BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian teori dan hasil penelitian yang relevan 1. Kajian Teori a.
Sumber Belajar
1) Pengertian Sumber Belajar Peningkatan kualitas bagi peserta didik tentu menjadi PR yang besar bagi guru dan semua elemen sekolah untuk menciptakannya. Maka dari itu diperlukan sekali sumber belajar yang cukup agar proses pembelajaran dan pendidikan bisa berjalan dengan baik dan bermanfaat bagi peserta didik. Dalam beberapa referensi dijelaskan mengenai pengertian umum dari sumber belajar. Menurut Akhmad Sudrajad, sumber belajar adalah: Semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu (Sudrajad, 2008) Sedangkan AECT menguraikan bahwa “sumber belajar meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan”. Dari 2 pendapat tersebut sangat jelas bahwa segala bentuk dan segala sesuatu yang mengandung pesan dan dapat digunakan sebagai belajar disebut sumber belajar. Jika merujuk hal ini untuk direpresentasikan dalam lingkungan sekolah, maka sumber belajar bisa berupa buku, guru, teman sebaya, lingkungan, internet, dan lain sebagainya. Hal ini diperkuat pendapat Warsita yang menjelaskan sumber belajar adalah “semua komponen sistem instruksional baik yang secara khusus dirancang maupun yang menurut sifatnya dapat dipakai atau dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran”. Segala hal bisa saja menjadi sumber belajar tergantung dari bagaimana guru ataupun peserta didik peka dan memanfaatkan segala hal yang ada di sekitar dengan bijak. Dengan demikian sumber belajar dalam pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan dan dipakai oleh guru dan peserta didik untuk membantu proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran dan langkah inovasi agar pembelajaran tidak membosankan. 2) Klasifikasi Sumber Belajar Kategorisasi sumber belajar sangat sulit untuk dilakukan, terlebih lagi sumber belajar mencakup sesuatu yang sangat luas cakupannya. Selain itu, untuk mengantisipasi pengertian yang sempit mengenai sumber belajar yang sering dikatakan hanya sebatas buku, sangat penting disini dibahas mengenai klasifikasi sumber belajar tersebut.
Menilai sumber belajar hanya sebatas buku, pada kemudian akan mendegradasikan kemampuan kritis peserta didik untuk peka dan paham dengan lingkungan sekitar. Kejadiankejadian yang terjadi di sekitar, bisa dan sangat mudah dipahami menjadi sumber belajar tergantung dari individu-individu tersebut. Misalnya pasar, yang terjadi di pasar bagi ilmu sosiologi bisa dipelajari sebagai interaksi sosial, bisa juga dimaknai sebagai tindakan konsumtif, dan lain sebagainya. Misalkan contoh yang lain adalah kecelakaan. Di dalam kecelakaan, seorang guru misalkan mampu mengajarkan pelajaran sosiologi, hukum, ekonomi, Pkn dalam satu kejadian, disinilah maka sangat penting bagi peneliti untuk menjabarkan klasifikasi sumber belajar tersebut. Menurut Warsita, ditinjau dari tipe atau asal-usulnya, sumber belajar dapat dibedakan menjadi 2, yaitu “a) sumber belajar yang dirancang, dan b) sumber belajar yang sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan” (2008:212). Sumber belajar yang sudah dirancang yaitu sumber belajar yang secara khusus dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan, sedangkan sumber belajar yang sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan hanya sebatas sesuatu yang tidak direkayasa dan di lingkungan sekitar telah ada, sebatas pendidik menggunakannya dalam momen-momen tertentu. Dari referensi yang sama, yakni Warsita, ditemukan pembagian sumber belajar menjadi 6 jenis berdasarkan AECT. Menurut AECT, “sumber belajar ada 6 yaitu a) pesan, b) orang, c) bahan, d) alat, e) teknik, dan f) latar” (2008: 209-210). Terdapat kategorisasi berbeda menurut Dale (Arsyad, 2006: 11). Dale menamakan klasifikasinya tersebut dengan sebutan Kerucut Pengalaman. Menurutnya, “sumber belajar meliputi hal yang bersifat abstrak sampai dengan hal yang bersifat kongkrit yang terdiri dari pengalaman yang berbentuk verbal, visual, rekaman radio, gambar hidup pameran, televisi, karyawisata, dramatisasi, pengamatan, dan pengalaman langsung.
