BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Penelitian Relevan 1. Kajian ADHD a. Pengertian Istilah ADHD merupakan istilah berbahasa Inggris kependekan dari Attention Deficit Hiperactivity Disorder (Attention = perhatian, Deficit = kekurangan, Hiperactivity = hiperaktivitas, Disorder = gangguan). Atau dalam Bahasa Indonesia disebut Gangguan Pemusatan Perhatian Hiperaktif yang disingkat GPPH. Istilah ADHD atau GPPH ini digunakan untuk menunjuk anak
yang mengalami
gangguan perhatian
dan
gejala
hiperaktivitas. Penggunaan istilah untuk menunjuk anak-anak yang memiliki gangguan konsentrasi dan perilaku hiperaktif mengalami perubahan beberapa kali sejak gangguan tersebut ditemukan pertama kali. Menurut Martin (2008: 18), terjadinya perubahan istilah ini disebabkan adanya usaha-usaha menemukan dasar medis bagi gangguan perhatian dan hiperaktivitas dan munculnya gagasan-gagasan baru mengenai sebab-akibat dari gangguan tersebut. Beberapa istilah yang pernah digunakan antara lain gangguan pasca-ensefalitis, gangguan impuls hiperkinetik, dan disfungsi otak minimal. Pada tahun 1980-an, mulai digunakan istilah ADD (Attention Deficit Disorder) untuk anak yang memiliki gangguan perhatian dan ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder) untuk anak yang memiliki hiperaktivitas.
Kemudian
pada
tahun
1994,
American
Psychiatric
Association (APA) mendiagnosis anak dengan gangguan perhatian dan hiperaktivitas dengan istilah ADHD yang kita gunakan sampai saat ini (Thompson, 2014: 22). Meskipun terjadi perubahan istilah beberapa kali, namun maksud dari istilah-istilah tersebut tetaplah sama, yaitu untuk menunjuk anak yang mengalami gangguan perhatian dan hiperaktivitas.
7
8
Istilah ADHD jika ditinjau secara psikologis merupakan gangguan perilaku yang disebabkan disfungsi neurologis dengan gejala utama kesulitan memusatkan perhatian (Putranto, 2015: 86). Anak ADHD memiliki perilaku cenderung menyimpang (maladaptif), yang ditandai dengan kesulitan berkonsentrasi, perilaku hiperaktif, dan mengganggu orang lain di lingkungan sekitar. Di dalam kelas, anak ADHD berperilaku cenderung mengganggu orang lain misalnya memukul teman, menyela penjelasan guru, menyerobot antrian, dan sebagainya. Sehingga tidak jarang anak tersebut dilabeli sebagai anak nakal, pembuat onar, atau pengganggu. Menurut Baihaqi & Sugiarmin (2006: 2), istilah ADHD secara umum menjelaskan keadaan anak-anak yang memiliki gejala kurang konsentrasi, hiperaktif, dan impulsif yang memengaruhi keseimbangan sebagian besar aktivitas dalam kehidupan mereka. Anak dengan gejala kurang konsentrasi, berperilaku hiperaktif, dan impulsif, tidak dapat disebut anak ADHD jika aktivitas dalam kehidupannya tidak terganggu sama sekali. Bisa jadi gejalagejala tersebut muncul karena pengaruh dari lingkungan sekolah atau rumah. Pada anak ADHD, gejala-gejala tersebut di atas muncul bukan karena pengaruh lingkungan, namun karena terdapat kelainan yang menyebabkan anak ADHD tidak dapat mengontrol diri dalam menanggapi setiap rangsangan dari luar. Anak ADHD benar-benar mengalami kesulitan untuk mengantisipasi perilaku apa yang harus dilakukan untuk menanggapi situasi yang sedang berlangsung. Hal tersebut senada dengan penjelasan Martin (2008:
21)
yang
perkembangan
menyebutkan
yang
bahwa
menyebabkan
ADHD
adalah
penyandangnya
gangguan
tidak
bisa
mengantisipasi tindakan dan keputusan untuk masa yang akan datang, juga membuat penyandangnya tidak bisa menunggu, menahan diri untuk merespon situasi. Penjelasan lain mengenai pengertian ADHD terdapat dalam DSM V, yang menyebutkan:
9
“ADHD is a neurodevelopmental disorder defined by impairing levels of inattention, disorganization, and/or hyperactivity-impulsivity. Inattention and disorganization entail inability to stay on task, seeming not to listen, and losing materials, at levels that are inconsistent with age or developmental level. Hyperactivity-impulsivity entails overactivity, fidgeting, inability to stay seated, intruding into other people's activities, and inability to wait – symptoms that are excessive for age or developmental level…”. Secara garis besar, ADHD menurut DSM V adalah gangguan perkembangan neurologis yang ditunjukkan dengan adanya kurang perhatian, kekacauan sosial, dan/atau hiperaktivitas – impulsivitas. Kurang perhatian dan kekacauan sosial yang dimaksud meliputi ketidakmampuan berkonsentrasi pada tugas, tampak tidak mendengarkan, sering kehilangan barang-barang,
pada
tingkat
yang
tidak
konsisten
dengan
level
perkembangan. Sedangkan hiperaktivitas – impulsivitas yang dimaksud meliputi aktivitas yang berlebihan, gelisah, tidak dapat duduk tenang dalam waktu lama, mengganggu atau menyela kegiatan atau aktivitas orang lain, dan tidak dapat menunggu giliran (gejala yang berlebihan untuk level perkembangan). Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ADHD adalah gangguan perkembangan neurologis ditunjukkan dengan gejala gangguan perhatian, dan perilaku hiperaktif – impulsif yang berlebihan, tidak sesuai dengan level perkembangannya, sehingga memberi pengaruh negatif kehidupan sosial dan akademik penyandangnya.
