BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bagian kajian pustaka ini, akan disajikan pengertian umum tentang istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini serta teori-teori dan penjelasanpenjelasan yang mendasarinya dengan segala kekuatan dan kelemahannya dan bagaimana teori-teori tersebut diimplementasikan serta penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini. Teori-teori dan penjelasanpenjelasan serta implementasinya, yang mempunyai kekuatan akan dijadikan landasan dalam pengumpulan dan analisis data, sedangkan
yang mempunyai
kelemahan akan dijadikan bahan perbandingan.
2.1 Pengertian Istilah/Penjelasan dan Kerangka Teori 2.1.1 Pengertian Istilah/Penjelasan 2.1.1.1 Korespondensi Bunyi Langacker (1972:329-230) mengatakan bahwa alat metode komparatif adalah korespondensi bunyi sistematis dalam bahasa-bahasa berkerabat. Dia mengatakan perbedaan-perbedaan bentuk fonetis dalam perangkat korespondensi bersifat sistematis. Bunyi-bunyi yang berkorespondensi tidak harus sama tetapi muncul secara teratur pada posisi yang sama dalam kata-kata yang mirip baik dari segi bentuk maupun arti. Dalam penjelasan tersebut, dia tidak menggunakan istilah perangkat korespondensi fonemis, tetapi menggunakan istilah korespondensi bunyi yang datanya adalah data fonetis.
Universitas Sumatera Utara
Crowley (1992:93) mengatakan bahwa korespondensi bunyi adalah perangkat bunyi dalam kata-kata berkerabat yang dipantulkan oleh satu protobahasa. Crowley (1992:106) menjelaskan bahwa perangkat korespondensi bunyi melibatkan bunyi-bunyi yang mirip secara fonetis. Seperti Langacker, dia tidak menggunakan istilah perangkat korespondensi fonetis atau perangkat korespondensi fonemis, melainkan menggunakan istilah perangkat korespondensi bunyi (sound correspondence), korespondensi vokal (vowel
correspondence),
dan
korespondensi
konsonan
(consonant
correspondence). Namun, dia mengatakan, “….here we are trying to analyse the phonemes of the proto-language by using the sound correspondences as the ‘phonetic’ raw data.” Penjelasan tersebut berarti bahwa
untuk menganalisis proto-bahasa
digunakan korespondensi bunyi sebagai data mentah fonetis. Artinya, data yang digunakan dalam perangkat korespondensi bunyi adalah data fonetis alih-alih data fonemis.
Itulah
sebabnya
mengapa
dalam
langkah-langkah
melakukan
rekonstruksi, tidak disebutkan langkah mengubah data fonetis menjadi data fonemis. Crowley (1992:75-89) menggunakan data fonemis untuk menganalisis apakah perubahan proto-fonem berwujud perubahan fonetis yang mengakibatkan perubahan fonemis atau tidak. Menurut dia, perubahan fonetis tanpa perubahan fonemik berwujud alofon atau subfonem sedangkan perubahan fonetis dengan perubahan fonemis berwujud menghilangnnya fonem, pertambahan fonem, dan refonemisasi (perubahan satu fonem dengan fonem lain).
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu, Hock (1988:562) memakai istilah korespondensi bunyi secara rekuren dan sistematis, alih-alih perangkat korespondensi fonemis. Dalam penjelasannya, dia menggunakan data fonetis. Untuk maksud yang sama, korespondensi bunyi, Keraf (1991:49) mengganti istilah korespondensi bunyi dengan istilah korespondensi fonemis atas alasan bahwa hukum bunyi mengandung tendensi adanya ikatan yang ketat. Dia tidak menjelaskan apakah perangkat korespondensi bunyi berwujud fonetis atau fonemis. Namun, dia menggunakan data fonetis dalam penjelasannya. Hal itu dapat dilihat dari fakta bahwa dia tidak mereduksi data fonetis menjadi data fonemis sebelum melakukan rekonstruksi. Artinya, penggunaan perangkat korespondensi fonemis hanya sebatas penggunaan istilah dan tidak bermaksud bahwa data korespondensi bunyi haruslah data fonemis. Jika tidak hati-hati, seorang peneliti akan tersesat setelah membaca istilah perangkat korespondensi fonemis. Ia akan menggunakan data fonemis dalam korespondensi bunyi. Atas dasar itu, peneliti akan menggunakan perangkat korespondensi bunyi
seperti yang digunakan Langacker (1972:329-230) dan
Crowley (1992:93). Keraf (1991:49) memberikan penjelasan yang lebih jauh tentang korespondensi fonemis. Dikatakannya, korespondensi fonemis
adalah fonem-
fonem yang terdapat pada posisi yang sama dalam pasangan kata yang mempunyai kesamaan atau kemiripan bentuk dan makna. Korespondensi fonemis dapat dilihat pada sepuluh bilangan utama dalam bahasa Indo-Eropa.
Universitas Sumatera Utara
Glos
Yunani
Latin
Sanskerta
Gotik
satu dua tiga empat lima
oinos dyo treis tettaras pente
unus duo tres quattuor quinque
ekas dva travas catvaras panca
heks hepta
sex
sas
ains twai threis fidwor
fimf enam tujuh
sibun delapan okto sembilan en-nea sepuluh deka taihum
septem octo novem
saih sapta asta
nava decem
Data di atas menunjukkan perangkat
ahtau niun
dasa
korespondensi, yakni d-d-d-t yang
terdapat pada glos dua dan sepuluh. Perangkat korespondensi lain adalah h-s-ss, yaitu perangkat fonem konsonan awal pada glos enam dan tujuh. Perangkat korespondensi
ketiga
adalah
e-e-a-i,
yang
merupakan
perangkat
korespondensi vokal pertama pada glos sepuluh dan tujuh. Menurut Keraf, perangkat korespondensi pada satu pasang kata tidak cukup dan masih merupakan indikasi adanya perangkat korespondensi tersebut. Sehubungan dengan itu, perangkat tersebut harus diuji pada sebanyak mungkin pasangan kata pada bahasa-bahasa yang dibandingkan. Hal itu penting untuk menghindarkan faktor kebetulan atau penghilangan korespondensi yang seharusnya ada dan pemaksaan perangkat yang tidak berkorespondensi menjadi perangkat berkorespondensi. Keterdapatan secara berulang dan teratur perangkat korespondensi disebut rekurensi fonemis (phonemic recurrance).
Universitas Sumatera Utara
Rekurensi fonemis dapat dilihat pada contoh berikut: Glos orang
b.Inggris
b.Jerman
b.Belanda
b.Denmark b.Swedia
mn
man
man
man
hnd
hant
hant
hn
fut
fu:s
vu:t
fo:
man tangan hand kaki fo:t fig fier vier feer fier rumah haws haws hs hu:s hu:s m.dingin wint vinter winter vendr vinter m.panas sm zomer zo:mer sm smar minum drik triken drike dreg drika bawa bri brien bree bre bria hidup livd le:pte le:vde le:v le:vde
jari
Untuk glos rumah pada data di atas, terdapat perangkat korespondensi h aw s
h aw s
h s
h u s
h u s
Dari ketiga perangkat korespondensi tersebut, perangkat korespondensi aw:aw::u:u mengalami rekurensi seperti terlihat pada data berikut: Glos tikus
b.Inggris
b.Jerman
b.Belanda
b.Denmark b.Swedia
maws
maws
ms
mu:s
laws
laws
ls
lu:s
awt
awt
t
u:d
mu:s kutu lu:s keluar u:t
Universitas Sumatera Utara
coklat
brawn
brawn
brn
bru:n
bru:n Dalam bahasa-bahasa Austronesia, Keraf (1991: 51) memberikan contoh: kata hidung dalam bahasa Melayu: hidung, Batak: igung, dan Sunda: irung. Dari data tersebut dapat ditarik perangkat korenspondensi yang diperkirakan akan mengalami rekurensi fonemis, yakni d-g-r yang terlihat dalam: hidu igu iru Pada data yang mencukupi, d-g-r diperkirakan akan terjadi berulang dan teratur (rekuren). Untuk menghindarkan dikeluarkannya fonem tertentu dari perangkat korespondensi karena kelihatan sangat berbeda dari fonem-fonem lainnya (seperti dijelaskan sebelumnya), Keraf mengatakan bahwa ko-okurensi (co-occurance) harus dicermati. Ko-okurensi adalah gejala-gejala tambahan yang terjadi sedemikian rupa pada kata-kata berkerabat yang dapat mengaburkan kemiripan makna dan bentuk serta korespondensi fonetis. Menurut Keraf (1991:55), kata baru dalam bahasa Melayu adalah baru, bahasa Jawa: weru, bahasa Karo: mbaru, dan bahasa Lamalera: fu. Karena kata fu identik dengan fu busur, ada kecenderungan peneliti untuk mengeluarkan kata tersebut dari pasangan kata berkerabat sehingga fonem /f/ tidak dimasukkan dalam perangkat korespondensi b:w:b:f. Namun, karena gejala yang sama terdapat dalam bahasa itu dan bahasa-bahasa Nusantara lainnya, /f/ dalam kata fu baru tetap merupakan anggota perangkat korespondensi tadi atas dasar, fu berkerabat dengan kata baru. Kata fu telah mengalami kontraksi dari bentuk baruwaru-weru(n)-wehu-weu-fu. Mula-mula fonem /r/ menjadi /h/ yang kemudian
Universitas Sumatera Utara
hilang dari bentuk tersebut. Kedua vokal yang mengapit /h/ mengalami proses sandi dan berubah menjadi /u/. Gejala hilangnya /r/ antarvokal (intervocalic r)
merupakan hal yang
umum terjadi dalam bahasa-bahasa Nusantara. Misalnya, kata turut, dalam bahasa Melayu adalah turut dan tut dalam bahasa Jawa. Contoh lain, kata beras dalam bahasa Jawa mengalami proses perubahan sebagai berikut: berat-behat-beat-bot; beras-behas-beas-wos atau beras-weras-wehas-weas-wos. Keraf juga menjelaskan, penentuan perangkat korespondensi harus terlepas dari
analogi, yakni
menjadikan ko-okurensi dalam bahasa-bahasa
berkerabat sebagai dasar untuk memasukkan fonem-fonem dari dari bahasabahasa lain dalam perangkat korespondensi fonemis. Misalnya, kata pikir yang berasal dari bahasa Arab, fikir dirasakan sudah merupakan kata bahasa Melayu. Atas dasar itu, kemungkinan peneliti akan menjadikan f-p sebagai perangkat korespondensi fonemis dalam bahasa-bahasa berkerabat Nusantara. Penentuan perangkat korespondensi seperti ini didasarkan pada analogi yang salah. 2.1.1.2 Metode Komparatif Menurut Langacker (1972:329), metode komparatif (comparative method) adalah teknik untuk menentukan keberhubungan secara genetis sekelompok bahasa dan untuk merekonstruksi proto-bahasa yang menurunkan bahasa-bahasa tersebut. Sementara itu, Hock (1988:556) mengatakan bahwa metode komparatif adalah metode untuk menemukan kemiripan bentuk-bentuk bahasa-bahasa
Universitas Sumatera Utara
berkerabat yang tidak terjadi secara kebetulan, melainkan karena adanya asumsi bahwa bahasa-bahasa tersebut diturunkan oleh proto-bahasa yang sama. 2.1.1.3 Pasangan Kata Berkerabat Langacker (1972:331) mengatakan bahwa satuan-satuan leksikal dalam bahasa-bahasa berkerabat dikatakan kognat apabila diturunkan oleh unsur leksikal yang sama dalam proto-bahasa. Misalnya, pater dalam bahasa Latin, pater dalam bahasa Junani, pita dalam bahasa Sansakerta, dan father dalam bahasa Inggris adalah kognat karena dapat ditelusuri perkembangannya dari satu bentuk proto-Indo Eropa. Dia menambahkan bahwa kata-kata kognat berhubungan satu sama lainnya dalam bentuk korespondensi bunyi yang menunjukkan perkembangan bentuk proto-bahasa dalam evolusi historis bahasa-bahasa yang diturunkannya. Menurut Crowley (1992:90), perangkat bunyi dikatakan berkerabat apabila direfleksikan satu proto-bahasa dan didistribusikan dalam kata-kata yang mempunyai kesamaan atau kemiripan bentuk dan arti. Gudschinsky (1956:132), menggunakan istilah pasangan berkerabat (cognate sets) untuk perangkat korespondensi bunyi. Dia memerinci prosedur yang harus diikuti untuk membandingkan kata-kata dan menetapkan kriteriakriteria dalam menentukan apakah pasangan-pasangan kata yang dibandingkan berkerabat atau tidak. Menurutnya, dalam perbandingan, yang dibandingkan adalah fonem dengan fonem, fonem dengan klaster fonem atau klaster fonem dengan
klaster fonem. Perbandingan hanya dapat dilakukan antara fonem
dengan fonem atau antara fonem dengan klaster fonem dalam posisi yang dapat
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan (comparable sets). Prosedur perbandingan tersebut telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Selanjutnya,
Gudschinsky (1956:132)
menjelaskan
bahwa
setelah
diketahui pasangan fonem-fonem atau pasangan fonem-klaster fonem yang dapat dibandingkan, kriteria penentuan pasangan-pasangan yang berkerabat adalah sebagai berikut: 1. Pasangan-pasangan itu identik (misalnya [a]:[a], [c]:[c]). Pasanganpasangan yang dibandingkan mirip secara fonetis ([p]:[b], [t]:[d], dan lainlain). Pasangan-pasangan itu berbeda akibat lingkungan (conditioning factors). Misalnya, [i]: [a] dalam ciki (dialek Huatla, Meksiko) dan caki (dialek Mazatec, Meksiko) 'kayu bakar' dianggap berkerabat karena perbedaan pengucapan [c] merupakan penyebab berubahnya [i] menjadi [a] atau sebaliknya. 2. Pasangan-pasangan itu muncul berulang dalam pasangan-pasangan kata lainnya pada posisi yang dapat dibandingkan. Misalnya, [š] dalam dialek Ixcatec berkerabat dengan [1] dalam dialek Mazatec karena pasangan [š]:[1] muncul pada kata-kata lain yang dibandingkan yakni [šwi] : [p1] ‘api’ dan pada [šu]:[lao]. Dua buah kata yang dibandingkan hanya dapat dikatakan berkerabat apabila paling sedikit tiga pasangan fonem dengan fonem, fonem dengan klaster fonem atau klaster fonem dengan klaster fonem berkerabat. Jika dalam kata-kata yang dibandingkan terdapat kurang dari tiga fonem yang berkerabat, maka kata-kata tersebut tidak berkerabat.
