BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Adapun penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan terkait dengan peparikan, analisis intertekstual dan makna yaitu dari : 1) I Ketut Ngurah Sulibra (2001), Tesisnya berjudul “Parikan Bubuksah Gagangaking, Analisis Bentuk, Fungsi, dan Makna”. Dalam penelitiannya menggunakan teori struktural dan teori semiotik sosial. Teori yang digunakan merupakan kombinasi pendapat dari para ahli sastra. Metode yang digunakan dalam penelitiannya meliputi tahap penyediaan data yaitu,
metode
pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data. Parikan Bubuksah Gagangaking di bentuk oleh 10 pupuh yaitu pucung, sarkara, sinom, ginanti, durma, pangkur, demungsawit, kumambang, smarandana, dan durma. Jumlah seluruh baitnya sebanyak 641 bait (lebih kurang 38.911 suku kata). Bahasa yang digunakan untuk menuliskan Parikan Bubuksah Gagangaking adalah bahasa Bali Kawi yakni bahasa Bali yang bercampur dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Penggunaan bahasa Bali ini mengikuti kaidah-kaidah pragmatik bahasa Bali yakni penggunaan bahasa Bali dalam sistem anggah-ungguhing basa. Penggunaan anggah-ungguhing basa ini sesuai dengan konteks situasi (kapan dan dimana berbicara), siapa yang di ajak berbicara dan hal apa yang dibicarakan. Dalam analisis terhadap Parikan Bubuksah Gagangaking pemanfaatan majas yang digunakan adalah
8
majas perbandingan dengan gaya perumpamaan. Struktur Parikan Bubuksah Gagangaking disajikan dalam tiga bagian yaitu awal (prolog), isi (confirmation) dan akhir (epilog). Fungsi wacana Parikan Bubuksah Gagangaking dikaitkan dengan fungsi sosial masyarakat sebagai sarana afirmasi masyarakat Budha Mahayana Wajrayana atau disebut juga Mahayana Kasogatan di Budakeling yang digolongkan ke dalam wangsa brahmana. Makna wacana Parikan Bubuksah Gagangaking adalah kesetiaan akan brata (cara berpantangan). Wacana Parikan Bubuksah Gagangaking menyiratkan keunggulan brata pendeta Budha (Bubuksah) jika dibandingkan dengan dengan brata Siwa (Gagangaking) namun demikian akhirnya mereka bertemu dengan Bhatara Guru (Dewa Siwa) sebagai dewa tertinggi dalam Siwa Siddhanta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wacana Parikan Bubuksah Gagangaking
mengajarkan doktrin Siwaistik
oleh karena
sumbernya ajaran-ajaran dari Bhatara Guru. Analisis Parikan Bubuksah Gagangaking, Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna ini dijadikan sebagai kajian pustaka karena adanya persamaan dari objek yang diteliti berupa naskah peparikan dan dari segi analisis maknanya yang samasama memiliki makna tentang kesetiaan akan brata, namun yang membedakan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah kajian intertekstualnya. 2) Dewi Rakhmawati (2007), Skripsinya berjudul “Kakawin Candrabhanu, Sebuah Kajian Struktur dan Semiotik”. Dalam penyajian skripsi mengenai kajian struktur dan semiotik dari Kakawin Candrabhanu ini hanya mengulas
9
