14
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
Secara umum, bagian ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama merupakan kajian pustaka, yang di dalamnya mengulas beberapa hasil pemikiran ilmiah yang pernah ditulis dan penelitian yang sudah dilakukan mengenai terjemahan dan penerjemahan khususnya yang berkaitan dengan bahasa simbol dan fenomena terjemahan yang berada pada dua kubu ekstrem, yaitu penerjemahan harfiah dan penerjemahan bebas. Bagian kedua menguraikan konsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam hal perbandingan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas, dan Kitab Wahyu sebagai kitab simbol. Bagian ketiga memuat landasan teori yang digunakan sebagai pijakan dalam menganalisis data penelitian. Bagian keempat memuat model penelitian yang menjadi kerangka awal dalam mendisain penelitian ini.
2.1
Kajian Pustaka Penelitian ini bertujuan untuk meneliti penerjemahan simbol-simbol verbal
yang terdapat di dalam Kitab Wahyu dari bahasa Inggris (Yunani) ke bahasa Indonesia dalam dua versi terjemahan yang berbeda, yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Oleh karena itu, dalam bagian ini dipandang perlu untuk meninjau beberapa penelitian yang membahas penerjemahan simbol dan juga penelitian yang mengarah pada studi perbandingan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Kajian pustaka yang diuraikan dalam bagian ini terdiri atas dua bagian, yakni bagian pertama berkaitan dengan penelitian yang mengkaji
14
15
terjemahan, baik secara umum maupun yang menukik pada penerjemahan bahasa simbol, sedangkan bagian kedua berkaitan dengan hasil penelitian yang mengetengahkan fenomena terjemahan Alkitab yang berada pada dua kubu yang bertentangan yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Beberapa pustaka hasil penelitian dan kajian kritis (artikel) yang memberi sumbangan pemikiran berharga dalam pengkajian karya terjemahan, baik secara umum maupun yang menukik pada penerjemahan bahasa simbol, dapat diuraikan seperti berikut. Ordudari (2008) mengkaji penerjemahan simbol verbal dari bahasa Persia ke bahasa Inggris. Penelitian yang dilakukannya bertujuan untuk menyoroti fakta bahwa ada beberapa prosedur untuk menerjemahkan simbol secara efektif dari bahasa Persia ke dalam bahasa Inggris. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa prosedur terjemahan forenisasi yang sering ditemukan dalam terjemahan harfiah tidak terlalu fungsional dan berguna dalam mengungkapkan semua konsep yang mendasari simbol yang diterjemahkan. Meskipun ada jalan keluar yang bisa ditempuh untuk mengatasi hal ini, yaitu mengefektifkan penggunaan catatan kaki untuk menjembatani sistem simbol BSu dan BSa yang berbeda bahkan bertentangan, tetap saja prosedur ini dipandang tidak efektif karena cenderung mengakibatkan translation loss. Di samping itu, penggunaan catatan kaki yang terlalu berlebihan akan membuat pembaca merasa kurang nyaman. Di sisi lain, prosedur yang dipandang lebih tepat adalah domestikasi yang ditempuh melalui prosedur deskriptif, yaitu dengan menambahkan pewatas (biasanya adjektiva) dan penggantian, yaitu entitas BSu dengan entitas BSa yang memiliki gambaran sejenis. Anggapan ini
16
didasarkan pada pemikiran bahwa dengan menggunakan prosedur domestikasi produk terjemahan tidak akan melanggar kesetiaan terhadap BSu dan pembaca BSa dapat memahami simbol secepat pembaca BSu. Di samping itu, pembaca BSa dapat memperluas pengetahuan budaya yang dimilikinya. Penelitian yang dilakukan oleh Ordudari (2008) dapat dijadikan sebagai pijakan penting dalam penelitian ini karena mengungkap tentang prosedur yang tepat dalam menerjemahkan sistem simbol dalam dua bahasa. Kekurangan dari penelitian tersebut terletak pada kesederhanaannya yang hanya menggunakan pisau bedah berupa prosedur domestikasi dengan teknik deskriptif, replacement dan changing the symbol to sense dan foreignisasi dengan teknik terjemahan harfiah, catatan kaki dan penghilangan (omission). Di sisi lain, penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih akurat dan spesifik karena menerapkan studi perbandingan dua versi produk terjemahan, yaitu yang harfiah dan yang bebas. Dalam hal ini, tim penerjemah dari masing-masing produk sudah menentukan metode penerjemahan yang mereka pakai dari sejak awal apakah harfiah atau bebas sehingga di samping dapat mengetengahkan hasil akhir berupa tingkat kesepadanan produk terjemahan kedua versi untuk dapat diperbandingkan, juga dapat diketahui ketepatan penggunaan prosedur dalam proses penerjemahan. Di samping itu, dalam penelitian ini melibatkan responden dari kalangan pembaca Alkitab, dan selain payung teori terjemahan, juga dimanfaatkan teori semiotik untuk membedah makna di balik simbol-simbol verbal religi yang diteliti. Dastjerdi dan Shoorche (2011) melakukan penelitian pada pilihan kata dan bahasa simbolis dari dua karya terjemahan Persia, novel The Scarlet Letter.
17
Tujuan penelitian mereka adalah untuk meninjau bagaimana simbol-sombol dibahas dalam dua bahasa yang berbeda, yaitu Inggris dan Persia, atau untuk meneliti penerjemahan elemen-elemen stilistika dalam karya sastra. Oleh karena itu, mereka memilih objek kajian sebuah karya sastra The Scarlet Letter dan dua terjemahan bahasa Persia yang berbeda yang berfokus pada simbol dan pilihan kata. Penelitian tersebut juga melibatkan 24 orang mahasiswa program master studi terjemahan untuk menjawab pertanyaan yang disuguhkan oleh peneliti melalui kuesioner. Latar belakang di balik pemilihan responden ialah karena responden dianggap memiliki pengetahuan tentang teori-teori terjemahan serta kemampuan untuk mengevaluasi terjemahan berdasarkan kriteria yang disajikan kepada mereka sehingga bisa memberikan tinjauan kritis terhadap karya terjemahan. Temuan dari studi tersebut menunjukkan bahwa tidak hanya simbolsimbol universal yang dapat diterjemahkan, tetapi juga simbol yang sarat dengan muatan budaya dapat diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain dengan pergeseran makna yang tidak berarti. Hasil penelitian mereka juga menyarankan bahwa guna memberikan pemahaman yang lebih baik bagi pembaca bahasa BSa diharapkan penerjemah mencantumkan catatan kaki khususnya bagi simbolsimbol yang sarat dengan muatan budaya. Menyimak gambaran penelitian yang dilakukan oleh Dastjerdi dan Shoorche (2011), studi yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih akurat dan spesifik karena di samping menerapkan studi perbandingan dan melibatkan responden, juga mengetengahkan teori semiotik untuk melihat secara mendalam makna yang ada di balik simbol-simbol verbal religi yang
18
diteliti. Di samping itu, penelitian ini tidak hanya sebatas menyelidiki strategi yang dipakai oleh penerjemah dalam menerjemahkan bahasa simbolis, tetapi jauh lebih mendalam, yaitu mengamati ketepatan penerapan strategi penerjemahan yang dipakai atau bahkan ditentukan sejak awal oleh penerjemah atau tim penerjemah. Bahkan, lebih luas lagi, hasil penelitian ini dapat dipakai untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap fenomena global terjemahan Alkitab yang berada pada dua kubu ekstrem, yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas dengan meneliti produk terjemahan yang diterjemahkan dengan menggunakan metode yang berbeda serta dihasilkan tidak hanya oleh satu orang penerjemah, tetapi oleh sebuah tim dari Lembaga Biblika yang dipercaya, yaitu Lembaga Alkitab Indonesia. Di lain sisi, penelitian yang dilakukan oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi (2009), yang secara diakronis menyoroti dikotomi strategi penerjemahan dalam hal ini domestikasi dan forenisasi, menguraikan hasil temuannya yang menyatakan bahwa meskipun kedua strategi sudah dipergunakan selama enam dasawarsa terakhir, domestikasi telah menjadi strategi penerjemahan budaya yang dipergunakan paling luas dari tahun 1950-an sampai dengan tahun 2000-an. Penelitian mereka, yang berjudul A Diachronic Study of Domestication and Foreignization
Strategies
of
Culture-Specific
Items: in
English-Persian
Translations of Six of Hemingway‟s Works bertujuan untuk mengeksplorasi strategi penerjemahan budaya yang dominan dipakai untuk menerjemahkan kata bermakna budaya pada enam buah novel karya Ernest Hemingway dari bahasa sumbernya yaitu bahasa Inggris ke dalam bahasa Persia selama enam dasawarsa terakhir. Data dikumpulkan dengan memilih secara acak 10 halaman dari enam
19
karya Hemingway dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1978 untuk dibandingkan dengan terjemahannya yang ditulis dari tahun 1952 sampai dengan tahun 2004. Selanjutnya, korpus data disusun dengan menemukan istilah-istilah yang memiliki makna budaya dan disusun berdasarkan taksonomi yang sudah dipersiapkan untuk kemudian dikontraskan antara BSu dan BSa dalam hal prosedur penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah untuk mengetahui strategi yang lebih dominan dipakai dalam kurun waktu tersebut. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi pada tahun 2009, Schmidt (2013) juga melakukan studi diakronik terhadap penerapan dua kubu strategi penerjemahan, yaitu domestikasi dan forenisasi, dari bahasa Inggris ke bahasa Kroasia terhadap tiga karya terjemahan dari novel Oscar Wilde, yaitu The Picture of Dorian Gray yang diterjemahkan pada tahun 1920, 1953, dan 1987. Berbeda dengan hasil yang diperoleh ZareBehtash dan Firoozkoohi, studi diakronik yang dilakukan oleh Schmidt justru menemukan fakta yang berlawanan, yaitu strategi penerjemahan yang diterapkan dalam kurun waktu termaksud justru didominasi oleh forenisasi dengan rasio perbandingan 1:4 pada tahun 1920, 1:2 pada tahun 1953, dan 1:3,5 pada tahun 1987. Meskipun rasio perbandingan menunjukkan kecenderungan peralihan dari strategi forenisasi ke arah domestikasi, penerjemah masih secara dominan memilih strategi forenisasi dibandingkan dengan domestikasi. Terkait dengan fakta ini, Schmidt (2013) menyatakan bahwa strategi penerjemahan secara umum mewakili kecenderungn sosial dan budaya dalam masyarakat kontemporer. Lebih jauh dikatakan pula bahwa premis umum tersebut mengarah pada simpulan bahwa
20
masyarakat Kroasia cukup terbuka atau setidaknya toleran terhadap unsur-unsur kebudayaan asing, dalam hal ini, Inggris. Jika hal ini dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi (2009) dapat disimpulkan pula bahwa masyarakat Persia bahkan lebih terbuka terhadap penerimaan unsurunsur budaya asing merujuk pada fakta penelitian yang menunjukkan sejak awal kecenderungan strategi penerjemahan yang dipakai sudah mengarah pada domestikasi. Kedua penelitian yang didasarkan pada studi diakronik di atas dapat memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penelitian ini terutama dalam hal menyusun taksonomi data ataupun taksonomi untuk alat menganalisis prosedur ataupun strategi yang dipergunakan oleh penerjemah, hanya saja memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam hal tujuan yang ingin dicapai. Penelitian yang dilakukan, baik oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi maupun Schmidt, bertujuan untuk mengetahui strategi yang dominan dipakai oleh penerjemah dalam kurun waktu tertentu yang nantinya bermuara pada kecenderungan tren sosial dan budaya masyarakat dari bahasa target dalam hal ini Persia dan Kroasia. Di lain sisi, penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan strategi penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah mengingat dalam penerjemahan teks Alkitab ideologi penerjemahan sudah ditetapkan dari sejak awal, apakah menerapkan ideologi domestikasi, ataukah sebaliknya, secara utuh menerapkan ideologi forenisasi. Hal ini diharapkan akan bermuara pada satu temuan untuk menjawab fenomena global penerjemahan Alkitab yang mempertentangkan kubu terjemahan harfiah dan terjemaham bebas.
21
Brata (2010), dalam disertasinya tentang terjemahan sistem sapaan budaya religi dalam Injil Lukas, menyelidiki bagaimana sistem sapaan budaya religi dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam dua versi terjemahan bahasa Bali. Dalam hal ini, kedua versi terjemahan diparalelkan untuk dapat melengkapi satu sama lain dan tidak dipertentangkan. Teori yang dipergunakannya adalah teori appraisal untuk menentukan distribusi golongan dan stratifikasi status sosial pelibat untuk menentukan teknik penerjemahan. Selain itu, diterapkan pula teori padanan formal dan dinamis yang dicetuskan oleh de Ward dan Nida (1986) serta diagram V metode penerjemahan dari Newmark (1988) untuk menunjukkan orientasi penerjemahan yang berkaitan erat dengan ideologi penerjemahan itu sendiri. Penelitian seperti tersebut di atas mengungkapkan bahwa terdapat 12 teknik penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan sistem sapaan bahasa Inggris ke dalam bahasa Bali dan 99,02% berorientasi pada bahasa target. Hal ini berarti bahwa ideologi domestikasi yang dominan diterapkan oleh penerjemah untuk menjadi lebih dekat pada pembaca bahasa target sehingga nilai budaya bahasa target tercermin dalam terjemahan. Dominasi teknik penerjemahan yang berorientasi pada bahasa target juga menunjukkan bahwa ada perbedaan budaya yang besar antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran khususnya dalam hal sistem sapaan. Temuan lain yang erat kaitannya dengan studi ini menunjukkan bahwa dampak dari pemanfaatan prosedur yang dipilih di antara 12 prosedur penerjemahan dalam penerjemahan sistem sapaan budaya religi yang terdapat pada Injil Lukas dapat dikatakan memberikan kontribusi yang sangat positif pada
22
kualitas terjemahan, sehingga produk terjemahan menjadi sangat akurat, budaya dapat diterima, dan dimengerti oleh pembaca sasaran. Menurut Brata (2010), hal ini terjadi karena teknik/prosedur terjemahan yang dipakai selalu sebanding dengan metode yang diterapkan yang komunikatif dan ideologi penerjemahan yang cenderung didomestikasi. Berbeda dengan penelitian Brata (2010) yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan strategi penerjemahan yang digunakan untuk menerjemahkan sistem sapaan dalam Injil Lukas, penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan yang lebih spesifik karena tidak sekedar untuk mendeskripsikan jenis strategi yang dimanfaatkan oleh penerjemah tetapi lebih dalam lagi, yaitu untuk meneliti ketepatan pemanfaatan strategi penerjemahan yang secara umum telah ditentukan jenis strategi yang dipakai sebelum proses penerjemahan dilakukan. Berikut adalah pustaka hasil penelitian dan kajian kritis (artikel) yang memberi sumbangan pemikiran berharga terkait dengan fenomena terjemahan Alkitab yang berada pada dua kubu yang bertentangan yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Currie (2008) dalam artikelnya, "Membandingkan Versi Terjemahan Alkitab", membandingkan beberapa versi terjemahan Alkitab yang mencakup sebagian besar versi Alkitab utama yang digunakan saat ini dengan menggunakan kriteria bahwa tidak ada perubahan telah dibuat, dalam arti bahwa tidak ada yang ditambahkan, dan bahwa tidak ada doktrin disisipkan ke dalamnya. Currie (2008) kemudian memberikan skor untuk masing-masing versi dan analisis membawanya pada suatu simpulan bahwa versi terbaik yang menggunakan prinsip kesetaraan dinamis minimal telah kehilangan 10% tingkat akurasi,
23
sedangkan versi rata-rata kesetaraan dinamis tampaknya kehilangan sekitar 70 80% tingkat akurasi. Berdasarkan penelitian itu, Currie (2008) menyarankan para pembaca Alkitab, jika mengalami kesulitan dalam memahami versi terjemahan Alkitab yang menggunakan prinsip kesetaraan formal, supaya mencoba versi kesetaraan formal yang lain sebelum beralih ke versi kesepadanan dinamis. Jika tidak dapat menemukan terjemahan kesetaraan formal yang dimengerti, ia menyarankan untuk membeli satu versi kesetaraan dinamis namun hanya sebagai bahan perbandingan. Riset yang dilakukan oleh Currie (2008) relevan dengan penelitian ini karena mengetengahkan fakta tentang ekstremitas dua kubu terjemahan dalam dunia penerjemahan Injil sebagai akibat dari penerapan dua metode penerjemahan yang bertentangan satu sama lain, yaitu kesepadanan formal dan kesepadanan dinamis. Hasil kajian yang dikemukakan oleh Currie (2008) memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penelitian ini karena mengetengahkan fenomena global terjemahan Injil yang berada pada dua kubu yang sering kali dipertentangkan, yaitu antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Di samping itu, hasil studi yang diungkap oleh Currie (2008) juga mewakili pendapat sebagian besar kalangan bahwa terjemahan harfiah memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan terjemahan bebas. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan ataupun masukan dalam studi yang dilakukan ini. Roach (2011), dalam sebuah artikel tentang versi terjemahan Alkitab, memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh LifeWay Research terhadap
24
sebanyak 2.000 orang pembaca Alkitab di Amerika yang berpartisipasi dalam studi melalui panel secara online. Riset dilakukan pada bulan Agustus tahun 2011 sehingga data dipandang masih relevan. Untuk memenuhi syarat sebagai informan, peserta harus membaca Alkitab dalam bulan tertentu, baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari kegiatan keluarga. Hasil risetnya menunjukkan sebanyak 61% peserta survei menyatakan bahwa mereka memilih terjemahan harfiah dibandingkan dengan terjemahan bebas. Sebaliknya, hanya 20% dari total peserta memilih terjemahan bebas dan sisanya sebanyak 14% menyatakan keduanya baik, dan 5% tidak yakin terhadap pilihan mereka.
Lebih jauh mengenai hasil riset tersebut, Roach (2011)
memaparkan bahwa dari keseluruhan peserta sebanyak 75% memilih versi terjemahan yang mengedepankan totalitas dalam hal akurasi, dan sebaliknya, hanya 35% yang memilih produk terjemahan yang menempatkan keterbacaan sebagai prioritas utama. Hasil penelitian yang dilakukan oleh LifeWay Research cukup relevan dengan studi yang dilakukan ini mengenai dikotomi antara dua kubu ekstrem terjemahan Alkitab, yaitu yang harfiah dan yang bebas. Data dari LifeWay
Research
menyatakan
bahwa
secara
lugas
fenomena
global
penerjemahan Alkitab khususnya di Amerika dapat dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut.
2.2
Konsep Ada beberapa konsep yang berkaitan dengan penelitian ini yang perlu
diperjelas sebelum beralih ke penyelidikan lebih lanjut. Tujuannya selain untuk menyamakan persepsi terhadap istilah-istilah yang digunakan, juga dimaksudkan
25
untuk memperjelas variabel penelitian, teori, tahapan analisis, dan pendekatan yang digunakan. Beberapa konsep yang dimaksud adalah: (a) terjemahan harfiah dan terjemahan bebas, (b) simbol-simbol verbal religi, dan (c) kitab Wahyu. Berikut adalah uraian singkat dari istilah-istilah yang dimaksud.
2.2.1
Terjemahan Harfiah dan Terjemahan Bebas Segregasi atau pemisahan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas
yang dikenal dengan istilah dikotomi di dalam dunia penerjemahan khususnya penerjemahan Alkitab adalah divisi atau pemisahan strategi penerjemahan yang dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang berbeda yang mencerminkan pendekatan-pendekatan teoretis yang berbeda terhadap terjemahan (Kemppanen, 2011:147). Kedua strategi yang menghasilkan kubu yang bertentangan di dalam penerjemahan baik yang berorientasi pada produk maupun proses, diberi label dalam beberapa istilah yang berbeda, yaitu kesepadanan formal dan dinamis (Nida, 1964), terjemahan semantik versus komunikatif (Newmark, 1981), terjemahan literal dan idiomatik (Beekman dan Callow, 1974), terjemahan teraga (overt) dan tak teraga (covert) (House, 1977), terjemahan yang berasas pada bentuk dan makna (Larson, 1984), domestikasi dan foreginisasi (Venuti, 1995, 1998), terjemahan langsung (direct) dan tak langsung (indirect) (Gutt, 1991), dan terjemahan observasional dan partisipatif (Pym, 2010). Namun, pemisahan berbagai strategi penerjemahan ke dalam dua kelompok besar diperkenalkan oleh para ahli bahasa dengan berbagai istilah yang
26
berbeda Nida (1964) menegaskan bahwa secara tradisional kita cenderung untuk berpikir dalam kerangka terjemahan harfiah dan terjemahan bebas.