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan Langacker, Crowley, Gudschinsky, dan Keraf di atas saling melengkapi
sehingga rekonstruksi proto dan pengelompokan bbB dapat
dilakukan dengan lebih akurat. 2.1.1.4 Rekonstruksi Proto-bahasa Menurut Kridalaksana (1983:144), rekonstruksi adalah metode untuk memperoleh moyang bersama dari suatu kelompok bahasa yang berkerabat dengan membandingkan ciri-ciri bersama atau dengan menentukan perubahanperubahan yang dialami sebuah bahasa sepanjang sejarahnya. Kridalaksana juga menyebutkan, proto-bahasa adalah awalan yang bermakna ‘purba’ dan dipakai dalam istilah, seperti proto-Indo-Eropa, proto-Germania, dan sebagainya. Karena proto adalah awalan, dalam penelitian ini, akan digunakan istilah proto-bahasa (proto-bbB) alih-alih bahasa proto. Menurut Crowley (1992:104) rekonstruksi adalah perkiraan tentang kemungkinan bentuk proto-bahasa dengan menelesuri perubahan-perubahan yang terjadi di
antara
proto-bahasa dengan bahasa-bahasa berkerabat yang
diturunkannnya (sister languages). Meskipun Crowley tidak mendefinisikan secara eksplisit istilah proto, tetapi kedua definisi tersebut sama-sama menyatakan bahwa rekonstruksi protobahasa adalah penelusuran perubahan-perubahan bentuk yang terjadi dalam sejarah perkembangan proto-bahasa dan bahasa atau bahasa-bahasa berkerabat yang diturunkannya. Untuk menyatakan maksud yang sama, Mbete (2009:31) mengatakan, rekonstruksi adalah peracikan atau perancangbangunan kembali sistem bahasa purba berdasarkan data dan fakta kebahasaan yang berpijak pada bahasa-bahasa kerabat.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun Kridalaksana dan Mbete menggunakan istilah moyang dan purba,
dalam
penelitian
menggantikannya
dengan
ini,
kedua
istilah
istilah
proto.
Ada
menggunakan istilah proto. Pertama, istilah
itu
tidak
beberapa
digunakan alasan
dan
peneliti
proto sudah merupakan istilah
bahasa Indonesia dan digunakan dalam kamus umum dan kamus linguistik, termasuk Kamus Linguistik karya Kridalaksana
(1983). Kedua, istilah-istilah
ilmu pengetahuan, termasuk linguistik perlu diarahkan ke keseragaman untuk memudahkan pemahaman masyarakat internasional (misalnya, kata kerja dipadankan dengan verba, kata benda dipadankan dengan nomina, dan kata sifat dipadankan dengan ajektiva). Ketiga, istilah proto-bahasa telah digunakan secara luas oleh peneliti-peneliti linguistik historis komparatif di Indonesia. Crowley (1992:91) mengatakan bahwa bentuk-bentuk proto-bahasa dapat direkonstruksi dari refleksi-refleksi yang terdapat dalam bahasa-bahasa yang berkerabat
dengan
menggunakan
metode
komparatif
untuk
perubahan-perubahan yang telah terjadi di antara proto-bahasa
mengetahui
dengan bahasa-
bahasa yang diturunkannya. Untuk mengetahui perubahan-perubahan tersebut, dilakukan perbandingan atas refleksi-refleksi bentuk pada bahasa-bahasa berkerabat yang diperkirakan berasal dari atau dipantulkan oleh satu proto-bahasa. Crowley
(1992:96)
selanjutnya
menjelaskan,
untuk
melakukan
rekonstruksi bentuk-bentuk proto-bahasa, dilakukan beberapa langkah sebagai berikut: Langkah pertama adalah memisahkan kata atau kata-kata yang berkerabat dari kata-kata yang tidak berkerabat. Misalnya, tafuafi ‘membuat api’ harus dikeluarkan dari data:
Universitas Sumatera Utara
b.Tonga tafuafi
b. Samoa sia
b. Rarotong ika
b. Hawai hia
Glos membuat api
Langkah kedua adalah menentukan korespondensi bunyi pada bahasabahasa yang berkerabat seperti pada glos dilarang pada data berikut: b.Tonga b.Samoa b.Rarotong b.Hawai
t t t k
a a a a
p p p p
u u u u
Perangkat korespondensi dalam data tersebut adalah t-t-t-k, a-a-aa, p-p-p-p, dan u-u-u-u. Langkah ketiga adalah memeriksa
perangkat bunyi berkorespondensi
yang mempunyai perbedaan untuk menentukan proto-fonemnya seperti pada data berikut. b.Tonga t
b.Samoa t
b.Rarotong t
b.Hawai k n
Perbedaan perangkat bunyi pada data pertama adalah t-k dan pada data kedua adalah -n. Ada kemungkinan, /*t/ atau /*k/ adalah proto dari t dan k serta /* / atau /*n/ adalah proto dari /* / atau /*n/. Namun karena /t/ dan // mempunyai distribusi paling luas atau rekurensi paling luas pada data yang ada, maka /*t/ dan /*/ adalah fonem-fonem proto dalam keempat bahasa tersebut. Langkah ketiga tersebut sering tidak dapat diaplikasikan jika tidak ada fonem yang mempunyai distribusi paling luas
dalam suatu perangkat
korespondensi seperti dalam contoh berikut: b.Tonga k
b.Samoa
b.Rarotong k
b.Hawai
Universitas Sumatera Utara
Pada data itu /k/ dan / / mempunyai distribusi yang sama. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diingat bahwa perubahan bunyi harus berlangsung secara alamiah atau wajar. Proto-fonem /k/ dan / / yang lebih alamiah atau wajar adalah /*k/, alih-alih // karena perubahan /k/ menjadi / / (/k/ →
/ /)
merupakan perubahan yang sangat umum terjadi melalui
proses pelemahan atau lenisi. Perubahan // menjadi /k/ (// →/k/) sangat jarang terjadi.(meskipun mungkin) melalui proses penguatan (fortisi). Bahwa /*k/ merupakan proto-fonem
/k/ dan / /
dapat dikuatkan
dengan proto-fonem Polinesia berikut:
Hambat Nasal
Bilabial
Alveolar
Velar
*p *m
*t *n
*
Karena sistem fonologis bahasa selalu seimbang,
kekosongan velar
hambat /k/, alih-alih // untuk mengimbangi velar nasal harus diisi. Itulah sebabnya mengapa /*k/ ditetapkan sebagai proto-fonem, sehingga bagan di atas menjadi sebagai berikut:
Hambat Nasal
Bilabial
Alveolar
Velar
*p *m
*t *n
*k *
Untuk melakukan rekonstruksi, perlu diingat ketentuan-ketentuan berikut: Setiap rekonstruksi harus mengandung perubahan bunyi yang umum terjadi atau logis (lihat jenis-jenis perubahan bunyi pada bagian berikut kajian teori ini).
Universitas Sumatera Utara
Setiap rekonstruksi harus mengandung sesedikit mungkin perubahan bunyi dari proto-bahasa ke bahasa-bahasa berkerabat yang diturunkannya. Setiap rekonstruksi harus menutup kekosongan sistem fonologis berimbang, alih-alih menciptakan sistem fonologi yang tidak berimbang atau logis. Contoh sistem fonologis berimbang, jika sebuah bahasa mempunyai dua vokal bulat belakang (misalnya, /u/ dan /o/, diprediksi bahwa bahasa itu mempunyai dua vokal tidak bulat depan (misalnya, /i/ dan /e/). Depan
Belakang
Tinggi i u Sedang e o Rendah a Contoh sistem fonologis yang tidak berimbang,
sebuah bahasa
mempunyai vokal depan tinggi /i/ dan vokal depan sedang /e/ tetapi tidak mempunyai vokal tinggi belakang.
Tinggi Sedang Rendah
Depan
Belakang
i e
o a
Sebuah proto-fonem tidak perlu direkonstruksi jika data yang cukup tidak tersedia dalam bahasa-bahasa berkerabat yang diturunkannya. Untuk menyimpulkan penjelasan di atas, Crowley (1992:110) memberikan petunjuk tentang metode rekonstruksi sebagai berikut: 1. memilah bentuk-bentuk yang nampak berkerabat dan mengabaikan bentuk-bentuk yang tidak berkerabat; 2. melakukan inventarisasi lengkap perangkat korespondensi dalam bahasabahasa yang dibandingkan (termasuk bunyi-bunyi yang identik; perlu
Universitas Sumatera Utara
diperhatikan korespondensi di mana suatu bunyi berkorespondensi dengan ); 3. mengelompokkan perangkat-perangkat korespondensi yang mempunyai pantulan-pantulan yang mirip secara fonetis; 4. menemukan bukti adanya distribusi komplementer atau kontrastif antara bunyi-bunyi yang dicurigai sebagai perangkat korespondensi; 5. menganggap sebagai fonem lain setiap perangkat korespondensi yang tidak
mempunyai
distribusi
komplementer
dengan
perangkat
korespondensi lain; 6. melakukan perkiraan atas bentuk proto-fonem dengan menggunakan kriteria berikut: a. Fonem proto yang dipilih harus logis. Artinya, perubahan-perubahan bunyi tersebut
menjadi bunyi-bunyi dalam bahasa-bahasa yang
diturunkannya harus dapat dijelaskan
dalam konteks perubahan-
perubahan bunyi bahasa yang secara umum terjadi dalam bahasabahasa yang ada di dunia. b. Bunyi yang mempunyai distribusi paling luas dalam bahasa-bahasa berkerabat paling mungkin sebagai proto-fonem. c. Sebuah bunyi yang berkorespondensi dengan kekosongan bunyi () pada daftar fonem rekonstruksi juga mungkin merupakan proto-fonem salah satu dari perangkat-perangkat korespondensi. d. Sebuah bunyi yang tidak ada dalam bahasa-bahasa berkerabat tidak perlu direkonstruksi jika tidak ada alasan yang cuku p untuk melakukannya.
Universitas Sumatera Utara
7. Menganggap setiap perangkat korespondensi yang mempunyai distribusi komplementer
mempunyai satu proto-fonem dengan menggunakan
kriteria nomor 6 untuk merekonstruksi bentuknya. Mengenai
rekonstruksi
proto-fonem,
Langacker
(1972:334)
menjelaskan bahwa apabila proto-fonem ditunjukkan oleh refleks yang sama dalam semua bahasa berkerabat, maka proto-segmen yang mewakili perangkat korespondensi dalam bahasa-bahasa tersebut adalah sama. Dia juga mengatakan bahwa jika sebuah proto-segmen berkembang secara berlainan dalam satu bahasa berkerabat atau lebih sesuai dengan lingkungan, proto-segmen direpresentasikan dalam dua perangkat korespondensi atau lebih seperti terlihat pada contoh berikut: Glos
Comanche
Hopi
Yaqui
kaki duduk
tama kari
tama kati
katek katek
Pada posisi awal kata, *t glos kaki. Namun,
*t
dipantulkan dalam ketiga bahasa untuk
pada posisi di antara dua vokal (intervocalic)
berkembang dengan cara yang berbeda yakni *t Yaqui dan *r *t
dalam bahasa Hopi dan
dalam bahasa Comanche untuk glos duduk. Atas dasar itu,
adalah proto-fonem perangkat korespondensi t-t-t
awal kata dan r-t-t
pada posisi
pada posisi di antara dua vokal.
Untuk menentukan proto-fonem dalam perangkat korespondensi yang di dalamnya terdapat bunyi yang berdistribusi terluas diterapkan prinsip distribusi terluas (majority wins) seperti dijelaskan pada The Comparative Method and Linguistic Reconstruction, http://en.wikipedia.org/wiki/Comparative_method.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai hal yang sama, Keraf (1991:61) menjelaskan bahwa sebuah fonem yang distribusinya paling banyak dalam sejumlah bahasa berkerabat dapat dianggap merupakan pantulan linear dari proto-fonem. Apabila prinsip distribusi terluas tidak dapat diterapkan, Crowley (1992:99) mengatakan bahwa data perangkat korespondensi dapat diperluas dengan menggunakan data bahasa yang paling dekat atau data proto-bahasa yang menurunkannya, Menurut Dempwolf (1938), rekonstruksi dapat dilakukan dengan dua cara yakni rekonstruksi internal (internal reconstruction) dan rekonstruksi komparatif (comparative reconstruction). Rekonstruksi internal adalah rekonstruksi dengan membandingkan satu bahasa dalam dua atau lebih kurun waktu. Misalnya, bahasa Inggris Kuno dibandingkan dengan bahasa Inggris Pertengahan, dan/atau bahasa Inggris
Moderen.
membandingkan
Rekonstruksi
dua
atau
lebih
komparatif bahasa
adalah
kontemporer
rekonstruksi yang
yang
berkerabat.
