BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teori Stewardship (Stewardship Theory) Dua teori utama yang terkait dengan GCG adalah teori stewardship dan teori keagenan. Teori stewardship adalah teori yang menggambarkan situasi dimana para manajer tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi. Teori ini mempunyai dasar psikologi dan sosiologi yang telah tersusun, dimana para eksekutif atau pihak manajemen sebagai steward termotivasi untuk bertindak sesuai keinginan pemegang saham atau principal. Selain itu perilaku manajemen tidak akan meninggalkan organisasinya sebab pihak manajemen berusaha untuk mencapai sasaran organisasinya. Konsep inti dari teori stewardship adalah kepercayaan. Menurut Husein (2007:54) dalam teori stewardsip para manajer digambarkan sebagai “good steward”, dimana mereka setia menjalani tugas dan tanggungjawab yang diberikan tuannya (dalam hal ini para stakeholders), tidak termotivasi pada materi dan uang akan tetapi pada keinginan untuk mengaktualisasi diri dan mendapatkan kepuasan dari pekerjaan yang digeluti serta menghindari konflik kepentingan dengan stakeholders-nya. Teori stewardship dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yaitu bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan
16
penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain (Chinn, 2000). Berdasarkan teori ini kedua kelompok yaitu pihak pemegang saham dan pihak manajemen bekerja bersama-sama guna meningkatkan kesejahteraan sesuai keinginan mereka. Ketika manajer mampu mengelola organisasi secara maksimal, terutama dalam upaya penciptaan nilai bagi perusahaan, maka itu artinya manajer telah memenuhi aspek psikologis dari teori ini. Walaupun fokus dari teori stewardship ini adalah harmonisasi antara pemilik modal dengan pengelola modal dalam mencapai tujuan bersama, tetapi secara implisit merefleksikan bagaimana akuntansi membangun sebuah konstruk pola kepemimpinan dan hubungan komunikasi shareholder dan manajemen, atau dapat juga terjadi antara top manajemen dengan jajaran manajemen lain dibawahnya dalam sebuah organisasi perusahaan dengan mekanisme situasional yang mencakup filosofis manajemen dan perbedaan budaya organisasi, dan kepemimpinan dalam pencapaian tujuan bersama tanpa menghalangi kepentingan masing-masing pihak (Sharma, 2004). Dalam teori stewardship manajer akan berperilaku sesuai kepentingan bersama. Ketika kepentingan pihak manajemen dan pemilik modal tidak sama, pihak manajemen akan berusaha bekerjasama daripada menentangnya, karena pihak manajemen lebih melihat pada usaha untuk mencapai tujuan organisasi. Teori stewardship mengasumsikan hubungan yang kuat antara kesuksesan organisasi dengan kepuasan pemilik. Manajemen akan melindungi dan memaksimalkan kekayaan organisasi dengan kinerja perusahaan, sehingga dengan demikian fungsi utilitas akan maksimal.
17
Teori stewardship dapat menjelaskan bahwa organ yang terdapat dalam perusahaan akan memaksimalkan kinerjanya agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Dengan demikian, organ-organ tersebut akan menerapkan good corporate governance dalam perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai (Septiputri, 2013). Pengelolaan yang baik atas seluruh potensi ini akan menciptakan value added bagi perusahaan yang kemudian dapat mendorong kinerja keuangan perusahaan. Kinerja keuangan perusahaan yang baik menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban dalam membayar utang yang baik pula dan akan memberikan sinyal yang positif kepada pihak luar yang cenderung membuat investor ingin berinvestasi. Dalam hal ini kinerja perusahaan akan meningkat, sehingga penerapan GCG diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan termasuk investor (Gozali Nathalia 2012). 2.1.2
Teori Keagenan (Agency Theory) Definisi teori keagenan menurut Jensen dan Meckling (1976), yaitu
hubungan yang timbul dari adanya kontrak yang ditetapkan antara dua pihak, yaitu pihak principal sebagai pihak yang mendelegasikan pekerjaan dan agent sebagai pihak yang menerima pendelegasian pekerjaan, yang berarti terjadi pemisahan antara kepemilikan dan kontrol perusahaan. Konflik keagenan yang berhubungan dengan penerbitan obligasi dapat terjadi antara manajemen dengan kreditor. Manajemen yang perusahaannya menerbitkan obligasi berkepentingan agar obligasi yang diterbitkan dapat terjual seluruhnya. Para kreditur berkepentingan terhadap penjaminan kondisi perusahaan penerbit dalam keadaan
18
baik sehingga nantinya tidak mendatangkan kerugian. Untuk mengurangi konflik tersebut maka kreditur menggunakan jasa lembaga pemeringkat obligasi sehingga dalam hal ini dapat mengurangi biaya penjaminan (bonding costs). Menurut Darmawati et al. (2005), inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahan antara kepemilikan (principal/investor) dan pengendalian (agent/manajer). Kepemilikan diwakili oleh investor mendelegasikan kewenangan kepada agen dalam hal ini manajer untuk mengelola kekayaan investor. Investor mempunyai harapan bahwa dengan mendelegasikan wewenang pengelolaan tersebut, mereka akan memperoleh keuntungan dengan bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor. Hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak-pihak yang bersangkutan mempunyai tujuan yang berbeda. Pemilik modal menghendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran para pemilik
modal,
sedangkan
manajer
juga
menginginkan
bertambahnya
kesejahteraan bagi para manajer. Dengan demikian muncullah konflik kepentingan antara pemilik (investor) dengan manajer (agen). Pemilik lebih tertarik untuk memaksimumkan return dan harga sekuritas dari investasinya, sedangkan manajer mempunyai kebutuhan psikologis dan ekonomi yang luas, termasuk memaksimumkan kompensasinya. Kontrak yang dibuat antara pemilik dengan manajer diharapkan dapat meminimumkan konflik antar kedua kepentingan tersebut. Teori keagenan dilandasi dengan tiga asumsi (Eisenhardt, 1989), yaitu: asumsi sifat manusia (human assumptions), asumsi keorganisasian (organizational assumptions), dan asumsi informasi (information assumptions).