2.2.2
Simbol-Simbol Verbal Religi Nöth (1990) menyebutkan bahwa dalam arti yang luas simbol adalah
sinonim dari tanda. Lebih jauh ditegaskan bahwa terlepas dari ketidakjelasan terminologi, definisi yang lebih sempit yang mendefinisikan simbol sebagai kelas tanda, dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu simbol sebagai tanda konvensional, simbol sebagai tanda ikonik, dan simbol sebagai tanda konotasional. Subtipe dari simbol adalah simbol verbal, grafis dan simbol bergambar lainnya (seperti logo atau merek dagang), bendera, dan lambang. Merujuk pada pengertian bahwa definisi istilah verbal mengacu pada segala sesuatu yang berbasis kata, baik yang berwujud ucapan maupun tulisan maka yang dimaksud dengan simbol verbal dalam penelitian ini adalah simbol yang berbasis pada kata yang dalam hal ini berwujud tulisan. Secara umum, Peirce mendefinisikan simbol sebagai tanda yang memiliki tiga elemen yaitu representamen, interpretan, dan objek, yang mana hubungan antara dua elemennya yaitu representamen dan interpretan bersifat konvensional. Sehubungan dengan penjelasan di atas, yang dimaksud dengan simbol verbal adalah eksistensi representamen pada teks yang berbentuk tulisan dan mengacu pada sesuatu yang berbeda dari apa yang tertulis pada teks. Locker (2003) menegaskan pula bahwa tipe dari tanda ini hanya dapat dipahami dengan mengaitkan maknanya. Misalnya, simbol verbal perempuan berselubungkan
27
matahari dalam Kitab Wahyu merupakan simbol dari orang Israel, Gereja Kristen, atau seluruh Umat Allah. Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, Shaw (1881:367) menyajikan definisi simbol sebagai sesuatu yang digunakan untuk, atau dianggap, mewakili sesuatu yang lain. Lebih khusus, simbol adalah sebuah kata, frasa, atau ekspresi lain yang memiliki makna kompleks, dalam hal ini, simbol dipandang memiliki nilai yang berbeda dari apa pun yang disimbolkannya. Sebagai tanda yang arbitrer (ditulis atau dicetak) yang telah memperoleh signifikasi konvensional, sebuah simbol adalah "sesuatu yang terlihat yang melalui asosiasi atau konvensi melambangkan sesuatu yang lain yang tak terlihat" (Word Reference). Michelson (2005:176) melihatnya sebagai kata kiasan "suatu gambaran yang ditransfer oleh sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, seperti bendera untuk negara, atau musim gugur untuk kedewasaan.” Simbol dapat mewakili ide-ide yang terkandung dalam gambar tanpa menyatakannya. Simbol dapat menjadi subjek dari keragaman atau konotasi, karena itu, baik penyair maupun pembaca, harus menerapkan kebijaksanaan yang masuk akal untuk menghindari salah tafsir. Simbol didefinisikan dalam Encyclopedia Britannica (online) sebagai elemen komunikasi yang dimaksudkan untuk hanya mewakili atau menggantikan orang, objek, kelompok atau ide. Lebih jauh, Harshananda (1988) menyebutkan bahwa simbol religi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penggunaan simbol-simbol (arkitipe, tindakan, karya seni, peristiwa atau fenomena alam) oleh agama tertentu untuk berbagai keperluan. Dalam hal ini, agama melihat teks-teks agamawi, ritual, dan karya seni sebagai simbol untuk meyakinkan seseorang tentang ide atau
28
pemahaman tertentu. Simbol membantu menciptakan mitos yang resonan untuk mengekspresikan nilai-nilai moral masyarakat atau ajaran agama, menciptakan solidaritas antarumat dan membawa pengikut lebih dekat ke objek ibadah mereka. Studi mengenai simbol-simbol religi dapat dilakukan, baik secara universal yaitu sebagai komponen perbandingan agama dan mitologi maupun dalam lingkup lokal yaitu dalam batas-batas agama.
2.2.3
Kitab Wahyu Kitab Wahyu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Alkitab yang
adalah kitab suci umat Kristiani. Alkitab memiliki 66 jilid buku yang terdiri atas 39 jilid Perjanjian Lama (PL) dan 27 Jilid Perjanjian Baru (PB). Semua jilid tersebut sudah diakui secara universal oleh umat Kristen di dunia. Jilid pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tersebut dibedakan lagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok yang dimiliki oleh Perjanjian Lama terdiri atas lima kitab. Terdiri atas Kitab Taurat yang memiliki lima kitab, Kitab Sejarah yang memiliki 12 kitab, Kitab Puisi memiliki lima kitab, Kitab Nabi-nabi Besar dalam lima kitab, dan Kitab Nabi-nabi Kecil dalam 12 kitab. Sementara itu, pembagian dari Perjanjian Baru memiliki jumlah yang lebih sedikit. Perjanjian Baru memiliki empat kitab, yaitu Kitab Injil yang memiliki empat kitab, Kitab Sejarah hanya satu kitab, Surat-surat Rasuli memiliki 21 kitab, dan Kitab Wahyu yang juga hanya satu kitab. Kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab tersebut dibedakan berdasarkan apa yang disebut pasal. Pasal yang terdapat dalam Alkitab terdiri atas pasal
29
pendek, sedang, hingga pasal panjang, secara berurutan yaitu pasal Obaja, Filemon, Yohanes, Yudas dan Mazmur. Ketika akan mencari pasal dalam Alkitab, penyebutan nama kitab terlebih dahulu akan memudahkan dalam pencarian. Penyususnan Alkitab dilakukan secara semi-kronologis. Penyusunan seperti ini mutlak dilakukan ketika akan menyusun Kitab Sejarah agar kronologis yang dibukukan tidak memusingkan para pembacanya. Pembagian kronologis, buku, pasal, dan ayat yang terdapat dalam Alkitab adalah hasil dari perumusan yang dilakukan oleh Kaum Gereja pada zaman dahulu. Secara khusus, Kitab Wahyu merupakan kitab terakhir dari Perjanjian Baru. Judul kitab diambil dari kata pertama dari buku tersebut dalam bahasa Yunani Koine: apokalypsis, yang berarti "penyingkapan" atau "wahyu" (penulisnya sendiri tidak memberikan judul pada tulisannya). Williams (2003) menjelaskan bahwa kitab tersebut ditulis oleh seorang pria bernama Yohanes yang mencatat visi yang diberikan kepadanya, mungkin saat bermimpi atau bermeditasi. Visi ini mengandung sejumlah besar simbolisme. Beberapa dari simbol yang terdapat dalam Kitab Wahyu seperti yang disebutkan oleh Wikipedia adalah dua puluh empat tua-tua yang menggunakan mahkota, empat makhluk hidup, Singa Yehuda yang adalah Anak Domba bertanduk tujuh dengan tujuh mata, binatang laut yang memiliki tujuh kepala dan sepuluh tanduk, wanita dan anaknya, naga yang merah menyala dengan tujuh kepala, dan lain-lain. Kitab Wahyu adalah bagian dari Alkitab yang sebagian besar tidak dikenal meskipun di kalangan umat Kristiani dan bahkan bagi beberapa orang merupakan kitab yang harus dihindari. Banyak pembaca modern merasa sulit untuk memahaminya karena penuh dengan jenis simbolisme yang asing bagi pembaca
30
masa kini dan memahami apa yang diwakili oleh simbol adalah hal yang tidak mudah. Keseluruhan bagian Kitab Wahyu dapat dikategorikan sebagai sastra yang disebut apokaliptik yang menunjukkan apa yang terjadi di bawah permukaan, menjelaskan mengapa hal-hal terjadi dan akan terjadi, sering berkonsentrasi pada hal-hal yang akan datang dan terutama akhir zaman (Chapman dan Emeritus, 2009).
2.3
Landasan Teori Landasan teori yang menjadi pijakan utama dalam penelitian ini adalah
teori terjemahan mengingat studi ini adalah studi penerjemahan. Teori ini, terutama dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis, membicarakan, dan meneliti fenomena penerjemahan dalam hal ini Alkitab, yang berada pada dua kubu ekstrem yang berbeda, atau yang sering dikenal dengan dikotomi antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Sesuai dengan fungsi teori yang diungkap oleh Hill (1990:28), landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini juga berfungsi untuk meringkas sekumpulan besar pengetahuan mengenai hukumhukum tertentu ke dalam ruang yang cukup kecil sehingga dapat menjadi pemandu terhadap fokus penelitian yang sedang dilakukan. Namun, sesuai dengan pandangan ekletisme, diperlukan penggabungan beberapa dasar teori untuk menjawab fenomena dalam dunia penerjemahan Alkitab khususnya yang menyangkut pengalihan bahasa simbolis dari TSu ke TSa. Untuk itu disamping teori terjemahan terdapat dua teori lain yang diterapkan secara eklitik dalam penelitian ini yaitu teori semantik, dan teori semiotik. Penerapan teori semiotik yang cukup dominan didukung oleh pernyataan yang
31
dikemukakan oleh Bassnett (1990/1991:34) bahwa saat ini studi terjemahan telah semakin mengadopsi pendekatan interdisipliner untuk mempelajari penerjemahan sebagai transposisi intertekstual dan antarbudaya.
2.3.1
Teori Terjemahan Meskipun bukanlah solusi untuk semua masalah yang muncul dalam
proses penerjemahan, teori terjemahan merupakan orientasi umum bagi penerjemah dalam mengambil keputusan saat melakukan kegiatan penerjemahan. Untuk itu, pemahaman tentang konsep umum teori penerjemahan sangat penting dan berguna bagi para penerjemah karena mustahil bagi para penerjemah untuk mendapatkan terjemahan yang baik tanpa memahami teori terjemahan. Nababan (1999:13) menyatakan bahwa teori penerjemahan memusatkan perhatiannya pada karakteristik dan masalah-masalah penerjemahan sebagai suatu fenomena. Lebih jauh, Lauven-Swart, seperti yang dikutip oleh Nababan (1999:15), menyatakan bahwa tujuan utama dari teori penerjemahan bukan untuk menghasilkan penerjemah dan karya terjemahan yang lebih baik, tetapi mungkin saja hal ini merupakan produk dari teori dan metode penerjemahan. Dalam arti yang sempit, teori terjemahan menyangkut metode terjemahan yang tepat untuk jenis teks tertentu. Namun, dalam arti yang lebih luas teori terjemahan dapat dikatakan sebagai wujud dari pengetahuan yang dimiliki tentang menerjemahkan yang terdiri atas prinsip-prinsip umum sampai pada panduan, saran, dan pentunjuk. Sejalan dengan itu, Newmark (1988:9) mengatakan bahwa yang dilakukan oleh teori terjemahan adalah: pertama, untuk mengidentifikasi masalah terjemahan, karena menurutnya, tidak ada masalah maka tidak ada teori
32
terjemahan, kedua, untuk menunjukkan semua faktor yang harus diperhitungkan dalam memecahkan masalah; dan ketiga, untuk mendaftar semua prosedur penerjemahan yang memungkinkan dan pada akhirnya untuk merekomendasikan prosedur penerjemahan yang paling cocok. Berbicara mengenai teori terjemahan tidak bisa dipisahkan dari perkembangannya yang menyangkut tanggal tertentu, angka-angka, serta orangorang yang menyumbangkan pemikiran berharga dan melegenda yang menandai periode sejarah penerjemahan. Para peneliti menyebutkan bahwa tulisan-tulisan tentang terjemahan kembali ke Roma. Jakobson (1958) mengklaim bahwa menerjemahkan adalah penemuan Romawi (McGuire,1980). Pemikiran yang disumbangkan oleh Cicero dan Horace (abad pertama SM) adalah teori pertama yang membedakan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Komentar mereka dalam praktik terjemahan memengaruhi generasi berikutnya dalam studi penerjemahan hingga abad kedua puluh. Dikotomi antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas bermula pada Kekaisaran Romawi dan sejak itu terus menjadi titik perdebatan dalam berbagai hal sampai dengan saat ini, seperti Bassnett (1991:47) yang mengungkapkan, “The distinction between word for word and sense for sense translation, established within the Roman system, has continued to be a point of debate in one way or another right up to the present.” Lebih khusus lagi, Steiner (1975:346-40) dalam tulisannya After Babel, terlepas dari struktur kronologisnya yang masih tumpang tindih, membagi literatur tentang teori, praktik dan sejarah terjemahan ke dalam empat periode, dimulai dari zaman Cicero sampai sekarang. Periode pertama mencakup rentang waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 1.700 tahun, yang berakhir hingga terbitnya esai dari
33
Tytler yang berjudul On the Principles of Translation pada tahun 1791. Ciri utama dari periode ini adalah “fokus empiris langsung”, yaitu pernyataanpernyataan dan teori-teori yang timbul langsung dari praktik menerjemahkan. Periode kedua Steiner berlangsung sampai dengan terbitnya karya Larbaud, Sous I‟invocation de Saint Jérome, pada tahun 1946 yang ditandai sebagai periode teori dan studi hermeneutik dengan perkembangan kosakata dan metodologi penerjemahan. Periode ketiga ditandai oleh terbitan pertama yang merupakan produk dari terjemahan mesin pada tahun 1940. Periode ketiga, ini juga menandai sejarah penerjemahan dengan pengenalan linguistik struktural dan teori komunikasi dalam penerjemahan. Periode keempat dimulai pada tahun 1960, ditandai dengan era kembalinya terjemahan pada studi hermeneutik, yaitu penerjemahan dan interpretasi atau penerjemahan yang mencakup sejumlah disiplin lain, seperti filologi klasik, sastra komparatif, statistik leksikal dan etnografi, sosiologi, retorika formal, puisi dan studi tata bahasa yang digabungkan dalam upaya untuk memperjelas tindakan penerjemahan dan proses “hidup antarbahasa”.
2.3.1.1 Kejelasan teoritis tentang terjemahan harfiah dan terjemahan bebas Di dalam sebuah artikel berjudul “Dikotomi Terjemahan Bebas dan Harfiah”, yang dimuat dalam sebuah jurnal terjemahan, Barbe (1996) menyatakan bahwa salah satu dari dua pertanyaan dominan dalam dunia terjemahan selain posisi disiplin ilmu tersebut sebagai bidang studi yang terlepas, baik dari sastra komparatif maupun linguistik terapan, adalah kemana sebaiknya terjemahan mengacu apakah pada bahasa sumber (harfiah) ataukah berorientasi pada bahasa
34
target (terjemahan bebas)? Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, para ahli bahasa mungkin saja mempergunakan berbagai istilah yang berbeda untuk mengacu pada pemisahan kedua strategi penerjemahan seperti, misalnya kesepadanan formal dan dinamis, domestikasi versus foreignisasi, dan sebagainya, tetapi konsep yang diacu sesungguhnya masih tetap sama, yaitu mengenai orientasi strategi penerjemahan yang dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang berbeda yang mencerminkan pendekatan-pendekatan teoretis yang berbeda terhadap terjemahan. Seperti yang sudah diungkapkan di atas, pemisahan orientasi strategi penerjemahan, yakni yang harfiah dan yang bebas, bukan merupakan hal yang baru tetapi sudah bermula dan dapat ditelusuri dari zaman Cicero pada abad pertama sebelum masehi dan masa St. Jerome pada akhir abad keempat masehi. Sejak zaman Romawi yang dimaksud dengan terjemahan harfiah atau yang juga dikenal dengan terjemahan kata-demi-kata mengacu secara mutlak pada BSu dalam pengertian bahwa penggantian setiap kata dari BSu dilakukan berdasarkan kesetaraan gramatikal terdekat dengan BSa. Demikian pula terjemahan bebas mengandung pengertian menciptakan teks sasaran yang natural yang mampu menyatakan makna aslinya tanpa mendistorsi BSa (Baker, 1998). Schmidt (2013:538) mengungkapkan bahwa dalam perjalanan selanjutnya, pemahaman teoretis tentang terjemahan harfiah dan terjemahan bebas yang sebelumnya hanya menekankan unsur linguistik semakin berkembang dengan dipertimbangkannya unsur budaya yang dalam hal ini dimunculkan oleh Venuti dengan konsepnya yang dikenal dengan domestikasi dan foreinisasi, yaitu apakah BSu diadaptasi ke dalam budaya BSa, ataukah sebaliknya, unsur-unsur budaya
35
asing tetap dipertahankan. Sejalan dengan hal ini, Behtash dan Firoozkoohi (2009:1576) menyatakan bahwa sejak era Venuti strategi penerjemahan telah mengadopsi unsur budaya dan ideologi sebagai faktor yang diperhitungkan dalam proses penerjemahan dan juga pengaruh terjemahan terhadap pembaca sasaran serta budaya mereka. Jadi, pemisahan orientasi terjemahan harfiah dari terjemahan bebas tidak hanya mempertimbangkan unsur linguistik tetapi juga sudah berkembang ke arah pertimbangan budaya dan juga pembaca sasaran. Hal ini juga sejalan dengan pendapat (Wang, 2002:24) bahwa konflik antara kedua kubu terjemahan sudah ada dalam ranah kultural atau bahkan politik, dan bukan hanya mencakup ranah linguistik. Pembaharuan ini diperkirakan dimulai pada sekitar tahun 1970-an, yaitu sejak munculnya era budaya, maka pertentangan antara kedua kubu terjemahan dilihat dari sudut pandang yang berbeda – sosial, budaya dan historis: The conflict between domestication and foreignization as opposite translation strategies can be regarded as the cultural and political rather than linguistic extension of the time-worn controversy over free translation and literal translation (Wang Dongfeng 2002:24). Terkait dengan pertimbangan budaya, Venuti (1998:240) mendefinisikan domestikasi sebagai strategi penerjemahan yang mengadopsi gaya yang disebutnya transparan dan fasih untuk meminimalkan keanehan teks asing bagi pembaca bahasa target. Hal ini berarti penerjemahan menerapkan strategi yang membuat teks dikenali dan familiar sehingga mampu membawa budaya asing lebih dekat dengan pembacanya. Sebaliknya, foreinisasi mengacu pada strategi penerjemahan yang mempertahankan keasingan BSu. Hal ini juga berarti penerjemahan membawa pembaca untuk mengenal budaya asing dan membuat mereka merasakan perbedaan khasanah bahasa dan budaya.
36
Selain Venuti, tokoh
lain
yang menyoroti
pemisahan oritenasi
penerjemahan ke dalam kubu yang harfiah dan yang bebas adalah Nida yang menyebut masing-masing strategi sebagai kesepadanan formal dan dinamis. Nida (2001:118) menyatakan bahwa kesepadaan formal adalah strategi yang memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam bentuk maupun isi. Ini adalah cara untuk memberikan wawasan dalam bentuk leksikal, gramatikal atau struktur teks BSu. Kesetaraan fungsional, di lain sisi, didasarkan pada prinsip efek setara, yaitu hubungan antara penerima pesan dan pesan itu sendiri harus setara dengan hubungan antara penerima asli dan BSu. Lebih jauh ditegaskan bahwa dalam bahasa, budaya dan penerjemahan, secara minimal, yang dimaksud dengan kesetaraan fungsional adalah bahwa “pembaca sasaran memahami hasil terjemahan sampai pada satu titik pemahaman sebatas pengertian mereka sebagaimana pembaca asli dari teks tersebut memahami dan menghargainya. Selanjutnya, secara maksimal kesetaraan fungsional mengandung pemahaman bahwa pembaca sasaran harus dapat memahami dan menghargai dengan cara yang sama seperti pembaca sumber memahaminya. Tidak seperti Venuti (2000) yang cenderung mengadopsi strategi literal dibandingkan dengan bebas, Nida (1964) yang banyak bergelut dengan terjemahan
Alkitab lebih
condong pada kesepadanan fungsional
yang
menekankan pada keterbacaan meskipun tidak mengabaikan akurasi dan kesetiaan. Terkait dengan kecenderungan strategi yang dipilih oleh Nida, Newmark (2001:51) menyampaikan kritik yang cukup keras bahwa hal ini justru mengakibatkan kehilangan besar makna utamanya dalam penerjemahan metafora alkitabih yang menurut Nida sulit dimengerti oleh pembaca sasaran.
