62
BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Kajian Teori
1. Lanjut Usia a. Pengertian lanjut usia Lanjut usia (Lansia) adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu, pada lansia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Darmojo, 2004). Sedangkan menurut Hardywinoto dan Setiabudhi (1998) kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Menurut Setyonegoro yang dikutip oleh kadir (2007) usia lanjut dikelompokkan sebagai berikut (a) usia dewasa muda (elderly adulhood), yaitu antara usia 18/19 tahun sampai 25 tahun, (b) usia dewasa penuh (middle years) yaitu antara usia 25 tahun sampai 60/65 tahun, (c) usia lanjut (geriatric age), yaitu usia 65 tahun sampai 70 tahun yang dibagi dalam usia 70 tahun sampai 75 tahun (young old), usia antara 75 tahun sampai 80 tahun (old), usia lebih dari 80 tahun (very old). Penuaan pada lansia, memungkinkan terjadinya penurunan anatomis dan fungsional yang sangat besar. Andrea dan Tobin (peneliti), memperkenalkan “Hukum 1%”, yang menyatakan bahwa fungsi organ akan mengalami penurunan sebanyak 1% setiap tahunnya setelah usia 30 tahun (Martono, 2004). Pada lansia sering dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan gerak dan fungsi. Menurut Kamso yang dikutip oleh Zuhdi (2000), pada lansia terjadi penurunan kekuatan sebesar 88%, fungsi 11
12
pendengaran 67%, pengelihatan 72%, daya ingat 61%, serta kelenturan tubuh yang menurun sebesar 64%. Permasalahan yang muncul pada lansia dapat disebabkan karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi akibat proses penuaan antara lain: b. Perubahan fisiologi lanjut usia 1) Sistem panca-indera Lansia yang mengalami penurunan persepsi sensoris akan terdapat kesenggangan untuk bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indera yang dimiliki seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensoris. a. Pengelihatan Semakin bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi disekitar kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan di antara iris dan sclera. Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya ditemukan pada lansia. Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi pupil akibat penuaan dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata, yaitu katarak(Suhartin, 2010). Hal ini akan berdampak pada penurunan kemampuan sistem visual dari indera penglihatan yang berfungsi sebagai pemberi informasi ke susunan saraf pusat tentang posisi dan letak tubuh terhadap lingkungan di sekitar dan antar bagian tubuh sehingga tubuh dapat mempertahankan posisinya agar tetap tegak dan tidak jatuh. b. Pendengaran Penurunan pendengaran merupakan kondisi secara dramatis dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Kehalangan pendengaran pada lansia disebut dengan presbikusis. Presbikusis
13
merupakan perubahan yang terjadi pada pendengaran akibat proses penuaan yaitu telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural, hal ini terjadi karena telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan pendengaran secara bertahap. Ketidakmampuan untuk mendeteksi suara dengan frekuensi tinggi (Chaccione, 2005). Telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran timfani, pengapuran dari tulang pendengaran, lemah dan kakunya otot dan ligamen. Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi pada suara (Miller, 2009). Pada telinga bagian luar terjadi perpanjangan dan penebalan rambut, kulit menjadi lebih tipis dan kering serta terjadi peningkatan keratin. Implikasi dari hal ini adalah potensial terbentuk serumen sehingga berdampak pada gangguan konduksi suara (Miller, 2009). Penuruan kemampuan telinga seperti diatas dapat berdampak pula terhadap komponen vestibular yang terletak di telinga bagian dalam. Komponen vestibular ini berperan sangat penting terhadap keseimbangan tubuh. Saat posisi kepala berubah maka komponen vestibular akan merespon perubahan tesebut dan mempertahakan posisi tubuh agar tetap tegak. c. Perabaan Pada
lansia
terjadi
penurunan
kemampuan
dalam
mempersepsikan rasapada kulit, ini terjadi karena penurunan korpus free nerve ending pada kulit. Rasatersebut berbeda untuk setiap bagian tubuh sehingga terjadi penurunan dalammerasakan tekanan, raba panas dan dingin. Gangguan pada indera peraba tentunyaberpengaruh pada sistem somatosensoris.Somatosensoris adalah reseptor pada kulit, subkutan telapak kaki danpropioceptor pada otot, tendon dan sendi yang memberikan informasi
14
tentangkekuatan otot, ketegangan otot, kontraksi otot dan juga nyeri, suhu, tekanan danposisi sendi. Pada lansia dengan semakin menurunnya kemampuan akibat faktordegenerasi maka informasi yang digunakan dalam menjaga posisi tubuh yangdidapat dari tungkai,
panggul,
punggung
dan
leher
akan
menurun
(Chaitow,2005). Hal ini berdampak pada keseimbangan yang akan terganggu akibat dari penurunan implus somatosensoris ke susunan saraf pusat. 2) Sistem muskuloskeletal a. Otot Pada umumnya seseorang yang mulai tua akan berefek pada menurunnya aktivitas
kemampuan
akan
mengakibatkan
aktivitas.
menyebabkan kesuliatan
Penurunan
kelemahan untuk
serta
kemampuan atrofi
mempertahankan
dan serta
menyelesaikan suatu aktivitas rutin pada individu tersebut. Perubahan pada otot inilah yang menjadi fokus dalam penurunan keseimbangan
berkaitan
dengan
kondisi
lansia.
Menurut
Lumbantobing (2005) perubahan yang jelas pada sistem otot lansia adalah berkurangnya massa otot. Penurunan massa otot ini lebih disebabkan oleh atrofi. Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik atau denervasi saraf (Martono, 2004). Perubahan ini akan menyebabkan laju metabolik basal dan laju konsumsi oksigen maksimal berkurang (Taslim, 2001). Otot menjadi lebih mudah capek dan kecepatan kontraksi akan melambat. Selain dijumpai penurunan massa otot, juga dijumpai berkurangnya rasio otot dengan jaringan lemak. Akibatnya otot akan berkurang kemampuannya sehingga dapat mempengaruhi postur. Perubahan-perubahan yang timbul pada sistem otot lebih disebabkan oleh disuse. Lansia yang aktif
15
sepanjang umurnya, cenderung lebih dapat mempertahankan massa otot, kekuatan otot dan koordinasi dibanding mereka yang hidupnya santai (Rubenstein, 2006). Tetapi harus diingat bahwa olahraga yang sangat rutin pun tidak dapat mencegah secara sempurna proses penurunan massa otot (Lumbatobing, 2005). Permasalahan yang terjadi pada lansia biasa sangat terlihat pada menurunnya kekuatan grup otot besar. Otot-otot pada batang tubuh (trunk) akan berkurang kemampuannya dalam menjaga tubuh agar tetap tegak. Respon dari otot-otot postural dalam mempertahankan postur tubuh juga menurun. Respon otot postural menjadi kurang sinergis saat bekerja mempertahankan posisi akibat adanya perubahan posisi, gravitasi, titik tumpu, serta aligmen tubuh. Pada otot pinggul (gluteal) dan otot-otot pada tungkai seperti grup otot quadriceps, hamstring, gastrocnemius dan tibialis mengalami penurunan kemampuan berupa cepat lelah, turunnya kemampuan, dan adanya atrofi yang berakibat daya topang tubuh akan menurun dan keseimbangan mudah goyah. b. Tulang Pada lansia dijumpai proses kehilangan massa tulang dan kandungan kalsium tubuh, serta perlambatan remodeling dari tulang. Massa tulang akan mencapai puncak pada pertengahan usia dua puluhan (di bawah usia 30 tahun). Penurunan massa tulang lebih dipercepat pada wanita pasca menopause. Sama halnya dengan sistem otot, proses penurunan massa tulang ini sebagai disebabkan oleh faktor usia dan disuse (Wilk, 2009). Dengan bertambahannya usia, perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon estrogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekular menjadi lebih berongga, mikroarsitekur berubah dan sering patah baik akibat benturan ringan maupun spotan (Martono,
16
2004). Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya resiko osteoporosis dan fraktur (Suhartin, 2010). c. Perubahan postur Perubahan postur meningkatkan sejalan dengan pertambahan usia. Hal itu dapat dihubungkan dengan keseimbangan dan resiko jatuh. Gangguan keseimbangan lansia disebakan oleh degenerasi progresif mekanoreseptor sendi intervertebra. Degenerasi karena peradangan atau trauma pada vertebra dapat menggangu afferent feedback ke saraf pusat yang berguna untuk stabilitas postural. Banyak perubahan yang terjadi pada vertebra lansia, seperti spondilosis servikal yang dimana 80% ditemukan pada orang berusia 55 tahun keatas. Hal itu berpengaruh terhadap penurunan stabilitas dan fleksibilitas pada postur (Pudjiastuti, 2003). Perubahan yang paling banyak terjadi pada vertebra lansia meliputi kepala condong ke depan (kifosis servikal), peningkatan kurva kifosis torakalis, kurva lumbal mendatar (kifosis lumbalis), penurunan ketebalan diskus intervertebralis sehingga tinggi badan menjadi berkurang. Kepala yang condong ke depan seringkali diartikan tidak normal, tetapi dapat dikatakan normal apabila hal itu merupakan kompensasi dari perubahan postur yang lain. Kurva skoliosis dapat
timbul pada lansia karena perubahan vertebra,
ketidakseimbangan otot erctor spine dan kebiasaan atau aktivitas yang salah (Pudjiastuti, 2003). Pada anggota gerak, variasi perubahan postur yang paling banyak adalah protraksi bahu dan sedikit fleksi sendi siku, sendi panggul dan lutut. Adanya perubahan permukaan dan kapsul sendi, akan mengakibatkan kecacatan varus atau valgus dapat sendi panggul, lutut atau pergelangan kaki. Perubahan yang terjadi pada sistem saraf dan tulang memungkinkan terjadinya penurunan kontrol terhadap postural secara statis. Selanjutnya, perubahan otot, jaringan pengikat dan kulit dapat mempengaruhi perubahan postur.
