BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian yang sistematik dan relevan dari fakta serta hasil penelitian sebelumnya. Kajian pustaka bersifat mutakhir yang memuat teori, proposisi, konsep, atau pendekatan terbaru yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan (Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis, dan Disertasi Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2010:11). Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pengarang pada Rabu, 12 September 2012, pengarang mengatakan bahwa teks KRPM merupakan naskah yang belum pernah dikaji dan diteliti oleh para peneliti. Kajian pustaka yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini, sebagai berikut. Artikel penelitian yang berjudul Wacana Sangkan-Paran Dalam Kakawin Aji Palayon: Sebuah Analisis Semiotik, karya Suarka (2009) yang dimuat di jurnal Linguistika September 2009 Volume 16, No. 31 menjadi acuan penulis dalam mengetahui perjalanan jiwa setelah kematian. Penelitian ini menguraikan tentang Kakawin Aji Palayon merupakan kakawin yang memadukan konsepsi religi dan keindahan. Berbagai tataran sistem tanda dalam Kakawin Aji Palayon, baik verbal maupun nonverbal, menuntut berbagai tataran pembacaan. Dengan mengikuti tataran baca utama sang Atma menuju ke asalnya, yakni Paramatma untuk menunggal dengan-Nya. Wacana ”Sangkan-Paran” Dalam Kakawin Aji
Palayon bermakna segala keberadaan akan berakhir dengan kelenyapan. Kehidupan berakhir dengan kematian (palayon). Segala sesuatu akan menuju suatu (paran) dan kembali ke asalnya (sangkan). Raga (mikrokosmos) akan mati dan kembali ke alam semesta (makrokosmos). Meskipun jiwa (atma) tidak mati, tetapi jiwa (atma) juga kembali dan menyatu dengan asalnya, yakni Paramatma. Hasil penelitian ini, dibahas dari segi pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik, matriks dan model: sangkan dan paran, dan hipogram (hipogram Potensial dan hipogram Aktual). Hasil penelitian karya Suarka ini menekankan pada penjelasan mengenai perjalanan jiwa atau atma (sebagai tokoh utama) menuju ke asalnya secara umum yang disebut dengan kematian. Buku Jñānasiddhânta, karya Haryati Soebadio (1985), diterbitkan oleh Penerbit Djambatan. Buku ini membahas tentang pembebasan jiwa (kamoksan) yaitu penyatuan jiwa dengan Dhat Tertinggi (Tuhan) yang disebut juga dengan kematian. Dhat Tertinggi dalam buku ini dilambangkan dengan OM (Ongkara). Dibahas pula tentang kemanunggalan Siwa dan Bhuddha, ajaran tentang yoga, mudra, analog tubuh, dan semesta serta konsep-konsep kemanunggalan. Buku ini dijadikan acuan karena sejalan dengan pengkajian wacana puja bhakti dalam KRPM tentang kamoksan atau kelepasan (penyatuan jiwa Sang Dyah Dewi Siti Marum dengan Sang pencipta atau Tuhan). Buku Kebudayaan Jawa, karya Koentjaraningrat (1994) dicetak oleh Balai Pustaka Jakarta. Buku ini membahas tentang sejarah, sistem kemasyarakatan, religi, upacara, kesenian, dan kesusastraannya hingga kehidupan ekonomi dan politik. Buku ini dijadikan acuan dalam memahami kebudayaan Jawa terutama
mengenai religi (upacara kematian) sehingga memudahkan dalam menganalisis upacara kematian menurut kebudayaan Jawa, mengingat pelaksanaan upacara kematian tokoh utama dalam teks KRPM dilakukan sesuai dengan kebudayaan Jawa.
2.2 Konsep Konsep merupakan unsur pokok suatu penelitian (Koentjaraningrat, 1986:21). Pada bagian ini diuraikan beberapa konsep dasar yang berhubungan dengan penelitian, yaitu: (1) konsep KRPM; (2) konsep puja bhakti; dan (3) konsep upacara pelepasan.