19
Asumsi sifat manusia adalah asumsi yang diperoleh melalui hubungan pribadi atau pengalaman sosial secara nyata dan pada akhirnya memengaruhi perspektif dan tindakan individu terhadap sesamanya. Asumsi sifat manusia dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) self-interest, yaitu sifat manusia untuk mengutamakan kepentingan diri sendiri, (2) bounded-rationality, yaitu sifat manusia yang memiliki keterbatasan rasionalitas, dan (3) risk aversion, yaitu sifat manusia yang lebih memilih mengelak dari risiko. Asumsi keorganisasian yaitu asumsi yang secara khusus membahas perilaku manusia dalam lingkungan keorganisasian dan meneliti pengaruh organisasi terhadap individu dan pengaruh individu terhadap organisasi. Asumsi keorganisasian dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) konflik sebagian tujuan antar partisipan, (2) efisiensi sebagai suatu kriteria efektivitas, dan (3) asimetri informasi antara pemilik dan agen. Asumsi informasi merupakan asumsi yang menyatakan bahwa informasi merupakan suatu komoditas yang dapat dibeli. Asumsi informasi diharapkan mampu membuat perbedaan dalam sebuah keputusan. Informasi itu mampu memengaruhi pengambilan keputusan dan berkaitan erat dengan keputusan yang akan diambil, jika tidak berarti informasi tersebut dikatakan tidak relevan. Informasi yang relevan harus memiliki nilai umpan balik (feed-back value), yakni mampu membantu menjustifikasi dan mengoreksi harapan masa lalu. Informasi juga harus memiliki nilai prediktif (predictive value) yakni dapat digunakan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Teori keagenan lebih menekankan pada penentuan pengaturan kontrak yang efisien dalam hubungan pemilik dengan agen. Kontrak yang efisien adalah
20
kontrak yang jelas untuk masing-masing pihak yang berisi tentang hak dan kewajiban, sehingga dapat meminimumkan konflik keagenan. Salah satu contoh penerapan teori keagenan dalam perusahaan yaitu dengan menerapkan konsep GCG. GCG merupakan suatu mekanisme pengelolaan yang didasarkan pada teori keagenan. Penerapan konsep GCG diharapkan memberikan kepercayaan terhadap agen (manajemen) dalam mengelola kekayaan pemilik (investor), dan pemilik menjadi lebih yakin bahwa agen tidak akan melakukan suatu kecurangan untuk kesejahteraan agen. 2.1.3
Teori Sinyal (Signal Theory) Teori sinyal menunjukkan adanya hubungan asimetri antara manajemen
dengan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap informasi perusahaan, dengan asumsi bahwa informasi yang diterima dari masing-masing pihak berbeda atau tidak sama. Adanya asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar mendorong timbulnya teori sinyal yang ditandai dengan perusahaan memberikan informasi laporan keuangannya kepada pihak luar. Asimetri informasi dapat terjadi diantara dua kondisi ekstrem yaitu: (1) perbedaan informasi yang kecil sehingga tidak memengaruhi manajemen, atau (2) perbedaan yang sangat signifikan sehingga dapat berpengaruh terhadap manajemen dan harga saham (Raharja dan Sari, 2008). Asimetri informasi terjadi ketika pemegang saham mengetahui sedikit informasi tentang suatu keadaan di dalam perusahaan dibandingkan dengan pihak manajemen yang lebih banyak mengetahui tentang informasi atau keadaan perusahaan. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk
21
mengurangi adanya asimetri informasi adalah dengan memberikan sinyal kepada pihak luar. Sinyal yang diberikan perusahaan dapat berupa laporan keuangan, informasi kebijakan perusahaan maupun informasi lain yang diberikan secara sukarela oleh manajemen perusahaan (Estiyanti dan Yasa 2012). Menurut Jensen dan Meckling (1976), ada dua jenis permasalahan yang ditimbulkan oleh asimetri informasi, yaitu: 1) adverse selection, adalah keadaan dimana pemegang saham tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas. 2) moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika manajemen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja dan cenderung bertindak oportunis. Dengan memberikan sinyal kepada pihak investor atau pihak luar lainnya maka akan dapat mengurangi adanya asimetri informasi. Teori pensinyalan dalam penelitian ini menjelaskan bahwa manajemen perusahaan sebagai pihak yang memberikan sinyal berupa laporan keuangan perusahaan dan informasi non keuangan kepada lembaga pemeringkat. Lembaga pemeringkat obligasi ini melakukan proses pemeringkatan sehingga dapat menerbitkan peringkat obligasi untuk perusahaan penerbit obligasi. Peringkat obligasi ini memberikan sinyal tentang probabilitas kegagalan pembayaran utang sebuah perusahaan (Estiyanti dan Yasa, 2012).
