BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori Bab ini memuat uraian teori-teori yang mendukung penelitian ini. Teori-teori
yang digunakan sebagai acuan dalam memecahkan permasalahan ini adalah Teori Agensi, Pengertian Pajak, Fungsi Pajak, Sistem Pemungutan Pajak, Asas Perpajakan, Tarif Pajak, Penghindaran Pajak, Komisaris Independen, Komite Audit, Preferensi Risiko Eksekutif dan Ukuran Perusahaan. Bab ini juga membahas tentang penelitian sebelumnya untuk membangun rumusan hipotesis.
2.1.1 Teori Agensi Teori agensi menyatakan hubungan kontrak antara agent (manajer perusahaan) dan principal (pemilik perusahaan). Konsep teori agensi didasari pada hubungan keagenan yang mengedepankan simetri informasi. Agent melakukan tugas-tugas tertentu dari principal, kemudian principal mempunyai kewajiban untuk memberi imbalan pada agent. Teori ini mengamsumsikan bahwa principal maupun agent merupakan pelaku ekonomi yang berpikir rasional dan tindakannya semata-mata untuk kepentingan pribadi, akan tetapi mereka menemukan kesulitan dalam membedakan perbedaan atas preferensi, kepercayaan dan informasi (Mathiesen, 2004 dalam Ayu, R, 2008). Hubungan keagenan sebagai kontrak antara satu orang atau beberapa orang yang memperkerjakan orang lain untuk melakukan sejumlah jasa dan memberikan wewenang dalam pengambilan keputusan. Manajer sebagai pihak yang diberi
13
wewenang atas kegiatan perusahaan dan berkewajiban menyediakan laporan keuangan cenderung akan melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utilitasnya. Adanya perbedaan kepentingan ini akan membawa potensi terjadinya konflik keagenan dan juga memicu biaya-biaya yang seharusnya tidak perlu terjadi dalam perusahaan bila dikelola oleh pemilik, disebut biaya keagenan. Biaya keagenan ini merupakan bentuk mendasar sebagai indikator terjadinya masalah keagenan, baik dengan (1) biaya monitoring yang dikeluarkan oleh principal, (2) biaya bonding yang dikeluarkan agent, (3) kerugian residual sebagai pengurang kekayaan principal (Jansen dan Meckling, 1976). Hubungan agensi akan terus meningkat apabila pihak principal tidak dapat mengawasi aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent bekerja sesuai dengan keinginan principal. Agent sendiri sebaliknya memiliki banyak informasi penting mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan. Keadaan tersebut memicu timbulnya ketidakseimbangan informasi antara principal dan agent yang dinamakan asimetri informasi. Adanya asimetri informasi tersebut dapat mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal untuk memaksimalkan keuntungan bagi agent (Ujiantho, 2007 dalam Hidayanti, 2013). Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori keagenan berkaitan dengan penyelesaian dua masalah yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Yang pertama adalah masalah keagenan yang muncul ketika keinginan atau tujuan dari principal dan agent berbeda, dan kesulitan principal dalam mengawasi apa yang dilakukan oleh
14
agent. Masalah kedua adalah pembagian risiko yang muncul ketika principal dan agent memiliki pandangan yang berbeda terhadap risiko. Masalahnya di sini adalah bahwa principal dan agent dapat memilih tindakan yang berbeda karena preferensi risiko yang berbeda. Pihak principal maupun agent memiliki kepentingan dalam menjalankan perannya masing-masing. Principal sebagai pemilik modal memiliki akses pada informasi internal perusahaan sedangkan agent sebagai pelaku dalam praktik operasional mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh. Posisi, fungsi serta tujuan principal dan agent yang berbeda dan bertolak belakang tersebut akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik menarik kepentingan.
2.1.2 Pengertian Pajak B. Ilyas dan Burton (2011:6) mengemukakan beberapa pendapat para pakar tentang definisi pajak, beberapa diantaranya sebagai berikut: 1)
N. J. Feldman “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang kepada penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.”
2)
M.J.H. Smeets “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa kontra-prestasi yang dapat
15
ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. 3)
Soeparman Soemahamidjaja "Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”
4)
Rochmat Soemitro “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Dari empat pengertian pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur
yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu: a. Pembayaran pajak harus berdasarkan Undang-Undang; b. Sifatnya dapat dipaksakan; c. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak; d. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta); dan e. Pajak digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
16
2.1.3 Fungsi Pajak B. Ilyas dan Burton (2011:12) dalam bukunya mengemukakan fungsi pajak sebagai berikut: 1)
Fungsi Budgeter adalah fungsi yang terletak di sektor publik, yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah.
2)
Fungsi Regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak merupakan suatu sistem yang mengatur pihak yang berwenang dalam menentukan dan memungut jumlah besarnya pajak. Terdapat empat macam sistem pemungutan pajak menurut B. Ilyas dan Burton (2011:30), yakni: 1)
Official assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh wajib pajak.
17
2)
Semi self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada fiskus dan wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak terutang seseorang.
3)
Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang.
