BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Hakikat Novel Berbagai pendapat mengenai novel telah banyak dikemukakan oleh para ahli sastra, tetapi hingga kini belum dibakukan yang dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini karena novel terlalu luas cakupanya dan tidak hanya mencakup satu masalah saja, tetapi banyak hal. Berikut ini peneliti sampaikan beberapa definisi tentang novel, meskipun masih bersifat umum. Istilah novel berasal dari bahasa Italia yakni novella yang artinya cerita pendek dalam sebuah bentuk prosa (Wardani 2009: 15). Menurutnya novel adalah fiksi yang terdiri dari 50.000 kata atau lebih dan mengungapkan cerita tentang kehidupan tokoh dan nilai-nilainya. Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Stanton (2012: 90) menurutnya novel memiliki bentuk yang panjang. Artinya bentuk cerita dengan alur yang cukup panjang, berisi satu buku atau lebih yang mengisahkan suatu kehidupan dan bersifat imajinatif. Selain itu, novel tidak memiliki bentuk tema yang menonjol seperti cerpen. Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Dengan begitu novel mampu menciptakan satu semesta yang lengkap terdiri dari beberapa episode rumit karena menampung dari berbagai peristiwa dan pengalaman. Sayuti (1997: 7) menyatakan bahwa sebuah novel jelas tidak dapat dibaca selesai dalam sekali duduk. Karena panjangnya, sebuah novel secara khusus cukup mempermasalahkan karakter tokoh dalam sebuah perjalanan waktu. Jadi salah satu efek perjalanan waktu dalam novel ialah pengembangan karakter tokoh. Secara ringkas Nurgiyantoro (2005: 11) menyebutkan bahwa novel adalah sebuah cerita yang panjang mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, rinci, detail, dan lebih melibatkan
8
9
berbagai permasalahan yang kompleks hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel. Dengan demikian, novel merupakan prosa panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh, menampilkan serangkaian peristiwa, dan latar secara tersusun. Panjang, tebal, dan halaman sebuah novel tidak bisa ditentukan tetapi biasanya lebih panjang dari cerita pendek. Novel merupakan karya sastra yang banyak mengandung nasihat, teladan kehidupan, agama, bahkan juga ilmu pengetahuan. Sebuah novel dapat memperluas pengalaman manusia karena didalamnya terdapat banyak nilai kehidupan yang diungkapkan. Selain sebagai seni sastra, novel juga berperan sebagai penyampai misi-misi kemanusiaan yang tidak terkesan menggurui sebab, sangat halus dan mendalam. Pendapat lain dikemukakan oleh Ratna (2014: 630) yang menyebutkan bahwa novel adalah proses reduksi masyarakat dalam bentuk kreativitas imajinatif yang paling sempurna. Kesempurnaan yang terdapat dalam novel tersebut karena adanya berbagai macam konflik yang terjadi di masyarakat disertai dengan pemecahan masalah. Pada umumnya novel berupa karangan yang berisi kisah realitas dan merupakan refleksi dari kehidupan kontemporer dengan karakter dan kepedulian akan masalah-masalah esensial dari kehidupan masyarakat perkotaan (Putra, 2015: 12). Karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap perilaku. Untuk itu daya imajinasi pengarang membuat sebuah cerita dalam novel sangat diperlukan untuk membuat pembaca tertarik untuk membaca. Dengan demikian, dapat dikatakan hakikat dari novel adalah suatu cerita fiksi yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang yang menggambarkan pengalaman, pemikiran, dan mengungkapkan konflik kehidupan para tokohnya. Pengarang membuat novel sebagai tanggapan dan menyikapi realitas kehidupan masyarakat di sekelilingnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel tersebut pada akhirnya oleh pembaca dapat diambil hikmah atau sebuah pelajaran yang bermanfaat bagi kehidupan.
10
Dengan demikian, penelitian yang akan dikaji oleh peneliti memiliki persamaan yang telah dilakukan oleh Windha Dwi Lestari (2015) dengan judul “Analisis Penokohan dan Nilai Pendidikan Budi Pekerti dalam Novel Ngulandara Karya Margana Djajaadmaja dan Relevansinya sebagai Materi Ajar Apresiasi Sastra Jawa di SMA. Persamaannya terdapat pada objek yang dikaji yakni sama-sama mengkaji novel berbahasa Jawa, akan tetapi pengarang dan judul novelnya berbeda. Perbedaan lainnya terletak pada unsur yang membangun karya sastra tersebut, jika penelitian sebelumnya dikhususkan pada penokohan saja, penelitian ini akan mengkaji struktur intrinsik secara keseluruhan, selain itu perbedaan juga terletak pada nilai pendidikan, jika penelitian sebelumnya mengkaji nilai pendidikan budi pekerti, penelitian ini mengkaji nilai pendidikan karakter.
2. Hakikat Kajian Struktural Strukturalisme sastra tumbuh subur di tahun 1960-an sebagai usaha untuk menerapkan kesusastraan metode dan kemampuan memahami dari pendiri linguistik struktural modern. Pada akhirnya, strukturalisme tidak hanya memikirkan segala sesuatu sebagai bahasa; strukturalisme memikirkan segala sesuatunya secara keseluruhan seakan-akan bahan subjeknya memang bahasa (Eagleton, 2007: 139). Secara etimologis struktur berasal dari bahasa Latin, structura yang berarti bentuk atau bangunan. Asal muasal strukturalisme seperti sudah dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitaannya dengan tragedi (Semi, 1990: 67). Struktur itu sendiri merupakan elemen paling utama dan merupakan prinsip kesatuan lakuan (unity of action) dalam karya sastra (Satoto 2012: 9). Dengan demikian, pendekatan struktural juga sering disebut dengan pendekatan objektif karena menjelaskan kaitan unsur-unsur dalam struktur sebuah cerita. Strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya sastra. Setiap unsur karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda memiliki unsurunsur yang tidak sama.