b. Karakteristik Secara umum, anak ADHD memiliki karakteristik utama gangguan perhatian dan perilaku hiperaktif – impulsif. Gejala gangguan perhatian meliputi gerakan kacau, cepat lupa, mudah bingung, dan sulit mencurahkan perhatian terhadap tugas atau kegiatan bermain. Sedangkan gejala dari perilaku hiperaktif – impulsif meliputi emosi gelisah, kesulitan bermain dengan
tenang,
mengganggu
teman,
dan
selalu
bergerak
dikendalikan motor atau mesin (Baihaqi & Sugiarmin, 2006: 3).
seperti
10
Untuk lebih jelasnya, DSM V merincikan karakteristik anak yang mengalami ADHD dengan kriteria diagnostik sebagai berikut: 1) Pola tetap kurang perhatian dan/atau hiperaktivitas-impulsivitas yang menggangu fungsi atau perkembangan, seperti ditunjukkan pada poin a) dan/atau b): a) Kurang perhatian: enam (atau lebih) dari gejala berikut telah menetap selama minimal 6 bulan pada derajat yang tidak konsisten dengan level perkembangan dan berpengaruh negatif secara langsung pada sosial dan akademik/aktivitas pekerjaan: Catatan: gejala-gejala tersebut tidak semata-mata merupakan manifestasi dari perilaku menentang, membangkang, permusuhan, atau kegagalan memahami tugas atau instruksi. Pada remaja dan orang dewasa (17 tahun ke atas), minimal lima gejala dibutuhkan. (1) Sering gagal memberikan perhatian pada bagian-bagian kecil atau membuat kesalahan ceroboh dalam pekerjaan sekolah, dalam pekerjaan, atau dalam aktivitas lain (seperti melupakan atau melalaikan hal-hal kecil, pekerjaan tidak akurat). (2) Sering kesulitan menahan perhatian pada tugas atau aktivitas bermain (misalnya kesulitan tetap fokus selama kuliah, percakapan, atau membaca panjang). (3) Sering terlihat tidak mendengarkan ketika bercakap langsung (misal pikiran tampak di tempat lain, walaupun tidak ada gangguan yang jelas). (4) Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah, pekerjaan rumah, atau kewajiban di tempat kerja (misalnya memulai tugas namun cepat kehilangan fokus dan mudah keluar jalur). (5) Sering mengalami kesulitan mengatur tugas dan aktivitas (kesulitan mengatur rangkaian tugas, kesulitan menjaga barang-barang
dan
apa
yang
dimiliki
dengan
tertib;
11
berantakan, pekerjaan berantakan; memiliki manajemen waktu yang buruk; gagal memenuhi tenggat waktu). (6) Sering menghindari, tidak suka, atau enggan berhubungan dengan tugas yang membutuhkan usaha mental (tugas sekolah atau pekerjaan rumah; bagi remaja dan orang dewasa, menyiapkan laporan, melengkapi formulir, meninjau naskah panjang). (7) Sering kehilangan sesuatu yang dibutuhkan untuk tugas dan aktivitas (misalnya alat-alat sekolah, pensil, buku, dompet, kunci, tugas sekolah, kaca mata, ponsel). (8) Sering mudah dialihkan oleh rangsangan yang tidak ada hubungannya (pada remaja atau orang dewasa, dapat berupa pemikiran yang tidak berhubungan). (9) Mudah lupa dalam aktivitas sehari-hari (misal melakukan pekerjaan rumah, menjalankan perintah; bagi remaja atau orang dewasa, menelpon kembali, membayar tagihan, menepati janji). b) Hiperaktivitas dan impulsivitas: enam (atau lebih) dari gejala berikut telah menetap minimal 6 bulan pada derajat yang tidak konsisten dengan level perkembangan dan berakibat negatif secara langsung pada sosial dan akademik/aktivitas pekerjaan: Catatan: gejala tidak semata-mata merupakan manifestasi perilaku menentang,
membangkang,
permusuhan,
atau
kegagalan
memahami tugas atau instruksi. Pada remaja atau orang dewasa (17 tahun ke atas), minimal lima gejala dibutuhkan. (1) Sering gelisah dengan atau mengetukkan tangan atau kaki atau menggeliat di tempat duduk. (2) Sering meninggalkan tempat duduk pada situasi yang mengharapkan untuk tetap duduk (misal meninggalkan tempat di kelas, di kantor atau di tempat kerja, atau pada situasi lain yang membutuhkan tetap di tempat).