4)
With holding assessment sytem adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
2.1.5 Asas Perpajakan Rosdiana dan Irianto (2011:35) dalam bukunya menyebutkan beberapa asas dalam perpajakan antara lain: 1)
Asas Certainty Asas certainty (kepastian) menyatakan bahwa harus ada kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat. Asas kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai siapa yang harus dikenakan pajak, apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar. Artinya, kepastian bukan hanya menyangkut kepastian mengenai subjek pajak (dan pengecualiannya), objek pajak (dan pengecualiaanya), dasar pengenaan pajak serta besarnya tarif pajak, tetapi juga mengenai prosedur pemenuhan
18
kewajibannya, yaitu prosedur pembayaran dan pelaporan serta pelaksanaan hak perpajakannya. Tanpa adanya prosedur yang jelas maka wajib pajak akan sulit untuk menjalankan kewajiban serta haknya, dan fiskus akan kesulitan untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak juga melayani hak wajib pajak. 2)
Asas Convenience Asas convenience (kemudahan/kenyamanan) menyatakan bahwa pembayaran pajak hendaklah dimungkinkan pada saat yang menyenangkan/ memudahkan wajib pajak. Misalnya, pada saat menerima gaji atau penghasilan lain seperti saat menerima bunga deposito. Asas convenience bisa juga dilakukan dengan membayar terlebih dahulu pajak yang terutang selama satu tahun pajak secara berangsur-angsur setiap bulan (seperti PPh pasal 25).
3)
Asas Effeciency Asas efesien dapat dilihat dari dua sisi. Pertama adalah dari sisi fiskus, pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan oleh kantor pajak (antara lain dalam rangka pengawasan kewajiban wajib pajak) lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Kedua adalah dari sisi wajib pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya bisa seminimal mungkin.
19
2.1.6 Tarif Pajak Menurut B. Ilyas dan Burton (2010:57) dalam bukunya menjelaskan bahwa terdapat enam tarif pajak antara lain: 1)
Tarif Progresif (Meningkat) Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang presentasenya semakin besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar.
2)
Tarif Degresif (Menurun) Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang presentasenya semakin kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Sekalipun presentasenya kecil, tidak berarti jumlah pajak yang terutang menjadi kecil, tetapi bisa menjadi besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar. Tarif ini tidak pernah digunakan dalam praktik perundangundangan perpajakan.
3)
Tarif Proposional (Sebanding) Tarif proposional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, semakin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak akan semakin besar jumlah pajak terutang (yang harus dibayar).
4)
Tarif Tetap Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.
5)
Tarif Advalorem
20
Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan presentase tertentu yang dikenakan/ ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang. 6)
Tarif Spesifik Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu.
2.1.7 Penghindaran Pajak Penerimaan dari sektor pajak merupakan sumber terbesar negara bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga kejujuran dan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya sangat diperlukan. Apalagi di Indonesia menganut sistem pemungutan pajak self assessment, dimana wajib pajak diberikan wewenang untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajaknya. Adanya keinginan dari wajib pajak untuk tidak memenuhi peraturan perpajakan membuat adanya perlawanan pajak yang mereka berikan. Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi dua yaitu, perlawanan pasif dan perlawanan aktif (Surbakti, 2012). Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi. Sedangkan perlawanan aktif adalah semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajak. Persoalan penghindaran pajak ini menjadi cukup rumit karena disisi lain diperbolehkan karena tidak melanggar hukum tapi disisi lain penerimaan negara akan
21
menjadi lebih sedikit dari yang seharusnya. Para otoritas pajak tampaknya telah berusaha dengan semaksimal mungkin agar bisa menegakkan batas yang jelas antara penghindaran pajak dan penggelapan pajak dalam upaya perencanaan pajak, tidak hanya itu para otoritas pajak juga semaksimal mungkin mencegah agar wajib pajak tidak masuk kedalam celah ambiguitas yang ditimbulkan oleh peraturan perpajakan (Bovi, 2005). Penghindaran pajak adalah usaha pengurangan pajak, namun tetap mematuhi ketentuan peraturan perpajakan seperti memanfaatkan pengecualian dan potongan yang diperkenankan maupun menunda pajak yang belum diatur dalam peraturan perpajakan yang berlaku (Heru, 1997 dalam Budiman dan Sutiyono 2012). Senada dengan penelitian sebelumnya Jacob (2014) juga mendefinisikan penghindaran pajak sebagai suatu tindakan pengurangan atau meminimalkan kewajiban pajak dengan hati-hati mengatur sedemikian rupa untuk mengambil keuntungan dari celah-celah dalam ketentuan hukum pajak. Ini adalah tindakan yang sengaja dilakukan oleh wajib pajak untuk membayar kurang dari jumlah yang seharusnya dibayarkan kepada otoritas pajak. Penghindaran pajak bukannya bebas dari biaya. Beberapa biaya yang harus ditanggung yaitu pengorbanan waktu dan tenaga untuk melakukan penghindaran pajak serta adanya risiko jika penghindaran pajak terungkap. Risiko ini mulai dari kehilangan reputasi perusahaan yang berakibat buruk untuk kelangsungan usaha jangka panjang perusahaan. Ada pula risiko penghindaran pajak yang lain yaitu timbulnya masalah agensi. Masalah ini dapat timbul bila manajer memanfaatkan
22
posisinya untuk mengalihkan sumber daya perusahaan untuk pribadinya, dimana manajer yang menggerakkan jalannya perusahaan termasuk menentukan tingkat penghindaran pajak yang akan dilakukan perusahaan (Puspita, 2014). Menurut Fadhilah (2014) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa komite urusan fiskal dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah menyebutkan tiga karakter penghindaran pajak yaitu: 1)
Adanya unsur artifisial dimana berbagai pengaturan seakan-akan terdapat di dalamnya padahal tidak, dan ini dilakukan karena ketiadaan faktor pajak.