Rekonstruksi internal sama dengan yang dikatakan Mbete (2009:15) yakni dari bawah ke atas (bottom-up) dan rekonstruksi dari atas ke bawah (top down) dengan menggunakan sistem etimon dan bunyi proto-bahasa hasil rekonstruksi yang ada seperti proto-Austronesia (PAN). 2.1.1.5 Kosakata Dasar Menurut Hartmann dkk, (1973: 250) kosakata dasar (basic core vocabulary) adalah kata-kata yang menunjuk konsep dan situasi yang bersifat umum dan mendasar dalam semua kegiatan manusia. Karena bersifat umum dan mendasar, kosakata dasar pasti dimiliki semua bahasa mulai dari masa pra-sejarahnya hingga menjadi bahasa atau bahasa-bahasa
Universitas Sumatera Utara
kontemporer. Bentuk-bentuk kosakata dasarlah yang berkembang dari protobahasa ke bentuk-bentuk bahasa atau bahasa-bahasa berkerabat. Analisis diakronis (analisis perkembangan bahasa dari waktu ke waktu) menggunakan kata-kata yang dipantulkan dari proto-bahasa ke bahasa atau bahasa-bahasa yang diturunkannya, sebagai data. Atas dasar itu, telaah leksikostatistik
dan rekonstruksi proto-bahasa menggunakan kosakata dasar
sebagai data. Swadesh (1952:109) mengatakan bahwa kosakata dasar mencakup katakata yang menunjuk kata-kata ganti, kata-kata bilangan, anggota-anggota tubuh (dan sifat atau aktivitasnya), alam dan sekitarnya, alat-alat perlengkapan seharihari. Pada mulanya, Swadesh membuat daftar kosakata dasar yang terdiri atas 200 kata sebagai dasar perbandingan. Akan tetapi, atas pertimbangan akurasi data dan pengalaman-pengalaman di lapangan, Swadesh (1955) memodifikasi daftar tersebut dan merumuskan daftar kosakata dasar yang terdiri atas 100 kata, lihat Towards Greater Accuracy in Lexicostatistics Dating (1955). Mengenai jumlah kosakata dasar, para linguis mempunyai jumlah kata yang berbeda. Ogden ( 1930:72), misalnya, mempunyai 850 kata dalam daftar kosakatanya dan Stokhof (1980:78-99) mempunyai 1.645 kata. Daftar kosakata Swadesh mengandung kelemahan-kelemahan yang bersumber dari penetapan 200 atau 100 kata yang termasuk dalam kosakata dasar yang dikatakan Swadesh dapat diterapkan kepada semua bahasa. Penerapan prinsip-prinsip mengenai kosakata dasar tidak mutlak sama dalam semua bahasa karena setiap bahasa mempunyai keunikan di samping keuniversalan. Setidaknya, dapat dicatat di bawah ini berbagai kelemahan penerapan daftar kosakata tersebut:
Universitas Sumatera Utara
1. Dengan asumsi bahwa kosakata dasar dapat diperoleh dari kata-kata yang menunjuk alam dan sekitarnya, Swadesh telah memasukkan katakata snow 'salju', ice 'es', dan freeze 'beku' dalam daftar 200 kosakata dasarnya. Akan tetapi sesungguhnya, ketiga kata itu bukanlah kosakata dasar di daerah-daerah tropis karena sifat-sifat atau gejala-gejala alam seperti itu tidak ada. Pengenalan kelompok-kelompok masyarakat terhadap alam berbeda-beda sesuai dengan perbedaan sifat-sifat dan gejala-gejala alam itu sendiri. Boleh jadi ketiga kata itu telah dikenal luas di daerah-daerah tropis berkat kemudahan mobilitas dan meluasnya pemakaian alat pendingin (freezer) belakangan ini. Namun, kata-kata ini bukan merupakan kosakata dasar di daerah beriklim tropis, termasuk daerah-daerah Austronesia, umumnya, dan daerahdaerah Batak, khususnya. Menyadari hal ini, Dyen (1962:53) mengeluarkan ketiga kata tersebut dalam penelitiannya terhadap bahasa-bahasa Melayu Polinesia. Bahkan Gudschinsky (1962), meskipun mempertahankan daftar 200 kosakata dasar versi Swadesh, memasukkan sejumlah kata yang berbeda dari kata-kata Swadesh dalam daftar kosakata dasarnya Hal ini mengakibatkan daftar 200 kosakata dasar Swadesh berbeda dengan daftar 200 kosakata Gudschinsky (clothing, cook, dance, terdapat dalam daftar Swadesh tetapi tidak terdapat dalam daftar Gudschinsky; dust, fly terdapat dalam daftar Gudschinsky tetapi tidak terdapat dalam daftar Swadesh). Rea dalam Lehman (1962) memakai daftar 100 kosakata yang sebagian berbeda dari daftar kosakata Swadesh. Lain lagi. Travis (1986), dalam penelitiannya terhadap bahasa-bahasa di Ambon, ia memakai kata-
Universitas Sumatera Utara
kata yang berjumlah 210 yang diperolehnya dari hasil survei Summer Institute of Linguistics (SIL) di Maluku. Perbedaan kosakata dasar dan perbedaan jumlah kata yang diterapkan para . linguis menunjukkan bahwa daftar Swadesh tidak dapat diterapkan dalam semua bahasa. Berdasarkan fakta ini, peneliti akan menggabungkan kata-kata yang ada dalam daftar-daftar kosakata tersebut, kemudian memilih kata-kata yang sesuai dengan daerah-daerah dan budaya-budaya Batak. Peneliti mengeluarkan kata-kata yang kurang dekat dengan masyarakat Batak seperti rusa, telur kutu, dan lontar serta memasukkan kata-kata yang lebih sesuai seperti biru, coklat, pagi, hamil, ibu, ayah. 2. Dalam bahasa tertentu, daftar Swadesh kurang memperhatikan urutan prioritas kosakata. Meskipun, misalnya, kosakata dasar Swadesh merupakan kosakata dasar dalam bahasa-bahasa tertentu, tetapi kosakata lain mungkin lebih penting lagi dari kosakata tertentu yang ada dalam daftar Swadesh. Misalnya, kata-kata hamil, pagi, biru, coklat, ayah, ibu, dan sebagainya lebih penting daripada besi. Berdasarkan hal demikianlah, barangkali, Keraf (1991) mengganti sejumlah kata dalam daftar Swadesh dan melengkapinya dengan daftar 100 kosakata dasar. Memakai kata-kata yang kurang mesra dengan para pemakai bahasa yang diteliti berarti membuka kemungkinan munculnya katakata kosong. Pada hal, dalam studi komparatif, semakin sedikit data akan semakin kabur hasil penelitian leksikostatistik. 3. Dalam daftar Swadesh terdapat kata lie yang mempunyai makna ganda (ambigious meaning). Kata lie bisa berarti berbohong dan terletak. Jika alat penjaring data bermakna ganda, data yang
Universitas Sumatera Utara
diperoleh kurang sahih dan hasil penelitian sudah barang tentu akan diragukan. 4. Sejumlah kata dalam daftar Swadesh kurang sesuai dengan bahasa-bahasa yang mengenal perbedaan pemakaian kosakata dasar pada siatuasi yang berbeda. Artinya, satu kata dalam daftar Swadesh boleh jadi mempunyai padanan lebih dari satu kata dalam bahasa yang mengenal perbedaan seperti itu. Jika masalah ini terjadi, akan timbul keraguan peneliti untuk menentukan kata mana dari kata-kata alternatif yang diberikan informan yang akan dibandingkan dengan kata dalam bahasa lain. Contoh, bahasa Toba mengenal kata mate, monding, marujung, mintop untuk kata dead 'mati' yang pemakaiannya masing-masing disesuaikan dengan situasi. Tidaklah mudah bagi peneliti yang bukan orang Toba untuk memilih satu dari sejumlah kata alternatif di atas. Memakai kata dead dalam bahasa ini, seorang peneliti harus mengetahui kapan kata tersebut digunakan. Swadesh tidak memberikan solusi atas masalah seperti ini. Peneliti yang dihadapkan pada kasus seperti ini harus meminta informan untuk memakai kata itu dalam konteks. Lalu, dia harus memilih mana yang paling umum di antara kata-kata yang diberikan. Jika ternyata semua kata itu sama-sama umum, peneliti harus memilih kata pertama yang diucapkan informan atas dasar bahwa pengucapannya lebih spontan (lihat Travis, 1986). 5. Swadesh mengatakan bahwa kata-kata kerabat (cognates) adalah kata-kata yang mempunyai bentuk dan makna yang mirip atau sama. Tetapi kenyataan menunjukkan, ada beberapa kata dalam bahasa-bahasa nonkerabat yang mempunyai bentuk dan arti yang mirip atau sama yang tidak merupakan kata-kata kerabat. Misalnya, kata mata (bahasa Indonesia)
Universitas Sumatera Utara
mempunyai kemiripan fonetis dan kesamaan makna dengan kata mati (bahasa Junani). Contoh lain, kata badh (bahasa Sudan) mempunyai kemiripan fonetis dan kesamaan makna dengan kata bad (bahasa Inggris). Kesamaan atau kemiripan tersebut tidaklah disebabkan oleh fakta bahwa kata mata dan mati serta badh dan bad merupakan kata-kata kerabat, melainkan disebabkan oleh faktor kebetulan. Bahasa Indonesia dan bahasa Junani serta bahasa Sudan dan bahasa Inggris tidak mempunyai kontak budaya yang erat. Selain dari faktor kebetulan, kemiripan atau kesamaan bentuk dan arti dapat disebabkan oleh faktor peminjaman, seperti kata aljabar dalam bahasa Indonesia dan aljabar dalam bahasa Arab. Kata aljabar dalam bahasa Indonesia sudah barang tentu merupakan pinjaman dari bahasa Arab karena Indonesia dan Arab, pencetus istilah aljabar, mempunyai hubungan budaya yang sangat erat. 6. Swadesh tidak memberikan alasan mengapa ia tidak memakai kata morning 'pagi' untuk mendampingi kata afternoon 'siang' dan night 'malam'. Aneh kedengarannya jika ada kelompok masyarakat yang mengenal kata siang dan malam tidak mengenal kata pagi. Ia juga tidak menjelaskan mengapa dia tidak memakai kata-kata blue 'biru' dan brown 'coklat' untuk mendampingi kata-kata white 'putih', black 'hitam’, dan yellow 'kuning'. Memang ada kemungkinan bahwa tidak semua warna dasar dikenal kelompok masyarakat tertentu, tetapi Swadesh tidak memberitahukan mengapa blue dan brown tidak dipakai. 7. Swadesh (1952:13) mengatakan bahwa jika ada dua kata atau lebih dalam satu bahasa sebagai padanan alternatif bagi satu kata dalam bahasa lain, peneliti harus memilih satu dari kata-kata tersebut secara acak. la
Universitas Sumatera Utara
memberikan alasan bahwa pemilihan secara acak terhadap kata-kata tertentu dalam satu bahasa akan mengimbangi pemilihan dengan teknik yang sama terhadap kata-kata dalam bahasa lain, sehingga perhitungan statistik tidak akan terpengaruh oleh pemilihan tersebut. Tetapi cara seperti itu dapat merugikan apabila teknik random kebetulan memilih kata-kata yang salah secara berulang dalam satu bahasa dan memilih kata-kata yang benar secara berulang dalam bahasa lain. Untuk menghidarkan kekeliruan seperti itu, kata-kata alternatif tersebut harus diuji dalam konteks yang berbeda. Cara demikian akan memungkinkan peneliti dapat menentukan kata mana yang paling sesuai dengan kata yang ada dalam alat penjaring data. Yang menjadi kesulitan adalah hal bahwa peneliti dan informan mungkin tidak saling mengerti apabila harus membicarakan konteks pemakaian kata-kata tersebut. 8. Revisi Swadesh terhadap dattar kosakata dasar yang memuat 200 kata menjadi 100 untuk tujuan akurasi hasil penelitian boleh jadi justru mengaburkan, karena semakin sedikit jumlah data hasil perhitungan statistik akan semakin
kabur.
Swadesh
boleh
saja
melakukan
penyesuaian-
penyesuaian dengan mengeluarkan kata-kata yang dianggap tumpang tindih. Tetapi setidaknya, dia masih dapat mempertahankan jumlah 200 kata, bahkan menambahkan kata-kata lain kepada daftar 200 kata itu. Tidak tertutup kemungkinan daftar 1.000 kata dasar dapat disusun. Kroeber (1955:97) mengatakan bahwa daftar 1.000 kata lebih baik daripada daftar 100 atau 200 kata. Pemakaian daftar 1.000 kata dasar jelas sangat menguntungkan karena kesalahan penentuan kata-kata kerabat dalam jumlah
Universitas Sumatera Utara
yang kecil, misalkan 5 atau 10 pasang, tidak begitu mempengaruhi hasil statistik. Sebaliknya, jika terjadi kesalahan dalam jumlah yang sama dengan memakai daftar 100 kata, misalnya, kesalahan tersebut pasti akan sangat merugikan (lihat Gudschinsky, 1956:182). Atas argumentasi itulah, peneliti tidak memakai daftar 100 atau 200 kata. Gudschinsky (1956) memodifikasi daftar kosakata dasar Swadesh dengan mengurangi, dan sekaligus menambah kosakata dasar Swadesh. Di antara katakata yang dikurangi itu adalah snow, ‘salju’,
cook 'memasak, dan
dance
'menari’, dan di antara kata-kata yang dimasukkannya itu adalah dust 'debu', fly 'terbang', dan sebagainya. Di samping itu, Gudschinsky mengatakan bahwa suatu daftar kosakata dapat direvisi dengan menambah atau mengurangi sejumlah kata dari daftar tersebut sehingga kata-kata yang dipakai untuk menjaring data benar-benar sesuai dengan keadaan geografis dan budaya masyarakat pemakai bahasa yang diteliti. Ini berarti, kosakata dasar dalam setiap bahasa tidak mutlak sama, tetapi prinsip-prinsip mengenai keuniversalan kosakata dasar harus dijadikan sebagai landasan dalam menentukan suatu daftar kosakata dasar. Gudschinsky menambahkan bahwa jika jumlah kosakata kerabat sangat kecil, satu kesalahan dalam penentuan pasangan kata kerabat akan berakibat fatal terhadap penghitungan tingkat kekerabatan. Hockett (1955:89) menekankan, The mathematical methods which are to be applied to the data are of statistical nature: the smaller the sample, the more vague the results.
