BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Tinjauan Model Pembelajaran Kontekstual 2.1.1.1 Model Pembelajaran Kontekstual Menurut Johnson dalam Rusman (2012 : 187) pembelajaran kontekstual adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Jadi, pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam memompa kemampuan diri tanpa merugi dari segi manfaat, sebab siswa berusaha mempelajari konsep sekaligus menerapkan dan mengaitkan dengan dunia nyata. Sementara itu, Howey R, Keneth, (2001) dalam Rusman (2012; 189) mendefinisikan CTL sebagai berikut. “Contextual teaching is teaching that enables learning in wich student employ their academic understanding and abilities in a variety of in-and out of school context to solve simulated or real world problems, both alone and with others.” (CTL adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar dimana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif ataupun nyata, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama). Sementara, Rusman (2012: 190) mrnjelaskan bahwa pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan 1
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Untuk memperkuat dimilkinya pengalaman belajar yang aplikatif bagi siswa, tentu saja diperlukan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan, mencoba, dan mengalami sendiri (learning to do), dan bahkan sekedar pendengar yang pasif sebagaimana penerima terhadap semua informasi yang disampaikan guru. Oleh sebab itu, melaluai model pembelajaran kontekstual, mengajar bukan tranformasi pengetahuan dari guru kepada siswa dengan menghapal sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan nyata, akan tetapi lebih ditekankan pada usaha memfasilitasi siswa untuk mencari kemampuan bisa hidup (life skill) dari apa yang dipelajarinya. Dengan demilian, pembelajaran akan lebih bermakna, sekolah lebih dekat dengan lingkungan masyarakat (bukan dekat dari segi fisik). Akan tetapi, secara fungsional apa yang dipelajari di sekolah senantiasa bersentuhan dengan dan permasalahan kehidupan yang terjadi di lingkungannya (keluarga dan masyarakat). Sedangkan menurut Sanjaya (2012: 255), contextual teaching and learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses krterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkanya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkan dalam kehidupan mereka. Selanjutnya menurut Sanjaya, ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa utuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam kontex CTL tidak
2
mengarapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri pelajaran. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar disekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat meng orientasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkanya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditunpuk diotak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata. Sedangkan
menurut
Suprijono
(2010:
82)
pembelajaran
kontekstual merupakan pembelajaran yang mengembangkan level kognitif tingkat tinggi. Pembelajaran ini melatih peserta didik untuk berpikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu isu, dan memecahkan masalah. Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa CTL adalah suatu pembelajaran yang dirancang untuk menjadikan pengalaman belajar siswa menjadi lebih bermakna karena adanya pengaitan antara meteri pelajaran dengan apa yang ada dalam kehidupan nyata yang dapat melatih kreatifitas siswa dalam mengumpulkan data, memahami suatu masalah dan memecahkannya.
3
2.1.1.2 Ciri-ciri Model Pembelajaran Kontekstual Ciri khas CTL ditandai oleh tujuh komponen utama, yaitu 1) Constructivism; 2) Inquiry; 3) Questioning; 4) Learning Community; 5) Modelling; 6) Reflection; 7) Authentic Assessment. 1. Konstruktivisme Konstrukvisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuaan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pembelajaran melalui CTL pada dasarnya mendorong agar siswa bisa mengkontuksi pengetahuaannya melalui proses pengalaman dan pengalaman. 2. Inkuiri Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuaaan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuaan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian, dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dopahaminya. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mecanis. Melalui proses mental itulah, diharapkan siswa berkembang secara utuh baik intellectual, mental, emosional, maupun pribadinya. 3. Bertanya Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.
Bertanya
dapat
dipandang
sebagai
refleksi
dari
keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi
4
begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. karena itu, peran
bertanya sangat penting, sebab melalui
pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajari. 4. Masyarakat belajar Suatu
permasalahan
tidak
mungkin
dapat
dipecahkan
sendirian, tetapi membutuhkan bantuan orang alin. Kerja sama saling memberi dan menerima sangat dibutuhkan untuk memecah suatu persoalan. Konsep masyarakat belajar (Learning community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajar diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara ilmiah. 5. Pemodelan Yang dimaksud dengan asas modeling adalah proses pembelajaran dengan mempergerakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa terhindar dari pembelajaran yang teroretis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme. 6. Refleksi Refleks adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian –kejadian atau peristiwa ppembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengalaman yang dimilikinya.