2)
Memanfaatkan loopholes dari Undang-Undang atau menerapkan ketentuan ketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan itu yang sebetulnya dimaksudkan oleh pembuat Undang-Undang.
3)
Para konsultan menunjukan alat atau cara untuk melakukan penghindaran pajak dengan syarat wajib pajak Menurut Merk (2007) dalam Maria dan Kurniasih (2013) mengungkapkan cara
perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak adalah (1) memindahkan subjek pajak dan/atau objek pajak ke negara yang memberikan perlakuan pajak khusus atau keringanan pajak (tax haven country) atau suatu jenis penghasilan ( substanstive tax planning), (2) mempertahankan substansi ekonomi dari transaksi melalui pemilihan formal yang memberikan beban pajak yang paling rendah ( formal tax planning), (3) ketentuan anti avoidance atas transaksi transfer pricing, thin capitalization, treaty
23
shopping dan controlled foreign coporation (Specific Anti Avoidance Rule); serta transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis (General Anti Avoidance Rule).
2.1.8
Komisaris Independen UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas menyebutkan bahwa
komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat memengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Komisaris independen harus memiliki kriteria sebagai berikut: 1) Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali perusahaan
dalam arti: a. Tidak memiliki hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali. b. Tidak bekerja rangkap sebagai direktur atau komisaris di perusahaan lainnya
yang terafiliasi dengan pemegang saham pengendali. c. Tidak menjadi rekan (partner) atau direksi perusahaan konsultan yang
memberikan jasa pelayanan profesional pada perusahaan yang terafiliasi dengan pemegang saham pengendali. d. Bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan lain dengan
pemegang saham pengendali dan/atau perusahaan terafiliasi dengan pemegang saham pengendali, yang dapat diintepretasikan akan menghalangi atau
24
mengurangi kemampuan komisaris independen untuk bertindak dan berpikir independen demi kepentingan perusahaan. 2) Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan anggota direksi dan komisaris
perusahaan dalam arti: a. Tidak memiliki hubungan keluarga dengan anggota direksi dan/atau komisaris. b. Tidak memiliki hubungan hutang piutang dengan anggota direksi dan/atau
komisaris. 3) Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan perusahaan dalam arti :
a. Tidak bekerja rangkap sebagai direktur atau komisaris di perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan. b. Tidak menjadi rekan (partner) atau direksi perusahaan konsultan yang memberikan jasa pelayanan profesional pada perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan. c. Bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan lain dengan perusahaan yang dapat diintepretasikan akan menghalangi atau mengurangi kemampuan komisaris independen untuk bertindak dan berpikir independen demi kepentingan perusahaan. d. Persyaratan lain sebagaimana diatur dalam undang-undang Perseroan Terbatas dan ketentuan perundang-undangan lainnya. Keberadaan komisaris independen berdasarkan peraturan Bursa Efek Indonesia (BEI) Nomor Kep-305/BEJ/07-2004 mewajibkan perusahaan yang
25
tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memiliki komisaris independen sekurang-kurangnya 30 % dari seluruh jajaran anggota dewan komisaris. Komisaris independen bersama dewan komisaris memiliki tugas-tugas utama meliputi (Surya dan Yustiavandana, 2006 dalam Hanum, 2013): 1) Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan, memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset. Tugas ini terkait dengan tanggung jawab serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen (accountability). 2) Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi yang transparan (tranparancy) dan (fairness). 3) Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk penyalahgunaan aset dan manipulasi transaksi perusahaan. Tugas ini memberikan perlindungan terhadap hak para pemegang saham (fairness). 4) Memonitor pelaksanaan governance, dan melakukan perubahan jika diperlukan. 5) Memantau proses keterbukaan dan efektivitas komunikasi dalam perusahaan untuk menyediakan informasi yang tepat waktu dan jelas.
