BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1.
Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah kajian hasil penelitian yang relevan dengan
permasalahan pada penelitian. Berdasarkan sumber referensi yang berhasil dikumpulkan, terdapat beberapa penelitian yang relevan untuk mendukung penelitian ini. Pertama, Narita (2009) meneliti mengenai tokoh pemimpin Jepang yaitu Tokugawa Ieyasu dalam skripsinya yang berjudul “Tokugawa Ieyasu dan Usahanya dalam Mempertahankan Kekuasaan Klan Tokugawa”. Tokugawa Ieyasu merupakan pemimpin Jepang setelah Toyotomi Hideyoshi dan kedua pemimpin ini memiliki kesamaan untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Narita, dijelaskan peran Tokugawa Ieyasu dalam membangun pemerintahan Tokugawa di Edo, sampai dengan perannya pada masa pemerintahan keshogunan Tokugawa. Penelitian yang dilakukan oleh
Narita
memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan kali ini. Penelitian Narita lebih menitikberatkan pada peranan Tokugawa Ieyasu dalam mempertahankan kekuasaannya sedangkan dalam penelitian yang dilakukan kali ini, dianalisis eksistensi Toyotomi Hideyoshi dalam usahanya meneruskan visi dari Oda Nobunaga untuk mempersatukan seluruh wilayah Jepang yang mengalami perang berkepanjangan. Penelitian Narita memberikan gambaran mengenai tokoh pemimpin dalam usahanya mempertahankan kekuasaan sehingga dalam penelitian
8
9
yang dilakukan kali ini bisa menggambarkan eksistensi kekuasaan Toyotomi Hideyoshi dan juga proses yang menyebabkan runtuhnya kepemimpinan Toyotomi Hideyoshi. Kedua, Marnita (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Kesetiaan Pada Tokoh-Tokoh Samurai dalam Komik Shanaou Yoshitsune Karya Sawada Hirofumi” menganalisis kesetiaan para samurai dalam memperjuangkan kehormatan klannya yang telah direbut oleh klan samurai lain. Budaya kesetiaan pengabdian bushi adalah kebudayaan yang terdapat di Jepang. Dalam skripsinya, Marnita mendeskripsikan kesetiaan pada masing-masing tokoh samurai, mendeskripsikan penyebab terjadinya perbedaan pandangan terhadap kesetiaan, dan mendeskripsikan makna kesetiaan pada setiap tokoh-tokoh samurai. Marnita dalam skripsinya menggunakan metode deskriptif yang termasuk dalam cakupan penelitian kualitatif dan pendekatan semiotik. Penelitian Marnita dengan penelitian yang dilakukan kali ini sama-sama menganalisis mengenai tokoh samurai. Penelitian Marnita memberikan gambaran tentang tokoh-tokoh samurai sehingga dalam penelitian yang dilakukan kali ini bisa menggambarkan eksistensi tokoh samurai yaitu Toyotomi Hideyoshi dalam usahanya mempersatukan seluruh wilayah Jepang. Penelitian yang dilakukan oleh Marnita memiliki perbedaan terhadap penelitian yang dilakukan kali ini. Marnita dalam penelitiannya menganalisis kesetiaan para samurai dalam memperjuangkan kehormatan klannya sedangkan dalam penelitian yang dilakukan kali ini, dianalisis tokoh samurai yaitu Toyotomi Hideyoshi dalam eksistensinya untuk mempersatukan Jepang. Selain
10
menganalisis eksistensi tokoh samurai yaitu Toyotomi Hideyoshi, juga dianalisis proses yang menyebabkan runtuhnya kepemimpinan Toyotomi Hideyoshi. Ketiga, Wibawarta (2008) menganalisis mengenai pemerintahan Tokugawa dalam bentuk artikel yang dimuat dalam sebuah jurnal dan diterbitkan di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Penelitian yang dilakukan kali ini juga menganalisis mengenai suatu pemerintahan yaitu pemerintahan Toyotomi Hideyoshi. Namun penelitian yang dilakukan Wibawarta lebih menitikberatkan pada bagaimana Belanda (VOC) masuk ke Jepang. Penelitian yang dilakukan oleh Wibawarta memberikan kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan kali ini karena dalam penelitiannya dianalisis pemerintahan seorang tokoh pemimpin Jepang setelah Toyotomi Hideyoshi yaitu Tokugawa Ieyasu dan dalam penelitian yang dilakukan kali ini juga menganalisis pemerintahan atau proses yang menyebabkan runtuhnya kepemimpinan Toyotomi Hideyoshi. Namun penelitian yang dilakukan kali ini lebih menitikberatkan pada eksistensi tokoh pemimpin Toyotomi Hideyoshi baik berupa kepemimpinannya, maupun strategi-strategi perangnya. 2.2. Konsep Dalam penelitian ini digunakan beberapa konsep, yaitu sebagai berikut.