mengenai struktur dari kakawin dan makna-makna yang terkandung dalam Kakawin Candrabhanu saja. Analisis Kakawin Candrabhanu, Sebuah Kajian Struktur dan Semiotik ini dijadikan sebagai kajian pustaka karena adanya kesamaan dari judul objeknya yang sama-sama menceritakan sosok Data Candrabhanu, yang membedakan di sini hanyalah genrenya saja, jika dalam penelitian sebelumnya berupa kakawin dalam penelitian yang akan dilakukan ini mengambil genre parwa dan peparikannya. Selain persamaan judulnya kesamaan lainnya adalah sama-sama menggunakan teori semiotika untuk membedah makna-makna yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini akan sangat berbeda dengan yang sudah dilakukan karena analisis pada penelitian ini menggunakan kajian intertekstual. 3) Cokorda Istri Sukrawati (2010), Tesisnya berjudul “Geguritan Candrabhanu, Karya A.A. Istri Biyang Agung: Kajian Kritik Sastra Feminisme”. Dalam penyajiannya dijelaskan bahwa Geguritan Candrabhanu merupakan salah satu wujud penerusan tradisi dan pembaharuan yang telah dilakukan. Dari segi tradisi penguasaan A.A. Istri Biyang Agung menguasai berbagai jenis metrum dan prosodi tembang-tembang macapat yang sangat baik. Penguasaannya dalam aspek bahasa dan budaya Bali sangat mengagumkan. Dari hal tersebut terlihat bahwa A.A. Istri Biyang Agung merupakan wanita pengarang yang memiliki keistimewaan dan terpelajar. Melalui Geguritan Candrabhanu A.A. Istri Biyang Agung berupaya mengangkat harkat dan martabat wanita, mendemitifikasi ideologi gender, yang selama ini senantiasa menganggap
10
bahwa wanita selalu kalah bila berhadapan dengan laki-laki. Melalui tokoh Diah Somawati, A.A. Istri Biyang Agung telah menunjukkan wanita bisa memiliki kemampuan yang melebihi kemampuan laki-laki dalam hal penguasaan pengetahuan spiritual dan kesaktian. Diah Somawati dilukiskan sebagai seorang wanita cantik, pintar, teguh, sakti, sopan, dan taat akan agama yang dianut oleh kedua orang tuanya. Geguritan Candrabhanu ini berkaitan dengan ajaran Budha Bairawa yang sering dikaitkan dengan praktek-praktek magis yang mengerikan dan juga dianggap menjijikkan bagi sebagian orang. Fungsi Geguritan Candrabhanu ini adalah untuk mengingatkan kembali orang-orang zaman sekarang tentang suatu ajaran yang sangat penting dan sudah mulai dilupakan orang. Berdasarkan kajian stilistika dalam geguritan ini banyak ditemukan kata, frasa, dan kalimat yang memiliki kesan arkais (kuna) yang lebih menyerupai bahasa Bali Tengahan. Analisis Geguritan Candrabhanu, Karya A.A. Istri Biyang Agung: Kajian Kritik Sastra Feminisme ini dijadikan sebagai kajian pustaka karena kesamaan judul objek dan teks yang digunakan dalam penelitian, yang membedakan di sini hanyalah genre dari karyanya, hal lain yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah kajian yang dipergunakan. Dari segi genre yang digunakan, penulis kurang sependapat jika dalam penelitian sebelumnya mengenai kajian feminisme menyebutkan naskah itu sebagai geguritan.
