16
BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KONSEP PENELITIAN, KERANGKA BERPIKIR, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Beberapa hasil penelitian lain yang berhubungan dengan brand equity akan dipaparkan sebagai berikut; Penelitian Sirait (2004) yang berjudul “Analisis Brand Equity Honda Pada Sepeda Motor Honda (studi kasus di Denpasar)” dengan mengambil dua jenis sampel yang diambil secara accidental sampling, di mana sampel I 400 responden dan sampel II 250 responden. Dengan teknik analisis frekuensi untuk brand awareness, untuk brand association, brand perceived quality menggunakan teknik analisis skor rata-rata kinerja dan kepentingan dengan diagram kartesius, sementara untuk brand loyalty dengan teknik analisis frekuensi dalam persentase. Dengan data yang dikumpulkan melalui wawancara dan daftar pertanyaan dengan variabel yang diteliti antara lain; brand awareness (brand muncul pertama dipikiran konsumen, brand lain, mengenal brand Honda, dan sumber informasi), brand association (ekslusif, tampilan, teknologi tinggi, desain, varian, kenyamanan, perawatan, harga, keamanan, gesit, manfaat di jalur macet, sparepart, irit bahan bakar, kinerja, serbaguna, disukai tua muda, gaya hidup, performa unggul, harga jual, budaya jepang), brand perceived quality (kinerja, kualitas, sistem pelayanan, ketahanan, spesifikasi, konsumsi bahan bakar, asesoris, rekayasa, dan konsistensi), dan brand loyalty (harga, brand, sama, biasa, sesuai, dealer, teknologi, kinerja, irit, suka, pameran, aksesoris, rekomendasi, bangga, dan mengatasi macet).
17
Hasil dari penelitiannya menyatakan brand awareness sepeda motor Honda di Denpasar mengindikasikan keberadaanya baik, dengan brand association, mengkonsumsi bahan bakar irit, kinerja mesinnya halus dan tahan lama, memiliki performa tinggi, sangat unggul di kelasnya, dan harga jual kembali relatif tinggi. Perceived quality untuk meningkatkan kinerja mesin, kehandalan produk melalui peningkatan kreativitas dan inovasi dan kinerja serta kehandalannya dengan pelatihan, pendidikan, dan motivasi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen. Brand loyalty sepeda motor brand Honda menunjukkan kecendrungan yang baik, hanya saja pada tingkatan likes the brand dan committed buyer persentase mengecil. Untuk memperbesarnya dapat dengan mewujudkan kepuasan pada konsumen yang ada sekarang, agar konsumen ini dapat menjadi media promosi bagi pihak perusahaan sepeda motor brand Honda di Kota Denpasar. Penelitian Ekutias Merek (brand equity) terhadap brand Sepeda Motor Honda dilakukan juga oleh Fadli dan Qomariah (2008) dalam penelitian yang berjudul Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Sepeda Motor Honda terhadap keputusan pembelian (Studi Kasus pada Universitas Sumatra Utara). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor brand equity mana yang paling berperan dalam proses pengambilan keputusan pembelian sepeda motor Honda di Lingkungan Universitas Sumatra Utara. Dengan menggunakan 100 orang sampel dan teknik analisis statistik regresi liniear berganda. Hasil dari penelitian ini adalah keempat faktor brand equity berperan signifikan di dalam mempengaruhi keputusan konsumen dalam pembelian sepeda motor Honda. Penelitian brand
18
Bali Shanti, Shanti, Shanti hamper serupa tujuan utamanya namun dengan objek, lokus, dan metode yang berbeda. Penelitian serupa dilakukan oleh Wiguna (2005) yang berjudul “Ekuitas Brand Beberapa Produk SIM Card Pra Bayar di Kota Denpasar” dengan menggunakan dua jenis sampel, sampel I sebanyak 400 orang di Kota Denpasar untuk menganalisis brand awareness dan sampel II sebanyak 440 orang pemakai SIM Card Simpati, Mentari, Pro XL dan IM3 Smart untuk menganalisis brand association, brand perceived quality,dan brand loyalty. Hasil penelitian brand awareness SIM Card Simpati, Mentari, Pro XL dan IM3 Smart menunjukkan hasil yang baik, ini dapat dilihat dari bentuk piramida yang menunjukkan bentuk piramida terbalik. Brand association SIM Card simpati diproduksi dengan teknologi tinggi, memudahkan hidup, digunakan oleh semua usia, dan untuk telepon seluler. SIM Card Pro XL diproduksi dengan teknologi tinggi, relatif murah, digunakan oleh semua usia dan untuk telpon seluler. SIM Card IM 3 Smart diproduksi dengan teknologi tinggi, digunakan oleh semua usia dan untuk telpon seluler. Asosiasi-asosiasi yang terbentuk dapat digunakan sebagai kekuatan untuk menarik konsumen baru. Untuk faktor brand perceived quality SIM Card pra bayar, perusahaan perlu mempertahankan dimensi kualitas yang telah dimiliki yang tingkat kepentingan untuk pelanggannya tinggi. Faktor brand perceived quality bisa digunakan sebagai keunggulan untuk bersaing dengan perusahaan lain. Karena dengan memberikan kepuasan kepada konsumen maka mereka akan selalu loyal pada produk. Brand loyalty SIM Card Simpati, Mentari, Pro XL, dan IM3 Smart membentuk piramida terbalik dengan presentase terbesar berada pada
19
likes the brand, untuk itu perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam dari faktor-faktor brand equity agar nantinya dapat diperoleh strategi yang tepat untuk meningkatkan brand equity SIM Card Simpati, Mentari, Pro XL, dan IM3 Smart. Implikasi strategis peningkatan brand didasarkan atas faktor-faktor brand equity yang terkait dengan bauran pemasaran yaitu peningkatan promosi dan kualitas pelayanan. Kinerja yang menurun dari suatu produk memerlukan peningkatan promosi dan pelayanan untuk dapat bersaing dengan perusahaan lain. Kinerja yang sudah baik terus dipertahankan dan ditingkatkan. Situmorang (2008) meneliti PT. XYZ yang merupakan perusahaan pengembang daerah tujuan wisata yang bernama Pulau Mansalaar di Sumatra Utara. Strategi pengembangan di daerah tersebut mengacu pada prinsip-prinsip ekowisata. Mansalaar menawarkan suatu kegiatan pariwisata berupa perjalanan yang bertanggung jawab terhadap kelestarian alam dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Salah satu keunggulan Mansalaar adalah konsep unik yang menjadikan pulau tersebut menjadi satu-satunya 'Pulau Patung' di dunia. Selain sebagai karya seni yang bernilai tinggi, patung-patung yang ditempatkan di dalam air dapat menjadi rumah bagi ikan-ikan yang berada di laut yang mengelilingi pulau. Suatu strategi pemasaran dibutuhkan untuk memperkenalkan Mansalaar kepada konsumen. Strategi pemasaran tersebut akan berhasil apabila didukung oleh brand yang kuat, yang dapat menyentuh benak dan perasaan setiap penikmat ekowisata, sehingga mereka mengambil keputusan untuk mendatangi Mansalaar. Kebutuhan dan harapan konsumen memegang peranan yang sangat besar dalam proses pemilihan destinasi pariwisata. Jika konsumen tidak memiliki
20
informasi yang cukup dan beranggapan bahwa suatu destinasi pariwisata tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dan harapannya, maka penggunaan jasa wisata tidak akan pernah terjadi. Konsumen yang menjadi target Mansalaar secara umum tidak memiliki informasi yang cukup, baik mengenai ekowisata, maupun Mansalaar sebagai daerah tujuan ekowisata. Suatu penelitian dilakukan untuk membangun brand yang kuat bagi Mansalaar. Hasil penelitian diskusi berkelompok dan wawancara mendalam memberikan gambaran, bahwa strategi branding Mansalaar harus dapat menciptakan brand awareness dan brand image yang positif melalui pelayanan yang berkualitas untuk memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Selain perspektif konsumen, tantangan yang dihadapi oleh PT.XYZ adalah bencana alam, yang dapat menghalangi niat wisatawan untuk mendatangi Mansalaar. Analisis yang dilakukan terhadap permasalahan dan beberapa alternatif penyelesaiannya memberikan solusi, yang terdiri dari tiga bagian utama. Solusi pertama adalah membangun indentitas brand yang dapat menyampaikan visi, misi, dan nilai perusahaan kepada konsumen. Solusi yang kedua adalah internal branding, sehingga setiap orang yang terlibat dalam pengelolaan Mansalaar mengetahui nilai dan budaya perusahaan, mewujudkannya dalam perilaku, dan menyampaikannya dengan benar kepada konsumen. Internal branding juga mendorong setiap orang untuk melakukan inovasi dan kreativitas, dengan tujuan meningkatkan kualitas brand secara berkelanjutan. Vicente menulis penelitian yang berjudul State Branding in 21th Century (2004) menyatakan bahwa berbagai teknik dipergunakan untuk memasarkan
21
sebuah negara bagian. Lebih jauh dikatakan sebuah negara bisa dikatakan sebagai perusahaan brand yang mengelola berbagai sub brands. Mengetahui posisi kompetitif suatu negara adalah sesuatu hal yang penting dalam proses branding sebuah negara. Ini dimaksudkan negara tersebut harus mampu menetukan segmen market sehingga mampu mendisain brand-nya. Kesuksesan branding suatu negara tidak ditentukan oleh proses peluncuran dan suksesnya kampanye. Namun juga konsistensi untuk berada di jalurnya dan juga fleksibilitas untuk mengatasi hal-hal yang terduga serta tetap melakukan monitoring terhadap pesaing. Lebih jauh agar brand sebuah negara lebih bertahan lebih lama maka negara tersebut harus menepati janji-janji yang ditawarkan oleh brand tersebut. Olimpia (2008) dalam Artikelnya yang berjudul Variables of The Image of Tourist Destination menyatakan bahwa citra sebuah destinasi pariwisata sangat berkaitan erat dengan citra sebuah Negara, citra sebuah bangsa, dan citra sebuah tempat. Citra sebuah tempat diformulasikan oleh si ‘penerima’ dengan mengakumulasikan pengalaman dengan tempat tersebut, penggunaan sumberdaya informasi personal dan impersonal. Oleh ‘penyampai’, citra adalah hasil dari aksi langsung maupun tidak langsung. Branding sebuah tempat adalah proses konsitensi dan koordinasi dari sebuah pencapaian citra. Citra apa yang akan diterima sebuah negara tergantung dari konteks pengunjung atau pemerhati. Branding sebuah negara dipengaruhi oleh beberapa faktor dan asosiasi seperti; geografi, atraksi wisata, sumber daya alam, produk lokal, masyarakatnya, etnik, sejarah, dan lain-lain. Kesuksesan mencari sebuah citra untuk sebuah destinasi harus dilakukan sebagai berikut: mencari keunggulan atribut-atribut atau asosiasi-
22
asosiasi dari sebuah destinasi, persiapan di lapangan, pengklasifikasian dan pertimbangan dari opini wisatawan tentang atribut atau asosiasi yang sesuai. Kerangka atribut atau asosiasi adalah; fungsional, emosional, epistemis, dan kondisional. Miller (2006) menulis penelitian yang berjudul City Branding: Gold Coast Australia.telah mengembangkan pendekatan baru pada branding sebuah kota, dinamakan a summative measure of city brand attitude, dengan kerangka konsep yang memasukkan berbagai komunitas atribut sebagai brand association yang relevan. Hasilnya telah mengidentifikasi beberapa variabel kritis dari total level sampel, termsuk keamanan, aktifitas leisure, toko retail dan lingkungan. Pemegang kebijakan lokal dapat mempergunakan beberapa model untuk memperbaiki
komunitas kota lebih baik. Sebagai contoh, perbaikan ke pada
keamanan dan lingkungan adalah langkah positif yang dapat diambil. Model ini perlu untuk diuji pada kota yang lain dan Negara lain sebelum dapat digeneralisasikan. Kemungkinan sebuah brand dipersepsikan berbeda oleh kelompok yang berbeda adalah kesimpulan utamanya. Penelitian branding terhadap sebuah destinasi juga dilakukan oleh Vitic (2007) yang mengangkat isu re-branding Yusgoslavia sebagai sebuah destinasi pasca pecahnya Negara Yugoslavia. Penelitian dari Lee dan Leh (2011) Menulis hal yang sama dengan apa yang akan diteliti. Dengan mengambil judul Dimensions Of Costumer-Based Brand Equity: A Study On Malaysian Brand. Dengan menggunakan Teori brand yang dikemukakan oleh Aaker dengan teknik analisis faktor penelitian ini
