BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA TEORI
2.1
Kajian Pustaka Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan, ditemukan beberapa
penelitian mengenai fukushi yang terkait dengan penelitian ini. Nissa (2013) dalam jurnalnya yang berjudul “ Analisis Fungsi Fukushi Mou dalam Komik Sanchoume no Yuuhi Karya Ryohei Saigan “ menganalisis tentang fukushi mou yang terdapat dalam komik Sanchoume no Yuuhi Karya Ryohei Saigan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif yang diikuti oleh teknik studi pustaka. Analisis fungsi mou mengacu pada pendapat Hida (1994) dalam bukunya Gendai Fukushouhou Jiten. Berdasarkan hasil penelitian Nissa ditemukan lima fungsi mou dalam komik Sanchoume no Yuuhi Karya Ryohei Saigan sebagai berikut : 1) Mou berfungsi menunjukkan keadaan sedang melampaui batas atau melintasi batas (masih), 2) Mou berfungsi menunjukkan keadaan yang bermaksud untuk mencapai suatu tujuan dan menunjukkan pertimbangan pembicara tentang dekatnya waktu yang akan dicapai yang menekankan pada kesan positif, 3) Mou berfungsi menunjukkan keadaan sedang terjadi dengan menambahkan keterangan, 4) Mou menunjukkan keadaan menyatakan tidak bisa mengatur perasaan yang meluap-luap, dan 5) Mou berfungsi menunjukkan perasaan menegur, mengecam atau mencela dan mengandung unsur negatif. Penelitian Nissa dan penelitian ini sama-sama membahas mengenai fukushi, sedangkan perbedaannya terletak pada sumber data
10
11
yang digunakan. Nissa menggunakan komik sebagai sumber data, sedangkan penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai sumber data. Selain itu penelitian Nissa hanya menganalisis fungsi dari fukushi mou, sedangkan penelitian ini menganalisis struktur, makna dan substitusi dari fukushi omowazu, tsui dan ukkari. Oleh karena itu, penelitian Nissa sangat bermanfaat sebagai referensi untuk menganalisis fungsi dari fukushi omowazu, tsui dan ukkari. Suriasih ( 2014 ) dalam penelitiannya yang berjudul “Perbandingan fungsi dan makna fukushi yang berarti „akhirnya‟ dalam Novel Botchan Karya Natsume Souseki”. Dalam penelitian tersebut membahas mengenai perbandingan fungsi dan makna fukushi yang berarti „akhirnya‟. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah teori gramatikal oleh Verhaar (2010:161) dan teori kontekstual oleh Chaer (1986:62). Dalam penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dalam Novel Botchan Karya Natsume Souseki, terdapat lima fukushi yang berarti „akhirnya‟ yaitu : toutou, yatto, youyaku, tsui ni dan iyo-iyo. Jika dibandingkan, fukushi-fukushi tersebut memiliki fungsi dan makna yang berbeda tergantung dari konteks kalimatnya. Dalam novel Botchan, ditemukan masing-masing sebuah fungsi untuk fukushi toutou, yatto, youyaku, tsui ni dan iyo-iyo. Toutou berfungsi untuk mengungkapkan suatu situasi yang diharapkan yang akhirnya atau pada akhirnya dapat tercapai. Youyaku berfungsi untuk menunjukkan penyelesaian akhir dari sesuatu yang positif. Youyaku lebih digunakan pada situasi formal dan biasanya digunakan dalam bahsasa tulisan. Tsui ni adalah kata keterangan yang lain yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang diinginkan atau tidak diinginkan pada akhirnya datang atau akan datang setelah melewati proses yang
12
panjang. Yatto digunakan untuk menyatakan sesuatu yang diinginkan pada akhirnya dapat tercapai atau pada akhirnya akan tercapai walaupun cara pencapaiannya penuh dengan kesulitan. Sedangkan, iyo-iyo adalah kata keterangan yang digunakan untuk menyatakan adanya penekanan pada proses berlangsungnya suatu aktivitas baik pada awal maupun pada akhir aktivitas. Dalam novel Botchan, ditemukan tiga buah makna toutou, dan masing-masing sebuah makna youyaku, tsui ni, yatto dan iyo-iyo. Toutou mempunyai makna untuk menyatakan sesuatu yang berimplikasi positif, sesuatu yang berimplikasi negatif, dan sesuatu yang di luar dugaan. Youyaku mempunyai makna untuk mengungkapkan suatu proses yang panjang dan lambat akhirnya dapat tercapai. Tsui ni mempunyai makna untuk menyatakan hasil yang tidak terduga. Fukushi yatto mempunyai makna untuk menyatakan perasaan