5
Dalam proses pembelajaran dengan mengunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk “merenung” atau mengigat kembali apa yang telah dipelajarinya. 7. Penilaian nyata Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Oleh sebab itu, penilaiankeberhasialan tidak hanya ditemukan dariaspek pembelajaran saja seperti hasil tes, akan tetapi juga proses belajar melalui penilaian nyata. Penilaian nyata (Authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan
informasi tentang perkembangan belajar yang
dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa memiliki pengaruh yang posotif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa. 2.1.1.3 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kontekstual Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL, tentu saja terlebih dahulu guru harus membuat desain/skenario pembelajarannya, sebagai pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaanya. Pada intinya pengembangan setiap komponen CTL tersebut dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut. 1. Menggunakan pemikiran siswa untuk melaksanakan kegiatan belajar lebih bermakna, apakah dengan cara kerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang akan dimilikinya. 2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan.
6
3. Mengembangkan sifat-sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-pertanyaan. 4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya. 5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya. 6. Membiasakan akan untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaranyang telah dilakukan. 7. Melakuakan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa. Tahap No
Pembelajaran
Kegiatan Guru
Kontekstual
Kegiatan Siswa
(CTL) 1.
2.
Masyarakat
Mengarahkan siswa untuk Membentuk kelompok.
belajar
membentuk kelompok .
Kontruktivisme
Mengarahkan siswa untuk Mengkontruksi menjelaskan konsep luas pemahaman permukaan bangun datar
terkait
dengan konsep bangun datar.
3.
Inquiry
Mengarahkan siswa untuk Melakukan penylidikan melakukan sesuai
penyelidikan sesuai petunjuk LKS.
dengan
petunjuk
yang ada pada LKS dan mengawasi siswa dalam mengerjakan LKS 4.
Pemodelan
Mengarahkan siswa untuk Memodelkan penemuan melakukan
pemodelan rumus luas permukaan
dalam menemukan rumus dan volume kubus dan luas
permukaan
dan balok
yang
telah
7
volume kubus dan balok.
dikerjakan
dalam
kelompok. 5.
Bertanya
Mengarahkan siswa dari Menanyakan/mengklarifi kelompok
lain
untuk kasi hasil presentasi dari
menanyakan/mengklarifik
kelompok lain.
asi hasil kerja kelompok penyaji. 6.
Penilaian nyata
Mengumumkan capaian
hasil Menerima penghargaan
dari
kelompok
setiap sesuai dengan hasil yang dalam dicapai.
menyelasaikian LKS dan memberikan penghargaan kepada setiap kelompok sesuai
hasil
capaian
masing-masing kelompok. 7.
Refleksi
Merefleksleksi
kembali Berdiskudi dengan guru
materi menanyakan
dengan dan
membuat
kepahaman kesimpulan.
siswa dan mengarahkan siswa
untuk
menyimpulkan materi.