3) Manfaat Sumber Belajar. Sumber belajar, pada kenyataannya memiliki peranan dan manfaat yang sangat besar bagi peserta didik dan guru. Bagi guru, selain mampu untuk menyalurkan pesan, tetapi juga strategi, metode, dan tekniknya juga mempunyai manfaat yang luar biasa dalam memperlancar proses pembelajaran. Menurut Eveline Siregar & Hartini Nara, manfaat dari sumber belajar adalah “1) memberikan pengalaman belajar yang lebih kongkret dan langsung, 2) menyajikan sesuatu yang tidak mungkin diadakan, dikunjungi, atau dilihat secara langsung, 3) menambah dan memperluas cakrawala sains yang ada di dalam kelas, 4) memberikan informasi yang akurat dan terbaru, 5) membantu memecahkan
masalah pendidikan dalam lingkup makro maupun mikro, 6) memberikan motivasi positif, 7) merangsang untuk berfikir kritis, merangsang untuk bersikap lebih positif serta berkembang jauh (2010: 128-129). Ada salah satu referensi lain yang juga menjabarkan manfaat dari sumber belajar, menurut Hanafi, sumber belajar memiliki manfaat “1) meningkatkan produktifitas pendidikan, 2) memberikan kemungkinan pendidikan yang sifatnya lebih individual, 3) memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran, 4) lebih memantapkan pembelajaran, 5) memungkinkan belajar secara seketika, 6) memungkinkan penyajian pendidikan yang lebih luas, terutama dengan adanya sumber massa” (Karwono, 2007:4). Secara umum sumber belajar dalam kaitannya dengan pembelajaran memiliki manfaat yang banyak dan berguna bagi guru maupun peserta didik. Manfaat yang ditawarkan oleh sumber belajar akan menjadi sangat berguna apabila digunakan secara bijak dan disesuaikan dengan situasi kondisi atau dengan kata lain disesuaikan dengan tujuan pembelajaran.
4) Kriteria Pemilihan Sumber Belajar Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan sumber belajar. Menurut Karti Soeharto, pemilihan sumber belajar perlu memperhatikan “1) tujuan yang ingin dicapai, 2) Ekonomis, 3) Praktis dan sederhana, 4) gampang didapat, 5) fleksibel atau luwes (2003: 80-82). Pemilihan sumber belajar tentu tidak dengan sembarangan dan asal comot, melainkan harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut. Hal ini dipertimbangkan untuk mengefisiensikan peralatan dan perlengkapan yang dibawa dan direncanakan oleh guru. Setelah disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, sumber belajar yang harus dipersiapkan oleh guru dan pendidik adalah sumber belajar harus ekonomis, dalam artian sumber belajar tidak memerlukan uang banyak dan biaya yang mahal, melainkan memanfaatkan sumber daya yang ada dan tersedia. b. Praktik Menyontek dalam konsep (Habitus x modal) + ranah (arena) = Praktik Pierre Bourdieu. 1) Habituasi Praktik menyontek Menyontek adalah kata-kata yang selalu menyertai dalam permasalahan dunia pendidikan hingga saat ini. Menyontek dianggap menjadi satu “permasalahan” dikarenakan
cara dan tujuan yang dilakukannya merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Diambil dari tesis Warsiyah (mengutip Dellington) praktik menyontek merupakan “bentuk usaha-usaha dalam mencapai keberhasilan melalui cara-cara yang curang atau tidak jujur” (2013: 5). Peserta didik yang melakukan praktik menyontek selalu mendasarkan alasan pada keberhasilan dan kesuksesan. Menurut pendapat Bower (1961) cheating adalah “perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis” (Mujahidah, 2009: 178). Praktik ini disadari atau tidak sering kali dilakukan oleh pelajar. Dalam tiap kesempatan, baik mengerjakan PR, ulangan harian, bahkan UTS ataupun UN, peserta didik sering melakukannya. Akibat