17
Adanya trauma, gaya hidup atau kebiasaan memakai sepatu hak tinggi juga memberi kontribusi pada percepatan perubahan postur lansia. Perubahan postur ini tentunya akan berpengaruh pada keseimbangan saat berdiri karena pusat gravitasi pada tubuh juga turut berubah. 3) Sistem persarafan a. Saraf pusat Menurut Martono (2004) pada lansia akan terjadi penurunan berat otak sebesar 10%. Berat otak 350 gram pada saat kelahiran, kemudian meningkatkan menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun, berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100 juta sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf pusat. Pada penuaan, otak kehilangan 100.000 neuron/tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam. Terjadi atrofi cerebal (berat otak menurun 10%) antar usia 30-70 tahun. Secara berangsurangsur tonjolan dendrit di neuron hilang disusul membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dan lisosom atau mitokondria (Suhartin, 2010). b. Saraf perifer Saraf perifer tepi adalah jaringan saraf untuk semua gerakan (saraf motorik) dan sensasi (saraf sensoris). Jaringan saraf ini berhubungan dengan sistem sarat pusat (SSP) melalui batang otak dan pada beberapa tempat sepanjang kord spinal. Ia menuju berbagai bagian tubuh. Saraf perifer membentukkomunikasi antara otak dan organ, pembuluh darah, otot dan kulit. Perintah otak akan
18
dihantarkan oleh saraf motor, dan informasi dihantar kembali ke otak oleh saraf sensori. Penuaan menyebabkan penurunan presepsi sensorik dan respon motorik pada susunan SSP. Hal ini terjadi karena SSP pada usia lanjut usia mengalami perubahan. Berat otak pada lansia berkurang berkaitan dengan berkurangnya kandungan protein dan lemak pada otak sehingga otak menjadi lebih ringan. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak mengalami kematian, sedang yang hidup banyak mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antar sel. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10% sehingga gerakan menjadi lambat. Akson dalam medula spinalis menurun 37%. Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan waktu reaksi (Sherwood, 2009). Perubahan
dalam
sistem
neurologis
dapat
termasuk
kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 105 kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Secara fungsional terdapat suatu perlambat reflek tendon, terdapat kecenderungan kearah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau gaya berjalan dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya gerakan yang sesuai. Waktu reaksi menjadi lebih lambat, dengan penurunan atau hilangnya hentakan pergelangan kaki dan pengurangan reflek lutut, bisep dan trisep terutama karena pengurangan
dendrit
dan
perubahan
pada
sinaps,
yang
tentunya
akan
memperlambat konduksi (Suhartin, 2010). Dengan
adanya
perubahan
tersebut
berpengaruh pada keadaan postural dan kemampuan lansia dalam menjaga keseimbangan tubuhnya terhadap bidang tumpu. Kondisi penurunan kemampuan visual, vestibular dan somatosensoris tentunya akan memperburuk keseimbangan pada lansia. Tubuh
19
akan mengalami gangguan dalam mempersepsikan base of support atau landasan tempat berpijak. Kondisi muskuloskeletal yang mengalami penurunan juga berpengaruh pada keseimbangan otot dan postural. Perubahan postur tersebut berpengaruh pada perubahan Center of Gravity (COG) tubuh terhadap bidang tumpu. Otot-otot baik ekstremitas bawah maupun atas akan mengalami penurunan kekuatan. Akibat dari keadaan tersebut lansia sering mengalami gangguan keseimbangan saat berdiri maupun saat beraktivitas dan rentan untuk jatuh. 4) Keseimbangan a. Definisi keseimbangan Keseimbangan
merupakan
kemampuan
untuk
mempertahankan keadaan yang setimbang pada pusat gravitasi atas bidang tumpu, biasanya ketika dalam posisi tegak dan pada berbagai posisi. Menurut Delitto (2003), keseimbangan merupakan kemampuan untuk mempertahankan equilibrium statis dan dinamis tubuh ketika ditempatkan pada berbagai posisi. Menurut Suhartono (2005), keseimbangan merupakan suatu pengaturan yang kompleks untuk mempertahankan posisi tubuh terhadap aktivitas tubuh yang disadari dan merespon terhadap perubahan dari luar. Dengan kata lain keseimbangan juga bisa diartikan sebagai kemampuan relatif untuk mengontrol dan mempertahankan pusat massa tubuh (center of body mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support) dengan mengunakan aktivitas otot yang minimal. Keseimbangan statis adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dengan center of gravity (COG) tidak berubah. Keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dengan center of gravity (COG) berubah
(Abrahamova,
2008).
Menurut
Permana
(2012),
keseimbangan statis merupakan keseimbangan yang diperlukan seseorang untuk mempertahankan posisi tertentu, sedangkan
20
keseimbangan dinamis adalah kemampuan tubuh dalam menjaga keseimbangan saat melakukan gerakan atau aktivitas seperti berjalan dan berlari. Keseimbangan berfungsi untuk bergerak, mengidentifikasi orientasi dengan terhadap gravitasi, menentukan arah dan kecepatan gerakan, dan membuat otomatis penyesuaian postural untuk mempertahankan postur dan stabilitas di berbagai kondisi dan kegiatan (Cook, 2001). Derajat stabilitas tubuh terhadap bidang tumpu dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu (1) ketinggian dari titik pusat gravitasi dengan bidang tumpu, (2) ukuran luas bidang tumpu, (3) posisi garis gravitasi dengan bidang tumpu dan (4) berat badan. Dalam mempertahankan keseimbangan dibutuhkan interaksi yang kompleks dari integrasi sistem sensorik (visual, vestibular, dan somatosensoris termasuk proprioceptif) dan sensomotorik (muskuloskeletal, otot, sendi jaringan lunak) yang keseluruhan kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh internal dan eksternal tubuh. Bagian otak yang mengatur meliputi, basal ganglia, cerebellum, area assosiasi (Batson, 2009). Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh dengan didukung oleh sistem muskuloskeletal dan bidang tumpu. Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efesien. b. Mekanisme Neurofisiologi Keseimbangan Terdapat beberapa komponen fisiologis tubuh manusia untuk melakukan reaksi keseimbangan. Bagian paling penting menjaga keseimbangan dengan merasakan posisi bagian sendi atau tubuh saat bergerak adalah proprioseptif yang menjaga keseimbangan. Kemampuan untuk merasakan posisi bagian sendi atau tubuh dalam gerak (Brown et al., 2006).
21
Keseimbangan terbentuk melalui 3 proses utama dimulai dari input sensoris, integrasi dari sensoris, dan output motoris. Keseimbangan normal membutuhkan kontrol dari gravitasi untuk menjaga postur dan percepatan. Percepatan dihasilkan dari dalam tubuh akibat gerakan volunter atau dari luar sebagai akibat dari gangguan tak terduga (Felix, 2006). Keseimbangan diperlukan koordinasi dari tiga sistem, yaitu sebagai berikut: 1) Sistem saraf menyediakan proses sensoris untuk persepsi tubuh melalui sistem visual, vestibular dan somatosensoris. 2) Muskuloskeletal sistem meliputi postural alligment, fleksibilitas otot seperti range of motion, integritas sendi dan muscle performance. 3) Contextual effect terbagi atas dua sistem yaitu sistem lingkungan baik terbuka maupun tertutup, efek gravitasi, tekanan pada tubuh dan berbagai gerakan. Elemen-elemen diatas sangat penting untuk menjaga keseimbangan tubuh dalam keadaan statis maupun dinamis. Dalam mempertahankan keseimbangan postural membutuhkan kerja sama dan interaksi dari tiga komponen kontrol postural, yaitu sistem sensori
perifer
somatosensoris
meliputi (taktil
dan
sistem
visual,
propioseptif)
vestibular
yang
dan
memberikan
informasi secara berkelanjutan tentang posisi dan gerakan dari seluruh bagian tubuh yang dibutuhkan dalam mempertahankan keseimbangan postural (Kisner, 2010). Sistem Vestibular Sistem vestibular berperan penting dalam keseimbangan, gerakan kepala, dan gerak bola mata. Sistem vestibular meliputi organ-organ
bagian
telinga
dalam
yaitu
telinga
kanalis
semisirkularis dan organ otolit (utrikulus dan sakulus). Kanalis semisirkularis merasakan putaran kepala dan organ otolit merasakan percepatan linier pada kepala. Utrikulus berfungsi
22
mengisyaratkan posisi kepala relatif terhadap gravitasi. Sakulus bereaksi pada percepatan linier. Sakulus memberikan reaksi terhadap percepatan vertikal tingkat tinggi yang menimbulkan respon motorik yang dibutuhkan untuk merespon gerakan secara optimal sewaktu terjatuh (Jafek, 2005). Gangguan fungsi vestibular dapat menyebabkan vertigo atau gangguan keseimbangan. Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan disekitarnya tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibular di labirin, organ visual dan proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu (Silverthrone, 2010). Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan perpindahan cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel rambut akan menekuk. Tekukan silia menyebabkan permeabilitas membran sel berubah, sehingga ion kalsium akan masuk ke dalam sel yang menyebabkan terjadinya proses depolarisasi dan akan merangsang penglepasan neurotransmitter eksitator diteruskan melalui saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang terletak di batang otak (brain stem). Beberapa stimulus tidak menuju langsung ke nukleus vestibular tetapi ke serebelum, formatio retikularis, thalamus dan korteks serebri. Sewaktu berkas silia terdorong ke arah berlawanan, maka terjadi hiperpolarisasi. Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, formasi (gabungan retikular), dan serebelum. Hasil dari nukleus vestibular di salurkan menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal, otot pada leher dan otot-otot punggung (otototot postural). Sistem vestibular
bereaksi
sangat
cepat
sehingga
membantu
mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural (Watson et al., 2008).