37
Sejalan dengan pemaparan di atas, Simms (1997:7) juga mengkontraskan karakteristik terjemahan harfiah dan terjemahan bebas, seperti yang tertera dalam tabel berikut:
38
Tabel 2.1. Perbandingan Karakteristik Terjemahan Harfiah dan Terjemahan Bebas Terjemahan Harfiah
Terjemahan Bebas
Menerjemahkan setiap kata BSu sesuai dengan leksikon BSa yang karena itu penerjemah cenderung berada di pihak penulis dibandingkan dengan pembaca.
Penerjemahan yang berfokus pada pesan karena itu penerjemah cenderung berada di pihak pembaca dibandingkan dengan penulis sehingga dalam hal ini hanya ada sedikit penghargaan terhadap bentuk leksikon yang dipakai oleh penulis sepanjang pesan yang mendasarinya tetap utuh.
Korespondensi langsung antara masing-masing item leksikal yang terdapat pada BSu dan BSa terlihat jelas.
Korespondensi antara item leksikal yang terdapat pada BSu dan BSa dapat menjadi benar-benar tidak terlihat seperti ketika sebuah pasal yang terdapat pada BSu yang tidak memiliki padanan pada BSa dihilangkan begitu saja.
Peran penerjemah tidak terlihat karena BSu diterjemahkan secara utuh ke dalam BSa yaitu hanya ada sedikit intervensi dari pihak penerjemah dalam bentuk parafrase.
Peran penerjemah terlihat jelas melalui intervensi yang dilakukan dalam bentuk parafrase. Hal ini dilakukan untuk memenuhi misi penyesuaian budaya antara BSu dan BSa.
Cenderung ditujukan bagi kalangan akademik yang idealnya sudah berkenalan dengan kedua bahasa, dan karena itu sedikit membutuhkan terjemahan.
Cenderung ditujukan untuk pembaca yang awam; mereka tidak hanya tidak mengenal BSu tetapi juga konteks budaya BSu.
Terjemahan harfiah bersifat mendidik. Meskipun struktur gramatikal permukaan terkesan biasa, pikiran yang mendasarinya (dalam hal ini budaya BSu) dapat membantu untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas. Jika dibutuhkan pemahaman lebih lanjut mengenai konteks budaya maka dapat dilakukan dengan tindakan pro-aktif intertekstualisasi.
Terjemahan bebas sebenarnya tidak mendidik: jenis terjemahan ini tidak memberikan peluang bagi pembaca hasil terjemahan untuk mengetahui media yang sesungguhnya pada BSu sehingga pembaca harus mempercayai seutuhnya perkataan yang ditulis oleh penerjemah.
(Sumber: Simms, 1997)
39
2.3.1.2 Kesepadanan dalam teori terjemahan Pada tahun 1960 hingga 1970-an, konsep utama yang berlaku pada studi terjemahan adalah “kesepadanan”. Ada beberapa linguis yang berteori tentang konsep ini di antaranya adalah Koller dan Nida. Yinhua (2011) menyimpulkan bahwa sebagai sebuah konsep sentral dalam teori penerjemahan, kesepadanan tidak dapat ditafsirkan sebagai identitas dalam hal pengertian ilmiah tetapi hanya dapat dipahami dalam pengertian umum sebagai kesamaan atau pendekatan. Kesepadanan adalah kebutuhan mutlak dan mendasar dalam penerjemahan sebab tidak ada kata-kata yang memiliki makna yang identik dalam satu bahasa dan pula cukup alami jika tidak ada dua kata dalam dua bahasa mana pun yang memiliki makna yang identik. Jadi, tidak mungkin untuk mentransfer keseluruhan pesan yang terdapat dalam teks BSu ke BSa. Oleh karena itu, kesetaraan dalam terjemahan hanya dapat dipahami sebagai semacam kesamaan atau pendekatan. Hal ini juga berarti bahwa kesepadanan antara teks BSu dan teks BSa dapat ditetapkan pada tingkat yang berbeda dan dalam berbagai aspek. Tanpa kesepadanan pada derajat tertentu atau aspek tertentu, teks terjemahan tidak dapat dianggap sebagai terjemahan sukses dari teks asli. Jadi, singkatnya, kesepadanan adalah kebutuhan mutlak dan kebutuhan mendasar dalam penerjemahan. Koller (dalam Pym, 2010) menjawab arti dari konsep tersebut dengan menawarkan lima jenis kesepadanan, yaitu (1) kesepadanan denotatif atau kesepadanan konten ekstralinguistik sebuah teks, yang disebut juga “konten invarian”, (2) kesepadanan konotatif yang bergantung pada kesamaan register dan gaya, yang juga disebutnya sebagai kesepadanan stilistika, (3) kesepadanan teks normatif yang berkaitan dengan jenis teks, yaitu berbagai jenis teks yang
40
memiliki perilaku yang berbeda (4) kesepadanan pragmatis atau kesepadanan komunikatif yang berorientasi pada penerima teks atau pesan, dan (5) kesepadanan formal yang berkaitan dengan estetika dan bentuk teks. Berbeda halnya dengan Koller, Nida (1964:159) berpendapat bahwa ada dua jenis kesepadanan, yaitu yang formal dan yang dinamis. Korespondensi formal memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam hal bentuk maupun isi, tidak seperti kesepadanan dinamis yang didasarkan pada “prinsip efek sepadan”. Kesepadanan dinamis didefinisikan sebagai prinsip penerjemahan yang mengupayakan untuk menerjemahkan makna asli teks demikian rupa sehingga makna kata pada BSa akan memicu dampak yang sama pada pembaca BSa, seperti yang makna kata-kata asli lakukan pada pembaca BSu (Nida dan Taber, 1982:200). Pada tahun 1997 oposisi serupa dalam hal kesepadanan diungkapkan oleh Newmark yang mempertentangkan antara terjemahan semantik dan komunikatif, yaitu terjemahan yang berorientasi pada BSu dan yang berorientasi pada BSa (Newmark, 1998a:47) dan House (1977) yang mempertentangkan antara penerjemahan terbuka dan yang tertutup. Terjemahan terbuka adalah jenis penerjemahan yang tidak menangani pembaca BSa secara langsung karena terikat dengan BSu dan budayanya yang harus dijaga seutuh mungkin. Dengan sendirinya jenis terjemahan ini tidak terlalu banyak mengalami kendala dalam masalah
budaya
dibandingkan
dengan
terjemahan
tertutup.
Sebaliknya,
terjemahan tertutup didefinisikan sebagai terjemahan yang menikmati status BSu dalam budaya BSa. Jenis terjemahan ini secara langsung ditujukan kepada khalayak budaya BSu dan karenanya membutuhkan penyaring budaya.
41
Selain mereka yang telah disebutkan di atas, teoretisi terjemahan yang mengategorikan jenis terjemahan berdasarkan dua gaya yang berlawanan, adalah Beekman dan Callow dengan literal versus idiomatik, James Holmes dengan domestikasi versus foreignisasi, Larson dengan penerjemahan yang berlandasakan bentuk versus makna, Nord dengan dokumentasi versus instrumenal, Pym dengan observasional versus partisipatif, dan Gut dengan langsung versus tidak langsung. Terkait dengan penggolongan tipe/jenis terjemahan, Nida (1964:156) menekankan bahwa secara tradisional, kita cenderung menggolongkan terjemahan digolongkan menjadi dua kubu yang ekstrim, yaitu terjemahan bebas (paraphrastic) dan terjemahan harfiah. Sejalan dengan Nida, Simms (1997:7) juga menyatakan bahwa secara historis, dalam teori terjemahan pilihan penting telah disajikan antara terjemahan "literal" dan terjemahan "bebas". Sejalan dengan pemikiran tersebut, Newmark (1998:70) juga menyatakan bahwa terjemahan harfiah adalah proses penerjemahan dasar, baik dalam terjemahan komunikatif maupun terjemahan semantik, dan terjemahan dimulai dari sini. Akan tetapi, di atas tingkat kata, terjemahan harfiah menjadi semakin sulit untuk dilakukan karena ketika penerjemah menemukan masalah, terjemahan harfiah biasanya (tidak selalu) bisa menyediakan jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Oleh karena itu selama lima puluh tahun terakhir, bagaimanapun, telah terjadi pergeseran ditandai penekanan dari normal menuju ke dimensi dinamis (Carry, 1959b). Berbeda dengan Catford (1965:20) yang menggolongkan terjemahan menjadi tiga kelompok, yaitu terjemahan bebas, literal, dan kata per kata, Zhao
42
dan Al Damman (2008) menyatakan bahwa terjemahan literal merupakan satu kategori dengan terjemahan kata-per-kata: A literal translation is a translation that follows closely not only the content but also the form of the source language. It is also known as wordfor-word translation. Translators engaged in literalism have been willing to sacrifice the formal elements of the target language and even the intelligibility of the target language text for the sake of preserving what they regard as the integrity of the source text. Conversely, those who favor free translation have quite often chosen to sacrifice the form of the source language for the sake of elegance and intelligibility in the target language. (Zhao dan Al Damman, 2008). Melihat fenomena yang terjadi di dalam penggolongan jenis/tipe terjemahan, penelitian ini menempatkan produk terjemahan dalam dua kategori umum yang sering disebut sebagai dua kubu yang saling bertentangan, yaitu terjemahan harfiah (literal) dan terjemahan bebas (free). Hal ini disesuaikan dengan prinsip dasar atau pendekatan yang dipakai dalam penerjemahan Alkitab, yaitu pemadanan formal dan pemadanan dinamis.
2.3.1.3 Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan dinamis Nida (1964:159) menegaskan bahwa pada dasarnya terdapat dua jenis kesepadanan, yaitu kesepadanan formal dan kesepadanan dinamis. Kesepadanan formal memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam hal bentuk maupun isi. Pesan dalam BSa harus sedekat mungkin dengan unsur-unsur yang berbeda dalam BSu. Sehubungan dengan budaya dari bahasa reseptor dan sumber, pesan dalam budaya reseptor terus-menerus dibandingkan dengan pesan dalam budaya sumber untuk menentukan standar akurasi dan ketepatan. Sementara itu, kesepadanan dinamis bertujuan melengkapi kealamian ekspresi. Penerjemah tidak
43
begitu peduli dengan pencocokan pesan bahasa reseptor dengan pesan bahasa sumber, tetapi lebih pada hubungan dinamis yang ada. Selanjutnya, Nida (1964:165) menjelaskan bahwa terjemahan kesepdanan formal mencoba untuk mereproduksi unsur-unsur formal, antara lain: (1) unit gramatikal, (2) konsistensi dalam penggunaan kata, dan (3) makna dari segi konteks sumber. Reproduksi unit gramatikal terdiri atas (a) nomina diterjemahkan dengan nomina, verba dengan verba, dan lain-lain, (b) menjaga semua frasa dan kalimat utuh (yaitu tidak berpisah dan tidak ada penyesuaian unit), dan (c) mempertahankan semua indikator resmi, misalnya, tanda baca, paragraf dan indentasi puitis. Dalam mencoba untuk mereproduksi konsistensi dalam penggunaan
kata,
terjemahan
kesepadanan
formal
biasanya
bertujuan
mengupayakan terjadinya konkordansi terminologi, yaitu selalu mengaitkan istilah tertentu dalam dokumen sumber dengan istilah yang sesuai dalam dokumen reseptor. Sebagai konsekuensinya, terjemahan kesepadanan formal menggunakan tanda kurung, atau bahkan huruf miring (seperti dalam King James Bible) untuk kata-kata yang ditambahkan supaya masuk akal dalam terjemahan. Dalam rangka untuk mereproduksi makna dari segi konteks sumber, terjemahan kesepadanan formal biasanya mencoba untuk tidak melakukan penyesuaian dalam idiom, melainkan untuk mereproduksi ekspresi tersebut secara harfiah, sehingga pembaca mungkin dapat melihat sesuatu dari cara yang mana dokumen aslinya menggunakan unsur-unsur budaya lokal untuk menyampaikan makna. Sebaliknya, terjemahan kesepadanan dinamis memfokuskan perhatian tidak begitu banyak pada sumber pesan, tetapi pada respon pembaca sasaran. Salah satu cara untuk mendefinisikan sebuah terjemahan kesepadanan dimanis
44
adalah menggambarkannya sebagai "kesetaraan alami paling dekat dengan pesan bahasa sumber”. Definisi ini mengandung tiga unsur penting: (1) setara, yang menunjuk ke arah pesan bahasa sumber, (2) alami, yang menunjuk ke arah bahasa reseptor, dan (3) terdekat, yang mengikat dua orientasi bersama-sama atas dasar tingkat pendekatan tertinggi. Nida (1964:167) juga menjelaskan bahwa penerjemahan alami harus sesuai dengan (1) bahasa reseptor dan budaya secara keseluruhan, (2) konteks dari pesan tertentu, dan (3) pembaca bahasa reseptor. Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan dinamis seperti yang diungkap oleh Nida (1964:165) tersebut dapat diformulasikan pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Prinsip-prinsip Kesepadanan Formal dan Dinamis Prinsip-Prinsip Kesepadanan Formal Berupaya untuk mereproduksi unsurunsur formal antara lain: (1) Unit-unit gramatikal: (a) menerjemahkan nomina dengan nomina, verba dengan verba dan sebagainya; (b) menjaga semua frasa dan kalimat utuh (yaitu tidak mengadakan pemisahan dan penyesuaian unit); dan (c) mempertahankan semua indikator resmi; misalnya, tanda baca, paragraf dan indentasi puitis. (2) Konsistensi dalam penggunaan kata (3) Makna dari segi konteks BSu. (Sumber: Nida, 1974)
Prinsip-Prinsip Kesepadanan Dinamis Kesepadanan alamiah terdekat dengan pesan BS yang mengandung tiga unsur penting: (1) Sepadan, yang menunjuk ke arah pesan BSu. (2) Alami, yang menunjuk ke arah BSa yang harus sesuai dengan: (a) bahasa dan budaya reseptor; (b) konteks pesan yang dimaksud (c) pembaca BSa. (3) Terdekat, yang mengikat kedua orientasi secara bersama-sama atas dasar tingkat pendekatan tertinggi.
Nida (1964:167) mengemukakan bahwa terjemahan alami melibatkan dua bidang adaptasi utama, yaitu tata bahasa, dan leksikon. Secara umum, modifikasi
45
tata bahasa dapat dibuat lebih mudah karena perubahan tata bahasa banyak ditentukan oleh struktur wajib bahasa reseptor. Artinya, seseorang wajib melakukan penyesuaian seperti pergeseran urutan kata, menggunakan verba di tempat nomina, dan mengganti nomina dengan pronomina. Dalam hal ini, struktur leksikal dari bahasa sumber disesuaikan dengan kebutuhan semantik bahasa reseptor, bukan aturan yang harus diikuti, tetapi ada banyak kemungkinan alternatif. Lebih lanjut, Nida (1964) mengungkapkan bahwa secara umum terdapat tiga tingkat leksikal untuk dipertimbangkan: (1) istilah yang padanan paralelnya tersedia, misalnya, sungai, pohon, batu, pisau, dan lain-lain; (2) istilah yang mengidentifikasi benda budaya yang berbeda, namun dengan fungsi yang agak mirip, misalnya buku, yang dalam bahasa Inggris berarti objek dengan halaman terikat bersama menjadi satu unit, tetapi, pada zaman Perjanjian Baru, berarti perkamen panjang atau papirus digulung dalam bentuk sebuah gulungan; dan (3) istilah yang mengidentifikasi budaya, misalnya, sinagog, homer, efa, kerub, yobel, dan lain-lain yang dikutip dari Alkitab. Biasanya pada tingkat leksikal yang pertama tidak terjadi masalah. Namun, pada set kedua mulai menimbulkan kebingungan, sehingga pilihan yang harus diambil ialah menggunakan istilah lain yang mencerminkan bentuk acuan meskipun tidak memiliki fungsi yang setara, atau yang mengidentifikasi fungsi setara dengan mengorbankan identitas formal. Dalam tingkat leksikal yang ketiga "asosiasi asing" jarang dapat dihindari. Tidak ada penerjemahan yang berupaya untuk menjembatani kesenjangan budaya yang luas dapat berharap untuk menghilangkan
semua
jejak
pengaturan
asing.
Sebagai
contoh,
dalam
46
penerjemahan Alkitab sangat mustahil untuk menghapus istilah asing, seperti Pharisees, Sadducees, Salomon‟s temple, cities of refuge, atau tema Alkitab seperti anointing, adulterous generation, living sacrifice, dan Lamb of God, karena ekspresi tersebut tertanam sangat kuat dalam struktur pemikiran pesan. Selain menjadi sesuai dengan bahasa dan budaya reseptor, Nida (1964:168) lebih lanjut menjelaskan bahwa terjemahan natural harus sesuai dengan konteks tertentu dari pesan. Masalah demikian tidak terbatas pada fitur gramatikal dan leksikal, tetapi juga mungkin melibatkan hal-hal rinci seperti intonasi dan irama kalimat. Sebuah contoh menarik yang diberikan oleh Nida (1964:169) adalah kesalahan dalam anakronisme yang melibatkan (1) penggunaan kata kontemporer untuk periode historis yang berbeda; misalnya, menerjemahkan "kerasukan setan" sebagai "ketertekanan mental," dan penggunaan bahasa kuno dalam BSa, dan karenanya, memberi kesan tidak nyata. Dengan demikian, unsurunsur seperti sarkasme dan ironi semua harus secara akurat tercermin dalam terjemahan kesepadanan dinamis. Lebih lanjut, Nida (1964) juga menjelaskan bahwa kesesuaian harus dinilai berdasarkan tingkat pengalaman dan kapasitas untuk pengawasandian, jika seseorang memang menginginkan ekuivalensi dinamis nyata. Dalam hal ini, penerjemah Alkitab, misalnya, harus mengetahui fakta bahwa bahasa dari Perjanjian Baru adalah bahasa Yunani Koine, yaitu bahasa "orang di jalan," dan karenanya terjemahan seharusnya dibaca oleh pria di jalan. Akan tetapi, pada kenyataannya pesan Perjanjian Baru tidak diarahkan terutama kepada orang di jalan, tetapi untuk orang di dalam jemaat. Untuk alasan ini, ungkapan seperti " Abba Bapa," Maranatha, dan "dibaptis dalam Kristus"
47
dapat digunakan dengan harapan masuk akal dan dapat dimengerti oleh kalangan termaksud.