23
menunjukkan bahwa variabel-variabel penelitian memberikan peran yang cukup baik walaupun ada yang harus dieliminasi karena perannya yang tidak signifikan. Kebanyakan penelitian mengenai brand sebagaimana yang dipaparkan sebelumny dilakukan untuk suatu produk barang, sementara penelitian yang ada selama ini mengenai branding suatu destinasi adalah bagaimana menciptakan dan mengembangkan brand suatu destinasi serta strateginya masih sangat terbatas di indonesia. Mengingat belum adanya penelitian variabel-variabel brand equity suatu destinasi pariwisata di Indonesia, maka layak dilakukan penelitian brand equity dimaksud, terlebih lagi variabel-variabelnya yang memiki perberbedaan dengan variabel-variabel pada brand equity suatu barang. Penelitian ini sejenis dengan peneitian Lee dan Leh (2011) namun berbeda lokus dan berbeda brand. Penelitian ini akan menganalisis variabel-variabel brand equity dari brand suatu destinasi pariwisata yaitu Bali dengan tag line-nya “Bali Shanti, Shanti, Shanti” dan bagaimana brand itu memiliki kekuatan sebagai penentu keputusan wisatawan dalam menentukan destinasi pariwisatanya. 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Brand Brand adalah janji, totalitas dari suatu persepsi segala sesuatu yang dilihat, dengar, baca, ketahui, rasakan, atau dipikirkan, tentang produk jasa atau bisnis. Brand memiliki posisi istimewa di benak pelanggan didasarkan atas pengalaman masa lalu, pergaulan, dan ekpekstasi ke depan. Brand juga merupakan jalan pintas bagi atribut, manfaat, keyakinan, dan nilai yang mendiferensiasi, mengurangi
24
kompleksitas, dan menyederhanankan proses pengambilan keputusan (Kotler dan Pfoertsch, 2008:14). Brand adalah alat bantu efektif dan memaksa untuk mendiferensiasi penawaran suatu produk atau jasa dari pesaing. Brand membantu penawaran suatu produk atau jasa dari pesaing. Brand membantu bisnis mengatasi perkembangan cepat produk dan jasa serupa. Ketika produk atau jasa dapat ditiru dengan mudah, maka tidak demikian dengan brand. Kadang kala brand dapat menjadi pembeda satu-satunya dalam lingkungan yang sangat kompleks. Brand adalah satu hal yang dapat menerobos kekacauan dan membuat perusahaan dikenal dan didengar oleh pelanggan potensial, makin tingginya risiko terlibat dalam dunia yang makin kompleks sekarang ini dapat diatasi dengan membangun brand yang kuat dan dapat dipercaya. Brand mengurangi risiko karena brand membawa gambaran tertentu tentang produk, jasa atau perusahan. Tentu saja, ini hanya berlaku jika perusahaan berhasil menyampaikan janji brand-nya terus menerus (Kotler dan Pfoertsch , 2008:49). Menurut American Marketing Association, brand didefinisikan sebagai, nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut, di mana tujuan pemberian brand adalah untuk mengidentifikasi produk dan jasa yang dihasilkan sehingga berbeda dari produk atau jasa yang dihasilkan oleh pesaing (Rangkuti, 2002:2). Menurut Kotler (2002:460) brand adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan,
atau
kombinasi
hal-hal
tersebut
yang
dimaksudkan
untuk
mengidentifikasi barang atau jasa dari seseorang atau kelompok penjual dan untuk
25
membedakannya dari produk pesaing. Mengacu pada definisi yang dikemukakan Kotler di atas, keberadaan brand produk dimaksudkan sebagai pengenal dan pembeda produk dari produk lain yang sejenis atau produk pesaing. Brand pada dasarnya tidak hanya sekedar simbol, selanjutnya brand memiliki enam tingkat pengertian. Enam tingkat pengertian tersebut, yaitu: 1. Brand menyatakan atribut. Brand mengingatkan konsumen pada atributatribut tertentu antara lain: Mercedez menyatakan sesuatu yang mahal, dibuat dengan baik, terancang baik, tahan lama, bergengsi tinggi, nilai jual kembali yang tinggi. 2. Brand menyatakan manfaat. Bagi konsumen, kadang sebuah brand tidak sekedar meyatakan atribut tetapi menyatakan manfaat. Mereka membeli produk tidak membeli atribut tetapi membeli manfaat. Atribut yang dimiliki suatu produk dapat diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan atau emosional. Antara lain, atribut ‘tahan lama’ dieterjemahkan menjadi manfaat fungsional ‘tidak perlu cepat membeli lagi’, atribut ‘mahal’ diterjemahkan menjadi manfaat emosional ‘bergengsi’. 3. Brand menyatakan nilai. Brand dapat diartikan sebagai nilai produk, antara lain: Mercedez mempunyai nilai kinerja tinggi, terjamin keamanan, bergengsi. 4. Brand berarti budaya. Brand dapat diartikan atau diinterpretasikan sebagai budaya tertentu. Antara lain, Mercedez mewakili budaya Jerman: teroganisasi, efisien, kualitas tinggi.
26
5. Brand berarti kepribadian. Brand produk juga dapat menggambarkan kepribadian tertentu, sebagai contoh: Mercedez menggambarkan kepribadian seorang eksekutif yang rasional. 6. Brand berarti pemakai. Brand produk dapat berarti pemakai tertentu sebagai contoh : Mercedez menggambarkan pemakainya seorang diplomat atau eksekutif. Menurut Usmara (2008:133) branding memainkan peran khusus dalam perusahaan jasa karena brand yang kuat dapat meningkatkan kepercayaan pelanggan untuk membeli. Brand yang kuat memungkinkan para pelanggan untuk memvisualisasikan dan memahami secara lebih baik produk-produk yang tidak tampak. Brand
yang kuat merupakan pengganti ketika perusahaan tidak
menawarkan kain untuk disentuh, celana untuk dicoba, buah melon dan apel untuk diperiksa dan dilihat, mobil untuk di uji coba. Bagi barang-barang dalam kemasan, produk merupakan brand utama. Akan tetapi, dalam layanan jasa, brand utamanya adalah nama perusahaan. Pengaruh brand untuk jasa berbeda karena jasa tidak dapat dilihat seperti halnya pengemasan, pelabelan, dan pemajangan. Tidaklah mungkin untuk mengemas dan memajang jasa hiburan atau transportasi seperti paket Kodak dan memajang film. Keinginan dalam pemasaran adalah untuk menghubungkan branding dengan barang. Melalui produk, kemasan, dan desain logo, para pemasar memiliki pengaruh terhadap materialitas barang dalam usaha-usaha menciptakan branding mereka. Branding sama relevannya dengan jasa. Sifat produk yang tidak dapat disentuh bukan berarti bahwa pengembangan brand kurang pas atau penting untuk jasa ketimbang barang, hanya bahwa
27
aplikasinya berbeda dalam hal-hal tertentu. Setiap prinsip branding yang sejauh ini didiskusikan: perusahaan berani untuk berbeda, yang secara jelas mendefinisikan alasan keberadaan mereka, dan membuat hubungan emosional. Pengaruh brand mengubah produk ke perusahaan karena jasa memainkan peranan yang lebih penting dalam menentukan nilai pelanggan. Berdasarkan pendapat Usmara tersebut dapat dikemukakan bahwa branding atau citra sangatlah penting bagi sebuah perusahaan jasa. Pariwisata merupakan salah satu industri jasa, dan citra memainkan suatu peranan penting. Tulisan ini akan membahas pentingnya branding dalam kepariwisataan Bali pada khususnya. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat dilihat beberapa penulis mengemukakan hal yang serupa dengan yang dikemukakan oleh Wiryawan dalam Kamus Brand-nya (2008:21) bahwa pengertian brand adalah persepsi, pengalaman, harapan terhadap sebuah produk, jasa, pengalaman, personal, ataupun organisasi; merupakan gabungan dari berbagai atribut, baik secara nyata maupun tidak nyata, disimbolisasikan dalam merek dagang, dan apabila dikelola secara baik akan menciptakan nilai dan pengaruh. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan brand adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan, atau kombinasi hal-hal tersebut yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi Bali sebagai destinasi pariwisata. 2.2.2 Strategi Brand Strategi brand uatu perusahaan dapat dideskripsikan sebagai susunan dari angka, keadaan umum, dan faktor brand yang berbeda yang diterapkan
28
perusahaan
di
seluruh
organisasinya.
Strategi
branding
terdiri
dari
mengembangkan misi, penempatan, janji brand, dan proposisi nilai yang kuat Pemosisian ( positioning) brand adalah tentang menemukan titik yang tepat di benak pelanggan untuk menciptakan asosiasi yang diinginkan. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui siapa pelanggan anda dan di mana mendapatkannya. Pemosisian selalu dilakukan setelah mengklarifikasi dan menentukan segmentasi pasar target. Seorang pemasar tidak dapat memposisikan produk atau jasa tanpa tahu siapa yang dijadikan target. Titik awal setiap strategi brand adalah melaksanakan apa yang diperjuangkan perusahaan. Bagi kebanyakan brand korporat. kepemimpinan adalah bagian penting dari inti identitas brand, karena hal itu dapat mengilhami karyawan melalui penyusunan tingkat brand yang inspirasional. Di sisi lain, bagi pelanggan, kepemimpinan memberi keyakinan dan keamanan. Kepemimpinan juga menyiratkan kualitas yang tinggi dan solusi yang inovatif. Kepemimpinan dapat dicapai bersamaan dengan dimensi lainnya, yaitu kompetensi, inovasi, kualitas, inspirasi, sukses. Betapa pentingngya mengartikulasikan pernyataan misi brand dengan jelas yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan. Kata-kata dapat menjadi alat bantu yang sangat kuat, hanya jika di dalamnya terdapat arti yang benar dan dapat diandalkan. Sebelum suatu perusahaan memulai rencana dan menerapkan pendekatan branding yang holistis, terlebih dahulu harus ditentukan apa yang sebenarnya ingin dicapai. Pernyataan misi brand adalah gagasan yang memandu brand. Pernyataan misi brand adalah gagasan yang memandu brand. Pernyataan
29
itu harus jelas dan ambisius, tetapi merupakan sasaran bisnis yang dapat dicapai. Pernyataan misi memungkinkan brand untuk mendapatkan autentisitas. Pernyataan misi brand menjadi patok duga bagi semua keputusan manajemen dan karyawan. Lebih jauh lagi, hal itu memberi arah kepada pelanggan, dan setiap orang yang terlibat dengan perusahaan. Perusahaan yang mampu mengelola brand dengan baik dengan focus pada konsumen akan dengan mudah meningkatkan kekuatan brand equity-nya (Karadeniz, 2010). Brand tergantung pada kemampuan perusahaan untuk mengelola sistem penyampaian nilainya. Sistem penyampaian termasuk semua pengalaman yang akan diperoleh pelanggan setelah menggunakan penawaran.. Ini juga dapat dikatakan sebagai kepribadian brand. Hal ini menjelaskan seolah-olah brand adalah manusia. Kepribadian brand dapat memberikan difrensiaisi yang diperlukan bahkan dalam pasar yang seimbang. Kepribadian berpengaruh besar untuk mendukung pengenalan brand, membuatnya lebih menarik, dan mudah diingat, serta menstimulasi atribut positif semisal energi, kesegaran, responsivitas, yang menjadi hal penting bagi banyak brand. Sangat perlu untuk menyampaikan janji brand yang terdifrensiaisi. Jika perusahaan kehilangan kemampuannya untuk mendefrensiasi brand-nya melalui atribut fungsi, mereka harus berfokus pada keuntungan dari proses dan hubungan, semisal kemudahan pemesanan atau responsivitas terhadap permintaan pelanggan. Dengan demikian, karyawan di lini depan harus mengerti dan menyampaikan janji brand dengan tepat kepada pelanggannya (Kotler dan Pfoertsch , 2008:187-197).