Padahal
dilihat
dari
ciri-cirinya,
meskipun
sama-sama
menggunakan kaidah prosodi metrum atau tembang tetapi karya ini memiliki
11
babon yang lebih dahulu ada berupa naskah parwa sehingga sudah sepantasnya karya tersebut disebut sebagai naskah peparikan. 4) Ni Wayan Anggaraniti (2011), Skripsinya berjudul “Kajian Interteks cerita Parikesit dalam Adi Parwa dengan Geguritan Parikesit”. Dalam penelitiannya Geguritan Parikesit merupakan saduran yang ditransformasi dari cerita Parikesit dalam Adi Parwa. Hubungan intertekstual antara cerita Parikesit dalam Adi Parwa dengan Geguritan Parikesit diungkap berdasarkan pertalian serta perbedaan yang terdapat pada kedua cerita tersebut. Pertalian yang diungkap tersebut meliputi pertalian insiden, pertalian alur, pertalian latar, pertalian tokoh dan penokohan pertalian tema dan pertalian amanat. Dari hasil perbandingan cerita Paikesit dalam Adi Parwa dengan Geguritan Parikesit menunjukkan cerita Parikesit dalam Geguritan Parikesit bersumber dari cerita Parikesit dalam Adi Parwa. Analisis Kajian Interteks cerita Parikesit dalam Adi Parwa dengan Geguritan Parikesit ini dijadikan kajian pustaka karena adanya kemiripan kajian yang digunakan
yaitu
sama-sama
mengkaji
secara
intertekstualitas
tetapi
perbedaanya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah dari analisis maknanya. 5) Ida Ayu Made Adrianita Dewi (2011), Skripsinya berjudul “Kajian Interteks, Katuturan Pamargan Ida Batur Taskara dengan Geguritan Batur Taskara”. Dalam penelitiannya menggunakan Teori Struktur dan Teori Intertekstualitas. Metode yang digunakan meliputi tahap penyediaan data, analisis data dan
12
penyajian hasil analisis data. Dalam penyajiannya dipaparkan mengenai Teks Katuturan Pamargan Ida Batur Taskara, Teks Geguritan Batur Taskara dan perkembangan Katuturan Pamargan Ida Batur Taskara dan Geguritan Batur Taskara. Setelah itu dipaparkan mengenai struktur naratif dari naskah Katuturan Pamargan Ida Batur Taskara dan Geguritan Batur Taskara. Jika dilihat dari pertalian strukturnya keduanya dikatakan memiliki hubungan pertalian struktur yang meliputi pertalian insiden alur, latar, tokoh dan penokohan, tema dan amanat. Pertalian struktur yang terjadi antara Katuturan Pamargan Ida Batur Taskara dengan Geguritan Batur Taskara secara umum memiliki hubungan struktur yang sama, namun ada beberapa penambahan maupun pengurangan yang dilakukan oleh pengarang Geguritan Batur Taskara. Analisis “Kajian Interteks, Katuturan Pamargan Ida Batur Taskara dengan Geguritan Batur Taskara” ini dijadikan kajian pustaka karena adanya kemiripan kajian yang digunakan yaitu sama-sama mengkaji secara intertekstualitas tetapi perbedaanya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah dari analisis maknanya. 6) I Nyoman Suwana (2011), Skripsinya berjudul “Tutur Siwagama dan Tantu Pagelaran,
Sebuah
Kajian
Intertekstualitas”.
Dalam
penelitiannya
menggunakan teori struktur dan intertekstualitas dengan menggunakan metode penyediaan data, pengolahan data dan tahap penyajian hasil analisis data. Dalam penyajiannya dipaparkan terlebih dahulu mengenai naskah Tutur
13
Siwagama yang berbentuk prosa dan memuat beberapa cerita yang ditampilkan berupa cerita berbingkai. Jika dilihat dari hubungan interteks dalam hal keterkaitan cerita Tutur Siwagama dengan Tantu Pagelaran sebagai teks hipogram adalah ekserp. Maka teks Tutur Siwagama tercipta berdasarkan teks yang ada lebih dahulu, yakni Tantu Pagelaran salah satunya. Dalam teks Tutur Siwagama terjadi penyalinan dari teks Tantu Pagelaran secara horizontal dan mengalami perubahan berupa ekserp serta adanya pelukisan lebih singkat. Pembahasan kajian interteks pada penelitian ini dilihat dari cerita dalam Tutur Siwagama yang memiliki keterkaitan dengan cerita dalam Tantu Pagelaran. Dalam hal ini analisisnya juga melihat pertalian dari segi strukturnya. Analisis
“Tutur
Siwagama
dan
Tantu
Pagelaran,
Sebuah
Kajian