2.3.1.4 Kriteria untuk menilai terjemahan Nida (1964:182) menyebutkan bahwa ada tiga kriteria fundamental yang merupakan dasar bagi evaluasi semua terjemahan, dan dengan cara yang berbeda membantu untuk menentukan prestasi relatif terjemahan tertentu. Kriteria tersebut adalah: (1) efisiensi total proses komunikasi, (2) pemahaman terhadap maksud, dan (3) kesetaraan respons. Kriteria pertama menyebutkan bahwa efisiensi terjemahan dapat dinilai dari segi penerimaan maksimal bagi upaya minimum pengawasandian. Dalam arti, efisiensi berhubungan erat dengan "hukum pertama semantik" Joo (Joos, 1953), yang dapat menyatakan: “Itu berarti bahwa makna dikatakan terbaik jika menambahkan paling sedikit terhadap total makna dalam konteks." Dengan kata lain, memaksimalkan redundansi dan mengurangi pekerjaan pengawasandian. Kriteria kedua dalam menilai terjemahan adalah pemahaman maksud awal yang dinyatakan dalam istilah-istilah lain, seperti akurasi terhadap makna pesan bahasa sumber yang diwakili dalam terjemahan berorientasi baik terhadap budaya bahasa sumber dalam terjemahan kesetaraan formal maupun terhadap budaya reseptor dalam terjemahan kesetaraan dinamis. Dalam hal ini, dalam terjemahan kesetaraan formal, pemahaman terhadap maksud terjemahan harus dinilai pada dasarnya dari segi konteks tempat komunikasi pertama kali diucapkan, sedangkan dalam terjemahan kesepadanan dinamis maksud ini harus dipahami dari segi budaya reseptor. Sejauh mana maksud dapat ditafsirkan dalam
48
konteks budaya selain tempat pesan itu pertama kali diberikan adalah berbanding lurus dengan universalitas pesan. Nida (1964:183) juga menjelaskan bahwa kriteria "pemahaman maksud awal" dirancang untuk menutupi apa yang sering diucapkan secara tradisional sebagai "akurasi (accraucy)," "kesetiaan (fidelity)," dan "kebenaran (correctness)". Kriteria ketiga dalam menilai terjemahan adalah kesetaraan respon, yang berorientasi ke arah baik budaya sumber (dalam hal reseptor harus memahami dasar dari respons awal) maupun budaya reseptor. Dalam hal ini, reseptor membuat respons yang sesuai dalam konteks budaya yang berbeda.
2.3.1.5 Ideologi dan strategi penerjemahan Newmark (1988:9) mengemukakan bahwa teori terjemahan memiliki empat fungsi utama sebagai berikut: (a) mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah-masalah penerjemahan, tidak ada masalah berarti tidak ada teori penerjemahan; (b) menunjukkan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam memecahkan masalah penerjemahan; (c) mendaftar prosedur-prosedur penerjemahan yang dapat digunakan; (d) menyarankan pemakaian beberapa prosedur penerjemahan yang sesuai untuk memecahkan masalah penerjemahan. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika teori terjemahan, dalam pengertian sempit, berkenaan dengan pemilihan metode atau prosedur yang sesuai dengan jenis teks yang akan diterjemahkan.
49
Pemilihan metode ataupun prosedur penerjemahan sangat bergantung pada ideologi yang dianut oleh penerjemah yaitu pandangan “seperti apa terjemahan yang baik tersebut” merupakan cerminan dari ideologinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bassnett dan Lefevere (1992:xi) bahwa “Translation is, of course, a rewriting of an original text. All rewritings, whatever their intention, reflect a certain ideology and a poetics and as such manipulate literature to function in a given society in a given way.” Pandangan Bassnett dan Lefevere menegaskan bahwa dalam proses penerjemahan, apa pun tujuannya, tidak luput dan merupakan cerminan dari ideologi yang dimiliki dan berfungsi dalam masyarakat. Lebih lanjut, dari pendapat Bassnett dan Lafevere di atas, tersirat bahwa ideologi tersebut tidak hanya nilai atau keyakinan yang dimiliki penerjemah, tetapi bisa saja kebenaran tersebut merupakan ideologi atau kebenaran kelompok atau ideologi masyarakat yang tercermin dalam karya terjemahan tersebut sehingga dapat berterima dalam masyarakat. Paparan tersebut menyiratkan bahwa ideologi yang ada dalam suatu masyarakat tentu sangat berpengaruh pada penerjemahan, mengingat penerjemah itu adalah bagian dari anggota masyarakat dan terjemahan itu juga ditujukan pada masyarakat. Selain itu, dalam penerjemahan tentu ideologi itu juga berperan dalam proses penerjemahan karena terjemahan berasal dari bahasa berbeda dengan latar budaya berbeda yang tentu memiliki banyak perbedaan terhadap kelompok-kelompok lainnya. Sehubungan dengan itu, aturan Vermeer Skopos menyatakan bahwa: “translate/interpret/speak/write in a way that enables your text/translation to function in the situation in which it is used and with the people who want to use it and precisely in the way they want it to function” (Nord dalam Yan, 2005:64).
50
Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa untuk menghasilkan produk terjemahan yang dapat diterima dan berfungsi dalam masyarkat, kita harus mengacu pada apa yang diinginkan oleh masyarakat dan ideologi dalam masyarakat yang menggunakannya. Sehubungan dengan itu, wajar jika disimpulkan bahwa ideologi tidak hanya berpengaruh besar dalam pemilihan metode dan strategi penerjemahan, namun juga mengontrol penyebaran teks-teks terjemahan tersebut (Yan, 2005:64). Hal ini relevan dengan pendapat Nida dan Taber (1982:1) bahwa “Correctness must be determined by the extent to which the average reader for which a translation is intended will be likely to understand it correctly.” Jadi, terjemahan yang baik dan benar itu adalah terjemahan yang mempertimbangkan pembaca sasarannya (target reader). Pembaca yang berbeda akan memerlukan terjemahan yang berbeda sehingga penerjemah harus menyesuaikan metode dan strategi penerjemahannya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa benar-salah-nya sebuah terjemahan terkait dengan untuk siapa terjemahan tersebut ditujukan. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ideologi berada pada tataran yang bersifat makro karena ideologi merupakan pandangan atau keyakinan mengenai seperti apa terjemahan yang ingin dihasilkan terkait dengan keinginan penerjemah, baik dalam tataran individu maupun kelompok. Venuti (1995:20-21) menyimpulkan bahwa dalam konteks makro terdapat dua kecenderungan yang muncul bagaimana bentuk dan cara penerjemahan yang diinginkan oleh penerjemah. Namun, dua kecenderungan ini menunjukkan perbedaan yang kuat, yaitu satu sisi meyakini bahwa terjemahan yang baik adalah dekat dengan budaya dan bahasa sumber (forenisasi), sementara yang lain meyakini bahwa terjemahan
51
yang baik harus dekat dengan budaya dan bahasa sasaran (domestikasi). Selanjutnya, berdasarkan pada ideologi atau pandangan tersebut lahir strategi penerjemahan yaitu bagaimana penerjemah menyelesaikan masalah pada tataran mikro atau unit terkecil penerjemahan. Brata (2010:67) menegaskan bahwa pemilihan metode penerjemahan sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh penerjemah. Penerjemah yang manganut ideologi foreignisasi akan memilih metode penerjemahan kata demi kata, harfiah, setia atau semantik. Sebaliknya, penerjemah yang menganut ideologi domestikasi akan cenderung memilih metode penerjemahan adaptasi, bebas, idiomatis, atau komunikatif. Lebih jauh, Brata (2010:67), sesuai dengan pernyataan Molino dan Albir (2002:507-508), menyatakan bahwa metode penerjemahan merupakan pilihan global yang memengaruhi keseluruhan teks. Sejalan dengan pengertian dari metode penerjemahan yang telah diungkapkan di atas, Newmark (1988:81) membedakan pengertian metode dan prosedur penerjemahan dengan menegaskan bahwa: “While translation methods relate to the whole texts, translation procedures are used for sentences and the smaller units of language” Jika metode penerjemahan berhubungan dengan keseluruhan teks maka prosedur penerjemahan diterapkan pada kalimat dan unit-unit bahasa yang lebih kecil. Jadi, istilah prosedur dibedakan dari metode atau yang sering dikenal dengan perbedaan antara strategi penerjemahan lokal (local translation strategies) dan strategi penerjemahan global (global translation strategies). Konsep yang pertama merujuk pada proses penerjemahan kalimat dan unit-unit yang lebih kecil, sedangkan konsep kedua, seperti telah dikemukakan di atas, mengacu pada proses penerjemahan teks secara keseluruhan. Perbedaan antara metode dan
52
prosedur terletak pada objeknya. Objek metode adalah teks secara keseluruhan, sedangkan objek prosedur berupa kalimat sebagai unit penerjemahan terkecil, dan kalimat ini merupakan bagian dari teks. Persamaan antara metode dan prosedur adalah bahwa keduanya merupakan cara yang digunakan oleh penerjemah dalam memecahkan masalah penerjemahan. Selanjutnya, secara konseptual metode digunakan sebagai prinsip umum atau pendekatan dalam menangani sebuah teks, sedangkan prosedur memperlihatkan adanya tahapan penanganan masalah. Strategi global atau metode yang dipilih oleh penerjemah secara keseluruhan akan memberi pengaruh pada proses penerjemahan selanjutnya. Oleh karena strategi lokal serta merta diikuti oleh teknik-teknik khusus yang mempengaruhi hasil terjemahan dan unit-unit mikro teks maka strategi lokal atau yang dikenal dengan istilah prosedur pada dasarnya adalah teknik penerjemahan (Molina dan Albir, 2002:509). Dalam hal ini, seiring dengan semakin meningkatnya kompetensi penerjemah, masalah-masalah yang dihadapi dalam proses penerjemahan tidak akan menjadi kendala karena strategi lokal yang telah dikuasai sepenuhnya akan dapat diterapkan secara otomatis. Newmark
(1998:45),
terkait
dengan
metode
penerjemahan,
memperkenalkan sebuah diagram yang disebutnya sebagai Diagram V untuk menunjukkan dua kutub yang berbeda dari metode penerjemahan. Kutub yang pertama sangat memperhatikan sistem dan budaya BSu, sedangkan kutub yang kedua sangat menghargai sistem dan budaya BSa.
53
Orienetasi pada BS Penerjemahan Kata Demi Kata Penerjemahan Harfiah Penerjemahan Setia Penerjemahan Semantik
Orientasi pada BT Adaptasi Penerjemahan Bebas Penerjemahan Idiomatik Penerjemahan Komunikatif
Gambar 2.1. Diagram V Metode Penerjemahan (Sumber: Newmark, 1998)
Metode penerjemahan yang berorientasi pada BSu dipresentasikan oleh beberapa hal berikut: 1)
Metode penerjemahan kata demi kata (Word-for-word translation). Metode penerjemahan kata demi kata sangat terikat pada tataran kata. Dalam menerapkan metode penerjemahan ini, penerjemah hanya mencari padanan kata BSu dalam BSa, dan pencarian padanan itu tidak dikaitkan dengn konteks. Metode tersebut tidak mengubah susunan kata BSu dalam terjemahannya. Dengan kata lain, susunan kata dalam kalimat BSu sama persis dengan susunan kata dalam kalimat BSa. Metode penerjemahan kata demi kata itu dapat diterapkan dengan baik hanya jika struktur BSu sama dengan struktur BSa.
2)
Metode penerjemahan harfiah mempunyai kesamaan dengan metode penerjemahan kata-demi-kata bahwa pemadanan yang dilakukan selalu lepas konteks. Perbedaannya adalah metode penerjemahan harfiah berusaha mengubah konstruksi gramatikal BSu menjadi konstruksi gramatikal BSa.
54
3)
Metode penerjemahan setia berusaha sesetia mungkin menghasilkan makna kontekstual teks BSu meskipun melanggar konstruksi gramatikal BSa.
4)
Metode penerjemahan semantik berfokus pada pencarian padanan pada tataran kata dengan tetap terikat pada bahasa budaya BSu, dan berusaha mengalihkan makna kontekstual BSu yang sedekat mungkin dengan struktur sintaksis dan semantik BSa. Jika sebuah kalimat perintah bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka terjemahannya pun harus berbentuk kalimat perintah. Kata-kata yang membentuk kalimat perintah bahasa Inggris itu harus mempunyai komponen makna yang sama dengan komponen makna kata yang terdapat dalam terjemahan.
Metode penerjemahan yang berorientasi pada BSa dipresentasikan oleh beberapa hal berikut: 1)
Metode penerjemahan adaptasi berusaha mengubah budaya BSu dalam BSa. Hasilnya pada umumnya dipandang bukan sebagai suatu terjemahan tetapi merupakan penulisan kembali pesan teks BSu dalam BSa. Teks yang dihasilkan dengan menerapkan metode adaptasi merupakan bentuk terjemahan, yang paling bebas dan metode adaptasi ini khususnya digunakan dalam menerjemahkan teks drama dan puisi.
2)
Metode penerjemahan bebas mengahasilkan teks sasaran yang tidak mengandung gaya, bentuk atau isi teks sumber. Metode penerjemahan bebas tidak terikat pada pencarian padanan pada tataran kata atau kalimat. Pencarian padanan itu cenderung berlangsung pada tataran teks. Metode penerjemahan bebas tidak sama dengan metode adaptasi. Pesan dalam
55
terjemahan bebas harus tetap setia pada pesan teks BSu. Penerjemah hanya mempunyai kebebasan yang terbatas dalam mengungkapkan pesan itu dalam BSa dia tidak memodifikasi karya asli. Sebaliknya, dengan metode adaptasi,
penerjemah
dimungkinkan
untuk
melakukan
beberapa
modifikasi, misalnya mengganti nama pelaku dan tempat kejadian. 3)
.Metode penerjemahan idiomatik berusaha untuk menghasilkan kembali “pesan” teks sumber, tetapi cenderung merusak nuansa makna dengan jalan menggunakan bentuk kolokial dan idiom meskipun kedua hal ini tidak ada dalam teks BSu.
4)
Metode
penerjemahan
komunikatif
bersaha
mengalihkan
makna
kontekstual teks BSu secara akurat ke dalam bahasa teks BSa agar terjemahan dapat berterima dan mudah dipahami oleh pembaca sasaran. Dengan kata lain, metode penerjemahan komunikatif sangat peduli pada masalah efek yang ditimbulkan oleh suatu terjemahan pada pembaca, yang tidak mengharapkan adanya kesulitan-kesulitan dan ketidakjelasan dalam terjemahan.
Metode
penerjemahan
komunikatif
juga
sangat
memperhatikan masalah keefektifan bahasa terjemahan. Oleh sebab itu, dapat
dikatakan
bahwa
metode
penerjemahan
komunikatif
mempersyaratkan agar bahasa terjemahan mempunyai bentuk, makna dan fungsi. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena ada kemungkinan suatu kalimat sudah benar secara sintaktis, tetapi maknanya tidak logis, atau, bentuk dan maknanya sudah benar, namun penggunaannya tidak tepat atau tidak alamiah.
56
Lebih jauh, Newmark (1988:81) menyebutkan terdapat sedikitnya 15 prosedur penerjemahan di antaranya adalah harfiah (literal), tranferensi (transference), naturalisasi (naturalization), sepadan budaya (cultural equivalent), sepadan fungsional (functional equivalent), sepadan deskriptif (descriptive equivalent), analisis komponen (componential analysis), sinonim (synonymy), terjemahan menyeluruh (through-translation), pergeseran atau transposisi (shift or transposisi), modulasi (modulation), terjemahan yang sudah diakui (recognizedtranslation),
kompensasi
(compensation),
parafrase
(paraphrase),
untai
(couplets), catatan (notes). Selain Newmark, Molina dan Albir (2002) menyatakan bahwa teknik penerjemahan merupakan prosedur dalam menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana kesepadanan terjemahan berlangsung dan dapat diterapkan pada berbagai satuan lingual. Lebih komprehensif dari Newmark, mereka menyebutkan terdapat 18 prosedur penerjemahan di antaranya adalah adaptasi (adaptation), amplikasi
(amplification),
peminjaman
(borrowing),
kalke,
kompensasi
(compensation), deskripsi (description), kreasi diskursif (discursive creation), kesepadanan lazim (established equivalent), generalisasi (generalization), amplikasi linguistik (linguistic amplification), kompresi linguistic (linguistic compression), penerjemahan harfiah (literal translation), modulasi (modulation), partikularisasi (particularization), reduksi (reduction), substitusi (substitution), transposisi (transposition), dan variasi (variation). Di lain sisi, variasi prosedur penerjemahan yang diperkenalkan oleh Vinay dan Darbelnet (1958/2000) memiliki dampak yang sangat luas. Mereka melakukan analisis stilistika komparatif bahasa Prancis dan Inggris dan
57
membedakan tujuh prosedur yang mereka kelompokkan menjadi dua strategi global (metode), yaitu terjemahan harfiah atau langsung yang terdiri atas 3 prosedur, yaitu peminjaman (borrowing), calque, harfiah (literal) dan terjemahan oblique yang terdiri dari 4 prosedur yaitu transposisi (transposition), modulasi (modulation), kesepadanan (equivalence) dan adaptasi (adaptation). Untuk lebih jelasnya, berikut adalah pemaparan ketujuh prosedur yang secara tegas dipisahkan dalam dua kategori besar.
Tabel 2.3 Prosedur Penerjemahan Menurut Vinay dan Darbelnet Prosedur Penerjemahan Metode Penerjemahan Langsung Metode Penerjemahan Bebas/Oblik /Harfiah Peminjaman Transposisi Kalke Modulasi Literal Kesepadanan Adaptasi (Sumber: Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti, 2000)
Berikut adalah penjelasan detail mengenai ketujuh prosedur terjemahan menurut Vinay dan Darbelnet tersebut: 1) Peminjaman (Borrowing) Pinjaman dianggap sebagai yang paling sederhana dari semua metode penerjemahan untuk mengatasi kesenjangan, biasanya sesuatu yang metalinguistik (misalnya, sebuah proses teknis baru, konsep yang tidak dikenal). Penerjemah mengadopsi prosedur ini dalam rangka untuk memperkenalkan cita rasa budaya bahasa sumber (BSu) dalam terjemahan. Dengan kata lain, dalam menerjemahkan istilah dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, istilah asing tertentu dapat
58
digunakan. Hal ini biasanya terjadi tanpa mengubah, baik bentuk maupun makna. Misalnya, kata-kata Rusia seperti dollar dan party dari bahasa Inggris Amerika. 2) Kalke Teknik kalke adalah jenis khusus dari metode peminjaman (borrowing), sebuah bahasa meminjam ungkapan dari bahasa yang lain dan kemudian menerjemahkan masing-masing unsurnya secara harfiah. Teknik kalke dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu teknik kalke leksikal dan teknik kalke struktural. Sebuah teknik kalke leksikal seperti pada contoh pertama di bawah, yaitu teknik kalke yang menghargai
struktur
sintaksis
dari
bahasa
target
sementara
memperkenalkan sebuah modus ekspresi baru. Teknik kalke struktural, seperti dalam contoh kedua di bawah memperkenalkan konstruksi baru ke dalam bahasa. English – French calque Compliments of the season! Science-fiction
Compliments de la saison! science-fiction.
(Vinay dan Dalbernet dalam Venuti, 2000:85)
3) Harfiah (Literal) Terjemahan harfiah adalah terjemahan kata demi kata. Cara kerja prosedur ini ialah menerjemahakan secara langsung teks bahasa sumber (BSu), baik gramatikal maupun idiomatik, yang sesuai dengan teks bahasa sasaran (BSa). Singkatnya, tugas penerjemah adalah untuk tetap teguh pada perilaku linguistik dari BSa. Sebuah terjemahan
59
harfiah adalah solusi unik yang reversibel dan lengkap. Sebagai contoh: Sebuah rumah pantai di Venus Bay (SL) → a beach house at Venus Bay (TL) Engkau menunggu aku di Sanur (SL) → You waiting for me at Sanur (TL) (Aveling dalam Herliany, 2006) 4) Transposisi Transposisi adalah proses penerjemahan yang menggantikan satu kelas kata dengan yang lain tanpa mengubah pesan makna. Transposisi juga dapat diterapkan dalam satu bahasa. Ada dua jenis transposisi: transposisi wajib dan transposisi opsional. Transposisi Wajib terjadi ketika bahasa target tidak memiliki pilihan lain karena sistem bahasa yang berbeda; misalnya, consolidated financial statement (SL) → laporan keuangan konsolidasian (TL) (Khaerun, 2003). Transposisi opsional dipilih oleh penerjemah untuk kepentingan gaya bahasa. Sebagai contoh, Wajahku akan menjadi sepotong mainan (SL) → Dolls will face like mine (TL) (Aveling dalam Herliany, 2006). 5.) Modulasi Modulasi adalah proses penerjemahan yang ditandai variasi bentuk pesan. Variasi ini terjadi karena perubahan sudut pandang. Perubahan ini dapat dibenarkan bila hasil terjemahan benar dalam hal tata bahasa, tetapi dianggap tidak cocok, tidak idiomatik atau canggung. Seperti transposisi, modulasi terbagi menjadi modulasi opsional dan wajib.