2.1.2 Tinjauan Model Pembelajaran Konvensional 2.1.2.1 Model Pembelajaran Konvensional Menurut
Jhony (2012) Model pembelajaran konvensional
merupakan suatu model pembelajaran yang seringkali sejak dulu model ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran, sehingga tidak menutup kemungkinan anak menjadi bosan dan jenuh dalam kegiatan proses belajar 8
mengajar karena tidak adanya variasi dalam kegiatan pembelajaran. Metode yang sering digunakan dalam model pembelajaran konvensional adalah metode ekspositori/ceramah. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Husain, (2012: 25) menjelaskan bahwa pembelajaran konvesional adalah bentuk pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru dengan mengabungkan beberapa macam metode seperti metode ceramah, drill, ekspositori, dan tanya jawab, maupun beberapa macam pendekatan seperti pendekatan penjelasan langsung, pemberian contoh, ekspositori, Tanya jawab, yang menekankan kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan pengetahuan. Model pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru pada saat kegiatan belajar mengajar adalah ceramah, dimana juru menjelaskan materi secara lisan dan siswa hanya duduk diam smbil mendengarkan materi yang dijelaskan oleh guru. 2.1.3 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Pada dasarnya tujuan akhir pembelajaran adalah menghasilkan siswa yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memecahkan masalah yang dihadapi kelak di masyarakat. Menurut (Gagne, 1989) dalam Wena (2006 : 52) pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi yang baru. Apabila seseoarang telah mendapatkan suatu kombinasi perangkat aturan yang terbukti dapat dioperasikan sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi maka ia tidak saja dapat memecahkan suatu masalah, melainkan juga telah berhasil menemukan sesuatu yang baru. Kemampuan pemecahan masalah sangat penting artinya bagi siswa dan masa depannya. Para ahli pembelajaran sependapat bahwa kemampuan
9
pemecahan masalah dalam batas-batas tertentu, dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang diajarkan (suharsono, 1991) dalam Wena (2006: 53). Sumarmo (1994) dalam (Damopolii, 2010: 10) mengartikan pemecahan masalah sebagai kegiatan menyelesaikan soal penemuan, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari
atau keadaan lain,
dan membuktikan atau
menciptakan. Sementara menurut Ruseffendi (2006 : 169), pemecahan masalah merupakan salah satu tipe keterampilan intelektual yang lebih tinggi derajatnya dan lebih kompleks dari pada pembentukan aturan. Sesuatu itu merupakan masalah bagi seseorang bila sesuatu itu baru, sesuai dengan kondisi yang memecahkan masalah (tahap perkembangan mentalnya) dan ia memiliki pengetahuan prasyarat. Mahmudi (2008: 2) pemecahan masalah mengindikasikan bahwa diperolehnya solusi suatu masalah menjadi syarat bagi proses pemecahan masalah dikatakan berhasil. Hal ini berbeda dengan pendapat Brownell (McIntosh et al, 2000) yang menyatakan bahwa suatu masalah belum dikatakan telah diselesaikan hanya karena telah diperolehnya solusi dari masalah itu. Menurutnya, suatu masalah baru benar-benar dikatakan telah diselesaikan apabila siswa telah memahami apa yang ia kerjakan, yakni memahami proses pemecahan masalah dan mengetahui mengapa solusi yang telah diperoleh tersebut sesuai. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah kesanggupan untuk meyelesaiakan soal/masalah yang baru, yaitu pembuktian, penemuan, dan pengaplikasian soal matematika dalam kehidupan sehari-hari atau ke dalam lingkungan.
10
2.1.3.1 Tahap Pemecahan Masalah Dalam pemecahkan masalah ada beberapa tahap yang dilalui. Menurut Polya (dalam Mahmudi 2008: 2) tahap-tahap tersebut meliputi: a) Memahami soal atau masalah b) Membuat suatu rencana c) Melaksanakan rencana itu d) Menelaah kembali. Memahami masalah merujuk pada pemahaman terhadap apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, atau apa yang harus dibuktikan dalam suatu soal. Membuat rencana merujuk pada pembuatan model matematika dari
soal
yang
diberikan.Melaksanakan
rencana
merujuk
pada
penyelesaian model matematika yang telah disusun.Sedangkan menelaah kembali berkaitan dengan penulisan hasil akhir sesuai permintaan soal. Secara operasional tahap pemecahan masalah dapat diuraikan sebagai berikut.
No 1.
Tahap Pemecahan
Indikator Kegiatan
Masalah Identifikasi permasalahan
Memeahami permasalahan
Melakukan identifikasi terhadap masalah yang dihadapi 2.
3.
Representasi/penyajian
Merumuskan dan pemgenalan
permasalahan
permasalahan
Perencanaan pemecahan
Melakukan perencanaan pemecahan masalah
4.
5.
Penerapan/pengimplement
Menerapkan rencana pemecahan
asian perencanaan.
masalah
Menilai perencanaan
Melakukan penilaian terhadap
11
perencanaan pemecahan masalah 6.