30
Alreck dan Settle (1999:130-144) mengemukakan bahwa para pemasar seharusnya membangun hubungan dengan konsumen daripada membuat penjualan tunggal. Idealnya hubungan tersebut adalah hubungan yang erat antara pelanggan dan brand. Mereka merumuskan enam strategi untuk membangun hubungan
tersebut:
menghubungkan
brand
dengan
kebutuhan
pokok,
dihubungkan dengan suasana hati yang menyenangkan, menarik motivasi bawah sadar sesorang, mengkondisikan konsumen untuk memilih brand dengan reward, penetrasi persepsi, dan menyediakan model yang atraktif untuk memacu konsumen. Salah satu strategi atau kombinasinya tergantung oleh dari produk atau jasa yang di-branding-kan. Kesuksesan strategi tergantung dari pemahaman pemasar akan proses membangun rasa ketertarikan dan proses menjaga hubungan yang erat tersebut.
Hal hampir serupa dikemukakan Rod (2003), membangun citra yang kuat untuk sebuah brand diperlukan strategi perencanaan brand yang hati hati berdasarkan pada: (1) definisi yang baik dan unik sebagai sebuah kepribadian. (2) pemilihan strategi positioning yang tepat (3) tema dari pengembangan produk (4) onsistensi dalam penyediaan iklan dan promosi (5) penjagaan brand. Keseluruhan Strategi tersebut harus dibangun atas pemahaman dari kebutuhan konsumen. Kesuksesan dari pengembangan sebuah brand tergantung dari bagaimana persepsi konsumen dapat dipastikan untuk percaya bahwa destinasi itu berbeda dan lebih baik dari destinasi yang lain.
31
Jika bisa disimpulkan bahwa strategi brand atau brand strategy adalah rencana pengembangan brand secara sistematik, terarah, dan terukur untuk mencapai tujuan bisnis yang telah disepakati. Strategi tersebut haruslah berorientasi pada visi brand dan harus dapat mempengaruhi keseluruhan operasional bisnis dalam memastikan perilaku dan pengalaman brand konsisten. (Wiryawan, 2008:39)
2.2.3 Brand Equity Menurut Wikipedia bahasa Indonesia brand equity adalah seperangkat aset dan keterpercayaan brand yang terkait dengan brand tertentu, nama dan atau simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa, baik bagi pemasar, perusahaan maupun pelanggan. Bagi pelanggan brand equity dapat memberikan nilai dalam memperkuat pemahaman mereka akan proses informasi, memupuk rasa percaya diri dalam pembelian, serta meningkatkan pencapaian kepuasan. Nilai brand equity bagi pemasar atau perusahaan dapat mempertinggi keberhasilan program pemasaran dalam memikat konsumen baru atau merangkul konsumen lama. Hal ini dimungkinkan karena dengan brand yang telah dikenal maka promosi yang dilakukan akan lebih efektif. Menurut Philip Kotler (1997:64 dalam Sirait, 2004:34) brand equity sangat berkaitan dengan seberapa banyak konsumen berada dalam kondisi puas terhadap suatu brand dan merasa rugi bila berganti brand, konsumen menghargai brand dan menganggapnya sebagai teman, serta konsumen loyal terhadap brand tersebut. Brand equity juga berkaitan dengan tingkat pengakuan terhadap suatu
32
brand, kualitas brand yang diyakini, asosiasi mental dan emosional yang kuat, serta aktiva lain seperti paten, brand dagang, dan hubungan saluran distribusi. Sementara Amber & Styles (2000 dalam Gregorius, 2004: 136-137) mendefinisikan brand equity sebagai serangkaian memori dalam benak pelanggan, anggota saluran distribusi, perusahaan induk, dan anggota utama lain dari jejaring bisnis brand tertentu yang bisa berdampak pada aliran kas dan profitabilitas masa datang. Memori dalam definisi ini mencakup ”procedural memory”(apa yang telah kita pelajari tentang cara melakukan sesuatu, kebiasaan, dan perilaku) dan “declarative memory” (apa yang kita ingat). Sedangkan menurut Lassar (1995) brand equity adalah pedoman atau haluan dari kepercayaan mendalam konsumen pada sebuah
brand dan bagaimana
kompetitornya. Kepercayaan tersebut diterjemahkan kepada loyalitas pelanggan dan kemampuan untuk membayar harga yang pantas untuk sebuah brand. Menurut penulis lain yaitu Aaker (1997:22-23) brand equity
adalah
seperangkat aset liabilitas brand yang terkait dengan suatu brand, nama, simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa baik pada perusahaan maupun pelanggan. Agar aset dan liabilitas mendasari brand equity, maka aset dan liabilitas brand harus berhubungan dengan nama atau sebuah simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama atau sebuah simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama, dan simbol brand, beberapa atau semua aset dan liabilitas yang menjadi dasar brand equity akan berubah pula.
33
Pengertian brand equity menurut Durianto, dkk (2001:4) serupa dengan apa yang di tulis di wikipedia dan Aaker adalah seperangkat aset dan liabilitas brand yang terkait dengan suatu brand, nama, istilah, simbol yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh suatu produk atau jasa baik itu kepada perusahaan maupun kepada konsumen. Terdapat tiga teori mengenai istilah brand equity menurut Rangkuti (2002:8) yaitu: 1) Bahwa eksekutif perusahaan tidak mengetahui nilai aset yang tidak tampak dari perusahaannya tanpa mengetahui aspek keuangannya. Aspek keuangan penting untuk diketahui pada saat perusahaan akan melakukan akusisi. Tanpa mengetahui nilai dari brand kemungkinan besar nilainya akan menjadi dibawah nilai. 2) Brand equity diukur berdasarkan kemampuan brand tersebut untuk mendukung perluasan brand yang dilakukan. Semakin kuat brand equity yang dimiliki maka usaha perluasan brand akan semakin mudah. 3) Persepsi brand equity yang ada dalam benak konsumen dapat dilihat dari perilaku konsumen dalam membuat keputusan pembelian. Analisis yang digunakan adalah loyalitas brand, dominasi brand, dan kesan brand sebagai komponen dari brand equity. Menurut Onojaefe dan Khumalo (2011) berpendapat bahwa brand equity mampu meningkatkan nilai bisnis dan memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Nilai-nilai dan keunggulan kompetitif adalah: 1) Brand yang kuat menyederhanakan proses keputusan pembelian, meningkatkan tingkat eberhasilan harga dan kebehasilan dalam pemanfaatan peluncuran produk baru. 2) Nama brand sering dinterpretasikan sebagai indikator dari kualitas dan brand yang kuat
34
adalah jani dari kualitas dan kepuasan. 3) Brand Equity dapat dihubungkan dengan citra yang baik yang terhubung dengan konsumen, brand equity yang kuat menyebabkan loyalitas yang lebih besar dari pelanggan juga mampu meningkatkan daya saing. Menurut Kamus Brand yang ditulis Wiryawan (2008:29) empat hal yang menjadi basis penilaian brand equity adalah: penilaian loyalitas, penilaian persepsi, penilaian asosiasi, penilaian kesadaran brand. Hal tersebut senada dengan dikemukakan oleh Aaker (1997:25-30), namun menurut Aaker brand equity dapat dikelompokkan dalam lima kategori yaitu: 1) Kesadaran brand (brand awarness), menunjukkan kesanggupan seorang calon pembeli atau konsumen untuk mengenali dan mengingat kembali bahwa suatu brand merupakan bagian dari kategori produk tertentu. 2) Asosiasi brand (brand association), mencerminkan pencitraan suatu brand terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk, geografis, harga, pesaing, selebritis. 3) Persepsi kualitas (percieved quality), mencerminkan persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan maksud yang diharapkan. 4) Loyalitas brand (brand loyalty), mencerminkan tingkat keterikatan konsumen dengan dengan suatu brand produk. 5) Aset-aset brand lainnya (other proprietary brand asset ), seperti paten, merek dagang dan saluran distribusi pemasaran. Banyak tulisan yang mengadopsi dimensi Aaker tersebut sebagai landasan teori dalam tulisannya seperti Tong (2006), Touminen (1999), Smith (2007), Cresscitelli dan Figueredo (2009). Baik itu mengadopsi secara utuh dan
35
melakukan penelitian dengan objek yang lain ataupun mengdaptasi sesuai dengan bidang penelitian yang akan diteliti. Kelima dimensi brand equity di atas dikhtisarkan seperti pada Gambar 2.1 berikut:
Kesadaran Brand
(Brand Awareness)
Asosiasi Brand
(Brand Associated) BRAND EQUITY Nama, Simbol
Persepsi Kualitas
(Percieved Quality)
Loyalitas Brand (Brand Loyalty)
Aset-aset brand Lainnya
(Other Proprietary Brand Asset)
Gambar 2.1 Dimensi Brand Equity menurut Aaker
Memberikan nilai kepada perusahaan dengan memperkuat: Efisiensi dan efektivitas program pemasaran Loyalitas brand Harga / Laba Perluasan Brand Peningkatan perdagangan Keunggulan kompetitif
Memberikan nilai kepada pelanggan dengan memperkuat: Interpretasi/proses informasi Rasa percaya diri dalam pembelian Pencapaian kepuasan dari pelanggan
Sumber : .Aaker (1997:25) Manajemen Ekuitas Brand Karakteristik dari kategori atau faktor brand equity di bagi atas beberapa tingkat. Untuk mampu melihat dimensi kategori Aaker secara lebih jelas masingmasing kategori atau faktornya, variabel atau jabaran dari masing-masing kategori brand awareness, brand association, brand perceived quality, dan brand loyalty dapat ditinjau sebagai berikut, sehingga sesuai pada Tabel 2.1 berikut ini.
36
Tabel 2.1 Kategori Brand Equity Kategori Kesadaran Brand (Brand Awareness)
Jabaran Kategori Puncak pikiran (Top Of Mind) Pengingatan kembali Brand (Brand Recall) Pengenalan brand (Brand Recognition) Tidak menyadari Brand (Unaware Of Brand) Asosiasi Brand Atribut produk (Product Atributs) (Brand Association) Atribut tak berwujud (Intangibles Attributs) Manfaat bagi pelanggan (Costumer Benefit) Harga relatif (Relative Price) Penggunaan (User Or Application) Pemakai atau pelanggan (User Or Costumer) Kelas product (Product Class) Persepsi Kualitas Kualitas Product (Product Quality) ( Brand Perceived Quality) Kinerja (Performance) Fitur (Feature) Konformasi (Conformance) Estetika (Esthetics) Keandalan (Realibility) Ketahanan (Durability) Kemampuan melayani (Serviceability) Hasil akhir (Fit and Finish) Kualitas Layanan (Service Quality) Bentuk fisik (Tangibles) Empati (Emphaty) Kemampulayanan (Responsiveness) Jaminan (Assurance) Loyalitas Brand Pembeli yang komit (Committed Buyer) (Brand Loyalty) Pembeli yang menyukai brand (Likes the brand) Pembeli yang puas (Satisfied Buyer) Pembeli karena kebiasaan (Habitual Buyer) Pembeli yang berpindah-pindah (Switcher) Aset-aset Brand Lainnya Paten (Paten) (Other Propreitary Brand Asset) Merek dagang (Trademarks) Saluran distribusi (Channel) Hubungan (Relationship) Sumber : Aaker (1997). Manajemen Ekuitas Brand.