26
2.1.9
Komite Audit Komite audit yang dibentuk oleh suatu perusahaan berfungsi untuk
memberikan pandangan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi dan pengendalian intern. Keberadaan komite audit juga berfungsi untuk membantu dewan komisaris dalam mengawasi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan (Guna dan Herawaty, 2010). Tujuan dari keberadaan komite audit di perusahaan adalah (1) memberikan kepastian bahwa laporan keuangan yang dikeluarkan oleh manajemen perusahaan telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta disajikan secara wajar dan tidak menyesatkan; (2) memberikan kepastian pengendalian internal perusahaan telah memadai; (3) melakukan pengawasan dan menindaklanjuti kemungkinan penyimpangan material dalam bidang keuangan dan implikasi hukumnya; (4) memberikan rekomendasi dalam pemilihan auditor eksternal yang akan melakukan audit di perusahaan (Susiana dan Herawaty, 2007 dalam Guna dan Herawaty, 2010). Menurut Effendi (2003:33) dalam bukunya menyatakan bahwa kehadiran komite audit di perusahaan publik telah mendapat respons yang cukup positif dari berbagai pihak, antara lain pemerintah, Bapepam-LK, Bursa Efek Indonesia, para investor, profesi penasihat hukum (advokat), profesi akuntan, serta perusahaan penilai independen. Surat edaran dari Direksi PT Bursa Efek Jakarta No. SE008/BEJ/12-2001 Tanggal 7 Desember 2001 perihal keanggotaan komite audit disebutkan bahwa:
27
a. Komite audit sekurang-kurangnya terdiri atas 3 orang, termasuk ketua komite audit. b. Anggota komite audit yang berasal dari komisaris maksimum hanya 1 orang. Anggota komite audit yang berasal dari komisaris tersebut harus merupakan komisaris independen perusahaan tercatat yang sekaligus menjabat sebagai ketua komite. c. Anggota komite audit lainnya berasal dari pihak eksternal yang independen. Pihak eksternal yang dimaksud adalah pihak di luar perusahaan tercatat bukan merupakan komisaris, direksi maupun karyawan dari perusahaan tercatat tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan pihak independen adalah pihak diluar perusahaan tercatat yang tidak memiliki hubungan usaha dan hubungan afiliasi dengan perusahaan tercatat tersebut maupun dengan komisaris, direksi, serta pemegang saham utamanya, serta mampu memberikan pendapat professional secara bebas sesuai dengan etika profesionalnya dengan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Komite audit juga memegang peranan yang cukup penting dalam mewujudkan Good Corporate Governance (GCG) karena merupakan “mata” dan “telinga” dewan komisaris dalam rangka mengawasi jalannya peusahaan. Keberadaan komite audit yang efektif merupakan salah satu aspek penilaian dalam implementasi GCG. Untuk mewujudkan prinsip GCG di suatu perusahaan publik, maka prinsip independesi (independency), transparansi dan pengungkapan (transparency and disclosure), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), serta kewajaran
28
(fairness) harus menjadi landasan utama bagi aktivitas komite audit (Effendi 2003:35). Pelaksanaan prinsip-prinsip GCG dalam aktivitas komite audit akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian berikut. 1) Prinsip Independensi Komite audit diharapkan dapat bersikap independen terhadap kepentingan saham mayoritas maupun minoritas. Selain itu, anggota komite audit seharusnya tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan anggota direksi dan komisaris perusahaan, sehingga terhindar dari benturan kepentingan. Oleh karena itu, namanama anggota komite audit utama di perusahaan publik hendaknya diumumkan di masyarakat dan publik sebagai wujud akuntabilitas terhadap sikap independensi mereka. Hal ini penting agar masyarakat dapat melakukan kontrol sosial dan penilaian terhadap para anggota audit perusahaan tersebut. 2) Prinsip Transparansi Prinsip ini ditunjukkan melalui piagam komite (audit committee charter), program kerja tahunan dan rapat komite audit secara periodik yang didokumentasikan dalam notulen rapat. Komite audit hendaknya membuat laporan secara berkala kepada komisaris tentang pencapaian kinerjanya sebagai wujud pengungkapan (disclosure). Diharapkan agar laporan tersebut dituangkan dalam laporan tahunan (annual report) perusahaan yang dipublikasikan kepada publik.
29
3) Prinsip Akuntabilitas Prinsip ini ditunjukkan oleh frekuensi pertemuan dan tingkat kehadiran anggota komite audit. Selain itu, komite audit seharusnya memiliki kapabilitas, kompetensi dan pengalaman di bidang audit serta proses bisnis perusahaan agar dapat bekerja secara professional. 4) Prinsip Pertanggungjawaban Prinsip ini ditunjukkan oleh aktivitas komite audit yang dijalankan sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang berlaku. Selain itu, kinerja komite audit hendaknya dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada publik, selain dengan dewan komisaris. 5) Prinsip Kewajaran Prinsip ini ditunjukkan oleh sikap komite audit dalam pengambilan keputusan yang didasarkan atas sikap adil (fair) dan objektif terhadap semua pihak. 2.1.10 Preferensi Risiko Eksekutif Preferensi risiko eksekutif merupakan konsekuensi yang akan dimiliki eksekutif sebagai akibat tindakan yang diambilnya. Tindakan eksekutif sebagai penentu keputusan akan mempertimbangkan berbagai aspek. Dampak dari tindakan tersebut juga dianalisis secara akurat oleh eksekutif supaya keputusan yang diambil merupakan keputusan terbaik yang memiliki dampak negatif yang paling kecil (Hanafi dan Harto, 2014). Menurut Budiman dan Sutiyono (2012) menjelaskan bahwa preferensi risiko dapat dibedakan menjadi risk taker dan risk averse dengan cara mengukur risiko
30
perusahaan yang dipimpinnya. Preferensi risiko akan berpengaruh dalam pelaksanaan tugas eksekutif. Berdasarkan teori tindakan beralasan, eksekutif menentukan keputusan berdasarkan informasi yang ada. Selain itu, adanya alternatif pilihan serta kendali yang dimiliki eksekutif dalam proses pengambilan keputusan membuat teori tindakan beralasan semakin menjelaskan alasan preferensi risiko eksekutif (Hanafi dan Harto, 2014). Eksekutif yang memiliki preferensi risk taker adalah eksekutif yang lebih berani dalam mengambil keputusan bisnis dan biasanya memiliki dorongan kuat untuk memiliki penghasilan, posisi, kesejahteraan dan kewenangan yang lebih tinggi. Eksekutif yang memiliki preferensi risk taker tidak ragu-ragu untuk melakukan pembiayaan dari hutang dan hal ini dilakukan supaya perusahaan tumbuh lebih cepat. Berbeda dengan eksekutif yang memiliki preferensi risk taker, eksekutif yang memiliki preferensi risk averse adalah eksekutif yang cenderung tidak menyukai risiko sehingga kurang berani dalam mengambil keputusan bisnis (Low, 2006 dalam Budiman dan Sutiyono, 2012). Eksekutif risk averse biasanya juga memiliki usia yang lebih tua, sudah lama memegang jabatan dan memiliki ketergantungan dengan perusahaan (Maccrimon dan Wehrung, 1990 dalam Budiman dan Sutiyono, 2012). Eksekutif yang memiliki preferensi risk taker juga cenderung lebih berani untuk melakukan penghindaran pajak yang lebih agresif dibandingkan eksekutif yang memiliki preferensi risk averse dimana eksekutif dengan preferensi risk averse akan cenderung lebih berhati-hati walaupun tidak melanggar undang-
31
undang pembebanan biaya yang tidak wajar dapat menimbulkan peluang dilakukannya pemeriksaan pajak (Carolina, dkk., 2014).