23
Sistem Visual Mata adalah organ visual mempunyai tugas penting bagi kehidupan manusia yaitu memberi informasi kepada otak tentang posisi tubuh terhadap lingkungan berdasarkan sudut dan jarak dengan objek sekitarnya. Dengan input visual, maka tubuh manusia dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dilingkungan sehingga sistem visual langsung memberikan informasi ke otak, kemudian otak memerikan informasi agar sistem muskuloskeletal dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh (Kolb, 2011). Somatosensori Sistem Somatosensori mempunyai beberapa neuron yang panjang dan saling berhubungan satu sama lainnya yang mana sistem somatosensori memiliki tiga neuron yang panjang yaitu : primer, sekunder dan tersier (Hanes, 2006). Sistem somatosensori terdiri dari reseptor sensori dan motorik (aferen) neuron di pinggiran (kulit, otot dan organ-organ misalnya), ke neuron yang lebih dalam dari sistem saraf pusat. Sistem somatosensori adalah sistem sensorik yang beragam yang terdiri dari reseptor dan pusat pengolahan untuk menghasilkan modalitas sensorik seperti sentuhan,
temperatur,
proprioception
(posisi
tubuh),
dan
nociception (nyeri). Reseptor sensorik menutupi kulit dan epitel, otot rangka, tulang dan sendi, organ, dan sistem kardiovaskular. Informasi proprioseptif disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan thalamus (Horak, 2006). Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indera dalam dan sekitar sendi. Alat indera tersebut adalah ujung-ujung
24
saraf yang beradaptasi lambat di sinovial dan ligamentum. Impuls dari alat indera ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang (Sezler, 2006). Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Keseimbangan dipengaruhi oleh banyak faktor yang terdiri dari pusat COG, garis gravitasi, bidang tumpu (base of support) dan kekuatan otot sehingga dipengaruhi dari kematangan dan pertumbuhan pada komponen yang terdapat individu. 1) Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG) Pusat gravitasi merupakan titik gravitasi yang terdapat pada semua benda baik benda hidup maupun mati, titik pusat gravitasi terdapat pada titik tengah benda tersebut, fungsi dari Center of gravity adalah untuk mendistribusikan massa benda secara merata, pada manusia beban tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Tetapi jika terjadi perubahan postur tubuh maka titik pusat gravitasi pun berubah, maka akan menyebabkan gangguan keseimbangan (unstable). Titik pusat gravitasi selalu berpindah secara otomatis sesuai dengan arah atau perubahan berat, jika center of gravity terletak di dalam dan tepat ditengah maka tubuh akan seimbang, jika berada diluar tubuh maka akan erjadi keadaan unstable. Pada manusia pusat gravitasi saat berdiri tegak terdapat pada satu inchi di depan vertebra sacrum dua (Bishop, 2009). 2) Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG) Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi. Derajat stabilitas tubuh ditentukan oleh hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan base of support (Huxam, 2005). 3) Bidang tumpu (Base of Support-BOS)
25
Base of Support (BOS) merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Chang, 2009). 4) Kekuatan otot (Muscle Strength) Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau group otot menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun secara statis. Kekuatan otot dihasilkan oleh kontraksi otot yang maksimal. Otot yang kuat merupakan otot yang dapat berkontraksi dan rileksasi dengan baik, jika otot kuat maka keseimbangan dan aktivitas sehari-hari dapat berjalan dengan baik seperti berjalan, lari, bekerja ke kantor, dan lain sebagainya. Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara terus menerus mempengaruhi posisi tubuh (Knudson, 2007). Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan adalah kognitif. Kognitif berpengaruh langsung pada kemampuan motorik seseorang. Kemampuan motorik yang di maksud dapat berupa koordinasi, dexterity, agility dan keseimbangan (Thomas, 2012). Pendapat tersebut diperkuat dalam hasil penelitian tentang keseimbangan yang menyatakan bahwa latihan kognitif dapat meningkatkan keseimbangan dan mengurangi resiko jatuh
26
(Bowers, 2010). Kognitif dapat meningkat bila seseorang melakukan aktivitas fisik secara teratur. Aktivitas fisik langsung dapat menstimulasi otak dan meningkatkan protein di otak yang disebut Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNFD). Protein BDNF ini berperan penting menjaga sel saraf tetap bugar dan sehat serta berperan terhadap fungsi memori pada otak. Kadar BDNF yang rendah dapat menyebabkan penurunan daya hantar antar saraf sehingga gerak menjadi lambat. Semakin banyak lansia melakukan aktivitas fisik akan mengaktifkan peningkatan protein BDNF pada otak sehingga daya hantar saraf mengalami peningkatan dan akan meningkatkan waktu reaksi, kognitif dan reflek yang akan mempengaruhi keseimbangan (Turana,2013). Keseimbangan
dinamis
perlu
untuk
dijaga
dan
dioptimalkan kemampuannya. Hal ini karena saat melakukan aktivitas sehari-hari keseimbangan dinamis sangat berperan penting dalam menjaga posisi tubuh agar tetap tegak dan akan tercipta koordinasi gerakan yang baik dan terarah. Menurut Sudarsono (2006), keseimbangan dinamis sangat penting dalam kehidupan sehari-hari karena dapat mencegah seseorang terjatuh, baik ketika jalan, bangkit dari duduk, naikturun tangga serta saat berjalan pada permukaan yang tidak rata. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa kemampuan fungsional seperti jalan cepat, perubahan langkah, melangkah ke samping dan melangkah melewati rintangan akan sulit dilakukan oleh lansia. Penurunan kemampuan fungsional lansia dikaitkan dengan masalah keseimbangan dan jatuh. Beberapa faktor yang menyebabkan jatuh seperti penurunan kekuatan otot, penurunan fleksibilitas, dan hilangnya propioseptor ekstremitas bawah. Untuk mencegah jatuh pada lansia, dapat dilakukan dengan cara
27
olahraga dengan prinsip penguatan, kontrol, keseimbangan dan berjalan dalam arah yang berbeda (Mao, 2006). c. Produktivitas pada lanjut usia Salah satu indikator dari suatu keberhasilan pembangunan nasional dilihat dari segi kesehatan adalah semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Berdasarkan sumber dari World Population Prospects tahun 2012, bahwa penduduk Indonesia antara tahun 2015 – 2020 memiliki proyeksi rata – rata usia harapan hidup sebesar 71,7%. Meningkat 1% dari tahun 2010 – 2015. Meningkatnya usia harapan hidup, dapat menyebabkan peningkatan jumlah lanjut usia (lansia) dari tahun ketahun (Kemenkes RI, 2012). Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa dimana para orang lanjut usia (lansia) merasakan penurunan-penurunan yang terjadi pada dirinya baik secara fisik dan psikologis. Para lansia menjalani dan memaknai usia lanjut dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi lansia kesempatankesempatan untuk tumbuh berkembang dan memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu atau berarti untuk orang lain (Sulandari et al., 2010). Lansia merupakan sebuah siklus hidup manusia yang hampir pasti dialami setiap orang. Kenyataan saat ini, setiap kali menyebut kata Lansia yang terbersit di benak kita adalah seseorang yang tidak berdaya, dan memiliki banyak keluhan kesehatan. Padahal, Lansia sebenarnya dapat berdaya sebagai subyek dalam pembangunan kesehatan. Pengalaman hidup, menempatkan Lansia bukan hanya sebagai orang yang dituakan dan dihormati di lingkungannya, tetapi juga dapat berperan sebagai agen perubahan (agent of change) di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya dalam mewujudkan keluarga sehat, dengan memanfaatkan pengalaman yang sudah dimiliki dan diperkaya dengan pemberian pengetahuan kesehatan yang sesuai (Depkes, 2016).
28
Lansia yang sehat harus diberdayakan agar dapat tetap sehat dan mandiri selama mungkin. Salah satu upaya untuk memberdayakan Lansia di masyarakat adalah melalui pembentukan dan pembinaan Kelompok Lansia yang di beberapa daerah disebut dengan Posyandu Lansia atau Posbindu Lansia. Melalui Kelompok ini, Lansia dapat melakukan kegiatan yang dapat membuat mereka tetap aktif, antara lain: berperan sebagai kader di Kelompok Lansia,melakukan senam Lansia, memasak bersama, termasuk membuat kerajinan tangan yang selain berperan sebagai penyaluran hobi juga dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Meningkatnya usia harapan hidup penduduk menurut Karimah dkk (2016) dapat menyebabkan peningkatan jumlah lansia dari tahun ketahun. Peningkatan jumlah lansia akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti meningkatnya penyakit degeneratif dan kanker yang menyebabkan penurunan produktifitas lansia. Penurunan produktifitas pada lansia terjadi karena penurunan fungsi, sehingga dapat menyebabkan lansia mengalami penurunan kemandirian dalam melaksanakan kegiatan harian. Pengaruh peningkatan populasi usia lanjut ini akan sangat tampak pada hal ekonomi dan sosial, dimana seperti kita ketahui saat ini angka kejadian penyakit kronis, degeneratif, maupun berbagai macam kanker semakin meningkat, juga angka kematian akibat penyakit-penyakit tersebut yang meningkat. Kecacatan akibat penyakit degeneratif pun tidak akan terhindarkan, sehingga menurunkan produktifitas para usia lanjut. Penurunan produktifitas dari kelompok usia lanjut ini terjadi karena terjadi penurunan fungsi, sehingga akan menyebabkan kelompok usia lanjut mengalami penurunan dalam melaksanakan kegiatan harian seperti makan, ke kamar mandi, berpakaian, dan lainnya dalam Activities Daily Living (ADL). Lansia dirasakan semakin mirip dengan anak-anak, dalam ketergantungan pemenuhan kebutuhan dasarnya, hal inilah yang menyebabkan pada akhirnya lansia dikirim ke panti wreda (David, 2013). Menurut Guntur (2006) mengatakan bahwa proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk
29
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapatbertahan terhadap infeksi dan memperbaikinya kerusakan yang diderita. Menurut Orem (2001) menggambarkan lansia sebagai
suatu
unit
yang
juga
menghendaki
kemandirian
dalam
mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraannya. Faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas sehari – hari seperti usia, imobilitas dan mudah jatuh (Ediawati, 2012). Perubahan fisik yang terjadi pada lansia tentunya akan mempengaruhi kemandirian lansia. Kemandirian adalah kebebasan untuk bertindak, tidak tergantung pada orang lain, tidak terpengaruh pada orang lain dan bebas mengatur diri sendiri atau aktivitas seseorang baik individu maupun kelompok dari berbagai kesehatan atau penyakit (Ediawati, 2012). Kemandirian pada lansia sangat penting untuk merawat dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia. Meskipun sulit bagi anggota keluarga yang lebih muda untuk menerima orang tua melakukan aktivitas sehari-hari secara lengkap dan lambat. Dengan pemikiran dan caranya sendiri lansia diakui sebagai individu yang mempunyai karakteristik yang unik oleh sebab itu perawat membutuhkan pengetahuan untuk memahami kemampuan lansia untuk berpikir, berpendapat dan mengambil keputusan untuk meningkatkan kesehatanya (Atut, 2013). Lanjut usia sebagai individu sama halnya dengan klien yang digambarkan oleh Orem (2001) yaitu suatu unit yang juga mengehendaki kemandirian dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejateraannya. Kemandirian pada lanjut usia tergantung pada kemampuan status fungsionalnya dalam melakukan aktivitas sehari – hari (Ediawati, 2012). Dalam kamus psikologi kemandirian berasal dari kata “independen” yang diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak tergantung pada orang lain dalam menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri (Husain, 2013). Kemandirian merupakan sikap individu yang diperoleh secara komulatif dalam perkembangan dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan,
30
sehingga individu mampu berfikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk berkembang ke yang lebih mantap (Husain, 2013) Dalam penelitian Sulandari dkk (2010) lansia yang tergolong aktif dan produktif 100% dari mereka menyatakan bahwa mereka merasa senang dengan kehidupan yang dijalaninya saat ini. Sedangkan yang tergolong tidak atau kurang produktif, hanya 52% dari mereka yang menikmati hidupnya saat ini. Berdasarkan analisis data diperoleh kesimpulan bahwa 1. lansia mengikuti kegiatan di lingkungan tempat tinggalnya dan selalu aktif dengan kegiatan yang meningkatkan kesehatan fisik dan mentalnya, 2. alasan lansia masih melakukan kegiatan atau aktivitas tersebut adalah karena lansia menganggap bahwa dengan bekerja akan membuat dirinya sehat dan menyumbangkan pengalaman yang dimilikinya untuk memotivasi para generasi penerus agar mencapai prestasi yang membanggakan, serta ingin mengabdikan diri dengan sesama dan membantu sesama yang membutuhkan untuk memanfaatkan usianya yang sudah lanjut agar masih bermanfaat untuk orang lain. 2. Olahraga a. Hakekat olahraga Olahraga sudah dikenal lama, baik oleh negara berkembang atau negara maju. Banyak negara yang memprioritaskan bidang olahraga bidang olahraga karena keunggulan di bidang olahraga sudah menjadi ikon kebanggaan banyak negara. Hal ini di dasari bahwa salah satu karakteristik makhluk hidup di dunia ini, termasuk manusia adalah melakukan gerakan. Antara manusia dan aktivitas fisik merupakan dua hal yang sulit atau tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat bahwa sejak manusia pada jaman primitif hingga jaman moderen, aktivitas fisik atau gerak selalu melekat dalam kehidupan sehari-harinya. Berarti aktivitas fisik selalu dibutuhkan manusia. Olahraga dalam pengertiannya mengandung arti akan adanya sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa mengolah yaitu mengolah raga atau
31
mengolah jasmani. Selaras dengan hal itu Giriwijoyo (2005:30) mengatakan bahwa olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana yang dilakukan orang dengan sadar untuk meningkatkan kemampuan fungsionalnya. Selanjutnya Supandi (1990) yang dikutip oleh Kusmaedi (2002:1) menyatakan bahwa kata olahraga berasal dari : 1) Disport, yaitu bergerak dari satu tempat ke tempat lain. 2) Field Sport, kegiatan yang dilakukan oleh para bangsawan yang teriri dari kegiatan menembak dan berburu. 3) Desporter, membuang lelah 4) Sports, pemuasan atau hobi 5) Olahraga, latihan gerak badan untuk menguatkan badan, seperti berenang, main bola, agar tumbuh menjadi sehat Sedangkan pengertian menurut International Council of Sport and education yang dikutip oleh Lutan (1992:17) bahwa “Olahraga adalah kegiatan fisik yang mengandung sifat permainan dan berisi perjuangan dengan diri sendiri atau perjuangan dengan orang lain serta konfrontasi dengan unsur alam”. Selanjutnya Engkos Kosasih (1985:4) menyatakan bahwa “Olahraga adalah kegiatan untuk memperkembangkan kekuatan fisik dan jasmani supaya badannya cukup kuat dan tenaganya cukup terlatih, menjadi tangkas untuk melakukan perjuangan hidupnya”. Dari berbagai penjelasan dapat disimpulkan bahwa olahraga adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik mengandung sipat permainan serta berisi perjuangan dengan diri sendiri dengan orang lain atau konfrontasi dengan unsur alam yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kemampuan dan kesenangan.
