adalah sama, yakni berisi untuk meneguhkah hati keluarga yang ditinggalkan. Tuturan atau kata-kata peneguhan hati tersebut disampaikan dengan bentuk tuturan mengucapkan ikut berduka, menjelaskan, meminta, menyarankan, dan memperingatkan. Tiap-tiap bentuk tuturan tersebut disampaikan oleh banyak orang yang pada dasarnya berisikan hal yang sama. Dari enam data penelitian bahwa bentuk-bentuk tindak tutur pada nuri-nuri yakni: tindak tutur meminta merupakan kategori direktif, menyarankan merupakan kategori asertif, berterimakasih merupakan kategori ekspresif, mengucapkan berduka merupakan kategori ekspresif, memperingatkan merupakan kategori direktif, menjelaskan merupakan kategori asertif. Kata Kunci : Nuri-nuri, Upacara adat kematian, Tindak tutur
Latar Belakang Masalah Budaya merupakan suatu tatacara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Nilai-nilai budaya yang menjadi ciri-ciri kehidupan suatu masyarakat biasanya terkandung di dalam sumber-sumber tertulis, lisan dan gerak. Sumber-sumber tertulis dapat berupa naskah-naskah kuno. Sumber lisan berupa cerita-cerita rakyat, sastra lisan. Sedangkan sumber gerak terwujud dalam kegiatan seperti permainan rakyat, upacara-upacara adat baik itu upacara pernikahan, kematian ataupun upacara adat lainnya. Masyarakat merupakan sekelompok orang yang terorganisasi, hidup dan bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan. Artinya masyarakat memiliki organisasi dan aturan-aturan untuk berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat dan kebudayaan tidak bisa dilepaskan, keduanya merupakan konsep yang saling tergantung. Jadi, masyarakat merupakan pendukung dari kebudayaan. Wujud dari kebudayaan yang berupa pola-pola aturan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat akan tampak pada pelaksanaan adat istiadat atau tradisi masyarakat. Masyarakat yang menetap pada suatu daerah akan secara otomatis membentuk atau memiliki normanorma, sopan santun dan aturan. Penyampaian kata-kata belasungkawa, mengenang hubungannya selama ini dengan yang meninggal atau nasehat meneguhkan hati pihak keluarga yang ditinggalkan almarhum inilah yang disebut dengan nuri-nuri. Meratap berbeda dengan menangis pada bisanya. Meratap dalam bahasa Karo disebut Ngandung. Ngandung ialah menangis sambil menceritakan hal-hal yang dijalanai dengan sang almarhum, baik bentuk tindakan atau percakapan yang trakhir dilakukan. Lain halnya dengan nuri-nuri, nuri-
nuri dilakukan dengan menangis atau menyampaikan dan menceritakan sesuatu hal oleh pihak kerabat yang berduka, disampaikan dengan diiringi musik dan bila diperhatikan berbentuk syair lagu yakni syair kesedihan hati yang dalam pelaksanaannya dilakukan sembil menari. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti teks ratapan/ tangisan yang di sebut nuri-nuri pada upacara kematian pada suku Karo. Penelitian ini bertujuan untuk mencari makna yang terkandung pada ratapan yang diutarakan oleh banyak orang yang pada dasarnya berisikan hal yang sama. Menunjukkan bahwa pada dasarnya perlu dilakukan pengikisan/pemangkasan proses adat terutama pada proses nuri-nuri. Peneliti menunjukkan bahwa pemberian kata-kata bela sungkawa, mengenang hubungannya selama ini dengan yang meninggal atau nasehat meneguhkan hati pihak keluarga yang ditinggalkan almarhum perlu lebih di efesienkan baik waktu maupun tenaga mengingat kehidupan masyarakat masa kini. Terkait dengan perspektif kebahasaan penelitian ini, fokus penelitian ini diarahkan pada aspek tuturan (speech) yang diproduksi oleh keluarga almarhum (yang berduka ) dengan mengungkapkan makna/isi yang terkandung di dalamnya. Kajian Teori Pada bahasa Indonesia, kajian makna lazim disebut pragmatik. Pragmatik merupakan salah satu bidang linguistik yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Pragmatik mempelajari makna eksternal, yaitu mempelajari penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. 1. Nuri-Nuri Nuri-nuri diambil dari kata dasar Turi. Prinsnt (2010:677) Turi (tentang peristiwa, hikayat, dsb) cerita, kata, kisah, uraian, nuri-nuri: bercerita. Nuri-nuri adalah kata-kata atau kalimat yang di utarakan/dikumandangkan dengan melodi tertentu yakni berbentuk ratapan oleh pihak keluarga pada upacara adat kematian yang mana berisikan kata pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran atau nasehat), pada proses ini akan diiringi oleh musik yang bernanda sendu dan lemah gemulai serta diikuti dengan menari. Yang termasuk dalam nuri-nuri adalah juga kata-kata atau kalimat yang 10 dilontarkan oleh perkolong-kolong (penyanyi yang disewa) pada upacara adat kematian dimana berbentuk ratapan. Beda halnya pada pada upacara pernikahan kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong disebut masu-masu (mendoakan ) dan bila diperhatikan akan sama pada upacara kematian, namun disini bedanya adalah isi dari kata-kata atau kalimat yang di lontarkan. Pada upacara kematian, kata-kata atau kalimat yang dilontarkan berbentuk ratapan/kesedihan akan ditinggalkan oleh si mendiang serta nasehat pada keluarga mendiang. Juga sama halnya kata-kata yang di utarakan oleh pihak keluarga pada upacara pernikahan disebut masu-masu (pemberkatan/doa-doa). Pada upacara kematian, ketika pihak-pihak dari keluarga berbicara dan memberikan nasehat, proses ini dinamakan mbereken kata pengapul (memberi nasehat agar tidak terlalu larut dalam kesedikah), bedanya dengan nuri-nuri pada mbreken kata pengaul ini tidak diiringi oleh musik dan tidak disertai dengan kegiatan menari. 2. Kajian Pragmatik Pragmatik merupakan bidang ilmu yang relatif baru meskipun di Eropa telah tumbuh pada tahun 1940-an dan di Amerika berkembang mulai tahun 1970-an. Pertumbuhan di Eropa diawali dengan pandangan Morris pada tahun 1938 tentang semiotika. Ia membagi ilmu tanda menjadi tiga cabang, yaitu sintaksis, semantik, dan
pragmatik. Pandangan itu kemudian mendapat sambutan dari ahli lain seperti Halliday yang pada tahun 1960-an mengembangkan teori sosial mengenai bahasa dengan memandang bahasa sebagai fenomena sosial. Perkembangan bidang ini di Amerika diilhami oleh karya filsuf yang memperhatikan bahasa, yaitu Austin pada tahun 1962 dan muridnya Searle pada tahun 1969-1975. Austin menulis buku yang berjudul How to Do Things with Word, ia mengemukakan gagasan tentang tuturan performatif dan konstatif. Gagasan lain yang amat penting pula adalah tentang tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Searle meneruskan pemikiran Austin dengan bukunya yang berjudul Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language. Pada karyanya yang lain ia berpendapat bahwa tindak tutur yang tidak terbatas jumlahnya itu dapat dikategorikan menjadi lima macam saja, yaitu representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. Sejak terbitnya dua karya perintis pragmatik itu bermuncullan karya lain di bidang ini. Grice pada tahun 1975 mencetuskan teori tentang implikatur percakapan (conversational implicature). Gagasan itu dipublikasikan dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation. Gagasan penting lain dalam artikel itu adalah prinsip kerja sama (cooperative principle), yaitu prinsip percakapan yang membimbing pesertanya agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif dan dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Prinsip itu dijabarkan ke dalam empat maksim, yaitu maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Pada tahun 1978 Brown dan Levinson mengemukakan masalah kesantunan berbahasa yang berkenaaan dengan nosi muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Pada tahun 1983 terbit karya Leech berjudul Principles of Pragmatics. Buah pikiran penting penulisannya terdapat di dalam karya ini, yaitu tentang prinsip kesantunan (politeness principle). Gagasan Leech tentang kesantunan itu berkenaan dengan kaidah yang dirumuskan dalam enam maksim. Keenam maksim itu adalah maksim kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hati, kecocokan, dan kesimpatian. Levincon (dalam Rahardi, 1983:48) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Parker (dalam Rahardi, 1986:48) pragmatik adalah cabang ilmu yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Dari definisi kedua tokoh di atas disimpulkan bahwa pragmaktik menjadi suatu kajian yang amat penting untuk memenangkan kajian makna bahasa, karena pada kajian pragmatik pengkajian makna akan dikaitkan dengan konteks. Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat dengan konteks. Pragmatik mengkaji bahasa untuk memahami maksud penuturnya dengan pertimbangan-pertimbangan konteks. Selanjutnya Tarigan (dalam www.google.com) menyatakan bahwa pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan terutama sekali memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial perfotmasi bahasa yang dapat mempengaruhi tafsiran atau intepretasi. Kajian pragmatik mutlak harus berkaitan erat dengan konteks situasi tutur, hal ini sejalan dengan teori Leech (1993:8) mengungkapkan bahwa ”pragmatik adalah studi tentang makna dan hubungannya dengan situasi ujar (speech situations)”. Menurutnya pragmatik mempelajari bagaimana bahasa digunakan dalam 15 komunikasi dan pragmatik juga menyelidiki makna dalam konteks dan bukan makna sebagai sesuatu yang abstrak. Mey menyatakan tentang pragmatik sebagai berikut; “Pragmatik is the study of the conditions of humen language uses as these are determined by the context of society” (dalam Rahari, 1983 :49).
