BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1
Kajian Pustaka Berikut beberapa penelitian yang dapat menjadi acuan dan perbandingan
dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang memiliki kaitan dengan penelitian ini, dipaparkan sebagai berikut: Mulyanto (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Tindak Tutur Ilokusi dalam Iklan Radio di Jember” mengangkat permasalahan realisasi tindak tutur ilokusi verba asertif, komisif, direktif, ekspresif, dan deklarasi yang tercermin dalam wacana iklan radio di Jember. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian Mulyanto adalah metode deskriptif. Teori yang digunakan adalah teori tindak tutur atau speeh act miliki Searle. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 87 tindak tutur ilokusi yaitu terdapat 48 verba asertif, 24 verba direktif, 11 verba ekspresif, 2 verba komisif dan deklarasi. Penelitian Mulyanto dapat dijadikan acuan untuk penelitian ini karena memiliki keterkaitan dengan tindak tutur ilokusi yang dikemukakan oleh Searle. Perbedaan penelitian Mulyanto dengan penelitian ini ialah pada sumber data. Penelitian Mulyanto menggunakan wacana radio sedangkan penelitian ini menggunakan komik. Rumusan masalah penelitian ini adalah makna ilokusi yang terkandung di dalam implikatur percakapan yang terjadi, sedangkan penelitian Mulyanto hanya melihat tindak tutur ilokusi yang terdapat di dalam tuturan saja.
9
10
Noviana (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Penyimpangan Prinsip Kerja Sama pada Pemakaian Bahasa Percakapan dalam Interaksi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia serta Aplikasinya dalam Pengajaran Keterampilan Berbicara Siswa Kelas XI SMK Negeri 1 Seyegan Sleman” mengangkat permasalahan mengenai jenis-jenis penyimpangan prinsip kerja sama pada pemakaian bahasa percakapan siswa kelas XI di SMK Negeri 1 Seyegan Sleman. Penelitian ini menggunakan metode simak dengan teknik SBLC (simak bebas libat cakap), teknik rekam, dan teknik catat. Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan dengan menggunakan teknik padan pragmatik. Hasil penelitian ini diantaranya adalah (1) jenis penyimpangan prinsip kerja sama terdiri dari penyimpangan tunggal dan penyimpangan ganda. (2) Tujuan atau maksud yang melatarbelakangi penutur dan mitra tutur melakukan penyimpangan prinsip kerja sama terbagi menjadi sepuluh macam tujuan. (3) Ada tiga pola interaksi pada penyimpangan prinsip kerja sama yang terjadi. (4) Pada tahap aplikasi, penyimpangan yang terjadi setelah guru menerapkan materi tentang teori prinsip kerja sama dalam pengajaran keterampilan berbicara menunjukkan bahwa adanya penurunan jumlah penyimpangan prinsip kerja sama. Penelitian Noviana dapat dijadikan sebagai acuan karena memiliki keterkaitan, yaitu menggunakan teori maksim kerja sama yang dikemukakan oleh Grice (1975). Perbedaannya terletak pada sumber data dan pengaplikasian teori. Penelitian Noviana menggunakan interaksi belajar para siswa sedangkan penelitian ini menggunakan komik. Selanjutnya pada teori, penelitian Noviana hanya memfokuskan pada pelanggaran maksim yang terjadi saja, sedangkan
11
penelitian ini menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle dan difokuskan pada tindak tutur ilokusi untuk mengetahui makna dari implikatur percakapan yang terjadi. Aryani (2010) dengan skripsinya yang berjudul “Pelanggaran Prinsip Kesantunan dan Implikatur dalam Acara Opera Van Java di Trans 7”. Penelitian ini menggunakan metode simak dan teknik SBLC (Simak Bebas Libat Cakap) sebagai metode dan teknik pengumpulan data, kemudian menggunakan teknik analisis heuristic untuk menganalisis data dan menggunakan metode formal informal sebagai penyajian hasil. Teori yang digunakan dalam penelitian Aryani adalah teori kesantunan Brown dan Levinson, teori prinsip kesantunan Leech, diikuti dengan prinsip Ironi dari Leech. Hasil yang diperoleh dari penelitian Aryani adalah terdapat pelanggaran terhadap prinsip kesantunan dan maksim yang paling banyak dilanggar adalah maksim pujian, jadi memunculkan kesimpulan bahwa di OVJ, humor itu dimunculkan dengan cara menghina orang lain. Terdapat 9 macam implikatur di dalam OVJ, yaitu implikatur menghina, memancing amarah, tidak suka kedatangan orang lain, mempengaruhi, tidak suka, ingin menyiksa, tidak sayang istri, menyuruh dan merayu. Penelitian Aryani dapat dijadikan sebagai acuan karena berkaitan dengan implikatur percakapan. Perbedaan penelitian Aryani dengan penelitian ini, pertama terletak pada sumber data, Aryani menggunakan tuturan pada acara televisi Opera Van Java, sedangkan penelitian ini menggunakan komik. Perbedaannya terletak pada kebudayaan yang terkait dalam maksud tuturan yang terjadi. Kedua, terletak pada teori yang digunakan untuk menganalisis data.