32
Olahraga Kesehatan
Olahraga rekreasi
Play
Olahraga Pendidikan
Olahraga prestasi
Olahraga mata pencaharian
Sport
Intrinsik Kesenangan Prosses
Work
Ekstrinsik Materially Hasil akhir
Gambar 2.1. Olahraga dalam kontinum Play dan Work
Dalam olahraga reksreasi berada pada kontinum sebelah kiri, karena lebih tinggi proporsi bermainnya. Makin tinggi proporsi bermainnya makin tinggi nilai rekreatifnya. Olahraga kesehatan terletak ditengah-tengah kontinum, karena untuk olahraga preventif sering dikombinasikan dengan unsur bermain, semenatara untuk olahraga yang bersifat promotif atau rehabilitatif lebih mengutamakan hasil akhir walaupun tidak bersifat materially. Olahraga pendidikan walaupun lebih merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan namun nuansa bermain masih mewarnai pada oleharaga pendidikan. Olahraga prestasi juga menekankan pada pencapaian hasil akhir berupa prestasi maksimal untuk mendapatkan juara. Dalam work dapat terjadi tidak ada nuansa bermain sama sekali, yang terpenting hasil akhir berupa materially atau uang. Menurut bapak Olympiade Modern Badon Piere de Coubertain, bahwa tujuan akhir pendidikan jasmani dan olahraga terletak dalam perannya sebagai wadah untuk menyempurnakan watak, dan sebagai wahana untuk memiliki dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang
33
baik dan sifat mulia. Hanya orang-orang yang memiliki kebijaksanaan moral seperti inilah yang akan menjadi masyarakat yang berguna (Lutan, 2001). Landasan falsafah ini mendudukan pendidikan jasmani dan olahraga tidak hanya untuk mencapai tujuan yang dangkal saja, seperti meraih juara atau kemenangan semata, atau sebagai ajang hiburan, tetapi disinilah tempatnya untuk membentuk kepribadian dan watak yang baik. Menilik dari sifat olahraga yaitu “sport belong to all human being. It is important to women and men as sports provides opportunities to learn, to experience succes, teamwork, and moment of excellence” (IOC, 1999). Olahraga penting artinya bagi laki-laki dan perempuan karena olahraga memberi peluang untuk belajar, mengalami keberhasilan, peluang untuk bekerja sama, dan saat-saat menunjukkan keunggulan. Dimaknai pula bahwa olahraga dapat menciptakan kebersamaan, toleransi, disamping juga dapat menampilkan aktualisasi diri.\ Kegiatan olahraga selalu menunjukkan wujud nyata dari kehadiran fisik. Olahraga didefinisikan beragam dalam berbagai defisni, dan tidak pernah usai. Hal tersebut disebabkan oleh karakteristik olahraga itu sendiri yang semakin berkembang, semakin lama semakin berubah dan semakin kompleks baik dari jenis kegaiatan yang semakin beragam, juag penekanan motif yang ingin dicapai ataupun konteks lingkungan sosial budaya tempat pelaksanaanya. Keberagaman definisi olahraga ini tergantung dari sudat mana memandangnya. Seperti dalam undang-undang nomor 3 tahun 2005 olahraga merupakan segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina, dan mengembangkan potensi jasmani, rohani, serta sosial. Sedangkan WHO dengan istilah physical activity dalam pengetian segala bentuk aktivitas gerak yang dilakukan setiap harinya, termasuk juga bekerja, rekreasi, latihan dan aktivitas olahraga. Esensi olahraga berkaitan tiga unsur : bermain, latihan fisik, dan kompetisi. Melanjutkan dari pengertianolahraga yang telah dijelaskan di atas, maka terdapat pula ciri-ciri yang terdapat dalam olahraga menurut Lutan (1992) menjelaskan ciri khas yaitu :
34
1) Olahraga ditekankan pada kegiatan jasmani yang berwujud keterampilan gerak, daya tahan, kekuatan, kecepatan. Jadi olahraga yang lebih dominan adalah kegiatan jasmani. 2) Olahraga sebagai realitas, olahraga dilakukan dalam suasana yang tidak sebenarnya, tetapi keterlibatan seseorang dalam melakukan olahraga merupakan sesuatu yang nyata. 3) Prinsip prestasi dalam olahraga, mengenai tanda-tanda prinsip prestasi dalam olahraga adalah: a) Peragaan kemampuan jasmani ditunjukan secara maksimal. b) Kegiatan olahraga dilakukan secara sukarela. c) Tidak bertujuan untuk menghancurkan lawan. d) Aspek
sosial
olahraga,
dalam
melakukan
olahraga
akan
memungkinkan terjadi interaksi sosial yang akan menbentuk kelompok sosial. Dari penjelasan mengenai ciri-ciri olahraga maka penulis berasumsi bahwa olahraga merupakan kegiatan fisik yang lebih dominan, kegiatan yang nyata, terdapat prinsip prestasi, dan terdapat aspek sosial. b. Tujuan Olahraga Dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari aktivitas sehari-hari, salah satunya adalah aktivitas fisik yang disebut dengan olahraga. Olahraga merupakan kegiatan yang bisa dilakukan oleh setiap orang dan dalam setiap kesempatan. Sebagai mana dijelaskan oleh Ichsan (1991) bahwa: “Olahraga pada dasarnya berisi kegiatan yang berorientasi pada gerak, pelaksanaannya tergantung pada kemampuan dan tujuan yang ingin dicapai pelakunya”. Mengenai tujuan olahraga Soudan dan Everett melakukan penelitian terhadap mahasiswa yang dikutip oleh Arma Abdulah (1994 : 23) adalah sebagai berikut: Bermacam-macam tujuan olahraga adalah: 1) Memelihara kesehatan dan kondisi jasmani yang baik 2) Memperoleh kesenangan dan kegembiraan 3) Memperoleh kepercayaan diri 4) Memperoleh latihan secara teratur
35
5) Membentuk kebiasan menggunakan waktu untuk aktivitas yang menyenangkan 6) Mencegah, mengetahui, dan mengoreksi kelemahan dan cacat jasmani Selanjutnya Deprtemen pendidikan dan kebudayaan (1984/1985: 47) sebagai berikut: Bermacam-macam tujuan olahraga adalah: 1) Untuk mencari kesenangan (rekreasi) 2) Untuk mengisi waktu luang 3) Untuk kesehatan tubuh 4) Untuk physical fitnees 5) Untuk penyembuhan / pengobatan 6) Untuk pembentukan tubuh / sikap 7) Untuk mencapai prestasi 8) Untuk prestise 9) Untuk mencari nafkah 10) Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan Sedangkan menurut Rusli lutan (1992 : 23) berdasarkan penekanan tujuan olahraga dibagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut: 1) Olahraga prestasi (olahraga kompetitif) yang menekankan pada pencapaian prestasi, kemenangan,atau keunggulan dalam perlombaan atau pertandingan 2) Olahraga pendidikan yang menekankan pada pencapaian tujuan pendidikan 3) Olahraga profesional yang menekankan pencapaian tujuan yang bersipat material 4) Olahraga kesehatan untuk pencapaian derajat sehat yang lebih baik Berdasarkan dari ketiga pendapat tersebut, maka intensitas olahraga itu sendiri akan sangat ditentukan oleh tujuan apa yang hendak dicapai, seseorang melakukan olahraga memiliki tujuan seperti untuk mendapatkan pestasi, kesenangan atau kegembiraan, pendidikan, pemeliharaan kesehatan, atau sebagai mata pencaharian. Apabila olahraga tersebut dilakukan secara teratur, terarah, dan terkendali maka akan memberikan manfaat kepada diri
36
seseorang, sebagai mana dijelaskan oleh Supandi (1992 : 34) bahwa: “Bergerak wajib bagi manusia, pelakunya akan memperoleh manfaat sedangkan yang tidak akan memperoleh mudarat”. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa kegiatan / aktivitas olahraga apabila dilakukan secara teratur dan terarah, maka seseorang akan bertambah baik kualitas jasmaninya. Disamping itu dalam pelaksanaannya olahraga dapat dilakukan di mana saja baik di desa, kota, maupun di komplek/ pemukiman yang kiranya daerah tersebut aman bagi keselamatan. c. Manfaat Olahraga Aktivitas jasmani atau olahraga yang dilakukan secara teratur bagi manusia bisa menjadikan manusia seutuhnya, disepanjang kehidupan manusia selalu berusaha agar hidup lebih nyaman, lebih mudah, lebih ringan. Dorongan itu menyebabkan budaya olahraga menjadi lebih berkembang dikehidupan masyarakat pada masa sekarang ini. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan manusia seperti berjalan kaki, bersepeda, berolahraga, menulis, bekerja, pergi ke kantor, untuk menunjang kegiatan tersebut diharapkan seseorang mengembangkan faktor-faktor fisik yaitu dengan olahraga. Olahraga pada dasarnya berisi kegiatan yang berorientasi pada gerak, pelaksanaannya tergantung pada kemampuan dan tujuan apa yang hendak dicapai oleh pelakunya, seperti yang dijelaskan oleh Giriwijoyo (1992 : 80): “Melalui aktivitas jasmani akan terjadi perubahan berupa pegaruh positif terhadap kesehatan. Sebaliknya, akibat yang negatif akan diperoleh jika olahraga itu dilakukan dengan cara yang salah”. Melalui perkembangan faktor-faktor fisik dengan kegiatan olahraga secara teratur akan menunjang kehidupan manusia. Dari penjelasan mengenai manfaat kegiatan olahraga, maka penulis akan mengelompokkannya .sebagai berikut: d. Jenis Olahraga pada Lansia Aktivitas fisik atau olahraga yang bermanfaat untuk kesehatan lansia sebaiknya memenuhi kriteria FITT (Frequency, intensity, time and type).