11
Secara historis, perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu formalisme dan strukturalisme dinamik (Ratna, 2015: 76). Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Disatu pihak, para pelopor formalis terlibat dalam strukturalis. Di pihak yang lain atas dasar pengalaman formalislah mereka mendirikan strukturalisme, dengan pengertian bahwa berbagai kelemahan yang terkandung dalam formalisme diperbaiki kembali ke dalam strukturalisme. Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antar hubungan unsur yang satu dengan unsur yang lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman tetapi, juga negatif seperti konflik dan pertentangan. Pada dasarnya kajian struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah keseluruhan. Sangidu (2004: 17) menegaskan kembali bahwa strukturalisme adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Teknik yang dikerjakan untuk melaksanakan metode struktural tidak pernah dapat dirumuskan dengan pasif. Karena itu cenderung bekerja dengan unsur tokoh, plot, alur, tema, sudut pandang, dan amanat. Mengutip pengertian strukturalisme yang digunakan untuk menganalisis sebuah novel disebutkan oleh Ikaningrum (2010: 84) sebagai berikut. in analyzing a novel there many steps as follows according to structuralism analysis. Incentive moment is the starting point a story. After that, play enters the rising action in a series of conflicts. They are, to mention the major ones. The highest point in the rising action present the climax, there is a fast falling action. Finally it is which ended in resolution.
12
Dari kutipan jurnal di atas untuk menganalisis sebuah novel berdasarkan analisis struktural ada beberapa langkah yang harus diperhatikan. Pertama, mendeskripsikan cerita dari awal perkenalan konflik, setelah itu kita bisa mengungkapkan berbagai permasalahan konflik yang menjelaskan cerita. Setelah itu, pembaca mengalami ketegangan yang disebut dengan klimaks, setelah ketegangan mereda, pembaca menemui adanya resolusi atau tahap penyelesaian. Bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri terlepas dari hal-hal lain yang berada di luar dirinya. Dengan kata lain, bila hendak dikaji atau diteliti, yang paling utama adalah aspek yang membangun karya tersebut seperti tema, alur, latar, penokohan, gaya penulisan, gaya bahasa, serta hubungan harmonis antar aspek yang mampu membuatnya menjadi sebuah karya sastra. Hal-hal yang bersifat ekstrinsik seperti penulis, pembaca, atau lingkungan sosial budaya harus dikesampingkan, karena ia tidak punya kaitan langsung dengan struktur karya sastra tersebut. Dengan demikian, strukturalisme merupakan salah satu pendekatan kajian kesusastraan yang menitikberatkan pada hubungan antar unsur pembangun karya sastra. Unsur pembangun dapat berupa alur, tokoh dan penokohan, serta latar. Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, teliti, mendetail, dan mendalam dalam hal keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya sastra yang menghasilkan makna. Hal ini memberikan pengertian bahwa struktural mencoba memahami makna esensi hakikat karya sastra berdasarkan unsur intrinsik yang membangunnya. Analisis struktural perlu dilakukan karena karya sastra merupakan dunia dalam kata yang mempunyai kebulatan intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra itu sendiri (Utomo, 2001: 96). Kebulatan intrinsik dilakukan jika peneliti memisahkan karya sastra dari lingkungannya, karena karya sastra dianggap memiliki otonomi dan bisa dipahami tanpa harus dikaitkan dengan lingkungan pendukungnya, seperti pengarang, penerbit, dan pembaca. Dengan
13
demikian, yang menjadi kajian unsur intrinsik antara lain tema, tokoh, alur, bahasa, dan sudut pandang. Konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam karya sastra merupakan struktur otonom yang dapat dipahami
sebagai
suatu
kesatuan
yang
bulat
dengan
unsur-unsur
pembangunnya yang saling berkaitan. Dengan demikian, ciri aliran strukturalisme menurut Siswantoro (2010: 21) yaitu dunia ini tersusun dari jalinan hubungan dan bukan benda-benda yang berdiri sendiri, makna setiap unsur ditentukan oleh hubunganya dengan unsur lain, dan makna keseluruhan unsur tidak dapat dipahami jika tidak diintegrasikan ke dalam struktur. Sehubungan dengan beberapa pendapat tentang strukturalisme di atas, maka dapat disimpulkan bahwa strukturalisme merupakan analisis yang didasarkan pada unsur dalam karya sastra itu atau sering disebut dengan unsur intrinsik yang meliputi penokohan dan perwatakan, alur, latar, sudut pandang, tema, dan amanat. Berkaitan dengan pendekatan struktural yang akan diterapkan, maka pemahaman makna dari sebuah karya sastra menjadi tujuan utama. Untuk memahami isi dari sebuah novel secara terperinci, harus diketahui struktur unsur intrinsik pembangun novel. Unsur-unsur tersebut saling terkait satu sama lain, sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh. Nurgiyantoro (2005: 12) menyebutkan bahwa unsur-unsur pembangun sebuah novel yang terdiri dari plot, tema, penokohan, dan latar. Selain itu, Endraswara (2003: 52) juga menyatakan bahwa suatu novel terdiri dari artefak seperti ide, tema, plot, latar, watak, amanat, dan tokoh. Berdasarkan standar kompetensi yang harus dikuasai anak dalam pemahaman novel yang mengidentifikasi unsur intrinsik yang terdiri dari unsur-unsur pembangun struktur seperti tokoh, sifat/karakter, alur, latar/setting, serta amanat. a. Penokohan dan Perwatakan Penokohan mempunyai hubungan yang erat dengan perwatakan. Kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama, yaitu tokoh atau suatu peran. Istilah penokohan merujuk pada pelaku cerita. Sedangkan perwatakan menunjuk pada sifat tokoh-tokoh dalam cerita. Ratna (2014: 246)
14
mengatakan bahwa tokoh adalah pelaku suatu peristiwa. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa peristiwa selalu melibatkan tokoh. Tidak ada peristiwa tanpa tokoh, demikian juga sebaliknya tidak ada tokoh tanpa menampilkan suatu peristiwa. Dengan demikian, kehadiran tokoh dalam cerita sangat penting. Tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan perwatakan menunjukkan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2005: 165). Dengan demikian, istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab, penokohan sekaligus mencakup masalahmasalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan serta pelukisannya dalam sebuah cerita. Sehingga, sanggup memberikan gambaran yang jelas pada pembaca. Penokohan sekaligus menyarankan pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Lebih jelas, Suharianto via Sangidu (2004:132) menyebutkan bahwa penokohan adalah penggambaran para tokoh cerita, baik keadaan lahir maupun batinnya yang meliputi sifat, sikap, tingkah laku, pandangan hidup, keyakinan, adat istiadat, dan lain sebagainya. Sedangkan, yang disebut dengan tokoh adalah para pelaku dalam cerita. Oleh karena itu, melalui penggambaran tokoh-tokoh itulah sebuah cerita menjadi nyata dalam anganangan pembaca. Lewat penokohan, kita bisa mengetahui watak diri, watak tokoh lain, peristiwa-peristiwa yang mendahului, peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi, dan peristiwa-peristiwa yang akan datang. Satoto (2006: 12) juga menjabarkan cara melukiskan watak tokoh dalam cerita menjadi dua, yakni secara analitik (inrect, langsung) pengarang menjelaskan atau menceritakan secara terperinci watak tokoh-tokohnya dan secara dramatik (indirect, tak langsung) yaitu pengarang tidak secara langsung menggambarkan watak tokoh-tokohnya, tetapi menggambarkan watak tokoh-tokohnya dengan cara gerak maupun lewat percakapan.