Dari pengertian di atas, pragmatik mempunyai arti ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian bahasa, pada dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan melatarbelakangi. Konteks situasi tutur yang dimaksudkan oleh Mey sebagaimana dikutib oleh Rahardi yakni konteks sosial dan konteks sositel. Konteks sosial adalah konteks kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya komunikasi dan interaksi antar anggota masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang sangat tertentu sifatnya. Sedangkan konteks societal adalah konteks yang ditentukan oleh kedudukan anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada dalam masyarakat sosial dan budaya tertentu. Di bagian depan sudah diuraikan bahwa pragmatik adalah studi yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah tuturan. Dengan berdasarkan pada gagasan Leech ( 1983: 13-14) bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur, mencangkup aspek-aspek: 1. penutur dan lawan tutur ( petutur) 2. konteks tuturan 3. tujuan tutur 4. tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas 5. tuturan sebagai produk tindak verbal. Maka itu penelitian ini sangat relevan menggunakan kajian pragmatik khususnya makna pragmatik dalam mengaktualisasikan gagasan atau ide sesuai dengan wacana tutur/ujar. 2.a. Bentuk/Kategori Nuri-Nuri (Tuturan) Nuri-nuri adalah kata-kata atau kalimat yang diutarakan pada upacara adat kematian yang mana berisikan kata pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran atau nasehat), pada proses ini akan diiringi oleh musik yang bernanda sendu dan lemah gemulai serta diikuti dengan menari, yang termasuk dalam nuri-nuri adalah juga katakata atau kalimat yang dilontarkan oleh perkolong-kolong (penyanyi yang disewa) pada upacara adat kematian dimana berbentuk ratapan dengan melodi tertentu yakni berbentuk ratapan oleh pihak keluarga yang berduka. Dari defenisi tersebut maka nurinuri merupakan tindak tutur atau ujaran yang dihasilkan oleh manusia. Tutur/ujar merupakan ucapan seseorang kepada orang lain. Jadi, tutur/ujar merupakan bagian dari kajian prakmatik. Pengetahuan mengenai dunia adalah bagian dari konteks, pada pragmatik dikaji bagaimana cara pemakai bahasa menerapkan pengetahuan dunia untuk mengiterpretasikan ucapan-ucapan. Menurut Zulkarnain (2009 dalam www. google.com) tutur/ujar merupakan suatu perbuatan berbicara yang lebih mengacu terhadap makna dan arti dari ucapan yang dimaksudkan oleh si penutur. Keberlangsungan tuturan atau ujaraan ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Peristiwa tutur merupakan gejala sosial, sedangkan tindak tutur merupakan gejala individual, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan berbahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam peristiwa tutur banyak dilihat pada tujuan peristiwanya dan pada tindak tutur dilihat pada makna atau arti tindakan dalam
tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang terjadi pada suatu proses, yaitu proses komunikasi (http://www.hisbulwatan.co.cc). Untuk mengetahui maksud dan tujuan berkomunikasi peristiwa tutur diwujudkan dalam sebuah kalimat. Dari kalimat-kalimat yang diucapkan oleh seorang penutur dapat diketahui apa yang dibicarakan dan diinginkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra tutur. Akhirnya, mitra tutur akan menanggapi kalimat yang dibicarakan oleh penutur. Misalnya, kalimat yang mempunyai tujuan untuk memberitahukan saja, kalimat yang memerlukan jawaban, dan kalimat yang meminta lawan tutur melakukan suatu tindakan atau perbuatan. 2.a.1. Klasifikasi Tindak Tutur Searle (dalam Nader, 2008:14) membagi tindak tutur menjadi tiga macam tindakan yang berbeda, yaitu tindak lokusioner, ilokusioner, dan perlokusioner. Ketiga tindak tutur tersebut diatur oleh aturan atau norma penggunaan bahasa dalam situasi percakapan antara penutur dan petutur. Tindak lokusioner adalah tindak tutur yang semata-mata menyatakan sesuatu, biasanya dipandang kurang penting dalam kajian tindak tutur. Tindak ilokusioner adalah tindak tutur dengan tujuan ingin mencapai sesuatu. Tindak ilokusioner merupakan tindak terpenting dalam kajian dan pemahaman tindak tutur. Tuturan ilokusioner sendiri pada umumnya tuturan berisi menyatakan, berjanji, minta maaf, mengancam, meramalkan, memerintah, meminta, dan lain sebagainya. Tindak tutur selanjutnya adalah tindak tutur perlokusioner, yaitu tindakan untuk mempengaruhi lawan tutur, tuturan tersebut biasanya tuturan yang memalukan, mengintemidasi, membujuk, dan lain sebagainya. Mengenai tindak lokusioner, ilokusioner dan perlokusioner, Wijana (1996:1720), dan Searle (1975 dalam www.google.com) menjelaskan bahwa ketiga tindakan tersebut dapat dijelaskan sebagai tindakan untuk menyatakan sesuatu, tindakan melakukan sesuatu dan tindakan untuk mempengaruhi. Kedua akhli diatas membagi tindak ilokusioner menjadi lima yaitu: 1. representatif/asertif yaitu tuturan/ujaran yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan seperti pernyataan, ramalan, mengeluh, membanggakan, dan menyarankan, 2. direktif/impositif yaitu tuturan/ujaran yang dimaksudkan penuturnya agar sipendengar melakukan tindakan yang disebutkan dalam tindakan seperti perintah, larangan, peringatan, mengusulkan, memohon, atau mendesak, 3. ekspresif/evaluatif yaitu tuturan/ujaran yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, seperti ucapan terimakasih, meminta maaf, dan ucapan selamat, 4. komisif yaitu tuturan/ujaran yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya seperti berjanji, ancaman, tawaran, menyetujui, bersumpah dan merencanakan, 5. deklaratif/establisif yaitu tuturan yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan dsn) yang baru seperti peresmian, pemecatan dan pembaptisan. Menurut Leech (1983:176) situasi berbeda menuntut adanya jenis-jenis kata kerja berbeda dan derajat sopan santun yang berbeda juga. Pada tingkat yang paling umum fungsi ilokusi dapat dibagi menjadi empat jenis, sesuai dengan hubungan fungsi-fungsi tersebut dengan tujuan-tujuan sosial berupa pemeliharaan perilaku yang sopan dan terhormat. Klasifikasi fungsi ilokusi Leech adalah sebagai berikut.