Intertekstualitas” ini dijadikan kajian pustaka karena adanya kemiripan kajian yang digunakan yaitu sama-sama mengkaji secara intertekstualitas tetapi perbedaanya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah analisis maknanya.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian yang telah dilakukan dengan yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan dari analisis yang sudah dilakukan dan yang akan dilakukan yaitu sama-sama akan mengungkap hubungan intertekstual dengan melihat pertalian struktur dari naskah yang dipakai dengan menggunakan teori struktur dan teori interteks, sedangkan perbedaan dari analisis interteks yang sudah dilakukan
14
sebelumnya, belum membahas mengenai makna yang terkandung pada naskah yang dijadikan objek penelitian. Oleh karena itu penelitian ini harus dilakukan agar dapat mengetahui pertalian dari kedua objek dan makna yang terkandung di dalamnya. 2.2 Konsep Konsep merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pengertian, definisi, batasan secara singkat dari sekelompok fakta, gejala yang merupakan definisi dari apa yang perlu diamati dalam proses penelitian. Dalam penelitian ini akan diuraikan beberapa konsep yang bermanfat bagi penelitian terhadap Par.DC dengan Pep.DC yang akan dijelaskan sebagai berikut : 2.2.1 Parwa Parwa merupakan proses yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam bahasa Sanskerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan dari karya asli dalam bahasa Sanskerta; kutipan-kutipan tersebut tersebar di seluruh teks parwa itu (Zoetmulder, 1974:80). Cara membaca karya sastra parwa sama seperti cara membaca phalawakya. Phalawakya (prosa liris) merupakan karya sastra yang tidak diikat oleh labuh suara (guru laghu) dan lain-lain seperti yang terdapat pada puisi Bali tradisional (Riken, 1996:426--427). Istilah phalawakya digunakan untuk pembacaan teks-teks prosa (parwa) yang kemudian diterjemahkan. Istilah phalawakya tidak jelas dari mana asalnya. Apakah berasal dari kata phala dan wakya, yang kalau makna masing-masing unsur kelompok kata tersebut berarti buah dan kata. Kalau memang kata phalawakya ini berasal dari kata phala dan
15
wakya, maka makna yang didukungnya adalah kata-kata atau ucapan yang berpahala atau berhasil. Namun yang jelas phalawakya ini dimaksudkan untuk nama suatu kegiatan yaitu pembacaan teks-teks berbahasa Kawi (Jawa Kuna) yang berbentuk prosa (parwa). Teknik pembacaan phalawakya biasanya pengambilan suara sama dengan kakawin. Suara di pangkal lidah (bungkahing jihwa) agak di atas kerongkongan. Pembacaan phalawakya juga memperhatikan guru laghu. Namun pengertian guru laghu di sini lebih mengacu pada intonasi bacaan. Intonasi bacaan dimaksudkan adalah penekanan atau pemenggalan bacaan sehingga teks yang dibaca sudah ditangkap maknanya oleh penerjemah. Jadi guru laghu dalam phalawakya tidak dimaksudkan aturan kualitas penekanan pada suku kata seperti dalam kakawin tetapi hanya berupa penekanan atau pemenggalan kalimat sehingga menciptakan suatu intonasi dan irama bacaan yang khas (Warjana, 1997:86--87). Pada zaman Dharmawangsa Teguh merupakan salah satu tonggak penting bagi perkembangan sastra Jawa Kuna. Raja Dharmawangsa Teguh diketahui menjadi pelindung suatu proyek
besar
yang dinamakan Mangjawaken
Byasamanta yang artinya membahasa Jawakan ajaran-ajaran Bhagawan Byasa. Bhagawan Byasa adalah pengarang kitab Mahabharata atau Astadasa Parwa (18 Parwa). Artinya pada masa itu telah dilakukan kegiatan mengalih-bahasakan kitab-kitab yang semula memakai bahasa Sanskerta menjadibahasa Jawa Kuna (Agastia, 1994:45). Pada penelitian ini Parwa yang dijadikan objek penelitian adalah Parwa Data Candrabhanu yang sekaligus menjadi teks hipogram dari
16
Peparikan Data Candrabhanu. Ciri-ciri parwa ini adalah tercerminnya paham agama Hindu dan Budha, pola cerita dalam parwa ini bersumber pada cerita-cerita India (terutama pada cerita Mahabharata). Pada parwa ini menceritakan seorang raja yang memerintah di Negeri Tasikmalaya bernama Prabhu Data Candrabhanu yang memiliki istri bernama Sang Dewi Wirasanti dan memiliki putri cantik yang bernama
Diah
Somawati.