12
(3) Sering berlari-lari atau memanjat pada situasi yang tidak tepat. (catatan: pada remaja atau orang dewasa, dapat berupa perasaan gelisah saja.) (4) Sering tidak dapat bermain atau ikut serta dalam aktivitas waktu luang dengan tenang. (5) Sering “siap pergi”, bertindak seperti “dijalankan oleh motor/mesin” (misalnya tidak dapat atau tidak nyaman diam untuk waktu yang lama, seperti di restoran, pertemuan; bisa jadi dialami orang lain sebagai gelisah atau kesulitan untuk tatap tenang). (6) Berbicara terlalu sering (7) Sering menjawab tanpa berpikir sebelum pertanyaan selesai diucapkan (misalnya menyelesaikan kalimat orang lain; tidak dapat menunggu giliran dalam percakapan). (8) Sering mengalami kesulitan menunggu giliran (seperti saat menunggu antrian). (9) Sering menyela atau memaksa orang lain (misal memotong percakapan,
permainan,
atau
aktivitas;
bisa
mulai
menggunakan barang orang lain tanpa meminta atau mendapat ijin; pada remaja atau orang dewasa dapat berupa memaksa masuk atau menguasai apa yang sedang dilakukan orang lain). 2) Beberapa gejala kurang perhatian atau hiperaktif – impulsif muncul sebelum usia 12 tahun. 3) Beberapa gejala kurang perhatian atau hiperaktif – impulsif muncul pada dua tempat atau lebih (misal di rumah, di sekolah, tempat kerja; dengan teman atau kerabat; pada aktivitas-aktivitas lain). 4) Terdapat bukti yang nyata bahwa gejala-gejala tersebut mengganggu, atau mengurangi kualitas sosial, akademik, atau fungsi okupasi (pekerjaan). 5) Gejala-gejala tersebut tidak disertai gangguan skizofrenia atau gangguan psikotik lain dan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan
13
mental lain (seperti gangguan mood, gangguan kegelisahan, gangguan disosiatif, gangguan kepribadian, di bawah pengaruh obat atau penarikan diri dari masyarakat). Pada dasarnya, tidak semua kriteria diagnostik ADHD dalam DSM V dimiliki oleh anak ADHD. Terdapat beberapa hal yang luput dalam kriteria diagnostik tersebut. Martin (2008: 27-37) melengkapi karakteristik anak ADHD berdasarkan penelitian para ahli, antara lain; 1) kurang perhatian dan mudah terganggu yang ditandai kesulitan menekuni tugas disebabkan oleh ketidakmampuan anak ADHD dalam memilih stimulus yang penting dan tidak penting dari lingkungan sekitar ketika ia memperhatikan suatu hal; 2) hiperaktivitas yang ditandai gejala kegelisahan sampai gerakan yang terus menerus, serta adanya variasi emosi yang lebih besar dan intens pada anak ADHD sehingga ia cepat frustasi karena hal kecil, dan cepat melupakan kejadian menyedihkan begitu saja; 3) impulsivitas yang ditandai kesulitan anak memperhitungkan konsekuensi dari rencana atau tindakan-tindakan tertentu, hal ini menyebabkan anak ADHD selalu ingin menguasai semua interaksi sosial yang berakibat penolakan dari lingkungan sosial; 4) kesulitan mematuhi peraturan yang disebabkan oleh masalah anak ADHD dalam pengendalian diri, sehingga ia tidak bisa menaati peraturan meskipun sebetulnya ia ingin menaatinya; dan 5) hiperfokus yang dialami sebagian kecil anak ADHD, menyebabkan anak tersebut begitu fokus terhadap hal yang menarik baginya sampai tidak peduli dengan keadaan sekitar. Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada umumnya anak ADHD memiliki karakteristik gangguan pemusatan perhatian yang ditunjukkan dengan kesulitan berfokus pada tugas atau aktivitas lain, mudah bingung, mudah lupa, sering gagal mengatur tugas atau aktivitas dengan baik, dan sebagainya. Karakteristik lain yang dimiliki anak ADHD adalah hiperaktivitas dan impulsivitas yang meliputi sering tampak gelisah, selalu bergerak, menyela pembicaraan, tidak dapat menunggu giliran, melanggar peraturan, dan lain-lain.
14
c. Tipe Beberapa ahli membuat kategorisasi ADHD untuk mempermudah mencari penanganan yang tepat untuk anak yang mengalami ADHD. Kategorisasi pada umumnya dibuat berdasarkan karakteristik mana yang lebih banyak muncul, dan berdasarkan tingkat keparahan gejala dan akibatnya terhadap aspek kehidupan. Beberapa anak ADHD dapat memiliki karakteristik gangguan perhatian dan perilaku hiperaktif – impulsif. Beberapa anak lain hanya memiliki gejala gangguan perhatian saja, atau gangguan perilaku hiperaktif – impulsif saja. Hal tersebut menyebabkan anak ADHD dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe ADHD gabungan, tipe ADHD kurang memerhatikan, dan tipe ADHD hiperaktif – impulsif (Baihaqi & Sugiarmin, 2006: 7-8). Dalam Australian Guidelines on ADHD (2009), secara umum tipe ADHD dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu tipe kombinasi yang memiliki gejala kurang perhatian dan gejala hiperaktif – impulsif, dan tipe sebagian yang dibagi lagi menjadi subtipe sebagian inattentif dan subtipe sebagian hiperaktif – impulsif. Selain berdasarkan gejala yang muncul, anak ADHD dapat dikategorikan berdasarkan derajat keparahannya. Dalam DSM V, ADHD dikategorikan berdasarkan derajat keparahannya menjadi tiga, yaitu; 1) ringan, jika gejala yang muncul hanya menimbulkan sedikit gangguan pada kehidupan sosial dan fungsi okupasi; 2) sedang, jika efek yang muncul cukup mengganggu kehidupan sosial dan fungsi okupasi; dan 3) berat, jika gejala yang muncul sangat parah dan menyebabkan gangguan yang sangat mencolok pada kehidupan sosial dan fungsi okupasi. Pada remaja atau orang dewasa dengan ADHD, umumnya gejala gangguan yang muncul tidak disertai hiperaktivitas, hanya gangguan perhatian disertai impulsivitas. Sehingga untuk remaja dan orang dewasa dengan ADHD, Weiss menggolongkan ADHD menjadi tiga tipe, yaitu ADD yang diekspresikan ke luar, ADD yang ditujukan ke dalam, dan ADD yang