Universitas Sumatera Utara
Khusus mengenai rekonstruksi proto-bahasa, data yang tidak akurat dan terbatas akan melahirkan analisis yang tidak jelas dan membatasi jumlah perangkat korespondensi. Seperti Swadesh, Gudschinsky dalam daftar kosakata dasarnya yang merupakan modifikasi atas daftar Swadesh, memakai kata yang bermakna ganda yaitu fly. Kata tersebut, jika tidak diikuti oleh keterangan,
dapat membingungkan
karena mengandung dua makna yang frekuensi pemakainya sama-sama tinggi yaitu terbang dan lalat. Di samping kelemahan itu, Gudschinsky juga memakai daftar kosakata yang jumlahnya tergolong kecil (200 kata). Daftar pendek seperti ini kurang ampuh mengatasi kekaburan studi komparatif jika peneliti membuat kesalahan dalam menentukan kata-kata kerabat. Keraf (1990:91) mengatakan, ada 100 kata yang merupakan pengkhususan bagi
wilayah
Austronesia.
Penjelasan
tersebut
melengkapi
daftar
kosakata dasar Swadesh, Gudschinsky, Rea, dan Travis. Alasan Keraf untuk merumuskan daftar 100 kosakata itu adalah sebagian besar dari kata-kata tersebut sudah digunakan Kern dalam menentukan negeri asal bahasa-bahasa Austronesia. Dari daftar tersebut, dipilih kata-kata yang dianggap mesra dengan masyarakat Batak. Beberapa kata dikeluarkan dan sebagai penggantinya dimasukkan sejumlah kata yang merupakan pengkhususan bagi wilayah dan budaya Batak. Dalam daftar kosakatanya, Keraf kelihatannya menerjemahkan secara langsung kosakata yang terdapat dalam daftar 200 kosakata Swadesh, tanpa mempertimbangkan masalah konteks. Hal demikian menyebabkan banyak kata terjemahan Keraf itu tidak merupakan isi (content) kosakata dasar sumbernya. Dia mungkin lupa bahwa apa yang dimaksud Swadesh (1951) dan
Universitas Sumatera Utara
Gudschinsky (1956:175-210) dengan terjemahan bukanlah terjemahan yang terlepas dari konteks. Akibatnya, dia memuat kata-kata ekor dan hati yang masing-masing bermakna ambigu, jika tidak dilengkapi dengan keterangan. Kata ekor dapat ditafsirkan sebagai bagian dari organ tubuh hewan dan satuan untuk mengatakan jumlah hewan. Sama halnya, kata hati bisa ditafsirkan sebagai bagian organ tubuh manusia atau hewan dan perasaan manusia terhadap sesuatu. Pada hal, yang dimaksud Swadesh dengan ekor adalah tail 'organ tubuh hewan' dan hati adalah lever 'organ tubuh manusia'. Selain
daripada
kekeliruan-keliruan
itu,
Keraf
membuat
kesalahan-kesalahan lain yang dapat menyesatkan seorang peneliti. Kesalahankesalahan tersebut adalah sebagai berikut: Keraf
Swadesh
Terjemahan yang seharusnya
busuk gosok jatuh kulit panas tongkat tahu
rotten (log) scratch (itch) fall (drop) skin (person) warm (weather) stick (wood) know
lapuk (kayu) garuk (gatal) ter (jatuh) kulit (manusia) panas (cuaca) tongkat (kayu) tahu (verba)
Seharusnya Keraf lebih hati-hati dalam menerjemahkan kata-kata tersebut. Andai kata seorang peneliti memakai daftar terjemahan ini, dan kebetulan membuat kesalahan-kesalahan dalam menentukan pasangan-pasangan kata kerabat, sudah dapat dibayangkan betapa kaburnya hasil penelitian yang dilakukan peneliti tersebut. Keraf tidak konsisten dengan apa yang dikatakannya pada Keraf (1991:134), bahwa seorang peneliti harus cermat dalam menentukan kosakata dasar dan pasangan-pasangan kata kerabat. Travis (1986:23), dalam penelitiannya memakai daftar kosakata yang terdiri atas 210 kata. Daftar ini dapat dijadikan sebagai bahan bandingan
Universitas Sumatera Utara
dalam penentuan kosakata dasar bbB. Travis juga mencatat cara memilih satu kata dari beberapa kata yang mungkin akan diberikan para informan sebagai padanan bagi satu kata dalam daftar kosakata, penjaring data. Travis memilih satu dari beberapa kata yang diberikan informan sebagai padanan dari satu kata setelah melakukan pengecekan konteks pemakaian katakata. tersebut. Jika informannya tidak dapat menunjukkan kata mana yang lebih diinginkan, dia memilih kata yang pertama atas dasar bahwa pengucapan kata tersebut lebih spontan dari pengucapan kata-kata lain. Menurut observasi yang dilakukan peneliti terhadap bahasa-bahasa Batak, adanya beberapa kata sebagai padanan satu kata dalam daftar penjaring data tidak dapat dielakkan. Tarigan (1991:35) melengkapi teori Swadesh mengenai penentuan katakata apa saja yang termasuk dalam kosakata dasar. Menurut Tarigan, kosakata dasar mencakup istilah kekerabatan, seperti: ayah, ibu, anak, adik; nama-nama bagian tubuh, seperti kepala, rambut, mata, kata ganti (diri, penunjuk), seperti: saya, dia, kami, mereka, ini, itu; kata bilangan pokok, seperti satu, dua, tiga, sepuluh, seribu, sejuta; kata kerja pokok, seperti: makan, minum, tidur, bangun; kata keadaan pokok, seperti: suka, duka, senang, sehat, bersih; serta benda-benda universal, seperti: langit, bulan, bintang, matahari. Berdasarkan kekuatan dan kelemahan berbagai daftar kosakata dasar di atas, peneliti membuat daftar 300 kata yang merupakan kombinasi dari daftar kosakata Swadesh (1952;1955), Gudschinsky (1956), Rea dalam Lehman (1962), Travis (1986),
Keraf (1991),
dan Tarigan (1991) yang disesuaikan
dengan budaya dan keadaan daerah-daerah Batak.
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.6 Pengelompokan Bahasa Tentang pengelompokan bahasa-bahasa berkerabat, Langacker (1972:339) menjelaskan bahwa kriteria dasar pengelompokan bahasa-bahasa berkerabat adalah inovasi bersama (shared innovation). Secara utuh, penjelasan tersebut dikutip di bawah ini: The basic criterion for establishing subfamilies is shared innovation. If two or more languages have undergone a substantial number of common changes that have not occurred in any other daughters, it is likely that these languages constitute a subfamily and derive from a common pattern that does not underlie the other daughters. Mengenai hal yang sama, Crowley (1992:163-164) mengatakan, bahasabahasa berkerabat dalam satu kelompok (subgroup) mempunyai tingkat kedekatan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tingkat kedekatan tersebut dijadikan sebagai landasan pengelompokan bahasa-bahasa berkerabat. Hal itu dapat dilihat dari data berikut: b.Inggris
b. Belanda
wn
e:n
b. Jerman ains
b. Perancis
b.Italia
ce
b.Rusia
uno
adin tu: i:
twe:
tsvai dri:
due dʶai
dva tʶwa
tre
tri fo: faiv
fi:r tetire fif pat
fi:ʶ fynf
katʶ sk
kwatro tikwe
Terdapat keidentikan yang cukup untuk menempatkan keenam bahasa di atas dalam satu kelompok. Lebih jauh, terdapat keidentikan yang menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Belanda lebih dekat antara satu dengan yang lain dibanding dengan ketiga bahasa lainnya. Sama halnya, bahasa Perancis dan bahasa Italia lebih dekat antara satu dengan yang lain dibanding dengan keempat bahasa lainnya. Sementara itu, bahasa Rusia terlihat berdiri sendiri. Hal ini menunjukkan dalam keluarga bahasa tersebut, terdapat tiga kelompok bahasa. Kelompok
pertama terdiri atas bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa
Jerman. Kelompok kedua terdiri atas bahasa Perancis dan bahasa Italia. Kelompok ketiga terdiri atas hanya bahasa Rusia. Pengelompokan tersebut dapat ditunjukkan dalam diagram pohon berikut: Proto-Indo-Europa
Proto-Jerman
Proto-Romanik
b.Inggris b.Belanda b.Jerman b.Perancis
b.Italia
b.Rusia
Diagram 2.1 Pengelompokan Bahasa
Diagram tersebut menunjukkan bahwa bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman diturunkan oleh bahasa yang sama, yakni (proto-Germanic). Proto-Jerman
proto-Jerman
dan ketiga bahasa lainnya diturunkan oleh
bahasa yang sama, yakni proto-Indo-Eropa (proto-Indo-European). Menurut Crowley, pengelompokan bahasa tidak didasarkan pada retensi bersama (shared retention) melainkan pada inovasi bersama inovasi ( shared innovation) bahasa-bahasa berkerabat. Menggunakan retensi bersama sebagai dasar pengelompokan bahasa tidak tepat karena terlalu banyak bunyi yang
Universitas Sumatera Utara
mengalami retensi dalam bahasa-bahasa berkerabat. Inovasi dijadikan sebagai landasan pengelompokan bahasa didasarkan pada fakta bahwa inovasi dalam satu bahasa tidak mungkin terjadi secara tersendiri dan pasti mempunyai hubungan dengan inovasi pada bahasa-bahasa kerabatnya. Namun perlu diperhatikan bahwa inovasi bersama dapat terjadi secara kebetulan melalui proses perubahan paralel (parallel development or drift). Misalnya, dalam banyak bahasa Oseanik moderen, konsonan hilang pada akhir kata ( C →/___#). Dalam bahasa Enggano, pulau di selatan Sumatera, inovasi yang sama juga terjadi. Namun, bahasa-bahasa Oseanik tidak berada dalam satu kelompok dengan bahasa Enggano karena bahasa ini tidak mempunyai kemiripan lain dengan bahasa-bahasa Oseanik.