37
Frekuensi adalah seberapa sering aktivitas dilakukan, beberapa hari dalam satu minggu. Intensitas adalah seberapa keras suatu aktivitas dilakukan. Biasanya diklasifikasikan menjadi intensitas rendah, sedang dan tinggi. Waktu mengacu pada durasi, seberapa lama suatu aktivitas dilakukan dalam suatu pertemuan, sedangkan jenis aktivitas adalah jenis-jenis aktivitas fisik yang dilakukan. Jenis-jenis olahraga pada lansia menurut Kathy (2002), meliputi latihan aerobik, penguatan otot (muscle strengthening), fleksibilitas, dan latihan keseimbangan. Seberapa banyak suatu latihan dilakukan tergantung dari tujuan setiap individu, apakah untuk kemandirian, kesehatan, kebugaran, atau untuk perbaikan kinerja (performance). Latihan fisik dapat diartikan sebagai suatu kegiatan fisik menurut cara dan aturan tertentu yang mempunyai sasaran meningkatkan efisiensi faal tubuh dan sebagai hasil akhir adalah peningkatan kesegaran jasmani (Soekarman, 2003). Latihan fisik yaitu faktor yang amat penting bagi setiap atlet. Tanpa kondisi fisik yang baik tidak akan dapat mengikuti latihan, apalagi pertandingan dengan sempurna (Soeharno, 1993). Latiahan fisik sebaiknya dilakukan sesuai dengan kemampuan tubuh dalam menanggapi stres yang diberikan, bila tubuh diberi beban latihan yang terlalu ringan, maka tidak akan terjadi proses adaptasi (Sugiharto, 2003). Demikian juga jika diberikan beban latihan yang terlalu berat dan tubuh tidak mampu mentolelir akan menyebabkan terganggunya proses homeostasis pada sistem tubuh dan dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan. 1). Dosis latihan Dosis latihan merupakan takaran dari pemberian beban latihan terhadap tubuh. Fakor
yang mempengaruhi latihan antara lain: a)
Intensitas, b) Frekuensi, dan c) Durasi latihan (Fox, 1993) : 2). Intensitas Latihan Fisik
38
Intensitas menunjukkan sebuah kualitas elemen latihan. Intensitas dapat diartikan sebagai tingkatan kualitas antara lain: ringan, sedang dan maksimal (Bompa, 1994). Intensitas berkaitan dengan besarnya beban yang diaplikasikan sehingga menghasilkan kontraksi submaksimal atau maksimal. Oleh karena itu berdasarkan intensitasnya maka latihan dibedakan atas : latihan maksimal dan submaksimal. Latihan maksimal ditujukan pada peningkatan strength & power, latihan submaksimal ditujukan pada peningkatan daya tahan otot. Berdasarkan HRmax, intensitas latihan fisik dapat dibagi menjadi (1) latihan intensitas rendah (sampai 80% HRM), (2) latihan fisik intensitas sedang / latihan submaksimal (80% - 85% HRM), dan (3) latihan fisik intensitas tinggi / latihan maksimal (85% - 90% HRM), (4) flat out (90% - 100% HRM) (Wikipedia, 2011). Pada latihan submaksimal, sistem yang berperan menyediakan energi 70% berasal dari sistem glikolisis anaerobik dan 30% dari sistem aerobik (Bompa, 1994). Intensitas latihan adalah beban kerja latihan total (Kent, 1994). Parameter yang dapat digunakan untuk menentukan intensitas latihan adalah perpaduan antara denyut nadi dan konsentrasi asam laktat dalam darah (Jenssen, 1987). Dalam menentukan intensitas latihan ada tiga patokan yang dapat dipakai yaitu berdasarkan denyut jantung, kadar laktat darah, dan ambang anaerobik. Berbagai bentuk latihan berdasarkan kadar laktat darah antara lain: a). Latihan Pemulihan. Intensitas latihan ini jauh di bawah kadar laktat 2 mmol/l. Pada contoh di atas denyut nadi berkisar antara 110-140 detak/menit. b). Latihan Ketahanan Ekstensif. Intensitas latihan pada kadar laktat 2 mmol/l. Pada contoh di atas denyut nadi berkisar antara 140-160 detak/menit.
39
c). Latihan Ketahanan Intensif, yaitu latihan dengan intensitas pada kadar laktat 3 mmol /l. Pada contoh di atas denyut nadi berkisar antara 160-180 detak/menit. d). Pengulangan Ektensif. Intensitas latihan pada kadar laktat 4-6 mmol /l. Pada contoh di atas denyut nadi berkisar antara 180 detak/menit. e). Pengulangan Intensif. Intensitas latihan pada kadar laktat 6 dan 12 mmol/l. Pada contoh di atas denyut nadi di atas 180 detak/menit (Jenssen, 1987). 3). Frekuensi latihan Frekuensi latihan dapat dilakukan 1 kali, 2 kali, 3 kali, 4 kali dan 5 kali perminggu tergantung tujuan yang ingin dicapai (Fox, 1994). Penentuan frekuensi latihan tergantung dari status kesehatan dan kesegaran jasmani atlet yang akan dilatih. Agar diperoleh peningkatan kualitas komponen kondisi fisik, maka frekuensi latihan sebaiknya dilakukan 3-5 kali perminggu (Bompa, 1994 ; Fox, 1993). 4). Durasi latihan Lama latihan dapat diartikan sebagai rentang waktu yang dapat berupa berapa menit atau berapa jam latihan dilakukan dalam setiap kali seminggu atau berapa bulan suatu program latihan berlangsung (Bompa, 1994). e. Energi pada saat Olahraga Sebenarnya pada tubuh manusia banyak kpersamaannya dengan mesin mobil. Pada mesin tersebut, bensin dan udara (O2) akan dicampur di dalaam silinder, serta akan dibakar oleh busi. Ekpansi gas yang terjadi akan menggerakan piston yang kemudian akan menggerakan badan mobil tersebut. Sisa-sisa pembakaran akan dibuang lewat knalpot. Karena mesin ini hanya bekerja kalau ada O2, jadi proses ini disebut aerobic. Kalau tangki bensin menjadi kosong, maka mesin tersebut akan berhenti, karena operasi dari mesin memerlukansumber energi (bensin). Kalau kita hendak menjalankan mesin, mesin mualai digerakkan oleh starter dan itu bekerja tanpa adanya O2 jadi anaerobic. Cadangan enersi pada accu sangat terbatas
40
dan akan diisikan lagi kelak bila mesin sudah berjalan. Hal serupa terjadi pada tubuh manusia, namun sumber enersi utamanya yaitu karbohidrat dan lemak. Mekanisme kerja otot hampir serupa dengan mesin mobil. Proses pemecahan enersi untuk kontraksi di dalam sel tidak menggunakan O2, jadi bersifat anaerobic. Glikogen atau glukosa akan dipecah menjadi asam piruvat dengan menghasilkan enersi dalam bentuk Adenosin Triphosphat (ATP). Pada saat yang bersamaan akan dihasilkan pula Nikcotinamide Adenine Dunucleotida Hydrogen (NADH2). NADH2 ini harus diubah kembali menjadi NAD agar reaksi dapat terus berlangsung. Pada aktivitas yang ringan dan sedang, O2 yang masuk ke dalam sel akan cukup untuk mengoksidasikan NADH2 dan dirubah kembali menjadi NAD. Proses dengan O2 ini disebut aerobic dan terjadi di dalam mitokondria di dalam sel otot. Sedangkan asam piruvat yang terjadi dirubah menjadi Acetyl Coenzyme A yang kemudian masuk ke dalam mitokondria untuk dioksidasi (dengan O2) secara lengkap menjadi CO2 dan H2O dengan menghasilkan enersi yang besar. Proses oksidasi aerobic ini disebut SIKLUS KREBS. Sebagaimana dari NHDH2 akan dioksidasikan di dalam reaksi hal mana asam pyruvat berubah menjadi asam laktat. Setelah aktivitas berhenti, generator metabolik tubuh masih berjalan beberapa saat untuk menghasilkan ATP dari ADP, Creatine phosphate dari Creatine. ATP dan Creatine Phosphate akan disimpan di dalam jaringan, terutama terdapat dalam konsentrasi tinggi jaringan otot. Kedua senyawa tersebut disebut senyawa Phosphate Energi Tinggi, dan sangat penting untuk menghasilkan enersi awal untuk kontraksi otot (hanya beberapa detik pertama). Pelepasan enersi bentuk ini dapat dapat berlangsung cepat dan tidak perlu menunggu proses perombakan glukosa dan oksidasi asam pyruvat (Acetyl Coenzyme A) yang memerlukan waktu lebih lama. Sayangnya kedua senyawa phosphate energy tinggi tersebut tidak dapat disimpan dalam jumlah yang banyak, oleh kaarena itu harus cepat-cepat diganti bila sudah terpakai habis. Asam lemak dan karbohidrat akan dioksidasi secara lengkap dengan O2 di dalam Siklus Krebs dalam
41
mitokondria (proses aerobic). Proses oksidasi asam lemak ini berlangsung lebih lambat dari pada oksidasi karbohidrat, tetapi cadangan lemak jauh lebih besar dari pada cadangan karbohidrat. Yang terakhir ini dalam bentuk glycogen otot dan hati, dan merupakan sumber enersi langsung yang sangat penting. Bagan di bawah ini menunjukkan urutan pelepasan enersi di dalam sel sewaktu otot berkontraksi. Urutan tersebut adalah: ATP (detik pertama), Creatine Phosphate (sampai beberapa detik berikutnya), selanjutnya glycogen, glukosa dan asam lemak. Manusia dan hewan menyusui lainnya tergantung dari pemakaian sumber energy karbohidrat dan lemak. Pada kerja otot yang ringan dan sedang setelah energi awal didapat dari ATP dan Creatine Phosphate, selanjutnya energy diperoleh dari lemak dan karbohidrat (=glycogen) kirakira dalam jumlah yang sama besar. Apabila kerja otot berlangsung lebih lama, lemak menjadi sumber energy utama dari pada karbohidrat. Cadangan lemak akan dipecah dengan bantuan hormone norepinephrine untuk memobilisasi asam lemak bebas yang kemudian akan dioksidasi di dalam Siklus Krebs. Akan tetapi pada aktivitas otot yang berat sumber energi uatama tubuh adalah karbohidrat (glycogen). Oleh karena itu cadangan glycogen hati dan otot haruslah cukup besar apabila kita akan melakukan aktivitas otot yang berat, misalnya dalam olahraga yang berat dan berat sekali. Kemampuan untuk menjalankan aktivitas fisik yang lberat dan lama berhubungan langsung dengan jumlah cadangan glycogen initial di dalam otot. Pada diet seimbang, glycogen otot akan mencapai 1,5 gr/100gr otot, yakni akan cukup untuk kerja berat selama 2jam (dengan uptake axygen maximal 75%). Lewat jangka waktu tersebut akan kelelahan. Kadar glycogen otot dapat diperbesar dengan diet tinggi karbohidrat sehingga mencapai 2,5gr/100gr otot. Hal ini akan menghasilkan cadangan tenaga yang cukup untuk dipakai dalam aktivitas bera yang lebih lama.
