10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan, baik berupa skripsi maupun hasil penelitian lainnya, terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Berikut merupakan beberapa contoh hasil penelitian yang digunakan sebagai perbandingan dalam melakukan penelitian ini, yaitu; Dzurahmah (2008) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Aspek Sosiologis Tokoh Gals Dalam Manga Gals! Karya Mihona Fuji” membahas mengenai gambaran kehidupan kaum gals yakni sebutan untuk remaja perempuan Jepang yang suka berdandan habis-habisan mengikuti trend yang terbaru yang tidak segan-segan menjual diri demi mendapatkan uang untuk berdandan mengikuti mode. Mereka sangat mudah dikenali dengan dandanan yang menonjol jika dibandingkan dengan orang kebanyakan. Penelitian ini membahas mengenai latar belakang munculnya komunitas gals di Jepang dan mendeskripsikan kehidupan sosial komunitas gals yang menjadi tokoh utama dalam manga ini. Teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra dan teori semiotika. Melalui hasil analisis penelitian ini, dapat diketahui karakteristik tokoh-tokoh dalam manga Gals! karya Mihona Fuji yang dibagi menjadi sepuluh tokoh dan aspek sosial yang terjadi dipaparkan melalui analisis dialog tokoh-tokoh tersebut. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan terletak pada objek
11
kajiannya yaitu remaja yang melakukan perilaku yang menyimpang, namun bedanya dalam penelitian yang akan dilakukan membahas mengenai fenomena remaja nakal atau yanki pada sebuah sekolah khusus laki-laki dan lebih membahas mengenai kehidupan, faktor penyebab, dan dampak yanki dalam masyarakat Jepang. Kusyanti (2012) dalam skripsi berjudul “Perilaku Menyimpang TokohTokoh dalam Komik Raifu Karya Keiko Suenobu” membahas mengenai perilaku menyimpang yang terjadi pada masyarakat Jepang yang terlihat pada manga Raifu karya Keiko Suenobu. Hasil yang diungkapkan dalam penelitian ini adalah banyaknya perilaku menyimpang yang terjadi di masyarakat Jepang, yaitu ijime, bunuh diri, melukai diri sendiri, menggunakan obat-obatan terlarang, dan merokok. Metode dan teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka untuk mengumpulkan data yang dilanjutkan dengan teknik catat, pada tahap penganalisisan data metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dan metode dialektik. Metode dialektik digunakan untuk mengkaji hubungan timbal balik antara karya sastra dan fenomena sosial yang sesungguhnya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan terletak pada permasalahan yang diangkat yakni tentang perilaku menyimpang yang berkaitan dengan kenakalan remaja, namun dalam penelitian yang dilakukan lebih menekankan pada kenakalan remaja yang dilakukan tokoh-tokoh dalam manga Crows karya Hiroshi Takahashi dan membahas mengenai kehidupan kaum yanki dalam manga tersebut.
12
Pramartha (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Kehidupan Yakuza Dalam Novel Asakusa Bakuto Ichidai karya Junichi Saga Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra” membahas mengenai hal yang berkaitan dengan dunia yakuza dalam novel Asakusa Bakuto Ichidai karya Junichi Saga. Dalam skripsi ini dibahas mengenai kelompok Yakuzai yang masih mempertahankan nila-nilai tradisional Jepang dalam interaksinya dengan orang di dalam maupun di luar organisasi yakuza. Skripsi ini juga membahas bagaimana hubungan oyabun-kobun yang terdapat dalam interaksi yang dilakukan oleh para anggota kelompok yakuza tersebut. Selain hubungan oyabun-kobun, dibahas juga mengenai aspek sosial lainnya yang identik dengan dunia yakuza, yaitu tradisi irezumi dan yubitsume, serta hubungan senpai-kouhai dan perbandingan kehidupan yakuza di dalam novel dengan kehidupan yakuza yang asli pada masyarakat Jepang. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada objek kajiannya yaitu yakuza dan yanki,yang sama-sama merupakan kelompok atau organisasi yang beranggotakan orang-orang yang melakukan tindak perilaku menyimpang, kenakalan, hingga aksi kriminal. Perbedaannya penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian milik Pramartha adalah, penelitian yang akan dilakukan akan membahas mengenai generasi muda di Jepang yang melakukan kenalakan dan berbagai perilaku menyimpang yang disebut yanki. Para Yanki memiliki berbagai masalah di kehidupannya, seperti tidak suka bersekolah, terlibat geng motor dan perkelahian, dan lain sebagainya sehingga mereka sulit diterima masyarakat sehingga banyak dari mereka memiliki
13
keinginan untuk bergabung dengan yakuza. Sedangkan penelitian milik Pramartha menekankan pada kehidupan yakuza yang melakukan kejahatan yang terorganisir.