Atas dasar itu,
faktor-faktor
berikut harus dihindarkan: a. perubahan bunyi yang sangat tidak biasa; b. perubahan-perubahan fonologis, khususnya perubahan-perubahan yang tidak biasa terjadi secara bersamaan dalam bahasa-bahasa berkerabat; c. perubahan-perubahan
yang
berkorespondensi
dengan
perubahan-
perubahan yang tidak ada hubungannya dengan perubahan-perubahan gramatikal dan semantik. 2.1.1.7 Kata Pinjaman Langacker (1972:333) . memberikan penjelasan mengenai kata-kata pinjaman. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa kosakata dasar bersifat universal yang memperkecil kemungkinan adanya pinjam-meminjam, ada baiknya diperhatikan secara serius kemungkinan adanya kata-kata pinjaman. Dia mengatakan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
Borrowed lexical items often disobey otherwise general phonotactic restrictions of the borrowing language. Long lexical items that cannot be broken down into familiar morphemes are also likely to have been borrowed. Sapir (1921:197) mempunyai pandangan yang senada dengan Langacker tersebut. Dia mengatakan bahwa kata-kata pinjaman sering melanggar sistem fonetik bahasa yang meminjam meskipun kata-kata pinjaman tersebut telah mengalami modifikasi fonetik. Gudschinsky (1956) menjelaskan cara untuk menentukan kata-kata nonkerabat akibat adanya pinjaman baik dari bahasa-bahasa kerabat maupun bahasa-bahasa nonkerabat. Menurut Gudschinsky (1956:181), kata-kata dalam .bahasa yang diteliti yang mempunyai bentuk dan arti yang sama atau mirip dengan kata-kata dalam bahasa nonkerabat yang mempunyai atau pernah mempunyai hubungan budaya dengan bahasa yang, diteliti harus dicurigai sebagai kata-kata pinjaman. Untuk menentukan kata-kata pinjaman dari bahasa-bahasa kerabat, harus dilihat frekuensi munculnya fonem-fonem tertentu dalam bahasa-bahasa yang dibandingkan. Fonem-fonem yang frekuensi pemunculannya sangat terbatas dianggap merupakan pinjaman dari bahasa yang menunjukkan frekuensi yang tinggi pemunculan fonem-fonem tersebut. Dalam membandingkan dialek Huautta dan San Miguel bahasa Mazatec, misalnya, terlihat bahwa kata n'ai 'ayah' dalam kedua dialek itu bukanlah kata-kata kerabat karena pemunculan ai dalam dialek San Miguel hanya terbatas pada istilah-istilah keagamaan, sedangkan dalam dialek Huautla, pemunculan klaster itu tidak terbatas.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitiannya terhadap delapan bahasa nusantara, Kridalaksana (1963-1973) mengatakan bahwa kata-kata yang sama bentuk dan artinya dalam dua bahasa nonkerabat dianggap sebagai pinjaman dari sesamanya. Kridalaksana yang
mengutip
Gudschinsky (1956:181) membuat
kekeliruan
dengan
mengabaikan masalah kontak budaya antara dua bahasa nonkerabat. Persamaan bentuk dan arti tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menentukan bahwa katakata tertentu merupakan pinjaman jika kedua bahasa dalam mana kata-kata itu dijumpai tidak mempunyai atau tidak pernah mempunyai kontak budaya. Masalah lain yang perlu mendapat perhatian dalam penelitian tersebut adalah, Kridalaksana tidak menunjukkan penerapan rumus-rumus penentuan pasangan-pasangan kata kerabat dan penentuan waktu pisah bahasa-bahasa itu serta penentuan standar kesalahan. Langkah seperti ini akan menyulitkan pembaca untuk mengetahui apakah ada kekeliruan dalam penerapan rumus-rumus tersebut. Uraian tentang kata-kata pinjaman (loan words) ini sangat diperlukan untuk menghindari kesalahan dalam pengumpulan dan pemilihan data yang termasuk dalam daftar kosakata dasar yang dijadikan peneliti sebagai alat penjaring data. 2.1.1.8 Kata-Kata Tabu Teeter (1963) mengatakan bahwa kata-kata nonkerabat dapat terjadi akibat adanya faktor tabu atau dalam istilah Gillieron dalam V.Teeter verbal pathology. Menurut Teeter, selain memperhatikan kata-kata kerabat, seorang peneliti perlu juga memperhatikan kata-kata nonkerabat yang muncul akibat adanya faktor tabu, karena hal ini akan mempengaruhi akurasi penelitian. Ada kalanya, pasangan kata tertentu mempunyai bentuk dan arti yang sangat berbeda akibat adanya faktor
Universitas Sumatera Utara
tabu (dalam satu bahasa kata tertentu dianggap tabu, tetapi dalam bahasa lainnya kata yang sama dianggap tidak tabu). Jika faktor tabu tidak ada, kemungkin pasangan kata itu adalah berkerabat. Oleh karena itu, seorang peneliti harus menanyakan kepada informannya apakah ada di antara kata-kata yang diucapkannya itu merupakan pengganti kata-kata yang dianggap tabu. Yang menjadi kesulitan dalam penerapan teori ini adalah kemungkin bahwa peneliti dan informan tidak akan saling mengerti dalam pembicaraan yang menyangkut masalah tabu. Kontribusi penjelasan tentang kata-kata tabu dan pengaruhnya terhadap keabsahan data adalah untuk menghindarkan masuknya kata-kata kosong karena informan tidak menyebutkan padanan-padanan kata tertentu yang dianggap tabu. 2.1.1.9 Inovasi Menurut Kridalaksana (1983:65), inovasi adalah perubahan bunyi, bentuk atau makna yang mengakibatkan terciptaanya kata baru. 2.1.1.10 Bahasa-bahasa Batak Bahasa-bahasa Batak adalah bahasa-bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar masyarakat etnik Batak di Tapanuli, Sumatera Utara. Menurut Sibarani (1997), sebagian besar masyarakat Batak bertempat tinggal di Tapanuli, sebagian lainnya di bagian Timur Laut Tapanuli yakni Simalungun, dan sebagian lainnya di sebelah Barat Laut Danau Toba yakni Tanah Karo (lihat peta pada lampiran penelitian ini). Dia menjelaskan, pembagian linguistik bahasa Batak terdiri atas bahasa Batak Toba, bahasa Batak Karo, bahasa Batak Simalungun, bahasa Batak Pakpak Dairi, dan bahasa Batak Angkola Mandailing.
Universitas Sumatera Utara
Menurut http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Batak yang diunduh 20 Agustus 2013, bahasa-bahasa Batak adalah sekelompok bahasa yang dituturkan di Sumatera Utara. Kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok yang dijuluki Northwest Sumatra-Barrier Islands dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Berdasarkan sumber itu, bahasa-bahasa Batak terdiri atas tiga kelompok yakni kelompok Utara (bahasa Alas-Kluet, bahasa Dairi, dan bahasa Karo), kelompok Selatan (Toba, Angkola, dan Mandailing), dan perantara (bahasa Simalungun). Sementara itu, Keraf ( 1991:2009) menjelaskan, bahasa-bahasa Batak terdiri atas bahasa Toba, bahasa Karo, bahasa Simalungun, bahasa Angkola, bahasa Dairi, dan bahasa Alas. Dalam penelitian ini, bahasa-bahasa Batak meliputi bahasa Toba, bahasa Simalungun, bahasa Pakpak Dairi, bahasa Angkola,bahasa Karo, dan bahasa Mandailing. Alasan peneliti untuk memisahkan bahasa Angkola Mandailing menjadi bahasa Angkola dan bahasa Mandailing adalah perkembangaan kedua bahasa telah menjadikan kedua bahasa mempunyai perbedaan yang semakin jauh.
2.2 Kerangka Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang perubahan bahasa. Fakta bahwa bahasa terus mengalami perubahan melalui perkembangan atau inovasi adalah landasan linguistik historis komparatif yang mempelajari sejarah perkembangan proto-bahasa (parent language) menjadi bahasa-bahasa yang diturunkannya (sister languages). Fakta ini jugalah yang melandasi studi komparatif terhadap bahasa-bahasa yang berhubungan secara genetis untuk menemukan perangkat-perangkat korespondensi yang dapat dijadikan data untuk
Universitas Sumatera Utara
melakukan rekonstruksi proto- bahasa, menentukan tingkat kekerabatan dan mengelompokkan bahasa-bahasa berkerabat. Atas dasar perubahan bahasa itulah penelitian ini dilakukan. Berkaitan dengan itu, teori tentang perubahan bahasa disajikan di bawah ini. 2.2.1 Teori Perubahan Bahasa Menurut McManis dkk., (1987:265-267), teori tentang perubahan bahasa bahwa bahasa-bahasa yang mempunyai kemiripan berhubungan satu dengan yang lain dan diturunkan oleh satu bahasa yang dinamakan proto-bahasa (protolanguage) muncul pada abad ke-18. Teori tersebut diawali dengan pernyataan Sir William Jones bahwa kesamaan yang terdapat dalam bahasa Sanskrit, bahasa Junani, dan Latin Kuno dapat dijadikan sebagai bukti bahwa ketiga bahasa itu diturunkan oleh satu bahasa. Teori Jones itu dikembangkan pada abad ke-19 dan kemudian dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin tentang evolusi mahluk hidup. Pada saat itu, para sarjana berpendapat bahwa perkembangan bahasa dapat dianalogikan dalam banyak hal dengan fenomena biologis. Atas dasar itu, disimpulkan bahwa bahasa seperti organisme-organisme hidup lainnya mempunyai silsilah (family trees) dan moyang. Pada tahun 1871, August Scleicher melahirkan teori yang dinamakan Teori Pohon Keluarga Bahasa atau Teori Silsilah Bahasa (Family Tree Theory). Teori ini menyebutkan, bahasa berubah dijelaskan
dalam pola yang teratur dan dapat
(Hipotesis Regularity Hypothesis
‘Hipotesis Keteraturan’) dan
kesamaan antara satu bahasa dengan bahasa-bahasa lainnya disebabkan oleh hubungan genetis di antara bahasa-bahasa tersebut (Relatedness Hypothesis ‘Teori
Universitas Sumatera Utara
Keberhubungan’). Untuk menunjukkan hubungan seperti itu, perlu dilakukan rekonstruksi terhadap proto-bahasa yang menurunkan bahasa-bahasa berkerabat. Teknik merekonstruksi proto-bahasa dinamakan comparative method ‘metode komparatif’. Atas dasar analogi hubungan bahasa dengan manusia, teori tersebut menggunakan istilah proto-bahasa (mother atau parent language) dan bahasabahasa berkerabat (sister languages) yakni, bahasa-bahasa yang diturunkan protobahasa. Namun, terdapat kelemahan teori pohon keluarga karena dapat menimbulkan dua pandangan yang salah tentang perubahan bahasa. Pertama, setiap bahasa mempunyai satu komunitas yang mempunyai bahasa yang sama tanpa adanya variasi internal dan tanpa adanya kontak antara bahasa-bahasa yang berkerabat. Kedua,
proto-bahasa terpecah menjadi bahasa-bahasa turunannya
secara tiba-tiba tanpa adanya tahapan-tahapan (intermediate stages). Tidak ada bahasa yang mutlak berbeda atau terpisah dari bahasa-bahasa lainnya tetapi selalu terdiri atas dialek-dialek yang dapat digolongkan dalam satu bahasa
dan selalu mempunyai kesamaan-kesamaan
kerabatnya,
dengan bahasa-bahasa
meskipun berada dalam sub-kelompok yang berbeda. Penelitian
tentang bahasa-bahasa kontemporer menunjukkan, bahasa tidak terpisah secara tiba-tiba melainkan secara perlahan-lahan dan teratur, yang dimulai dengan lahirnya dialek-dialek dan kemudian berubah menjadi bahasa-bahasa yang berbeda setelah mengalami perubahan secara perlahan-lahan dalam kurun waktu yang lama. Batas dua dialek atau dua bahasa tidak dapat dilakukan secara tepat karena sering dipengaruhi oleh faktor non-linguistik (misalnya, faktor politik).
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengatasi masalah ini, Johannes Schimidt menciptakan Wave Theory (Teori Gelombang) tahun (1872). Teori ini menyebutkan, perubahan perlahan-lahan yang terjadi dalam dialek, bahasa atau kelompok bahasa-bahasa, mirip dengan sebuah gelombang yang membesar dari satu titik di kolam tempat sebuah batu (sumber perubahan) terjatuh. Dialek-dialek terbentuk oleh tersebarnya perubahan-perubahan yang berbeda dari titik-titik sumber perubahan yang berbeda pada tingkat yang berbeda. Beberapa perubahan menguatkan satu sama lain dan beberapa perubahan lainnya melengkapi atau
mempengaruhi
secara parsial satu sama lain dalam batas tertentu, seperti gelombang-gelombang yang terjadi akibat dilemparkannya sejumlah batu ke dalam kolam yang saling menindi satu sama lain. Teori Gelombang itu menolak Teori Pohon Keluarga untuk mengatasi kedua pendapat yang salah tentang perkembangan bahasa Teori Pohon Keluarga dan Teori Gelombang tidak dapat memberikan jawaban
yang memuaskan dan akurat tentang perubahan bahasa dan
keberhubungan bahasa-bahasa. Misalnya, bahasa-bahasa dapat menunjukkan persamaan linguistik meskipun bahasa-bahasa tersebut tidak berhubungan satu sama lain. Persamaan itu mungkin merupakan akibat peminjaman melalui kontak bahasa (language contact), pergeseran (perubahan-perubahan yang sama tanpa adanya hubungan satu sama lain dalam dialek-dialek atau bahasa-bahasa yang berbeda, persamaan jenis struktur morfologi, sintaksis dan alasan-alasan lain. Namun demikian Teori Pohon Keluarga dan Teori Gelombang sangat bermanfaat dalam studi perubahan bahasa. Meskipun McManis dkk., (1987) mengatakan bahwa
teori
Keluarga
Pohon Bahasa yang diciptakan Sir William Jones pada abad ke-18 merupakan teori pertama tentang hubungan genetis bahasa, menurut Finegan & Besnier
Universitas Sumatera Utara
(1979),
Grim telah menciptakan Grimm’s Law pada tahun 1822
untuk
menjelaskan pergeseran bunyi secara teratur dari pra-Indo-Eropa ke bahasa Germanik dan Romance. Grimm mengatakan, pergeseran bunyi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hambat tidak bersuara (voiceless stops) bergeser menjadi frikatif tidak bersuara (voiceless fricatives: p > f, t > , k > h (lebih dikenal dengan p t k > f h) 2. Hambat bersuara (voiced stops) bergeser menjadi hambat tidak bersuara (voiced stops): b > p, d > t, g > k 3. Hambat aspirasi