42
f. Vo2max pada olaharaga sel dalam tubuh manusia membutuhkan oksigen untuk mengubah Setiap energi makanan menjadi ATP (Adhenosine Triphosphate) yang siap dipakai untuk kerja tiap sel. Otot dalam keadaan istirahat sedikit mengkonsumsi oksigen. Sel otot yang berkontraksi membutuhkan banyak ATP, akibatnya otot yang dipakai dalam latihan membutuhkan lebih banyak oksigen dan menghasilkan banyak karbondioksida (CO2). Kebutuhan tubuh akan oksigen dapat diukur melalui pernafasan kita. Dengan mengukur jumlah oksigen yang dipakai selama latihan intensif, kita mengetahui jumlah oksigen yang dipakai oleh otot yang bekerja. Makin tinggi jumlah otot yang dipakai maka makin tinggi pula intensitas kerja otot, otomatis oksigen yang dibutuhkan semakin meningkat. Tingkat kebugaran jasmani adalah ukuran dari kesanggupan seseorang untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Semakin baik tingkat bugaran jasmani seseorang maka tingkat kesanggupan untuk melakukan aktivitas cenderung baik terutama dari segi fisik ataupun stamina. Vo2 max ini sangat menentukan kebugaran jasmani seseorang terutama untuk atlit. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi Vo2max maka semakin baik tingkat kesegaran jasmaninya. Dalam pengertiannya VO2 max adalah volume oksigen maksimum yang dapat digunakan permenit. Menurut Guyton dan Hall (2008) dalam Giri Wiarto (2013:13) VO2 max adalah kecepatan pemakaian oksigen dalam metabolisme aerob maksimum. Menurut Thoden dalam modul Suranto (2008 : 118) VO2max merupakan daya tangkap aerobik maksimal menggambarkan jumlah oksigen maksimum yang dikonsumsi per satuan waktu oleh seseorang selama latihan atau tes, dengan latihan yang makin lama makin berat sampai kelelahan, ukurannya disebut VO2max. Beberapa faktor yang mempengaruhi Vo2max adalah (Burhanudin Sadly, 2015): 1) Umur 2) Latihan 3) Ketinggian suatu tempat (kadar O2) Faktor psikologis seperti
43
1) Kemampuan jaringan otot untuk menggunakan oksigen dalam proses produksi energi tubuh. 2) Kemampuan system syaraf jantung dan paru-paru (cardiovascular) untuk mengangkut oksigen k edalam jaringan otot. Istilah lain yang memiliki arti yang sama dengan kesegaran jasmani adalah kebugaran dan daya tahan aerobik, daya tahan cardirespiratory, atau kapasitas aerobik. Manusia yang mempunyai kebugaran jantung-paru yang baik, berbagai sistem dalam tubuhnya mampu mengambil oksigendari udara secara
optimal,
mendistribusikannya
ke
seluruh
tubuh
dan
memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan tubuh. Oksigen diambil dari udara oleh paru-paru, selanjutnya jantung dan pembuluh darah mendistribusikannya ke seluruh tubuh. Sel dari jaringan memanfaatkan oksigen melalui jalur metabolisme yang disebut sebagai jalur metabolisme aerobik. Salah satu tanda kebugaran jantungparu yang baik adalah kemampuan seseorang untuk melaksanakan kegiatan jasmani dalam jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti, serta kemampuan untuk segera pulih setelah melakukan suatu kegiatan jasmani. Kebugaran
jantung-paru
seseorang
dapat
dilihat
dari
kemampuan
melaksanakan tugas berat secara terus menerus dalam waktu yang relatif lama. Aktivitas sehari-hari tentu melibatkan kontraksi dari otot-otot. Untuk dapat berkontraksi dengan baik otot memerlukan suplai energi dan oksigen yang cukup. Tanpa adanya suplai energi dan oksigen yang cukup, maka otot tidak akan dapat bekerja dengan baik. Kemampuan kerja fisik seseorang bergantung pada kemampuan fungsi jantung-paru. Dapat dikatakan bahwa kebugaran jantung-paru (cardiorespiratory) merupakan unsur paling pokok dalam kesegaran jasmani seseorang. Dengan demikian, kebugaran jantungparu berperanan penting untuk menjalankan aktivitas fisik. 3. Kesegaran jasmani a. Pengertian Kesegaran Jasmani
44
Kesegaran jasmani adalah kesanggupan tubuh untuk melakukan aktivitas tanpa mengalami kelelahan yang berarti dan masih memiliki cadangan tenaga untuk melakukan kegiatan yang lain. Dalam pengertian lain
kesegaran
jasmani merupakan
kemampuan
seseorang
untuk
melaksanakan tugas sehari-hari dengan kesungguhan dan tnggung jawab, tanpa memiliki rasa lelah dan penuh semangat untuk menikmati penggunaan waktu luang dan menghadapi kemungkinan berbagai bahaya dimasa yang akan datang (Ichsan, 1988). Sadoso Sumosardjuno (1989 : 9) mendefinisikan Kesegaran Jasmani adalah kemampuan seseorang untuk menunaikan tugasnya sehari-hari dengan gampang, tanpa merasa lelah yang berlebihan, serta masih mempunyai sisa atau cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggangnya dan untuk keperluan-keperluan mendadak. dengan kata lain Kesegaran jasmani dapat pula didefinisikan sebagai kemampuan untuk menunaikan tugas dengan baik walaupun dalam keadaan sukar, dimana orang yang kesegaran jasmaninya kurang, tidak akan dapat melakukannya. Agus Mukhlolid, M.Pd (2004 : 3) menyatakan bahwa Kesegaran Jasmani adalah kesanggupan dan kemampuan untuk melakukan kerja atau aktivitas, mempertinggi daya kerja dengan tanpa mengalami kelelahan yang berarti atau berlebihan. b. Fungsi Kesegaran Jasmani Kesegaran jasmani mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Kebugaran jasmani berfungsi untuk meningkatkan kemampuan kerja bagi siapapun yang memilikinya sehingga dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara optimal untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Dari hasil seminar kebugaran jasmani nasional pertama yang dilaksanakan diJakarta pada tahun 1971 dijelaskan bahwa fungsi kebugaran jasmani adalah untuk mengembangkan kekuatan, kemampuan, dan kesanggupan daya kreasi serta daya tahan dari setiap manusia yang berguna untuk mempertinggi daya kerja dalam pembangunan dan pertahanan bangsa dan negara.
45
c. Peningkatan Kesegaran Jasmani Untuk peningkatan dan pemeliharaan kebugaran jasmani tidak terlepas dari latihan jasmani yang membina keseimbangan unsur kesegaran jasmani. Untuk membina atau memelihara kesegaran jasmani, salah satu caranya adalah dengan melakukan latihan fisik atau latihan jasmani. Suatu latihan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesegaran jasmani, harus dilakukan menurut aturan atau cara tertentu. Hal ini berkaitan pula dengan jenis kegiatan jasmani yang terbagi dalam beberapa jenis, yaitu kegiatan yang bersifat aerobic (latihan yang membutuhkan oksigen) dan kegiatan yang bersifat anaerobic (latihan yang tidak membutuhkan oksigen), dan yang tergantung pada keterampilan. d. Kesegaran Jasmani dan Kualitas Tidur Tidur adalah suatu perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun. Tidur dikarakteristikkan dengan aktifitas fisik yang minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fisiologis tubuh dan penurunan respon terhadap stimulus eksternal (Mubarak, 2006). Tidur adalah kondisi organisme yang sedang istirahat secara reguler, berulang dan reversible dalam keadaan mana ambang rangsang terhadap rangsangan dari luar lebih tinggi jika dibandingkan dengan keadaan jaga. (Prayitno, 2002). Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan kelelahan jasmani dan kelelahan mental. Dengan tidur semua keluhan hilang atau berkurang dan akan kembali mendapatkan tenaga serta semangat untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi, pada lansia yang memiliki kesegaran jasmani bagus akan memiliki penurunan aktifitas saraf simpatis dan peningkatan aktifitas saraf para simpatis yang berpengaruh pada penurunan
hormon
adrenalin,
norepinefrin
dan
katekolamin
serta
vasodilatasi pada pembuluh darah yang mengakibatkan transport oksigen keseluruh tubuh terutama otak lancar.
46
sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan nadi menjadi normal. Pada kondisi ini akan meningkatkan relaksasi lansia. Selain itu, sekresi melatonin yang optimal dan pengaruh beta endorphin dan membantu peningkatan
pemenuhan
kebutuhan
tidur
lansia
(Rahayu,
2008).
Peningkatan kualitas dan kuantitas pemenuhan kebutuhan tidur juga akan mempengaruhi tekanan darah dan nadi untuk tetap dalam batas normal ketika lansia bangun tidur. Hal ini didukung dari penelitian Hubungan Asupan Zat Gizi Makro Dan Mikro Serta Kualitas Tidur Dengan Status Kebugaran Atlet Softball Di Koni Banten Tahun 2016. 4. Kecemasan a. Pengertian kecemasan Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami oleh setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya (Wiramihardja, 2005:66). Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan bisa muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi (Ramaiah, 2003:10). Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fauziah & Widuri, 2007:73) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak
47
menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Kholil Lur Rochman, 2010:104). Namora Lumongga Lubis (2009:14) menjelaskan bahwa kecemasan adalah tanggapan dari sebuah ancaman nyata ataupun khayal. Individu mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang. Kecemasan dialami ketika berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan yang akan terjadi. Sedangkan Siti Sundari (2004:62) memahami kecemasan sebagai suatu keadaan yang menggoncangkan karena adanya ancaman terhadap kesehatan Beverly (2005:163) memberikan pengertian tentang kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Kecemasan adalah rasa khawatir , takut yang tidak jelas sebabnya. Kecemasan juga merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakkan tingkah laku, baik tingkah laku yang menyimpang ataupun yang terganggu.
Keduaduanya
merupakan
pernyataan,
penampilan,
penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan tersebut (Singgih D. Gunarsa, 2008:27). Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat mengancam
yang
dapat
menyebabkan
kegelisahan
karena
adanyaketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi atau kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu melalui tahap-tahap perkembangan mulai dari periode prenatal sampai pada usia lanjut.