2.1.11 Ukuran Perusahaan Perusahaan-perusahaan yang go public dan listed di Bursa Efek Indonesia tentunya memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Salah satu perbedaannya tersebut adalah dari segi ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana besar kecilnya perusahaan dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, seperti log total aktiva, log total penjualan, kapitalisasi pasar, dan lainlain (Handayani dan Wulandari, 2014). Menurut Mochfoedz (1994) dalam Permatasari (2012) menjelaskan bahwa ukuran perusahaan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: 1) Perusahaan Besar (Large Firm) Perusahaan yang dikategorikan besar biasanya merupakan perusahaan yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 10 Milyar termasuk tanah dan bangunan. Perusahaan besar juga memiliki penjualan lebih dari Rp 50 Milyar/tahun dan telah go publik di pasar modal. 2) Perusahaan Menengah (Medium Firm) Perusahaan yang dikategorikan menengah merupakan perusahaan yang memiliki kekayaan bersih Rp 1 sampai 10 Milyar termasuk tanah dan bangunan. Perusahaan memiliki hasil penjualan lebih besar dari Rp 1 Milyar dan kurang dari Rp 50 Milyar.
32
3) Perusahaan Kecil (Small Firm) Perusahaan yang dikategorikan kecil merupakan perusahaan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan dan memiliki hasil penjualan minimal Rp 1 Milyar/tahun.
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Darmawan dan Sukartha (2014) meneliti mengenai pengaruh penerapan corporate governance diukur menggunakan penilaian dalam CGPI, leverage, return on assets dan ukuran perusahaan pada penghindaran pajak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa corporate governance, return on assets dan ukuran perusahaan memiliki pengaruh pada penghindaran pajak sedangkan leverage tidak memiliki pengaruh pada penghindaran pajak. Hanafi dan Harto (2014) meneliti analisis faktor-faktor yang dapat memengaruhi penghindaran pajak perusahaan dengan variabel independennya kompensasi eksekutif, kepemilikan saham eksekutif dan preferensi risiko eksekutif. Hasil penelitiannya ditemukan bahwa secara kompensasi eksekutif, kepemilikan saham eksekutif dan preferensi risiko eksekutif memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penghindaran pajak. Maria dan Kurniasih (2014) meneliti tentang pengaruh return on assets, leverage, corporate governance (diproksikan dengan komposisi komisaris independen dan keberadaan komite audit), ukuran perusahaan dan kompensasi rugi fiskal pada tax avoidance. Hasil penelitianya menunjukkan bahwa return on assets, ukuran
33
perusahaan dan kompensasi rugi fiskal berpengaruh signifikan secara simultan, namun secara parsial leverage dan corporate governance tidak berpengaruh signifikan. Ardyansah dan Zulaikha (2014) melakukan penelitian mengenai faktor -faktor yang memengaruhi effective tax rate (ETR). Berdasarkan dari hasil pengujian hipotesis yang dilakukan diketahui bahwa size, leverage dan komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective tax rate (ETR) sedangkan profitability dan capital intensity ratio tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective tax rate (ETR). Dewi dan Jati (2014) meneliti mengenai pengaruh karakter eksekutif, karakteristik perusahaan, dan dimensi tata kelola perusahaan yang baik (diproksikan dengan kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen, kualitas audit dan komite audit) pada tax avoidance di Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan karakteristik perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap tax avoidance sedangkan dimensi tata kelola perusahaan memiliki pengaruh terhadap tax avoidance. Swingly dan Sukartha (2015) meneliti mengenai pengaruh karakteristik eksekutif, komite audit, ukuran perusahaan, leverage dan sales growth pada tax avoidance. Hasil penelitannya menunjukkan bahwa karakteristik eksekutif dan ukuran perusahaan memiliki pengaruh positif pada tax avoidance, leverage memiliki pengaruh negatif pada tax avoidance dan sales growth tidak memiliki pengaruh pada tax avoidance.
34
Annisa dan Kurniasih (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh corporate governance (diproksikan dengan kepemilikan institusional, komposisi komisaris independen, struktur dewan komisaris, komite audit dan kualitas audit) terhadap tax avoidance. Berdasarkan hasil analisis dan pengujian yang dilakukan menemukan bahwa kepemilikan institusional, komposisi komisaris independen, struktur dewan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tax avoidance sedangkan komite audit dan kualitas audit memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tax avoidance. Fadhilah (2014) meneliti mengenai pengaruh good corporate governance (diproksikan dengan kepemilikan institusional, presentase dewan komisaris independen, jumlah komite audit dan kualitas audit) terhadap tax avoidance. Hasil penelitiannya menemukan bahwa kepemilikan institusional dan proporsi komisaris independen tidak berpengaruh terhadap tax avoidance. Komite audit berpengaruh positif terhadap tax avoidance dan kualitas audit berpengaruh negatif terhadap tax avoidance. Sari (2014) meneliti mengenai pengaruh corporate governance (diproksikan dengan komisaris independen dan komite audit), ukuran perusahaan, kompensasi rugi fiskal dan struktur kepemilikan terhadap tax avoidance. Berdasarkan hasil dari pengujian yang telah dilakukan ditemukan bahwa komisaris independen dan ukuran perusahaan memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap tax avoidance sedangkan komite audit, kompensasi rugi fiskal, dan struktur kepemilikan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tax avoidance.