22
Sebelum memutuskan untuk melakukan investasi obligasi di suatu perusahaan, penting bagi pihak calon investor atau pihak eksternal lainnya untuk mengetahui informasi terkait kondisi obligasi. Dengan adanya teori sinyal diharapkan dapat memberikan informasi tambahan kepada pihak eksternal mengenai keadaan suatu obligasi dalam perusahaan tentang kemungkinan apa yang akan terjadi terkait probabilitas kegagalan pembayaran utang obligasi. Salah satu sinyal yang dapat ditunjukkan untuk memberikan informasi tentang kondisi dari suatu obligasi adalah dengan melihat peringkat obligasi.
2.1.4 Obligasi Dalam pasar modal obligasi bisa menjadi salah satu sumber pendanaan, dimana pihak investor dapat menanamkan investasi melalui pembelian obligasi yang relatif aman dan menguntungkan karena memberikan pendapatan yang tetap berupa pokok utang beserta bunga yang dibayar sesuai jatuh tempo yang telah ditentukan dan bagi pihak yang memerlukan dana dapat memperoleh dana dengan menerbitkan obligasi. Pihak perusahaan yang memerlukan dana mulai menggunakan obligasi sebagai salah satu instrumen keuangan karena prosedur penerbitan obligasi lebih mudah dibandingkan dengan pinjaman di bank yang lebih ketat, dan tingkat bunga obligasi kompetitif dibanding suku bunga bank yang cenderung meningkat. Selain itu obligasi memiliki kekuatan hukum dan dapat memberikan pendapatan yang tetap secara periodik (Wansley, 1992). Menurut Kepres
RI No.775/KMK/001/1982 (Manan,
2007 dalam
Prihatiningsih 2009), obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang atas
23
pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 3 tahun dengan menjanjikan imbalan bunga yang jumlah serta saat pembayarannya telah ditentukan terlebih dahulu oleh emiten. Sedangkan Bursa Efek Indonesia (2010) mengartikan obligasi sebagai surat utang jangka menengah-panjang yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut. Dalam struktur keuangan perusahaan, obligasi mempunyai urutan lebih diutamakan daripada saham untuk mendapatkan haknya apabila perusahaan melakukan likuidasi (Raharjo, 2003). 2.1.4.1 Jenis-jenis Obligasi Menurut BEI obligasi memiliki beberapa jenis yang berbeda, yaitu. 1) Dilihat dari karakteristiknya (1) Nilai nominal (Face Value) Nilai nominal merupakan nilai pokok dari suatu obligasi yang akan diterima oleh pemegang obligasi pada saat obligasi tersebut jatuh tempo. (2) Kupon (the Interest Rate) Kupon merupakan nilai bunga yang diterima pemegang obligasi secara berkala yang biasanya setiap 3 atau 6 bulanan. (3) Jatuh Tempo (Maturity) Jatuh tempo adalah tanggal dimana pemegang obligasi akan mendapatkan pembayaran kembali pokok atau nilai nominal obligasi yang dimilikinya.
24
Periode jatuh tempo obligasi bervariasi mulai dari 365 hari sampai dengan diatas 5 tahun. (4) Penerbit/Emiten (Issuer) Mengetahui dan mengenal penerbit obligasi merupakan faktor yang sangat penting dalam melakukan investasi obligasi. 2) Dilihat dari sisi penerbit obligasi Berdasarkan penerbitnya obligasi dikelompokkan menjadi empat, yaitu. (1) Obligasi Pemerintah Pusat (Government Bond), yaitu obligasi yang digunakan pemerintah untuk pendanaan dalam utang pemerintah. (2) Obligasi Pemerintah Daerah (Municipal Bond), terdiri atas general obligation bond yaitu arus kas yang bersumber dari penerimaan pajak dan revenue bond adalah obligasi pemerintah daerah yang membayarkan kupon maupun pokok pinjaman dari proyek yang dibiayainya. (3) Obligasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), merupakan obligasi yang diterbitkan untuk pendanaan BUMN. (4) Obligasi Perusahaan Swasta (Corporate Bond), adalah sebuah sekuritas yang berisikan perjanjian antara penerbit dan investor, dimana penerbit obligasi memiliki kewajiban untuk membayar kupon dan pokok pinjaman sesuai dengan kesepakatan dan dalam jangka waktu tertentu. 3) Dilihat dari sistem pembayaran bunga. (1) Zero coupon bonds, yaitu obligasi yang tidak melakukan pembayaran bunga secara periodik, namun bunga dan pokok dibayarkan sekaligus pada saat jatuh tempo.