15
Kurniawan (2009: 73) membedakan jenis tokoh menjadi dua, yakni tokoh utama (tokoh sentral) dan tokoh tambahan. Tokoh utama (tokoh sentral) merupakan tokoh yang menjadi pusat perhatian cerita. Tokoh ini merupakan tokoh yang mempunyai karakter bulat, yaitu tokoh yang memiliki posisi dominan yang banyak terlibat dalam peristiwa cerita dan memiliki kepribadian serta karakter yang kompleks, sedangkan tokoh tambahan ialah tokoh yang keberadaannya hanya sebagai penambah, pelengkap dari tokoh utama. Sehingga, karakter yang ada bersifat datar, sederhana, dan tidak kompleks. Selain itu, masih banyak pembagian lagi khususnya pembicaraan dari segi perkembangannya, seperti tokoh statis dan tokoh dinamis. Pemahaman lain membedakannya menjadi tokoh bulat dan tokoh pipih, tipologis, dan psikologis. Sementara itu, Wardani (2009: 40) membedakan tokoh lebih terperinci, antara lain tokoh protagonis dan antagonis, tokoh wirawan dan antiwirawan, serta tokoh bulat dan tokoh sederhana. Adapun kutipannya sebagai berikut. Tokoh protagonis adalah tokoh yang merupakan pengejewantahan norma-norma dan nilai-nilai. Tokoh antagonis bagi manusia adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik, sementara itu yang dimaksud dengan tokoh wirawan adalah tokoh yang umumnya memiliki kegunaan pikiran dan keluhuran budi pekerti serta bertindak mulia. Tokoh antiwirawan adalah tokoh yang berkepribadian rendah, jahat, penghasut, dan culas. Terakhir adalah tokoh bulat dan tokoh sederhana tokoh bulat disebut tokoh yang memiliki watak yang kompleks, sementara itu tokoh pipih adalah tokoh yang memiliki watak statis, sederhana, dan tidak kompleks. Kutipan di atas menjelaskan beberapa karakter yang dimiliki oleh tokoh ada pada sebuah cerita yang bertugas membawa cerita yang dikehendaki pengarang dengan watak yang berbeda tiap tokohnya. Satoto (2006:17) mengemukakan penggambaran perwatakan menjadi tiga, yaitu berdasarkan keadaan fisik tokoh, berdasar pada keadaan psikis dan berdasarkan keadaan sosiologis. Dengan demikian, dapat disimpulkan pengertian penokohan ialah penggambaran tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita. Lewat penokohan
16
kita bisa mengetahui watak diri dan watak orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan perwatakan ialah penjelasan mengenai karakter tokohtokoh tersebut. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembaca dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan pengarang kepada pembaca dalam menampilkan tokoh, pengarang berusaha menjadikan tokoh seperti benar-benar hidup yang mempunyai perasaan, etika, dan keterkaitan dengan lingkungannya. b. Alur Alur dapat disebut juga sebagai plot (Stanton, 2012: 26) yang artinya rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan cerita. Mengenai pengertian alur, Wardani (2009: 38) menyebutkan bahwa alur merupakan rangkaian kejadian yang dihubungkan berdasarkan sebab akibat. Secara konvensional alur dijiwai oleh konflik antara tokoh protagonis
dan
antagonis.
Peristiwa-peristiwa
cerita
dalam
alur
dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku para tokoh, dan sikap-sikap para tokoh. Alur merupakan cerminan, atau bahkan perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berfikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Dengan demikian, alur merupakan rangkaian peristiwa yang saling berhubungan dan ada sebab akibatnya. Pendapat tersebut juga didukung oleh Putra (2015: 95) yang menyebutkan alur ialah peristiwa yang membentuk cerita, terutama karena peristiwa satu dengan yang lain berhubungan, berurutan melalui sebab dan akibat bagaimana pembaca mengikuti cerita. Menurut Stanton (Kurniawan 2009: 71) alur dalam novel ada tiga, yakni awal, tengah, dan akhir. Bagian awal mengandung elemen eksposisi dan instabilitas. Eksposisi digunakan untuk mendeskripsikan informasi dalam cerita yang menyebabkan peristiwa lain dan instabilitas
17
yakni awal perkenalan konflik. Bagian tengah menghadirkan konflik dan klimaks, dan bagian akhir berisi pemecahan masalah. Alur dalam sebuah novel merupakan unsur yang penting, dikarenakan alurlah yang membangun jalannya cerita dan akan dibawa menuju kemana sebuah cerita. Aristoteles (Nurgiyantoro 2005: 142) mengungkapkan bahwa untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita haruslah terdiri dari tiga tahap, yakni tahap awal, tengah, dan akhir. Berikut tahapan alur dipaparkan di bawah ini. Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan yang biasanya berisi informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Tahap tengah cerita juga disebut tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Tahap akhir (end) sebuah cerita dapat juga disebut juga tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Konflik merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi alur cerita. Hal tersebut dikarenakan adanya alur memungkinkan munculnya sebuah konflik, dari konflik yang terjadi, dapat dengan mudah memahami alur yang terdapat pada cerita. Dengan demikian, Putra (2015: 81) mengungkapkan dalam novel setidaknya ada lima macam konflik yang dapat dikembangkan, yaitu. character vs self (tokoh dalam cerita yang ragu-ragu, bertarung melawan dirinya sendiri), character vs character (tokoh utama dan tokoh lawan saling berhadapan), character vs society (karakter, atau tokoh berhadapan dengan adat-istiadat atau tradisi dalam suatu masyarakat), character vs nature (karakter berhadapan dengan kekuatan alam), dan character vs fate (karakter berhadapan dengan sesuatu yang tidak dapat dicegahnya atau nasibnya). Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa alur adalah kerangka jalannya cerita dari tahap permulaan hingga penyelesaian yang disusun dengan hubungan sebab akibat. Dari alur inilah pembaca dapat melihat dan menilai logis tidaknya sebuah cerita dalam sebuah karya sastra. Alur memiliki bagian-bagian yang secara sederhana dapat dilihat sebagai permulaan, perumitan, puncak, peleraian, dan akhir.