60
Yang pertama dapat terjadi karena alasan nonlinguistik. Hal ini sebagian besar digunakan untuk menekankan makna, untuk membuat koherensi atau untuk mengetahui bentuk alami dalam bahasa target, sedangkan yang kedua diterapkan bila kata, frasa, atau struktur tidak dapat ditemukan dalam bahasa target. Dapat dilihat dalam kalimat He is unmarried (BSu) → Ia masih bujang (BSa) (Puspani, 2003). Contoh modulasi wajib dapat dilihat dalam kalimat The problem is hard for us to solve (BSu) → Masalah itu sukar (untuk) dipecahkan (BSa). Dalam hal ini, konstruksi aktif pada BS dirubah menjadi konstruksi pasif (Sudrama, 2003) 6) Kesepadanan (Equivalence) Kesepadanan adalah proses penerjemahan yang diterapkan ketika ada dua teks dengan konteks situasi yang sama. Akan tetapi, kedua teks menggunakan metode, gaya, dan struktur yang sama sekali berbeda. Jenis penerjemahan ini dapat diterapkan pada peribahasa dan idiom. Misalnya, Seputih kapas (BSu) → As white as snow (BSa) (Puspani, 2003). 7) Adaptasi Adaptasi adalah proses penerjemahan yang diadopsi jika ada pesan dalam bahasa sumber (BSu) tidak diketahui dalam budaya bahasa target (BSa). Dalam hal ini, penerjemah harus menciptakan situasi baru yang dapat dianggap setara. Misalnya, Dear sir (BSu) → Dengan hormat (BSa), Sincerely yours (BSu) → Hormat saya (BSa) (Sudrama, 2003).
61
Pemisahan yang tegas yang dibuat oleh Vinay dan Darbelnet terlepas dari kesederhanaan jenis teknik atau prosedur yang mereka ungkapkan, dapat dijadikan sebagai dasar yang kuat untuk memilih teori yang mereka kemukakan guna dijadikan sebagai landasan utama dalam menganalisis data. Hal ini terjadi karena dalam penerjemahan Alkitab, seperti yang telah diungkap sebelumnya, penerjemah atau kelompok penerjemah dari sejak awal telah menentukan atau menetapkan, baik ideologi maupun metode, yang hendak mereka terapkan yang tentu saja akan diikuti dengan penggunaan teknik atau prosedur yang sesuai, yaitu penerjemahan langsung/harfiah untuk kubu terjemahan harfiah dan teknik atau prosedur oblik untuk kubu terjemahan bebas. Mengingat pula klasifikasi teknik penerjemahan yang ditawarkan oleh Molina dan Albir (2005:498-512) yang merupakan rangkuman dari teknik penerjemahan yang digagas oleh Vinay dan Darbelnet (1958) maka taksonomi yang dapat disusun untuk diterapkan dalam penelitian ini adalah klasifikasi yang dibuat oleh Molina dan Albir, namun dengan memanfaatkan alur pikiran dari Vinay dan Dalbernet, yaitu memisahkan kedelapan belas prosedur yang ditawarkan ke dalam dua kelompok, yaitu prosedur terjemahan harfiah dan prosedur terjemahan bebas seperti tertera pada tabel di bawah ini:
62
Tabel 2.4 Klasifikasi Prosedur Penerjemahan Menurut Molina dan Albir Teknik Penerjemahan adaptasi (adaptation) penambahan (amplification)
Penjelasan Menggantikan unsur budaya sumber dengan unsur budaya sasaran. Memberikan informasi lebih detail yang tidak tercantum dalam BSa
peminjaman: murni & natural (borrowing: pure borrowing & naturalized borrowing)
Menyerap kata atau ungkapan langsung dari BSu yang meliputi peminjaman murni dan peminjaman alamiah.
kalke (calque )
Menerjemahkan frasa atau kata BSu secara literal. Teknik ini serupa dengan teknik penerimaan (acception). Memperkenalkan informasi dalam BSu pada bagian lain dalam BSa atau untuk menciptakan dampak stilistika.
Kompensasi (compensation)
deskripsi (description)
kreasi diskursif (discursive creation) Padanan lazim/baku/resmi (established equivalence)
generalisasi (generalization)
amplifikasi linguistik (linguistic amplification)
kompresi linguistik (linguistic compression)
harfiah (literal)
modulasi (modulation)
partikularisasi (particularization)
Reduksi (Reduction)
substitusi (substitution)
transposisi (transposition) variasi (variation)
Menggantikan sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya. Memberikan padanan sementara namun terlepas dari konteks Menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah lazim (berdasarkan kamus atau penggunaan sehari-hari). Teknik ini mirip dengan penerjemahan harfiah. Menggunakan istilah yang lebih umum atau netral. Teknik ini serupa dengan penerimaan (acception). Menambahkan unsur-unsur linguistik dalam BSa. Teknik ini lazim diterapkan pada pengalihbahasaan konsekutif atau sulih suara. Menggabungkan unsur-unsur bahasa dalam BSa. Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik amplifikasi linguistik. Menerjemahkan kata demi kata dan penerjemah tidak mengaitkan dengan konteks. Mengubah sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan BSu. Perubahan sudut pandang dapat bersifat leksikal atau struktural. Menggunakan istilah yang lebih konkrit, presisi atau spesifik dari superordinat ke subordinat. Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik generalisasi. Mengungkapkan sebuah informasi dalam BSu secara sangat singkat dalam BSa. Tenik ini kebalikan dari teknik aplifikasi. Mengubah unsur-unsur linguistik dan paralinguistik (intonasi atau isyarat). Mengubah kategori gramatikal/pergeseran bentuk Mengubah nada teks, gaya bahasa, dan dialek
Contoh BSu: as white as snow BSa: seputih kapas BSu: “…and it was put into the Thames.” BSa: “…dan dibenamkan di sungai Thames.” Peminjaman murni: BSu: hard disk, mixer BSa: hard disk, mixer Peminjaman naturalisasi: BSu: Computer BSa: Komputer BSu: Directorate General BSa: Direktorat Jenderal BSu: You can let your imagination go wild. BSa: Anda dapat membiarkan khayalan mengembara sejauh mungkin. BSu: Green room BSa: Ruang tunggu para artis sebelum mereka tampil BSu: Husband for a year BSa: Suami sementara BSu: efficient and effective BSa: efisien dan efektif
BSu: Penthouse, mansion BSa: Tempat tinggal BSu: The David you are sculpting is you. BSa: Patung David yang Anda ukir adalah diri Anda sendiri. BSu: The mind is shaping the very thing that is being perceived. BSa: Akal membentuk segala sesuatu yang ada BSu: Killing two birds with one stone BSa: Membunuh dua burung dengan satu batu. BSu: Nobody doesn‟t like it BSa: Semua orang menyukainya
BSu: air transportation BSa: pesawat
BSu: The Muslim month of fasting BSa: Ramadan Gesture such as nodding is translated into „setuju‟, shrugging shoulders is translated into „saya tidak tahu‟. BSu: consolidated financial statement BSa: laporan keuangan konsolidasi Perubahan dialek dalam dialog pada teater dan nada pada novel anak-anak
(Sumber: Molina dan Albir, 2005, dan contoh diambil dari berbagai sumber)
63
Berdasarkan beberapa fakta tersebut di atas, berikut adalah taksonomi strategi penerjemahan yang ditetapkan sebagai alat analisis selanjutnya.
Tabel 2.5. Taksonomi Prosedur/Teknik Penerjemahan Hasil Rekomposisi Metode Penerjemahan Prosedur/Teknik Penerjemahan Langsung /Harfiah 1. Peminjaman 2. Kalke 3. Harfiah
Prosedur/Teknik Penerjemahan Bebas/Oblik 1. Transposisi 2. Modulasi 3. Padanan lazim/baku 4. Amplifikasi 5. Reduksi 6. Amplifikasi linguistik 7. Kompresi linguistik 8. Generalisasi 9. Partikularisasi 10. Kompensasi 11. Kreasi diskursif 12. Deskripsi 13. Substitusi 14. Variasi 15. Adaptasi 16. Catatan
Jadi, fokus penelitian ini adalah tidak lagi menelusuri ideologi, metode ataupun prosedur yang dianut atau diterapkan oleh penerjemah atau kelompok penerjemah, tetapi untuk mengungkapkan ketepatan penggunaan prosedur penerjemahan, baik pada kubu harfiah maupun kubu bebas, yang tentu saja akan memberikan dampak pada tingkat kesepadanan produk terjemahan masingmasing kubu terjemahan. Berikut adalah kerangka berpikir yang diterapkan terkait dengan ideologi, metode, prosedur dan teknik penerjemahan yang diharapkan bermuara pada
64
pemahaman tingkat kesepadanan produk terjemahan baik kubu harfiah maupun kubu bebas.
Terjemahan Harfiah
Terjemahan Bebas
Ideologi Foreignisasi
Ideologi Domesikasi
Metode Literal (Diagram V)
Metode Bebas (Diagram V)
Prosedur Langsung/Harfiah
Prosedur Bebas/Oblique
Analisis Ketepatan Penggunaan Prosedur
Analsisi Ketepatan Penggunaan Prosedur
KESEPADANAN (PRINSIP-PRINSIP KESEPADANAN FORMAL/DINAMIS
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Terkait dengan Ideologi, Metode, dan Tenkik/Prosedur Terjemahan Alkitab
65
2.3.2
Dimensi Makna Secara universal dapat dipahami bahwa makna memegang peranan yang
sangat penting dalam teori penerjemahan. Tanpa penjelasan teoritis tentang makna akan sangat sulit untuk memahami isu-isu penting dalam teori terjemahan misalnya sifat penerjemahan, keterjemahan (translatability), ketakterjemaham (untranslatability) dan kesepadanan. Jadi, hal yang paling mendasar dalam berbagai diskusi tentang proses penerjemahan ialah memahami dimensi makna yang menurut Nida (1964:57) terdiri atas tiga yaitu makna linguistik, makna referensial, dan makna emotif.
2.3.2.1 Makna linguistik Makna linguistik, yang oleh Nida dan Taber (1969) kemudian diperkenalkan juga dengan istilah makna gramatikal dalam The Theory and Practice of Translation, mengacu pada hubungan yang bermakna antara bagianbagian konstituen dalam konstruksi grammatikal. Hal ini dapat diartikan sebagai hubungan yang bermakna antara kata, frasa dan kalimat. Dalam hal ini, makna dari frasa atau kalimat tidak ditentukan oleh kombinasi sederhana dari makna kata secara terpisah, tetapi berasal dari struktur tertentu frasa atau kalimat. Misalnya, pada frasa orang tua, rumah abu-abu, bulu yang indah, dan pohon yang tinggi adalah komponen pertama dari setiap frase yang memberi sifat pada yang kedua. Hal ini menjelaskan mengapa kombinasi kata-kata dalam bahasa bermakna dan tidak dapat diubah secara bebas. Contoh lainnya adalah ketika analisis dilakukan terhadap hubungan kombinasi kata dalam kalimat ˮLaki-laki tua itu menatap kamiˮ, di situ tidak ada hubungan kata itu dengan tua, tua dengan laki-laki, laki-
66
laki dengan menatap, dan sebagainya, dan tidak ada kedudukan terbalik laki-laki menatap sebagai menatap laki-laki. Sehubungan dengan salah satu dimensi makna tersebut di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa frasa dan kalimat yang dibangun dari konstruksi yang sama memiliki makna sama. Misalnya, Laki-laki tua itu menatap kami dan beberapa laki-laki muda memukul mereka memiliki konstruksi yang sama, dan oleh karena itu, mereka berbagi makna gramatikal yang sama. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak selalu demikian karena tidak semua struktur gramatikal yang sama mengandung makna yang sama. Contoh yang sering dipakai oleh Nida adalah perbandingan antara empat buah frasa his car, his failure, his arrest dan his goodness. Keempat frasa itu memiliki struktur yang sama, yaitu pronomina posesif (his) + nomina, tetapi hubungan antara his dan nomina yang mengikutinya cukup berbeda pada setiap frasa. Nida menginterpretasikannya sebagai he has a car, he failed, he was arrested dan he is good. Pemahaman ini mengandung pengertian bahwa keempat ungkapan tersebut sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Kemudian, Nida menjelaskan empat formula yang berbeda: “A possesses B”, “A performs B”, “A is the goal of the action B” dan “B is the quality of A” (Nida, 1964:59). Menurut Nida, alasan bagi hubungan makna yang berbeda pada tipe ekspresi yang memiliki struktur yang sama karena mereka ditransformasi dari kalimat kernel yang berbeda, dan karenanya, harus dieksplorasi struktur dalam untuk memperoleh pemahaman yang jelas terhadap struktur luarnya. Dalam menganalisis makna gramatikal, Nida juga mengemukakan klasifikasi baru tentang kata yaitu: kata objek (object words), kata kejadian (event words), kata abstrak (abstract words) dan kata relasi (relational words).
67
Penggolongan kata ini dilandasi oleh teori logika simbolis Sapir dan Reichenbach (Nida, 1964:62). Kata objek adalah kata-kata yang menunjukkan entitas objektif seperti manusia, anjing, dan mesin; nomina pada umumnya berfungsi sebagai kata objektif. Kata kejadian adalah kata-kata tindakan, seperti berjalan, belajar dan bekerja; verba pada umumnya berfungsi sebagai kata tindakan. Kata abstrak adalah kata-kata yang menyiratkan konsep abstrak, seperti tinggi, cukup, dan indah; adjektiva atau adverbia sering berfungsi sebagai kata-kata abstrak. Kata relasi adalah kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan frasa atau kalimat, seperti di, jika dan meskipun; preposisi dan konjungsi sering berfungsi sebagai kata relasional. Hal itu tidak sebaliknya berarti bahwa semua kata objek, kata peristiwa, kata abstrak dan kata relasional adalah termasuk nomina, verba, adjektiva atau adverbia, dan preposisi atau konjungsi. Alasannya adalah, menurut Nida, empat jenis kata diklasifikasikan menurut maknanya, yaitu, konsep kata-kata, yang adalah sesuatu yang terdapat pada struktur dalam, bukan bentuk grammatikal yang berada pada struktur permukaan. Oleh karena itu, jenis kata tertentu dapat memiliki beberapa bentuk yang beragam. Misalnya, beauty, beautiful, beautifully dan beautify termasuk jenis kata abstrak, tetapi masing-masing termasuk nomina, adjektiva, adverbia, dan verba dalam tataran fungsi gramatikal. Berlandaskan pada fakta tersebut di atas, untuk menghilangkan kesan ambigu
pada
struktur
permukaan,
hal
yang
perlu
dilakukan
adalah
merestrukturisasi atau menyusun kembali struktur dalam yang oleh banyak ahli bahasa disebut “kernel” yaitu elemen struktur dasar bahasa yang membangun struktur permukaan yang seringkali terkesan rumit. Sehubungan dengan hal ini,
68
Nida dan Taber (1974:39) dengan tegas menyatakan bahwa penerjemah harus memahami fakta bahwa bahasa-bahasa memiliki kesepahaman pada tataran kernel dibandingkan dengan struktur permukaan yang sifatnya sangat kompleks. Maksudnya
adalah, jika penerjemah mampu menyederhanakan struktur
gramatikal ke tingkat kernel, maka struktur tersebut akan dapat ditransfer dengan lebih mudah dalam tingkat distorsi yang minimum. Ekspresi Kernel dalam bahasa Inggris seperti yang dipaparkan oleh Nida dan Taber (1974:40) yang dari padanya struktur gramatikal yang lebih rumit dapat dibangun terdiri dari jenis ilustrasi berikut: 1. John ran quickly 2. John hit Bill 3. John gave Bill a ball 4. John is in the house 5. John is sick 6. John is a boy 7. John is my father
2.3.2.2 Makna referensial Dimensi makna yang kedua adalah makna referensial yang menurut Nida (1964:70) pada umumnya dianggap sebagai makna kamus. Selanjutnya, makna referensial juga didefinisikan sebagai makna dari kata sebagai simbol yang mengacu pada objek, peristiwa, abstrak, dan relasi (Nida & Taber, 1982:56). Selain itu, makna referensial dapat juga disejajarkan dengan makna konseptual yang menyandang konten logis, kognitif atau denotatif yang merupakan makna
69
dasar pertama dari tujuh macam makna yang dikemukakan oleh Leech, (1974:19) yaitu makna konseptual, makna konotatif, makna sosial, makna afektif, makna refleksif, makna kolokatif, dan makna tematik. Sejalan dengan konsep yang ditawarkan Nida dan Taber (1982), Frawley (1992) juga menegaskan bahwa makna referensial mengacu pada objek yang sebenarnya, dikenal dengan referense atau informasi yang membuat kalimat menjadi bermakna bagi seseorang yang mungkin menyadari atau tidak menyadari fakta referensial yang sebenarnya, atau dikenal dengan sense. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa makna refernsial ataupun konseptual dari kata yang sama dapat berbeda pada konteks yang berbeda pula. Berikut adalah contoh yang dikemukakan oleh Nida & Taber (1974:57): 1. It is a fox 2. He is a fox 3. She will fox him Pada kalimat yang pertama, kehadiran it mengidentifikasikan fox sebagai seekor binatang. Pada kalimat yang kedua, kehadiran he berhubungan dengan pemahaman bahwa fox mengacu pada seseorang karena he pada konstruksi ini adalah pengganti anaforis bagi manusia laki-laki; dan satu-satunya kesan terhadap fox yang ditujukan pada seseorang sebagai “orang licik.” Pada kalimat yang ketiga, fox adalah sebuah verba, yang terlihat dari posisinya yang terletak di antara kata bantu will dan objek pronomina him; makna verbal dari fox adalah “menipu dengan cara yang cerdik.” Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam kaitan dengan makna referensial adalah permasalahan yang menyangkut makna figuratif. Selain
70
memiliki makna sentral dan makna “literal” yang cukup dekat dengan makna sentral karena berbagi komponen penting, sebuah kata dapat juga memiliki makna tambahan yang sangat berbeda dalam setiap aspek penting dengan makna sentral. Makna jenis ini tidak dihubungkan dengan komponen penting dengan makna sentral dan karenanya dikenal dengan makna figuratif. Untuk itu, menurut Nida & Taber (1974:87) sangat penting untuk mempertimbangkan bahwa makna dari sebuah kata dapat diperluas ke berbagai arah seperti contoh berikut: (It is a) fox 1. animal 2. canine 3. genus: Vulpes
(He is a) fox 1. human being 2. clevery deceptive
Jika makna kata fox dibandingkan dalam dua kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa keduanya tidak berbagi komponen yang sama. Meskipun keduanya disatukan dengan komponen makhluk hidup, masih terlalu luas karena hanya terdapat sedikit signifikansi. Satu-satunya penjelasan mengenai gambaran tersebut di atas adalah bahwa keduanya dimediasi melalui komponen yang diperkenalkan oleh Nida & Taber (ibid:87) dengan sebutan supplementary (tambahan) dan bersifat murni konvensional yaitu komponen yang mengklaim bahwa serigala secara khusus dikenal sebagai penipu yang cerdas. Ditegaskan pula dalam hal ini bahwa komponen tambahan berada pada ranah psikologis. Mengingat komponen ini bersifat arbitrer dan konvensional, pemahamannya sangat bergantung pada faktor budaya dan bahasa setempat. Salah satu contoh spesifik yang dikemukakan oleh Nida & Taber (1974:88) diambil dari salah satu ayat Alkitab, yatu Kisah Para Rasul 2:17 “pour out my Spirit upon all flesh.” Dalam hal ini flesh tidak diartikan menurut makna utamanya sebagai objek yang memiliki masa; menurut makna
71
figuratifnya flesh mengacu pada objek yang benar-benar berbeda, yaitu orang atau umat manusia. Nida & Taber (1974:107) mengungkapkan bahwa proses penerjemahan makna figuratif dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: (a) pengalihan dari figuratif ke nonfiguratif, misalnya, “possess the gate” menjadi “possess the city”; “my flesh” menjadi “my race”; “taste death” menjadi “die”; (b) pengalihan dari ekspresi figuratif menjadi ekspresi figuratif yang lain, misalnya, “praise the Lord with the tongue” menjadi “praise the Lord with the lips”; (c) pengalihan dari nonfiguratif menjadi figuratif, misalnya, “to trust” menjadi “to lean on.”