48
b. Kecemasan pada lanjut usia Keberadaan lanjut usia mendorong pemerintah untuk melaukan perbaikan dalam berbagai bidang, seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional, telah mewujudkan hasil yang positif terutama terlihat dalam bidang kesehatan. Hal inilah yang meningkatnya kualitas kesehatan serta umur harapan hidup manusia. Peningkatan populasi lanjut usia ini tentunya diikuti pula dengan berbagai persoalan. Kecemasan merupakan salah satu masalah mental yang umum dialami oleh lanjut usia. Mempengaruhi 1 dari 10 orang berusia di atas 60 tahun. Studi pendahuluan pada 15 orang mendapatkan delapan orang mengalami kecemasan ringan (53,33%) satu orang mengalami kecemasan sedang (6,67%) dan enam orang tidak mengamai kecemasan (40%). Kelompok rentan yang mempunyai kemungkinan terbesar untuk menjadi korban peruabahan sosial adalah kelompok usia lanjut. Mereka yang memiliki konsep hidup tradisional, seperti harapan akan dihormati dan dirawat di masa tua, atau hubungan erat dengan anak yang telah dewasa. Pada kenyataannya harus hidup dalam sistem nilai yang berbeda dengan yang dianut misalnya kurang perasaan dihormati, karena anak tidak lagi tergantung secara ekonomi pada orang tua, serata kurangnya waktu bagi menantu perempuan untuk menjaga orang tua, karena bekerja. Keadaan ini dapat mempengaruhi psikologis dan kesejahteraan lanjut usia (Isfandari, 1999). Pada umumnya masalah kesepian adalah masalah psikologis yang paling banyak dialami lanjut usia. Beberapa penyebab kesepian antara lain (1) Longgarnya kegiatan dalam mengasuh anak-anak karena anak-anak sudah dewasa dan bersekolah tinggi sehingga tidak memerlukan penanganan yang terlampau rumit (2) Berkurangnya teman atau relasi akibat kurangnya aktivitas sehingga waktu
yang bertambah banyak (3)
Meninggalnya pasangan hidup (4) Anak-anak yang meninggalkan rumah karena
menempu
pendidikan
yang
lebih
tinggi,
anak-anak
yang
meninggalkan rumah untuk bekerja, (5) Anak-anak telah dewasa dan
49
membentuk rumah tangga sendiri. Beberapa masalah tersebut akan menimbulkan rasa kesepian lebih cepat bagi orang lanjut usia. Dari segi inilah
lanjut
usia
mengalami
masalah
psikologis
yang
banyak
mempengaruhi kesehatan psikis, sehingga menyebabkan orang lanjut usia kurang mandiri (Suhartini, 2004). Pada orang lanjut usia umur 60-an sering mengalami depresi, mereka mengatakan kekhawatiran tentang rasa takutnya terhadap kematian, kehilangan keluarga atau teman karib, kedudukan sosial, pekerjaan, uang, atau mungkin rumah tinggi, semua ini dapat menimbulkan reaksi yang merugikan. Bagi kebanyakan orang lanjut usia, kehilangan sumber daya ditambahkan pada sumber daya yang memang sudah terbatas. Menjadi hal yang
mendapat
perhatian
ialah
kekurangan
kemampuan
adaptasi
berdasarkan hambatan psikologik, yaitu rasa khawatir dan takut yang diperoleh dari rasa lebih muda dan yang dimodifikasi, diperkuat dan diuraikan sepanjang masa hidup individu (Maramis, 2004). c. Kecemasan dan kualitas tidur pada lansia Lansia banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan segera dan terintegrasi. Seiring dengan bertambahnya usia, maka akan terjadi penurunan fungsi tubuh pada lansia, baik fisik, fisiologis maupun psikologis. Masalah kesehatan jiwa yang sering terjadi pada lansia adalah kecemasan, depresi, insomnia, paranoid, dan demensia, jika lansia mengalami masalah tersebut, maka kondisi itu dapat mengganggu kegiatan sehari-hari lansia. Mencegah dan merawat lansia dengan masalah kesehatan jiwa adalah hal yang sangat penting dalam upaya mendorong lansia bahagia dan sejahtera di dalam keluarga serta masyarakat (Maryam dkk, 2012). Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik. Kecemasan dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart, 2012). Gejala kecemasan yang dialami oleh lansia adalah ; perasaan khawatir/takut yang tidak rasional akan kejadian yang akan terjadi, sulit tidur, rasa tegang dan cepat
50
marah, sering mengeluh akan gejala yang ringan atau takut dan khawatir terhadap penyakit yang berat dan sering membayangkan hal-hal yang menakutkan/rasa panik terhadap masalah yang besar (Maryam dkk, 2012). Kecemasan yang dialami oleh lansia juga dapat menyebabkan kesulitan tidur serta dapat mempengaruhi kosentrasi dan kesiagaan, dan juga meningkatkan resiko-resiko kesehatan, serta dapat merusak fungsi sistem imun. Kekurangan tidur pada lansia memberikan pengaruh terhadap fisik, kemampuan kognitif dan juga kualitas hidup (Maryam dkk, 2012). Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua orang. Setiap orang memerlukan kebutuhan istirahat atau tidur yang cukup agar tubuh dapat berfungsi secara normal. Pada kondisi istirahat dan tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal (Guyton & Hall, 2007). Hal ini didukung dari penelitian Hubungan Kecemasan Dengan Kualitas tidur lansia di posbindu anyelir kecamatan cisarua kabupaten bandung barat oleh Okantiranti (2014) dan hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur lansia di wilayah kerja puskesmas padang pasir Padang oleh Syara (2015) yang mendapatkan hasil bahwa kecemasan lansia mempengaruhi tingkat kualitas tidur pada lansia. 5. Kualitas Tidur a. Pengertian Tidur Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya (Guyton & Hall, 1997). Tidur adalah suatu proses perubahan kesadaran yang terjadi berulang-ulang selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005). Menurut Chopra (2003), tidur merupakan dua keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara tenang dan aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga otak sedang bekerja lebih keras selama periode bermimpi dibandingkan dengan ketika beraktivitas di siang hari. b. Fisiologi Tidur
51
Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai dengan masa rotasi bola dunia yang dikenal dengan nama irama sirkadian. Irama sirkadian bersiklus 24 jam antara lain diperlihatkan oleh menyingsing dan terbenamnya matahari, layu dan segarnya tanam-tanaman pada malam dan siang hari, awas waspadanya manusia dan bintang pada siang hari dan tidurnya mereka pada malam hari (Harsono, 1996). Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang sedang tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang bekerja (Harsono, 1996). Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah reticular activating system (RAS) dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang terletak pada batang otak (Potter & Perry, 2005) RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesenfalon dan bagian atas pons. Selain itu RAS dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, 2005). c. Tahapan Tidur Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau Rapid Eye Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur stadium empat; lalu diikuti oleh fase REM (Patlak, 2005). Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam semalam (Potter & Perry, 2005). 1) Tidur stadium satu
52
Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain. Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan, dan aktivitas otot melambat (Patlak, 2005). 2) Tidur stadium dua Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung melambat dan suhu tubuh menurun (Smith & Segal, 2010). Pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005). 3) Tidur stadium tiga Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998). Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun, individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa menit (Smith & Segal, 2010). 4) Tidur stadium empat Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk memulihkan energi fisik (Smith & Segal, 2010). Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan sangat restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup istirahat dan energik di siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun (Japardi, 2002). Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005). Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi tetapi mimpi dari tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang (Potter & Perry, 2005). d. Siklus Tidur
53
Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan NREM terjadi berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup mengalami REM, maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang gesit (Mardjono, 2008). Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut:
Gambar 2.2. Tahap-tahap siklus tidur (Potter & Perry, 2005) Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologis dan psikologis dapat terganggu (Potter & Perry, 2005). e. Mekanisme Tidur Tidur NREM dan REM berbeda berdasarkan kumpulan parameter fisiologis. NREM ditandai oleh denyut jantung dan frekuensi pernafasaan yang stabil dan lambat serta tekanan darah yang rendah. NREM adalah tahapan tidur yang tenang. REM ditandai dengan gerakan mata yang cepat dan tiba-tiba, peningkatan saraf otonom dan mimpi. Pada tidur REM terdapat fluktuasi luas dari tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi nafas. Keadaan ini disertai dengan penurunan tonus otot dan peningkata aktivitas
54
otot involunter. REM disebut juga aktivitas otak yang tinggi dalam tubuh yang lumpuh atau tidur paradoks (Ganong, 1998). Pada tidur yang normal, masa tidur REM berlangsung 5-20 menit, rata-rata timbul setiap 90 menit dengan periode pertama terjadi 80-100 menit setelah seseorang tertidur. Tidur REM menghasilkan pola EEG yang menyerupai tidur NREM tingkat I dengan gelombang beta, disertai mimpi aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi jantung dan nafas tidak teratur (pada mata menyebabkan gerakan bola mata yang cepat atau rapid eye movement), dan lebih sulit dibangunkan daripada tidur gelombang lambat atau NREM. Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh sistem yang disebut Reticular Activity System. Bila aktivitas Reticular Activity System ini meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas Reticular Activity System menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktivitas Reticular Activity System (RAS) ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmitter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik, histaminergik (Japardi, 2002). f. Gangguan tidur pada lanjut usia Dalam proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut usia) dimana pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik,psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara fisik maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lanjut usia (Sarwono, 2010). Perubahan spesifik pada lansia dipengaruhi kondisi kesehatan, gaya hidup, stressor, dan lingkungan. Perawat harus mengetahui proses perubahan normal tersebut sehingga dapat memberikan pelayanan tepat dan membantu adaptasi lansia terhadap perubahan, salah satunya adalah perubahan
neurologis.
Akibat
penurunan
jumlah
neuron
fungsi
neurotransmitter juga berkurang. Lansia sering mengeluh kesulitan untuk tidur, kesulitan untuk tetap terjaga, kesulitan untuk tidur kembali tidur
55
setelah terbangun di malam hari, terjaga terlalu cepat, dan tidur siang yang berlebihan. Masalah ini diakibatkan oleh perubahan terkait usia dalam siklus tidur-terjaga (Potter & Perry 2009). Insomnia pada lansia merupakan keadaan dimana individu mengalami suatu perubahan dalam kuantitas dan kualitas pola istirahatnya yang menyebabkan rasa tidak nyaman atau mengganggu gaya hidup yang di inginkan.Gangguan tidur pada lansia jika tidak segera ditangani akan berdampak serius dan akan menjadi gangguan tidur yang kronis. Secara fisiologis, jika seseorang tidak mendapatkan tidur yang cukup untuk mempertahankan kesehatan tubuh dapat terjadi efek-efek seperti pelupa, konfusi dan disorientasi (Asmadi, 2008). Menurut National Sleep Foundation tahun 2010 sekitar 67% dari 1.508 lansia di Amerika usia 65 tahun keatas melaporkan mengalami insomnia dan sebanyak 7,3 % lansia mengeluhkan gangguan memulai dan mempertahankan tidur atau insomnia Kebanyakan lansia beresiko mengalami insomnia yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti pensiunan, kematian pasangan atau teman dekat, peningkatan obat-obatan, dan penyakit yang dialami. Di Indonesia insomnia menyerang sekitar 50% orang yang berusia 65 tahun, setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% lansia melaporkan adanya insomnia dan sekitar 17% mengalami insomnia yang serius. Prevalensi insomnia pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67% (Puspitosari, 2011) Insomnia pada lansia disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu dari faktor status kesehatan, penggunaan obat-obatan, kondisi lingkungan, stres psikologis, diet/nutrisi, gaya hidup Insomnia pada usia lanjut dihubungkan dengan penurunan memori, konsentrasi terganggu dan perubahan kinerja fungsional. Perubahan yang sangat menonjol yaitu terjadi pengurangan pada gelombang lambat,
terutama
stadium
empat,
gelombang
alfa
menurun,dan
meningkatnya frekuensi terbangun di malam hari atau meningkatnya fragmentasi tidur karena seringnya terbangun. Gangguan juga terjadi pada dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan,
56
kalau seorang dewasa muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan lansia, ia lebih sering terbangun (Darmojo, 2005). Gangguan juga terjadi pada dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan. Selama tidur malam, seorang dewasa muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan lansia, ia lebih sering terbangun. Walaupun demikian, rata-rata waktu tidur total lansia hampir sama dengan dewasa muda. Ritmik sirkadian tidurbangun lansia juga sering terganggu. Jam biologik lansia lebih pendek dan fase tidurnya lebih maju. Seringnya terbangun pada malam hari menyebabkan keletihan, mengantuk, dan mudah jatuh tidur pada siang hari, dengan perkataan lain bertambahnya umur juga dikaitkan dengan kecenderungan untuk tidur dan bangun lebih awal. Toleransi terhadap fase atau jadual tidur-bangun menurun, misalnya sangat rentan dengan perpindahan jam kerja. Adanya gangguan ritmik sirkadian tidur juga berpengaruh terhadap kadar hormon yaitu terjadi penurunan sekresi hormon pertumbuhan, prolaktin, tiroid, dan kortisol pada lansia. Hormon-hormon ini dikeluarkan selama tidur dalam. Sekresi melatonin juga berkurang. Melatonin berfungsi mengontrol sirkadian tidur. Sekresinya terutama pada malam hari. Apabila terpajan dengan cahaya terang, sekresi melatonin akan berkurang (Guyton, 2007) Pengertian insomnia adalah keadaan dimana seseorang dimana tidak bisa tidur dalam waktu yang cukup. Keluhan dari penderita insomnia adalah mereka tidak dapat memejamkan mata atau mengistirahatkan pikirannya walaupun hanya untuk sejenak. Ada banyak alasan seseorang menderita insomnia mulai dari kegelisahan hingga ke bipolar disorder. Namun terkadang tidak ada penyebab nyata dan hanya dapat terjadi karena suatu alasan, tapi terlalu banyak kegiatan fisik dan rasa sakit juga dapat membuat seseorang untuk sulit tidur di malam hari.Mencari penyebab dari insomnia merupakan kunci untuk mencari obat untuk masalah ini. ternyata tidak makan juga memberikan efek negatif berupa sulit tidur pada seseorang (Farlane, 2012).