18
c. Latar Dalam sebuah karya sastra, latar merupakan elemen pembentuk cerita yang penting. Cerita pada sebuah novel harus terjadi pada suatu tempat dan dalam suatu waktu seperti halnya kehidupan ini yang juga berlangsung dalam ruang dan waktu. Kurniawan (2009: 74) juga mengungkapkan bahwa latar adalah lingkungan dunia cerita sebagai tempat terjadinya peristiwa. Jadi, dalam latar inilah segala peristiwa yang menyangkut hubungan antar tokoh terjadi. Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat (ruang), waktu, dan suasana sebagai lokasi dan situasi di sekitar tokoh-tokoh dalam karya sastra (Wibowo, 2013: 43). Dengan demikian, latar adalah tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwaperistiwa itu terjadi dalam latar, tempat, dan waktu. Latar memberikan informasi mengenai situasi ruang dan tempat serta berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh. Latar adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Pendapat lain mengenai latar dikemukakan oleh Satoto (2012: 14) menurutnya istilah setting sering diterjemahkan latar akan tetapi, pengertian setting mencakup tidak hanya latar, tetapi mencakup aspek ruang dan waktu. Dengan demikian, istilah setting lebih luas makna cakupannya dibandingkan dengan latar yang hanya mencakup istilah waktu dan tempat saja, sedangkan setting mencakup keadaan dan suasana. Namun demikian, pendapat tersebut berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Waluyo (2006: 23) yang menyebutkan bahwa setting atau tempat kejadian cerita sering pula disebut latar cerita. Setting biasanya meliputi tiga dimensi, yaitu tempat, ruang, dan waktu. Secara sederhana Wardani (2009: 42) mengungkapkan setting dapat dinyatakan sebagai tempat, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam karya sastra. Setting meliputi penggambaran lokasi geografis, perlengkapan rumah, kesibukan sehari-hari, hari tertentu, bulan, tahun, lingkungan,
19
agama, moral intelektual, dan sosial para tokoh. Oleh sebab itu dengan adanya latar dapat menghidupkan suasana dalam cerita. Latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu latar tempat (menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya) sastra. Latar waktu (menyarankan pada “kapan” terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra misalnya tahun, musim, hari, dan jam). Latar sosial (menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra, misalnya kebiasaan hidup, cara berfikir, dan bersikap) (Nurgiyantoro 2002: 227). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setting/latar yaitu pelukisan suatu keadaan yang memberikan gambaran peristiwa dalam cerita berupa
tempat,
waktu,
dan
suasana.
Latar
berfungsi
untuk
menginformasikan tentang situasi yang sebenarnya, meskipun latar tidak dapat berdiri sendiri. Latar dapat menentukan tipe tokoh cerita, sebaliknya tipe tokoh berbeda tentunya menghendaki latar yang berbeda pula. Latar dapat membangun suasana yang diharapkan serta dapat menghasilkan kualitas keterangan dan efek suatu cerita. d. Sudut Pandang Dalam menciptakan novel, pengarang menggunakan sudut pandang atau cara pengarang berposisi dalam cerita. Kenny (Wardani, 2009: 43) menyatakan point of view merupakan pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah fiksi kepada pembaca. Nurgiyantoro (2005: 248) mengungkapkan bahwa sudut pandang juga disebut dengan point of view yang menyarankan pada cara sebuah cerita dikisahkan. Pada hakikatnya sudut pandang merupakan teknik, strategi, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Sudut pandang (titik pandang, pusat pengisahan) merupakan posisi pencerita dalam sebuah cerita (Sangidu, 2004: 142). Dengan demikian, sudut pandang mengarahkan dari mana pengarang bercerita,
20
apakah dia bertindak sebagai orang pertama, atau sebagai pengobservasi yang berdiri di luar tokoh-tokoh sebagai orang ketiga. Sudut pandang atau point of view akan menjawab pertanyaan siapa yang akan menceritakan kisah dalam cerita tersebut. Sudut pandang adalah penempatan penulis dalam cerita (Semi, 1990: 69). Dari sudut pandang yang telah diketahui maka seorang pembaca akan mudah dalam menyimpulkan siapakah yang membuat atau menuliskan cerita tersebut. Berdasarkan pendapat di atas yang berkaitan dengan sudut pandang Putra (2015: 68) dalam penelitiannya mengemukakan sudut pandang menjadi lima, yakni orang pertama, orang kedua, orang ketiga objektif, orang ketiga terbatas (limited omniscient), dan orang ketiga serba tahu (omniscient) seperti kutipan di bawaha ini. Orang pertama, narator menjadi karakter dalam sebuah cerita. Orang kedua, cara mengenalnya melalui tokoh dengan kata ganti orang kedua tunggal (anda, kamu) maupun orang kedua jamak (kalian). Orang ketiga objektif, narator adalah orang di luar cerita yang mengisahkan hanya apa yang dia lihat dan dengar. Orang ketiga terbatas adalah orang di luar kisah yang melihat ke dalam pikiran salah satu karakter, namun tidak pada semua karakter. Orang ketiga serba tahu (omniscient), narator yang serba tahu. Narator menceritakan karakter dan dapat mengevaluasi karakter bagi pembaca. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah cara yang digunakan pengarang untuk mengisahkan tokohnya dalam sebuah cerita. Dari pendapat Putra tersebut orang pertama dapat menjelma hanya melalui perasaan dan pikiran. Orang kedua selalu menggunakan kata ganti (Anda, kamu). Orang ketiga objektif, narator berada di luar cerita hanya dengan mendengar dan melihat. Orang ketiga sera tahu, narator menceritakan kejadian dan dapat mengevaluasi karakter bagi pembaca.