2.3.2.3 Makna emotif Makna emotif atau dikenal pula dengan makna konotatif berkaitan dengan asosiasi atau “reaksi emosional terhadap kata” dalam tindakan komunikasi (Nida & Taber, 1974:91). Dimensi makna ini melibatkan nilai-nilai emotif seperti tabu (positif dan negatif), vulgar, cabul, gaul, bertele-tele, dan sebagainya. Meskipun analisis makna emotif tidak semudah makna referensial, Nida mengusulkan bahwa satu-satunya cara di mana makna emotif dapat dianalisis adalah dalam konteks, baik budaya maupun linguistik (Nida, 1964:71). Di satu sisi, dalam menggambarkan makna emotif berdasarkan konteks budaya dapat dilakukan dengan menganalisis respons perilaku penutur asing terhadap penggunaan kata tertentu jika sedang mempelajari bahasa asing atau dapat pula dengan menilai sikap emosional terhadap kata-kata dalam bahasa ibu. Di lain sisi, dalam menggambarkan makna emotif dalam konteks linguistik maka yang dapat dilakukan adalah dengan menganalisis kemunculan kembali kata yang
72
kemungkinan dapat didiagnosis nilai emotifnya yang dalam hal ini dikenal dengan makna kolokatif. Sebagai contoh, kata cantik dan tampan memiliki konsep makna yang sama, yaitu „enak dilihat‟, tetapi ketika disandingkan dengan kata wanita maka makna kolokatif atau asosiatifnya akan muncul, yakni wanita cantik menyiratkan „perempuan cantik‟, sedangkan wanita tampan memiliki asosiasi „wanita terhormat. ‟ Nida (1974:94) menegaskan bahwa belum ada metode yang baku untuk mengukur nilai konotatif dari sebuah kata. Metode yang dianggap paling masuk akal adalah yang diterapkan oleh Osgood, Suci dan Tannenbaum yang menggunakan matriks dengan skala 1 sampai 10 yang ditandai dengan mengontraskan pasangan adjektiva good-bad, beautiful-ugly, strong-weak, lightdark, high-low, warm-cold dan seterusnya. Hasilnya cukup akurat karena reaksi responden terhadap kata, seperti patriotism, love, blood, communism, revolution, dan sebagainya. menunjukkan tingkat kesepahaman yang cukup tinggi antara satu responden dengan responden yang lain. Berikut adalah contoh pemanfaatan matriks penilaian makna emotif terhadap kata mother dan woman yang diperoleh berdasarkan survey yang dilakukan terhadap respon 60 orang Inggris Amerika terhadap kedua kata tersebut. Hasil survey menunjukkan bahwa responden lebih memilih kata mother dibandingkan woman.
73
mother 1
2
3
woman 4
5
6
7
8
9
10
good
bad
attractiv ee strong
ugly
light
dark
high
low
warm
cold
weak
Gambar 2.3. Matriks Makna Emotif Terhadap Kata Woman dan Mother (Sumber: Nida dan Taber, 1974)
Lebih jauh diungkapkan bahwa perbedaan respon konotatif terhadap kata mother dan woman juga menjadi salah satu masalah dalam penerjemahan kedua kata tersebut dari istilah Yunani gunai (secara harfiah woman) pada Yohanes 2:4 yaitu pada kalimat: Kata Yesus kepadanya: “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba”. Versi King James dan beberapa versi lainnya mempertahankan terjemahan harfiah woman. Tetapi versi New English Bible (NEB) lebih memilih mempergunakan kata mother. Hal ini terjadi karena dalam bahasa Inggris mother secara konotatif lebih sopan dibandingkan woman. Metode lain yang ditawarkan oleh Nida (ibid:96) adalah dengan menilai aspek konotatif kata berdasarkan pada nilai (value) dan tingkatan (level) seperti gambaran di bawah ini: 1. Values: good (G), neutral (N), bad (B) 2. Level of language: technical (T), formal (F), informal (I) Selain itu, mengenai aspek konotatif kata, Nida dan Taber (1974:24-26) menyatakan juga bahwa ada tiga fungsi yang seyogyanya dipenuhi oleh sebuah produk terjemahan, yaitu fungsi informatif, fungsi ekspresif, dan fungsi imperatif.
74
Dalam hal ini, hasil terjemahan tidak hanya harus memberikan informasi yang orang dapat mengerti, tetapi juga dengan sedemikian rupa harus menyajikan pesan bahwa pembaca dapat merasakan relevansinya (elemen ekspresif dalam komunikasi) dan kemudian dapat merespon dalam tindakan (fungsi imperatif). Berdasarkan pada pemahaman tersebut, maka beberapa adjektiva yang dipilih sebagai kriteria untuk menentukan makna emotif produk terjemahan adalah: baik – buruk, tepat – tidak tepat, masuk akal – tidak masuk akal, mudah dipahami – sulit dipahami, jelas – tidak jelas, dan lazim – tidak lazim.
2.3.3
Klasifikasi Simbol dalam Alkitab Conner (1992:8-11) menyatakan bahwa secara mendasar terdapat delapan
kategori simbol di dalam Alkitab, yaitu (1) benda, (2) makhluk, (3) tindakan, (4) angka, (5) nama, (6) warna, (7) arah, dan (8) tempat. Berikut adalah penjelasan masing-masing kategori disertai dengan contoh. 1) Simbol dalam wujud benda Di dalam Alkitab, Allah menggunakan benda mati, baik buatan Tuhan maupun manusia sebagai simbol: Hosea 7:8 Mazmur 18:2 Amsal 18:2 Ulangan 32:2 Mazmur 119:105 Wahyu 1:20
“ Efraim telah menjadi roti bundar yang tidak dibalik.” “TUHAN, Bukit Batuku…” “Nama TUHAN adalah menara yang kuat…” “Mudah-mudahan pengajaranku menitik laksana hujan…” “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku…” “Dan rahasia ketujuh bintang yang telah kaulihat pada tangan kanan-Ku dan ketujuh kaki dian emas itu: ketujuh bintang itu ialah malaikat ketujuh jemaat dan ketujuh kaki dian itu ialah ketujuh jemaat."
75
2) Simbol dalam wujud makhluk Di dalam Alkitab, Allah menggunakan makhluk hidup, baik tumbuhan maupun hewan sebagai simbol: Daniel 7:17 Hosea 7:11 Lukas 13:31,32 Yesaya 40:31 Lukas 8:11 I Petrus 1:24 Yohanes 1:29,36
"Binatang-binatang besar .... ialah empat raja...” "Efraim telah menjadi merpati tolol... " "Herodes…. si serigala itu" “Orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan…seumpama rajawali" "Benih itu ialah firman Allah…" "Semua yang hidup adalah seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput…" "Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia"
3) Simbol dalam wujud tindakan Di dalam Kitab Suci, Allah menggunakan tindakan sebagai simbol: Mazmur 141:1,2 Kejadian 25:23-26
Josua 1:3 Yesaya 31:1
"...tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang" "Anak yang tua akan menjadi hamba kepada anak yang muda…tangannya memegang tumit Esau….” "Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak kakimu Kuberikan kepada kamu.... " "Celakalah orang-orang yang pergi ke Mesir minta pertolongan… tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak mencari TUHAN"
4) Simbol dalam wujud angka Di dalam Kitab Suci, Allah mengaitkan makna simbolis dengan angka: 2 Korintus 13:1
Wahyu 13:18
Matius 19:28
"ini adalah untuk ketiga kalinya aku datang kepada kamu: Baru dengan keterangan dua atau tiga orang saksi suatu perkara sah" "...bilangan itu adalah bilangan seorang manusia, dan bilangannya ialah enam ratus enam puluh enam" "...kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel"
76
Kejadian 14:4
"...tetapi dalam tahun yang ketiga belas mereka memberontak... "
5) Nama simbolis Di dalam Kitab Suci juga dipergunakan nama-nama yang berfungsi simbolis, baik secara pribadi maupun nasional. Di dalam Alkitab nama umumnya cukup signifikan untuk menunjukkan sifat, karakter, pengalaman, atau fungsi orang, tempat atau bangsa. I Samuel 25:25
I Samuel 4:21 Hosea 1:9
Matius 1:21
Yohanes 1:42
"Janganlah kiranya tuanku mengindahkan Nabal, orang yang dursila itu, sebab seperti namanya demikianlah ia: Nabal namanya dan bebal orangnya" ".Ia menamai anak itu Ikabod, katanya: "Telah lenyap kemuliaan dari Israel" Lalu berfirmanlah Ia: "Berilah nama Lo-Ami kepada anak itu, sebab kamu ini bukanlah umatKu dan Aku ini bukanlah Allahmu." "Engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka." "Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan dinamakan Kefas (artinya: Petrus)."
6) Simbol dalam wujud warna Di dalam Kitab Suci, Allah mengaitkan makna simbolis dengan warna: Yesaya 1:18 "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba" Markus 15:17,18 "Mereka mengenakan jubah ungu kepada-Nya... "Salam, hai raja orang Yahudi!" Wahyu 3:4,5 "Mereka akan berjalan dengan Aku dalam pakaian putih, karena mereka adalah layak untuk itu. Wahyu 19:8 "kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih!" (Lenan halus itu adalah perbuatan-perbuatan yang benar dari orangorang kudus.) 7) Simbol dalam wujud arah Di dalam Kitab Suci, Allah mengaitkan makna simbolis dengan arah:
77
Yeremia 1:14 Yehezkiel 43:1,2 2 Tawarikh 4:4
Daniel 8:4
"Dari utara akan mengamuk malapetaka... " "Sungguh, kemuliaan Allah Israel datang dari sebelah timur…" "Laut" itu menumpang di atas dua belas lembu, tiga menghadap ke utara dan tiga menghadap ke barat, tiga menghadap ke selatan dan tiga menghadap ke timur... " "Aku melihat domba jantan itu menanduk ke barat, ke utara dan ke selatan... "
8) Simbol dalam wujud tempat Di dalam Kitab Suci, Allah mengaitkan makna simbolis dengan tempat, baik tersurat maupun tersirat: Kejadian 11:9
Mazmur 48:2
2.3.4
Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi. Gunung-Nya yang kudus, yang menjulang permai, adalah kegirangan bagi seluruh bumi; gunung Sion itu, jauh di sebelah utara, kota Raja Besar.
Teori Semiotik Saat ini studi terjemahan telah semakin mengadopsi pendekatan
interdisipliner untuk mempelajari penerjemahan sebagai transposisi intertekstual dan antarbudaya. Bassnett (1980/1991:34) menyebutkan bahwa langkah pertama dalam penerjemahan yakni harus menerima bahwa meskipun proses ini berpusat pada kegiatan linguistik, tetapi sangat tepat jika dikatakan bahwa studi ini juga menjadi milik semiotik, yaitu ilmu yang mempelajari sistem atau struktur tanda, proses tanda, dan fungsi tanda. Lebih jauh dikatakan bahwa di luar gagasan yang ditekankan oleh pendekatan linguistik yang sempit, terjemahan melibatkan transfer „makna‟ yang terkandung dalam satu set tanda bahasa ke satu set tanda bahasa yang lain melalui
78
penggunaan kompetensi kamus dan tata bahasa yang juga melibatkan seluruh perangkat kriteria ekstralinguistik. Berangkat dari pernyataan tersebut, studi ini memandang perlu untuk melibatkan analisis semiotik dalam mengungkap makna di balik simbol-simbol verbal religi yang terdapat di dalam Kitab Wahyu guna melihat dengan jelas tingkat kesepadanan masing-masing kubu terjemahan.
2.3.4.1 Perbedaan semiotik Saussurean dan Peircean Teori semiotik adalah teori yang berkaitan dengan masalah ketandaan. Dalam perkembangan teori ini timbul dua pendapat dalam hal pemaknaan unsurunsur bahasa yaitu antara Semiotik Saussurean dan Semiotik Pericean. Ratna (2013:508) mengungkapkan perbedaan yang sangat jelas antara keduanya, yaitu Saussure menemukan makna melalui hubungan antara dua unsur, sedangkan Peirce melalui tiga unsur. Oleh karena itu teori semiotik Saussure disebut sebagai diadik, sedangkan Peirce sebagai triadik. Menurut Saussure (1983:73-91), makna diperoleh dengan cara menemukan hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified), bahasa individu (parole) yang bersifat aktif dan mengandung banyak hal baru dan bahasa umum (langue) yang bersifat pasif dan siap pakai, analisis sinkronis dan diakronis, hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Lebih jauh diungkapkan bahwa tanda pada prinsipnya saling merujuk satu sama lain, yaitu bahwa dalam sistem bahasa semuanya bergantung pada relasi (1983: 121). Tidak ada tanda yang bermakna hanya jika dalam keterkaitan dengan tanda-tanda lainnya. Jadi, baik petanda maupun penanda adalah murni entitas relasional (1983:118). Gagasan ini cukup sulit untuk dipahami sebab ada kemungkinan bahwa sebuah kata yang berdiri sendiri seperti „pohon‟ sudah
79
menyiratkan makna, tetapi Saussure menyatakan bahwa makna dari kata tersebut bergantung pada relasinya dengan kata-kata lain dalam sebuah sistem seperti misalnya „semak‟. Untuk menjelaskan hal ini Saussure menggunakan analogi permainan catur yang nilai masing-masing bagiannya sangat tergantung dari posisinya pada papan catur (1983:88). Suatu tanda melebihi jumlah bagianbagiannya. Sementara itu, signifikasi jelas tergantung pada hubungan antara dua bagian dari tanda maka nilai tanda ditentukan oleh hubungan antara tanda dan tanda-tanda lain dalam sistem secara keseluruhan (1983:112-13). The notion of value.....shows us that it is a great mistake to consider a sign as nothing more than the combination of a certain sound and a certain concept. To think of a sign as nothing more would be to isolate it from the system to which it belongs. It would be to suppose that a start could be made with individual signs, and a system constructed by putting them together. On the contrary, the system as a united whole is the starting point, from which it becomes possible, by a process of analysis, to identify its constituent elements (Saussure, 1983:112). Berikut adalah model dari hubungan antar tanda yang menunjukkan bahwa „nilai‟ dari sebuah tanda sangat tergantung dari relasinya dengan tanda lain dalam sebuat sistem. Dengan kata lain, sebuah tanda tidak memiliki nilai „mutlak‟ di luar keterikatan dengan konteksnya (Saussure, 1983:80):
Penanda
Penanda
Penanda
Petanda
Petanda
Petanda
Gambar 2.4 Model Hubungan Antar Tanda Menurut Saussure (Sumber Saussure, 1983)
Di lain sisi, Peirce (dalam Zoest, 1993:18-30) menyatakan bahwa makna diperoleh dengan cara menemukan hubungan antara tanda yang sebenarnya, yaitu
80
representamen (R), apa yang diacu yaitu objek (O), dan tanda-tanda baru yang disebut interpretan (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O) dan I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O. Berikut adalah definisi tanda menurut Peirce (dalam bahasanya sendiri): A sign…..[in the form of representamen] is something which stands to somebody for something in some respect or capacity. It addresses somebody, that is, creates in the mind of that person an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. That sign which it creates I call the interpretant of the first sign. The sign stands for something, its object. It stands for that object, not in all respects, but in reference to a sort of idea, which I have sometimes called the ground of the representamen. (Peirce, 1931-58:2.228). Mengacu pada definisi yang diutarakannya, bagi Peirce, sebuah tanda yang disebutnya sebagai representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam kaitan atau kapasitas tertentu. Dalam hal ini, tanda dapat menciptakan sesuatu yang lain dalam pikiran seseorang yang setara atau bisa juga suatu tanda yang lebih maju. Peirce menyebut tanda yang tercipta itu sebagai interpretan dari tanda yang pertama. Lebih jauh dikatakannya pula bahwa tanda yang pertama atau disebutnya sebagai interpretan mewakili sesuatu yaitu objeknya tidak dalam sembarang kaitan, tetapi dalam suatu gagasan tertentu. Berdasarkan pemahaman di atas, tanda tidak hanya bersifat representatif tetapi juga interpretatif yang memperlihatkan bahwa pemaknaan tanda merupakan suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Jadi, R adalah sesuatu yang bersifat indrawi atau material yang berfungsi sebagai tanda. Kehadirannya menimbulkan I, yakni tanda lain yang ekuivalen dengannya. Atau, dengan kata lain, sekumpulan interpretasi personal yang dapat menjelama menjadi publik. Pada hakikatnya, R dan I adalah tanda, yakni sesuatu yang menggantikan sesuatu
81
yang lain. Hanya saja, R muncul mendahului I dan I ada karena dibangkitkan oleh R. O yang diacu oleh tanda, atau sesuatu yang kehadirannya digantikan oleh tanda adalah “realitas” atau apa saja yang dianggap ada. Artinya objek tersebut tidak harus konkret atau sebuah realitas, bahkan yang abstrak, imajiner dan fiktif. Berikut adalah model hubungan tiga elemen tanda menurut Peirce seperti yang diilustrasikan oleh Eco (1976:59):
interpretan
representamen
objek
Gambar 2.5 Model Hubungan Tiga Elemen Tanda Menurut Peirce (Sumber: Eco,1976)
Sesuai dengan model di atas, untuk memenuhi syarat sebagai tanda, ketiga elemen memegang peranan penting. Tanda adalah kesatuan dari yang diwakili (objek), bagaimana hal itu diwakili (representamen) dan bagaimana hal itu ditafsirkan (interpretan). Interaksi ketiganya dikenal dengan „semeiosis‟ atau semiosis. Ogden dan Richards dalam Riemer (2010:13) juga mengungkapkan hal yang selaras dikenal dengan sebutan segitiga semiotik terdiri dari simbol, gagasan, dan acuan seperti gambar berikut:
82
gagasan/psikologi
hubungan kausal
simbol/bahasa
hubungan kausal
hubungan kebenaran dan kesalahan
acuan
Gambar 2.6 Segitiga Semiotik Menurut Ogden dan Richards (Sumber: Riemer, 2010)
Yang menarik untuk diperhatikan adalah penegasan mengenai adanya hubungan kausal antara gagasan, yang oleh Riemer (2010:15) juga disebut psikologi, dengan simbol dan dengan acuan. Hubungan inilah yang dapat berperan untuk menafsirkan hubungan antara simbol dengan acuan yang tidak terhubung secara kausal antara yang satu dan yang lain. Menurut
Chandler
(2007:31),
berdasarkan
pada
kutipan
hasil
korespondensi pribadinya dengan Roderick Munday tentang bagaimana cara kerja dari triadik versi Peirce, hal yang terpenting yang harus diperhatikan adalah objek dari sebuah tanda selalu tersembunyi. Objek hanya dapat diungkapkan dengan memperhatikan representamen dan membentuk sebuah gambaran mental tentang objek tanda di dalam pikiran. Oleh karena itu, objek yang tersebunyi dari sebuah tanda hanya akan dapat diungkap melalui interaksi ketiga elemen tanda. Sebagai triadik, R terdiri atas qualisigns (representamen yang merupakan tanda dari suatu sifat; misalnya, warna merah atau hawa panas). Kemudian, sinsigns (representamen yang merupakan tanda atas dasar tampilan dalam kenyataan atau tipe tanda yang memanfaatkan sebuah peristiwa atau objek sebagai
83
wahana tanda (sign vehicle), misalnya, suatu jeritan dapat berarti kesakitan, bahagia atau kaget). Selanjutnya, legisigns (representamen yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode, misalnya seperti tanda-tanda lalu lintas, gerakan berjabat tangan, dan lain-lain. Trikotomi yang kedua, yaitu O, terdiri atas ikon, indeks, dan simbol. Peirce beranggapan bahwa trikotomi yang kedua ini adalah yang paling fundamental dan karenanya dijelaskan secara detail pada sub-bab berikutnya. Trikotomi yang ketiga, yaitu interpretan menghasilkan rheme, disisigns, dan argument. Menurut Cobley dan Jansz (1999:34), rheme adalah tanda yang ditafsirkan sebagai sebuah kemungkinan; misalnya, konsep. Di lain sisi, disisigns atau dicent merupakan tanda yang ditafsirkan sebagai sebuah fakta; misalnya, argumentasi deskriptif, sedangkan argument adalah tanda yanag ditafsirkan sebagai sebuah alasan; misalnya, proposisi atau saran. Sesuai dengan paparan tersebut di atas, representamen pada semiotik versi Peirce memiliki kemiripan dengan “penanda” pada semiotik versi Saussure, sedangkan interpretan pada semiotik versi Peirce dapat dianalogikan dengan “petanda” pada semiotik versi Saussure. Hal yang membedakan adalah bahwa interpretan memiliki kualitas yang berbeda dengan “petanda” karena pada dasarnya interpretan juga adalah tanda dalam pikiran penafsir. Hal ini sesuai dengan pendapat Peirce yang menyatakan, „a sign…….addresses somebody, that is creates in the mind of that person an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. The sign which it creates I call the interpretant of the first sign‟ (Peirce 193158:2.228). Mengenai hal tersebut, Peirce lebih jauh mengungkapkan bahwa makna dari sebuah representasi adalah representasi itu sendiri dalam arti bahwa
84
interpretasi awal dapat diinterpretasikan kembali sehingga sebuah petanda dapat juga mengambil peran sebagai penanda. Pemikiran ini diwujudkan dalam sebuah figur yang dikenal dengan sebutan interpretasi yang berkesinambungan:
i r r
i r r
r r r
o r r
r o r r r Gambar 2.7 rFigur Interpretasi Berkesinambungan Menurut Peirce
(Sumber: Peirce, 1931)
Mengacu pada ulasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang paling mendasar dari semiotik versi Saussure dan versi Peirce terletak pada konsep pemaknaan tanda yang ditemukan berdasarkan hubungan antara satu tanda dan tanda lainnya (struktur yang relatif statis pada sistem tanda) pada semiotik versi Saussure dan proses interpretasi yang sangat dinamis pada semiotik versi Peirce atau yang dikenal dengan gagasan pemikiran dialogis.