25
(2) Mixed rate bonds, merupakan obligasi dengan kupon yang dapat diuangkan secara periodik sesuai dengan ketentuan penerbitnya. (3) Fixed coupon bonds, obligasi dengan tingkat kupon bunga yang telah ditetapkan sebelum masa penawaran di pasar perdana dan akan dibayarkan secara periodik. (4) Floating coupon bonds, yaitu obligasi dengan tingkat kupon bunga yang ditentukan sebelum jangka waktu tersebut berdasarkan suatu acuan (benchmark) tertentu seperti average time deposit (ATD) yaitu rata-rata tertimbang tingkat suku bunga deposito dari bank pemertintah atau swasta. 4) Dilihat dari segi jaminan atau kolateralnya (1) Secured Bonds Secured Bonds yaitu obligasi yang dijamin dengan kekayaan tertentu dari penerbitnya atau dengan jaminan lain dari pihak ketiga, yang termasuk di dalam kelompok ini yaitu sebagai berikut. a. Guaranteed bonds, yaitu obligasi yang pelunasan bunga dan pokoknya dijamin dengan penanggungan dari pihak ketiga. b. Mortgage bonds, yaitu obligasi yang pelunasan bunga dan pokoknya dijamin dengan agunan hipotik atas property atau aset tetap. c. Collateral Trust Bonds, yaitu obligasi yang dijamin dengan efek yang dimiliki penerbit dalam portofolionya, misalnya saham-saham anak perusahaan yang dimilikinya. (2) Unsecured Bonds, yaitu obligasi yang tidak dijaminkan dengan kekayaan tertentu tetapi dijamin dengan kekayaan penerbitnya secara umum.
26
2.1.4.2 Manfaat Obligasi Menurut Sunariyah (2004), tingkat bunga obligasi bersifat konstan, dalam arti tidak dipengaruhi harga pasar obligasi. Berbeda dengan saham yang tingkat return-nya bervariasi karena dividen saham bergantung pada laba perusahaan. Jika laba perusahaan sedikit maka tingkat dividen juga akan menurun begitupun sebaliknya. Dalam investasi obligasi, pemegang obligasi dapat memprediksi pendapatan obligasi karena sudah ditentukan dalam kontrak perjanjian mengenai hak-hak dari pembeli obligasi. Selain itu tingkat bunga obligasi yang tinggi dari tingkat inflasi juga dapat melindungi pemegang obligasi dari risiko kerugian yang ditimbulkan oleh inflasi. Obligasi dapat digunakan sebagai agunan kredit bank dan untuk membeli instrumen aset lain. 2.1.4.3 Risiko Obligasi Menurut Bringham dan Houston (2009) dalam Pakarinti (2012), terdapat beberapa risiko investasi obligasi yang harus diperhatikan oleh investor, yaitu. 1) Risiko suku bunga atau risiko tingkat bunga Pada umumnya harga obligasi bergerak berlawanan arah terhadap perubahan suku bunga. Apabila suku bunga naik, harga obligasi akan turun, dan sebaliknya. Bagi investor yang merencanakan untuk menjual obligasi sebelum jatuh tempo, suatu kenaikan suku bunga setelah membeli obligasi berarti adalah capital loss yang direalisasikan. Risiko tersebut disebut interest rate risk atau disebut juga price risk. Kenaikan tingkat bunga pasar menyebabkan menurunnya harga obligasi karena sebesar apapun tingkat bunga pasar
27
mengalami peningkatan, pemegang obligasi tetap hanya akan menerima tingkat bunga yang sudah ditetapkan. 2) Risiko reinvestasi (Reinvestment risk) Pendapatan obligasi berasal dari: (a) pembayaran suku bunga dari kupon, (b) pemilik obligasi akan menerima capital gain atau capital loss bila obligasi itu dicairkan, dijual atau jatuh tempo, dan (c) bunga yang diperoleh dari reinvestasi interim cash flow. Agar seorang investor merealisasikan suatu yield sama dengan yield pada saat obligasi dibeli, interim cash flow tersebut harus diinvestasikan pada suku bunga sama dengan yield yang ditentukan pada saat obligasi dibeli. Risiko bahwa interim cash flow akan diinvestasikan dengan suku bunga yang lebih rendah dan investor akan menerima yield yang lebih rendah daripada yield pada saat obligasi dibeli disebut reinvestment risk. 3) Risiko bangkrut atau risiko kredit (Default risk) Risiko kredit, yaitu risiko bahwa emiten akan tidak mampu memenuhi pembayaran bunga dan pokok utang sesuai dengan kontrak. Obligasi perusahaan mempunyai default risk yang lebih besar daripada obligasi pemerintah. Cara untuk memonitor default risk dari obligasi adalah dengan melihat peringkat obligasi yang diterbitkan oleh lembaga penerbit. 4) Risiko waktu (Call Risk) Risiko ini melekat pada callable bonds, yakni obligasi yang dapat ditarik sewaktu-waktu oleh emitennya dengan harga yang telah ditetapkan. Risiko waktu terjadi jika: (a) pola aliran kas emiten tidak pasti, (b) penarikan
28
dilakukan pada saat suku bunga rendah, dan (c) potensi kenaikan harga obligasi lebih tinggi dari harga call-nya. 5) Risiko Inflasi Risiko inflasi disebut pula risiko terhadap daya beli. Risiko inflasi merupakan risiko bahwa return yang direalisasikan dalam investasi obligasi tidak akan cukup untuk menutupi kerugian menurunnya daya beli yang disebabkan inflasi. Bila inflasi meningkat dan tingkat bunga obligasi tetap, maka terjadi penurunan daya beli yang harus ditanggung investor. 6) Risiko kurs valuta asing Orang Indonesia yang membeli obligasi perusahaan di negara lain dapat mengalami kerugian perbedaan kurs valuta asing (foreign exchange risk). 7) Risiko Likuidasi (Marketability risk) Yakni risiko yang mengacu pada seberapa mudah investor dapat menjual obligasinya, sedekat mungkin dengan nilai dari obligasi tersebut. Cara untuk mengukur likuidasi adalah dengan melihat besarnya spead (selisih) antara harga permintaan dan harga penawarannya yang dipasang oleh perantara pedagang efek. Semakin besar spead tersebut, makin besar risiko likuidasi yang dihadapi. 8) Event risk Seringkali kemampuan emiten untuk membayar bunga dan pokok utang tanpa terduga berubah karena bencana alam dan pengambilalihan.