12
Aryani menganalisis pelanggaran prinsip kesantunan yang dikemukakan Brown dan Levinson sedangkan penelitian ini menggunakan teori maksim kerjasama yang dikemukakan oleh Grice serta menggunakan teori tindak tutur Searle yang memfokuskan pada tindak ilokusi untuk mengetahui makna dari implikatur percakapan yang terjadi.
2.2
Konsep Konsep merupakan kata kunci yang digunakan dalam suatu penelitian.
Adapun konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 2.2.1
Implikatur Percakapan Implikatur merupakan hal yang perlu diperhatikan agar percakapan dapat
berlangsung dengan lancar. Implikatur yang terdapat dalam suatu ujaran yang terealisasikan dalam sebuah percakapan disebut dengan implikatur percakapan. Implikatur digunakan untuk menerangkan tuturan yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur. Implikatur percakapan digunakan untuk menerangkan makna implisit dibalik “sesuatu yang diucapkan atau dituliskan” sebagai “sesuatu yang dimplikasikan”, dengan kata lain implikatur merupakan maksud atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi (Grice, 1975:43). Percakapan berlangsung berkat adanya kesepakatan bersama. Seseorang menyampaikan maksudnya secara tidak langsung agar memberi kesan sopan. Untuk memperhitungkan saran atau maksud penutur sebagai hal yang berbeda
13
dari pernyataan secara harfiah menggunakan implikatur (Brown dan Yule, 1983:1). Makna atau pesan yang tersirat dalam ungkapan lisan dan atau wacana tulis disebut dengan makna tersirat (implied meaning) atau implikatur. Interpretasi maksud seseorang pada konteks tertentu dan bagaimana konteks memengaruhi maksud ujaran dibutuhkan dalam studi pragmatik. Cara penutur mengatur hal yang dikatakannya dengan melihat pada lawan bicara, waktu, tempat dan ruang lingkupnya. 2.2.2
Maksim Maksim merupakan prinsip yang harus ditaati oleh peserta tuturan dalam
berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi.
Terdapat kaidah kebahasaan di dalam interaksi
lingual pada maksim, kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Maksim-maksim tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan (Leech, 1983). 2.2.3
Tindak Tutur Tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologi, yang
ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghapi situasi tertentu. Tindak tutur merupakan aktivitas tutur untuk membentuk tindakan dan bertindak. Austin mengemukakan bahwa mengujarkan suatu kalimat tertentu dapat dilihat
14
sebagai melakukan tindakan, disamping hanya mengujarkan kalimat itu (Wijana, 1996:23). Tindak tutur merupakan penentu makna dari ujaran suatu kalimat. Namun, suatu kalimat tidak ditentukan oleh satu ujaran di kalimat tersebut, tetapi kemungkinan untuk menyatakan secara tepat apa yang dimaksudkan oleh penuturnya. Terdapat tiga jenis tindak tutur, yaitu, tindak tutur lokusi (tindak tutur yang digunakan untuk menyatakan sesuatu), tindak tutur ilokusi (tindak tutur yang digunakan untuk melakukan sesuatu), dan tindak perlokusi (tindak tutur yang mempunyai daya pengaruh atau efek bagi yang mendengarkan).