Banyak juga para penulis yang melakukan debat atau sedikit berbeda dengan apa yang dikemukan terhadap konsep dimensi brand equity
yang
dikemukakan oleh Aaker tersebut salah satunya dikemukakan oleh Keller dalam
37
beberapa tulisan Rajh (2002), Huang dan Lin (2005), Zhong (2005). Ada pula yang membandingkan brand equity dan brand value dalam tulisan Wood (2000). Menurut Keller (1993) brand equity adalah perbedaan pengaruh brand knowledge atas reaksi pelanggan terhadap pemasaran dari brand tersebut. Menurut Keller ada dua dimensi dalam brand equity yaitu brand awareness dan brand image dan variabel-variabelnya dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini
Brand Recall Brand Awareness
Brand Recognition Brand Equity Brand Knowledge
Types Of Brand Association
Favorability Of Brand Association
Non Product Related Product Related
Attribute
Functional
sBenefits
Symbolic
Attitudes
Experential
Brand Image Strength Of Brand Association Uniqueness Of Brand Association
Price Packaging User Imagery
Gambar 2.2 Brand Equity menurut Keller Usage Imagery
Sumber: Keller (1993) Berpijak dari banyak perdebatan mengenai dimensi brand equity tersebut Walker (2002: 2) dalam makalah presentasinya mengemukakan dimensi brand
38
equity terdiri dari hubungan, popularitas, kualitas, keunikan, dan familiar. Sementara Adriana dalam tulisannya dan setelah melihat banyak tulisan mengenai brand equity memadukan pendapat Keller dan Aaker dimensi brand equity terdiri dari loyality, awareness, perceived quality, personality, identity, image, dan associations. Jika kebanyakan studi-studi brand equity didominasi oleh pendekatan perilaku dan psikologi konsumen seperti yang dilakukan Aaker dan Keller namun ada beberapa pakar yang menggunakan informasi ekonomi atas ekuitas yang dianggap pelanggan berasal dari brand. Studi tersebut dilakukan oleh Erdem dan Swait (1998, dalam
Sadat, 2009:172). Fokus utama terletak pada peranan
kredibilitas yang ditentukan oleh pengalaman berinteraksi antara perusahaan dan pelanggan. Jika pelanggan tidak yakin dengan atribut-atribut produk yang ditawarkan, maka perusahaan akan menggunakan brand sebagai ”senjata” untuk meyakinkan mereka. Dengan demikian, brand berperan sebagai sinyal kredibilitas bagi seluruh produk yang memberikan keyakinan kepada pelanggan. Singkatnya, melalui sinyal brand, pelanggan akan memperoleh berbagai persepsi mengenai ekuitas, risiko, serta biaya informasi, sehingga mereka dapat mengoptimalkan manfaat yang diharapkan. Pendekatan berbasis Sosiologi dan Antropologi dikemukakan oleh McCraken (1993, dalam Sadat, 2009:173-174). Bagi McCraken, brand menjadi bernilai karena dapat memberikan makna pada sebuah produk. Makna tersebut dapat diperoleh dari beragam sumber kultural, seperti tradisi, status sosial, gender, kebangsaan, etnik, dan keluarga. Transfer makna pada sebuah brand dapat
39
dilakukan melalui proses komunikasi pemasaran (iklan, promosi, dan hubungan publik), sehingga brand dapat memiliki makna tertentu di benak pelanggan. Begitu banyak pengertian dan pendekatan dalam studi brand equity masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing-masing, namun dalam penelitian kali ini penulis akan mengadaptasi pendekatan yang dikemukakan oleh Aaker (brand awareness, brand association, brand perceived quality, brand loyalty, dan other proprietery brand asset) karena Aaker terkenal di dalam dunia pemasaran dan telah menulis lebih dari 70 artikel dan delapan buku dari berbagai aspek brand, serta Aaker mampu melihat kekuatan brand melalui pendekatan psikologi konsumen dalam hal ini adalah wisatawan merupakan komponen terpenting dalam sebuah industri jasa khususnya pariwisata. Namun Menurut Durianto, dkk (2001:4) elemen-elemen brand equity di luar other proprietery brand asset dikenal dengan elemen-elemen utama dari brand equity. Other proprietery brand asset berguna untuk memperluas brand, seperti analisis portofolio brand dan arsitektur brand. Dalam menilai brand equity, elemen brand equity yang kelima tersebut secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut. Mengadapatasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penulis hanya akan menggunakan empat konsep utama dari brand equity yang dikemukakan oleh Aaker yaitu brand awareness, brand association, brand perceived quality, dan brand loyalty.
2.2.3.1 Brand Awareness Brand awareness merupakan kesanggupan seorang konsumen untuk mengenal atau mengingat kembali tentang keberadaan suatu brand yang berkaitan
40
dengan suatu kategori produk atau jasa tertentu (Aaker, 1997:90, Sadat 2009:165). Khalayak cenderung membeli brand yang sudah dikenal karena mereka sudah merasa aman dengan sesuatu yang sudah dikenal, atau mungkin ada asumsi bahwa sebuah brand yang sudah dikenal mempunyai kemungkinan bisa diandalkan, kemantapan dalam bisnis, dan kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Faktor kesadaran sangat penting khususnya dalam konteks di mana brand mesti lebih dahulu memasuki rangkaian pertimbangan, mesti salah satu brand yang dievaluasi. Brand yang tidak dikenal biasanya hanya mempunyai sedikit peluang. Menurut Kotler (1997:64, dalam Sirait, 2005:38) brand awareness merupakan tingkat keasadaran konsumen terhadap suatu brand yang diukur berdasarkan ingatan dan pengakuan terhadap brand tersebut. Tingkatan brand awareness dari yang terendah sampai yang tertinggi (Rangkuti: 2002:40) adalah sebagai berikut. 1. Unaware of Brand (tidak menyadari brand) merupakan tingkat kesadaran yang paling rendah dari konsumen, di mana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu brand yang dikaitkan dengan suatu kategori produk atau jasa tertentu. 2. Brand Recognition (pengenalan brand) merupakan tingkat minimal dari kesadaran konsumen akan suatu brand di mana dalam mengingat brand tersebut konsumen memerlukan bantuan. 3. Brand Recall (pengingatan kembali terhadap brand) merupakan pengingatan kembali terhadap brand didasarkan pada permintaan seseorang untuk menyebutkan brand tertentu dalam suatu kelas produk. Hal ini diistilahkan
41
dengan pengingatan kembali tanpa bantuan, karena berbeda dari tugas pengenalan, responden tidak perlu dibantu untuk memunculkan brand tersebut. 4. Top of Mind (puncak pikiran) merupakan brand utama dari berbagai brand yang ada dalam benak konsumen. Apabila seseorang ditanya secara langsung tanpa diberi bantuan pengingatan dan ia dapat menyebutkan satu nama brand, maka brand yang paling banyak disebutkan pertama sekali merupakan puncak pikiran. Dengan kata lain, brand tersebut merupakan brand utama dari berbagai brand yang ada di dalam benak konsumen. Tingkat kesadaran brand secara berurutan dapat digambarkan sebagai suatu piramida seperti pada Gambar 2.3 berikut.
Puncak
pikiran Pengingatan kembali akan brand Pengenalan brand Tidak menyadari brand ( Gambar 2.3 Piramida Brand Awareness (Sumber : Rangkuti, 2002:56) Penciptaan nilai brand awareness untuk mewujudkan brand equity yang kuat (Durianto, dkk, 2001:56) dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu:
42
1. Anchor to which other association can be attached, artinya brand diibaratkan sebagai sebuah jangkar yang terdiri dari beberapa rantai, di mana rantai ini menggambarkan asosiasi dari brand tersebut, 2. Familiarity – Liking artinya dengan mengenal suatu brand maka akan menumbuhkan rasa terbiasa konsumen terhadap suatu produk terutama produk yang bersifat keterlibatan rendah, 3. Substance / commitment, artinya kesadaran akan brand dapat menandakan keberadaan, komitmen, dan inti yang sangat penting bagi perusahaan. Jika kualitas dari dua brand suatu produk barang atau jasa sejenis sama, maka brand awareness yang menjadi faktor penentu bagi konsumen dalam membuat keputusan pembelian, dan 4. Brand to consider, artinya langkah pertama dalam suatu proses pembelian adalah menyeleksi dari suatu kelompok brand yang telah dikenal untuk dipertimbangkan brand mana yang akan dibeli. Pengembangan dari brand awareness dikemukakan oleh Wiryawan dalam Kamus brand-nya (2008:16) yaitu presentase khayalak sasaran yang mengenali keberadaan sebuah brand ketika ditanyakan dalam sebuah survei. Ada dua tipe awareness, yang pertama adalah spontanitas, yang mengukur persentase dari sejumlah orang yang secara spontan menyebut sebuah brand
tertentu ketika
ditanyai tentang kategori sebuah brand; dan yang kedua adalah ketepatan, yang mengukur persentase dari sejumlah orang yang mengenal sebuah brand dari kategori tertentu pada saat diperlihatkan daftar yang diberikan. Brand awareness
43
dalam penelitian ini adalah kesadaran wisatawan yang datang ke Bali terhadap brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti”. 2.2.3.2 Brand Association Asosiasi brand adalah segala kesan yang muncul di benak konsumen yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu brand teretentu. Kesan-kesan yang terkait brand akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi suatu brand atau dengan semakin seringnya penampakan brand tersebut dalam strategi komunikasinya, apalagi jika kaitan tersebut didukung oleh suatu jaringan dan kaitan-kaitan lainnya. Suatu brand yang telah mapan akan memiliki posisi menonjol dalam persaingan apabila didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat. Berbagai asosiasi brand yang saling berhubungan akan menimbulkan suatu rangkaian yang disebut brand image. Semakin banyak asosiasi yang saling berhubungan, semakin kuat brand image yang dimiliki oleh brand tersebut. Pada umumnya asosiasi brand yang membentuk brand image, akan menjadi landasan konsumen dalam keputusan pembelian dan loyalitasnya pada brand tersebut. Dalam prakteknya, didapati banyak sekali kemungkinan asosiasi dan variasi dari asosiasi brand yang dapat memberikan nilai bagi suatu brand, baik dipandang dari suatu sudut perusahaan, maupun dari sisi konsumen. Menurut Aaker (1997:60) asosiasi brand adalah, segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai brand. Asosiasi itu tidak hanya eksis, namun juga memiliki suatu tingkat kekuatan. Keterikatan pada suatu brand akan lebih kuat apabila dilandasi pada banyak pengalaman atau penampakan untuk mengkomunikasikan.
44
Pendapat lain dikemukakan oleh Scott M.Davis (2000, dalam Sadat, 2009:169) dinyatakan bahwa brand association akan menggambarkan kekuatan manfaat yang ditawarkan sebuah brand kepada pelanggan. Pendapat yang sedikit berbeda dikemukakan Wiryawan (2008:25) brand association adalah perasaan, kepercayaan, dan pengetahuan pelanggan mengenai sebuah brand. Ke tiga hal tersebut harus tetap konsisten dengan posisi brand dan keunikannya. Proses asosiasi ini bisa disandingkan dengan tokoh, karakter, sifat, atau sikap tertentu. Pengertian brand association adalah keseluruhan kesan yang ada di benak konsumen yang berkenaan dengan ingatannya terhadap brand suatu produk atau jasa (Durianto, dkk 2001:69). Berbagai asosiasi yang diingat konsumen dapat dirangkai sehingga membentuk citra tentang brand atau citra brand di dalam benak konsumen (Rangkuti, 2002:43). Citra brand merupakan sekumpulan asosiasi brand yang terbentuk di benak konsumen. Konsumen yang terbiasa menggunakan brand tertentu cenderung memiliki konsistensi terhadap brand image atau hal ini disebut juga dengan kepribadian brand. Fungsi brand association (Durianto, dkk 2001:69) adalah sebagai berikut: 1. Help process/ retrieve information, artinya membantu dalam proses penyusunan informasi. 2. Diffrentiate, artinya suatu asosiasi dapat memberikan landasan di dalam upaya pembedaan antara brand yang satu dengan brand yang lainnya. 3. Reason to buy, artinya brand association dapat mengangkat atribut produk atau manfaat produk bagi konsumen, di mana hal ini memberikan alasan untuk memakai brand tersebut bagi konsumen.
45
4. Create positive attitude/ feelings, artinya asosiasi-asosiasi brand dapat menciptakan perasaan yang positif berdasarkan pengalaman pemakaian terdahulu. 5. Basis for extensions, artinya asosiasi dapat menjadi landasan dalam melakukan perluasan dengan menciptakan rasa kesesuaian antara brand dan sebuah produk baru. Selanjutnya menurut Durianto, dkk (2001:70), asosiasi-asosiasi terhadap suatu brand umunya dikaitkan dengan hal-hal sebagai berikut. 1. Product attributes (atribut produk). Dengan mengasosiasikan atribut atau karakteristik produk atau jasa dan jika atribut tersebut bermakna, akan dapat menjadi alasan dalam pembelian brand tersebut. 2. Intangibles attributes (atribut tidak berwujud). Suatu atribut tak berwujud merupakan atribut umum, seperti persepsi kualitas, kemajuan teknologi, atau kesan lain yang mengiktisarkan serangkaian atribut yang obyektif. 3. Customer’s benefits (manfaat bagi pelanggan). Sebagian besar atribut memberikan manfaat bagi pemakainya. 4. Relative price (harga relatif). Evaluasi terhadap suatu brand disebagian kelas produk ini akan diawali dengan penentuan posisi brand tersebut dalam satu atau dua tingkat harga. 5. Application (penggunaan). Pendekatan ini adalah mengasosiasikan brand dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu. 6. User/Customer
(pengguna/pelanggan).