29
2.1.5 Peringkat Obligasi Sebelum dilakukan penawaran, terlebih dahulu obligasi harus diberi peringkat oleh badan pemeringkat obligasi. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui keamanan dari obligasi untuk para investor. Berdasarkan Keputusan Ketua BAPEPAM dan Lembaga Keuangan Nomor: 135/BL/2006 Tentang “Pemeringkatan Atas Efek Bersifat Utang” menyatakan bahwa emiten yang akan menerbitkan obligasi wajib memperoleh hasil pemeringkatan obligasi. Informasi mengenai suatu peringkat obligasi dapat menjadi informasi tambahan dan diharapkan menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi investor dalam menentukan investasinya. Sedangkan bagi emiten, peringkat bermanfaat untuk mengetahui struktur obligasi dan mengetahui posisi kinerjanya dibanding perusahaan lain (Raharjo, 2003). Keamanan obligasi dapat dinilai dari kemampuan bayar suatu perusahaan yang meliputi pembayaran pokok pinjaman dan bunga obligasi. Untuk mengetahui penilaian peringkat obligasi, pihak investor dapat menggunakan jasa dari badan pemeringkat obligasi untuk mengetahui kualitas dari obligasi yang akan diinvestasikan. Dapat dikatakan bahwa peringkat mencoba mengukur risiko kegagalan, yaitu peluang emiten atau peminjam akan mengalami kondisi tidak mampu memenuhi kewajiban keuangannya (Foster, 1986). Menurut Raharjo (2004), manfaat secara umum dari proses pemeringkatan obligasi adalah sebagai berikut. 1) Sistem informasi yang transparan yang menyangkut berbagai produk obligasi akan menciptakan pasar obligasi yang sehat.
30
2) Efisiensi biaya. Hasil peringkat obligasi yang bagus biasanya memberikan keuntungan, yaitu menghindari kewajiban persyaratan keuangan yang biasanya memberatkan perusahaan, seperti penyediaan sinking fund dan jaminan aset. 3) Menentukan besarnya coupon rate. Semakin bagus peringkatnya, maka cenderung semakin rendah nilai coupon rate dan sebaliknya apabila peringkatnya semakin rendah maka nilai dari coupon rate akan semakin tinggi. 4) Memberikan informasi yang obyektif dan independen menyangkut kemampuan pembayaran utang, tingkat risiko investasi yang mungkin timbul, serta jenis dan tingkatan utang tersebut. 5) Mampu menggambarkan kondisi pasar obligasi dan kondisi ekonomi pada umumnya. Adapula beberapa manfaat yang akan didapatkan oleh emiten yaitu. 1)
Informasi posisi bisnis. Pihak perusahaan dapat mengetahui posisi bisnis dan kinerja usahanya dibandingkan dengan perusahaan sejenis lainnya.
2)
Menentukan struktur obligasi. Perusahaan dapat menentukan beberapa syarat atau struktur obligasi yang meliputi tingkat suku bunga, jenis obligasi, jangka waktu jatuh tempo, jumlah emisi obligasi serta berbagai struktur pendukung lainnya.
3)
Mendukung kinerja. Apabila emiten mendapatkan peringkat yang cukup bagus maka kewajiban menyediakan sinking fund atau jaminan kredit bisa dijadikan pilihan alternatif.
31
4)
Alat promosi. Peringkat obligasi yang baik terlihat lebih menarik sehingga dapat membantu promosi dari obligasi tersebut.
5)
Menjaga kepercayaan investor. Peringkat obligasi yang independen akan membuat investor merasa lebih aman sehingga kepercayaan bisa lebih terjaga.
2.1.6
Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO) Untuk mengetahui peringkat obligasi sebelum memutuskan untuk
berinvestasi, pihak investor dapat menggunakan jasa dari lembaga pemeringkat obligasi. Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/31/DPNP Tanggal 22 Desember 2011 perihal Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang diakui Bank Indonesia dan terdaftar di BAPEPAM-LK, diantaranya yang digunakan dalam penelitian ini adalah PT. PEFINDO. PT. PEFINDO didirikan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 1993 yang diprakarsai oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) dan Bank Indonesia, serta memperoleh ijin operasi berdasarkan BAPEPAM tanggal 13 Agustus 1994 dengan nomor 34/PM-PI/1994. Fungsi utama dari PT. PEFINDO yaitu memberikan peringkat terhadap risiko kredit atau credit risk dan sekuritas utang atau
debt
securities
secara
objektif,
independen,
serta
dapat
dipertanggungjawabkan terhadap publik. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis obligasi, Raharjo (2003) dalam Maharti dan Daljono (2011) yaitu.