15
sangat berstruktur (Martin, 2008: 40). Weiss menggunakan istilah ADD karena pada remaja dan orang dewasa, gejala hiperaktif tidak terlihat. Dari berbagai kategorisasi ADHD di atas, dapat disimpulkan bahwa kategorisasi yang sering digunakan berdasarkan gejala yang muncul. Tipe ADHD berdasarkan gejala yang muncul adalah: 1) Tipe gabungan dengan gejala kurang perhatian dan hiperaktif – impulsif muncul sama banyak 2) Tipe kurang perhatian dominan yang dapat dibagi lagi menjadi subtipe ekspresif keluar, subtipe tertutup, dan subtipe terstruktur. 3) Tipe hiperaktif – impulsif dominan
d. Permasalahan Adanya gangguan yang dimiliki oleh anak ADHD tentu menimbulkan permasalahan pada hampir semua aspek kehidupannya. Permasalahanpermasalahan ini dapat mengganggu kelancaran hidup anak ADHD itu sendiri, orang tua, dan bahkan lingkungan sekitar. Permasalahan yang muncul dapat berupa: 1) Masalah dalam Kehidupan Sehari-hari Anak ADHD yang memiliki gangguan perilaku hiperaktif akan kesulitan mengontrol atau menghentikan aktivitas atau gerakan yang tidak penting. Aktivitas atau perilaku tidak terkontrol dan tidak terduga ini bisa menyebabkan peningkatan resiko terjadinya kecelakaan atau terluka pada anak tersebut (Australian Guidelines, 2009). Kecelakaan yang
diakibatkan
oleh
aktivitas
berlebihan
ini
tidak
hanya
membahayakan diri sendiri, namun juga dapat membahayakan orang lain. Selain itu, pengendalian emosi anak ADHD yang buruk akan mengakibatkan tindakan agresif, kemarahan yang meluap-luap, dan reaksi berlebihan pada hal kecil (Wood, 2005: 123). Anak ini bisa tibatiba marah besar pada orang lain hanya karena kesalahan kecil, atau tibatiba merasa sangat sedih karena suatu kejadian sepele.
16
Gangguan kurangnya perhatian pada anak ADHD juga menimbulkan masalah pada kehidupan sehari-hari. Anak yang memiliki gangguan kurang perhatian akan cenderung mudah lupa. Mereka mudah lupa dengan kegiatan-kegiatan yang rutin, mudah melupakan janji, dan sulit tepat waktu. Anak-anak ini mengalami disorganisasi aktivitas, sehingga dalam melakukan aktivitas sehari-hari cenderung ceroboh, terburu-buru dan acak-acakan (Baihaqi & Sugiarmin, 2006: 65). 2) Masalah Kesehatan Anak ADHD yang memiliki gejala hiperaktif, akan selalu bergerak seakan tidak kenal lelah. Keadaan ini juga dapat memengaruhi pola tidur anak. Beberapa anak ADHD memiliki pola tidur yang cenderung pendek dan tidak nyenyak (Martin, 2008: 30). Menurut hasil penelitian terdahulu, orang tua dari anak ADHD sering melaporkan anak mereka mengalami infeksi pernafasan, masalah telinga, alergi, dan asma (Suharmini, 2004). Terkait dengan pengendalian diri, sebagian anak ADHD mengalami kesulitan mengendalikan diri terhadap makanan. Hal ini menyebabkan sebagian anak tersebut mengalami obesitas (Australian Guidelines, 2009). 3) Masalah Interaksi Sosial Sebagian besar anak ADHD mengalami masalah dengan teman-teman sebaya. Anak ADHD cenderung lebih ditolak oleh teman sebayanya, memiliki lebih sedikit hubungan perteman, dan memiliki keterampilan sosial yang lebih rendah (Ransone, 2009). Hal tersebut dikarenakan kecenderungan impulsif dan kesulitan menguasai diri pada anak ADHD. Anak ADHD tidak dapat menunggu gilirannya bicara, sehingga ia cenderung terlalu banyak bicara, sering menyela pembicaraan, menguasai atau mendominasi percakapan dan diskusi (Wood, 2005:122). Hal tersebut menyebabkan anak-anak sebayanya enggan bermain dan bercakap-cakap dengannya.
17
Anak ADHD tipe hiperaktif – impulsif dominan dapat menunjukkan perilaku yang agresif dan sangat mengganggu, sedangkan pada tipe kurang perhatian cenderung lebih penyendiri (Identifying and Treating, 2008). Kecenderungan berperilaku agresif dan penyendiri menyebabkan anak-anak ADHD dikucilkan dari lingkungan sosial. Anak ADHD yang berperilaku agresif mengganggu aktivitas bermain atau berkelompok, sedangkan anak ADHD yang penyendiri sulit bergabung dengan temanteman sebayanya. NIMH, Swanson, Waslick & Greenhill (Identifying and Treating, 2008) menyebut anak-anak dari kedua tipe ADHD ini kurang kooperatif dengan teman-teman sebaya mereka dan kurang dapat menunggu giliran atau permainan berdasarkan aturan. Terdapat beberapa perilaku lain anak ADHD yang menyebabkan dikucilkan atau dijauhi teman-temannya, antara lain tidak menuruti perintah orang lain, mendebat, marah yang meledak-ledak, perilaku menyimpang dan bertentangan seperti senang pamer dan berdusta (Suharmini, 2004). Perilaku-perilaku ini membutuhkan penanganan yang tepat dan segera, supaya tidak mengganggu kehidupan anak ADHD di masa depan. 4) Masalah Akademik Hasil penelitian terdahulu menyebutkan banyak anak ADHD memiliki prestasi akademik yang rendah. Pada anak ADHD tipe kurang perhatian, prestasi belajar anak dalam hal membaca, mengeja, dan matematika sering lebih rendah dari anak-anak lain di kelasnya (Australian Guidelines, 2009). Hal ini dikarenakan gangguan kurang perhatian memengaruhi
anak
dalam
mendengarkan
penjelasan,
mengikuti
petunjuk/arahan, dan mempertahankan perhatian terhadap materi yang diberikan. Anak ADHD di dalam kelas juga identik dengan tulisan yang jelek dan tugas yang tidak tuntas. Tulisan yang jelek bisa jadi disebabkan masalah aktivitas motorik dan sikap impulsif yang terburu-buru. Sedangkan tugas yang tidak tuntas disebabkan anak kurang dapat
18
menghargai waktu dan frustasi terhadap tugas yang sulit dan membosankan (Baihaqi & Sugiarmin, 2006 : 64-65).