1. Kompetitif (Competitif), tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial, misalnya: memerintah, meminta, menuntut, mengemis. 2. Menyenangkan (Convivial), tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial, misalnya: menawarkan/mengajak/mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat. 3. Bekerja sama (Collaborative), tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya: menyatakan, melapor, mengumumkan, dan mengajarkan. 4. Bertentangan (Conflictive), tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya: mengancam, menuduh, menyumpahi, dan memarahi. Di antara keempat jenis ilokusi ini yang melibatkan sopan santun ialah jenis pertama (kompetitif) dan jenis kedua (menyenangkan). Dari ketiga pendapat ahli diatas, tujuh bentuk atau kategori tuturan ilokusioner pada penelitian ini karena sesuai dengan tuturan nuri-nuri pada upacara adat kematian suku Karo. Ketujuh bentuk tindak tutur/ujaran itu adalah sebagai berikut: 1. tuturan berisi menyapa/bersalam 2. tuturan berisi meminta 3. tuturan berisi meyarankan 4. tuturan berisi berterimaksih 5. tuturan berisi mengucapkan berduka 6. tuturan berisi memperingatkan, dan 7. tuturan berisi menjelaskan. Dengan memperhatikan uraian di atas, bentuk dan isi daripada nuiri-nuri haruslah memiliki struktur yang jelas. Adapun struktur atau bentuk itu terdiri dari: 1) salam pembuka (pengantar), 2) isi, dan 3) salam penutup. 2.b. Prinsip Kerja Sama Keith Allan (dalam Rahardi, 1986:52) bertutur adalah kegiatan yang berdimensi sosial, seperti kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila para peserta pertuturan itu terlibat aktif di dalam proses bertutur. Proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan dengan baik dan lancar, mereka harus saling bekerja sama, misalnya dengan berperilaku sopan kepada pihak lain. Berperilaku sopan itu dilakukan dengan cara memperhitungkan muka si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Agar pesan (message) dapat diterima dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip (1) prinsip kejelasan (clarity), (2) prinsip kepadatan (conciseness), dan prinsip kelangsungan (directness). Ketiga prinsip tersebut secara lengkap tertuang ke dalam empat maxim kerjasama Grice (1975) yakni; (maxim kuantitas, maxim kualitas, maxim relevansi, dan maxim pelaksanaan. 2.b.1. Prinsip Kesopanan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 997&1084) menyatakan sopan santun berarti budi pekerti yang baik; tata krama; peradaban; kesusilaan. Jadi, kesopansantunan adalah perihal tentang sopan santun dalam tingkah laku. Dalam berkomunikasi tidak jarang dijumpai bahwa satu ujaran tidak saja mengandung makna tertentu (sense), melainkan juga memiliki daya-dorong (force)
yang seolah memaksa orang lain melakukan tindakan tertentu sebagaimana diinginkan oleh pengujar (speaker). Sistem penggunaan bahasa yang mendasari berbahasa seperti ini dapat disebut “sopan-santun berbahasa” atau honorifics. Bahasa-bahasa berbeda dalam kompleksitas sistem sopan-santun berbahasa, namun semua mempunyainya dan secara lazim diungkapkan dengan kata ganti orang, sistem sapaan, penggunaan gelar dan sebagainya. Prinsip kesopanan berfungsi sebagai pencegah kekurang-harmonisan hubungan sosial dalam berbahasa. (Ohoiwutun, 2007:92). Prisip kesopanan kadangkala dijumpai pula dalam fenomena ironi atau ejekan. Sang pengejek membohongi dan memperdaya sasarannya dengan tutur kata halus.Berbicara mengenai prinsip kesopanan Leech (dalam Ohoiwutun, 2007: 93) mengklasifikasikannya ke dalam dua kategori, absolute dan relatif. Prinsip “kesopanan absolut” mengacu pada norma-norma umum yang berlaku dalam setiap masyarakat bahasa yang ikut mempengaruhi kesopan-santunan berbahasa. Leech dan Wijana (dalam Nader, 2008: 29) menyebutkan bahwa para pelaku tutur untuk berinteraksi memerlukan perinsip selain prinsip kerja sama yaitu prinsip kesopanan. Prinsip kesopanan mempunyai sejumlah maksim ’maxim’, yakni meksim kebijaksanaan, meksim kemurahan, maksim penerimaan, dan maksim kerendahan hati, dan maksim kecocokan Maksim kebijaksanaan diungkapkan dengan tuturan impositif atau direktif dan komisif. Tindak tutur impositif dan komisif merupakan klasifikasi tindak tutur ilokusi yang meliputi asertif, direktif, ekspresif dan deklaratif. Tindak ilokusi direktif dan impositif dimaksudkan untuk menimbulkan efek melalui tindakan sang penyimak, misalnya memesan, memerintahkan, memohon, meminta, menyarankan, menyuruh, menganjurkan dan menasehatkan. Tuturan komisif melibatkan pembicara pada beberapa tindakan yang akan datang, misalnya menjanjikan, bersumpah, menawarkan dan memanjatkan doa. Maksim ini menggariskan bahwa peserta penuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Maksim penerimaan dituturkan dengan tuturan komisif dan impositif. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Maksim kemurahan diutarakan dalam tuturan ekspresif dan tuturan asertif. Tuturan ekspresif mempunyai fungsi untuk mengespresikan, mengungkapkan, atau memberitahukan sikap psikologis sang pembicara menuju suatu pernyataan yang diperkirakan oleh ilokusi, misalnya mengucapkan selamat, mengucapkan terimakasih, memuji, menyatakan bela sungkawa dan sebagainya. Tuturan asertif melibatkan pembicara pada kebenaran proposisi yang diekspresikan misalnya menyatakan, mengeluh, menyarankan, melaporkan dan lain sebagainya. Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan berpusat kepada orang lain, maksim kerendahan hati berpusat kepada diri sendiri. Meksim kerendahan hati menuntut setipa peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan kepada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada dori sendiri. Maksim kecocokan juga diungkapkan dengan tuturan eksperesif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
Maksim kesimpatian juga diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Metode Penelitian Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti harus menentukan metode penelitian yang akan digunakan. Hal ini penting karena turut menentukan tercapai tidaknya tujuan penelitian yang akan dilaksanakan. Arikuto (2003:234) menyatakan “Metode penelitian deskriptif kualitatif digunakan untuk mengumpulkan informasi mengenai suatu gejala yang ada yaitu dengan gejala menurut apa adanya pada penelitian yang dilakukan.” Berdasarkan pendapat di atas dan tujuan penelitian yang ingin dicapai maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode desktiptif kualitatif, yaitu metode yang menggambarkan serta memaparkan suatu keadaan secara apa adanya sesuai dengan masa sekarang atau terjadi dalam keadaan sebenarnya. Hasil Penelitian Ketiga sumber data yang berbentuk CD diperoleh terlebih dahulu, selanjutnya melalui tahap pengumpulan penyeleksian data dilakukan, dilanjutkan dengan mentranskrip kedalam bentuk tulisan dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Indionedia. Data tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabel serta dianalisis atau disusun sebagai hasil penelitian. Data yang dianalisis peneliti adalah nuri-nuri yang diujarkan oleh pihak kalimbubu, tanpa melihat atau membagi/membatasi nuri-nuri oleh sub kalimbubu yang mana. Temuan Penelitian Seperti yang telah disebutkan pada latar belakang masalah bahwa tuturan yang disebut dengan nuri-nuri oleh pihak kalimbubu, penyampaiannya dilakukan tiga sampai lima orang atau lebih yang isi atau makna serta tujuan penyampaiannya sama. Data dari masing-masing CD yang telah ditranskripkan diatas merupakan tuturan yang telah dipilih untuk mewakili tuturan yang disampaikan oleh banyak kalimbubu. Maka dari hasil penelitian ini bahwa isi, makna atau tujuan dari masing-masing penutur adalah sama. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka ditemukan bahwa: a. tindak tutur menyapa/bersalam merupakan tuturan klasifikasi tindak ilokusi dengan kategori tuturan ekspresif. Tutur menyapa ini disampaikan dengan kaidah maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kemurahan. b. tindak tutur meminta merupakan tuturan kalisifikasi tindak ilokusi dengan kategori tuturan direktif. Tutur menyapa ini disampaikan dengan kaidah maksim kebijaksanaan. c. tindak tutur menyarankan merupakan tuturan klaisifikasi tindak ilokusi dengan kategori tuturan asertif. Tutur menyarankan disampaikan dengan kaidah maksim kecocokan, maksim kesepakatan, dan maksim kesimpatian. d. tindak tutur berterimakasih merupakan tuturan kalisifikasi tindak ilokusi dengan ketegori ekspresif. Tutur menyarankan disampaikan dengan kaidah maksim kerendahan hati.
e. tindak tutur mengucapkan barduka merupakan tuturan kalisifikasi ilokusi dengan ketegori ekspresif dengan kaidah maksim kecocokan, maksim kesimpatian, dan maksim kemurahan. f. tindak tutur memperingatkan merupakan tuturan kalisifikasi ilokusi dengan ketegori direktif dengan menggunakan kaidah maksim kebijaksanaan. g. tindak tutur menjelaskan merupakan tuturan klasifikasi ilokusi degan penyampaiannya dengan tuturan kategori asertif. Tuturan asertif ini di sampaikan degan kaidah maksim kemurahan, kecocokan, kerendahan hati, dan maksim kesimpatian. Pembahasan Hasil Penelitian Dari hasil analisis data yang dilakukan maka dapat dipaparkan bentuk/kategori, makna, dan penggunaan maksim pada tindak tutur oleh kalimbubu. Tindak tutur menyapa/bersalam. Tutur-turan ini disampaikan kalimbubu untuk memulai/membuka tuturan. Tuturan menyapa/bersalam merupakan tuturan ilokusi dengan kategori ekspresif. Tuturan ini disampaikan dengan maksud untuk tujuan supaya adanya saling menghormati antar seluruh jabatan adat. Contoh ”Kalimbubu kami silit ijenda bagaipe