21
e. Tema Menurut Stanton (2012: 36) tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu mudah diingat. Jadi, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan, sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Sayuti (1997: 118) menambahkan bahwa tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Dari pendapat tersebut yang dimaksud tema berarti gagasan utama yang mendasari sebuah cerita serta makna keseluruhan yang mendukung cerita, dengan sendirinya ia akan tersembunyi dibalik cerita yang mendukungnya. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan serta menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita Tema secara ringkas didefinisikan sebagai masalah pokok dalam suatu aktivitas tertentu (Ratna, 2014: 257). Dalam karya sastra tema melukiskan masalah pokok dan isi secara keseluruhan, tercermin dalam judul, dijabarkan melalui narasi dari awal hingga akhir cerita. Jadi, tema adalah simpulan dari apa yang sudah ditulis. Satoto (2012: 9) menyebutkan bahwa tema berupa pokok pikiran atau dasar suatu cerita yang dipersoalkan atau dipermasalahkan serta dicari jawabannya. Dengan demikian, di dalam sebuah tema terkandung berbagai macam pokok permasalahan yang membuat semakin hidup dan menarik sebuah cerita. Endraswara (2003: 53) mengungkapkan bahwa tema adalah jiwa dari karya sastra itu yang mengalir ke dalam setiap unsur. Dengan demikian, tema harus dikaitkan dengan dasar pemikiran karya satra secara menyeluruh. Tema terdapat dalam isi sebuah cerita yang berhubungan dan saling berkaitan dengan unsur intrinsik pembangun cerita. Tema merupakan pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun karya sastra atau gagasan utama dari karya sastra. Tema juga sering tersembunyi dan
22
terbungkus rapat pada bentuk karya sastra. Karena itu, pembacaan berulangulang akan membantu dalam menganalisis tema karya sastra. Dalam menganalisis tema yang terdapat pada karya sastra novel tidaklah sama. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa permasalahan yang terjadi di masyarakat. Shipley (Nurgiyantoro, 2005: 80-82) menggolongkan tema menjadi lima tingkatan sebagai berikut. Pertama tema tingkat fisik, tema ini lebih ditujukan oleh aktivitas fisik daripada tokoh cerita yang bersangkutan, kedua tema tingkat organik (kejiwaan) tema ini menyangkut aspek kejiwaan tokoh cerita, ketiga tema tingkat sosial, tema ini mengangkat masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan bawahan. Keempat, tema tingkat egois (persona) tema ini mengangkat masalah martabat, egoistis, harga diri, dan sifat batin, dan kelima tema tingkat devince (manusia
sebagai
makhluk
tingkat
tinggi),
masalah
yang
hubungannya antara manusia dengan pencipta alam, masalah religiusitas, atau masalah bersifat filosofis seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan. Dengan demikian, tema dapat berupa persoalan agama, etika, sosial budaya, teknologi, tradisi yang berhubungan erat dengan manusia. Biasanya pengarang merumuskan tema sebelum menulis cerita karya sastra. Dari pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tema adalah sebuah dasar yang digunakan pengarang untuk membuat cerita berupa gagasan, ide, pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui jalinan cerita yang dibuatnya. f.
Amanat Karya sastra pada umumnya mempunyai suatu pesan moral, atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, itulah yang disebut dengan amanat (Ratna 2014: 257). Dengan demikian, amanat adalah semacam wejangan, perintah yang disampaikan kepada seseorang atau
23
kelompok tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hubungan ini karya sastra berfungsi sebagai amanat. Pengertian amanat atau pesan ialah materi yang terkandung dalam tema untuk disampaikan kepada para pembaca yang datangnya selalu dari pencipta (Satoto, 2012: 50). Amanat terkandung dalam tema dengan demikian, jika pembaca ingin mengetahui amanat apa yang tersirat maka harus memahami tema cerita dengan baik. Amanat merupakan pesan apa yang hendak disampaikan pengarang. Amanat dalam sebuah karya sastra dapat diketahui secara tersurat maupun tersirat. Bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung, namun adanya pesan moral yang bersifat langsung dalam sebuah karya sebenarnya justru dapat diketahui secara langsung. Pembaca atau penonton harus mencari sendiri amanat yang terdapat dalam cerita itu. Namun demikian, menurut Nurgiyantoro (2003: 336) tidak semua amanat dapat dengan mudah diterima penikmat. Ada amanat yang tersembunyi dan ada pula amanat yang disampaikan langsung dengan menonjolkannya dalam cerita. Waluyo (2006: 29) menyatakan bahwa amanat merupakan pesan yang hendak disampaikan pengarang melalui sebuah cerita yang harus dicari oleh pembaca. Dengan demikian, pembaca harus teliti agar dapat menangkap apa yang tersirat dibalik yang tersurat, dikarenakan amanat berhubungan dengan makna, maka amanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Jadi, setiap pembaca dapat berbeda-beda menafsirkan makna cerita dalam sebuah karya sastra. Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa amanat adalah suatu pesan dari pengarang yang terdapat di dalam karya sastra yang ingin disampaikan kepada pembaca baik secara tersirat maupun tersurat dari jalan cerita yang dapat memberikan tambahan pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang bermakna dalam hidup yang memberikan hiburan, kepuasan, dan kekayaan batin kita terhadap hidup.
24
Dengan demikian, penelitian yang akan dikaji oleh peneliti memiliki beberapa persamaan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Yenie Rahmawati (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Kajian Strukturalisme dan Feminisme pada Novel Saman Karya Ayu Utami” Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dengan hasil bahwa novel Saman memiliki unsur-unsur yang saling mendukung dalam membangun cerita. Tema penelitian ini adalah konflik sosial budaya, sedangkan novel yang akan dikaji oleh peneliti berjenis novel detektif. Amanat yang disampaikan oleh tokoh utama memberikan manfaat bagi masyarakat agar bisa bercermin dan mampu melihat fenomena kehidupan yang lebih luas dan dewasa. Persamaan dalam penelitian ini adalah samasama menggunakan kajian strukturalisme. Sementara itu, perbedaannya ialah sumber data berupa novel yang diteliti.