tingkat intensitasnya yang tinggi, maka tak jarang beberapa peserta didik menganggap praktik menyontek itu wajar, dan tidak sepenuhnya memahami kesalahan dan keburukan dari praktik menyontek ini. Pertimbangan itulah yang peneliti gunakan untuk mengkategorikan praktik menyontek kedalam konsep habitus Pierre Bourdieu. Konsep habitus Bourdieu menjelaskan bahwa habitus merupakan “sistem disposisi yang tahan lama dan juga dapat berubah-ubah melalui apa yang kita rasa, nilai dan kita lakukan di dalam dunia sosial” (Mutahir, 2011: 65). Selain itu, habitus “merepresentasikan sebuah niat teoritis untuk keluar dari filsafat kesadaran tanpa membuang agen yang dalam hakekatnya sebagai operator praktis bagi pengonstruksian objek” (terjemahan Santoso, 2010:xv). Kondisi ini mengawali suatu ketrampilan yang menjadi tindakan praktik alamiah dan selalu berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Menyontek terindikasikan sebagai sebuah tindakan agen yang sadar, dan menyontek bisa dilakukan dalam setiap momen tertentu karena agen merupakan penggeraknya. Selain itu Habitus juga diartikan Bourdieu sebagai “produk sejarah, menghasilkan praktik individu dan kolektif, sesuai sejarah sosial tempat itu terjadi” (Ritzer, 2012), yang kemudian pada dasarnya menyontek pun mempunyai sejarah demikian pula. Ketika keadaan sosial menuntut hal yang tinggi dalam dunia pendidikan, sedangkan peserta didik dan elemen pendidikan belum mampu mengarah pada taraf tersebut, maka menyontek menjadi hal yang sering menjadi salah satu alternatif pilihan peserta didik memperoleh tuntutan tersebut. Terlebih lagi era modern yang telah berubah pandangan pada hal-hal yang materialistis, dan selalu menyandarkan diri pada ukuran-ukuran yang dapat dihitung dan bernilai angka. Keluarga, sekolah, dan masyarakat, selalu mengukur kepintaran, dan kesuksesan pada hal-hal pragmatis dan menyingkirkan pentingnya sebuah proses, hal ini sedikit banyak memiliki pengaruh pada tingginya kasus menyontek peserta didik di sekolah.
“habitus memberikan prinsip-prinsip yang digunakan orang untuk membuat pilihanpilihan dan memilih strategi-strategi yang akan mereka gunakan di dunia sosial” (Ritzer, 2012: 905), dan dari beraneka macam pilihan-pilihan yang tersedia untuk menghadapi ujian ataupun test, menyontek termasuk dalam kategori tersebut. Pilihan ini merupakan sisi agen yang memiliki dan memahami “kemampuan kreatif agen-agen manusia” (Santosa: xv) yang terlibat. Karena tanpa “kreatifitas” tentu agen tidak akan terpikirkan untuk melakukan menyontek sebagai solusi mengerjakan ujian. Dari beberapa pendapat ahli tersebut, maka dapat disimpulkan menyontek merupakan suatu proses habitus individu berdasarkan pengalaman dan pembelajaran yang individu dapatkan di lingkungan sosial, sehingga berdampak pada struktur kognitif individu tersebut. 2) Arena Kelas Ujian tengah semester, Pekerjaan Rumah (PR), ulangan harian adalah segala macam bentuk evaluasi yang diterapkan dan dilanggengkan dalam proses pembelajaran dan pendidikan di Indonesia. Proses ini secara turun temurun selalu diterapkan dalam setiap jenjang pendidikan, dimulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga perkuliahan, hampir semua menerapkan bentuk evaluasi yang semacam. Keberhasilan dan kesuksesan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran ditiap jenjang sekolah, ditentukan sebagian besarnya ada di tiap-tiap fase ujian/ ulangan yang diberikan oleh guru, sekolah, maupun pemerintah. Dengan demikian, hanya ada beberapa pilihan yang dapat dijangkau oleh peserta didik agar