2.2 Konsep Dalam penelitian ini digunakan beberapa konsep yang perlu dijelaskan lebih lanjut, hal tersebut antara lain: 2.2.1 Perilaku menyimpang Perilaku menyimpang adalah perilaku dari warga masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan, atau norma sosial yang berlaku (Budirahayu dalam Narwoko dan Suyanto, 2004:98). Perilaku menyimpang bisa terjadi apabila ada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan sesuatu yang menurut anggapan kelompok masyarakat yang lebih besar atau masyarakat umum itu berbeda dari aturan-aturan yang disepakati dan berlaku di tempat tinggal atau daerah tempat masyarakat ini tinggal. Penyimpangan atau yang disebut dengan istilah deviasi diartikan juga sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tendasi atau ciri-ciri karakteristik masyarakat secara umum. Selain itu, pada umumnya perilaku menyimpang tidak bisa diterima oleh masyarakat secara umum (Kartono, 2005 : 11-14). Penyimpangan primer (primary deviance) adalah penyimpangan seperti yang dialami seseorang pada saat dirinya tidak menyadari apabila hal yang dilakukannya adalah penyimpangan yang mungkin saja mengarahkannya untuk melakukan penyimpangan yang lebih besar. Penyimpangan sekunder (secondary deviance) adalah perilaku menyimpang yang mendapat penguatan melalui
14
keterlibatan orang atau kelompok yang juga menyimpang, dan apabila hal ini dibiarkan tanpa kontrol sosial dari masyarakat disekitarnya, bukan tidak mungkin hal ini akan menjurus ke tindakan kriminal yang lebih berat. Perilaku menyimpang tidak hanya bisa dilakukan oleh perorangan saja, namun tidak jarang hal ini dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Biasanya, faktor penyebab suatu kelompok melakukan perilaku menyimpang adalah karena di dalam kelompok tersebut terdiri dari orang-orang yang mendapatkan cap sebagai orang yang melakukan penyimpangan.
2.2.2 Kenakalan Remaja Kenakalan remaja atau Juvenile deliquency dapat diartikan sebagai suatu kelalaian tingkah laku, atau tindakan dari remaja yang bersifat asosial serta melanggar norma-norma yang ada di masyarakat. Bentuk-bentuk kenakalan tersebut antara lain tindakan-tindakan seperti membolos sekolah, merokok, melanggar aturan sekolah, dan sebagainya. Ciri pokok dari kenakalan remaja adalah yang pertama, adanya tingkah laku yang melanggar hukum yang berlaku dan pelanggaran nilai-nilai moral. Kedua, kenakalan tersebut bertentangan dengan norma sosial yang berlaku di sekitarnya, lalu yang ketiga adalah dilakukan oleh mereka yang digolongkan ke dalam usia remaja, yakni dari usia 12 hingga 21 tahun, dan kenakalan remaja dapat dilakukan secara berkelompok. (Musbikin, 2013: 14).