Pendekatan
ini
mengasosiasikan brand dengan tipe pengguna atau pelanggan.
adalah
dengan
46
7. Celebrity/person (orang terkenal/khalayak). Mengkaitkan orang terkenal dengan sebuah brand dapat mentransfer asosiasi kuat dari orang terkenal tersebut kepada brand. 8. Life Style/personality (gaya hidup/ kepribadian). Asosiasi brand yang dikaitkan dengan gaya hidup dapat diilhami oleh asosiasi para pemakai brand dengan aneka kepribadian dan gaya hidup yang hampir sama. 9. Product class (kelas produk). Mengasosiasikan sebuah brand dengan kelas produknya. 10. Competitors (para pesaing). Mengetahui pesaing dan berusaha untuk menyamai atau bahkan mengunggulinya. 11. Country/geographic area (negara/wilayah). Sebuah negara dapat menjadi simbol sebuah brand asalkan terdapat hubungan yang erat dengan produk, bahan, dan kemampuan. Brand Association dalam penelitian adalah segala sesuatu yang dirasakan dan kesan terhadap brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti” dari wisatawan yang berkunjung ke Bali. 2.2.3.3 Brand Percieved Quality Pengertian brand perceived quality adalah persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan dari suatu produk atau jasa yang dikaitkan dengan harapan konsumen dalam mengkonsumsi produk atau jasa tersebut, (Durianto, dkk, 2001:96). Karena persepsi kualitas brand merupakan persepsi pelanggan, maka persepsi kualitas brand tidak dapat ditentukan secara objektif. Persepsi konsumen akan melibatkan apa yang berbeda-beda terhadap suatu
47
produk atau jasa. Maka dapat dikatakan bahwa membahas persepsi kualitas brand berarti akan membahas keterlibatan dan kepentingan pelanggan. Mengingat kepentingan dan keterlibatan konsumen berbeda-beda, maka persepsi kualitas brand perlu dinilai berdasarkan sekumpulan kriteria yang berbeda. Persepsi kualitas yang tinggi bukan berarti harapan pelanggan yang rendah (pelanggan merasakan kepuasan yang tinggi jika harapannya jauh lebih rendah dari kinerja atau kenyataan). Persepsi kualitas mencerminkan perasaan pelanggan secara menyeluruh mengenai suatu brand. Persepsi kualitas mempunyai peranan yang penting dalam membangun suatu brand, di mana dalam banyak konteks persepsi kualitas sebuah brand dapat menjadi alasan penting bagi pembelian serta brand mana yang akan dipertimbangkan konsumen yang pada gilirannya akan mempengaruhi konsumen dalam memutuskan brand yang akan dibeli dan dikonsumsi. Karena persepsi kualitas terkait erat dengan keputusan pembelian maka persepsi kualitas dapat mengefektifkan semua elemen program pemasaran, khususnya program promosi. Apabila persepsi kualitas tinggi, maka kemungkinan besar program pemasaran promosi dan periklanan yang telah dijalankan akan efektif. Tetapi persespi kualitas dapat juga menyebabkan kesulitan yang berarti jika program pemasaran tidak direncanakan dengan baik. Menurut Rangkuti (2002:42), brand perceived quality dapat mewujudkan lima nilai, yaitu: 1) Alasan utama bagi konsumen dalam membeli suatu produk atau jasa. Hal tersebut akan mempengaruhi brand-brand mana yang dipertimbangkan dan brand mana yang akan dipilih konsumen, 2) Dapat dijadikan
48
sebagai strategi pemosisian yang akan membedakan suatu brand dengan brand yang lainnya, 3) Dapat dijadikan sebagai pilihan dalam menetapkan berbagai harga optimum atau harga premium, 4) Dapat menarik minat distributor, pengecer, atau saluran ditribusi yang lainnya untuk mendistribusikan brand tersebut, dan 5) Dapat dieksploitasi dengan cara mengenalkan berbagai perluasan brand yaitu dengan menggunakan suatu brand tertentu untuk masuk dalam kategori produk baru. Dimensi brand perceived quality mengacu kepada pendapat David A.Garvin dalam Durianto, dkk (2001:98) adalah sebagai berikut. 1. Kinerja, meliputi berbagai karakteristik operasional dari perusahaan. 2. Karena faktor kepentingan setiap konsumen berbeda maka konsumen memiliki penilaian yang berbeda terhadap atribut-atribut kinerja tersebut. 3. Pelayanan; menggambarkan kemampuan untuk memberikan pelayanan pada produk yang ditawarkan 4. Ketahanan; menggambarkan umur ekonomis dari produk tersebut. 5. Keandalan; menggambarkan konsistensi dari kinerja produk. 6. Karakteristik produk; menggambarkan nilai tambah atau tambahan-tambahan atribut dari produk. 7. Kesuaian dengan spesifikiasi; menggambarkan kualitas produk yang sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji. 8. Hasil; menggambarkan kualitas yang dirasakan setelah mengkonsumsi tersebut.
49
Dimensi brand perceived quality untuk konteks jasa menurut Durianto, dkk (2001:100) adalah sebagai berikut: 1. Bentuk fisik; kesan kualitas dari fasilitas fisik, perlengkapan, dan penampilan karyawan. 2. Kompetensi; kemampuan, keyakinan, dan percaya diri dari karyawan divisi pelayanan. 3. Keandalan; penyelesaian tugas yang akurat dan meyakinkan 4. Tanggung jawab; kemauan karyawan untuk membantu konsumen dengan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. 5. Empati; perhatian dan kepedulian terhadap konsumen. Brand perceived quality dalam penelitian ini adalah persepsi wisatawan terhadap kualitas Bali sebagai destinasi pariwisatanya dan ditinjau dari dimensi yang dikemukan oleh durianto brand perceived quality dari konteks jasa yaitu bentuk fisik, kompetensi, keandalan, tanggung jawab dan empati. 2.2.3.4 Brand Loyalty Loyalitas brand merupakan suatu ukuran keterkaitan konsumen kepada suatu brand. Ukuran ini dapat memberikan gambaran tentang mungkin atau tidaknya konsumen beralih ke brand produk lain, terutama jika pada brand tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lainnya. Bagi perusahaan manapun, sangatlah mahal untuk mendapatkan konsumen baru. Sebaliknya, relatif tidak mahal untuk memelihara konsumen yang sudah ada, terutama jika para konsumen itu sudah puas dengan atau bahkan memakai
50
brand tersebut, (Aaker, 1997:27). Kenyataanya dibanyak pasar
terjadi
kegamangan di antara para konsumen dalam menentukan pilihan terhadap brand yang sudah ada, sekalipun terdapat biaya pengalihan yang kecil dan komitmen konsumen rendah. Karena itu dasar perekrutan konsumen adalah, investasi akuisisi konsumen yang besar pada masa-masa sebelumnya. Lebih jauh, setidaknya beberapa konsumen yang ada menonjolkan pemakaian brand dan meyakinkan para konsumen baru. Pengertian brand loyalty adalah ukuran kesetiaan konsumen terhadap suatu brand produk atau jasa tertentu. Hal ini merupakan inti dari brand equity yang menjadi sentral gagasan pemasaran karena merupakan suatu ukuran keterkaitan seorang konsumen terhadap suatu brand, (Rangkuti, 2002:60 dan Aaker 1997:57). Tingkatan brand loyalty dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut: 1. Switcher atau price buyer (pembeli yang berpindah-pindah). Pada tingkatan loyalitas yang paling dasar ini konsumen sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada brand apapun yang ditawarkan. Brand memainkan peranan yang kecil dalam keputusan pembelian karena konsumen lebih memperhatikan harga
sehingga
konsumen
sering
berpindah-pindah
brand
dalam
mengkonsumsi suatu kategori atau jasa. 2. Habitual Buyer (Pembeli karena kebiasaan). Pada tingkatan ini adalah para pembeli yang puas dengan produk, atau setidaknya tidak mengalami ketidakpuasan. Para pembeli tipe ini mungkin bisa disebut sebagai pembeli karena kebiasaan. Berbagai segmen bisa rentan terhadap para kompetitor
51
yang mampu menciptakan suatu manfaat nyata untuk beralih brand. Akan tetapi, para pembeli ini juga sulit dirangkul kompetitor karena tidak ada alasan bagi mereka untuk memperhitungkan berbagai alternatif. 3. Satisfied Buyer (Pembeli yang puas). Pada tingkatan ini terdapat konsumen yang puas namun mereka menanggung biaya peralihan baik itu waktu, uang atau risiko sehubungan dengan upaya untuk melakukan pergantian ke brand yang lainnya. Konsumen loyal terhadap suatu brand, namun tidak menutup kemungkinan konsumen ini berpindah ke brand yang lainnya dengan menanggung biaya peralihan. Untuk menarik minat para pembeli ini, para kompetitor perlu mengatasi biaya peralihan dengan menawarkan bujukan untuk beralih atau dengan tawaran suatu manfaat yang cukup besar sebagai kompensasi. Kelompok Ini mungkin bisa disebut sebagai pelanggan yang loyal terhadap biaya peralihan. 4. Likes the brands (Pembeli yang menyukai brand). Konsumen memiliki perasaan emosional dalam menyukai suatu brand. Rasa suka ini didasarkan atas asosiasi seperti simbol, pengalaman dalam menggunakan, atau kesan kualitas yang tinggi sehingga menempatkannya sebagai ‘teman’ pendamping setiap saat. 5. Commited Buyer (Pembeli yang memiliki komitmen). Terdapat konsumen yang memang setia terhadap suatu brand. Konsumen merasa bangga dalam memakainya karena dapat menunjukkan identitias dirinya.
52
Tingkatan brand loyalty dapat digambarkan dengan sebuah piramida dalam Gambar 2.4 sebagai berikut:
Pembeli yang berkomitmen
Pembeli yang menyukai brand
Pembeli yang puas Pembeli karena kebiasaan
Pembeli yang berpindah-pindah
Gambar 2.4 Piramida Brand Loyalty (sumber : Durianto dkk, 2002:126) Potensi brand loyalty yang dapat diberikan kepada perusahaan menurut Durianto , dkk (2001:127) adalah: 1. Mengurangi biaya pemasaran. Brand loyalty yang kuat berarti dapat mempertahankan pelanggan yang sudah ada. Biaya pemasaran untuk mempertahankan pelanggan yang sudah ada lebih kecil dari pada biaya pemasaran untuk mencari konsumen baru. 2. Meningkatkan penjualan. Konsumen yang loyal berarti konsumen yang melakukan pembelian suatu brand secara berulang-ulang. Pembelian berulang-ulang ini dapat meningkatkan penjualan.