berhasil dalam setiap ujian/ ulangan tersebut. Salah satunya adalah belajar dengan tekun. Belajar adalah “proses orang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap” (Aunurrahman, 2009: 38). Dalam referensi yang sama disebutkan bahwa menurut teori Gagne, dari belajar maka didapatkan hasil “1) ketrampilan intelektual, 2) strategi kognitif, 3) informasi verbal, 4) ketrampilan motorik, dan 5) sikap” (2009: 46). Belajar tentunya dilakukan agar apa yang didapatkan dari guru dan selama proses pembelajaran dapat diejawantahkan dengan mampu salah satunya untuk mengerjakan dan berhasil ketika ujian/ ulangan itu dilakukan. Pada perkembangan zaman, belajar tekun bukan satu-satunya kunci keberhasilan peserta didik menghadapi ujian/ ulangan harian. Penelitian Julyanti dan Zunnun membuktikan bahwa “61% peserta didik menyontek karena orientasi nilai” (2015:26), sedangkan penelitian Haryono menunjukkan “75% menyontek karena orientasi peserta didik
yang mengarah ke nilai-nilai akademik”. Hasil-hasil penelitian ini cukup menggambarkan bahwa menyontek menjadi satu pilihan yang ada dibenak peserta didik ketika mengikuti ujian demi mendapatkan nilai, peringkat tinggi, dan pengakuan sosial akan kecerdasannya. Bourdieu melihat bahwa di bidang akademis, semua “agen” memiliki suatu strategi yang sudah dipersiapkan dalam menyambut pertarungan arena. Strategi-strategi ini dipersiapkan agen untuk “mempertahankan posisi, membedakan diri atau untuk memperoleh posisi-posisi baru di dalam arena” (Mutahir: 73). Dalam pandangan Bourdieu, arena didefinisikan dengan “kumpulan pertarungan simbolis dan strategi individu” (Mutahir: 98). Beliau menambahkan: “..... perjuangan demi pengakuan merupakan dimensi fundamental dari kehidupan sosial dan bahwa yang mereka pertaruhkan adalah akumulasi bentuk modal tertentu, harga diri dalam hal reputasi dan prestise, dan bahwa terdapat logika khusus dibalik akumulasi modal simbolis...” (hlm.99) Hal yang sama berlaku di dalam arena ujian/ ulangan tersebut. Ujian sebagai suatu bentuk arena di bidang akademis memiliki suatu nilai tawar yang pada dasarnya dibutuhkan dan diperebutkan oleh semua anggota didalamnya. Pembuktian intelektualitas, prestise, harga diri, adalah beberapa nilai tawar yang dihadirkan oleh arena ini. Maka tak jarang beraneka ragam strategi dan cara ditempuh oleh peserta didik yang notabene dalam pandangan bourdieu disebut “fraksi terdominasi” (Mutahir: 91). Dari hasil beberapa penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan ditemukan fakta bahwa dalam memenuhi pertarungan arena, peserta didik melakukan desain dan tata cara tersendiri untuk sukses dalam arena tersebut. Beberapa yang terdefinisi sebagai desain strategi dari peserta didik adalah Menurut penelitian Veronikha, Munawir & Machmuroch (2008); Akhsani (2014): Cara-cara peserta didik melakukan praktik menyontek adalah a) melihat catatan yang telah dipersiapkan sebelumnya, b) meminta jawaban teman di sebelah, c) kerjasama tim, d) mengintip jawaban orang lain, e) memberikan, mengambil, atau menerima informasi, dan f) menggunakan materi yang dilarang atau membuat catatan. 6 cara yang dilakukan oleh peserta didik adalah sebagian kecil dari beberapa kemungkinan cara yang lain. Namun, 6 cara yang berhasil dikelompokkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Veronikha, Munawir, Machmuroh, dan Akhsani dalam tahun yang berbeda menunjukkan bahwa arena ujian merupakan satu bentuk arena yang dari tahun ke tahun tetap memiliki “prestise” tinggi untuk perjuangan peserta didik berhasil dan sukses di ujian tersebut.