15
Penyebab dari kenakalan remaja antara lain adalah kurangnya perhatian dan pendidikan yang diberikan oleh orang tua di rumah dimana remaja itu tinggal, serta kurangnya teladan dari orang tua sebagai contoh untuk anak-anaknya dan kurangnya pendidikan mengenai agama (Musbikin, 2013: 21—22). Kartini Kartono dalam Musbikin, 2013 mengatakan bahwa ada empat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja, yang pertama adalah faktor internal atau faktor yang berasal dari diri remaja tersebut yang berkaitan dengan kejiwaannya. Yang kedua faktor yang berasal dari keluarga. Lingkungan keluarga merupakan kehidupan sosial yang terkecil yang harus memberikan contoh yang baik untuk anaknya, apabila lingkungan keluarga memberikan pengaruh negatif maka besar kemungkinan anak akan melakukan kenakalan. Ketiga, faktor lingkungan masyarakat secara langsung atau tidak langsung sangat mempengaruhi perilaku remaja di kehidupan sehari-hari, dan yang keempat adalah faktor lingkungan sekolah. Di lingkungan sekolah, remaja akan terpengaruh dengan teman-teman sebayanya, selain itu peran guru dalam memberikan bimbingan sangat diperlukan untuk perkembangan moral anak didiknya. 2.2.3 Yanki Hampir di setiap negara, pasti ada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak setuju atau tidak sejalan dengan peraturan dan norma-norma yang berlaku di suatu wilayah di negara tersebut.
Di Jepang ada sebutan
khusus bagi
kelompok anak muda yang tidak suka mengikuti peraturan dan norma yang berlaku di masyarakat sekitarnya dan cenderung melakukan
tindakan
pemberontakan untuk menunjukkan keberadaannya, mereka biasa disebut yanki.
16
Para yanki merupakan remaja laki-laki dan perempuan yang berada pada kisaran usia 13 sampai 18 tahun. Pada usia-usia ini para yanki biasanya melakukan hal-hal yang menyenangkan bagi mereka dan tentunya hal ini merupakan sesuatu yang berbau negatif. Merokok, minum-minuman keras, menghirup thinner, berkelahi, bergabung dengan geng motor bosozoku, dan hal lainnya merupakan suatu hal yang wajib dilakukan oleh seorang yanki. Yanki memiliki
panampilan
yang
mencolok
seperti
mewarnai
rambut
dan
mengeritingnya, yanki yang masih duduk di bangku sekolah biasanya memakai gakuran yang dimodifikasi dengan mengubah bentuk dari bagian bawah gakuran tersebut menjadi lebih panjang atau lebih pendek. Mereka juga menambahkan berbagai motif di bagian dalam gakuran mereka seperti motif bunga, naga, dan motif lainnya. Peraturan di sekolah mengharuskan siswanya untuk mengenakan kemeja berwarna putih dibalik gakuran yang diapakai, namun para yanki biasanya akan menggunakan kemeja dengan warna dan motif lain, mereka juga menggunakan celana dengan ukuran yang lebih besar dari ukuran yang ditetapkan sekolah dan biasanya dipadukan dengan ikat pinggang berwarna terang atau dengan motif sisik ular (Sato, 1991:116—117). Yanki juga sering dihubungkan dengan geng motor dan yakuza. Mereka biasanya memiliki kendaraan berupa sepeda motor atau mobil yang digunakan untuk bepergian yang dimodifikasi bentuknya sehingga terlihat sangat mencolok. Sepeda motor yang digunakan memiliki kapasitas mesin 250-400cc, motor tersebut diberi knalpot yang bisa mengeluarkan suara keras yang sangat bising, lalu diberi tambahan klakson tiga (sanren) hingga empat buah (yonren) yang
17
memiliki nada berbeda-beda apabila dibunyikan , modifikasi pada bagian stang kemudi dan lampu-lampu, kemudian menggunakan warna-warna atau motif-motif yang mencolok pada bagian body motornya, serta memiliki sandaran yang sangat tinggi pada bagian tempat duduk atau saddle motornya (Sato, 1991: 41—42). Karena kebanyakan yanki tidak suka mengikuti peraturan yang ada di sekolahnya, dan karena perilakunya yang mengganggu ketertiban, menyebabkan mereka sangat sulit diterima di masyarakat apalagi diterima di sekolah atau universitas, oleh karena itu banyak dari mereka yang selepas masa sekolahnya tidak melanjutkan ke universitas atau tempat bekerja yang memerlukan standar yang tinggi dalam perekrutannya sehingga banyak yanki yang memilih bekerja sebagai yakuza yang merupakan kelompok penjahat terorganisir di Jepang yang bergerak di bidang pengelolaan perjudian, pelacuran, dan berbagai tindak kriminal lainnya dengan ciri khas memiliki tatto di sekujur tubuhnya.
