BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Konsep Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan,
perkawinan, tindak tutur, dan konteks situasi. Keempat konsep ini perlu dibatasi untuk menghindari salah tafsir bagi pembaca. Yang dimaksud dengan tuturan atau lebih sering disebut peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan penutur dan petutur dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Kridalaksana, 1984:200; Leech, 1993:20; Chaer, 1995:47). Dalam usaha untuk mengungkapkan diri mereka, orang-orang tidak hanya menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur-struktur gramatikal, tetapi mereka juga memperlihatkan tindakantindakan melalui tuturan itu. Perkawinan merupakan saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga (Koentjaraningrat, 1985:90). Perkawinan termasuk masa peralihan hidup yang terpenting dari semua manusia di seluruh dunia. Hampir semua kelompok etnis mengakuinya dengan berpedoman kepada nilai, aturan, dan kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut. Pada beberapa etnis, masa ini ditandai dengan berbagai jenis upacara dengan tujuan mematangkan kepribadian si individu. Pelaksanaan upacara tersebut juga dimaksudkan untuk mengabarkan kepada masyarakat daerah bersangkutan tentang perkawinan kedua belah pihak tersebut.
Tindak tutur (speech acts) merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu (Chaer dan Leonie Agustina, 1995:50). Kalau dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwanya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Konteks situasi merupakan lingkungan nonlinguistis ujaran yang merupakan alat untuk memperinci ciri-ciri situasi yang diperlukan untuk memahami makna ujaran (Kridalaksana, 1984: 109). Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan yang dipahamai bersama oleh penutur dan lawan tutur. Wijana (1995:11) menyatakan bahwa konteks tuturan adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan.
2.2 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori tindak tutur, yang diyakini mampu menjelaskan fenomena yang terdapat pada tuturan upacara perkawinan masyarakat Tapanuli Selatan. Jenis tindak tutur menyangkut tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal, dan tindak tutur tidak literal (Wijana 1996). Secara ringkas pandangan Wijana dikemukakan sebagai berikut:
1. Tindak Tutur Langsung Sebuah kalimat menghasilkan tindak tutur langsung apabila kalimat tersebut memiliki kesesuaian dengan modus kalimatnya, seperti modus “deklaratif”, modus “interogatif”, dan modus “imperatif”. Dapat dilihat dalam contoh berikut. (6) Pak Ali memiliki tiga ekor kerbau. (7) Di manakah letak pulau Bali? (8) Ambilkan baju saya! Tindak tutur (6) sampai (8) merupakan tindak tutur langsung. Tuturan (6) bermodus deklaratif untuk memberitakan bahwa ada tiga ekor kerbau. Tuturan (7) bermodus interogatif untuk menanyakan letak pulau Bali. Tuturan (8) bermodus imperatif untuk memerintah seseorang mengambilkan baju. 2. Tindak Tutur Tidak Langsung Tindak tutur tidak langsung terbentuk apabila penutur menyampaikan sebuah kalimat perintah dengan menggunakan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah merasa dirinya tidak diperintah, seperti pada tuturan berikut ini. (9) Ada makanan di lemari. (10) Di mana sapunya? Tuturan (9) apabila diucapkan kepada seorang teman yang membutuhkan makanan, dimaksudkan untuk memerintah petutur mengambil makanan di lemari, bukan sekadar menginformasikan bahwa ada makanan di dalam lemari tersebut. Begitu pula, tuturan (10) apabila diutarakan oleh seorang ibu kepada anaknya,
tidak berfungsi menanyakan letak sapu, tetapi secara tidak langsung menyuruh anaknya untuk mengambil sapu tersebut. 3. Tindak Tutur Literal Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan muatan leksikal kata-kata yang menyusunnya (Wijana, 1996:32). Terlihat dalam contoh berikut. (11) Penyanyi itu suaranya bagus. (12) Radionya keraskan! Aku ingin mencatat lagu itu. Jika tuturan (11) diutarakan untuk memuji kemerduan suara penyanyi yang dibicarakan, tuturan itu merupakan tindak tutur literal. Demikian pula, tuturan (12) tergolong tindak tutur literal sebabb penutur menginginkan petutur untuk mengeraskan radio agar lebih mudah mencatat lagu yang didengarnya. 4. Tindak Tutur Tidak Literal Tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan muatan leksikal kata-kata yang menyusunnya (Wijana, 1996:32). Misalnya, (13) Suaramu bagus, (tapi tak usah nyanyi saja). (14) Radionya kurang keras. Tolong keraskan lagi. Aku mau belajar. Tuturan (13) menyarankan petutur tidak usah bernyanyi karena suaranya tidak bagus. Pada (14) penutur menginginkan petutur mematikan radionya, yang berlawanan dengan makna leksikalnya.