siningkelengi kami anak beru kami, bagaipei rikut anak beru menteri kami, sada pe la ketadingen. Jadi ibas paksa enda kita paksana erceda ate, ngerana ka aku”: Tuturan diatas juga menunjukkan bagaimana pemakaian maksim kerendahan hati seorang kalimbubu mau mengasihi anak baru dan menyapa dengan hormat. Pada bisanya untuk penyampaian nuri-nuri diawali oleh kata ”perpulungan iluh ibas mata” yang menyatakan bahwa berkumpulnya seanak saudara didasari atas rasa sedih yang berduka dan dijalanjutkan dengan tuturan yang menyebutkan bahwa penutur berbicara atas nama kalimbubu yang kemudian di ikutkan kepada siapa tuturan tersebut ditujukan. Kata salam yang disampaikan oleh pihak kalimbubu pada umumnya disampaikan terdahulu kepada kalimbubunya atau puang kalimbubu dari keluarga yang berduka, kemudian kepada senina/sembuyak dari kalimbubu itu sendiri, selanjutnya kepada anak beru dan dilanjutkan kepada seluruh yang hadir. Tuturan menyapa/bersalam dituturkan dengan kaidah maksim kerendahan hati, kecocokan dan kemurahan. Pada data diatas tampak bahwa maksim yang mendominasi adalah maksim kecocokan. Hal ini berarti bahwa tuturan menyapa didasari atas kecocokan antara penutur dan petutur, yaitu memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidak cocokan diantara mereka. Kecocokan tetap diperhatikan oleh kalimbubu, hal ini dipengaruhi oleh adanya rasa saling menghormati. Tindak tutur meminta. Tindak tutur meminta ini dituturkan oleh pihak kalimbubu kepada seluruh anak beru baik itu langsung kepada anak kandung yang ditinggalkan (kalau orang tua yang meninggal), kepada orang tua kandung (kalau anak yang meninggal), kepada paman/bibik kandung dari yang berduka, atau kepada saudara kandung atau semarga agar dipenuhi. Apabila pihak kalimbubu meminta kepada anak beru hal ini harus dipenuhi oleh anak beru, karena kalimbubu adalah yang paling di hormati dan dihargai kedudukannya. Tutur meminta diatas merupakan tuturan ilokusi dengan kategoti tuturan direktif yang dituturkan dengan kaidah maksim kebijaksanaan. Tuturan meminta dituturkan oleh kalimbubu dengan tujuan ingin mencapai sesuatu dari anak beru, dalam hal ini adalah meminta supaya anak beru (bere-bere) agar tidak pecah berai bersaudara, mengutamakan diskusi untuk mengambil keputusan keluarga, dan sebagainya. Tuturan meminta ini tidak hanya dituturkan kepada yang masih hidup saja,
melainkan kepada yang meninggal contoh “Mejuah-juah kerina tading kendu bereiberei kami si dilaku ras sidiberu.” Meminta supaya diberkati oleh yang meninggal anak-anak yang ditinggalkannya. Meminta juga di panjatkan kepada Tuhan. Tindak tutur menyarankan. Tindak tutur menyarankan ini adalah tindak tutur yang diucapkan oleh kalimbubu kepada anak beru dengan tujuan mencapai sesuatu yakni supaya dilaksanakan. Menyarankan supaya tetap teguh dan tetap bersatu walau ditinggal pergi oleh orang tua. Tuturan menyarankan ini akan lebih terasa apabila yang meninggal adalah perempuan ( Ibu), dikarenakan oleh yang meninggal tidak lain adalah saudara perempuan kalimbubu itu sendiri. Selain itu, tuturan menyarankan pada umumnya disampaikan oleh pihak puang kalimbubu, hal ini dikarenakan oleh jabatan paung kalimbubu adalah jabatan yang tugasnya hanya menyarankan dan bukan sebagai pemberi keputusan atau perintah. Pada kebiasaan budaya Karo, tuturan menyarankan disampaikan tidak hanya kepada seanak saudara yang ditinggalkan melainkan juga untuk almarhum. Hal ini dipengaruhi dan terbawa/bawa oleh kepercayaan lama masyarakat suku Karo, yakni ketika orang mati hanya badannya lah yang mati dan jiwanya atau rohnya akan tetap hidup dan ada disekitar keluarga yang ditinggalkan. Tutur menyarankan diatas merupakan tuturan ilokusi dengan ketegori asertif. Tuturan asertif dituturkan dengan kaidah maksim kecocokan, maksim kesepakatan, maksim kemurahan, dan maksim kesimpatian. Tuturan menyarankan dituturkan oleh kalimbubu dengan tujuan untuk memberi saran atau masukan kepada anak beru. Tuturan menyarankan ini tidak hanya disampaikan kepa saudara yang di tinggalkan almarhum, tapi juga kepada almarhum. Tuturan menyarankan juga disampaikan kepada saudara dari yang meninggal, hal ini terlebih kepada saudara perempuan (apabila yang meninggal adalah perempuan. Hal ini dikarenakan saudara perempuan yang ditnggalkan tersebut dituntut sebagai pengganti ibu bagi anak yang ditinggalkans saudaranya. Tindak tutur berterimakasih. Tutur berterimakasih ini adalah tutur yang diucapkan oleh kalimbubu kepada kalimbubunya (puang kalimbubu oleh yang berduka) karena telah diberi kesempatan berbicara dan menyampaikan ucapan bela sunggkawa kepada saudaranya. Pada pembuka tuturan bela sungkawa, ucapan terimakasih terlebih dahulu diucapkan kepada Tuhan atas berkat dan rahmatnya, kemudian diucapkan kembali saat mengakhiri penyampaian tututan