2.2.1. Eksistensi Para
eksistensialis
menafsirkan
keberadaan
(existence)
menurut
etimologinya. Istilah existence berasal dari kata bahasa latin existo, yang terdiri dari dua suku kata, ex dan sistere yang berarti muncul, menjadi atau hadir. Oleh karena itulah mengapa para eksistensialis memahami keberadaan manusia bukan
11
semata-mata sebagai „ada‟ yang statis dan selalu sama, melainkan sebagai penciptaan dirinya, yang secara sinambung berubah dan berkembang. Manusia disebut ada dalam dunia dan secara tak terhindarkan terikat pada dunia. Anggapan ini merupakan aksioma dasar eksistensialisme, yang digunakan untuk menerangkan akar masalah-masalah eksistensial manusia dan analisis terhadapnya merupakan subjek sentral dari tulisan-tulisan para eksistensialis. Menurut Sartre, yang menandai manusia sebagai makhluk terbaik adalah kebebasan dan kesanggupannya untuk memilih. Bagaimanapun, kebebasan bukan semata-mata suatu kualitas atau atribut yang dimiliki oleh manusia, sebab manusia itu sendiri adalah kebebasan dan oleh karena itu, dia bisa memilih dan memutuskan setiap saat. Manusia tiada lain adalah rencananya sendiri, ia mengada hanya sejauh ia memenuhi dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia tiada lain adalah kumpulan dari tindakan-tindakannya yaitu hidupnya sendiri (Misiak & Sexton, 2005:80-84).
2.3.2 Kekuasaan Kekuasaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan organisasi. Para pemimpin menggunakan kekuasaan untuk memperkuat posisi mereka. Istilah kekuasaan dan pengaruh seringkali digunakan secara bergantian dalam beberapa literatur, meskipun kedua istilah tersebut memiliki sedikit perbedaan. Menurut Ivancevich (dalam Burhanudin dan Sunyoto, 2011:114) kekuasaan (power) menunjukkan kemampuan (capability) membuat orang lain melakukan
12
sesuatu sedangkan pengaruh (influence) adalah penggunaan kemampuan tersebut. Kekuasaan adalah potensi yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain, sedangkan pengaruh adalah kekuasaan yang tampil dalam wujud tindakan nyata (action). Menurut Reksohadiprodjo dan Handoko (dalam Burhanudin dan Sunyoto, 2011:114) kekuasaan merupakan pengaruh laten, sedangkan pengaruh merupakan kekuasaan yang direalisasikan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk memiliki pengaruh. Memiliki kekuasaan berarti memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku atau sikap individu lain. Greenberg dan Baron (dalam Burhanudin dan Sunyoto,
2011:114)
mendefinisikan
kekuasaan
sebagai
potensi
untuk
mempengaruhi orang lain dengan sukses. Hal ini dapat diartikan bahwa kekuasaan merupakan kapasitas mengubah sikap atau perilaku orang lain sesuai dengan yang diinginkan. Kekuasaan merupakan alat untuk mempengaruhi orang lain agar melakukan sesuatu. Kekuasaan dapat digunakan untuk mengarahkan tindakan orang lain baik untuk kepentingan organisasi maupun kepentingan pribadi. Kekuasaan merupakan hal penting dalam organisasi, dapat digunakan etis dan bertanggung jawab, tetapi dapat pula disalahgunakan.
