BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kemampuan berarti kesanggupan, kecakapan, atau kekuatan. Sementara itu, Robbin (dalam Yusdi, 2011) mengartikan bahwa kemampuan merupakan kapasitas seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Lebih lanjut, Robbin (dalam Yusdi, 2011) menyatakan bahwa kemampuan (ability) adalah sebuah penilaian terkini atas apa yang dapat dilakukan seseorang. Berdasarkan uraian tersebut, kemampuan adalah kapasitas kesanggupan atau kecakapan seorang individu untuk menguasai keahlian dalam melakukan/ mengerjakan beragam tugas dalam suatu pekerjaan atau suatu penilaian atas tindakan seseorang. Nesher (dalam Uno, 2011: 130) memberikan konsep bahwa karakteristik matematika terletak pada kekhususannya dalam mengkomunikasikan ide matematika melalui bahasa numerik. Bahasa numerik memungkinkan seseorang dapat melakukan pengukuran secara kuantitatif. Sedangkan sifat kekuantitatifan dari matematika dapat memberikan kemudahan bagi seseorang dalam menyikapi suatu masalah. Masalah bagi seseorang itu sangat tergantung pada latar belakang dan pengalaman belajar yang dialaminya. Bisa saja sesuatu dianggap masalah bagi seseorang, tetapi bagi orang lain hal itu bukan suatu masalah.
7
8
Ruseffendi (2006: 336-337) mengemukakan bahwa suatu persoalan merupakan masalah bagi siswa jika, (1) persoalan itu tidak dikenalnya sehingga belum mempunyai prosedur untuk menyelesaikannya, (2) siswa tersebut mempunyai niat/keinginan untuk menyelesaikannya, (3) siswa harus mampu menyelesaikannya, terlepas apakah akhirnya ia sampai atau tidak kepada jawaban masalah itu. Lebih lanjut Hudoyo (dalam Ibrahim, 2010: 28) mengatakan suatu pertanyaan merupakan masalah bagi siswa bila pertanyaan yang dihadapkan tidak dimengerti olehnya dan pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui oleh siswa. Schoenfeld (dalam Wijaya, 2012: 58) mendefinisikan masalah (dalam pemecahan masalah) sebagai suatu soal atau pertanyaan yang dihadapi oleh seseorang yang tidak memiliki akses secara langsung ke solusi yang dibutuhkan. Yang dimaksud dengan “akses secara langsung” adalah prosedur penyelesaian (atau bisa berupa rumus) yang sudah pasti. Berdasarkan uraian diatas, suatu masalah matematika (baik itu berupa pertanyaan maupun soal) merupakan masalah bagi siswa apabila siswa tersebut tidak mempunyai cara tertentu yang dapat digunakan secara langsung untuk menemukan jawaban dari pertanyaan/soal itu. Akan tetapi siswa memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menyelesaikannya, serta mempunyai keinginan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya adalah pemecahan masalah. Majid (2008: 142) menjelaskan bahwa pemecahan masalah merupakan cara memberikan
9
pengertian dengan menstimulasi siswa untuk memperhatikan, menelaah dan berpikir tentang suatu masalah untuk selanjutnya menganalisis masalah tersebut sebagai upaya untuk memecahkan masalah. Lebih spesifik lagi, Sumarmo dkk (dalam Ibrahim, 2010: 29) dalam matematika istilah pemecahan masalah mempunyai suatu pengertian khusus dengan interprestasi yang berbeda misalnya menyelesaikan
soal-soal
cerita,
menyelesaikan
soal
yang
tidak
rutin,
mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, membuktikan dan menciptakan konjektur. Pengertian tentang pentingnya pemecahan masalah yang berbeda tersebut menduduki peranan yang besar dan sangat penting dalam pengajaran matematika. Ruseffendi (2006: 241) mengatakan bahwa pemecahan masalah adalah pendekatan yang bersifat umum, yang lebih mengutamakan kepada proses daripada hasilnya (out put). Jadi, aspek proses merupakan aspek yang utama dalam pembelajaran pemecahan masalah, bukannya aspek produk. Menurut Sabandar (dalam Ibrahim, 2006: 31) pengertian proses dalam hal ini mengandung makna bahwa ketika siswa belajar matematika ada proses reinvention (menemukan kembali). Artinya, prosedur, alogaritma, dan aturan yang harus dipelajari tidaklah disediakan dan diajarkan oleh guru kemudian siswa siap menampungnya, akan tetapi siswa harus menemukannya. Pemecahan masalah matematika memerlukan langkah-langkah dan prosedur yang benar. Adapun langkah pemecahan masalah menurut Polya (dalam Ibrahim, 2010: 87), yaitu: (1) pemahaman masalah (understanding the problem), (2) rancangan penyelesaian (devising a plan), (3) pelaksanaan rencana (carrying out
10