2.3
Kerangka Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori maksim kerja sama
dan teori tindak tutur. Pertama, teori maksim kerja sama yang dikemukakan oleh Grice dan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle, berikut penjelasannya: 2.3.1
Teori Maksim Kerja Sama Sebuah prinsip dengan tujuan percakapan menjadi kooperatif disebut
maksim kerja sama. Grice menyatakan maksim kerja sama terbagi menjadi 4 maksim percakapan (conversational maxim), yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner) (Grice, 1975:45-47). 1.
Maksim Kuantitas (maxim of quantity) Maksim
kuantitas
mengharuskan
penutur
memberikan
kontribusi
secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan lawan bicaranya. Kontribusi tersebut
15
adalah penutur dapat memberikan informasi yang cukup, memadai dan tidak melebihi informasi yang sesungguhnya. Maksim kuantitas dipenuhi oleh pembatas yang menunjukkan keterbatasan penutur dalam memberikan informasi. Tuturan yang mengandung informasi melebihi yang diperlukan mitra tutur, dikatakan melanggar maksim kuantitas, begitupula sebaliknya. Contohnya: a. “Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi!” b. “Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi” Konteks situasi yang terdapat dalam tuturan (a) dan (b) adalah para penutur memunculkan tuturan tersebut ketika mereka melihat acara tinju di televisi secara bersamaan. Tuturan (a) sudah jelas dan isinya sangat informatif, karena mitra tutur sudah dapat memahami dengan baik tuturan tersebut tanpa penutur harus menambahkan informasi lain. Penambahan informasi secara berlebihan terjadi pada tuturan (b). Hal tersebut justru membuat tuturan (b) terkesan berlebihan dan terlalu panjang, karena menambahkan ‘mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi’, sedangkan mitra tutur sudah mengetahui bahwa Muhammad Ali adalah seorang mantan petinju terkenal, sehingga tuturan (b) dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. 2.
Maksim Kualitas (maxim of quality) Maksim kualitas mengharuskan penutur mengungkap hal yang sebenarnya
dan jelas yang sesuai dengan fakta yang didukung pada bukti-bukti memadai, kuat, dan jelas. Tujuannya agar mitra tutur tidak kebingungan dalam memahami tuturan. Menambahkan awalan kalimat dengan ‘mungkin’, ‘kalau tidak salah’ dan
16
sebagainya, merupakan cara untuk mengungkapkan keraguan tanpa harus menyalahi maksim kualitas. a. A: Coba kamu Andi, apa ibu kota Bali? B: Surabaya, Pak guru. A: Bagus, kalau begitu ibu kota Jawa Timur Denpasar, ya? Pada dialog (a), Pak guru memberikan jawaban yang melanggar maksim kualitas, yaitu ibu kota Jawa Timur adalah Denpasar bukannya Surabaya. Tuturan ini terjadi karena reaksi Pak Guru terhadap jawaban Andi yang salah. Dengan jawaban seperti ini, Andi sebagai kompetensi komunikatif akan mencari jawaban mengapa gurunya membuat pernyataan yang salah. Dengan bukti-bukti yang memadai, Andi akhirnya mengetahui bahwa jawabannya terhadap pertanyaan Pak Guru salah. b.
Maksim Relevansi (maxim of relevance) Maksim relevansi mengharuskan penutur memberikan kontribusi yang
relevan dengan situasi percakapan dan tidak meleset dari topik yang sedang dibicarakan. Tidak terjadinya kerja sama yang baik antara penutur dengan mitra tutur dianggap melanggar maksim kerja sama. Berikut contohnya: a. A: Siapa nama perempuan itu? B: Masa kamu tidak tahu siapa dia? Dialog (a) menyimpang dari pertanyaan serta melanggar maksim relevansi, karena mengatakan hal yang tidak diharapkan oleh lawan tuturnya. A hanya menanyakan nama perempuan tersebut, namun B memberi A jawaban yang tidak sesuai dengan harapannya.
17
b.