Ketiganya
dikatakan
sangat
sakti
karena
keberhasilannya dalam yoga semedi dan diyakini memegang teguh ajaran Buda Bairawa. Cerita dalam parwa ini diceritakan sampai kemenangan Hastina melawan Tasikmalaya. 2.2.2 Peparikan Parikan berasal dari kata pari, pari artinya padi. Zaman dahulu, apabila ada pekerjaan disawah, terutama pada musim panennya. Pada umumnya setelah pekerjaan itu selesai, maka mereka membuat upacara disertai dengan nyanyiannyanyian yang gembira. Dari kata pari itu mendapat tekanan suara –k, yang kemudian menjadi suara parik. Yang akhirnya mendapat akhiran –an. Menjadi parikan. Selanjutnya pengertian dari kata parikan itu berubah. Kini pengertian kata parikan itu, khusus yang dimaksud ialah petikan dari kakawin-kakawin serta dilagukan dengan memakai tembang macapat (Ginarsa, 2009:24). Peparikan artinya saduran (Anom, 2009:512). Saduran itu hampir sama dengan menterjemahkan, yaitu sama-sama mengalih bahasakan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Bedanya ialah dalam menerjemahkan, si penerjemah tidak mengadakan perubahan apa-apa dari yang aslinya, sedangkan dalam
17
menyadur atau memarik si penyadur bebas. Tak perlu terjemahannya sama benar dengan aslinya, boleh dikatakan terjemahannya bebas. Si penyadur boleh mengubah, menambah, mengurangi sesuai dengan keinginan/idenya. Dalam menyadur cerita nama tokoh-tokoh boleh diganti, tempat lokasi cerita juga boleh diganti. Jadi menuliskan kembali sebuah karangan dari satu bentuk ke bentuk lain juga disebut menyadur (=memarik). Misalnya dari bentuk puisi (tembang) menjadi prosa (gancaran) atau sebaliknya. Di Bali umumnya yang disebut peparikan ialah nyanyian-nyanyian yang merupakan petikan dari kekawinkekawin maupun parwa dan digubah dengan tembang-tembang macapat (Tinggen, 1998:32--33). Pada penelitian ini peparikan yang dijadikan objek penelitian adalah Peparikan Data Candrabhanu karya Anak Agung Istri Biyang Agung, naskah ini mempergunakan campuran bahasa Bali Tengahan, yang mana peparikan ini dibentuk oleh 6 jenis pupuh yaitu Pupuh Sinom yang terdiri dari 63 pada, Pupuh Pangkur yang terdiri dari 54 pada, Pupuh Durmma terdiri dari 123 pada, Pupuh Dangdang yang terdiri dari 21 pada, Pupuh Semarandana yang terdiri dari 19 pada, dan Pupuh Ginanti yang terdiri dari 13 pada. Dalam penulisan pupuhpupuhnya, terkadang juga menggunakan enjabement sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan konvensi pupuh tersebut. Pada peparikan ini ceritanya hampir sama dengan cerita yang terdapat dalam naskah parwanya, yang membedakan dalam peparikan ini diceritrakan
18
sampai Sang Arjuna kalah berperang, kemudian memutuskan untuk kembali ke Hastina, dan akan menyerang negeri Tasikmalaya. 2.2.3 Intertekstual Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa, dan lainnya di antara teks yang dikaji. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul kemudian. Teori intertekstual memandang setiap teks sastra perlu dibaca dengan latar belakang teks-teks lain, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaan sastra tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai acuan. Hubungan intertekstual adalah hubungan antarkarya dan juga penandaan partisipasinya dalam lingkup diskursif budaya. Dalam pengertian sesungguhnya, interteks pada umumnya dibatasi sebagai hubungan yang bermakna di antara teks-teks sastra, baik lama maupun modern, baik lisan maupun tulisan (Ratna, 2004:131). 2.2.4 Shiwa Buddha Shiwa dan Buddha adalah dua agama yang lahir di Bharatawarsa, India. Walaupun demikian, catatan sejarah di India dan Indonesia tentang kedua agama ini menunjukkan hal yang sangat bertolak belakang. Di India, kedua agama ini terlibat dalam perdebatan dan pertentangan yang hebat, bahkan menjadi salah satu