the plan), (4) pengecekan jawaban (looking back). Sedangkan Ruseffendi (2006: 169) mengemukakan bahwa dalam pemecahan masalah ada lima langkah yang harus dilakukan oleh siswa, yaitu: (1) merumuskan masalah dalam bentuk yang lebih jelas, (2) menyatakan kembali masalah (persoalan) dalam bentuk yang dapat dipecahkan/diselesaikan, (3) menyusun hipotesis alternatif dan strategi pemecahan (prosedur kerja) yang diperkirakan baik untuk digunakan dalam memecahkan masalah, (4) mengetes hipotesis dan melaksanakan prosedur pemecahan atau melakukan kerja untuk memperoleh hasil (pengumpulan data, pengolahan data, dan lain-lain), (5) memeriksa kembali apakah hasil yang diperoleh itu benar (melakukan evaluasi terhadap penyelesaian). Menilai ranah pemecahan masalah matematika, berarti menilai kompetensi dalam memahami, memilih
pendekatan
dan strategi
pemecahan,
serta
menyelesaikan masalah. Suherman dkk (dalam Hudin, 2012) memaparkan beberapa indikator pemecahan masalah yaitu sebagai berikut. 1. Memahami masalah, yaitu mengidentifikasi kecukupan data untuk menyelesaikan masalah sehingga memperoleh gambaran lengkap apa yang diketahui dan ditanyakan dalam masalah tersebut. 2. Merencanakan penyelesaian, yaitu berupa menetapkan langkah-langkah penyelesaian, pemilihan konsep, persamaan dan teori yang sesuai yang dapat digunakan dalam masalah. 3. Melaksanakan rencana, yaitu menjalankan penyelesaian atau melakukan perhitungan berdasarkan langkah-langkah yang telah dirancang dengan menggunakan konsep, persamaan serta teori yang telah dipilih.
11
4. Memeriksa kembali, yaitu melihat kembali apa yang telah dikerjakan, apakah langkah-langkah penyelesaian telah terealisasikan sesuai rencana sehingga dapat memeriksa kembali kebenaran jawaban (kebenaran hasil yang diperoleh) yang pada akhirnya membuat kesimpulan akhir. Sedangkan menurut Shadiq (2009: 14 - 15) indikator yang menunjukkan pemecahan masalah antara lain adalah: 1. Menunjukkan pemahaman masalah. 2. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah. 3. Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk. 4. Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat. 5. Mengembangkan strategi pemecahan masalah. 6. Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah. 7. Menyelesaikan masalah yang tidak rutin. Jadi berdasarkan beberapa kajian sebelumnya, maka yang dimaksud dengan kemampuan pemecahan masalah matematika adalah kesanggupan seseorang untuk mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi, baik masalah dalam kehidupan sehari-hari maupun masalah yang tidak rutin dengan mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya pada situasi yang baru untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan pemecahan masalah matematika tersebut ditunjukkan dengan menyelesaikan soal/masalah matematika berdasarkan indikator pemecahan masalah, yaitu mengidentifikasi masalah, merencanakan penyelesaian masalah, menyelesaikan masalah, serta menafsirkan solusinya.
12
2.1.2 Model Problem Based Learning Problem Based Learning (PBL) dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah (Ambarjaya, 2012: 90). Menurut Arends (2008: 56) PBL merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inquiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Selanjutnya Dutch (dalam Amir, 2010: 21) merumuskan bahwa PBL merupakan model instruksional yang menantang siswa agar “belajar untuk belajar”, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata. Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis siswa dan inisiatif atas materi pelajaran. PBL mempersiapkan siswa untuk berpikir kritis dan analitis, dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. Model Problem Based Learning menawarkan kebebasan siswa dalam proses pembelajaran. Panen (dalam Rusmono, 2012: 74) mengatakan bahwa dalam model PBL, siswa diharapkan untuk terlibat dalam proses yang mengharuskannya untuk
mengidentifikasi
permasalahan,
mengumpulkan
informasi,
dan
menggunakan informasi tersebut untuk pemecahan masalah. Lebih lanjut Donalds Woods (dalam Amir, 2010: 13) menyebutkan PBL lebih dari sekedar lingkungan yang efektif untuk mempelajari pengetahuan tertentu. Ia dapat membantu peserta didik membangun kecakapan sepanjang hidupnya dalam memecahkan masalah, kerja sama tim, dan berkomunikasi. Di lain pihak, Smith & Ragan (dalam
13
Rusmono, 2012: 74) mengatakan bahwa model PBL merupakan usaha untuk membentuk suatu proses pemahaman isi suatu mata pelajaran pada seluruh kurikulum. Dari pendapat para ahli diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Model Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai titik tolak pembelajaran. Masalah-masalah yang dijadikan sebagai sarana belajar dalam model PBL ini adalah masalah yang memenuhi konteks dunia nyata. Melalui masalah-masalah yang kontekstual ini, para siswa akan menemukan kembali pengetahuan konsep-konsep dan ide-ide yang esensial (mendasar) dari materi pelajaran dan mengkontruksi sendiri pengetahuannya.