2.3. Kerangka Teori Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
13
2.2.1. Teori Sosiologi Sastra Secara teoretis karya fiksi dapat dibedakan dengan karya nonfiksi, walaupun pembedaan itu tidak bersifat mutlak, baik yang menyangkut unsur kebahasaan maupun unsur isi permasalahan yang dikemukakan, khususnya yang berkaitan dengan data-data faktual dan realitas. Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, menurut Altenbernd dan Lewis, fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung
kebenaran
yang
mendramatisasikan
hubungan-hubungan
antarmanusia (Nurgiyantoro, 2002:2-3). Sebuah novel sengaja dikreasikan oleh pengarang, dibuat mirip, diimitasikan dan atau dianalogikan dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwaperistiwa dan latar aktualnya sehingga tampak seperti sungguh ada dan terjadi, juga terlihat berjalan dengan sistem koherensinya sendiri. Dalam dunia kesastraan terdapat suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Karya sastra yang demikian, oleh Abrams disebut sebagai fiksi historis (historical fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah, fiksi biografis (biographical fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta biografis, dan fiksi sains (science fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta ilmu pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi tersebut dikenal dengan sebutan fiksi nonfiksi (nonfiction fiction) (Nurgiyantoro, 2002:4). Goldmann
(dalam
Anwar,
2010:107-109)
mencoba
menjelaskan
kompleksitas struktur sastra dengan membangun perspektif tentang sosiologi
14
novel. Goldmann, dalam karyanya Towards A Sociology of The Novel (1964), secara komprehensif mengulas tentang kompleksitas struktur novel. Goldmann lalu membangun konsepsi tentang novel sebagai sebuah cerita (story) yang didasarkan pada upaya mencari realitas yang tergradasi (a degraded reality). Goldmann menegaskan posisi novel yang merangkum dua situasi dalam bentuk dialektika-alamiah antara komunitas dari tokoh yang menjadi “pahlawan” (hero) dengan dunianya. Baik tokoh dan dunianya sama-sama berelasi dalam situasi yang terdegradasi. Situasi terdegradasi adalah sebuah kondisi yang terkait dengan pencarian nilai-nilai otentik untuk menemukan totalitas. Situasi terdegradasi, sebagaimana dijelaskan oleh Lukacs, adalah munculnya sebuah jurang antara tokoh “hero” dan dunianya yang tidak tertengahi. Berdasarkan pandangan Girard dan Lukacs, Goldmann sampai pada kesimpulan tentang permasalahan mendasar dalam sosiologi novel, pertama tentang posisi novel sebagai bagian dari sebuah sejarah, kedua tentang posisi novel sebagai sebuah biografi, dan ketiga tentang posisi novel sebagai kronik sosial yang merefleksikan suatu kondisi sosial dalam masa tertentu. Teori ini digunakan untuk menganalisis sosiologi yang terkandung dalam karya sastra. Selain itu, teori ini juga digunakan untuk membedakan karya fiksi dan nonfiksi.
2.2.2. Teori Eksistensialisme Menurut Sartre (dalam Hassan, 1976:133-134), manusia ada sebagai dirinya sendiri dengan kesadaran. Dengan demikian maka “ada” tidak dapat dipertukarkan. Hal ini jugalah yang menyebabkan manusia berbeda dari benda-
15
benda atau hal-hal lain. Dengan kata lain, bagi manusia, eksistensi adalah keterbukaan. Ini berarti bahwa manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan pernah berhenti dengan keinginan-keinginannya. Sebagai eksistensi yang ditandai dengan keterbukaan menjelang masa depannya maka manusia pun merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk dirinya tersebut, ia memiliki kebebasan untuk memilih yang baik dan kurang baik untuk dirinya sendiri. Pilihan itu adalah pilihannya sendiri tanpa melibatkan orang lain. Ini mengandung arti bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Apapun jadinya eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan kepada eksistensinya itu, tiada lain adalah dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dalam membentuk dirinya sendiri itu, manusia mendapat kesempatan setiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif-alternatif yang dihadapinya adalah pilihannya sendiri. Ia tidak bisa mempersalahkan orang lain, tidak pula bisa menggantungkan keadaannya kepada Tuhan. Kierkegaard (dalam Hassan, 1976:25-31) menyatakan bahwa manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Manusia akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Kemudian ia harus mampu menempatkan diri di salah satu pihak yaitu yang baik atau yang buruk. Manusia bebas untuk memilih dan membuat keputusan yang artinya ia harus mampu mempertanggungjawabkan dirinya sendiri. Karena kesediaannya bertanggung jawab, maka kebebasannya untuk memilih dan memutuskan menjadi bermakna. Setiap orang harus lebih
16
dahulu menetapkan bagi dirinya sendiri yaitu siapa dia, lalu memutuskan ingin jadi apa dia, dan barulah kemudian ia bertindak sesuai dengan pilihannya yang telah diungkapkan sebagai keputusan baginya. Mengada sebagai manusia bukanlah sekedar sebagai suatu fakta, tetapi lebih dari itu karena eksistensi bagi manusia adalah tugas. Eksistensi yang sejati menjadi tugas bagi setiap manusia karena eksistensi yang demikian itu disertai oleh tanggung jawab. Tidak seperti sekedar berada dalam massa, eksistensi yang sejati memungkinkan individu memilih dan mengambil keputusan serta bertindak atas tanggungjawabnya sendiri. Penghayatan manusia tentang kesejarahan merupakan salah satu sebab timbulnya kemampuan untuk menghayati eksistensinya sebagai kebebasan. Bagi Berdyaev (dalam Hassan, 1976:89), justru sejarahlah yang menegaskan bahwa mengada sebagai manusia adalah mengada dalam kebebasan. Menurut Jaspers (dalam Hassan, 1976:113), betapapun eksistensi dihayati sebagai kebebasan dan keterbukaan, betapapun ketidakpastian memungkinkan kita menghayati eksistensi sebagai sesuatu yang tak kunjung tertutup dan mantap, kita tidak mungkin menghindarkan diri dari maut sebagai kepastian yang paling mantap. Maut melekat pada eksistensi sebagai suatu situasi batas yang tidak bisa dielakkan. Maut akan mengakhiri eksistensi pada suatu saat yang tidak bisa ditentukan sebelumnya (Hassan, 1976:89-113). Teori eksistensialisme ini digunakan untuk menganalisis eksistensi Toyotomi Hideyoshi dalam novel Toyotomi Hideyoshi no Keiei Juku karya Kitami Masao.