19
catatan kelam dalam sejarah India. Sebaliknya, di Indonesia kedua agama ini hidup berdampingan dan mencapai puncak harmonisasi dengan lahirnya agama baru, yakni Shiwa-Buddha. Perbedaan ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam terutama dengan pendekatan ilmu sejarah. Pendekatan ilmu sejarah mendasarkan kebenaran pada bukti-bukti sejarah yang otentik dan didukung dengan fakta-fakta keagamaan hasil catatan para ahli sejarah, arkeologi, kesusasteraan, dan Indologi. Sejarah juga mengungkap prinsip-prinsip ajaran yang mempertentangkan dan mendekatkan kedua agama tersebut pada setiap periode. Data sejarah tersebut kemudian dianalisis untuk melihat kemunculan dan perkembangan ajaran Shiwa-Buddha, baik di India maupun di Indonesia. Untuk mengungkap perkembangan Shiwa dan Buddha di India tampaknya tidak dapat dilepaskan dari evolusi agama Hindu terutama pada zaman Brahmana. Mengingat ajaran Shiwa maupun Buddha sama-sama lahir dan berkembang pada zaman ini. Ajaran Shiwa merupakan kelanjutan dari agama pra-Weda yang kemudian berakulturasi dengan agama Weda terutama pada zaman Brahmana (Brahmanical religion). Sebaliknya, ajaran Buddha dibangun oleh Siddharta Gautama untuk menentang sejumlah aspek dari agama Hindu khususnya Brahmanisme. Perbedaan prinsip ajaran ini melahirkan pertentangan keagamaan, bahkan pergolakan politik di India. Penentangan terhadap ajaran Buddha di India terutama dilakukan oleh mazhab Shiwa dan Waishnawa, serta golongan Wedantis lainnya. Selain itu, pengaruh kuat dari ajaran Tantrayana juga turut memberikan pengaruh besar dalam perkembangan agama Shiwa, Waishnawa, dan Buddha di
20
India. Sebaliknya, agama Buddha juga mendorong munculnya perbedaan prinsip ajaran antara Shiwa dan Waishnawa pada masa kemudian. Artinya, kontestasi keagamaan mewarnai perkembangan ajaran Shiwa-Buddha di India. Apabila perkembangan ajaran Shiwa dan Buddha di India diwarnai dengan pertentangan yang hebat, justru di Indonesia menunjukkan hal yang sungguh bertolak belakang. Kedua agama ini berkembang dalam suasana yang toleran dan harmonis. Kedua agama ini sama-sama mengalami perkembangan yang pesat dan hidup berdampingan. Malahan kedua agama ini berhasil membangun koalisi dan sinkretisme ajaran sehingga melahirkan agama baru, yakni Shiwa-Buddha. Pengakuan pada ke-Shiwa-an dan ke-Buddha-an sebagai Prinsip Tertinggi yang tunggal merupakan puncak penyatuan dua agama ini. Perkembangan ShiwaBuddha di Indonesia menunjukkan betapa kebijaksanaan leluhur di masa lampau telah berhasil mempersatukan kebhinekaan beragama. Penyatuan Shiwa-Buddha ini bahkan tidak pernah terjadi di tanah kelahirannya – India (Phalgunadi, 2013 : 1--2). 2.3
Landasan Teori Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologi teori berarti
kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Teori berarti perangkat pengertian, konsep, preposisi yang mempunyai korelasi dan telah teruji kebenarannya. Teori berfungsi untuk mengubah dan membangun pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan (Ratna, 2004:1--2). Dari apa yang akan dianalisis dalam penelitian ini dibutuhkan suatu teori yang akan digunakan untuk mempermudah penelitian
21