3. Hakikat Nilai Pendidikan Karakter dalam Karya Sastra a. Hakikat Nilai Pendidikan Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Nilai berasal dari bahasa Latin vale’re yang artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat, dan paling besar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Selain itu, nilai juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi yang dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang (Adisusilo, 2013: 56). Jadi, nilai adalah hal penting yang berguna bagi kemanusiaan. Dengan nilai, manusia dapat merasakan kepuasan, baik kepuasan lahiriah maupun batiniah. Definisi nilai sebagai hakikat dari suatu hal yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia. Nilai-nilai dalam diri seseorang bersifat kompleks, maka nilai-nilai itu bersifat kait-mengkait sehingga, menjadi sistem nilai. Nilai merupakan sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek mengenai kebaikan dan keburukan dan sebagai pandangan dari pengalaman dengan seleksi perilaku ketat. Artinya, jika nilai tersebut
25
dihayati oleh seseorang, maka akan mempengaruhi cara berpikir dan cara bersikap orang tersebut dalam mencapai tujuan hidupnya. Nilai dapat dikembangkan melalui pendidikan. Nilai selalu menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan keadilan sehingga, tidak pernah lepas dari sumber asalnya, yaitu berupa nilai ajaran agama, logika, dan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Widiyono, 2013: 233). Dalam hal ini, nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra diresepsi oleh anak dan secara tidak sadar merekonstruksi sikap dan kepribadian. Mengenai karya sastra selain sebagai penanaman nilai-nilai dan karakter, juga merangsang imajinasi kreativitas anak berpikir kritis lewat apa yang ia rasa akan jalan cerita di dalamnya melalui jalur pendidikan. Membahas mengenai pendidikan Ratna (2014: 19) menyatakan definisi pendidikan secara sederhana dan aplikatif sebagai berikut. Pendidikan adalah proses pemeliharaan, perkembangan, dan pertumbuhan, baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Pendidikan berasal dari bahasa Latin, dari akar kata e, ex (keluar) dan ducere, duct, duco (memimpin, mengadakan, membangunkan). Dalam bahasa Indonesia pendidikan dari kata dasar “didik”, diartikan sebagai proses perubahan pikiran dan perasaan, perilaku secara keseluruhan, baik terhadap individu maupun kelompok. Dalam pengertian luas pendidikan juga melibatkan lingkungan sosial, struktur sosial, dan institusi sosial. Ratna juga menyatakan bahwa pendidikan karakter terkandung baik dalam sastra lisan maupun tulisan. Dengan demikian, pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi siswa. Sehingga, mereka memiliki sistem berpikir, nilai,
moral,
dan
keyakinan
yang
diwariskan
masyarakat
dan
mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Lebih lanjut, pendidikan merupakan suatu proses enkulturasi yang berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Pendidikan menurut Wibowo (2012: 18) adalah kegiatan yang dilakukan dengan terencana oleh orang yang memiliki ilmu dan keterampilan kepada anak didik demi terciptanya manusia sempurna yang berkarakter.
Sebagai
alternatif,
pendidikan
diharapkan
dapat
26
mengembangkan kualitas generasi muda dalam berbabagai aspek, serta dapat memeperkecil penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungan, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang mungkin berfungsi dalam kehidupan masyarakat (Hamalik, 2014: 3). Hal tersebut berarti bahwa pendidikan yang menjadi alat dalam masyarakat, bukan hanya untuk meneruskan nilai dari satu angkatan ke angkatan lainnya, melainkan juga untuk mengolah kembali tata nilai sehingga, lebih sesuai dengan harkat dan martabat hidup manusia. Poerwati dan Amri (2013: 157) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan dalam upaya untuk mengubah tingkah laku objek didik ke arah positif. Pendidikan merangkum segi-segi intelektual, afektif, dan psikomotorik manusia, juga menyentuh cipta, rasa, dan karsa. Pendidikan juga merangsang pikiran-pikiran, perasaan, dan kehendak
manusia
untuk
bertindak
secara
bijaksana
dengan
mempertimbangkan lingkungan. Pendidikan merupakan investasi terpenting dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun kelompok seperti bangsa dan negara. Satuan pendidikan apabila dilakukan dengan baik dan jelas akan menghasilkan berbagai manfaat, baik material maupun spiritual. Pendidikan adalah upaya sadar dan terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar tumbuh berkembang menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak (berkarakter) mulia (UU No. 20 tahun 2003). Suhardan, dkk. (2014: 87) mendefinisikan pengertian pendidikan menjadi dua yaitu, pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi dan pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan. Dengan demikian, dengan adanya pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat.
27
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan merupakan segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan seseorang melalui proses perubahan pola pikir dan sikap untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Nilai pendidikan akan membawa seseorang untuk lebih menghayati nilai-nilai kemanusiaan dan membangun nilai tersebut pada kepribadiaannya. b. Hakikat Nilai Pendidikan Karakter dalam Karya Sastra Membahas mengenai karakter, dalam kutipannya Suyadi (2013: 5) menyatakan sebagai berikut. Karakter merupakan nilai-nilai universal perilaku manusia yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, maupun dengan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dari pendapat yang dikemukakan Suyadi tesebut dapat ditegaskan bahwa karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap, dan bertindak. Dengan demikian, karakter akan membentuk motivasi yang dibentuk lewat proses yang bermartabat. Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, serta meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku kehidupan moral. Ratna (2014: 73) mengungkapkan pendidikan karakter yaitu pendidikan yang bertujuan untuk mendidik watak, akal budi, dan aspekaspek kejiwaan lainnya. Menurutnya pendidikan karakter lebih mudah diterapkan pada usia dini karena pendidikan karakter dianggap dapat membersihkan sistem saraf sehingga, sering disebut dengan istilah cuci otak. Mengutip pendapat Krishenbaum (Setiawan, 2010: 55) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan nilai yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Jadi, supaya dapat membangun pendidikan karakter tiga komponen tersebut harus terbangun secara terkait.