Maksim Pelaksanaan (maxim of manner) Maksim pelaksanaan tidak menekankan tuturan tetapi cara mengatakan
sesuatu hal. Penutur harus berbicara dengan jelas, tanpa ambigu, ringkas dan tertib dalam memberikan informasi agar mudah dipahami. Selain keringkasan dan keruntutan, maksim cara kelangsungan tuturan merupakan hal penting yang harus diperhatikan. a. A: Aku haus, ingin minum B: Ambil sendiri Pada kalimat (a), pernyataan B sangat jelas dan langsung atas permintaan A. B menyatakan bahwa ia tidak bisa memenuhi keinginan A. B memberikan jawaban dengan jelas, tidak ambigu, ringkas dan mudah dipahami kepada A. Teori maksim kerja sama yang dikemukakan oleh Grice ini akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah pertama. Teori ini digunakan untuk membuktikan adanya pelanggaran maksim kerja sama dalam tuturan pada komik Kimi ni Todoke serta menimbulkan implikatur yang beragam. 2.3.2
Teori Tindak Tutur Tindak tutur secara pragmatis terdapat 3 macam yang dapat diwujudkan
oleh seorang penutur. Ketiga macam tindak tutur secara berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut: (1) tindak lokusi (locutionary acts), (2) tindak ilokusi (illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary acts) (Searle, 1969: 23-24). Teori tindak tutur Searle ini akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua. Sub-bab yang difokuskan untuk penelitian ini adalah tindak
18
ilokusi, dengan tujuan untuk mengetahui makna yang terdapat di dalam implikatur yang terjadi pada komik Kimi ni Todoke. 1. Tindak Lokusi (locutionary acts) Tindak lokusi adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai makna yang terkandung di dalamnya, bertujuan untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai the act of saying something. Tindak lokusi merupakan tindak tutur yang mudah untuk diidentifikasi karena tidak memerlukan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur. Contohnya: a. Ikan paus adalah hewan menyusui Tuturan (a) dituturkan oleh penuturnya hanya untuk memberikan informasi mengenai sesuatu hal tanpa tujuan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi merupakan tindak tutur yang paling mudah diidentifikasi karena tidak memerlukan konteks tuturan yang terdapat dalam situasi tutur. 2. Tindak Ilokusi (illocutionary acts) Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang tidak hanya berfungsi menyatakan sesuatu, namun dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut dengan the act of doing something. Tindak tutur tersebut sulit untuk diidentifikasi karena mempertimbangkan siapa penutur dan mitra tutur, kapan dan dimana tuturan itu terjadi. Contohnya: a. Rambutmu sudah panjang
19
Tuturan (a), jika diucapkan oleh seorang anak laki-laki kepada perempuan, mungkin memiliki fungsi untuk menyatakan kekaguman. Namun jika diutarakan oleh seorang ibu kepada anak lelakinya, tuturan ini memiliki maksud untuk menyuruh atau memerintah agar anak itu memotong rambutnya. Searle (1969) membagi tindak tutur ilokusi menjadi lima macam bentuk yang memiliki fungsi komunikatif, yakni sebagai berikut: a. Asertif (Assertives) Bentuk tuturan yang mengikat kebenaran proposisi yang diungkapkan oleh
penutur.
Misalnya
menyatakan
(stating),
menyarankan
(suggestion), membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming). b. Direktif (Directives) Bentuk tuturan yang dituturkan oleh penutur untuk mempengaruhi mitra tutur melakukan suatu tindakan. Misalnya memesan (ordering), memerintah
(commanding),
memohon
(requesting),
menasehati
(advising), dan merekomendasi (recommending). c. Ekspresif (Expressives) Bentuk tuturan yang menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa (condoling).
20
d. Komisif (Commisives) Bentuk tutur yang memiliki fungsi untuk menyatakan janji atau menawarkan sesuatu. Misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering). e. Deklarasi (Declarations) Bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan. Misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membabtis (christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommunicating), dan menghukum (sentencing). 3. Tindak Perlokusi (perlocutionary acts) Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang memberikan daya pengaruh atau efek bagi mitra tutur yang mendengarkannya. Pengaruh ini dapat terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja dinyatakan oleh penuturnya. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting someone. Contohnya: a. Rumahnya jauh Tuturan pada data (a) apabila diutarakan oleh seseorang kepada ketua perkumpulan, maka memiliki ilokusi secara tidak langsung menginformasikan bahwa orang yang dibicarakan tidak dapat terlalu aktif dalam organisasinya. Adapun efek perlokusinya agar ketua tidak memberinya banyak tugas.