32
1) Kinerja Industri Kinerja industri mencakup persaingan industri, prospek dan pangsa pasar, ketersediaan bahan baku, struktur industri, pengaruh kebijakan pemerintah, dan kebijakan ekonomi lainnya. 2) Kinerja Keuangan Kinerja keuangan meliputi aspek kualitas aset, rasio profitabilitas, pengelolaan aset dan pasiva, rasio kecukupan modal, tingkat pengelolaan utang, dan rasio kecukupan pembayaran bunga. 3) Kinerja Non Keuangan Kinerja non keuangan terdiri dari aspek manajemen, reputasi perusahaan, serta perjanjian indenture (meliputi sinking fund, debt test, dividend test, merger, dan sale of asset). Selain merupakan lembaga pemeringkat obligasi, PT. PEFINDO juga ikut mengawasi hasil peringkat yang telah di publish. Hal ini bertujuan untuk menjaga keakuratan informasi atas peringkat obligasi yang telah diberikan. Apabila selama pemantauan berkala ternyata kinerja perusahaan memburuk maka agen pemeringkat dapat menurunkan rating tersebut, begitu juga sebaliknya. Apabila kinerja perusahaan membaik maka agen pemeringkat dapat menaikkan rating obligasi perusahaan tersebut (Altman dan Kao, 1991). Untuk mengetahui simbol beserta makna dari peringkat obligasi yang diterbitkan oleh PT. PEFINDO dapat dilihat pada Tabel 2.1
33
Tabel 2.1 Simbol dan Makna dari Peringkat Obligasi PT. PEFINDO Simbol
Arti
AAA
Merupakan peringkat tertinggi yang diberikan oleh PEFINDO. Kemampuan obligor untuk memenuhi kewajiban keuangan jangka panjang atas efek utang tersebut relatif dibandingkan obligor Indonesia lainnya adalah superior.
AA
Memiliki sedikit perbedaan dengan peringkat tertinggi yang diberikan, dan kemampuan obligor untuk memenuhi komitmen keuangan jangka panjang atas efek utang tersebut, dibandingkan dengan obligor lainnya di Indonesia, adalah sangat kuat.
A
BBB
BB
B
CCC
D
Mengindikasikan bahwa kemampuan obligor untuk memenuhi komitmen keuangan jangka panjang atas efek utang tersebut, dibandingkan dengan obligor lainnya di Indonesia adalah kuat.Walaupun demikian, kemampuan obligor mungkin akan terpengaruh oleh perubahan buruk keadaan dan kondisi ekonomi. Peringkat ini mengindikasikan parameter proteksi yang memadai relatif dibanding surat utang Indonesia lainnya. Walaupun demikian, kondisi ekonomi yang buruk atau situasi yang terus berubah akan dapat memperlemah kemampuan obligor.
Peringkat ini mengindikasikan parameter proteksi yang sedikit lemah. Kemampuan obligor memenuhi komitmen keuangan jangka panjang atas efek utang tersebut sangat terpengaruh oleh memburuknya perkembangan perekonomian, bisnis, dan keuangan, yang dapat mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi kewajiban keuangan atas efek utang. Peringkat ini mengindikasikan parameter proteksi yang lemah relatif dibanding efek utang Indonesia lainnya. Walaupun obligor pada saat ini masih memiliki kemampuan untuk memenuhi komitmen keuangan jangka panjang atas efek utang tersebut, pemburukan kondisi perekonomian, bisnis, dan keuangan akan berakibat pada melemahnya kemampuan atau keinginan obligor untuk memenuhi komitmen-komitmen keuangan atas efek utang tersebut. Peringkat pada saat ini rentan untuk gagal bayar dan tergantung pada kondisi bisnis dan keuangan yang lebih menguntungkan untuk dapat memenuhi komitmen keuangan jangka panjangnya atas efek utang. Peringkat ini diberikan pada gagal bayar atas efek utang terjadi dengan sendirinya pada saat pertama kali timbulnya peristiwa gagal bayar atas efek utang tersebut. Pengecualian diberikan pada saat penundaan pembayaran terjadi dalam masa tenggang, atau penundaan pembayaran tersebut terjadi dalam rangka penyelesaian atas persengkataan komersial yang dianggap layak.