28
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan, cara berfikir dan berperilaku individu untuk hidup dan kerja sama serta membantu orang lain untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabakan (Widiyono, 2013:234). Pendidikan karakter mengajarkan peserta didik untuk berfikir cerdas, karena pendidikan karakter bersumber dari nilai moral universal agama. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal mana yang baik sehingga, siswa menjadi paham (kognitif) tentang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Tujuan pokok pendidikan karakter adalah menumbuhkan karakter nalar distingtif agar anak dapat mencerna bahwa kebajikan berbeda secara diametral dengan kejahatan (Wibowo, 2013: 134). Melalui nalar distingtif, pendidikan karakter membentuk kesadaran bahwa ada serangkaian faktor dan sederet variabel penyebab timbulnya kebajikan maupun kejahatan. Pendidikan karakter membentuk kesadaran di kalangan anak didik untuk memahami bahwa kebajikan atau kejahatan tidak muncul dari ruang vakum, tetapi akibat logis sebab dan akibat melalui proses panjang, rumit, dan berliku. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai upaya sadar dan terencana dalam
mengetahui
kebenaran
atau
kebaikan,
mencintainya
dan
melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter menurut Asmani (2011: 31) adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru untuk mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu dalam membentuk watak peserta didik dengan cara memberikan keteladanan, cara berbicara atau menyampaikan materi yang baik, toleransi, dan berbagai hal lainnya. Dengan demikian, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai karakter kepada warga sekolah (Prasetyo dan Rivasintha, 2011: 2). Penanaman nilai meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan.
29
Nilai-nilai pendidikan karakter yang bersumber dari Kemendiknas sebagaimana tertuang dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang disusun Kemendiknas melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010) menyatakan ada delapan belas komponen nilai pendidikan karakter, yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Dalam karya sastra banyak ditemukan nilai-nilai pendidikan karakter. Karya sastra dikatakan berguna jika dengan membaca karya sastra, pembaca bisa menarik pelajaran berharga, yaitu nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya serta bentuk implementasi dalam kehidupan. Hal tersebut dikemukakan oleh Sutardi (2013: 485) sebagai berikut. This suggests that literary work is closely related to the practice of education. To approach the values in literary texts with respect to values of education should be used didactic approach. Didactic approach is an approach that seeks to find and understand ideas, evaluative responses, and attitudes’ author towards life. Ideas, responses, and attitudes in this case would be able to manifest in an approach to ethical, philosophical, or religious that will contain values which can enrich the spiritual life of the readers. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat didefiniskan sebagai jenis pendidikan yang bertujuan untuk memelihara perilaku dan kepribadian anak melalui pendidikan moral dan etika. Siswa dibimbing mengaktualisasi diri dalam dunia sastra dalam rangka membentuk karakter melalui tokoh, tema, amanat, bahasa, dan alur. Pendidik menggunakan novel sebagai media untuk mengungkap nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat melalui diskusi. Hal ini sangat baik apabila pendidik mampu memasukkan pendidikan karakter untuk mempengaruhi anak didiknya. Pembentukan karakter tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif dapat dilakukan dengan kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton.
30
Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Ani Dessy Arifianie (2015) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis konflik psikis tokoh utama dan nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Asmarani karya Suparto Brata (kajian psikologi sastra). Dalam penelitian tersebut ia menggunakan kajian psikologi sastra guna menganalisis konflik psikis tokoh utama, serta nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Asmarani karya Suparto Brata. Hal yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah kesamaan dalam nilai pendidikan serta pengarang dalam objek kajian novel, yakni Suparto Brata. Hal yang membedakan adalah jenis kajian dan novel yang dikaji. Berdasarkan penelitian Ani Dessy Arifianie tersebut dapat diketahui bahwa terdapat banyak nilai pendidikan karakter, diantaranya gemar membaca, rasa ingin tahu, bersahabat/komunikatif, mandiri, jujur, kerja keras, cinta damai, menghargai prestasi, dan semangat kebangsaan. Penelitian ini juga merupakan salah satu usaha untuk mengungkap nilai pendidikan karakter yang didasarkan pada novel. Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan struktur yang membangun novel Pethite Nyai Blorong dan penggalian nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel, dengan harapan nilai pendidikan karakter yang ada dapat diaplikasikan pada pembelajaran sastra Jawa di sekolah.
4. Hakikat Materi Ajar a. Pengertian Materi Ajar Materi ajar adalah segala bentuk materi yang digunakan untuk membantu guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar kepada peserta didiknya (Putranti, 2015: 32). Dapat disimpulkan bahwa materi ajar merupakan seperangkat substansi pelajaran yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dengan materi ajar yang sesuai memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi secara runtut dan sistematis.
31
Majid (2007: 174) mengungkapkan materi pembelajaran yaitu, segala bahan, informasi, alat, dan teks baik tertulis maupun tidak tertulis yang digunakan untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Artinya, dengan materi ajar yang menarik akan membuat peserta didik antusias dalam menerima pelajaran sehingga, prestasi belajar mereka juga akan lebih maksimal. Materi ajar adalah suatu alat yang digunakan dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan instruktusional (Winkel, 1996: 261). Materi ajar ini diharapkan dapat membangkitkan motivasi belajar para peserta didik. Hal senada juga dikemukakan oleh Widodo (2008: 40) menurutnya materi ajar yang baik harus dirancang dan ditulis sesuai kaidah instruksional, hal ini diperlukan karena materi ajar akan digunakan pendidik untuk membantu tugas mereka dalam proses belajar mengajar. Tujuan dari penggunaan materi ajar adalah membantu guru menyajikan materi ketika proses belajar-mengajar selain itu, untuk para peserta didik, materi ajar dapat meningkatkan motivasi dalam belajar. Dengan adanya motivasi tersebut timbullah ketertarikan untuk memahami materi pelajaran dengan baik. b. Materi Ajar Apresiasi Karya Sastra Jawa Istilah Apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang memiliki arti mengindahkan atau menghargai (Ismawati, 2013: 73). Selain mengindahkan atau menghargai, apresiasi juga memiliki arti menilai. Apresiasi sastra Jawa menjadi bagian dari muatan kurikulum dalam mata pelajaran bahasa Jawa sebelum memasuki tahap pengapresiasian karya sastra, seorang peserta didik harus diperkenalkan terlebih dahulu dengan karya sastra seperti prosa, puisi, drama, dan novel. Dewasa ini, minat siswa terhadap sastra dalam pembelajaran apresiasi sastra Jawa khususnya novel di sekolah menurun. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pemilihan materi ajar yang kurang sesuai. Oleh karena itu, perlu adanya kreatifitas guru untuk memilih materi ajar yang sesuai dengan usia peserta didik.