bela sungkawa. Ucapan terimakasih pada saat diakhirinya tuturan disampaikan kepada semua orang yang hadir. Tuturan berterimakasih ini adalah tuturan klasifikasi tindak ilokusi dengan ketegori tururan Ekspresif. Tuturan ekspresif dituturkan dengan kaindah maksim kerendahan hati. Tuturan terimakasih juga tetap di sampaikan oleh kalimbubu walau mengingat kalimbubu adalah jabatan adat yang tertinggi. Tuturan berterimakasih ini dituturkan oleh kalimbubu dikarenakan oleh jabatan yang dijabat oleh kalimbubu tersebut adalah jabatan yang bukan jabatan tetap, artinya bahwa jabatan adat di acara adat di satu keluarga akan berbeda bila Iya menghadiri acara adat di keluarga yang lainnya, hal ini dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan. Untuk memulai pembicaraan pada acara adat, biasanya dimulai dengan ucapan terimakasih kepada Tuhan dan kemudian kepada jabatan dari yang tinggi sampai kepada jabatan yang rendah. Tuturan berterimakasih juga akan kembali di tuturkan pada saat mengakhiri penyampaian nuri-nuri. Tindak tutur mengucapkan berduka. Tindak tutur mengucapkan duku yang disampikan oleh kalimbubu ditujukan kepada anak beru pada umumnya berisikan bahwa pihak kalimbubu juga ikut merasakan akan kehilangan orang yang dikasihi tersebut. Hal ini akan sangat tampak apabila yang meninggal analah perempuan (si ibu), dikarenakan ibu merupakan adek perempuan dari kalimbubu. Maka tuturan akan berisi
bahwa kalimbubu juga merasa sangat kehilangan. Makang ucapan duka akan diikuti oleh doa kepada Tuhan supaya ditempatkan ditempat yang baik. Tuturan berduka bukan hanya disampaikan kepada seanak saudara saja melainkan juga kepada almarhum. Tindak tutur mengucapkan duka merupakan tuturan klasifikasi tindak ilokusi dengan ketegori tururan ekspresif. Tuturan ekpresif dituturkan dengan kaidah maksim kecocokan, maksim kesimpatian, dan maksim kemurahan. Tuturan ini di sampaikan dengan maksud agar seanak saudara yang ditinggalkan tidak merasa bahwa hanya mereka yang merasa kehilangan. Melainkan pihak kalimbubu pun merasa kehilangan. Tuturan ini juga dituturkan dengan makna bahwa adanya keterikatan hati dan batin antara kalimbubu dengan seanak saudara yang ditinggalkan Tindak tutur memperingatkan. Tutur memperingatkan diatas merupakan tuturan ilokusi kategori tuturan direktif yang dituturkan dengan kaidah maksim kebijaksanaan. Tindak tutur memperingatkan yang diberikan oleh kalimbubu adalah memperingatkan anak beru ( yang berduka) supaya bertindak benar dan tidak membuat kesalahan dalam hidupnya, yaitu mengutamakan kebenaran dan mematuhi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Karo. Mematuhi adat merupakan hal yang paling penting karena adat merupakan warisan nenek moyang yang bernilai tinggi yang sangat bermanfaat pada kegidupan sehari-hari. Memperingatkan dalam hal ini merupakan pemberian nasehat kepada anak beru supaya tidak terlalu lama larut dalam kesedihan dan memperingatkan agar hidup seperti biasanya serta memperingatkan supaya bertindak yang bardasarkan aturan yang berlaku. Tuturan ini disampaikan oleh kalimbubu, ha ini berarti bahwa maksim kebijaksanaan memang sangat tepat. Hal ini dikarenakan bahwa jabatan kalimbubu adalah jabatan tertinggi dalam adat Karo. Penyampaian tuturan memeperingatkan haruslah disampaikan dengan penuh kebijaksanaan. Tindak tutur menjelaskan. Tutur menjelaskan diatas merupakan tuturan ilokusi kategori tuturan asertif yang dituturkan dengan kaidah maksim kemurahan, maksim kecocokan, maksim kerendah hati, dan maksim kesimpatian. Tuturan menjelaskan ini adalah tutur oleh kalimbubu kepada anak beru berisikan bagaimana tentang kejadian yang di hadapi sebelum meninggalnya orang yang dicintai. Mejelaskan bahwa kejadian ditinggalkan orang tua bukan hanya dialami mereka saja, melainkan semua orang pasti mengalaminya dan hanya dibedakan oleh waktu. Mejelaskan bagaimana orang-orang yang mengasihi si almarhum dalam merawat dan menjagai sebelum akhirnya meninggal, dan oleh sebab itu jasa-jasa yang menjegai tersebut haruslah dihargai dan jadi sebuah pertimbangan dalam mengambil keputusan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka ditemukan bahwa isi, makna dan tujuan nuri-nuri pada dasarnya berisikan tentang kalimat untuk memberi keteguhan hati, yakni tuturan duka cita, menjelaskan, menyarankan, meminta dan memperingatkan. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan yakni: 1. nuri-nuri oleh kalimbubu pada intinya berisikan tentang tuturan menyapa/bersalam, tuturan meminta, tuturan menyarankan, tuturan berterimakasih, tuturan mengucapkan berduka, tuturan memperingatkan, dan tuturan menjelaskan. 2. tuturan menyapa/bersalam merupakan tuturan klasifikasi tindak ilokusi dengan kategori tuturan ekspresif, di tuturkan dengan makna bahwa sebagai jabatan tertinggi dalam adat pun harus tetap menghormati seluruh yang hadir. untuk