yang dikehendaki akhirnya dapat tercapai walaupun melalui proses yang panjang. Iyo-iyo digunakan untuk menyatakan suatu proses berlangsungnya suatu aktivitas baik di awal maupun di akhir aktivitas. Persamaan penelitian Suriasih dengan penelitian ini adalah samasama meneliti mengenai fukushi, sehingga dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Perbedaannya terletak pada sumber data yang digunakan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian Suriasih adalah berupa novel, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai sumber data. Oleh karena itu, penelitian Suriasih sangat bermanfaat sebagai referensi untuk menganalisis fungsi dan makna dari fukushi omowazu, tsui dan ukkari. Sudipa (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Fungsi dan makna Kanarazu, Kitto dan Zettai dalam Komik Midori no Hibi volume 1-7 karya
13
Kazuro Inoue”. Dalam penelitian tersebut membahas mengenai fungsi dan makna kanarazu, kitto dan zettai. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan teknik ganti. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah teori sintaksis oleh Verhaar (2010:11) dan teori makna kontekstual oleh Pateda (2001:97-131). Dalam penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat 10 data kanarazu, 26 data kitto dan 39 data zettai yang ditemukan dalam komik Midori no Hibi volume 1-7 karya Kazuro Inoue. Berkaitan dengan fungsi, kanarazu, kitto dan zettai digolongkan ke dalam kelas kata adverbia (fukushi). Adverbia memiliki fungsi menerangkan verba, adjektiva dan adverbia. Kanarazu hanya berfungsi untuk menerangkan verba saja. Kitto memiliki fungsi menerangkan verba, adjektiva dan adverbia lainnya. Sedangkan Zettai berfungsi menerangkan verba dan adjektiva-na. Makna kanarazu, kitto dan zettai dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut : kanarazu memiliki dua buah makna ketika digunakan dalam kalimat, yaitu
:
mengekspresikan
keyakinan
kuat
dalam
konteks
formal
dan
mengekspresikan suatu kejadian yang berulang-ulang. Kitto memiliki makna mengekspresikan keyakinan berdasarkan pemikiran sendiri saat pembicara berpikir hal tersebut seratus persen akan terjadi. Kalau digunakan dalam kalimat, kitto sering diikuti oleh : yo, darou atau kamoshirenai pada akhir kalimat. Sedangkan zettai memiliki makna keyakinan kuat dengan konteks suasana hati pembicara dan menegaskan pernyataan dengan konteks suasana hati pembicara. Konteks suasana hati pembicara mempengaruhi makna dari zettai ketika digunakan dalam kalimat, seperti kalau pembicara merasa marah, senang, panik
14
dan sebagainya. Fukushi Kanarazu, kitto dan zettai dapat saling menggantikan ketika digunakan untuk mengekspresikan keyakinan. Persamaan penelitain Sudipa dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang fukushi. Sedangkan perbedaannya terletak pada sumber data yang digunakan. Sudipa menggunakan komik sebagai sumber data, sedangkan penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai sumber data. Oleh karena itu, penelitian Sudipa sangat bermanfaat sebagai referensi untuk menganalisis fungsi dan makna dari fukushi omowazu, tsui dan ukkari. 2.2
Konsep Berikut ini beberapa konsep yang digunakan berkaitan dengan struktur,
makna dan substitusi fukushi : omowazu, tsui dan ukkari adalah sebagai berikut : 2.2.1
Fukushi Di dalam bahasa Jepang yang dimaksud dengan fukushi „adverbia‟
menurut (Masuoka dan Takubo, 1989:38) adalah kata yang pada prinsipnya berfungsi sebagai kata keterangan predikat. Jenis fukushi „adverbia „ yang utama adalah teido no fukushi, hindo no fukushi, ryou no fukushi, tensu-asupekuto no fukushi dan joutai no fukushi, sedangkan kata yang berfungsi sebagai kata keterangan terhadap keseluruhan kalimat disebut bunshuushoku fukushi, yang dianggap sebagai salah satu jenis adverbia. Yang termasuk pada kelompok jenis ini adalah chinjutsu no fukushi, hyouka no fukushi dan hatsugen no fukushi. Berikut ini penjelasan dari jenis jenis fukushi :
15