53
3. Menarik minat pelanggan baru. Pelanggan yang puas terhadap suatu brand akan merekomendasikannnya kepada calon-calon pelanggan yang baru. 4. Memberi waktu untuk merespon ancaman pesaing. Jika perusahaan pesaing mengembangkan produk yang unggul, pelanggan akan memberi waktu kepada perusahaan untuk memperbaharui produknya. Pengertian yang senada dikemukakan oleh Oliver (2007) dan Yoo (2000) dalam Sadat (2009:170) dinyatakan bahwa brand loyalty adalah komitmen yang kuat dalam berlangganan atau membeli kembali suatu brand secara konsisten di masa mendatang. Sementara Wiryawan (2008:33) menuliskan brand equity adalah tingkat kesetiaan pelanggan pada sebuah brand, diukur dari dukungan yang diberikan secara terus menerus, pembelian berulang pada brand tersebut, dan kesetiaan terhadap brand tersebut. Untuk membangun brand, peningkatan loyalitas brand adalah sumber utama dari keuntungan secara ekonomi. Hanya loyalitas yang membuat pelanggan membeli brand tertentu dan tidak mau beralih ke brand yang lain, meskipun kondisi tersebut sulit direalisasikan di tengah kenyataan banyaknya pesan-pesan iklan yang membobardir setiap saat. Namun jika loyalitas tersebut dapat diraih, tentu saja akan meningkatkan brand equity yang sangat penting dalam jangka panjang. Suatu produk dapat mempunyai kesadaran brand yang tinggi, kualitas yang baik, asosiasi brand yang cukup banyak, tetapi belum tentu mempunyai loyalitas brand. Sebaliknya produk yang mempunyai loyalitas brand dapat dipastikan mempunyai kesadaran brand yang cukup tinggi, kualitas yang baik, asosiasi brand yang cukup dikenal. Apalagi dalam kondisi pasar dengan tingkat
54
pertumbuhan yang mulai melemah seperti keadaan sekarang ini dan tingkat persaingan yang cukup tinggi. Brand Loyalty dalam penelitian kali ini adalah tingkat keterikatan wisatawan yang berkunjung ke Bali dengan brand “ Bali Shanti, Shanti, Shanti”. 2.2.4 Faktor – faktor Yang Menentukan Keputusan Wisatawan Memilih Destinasi Pariwisata Morley (1990) menyatakan permintaan akan pariwisata tergantung pada ciri-ciri wisatawan, seperti penghasilan, umur, motivasi, dan watak. Ciri-ciri ini masing-masing akan mempengaruhi kecenderungan orang untuk bepergian mencari kesenangan, kemampuannya untuk bepergian dan pilihan tempat tujuan perjalanannya. Permintaan juga ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri tempat tujuan perjalanan, daya tariknya, harga dan efektif tidaknya kegiatan memasarkan tempat tujuan. Kebijaksanaan pemerintah dapat mendorong atau menurunkan permintaan akan pariwisata secara langsung dan sengaja, dan secara tidak langsung melalui faktor-faktor yang penting bagi wisatawan, seperti keamanan. Morley yakin faktor-faktor sosial juga dapat mempengaruhi permintaan, seperti misalnya sikap penduduk setempat pada wisatawan dan minat yang dibangkitkan oleh budaya setempat. Permintaan pada gilirannya akan mempengaruhi penawaran pariwisata. (Morley 1990, dalam Glenn 1997: 8-9)
Sementara Dann (1977) berpendapat ada dua faktor atau tahap dalam keputusan untuk melakukan perjalanan. 1) faktor pendorong, adalah faktor yang membuat kita ingin bepergian, 2) faktor penarik, adalah faktor yang mempengaruhi ke mana wisatawan akan pergi setelah ada keinginan awal untuk
55
bepergian. Faktor-faktor itu ‘menarik’ wisatawan ke tempat tertentu setelah ‘didorong’ untuk keinginan bepergian. Jadi pertanyaan ‘apa yang membuat orang bepergian?’ hanya berkaitan dengan faktor pendorong. Menurut Dann ada dua alasan pokok untuk bepergian yaitu Anomi (melarikan diri dari keadaan yang kacau) dan memperbesar ego. Dann dalam Glenn (1997:31). Faktor yang dimaksud dalam penelitian ini adalah faktor eksternal yang merupakan daya tarik dari brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti” agar wisatawan mau berkunjung dan berwisata ke Bali.
Menurut Homer dan Swarbook dalam Sudibya (2004: 96) terdapat dua faktor penentu keputusan untuk berlibur yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari motivasi personal, kepribadian, pendapatan, kesehatan, keputusan keluarga, keputusan pekerjaan, pengalaman di masa lalu, hobi dan ketertarikan, pengetahuan akan liburan yang potensial, gaya hidup, kebiasaan, opini dan persepsi. Sementara faktor eksternalnya terdiri dari keberadaan produk yang sesuai, saran dari agen perjalanan, informasi yang didapat dari destansi tujuan melalui organisasi pariwsiata dan media, rekomendasi dari teman atau keluarga, kebijakan politik , faktor kondisi kesehatan di daerah tujuan, promosi spesial, dan iklim. 2.2.5 Wisatawan Menurut pasal 5 resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan BangsaBangsa No.870 ada yang disebut dengan wisatawan dan pelancong:
56
1) Wisatawan (tourist) yaitu pengunjung sementara yang paling sedikit tinggal selama 24 jam di negara yang dikunjunginya dan tujuan perjalanannya dapat digolongkan ke dalam klasifikasi berikut ini: a. Kesenangan, liburan, kesehatan, studi, keagamaan , dan olahraga; b. Bisnis, keluarga, konfrensi, dan misi. 2) Pelancong (excursionist) yaitu pengunjung sementara yang tinggal kurang dari 24 jam di Negara yang dikunjunginya (termasuk penumpang dengan kapal pesiar) Menurut panitia statistik Liga Bangsa-bangsa 22 januari 1937 istilah wisatawan dimaksudkan adalah setiap orang yang melakukan perjalanan selama 24 jam atau lebih dalam suatu Negara yang lain dari Negara di mana ia biasanya tinggal. IUTO tahun 1970 mengemukakan yang dimaksud dengan wisatawan adalah orang asing yang tinggal pada suatu Negara selama lebih dari 24 jam. Sementara menurut G.A Schmoll dalam Sudibia (2004:90) wisatawan adalah individu atau kelompok individu yang mempertimbangkan dan merencanakan tenaga beli yang dimilikinya untuk perjalanan rekreasi dan berlibur, yang tertarik pada perjalanan pada umunya dengan motivasi perjalanan yang pernah ia lakukan, menambah pengetahuan, tertatik oleh pelayanan yang diberikan oleh suatu daerah tujuan wisataa yang dapat menarik pengunjung di masa yang akan datang Ogilive dalam Sudibia (2004:92) menyatakan bahwa wisatawan adalah semua orang yang memenuhi dua syarat, pertama bahwa mereka meninggalkan rumah kediamanya untuk jangka waktu kurang dari satu tahun dan kedua bahwa
57
mereka sementara mereka pergi, mereka mengeluarkan uang di tempat yang mereka kunjungi dan tidak mencari nafkah di tempat tersebut
Menurut undang-undang nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan disebutkan wisatawan adalah orang yang melakukan wisata. Sedangkan Sihite (dalam Wisnawa, 2009 ) pengertian wisatawan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) wisatawan nusantara adalah wisatawan dalam negeri atau wisatawan domestik. 2) wisatawan mancanegara adalah warga negara suatu negara yang mengadakan perjalanan wisata ke luar lingkungan dari negaranya (memasuki negara lain). Dalam penelitian kali ini pengertian wisatawan diadopsi dari pengertian yang tercantum dalam undang-undang nomor 10 tahun 2009 yaitu orang yang melakukan wisata. Dalam penelitian kali ini yang dimaksud dengan wisatawan adalah setiap individu atau kelompok yang dating ke Bali untuk melakukan wisata.
2.2.6 Destinasi Pariwisata
Destinasi pariwisata adalah suatu entitas yang mencakup wilayah geografis tertentu yang didalamnya terdapat komponen produk pariwisata (atraksi, kelengkapan, aksesibilitas) dan layanan, serta unsur pendukung lainnya (masyarakat, pelaku industri pariwisata, dan institusi pengembang) yang membentuk sistem yang sinergis dalam menciptakan motivasi kunjungan serta totalitas pengalaman kunjungan bagi wisatawan (Legawa 2008).
58
Tipologi Destinasi Pariwisata berdasarkan UN-WTO yaitu: (1) kawasan perairan/bahari (coastal zone), (2) kawasan pantai (beach destination and site), (3) kawasan gurun (destination in desert & Ariad areas), (4) kawasan pegunungan (mountain destinations), (5) Kawasan Taman Nasional (natural & sensitive), (6) kawasan ekowisata (ecotourism destinations). Dalam penelitian ini yang dimaksud oleh destinasi pariwisata adalah Bali.
2.2.7 Teori-teori Untuk Memahami Konsumen Memilih Sebuah Produk
Dalam penelitian ini membicarakan pembuatan keputusan wisatawan dalam menentukan destinasi pariwisatanya, maka tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan tingkat keterlibatan konsumen. Mowen (1995) dalam Sutisna (2001:11) mengemukakan bahwa tingkat keterlibatan konsumen dalam suatu pembelian dipengaruhi oleh kepentingan personal yang dirasakan yang ditimbulkan oleh stimulus. Dengan perkataan lain, seseorang terlibat atau tidak terhadap suatu produk ditentukan oleh apakah dia merasa penting atau tidak di dalam mengambil keputusan pembelian produk. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa ada konsumen yang mempunyai keterlibatan tinggi dalam pembelian suatu produk, dan ada juga konsumen yang mempunyai keterlibatan yang rendah atas pembelian suatu produk.
Perilaku konsumen dalam pembeliannya dapat dikelompokkan ke dalam empat tipe. Pertama, adalah konsumen yang melakukan pembeliannya dengan pembuatan keputusan (timbul kebutuhan, mencari informasi dan mengevaluasi brand serta memutuskan pembelian), dan dalam pembeliannya memerlukan
59
keterlibatan tinggi. Dua interkasi ini menghasilkan tipe perilaku pembelian yang kompleks. Kedua, perilaku konsumen yang melakukan pembelian terhadap suatu brand tertentu secara berulang-ulang dan konsumen mempunyai keterlibatan tinggi dalam pembeliannya. Perilaku konsumen seperti ini menghasilkan tipe perilaku konsumen yang loyal terhadap brand. Ketiga, perilaku konsumen yang melakukan pembeliannya konsumen merasa kurang terlibat. Perilaku pembelian seperti ini menghasilkan tipe perilaku konsumen yang terbatas dalam membuat keputusan. Keempat, perilaku konsumen yang dalam pembelian atas suatu brand produk berdasarkan kebiasaan, dan pada saat melakukan pembelian konsumen merasa kurang terlibat. Perilaku seperti ini menghasilkan perilaku konsumen tipe inertia. Inertia merupakan perilaku konsumen yang berulang kali dilakukan, tetapi sebenarnya konsumen itu tidak loyal karena mengubah pilihan brand-nya jika ada stimulus yang menarik.
Assael (1992) mengidentifikasi kapan konsumen mempunyai keterlibatan tinggi terhadap suatu produk sebagai berikut:
1.
Apakah produk itu penting bagi konsumen. Dalam hal ini apakah produk itu menjadi citra diri bagi konsumen (misalnya pemilikan mobil merupakan simbol status dan identitas diri)
2.
Apakah produk itu secara terus menerus menarik bagi konsumen. Misalnya kesadaran konsumen pada mode menyebabkan pembelian terhadap pakaian
60
3.
Apakah produk membawa atau menimbulkan risiko. Produk-produk yang mempunyai risiko tinggi baik risiko keuangan maupun risiko sosial, misalnya pembelian rumah, pembelian mobil, pembelian komputer dan sebagainya biasa dikategorikan produk keterlibatan tinggi.
4.
Mempunyai daya tarik emosional. Misalnya konsumen yang menyenangi musik akan terdorong untuk membeli sistem stereo baru.
5.
Apakah produk-produk itu bisa diidentifikasikan pada norma-norma kelompok. Misalnya produk-produk yang menjadi simbol kelompok, seperti Harley Davidson, Mercedez, BMW dan lain sebagainya.