e. Kebutuhan Kebutuhan dasar setiap anak pada hakikatnya adalah sama. Menurut Witmer & Kontinsky dan Frampton & Gall (Chalidah, 2005: 34), setiap anak, baik berkebutuhan khusus maupun tidak, memiliki delapan kebutuhan yang sama, yaitu: perasaan terjamin kebutuhannya akan terpenuhi, perasaan berwenang mengatur diri, perasaan dapat menurut prakarsa sendiri, perasaan puas telah melaksanakan tugas, perasaan bangga atas identitas diri, perasaan keakraban, perasaan keorang-tuaan, dan perasaan integritas. Selain kebutuhan umum di atas, anak ADHD membutuhkan beberapa hal lain yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahannya, antara lain: 1) Intervensi Perilaku Anak ADHD membutuhkan intervensi perilaku untuk mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari juga masalah interaksi sosial. Intervensi
perilaku
untuk
masalah
kehidupan
sehari-hari
dapat
menggunakan jadwal kegiatan setiap hari secara detail. Tujuannya adalah agar anak melakukan setiap aktivitas dengan terstruktur, tidak ceroboh dan acak-acakan. Penggunaan jadwal aktivitas sehari-hari ini juga dapat menghindarkan anak dari ‘menganggur’, sehingga ia berperilaku hiperaktif, tidak terkendali. Mengenai masalah interaksi sosial, intervensi perilaku dapat digunakan untuk membantu anak ADHD menunjukkan perilaku yang paling tepat dan sesuai dengan keadaan dan teman-temannya (Teaching Children, 2006). Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006: 89), prinsip intervensi perilaku membutuhkan beberapa teknik bantuan (multiple prompts) supaya berjalan dengan baik, dan anak segera mendapat imbalan jika berperilaku baik.
19
Penanganan atau intervensi perilaku memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, namun yang paling utama adalah orang tua dan guru. Program penanganan perilaku oleh guru diterapkan di sekolah dan dapat dilanjutkan di rumah supaya lebih efektif. Wood (2005: 164) menyebutkan beberapa cara intervensi perilaku anak ADHD yang dapat dilakukan baik di rumah maupun di sekolah, antara lain penerapan modifikasi kebiasaan anak, penggunaan kartu laporan harian untuk mencatat capaian perubahan perilaku anak, penggunaan program kegiatan pada hari libur dan akhir pekan, penyelenggaraan kelas khusus untuk terapi perilaku, dan memberikan latihan perilaku khusus bagi anak. Intervensi perilaku dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, mulai dari metode yang melibatkan aktivitas motorik anak, hingga metode yang melatih kesadaran anak mengenai pentingnya pengendalian perilaku. Suharmini (2005: 141-188) menjelaskan beberapa cara intervensi perilaku, antara lain metode sensory integrative, terapi permainan, terapi musik, modifikasi perilaku, dan latihan pengelolaan perilaku. 2) Diet dan Pola Hidup Sehat Diet makanan dianggap dapat mengurangi kemunculan perilaku hiperaktif pada anak ADHD. Makanan yang perlu dihindari oleh anak ADHD adalah makanan yang mengandung pengawet dan pewarna buatan, seperti sodium benzoate (Australian Guidelines, 2009). Menurut Yuliarti
(Nasution,
2014),
beberapa
zat
pewarna
yang
dapat
menimbulkan perilaku hiperaktif pada anak antara lain amaranth, tartazin, indigotin, dan eritrosin. Selain mengatur pola makan, anak ADHD memerlukan penyaluran dari energinya yang berlebihan. Penyaluran energi yang berlebihan ini dapat berupa olah raga atau aktivitas fisik yang sesuai dengan anak. 3) Intervensi Akademik Baihaqi dan Sugiarmin (2006: 77) untuk menggunakan intervensi akademik untuk siswa ADHD yang lebih kecil, guru perlu menetapkan
20
peraturan kepada anak. Peraturan yang ditetapkan harus mengikuti tiga tahapan proses, yaitu a) tahap persetujuan dan penjelasan peraturan, imbalan, dan sanksi, b) tahap komitmen dengan orang tua atau pengawas di rumah, dan c) tahap meneliti dan mempertimbangkan kembali peraturan. Setelah melewati tahapan-tahapan tersebut, kemudian rencanakan halhal lain dalam kegiatan pembelajaran, seperti kemampuan anak menghadapi tingkat kegiatan, meningkatkan rentang perhatian, dan pengendalian impuls.