bersuara (voiced aspirated stops) bergeser menjadi
hambat tak beraspirasi bersuara: b > b, d > d, g > g Pergeseran-pergeseran bunyi tersebut digambarkan dengan
ketiga diagram
berikut: Proto-Indo-Eropa *p
f
*t
p
*k
t
h
k
Diagram 2.2 Pergeseran Bunyi Proto-Indo Eropa
Keteraturan pergeseran bunyi
itulah yang kemudian
perangkat korespondensi dan merupakan
landasan
dikenal dengan
studi komparatif bahasa-
bahasa yang berhubungan secara genetis. Setelah lahirnya teori-teori pergeseran bunyi dan perkembangan bahasa seperti disebutkan di atas, banyak linguis yang membicarakan masalah yang sama,
Universitas Sumatera Utara
tetapi
tidak
satu
pun
dari
pembicaraan-pembicaraan
tersebut
yang
mengungkapkan penemuan baru kecuali penerapannya dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Di bawah ini, disajikan penjelasan-penjelasan tentang pergeseran bunyi dan perkembangan bahasa serta penerapannya. Bloomfield (1951:59) mengatakan, “Written records of earlier speech, resemblance between languages, and varieties of
local dialects, all show that languages change in
the course of time.” Untuk menguatkan penjelasan itu, dia memberikan contoh bahwa dalam naskah
bahasa
Inggris Kuno terdapat kata stan ‘stone’ yang interpretasi
fonetisnya adalah sta:n dan jika disepakati
bahwa dalam bahasa Inggris
Moderen adalah stown, berarti a: dalam bahasa Inggris Kuno telah berubah menjadi ow dalam bahasa Inggris Moderen. Tentang perubahan bahasa, Hock (1988: 1) mengatakan, “From time immemorial people have been concerned about the fact that language changes and that languages become different as they change”. Untuk menunjukkan perubahan itu, dia membandingkan Lord,s Prayer (Doa Bapak Kami) dalam bahasa Inggris Kuno, bahasa Inggris Pertengahan, Bahasa Inggris Pra-baru, dan bahasa Inggris Moderen. Perubahan bahasa juga dibahas oleh Finegan dkk., (1989:277) dengan mengatakan, It’s no secret that languages change over the years. All of us can recoqnize different speech patterns between one generation and the next. There are probably notable differences between the speech
Universitas Sumatera Utara
patterns of your parents and your friends, and even greater ones between your grandparents and your friends. The most noticeable differences betweeen one generation and another are in vocabulary. Finegan & Besnier memberikan contoh tentang perubahan bahasa, khusus dalam bidang fonologi. Kata nuclear diucapkan nuklir ratusan tahun yang lalu dan sekarang diucapkan nuklir serta realtor yang dulu diucapkan riltr sekarang diucapkan riltr. Perubahan tersebut merupakan rekonstruksi internal atau top-down yang membandingkan satu bahasa dalam waktu yang berbeda. Sementara itu, Crowley (1992) menunjukkan perubahan bahasa dengan pernyataan berikut: The concept of proto-langue and langue relationship both rest on the assumption that languages change. In fact, all languages change all the time. It is true to say that some languages change more than others, but all languages change nevertheless. But while all languages change, the change need not be in the same direction for all speakers. Membuktikan
bahwa
bahasa
mengalami
perubahan,
Crowley
menunjukkan perubahan bunyi p dalam bahasa Uradhi, Queensland Utara menjadi w dalam bahasa moderen seperti di bawah ini: b. Uradhi *pinta
→
winta tangan
*pilu
→
wilu
pinggul
*pata
→
wata
gigit
Universitas Sumatera Utara
Rekonstruksi itu sama dengan rekonstruksi
sebelumnya, yakni
rekonstruksi internal karena perbandingan dilakukan terhadap satu bahasa (Uradhi) dalam waktu yang berbeda. Perubahan bunyi dalam bahasa-bahasa berkerabat dengan rekonstruksi komparatif digambarkan Crowley dalam bahasabahasa Tonga, Samoa, Rarotong (yang dipakai di kepulauan Cook, dekat Tahiti) dan Hawai sebagi berikut: b. Tongan
b. Samoa
b. Rarotong
b. Hawai
tafa-
tafa
taa
kaha
samping
2.2.2 Rumus Perubahan Bunyi Menurut Crowley (1992:66), perubahan bunyi terdiri atas perubahan bunyi tak bersyarat (unconditioned
sound change) dan
perubahan bunyi bersyarat
(conditioned sound change). Perubahan bunyi tak bersyarat adalah perubahan bunyi yang dapat terjadi pada
posisi-posisi yang berbeda dan sangat kecil
kemungkinan terjadi akibat lingkungan. Perubahan bunyi bersyarat adalah perubahan bunyi yang diakibatkan oleh pengaruh bunyi yang berdekatan. Crowley (1992:67-68), dalam penelitiannya terhadap sejumlah bahasa menggambarkan perubahan-perubahan bunyi sebagai berikut: 1. t→k
{t} menjadi {k}
2. η →
{η} hilang
3. t→ s/___ depan
{t} menjadi {s} di depan vokal
V 4. x→k/s___
{x} menjadi {k} di belakang {s}
5. p→v/V___V
{p} menjadi {v} di antara vokal
Universitas Sumatera Utara
6. p→w/#___
{p} pada posisi awal menjadi {w}
7. bersuara→tak bersuara/___# konsonan bersuara menjadi konsonan tak bersuara
C
8. V→/___#
vokal-vokal pada akhir kata hilang
9. V→ /V (C)___ {nas}
{nas}
Hock (1988: 26) merumuskan perubahan bunyi untuk dijadikan sebagai generalisasi seperti berikut: 1. a > b = a berubah menjadi b akibat perubahan bunyi 2. b < a = b berkembang dari a akibat perubahan bunyi 3. a > b/c ___ d = a berubah menjadi b … di lingkungan antara c dengan d (Variasi: a > b/c ___ , a > b/___ = setelah c, sebelum d) 4. a > b / c = a berubah menjadi b jika didahului dan/atau diikuti oleh c, misalnya jika berdekatan dengan c 5. a > b/ ___ X d = a berubah menjadi b jika d mengikutinya, dengan adanya segmen X yang mempengaruhi, misalnya tidak dengan kontak langsung 6. a > b/ ___ (X) d = a berubah menjadi b jika d mengikutinya, dengan X opsional yang mempengaruhi 7. a > b / ___ Co c = a berubah menjadi b jika c mengikutinya, dengan atau tanpa konsonan yang mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Jenis-jenis Perubahan Bunyi Proto-bahasa berkembang menjadi bahasa-bahasa kontemporer dengan adanya perubahan-perubahan bunyi dari bunyi-bunyi proto-bahasa. Menurut Crowley (1992:38) terdapat sejumlah perubahan bunyi yakni lenisi, fortisi, afresis, apakop, sinkop, reduksi klaster, haplologi, eksresens, epentesis atau anaptiks, protesis, metatesis, fusi, unpaking, pemisahan vokal, asimilasi,
disimilasi, perubahan
tak
normal,
penghilangan
fonem,
penambahan fonem. Di samping perubahan-perubahan bunyi tersebut, (1991: 92) mencatat perubahan-perubahan bunyi lainnya, yakni
dan Keraf
perpanjangan
pengimbang, labialisasi, dan paragog. Di bawah ini disajikan penjelasan dan data Crowley (1992:38-51) tentang jenis-jenis perubahan bunyi tersebut. 2.2.3.1 Lenisi dan Fortisi Lenisi (lenition) adalah perubahan bunyi dari keras menjadi lemah yakni bersuara (voiced) menjadi tidak bersuara (voiceless), misalnya b menjadi p. Perubahan bunyi keras b menjadi bunyi lemah p lebih mungkin terjadi dari p menjadi b. Tetapi perubahan bunyi lemah menjadi keras dapat terjadi meskipun sangat jarang. Perubahan tersebut dinamakan fortisi (fortition). Lenisi juga mencakup perubahan akibat adanya penghilangan bunyi seperti diuraikan di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3.2 Afresis Afresis (aphaeresis) adalah hilangnya konsonan awal pada suatu kata. Lihat contoh berikut: b. Angkamuthi *maji *nani *ampu
→ → →
makanan tanah gigi
aji ani ampu
2.2.3.3 Apokop Apokop (apocope) adalah hilangnya bunyi vokal pada posisi akhir kata. Lihat contoh berikut: b. Ambrym Tenggara *utu *aηo *asue
→ → →
ut a asu
kutu lalat tikus
2.2.3.4 Sinkop Sinkop (syncope) adalah hilangnya bunyi vokal pada posisi tengah kata. Lihat contoh berikut: b. Lenakel *namatana (maskulin/feminin) *nalimana (makulin/feminin) *masa rendah
→
nimrin
matanya
→
nelmin
tangannya
→
mha
air
pasang
Universitas Sumatera Utara
2.2.3.5 Reduksi Klaster Reduksi klaster adalah rangkaian konsonan (tanpa adanya bunyi vokal di antaranya) dengan menghilangkan satu atau lebih konsonan. Lihat contoh berklut ini: b. Inggris
b. Pidgin Melanesi
district distikt distrik post post pos ground gnd paint pint cat tanktk
distrik pos
pen tanki
ta
Dalam bahasa Inggris, kata government menghilangkan
konsonan
tanah
graun
/n/
dalam
yang diucapkan dengan
gvmn
alih-alih
gvnmn merupakan reduksi klaster. 2.2.3.6 Haplologi Haplologi (haplology) adalah perubahan akibat hilangnya suku kata secara menyeluruh ketika suku kata tersebut ditemukan pada suku kata berikutnya yang mirip dengan suku kata itu. Misalnya, kata library diucapkan dengan laibi alih-alih laibi. 2.2.3.7 Pertambahan Bunyi Dalam bahasa Inggris Moderen, penutur sering mengucapkan something dengan menambahkan bunyi p sehingga menjadi smpi alih-alih smi. Kehadiran bunyi p tersebut merupakan contoh pertambahan bunyi. Pertambahan bunyi pada banyak bahasa terjadi pada konsonan pada akhir
Universitas Sumatera Utara
kata melalui penambahan bunyi vokal sehingga membentuk struktur konsonan vokal (KV) dengan menghindarkan terbentuknya klaster pada akhir kata. Perhatikan contoh berikut: b. Inggris
b. Maori
calf court korofa cook map
ka:fe ko:ti golf kuki mapi
anak lembu pengadilan golf memasak peta
Ada beberapa jenis pertambahan bunyi seperti disebutkan di bawah ini. 2.2.3.8 Ekskresen Ekskresen (excrescence) adalah penambahan satu konsonan ke antara dua konsonan lainnya dalam satu kata. Penyisipan konsonan p ke tengah m pada kata something merupakan contoh ekskresen. Ekskresen terjadi pada katakata lainnya dalam sejarah perkembangan bahasa Inggris dan
kini telah
dimasukkan dalam sistem ujaran bahasa Inggris seperti terlihat di bawah ini: b.Inggris *mti → *ymle
→
mpti
empty imbl
kosong thimble sarung
jari Bunyi stop eksresen dalam contoh di atas mempunyai titik artikulasi yang sama
atau homorgan dengan bunyi nasal yang mendahuluinya. Bunyi-bunyi
hambat tersebut ditambahkan untuk menutup velum yang terbuka pada saat memproduksi nasal sebelum memproduksi bunyi yang bukan nasal berikutnya.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3.9 Epentesis atau Anaptiksis Epentesis (epenthesis)
atau anaptiksis (anaptyxis) adalah penambahan
vokal di tengah kata untuk memisahkan dua konsonan dalam satu klaster. Proses ini menghasilkan struktur suku kata konsonan vokal (CV) untuk menghindarkan klaster konsonan pada awal kata dan klaster konsonan pada akhir kata. Para penutur sejumlah dialek bahasa Inggris sering menambahkan schwa ke antara klaster konsonan pada posisi akhir kata film ‘pilem’ untuk menghasilkan film alih-alih film. Epentesis juga terjadi dalam sejarah perkembangan bahasa Tok Pisin seperti terlihat pada contoh berikut ini: b. Inggris
b. Tok Pisin
black blk blue blu: next nkst six siks
→ → → →
bilak bulu nekis sikis
hitam biru berikut enam
2.2.3.10 Protesis Protesis (prothesis) adalah penambahan bunyi di depan kata. Lihat contoh berikut: b. Motu *api → *asan → *au →
lahi lada lau
api insang ikan saya (subjek dan objek)
Universitas Sumatera Utara
2.2.3.11 Metatesis Metatesis (metathesis) adalah perubahan susunan atau posisi bunyi dalam satu kata, misalnya, kata relevant dengan revelant alih-alih relevant. Perubahan tersebut bukan merupakan penghilangan, penambahan atau pergeseran bunyi. Metatesis terjadi dalam sejarah perkembangan bahasa Inggris dan bentuk-bentuk yang mengalami perubahan telah diterima menjadi bentuk-bentuk yang standar. Misalnya, melalui metatesis, kata bird b:d dulu diucapkan bd alih-alih bd. 2.2.3.12 Fusi Fusi (fusion) adalah perubahan bunyi yang diakibatkan oleh bergabungnya dua bunyi yang berbeda menjadi satu bunyi. Bunyi tunggal tersebut memiliki fitur-fitur kedua bunyi asal. Misalnya, bunyi m mempunyai fitur fonetik sebagai berikut: 1. bersuara (voiced) 2. bilabial 3. nasal 4. kontinuan (continuant) 5. konsonan, dan bunyi a mempunyai fitur fonetik sebagai berikut: 1. bersuara (voiced) 2. rendah (low) 3. kontinuan (continuant) 4. vokal
Universitas Sumatera Utara
Ketika dua bunyi berubah menjadi satu bunyi melalui proses fusi, sejumlah fitur dari masing-masing bunyi dimunculkan dan bunyi tunggal yang baru diucapkan dengan berbeda dari keduanya tetapi mengandung fitur-fitur kedua bunyi asal. Lihat contoh berikut: b. Perancis *bn → *vn → *blan →
b v bla
baik anggur putih
Tanda menunjukkan nasalisasi vokal yang dapat dirumuskan dengan Vokal + Nasal → Vokal Nasal. 2.2.3.13 Anpaking Anpaking (unpacking) adalah proses fonetik yang merupakan kebalikan dari fusi. Dalam proses ini, satu bunyi berubah menjadi dua bunyi yang masingmasing mengandung fitur-fitur bunyi asal. Perhatikan contoh berikut: b. Perancis
b. Bislama
camion kami → accident aksida → calecon kals
kamio truk aksido kecelakaan → kalso pakaian dalam
2.2.3.14 Pemecahan Vokal Pemecahan vokal (vowel breaking) adalah perubahan satu bunyi vokal menjadi diftong. Dalam proses ini, vokal asal tidak berubah tetapi menerima bunyi luncur yang ditambahkan sebelum atau sesudah bunyi tersebut. Jika bunyi luncur ditambahkan ke depan bunyi vokal, penambahan tersebut dinamakan onglide dan jika bunyi luncur ditambahkan ke belakang vokal penambahan tersebut dinamakan off-glide.