1. Teido no fukushi Pada ungkapan yang menerangkan suatu keadaan, kerap kali tingkatannya menjadi masalah. Pada umumnya, teido no fukushi ini digunakan pada kalimat yang predikatnya menerangkan suatu keadaan, tetapi dapat juga digunakan pada kalimat yang predikatnya menerangkan keadaan suatu aktifitas seperti pada verba yang menyatakan perasaan seseorang yang disebut kanjou doushi. Selain itu, teido no fukushi ini dapat pula digunakan untuk menerangkan kata keterangan pada predikat dan kata keterangan dari nomina. Adverbia yang termasuk pada teido no fukushi ini antara lain : taihen, totemo, hijou ni, hidoku, daibu, zuibun, amari ni, kanari, kekkou, naka-naka, sukoshi, chotto, zutto, motto dan lain lain. 2. Hindo no fukushi Yang dimaksud dengan hindo no fukushi adalah adverbia yang digunakan untuk menyatakan adanya suatu kekerapan atau adanya frekuensi suatu aktifitas atau keadaan yang terjadi dalam suatu jangka waktu. Adverbia yang termasuk pada kelompok ini di antaranya adalah itsumo, taitei, yoku, shiba-shiba, tabi-tabi, toki-doki, tama ni dan lain lain. 3. Ryou no fukushi Yang dimaksud dengan ryou no fukushi adalah adverbia yang digunakan untuk menerangkan kuantitas manusia atau benda yang berkaitan dengan aktifitas. Adverbia yang termasuk pada kelompok ini di antaranya adalah takusan, ippai, tappuri, dossari dan lain lain. Di antara adverbia-adverbia yang termasuk pada teido no fukushi terdapat pula adverbia yang dapat digunakan sebagai ryou no
16
fukushi misalnya : daibu, zuibun, kanari, sukoshi, chotto, juubun, yoku dan lain lain. Hal hal lain yang perlu diperhatikan di dalam ryou no fukushi seperti : hotondo, oyoso, hobo dan daitai merupakan adverbia yang bermakna untuk menjelaskan „sebagian besar dari keseluruhan‟. 4. Tensu-asupekuto no fukushi Adverbia yang digunakan untuk menyatakan waktu terjadinya suatu kejadian atau peristiwa disebut dengan tensu-asupekuto no fukushi. Di dalam adverbia jenis ini terdapat tensu no fukushi yang dimaksudkan untuk menerangkan waktu terjadinya peristiwa tersebut sebagai dasar patokan waktu yang diujarkan. Adverbia yang termasuk pada kelompok ini antara lain : katsute, izure, mou sugu, korekara, sakihodo, nochihodo dan lain lain. Jenis adverbia lainnya adalah asupekuto no fukushi yakni adverbia yang digunakan untuk menyatakan suatu hal atau perkara yang berhubungan dengan terjadinya serta berkembangnya suatu peristiwa, seperti tentang urutannya, permulaannya, kelanjutannya serta berakhirnya suatu peristiwa. Adverbia yang termasuk pada kelompok ini di antaranya adalah ima nimo, sude ni, mou, choudo, mada, zutto, shidai ni, dan-dan, masu-masu, yatto, toriaezu, ikinari, futatabi, hajimete, shibaraku dan lain lain. 5. Joutai no fukushi Yang dimaksud dengan joutai no fukushi adalah adverbia yang digunakan untuk menerangkan keadaan suatu aktifitas. Adverbia yang termasuk pada kelompok ini antara lain : iyaiya, kowagowa, gussuri, bonyari, niyaniya, shikushiku, jitto, sassato, hakkiri to, kippari to, sukusuku to dan lain-lain. Pada
17
joutai no fukushi ini termasuk pula adverbia yang digunakan untuk menerangkan ada atau tidak adanya suatu hasrat atau keinginan dari si pelaku aktifitas, diantaranya adalah wazato, wazawaza, ukkari, omowazu dan lain lain. 6. Chinjutsu no fukushi Chinjutsu no fukushi merupakan adverbia yang digunakan secara berpasangan dengan pernyataan yang terdapat pada ungkapan modalitas di akhir kalimat. Adverbia yang termasuk pada chinjutsu no fukushi ini adalah sebagai berikut : a).
Adverbia yang berpasangan dengan ungkapan pertanyaan seperti : ittai dan
hatashite. b).
Adverbia yang berpasangan dengan pernyataan negasi seperti : kesshite,
kanarazushimo dan totemo. c). Adverbia yang berpasangan dengan ungkapan suatu pernyataan dan kebenaran seperti : osoraku, tabun, kitto, kanarazu, zettai, tashika, masaka dan lain lain. d). Adverbia yang berpasangan dengan ungkapan yang menyatakan tentang berita seperti : nandemo. e). Adverbia yang berpasangan dengan ungkapan perumpamaan dan perbandingan seperti : marude, atakamo dan samo. f).
Adverbia yang berpasangan dengan ungkapan yang menyatakan suatu
kompromi atau syarat pada hal yang dikemukakan pada anak kalimat seperti : moshi, man ichi, tatoe, ikura dan lain lain. g).