35
Meiza (2013) melakukan penelitian yang mengenai pengaruh karakteristik good corporate governance (diproksikan dengan kepemilikan institusional dan struktur komisaris independen) dan deferred tax expense terhadap tax avoidance. Hasil penelitiannya menemukan bahwa kepemilikan institusional dan deferred tax expense tidak memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap tax avoidance sedangkan struktur komisaris independen tidak memiliki pengaruh signifikan positif terhadap tax avoidance. Maharani dan Suardana (2014) meneliti mengenai pengaruh corporate governance dan profitabilitas serta karakteristik eksekutif pada tax avoidance perusahaan manufaktur. Berdasarkan dari hasil pengujian hipotesis dan analisis menemukan bahwa proporsi komisaris independen, kualitas audit, komite audit dan profitabilitas berpengaruh negatif terhadap tax avoidance sedangkan karakteristik eksekutif perusahaan berpengaruh positif terhadap tax avoidance. Berdasarkan hasil uraian diatas dapat disimpulkan bahwa telah dilakukan penelitian oleh berbagai peneliti dengan bentuk dan hasil penelitian yang berbeda. Berikut adalah ringkasan hasil penelitian sebelumnya pada Tabel 2.1.
36
Tabel. 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya
No 1
Nama Peneliti Judul Teknik Analisis dan Tahun Data Darmawan dan Pengaruh Penerapan Analisis Regresi Sukartha Corporate Governance, Linear Berganda (2014) Leverage, Return On Assets dan Ukuran Perusahaan Pada Penghindaran Pajak
2
Hanafi dan Harto Analisis Pengaruh Analisis Regresi (2014) Kompensasi Eksekutif, Linear Berganda Kepemilikan Saham Eksekutif dan Preferensi Risiko Eksekutif Terhadap Penghindaran Pajak Perusahaan
3
Maria dan Pengaruh Return On Kurniasih (2014) Assets, Leverage, Corporate Governance, Ukuran Perusahaan dan Kompensasi Rugi Fiskal Pada Tax Avoidance
Analisis Regresi Linear Berganda Melalui Model Ordinary Least Square (OLS)
4
Ardyansah Zulaikha (2014)
Analisis Multivariate dengan Menggunakan Regresi Berganda
dan Pengaruh Size, Leverage, Profitability, Capital Intensity Ratio dan Komisaris Independen Terhadap Effective Tax Rate (ETR)
37
Hasil Penelitian Corporate Governance berpengaruh terhadap penghindaran pajak, Leverage tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak, ROA berpengaruh terhadap penghindaran pajak, dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap penghindaran pajak. Kompensasi Eksekutif berpengaruh terhadap penghindaran pajak, Kepemilikan Saham Eksekutif berpengaruh terhadap penghindaran pajak dan Preferensi Risiko Eksekutif berpengaruh terhadap penghindaran pajak. Return On Assets, Ukuran Perusahaan dan Kompensasi Rugi Fiskal berpengaruh signifikan secara simultan, namun secara parsial Leverage dan Corporate Governance tidak berpengaruh signifikan. Size memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective tax rate (ETR), Leverage tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective tax rate (ETR), Profitability tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective tax rate (ETR), Capital Intensity Ratio tidak memiliki pengaruh yang signifikan
Tabel. 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya
5
Dewi dan Jati (2014)
Pengaruh Karakter Uji Analisis Eksekutif, Karakteristik Regresi Linear Perusahaan, dan Dimensi Berganda Tata Kelola Perusahaan yang Baik Pada Tax Avoidance Di Bursa Efek Indonesia
6
Swingly Sukartha (2015)
dan Pengaruh Karakteristik Uji Analisis Eksekutif, Komite Audit, Regresi Linear Ukuran Perusahaan, Berganda Leverage dan Sales Growth pada Tax Avoidance
7
Annisa Kurniasih
dan Pengaruh Corporate Uji Analisis Governance Terhadap Tax Regresi Linear Berganda Avoidance
(2012)
8
Fadhilah (2014)
Pengaruh Good Corporate Uji Analisis Governance Terhadap Tax Regresi Linear Berganda
38
terhadap effective tax rate (ETR), Komisaris Independen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective tax rate (ETR). Risiko Perusahaan, Kualitas Audit, dan Komite Audit berpengaruh terhadap Tindakan Eksekutif. Sedangkan sisanya yaitu Ukuran Perusahaan, Multinational Company, Kepemilikan Institusional, dan Proporsi Dewan Komisaris tidak memiliki pengaruh terhadap tindakan Tax Avoidance yang dilakukan perusahaan. Karakter Eksekutif dan Ukuran Perusahaan berpengaruh positif pada Tax Avoidance sedangkan Leverage berpengaruh negatif pada Tax Avoidance. Variabel Komite Audit dan Sales Growth tidak berpengaruh pada Tax Avoidance. Corporate Governance diukur dengan proksi Kepemilikan Intitusional dan Dewan Komisaris berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance sedangkan Kualitas Audit dan Komite Audit tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tax avoidance. Kepemilikan Institusional dan Proporsi Komisaris Independen tidak berpengaruh terhadap Tax Avoidance. Komite Audit berpengaruh
Tabel. 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya Avoidance (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI 2009 2011)
positif terhadap Tax Avoidance. Kualitas Audit berpengaruh negatif terhadap Tax Avoidance.