terhadap objek ini. Ada tiga teori yang dipakai yaitu teori struktural, teori intertekstual, dan teori semiotika. Pertama-tama akan dibahas mengenai teori struktural. Secara etimologi struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan (Kutha Ratna, 2004:88). Dalam menganalisis karya sastra secara terstruktur yang paling cocok digunakan itu dengan menganalisis secara struktural. Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teuuw, 1984:135). Pada bagian lain, Teeuw mengatakan bahwa pendekatan struktural merupakan langkah awal yang sulit dihindari karena pendekatan struktural merupakan tugas prioritas sebagai pekerjaan pendahuluan (Teeuw, 1984:154). Di dalam strukturalisme terdapat anggapan bahwa teks mempunyai struktur yang bulat dan utuh. Teori struktural adalah teori yang menganalisis unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra. Unsur-unsur tersebut berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya sekaligus membangun struktur sebuah cerita. Intertekstual pertama kali dikembangkan oleh peneliti Prancis yang bernama Julia Kristeva. Pendekatan intertekstual mempunyai prinsip dasar bahwa setiap teks merupakan satu produktivitas (Suarka, 2007a:20). Secara luas interteks sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis berasal dari kata textus (bahasa Latin), yang berarti
22
tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi dan transformasi (Ratna, 2004:172). Dari beberapa pandangan tokoh mengenai pengertian teori struktural yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian teori struktural dari Teeuw. Selanjutnya Kristeva (dalam Junus, 1985:88) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan intertekstualitas adalah kehadiran suatu teks dalam teks lain. Langkah kerja intertekstualitas dirumuskan dengan konsep sebagai berikut : (1) Pandangan akan kehadiran secara fisikal suatu teks dalam teks lainnya, (2) pengertian teks bukan hanya sebatas pada cerita, tetapi juga mungkin berupa teks bahasa, (3) kehadiran teks tidak selalu bersifat fisikal dalam teks lainnya seperti dengan menampilkan secara nyata judul yang sama dari teks itu sendiri, namun juga dapat dikesankan melalui adanya petunjuk yang menunjukan bab (persambungan dan pemisahan) antara satu teks dengan teks lainnya yang telah terbit lebih dahulu, (4) dalam membaca suatu teks sebaiknya berdampingan dengan teks-teks lainnya untuk memudahkan dalam interpretasi. Dengan interpretasi itu akan dapat dilihat berbagai kemungkinan yang ada pada teks. Dari beberapa pandangan tokoh mengenai pengertian teori interteks yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian teori interteks dari Kristeva. Semiotika adalah suatu bidang studi yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi melalui sarana tanda-tanda dan berdasarkan pada sistem tanda atau juga bisa berarti ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya semua yang hadir dalam kehidupan kita lihat sebagai tanda, yakni sesuatu
23
yang harus kita beri makna (Hoed, 2008:3). Semiotika adalah studi tentang tanda dan segalanya yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (Sudjiman, 1992:9). Dari beberapa pandangan tokoh mengenai pengertian teori semiotika yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian teori semiotika dari Sudjiman. Dari pemaparan di atas, penelitian terhadap naskah Par.DC dan Pep.DC menggunakan tiga macam teori yaitu teori struktural, teori intertekstual, dan teori semiotika. Pada penelitian ini akan ditekankan mengenai hubungan antara Par.DC dengan Pep.DC melalui kajian interteks dengan melihat pertalian isi dan maknamakna yang membentuk kedua karya tersebut.
24