2.3.4.2 Ikon, indeks, dan simbol Nöth (1990:44) menyatakan bahwa berdasarkan pada klasifikasi yang dibuat oleh Peirce tanda dalam sistem tanda dapat ditafsirkan dalam tiga cara berbeda, tergantung pada hubungannya dengan objek yang diwakili. Pertama, penafsir dapat berasumsi bahwa tanda tidak memiliki hubungan fisik dengan
85
objek yang diacu, seperti misalnya, bendera nasional melambangkan suatu negara. Tanda seperti ini disebut simbol yang hanya dapat dipahami dengan mengaitkan maknanya. Kedua, penafsir dapat menempatkan tanda sebagai indeks. Indeks dalam beberapa hal secara fisik terhubung dengan objek yang diwakilinya. Misalnya, asap menunjukkan keberadaan api. Ketiga, penafsir dapat percaya bahwa tanda adalah ikon dari objek yang digambarkan. Ikon hampir sepenuhnya mewakili sifat fisik dari objek yang diwakili. Sejalan dengan Nöth, Chandler (2007:36) juga menegaskan bahwa penanda yang tidak menyerupai petanda, tetapi yang secara fundamental bersifat tidak tentu atau murni konvensional – sehingga hubungan ini harus dilandasi oleh kesepakatan dan dipelajari, seperti kode morse, lampu lalu lintas, angka disebut simbol/simbolik. Sementara itu, ikon/ikonik adalah sebuah mode yang penandanya dianggap menyerupai petanda misalnya potret, kartun, metafora, soundtract film, gerakan meniru, dan sebagainya. Jenis hubungan yang ketiga dikenal dengan sebutan indeks yaitu sebuah mode yang penandanya secara langsung terhubung dalam beberapa cara (secara fisik atau kausal) dengan petanda, misalnya tanda-tanda alam (asap, petir, jejak kaki, gema, bau, rasa), gejala medis (nyeri, ruam), alat ukur (termometer, jam), sinyal (ketukan di pintu, dering telepon). Sehubungan dengan penggolongan tanda dalam semiotik Peircean, Chandler (2007:44) lebih jauh mengungkapkan bahwa ikon, indeks, dan simbol tidak selalu ada dalam kedudukan eksklusif satu sama lain karena tanda bisa menjadi ikon, indeks, atau simbol atau kombinasi dari ketiganya. Peirce sepenuhnya menyadari hal ini, misalnya dengan menyatakan bahwa akan sangat
86
sulit atau bahkan mustahil untuk mencari contoh indeks yang benar-benar murni atau untuk menemukan tanda yang benar-benar murni tanpa unsur indeksikal. Misalnya, sebuah peta adalah indeksikal dalam hal menunjukkan lokasi sesuatu, ikonik dalam merepresentasikan hubungan arah dan jarak antarlandmark dan simbolik dalam menggunakan simbol-simbol konvensional. Bahkan, film dan televisi menggunakan ketiga bentuk tanda: ikon untuk suara dan gambar, simbol untuk penyampaian lisan dan tulisan, dan indeks adalah akibat dari apa yang difilmkan. Sejalan dengan hal itu, Jakobson (dalam Chandler 2007:44) menyatakan bahwa ketiga bentuk tanda hidup berdampingan dalam bentuk hierarki yang salah satu dari mereka pasti akan memiliki dominasi atas dua yang lain yang mana dominasi itu ditentukan oleh konteks. Apakah tanda merupakan simbol, ikon, atau indeks tergantung pada bagaimana cara tanda tersebut dipergunakan. Penanda yang sama dapat digunakan sebagai ikon dalam satu konteks dan simbol di tempat lain. Tanda tidak dapat diklasifikasikan ke dalam tiga model tanpa mengacu pada tujuan pengguna ketiganya dalam konteks tertentu. Tanda mungkin diperlakukan sebagai simbol oleh satu orang, namun sebagai ikon atau indeks oleh yang lain. Mengenai hal ini dinyatakan pula bahwa, “Ketika kita berbicara tentang sebuah ikon, sebuah indeks, atau simbol, kita tidak mengacu pada kualitas objektif dari tanda itu sendiri, tetapi pengalaman pengamat tanda itu sendiri.”
2.3.4.3 Mode simbolis Simbol dalam pemahaman umum tidak secara murni dikategorikan sebagai yang “simbolis” dalam pengertian bahwa „tidak sepenuhnya arbitrer‟:
87
simbol-simbol menunjukkan paling tidak terdapat hubungan alamiah antara penanda dan petanda yang dikenal dengan sebutan „rasional‟. Meskipun tidak menolak anggapan ini, Saussure memusatkan perhatiannya pada sifat arbitrer hubungan antara penanda dan petanda. Hal ini juga sejalan dengan pandangan Peirce (1931-58, 2.249) tentang simbol yang menyatakan bahwa simbol adalah tanda yang mengacu pada objek yang ditandai berdasarkan pada hukum atau pemahaman umum yang menyebabkan sebuah simbol ditafsirkan mengacu pada objek tersebut. Dalam hal ini, simbol diinterpretasikan berdasarkan pada “aturan” atau “kebiasaan”. Simbol terhubung dengan objeknya berdasarkan ide yang timbul dari pikiran si pengguna yang tanpanya tidak akan pernah muncul hubungan semacam itu. Jadi, simbol adalah tanda konvensional atau sesuatu yang tergantung pada kebiasaan, baik dipelajari maupun bawaan. Peirce (1931-58:4.447) menampilkan contoh kata laki-laki. Keseluruhan huruf yang menyusun kata tersebut tidak memiliki kemiripan dengan gambaran seorang laki-laki; tidak juga terdapat hubungan antara bunyi dan objek yang diwakilinya. Sehubungan dengan itu, Peirce (1931-58: 5.73) menegaskan bahwa sebuah simbol…..memenuhi fungsinya terlepas dari kesamaan atau analogi ataupun hubungan faktual dengan objek yang ditunjuk. Menurutnya, sebuah simbol yang murni adalah simbol yang memiliki makna umum, yaitu menandakan sesuatu yang tidak bersifat spesifik.
2.3.4.4 Hubungan sintagmatik dan paradigmatik Culler (1975:14) menyatakan bahwa semiotik dikenal sebagai pendekatan untuk analisis tekstual yang berfokus pada analisis struktural. Analisis ini
88
berfokus pada hubungan struktural yang fungsional dalam sistem penandaan yang melibatkan proses identifikasi terhadap unit konstituen dalam sistem semiotik (seperti teks atau praktik sosial budaya), hubungan struktural antar tanda (oposisi, korelasi, dan hubungan logis) dan hubungan masing-masing bagian terhadap keseluruhan teks. Saussure dalam analisis semiotik secara khusus memusatkan perhatiannya pada tiga macam hubungan sistemik, yaitu penanda dan petanda, tanda dengan semua elemen lain dalam satu sistem/kode, serta hubungan tanda dengan unsurunsur yang mengelilinginya (Chandler 2007:84). Lebih jauh, Saussure menekankan bahwa makna timbul dari perbedaan antara penanda, yang perbedaannya itu terdiri atas dua macam, yaitu sintagmatik (yang menyangkut posisi) dan paradigmatik (yang menyangkut substitusi/hubungan asosiatif). Jadi perbedaan adalah salah satu kunci dalam analisis semiotik strukturalis. Kedua dimensi ini, yaitu sintagmatik dan paradigmatik, sering disajikan sebagai “Sumbu”: sumbu horizontal adalah sintagmatik dan sumbu vertikal adalah paradigmatik. Piliang (dalam Christomy dan Yuwono, 2010) memakai istilah “aksis tanda” yaitu aksis paradigmatik dan sintagmatik, merupakan cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna. Bidang sintagma terdiri atas kombinasi „ini-dan-ini-dan-ini‟ seperti dalam kalimat, „laki-laki itu menangis. Sementara itu bidang paradigma merupakan pilihan „ini-atau-ini-atau-ini, misalnya, penggantian kata „menangis‟ dalam kalimat „laki-laki itu menangis‟ dengan kata „mati‟ atau „bernyanyi‟ sehingga menjadi „laki-laki itu mati‟ atau „laki-laki itu bernyanyi‟. Jadi, jika hubungan
89
sintagmatik merupakan kemungkinan kombinasi, hubungan paradigmatik adalah kontras fungsional yang melibatkan diferensiasi. Berikut adalah model hubungan kedua dimensi yang ditimbulkan oleh perbedaan antara penanda dan petanda.
sang
died
man
cried
sumbu paradigmatik
the
girl
sumbu sintagmatik
Gambar 2.7. Model Hubungan Dimensi Sintagmatik dan Paradigmatik Sebagai Akibat Perbedaan Antara Penanda dan Petanda (Sumber: Chandler, 2007)
Secara temporal, hubungan sintagmatik merujuk pada hubungan intertekstual terhadap penanda yang hadir dalam teks, sedangkan hubungan paradigmatik merujuk pada hubungan intertekstual terhadap penanda yang absen dari teks (Saussure, 1916/1983:122). Lebih jauh dikatakan bahwa “nilai” dari tanda ditentukan oleh, baik hubungan sintagmatik maupun paradigmatik, dari tanda tersebut. Sintagma dan paradigma menyajikan konteks struktural yang di dalamnya tanda-tanda menjadi bermakna, atau dengan kata lain, kedua hubungan itu adalah bentuk struktural yang melaluinya tanda-tanda disusun dalam kode. Secara khusus, paradigma dapat didefinisikan sebagai satu set penanda atau petanda yang saling terhubung yang merupakan anggota dari beberapa
90
kategori definisi, tetapi masing-masing berbeda secara signifikan. Dalam bahasa alamiah terdapat paradigma gramatikal; misalnya, verba ataupun nomina. Dalam konteks tertentu, satu anggota dari sebuah set paradigma secara struktural dapat digantikan dengan yang lain; pilihan terhadap satu anggota akan meniadakan yang lain. Pemilihan sebuah penanda (misalnya, kata tertentu) dibandingkan yang lain dari kumpulan paradigma yang sama (misalnya, adjektiva) dapat membentuk makna dari sebuah teks sesuai dengan yang dikehendaki. Oleh karena itu, jenis hubungan ini dapat pula dilihat sebagai hubungan yang memperlihatkan perbedaan. Akan tetapi, pemahaman Sausssure terhadap hubungan “asosiatif” adalah lebih luas dan tidak terlalu formal dibandingkan apa yang secara umum dipahami sebagai hubungan “paradigmatik”. Dalam hal ini, Saussure lebih menekankan pada “asosiasi mental” dan menyertakan kesamaan persepsi dalam hal bentuk (misalnya, homofon) atau makna (misalnya, sinonim). Kesamaan yang dimaksud adalah beragam dan berkisar dari kuat ke lemah dan kemungkinan hanya mengacu pada sebagian kata seperti prefiks atau sufiks. Sehubungan dengan itu, tidak ada aturan yang baku mengenai asosiasi semacam itu (Saussure, 1983:124). Di lain sisi, sintagma adalah kombinasi terstruktur dari penanda yang saling berinteraksi satu sama lain yang membentuk makna yang menyeluruh dalam sebuah teks. Kombinasi seperti itu dibentuk dalam sebuah kerangka aturan sintaktis dan kovensi (baik eksplisit maupun implisit). Dalam bahasa, misalnya sebuah kalimat adalah sintagma dari kata-kata; demikian juga dengan paragraf dan bab. Selalu ada unit yang lebih besar yang terdiri atas unit yang lebih kecil dengan hubungan saling ketergantungan yang satu dengan yang lain. Misalnya,
91
iklan cetak adalah sintagma dari beberapa penanda visual. Jadi, yang dimaksud dengan hubungan sintagmatik adalah berbagai cara unsur-unsur dalam teks yang sama dapat berhubungan satu sama lain. Sintagma diciptakan melalui hubungan dari beberapa penanda dari satu set paradigma yang dipilih atas dasar apakah tanda-tanda secara konvensional dianggap sesuai atau mungkin diperlukan oleh beberapa sistem aturan (misalnya tata bahasa). Hubungan sintagmatik menyoroti pentingnya hubungan bagian-keseluruhan. Keseluruhan tergantung pada bagian dan masing-masing bagian tergantung pada keseluruhan. Berdasarkan pemahaman di atas, baik analisis sintagmatik maupun paradigmatik, memperlakukan tanda sebagai bagian dari sebuah sistem yang mengeksplorasi fungsinya dalam kode dan subkode. Untuk itu analisis semiotik pada teks ataupun korpus harus memanfaatkan kedua model analisis karena kedua jenis hubungan itu tidak bisa dipisahkan.
2.3.4.5 Perangkat analisis semiotik Kedua jenis hubungan, baik sintagmatik maupun paradigmatik, bekerja berdasarkan perangkat analisis struktural sesuai dengan ciri yang mendasarinya seperti yang telah terpapar di atas. Dimensi paradigmatik selalu berupaya untuk mengidentifikasi berbagai paradigma (penanda yanag sudah hadir sebelumnya) yang mendasari isi teks. Aspek analisis struktural ini melibatkan pertimbangan konotasi positif atau negatif dari setiap penanda (yang terungkap melalui pilihan penggunaan satu tanda dibandingkan yang lain) dan adanya paradigma tematik yang mendasari (misalnya, oposisi biner seperti publik-swasta). Dalam hal ini, Saussure (1983:122) menegaskan bahwa ciri dari hubungan paradigmatik atau apa
92
yang dia sebut sebagai hubungan asosiatif adalah bahwa hubungan tersebut terjadi secara “in absentia” – ketidakhadiran penanda alternatif dalam teks tertentu dari paradigm yang sama. Jadi, analisis paradigmatik melibatkan perbandingan dan pengkontrasan masing-masing penanda yang hadir dalam teks dengan penanda yang tidak hadir yang dalam kondisi yang sama mungkin dipilih dan juga mempertimbangkan pentingnya pilihan yang dibuat. Analisis ini dapat diterapkan pada setiap tingkat semiotik baik pilihan kata, gambar, maupun suara, bahkan sampai pada tingkat gaya, genre ataupun medium (Chandler, 2007:88). Pilihan terhadap satu penanda dibandingkan dengan yang lain dapat dilandasi oleh beberapa faktor; misalnya, kendala teknis, kode (misalnya, genre), konvensi, konotasi, gaya, tujuan retoris, dan keterbatasan repertoar individu itu sendiri. Beberapa perangkat analsisis dalam dimensi paradigmatik termasuk di dalamnya adalah uji penggantian (the commutation test), oposisi (opposition), kebermarkahan (markedness), dekonstruksi (deconstruction), dan penjajaran (alignment). Uji penggantian berfungsi untuk mengidentifikasi penanda khas dan untuk menentukan signifikansi tanda-tanda - menentukan apakah perubahan pada tingkat penanda mengarah ke perubahan pada tingkat petanda. Untuk menerapkan tes ini, penanda tertentu dalam teks dipilih dan kemudian disandingkan dengan alternatif penanda yang diuji. Selanjutnya, dilakukan evaluasi terhadap efek dari setiap substitusi untuk mengetahui bagaimana hal ini dapat memengaruhi rasa yang ditimbulkan oleh tanda tersebut. Sehubungan dengan hal itu Barthes (1967:19-20) menyatakan bahwa pengaruh substitusi makna dapat membantu untuk mengetahui kontribusi dari penanda asli dan juga untuk mengidentifikasi unit-unit sintagmatik.
93
Perangkat analisis yang lain, yaitu oposisi atau pertentangan, dilandasi oleh pemahaman bahwa binerisme atau kebineran adalah penting karena tanpanya menurut Jakobson (1973:321) struktur bahasa akan hilang. Hal ini sejalan dengan fokus pembahasan Saussure tentang perbedaan antartanda dibandingkan dengan persamaannya. Mengenai hal ini, dijelaskan lebih lanjut dalam Jakobson (1976) bahwa unit linguistik terikat bersama-sama dengan sistem oposisi biner. Oposisi tersebut sangat penting untuk generasi makna: makna „gelap‟ relatif terhadap makna „terang‟; „bentuk‟dapat dibayangkan kecuali dalam kaitannya dengan 'isi'. Namun oposisi dalam hal ini akan lebih baik dipahami sebagai kontras karena tidak selalu terjadi perlawanan langsung (meskipun penggunaannya sering melibatkan polarisasi). Oleh karena itu, keperbedaan dapat terjadi di antara beberapa tipe oposisi di antaranya adalah oposisi dan antonim. Perbedaan antara oposisi dan antonim adalah perbedaan antara oposisi digital dan analog: oposisi digital adalah „atau‟; sedangkan oposisi analog adalah „lebih-atau-kurang‟. Selanjutnya, dikemukakan tipe analisis kebermarkahan yang meliputi pemahaman bahwa setiap konstituen tunggal dari sistem linguistik dibangun pada oposisi dari dua pertentangan logis: kehadiran atribut (bermarkah) dalam kontraposisi terhadap ketiadaan (tidak bermarkah). Konsep kebermarkahan dapat diterapkan pada kutub oposisi paradigmatik karena tanda yang berpasangan terdiri atas bentuk „bermarkah‟ dan „tidak bermarkah‟. Penanda yang bermarkah dicirikan oleh beberapa fitur semiotik khusus yang berhubungan dengan fitur formal dan fungsi generik. Markah formal ditandai dengan oposisi secara morfologis atau kehadiran ataupun ketidakhadiran dari fitur formal (misalnya, bentuk bermarkah „unhappy‟ dibentuk dengan menambahkan prefiks un- terhadap
94
penanda tak bermarkah „happy‟). Di lain sisi, markah distribusi ditandai oleh kecenderungan bahwa bentuk yang bermarkah adalah lebih terbatas pada kisaran konteks tempat tanda itu muncul. Perangkat yang terakhir dari analisis paradigmatik adalah penjajaran (alignment) yang turut dikemukakan oleh Roman Jakobson melalui formulasi alternatif oksimorni di antaranya adalah sinkronis permanen dinamis (Jakobson, 1981:64). Gagasan ini berupaya melemahkan dikotomi tegas Saussure dengan menyatakan bahwa oposisi atau pertentangan bersifat tidak tetap dan struktur dapat berubah. Sejalan dengan hal ini, Levi-Strauss (1962/1974:161) menyatakan bahwa oposisi biner adalah contoh yang paling sederhana dari sebuah sistem, namun kemudian terjadi agregasi pada kedua kutub sehingga menghasilkan hubungan oposisi, korelasi, dan analogi. Berikut adalah formulasi perangkat analsis paradigmatik dalam bentuk tabel sehingga lebih mudah untuk dipahami: Tabel 2.6. Formulasi Perangkat Analisis Paradigmatik Tipe Analisis Uji penggantian
Pemahaman/Definisi Menentukan signifikansi penanda
Oposisi biner
Memanfaatkan binerisme untuk mengungkap makna
Kebermarkahan
Sistem linguistik dibangun pada oposisi dari dua pertentangan logis: kehadiran atribut (bermarkah) dalam kontraposisi terhadap ketiadaan (tidak bermarkah) Oposisi bersifat tidak tetap karenanya analisis paradigmatik bisa dilakukan berdasarkan korelasi dan analogi
Penjajaran
(Sumber: Chandler, 2007)
Ketentuan Menyandingkan penanda Mengevaluasi efek substitusi guna mengetahui signifikansi penanda Menyandingkan penanda biner Menentukan dan mengevaluasi jenis oposisi yang terdiri atas oposisi (digital: „atau‟) dan antonim (analog: „lebih-ataukurang) Menyandingkan penanda bermarkah dan tak bermarkah Markah terdiri atas markah formal dan markah distributif Menyandingkan dan menganalisis penanda tidak hanya berdasarkan oposisi, tetapi juga korelasi dan analogi
95
Di lain sisi, analisis sintagmatis dari teks, baik verbal maupun nonverbal, melibatkan analisis terhadap struktur dan relasi antara bagian-bagiannya. Ahli semiotik strukturalis berupaya untuk mengidentifikasi segmen konstituen dasar dalam
teks,
yaitu
sintagma-nya.