Adverbia yang berpasangan dengan ungkapan yang menyatakan suatu
perasaan seperti : nanto dan nante.
18
7. Hyouka no fukushi Adverbia yang digunakan untuk memberi penilaian terhadap suatu hal atau perkara disebut hyouka no fukushi. Adverbia yang termasuk pada kelompok ini di antaranya adalah ainiku, saiwai, touzen, mochiron, tama-tama dan lain lain 8. Hatsugen no fukushi Yang disebut dengan hatsugen no fukushi adalah adverbia yang digunakan untuk menyatakan makna „dengan sikap atau perilaku seperti bagaimana sesuatu hal dikemukakan‟, Adverbia yang termasuk pada kelompok ini di antaranya adalah jitsu wa, jissai wa, hontou wa, iwaba, tatoeba dan lain lain. Fukushi yang digunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam joutai no fukushi, yakni fukushi yang menerangkan ada atau tidak adanya suatu hasrat atau keinginan dari si pelaku aktifitas. Berikut penjelasan mengenai fukushi omowazu, tsui dan ukkari berdasarkan teori yang digunakan untuk menganalis struktur dan makna dalam penelitian ini. 1. Omowazu Makino dan Tsutsui (2008:670) menjelaskan mengenai omowazu bahwa : Omowazu “unintentionally, involuntarily” is synonymous with tsui and can be used interchangeably in some situation. „omowazu adalah sesuatu yang dilakukan tanpa disengaja dan di luar kemauan yang merupakan sinonim dari tsui, serta bisa digunakan untuk saling menggantikan dalam beberapa situasi”.
19
2. Tsui An adverb used to describe someone doing something without being able to control himself/herself or used to indicate the closeness of a time or a place. „tsui adalah sebuah kata keterangan yang biasanya digunakan untuk menggambarkan seseorang yang sedang melakukan sesuatu tanpa bisa mengontrol dirinya, atau digunakan untuk menyatakan kedekatan dari waktu atau tempat. Tsui is used when does something unintentionally. In some situation, it carries more specific meaning, such as “carelessly” or “involuntarily”. „tsui digunakan ketika melakukan sesuatu yang dilakukan tanpa disengaja. Di beberapa situasi, itu memberikan makna yang lebih spesifik, seperti : sesuatu yang dilakukan secara sembarangan dan sembrono, atau di luar kemauan pembicara. 3. Ukkari Ukkari “carelessly” and tsui are used in similar situation. Tsui and ukkari can be used together. „Ukkari dan tsui bisa digunakan dalam situasi yang mirip dan bersamaan‟.
Adapun struktur kalimat yang mengandung omowazu, tsui dan ukkari menurut Makino dan Tsuitsui (2008:668) adalah sebagai berikut : a. Penggabungan tsui dengan verba Tsui + verba bentuk te shimau/shimatta Contoh : .楽しかった
ので、 つい / 思わず
飲みすぎてしまった。
Tanoshikatta node tsui / omowazu nomisugite shimatta. Senang-BTK.LAM karena tanpa sengaja terlalu banyak minum-BTK.LAM.SLS
20
„karena menyenangkan, tanpa sadar saya terlalu banyak minum‟.
b. Penggabungan tsui + kata keterangan waktu Tsui + kata keterangan waktu Contoh : つい、
さっき
tsui sakki baru saja tadi
まで、 山田さん made sampai
が
来ていたんです。
yamada san ga yamada NOM
kite itan desu datang-BTK.SBG.LAM
„baru saja tadi yamada san datang kesini‟ Struktur kalimat yang dibentuk dari fukushi omowazu dan ukkari juga sama dengan struktur kalimat dari tsui yang digabungkan dengan kata kerja, tetapi fukushi omowazu dan ukkari tidak bisa menunjukkan keterangan waktu. c. Penggabungan ukkari dengan verba Ukkari + verba bentuk te shimau/shimatta Contoh : 恵美
に
つい / うっかり
亜紀
Emi emi
ni pada
tsui / ukkari tanpa sengaja
aki aki
秘密
を
話してしまった。
himitsu rahasia
wo AKU
hanashite shimatta berbicara BTK.LAM.SLS
„‟tanpa sadar, saya membicarakan rahasia milik aki kepada emi‟
d. Penggabungan omowazu dengan verba Omowazu + verba bentuk te shimau/shimatta
の no GEN
21
Contoh : 目
の
前
で
子供
が
飛び出した
Me no mae de Mata GEN depan di
kodomo ga anak-anak NOM
ので、
思わず、
クラクション
node karena
omowazu kurakushon secara naluri klakson
tobidashita berlari keluar-BTK.LAM を
wo AKU
鳴らした。 narashita membunyikan-BTK.LAM
„karena melihat anak-anak yang berlarian keluar di depan mata, secara naluri / alami saya membunyikan klakson‟. 2.2.2
Makna Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu
melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan katakata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian.