2.2.1 Kakawin Rāja Patni Mokta Istilah kakawin berasal dari kata Sanskerta, yakni kata kawi. Pada mulanya, dalam bahasa Sanskerta, kata kawi berarti ”seseorang yang mempunyai pengertian luar biasa, seseorang yang dapat melihat hari depan, orang bijak”. Namun, dalam sastra Sanskerta klasik, istilah kawi mempunyai arti yang khas, yakni ”penyair”. Kata kawi yang berarti ”penyair”, ini kemudian diserap ke dalam bahasa Jawa Kuno. Kata kawi itu mengalami afiksasi, yaitu mendapat tambahan prefiks ka- dan sufik –ěn. Selanjutnya, vokal ě pada sufik –ěn luluh karena mengalami persandian dengan vokal i pada kata kawi sehingga terbentuk kata kakawin, yang berarti ”karya seorang penyair, syairnya” (Zoetmulder, 1985:119). Rāja mempunyai arti raja, yang berkuasa, pemimpin (Zoetmulder, 2011:904). Patni dalam bahasa Jawa Kuna artinya istri, nyonya (rumah) (Zoetmulder,
2011:796). Mokta dalam bahasa Jawa Kuna mempunyai arti mencapai kelepasan, mati, almarhum (Zoetmulder, 2011:672). Jadi, Kakawin Rāja Patni Mokta diartikan sebagai kakawin yang menceritakan tentang wafatnya seorang istri raja, yaitu Sang Dyah Dewi Siti Marum.
2.2.2 Puja Bhakti Secara harfiah kata puja bhakti dalam bahasa Jawa Kuna mempunyai arti puja yang berarti penghormatan (Zoetmulder, 2011:870) dan bhakti artinya pernyataan hormat (Zoetmulder, 2011:98). Dalam hal ini puja bhakti dapat diartikan sebagai penghormatan. Penghormatan adalah proses, cara, perbuatan menghormati; pemberian hormat (Alwi, 2005:408). Penghormatan yang dimaksudkan dalam KRPM, yaitu cara menghormati mendiang Sang Dyah Dewi Siti Marum yang telah meninggal menuju ke akhirat. Kepergian beliau memberikan duka yang mendalam bagi keluarga kerajaan, pejabat kerajaan, rakyat dalam kerajaan hingga kerajaan tetangga. Hal itu, karena Sang Dyah Dewi Siti Marum terkenal berbudi luhur, berjasa dalam memimpin dan selalu menyejahterakan rakyat. Maka, untuk mengenang kepergian beliau, keluarga kerajaan, pejabat kerajaan dan rakyat memberikan pujian dan doa agar perjalanan beliau menuju akhirat berjalan lancar.
2.2.3 Upacara Pelepasan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, upacara mempunyai pengertian rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat
atau agama (Alwi, 2005:1250). Pelepasan (Alwi, 2005:663) mempunyai arti proses, cara, perbuatan melepas(kan). Jadi, upacara pelepasan yang dimaksudkan dalam KRPM yaitu rangkaian perbuatan (upacara) yang dilakukan dalam melepas ikatan atau hubungan lahir dan batin antara mendiang Sang Dyah Dewi Siti Marum dengan keluarga dan orang-orang yang ditinggalkannya.
2.3 Landasan Teori Dalam penelitian ini digunakan teori semiotika dan teori sosiologi sastra untuk dijadikan pijakan dalam menganalisis ”Wacana Puja Bhakti dalam KRPM”. Adapun landasan teori diuraikan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Semiotika Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani ’semeion’ yang berarti ’tanda’, atau ’seme’ yang berarti penafsiran tanda (Cobley dan Jansz dalam Kaelan, 2009:162). Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi
oleh
tanda,
dengan
perantaraan
tanda-tanda,
manusia
dapat
berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia (Ratna, 2004:97). Semiotika adalah ilmu tanda yaitu metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang di pakai dalam upaya mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Tanda terletak di mana-
mana, kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Tanda dalam pengertian ini bukanlah hanya sekadar harfiah melainkan lebih luas, misalnya struktur karya sastra, struktur film, bangunan, nyanyian burung, dan segala sesuatu dapat dianggap sebagai tanda dalam kehidupan manusia (Sudjiman dan Aart Van Zoest, 1992:vii). Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa maka huruf, kata, frasa, klausa dan kalimat tidak pernah memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam hubungannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakannya (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan (Kaelan, 2009:162). Peirce mengemukakan bahwa kata semiotika sebagai sinonim kata logika. Menurut Peirce, logika mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran menurut hipotesis teori Peirce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan seseorang berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Sudjiman dan Aart Van Zoest, 1992:1--5). Selain itu, menurut Pierce ada tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan, yaitu: (1) ikon yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Misalnya, foto dengan orang yang difoto; (2) indeks yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal
dengan apa yang ditandakan. Misalnya, asap menandakan adanya api; dan (3) simbol yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbriter, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Misalnya, bendera putih sebagai simbol ada kematian (Endraswara, 2008:64--65). Penelitian ini lebih mengarah pada teori semiotika oleh Carles Sanders Peirce dan digunakan untuk mengungkap bentuk dan makna wacana puja bhakti dalam KRPM. Teori ini juga dapat membantu menjelaskan berbagai hal utamanya gejala budaya yang melibatkan proses penafsiran.
2.3.2 Teori Sosiologi Sastra Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya. Menurut Laurenson dan Swingewood (dalam Endraswara, 2008:77-79) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang didalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan; (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya; dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. Damono (1984:2), sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan
segi-segi
kemasyarakatan.
Dasar
filosofi
pendekatan
sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.
Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: (a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang; (b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat; (c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat; dan (d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Ratna, 2004:60). Kemudian, Wellek dan Warren (dalam Damono, 1984:3) membuat klasifikasi yang singkat mengenai sosiologi sastra, seperti: (1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, idiologi sosial dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra; (2) sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya; dan (3) sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Penelitian ini mengacu pada teori yang diungkapkan Wellek dan Werren dengan tiga klasifikasinya terhadap sosiologi sastra. Mengkaji karya sastra dengan melihat unsur-unsur sosial yang tersirat serta tersurat dalam teks dengan tidak melupakan pengarang dan menghubungkannya dengan keadaan sosial zaman tersebut. Dalam Penelitian ini, teori sosiologi sastra digunakan untuk mengungkapkan fungsi wacana puja bhakti dalam KRPM.
2.4 Model Penelitian
Kesusastraan Jawa Kuno di Bali
Metode Kualitatif Metode Hermeneutika
Kakawin Rāja Patni Mokta
Bentuk Wacana Puja Bhakti dalam KRPM
Fungsi Wacana Puja Bhakti dalam KRPM
Teori Semiotika Teori Sosiologi Sastra
Makna Wacana Puja Bhakti dalam KRPM
Keterangan Model Penelitian
Merupakan teori dan metode yang dipakai dalam penelitian
Merupakan objek penelitian Merupakan hasil penelitian Merupakan garis penghubung dari penjelasan mengenai keberadaan kesusastraan Jawa Kuno di Bali dan hasil kesusastraan Jawa Kuno berupa kakawin ke objek penelitian Merupakan garis penghubung teori ke objek penelitian Merupakan garis penghubung metode ke objek penelitian Merupakan garis penghubung objek penelitian ke hasil penelitian
Dari model penelitian di atas dapat dijelaskan bahwa, kesusastraan Jawa Kuno pernah berkembang di Jawa pada abad IX sampai abad XV dan disebutkan Bali merupakan tempat penyelamatan kesusastraan Jawa Kuno sampai hari ini (Zoetmulder, 1985:24--25). Salah satu hasil kesusastraan Jawa Kuno yaitu kakawin. Kakawin yang dijadikan objek dalam penelitian ini berjudul Kakawin Rāja Patni Mokta yang disingkat dengan KRPM. KRPM yang merupakan objek penelitian ini diteliti dengan menggunakan teori semiotika dan teori sosiologi sastra. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif dan metode Hermeneutika. Teori dan metode tersebut digunakan untuk mendapatkan wacana puja bhakti dalam KRPM. Wacana tersebut berupa bentuk, fungsi, dan makna puja bhakti dalam KRPM.