Meskipun cara-cara yang dipakai oleh peserta didik tersebut merupakan satu bentuk cara yang tercela, namun ada satu titik yang menarik jika dikaji dalam pandangan Bourdieu mengenai arena. Arena akademis dalam pandangan Bourdieu adalah “perjuangan tiada henti, dan pertentangan antar agen merupakan ekspresi hierarki kelas” (Mutahir:109). Pertentangan yang dimaksud dalam pandangan Bourdieu adalah perebutan kekuasaan akademis dan reputasi intelektual. Perebutan kekuasaan akademis jamak sekali dijumpai di dalam lingkungan pendidikan Indonesia, baik antar peserta didik, maupun guru dengan peserta didik. Kekuasaan akademis menjadi sangat penting karena di dalamnya terdapat simbol-simbol kekuasaan yang mampu berfungsi untuk mendominasi mereka yang tidak memiliki modal lebih banyak. Dengan mendapatkan kekuasaan akademis, maka suatu agen tersebut telah memiliki reputasi yang berguna baginya dalam satu lingungan sosial. Peserta didik akan menggunakan cara masing-masing untuk melakukan hal demikian sesuai bentukan sosio-kultur yang didapatnya dari proses habituasi. Jika peserta didik tersebut berada dalam lingkungan yang “sehat”, maka cara-cara yang dipakai untuk mendapatkan kekuasaan akademis tersebut juga dengan cara-cara-cara yang “sehat”. Namun berbeda jika habituasi peserta didik tersebut berada di lingkungan yang “buruk”. Cara-cara yang ditempuh untuk memuluskan niatnya pun akan termanifestasikan dalam bentuk-bentuk yang “buruk” salah satunya menyontek. Selain proses habituasi, dalam arena ujian peserta didik memerlukan modal untuk persiapan bertarung dan memperebutkan “kekuasaan”. Modal dalam pandangan Bourdieu “memungkinkan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri dan nasib orang lain” (Ritzer, 2012: 907). Dimaksudkan disini bahwa modal mencakup 4 macam, 1) modal ekonomi, 2) modal sosial, 3) modal budaya, 4) modal simbolis (2010: 68). Berbagai macam dinamika yang terjadi dalam kelas ataupun saat ujian, menunjukkan bahwa kelas adalah ruang dan tempat sebagai persaingan nyata memperebutkan berbagai hal yang dibutuhkan individu dalam kelompok sosialnya, termasuk intelektualitas, status social, serta harga diri. 3) Modal Kultural dan Simbolis Di lingkungan pendidikan, pintar, bodoh, kaya, dan miskin, adalah satu bentuk nilai tukar yang berharga untuk survive dan diakui di lingkungannya. Banyak kasus bagaimana sekolah dan semua elemen yang ada didalam lingkungan pendidikan tersebut dijadikan sebagai satu bentuk labelisasi dengan istilah-istilah tertentu. Sejarah mencatat, program RSBI, dan SBI telah melabelkan dirinya sebagai sekolah bonafit yang diisi orang “kaya” dan
“pintar”, belum lagi label buruk bahwa sekolah swasta adalah sekolah “buangan”. Berita yang termuat di Cirebontrust.com 11 September 2015 memberitakan bahwa salah satu guru yang dipanggil atiek (35) mengatakan “sekolah tempat saya mengajar sering dikatakan sebagai sekolah buangan. Murid-murid saya memang ketika lulus SD banyak yang belum bisa membaca dan menulis…”. Namun yang perlu digaris bawahi adalah tidak semua sekolah swasta merupakan sekolah “buangan”, bahkan ada beberapa sekolah swasta yang memang benar-benar berkualitas, dan terjamin mutunya. Tidak dapat dipungkiri, segala hal yang tersemat dalam pendidikan secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi norma dan nilai bagi semua elemen lingkungan pendidikan di dalamnya. Penyematan inilah yang disebut dengan modal. Modal menurut Bourdieu “mencakup hal-hal material dan