BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN Bab ini terdiri dari empat komponen yaitu kajian pustaka yang mengemukakan penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Kedua, berupa kajian terhadap teori yang ada, dimana teori dapat digunakan dalam memecahkan permasalahan. Ketiga, berupa konsep yang mengemukakan acuan-acuan, dan keempat berupa kerangka pikir yang menjabarkan keseluruhan pelaksanaan penelitian. 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan suatu tahapan penelitian yang dilakukan dengan mengkaji penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan saat ini. Penelitian yang pertama adalah tesis dari Hariyanti (2008), yang berjudul “Kajian Pola Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Kawasan Bundaran Simpang Lima Semarang”. Seiring dengan perkembangan Kawasan Bundaran Simpang Lima sebagai central business district (CBD) tanpa didukung dengan ketersediaan lahan yang mencukupi, berdampak pada bermunculannya sektor informal yang memanfaatkan lokasi-lokasi publik (trotoar dan Lapangan Pancasila, yang merupakan ruang terbuka publik kota). Hal ini berdampak pada berkurangnya luasan ruang terbuka publik dan kenyamanan pejalan kaki akibat pemanfaatan ruang trotoar dan Lapangan Pancasila sebagai ruang aktivitas informal, serta adanya disintegrasi spasial antara sektor formal dan informal. Dilakukan kajian mengenai kecenderungan pemanfaatan ruang terbuka publik Kawasan Bundaran
6
7
Simpang Lima untuk mengetahui pola pemanfaatan ruang terbuka publik kawasan sebagai dasar dalam arahan pengembangan ruang-ruang terbuka publik kawasan. Berdasarkan analisis pola pemanfaatan ruang dan aktivitas pada ruang terbuka publik kawasan, dapat diketahui bahwa pemanfaatan Lapangan Pancasila oleh aktivitas politik, peribadatan massal, olah raga, serta rekreasi dan hiburan berlangsung mengelompok berdasarkan aktivitasnya. Pada tesis ini memiliki persamaan bagaimana terjadi suboptimalisasi fungsi pada Kawasan Bundaran Simpang Lima akibat dari adanya aktivitas ekonomi. Adanya fenomena pergeseran fungsi pada kawasan ruang terbuka dengan Kawasan Bundaran Simpang Lima sebagai lokasi penelitian. Namun tesis ini memiliki tujuan yang berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan karena pada tesis ini adalah untuk mengetahui pola pemanfaatan ruang terbuka publik sebagai arah pengembangan. Pada tesis yang dilakukan oleh Wibowo (2004) mengenai “Pengaruh Pergerakan terhadap Kualitas Ruang Publik Studi Kasus Kawasan Alun-Alun Kota Tegal” memiliki tujuan untuk menganalisis pengaruh pergerakan yang menyebabkan turunnya kualitas ruang publik. Pada tesis ini memiliki persamaan dalam melihat suboptomalisasi fungsi ruang publik. Perbedaannya adalah pada tesis ini dilihat dari faktor pergerakan, bukan melalui aktivitas ekonomi seperti pada penelitian yang akan dilakukan.
Penelitian selanjutnya adalah tesis dari Rachmawati (2004) yang melakukan penelitian dengan judul “Kajian Kecenderungan Ruang Publik Simpang Lima Kota Semarang Berkembang Sebagai Kawasan Rekreasi Belanja”. Tesis ini bertujuan untuk mengkaji kecenderungan perkembangan Kawasan
8
Ruang Publik Simpang Lima sebagai kawasan wisata belanja. Tesis ini memiliki persamaan bagaimana pengaruh aktivitas ekonomi pada sebuah kawasan ruang publik. Perbedaannya adalah pada tesis ini lebih difokuskan pada alih fungsi lahan yang terjadi di Kawasan Ruang Publik Simpang Lima akibat dari aktivitas ekonomi tersebut. Berdasarkan kajian pustaka, sampai saat ini belum dijumpai penelitian yang meneliti “Aktivitas Ekonomi dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau Aktif di Kota Denpasar”. Namun disamping untuk menunjukkan keoriginalitasan penelitian, tujuan kajian pustaka juga bertujuan untuk membantu mengkaji sejarah permasalahan, membantu pemilihan prosedur penelitian, mendalami landasan teori yang berkaitan dengan permasalahan, serta mengkaji kelebihan dan kekurangan hasil penelitian terdahulu.
9
Tabel 2.1 Penelitian Terkait Data
Penelitian 1
Penelitian 2
Penelitian 3
Nama
Dini Tri Hariyanti
Erlangga Mukti
Kiki Rachmawati
Wibowo Judul
“Kajian Pola Pemanfaatan
“Pengaruh Pergerakan
“Kajian Kecenderungan
Ruang Terbuka Publik
Terhadap Kualitas
Ruang Publik Simpang
Kawasan Bundaran
Ruang Publik Studi
Lima Kota Semarang
Simpang Lima Semarang”
Kasus Kawasan Alun-
Berkembang sebagai
Alun Kota Tegal”
Kawasan Rekreasi Belanja”
Tahun
2008
2004
2004
Masalah
Suboptimalisasi fungsi
Adanya pengaruh
Aktivitas ekonomi
pada kawasan bundaran
antara pergerakan
mempengaruhi
simpang lima Semarang
dengan penurunan
pemanfaatan ruang
kualitas ruang publik
kawasan
Lokasi
Kota Semarang
Kota Tegal
Kota Semarang
Hasil
Kajian pola pemanfaatan
Membuktikan
Adanya alih fungsi lahan
ruang terbuka publik
pengaruh pergerakan
pada kawasan akibat dari
kawasan sebagai dasar
terhadap penurunan
perkembangan aktivitas
dalam arahan
kualitas ruang publik
ekonomi.
pengembangan ruangruang terbuka publik kawasan
Berdasarkan kajian pustaka tersebut, dapat dijadikan acuan bagaimana dampak aktivitas ekonomi terhadap kualitas ruang terbuka hijau. Aktivitas ekonomi yang biasa muncul pada area ruang terbuka salah satunya adalah aktivitas pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya berkeliling area ruang terbuka hijau. Hal ini memberi dampak terhadap kualitas dilihat dari aspek fisik dan non fisik seperti timbulnya sampah dan kenyamanan pengguna yang bisa terganggu.