Perilaku pembelian keterlibatan rendah terjadi ketika konsumen dalam pembeliannya tidak begitu terlibat. Dengan perkataan lain, konsumen tidak terlalu memikirkan brand produk apa yang harus dibelinya, di mana harus dibeli, dan hal-hal lain yang harus dibeli. Bagi konsumen yang tidak begitu terlibat dalam pembeliannya, brand apapun sebenarnya tidak menjadi soal yang penting tingkat kepuasan minimalnya terpenuhi. Walaupun karakteristik perilaku pembelian lebih banyak menunjukkan kurang terlibatnya konsumen dalam pembelian (Hupfer and Gardner dalam Sutisna 2001:46), tetapi mengapa para pemasar berusaha mengarahkan pada perlikau pembelian konsumen dengan keterlibatan tinggi. Terdapat dua alasan untuk itu, pertama; lebih mudah mempengaruhi konsumen ketika para pemasar menganggap bahwa ada proses kognitif dalam evaluasi brand. Manfaat produk dapat diarahkan kepada segmen sasaran dalam usahanya mengubah sikap terhadap brand. Dengan perkataan lain, pemasar menginformasikan kepada
61
segmen sasaran manfaat-manfaat produk yang ditawarkannya. Alasan kedua mengapa pemasar cenderung memfokuskan perhatiannya pada keputusan yang keterlibatannya tinggi; yaitu pemasar berasumsi bahwa urutan dalam proses memilih (disebut hierarki pengaruh) konsumen berpikir dahulu sebelum bertindak. Asumsi para pemasar, konsumen terlebih dahulu membentuk kepercayaan terhadap brand, mengevaluasi brand, dan membuat keputusan pembelian. Perbandingan hierarki keterlibatan tinggi dan keterlibatan rendah dapat dilihat di Tabel 2.2 di bawah ini: Tabel 2.2 Perbandingan Hierarki Keterlibatan Tinggi (High Involvement) dan Keterlibatan Rendah (Low Involvement) No Hierarki Keterlibatan Tinggi 1 Kepercayaan terhadap brand pertama kali dibentuk oleh pembelajaran aktif
No Hierarki Keterlibatan Rendah 1 Kepercayaan terhadap brand pertama kali dibentuk oleh pembelajaran pasif
2
Brand dievaluasi
2
Setelah itu keputusan dibuat
3
Keputusan pembelian dibuat
3
Setelah pembelian, brand mungkin dievaluasi mungkin juga tidak
Sumber: Sutisna (2001:47) Memperhatikan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk untuk produk pariwisata Bali dengan brand-nya ”Bali Shanti, Shanti, Shanti” termasuk dalam kategori keterlibatan tinggi,
di mana dalam proses pembelian produk
wisata seorang calon wisatawan tentu akan melakukan pembelajaran secara aktif dan kompleks, namun produk wisata memiliki karakter yang spesial yaitu proses produksinya berlangsung bersamaan dengan proses konsumsinya atau dengan kata
62
lain bisa dirasakan setelah keputusan dibuat dan berkunjung ke Bali maka brand itu kemudian di evaluasi ataupun tidak dievaluasi, hal tersebut menunjukkan juga bahwa produk pariwisata dalam proses pembeliannya termasuk dalam kategori keterlibatan rendah.
Berikut adalah teori-teori yang yang dapat memahami
bagaimana konsumen memilih produk .
2.2.7.1 Teori Pembelajaran Pasif Teori yang dikemukakan oleh Krugman (1965) ini sebenarnya membicarakan media televisi sebagai sarana pembelajaran yang pasif. Artinya, seluruh informasi yang ditayangkan di televisi merupakan informasi yang datang menghampiri penonton/konsumen, dan bukan penonton yang mencari-cari informasi/iklan di televisi. Hampir bisa dipastikan bahwa orang menonton televisi adalah karena ingin menonton acara intinya dan bukan menonton selingan iklan. Oleh karena itu, ketika konsumen melihat iklan televisi dia berada dalam kondisi pasif. Krugman membuat hipotesis bahwa televisi adalah media keterlibatan rendah yang menghasilkan pembelajaran pasif. Krugman juga mempertanyakan mengapa media televisi mampu menghasilkan daya ingat brand yang tinggi, tetapi menghasilkan sedikit perubahan dalam sikap terhadap brand. Krugman beralasan karena pada saat konsumen menerima stimulus iklan dia tidak menghubungkan dengan kebutuhanya, kepercayaan terhadap brand-nya, dan pada masa lalunya. Dengan perkataan lain, ketika penonton televisi menonton melihat iklan obat sakit kepala, pada saat itu dia tidak mengalami sakit kepala. Sedangkan daya ingat yang melekat pada konsumen atas stau brand tertentu karena
63
konsumen sering melihat iklan brand itu di televisi. Jadi daya ingat yang melekat pada benak konsumen dibangun dengan penayangan iklan yang berulang-ulang. Implikasi dari teori dapat diidentifikasi sebagai berikut. Pertama, bagaimana penerapannya pada media sebagai sarana memasang iklan. Berdasarkan teori pembelajaran pasif, produk-produk yang dibeli dengan tingkat keterlibatan rendah sebaiknya memasang iklan pada televisi dan radio. Majalah dan surat kabar kurang cocok untuk iklan produk-produk yang dibeli dengan keterlibatan rendah, tapi lebih cocok untuk iklan untuk produk-produk dengan keterlibatan tinggi. Produk yang dibeli dengan tingkat keterlibatan tinggi, biasanya produk-produk yang secra teknis rumit, harganya mahal dan bisa dijadikan simbol kelas atau kelompok. Oleh karena itu, spesifikasi produk perlu diinformasikan dalam iklan. Konsumen yang mempunyai keterlibatan tinggi terhadap produk yang ingin dibelinya biasanya akan aktif mencari informasi, sehingga jika iklan itu ditayangkan di televisi akan sangat tidak efektif dan tidak efisien. Kedua, teori Krugman juga mempunyai implikasi pada sifat iklan yang harus ditampilkan. Krugman menyatakan juga bahwa jika konsumen dalam keadaan pasif dan tidak mempunyai kepentingan terhadap brand produk yang diiklankan, evaluasi brand tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu menampilkan iklan yang bersifat informasional akan kurang berguna. Sebaiknya iklan menampilkan sisi lain yang tidak berisfat informasional, tetapi bisa berupa simbol, atau penimbulan kesan untuk menyampaikan pesan kepada konsumen.
64
Pada Tabel 2.3 keterlibatan rendah yang memandang konsumen adalah pasif dan keterlibatan tinggi yang memandang konsumen adalah aktif.
Tabel 2.3 Keterlibatan Rendah, Pembelajaran Pasif, Keterlibatan Tinggi, dan Pembelajaran Aktif Keterlibatan Rendah dan Pembelajaran Pasif 1. Konsumen mempelajari informasi secara acak 2. Konsumen sebagai pengumpul informasi 3. Konsumen merupakan audiens yang pasif terhadap iklan, sehingga hasilnya pengaruh pada konsumen kuat. 4. Konsumen membeli dulu brand produk, baru kemudian jika diperlukan mengevaluasinya 5. Tingkat kepuasan konsumen mempunyai rentang yang luas, shingga dalam proses pembeliannya konsumen berdasarkan pada sedikit atribut. 6. Karakteristik kepribadian dan gaya hidup tidak berhubungan dengan perilaku pembelian, karena produk tidak secara erat behubungan dengan identitas dan sistem kepercayaan konsumen 7. Kelompok rujukan mempunyai sedikit pengaruh pada pilihan produk karena produk tidak mungkin dihubungkan dengan norma dan nilai-nilai kelompok.
1. 2. 3.
4. 5.
6.
7.
Keterlibatan Tinggi dan Pembelajaran Aktif Konsumen adalah pemroses informasi Konsumen adalah pencari informasi Konsumen merupakan audiens yang aktif untuk iklan, sehingga iklan kurang mempunyai pengaruh pada konsumen Konsumen mengevaluasi brand sebelum melakukan pembelian Konsumen mencari tingkat kepuasan maksimal dari apa yang diharapkan sebelumnya, sehingga konsumen akan membandingkan brand produk yang satu dengan yang lainnya secara hatihati dengan mendasarkan pada banyak atribut produk Kepribadian dan gaya hidup berhubungan dengan perilaku konsumen, karena produk mempunya hubungan yang erat dengan identitas dan system kepercayaan konsumen. Kelompok rujukan mempunyai pengaruh pada perilaku konsumen karena produk bias dihubungkan dengan norma dan nilai-nilai kelompok.
Sumber : Sutisna (2001:52) 2.2.7.2 Teori Social Judgement
Teori kedua yang dikemukan oleh Sherif (1961) ini menjelaskan perilaku pembelian keterlibatan rendah yaitu pertimbangan penilaian sosial. Sherif juga
65
mengidentifikasi ruang gerak rentang penerimaan, ruang gerak rentang penolakan dan ruang gerak tidak mempunyai komitmen. Individu yang tingkat keterlibatannya tinggi terhadap suatu masalah akan mempunyai ruang gerak/rentang penerimaan yang sempit. Sementara individu yang tidak begitu terlibat dalam proses pembelian produk, akan mempunyai ruang gerak penerimaan yang luas atas masalah yang dihadapinya. Teori penilaian sosial dari Sherif juga mengidentifikasi pengaruh asimilasi. Pengaruh asimilasi terjadi ketika konsumen menerima informasi yang jatuh pada ruang gerak rentang penerimaan. Informasi yang jatuh pada ruang gerak rentang penerimaan akan diterima lebih positif dari yang sebenarnya. Di sisi lain, jika informasi yang diterima jatuh pada rentang penolakan, individu akan mempunyai interpretasi yang lebih negatif dari yang sebenarnya. Implikasi dari teori ini terhadap perilaku konsumen yaitu bahwa konsumen yang mempunyai keterlibatan tinggi akan mempunyai ruang penerimaan yang sempit atas berbagai informasi. Dapat dikatakan konsumen seperti ini mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap brand. Dia akan berusaha menghindari informasi-informasi yang tidak sesuai dengan loyalitas brand-nya. Sementara itu konsumen yang mempunai keterlibatan yang rendah akan mempunyai ruang penerimaan yang luas dan banyak. Konsumen seperti ini tidak mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap brand tertentu. Konsumen bisa mengubah pilihan brandnya kapan saja tanpa proses yang rumit. Implikasi lainnya yaitu konsumen berusaha menghindari informasi yang tidak sesuai dengan ruang
66
gerak penerimaanya, dan mencari atau menerima informasi yang sesuai dengan ruang gerak penerimaannya.
2.2.7.3 Teori Model Kemungkinan Elaborasi Teori ini dikemukakan oleh Petty & Cacioppo (1986). Model
ini
menunjukkan cara bagaimana konsumen memproses informasi dalam kondisi keterlibatan tinggi dan keterlibatan rendah. Model ini memberikan rangkaian kesatuan mulai dari pemrosesan informasi yang detail sampai pada pemrosesan informasi yang bersifat tambahan, pelengkap, atau bukan hal yang pokok. Konsumen yang mempunyai keterlibatan tinggi terhadap suatu produk, akan memfokuskan pemrosesan informasi pada yang inti dan detailnya. Sedangkan konsumen yang mempunyai keterlibatan yang rendah akan lebih memperhatikan informasi pada unsur-unsur yang bukan inti dari iklannya. Petty dan Cacioppo juga menemukan bahwa konsumen yang lebih terlibat lebih mungkin dipengaruhi oleh kualitas pesan yang kuat, sedangkan konsumen yang keterlibatannya rendah lebih mudah dipengaruhi oleh pesan-pesan yang bukan hal yang pokok seperti musik, suasana, tampilan warna, dan sifat dari latar belakang iklan. Ditemukan juga bahwa konsumen yang tingkat keterlibatannya rendah lebih mungkin dipengaruhi oleh variasi pulasan dalam iklan misalnya kualitas cetakan, layout, gambar dari bintang iklan, warna dan lain-lain. Sementara itu konsumen yang lebih terlibat lebih mungkin dipengaruhi oleh variasi substansif seperti isi pesan yang berkenaan dengan manfaat dan atribut dari produk.
67
Hasil temuan di atas memberikan inspirasi pada bagaimana seharusnya iklan dirancang. Bagi konsumen yang lebih terlibat, iklan seharusnya menekankan pada isi pesan, sedangkan bagi konsumen yang kurang terlibat seharusnya menkankan pada unsur-unsur pelengkap dari iklan seperti musik, suasana, warna dan bintang iklan misalnya. Bagi iklan yang mengandalkan pada unsur pelengkap mengandung bahaya yaitu konsumen akan lebih banyak memperhatikan unsurunsur tambahannya saja sementara produk yang diiklankan konsumen sama sekali tidak memperhatikan bahkan tidak tahu. 2.2.7.4 Teori Pembelajaran Koginitif Menurut Assael (1992) dalam Sutisna (2001:49) Untuk tipe perilaku konsumen dengan keterlibatan tinggi dasar teorinya adalah teori pembelajaran kognitif. Teori dikemukakan oleh Bandura (1962) yang menyatakan bahwa konsumen berperilaku untuk menyelesaikan berbagai masalahnya. Timbulnya kebutuhan dan keinginan, dipandang sebagai masalah yang harus diselesaikan. Perilaku yang ditampilkan merupakan proses penyelesaian masalah. Kognitif melihat belajar sebagai proses pemecahan masalah bukannya proses pengembangan koneksi antara stimulus dan tanggapan. Dengan kata lain, teori kognitif menekankan proses berpikir yang dilibatkan didalam proses pembelajaran konsumen. Berdasarkan teori tersebut tugas pembelajaran didalam suatu lingkungan pasar baru dirumuskan sebagai berikut: (1) identifikasi brand, (2) evaluasi brand, dan (3) penetapan pola tingkah laku reguler berkenaan dengan merek yang dievaluasi. Teori pembelajaran kognitif lebih relevan untuk produk yang penting dan memerlukan keterlibatan tinggi.