menyapa atau memberi salam kepada seluruh jabatan adat. Tuturan ini disampaikan dengan berbeda-beda kaidah kesopanan. Adapun kaidah atau maksim tersebut yakitu maksim kerendahan hati, kecocokan, dan maksim kemurahan. 3. tuturan meminta di tuturkan tuturan kalisifikasi tindak ilokusi dengan kategori tuturan direktif, yakni dengan makna meminta kepada seanak saudara yang ditinggalkan untuk tetap berteguh hati. Tuturan ini labih daripada menyarankan. Tuturan meminta dipertegas untuk dipenuhi. Untuk penyampaiannya digunakan maksim kebijaksanaan. 4. tuturan menyarankan merupakan tuturan klaisifikasi tindak ilokusi dengan kategori tuturan asertif. Dituturkan kepada anak beru dengan maksud supaya mejadi sebuah acuan atau pandangan hidup. Menyarankan bagaimana seharusnya hidup sebagai orang yang ditinggalkan orang yang dikasihi. Penyampaian tuturan saran ini pun tetap memperhatikan kaidah kesopanan. Penyampaian tuturan ini disampaikan dengan maksim kecocokan, maksim kesepakatan, dan maksim kesimpatian. 5. tuturan berterimakasih merupakan tuturan kalisifikasi tindak ilokusi dengan ketegori ekspresif. Tuturan berterimakasih adalah tuturan yang diucapkan oleh kalimbubu kepada kalimbubunya. Tuturan berterimakasih ini adalah tuturan klasifikasi tindak ilokusi dengan kategori tuturan ekspresif. Tuturan ini dikategorikan sebagai tuturan ilokusi yaitu dikarenakan penutur bertutur yakni untuk mencapai tujaun. Adapaun tujaun dalam hal ini adalah untuk menghormati dan menghargai atas kesempatan yang telah diberikan. Tuturan ini dituturkan dengan kaidah maksim kerendahan hati. 6. tuturan mengucapkan berduka adalah tuturan klasifikasi tindak ilokusi dengan kategori tuturan ekspresif. Dituturkan dengan kaidah maksim kecocokan, maksim kesimpatian, dan maksim kemurahan. Tuturan ini dituturkan bermakna bahwa apa yang dialami keluarga yang ditinggalkan bukanlah akhir dari segalanya, bahwa kalimbubu juga sangat merasa kehilangan. Tuturan ini juga dituturkan dengan makna bahwa adanya keterikatan hati dan batin antara kalimbubu dengan seanak saudara yang ditinggalkan. 7. tuturan memperingatkan adalah tindak tutur ilokusi dengan kategori tuturan derektif. Tuturan ini disampaikan dengan kaidah maksim kebijaksanaan. Tuturan ini disampaikan oleh kalimbubu, ha ini berarti bahwa maksim kebijaksanaan memang sangat tepat. Hal ini dikarenakan bahwa jabatan kalimbubu adalah jabatan tertinggi dalam adat Karo. Penyampaian tuturan memeperingatkan haruslah disampaikan dengan penuh kebijaksanaan. tindak tutur menjelaskan adalah tuturan ilokusi dengan kategori tuturan asertif dan dituturkan dengan maksim kemurahan, maksim kecocokan, maksim kerendahan hati, dan maksim kesimpatian. Isi dari tuturan ini bermakna bahwa segala sesuatu yang dilakukan atau keputusan yang diambil haruslah di jelaskan kepada orang yang memang betul-betul membutuhkan penjelasan. menghadiri acara adat di keluarga lain. Hal ini jugalah yang mempengaruhi pemakaian maksim.
Daftar Bacaan Arikunto, Suharsimi.2003. Prosedur Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Asdi Mahasatnya. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hamid Hasan Lubis, H.A. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung, Angkasa. Jumanto, 2006. “Komunikasi Fatis Di Kalangan Penutur Jati Bahasa Inggris. Desertasi, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok. Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: Gramedia Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Leech, Geoffry. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta. Universitas Indonesia. Mustapa, H.Hasan. 2010. Adat Istiadat Sunda. Bandung: Alumni Nader, F.X. 2008. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta. Graha Ilmu. Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik. Jakarta: Kesaint Blanc. Parera, J.D. 1988. Morfologi. Jakarta: Gramedia. Phoenix, Team Pustaka. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru. Jakarta: Team Pustaka Phoenix. Prinst, Darwin. 2010. Kamus Karo Indonesia. Medan: Bina Media Perintis Purba, Olga Susana. 2006. Gambaran Budaya Tradisonal dan Moderen dalam Novel “ Tanjung Biru” Karya Arti Purbani. Medan: UNIMED Ragardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Yogyakarta. Erlangga. 77 Sibarani, Tamson. 2008. Tindak Tutur Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat batak Toba. Medan. USU Soekanto, Soerjono. 1977. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Yusus, H. Ahmad. 1985. Upacara Tradisional ( Upacara Kematian Daerah Bali). Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta. Penerbit Andi. Adat, Pengertian. http//www. amir.m.s./pengertian adat.org Berita. http://www.lingua.dnaberita.com Lio, sastra lisan adat. http://sosbud.kompasiana.com