10
2.2 Konsep Tujuan dari dirumuskannya konsep adalah untuk mendapatkan persamaan persepsi dan konteks penelitian. Istilah-istilah yang muncul dalam judul akan dideskripsikan agar mendapatkan satu bentuk pemahaman yang utuh terhadap penelitian yang akan dilakukan. Konsep dari penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana dampak dari aktivitas ekonomi terhadap kualitas dari RTH di Kota Denpasar. Untuk memudahkan pemahaman, maka pemahaman terhadap judul penelitian ini akan dibahas menjadi 3 bagian, yaitu pemahaman mengenai Aktivitas Ekonomi, Dampak dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) Aktif.
2.2.1 Aktivitas Ekonomi Pelaku ekonomi dalam beraktivitas biasanya memilih lokasi pada tempattempat yang strategis di sebagian besar wilayah kota. Pelaku ekonomi akan berusaha agar barang atau jasa yang dijual terlihat oleh pembeli. Lokasi-lokasi yang strategis dan menguntungkan di pusat kota atau di suatu lokasi yang merupakan lokasi aktivitas masyarakat menjadi pilihan utama. Dapat dijumpai kehadiran pelaku aktivitas ekonomi di sekitar lokasi aktivitas perdagangan, pendidikan, perkantoran, dan aktivitas sosial masyarakat lainnya. Dalam teori lokasi juga disebutkan bahwa bagi pedagang terdapat kecenderungan untuk berorientasi kepada konsentrasi konsumen dalam menentukan lokasi tempat usaha (Djojodipuro, 1992). Aktivitas ekonomi yang dimaksud pada penelitian ini adalah aktivitas pelaku ekonomi yang memiliki kecenderungan berada di wilayah penelitian, yaitu
11
pedagang eceran kecil/non formal. Perdagangan eceran kecil terdiri atas eceran kecil yang berpangkalan dan pedagang eceran kecil tidak berpangkalan (Kotler dan Keller, 2004). Aktivitas ekonomi yang ada pada kawasan memberi dampak terhadap kualitas ruang terbuka hijau baik secara fisik maupun non fisik
2.2.2 Dampak Dampak adalah sesuatu yang muncul setelah adanya suatu kejadian (Badudu, 1994 dalam Budiarsa, 2011). Dampak adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik akibat negatif maupun positif (KBBI dalam Budiarsa, 2011). Dalam melihat dan menjelaskan bahwa suatu dampak telah berpengaruh pada suatu kawasan, maka harus mempunyai bahan perbandingan sebagai bahan acuan. Salah satu bahan yang dapat menjadi acuan adalah “keadaan sebelum terjadi perubahan”. Ada dua batasan penting dalam menganalisis terjadinya dampak, yaitu dampak suatu aktivitas terhadap lingkungan adalah perbedaan antara aspek lingkungan sebelum aktivitas terjadi dengan aspek lingkungan setelah adanya aktivitas tersebut, dampak aktivitas terhadap lingkungan adalah perbedaan antara aspek lingkungan tanpa adanya aktivitas dengan aspek lingkungan yang diperkirakan terjadi setelah adanya aktivitas (Soemarwoto, 2001). Pada penelitian ini yang dimaksud dampak adalah bagaimana aktivitas ekonomi dapat memberi dampak baik secara fisik maupun non fisik terhadap ruang terbuka hijau aktif di Kota Denpasar.
12
2.2.3 Kualitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) Aktif Secara umum ruang terbuka aktif dapat didefinisikan merupakan suatu ruang terbuka yang terjadi akibat adanya unsur-unsur yang membatasinya yang dapat diakses sekumpulan orang-orang tak terbatas siapa saja. Ruang terbuka aktif yang dimaksud dalam judul adalah ruang terbuka yang memiliki aktifitas di dalamnya yang dapat digunakan oleh semua masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya. Ruang terbuka hijau aktif diantaranya adalah taman kota dan lapangan rekreasi yang meliputi berbagai aktifitas di dalamnya seperti olahraga dan tempat rekreasi (Permen PU, 2008).
RTH
ADA AKTIFITAS DI DALAMNYA LAPANGAN REKREASI RTH AKTIF
TAMAN KOTA
Diagram 2.1 Konsep Ruang Terbuka Hijau Aktif
Pemahaman tentang kualitas fungsi ruang publik mempunyai penekanan pada aspek pemenuhan kebutuhan yang menyangkut kenyamanan dan kepuasan pengguna yang mempunyai berbagai macam kepentingan dan latar belakang. Pemenuhan terhadap kebutuhan membawa implikasi terhadap terpenuhinya ruang sebagai wadah aktivitas pengguna sesuai dengan fungsinya. Pemenuhan terhadap
13
hak membawa implikasi terhadap kebebasan beraktivitas. Indikator yang harus dipunyai oleh sebuah ruang publik, agar dapat memenuhi persyaratan yang berkualitas dapat ditinjau dari dua pokok aspek yaitu aspek fisik dan non fisik. Aspek fisik adalah ukuran, kelengkapan sarana elemen pendukung, desain, dan kondisi. Aspek non fisik adalah responsif, demokratis, meaningful dan accessible (Carr, 1992). Konsep pada penelitian ini yang berjudul “Aktivitas Ekonomi dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau Aktif di Kota Denpasar” ini adalah melihat bagaimana adanya fenomena dampak dari pemanfaatan ruang untuk aktivitas ekonomi yang terjadi pada ruang terbuka hijau aktif di Kota Denpasar sehingga berpengaruh bagi kualitas RTH baik secara fisik maupun non fisik. Aktivitas ekonomi merupakan pemanfaatan ruang pedagang eceran baik yang berpangkalan maupun tidak berpangkalan sehingga berdampak terhadap kualitas ruang terbuka hijau aktif. Kualitas ruang terbuka hijau aktif dilihat dari aspek fisik dan non fisik. Aspek fisik yaitu ukuran, kelengkapan sarana elemen pendukung, desain, dan kondisi. Aspek non fisik yaitu responsif, demokratis, meaningful dan accessible.
KUALITAS FISIK AKTIVITAS EKONOMI
DAMPAK TERHADAP KUALITAS FUNGSI RTH KUALITAS NON FISIK
Diagram 2.2 Dampak Aktivitas Ekonomi Terhadap Kualitas RTH
14
2.3 Landasan Teori Pada landasan teori ini merupakan pemaparan teori yang ada untuk dijadikan acuan dalam menganalisis permasalahan penelitian. Teori yang digunakan adalah pengertian pedagang eceran, ruang publik, kualitas ruang publik, dan ruang terbuka hijau.
2.3.1 Aktivitas Ekonomi di Kawasan RTH Aktivitas ekonomi merupakan sebuah kegiatan manusia yang dilakukan untuk mendapatkan keingiananya dengan bekerja, memperkerjakan atau menjadi kedua-duanya. Perkembangan kota secara pesat (rapid urban growth) yang tidak disertai
dengan
pertumbuhan
kesempatan
pekerjaan
yang
memadai
mengakibatkan kota-kota menghadapi berbagai ragam problem sosial yang sangat pelik (Alisjahbana, 2003). Tumbuh suburnya sektor ekonomi informal adalah jawaban dari kondisi tersebut. Bentuk sektor ekonomi informal yang menonjol dan sering ditemui di perkotaan salah satunya adalah pedagang eceran. Keberadaan pedagang eceran merupakan suatu realita saat ini, bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya geliat perekonomian di suatu kota. Hak masyarakat untuk mendapatkan rejeki yang halal di tengah sulitnya untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapan tentunya tidak bisa dikesampingkan. Pedagang eceran sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri yang mempunyai keahlian yang relatif minim. Keberadaan sektor
15
informal seperti pedagang eceran memiliki peran penting sebagai penyangga distorsi sistem ekonomi (Alisjahbana, 2003). Selain kenyataan bahwa sektor informal seperti pedagang eceran bisa menjadi penyangga distorsi sistem ekonomi perkotaan, pedagang eceran juga menjadi salah satu penyebab persoalan penataan ruang perkotaan. Lokasi pedagang eceran selalu memusat pada pusat-pusat kota dimana kegiatan perekonomian kota berpusat dan pada ruang-ruang publik seperti taman kota, atau di atas ruang publik lainnya (Nurmandi, 2006). Bisnis ritel secara umum bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar yaitu perdagangan eceran besar dan perdagangan eceran kecil (Kotler dan Keller, 2004). Perdagangan eceran kecil yang pada umumnya melakukan aktivitas di ruang-ruang publik terdiri atas eceran kecil yang berpangkalan dan pedagang eceran kecil tidak berpangkalan. Pedagang yang berpangkalan dapat berupa menetap di suatu tempat (seperti kios, depot dan warung), tidak tetap (seperti kaki lima, pasar sore, pasar mambo) dan menggunakan bantuan alat (seperti roda dorong, pedati, alat pikul). Klasifikasi bisnis ritel tersebut bisa dilihat pada diagram 2.3 berikut:
16
Pedagang Eceran
Eceran Kecil
Eceran Besar - Special Store - Department Store - Supermarket - Discount House - Hypermarket - General store
Berpangkalan
Tetap - Kios - Depot - Warung
Tidak Tetap - Kaki Lima - Pasar Sore - Pasar Mambo
Tidak Berpangkalan
Pakai Alat - Roda Dorong - Pedati - Alat Pikul
Diagram 2.3 Klasifikasi Pedagang Eceran Sumber : Kotler, 2004. 2.3.2 Ruang Publik (Public Space) Pada ruang publik (public space) ini akan dijelaskan bagaimana pengertian dan fungsi dari ruang publik bagi wilayah perkotaan.
2.3.2.1 Pengertian Ruang Publik Ruang publik dapat diartikan sebagai suatu ruang milik bersama, tempat masyarakat melakukan aktivitas fungsional dan ritual dalam suatu ikatan komunitas, baik dalam kehidupan rutin sehari-hari maupun dalam perayaan berkala. Ruang publik dapat digunakan untuk kepentingan pribadi, untuk kegiatan jual beli, untuk bertaman dan juga untuk berolahraga. Ruang publik juga dapat digunakan untuk beraktivitas secara bersama-sama dalam rangka pertemuan seperti demonstrasi, kampanye, bahkan upacara resmi. Sesuai dengan namanya maka suatu ruang publik harus terbuka terhadap setiap orang (Carr, 1992).
17
Ruang publik dapat memberi peranan karakter kotanya, pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya. Secara langsung nilai komersial yang ditawarkan tidak begitu menjanjikan bagi investor karena pangsa pasar yang sebagian besar terdiri dari masyarakat berpenghasilan rendah (Ahmad, 2002). Ruang publik merupakan suatu wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari pengguna suatu lingkungan baik secara individu maupun kelompok. Batasan pola ruang publik adalah bentuk dasar dari ruang terbuka di luar bangunan, dapat digunakan oleh publik, memberi kesempatan untuk bermacammacam kegiatan. Ruang publik dapat terbentuk dari kumpulan bangunan yang mengitari open space. Bangunan sebagai pendukung fasilitas dan sekaligus sebagai pelindung terhadap kondisi luar dan dapat menciptakan courtyard. Ruang publik dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya elemen pembentuk ruang, keterkaitan dengan sistem linkage yang ada, aktivitas utama di ruang publik, faktor kenyamanan, dan faktor keterkaitan antara “private domain” dan “public domain” (Hakim, 2003 dalam Wibowo, 2004).
2.3.2.2 Fungsi Ruang Publik Terkait dengan peran masyarakatnya dan pembentuk karakter kotanya, fungsi-fungsi ruang publik yaitu (Carr, 1992) pertama sebagai pusat interaksi, komunikasi masyarakat baik formal seperti upacara-upacara bendera, dan peringatan lain; informal seperti pertemuan-pertemuan individu kelompok masyarakat
dalam acara santai dan rekreatif atau demonstrasi dalam
menyampaikan aspirasi atau protes. Kedua sebagai ruang terbuka yang
18
menampung koridor-koridor jalan yang menuju kearah ruang publik tersebut dan sebagai ruang pengikat dilihat dari struktur kota, sekaligus sebagai pembagi ruang fungsi bangunan disekitarnya serta ruang untuk transit bagi masyarakat yang akan pindah kearah tujuan lain. Ketiga sebagai paru-paru kota akibat perkembangan penduduk kota yang semakin padat, sehingga masyarakat banyak yang memanfaatkan sebagai tempat olahraga, bermain, dan bersantai bersama keluarga. Sebuah kota menjadi daya tarik yang besar karena dituntut untuk menyediakan kemudahan fasilitas pelayanan yang dapat merangsang dan memberikan tantangan bagi kaum intelektual, serta memberikan peluang pada lapangan pekerjaan. Dalam menciptakan kebutuhan fasilitas kota yang tepat bagi penghuninya, perlu dikaji kebutuhan dasar yang diinginkan oleh penghuni kota itu sendiri. Ruang terbuka publik kota yang baik, harus dapat mewadahi semua kegiatan dan kepentingan pengguna masyarakat kota tersebut, tidak terkecuali bagi para penyandang cacat. Namun untuk tingkatan negara berkembang, ruang publik kota yang dapat mengakomodasi semua pengguna dari berbagai umur sudah dirasa mencukupi. Kebutuhan warga kota pada ruang publik diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang menunjang segala aktivitas warga kotanya, seperti kebutuhan kesan perspektif dan vista pada pemandangan kota. Hal ini diperlukan terutama di kawasan padat. Manusia dalam memandang memerlukan jarak pandang sehingga dapat menikmati pemandangannya. Kebutuhan rekreasi dan berkomunikasi. Pusat kota merupakan akumulasi berbagai kegiatan.
19
Kesibukan yang timbul membutuhkan tempat rekreasi ketika waktu istirahat maupun pada hari-hari libur (Hakim, 2003 dalam Wibowo, 2004).
2.3.3 Kualitas Ruang Publik (Public Space) Pada kualitas ruang publik (public space) akan dijelaskan mengenai pengertian kualistas ruang publik beserta tolak ukurnya.
2.3.3.1 Pengertian Kualitas Ruang Publik Ukuran yang menentukan kualitas ruang publik adalah tatanan aktivitas orang atau pengguna ruang yang ada disitu dan bagaimana berhubungan dengan elemen-elemen pembentuk tatanan fisik kawasan (Gavin, 1997 dalam Hariyanti, 2008). Pengertian ruang bukan sekedar space tetapi merupakan place karena terjadi integrasi antara pengguna dengan ruang yang mewadahinya dan sekaligus merupakan ruang yang mempunyai karakter yang jelas. Perubahan dalam satu aspek akan membawa konsekuensi terhadap aspek lain. Perubahan tidak dapat dihentikan, namun perlu diakomodasi dengan baik agar tidak merusak lingkungan dengan identitas yang telah ada yang dibentuk oleh tatanan aktivitas atau tatanan fisik spatial. Hal yang perlu diobservasi dari aktivitas atau fungsi adalah cara-cara pengguna memanfaatkan tempat yang ada. Makna/jiwa tempat terkait dengan pengalaman visual ketika orang berada di suatu tempat sehingga terbentuk visual image tentang tempat tersebut. Jiwa suatu tempat tidak hanya terbentuk oleh tatanan fisik semata, namun juga oleh tatanan fungsi yang terjadi dan bagaimana terjadi dialog di antara keduanya (Lynch, 1960 dalam Prihastoto, 2003). Dari gambaran tersebut dapat
20
dicermati bahwa pengertian kualitas suatu tempat membawa penekanan terhadap terwujudnya kelayakan 3 aspek utama yaitu fisik, fungsi, dan makna. Pengertian ruang publik berkualitas mencakup juga makna dari keberadan ruang publik tersebut dalam konteks yang berkelanjutan yaitu memenuhi kelayakan terhadap kriteria: kualitas fungsional, kualitas visual, dan lingkungan (fisik dan non fisik). Pada dasarnya ketiga kriteria tersebut membawa penekanan juga terhadap aspek-aspek fungsi atau aktivitas dan aspek non fisik (Darmawan, 2003 dalam Prihastoto, 2003). Hubungan antar ruang secara fisik dan fungsional dapat merupakan tatanan yang menarik. Kualitas tempat akan mendorong vitalitas sebuah tempat akan menarik untuk didatangi dan dikunjungi. Kualitas ruang publik akan terkait dengan beberapa aspek yaitu equity and acces (persamaan dan pencapaian). Hal ini dimaksudkan adanya persamaan dalam pemenuhan kebutuhan manusia dalam ruang publik dan kemudahan akses di dalamnya. Variety (keberagaman) sebagai suatu keberagaman terhadap pengguna publik, sedangkan vitality (keberartian) menunjukkan keberagaman pengguna dan aktivitas yang dapat tertampung dalam ruang publik (Lynch, 1960 dalam Prihastoto, 2003). Pemahaman tentang kualitas ruang publik mempunyai penekanan pada aspek pemenuhan kebutuhan yang menyangkut kenyamanan dan kepuasan pengguna yang mempunyai berbagai macam kepentingan dan latar belakang. Pemenuhan terhadap kebutuhan membawa implikasi terhadap terpenuhinya ruang sebagai wadah aktivitas pengguna sesuai dengan fungsinya dan tersedianya fasilitas lingkungan fisik. Pemenuhan terhadap hak membawa implikasi terhadap
21
kebebasan beraktivitas (Carr, 1992). Dengan demikian pengertian kualitas ruang publik tetap bermuara kepada tiga aspek dasar yaitu fisik, aktivitas, dan makna yang dijabarkan secara lebih rinci dan operasional dalam konteks aspek-aspek kebutuhan.
2.3.3.2 Indikator Kualitas Ruang Publik Beberapa indikator yang harus dipunyai oleh sebuah ruang publik, agar dapat memenuhi persyaratan yang berkualitas dapat ditinjau dari dua pokok aspek yaitu aspek fisik dan non fisik. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas secara fisik antara lain ukuran, kelengkapan sarana elemen pedukung, desain, dan kondisi (Carr, 1992). Ruang terbuka yang ada harus sesuai dengan keputusan serta standar penyediaan sarana yang ada. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008, luas minimal per kapita untuk taman kota adalah 0,3 m2. Fasilitas pendukung seperti akses pedestrian memiliki lebar minimal 1,5 m sehingga bisa berpapasan, sedangkan untuk sirkulasi kendaraan minimal 5 m (Departemen Pekerjaan Umum, 1999 dalam Budiarsa, 2011). Vegetasi memiliki diameter tajuk tanaman 5 m dengan ketinggian tanaman diatas 3 m dan memiliki jarak tanam kurang lebih 10 m (Rustam Hakim, 2004 dalam Budiarsa, 2011). Fasilitas pelengkap seperti toilet memiliki ukuran minimal 1,5 x 2 untuk masingmasing perempuan dan laki-laki. Kelengkapan sarana pendukung dalam suatu ruang publik sangat menentukan kualitas ruang tersebut. Berdasarakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 disebutkan bahwa ruang terbuka hijau aktif harus
22
memiliki kelengkapan lapangan terbuka, unit lapangan olahraga, trek lari, toilet umum, parkir kendaraan (termasuk sarana kios jika diperlukan), panggung terbuka, area bermain anak, kursi taman. Desain dalam suatu ruang publik akan menunjang fungsi serta aktivitas di dalamnya. Desain yang dirancang baik akan menunjang aktivitas yang dilakukan oleh pengguna dalam beraktivitas di kawasan ruang terbuka hijau. Menurut Carmona (2003) terdapat dua elemen material pembentuk ruang terbuka, yaitu elemen hard landscaping dan soft landscaping. Hard landscaping merupakan lanskap yang menggunakan elemen dengan material berupa perkerasan pada ruang terbuka seperti lantai dari batu dan street furniture (bangku,lampu taman, papan pengumuman, dan sebagainya). Elemen soft landscaping merupakan lanskap yang menggunakan elemen vegetasi sebagai materialnya seperti rumput dan pohon. Beberapa startegi dalam pemilihan dan penempatan elemen tersebut, yaitu penampilan vegetasi harus sesuai konteks lokal, mempertimbangkan kesesuaian material, memperhatikan tingkat kekuatannya dalam jangka waktu lama, dan memberikan perhatian kepada pengguna terkait keamanan, kenyamanan serta bagi penyandang cacat. Kondisi suatu sarana lingkungan akan sangat menentukan terhadap kualitas yang ada. Dimana dengan kondisi dan sarana yang baik dan terawat akan menunjang kenyamanan, keamanan, dan kemudahan dalam menggunakan ruang publik. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas secara non fisik antara lain responsif spaces, democratic spaces, meaningful spaces, dan
23
accessible spaces (Carr, 1992). Ruang publik harus bersifat responsif (responsif spaces), yang menunjukkan bahwa ruang publik harus mampu melayani kebutuhan dan keinginan masyarakat penggunanya. Kriteria ini terbagi atas beberapa kriteria detail, yaitu bahwa ruang publik harus dapat memberikan kenyamanan (comfortable), relaksasi, pertemuan aktif, serta inspiratif. Fungsi kenyamanan sangat penting karena secara langsung mencerminkan respon yang manusiawi, pengguna dapat lebih kerasan berada di ruang publik ini. Fungsi relaksasi adalah kemampuan ruang publik untuk memenuhi kebutuhan pengguna pada kegiatan yang bersifat rekreatif dan hiburan. Termasuk dalam relaksasi juga kemampuan ruang publik untuk menghadirkan suasana santai yang kontras dengan suasana hiruk pikuk kota, sehingga pengguna bisa berelaksasi didalamnya. Pertemuan aktif dan pasif, merupakan syarat bagi ruang publik sebagai media pertemuan masyarakat kotanya. Pertemuan aktif adalah interaksi secara langsung yang melibatkan individu kedua dan seterusnya dengan bertatap muka dan berkomunikasi, sedangkan pertemuan pasif tidak secara langsung berinteraksi dengan individu lainnya. Menemukan hal-hal baru bisa ditemui di sebuah ruang publik, karena isi ruang publik yang memiliki beragam fungsi dan kelengkapan street furniturenya, juga dengan adanya kegiatan yang bersifat sementara namun berulang-ulang seperti dengan pertunjukkan, presentasi, festival budaya, bazzar, dan lainnya. Ruang Publik harus bersifat demokratis (democratic spaces) yang menunjukkan bahwa ruang publik harus dapat melindungi hak individu dan kelompok masyarakat penggunanya. Setiap pengguna akan memiliki kesamaan
24
hak dalam pemanfaatannya. Kriteria ini terbagi atas beberapa kriteria detail, yaitu ruang publik harus tetap terjamin bahwa kegiatan seseorang atau sekelompok pengguna tidak akan mengganggu kebebasan orang lain dalam melakukan aktivitas di dalamnya secara bersamaan. Sifat demokratis berarti kesamaan hak dalam pemanfaatan ruang terbuka oleh pengguna dalam beraktivitas di dalamnya. Siapa saja berhak menggunakan ruang publik tanpa adanya gangguan dan ancaman oleh pihak lain. Sifat demokratis dapat ditunjukkan dengan mentaati aturan yang biasanya terdapat pada ruang publik tersebut. Ruang publik harus dapat memberikan arti (meaningful spaces) kepada penggunanya yang menunjukkan bahwa ruang publik harus dapat menciptakan kenangan dan arti tersendiri bagi pengguna. Kesan arti pada ruang publik sangat penting karena sebagai bagian image dari ruang publik itu sendiri. Sebuah ruang publik yang memiliki latar belakang sejarah, budaya suatu daerah, ciri khas dari kota yang tercermin dari kotanya, sangat penting dalam pemberian makna ruang yang dapat menunjang kegiatan yang berlangsung didalamnya. Ruang publik harus mudah dikunjungi (accessible spaces) yang menunjukkan bahwa ruang publik tersebut mudah dan aman dicapai masyarakat yang akan menggunakannya. Respon masyarakat akan keberadaan ruang publik di sebuah kota sangat tergantung pada tingkat aksesibilitasnya. Indikator ruang publik dikatakan accesible di antaranya (Miro, 2004) moda transportasi umum untuk mencapai ke dalam sebuah ruang publik harus tersedia dengan cukup disamping fasilitas kendaraan pribadi, ketersediaan tempat parkir di wilayah ruang publik, daerah transisi antara jalur kendaraan bermotor dan para pejalan kaki,
25
kemudahan akses dan kualitas bagi pejalan kaki untuk mencapai wilayah ruang publik.
2.3.4 Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau didefinisikan sebagai ruang yang penggunaan elemen dan batas-batas fungsionalnya merupakan tanaman hijau dengan meminimalisasikan lantainya dengan perkerasan. Ruang terbuka hijau terdiri dari berbagai macam jenisnya, seperti taman, kawasan konservasi, jalur sungai, jalur hijau jalan, kawasan hijau makam, kawasan hijau pemukiman, kawasan hijau perkantoran. (Nazaruddin, 1994). Ruang terbuka hijau menciptakan karakter masyarakat kota (Purnomohadi, 1998). Tanpa ruang-ruang publik masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang nonkonformis-individualis-asosial, yang anggota-anggotanya tidak mampu berinteraksi apalagi bekerja sama satu sama lain. Agar efektif sebagai mimbar, ruang terbuka hijau haruslah netral. Artinya, bisa dicapai (hampir) setiap penghuni kota. Tidak ada satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan membatasi akses ke ruang terbuka hijau sebagai sebuah mimbar politik. Ruang Terbuka Hijau (RTH) juga dikatakan adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008). Ruang terbuka hijau adalah lahan yang belum dibangun atau sebagian besar belum dibangun di wilayah perkotaan yang mempunyai nilai untuk keperluan taman dan
26
rekreasi; konservasi lahan dan sumber daya alam lainnya; atau keperluan sejarah dan keindahan (Garvin, 1997 dalam Hariyanti, 2008).
2.3.4.1 Karakter Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka harus bersifat responsif, demokratis, dan bermakna (Carr, 1992). Ruang terbuka yang responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Secara demokratis yang dimaksud adalah ruang terbuka itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus terkotak-kotakkan akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya. Bahkan, unsur demokratis dilekatkan sebagai salah satu watak ruang terbuka karena harus dapat dijangkau bagi warga dengan berbagai kondisi fisiknya, termasuk para penderita cacat tubuh maupun lansia. Penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/RTR Kawasan Perkotaan, dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis; kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi; area pengembangan keanekaragaman hayati; area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan perkotaan; tempat rekreasi dan olahraga masyarakat; tempat pemakaman umum; pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan; pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis; penyediaan ruang terbuka yang bersifat privat, melalui
pembatasan
kepadatan
serta
kriteria
pemanfaatannya;
area
mitigasi/evakuasi bencana; dan ruang penempatan pertandaan (signage) sesuai
27
dengan peraturan perundangan dan tidak mengganggu fungsi utama RTH tersebut (Permen PU Nomor 05, 2008).
2.3.4.2 Tujuan Pengadaan Ruang Terbuka Hijau Tujuan pengadaan ruang terbuka hijau adalah untuk menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air; menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat; dan meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih (Permen PU Nomor 05, 2008).
2.3.4.3 Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau Dalam Permen PU Nomor 05 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, pengklasifikasikan ruang terbuka hijau yang ada sesuai dengan tipologi berdasarkan fisik ada 2, yaitu ruang terbuka hijau alami dan ruang terbuka hijau non alami/binaan. Ruang terbuka hijau alami terdiri dari habitat liar alami, kawasan lindung, dan taman nasional. Ruang terbuka hijau non alami/binaan terdiri dari taman, lapangan olahraga, makam, dan jalur hijau jalan. Macam-macam bentuk ruang terbuka sebagai wadah kegiatan bersama, dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu ruang terbuka umum dan khusus (Hakim, 2003). Ruang terbuka umum, dapat diuraikan bentuk dasar dari ruang terbuka selalu terletak diluar massa bangunan, dapat dimanfaatkan dan dipergunakan oleh setiap orang (warga), dan memberi kesempatan untuk
28
bermacam-macam kegiatan (multi fungsi). Contoh ruang terbuka umum adalah jalan, pedestrian, taman lingkungan, plaza lapangan olahraga, taman kota dan taman rekreasi. Ruang terbuka khusus, pengertiannya adalah bentuk dasar ruang terbuka selalu terletak di luar massa bangunan, dimanfaatkan untuk kegiatan terbatas dan dipergunakan untuk keperluan khusus/ spesifik. Contoh ruang terbuka khusus adalah taman rumah tinggal, taman lapangan upacara, daerah lapangan terbang, dan daerah untuk latihan kemiliteran. Ruang terbuka ditinjau dari kegiatanya, terbagi atas dua jenis ruang terbuka, yaitu ruang terbuka aktif dan ruang terbuka pasif (Hakim, 2003). Ruang terbuka aktif, adalah ruang terbuka yang mempunyai unsur-unsur kegiatan didalamnya seperti, bermain, olahraga, jalan-jalan. Ruang terbuka ini dapat berupa plaza, taman, tempat bermain anak dan remaja, dan tempat rekreasi. Ruang terbuka pasif, adalah ruang terbuka yang didalamnya tidak mengandung unsurunsur kegiatan manusia misalkan, penghijauan tepian jalur jalan, penghijauan tepian rel kereta api, penghijauan tepian bantaran sungai, ataupun penghijauan daerah yang bersifat alamiah. Ruang terbuka ini lebih berfungsi sebagai keindahan visual dan fungsi ekologis belaka.
29
2.3.4.4 Fungsi Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Permen PU Nomor 05 Tahun 2008, RTH memiliki 2 fungsi, yaitu fungsi utama yaitu fungsi ekologis dan fungsi tambahan yang meliputi fungsi sosial budaya, ekonomi dan estetika. Fungsi ekologis dari RTH diantaranya adalah memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota); pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar; sebagai peneduh; produsen oksigen; penyerap air hujan; penyedia habitat satwa; penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin. Ruang terbuka hijau skala kecamatan dapat disediakan dalam bentuk ruang terbuka aktif yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kecamatan. Luas taman ini minimal 0,2 m2 per penduduk kecamatan, dengan luas ruang terbuka aktif minimal 24.000 m2 (Permen PU Nomor 05, 2008). Lokasi ruang terbuka hijau aktif berada pada wilayah kecamatan yang bersangkutan. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas ruang terbuka hijau aktif, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada ruang terbuka hijau aktif ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 50 (lima puluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk RTH aktif dan minimal 100 (seratus) pohon tahunan dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis RTH pasif. Hal ini memberi dampak ekologis yang baik bagi sebuah wilayah perkotaan karena mampu memberi fungsi yang optimal.
30
Ruang terbuka hijau harus mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal; merupakan media komunikasi warga kota dan tempat rekreasi; menjadi wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam. Dari segi interaksi sosial khususnya bagi kalangan anak-anak, ruang terbuka hijau memiliki efek yang sangat besar. Anak akan belajar bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya dengan bermain di ruang terbuka hijau. Anak-anak yang bermain di ruang terbuka berbeda dengan konsep permainan yang ada di mall, dimana sarana permainan yang disediakan hampir seluruhnya jenis permainan elektrik dimana anak dapat asik bermain sendiri dan hanya menggunakan kemampuan motorik.
Anak
dapat
mengembangkan
kemampuan
motorik
sekaligus
psikomotorik jika bermain di taman. Peran taman kota dalam hal ini secara tidak langsung sangat besar dalam meningkatkan kecerdasan anak dan memperbaiki kecerdasan emosional anak (Purnomohadi, 2006). Fungsi ekonomi pada ruang terbuka hijau berdasarkan Permen PU Nomor 05 Tahun 2008 adalah sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun dan sayur mayur. Fungsi lainnya juga bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lainnya. Manfaat ruang terbuka hijau dalam aspek ekonomi bisa diperoleh secara langsung maupun tidak langsung (Fandeli, 2004). Secara langsung, manfaat ekonomi ruang terbuka hijau diperoleh dari penjualan atau penggunaan hasil ruang terbuka hijau berupa kayu bakar maupun kayu perkakas. Penanaman jenis tanaman ruang terbuka hijau yang bisa menghasilkan biji, buah atau bunga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan oleh masyarakat untuk meningkatkan taraf gizi, kesehatan dan penghasilan
31
masyarakat. Sedangkan secara tidak langsung, manfaat ekonomi ruang terbuka hijau sebagai perindang, menambah kenyamanan masyarakat kota dan meningkatkan nilai estetika lingkungan kota (Fandeli, 2004). Fungsi estetika pada ruang terbuka hijau mampu meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan; menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota; pembentuk faktor keindahan arsitektural; menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Estetika terdiri dari 3 variabel, yaitu keselarasan, kesesuaian dan keindahan. Ruang terbuka hijau selain mewadahi fungsi lainnya juga harus memperhatikan fungsi estetika karena berkaitan dengan image sebuah kota (Permen PU Nomor 05, 2008).
2.4 Model Penelitian Masalah pokok dari penelitian ini adalah mengenai dampak aktivitas ekonomi yang ada terhadap kualitas ruang terbuka hijau aktif yang ada di Kota Denpasar. Kualitas ruang terbuka hijau aktif berpengaruh terhadap optimalisasi fungsi ruang terbuka itu sendiri. Kualitas ruang terbuka hijau aktif dilihat dari aspek fisik dan non fisik. Aspek fisik diantaranya ukuran, kelengkapan sarana elemen pendukung, desain dan kondisi. Ukuran yang dimaksud pada penelitian adalah terkait fasilitas pedestrian dan tidak memasukkan elemen yang lain karena fasilitas pedestrian yang sangat terkait dengan aktivitas ekonomi. Kelengkapan sarana pendukung akan dilihat di masing-masing kawasan penelitian mengenai
32
sarana apa saja yang ada dan dilakukan penelitian fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Begitu pula dengan desain dan kondisi yang akan dilihat bagaimana pengaruh aktivitas ekonomi terhadap variabel ini. Aspek non fisik terdiri dari responsif spaces, democratic spaces, meaningful spaces, dan accessible. Pada penelitian ini, responsif spaces terdiri dari beberapa variabel dan akan dipilih diantaranya kenyamanan, relaksasi dan interaksi yang akan digunakan untuk mengupas pengaruh pemanfaatan aktivitas ekonomi terhadap responsif spaces. Democratic spaces memiliki arti setiap orang memiliki hak untuk menggunakan ruang terbuka tanpa terganggu oleh aktivitas orang lain. Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh pemanfaatan aktivitas ekonomi terhadap democratic spaces. Meaningful spaces memiliki arti ruang terbuka harus bisa memberikan kenangan terhadap penggunanya. Bagaimana pengaruh pemanfaatan aktivitas ekonomi terhadap meaningful spaces akan dilihat pada penelitian ini. Variabel accessible spaces merupakan bagaimana kemudahan akses, ketersediaan tempat parkir dan daerah transisi menuju ke area ruang terbuka. Pada penelitian ini akan difokuskan bagaimana pengaruh pemanfaatan aktivitas ekonomi terhadap ketersediaan tempat parkir dan daerah transisi menuju ke ruang terbuka. Tahap awal penelitian adalah mengumpulkan data yang diperlukan dari berbagai buku (metode studi literatur). Setelah diadakan pengumpulan data maka ditelusuri kondisi fisik di lapangan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi pada kawasan dengan metode interview mendalam dan observasi berupa foto, sketsa, dan gambar. Selanjutnya dilakukan tahap analisis terkait dengan dampak
33
pemanfaatan ruang aktifitas ekonomi tersebut terhadap kualitas ruang terbuka hijau di lokasi penelitian dilihat dari aspek fisik dan non fisik. Penelitian ini diharapkan mendapatkan hasil berupa jawaban atas permasalahan yang telah diungkapkan pada rumusan masalah penelitian ini. Secara lebih jelas model penelitian dapat dilihat pada Diagram 2.4
Aktivitas Ekonomi dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau Aktif di Kota Denpasar
-
Ruang Publik Aktivitas Ekonomi di Kawasan RTH
-
Fungsi kawasan menimbulkan banyaknya aktivitas ekonomi pada kawasan. Pemanfaatan aktivitas ekonomi memberi dampak terhadap kualitas RTH aktif dari aspek fisik dan non fisik.
Aktivitas ekonomi pada lokasi penelitian yang terdiri dari pedagang eceran kecil bergerak dan berpangkalan (tidak bergerak)
Tipologi aktivitas ekonomi yang terjadi
-
Aktivitas Ekonomi di Kawasan RTH Ruang Publik RTH
-
Dampak aktivitas ekonomi terhadap kualitas RTH aktif
Aspek fisik RTH
-
-
Aktivitas Ekonomi di Kawasan RTH Ruang Publik Kualitas Ruang Publik RTH
Aspek non-fisik RTH
Ukuran: dimensi pedestrian Kelengkapan Sarana: pengaruh aktivitas ekonomi terhadap sarana Desain: softlandscaping & hardlandscaping Kondisi: sarana pada kawasan
-
Responsif spaces: kenyamanan, relaksasi dan interaksi Democratic spaces: kesamaan hak & bebas gangguan Meaningful spaces: memberi kenangan Accessible: ketersediaan parkir & daerah transisi
Diagram 2.4 Model Penelitian