berbagai atribut yang tak tersentuh, namun memiliki signifikansi secara kultural” (Maizier: 16). Di dalam lingkungan pendidikan, bentuk modal tidak hanya berupa gelar, nama sekolah, dan segala status yang melekat dalam diri sekolah, namun semua aktifitas yang ada didalamnya pun merupakan modal menurut Bourdieu. Menurut Bourdieu, ada 2 bentuk modal yang sangat penting di dalam arena produksi kultural, yaitu “a) modal simbolis, dan b) modal kultural” (Santosa: xix). Modal simbolis merupakan satu bentuk akumulasi kehormatan, prestise yang dibangun diatas dialektika pengetahuan dan pengenalan. Di dalam modal simbolis, berbagai macam atribut-atribut sosial baik berupa nama, keturunan, harta, pendidikan, dsb menjadi satu bentuk kontribusi nyata bagi pemilik modal tersebut dalam pergaulannya di kehidupan masyarakat. Sedangkan modal kultural lebih merupakan bentukbentuk kompetensi dan pengetahuan terhadap pemahaman hal-hal tertentu. Dalam melihat modal kultural, tidak semua orang dapat menjelaskan dan mengartikan sesuatu sesuai dengan apa yang dilihatnya. Oleh demikian, modal kultural lebih pada pemahaman pihak-pihak tertentu yang berkompeten dan yang satu kepentingan. Dari dua bentuk modal yang dikemukakan oleh Bourdieu tersebut, peneliti mengkategorikan sumber belajar dalam pembelajaran yang disediakan di sekolahan sebagai satu bentuk modal kultural. Hal ini mengingat pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan diatas, bahwasanya modal kultural hanya mengandung makna dan kepentingan pada orang-orang tertentu, pun demikian dengan sumber belajar dalam pembelajaran. Sumber belajar dalam pembelajaran (LKS, buku paket, dll) tidak mungkin akan diberikan kepada orang atau komunitas tertentu semisal petani, buruh bangunan, pekerja kantoran, hal ini dikarenakan memang pada dasarnya kegunaan dan pemanfaatannya berbeda. Selain itu, fungsi dan kegunaan sumber belajar dalam pembelajaran pun hanya diketahui oleh
kelompok-kelompok tertentu yang mengerti dan memahami akan arti keberadaan sumber ini. Dengan demikian, maka sangat jelas jika sumber belajar dalam pembelajaran peneliti masukkan dalam ketegori modal dalam pengertian Bourdieu. 2. Penelitian Yang Relevan 1. Mailani Handayani Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Judul dari penelitian tahun 2005 ini adalah “Upaya Guru Mengatasi Perilaku Menyontek Siswa SMPN 250 Jakarta Selatan”. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Mailani adalah 28,73% selalu menyontek,
sering melakukan
menyontek
13,51%,
kadang-kadang melakukan
menyontek 56,76%, dan yang tidak pernah melakukan menyontek 2,70%. Dalam penelitian yang sama, survei mengenai teman membantu menjawab soal bila kesulitan adalah 16,23% selalu membantu, 70,27% kadang-kadang membantu, dan 13,51% tidak pernah membantu menyontek. selain itu, survei mengenai pemberian contekan kepada teman adalah 5,40% selalu memberi contekan, 70,27% kadang-kadang memberi contekan, dan 21,62% tidak pernah memberi contekan. Hasil penelitian selanjutnya adalah prosentase membiarkan teman menyontek jawaban anda saat ujian adalah 8,11% sering membiarkan, 62,16% kadang-kadang, dan 29,73% tidak pernah membiarkan teman menyontek jawaban saat ujian. Cara peserta didik menyontek saat ujian atau ulangan adalah 24,32% melempar kertas, 5,40% lewat hp, 10,81% membuat salinan khusus, dan 62,16% melihat jawaban teman. 2. Dyah Ayu Kartika Sari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitiannya di tahun 2012 berjudul “Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kecenderungan Menyontek Pada Siswa SMA”. Hasil penelitiannya terlihat dari tabel 2.1 Tabel 2.1. Alasan & Cara menyontek siswa Alasan Menyontek Bodoh Malas Tidak bisa Tidak percaya diri Tidak/belum belajar Soal Sulit Terpaksa Bahan terlalu banyak Takut nilai jelek (Sumber: skripsi Dyah Ayu Kartika Sari)