Komisaris Independen memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap tax avoidance. Komite Audit tidak berpengaruh signifikan terhadap Tax Avoidance. Ukuran perusahaan memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap Tax Avoidance. Kompensasi Rugi Fiskal tidak berpengaruh signifikan terhadap Tax Avoidance. Struktur Kepemilikan tidak berpengaruh signifikan terhadap Tax Avoidance. Kepemilikan Institusional tidak berpengaruh signifikan negatif terhadap Tax Avoidance. Struktur Komisaris Independen tidak berpengaruh signifikan positif terhadap Tax Avoidance. Deferred Tax Expense berpengaruh negatif signifikan terhadap Tax Avoidance. Proporsi Komisaris Independen, Kualitas Audit, Komite Audit dan ROA berpengaruh negatif terhadap Tax Avoidance. Risiko Perusahaan berpengaruh positif terhadap Tax Avoidance.
9
Sari (2014)
Pengaruh Corporate Uji Analisis Governance, Ukuran Regresi Linear Perusahaan, Kompensasi Berganda Rugi Fiskal dan Struktur Kepemilikan Terhadap Tax Avoidance
10
Meiza (2013)
Pengaruh Karakteristik Uji Analisis Good Corporate Regresi Linear Governance dan Deferred Berganda Tax Expense Terhadap Tax Avoidance
11
Maharani dan Pengaruh Corporate Uji Analisis Linear Suardana (2014) Governance, Profitabilitas Regresi dan Karakteristik Berganda Eksekutif pada Tax Avoidance Perusahaan Manufaktur Sumber: data diolah, 2015
39
2.3 Hipotesis Penelitian 2.3.1 Pengaruh Proporsi Komisaris Independen pada Penghindaran Pajak UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa komisaris diangkat berdasarkan RUPS dari pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota direksi atau dewan komisaris lainnya. Komisaris independen menjadi penengah antara manajemen perusahaan dan pemilik perusahaan dalam mengambil kebijakan agar tidak melanggar hukum termasuk strategi yang terkait dengan pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Hanum dan Zulaikha (2013) yang menyatakan terdapat hubungan positif antara komisaris independen dengan effective tax rate (ETR) dengan menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh komisaris independen dilakukan agar tidak terjadi asimetri informasi yang terjadi antara manajemen perusahaan dengan para stakeholder. Adanya komisaris independen didalam perusahaan akan membuat setiap perumusan strategi perusahaan yang dilakukan oleh dewan komisaris beserta manajemen perusahaan dan para stakeholder akan memberikan jaminan hasil yang efektif dan efsisen termasuk pada kebijakan mengenai besaran tarif pajak efektif perusahaan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardyansah dan Zulaikha (2014) menemukan hasil komisaris independen berpengaruh signifikan positif terhadap effective tax rate (ETR) dan menyatakan bahwa proporsi komisaris independen yang semakin besar dapat berpengaruh pada beban pembayaran pajak yang lebih tinggi karena perusahaan cenderung akan melaporkan jumlah pajak sesuai dengan tarif pajak yang berlaku terhadap keuntungan yang diperoleh perusahaan.
40
Kehadiran
komisaris
independen
dalam
dewan
komisaris
mampu
meningkatkan pengawasan kinerja direksi dimana dengan semakin banyaknya komisaris independen maka pengawasan dari manajemen akan semakin ketat. Pengawasan yang semakin ketat akan membuat manajemen bertindak lebih berhati hati dalam mengambil keputusan dan transparan dalam menjalankan perusahaan sehingga tax avoidance dapat diminimalkan. Secara aktif komisaris independen dapat mendorong manajemen untuk mematuhi peraturan perundangan pajak yang berlaku dan mengurangi risiko seperti rendahnya kepercayaan investor dan menurunnya reputasi perusahaan. Prakosa (2014) dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh negatif terhadap praktik penghindaran pajak dimana jika komisaris independen mengalami peningkatan maka praktik penghindaran pajak akan mengalami penurunan sehingga proporsi komisaris yang besar dalam perusahaan dapat mencegah praktik penghindaran pajak. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: H1 :
Proporsi komisaris penghindaran pajak.