32
Materi ajar novel digunakan dalam kegiatan pembelajaran apresiasi sastra Jawa dikarenakan novel memiliki nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan sebagai materi ajar yang membentuk karakter dan kepribadian siswa. c. Pembelajaran Apresiasi Satra Jawa di SMK Menurut pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013: 3) kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis kompetensi yang dirancang untuk mengantisipasi kebutuhan kompetensi abad 21. Kurikulum 2013 juga digalakkan pendidikan karakter yang berdasarkan 18 pilar nilai pendidikan karakter yaitu, religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli sosial, dan tanggung jawab. Pembentukan karakter peserta didik didasarkan pada 18 pilar pendidikan tersebut tidak diajarkan dalam mata pelajaran tersendiri, namun terintegrasikan dalam materi pelajaran yang diajarkan. Mata pelajaran yang dianggap mampu membawa nilai-nilai pendidikan karakter salah satunya bahasa dan sastra. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru di sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian oleh peneliti, diperoleh informasi bahwa sekolah tersebut menggunakan kurikulum 2013. Berikut ini merupakan pemetaan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pembelajaran apresiasi sastra Jawa novel.
33
Tabel
2.1
Pemetaan
Kompetensi
Inti
dan
Kompetensi
Dasar
Pembelajaran Apresiasi Sastra Jawa Novel Kompetensi Inti KI
KI
1:
Kompetensi Dasar
Menghayati dan 1.2.Menerima, mensyukuri, mengamalkan menghayati, dan mengamalkan ajaran agama anugerah Tuhan berupa yang dianutnya. bahasa Jawa dan menggunakannya melalui teks novel lisan maupun tulisan.
2:Menghayati dan 2.2 Menunjukkan perilaku mulia, mengamalkan percaya diri, tanggung jawab, perilaku jujur, dan santun dalam disiplin, menggunakan bahasa Jawa tanggungjawab, melalui teks novel lisan peduli (gotong maupun tulisan. royong), kerjasama, toleran, damai, santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. KI 3: Memahami, menerapkan, 3.2 Menganalisis unsur-unsur menganalisis, dan pembangun; menyimpulkan mengevaluasi nilai-nilai yang terkandung pengetahuan faktual, di dalam; dan mengevaluasi konseptual, prosedural, relevansi pitutur luhur dan metakognitif dengan kondisi masyarakat berdasarkan rasa ingin saat ini petikan teks novel tahunya tentang ilmu secara lisan atau tulisan. pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
34
KI
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah 4: Mengolah, menalar, 4.2 menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.
Menginterpretasi isi dan menceritakan kembali petikan novel yang dibacanya.
Dari pemetaan silabus mengenai pembelajaran karya sastra novel di atas, dalam kurikulum 2013 pembelajaran karya sastra novel berada di kelas XI semester ganjil mencakup empat kompetensi yaitu kompetensi spiritual, kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi ketrampilan. Guru harus lebih menguasai materi pembelajaran apresiasi karya sastra novel dan mampu memotivasi siswa untuk menuangkan daya imajinasinya sesuai dengan pengalaman yang telah dimilikinya. Pada Sekolah Menengah Kejuruan, apresiasi sastra tidak lagi bertolak pada patokan suka atau tidak suka, tetapi lebih diarahkan pada keterlibatan pengamatan yang peka dan kritis terhadap lingkungannya. Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Dyah Ayu Meilindasari dalam penelitian skripsi (2015) yang berjudul “Analisis Struktural Dan Nilai Pendidikan Novel Kembang Kantil Karya Senggono serta Relevansinya Sebagai Materi Pembelajaran Bahasa Jawa di SMA”. Persamaan tersebut terletak pada materi ajar yang bertujuan
35
untuk menganalisis unsur intrinsik yang terkandung dalam novel Jawa. Perbedaannya terletak pada novel yang digunakan serta jenis nilai pendidikanya. Jika peneliti yang terdahulu hanya nilai pendidikan saja, penelitian ini akan mengkaji nilai pendidikan karakter pada anak. B. Kerangka Berfikir Berdasarkan kajian teori tentang strukturalisme, novel, nilai pendidikan karakter, dan relevansinya sebagai materi ajar sastra Jawa di Sekolah Menegah Kejuruan dapat dibuat suatu kerangka berfikir seperti gambar di bawah ini.
Karya Sastra Novel Pethite Nyai Blorong Karya Peni
Pendekatan Strukturalis me
Nilai Pendidikan
Unsur Intrinsik
Nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Pethite Nyai Blorong karya Peni
a. Penokohan dan Perwatakan b. Alur c. Latar d. Sudut pandang e. Tema f. Amanat
Relevansi novel Pethite Nyai Blorong karya Peni sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa
Gambar 2.1. Kerangka Berfikir
36
Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan cermin realitas kehidupan masyarakat. Untuk memahami dan menangkap makna karya sastra, maka dibutuhkan suatu pendekatan. Pendekatan harus disesuaikan dengan tujuan kita mengapresiasi karya sastra. Pendekatan strukturalisme tepat digunakan untuk mengkaji novel. Dikarenakan terjadi keterkaitan antara karya sastra dengan unsur-unsur pembangunnya. Karya sastra juga sebagai media pembelajaran yang efektif bagi pengarang menyampaikan pesan untuk menanamkan pendidikan dalam benak pembaca. Pembelajaran sastra dalam prosesnya tentu membutuhkan sebuah karya sastra yang bermutu. Dalam hal ini mutu karya sastra dapat dilihat dari nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya. Salah satu karya sastra yang dimaksud yaitu novel. Di dalam novel terdapat beberapa unsur intrinsik yang saling berkaitan seperti penokohan, alur, latar, sudut pandang, tema dan amanat. Semua memiliki unsur keterjalinan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lain. Dalam setiap kejadian atau peristiwa yang tertuang dalam novel pastilah ada nilai pendidikan yang bisa diambil. Selanjutnya nilai pendidikan yang terdapat dalam novel tersebut dapat diaplikasikan dan direlevansikan dengan pembelajaran apresiasi karya sastra Jawa di sekolah. Karya sastra yang dibahas pada penelitian ini adalah novel PNB karya Peni. Novel tersebut mengandung beberapa nilai pendidikan karakter yang dapat diimplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya sebagai alternatif materi ajar apresiasi karya sastra Jawa ditingkat satuan pendidikan.