Universitas Sumatera Utara
Pengucapan kata bad bd dengan bd dan bid merupakan contoh pemecahan vokal melalui proses off-glide. Pengucapan cat dengan kjt dalam dialek bahasa Inggris Barbadia merupakan contoh pemecahan vokal melalui proses on-glide. Lihat beberapa contoh lainnya di bawah ini: b. Kairiru *pale *manu *namu *ndanu *lako
pial mian niam rian liak
rumah burung nyamuk air pergi
Sebagai catatan, contoh di atas juga merupakan contoh apakop, yakni hilangnya vokal pada posisi akhir kata. 2.2.3.15 Asimilasi Asimilasi (assimilation) adalah perubahan bunyi yang diakibatkan oleh pengaruh bunyi yang berdekatan. Dua bunyi dikatakan lebih mirip secara fnetis antara satu dengan yang lain setelah terjadi perubahan bunyi (jika kedua bunyi yang berdekatan mempunyai kemiripan ciri fonetis) dibanding dengan sebelum perubahan bunyi terjadi. Jika perubahan bunyi mengakibatkan bertambahnya fitur (ciri) fonetis yang dimiliki kedua bunyi yang berdekatan, berarti asimilasi telah terjadi. Sebagai contoh, klaster konsonan pada np, n dan p dapat saling mempengaruhi. Kedua konsonan mempunyai fitur-fitur fonetis sebagai berikut:
n
p
Universitas Sumatera Utara
1.voiced (bersuara) 2. alveolar 3. nasal
voiceless (tidak bersuara) bilabial stop
Bunyi n dapat kehilangan fitur nasalnya dan menggantikannya dengan fitur p yang mengikutinya yang dapat ditunjukkan dengan →
*np
dp
Selain mengasimilasi fitur nasal, kita juga dapat mengasimilasi titik artikulasi dengan mengikuti fitur konsonan berikutnya dengan menghasilkan perubahan berikut: →
*np
mp
Jika fitur kebersuaraan nasal menyerap ketidakbersuaraan bunyi hambat yang mengikutinya, diperoleh perubahan berikut: →
*np Contoh-contoh
np di atas mencakup perubahan satu fitur fonetis saja.
Perubahan dua fitur fonetis secara serentak dapat terjadi seperti dalam contoh berikut: *np
→
bp
(bunyi n hanya mempertahankan kebersuaraan nasalnya pada b tetapi menyerap keadaan artikulasi (manner of articulation) dan titik artikulasi (point of articulation) bunyi p yang mengikutinya secara serentak) *np
→
tp
Universitas Sumatera Utara
(bunyi n hanya mempertahankan titik artikulasi nasal alveolar pada t tetapi mengikuti fitur p dalam ketidakbersuaraan dan keadaan artikulasinya), dan *np (bunyi
n
→
hanya
mp mempertahankan
kenasalannya
tetapi
menyerap
ketidakbersuaraan dan titik artikulasi bunyi p yang mengikutinya). Contoh-contoh di atas merupakan contoh-contoh asimilasi parsial (partial assimilation), karena bunyi yang mengalami perubahan selalu mempertahankan paling sedikit satu dari fitur-fitur fonetis bunyi aslinya yang membedakannya dari bunyi yang tidak mengalami perubahan. Jika semua fitur menyesuaikan diri dengan fitur-fitur
berubah untuk
bunyi lainnya, maka kedua bunyi itu
menjadi identik yang dinamakan geminate (bunyi ganda secara fonetis) yang juga disebut sebagai asimilasi penuh yang dapat ditunjukkan dengan perubahan np menjadi pp. Contoh-contoh asimilasi tersebut dinamakan asimilasi regresif (regressive assimilation) yang ditandai dengan pengaruh bunyi dari arah kanan ke kiri. Fiturfitur p
lah yang mempengaruhi fitur-fitur n
yang mendahuluinya.
Asimilasi seperti ini dapat ditunjukkan dengan A < B. Asimilasi yang berlawanan dengan asimilasi tersebut (kiri ke kanan) dinamakan
asimilasi progresif
(progressive assimilation) yang dapat ditunjukkan dengan A > B. Asimilasi progresif juga dapat berwujud asimilasi progresif parsial dan asimilasi progresif total. Dalam lingkungan klaster konsonan np, asimilasi progresif parsial dapat menunjukkan perubahan-perubahan bunyi sebagai berikut: *np
→
nb (asimilasi kebersuaraan)
Universitas Sumatera Utara
*np
→
nt (asimilasi titik artikulasi)
*np
→
nm (asimilasi keadaan artikulasi)
*np
→
nm (asimilasi dengan mempertahankan fitur tak bersuara p)
*np
→
nm ( asimilasi dengan mempertahankan fitur bilabial p)
*nd
→
nd (asimilasi dengan mempertahankan fitur stop p)
Dalam lingkungan yang sama,
asimilasi progresif total dapat
menunjukkan perubahan bunyi berikut: *np
→
nn (tanpa menyerap satu pun dari fitur-fitur p)
Asimilasi titik artikulasi sangat sering terjadi dalam bahasa Inggris. Misalnya,
in- dalam prefiks in- bervariasi menjadi im- di depan
konsonan bilabial, i- di depan velar, dan in- di depan bunyi-bunyi lainnya, termasuk vokal) seperti dalam contoh-contoh berikut: in-dvizbl im-blns i-knsidt in-dmisbl
inadvisable imbalance inconsiderate inadmissable
Dalam contoh-contoh di atas in- berasimilasi dengan titik artikulasi konsonan berikutnya (misalnya, fitur alveolar digantikan dengan fitur titik artikulasi bunyi berikutnya, yakni bilabial atau velar). Perubahan bunyi yang termasuk dalam palatalisasi juga merupakan perubahan asimilasi. Melalui proses ini, bunyi yang bukan palatal (misalnya, dental, alveolar, dan velar) berubah menjadi bunyi palatal, biasanya di depan vokal depan i atau e atau semi vokal j. Bunyi-bunyi yang termasuk dalam bunyi palatal adalah bunyi afriktif t dan d serta bunyi sibilan dan .
Universitas Sumatera Utara
Selain dari asimilasi yang menghasilkan perubahan bunyi pada titik artikulasi, perubahan juga terjadi pada keadaan artikulasi. Lihat contoh berikut dalam bahasa Banoni, Provinsi Salomo Utara. b.Bonani *pekas *wakar *pakan *tipi *makas
→ → → → →
beasa baara vaana tsivi maasa
kotoran akar menambah daging tarian tradisional kelapa kering
Bunyi-bunyi hambat intervokalik pada contoh di atas berubah menjadi frikatif bersuara pada titik artikulasi yang sama. Vokal, nasal, frikatif, dan lateral mempunyai fitur fonetik kontinuan (continuant), pengucapannya dapat diteruskan atau dihentikan. Bunyi-bunyi ini merupakan kebalikan dari bunyi-bunyi yang mempunyai fitur non-kontinuan (non-continuant) seperti hambat, afrikatif, dan semi-vokal yang pengucapannya tidak dapat dihentikan. Perubahan bunyi hambat menjadi bunyi kontinuan di antara dua bunyi kontinuan lainnya merupakan contoh asimilasi pada keadaan artikulasi dan kebersuaraan. Jenis perubahan bunyi lainnya adalah perubahan bunyi bersuara menjadi bunyi tidak bersuara pada posisi akhir kata (final devoicing). Bunyi-bunyi pada posisi akhir kata, khususnya hambat dan frikatif (tetapi kadang-kadang termasuk bunyi-bunyi lainnya, termasuk vokal) sering berubah dari bunyi bersuara menjadi bunyi tidak bersuara. Perhatikan contoh berikut dalam bahasa Jerman: b. Jerman *ba:d *ta:g *hund *land
→ → → →
ba:t ta:k hunt lant
mandi hari anjing tanah
Universitas Sumatera Utara
→
*ga:b
ga:p
beri
Asimilasi lainnya adalah asimilasi langsung ( assimilation at distance) sebagai kebalikan dari asimilasi langsung (immediate assimilation) yakni perubahan bunyi akibat pengaruh bunyi yang berdekatan baik yang mendahului maupun yang mengikuti seperti yang ditunjukkan dalam semua contoh di atas. Pada asimilasi langsung, sebuah bunyi dipengaruhi oleh bunyi lain tidak secara langsung dari kiri ke kanan atau sebaliknya, tetapi mempunyai jarak pada posisi kata atau suku kata. Di Papua New Guine Selatan, ketika penutur bahasa Huli mengadopsi kata piksi ‘gambar’ dalam bahasa Tok Pisin ke dalam bahasa mereka, kata itu sering diucapkan kikida alih-alih pikida. Hal ini terjadi karena p pada suku kata pertama telah berasimilasi dalam jarak jauh pada titik artikulai k pada suku kata kedua. Kadang-kadang asimilasi langsung merupakan fitur yang sangat umum dalam satu bahasa dan bahkan kadang-kadang asimilasi mengubah seluruh kata. Perubahan seperti ini disebut harmoni (harmony). Banyak bahasa yang mengalami harmoni vokal (vowel harmony), asimilasi satu atau lebih fitur satu vokal ke beberapa atau semua vokal lainnya dalam satu kata. Dalam bahasa Bislami, misalnya, sufiks -im transitif pada kata kerja mempunyai tiga variasi, seperti terlihat pada contoh berikut: kuk-um
‘memasak’
mit-im
‘mejumpai’
har-em
‘merasa’
put-um
‘meletakkan’ kil-im
‘memukul’
mek-em ‘membuat’
sut-um
‘menembak’ rit-im
‘membaca’
so-em
‘menunjukkan’
Mengikuti suku kata dengan vokal belakang tinggi, i pada sufiks berubah menjadi
u. Perubahan ini merupakan contoh asimilasi jarak jauh
Universitas Sumatera Utara
fitur depan pada satu suku kata menjadi fitur belakang pada suku kata lainnya. Mengikuti suku kata dengan vokal tengah atau rendah, i dengan fitur tinggi merendah menjadi e dengan fitur tengah akibat pengaruh vokal pada suku kata yang mendahuluinya. Kadang-kadang, harmoni melibatkan fitur-fitur selain dari fitur-fitur vokal. Dalam bahasa Enggano, Indonesia, terdapat perubahan bunyi yang dinamakan harmoni nasal (nasal harmony). Dalam bahasa Enggano, semua bunyi hambat bersuara dalam satu kata berubah menjadi nasal homorgan dan semua vokal terpisah berubah menjadi vokal-vokal nasal yang sama ketika mengikuti nasal apa saja dalam sebuah kata seperti terlihat pada contoh berikut: b. Enggano *honabu → *ehkua → *euadaa
honamu isterimu ehkua tempat duduk → euadaa makanan
Ada harmoni vokal yang dinamakan umlaut dalam bahasa-bahasa rumpun Germania. Perubahan bunyi ini merupakan pengedepanan vokal belakang atau peninggian
vokal rendah
akibat pengaruh
vokal depan pada suku kata
berikutnya. Sering terjadi vokal tinggi (mengikuti vokal lainnya)
yang
mengakibatkan perubahan, kemudian hilang melalui proses apokop atau menjadi schwa. Dalam keadaan ini, vokal depan yang baru merupakan satu-satunya cara untuk membedakan satu kata dengan kata-kata lainnya. Pasangan-pasangan kata
yang tidak teratur (tunggal/jamak) seperti
foot/feet dalam bahasa Inggris merupakan hasil dari harmoni atau umlaut. Bentuk tunggal aslinya adalah, fo:t dan jamaknya adalah fo:t-i. Bunyi o: dikedepankan ke vokal bulat akibat pengaruh vokal depan -i pada
Universitas Sumatera Utara
sufiks jamak, sehingga bentuk jamak menjadi fo:t-i. Kemudian, vokal sufiks tersebut dihilangkan dan vokal bulat depan akar kata
menjadi tidak bulat
sehingga menjadi e:. Ketika bentuk tunggal adalah fo:t, bentuk jamak telah berubah menjadi fe:t. Perubahan antara fo:t dengan fe:t lah yang melahirkan pasangan foot/feet dalam bahasa Inggris Moderen. 2.2.3.16 Disimilasi Disimilasi (dissimilation) adalah lawan dari asimilasi. Alih-alih membuat dua atau lebih bunyi menjadi lebih mirip dengan sesamanya (asimilasi), disimilasi menjadikan bunyi yang berdekatan menjadi berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini berarti, terjadi pengurangan fitur fonetik yang sama-sama dimiliki bunyibunyi yang berdekatan. Perubahan bunyi ini pertama kali dikemukakan Hermann Grassman (1862) melalui Hukum Grassmann (Grassmann’s Law). Dalam bahasa Sanskrit Kuno dan bahasa Junani Kuno, terdapat perbedaan antara hambat beraspirasi dengan
tidak beraspirasi. Tetapi jika ada dua suku kata yang
mengikuti satu sama lainnya dan kedua-duanya mempunyai bunyi hambat beraspirasi, suku kata pertama kehilangan aspirasinya menjadi tidak beraspirasi. Dalam bahasa Sanskrit, bentuk *bho:dha ‘bid’ berubah menjadi bo:dha dan dalam bahasa Junani bentuk *phewtho dengan arti yang sama berubah menjadi pewtho. Perubahan ini merupakan contoh disimilasi tidak langsung. Contoh disimilasi langsung ( immediate dissimilation) dapat dilihat dalam bahasa Afrika berikut: b. Afrika *sxo:n *sxoudr
→ →
sko:n skour
bersih bahu
Universitas Sumatera Utara
*sxlt
→
sklt
hutang
Pada bentuk-bentuk kuno bahasa tersebut, terdapat rangkaian dua bunyi frikatif yakni
s dan x. Bunyi frikatif x.berubah menjadi bunyi
hambat pada titik artikulasi yang sama, yakni k, sehingga tidak ada lagi dua frikatif yang mengikuti satu sama lainnya. Dengan demikian, x.berdisimilasi dalam keadaan artikulai menjadi k dari frikatif s. 2.2.3.17 Perubahan Bunyi Tak Normal Perubahan-perubahan bunyi yang sesuai dengan jenis-jenis perubahan di atas merupakan contoh-contoh perubahan bunyi bahasa di seluruh dunia. Tetapi ada perubahan bunyi yang menyimpang dari jenis-jenis perubahan tersebut dan dianggap sebagai perubahan yang tidak normal (abnormal sound change). Sebagai contoh kata cent ‘ratus’ dalam bahasa Perancis yang diucapkan dengan sa direkonstruksi dari kmtom. Bunyi m yang pertama adalah nasal silabik (nasal yang dapat mengalami tekanan dalam cara yang sama dengan vokal). Perubahan tersebut terlihat tidak normal, tetapi dapat disesuaikan dengan jenis-jenis perubahan normal seperti disebutkan di atas melalui rekonstruksi yang rumit. Sementara perubahan bentuk kedua bunyi tersebut sangat janggal atau tidak mungkin, rekonstruksi melalui sejumlah langkah untuk menunjukkan perubahan janggal tersebut dapat dilakukan sehingga terlihat rasional. Perubahan kmtom.menjadi sa mungkin terjadi melalui rangkaian tahapan seperti ditunjukkan di bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
kmtom
→
kemtom
(fitur-fitur silabik dan konsonan berkembang menjadi dua bunyi yang berbeda melalui proses anpaking) →
kentom
kent
(asimilasi regresif m menjadi t pada titik artikulasi) kent
→
cent
(palatalisasi k menjadi c di depan vokal depan) cent
→
sent
(lenisi bunyi stop menjadi frikatif) sent
→
sen
(konsonan akhir hilang) sen
→
s
(fusi fitur vokal dan nasal untuk menciptakan vokal nasal) se
→
sa
(perendahan vokal) Kadang-kadang sebuah bunyi berubah dalam keadaan yang tidak wajar. Misalnya, dalam bahasa Truk, Mikronesia, terdapat perubahan secara teratur bunyi
t menjadi w dan dalam bahasa Mekeo, Papua New Guinea
terdapat perubahan secara teratur bunyi d dan l menjadi nasal velar. Perubahan terakhir ini dapat ditunjukkan dalam contoh berikut: b. Mekeo *dua *dau
→ →
ua aau
‘dua’ ‘daun’
Universitas Sumatera Utara
Perubahan bunyi t menjadi w mungkin terjadi melalui tahapan berikut: t→ →
→
→
f →
v
w
Sementara itu, perubahan bunyi l menjadi
kemungkinan
terjadai dalam tahapan berikut: d →
l →
n →
Dalam kurun waktu tertentu, perubahan bunyi dapat terjadi melalui rangkaian perubahan. Tetapi perubahan bunyi tidak dapat direkonstruksi dalam kurun waktu yang melampaui 10.000 tahun karena di luar kurun waktu tersebut, perubahan bunyi sangat luas (meskipun dalam bahasa-bahasa berkerabat yang diturunkan satu proto-bahasa) sehingga fitur-fitur kesamaan atau kemiripan tidak terdeteksi. Penjelasan tentang perubahan bunyi yang dikemukakan Crowley ini lebih komprehensif dari penjelasan yang dikemukakan Keraf. Namun, penjelasan Keraf melengkapi penjelasan Crowley karena penjelasan Keraf
memuat jenis-jenis
perubahan bunyi yang tidak disebutkan Crowley. Keraf (1991) menjelaskan perubahan bunyi dengan menyebutkan asimilasi, disimilasi, perubahan berdasarkan titik artikulasi, dan perubahanperubahan lain tanpa menyebutkan jenis perubahan bunyi yang tidak lazim (abnormal change) seperti yang disebutkan Crowley.