2. Kajian Perilaku Maladaptif a. Pengertian Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah lepas dari perilaku. Perilaku manusia diwujudkan melalui semua aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Itulah mengapa perilaku sering disinonimkan dengan aktivitas, aksi, perbuatan, respon, dan reaksi. Secara teknis, perilaku merupakan aktivitas muscular, glandular, atau elektrikal dari organisme, sehingga pada manusia perwujudannya berupa hal-hal yang dikatakan atau dilakukan (Martin & Pear, 2011: 3). Berdasarkan teori Bandura dalam Walgito (2003: 17), perilaku adalah respon dari seseorang terhadap stimulus lingkungan, yang kemudian dapat memengaruhi orang itu sendiri. Menurut Walgito (2003: 15), perilaku tidak hanya terbatas pada aktivitas atau kegiatan yang tampak (overt behavior) saja, perilaku juga bisa berupa aktivitas yang tidak tampak (innert behavior). Perilaku yang tampak dapat dengan mudah diamati karena biasanya muncul sebagai aktivitas motorik, seperti berlari, berjalan, melihat, berbicara, dan sebagainya. Sedangkan perilaku yang tidak tampak, manifestasinya dapat melalui aktivitas berpikir dan merasa (kognitif atau emosional). Perilaku manusia sebenarnya adalah berbagai aktivitas baik secara fisik maupun psikis yang merupakan tanggapan terhadap stimulus dari
21
lingkungan, yang kemudian memengaruhi manusia itu sendiri. Perilaku dinilai berdasarkan norma di lingkungan tempat tinggal seseorang. Sehingga ketika seseorang berperilaku tidak sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya, orang tersebut dianggap berperilaku menyimpang (bermasalah) atau disebut juga berperilaku maladaptif. Perilaku maladaptif adalah hasil dari belajar yang salah dan tidak sesuai dengan norma, namun dapat diubah atau diperbaiki menggunakan modifikasi perilaku (Sunardi, 2010: 1). Penjelasan lain mengenai perilaku maladaptif atau perilaku bermasalah menyebutkan bahwa perilaku tersebut merupakan kebiasaan negatif atau tidak tepat, dan tidak sesuai dengan harapan (Latipun, 2008: 135). Perilaku maladaptif ini terbentuk secara perlahan melalui interaksi dengan lingkungan. Pada awal muncul aktivitas negatif tersebut, seseorang mungkin secara tidak langsung mendapatkan respon dari lingkungan yang secara tidak sengaja justru menjadi penguat bagi aktivitas tesebut. Sehingga, aktivitas negatif tersebut akan terulang lagi di kemudian hari dan menjadi kebiasaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perilaku maladaptif merupakan segala bentuk aktivitas baik tampak maupun tidak tampak yang menyimpang dan tidak sesuai dengan harapan lingkungan, yang mana perilaku ini terbentuk dari hasil belajar yang keliru.
b. Jenis Perilaku Jenis perilaku menurut Skinner ada dua, yaitu perilaku alami (innate behavior) dan perilaku operan (operant behavior). Perilaku alami merupakan refleks-refleks atau insting yang ada pada manusia sejak lahir, sedangkan perilaku operan adalah perilaku yang terbentuk lewat proses belajar (Walgito, 2003: 17). Perilaku alami dimiliki oleh manusia sejak lahir, Darwin (Mustafa, 2011: 144) menjelaskan perilaku ini dibutuhkan manusia untuk mempertahankan hidup. Manusia memiliki perilaku alami untuk dapat mempertahankan diri. Perilaku ini terjadi secara spontan, bukan sebagai penyesuaian dengan
22
lingkungan sekitar. Perilaku ini benar-benar terjadi tanpa direncanakan dan merupakan respon alami terhadap suatu hal, misalnya ketika jari kita tidak sengaja menyentuh ujung jarum, maka secara spontan kita akan menarik tangan. Sedangkan perilaku operan dijelaskan Dewey sebagai respon terhadap lingkungan yang terus berubah sesuai situasi sekitar termasuk orang lain (Mustafa, 2011: 145). Perilaku ini dilakukan secara sadar, bukan dikendalikan insting semata. Perilaku sangat berhubungan dengan keadaan sekitar, baik lingkungan fisik maupun nonfisik, sehingga perilaku ini disebut juga perilaku terintegrasi (Walgito, 2003: 18). Perilaku ini dapat dipelajari, dan diubah melalui penyesuaian-penyesuaian yang disebut sebagai proses belajar. Secara umum, perilaku dibagi menjadi dua, yaitu perilaku alami yang dimiliki manusia sejak lahir dan perilaku operan yang dimiliki manusia sebagai hasil belajar dengan lingkungan sekitar. Perilaku alami dimiliki manusia supaya dapat bertahan hidup dan melindungi diri. Sedangkan perilaku operan dimiliki manusia yang merupakan mahluk sosial, supaya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial di sekitarnya.
3. Kajian Penanganan Perilaku Maladaptif a. Bentuk dan Teknik Penanganan Perilaku Penanganan perilaku atau disebut juga modifikasi perilaku adalah hampir semua tindakan yang dilakukan untuk mengubah perilaku (Purwanta, 2005: 7). Bentuk penanganan perilaku dapat berupa pembentukan perilaku yang belum dimiliki oleh anak, peningkatan dan pemeliharaan perilaku yang diharapkan, serta pengurangan dan penghapusan perilaku yang tidak diharapkan. Pembentukan perilaku manusia dapat melalui cara kondisioning atau pembiasaan, pengertian atau insight, dan melalui modelling (Walgito, 2003: 18). Peningkatan dan pemeliharaan perilaku menurut Purwanta (2005: 34-67) dapat menggunakan penguatan positif yang berupa hadiah atau pujian dan penguatan negatif yang berupa ketiadaan benda kebutuhan pokok
23
atau cemoohan. Sedangkan mengenai pengurangan dan penghapusan perilaku, Purwanta (2005: 73-104) juga menyebutkan beberapa prosedur yang tepat, antara lain extinction (penghapusan), hukuman, pendekatan positif, denda, dan penyisihan sesaat. Penanganan perilaku atau modifikasi perilaku juga dapat diterapkan menggunakan teknik-teknik khusus seperti modelling, token economic, atau behavior contract.