17
2.3.3
Teori Otokratis dan Pemimpin Otokratis G.R. Terry (dalam Kartono, 1983:45-46) mengemukakan sejumlah teori
tentang kepemimpinan, salah satunya adalah teori otokratis dan pemimpin otokratis. Kepemimpinan menurut teori ini didasarkan atas perintah-perintah dan pemaksaan, juga tindakan-tindakan yang bersifat arbitrer. Ia melakukan pengawasan yang ketat agar semua pekerjaan berlangsung secara efisien. Pemimpin yang pada dasarnya berambisi untuk merajai situasi disebut otokrat keras. Ciri-ciri khasnya ialah, dia memberikan perintah-perintah yang dipaksakan, dan selalu harus dipatuhi. Dia menentukan policies atau kebijakan untuk semua pihak, tanpa berkonsultasi dengan para anggota. Dia tidak pernah memberikan informasi mendetail tentang rencana-rencana yang akan datang, akan tetapi hanya memberitahukan pada setiap anggota kelompoknya langkah-langkah segera atau langsung yang harus diambil. Pada intinya otokrat keras memiliki sifat-sifat tepat, seksama dan sesuai dengan prinsip, namun keras dan kaku. Otokrat berasal dari kata autos yaitu sendiri, dan kratos yaitu kekuasaan, kekuatan. Jadi otokrat berarti penguasa absolut. Kepemimpinan otokratis itu mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang selalu harus dipatuhi. Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai “pemain tunggal” pada “a one-man show”. Dia sangat berambisi untuk merajai situasi. Pemimpin otokratis itu senantiasa ingin berkuasa mutlak dan tunggal, dan selalu merajai keadaan (Kartono,1983: 53). Dahrendorf (dalam Berry,2003:209) membicarakan suatu bentuk khusus dari kekuasaan yaitu otoritas. Otoritas merupakan suatu tipe dari hubungan sosial
18
yang terdapat dalam setiap organisasi sosial. Otoritas juga merupakan unsur yang universal dari struktur sosial yaitu adanya yang berkuasa dan dikuasai adalah hal yang biasa terdapat dalam setiap bentuk otoritas. Otoritas, seperti diutarakan Max Weber (dalam Berry, 2003:216-217), biasanya didefinisikan oleh para ahli sosiologi sebagai kekuasaan yang sah. Jadi, kekuasaan menjadi otoritas apabila penggunaannya dianggap sah dan benar sesuai dengan mereka yang tunduk di bawahnya.
Walaupun pada umumnya dapat
dikatakan bahwa otoritas adalah penggunaan kekuasaan yang sesuai dengan keteraturan normatif, tetapi dalam kenyataanya hal yang sesuai dengan keteraturan normatif tidak selalu diterima dan dianggap suatu hal yang sah dan benar. Dalam eksistensialisme, eksistensi merupakan keterbukaan. Hal itu berarti bahwa manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan pernah berhenti dengan keinginan-keinginannya. Eksistensialisme dalam kaitannya dengan pemimpin otokratis yaitu sebagai eksistensi ia merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri sebab ia memiliki kebebasan untuk memilih yang baik dan yang kurang baik untuk dirinya sendiri. Pilihan itu adalah pilihannya sendiri dengan tanpa melibatkan orang lain, karena pemimpin otokratis itu senantiasa ingin berkuasa mutlak dan tunggal, dan ingin selalu merajai keadaan. Adanya yang berkuasa dan dikuasai merupakan hal yang biasa terdapat dalam setiap bentuk otoritas. Teori ini digunakan untuk menganalisis kekuasaan yang menyebabkan runtuhnya kepemimpinan Toyotomi Hideyoshi.