2.3 Kerangka Teori Kerangka teori berfungsi sebagai dasar pijakan dalam menjawab permasalahan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori sosiologi sastra, teori semiotika, dan teori patologi sosial. 2.3.1 Teori Sosiologi Sastra Sosiologi sastra menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Dasar filosofi pendekatan sosiologi adalah adanya hubungan antara karya sastra dengan masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra juga memiliki implikasi metodologis berupa
18
pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat. Dalam penganalisisannya dilakukan dengan cara mencari masalah-masalah sosial yang terdapat di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi (Ratna, 2006: 59-339) Dengan mempertimbangkan bahwa sosiologi sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam. Pertama, dengan menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek ekstrinsik dan model hubungan yang terjadi disebut refleksi. Kedua, dengan cara menemukan hubungan antar struktur, buka aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika. Ketiga, menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis yang pada umumnya menghasilkan penelitian karya sastra sebagai gejala kedua (Ratna, 2006: 339-340).
2.3.2 Teori Karakteristik Kelompok Dalam menentukan karakteristik dalam sebuah kelompok ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain norma kelompok, ukuran kelompok, struktur kelompok, kohesi kelompok, dan kepemimpinan (Baron & Kerr, 2003: 6—17). 1. Norma Kelompok Norma kelompok adalah norma, perilaku, sikap, dan persepsi yang disetujui oleh anggota dari sebuah kelompok. (Baron & Kerr, 2003: 6—7).
19
2. Ukuran Kelompok Ukuran kelompok adalah besar atau kecilnya dimensi kelompok tersebut. Kelompok yang lebih besar memungkinkan adanya individu dengan beragam keterampilan. Oleh karena itu, pekerja dengan pekerjaan yang spesifik lebih memungkinkan untuk terjadi (Baron & Kerr, 2003: 7). 3. Struktur Kelompok Struktur kelompok akan berkembang lebih baik pada kelompok permanen seperti keluarga, kelompok kerja, klub, dan lain sebagainya. Yang pada umumnya akan terdapat perbedaan status dalam kelompok tersebut, seperti status antar anggota, norma-norma yang diterapkan, hubungan pemimpin dan pengikut, berbagai kelompok kecil dan subkelompok. Struktur mengarah pada bagaimana sebuah kelompok diorganisir dan bagaimana berbagai posisi dalam sebuah kelompok saling berhubungan (Baron & Kerr, 2003: 7). Struktur kelompok digolongkan menjadi empat bagian, yaitu: a. Peran Dalam sebuah kelompok, setiap individu memiliki perannya masingmasing. Ada dua macam peran, yaitu formal dan informal. Peran formal merupakan peran yang resmi dalam sebuah kelompok, seperti presiden atau penasehat perang. Sedangkan peran informal berkembang berdasarkan kebutuhan psikologis dari sebuah kelompok. Individu yang memiliki peran ganda dapat mengarah ke dalam sebuah konflik peran. Yaitu konflik saat kebutuhan peran satu bertentangan dengan yang lainnya. Selain itu, keterlibatan individu dalam
20
kegiatan kelompok, dapat menghasilkan suatu peran tertentu bagi si individu dalam kelompok tersebut (Baron & Kerr, 2003: 7—8). b. Status Peran sering menjadi sumber dari sebuah status. Status merupakan posisi seorang individu dalam kelompok yang berdasarkan prestasi, penghormatan, dan keistimewaan yang membedakannya dengan individu lainnya. Hal ini didasari oleh karakteristik individu seperti, daya tarik fisik, kepintaran, selera humor, dan keterampilan. (Baron & Kerr, 2003: 9). c. Subkelompok Dalam sebuah kelompok, subkelompok dapat berdasarkan hal-hal yang memiliki kesamaan