2.1.3 Karakteristik Problem Based Learning Esensi dari Problem Based Learning berupa menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan (Arends, 2008: 41). Yazdani (dalam Rusmono, 2012: 82) mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran dengan model PBL, ditandai dengan karakteristik: (1) siswa secara berkelompok aktif merumuskan masalah, (2) pertemuan-pertemuan pelajaran berlangsung open-ended atau berakhir dengan masih membuka peluang untuk berbagi ide tentang pemecahan masalah, sehingga memungkinkan pembelajaran tidak berlangsung dalam satu kali pertemuan, (3) tutor (dalam hal ini guru) adalah seorang fasilitator dan tidak seharusnya bertindak sebagai pakar yang merupakan
14
satu-satunya sumber informasi, (4) tutorial (pembimbingan kelas) berlangsung sesuai dengan tutorial PBL yang berpusat pada siswa. Rusmono (2012: 82) juga mengemukakan karakteristik tutor PBL dan karakteristik siswa yang belajar menggunakan model Problem Based Learning (PBL). Karakteristik tutor PBL meliputi: (1) memiliki pengetahuan tentang proses PBL, (2) memiliki komitmen terhadap pembelajaran berpusat pada siswa atau pembelajaran yang diarahkan oleh siswa, (3) kemampuan membangkitkan lingkungan yang santai dan tidak mengancam sambil terus bertindak mengembangkan diskusi dan berpikir kritis, dan (4) kemampuan melakukan evaluasi siswa yang konstruktif dan kinerja kelompok. Sedangkan karakteristik siswa yang belajar dengan PBL adalah (1) hadir dan aktif dalam semua pertemuan, (2) memiliki pengetahuan tentang proses PBL, (3) memiliki komitmen terhadap pembelajaran berpusat pada siswa atau pembelajaran yang diarahkan oleh siswa, (4) aktif berpartisipasi dalam diskusi dan berpikir kritis sambil memberi kontribusi pada proses pembelajaran, dan (5) mempunyai kemampuan untuk melakukan evaluasi kostruktif terhadap diri sendiri, kelompok, dan tutor. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam model Problem Based Learning (PBL) yang lebih dipentingkan adalah dari segi proses dan bukan hanya sekedar hasil belajar yang diperoleh. Apabila proses belajar dapat berlangsung secara maksimal, maka kemungkinan besar hasil belajar yang diperoleh juga akan optimal.
15
2.1.4 Langkah-Langkah Problem Based Learning Problem Based Learning (PBL) terdiri dari lima tahap utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa pada situasi masalah yang kemudian diakhiri dengan penyajian dan analisa hasil kerja siswa. Problem Based Learning terdapat lima tahapan utama seperti berikut (Arends, 2008: 57). Tabel 2.1. Sintaks Model Problem Based Learning (PBL) Fase 1
Kegiatan
Tingkah Laku Guru
Memberikan orientasi
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran,
tentang permasalahan
memotivasi siswa untuk terlibat dalam
kepada siswa
aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya
2
Mengorganisasikan siswa
Guru membantu siswa untuk
untuk meneliti
mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait/ berhubungan dengan permasalahannya
3
4
Membantu investigasi
Guru mendorong siswa mengumpulkan
(membimbing pemecahan
informasi yang sesuai, melaksanakan
masalah) secara individual
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan
maupun kelompok
dan solusi dari permasalahan
Mengembangkan dan
Guru membantu siswa dalam perencanaan
mempresentasikan hasil
dan menyiapkan karya seperti laporan
karya
serta membantu mereka untuk menyampaikan kepada teman lainnya
5
Menganalisis dan
Guru membantu siswa untuk melakukan
mengevaluasi proses
refleksi terhadap investigasi dan proses-
pemecahan masalah
proses yang mereka gunakan
16
2.1.5 Kelebihan dan Kekurangan Problem Based Learning Dalam penggunaannnya Model Problem Based Learning (PBL) juga memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan di dalam proses pembelajaran. Sebagai suatu model pembelajaran, Model Problem Based Learning (PBL) memiliki beberapa kelebihan (Ambarjaya, 2012: 91), di antaranya: a) Merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran. b) Menantang
kemampuan
siswa
serta
memberikan
kepuasan
untuk
menentukan pengetahuan baru bagi siswa. c) Meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa. d) Membantu siswa tentang bagaimana cara mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. e) Membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. f) Melalui Problem Based Learning dianggap lebih menyenangkan. Di samping memiliki kelebihan, Model Problem Based Learning (PBL) memiliki beberapa kelemahan (Ambarjaya, 2012: 92), di antaranya: a) Ketika siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba. b) Keberhasilan Problem Based Learning melalui pemecahan masalah membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
17
c) Tanpa pemahaman awal mengapa mereka harus belajar untuk memecahkan masalah yang sedang mereka pelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
2.1.6 Tinjauan Materi Luas Permukaan dan Volume Kubus dan Balok 1. Kubus (a) Luas Permukaan Kubus
Gambar 2.1
Untuk mencari luas permukaan kubus, berarti sama dengan menghitung luas jaring-jaring kubus tersebut. Karena jaring-jaring kubus merupakan 6 buah persegi yang sama dan kongruen, maka luas permukaan kubus = luas jaring-jaring kubus = 6 x (s x s) = 6 x s2 L = 6 s2 Jadi, luas permukaan kubus dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut. Luas permukaan kubus = 6s2
18
(b) Volume Kubus Gambar 2.2
Gambar 2.2 menunjukkan bentuk-bentuk kubus dengan ukuran berbeda. Volume atau isi suatu kubus dapat ditentukan dengan cara mengalikan panjang rusuk kubus tersebut sebanyak tiga kali. Sehingga, volume kubus = panjang rusuk x panjang rusuk x panjang rusuk =sxsxs V = s3 Jadi, volume kubus dapat dinyatakan sebagai berikut. Volume kubus = s3
dengan s merupakan panjang rusuk kubus. (Agus, 2008: 189-190)
2. Balok (a) Luas Permukaan Balok
Gambar 2.3
Cara menghitung luas permukaan balok sama dengan cara menghitung luas permukaan kubus, yaitu dengan menghitung semua luas jaring-jaringnya. Luas permukaan balok tersebut adalah
19
luas permukaan balok = luas persegipanjang 1 + luas persegipanjang 2 + luas persegipanjang 3 + luas persegipanjang 4 + luas persegipanjang 5 + luas persegipanjang 6 = (p x l) + (p x t) + (l x t) + (p x l) + (l x t) + (p x t) = 2 (p x l) + 2 (l x t) + 2 (p x t) = 2 ((p x l) + (l x t) + (p x t)) = 2 (pl + lt + pt) Jadi, luas permukaan balok dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut. Luas permukaan balok = 2 (pl + lt + pt)
(b) Volume Balok Gambar 2.4
Proses penurunan rumus balok memiliki cara yang sama seperti pada kubus. Gambar 2.4 menunjukkan pembentukan berbagai balok dari balok satuan. Volume suatu balok diperoleh dengan cara mengalikan ukuran panjang, lebar dan tinggi balok tersebut. Volume balok = panjang x lebar x tinggi = p x l x t (Agus, 2008: 195-197)
20
2.2 Implementasi Model Problem Based Learning (PBL) pada Pembelajaran Materi Luas Permukaan dan Volume Kubus dan Balok Kemampuan
pemecahan
masalah
matematika
adalah
kemampuan
intelektual yang dimiliki seseorang atau siswa dalam melakukan pemecahan masalah matematika. Agar siswa terampil dalam memecahkan suatu masalah, setidaknya dalam pembelajaran matematika siswa diberikan kesempatan untuk melatih kemampuan tersebut. Proses pembelajaran matematika bukan hanya sekedar transfer ilmu dari guru kepada siswa, akan tetapi merupakan suatu proses yang diupayakan oleh guru untuk melatih siswa dalam melakukan pemecahan masalah, baik itu masalah kontekstual maupun masalah yang tidak rutin. Oleh karena itu, perlu diperhatikan proses pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning (PBL) yang diawali dengan memberikan masalah kontekstual sebagai sarana dalam pembelajaran. Masalah seperti ini membutuhkan kemampuan siswa untuk mengenali informasi yang ada dan informasi yang belum ada, sehingga siswa dapat menambah informasi sesuai dengan konteks permasalahan, selanjutnya merencanakan penyelesaian/pemecahan kemudian melakukan penyelesaian. Selain itu siswa akan menemukan kembali pengetahuan konsep-konsep dan ide-ide yang esensial (mendasar) dari materi pelajaran dan mengkontruksi sendiri pengetahuannya. Dengan pengalaman seperti ini nantinya siswa akan lebih terbiasa dalam menyelesaikan masalah matematika yang bermuara pada kemampuan pemecahan masalah nyata. Dengan memperhatikan penjelasan tersebut, dapat diasumsikan bahwa dengan menggunakan model
21
Problem Based Learning maka kemampuan pemecahan masalah matematika siswa akan meningkat.
2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan teori di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan dalam penelitian ini yaitu “Jika model Problem Based Learning diterapkan pada pembelajaran materi luas permukaan dan volume kubus dan balok, maka kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa kelas VIII-B SMP Negeri 1 Kabila akan meningkat”.