Menilai hasil pemecahan
Melakukan penilaian terhadap hasil pemecahan masalah
Diadaptasi dari Wena (2006 : 56) Menurut Ruseffendi (2006 : 169) dalam pemecahan masalah biasanya ada 5 langkah yang harus dilakukan: a) Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas. b) Menyatakan masalah dalam bentuk
yang operasional (dapat
dipecahkan). c) Menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah. d) Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya (pengumpulan data, pengolahan data, dan lain-lain), hasilnya mungkin lebih dari satu. e) Memeriksa kembali (mengecek) apakah hasil yang diperoleh itu benar, mungkin memilih pula pemecahan masalah yang paling baik.
Dari beberapa tahap pemecahan masalah yang telah dikemukakan oleh para ahli, dalam penelitian ini penulis lebih mengarah pada tahap pemecahan masalah menurut polya yang terdiri dari 4 tahap, yaitu memahami soal atau masalah, membuat suatu rencana, melaksanakan rencana dan menelaah kembali.
2.2 Hasil Penelitian yang Relevan Musrin Ibrahim (2011). Melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh
Metode
Pembelajaran
Penemuan
Terbimbing
Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Pokok Bahasan Trigonometri Ditinjau dari Kemandirian Belajar” Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas X SMA Negeri 2 Gorontalo. Hasil penelitian ini
12
menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan metode pembelajaran penemuan terbimbing lebih tinggi dari pada metode pembelajaran konvesional. Penelitian yang dilakukan oleh Igirisa (2009) tentang: Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Persegi Panjang dan Persegi. Dari hasil penelitian ini, didapatkan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar siswa yag diajarkan dengan menggunakan metode pembelajaran konvensional. Penelitian yang dilakukan oleh penulis identik dengan penelitian yang dilakukan oleh Musrin Ibrahim (2011) yaitu mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa, hanya saja dalam penelitian ini menggunakan model pembelajaran dan materi yang berbeda. Penelitian lain yang memiliki kesamaan dengan penelitian ini adalah penelitian yamg dilakukan oleh Igirisa (2009), namun dalam penelitiannya ia mengukur hasil belajar siswa pada Materi Persegi Panjang dan Persegi, sedangkan penulis mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada materi Luas Permukaan dan Volume Kubus dan Balok. 2.3 Kerangka Berfikir Pada dasarnya setiap pembelajaran bertujuan untuk menjadikan siswa dapat berfikir kreatif untuk memecahkan masalah yang didapatkanya, baik masalah dalam pembelajaran maupun masalah yang ada di lingkungannya. Untuk itu guru sebagai perancang sekaligus fasilitator pembelajaran harus merancang pembelajaran yang dapat menumbuhkan kemempuan pemacahan masalah matematika siswa serta memfasilitasi pembelajaran dengan ide-ide kreatif seperti mengaitkan antara meteri pembelajaran dengan
masalah-masalah
yang
aktual
atau
mengaitkan
materi
pembelajaran dengan lingkungan hidup siswa baik sekolah, keluarga, ataupun masyarakat. Hal ini agar pembelajaran lebih bermakna atau lebih
13
dirasakan manfaatnya secara langsung oleh siswa. dengan begitu kecenderungan untuk timbulnya rasa bosan akan lebih sedikit. Adapun pembelajaran yang demikian adalah pembelajaran kontekstual atau yang lebih dikenal dengan Contextual Teaching and Learning (CTL). Adapun pembelajaran yang sering digunakan sebagai komunikasi antara guru dan siswa adalah model pembelajaran konvensional. Dalam pembelajaran konvensional siswa hanya sebagai pendengar pasif materi yang
bersifat
abstrak,
kemudian
menerima
contoh
soal
dan
mengerjakannya. sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna dan menyebabkasiswa cenderung merasa bosan. Berdasarkan pemikiran di atas, maka diduga kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran kontekstual (CTL) lebih tinggi dari model pembelajaran konvesional. 2.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Kemampuan pemecahan masalah siswa yang menggunakan model pembelajaran kontekstual lebih tinggi dari kemampuan pemecahan masalah siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional”
14