Sumber: PT. PEFINDO, 2015
34
2.1.7
Good Corporate Governance (GCG) Good Corporate Governance (GCG) merupakan seperangkat peraturan
yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan dan stakeholders lainnya agar seimbang hak dan kewajibannya (FCGI, 2001). Evans et al. (2000), mengartikan GCG sebagai seperangkat kesepakatan atau aturan institusi yang secara efektif mengatur pengambilan keputusan. Komite Nasional Kebijakan Governance atau KNKG (2006) menyatakan bahwa setiap perusahaan harus memastikan bahwa prinsip-prinsip pokok GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Prinsip-prinsip pokok tersebut sebagai berikut. 1) Keterbukaan (transparancy) Untuk menjaga objektifitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses serta dapat dipahami oleh pemangku kepentingan. 2)
Akuntabilitas (accountability) Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur
dan
sesuai
dengan
kepentingan
perusahaan
dengan
tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. 3) Pertanggungjawaban (responsibility) Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga
35
dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. 4) Kewajaran (fairness) Dalam
melaksanakan
kegiatannya,
perusahaan
harus
senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. 5) Independensi (independency) Untuk melancarkan pelaksaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Sistem penerapan GCG dibagi menjadi dua bagian, yaitu mekanisme internal governance dan mekanisme eksternal governance (Jensen dan Meckling, 1976). Mekanisme internal berhubungan dengan pengendalian yang dilakukan menggunakan peraturan dan kebijakan perusahaan kepada pengelola perusahaan. Mekanisme internal governance dapat dilakukan dengan berbagai cara, contohnya membuat kebijakan berkaitan dengan pemberian insentif kepada manajer apabila dapat meningkatkan laba dan profitabilitas perusahaan sehingga manajemen terpacu untuk senantiasa memperbaiki kinerja mereka dan menerapkan GCG dalam aktivitas operasional perusahaan. Mekanisme eksternal sering disebut dengan mekanisme pasar yang berhubungan dengan pengendalian yang terbentuk oleh pasar modal, pasar produk, dan pasar tenaga kerja (Susilowati dan Sumarto, 2010).
36
2.1.7.1 Good Corporate Governance Index (GCGI) GCGI merupakan penyusunan indeks tata kelola perusahaan secara subjektif yang bertujuan untuk menilai pelaksanaan atau implementasi tata kelola perusahaan di Indonesia. Indeks ini pada dasarnya mengukur kualitas GCG entitas yang dilakukan oleh entitas itu sendiri tanpa harus menggunakan bantuan pihak lain untuk melakukan penilaian. Indeks GCG sendiri diharapkan dapat digunakan untuk menilai sendiri (self-assessment) pelaksanaan GCG di perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada dasarnya adalah yang bersifat obyektif dan mudah diverifikasi keberadaannya. Indeks tata kelola perusahaan ini sendiri di bangun berdasarkan asas-asas GCG yang digunakan oleh KNKG (2006) yaitu asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. Dalam penyusunan indeks GCG perusahaan, alat-alat ukur yang digunakan harus ditetapkan besaran skor untuk membuat sebuah indeks tata kelola perusahaan. Hasil penilaian ini dimaksudkan untuk self-evaluation bagi entitas yang ingin mengetahui sejauh mana kualitas GCG entitas tersebut pada waktu tertentu. Penilaian penerapan GCG dalam GCGI berdasarkan pada pedoman KNKG (2006) dan ketentuan dari Corporate Governance Perception Index (CGPI). 2.1.8
Profitabilitas Profitabilitas
merupakan
suatu
rasio
yang
mengukur
kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba selama periode tertentu yang bisa diketahui dengan membandingkan antara laba bersih dengan jumlah aktiva atau jumlah
37
modal perusahaan dalam suatu periode tertentu (Munawir, 2003:33). Menurut Mamduh dan Abdul Halim (2000), profitabilitas adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan (profit) pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu. Menurut Brotman (1989), Bouzoita dan Young (1998) dan Bourton et al. (1989) dalam Yasa (2007), semakin tinggi profitabilitas maka semakin rendah default risk atau risiko ketidakmampuan membayar suatu perusahaan, maka peringkat obligasinya semakin baik. Apabila laba perusahaan tinggi, maka akan memberikan peringkat obligasi yang baik pula. Profitabilitas
memberikan
gambaran
sejauh
manakah
keefektifan
perusahaan dalam menghasilkan laba bagi perusahaan. Tingkat profitabilitas yang tinggi dapat mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk going concern. Profitabilitas yang tinggi juga dapat menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Semakin tinggi rasio profitabilitas maka perusahaan dinilai semakin efektif dalam menghasilkan laba, sehingga kemampuan perusahaan dalam melunasi pokok pinjaman dan membayar bunga semakin baik dan peringkat obligasinya akan tinggi. Penerbit obligasi yang memiliki profitabilitas tinggi akan berperingkat baik karena laba yang dihasilkan dapat digunakan untuk melunasi kewajiban. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Burton (2000) dalam Susilowati dan Sumarto (2010), bahwa tingkat profitabilitas yang tinggi menurunkan risiko insolvency (ketidakmampuan membayar utang). Dengan demikian rating obligasi perusahaan akan semakin membaik.