seperti, kesamaan usia, tempat tinggal, peran sosial, dan ketertarikan pribadi. Subkelompok yang berdasarkan usia contohnya adalah, dalam sebuah kelompok remaja. Remaja yang lebih tua mengadakan pesta di sebuah bar, dimana mereka bisa minum minuman beralkohol dan bertemu banyak wanita. Sedangkan anggota yang lebih muda yang belum cukup umur mengadakan pertemuan di rumah saja (Baron & Kerr, 2003: 10). d. Jaringan Komunikasi Pola jaringan komunikasi dijelaskan melalui sebuah gambar. Pada gambar (1a) semua pesan hanya bisa disampaikan kepada individu yang berada di tengahtengah. Individu lainnya hanya dapat berkomunikasi dengan orang yang berada di tengah. Gambar (1b) menggambarkan individu yang hanya bisa bermomunikasi dengan dua individu yang sering berdekatan dengan mereka dalam kelompok. Pada gambar (1c) merupakan gabungan komunikasi dari (1a) dengan (1b). pada
21
gambar (1e), semakin rendah status individualnya, semakin sedikit intensitas komunikasi yang terjalin. Ini umum terjadi untuk menghindarkan si pemimpin dari tuntutan yang tak semestinya. Pada pola jaringan komunikasi yang terpusat seperti pada gambar (1a),(1c), dan (1e), individu yang berada pada posisi pusat merupakan pemimpinnya (Baron & Kerr, 2003: 10—11).
Gambar (1) Jaringan komunikasi pada kelompok (Baron & Kerr, 2003: 11)
4. Kohesi Kelompok Kohesi atau kepaduan dalam kelompok dapat disebabkan oleh berbagai alasan, seperti hubungan antar anggota kelompok yang saling menyukai satu sama lain. Atau hubungan antar individu yang berlangsung baik dapat menumbuhkan solidaritas yang tinggi antara anggota kelompok (Baron & Kerr, 2003: 11—12).
22
5. Kepemimpinan Gaya memimpin merupakan sebuah hal yang penting dalam mengelola urusan yang ada dalam kelompok. Ada dua jenis pemimpin yaitu, pemimpin dengan orientasi tugas dan pemimpin dengan orientasi orang. Pemimpin yang berorientasi pada tugas, lebih mementingkan prestasi dan persaingan kelompok. Sedangkan pemimpin yang berorientasi pada orang lebih mementingkan perasaan, kebutuhan, dan permasalahan anggotanya (Baron & Kerr, 2003: 15). Seorang pemimpin yang baik harus bisa memposisikan dirinya kapan harus mengutamakan tujuan kelompok dan kapan harus mengayomi anggotanya. Teori ini akan digunakan untuk menganalisis berbagai karakteristik dalam kelompok yanki yang terdapat dalam manga Crows karya Hiroshi Takahashi.
2.3.3 Teori Semiotika Semiotik merupakan penelitian sastra yang memperhatikan tanda-tanda dimana tanda itu mewakili suatu objek secara representatif . Menurut Ferdinand De Saussure, teori semiotik menganut dikotomi bahasa, yaitu karya sastra memiliki hubungan antara penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Penanda adalah aspek formal atau bentuk tanda itu, sedangkan petanda adalah aspek makna atau konsep dari penanda (Endraswara, 2008:64). Eksistensi semiotika Saussure adalah hubungan antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi atau biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi mempelajari elemen tanda dalam sebuah system berdasarkan aturan tertentu maka diperlukan aturan tertentu untuk memaknai tanda tersebut. Tanpa memperhatikan tanda-tanda, makna proses
23