Aspek-aspek Makna Aspek-aspek makna yang ada dalam semantik menurut Pateda (2001:89) ada empat hal, yaitu :
1. Pengertian (sense) Pengertian disebut juga dengan tema. Pengertian ini dapat dicapai apabila pembicara dengan lawan bicaranya atau antara penulis dengan pembaca mempunyai kesamaan bahasa yang digunakan atau disepakati bersama. Lyons
22
(dalam Pateda, 2001:92) mengatakan bahwa pengertian adalah sistem hubunganhubungan yang berbeda dengan kata lain di dalam kosakata. 2. Nilai rasa (feeling) Aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan. Dengan kata lain, nilai rasa yang berkaitan dengan makna adalah kata kata yang berhubungan dengan perasaan, baik yang berhubungan dengan dorongan maupun penilaian. Jadi, setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan nilai rasa dan setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan perasaan (Pateda, 2001:93).
3. Nada (tone) Aspek makna nada adalah sikap pembicara terhadap kawan bicara Shipley (dalam Pateda, 2001:94). Aspek nada berhubungan pula dengan aspek makna yang bernilai rasa. Dengan kata lain, hubungan antara pembicara dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan.
4. Maksud (intention) Aspek maksud merupakan maksud senang atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan. Maksud yang diinginkan dapat bersifat deklarasi, imperatif, narasi, pedagogis, persuasi, rekreasi atau politik Shipley (dalam Pateda 2001:95).
23
2.3
Kerangka Teori Sebuah penelitian memerlukan suatu acuan atau teori yang digunakan
untuk memecahkan permasalahan. Dalam penelitian yang berjudul : Penggunaan fukushi omowazu, tsui dan ukkari dalam bahasa Jepang sehari-hari orang Jepang di Sisi, Pengosekan, Ubud tinjauan sintaksis dan semantik ini, menggunakan dua teori, yakni : teori sintaksis oleh Verhaar (2010:11) untuk menganalisis struktur kalimat dan teori makna kontekstual oleh Pateda (2001:116) untuk menganalisis makna dalam kalimat. 2.3.1
Teori Sintaksis Verhaar (2010:11) menyatakan bahwa ruang lingkup cabang ilmu sintaksis
adalah hubungan gramatikal antar kata dalam sebuah kalimat. Menganalisis klausa secara sintaksis yaitu dengan menganalisis fungsi-fungsinya. Fungsi tersebut adalah subjek, predikat dan objek yang ada dalam sebuah kalimat. Teori sintaksis yang digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis struktur kalimat yang mengandung omowazu, tsui dan ukkari yang terdapat dalam kuesioner yang sudah dibagikan kepada orang-orang Jepang yang mengunjungi Sisi, Pengosekan, Ubud pada minggu pagi. 2.3.2
Teori Makna Kontekstual Teori makna kontekstual menurut Pateda (2001:116) menyatakan bahwa,
makna kontekstual (contextual meaning) atau makna situasional (situational meaning) muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan konteks. Sudah diketahui bahwa konteks itu berwujud dalam banyak hal. Konteks yang dimaksud
24
di sini, yakni : (1) konteks orangan, termasuk di sini hal yang berkaitan dengan jenis kelamin, kedudukan pembicara, usia pembicara atau pendengar, latar belakang sosial ekonomi pembicara atau pendengar, (2) konteks situasi, misalnya situasi aman, situasi rebut, (3) konteks tujuan, misalnya meminta, mengharapkan sesuatu, (4) konteks formal atau tidaknya pembicaraan, (5) konteks suasana hati pembicara atau pendengar, misalnya takut, gembira, jengkel, (6) konteks waktu, misalnya malam, setelah magrib, (7) konteks tempat, apakah tempatnya di sekolah, di pasar, di depan bioskop, (8) konteks objek, maksudnya apa yang menjadi fokus pembicaraan, (9) konteks alat kelengkapan bicara atau dengar pada pembicara atau pendengar, (10) konteks kebahasaan, maksudnya apakah memenuhi kaidah bahasa yang digunakan oleh kedua belah pihak, dan (11) konteks bahasa, yakni bahasa yang digunakan. Dari kesebelas konteks di atas, makna kontekstual yang digunakan dalam penelitian ini adalah konteks orangan, konteks situasi dan konteks suasana hati.