38
2.1.9
Likuiditas Rasio likuiditas mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk membayar
kewajiban finansial jangka pendek tepat pada waktunya (Sartono, 2002:123). Semakin tinggi rasio likuiditas maka semakin baik kondisi keuangan suatu perusahaan atau semakin likuid. Burton et al. (2000) menyatakan bahwa, tingkat likuiditas yang tinggi akan menunjukkan kuatnya kondisi keuangan perusahaan sehingga secara finansial akan memengaruhi prediksi peringkat obligasi. Perusahaan yang mampu memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya secara tidak langsung juga memengaruhi kewajiban finansial jangka panjangnya (pelunasan utang obligasi) yang berarti perusahaan tersebut memiliki aktiva lancar melebihi utang lancarnya. Menurut Arifin (2005) dalam Susilowati dan Sumarto (2010) menyatakan bahwa, kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban jangka pendek mengindikasikan bahwa perusahaan dalam keadaan likuid. Menurut Mamduh dan Abdul Halim (2000), rasio likuiditas mengukur kemampuan likuiditas jangka pendek perusahaan dengan melihat aktiva lancar perusahaan relatif terhadap utang lancarnya (utang dalam ini merupakan kewajiban perusahaan). Perusahaan yang mampu memenuhi kewajiban keuangannya tepat pada waktunya berarti perusahaan tersebut mempunyai aktiva lancar lebih besar daripada hutang lancarnya.
39
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1
Pengaruh Penerapan GCG terhadap Peringkat Obligasi Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) mendefinisikan GCG
sebagai serangkaian mekanisme untuk mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan agar operasional perusahaan berjalan sesuai dengan harapan para pemangku kepentingan (stakeholders). Sistem tata kelola perusahaan yang baik akan
mencerminkan
kinerja
perusahaan
yang
baik
dan
menunjukkan
keharmonisan hubungan antara pihak internal dan eksternal perusahaan karena kedua pihak memiliki tujuan untuk menghasilkan nilai tambah bagi perusahaan. Hastuti (2005) meneliti hubungan antara GCG dan struktur kepemilikan dengan kinerja keuangan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara transparansi dengan kinerja perusahaan. Lei dan Song (2004) meneliti apakah GCG memengaruhi nilai perusahaan tobin’s Q dan MBV di Hongkong. Mereka membuat good corporate governance index (GCGI) untuk merepresentasikan standard corporate governance perusahaan di Hongkong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki score GCG yang tinggi memiliki nilai pasar yang tinggi pula. Semakin tinggi indeks menunjukkan bahwa semakin bagus pengelolaan sebuah perusahaan serta diikuti dengan semakin baik pula peringkat obligasi yang diterima. Penelitian yang dilakukan oleh Rasyid dan Joice (2013) juga menunjukkan mekanisme GCG untuk proksi komite audit dan kualitas audit secara signifikan berpengaruh positif pada peringkat obligasi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Alali et al. (2012) juga menemukan bahwa tata kelola perusahaan memiliki
40
pengaruh positif signifikan terhadap peringkat obligasi. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut maka hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut. H1 : Penerapan GCG berpengaruh positif terhadap peringkat obligasi.
2.2.2
Pengaruh Profitabilitas terhadap Peringkat Obligasi Menurut Sartono (2002:120), profitabilitas adalah kemampuan perusahaan
memperoleh laba dalam hubungannnya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Rasio profitabilitas merupakan rasio yang menunjukkan gambaran sejauh manakah keefektifan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi perusahaan. Semakin tinggi rasio profitabilitas, maka perusahaan dinilai semakin efektif dalam menghasilkan laba, sehingga kemampuan perusahaan dalam melunasi pokok pinjaman dan membayar bunga semakin baik dan peringkat obligasinya akan semakin tinggi. Penelitian
Desmon
(2009)
dan
Lina
(2010)
menyatakan
bahwa,
profitabilitas berpengaruh positif pada prediksi peringkat obligasi. Menurut Bouzoita dan Young (1998) menyatakan semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin rendah risiko ketidakmampuan membayar (default) dan semakin baik peringkat yang diberikan terhadap perusahaan tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lina (2010), profitabilitas secara signifikan dapat digunakan untuk memprediksi peringkat obligasi. Dari penjelasan tersebut, maka penyusunan hipotesisnya sebagai berikut. H2 : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap peringkat obligasi.
41
2.2.3
Pengaruh Likuiditas terhadap Peringkat Obligasi Rasio likuiditas suatu perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam membayar kewajiban keuangan perusahaan jangka pendek yang secara tidak langsung juga memengaruhi terhadap kewajiban finansial perusahaan. Besar kecilnya rasio likuiditas perusahaan dapat dinilai salah satunya dengan nilai aset lancar perusahaan yang meliputi kas, piutang, persediaan, surat berharga dan lainlain. Semakin tinggi tingkat likuiditas perusahaan maka semakin besar pula kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansialnya dan semakin baik peringkat obligasi yang diberikan kepada perusahaan dengan asumsi bahwa perusahaan memiliki asset lancar yang tinggi dan memiliki kemampuan untuk membayar kewajiban jangka pendek maupun jangka panjang kepada para investor dengan risiko gagal bayar yang rendah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Carson dan Scott (1997) serta Bouzoita dan Young (1998) dalam Raharja dan Sari(2008) menemukan adanya hubungan antara likuiditas dengan peringkat utang. Semakin tinggi likuiditas perusahaan maka semakin baik peringkat perusahaan tersebut. Burton et al. (2000) dalam Almilia dan Devi (2007) menyatakan bahwa, tingkat likuiditas yang tinggi akan menunjukkan kuatnya kondisi keuangan perusahaan sehingga secara finansial akan memengaruhi prediksi peringkat obligasi. Dari penjelasan tersebut, maka rumusan hipotesisnya sebagai berikut. H3 : Likuiditas berpengaruh positif terhadap peringkat obligasi.
42