b. Teknik Penanganan Perilaku Behavior Contract Menurut Komalasari, Wahyuni, dan Karsih (2011: 172), behavior contract atau disebut juga contingency contracting adalah kontrak antara konseli
dan
konselor
untuk
mengatur
keadaan
sehingga
konseli
menampilkan tingkah laku yang diinginkan. Konseli dalam hal ini adalah anak yang akan diubah perilakunya, sedangkan konselor adalah pihak yang akan mengubah perilaku anak (dapat dilakukan oleh guru jika di dalam kelas). Dalam pembuatan kontrak perilaku ini, kedua belah pihak harus saling sepakat mengenai perilaku yang akan diubah dan penguat yang akan didapatkan anak. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Latipun (2008: 145) yang menyatakan: “Kontrak perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih (konselor dan klien) untuk mengubah perilaku tertentu pada klien. Konselor dapat memilih perilaku yang realistik dan dapat diterima oleh kedua belah pihak. Setelah perilaku dimunculkan sesuai dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan kepada klien. Dalam terapi ini ganjaran positif terhadap perilaku yang dibentuk lebih dipentingkan daripada pemberian hukuman jika kontrak perilaku tidak berhasil”. Anak harus sudah mengetahui ganjaran apa yang ia dapat ketika berperilaku sesuai dengan kontrak, harapannya supaya anak selalu berusaha untuk berperilaku yang sesuai. Kontrak perilaku hendaknya memiliki sebuah target yang jelas, dapat berupa peningkatan akademik atau tingkah laku tertentu. Kontrak perilaku hendaknya memiliki bukti fisik yang di dalamnya tercantum hal-hal yang disepakati. Hal tersebut sesuai dengan
24
pernyataan Miltenberger yang menyebutkan bahwa kontrak perilaku merupakan suatu bentuk kesepakatan yang tertulis dari dua belah pihak (Wibowo, 2013). Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa behavior contract merupakan suatu persetujuan secara tertulis antara dua pihak bersepakat dengan tujuan mencapai suatu target, yang dapat berupa peningkatan akademik atau perilaku tertentu.
c. Prinsip Dasar, Tujuan dan Manfaat Behavior Contract Komalasari, dkk. (2011: 172) menyebutkan beberapa prinsip dasar pembuatan behavior contract, yaitu; 1) kontrak disertai penguatan, 2) penguatan diberikan dengan segera, 3) kontrak harus dinegosiasikan dan disepakati oleh kedua belah pihak, 4) kontrak harus adil, 5) target, frekuensi, lama berlaku kontrak harus jelas, dan 6) kontrak dilaksanakan secara terintegrasi dengan program sekolah. Setiap hal dasar dalam kontrak harus diperhatikan dan dipertimbangkan, supaya kontrak tersebut tidak berat sebelah. Pemilihan penguat juga harus dipertimbangkan efeknya bagi anak. Jangan sampai penguat justru menyebabkan anak ketergantungan. Sedangkan tujuan dari penggunaan behavior contract menurut Victorique (Wibowo, 2013) antara lain untuk melatih anak mengubah perilaku maladaptif menjadi adaptif, melatih kemandirian berperilaku, dan meningkatkan kemampuan dan keterampilan perilaku anak. Selain tiga hal di atas, penggunaan behavior contract ini bertujuan untuk melatih anak untuk terbiasa mengendalikan perilakunya, membentuk kesadaran dalam diri anak mengenai pentingnya mengendalikan perilaku, dan memberi pemahaman pada anak mengenai dampak-dampak positif dari berperilaku adaptif. Behavior contract sangat bermanfaat bagi semua peserta didik jika diterapkan dengan tepat. Victorique (Wibowo, 2013) menyebutkan empat manfaat penggunaan behavior contract, antara lain; 1) membantu anak
25
meningkatkan tingkah laku adaptif dan menekan tingkah laku maladaptif, 2) membantu anak disiplin dalam berperilaku, 3) memberikan pengetahuan mengenai cara mengubah perilaku diri sendiri, dan 4) meningkatkan rasa percaya diri. Selain bermanfaat untuk individu berperilaku maladaptif, behavior contract ini juga memberi manfaat pada anak-anak lain baik individu maupun kelompok. Manfaat behavior contract bagi anak bergangguan perilaku dan emosi menurut Allen & Kramer, LaNunziata et al., Mruzek et al., dan Hawkins et al. antara lain keterampilan sosial meningkat, perilaku menaati peraturan meningkat, dan bahkan dapat mengurangi perilaku agresif anak dengan gangguan gangguan spektrum autistik (ASD). Sedangkan manfaat bagi anak-anak tanpa diagnosis kelainan pada kelas reguler menurut De Martini-Scully et al., Wilkinson, dan Schoen & James antara lain meningkatkan penghargaan terhadap permintaan guru, mengurangi perilaku mengganggu kelas, dan mengurangi ijin keluar kelas selama pelajaran (Selfridge, 2014).
d. Langkah-langkah Penyusunan Behavior Contract Terdapat beberapa langkah penyusunan behavior contract yang secara umum akan memudahkan pembuatan kesepakatan antara dua belah pihak. Langkah-langkah pembuatan menurut Komalasari, dkk. (2011: 173) yaitu; 1) menentukan perilaku yang akan diubah dengan analisis ABC (Anteseden, Behavior, Consequence), 2) menentukan data awal (baseline) perilaku yang akan diubah, 3) memilih jenis penguatan yang akan dipakai, 4) memberikan penguatan setiap kali perilaku yang diharapkan muncul sesuai jadwal kontrak, dan 5) memberikan penguatan setiap saat perilaku yang muncul menetap. Sedangkan langkah penyusunan behavior contract menurut Collins (Wibowo, 2013) hanya ada empat, antara lain merinci perilaku yang akan diubah, merinci kriteria, menjelaskan imbalan untuk perubahan tingkah laku, dan membuat kontrak secara tertulis.