Fungsi tindak tutur pada upacara perkawinan masyarakat Tapanuli Selatan digunakan acuan pada (Searle dalam Yule, 2006). Ada lima fungsi tindak tutur yang dijelaskan sebagai berikut: 1) Deklaratif Deklaratif merupakan jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan, menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan; misalnya, berpasrah,
memecat,
membaptis,
memberi
nama,
mengangkat,
mengucilkan, dan menghukum, seperti pada contoh berikut. (15) Pendeta: Sekarang saya menyebut Anda berdua suami-istri. (16) Hakim: Kami nyatakan terdakwa bersalah. 2) Representatif Representatif merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian merupakan contoh dunia sebagai sesuatu yang diyakini oleh penutur yang menggambarkannya. Pada waktu menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya). Hal ini terlihat pada contoh berikut. (17) Bumi itu datar. (18) Chomsky tidak menulis tentang kacang. (19) Suatu hari yang cerah yang hangat. 3) Ekspresif
Ekspresif merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataanpernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Tindak tutur itu mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau petutur, tetapi semuanya menyangkut pengalaman penutur. Pada waktu menggunakan ekspresif penutur menyesuaikan kata-kata dengan dunia (perasaannya). Perhatikan contoh berikut ini. (20) Sungguh, saya minta maaf. (21) Selamat! (22) Oh, yah, baik, mmmm....aahh 4) Direktif Direktif merupakan jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif. Pada waktu menggunakan direktif, penutur berusaha menyesuaikan dunia dengan kata (lewat pendengar), seperti pada contoh berikut. (23) Berilah aku secangkir kopi. Buatkan kopi pahit. (24) Dapatkah Anda meminjami saya sebuah pena? (25) Jangan menyentuh itu! 5) Komisif
Komisif merupakan jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa janji, ancaman, penolakan, ikrar, dan dapat ditampilkan sendiri oleh penutur sebagai anggota kelompok. Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-kata (lewat penutur). Cermati contoh berikut ini. (26) Saya akan kembali. (27) Saya akan membetulkannya lain kali. (28) Kami tidak akan melakukan itu. Selanjutnya, terkait dengan makna lokusi, makna ilokusi, dan makna perlokusi digunakan teori tindak tutur (Leech 1993, Yule 2006, Wijana 1996). Dalam teori ini dimuat tiga komponen tindak tutur, yaitu: a. Tindak Lokusi Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Dalam tindak lokusi tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh penutur.
Misalnya,
kepalaku
gatal
semata-mata
dimaksudkan
untuk
memberitahukan kepada petutur bahwa kepala penutur dalam keadaan gatal. b. Tindak Ilokusi Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu. Misalnya, tuturan Awas ada anjing gila. Tidak hanya berfungsi memberi informasi, tetapi berfungsi memberi peringatan. c. Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi adalah tindak memengaruhi petutur. Tindak tutur ini disebut the act of affecting someone. Misalnya, tuturan Kemarin saya sangat sibuk yang bila diutarakan
oleh
seseorang
yang
tidak
menghadiri
undangan
kepada
pengundangnya, menyatakan permohonan maaf, dan perlokusi (efek) yang diharapkan adalah pengundang dapat memakluminya
2.3 Tinjauan Pustaka Beberapa hasil penelitian yang ditinjau dalam penelitian ini diterangkan sebagai berikut. Tampubolon (2010) dalam tesisnya “Umpasa Masyarakat Batak Toba dalam Rapat Adat: Suatu Kajian Pragmatik” membahas tiga masalah penelitian, yakni komponen tindak tutur, jenis tindak tutur, dan fungsi tindak tutur. Tampubolon menggunakan metode deskriptif dengan membuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data yang diteliti. Dalam menyelesaikan ketiga masalah tersebut Tampubolon menggunakan teori tindak tutur Kempson (1984), Wijana (1996), dan Searle. Jenis tindak tutur menggunakan umpasa masyarakat Batak Toba dalam upacara adat hanya terdapat tiga, yaitu tindak tutur langsung, tindak tutur literal, dan tindak tutur langsung literal. Namun, fungsi tindak tutur umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat terdapat lima fungsi, yaitu fungsi asertif, fungsi direktif, fungsi ekspresif, fungsi komisif, dan fungsi deklarasi. Model analisis penelitian Tampubolon dijadikan sebagi acuan yang disesuaikan juga dengan teori yang digunakan untuk menjelaskan terkait jenis, fungsi, dan makna tindak tutur.