Cara yang dilakukan Tanya teman SMS Lihat teman Kode contekan Fotocopy buku Nulis dikertas Nulis dikursi Kode tangan Handphone
3. Julyanti Annisa Pratiwi dan Zunnun Ferdia Novianti, “Pelanggaran Tata Tertib Pada Kalangan Pelajar SMA N 7 Banjarmasin Tahun Pelajaran 2013/2014”. Hasil penelitian
yang dilakukan pada tahun 2013, mendapatkan data bahwa 93% pelajar di SMA N 7 Banjarmasin pernah menyontek dan 7% tidak pernah menyontek. 47% dari peserta didik tersebut menyontek ketika mengerjakan PR, 32% ketika tugas, 21% ketika ulangan. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan 77% peserta didik menyontek dengan cara bertanya langsung kepada teman, 13% melihat internet dengan handphone, dan 10% membuat contekan. Dari ke tiga penelitian relevan yang diambil oleh peneliti, terdapat perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Dalam penelitian yang relevan, ke tiganya membahas permasalahan menyontek yang dilakukan oleh peserta didik. Subjek penelitian ini sama dengan yang akan peneliti lakukan, namun perbedaan yang sangat nyata adalah peneliti lebih fokus pada penggunaan sumber belajar dalam pembelajaran yang digunakan untuk menyontek peserta didik dan tidak membahas penyebab peserta didik menyontek, ataupun menyebutkan secara kuantitatif jumlah peserta didik yang menyontek di tempat tertentu.
B. Kerangka Berpikir Menyontek adalah suatu praktik yang lahir dari kondisi sosial tertentu. Kondisi pendidikan Indonesia yang selalu mengarah pada orientasi nilai (angka) dan lebih melihat dari segi kognitif secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi masih tingginya praktik menyontek peserta didik tersebut. Pada perkembangannya, praktik menyontek yang dilakukan peserta didik mengalami reproduksi dalam hal sumber dan cara-cara yang digunakannya. Sumber yang cenderung digunakan oleh peserta didik adalah sumber belajar dalam pembelajaran, baik LKS, buku, maupun teknologi. Penggunaan sumber belajar dalam pembelajaran ini jelas merupakan dampak negatif yang tidak diharapkan terjadi di dunia pendidikan. Namun kecenderungan yang ada menunjukkan, penggunaan sumber belajar dalam pembelajaran untuk menyontek sangat marak dilakukanoleh peserta didik. Keadaan ini juga terpengaruh dari lingkungan serta modal yang dimiliki oleh individu tersebut. Cara-cara yang dipakai untuk memperlancar tujuan menyontek juga telah mengalami perkembangan dan pembaharuan dari segi praktiknya. Cara-cara ini adalah proses dialektika berdasarkan sosio-kultur yang dialami oleh peserta didik. Beragamnya cara/praktik yang dilakukan oleh peserta didik menjadi pertimbangan utama peneliti mengupas fenomena praktik menyontek di lingkungan pendidikan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui transformasi praktik menyontek peserta didik yang berkembang di tengah arus perkembangan iptek dan teknologi.
Dengan demikian, peneliti akan menggambarkan skema secara sistematik seperti berikut:
Gambar 2.1 Praktik menyontek
Faktor internal
Sumber belajar pembelajar an yang digunakan
Cara-cara/ taktik yang digunakan oleh peserta didik
Faktor eksternal (lingkungan , teman, tempat duduk, dll.)