26
Mengenai langkah penyusunan behavior contract yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1) Bertatap muka dengan anak. 2) Mengidentifikasi perilaku maladaptif anak di dalam kelas dan akibatnya. 3) Menentukan satu perilaku maladaptif yang akan diubah 4) Menyusun kontrak secara tertulis yang berisi perilaku maladaptif yang muncul, perilaku target, sanksi, dan hadiah, sesuai persetujuan kedua belah pihak. 5) Menandatangani kontrak, kemudian memantau pelaksanaan kontrak yang telah disetujui.
e. Kelebihan dan Kekurangan Behavior Contract Setiap metode, teknik, atau strategi untuk memodifikasi perilaku memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Seperti halnya teknik behavior contract yang memiliki beberapa kelebihan seperti 1) dapat membantu proses meningkatkan perilaku positif anak didik dan mengurangi penggunaan skorsing di sekolah, 2) pada penggunaan yang tepat dapat memperbaiki permasalahan anak dan memudahkan dalam hal monitoring perubahannya, 3) behavior contract sangat efisien, fleksibel, dan mudah diterapkan, 4) guru tetap dapat menggunakan behavior contract untuk target selanjutnya, setelah satu target tercapai, 5) dapat digunakan oleh orang tua sebagai lanjutan program yang akan diterapkan di lingkungan rumah, dan sebagainya (Strahun, O’Connor & Peterson, 2013). Sedangkan kekurangan dari behavior contract ini antara lain 1) membutuhkan waktu yang cukup lama dalam pelaksanaannya, juga 2) hasilnya menjadi kurang maksimal ketika konselor kurang tegas dan disiplin dalam memberikan penguatan sesuai perilaku yang muncul.
B. Kerangka Berpikir Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disusun kerangka berpikir penelitian sebagai berikut:
27
Anak ADHD mengalami gangguan perkembangan neurologis dengan gejala gangguan konsentrasi dan perilaku hiperaktif – impulsif, yang ditunjukkan dengan perilaku maladaptif seperti kurang konsentrasi pada tugas, tidak mendengarkan, gelisah, tidak dapat duduk tenang, mengganggu orang lain, dan menyela penjelasan atau perkataan orang lain. Perilaku maladaptif ini jika tidak segera ditangani, kelak akan menyebabkan pengaruh negatif pada kehidupan sosial dan akademik anak. Untuk mengatasi perilaku maladaptif ini, cara yang dapat digunakan antara lain dengan pengertian (insight), kondisioning respon, kondisioning operan, dan modelling. Keempat hal tersebut merupakan prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam membentuk perilaku melalui modifikasi perilaku. Salah satu teknik spesifik modofikasi perilaku yang dapat digunakan untuk mengatasi perilaku maladaptif adalah teknik behavior contract. Menurut hasil penelitian, behavior contract atau disebut juga contingency contracting dapat digunakan untuk mengurangi perilaku maladaptif siswa-siswa SMP di Rembang yang berupa perilaku membolos. Selain dapat mengatasi permasalahan perilaku, teknik ini juga dapat mengatasi permasalahan akademik. Terbukti melalui sebuah penelitian yang hasilnya menyatakan bahwa behavior contract ini dapat meningkatkan konsentrasi belajar pada siswa SMK di Bali. Teknik behavior contract ini dapat digunakan untuk mencapai suatu target perilaku, yang bisa berupa peningkatan akademik atau perilaku tertentu. Perilaku yang dapat dikurangi dengan behavior contract ini antara lain perilaku maladaptif. Sehingga, teknik ini efektif untuk mengurangi perilaku maladaptif siswa ADHD kelas III A SD Al Firdaus Surakarta tahun 2015/2016, yang berupa aktivitas-aktivitas yang tidak berhubungan dengan kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung seperti berusaha untuk dapat memasukkan makanan ke dalam mulut, menyela penjelasan guru, dan mengganggu teman. Dari uraian di atas, kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
28
Pembelajaran bagi siswa ADHD di kelas III A SD Al Firdaus Surakarta
Guru kelas belum menerapkan behavior contract untuk mengurangi perilaku maladaptif siswa ADHD
Guru kelas sudah menerapkan behavior contract untuk mengurangi perilaku maladaptif siswa ADHD
Frekuensi perilaku maladaptif siswa ADHD tinggi
Frekuensi perilaku maladaptif siswa ADHD rendah
Gambar 2. 1 Bagan Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Hipotesis menurut Purwanto dan Sulistyastuti (2007:137) merupakan tuduhan sementara bahwa masalah dalam penelitian itu belum pasti kebenarannya, sehingga memerlukan uji empiris. Tuduhan atau pernyataan diutarakan pada awal penelitian, kemudian pernyataan tersebut diuji secara empiris melalui percobaan. Sedangkan menurut Somantri & Muhidin (2006:157), hipotesis adalah pernyataan sementara yang membutuhkan uji kebenaran, dan terbagi menjadi dua, yaitu hipotesis penelitian dan hipotesis statistik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis merupakan rancangan pernyataan sementara mengenai hasil penelitian yang harus diuji secara empiris. Dalam penelitian ini peneliti mengajukan hipotesis berupa penggunaan behavior contract dapat mengurangi perilaku maladaptif siswa ADHD kelas III A SD Al Firdaus Surakarta tahun 2015/2016.