57
Insomnia ada 3 jenis, yaitu: insomnia sementara (bisa terjadi dimana saja dari satu malam hingga beberapa hari), insomnia akut (sulit tidur dalam jangka waktu satu minggu untuk 3-6 bulan), dan insomnia kronis (dimana si penderita mengalami kesulitan tidur setiap malam selama satu bulan atau bahkan lebih) (Farlane, 2012).
B. Kerangka Berfikir Kerangka pemikiran yang akan dikemukakan dalam penelitian ini, berdasarkan pada teori yang benar dan berkaitan dengan variabel yang menjadi obyek dalam penelitian ini. Selain kerangka berpikir tersebut juga merupakan dasar pemikiran dari penelitian yang akan dikembangkan dalam penelitian ini. 1. Sumbangan faktor antara kesegaran jasmani dengan kualitas tidur pada lanjut usia. Tidur merupakan suatu fenomena dasar yang penting bagi kehidupan, kurang lebih sepertiga dari kehidupan manusia dijalankan dengan tidur. Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan secara menyeluruh sangat terkait dengan tingkat pemenuhan kebutuhan tidur. Proses degenerasi pada lansia menyebabkan waktu tidur efektif semakin berkurang, sehingga tidak mencapai kualitas tidur yang adekuat dan akan menimbulkan berbagai macam keluhan tidur. Meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia membawa konsekuensi bertambahnya jumlah lansia di Indonesia akan lebih cepat dibandingkan negara-negara lain. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lansia (aging structured population) karena jumlah penduduk yang berusia di atas 60 tahunnya sekitar 10%. Setiap tahun sekitar 20% sampai 50% orang dewasa melaporkan adanya gangguan pemenuhan kebutuhan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan pemenuhan tidur yang serius. Prevalensi gangguan pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia cukup meningkat yaitu sekitar 76%. Kelompok lansia lebih mengeluh mengalami sulit tidur sebanyak 40%, sering terbangun pada malam hari sebanyak 30% dan sisanya gangguan
58
pemenuhan
kebutuhan
tidur
lain.
Established
Population
for
Epidemiologic of the Elderly (EPESE) mendapatkan dari 9000 responden, sekitar 29% berusia diatas 65 tahun mengalami keluhan gangguan pemenuhan kebutuhan tidur. Ketidakcukupan kualitas dan kuantitas tidur dapat merusak memori dan kemampuan kognitif. Bila hal ini berlanjut hingga bertahun-tahun, akan berdampak pada tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke, hingga masalah psikologis seperti depresi dan gangguan perasaan lain. Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormone seperti ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon ini masing-masing disekresi oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus path way. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter noreepinefrin, dopamine, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur. Pada lansia, keadaan hormonal yang menurun akan mengakibatkan pola tidur berubah. Hormon melatonin berperan dalam mengontrol irama sirkardian, sekresinya terutama pada malam hari yang berhubungan dengan rasa mengantuk. Lansia sering terbangun pada malam hari sehingga waktu tidur malam menjadi berkurang, ketika bangun pagi terasa tidak segar, siang hari mengalami kelelahan, lebih sering tidur sejenak dan merasa mengantuk sepanjang hari. Salah satu olahraga yang dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur adalah olahraga kardiovaskular seperti olahraga senam lansia. Olahraga senam lansia secara teratur akan menjaga keseimbangan homeostasis tubuh dan membawa rasa nyaman, senang, dan bahagia. Dalam kondisi tersebut lansia tidur lebih nyenyak. Dengan demikian terjadi peningkatan kualitas pemenuhan kebutuhan tidur. Kualitas tidur adalah suatu keadaan dimana tidur yang dijalani seorang individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran disaat bangun dari tidur. Kualitas tidur yang mencakup aspek kuantitatif dari tidur, seperti durasi tidur, retensi tidur, serta aspek subyektif, seperti tidur dalam dan istirahat. Perubahan tidur normal pada lansia adalah terdapat pada Non
59
Rapid Eye Movement (NREM) 3 dan 4, lansia hampir tidak memiliki tahap 4 atau tidur dalam. Perubahan pola tidur lansia disebabkan perubahan sistem neurologis yang secara fisiologis akan mengalami penurunan jumlah dan ukuran neuron pada sistem saraf pusat hal ini mengakibatkan fungsi dari neurotransmitter pada sistem neurologi menurun, sehingga distribusi norepinefrin yang merupakan zat untuk merangsang tidur juga akan menurun. Hal ini dikarenakan aktivitas fisik dapat merangsang penurunan aktivitas saraf simpatis dan peningkatan aktivitas para simpatis yang berakibat pada penurunan hormon adrenalin, norepinefrin dan katekolamin. Sedangkan aktivitas fisik sendiri berhubungan dengan Vo2max pada seseorang, dari beberapa penelitian dikatakan bahwa aktivitas fisik seseorang terkait dengan nilai Vo2maxnya, jadi semakin bagus Vo2maxnya semakin bagus pula kualitas tidurnya, hal ini dipengaruhi oleh faktor lainnya yaitu adanya hantaran oksigen yang cukup untuk konsumsi metabolisme di otak, sehingga perasaan relax dan nyaman dapat membantu dalam proses tidur. 2. Sumbangan faktor antara kecemasan dengan kualitas tidur pada lanjut usia. Masalah psikologis yang seringkali dijumpai pada lansia meliputi perasaan kesepian, takut kehilangan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, kecemasan dan depresi. Gangguan tidur pada lansia merupakan keadaan dimana seseorang mengalami suatu perubahan dalam pola istirahatnya yang disebabkan karena banyaknya masalah sehingga menyebabkan lansia merasa kurang nyaman dalam hidupnya. Karena tidur merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan seseorang untuk dapat berfungsi dengan baik yang diyakini dapat digunakan untuk keseimbangan mental, emosional, dan kesehatan fisik. Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik. Kecemasan dialami secara
60
subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal. Gejala kecemasan yang dialami oleh lansia adalah ; perasaan khawatir/takut yang tidak rasional akan kejadian yang akan terjadi, sulit tidur, rasa tegang dan cepat marah, sering mengeluh akan gejala yang ringan atau takut dan khawatir terhadap penyakit yang berat dan sering membayangkan hal-hal yang menakutkan/rasa panik terhadap masalah yang besar. Kecemasan yang dialami lansia disebabkan oleh penurunan kondisi fisik
seperti
hilangnya
kemampuan
penglihatan,
badan
mulai
membungkuk, kulit keriput dan sekarang sudah tidak kuat jalan jauh lagi karena cepat lelah, beda dengan waktu muda disaat dulu kondisi fisik masih kuat. Kecemasan yang dialami oleh lansia juga dapat menyebabkan kesulitan tidur serta dapat mempengaruhi kosentrasi dan kesiagaan, dan juga meningkatkan resiko-resiko kesehatan, serta dapat merusak fungsi sistem imun. Kekurangan tidur pada lansia memberikan pengaruh terhadap fisik, kemampuan kognitif dan juga kualitas hidup. Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua orang. Setiap orang memerlukan kebutuhan istirahat atau tidur yang cukup agar tubuh dapat berfungsi secara normal. Pada kondisi istirahat dan tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal. Pola tidur mencakup kualitas dan kuantitas tidur seseorang dimana kualitas tidur adalah jumlah tahapan NREM dan REM yang dialami seseorang dalam siklus tidurnya, dan kuantitas tidur adalah jumlah lamanya waktu tidur yang dihabiskan seseorang dalam sehari. Pola tidur yang tidak menetap akan memberikan dampak terhadap kekurangan tidur sehingga akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikis seseorang. Gangguan pola tidur yaitu keadaan ketika individu mengalami atau beresiko mengalami suatu perubahan dalam kuantitas atau kualitas pola istirahatnya yang menyebabkan rasa tidak nyaman atau mengganggu gaya hidup yang diinginkannya.
61
Feinerg mengungkapkan bahwa sejak meninggalkan masa remaja, kebutuhan tidur seseorang menjadi relatif tetap. Luce dan Segal mengungkapkan bahwa faktor usia merupakan faktor terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur. Semakin bertambahnya usia berpengaruh terhadap penurunan dari periode tidur. Kebutuhan tidur umur 60 tahun ke atas rata - rata 6 jam sehari. Orang yang berusia lebih dari 60 tahun sering menyampaikan keluhan gangguan tidur, terutama masalah kurang tidur. Gangguan pola tidur pada kelompok usia lanjut cukup tinggi. Pada usia lanjut tersebut tentunya ingin tidur enak dan nyaman setiap hari, yang merupakan indikator kebahagiaan dan derajat kualitas hidup. Masalah tidur yang sering dialami oleh orang lanjut usia adalah sering terjaga pada malam hari, seringkali terbangun pada dini hari, sulit untuk tertidur, dan rasa lelah yang amat sangat pada siang hari. Gangguan tidur pada lansia dapat dibagi menjadi ; kesulitan masuk tidur, kesulitan untuk mempertahankan tidur nyenyak dan bangun terlalu pagi. Setiap tahun di dunia, diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Di Indonesia belum diketahui angka pastinya, namun prevalensi pada orang dewasa mencapai 20%. Sedangkan prevelensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%. Walaupun demikian hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah didiagnosis oleh dokter, meski demikian Faktor yang menyebabkan tingginya angka kecemasan sedang yang terjadi adalah beratnya beban yang dihadapi lansia. Serta adanya stresor pencetus yang menyebabkan lansia cemas, yaitu ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisiologis yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari – hari. Namun semuanya dikembalikan kepada mekanisme koping yang dimiliki oleh individu lansia, jika koping yang dimiliki positif maka kecemasan yang ada dapat diminimalisir.
62
Lanjut Usia
Psikologis
Degeneratif
Biologis
Kesendirian Ekonomi Religius Peran Sosial Kemunduran fungsi
Kecemasan
Ancaman terhadap sistem diri Identitas Harga diri Fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.
Postur Fleksibilitas Kekuatan Kelincahan Perubahan neurotransmiter
Kesegaran jasmani
Kualitas Tidur
Gambar 2.3. Kerangka Berpikir
Pembakaran Kalori Metabolisme General Sistem Imun Endorphin Hubungan Sosisal Kebugaran
62
Hipotesis
Berdasarkan hal tersebut peneliti membuat hipotesis yang berkaitan dengan kerangka berfikir dan konsep tersebut di atas, sebagai berikut: 1.
Ada hubungan positif antara kesegaran jasmani dengan kualitas tidur pada lanjut usia.
2.
Ada hubungan negatif antara kecemasan dengan dengan kualitas tidur pada lanjut usia.
3.
Ada hubungan secara bersama antara kesegaran jasmani dan kecemasan dengan dengan kualitas tidur pada lanjut usia.