independen
41
berpengaruh
negatif
pada
2.3.2 Pengaruh Keberadaan Komite Audit pada Penghindaran Pajak Komite audit adalah komite tambahan yang bertugas membantu dewan komisaris melakukan pengawasan terhadap manajemen perusahaan. Komite audit berfungsi memberikan pandangan mengenai masalah yang berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi dan pengendalian internal perusahaan. Komite audit merupakan bagian dari manajemen perusahaan yang berpengaruh signifikan dalam penentuan kebijakan perusahaan. Anggota komite audit dengan keahlian akuntansi atau keuangan lebih mengerti celah dalam peraturan perpajakan dan cara yang dapat menghindari risiko deteksi, sehingga dapat memberikan saran yang berguna untuk melakukan penghindaran pajak (Puspita, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Hanum dan Zulaikha (2013) menemukan hasil yang positif antara komite audit dengan effective tax rate (ETR) dimana komite audit berdasarkan fungsinya membantu dewan komisaris agar tidak terjadi asimetri informasi dengan melakukan pengawasan serta memberikan rekomendasi kepada manajemen dan dewan komisaris terhadap pengendalian yang telah berjalan di dalam perusahaan. Semakin ketatnya pengawasan yang dilakukan terhadap suatu manajemen perusahaan maka akan menghasilkan suatu informasi yang berkualitas dan kinerja yang efektif. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah anggota komite audit dalam suatu perusahaan akan meningkatkan kinerja suatu perusahaan agar lebih efektif termasuk juga dalam penetapan kebijakan yang berkaitan dengan besaran tarif pajak efektif dimana komite audit berperan dalam memilih metode akuntansi yang efektif dan tepat bagi perusahaan.
42
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Jati (2014) yang juga membuktikan adanya pengaruh negatif antara komite audit dengan penghindaran pajak. Semakin tinggi keberadaan komite audit dalam perusahaan maka akan meningkatkan kualitas good corporate governane di dalam perusahaan sehingga akan memperkecil kemungkinan praktik penghindaran pajak yang akan dilakukan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki komite audit akan lebih bertanggung jawab dan terbuka dalam menyajikan laporan keuangan karena komite audit akan memonitor segala kegiatan yang berlangsung di dalam perusahaan. Penelitian terkait juga dilakukan oleh Winata (2014) yang menyatakan bahwa jumlah komite audit yang berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance dengan menunjukkan bahwa semakin banyaknya jumlah komite audit yang ada pada sebuah perusahaan dapat membuat praktik tax avoidance yang dilakukan pada perusahaan tersebut dapat diminimalisir. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: H2: Keberadaan komite audit berpengaruh negatif pada penghindaran pajak.
43
2.3.3 Pengaruh Preferensi Risiko Eksekutif pada Penghindaran Pajak Menurut Budiman dan Sutiyono (2012) menjelaskan bahwa preferensi risiko dapat dibedakan menjadi risk taker dan risk averse dengan cara mengukur risiko perusahaan yang dipimpinnya. Preferensi risiko akan berpengaruh dalam pelaksanaan tugas eksekutif. Berdasarkan teori tindakan beralasan, eksekutif menentukan keputusan berdasarkan informasi yang ada. Eksekutif sebagai penentu keputusan akan mempertimbangkan berbagai aspek sebelum bertindak. Dampak dari suatu tindakan juga akan dianalisis dengan tujuan untuk mendapatkan keputusan terbaik, termasuk dalam menentukan keputusan penghindaran pajak perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Hanafi dan Harto (2014) menunjukkan hasil yang positif antara preferensi risiko eksekutif dengan penghindaran pajak. Hasil tersebut dimungkinkan karena eksekutif perusahaan cenderung memiliki preferensi risk taker dengan keberanian lebih dalam menentukan suatu kebijakan meskipun risikonya tinggi. Namun, risk taker dengan keberaniannya juga dituntut untuk menghasilkan cash flow yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan risiko yang timbul atas keberaniannya mengambil tindakan atau keputusan termasuk kebijakan pajak. Sejalan dengan penelitian Dewi dan Jati (2014) menyatakan juga perusahaan yang memiliki eksekutif dengan preferensi risk taker akan cenderung lebih berani dalam mengambil keputusan walaupun keputusan tersebut berisiko tinggi termasuk keputusan untuk melakukan penghindaran pajak.
44
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: H3: Preferensi risiko eksekutif berpengaruh positif pada penghindaran pajak.
2.3.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Penghindaran Pajak Ukuran perusahaan dapat menentukan besar kecilnya aset yang dimiliki perusahaan dimana semakin besar aset yang dimiliki maka semakin meningkat pula jumlah produktifitas perusahaan tersebut. Hal itu akan menghasilkan laba yang semakin meningkat dan memengaruhi tingkat pembayaran pajak. Perusahaan besar cenderung memiliki ruang yang lebih besar untuk perencanaan pajak yang baik dan mengadopsi praktek akuntansi yang efektif untuk menurunkan effective tax rate perusahaan (Ardyansah dan Zulaikha, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Rego dan Wilson (2009) menyatakan bahwa semakin besar perusahaan maka transaksi yang dilakukan akan semakin kompleks. Hal itu memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan celah-celah yang ada untuk melakukan tindakan penghindaran pajak dari setiap transaksinya. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sari (2014) yang menemukan pengaruh signifikan positif terhadap tax avoidance dengan menunjukkan bahwa perusahaan dengan ukuran besar lebih stabil dan mampu dalam menghasilkan laba dan membayar kewajibannya dibanding perusahaan dengan total aktiva yang kecil. Perusahaan yang termasuk dalam skala perusahaan besar akan mempunyai sumber daya yang berlimpah yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan
45
tertentu. Berdasarkan teori agensi, sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan dapat digunakan oleh agent untuk memaksimalkan kompensasi kinerja agent, yaitu dengan cara menekan beban pajak perusahaan untuk memaksimalkan kinerja perusahaan (Darmawan dan Sukartha, 2014). Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: H4: Ukuran perusahaan berpengaruh positif pada penghindaran pajak.
46