Sibarani (2008) dalam tesisnya “Tindak Tutur dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba” mengkaji tindak tutur yang digunakan hulahula ‘pemberi istri’, dongan sabutuha ‘kerabat semarga’, dan boru ‘penerima istri’, tindak tutur apa yang dominan, bagaimana cara tindak tutur dilakukan, serta jenis dan fungsi tindak tutur dalam perkawinan masyarakat Batak Toba. Metode deskriptif digunakan Sibarani untuk mendeskripsikan data penelitian secara sistematis dan akurat, yakni menggambarkan dengan jelas objek yang diteliti secara alamiah. Teori yang digunakan Sibarani untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah teori tindak tutur Kempson (1984), Wijana (1996), dan Searle. Hasil penelitian diperoleh bahwa tindak tutur yang ditemukan dalam upacara perkawinan masyarakat Batak Toba terdapat tiga belas jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur bersalam, memberkati, memohon, memuji, meminta, berjanji, menyarankan, memperingatkan, mengesahkan, berterima kasih, menjawab, menjelaskan, dan bertanya. Penelitian Sibarani menemukan tiga belas jenis tuturan dalam upacara perkawinan masyarakat Batak Toba yang kemudian diuraikan makna dari tuturan tersebut sesuai jenisnya. Namun, teori yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan menjelaskan masalah jenis dan fungsi tindak tutur. Hutapea (2007) dalam skripsinya “Tuturan pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba” mengkaji jenis tuturan yang terdapat pada upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba dan tuturan yang paling dominan digunakan dalam upacara tersebut. Hutapea menggunakan metode simak dengan teknik
lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat cakap dan dilanjutkan dengan teknik rekam dalam mengumpulkan data penelitiannya. Selanjutnya, data yang diperoleh dari penutur jati bahasa Batak Toba dan dari beberapa buku adat Batak toba yang dianalisis dengan metode padan dengan penentu mitra wicara. Teori yang digunakan adalah teori tindak tutur Searle. Hasil penelitian Hutapea menemukan lima jenis tindak tutur dalam upacara perkawinan masyarakat Batak Toba, yaitu tindak tutur deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Disimpulkan bahwa tuturan yang paling dominan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba adalah tuturan direktif, yakni tuturan yang bersifat menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Penelitian ini menjadi acuan dalam pemakaian teori tindak tutur yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tindak tutur. Hasibuan (2005) dalam artikelnya yang berjudul Perangkat Tindak Tutur dan Siasat Kesantunan Berbahasa (Data Bahasa Mandailing) menelaah perangkat tindak tutur dan kesantunan berbahasa. Hasibuan menggunakan metode deskripsi dengan teknik baca markah. Kajian ini mengacu pada teori tindak tutur Austin yang membedakan tuturan performatif dan tuturan konstantif. Juga menggunakan teori tindak tutur yang dikembangkan oleh Searle (dalam Leech 1981). Teori kesantunan yang digunakan dalam kajian ini dikemukakan oleh Brown dan Levinson (1987), yang membatasi kesantunan itu sebagai upaya sadar seseorang dalam menjaga keperluan muka orang lain. Penelitian ini menjelaskan terkait perangkat tindak tutur dan jenis tindak tutur. Terdapat lima jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur representatif, direktif,
komisif, ekspresif, dan deklaratif dalam bahasa Mandailing. Ada dua jenis siasat kesantunan, yakni kesantunan positif dan kesantunan negatif. Teori tindak tutur Austin dan Searle yang digunakan dalam menyelesaikan masalah dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan, terkait komponen dan jenis tindak tutur. Penelitian Ola dan Ola mengenai “Struktur Tuturan Ritual Kelompok Etnik Lamalohot”. Penelitian ini membahas struktur kebahasaan dan struktur penuturan pada tuturan ritual kelompok etnik Lamalohot. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data ialah metode pengamatan dan wawancara, dibantu dengan teknik perekaman dengan pita kaset dan kamera video. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dan disajikan dengan metode deskriptif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini dikemukakan oleh Brown dan Yule (1996: 25) bahwa untaian bahasa (linguistic string) yang dianalisis sepenuhnya tanpa memperhitungkan konteks. Struktur kebahasaan dalam tuturan ritual kelompok etnik Lamalohot ini mencakup aspek fonologis dan morfosintaksis. Struktur penuturan disebutkan selalu ada tiga tindakan, yakni mayan ‘memanggil’ atau ahak ‘menyapa’, marin ‘mengatakan’, dan tonan ‘pamit’. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa ada keterkaitan antara struktur bahasa dan struktur penuturan. Penelitian ini dijadikan sebagai bahan referensi terkait kajian mengenai tuturan dan metode yang digunakan.