Studi
tentang
hubungan
sintagmatik
mengungkapkan konvensi teks. Penggunaan struktur sintagmatik tertentu dalam teks memberi pengaruh terhadap makna. Beberapa perangkat analisis sintagmatis di antaranya adalah hubungan spasial (spatial relations), hubungan berurutan (sequential relation) dan reduksi struktural (structural reduction). Berdasarkan pandangan Chandler (2007:111), hubungan spasial mencakup beberapa jenis relasi antar tanda termasuk di dalamnya adalah: (i)
atas/bawah;
(ii)
depan/belakang;
(iii) dekat/jauh; (iv) kiri/kanan; (v)
utara/selatan/timur/barat;
(vi) dalam/luar (pusat/pinggir) Ditegaskan pula bahwa dimensi struktural semacam ini secara semantis tidak bersifat netral karena masih sangat tergantung pada budaya setempat. Sehubungan dengan hal ini George Lakoff dan Mark Johnson telah memperlihatkan bagaimana metafora orientasional secara kontinyu terkait dengan konsep-konsep kunci dalam budaya. Salah satu contoh adalah hubungan pusat pinggir yang mengandung pemahaman bahwa sesuatu yang dinyatakan sebagai pusat adalah berperan sebagai inti informasi yang mana seluruh elemen yang ada di sekitarnya terikat padanya.
96
Selanjutnya pada dimensi hubungan berurutan (sequential relations) yang juga dikenal dengan hubungan naratif terdapat awal dan akhir atau „rantai‟ peristiwa yang mengarah pada awal, pertengahan, dan akhir sebuah kisah. Rangkaian peristiwa ini juga dikenal dengan sebutan plot, yaitu peristiwa yang terjadi di awal menyebabkan kejadian di pertengahan, dan peristiwa yang terjadi di pertengahan menimbulkan peristiwa di bagian akhir (Chandler, 2007:1114). Sejalan dengan gagasan ini, Bruner (1990:45) menyatakan bahwa narasi membantu untuk membuat sesuatu yang terkesan aneh menjadi sebuah kewajaran dan juga menjadikannya terstruktur, dapat diprediksi dan juga menimbulkan koherensi. Pada dasarnya, narasi merupakan fitur mendasar dari dorongan manusia untuk membuat makna. Perangkat yang terakhir adalah reduksi struktural (structural reduction) yang merupakan tipe analisis yang berupaya untuk mencari pola struktural yang mendasari kesamaan antarnarasi meskipun pada mulanya tampak sangat berbeda. Penentuan pola struktural dilakukan berdasarkan pada “fungsi” yang dipahami sebagai tindakan karakter yang didasarkan atas pertimbangan pentingnya hal itu untuk jalannya aksi. Atau, dengan kata lain, fungsi adalah unit dasar dari aksi/tindakan dalam sebuah narasi sehingga fokus analisis adalah tentang bagaimana teks itu dan bukan apa teks itu. Barthes (1973:3) mengkritisi tipe analisis ini dengan mengatakan bahwa penentuan pola stuktural mencoba untuk melihat bahwa semua kisah yang ada di dunia ini memiliki struktur yang sama sehingga teks kehilangan unsur keanekaragamannya. Sementara itu, di lain sisi, perbedaan adalah apa yang mengidentifikasi, baik tanda maupun teks.
97
Sehubungan dengan itu, perangkat reduksi struktural tidak akan diterapkan dalam analisi penerjemahan simbol pada Kitab Wahyu. Berikut adalah formulasi perangkat analisis sintagmatik dalam bentuk tabel sehingga lebih mudah untuk dipahami:
Tabel 2.7. Formulasi Perangkat Analisis Sintagmatik Tipe Analisis
Pemahaman/Definisi
Ketentuan
Hubungan spasial
Tipe relasi hubungan spasial terdiri atas: atas/bawah; depan/belakang; dekat/jauh; kiri/kanan; utara/selatan/timur/barat; dalam/luar (pusat/pinggir)
Memformasikan/memetakan penanda berdasarkan tipe relasi spasial
Hubungan berurutan
Jenis hubungan naratif yang terdapat di awal dan akhir atau „rantai‟ peristiwa yang mengarah pada awal, pertengahan, dan akhir sebuah kisah
Memformasikan/memetakan penanda berdasarkan tipe relasi naratif
(Sumber: Chandler, 2007)
2.3.4.6 Kode Seperti telah disinggung di atas, kode memegang peranan yang sangat penting dalam analisis semiotik. Saussure (dalam Chandler, 2002) menegaskan bahwa tanda-tanda hanya akan bermakna dan memiliki nilai ketika ditafsirkan dalam hubungan satu sama lain. Ketidaktentuan relasi antara penanda dan petanda menjadi dasar bagi pentingnya pemahaman terhadap konvensi atau kode yang
98
digunakan untuk mengomunikasikan makna karena makna tanda tergantung pada kode tempat tanda itu terletak. Lebih jauh, diungkapkan oleh Saussure (dalam Chandler, 2002) bahwa kode tidak hanya merupakan “konvensi” komunikasi, tetapi lebih merupakan sistem prosedural dari konvensi yang saling berkaitan yang
beroperasi
pada
domain
tertentu
dibedakan
oleh
koherensinya,
homogenitasnya dan kesistematisannya dalam keberagaman pesan dalam sebuah teks. Jadi, kode adalah kerangka interpretatif yang digunakan oleh produsen dan interpreter teks. Dalam kaitan dengan hal ini, penggolongan tanda dalam kode yang sama ialah dalam rangka untuk membatasi berbagai kemungkinan makna yang dalam hal ini kode berfungsi untuk membantu dalam menyederhanakan fenomena sehingga lebih mudah untuk mengomunikasikan pengalaman (Turner, 1992:17). Para ahli semiotik membagi kode ke dalam beberapa kelompok biasanya berdasarkan pada prinsip parsimoni atau kesederhanaan dan tujuan. Namun, pada kenyataannya berbagai macam kode itu tumpang tindih dan analisis semiotik teks atau praktis dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa kode dan hubungan di antara kode yang satu dan kode lainnya. Ada tiga jenis taksonomi kode, seperti yang diungkapkan oleh Chandler (2002:149), yaitu kode sosial, kode tekstual, dan kode interpretatif. Ketiga jenis kode tersebut secara umum memiliki keterkaitan dengan tiga jenis utama pengetahuan yang diperlukan oleh penafsir teks, yaitu pengetahuan tentang dunia (kode sosial), pengetahuan tentang media dan genre (kode tekstual), dan pengetahuan tentang hubungan keduanya (penghakiman modalitas).
99
Kode persepsi dilandasi oleh prinsip-prinsip universal (atau yang sering disebut “hukum”) tentang organisasi persepsi yang dicetuskan oleh para psikolog Gestalt yang menjelaskan bagaimana seseorang menata sensasi menjadi suatu bentuk persepsi. Prinsp-prinsip itu di antaranya adalah: (a)
proximity:
fitur
yang saling berdekatan dianggap memiliki
keterkaitan satu sama lain; (b)
similarity: fitur yang memiliki kesamaan dianggap memiliki keterkaitan satu sama lain;
(c)
good continuity: kontur yang dilandasi oleh kesinambungan pola menjadi landasan untuk perubahan arah;
(d)
Closure atau good form: interpreatasi berdasarkan pada bentuk yang sempurna;
(e)
Smallness: area yang lebih kecil cenderung dilihat sebagai figur dibandingkan dengan yang lebih luas;
(f)
Symmetry: area yang simetris cenderung dilihat sebagai figur dibandingkan dengan latar belakang yang asimetris.
Prinsip-prinsip tersebut di atas yang melandasi kode persepsi dapat dijadikan sebagai tumpuan untuk menentukan kode yang mengatur koherensi, homogenitas, dan kesistematisan tanda dalam sebuah teks. Dasar pertimbangan pemanfaatan prinsip-prinsip yang dicetuskan oleh psikolog Gestalt adalah universitalitasnya dan kesederhanaan serta stabilitasnya, seperti yang diungkapkan oleh Chandler (2007:152): “all of these principles of perceptual organization sereve the overarching principle of prägnanz, which is that the simplest and most stable interpretations are favoured”.
100
2.3.4.7 Analisis semiotik dalam penerjemahan Alkitab Cobley dan Jansz (1998:25) menegaskan bahwa jika konsep tanda dari Saussure mementingkan penggabungan satu tanda dengan tanda lainnya untuk mengambil bagian dalam aliran makna maka semiotik versi Peirce mempercayai bahwa konsep penandaan memiliki dinamisme built-in. Yang dimaksud dengan konsep dinamisme ini adalah bahwa interpretan dalam triadik tanda berfungsi sebagai tanda lebih lanjut atau tanda dalam pikiran. Dalam hal ini, melalui perannya sebagai penafsir, interpretan mampu membuat asumsi tentang tanda baru atau representamen. Peristiwa ini menempatkan interpretan dalam sebuah hubungan dengan objek selanjutnya yang kemudian mengharuskan interpretan yang sudah ditransformasi menjadi tanda baru dan memiliki hubungan dengan objek baru memunculkan interpretan baru dan demikian selanjutnya. Mengacu pada hal tersebut di atas, dalam semiotik versi Peirce, interpretan memiliki peran yang sangat penting dalam pemaknaan tanda. Gagasan ini berbeda dengan konsep yang ditawarkan oleh Saussure yang justru mementingkan penggabungan satu tanda dengan tanda lainnya untuk mengambil bagian dalam aliran
makna.
Sehubungan
dengan
hal
ini,
Chandler
(2007:4)
juga
mengungkapkan fakta lain tentang penekanan semiotik versi Peirce dan versi Saussure dengan menyatakan bahwa Peirce lebih memfokuskan pembahasannya pada taksonomi logis tentang tipe tanda, dan di sisi lain, teori yang dikemukakan oleh Saussure merupakan titik awal untuk pengembangan berbagai metodologi strukturalis untuk menganalisis teks dan praktik sosial. Di lain sisi, fakta yang terungkap tentang Alkitab adalah bahwa pedoman kerohanian umat Kristiani ini merupakan kepustakaan yang terdiri atas 66 buku,
101
yaitu 39 buku Perjanjian Lama dan 27 buku Perjanjian Baru, dan Kitab Wahyu adalah kitab terakhir di dalam Perjanjian Baru. Akan tetapi, uniknya, keseluruhan kitab merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Demikian pula terkait dengan hal itu, Fruchtenbaum (2007:2) mengungkap bahwa semua simbol yang terdapat di dalam Kitab Wahyu dijelaskan di tempat lain, baik di bagian yang berbeda dari Kitab Wahyu maupun di beberapa bagian lain dari Alkitab. Jadi, Alkitab sendirilah yang akan menjelaskan makna simbol, baik dengan pernyataan langsung maupun melalui perbandingan penggunaan simbol lain, di dalam kitab suci. Mengenai hal ini ditegaskan bahwa makna simbol tidak akan ditentukan berdasarkan pada spekulasi. Mengacu pada perbandingan konsep tanda versi Saussure dan versi Peirce dan juga kesatuan unit-unit yang terdapat dalam Alkitab maka penelitian ini menerapkan kedua teori itu untuk mengungkap tipe dan makna simbol-simbol yang terdapat pada salah satu bagian Alkitab, yaitu Kitab Wahyu. Setelah proses penentuan dan pengelompokan maka simbol-simbol akan disusun berdasarkan kode yang menggambarkan posisi dan seleksi terhadapnya dalam konteks tertentu. Langkah pertama dari analisis ini ialah untuk menemukan dan menggambarkan frekuensi penggunaan simbol yang sama dalam kode tertentu dari kemunculannya. Langkah kedua adalah analisis sintagmatik, yang mencoba untuk menggambarkan hubungan simbol dengan tanda-tanda penting lainnya dalam kode yang sama. Hal ini menggambarkan dan menjelaskan bidang semantik karena simbol yang digunakan mengungkapkan aturan dan konvensi yang mendasari produksi dan interpretasi teks. Analisis sintagmatik mempelajari struktur tata bahasa atau permukaan teks. Langkah ketiga adalah analisis
102
paradigmatik yang mempelajari simbol berdasarkan pada arti dan referensinya sebagai tanda, sudah dikenal dan digunakan dalam literatur sebelumnya serta kontemporer
untuk
teks.
Analisis
paradigmatik
memanfaatkan
kamus,
ensiklopedia, komentar, dan upaya untuk menemukan makna secara umum. Mengenai hal ini, Locker (2003) menekankan perlu mengingat gagasan Ludwig Wittgenstein tentang language game bahwa bahasa dan tanda-tandanya memiliki makna hanya karena terus digunakan secara kontekstual. Jadi, tanda-tanda yang digunakan dalam konteks baru, sebagian memanfaatkan makna tanda-tanda itu sebelumnya.
2.4
Model Penelitian Model penelitian menggabarkan kajian penerjemahan simbol-simbol
verbal religi dari bahasa Inggris (atau Yunani) ke bahasa Indonesia dilakukan berdasarkan masalah penelitian yang diajukan meliputi tipe simbol, makna simbol serta proses transfer dari TSu ke TSa yang mencakup ideologi, prosedur/teknk penerjemahan serta kesepadanan.
103
Simbol-Simbol yang Diterjemahkan Secara Harfiah dalam Kitab Wahyu
Data dari Responden
Tipe-Tipe Simbol dalam Kitab Wahyu
Makna Simbol dalam Kitab Wahyu (Makna gramatikal, referensial dan emotif)
Proses Transfer TSu ke TSa (Ideologi, teknik/prosedur, dan kesepadanan)
Simbol-Simbol yang Diterjemahkan Secara Bebas dalam Kitab Wahyu
Hubungn tiga elemen tanda Peirce sesuai dengan ilustrasi Eco (1976:59). Penggolongan tipe simbol menurut Conner (1992:8) Prinsip-prinsip kode menurut Chandler (2007)
Ilustrasi kernel, Nida dan Taber (1974:39). Teori Semiotik (Analisis Sintagmatik dan Paradigmatik) Metode Mengukur Nilai Konotatif Menurut Osgood, Suci dan Tennenbaum (Nida dan Taber, 1974:95)
Taksonomi prosedur/teknik penerjemahan Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan dinamis menurut Nida (1964:165)
TEMUAN EMPIRIS TEMUAN METODOLOGIS TEMUAN TEORETIS
Gambar 2.8. Model Penelitian
Sebagai langkah awal, kategorisasi dilakukan teradap simbol-simbol verbal religi yang terdapat pada subkorpus TSu didasarkan pada teori Peirce mengenai hubungan tiga elemen tanda yang diformulasikan oleh Eco (1976) untuk kemudian digolongkan sesuai dengan tipenya berdasarkan pada kategorisasi simbol yang dikemukakan oleh Conner (1992). Langkah ini juga didukung oleh teori mengenai kode sesuai dengan taksonomi yang dikemukakan oleh Chandler
104
(2002) yang dalam hal ini adalah prinsip-prinsip yang melandasi kode persepsi untuk mengatur koherensi, homogenitas dan kesistematisan tanda dalam sebuah teks. Selanjutnya adalah proses analisis terhadap makna simbol sesuai dengan kategorinya masing-masing berdasarkan pada tiga dimensi makna yang dikemukakan oleh Nida (1964:57) yaitu makna linguistik, makna referensial, dan makna emotif. Pencarian makna linguistik atau gramatikal dilakukan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Nida dan Taber (1974:39) mengenai ilustrasi kernel terhadap satuan lingual simbol baik berupa kata, frasa, maupun klausa. Tahap berikutnya adalah analisis terhadap makna referensial dengan memanfaatkan teori semiotik yaitu dengan mengamati pola relasi antar tanda dengan menyusun perangkat analisis sintagmatik dan paradigmatik sesuai dengan pemaparan teori oleh Chandler (2007). Pencarian makna selanjutnya adalah pada dimensi emotif melalui pemanfaatan matriks berskala satu sampai 10 seperti yang dicetuskan oleh Osgood, Suci dan Tannenbaum dalam Nida dan Taber (1974). Sumber data untuk makna linguistik dan referensial diambil dari data primer, sedangkan sumber data untuk makna emotif diambil dari sumber data sekunder. Mengacu pada hasil analisis makna, proses selanjutnya adalah analisis yang menyangkut proses transfer dari TSu ke TSa yang meliputi ideologi, strategi penerjemahan yang terdiri dari metode dan prosedur/teknik serta kesepadanan baik formal untuk terjemahan harfiah dan dinamis untuk penerjemahan bebas. Penjelasan mengenai ideologi dalam penerjemahan Alkitab khususnya simbol yang terdapat pada kitab Wahyu dijelaskan berdasarkan beberapa pandangan teoretis seperti yang dikemukakan oleh Bassnett dan Lefevere (1992), Nord dalam
105
Yan (2005) serta Venuti (1995). Sehubungan dengan strategi penerjemahan yang meliputi metode dan prosedur/teknik penerjemahan dianalisis berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Newmark (1988) serta Molina dan Albir (2002). Khusus mengenai prosedur/teknik penerjemahan, dianalisis berdasarkan pada taksonomi yang khusus diformulasi dalam penelitian ini sesuai dengan klasifikasi yang dikemukakan oleh Molina dan Albir (2005) dengan memanfaatkan alur pikiran Vinay dan Dalbernet (1958). Proses terakhir adalah analisis pada tataran kesepadanan antara TSu dan TSa yang dilakukan dengan memanfaatkan hasil analisis yang dilakukan sebelumnya baik secara makna dan proses transfer sesuai dengan teori kesepadanan yang dikemukakan oleh Nida (1964) menyangkut prinsip-prinsip kesepadanan formal dan dinamis. Kesepadanan yang pertama diterapkan pada produk harfiah sedangkan yang berikutnya diterapkan pada produk terjemahan bebas.
Penjabaran Model Penelitian: = Hubungan simetris antara variabel-variabel dalam kedudukan
yang
sejajar
yang
tidak
saling
memengaruhi satu dengan yang lain. = Hubungan kausal (saling memengaruhi) antara fokus masalah penelitian dengan teori
yang
digunakan untuk menganalisis masalah. = Hubungan kausal (sebab akibat) antara fokus permasalahan yang satu dengan yang lain dan antara teori yang satu dengan yang lain.