Universitas Sumatera Utara
Keraf menggunakan istilah yang berbeda untuk perubahan bunyi yang sama dalam Crowley seperti istilah perpaduan (merger) untuk fusi (fusion) dan pembelahan (split) untuk pemecahan vokal (vowel breaking). Dalam penjelasannya mengenai asimilasi regresif dan asimilasi progresif, Keraf melakukan kekeliruan dengan mengatakan bahwa asimilasi merupakan suatu proses perubahan bunyi di mana dua fonem yang berbeda dalam protobahasa mengalami perubahan dalam bahasa sekarang menjadi fonem yang sama. Penyamaan kedua fonem itu dapat berwujud fonem yang mendahuluinya (asimilasi regresif) atau berwujud fonem yang mengikutinya (asimilasi progresif). Penyamaan dua fonem menjadi satu adalah keliru karena asimilasi tidak mutlak merupakan proses
penyamaan dua fonem yang berbeda
(total
assimilation) tetapi juga proses perubahan bunyi parsial (partial assimilation) seperti yang dijelaskan Crowley. Namun, seperti disebutkan tadi, Keraf membuat penjelasan tentang perubahan bunyi yang tidak ada dalam penjelasan Crowley, yakni perpanjangan pengimbang (compensatory lengthening), labialisasi, dan paragog. Menurutnya, perpanjangan pengimbang adalah proses asimilasi. Menghilangnya
sebuah
konsonan mengakibatkan vokal yang mendahuluinya mengalami perpanjangan, seperti dalam Pra-Inggris fimf menjadi fiif dalam bahasa Inggris Kuno. Labialisasi adalah perubahan bunyi vokal akibat pengaruh bunyi yang berdekatan. Misalnya, landu dalam bahasa Pra-Nordis Kuno berubah menjadi lnd dalam bahasa Pra-Nordis. Hal itu terjadi karena vokal a yang terletak di depan vokal u berubah menjadi vokal akibat perubahan bentuk bibir (labialisasi). Sementara itu, paragog adalah penambahan fonem pada akhir kata. Misalnya, sejumlah kata dalam Austronesia Purba mengalami penambahan bunyi
Universitas Sumatera Utara
pada akhir kata-kata tersebut seperti *bun → *funa tutup, *but → *futi sentak, *km → *komi, dan *tulak → *tulaki tolak. Sementara itu, Hock (1988) memberikan penjelasan tentang jenis-jenis perubahan bunyi dengan menyebutkan perubahan-perubahan bunyi yang tidak disebutkan Crowley dan Keraf, yakni netralisasi (neutralization), retrofleksasi (retroflexion), diftongisasi kontraksi
(contraction),
(degemination),
tonogenesis
(diphthongization), labiovelarisasi
netralisasi (neutralization),
(labiovelarization),
(tonogenesis),
silabikasi
degeminasi
(syllabication),
dan
desilabikasi (desyllabication). Namun, dalam penelitian ini, perubahan-perubahan bunyi tersebut tidak diperikan karena terjadi pada bahasa-bahasa Indo-Eropa, alihalih bahasa-bahasa Austronesia, khususnya bbB. Mengenai istilah, Hock menggunakan simplikasi klaster (claster simplification) untuk reduksi klaster (cluster reduction) dalam Crowley. Sementara itu, Pike (1968:58-60) mengemukakan premis-premis tentang perubahan bunyi sebagai berikut: Premis pertama, bunyi-bunyi cenderung dimodifikasi oleh lingkunganlingkungannya. Premis kedua, sistem-sistem bunyi mempunyai kecenderungan ke arah simetri fonetik. Premis ketiga, bunyi-bunyi cenderung berfluktuasi. Premis keempat, urutan bunyi yang khas melahirkan tekanan struktural
terhadap
interpretasi segmen-segmen atau urutan-urutan segmen yang dicurigai sama atau identik. Jenis-jenis perubahan bunyi seperti disebutkan di atas dipandang komprehensif dan dapat menjelaskan perubahan-perubahan bunyi dari proto-bbB menjadi bbB yang sekarang. Sudah barang tentu, tidak semua perubahan tersebut terjadi dalam sejarah perkembangan bbB.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Penelitian Terdahulu Penelitian tentang rekonstruksi dan pengelompokan bahasa-bahasa
rumpun Austronesia telah dilakukan sejumlah peneliti. Namun penelitian tentang rekonstruksi dan pengelompokan bbB masih sangat terbatas. Rekonstruksi proto-Melayu telah dilakukan oleh Adelaar (1992) yang metodenya dikritik oleh Kridalaksana. Adelaar melakukan rekonstruksi fonologi serta rekonstruksi sebagian dari leksikon dan morfologinya. Nothofer (1988) juga telah melakukan rekonstruksi atas dua kelompok bahasa Austronesia, yakni proto-Malay dan proto-Malayc. Selain dari penelitian histroris komparatif terhadap bahasa
Melayu, penelitian histroris komparatif
terhadap bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa telah dilakukan. Mbete
melakukan
penelitian tentang refleks PAN *q dan *R terhadap bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa. Penelitian tersebut merupakan rekonstruksi dari atas ke bawah (topdown). Dalam penelitiannya, dia merujuk rekonstruksi PAN yang dilakukan Dempwolff (1938), Dyen (1975), dan Blust (1980) dengan menggunakan data bahasa-bahasa turunan Austronesia, yakni bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa Sumbawa. Di samping itu, penelitian terhadap relasi historis kekerabatan bahasa Flores telah dilakukan Fernandez (1996) dan penelitian tentang refleks fonologis protobahasa Austronesia (PAN) pada bahasa Lubu (BL) telah dilakukan Masrukhi (2002). Sementara itu, penelitian tentang
rekonstruksi
dan pengelompokan
turunan Austronesia selain dari bahasa Melayu, termasuk bbB masih sangat terbatas. Penelitian diakronis terdahulu terhadap bbB yang dapat dicatat dalam
Universitas Sumatera Utara
disertasi ini
adalah penelitian yang dilakukan Voorhoeve (1955) dan
Panggabeaan (1994). Voorhoeve (1955), dalam penelitiannya tentang bbB
melakukan
rekonstruksi proto-bahasa-bahasa tersebut yang hasilnya adalah, bahasa Toba dan bahasa Angkola adalah kelompok Batak Selatan, bahasa Karo, bahasa Alas, dan bahasa Dairi adalah kelompok Batak Utara, sedangkan bahasa Simalungun adalah bahasa Batak Timur. Namun dia mempunyai data yang sangat terbatas dan hanya memberikan data mengenai variasi fonem-fonem tertentu dalam bbB. Dia mengelompokkan bbB dengan mengatakan bahwa protofonem /*k/ berubah menjadi fonem /h/ dalam bahasa Batak Selatan dan Batak Simalungun dan fonem tersebut diwariskan secara linear dalam bahasa Batak Utara). Seharusnya, Voorhoeve menunjukkan pada posisi mana perbedaan bunyi tersebut terjadi. Yang lebih penting,
fonem /h/ dalam kelompok bahasa Batak
Selatan (bahasa Toba dan bahasa Angkola) tidak selalu /k/ dalam bahasa Batak Selatan (bahasa Karo, bahasa Dairi, dan bahasa Alas), terlepas dari posisi fonemfonem tersebut. Di samping itu, Voorhoeve tidak menunjukkan rumus-rumus perubahan bunyi bbB yang sangat erat hubungannya dengan rekonstruksi protobahasa. Kedua penelitian tersebut membuka celah bagi penelitian yang lebih komprehensif. Atas dasar itu, penelitian ini akan menutupi dan membaharui keterbatasan data yang dimiliki Voorhoeve dalam melakukan pengelompokan melalui rekonstruksi proto-bbB. Penelitian ini juga akan mengoreksi data dari segi keakuratan penjaringan kosakata dasar dan transkripsi fonetiknya. Selain itu, penelitian ini melengkapi analisis diakronis yang dilakukan Panggabean melalui
Universitas Sumatera Utara
rekonstruksi
proto-bbB.
Mengenai
menggunakan metode kuantitaif
pengelompokan
bbB,
Panggabean
dengan menghitung persentase kekerabatan.
Dalam penelitian ini, pengelompokan dengan metode kualitatif yakni analis perangkat-perangkat
korespondensi akan melengkapi pengelompokan dengan
metode kuantitatif. Sementara itu, Panggabean (1994:293-294) dalam penelitiannya tentang waktu pisah dan pengelompokan bahasa-bahasa Batak menunjukkan bahwa tingkat kekerabatan dialek Toba-dialek Angkola adalah 85% dengan waktu pisah 233-445 tahun, bahasa Toba-bahasa Karo 66% dengan waktu pisah 888-1.112 tahun, bahasa Toba- bahasa Simalungun 67% dengan waktu pisah 888-1.000 tahun, bahasa Toba-bahasa Dairi 69% dengan waktu pisah 777-999 tahun, bahasa Toba-bahasa Alas 57% dengan waktu pisah1.222-1.444 tahun, bahasa Tobabahasa Karo 60% dengan waktu pisah dengan waktu pisah 1.111-1.333 tahun, bahasa Angkola-bahasa Simalungun 62 % dengan waktu pisah 1.000-1.222 tahun, bahasa Angkola-bahasa Dairi 66% dengan waktu pisah 888-1.112 tahun, bahasa Angkola-bahasa Alas 59% dengan waktu pisah 1.166-1.388 tahun, bahasa Karobahasa Simalungun 65% dengan waktu pisah 944-1.044 tahun, bahasa Karobahasa Simalungun 65% dengan waktu pisah 944-1.044 tahun, dialek Karo-dialek Dairi 76% dengan waktu pisah 555-667 tahun, dialek Karo-dialek Alas 59% dengan waktu pisah 1.111-1.333 tahun dan dialek Dairi-dialek Alas 70% dengan waktu pisah 722-944. Dalam penelitian itu, disebutkan bahwa dialek Toba-dialek Angkola berada dalam kelompok bahasa (satu bahasa), dialek Karo-dialek Dairi-dialekdialek
Alas juga berada dalam kelompok bahasa (satu bahasa), dan bahasa
Simalungun tidak termasuk dalam kedua kelompok tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun Panggabean
menunjukkan hasil analisis diakronis dengan
teknik leksikostatistik, transkripsi fonetik datanya kurang akurat, khususnya bahasa Karo, bahasa Dairi, dan bahasa Alas serta variasi vokal dalam masingmasing bahasa. Di samping itu, Panggabean
tidak menunjukkan analisis
rekonstruksi proto-bahasa dan pengelompokan berdasarkan rekurensi fonemis.
Universitas Sumatera Utara