68
2.3. Konsep Penelitian
Untuk membatasi dan mengarahkan penelitian perlu kiranya dilakukan elaborasi terhadap konsep-konsep tersebut di atas sebagai berikut: 2.3.1
Analisis Brand Equity Analisis yang dimaksudkan adalah teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu analisisis faktor konfirmatori terhdap faktor-faktor dari brand equity. Analisis faktor konfirmatori adalah adalah salah satu teknik yang cukup kuat dalam menganilisi model sederhana dalam melihat berfungsinya faktor di sebuah model structural. Dalam penelitian ini analisis ini digunakan untuk menjawab masalah dari penelitian ini yaitu mengetahui berfungsinya atau peran setiap faktor brand equity, yaitu brand awareness, brand association, brand perceived quality, dan brand loyalty untuk pada akhirnya melihat kekuatan brand itu sendiri. 2.3.2
Brand Pariwisata Bali ”Bali Shanti, Shanti, Shanti” Penelitian ini merujuk kepada pengertian yang dikemukakan Kotler bahwa
brand adalah nama, istilah, symbol, atau rancangan, atau kombinasi hal-hal tersebut yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi
barang atau jasa dari
seseorang atau kelompok penjual dan untuk membedaknnya dari produk pesaing. Seperti dikemukakan di awal begitu banyak brand pariwisata Bali yang telah terbentuk di benak wisatawan dengan sendirinya, namun sejak tanggal 16 Juni 2007 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan sebuah brand resmi destinasi wisata Bali beserta tag line-nya seperti yang terdapat pada Gambar 2.5 berikut :
69
Gambar 2.5 Logo dan Tag-Line Brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti “ Sumber : http://www.dipardabali.com/v2009/inc/diparda.php?id=9901 Brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti” mengambil konsep Tri Hita Karana yang berlandaskan hubungan antara manusia, lingkungan, dan spiritual. Dengan visi mewujudkan Bali sebagai salah satu tempat yang harmoni dan damai. Branding “Bali Shanti, Shanti, Shanti”, dapat di deskripsikan dalam empat bagian; tampilan visual logo, huruf yang digunakan, warna yang digunakan serta tag linenya itu sendiri yaitu Shanti, Shanti, Shanti.
Tampilan visual logo menggambarkan segitiga sama
sisi
yang
menggambarkan stabilitas dan keseimbangan dari tiga Dewa yang mengontrol jagad (Brahma, Wisnu, Siwa), juga merepresentasikan tiga tingkatan kosmos (Bhur, Bwah dan Swah Loca) seperti 3 tahapan dalam kehidupan (lahir, hidup, dan mati). Segitiga sama sisi juga merepresentasikan Tri Hita Karana sebuah filosofi dasar masyarakat Bali yang menuntun keseimbangan, dalam bahasa
70
sansekerta bermaksud ‘Tiga penyebab kesejahteraan, kemakmuran, dan keamanan’
melalui hubungan yang harmoni dengan Tuhan, dengan sesama
manusia, dan dengan lingkungan. Ukiran bunga yang simetris merepresentasikan kreativitas dari masyarakat Bali yang hidup secara damai dalam keseimbangan dengan alam. Huruf yang digunakan huruf “B” yang membentuk angka ‘3’ merepresentasikan hal yang disebutkan pada alinea sebelumnya, dan hurufnya serupa dengan ‘Ang’ karakter suci dari Dewa Brahma. Huruf “L” yang menjulang hingga hampir ke puncak menggambarkan komitmen yang kuat dari pemegang kebijakan secara menyeluruh untuk mencapai tujuan yang tinggi yang dilambangkan dengan mahkota. Penggunaan warna merah, hitam, dan putih (Tri Datu) merefleksikan tiga Dewa (Tri Murti). Merah melambangkan Dewa Brahma, Sang Pencipta. Putih melambangkan Dewa Wisnu, Sang Pemelihara. Hitam melambangkan Dewa Siwa, Sang Pelebur. Ketiga Dewa ini
akan memelihara dan melindungi
kehidupan dan kemakmuran Bali tumbuh dalam harmoni, berkelanjutan, dan dalam kedamaian. Tag Line ‘ Shanti, Shanti, Shanti’ diterjemahkan secara mudah artinya ‘damai, damai, damai’ . Oleh masyarakat Bali ‘Shanti’ diucapkan tiga kali dan diawali dan diakhiri dengan ‘Om’ (simbol suci untuk Tuhan). Dalam arti yang sebenarnya ‘Om Shanti, Shanti, Shanti Om’ adalah kesucian di dalam hati kita, dunia, dan jagad raya.
71
Setelah ditinjau dari maknanya selanjutnya di paparkan proses dari Bali branding itu sendiri. Proses Bali Branding terbagi dalam lima tahap. Tahap pertama;
Insight Finding (penemuan mendalam), di mana dalam proses ini
dilakukan wawancara mendalam dan diskusi berkelompok dengan pemegang kebijakan di Bali serta melakukan analisa kompetensi internal dan pesaing Bali. Tahap kedua; Penyamaan persepsi, di mana dalam tahap ini dilakukan diskusi yang sinergi dengan pemegang kebijakan di Bali, dan pengembangan visi dan misi dan nilai-nilai Bali. Tahap ketiga; perumusan identitas Bali, dalam tahap ini dilakukan pengembangan diferensiasi, pemosisian, dan kepribadian Bali serta pengembangan identitas visual Bali. Tahap keempat; perumusan strategi aktivasi brand Bali, dalam tahap ini dilakukan pengembangan taktik dan program eksternal dan internal Bali. Pada tahap terkahir yaitu tahap kelima, tahap implemantasi dan evaluasi, dalam tahap ini dilakukan eksekusi dan evaluasi program-program internal dan eksternal branding Bali. Dalam penelitian ini yang dimaksud brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti” adalah logo beserta tag-line nya.
2.3.3
Faktor Penentu Wisatawan Memilih Destinasi Pariwisata Bali Berdasarkan landasan teori yang dikemukakan oleh Homer dan Swarbook
dalam Sudibya (2004:96) terdapat dua faktor penentu keputusan untuk berlibur yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari motivasi personal, kepribadian, pendapatan, kesehatan, keputusan keluarga, keputusan pekerjaan, pengalaman di masa lalu, hobi dan ketertarikan, pengetahuan akan liburan yang potensial, gaya hidup, kebiasaan, opini dan persepsi. Sementara faktor eksternalnya terdiri dari keberadaan produk yang sesuai, saran dari agen
72
perjalanan, informasi yang didapat dari destinasi tujuan, melalui organisasi pariwisata dan media, rekomendasi teman atau keluarga, kebijakan politik, faktor kondisi kesehatan di daerah tujuan, promosi special dan iklim. Faktor yang dimaksud dalam penelitian ini adalah faktor eksternal di dalam memenentukan keputusan destinasi pariwisatanya. Bagaimana Brand “Bali Shanti, Shanti, Shanti” dipersepsikan sebagai gambaran atau simbol dari kondisi destinasi pariwisata Bali yang didapatkan dari media atau rekemondasi seseorang, sehingga mampu ditangkap maknanya kemudian mempengaruhi dan menarik wisatawan
membuat
keputusan
untuk
memilih
Bali
sebagai
destinasi
pariwisatanya. 2.4 Kerangka Berpikir Dilatarbelakangi pengetahuan akan pentingnya sebuah brand bagi destinasi pariwisata penelitian ini diawali. Bali memiliki brand pariwisata Bali Shanti, Shanti,Shanti yang merupakan brand resmi pariwisata Bali disamping brand yang sudah tertanam di benak wisatawan. Kemudian terdapat kritik terhadap brand tersebut oleh Diarta yang mengkritik hubungan brand dengan wisatawan. Latar belakang lain adalah belum ada penelitian brand equity terhadap suatu brand destinasi pariwisata. Berlatar belakang hal tersebut dirumuskan masalah
Bagaimanakah
peran
variabel
terhadap
faktor
brand
equity,
Bagaimanakah peran faktor –faktor brand equity terhadap kekuatan brand equity, dan Bagaimanakah kekuatan dari brand Bai “Shanti, Shanti,Shanti” Untuk membahas Penelitian ini menggunakan teori-teori brand, strategi brand, brand equity, faktor-faktor yang menentukan wisatawan memilih destinasi
73
pariwisata, wisatawan, destinasi pariwisata, dan beberapa teori untuk memahami konsumen memilih produk. Adapun teknik analisis faktor yang digunakan adalah teknik analisis konfirmatori terhadap 24 variabel dan empat faktor brand equity ”Bali Shanti, Shanti, Shanti, Shanti” yaitu brand awareness, brand association, brand perceieved quality, dan brand loyalty, kemudian dari keempat faktor tersebut terdapat 24 variabel yaitu pengenalan brand, pengakuan brand, pengingatan kembali brand, brand yang pertama kali muncul di benak wisatawan, fitur, manfaat, perilaku, wisatawan, situasi, hubungan dengan komunitas, keunikan, hubungan perasaan brand dengan wisatawan, kepribadian, Image, kualitas insan pariwisata, kualitas objek wisata, kualitas informasi yang diberikan, respon terhadap wisatawan, keseuaian janji dan kenyataan, wisatawan yang berpindah-pindah brand, wisatawan karena kebiasaan, wisatawan yang puas, wisatawan yang menyukai brand, wisatawan yang komit. Berdasarkan hasil analisis terhadap variabel dan faktor tersebut dapat ditentukan variabel mana yang memberikan peran yang cukup besar terhadap faktor, dan akan tampak peran masing-masing faktor, sehingga dari rata-rata peran masing-masing faktor tersebut akan diketahui kekuatan dari Brand Bali Shanti, Shanti, Shanti. Peneilitian ini juga meneliti apakah brand menjadi faktor penentu wisatawan berkunjung ke Bali. Dengan diketahuinya masing-masing peran dari varibel dan faktor brand equity akan muncul rekomendasi variabel mana yang harus dibenahi dan faktor mana yang harus dibenahi, atau harus dikaji ulang jika memang ternyata brand Bali “Shanti, Shanti, Shanti” bukan salah satu faktor penentu wisatawan berkunjung ke Bali.
74
2.5 Model Penelitian Brand Pariwisata Bali Shanti,Shanti, Shanti Pengenalan brand
Latar Belakang 1. Pentingnya sebuah brand bagi destinasi pariwisata 2. Kritik terhadap brand Bali “Shanti, Shanti, Shanti” 3. Belum ada penelitian brand equity terhadap brand sebuah destinasi pariwisata sebelumnya di Indonesia
Pengakuan brand
Brand Awareness
Pengingatan kembali brand Brand yang pertama kali muncul di benak wisatawan
Fitur Manfaat
Brand Association Attitude/perilaku
Masalah: 1. Bagaimana peran masingmasing variabel terhadap Faktor brand Equity? 2. Bagaimana peran masingmasing faktor brad equity terhadap kekuatan brand Bali Shanti,Shanti, Shanti? 3. Seberapa besar Kekuatan brand Bali Shanti, Shanti,Shanti?
Wisatawan /pengguna Situasi Hubungan dengan komunitas Keunikan Hubungan perasaan brand dengan wisatawan Kepribadian
Analisis Faktor Konfirmatori
Image
Kualitas insan pariwisata Brand Equity Brand Bali Shanti, Shanti Shanti
Brand Perceived Quality
Kualitas objek wisata Kulitas informasi yang diberikan Respon terhadap wisatawan Kesesuain janji dan kenyataan
Faktor wisatawan menentukan destinasi pariwisatanya.
Wisatawan yang berpindah-pindah brand
Brand Loyalty
Wisatawan karena kebiasaan Wisatawan yang puas Wisatawan yang menyukai brand
Gambar 2.6 Model Penelitian Wisatawan yang komit
Sumber: Diadaptasi dari Model Aaker