pemaknaan suatu karya sastra tidaklah optimal. Dalam menganalisis sebuah manga digunakan teori semiotika karena di dalam manga itu terdapat tanda-tanda berupa garis, simbol, maupun kata yang dapat mengartikan sebuah makna tertentu. Contohnya, garis-garis tipis yang ditinggalkan oleh kuda yang sedang berlari menunjukkan kecepatan. Garis-garis pendek patah-patah mengindikasikan katak yang sedang melompat (Danesi, 2010:223—224) . 2.3.4 Teori Patologi Sosial Patologi Sosial adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan hidup rukun bertetangga, disiplin kebaikan, dan hukum formal. (Kartono, 2005 : 1). Penyimpangan atau deviasi adalah tingkah laku yang menyimpang dari cirri-ciri karakteristik rata-rata dari rakyat kebanyakan. Sedangkan yang disebut perilaku menyimpang (diferensiasi) dalam teori patologi sosial adalah tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum. Misalnya kejahatan adalah semua bentuk tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari ciri-ciri karakteristik umum, serta bertentangan dengan hukum atau melawan peraturan yang legal (Kartono, 2005 : 11). Dalam kajian patalogi sosial, jenis-jenis perilaku menyimpang dibedakan menjadi dua aspek yaitu : 1. Aspek lahiriah, aspek ini dibedakan ke dalam dua kelompok yaitu: a. Deviasi lahiriah yang verbal yaitu perilaku menyimpang dalam bentuk kata-kata makian, slang (logat, bahasa populer), kata-kata kotor yang tidak senonoh dan cabul, sumpah serapah, dialek-dialek dalam dunia politik dan
24
dunia kriminal, ungkapan-ungkapan penghinaan dengan menggunakan sandi. b. Deviasi lahiriah yang nonverbal yaitu semua tingkah laku atau tindakan menyimpang yang nyata dan jelas terlihat. 2. Aspek-aspek simbolik yang tersembunyi. Aspek-aspek yang mencakup dalam aspek simbolik adalah sikap-sikap hidup, emosi-emosi, sentimen-sentimen, dan motivasi-motivasi yang mengembangkan tingkah laku menyimpang. Perilaku menyimpang seperti kejahatan, pelacuran, maupun kecanduan narkotika seringkali sifatnya tersembunyi atau samar dan tidak mudah kentara (Kartono, 2005 :15 -16). Menurut teori patologi sosial dari Kartono, faktor penyebab perilaku menyimpang dibagi menjadi dua yaitu faktor internal atau faktor personal dan faktor eksternal. 1. Faktor Internal dan personal Perilaku menyimpang disebabkan oleh kondisi internal seseorang. Faktor internal tersebut meliputi faktor sebagai berikut : a. Penyimpangan karena faktor cacat fisik. Seseorang yang menderita suatu kelainan secara fisik, memiliki wajah atau postur tubuh yang jelek atau mengerikan sering mendapat perlakuan tidak baik atau penghinaan dari orang lain. Hal itu mendorongnya untuk berbuat sesuatu yang menyimpang karena merasa dirinya ditolak oleh lingkungan. b. Penyimpangan karena seorang individu lahir dan tumbuh di lingkungan kelas sosial yang rendah atau memilukan dan lahir di lingkungan kelas
25
sosial yang tinggi. Seseorang yang lahir di keluarga miskin ataupun tinggi memiliki kecenderungan berbuat menyimpang. c. Penyimpangan yang dilakukan karena adanya trauma atau luka psikologis ataupun luka jiwa yang terjadi di masa lalu. Luka jiwa itu terjadi apabila seseorang mengalami peristiwa sangat menyedihkan dan melukai hatinya. Seeseorang yang memiliki trauma di masa lalu akan mudah berubah dari seseorang yang dahulunya normal menjadi abnormal atau berperilaku menyimpang (Kartono, 2005 : 33-41). 2. Faktor eksternal Faktor eksternal adalah faktor penyebab perilaku menyimpang yang berasal dari pengaruh – pengaruh lingkungan seseorang atau pengaruh situasional dari luar diri seseorang. Seseorang berperilaku meyimpang karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang merusak. Orang dengan kepribadian yang tidak stabil akan mudah terpengaruh lingkungan yang buruk dan ikut menjadi bagian dari orang – orang yang memiliki perilaku menyimpang (Kartono, 2005 : 33-41). Teori ini akan digunakan untuk menganalisis bentuk perilaku menyimpang yang dilakukan tokoh-tokoh dalam manga Crows karya Hitoshi Takahashi, serta mengetahui faktor penyebab dari perilaku menyimpang yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut.