BAB II EKSPLORASI ISU BISNIS
2.1
Conceptual Framework Dalam menjalankan penyertaan modal kepada Bank-Bank Perkreditan Rakyat,
Koperasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain adalah Kondisi Internal Koperasi XYZ itu sendiri, Kondisi Internal Bank Perkreditan Rakyat, Profil Bank Perkreditan Rakyat, Situasi Bank Perkreditan Rakyat, Kondisi Perekonomian, Situasi Politik serta nasabah selaku konsumen Bank Perkreditan Rakyat. Gambar berikut yang akan menjelaskan lebih lanjut tentang faktor-faktor tersebut:
Gambar 2.1 Skema Conceptual Framework
2.2
Analisis Situasi Bisnis 2.2.1 Kondisi Internal Koperasi XYZ Dalam melakukan seluruh bisnisnya, Koperasi harus memberikan manfaat yang
optimal kepada para anggotanya yang telah menyimpan uangnya di koperasi. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, Koperasi melakukan diversifikasi dalam menyalurkan dana yang ada, antara lain dengan melakukan penyertaan modal kepada Bank-Bank
9
Perkreditan Rakyat. Diharapkan dengan melakukan usaha ini, koperasi dapat mendapatkan profit yang cukup tinggi.
Unit usaha ini langsung dibawahi oleh Unit Dana & Investasi, dimana pada unit itu tersebut melakukan pengawasan terhadap dana-dana yang diinvestasikan ke sejumlah BPR yang tersebar di Indonesia. Dalam unit usaha ini, Koperasi pada setiap bulannya diharuskan menyetor sejumlah dana untuk dijadikan modal oleh BPR dalam menjalankan usahanya. Dalam hal ini, koperasi hanya sebagai penyetor dana, koperasi tidak berhak mengatur seluruh kegiatan yang dilakukan oleh BPR nantinya. Namun karena sebelumnya dilakukan analisa kelayakan BPR maka diharapkan modal yang diberikan oleh Koperasi dapat digunakan secara optimal oleh BPR sehingga dapat menghasilkan profit yang optimal juga. Dalam kurun waktu setahun, biasanya pada akhir tahun, Koperasi akan menerima deviden yang diberikan oleh masing-masing BPR itu. Besarnya deviden tergantung dengan jumlah modal yang disetorkan oleh Koperasi kepada BPR tersebut.
Untuk mengawasi jalannya usaha penyertaan modal pada BPR-BPR tersebut, Koperasi XYZ berhak melakukan pengawasan dengan datang langsung ke lokasi BPR sehingga langsung mengamati apa saja yang dilakukan oleh BPR dalam menjalankan dana yang disetorkan oleh Koperasi. Pengawasan ini biasanya dilakukan dua bulan sekali atau enam bulan sekali. Namun semenjak Koperasi tidak menjadi penyetor utama, hal ini sangat jarang dilakukan oleh Koperasi. Saat ini Koperasi hanya menerima laporan keuangan serta laporan kinerja yang dikirim oleh masing-masing BPR setiap bulannya.
2.2.2 Kondisi Internal Bank Perkreditan Rakyat Bank Perkreditan Rakyat berbeda dengan Bank Umum yang dikenal luas oleh masyarakat. Dalam melaksanakan kegiatan usahanya BPR tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sehingga profit yang dihasilkan oleh BPR adalah murni dari kredit yang BPR berikan kepada nasabah dan pendapatan bunga deposito yang mereka tanam di bank lain. Oleh karena itu, BPR harus hati-hati dalam memberikan kreditnya kepada nasabah, diharapkan nasabah bisa membayar cicilan dana yang mereka pinjam 10
beserta bunganya. Dalam memberikan kreditnya kepada nasabah, Koperasi tidak berhak menentukan nasabah mana yang layak diberikan kredit dan nasabah yang mana yang tidak layak diberikan kredit, seluruhnya tergantung oleh kebijaksanaan oleh masingmasing BPR.
BPR dipimpin layaknya kepala cabang oleh suatu bank konvensional. Dalam suatu BPR di daerah, BPR dipimpin oleh seorang kepala BPR yang bertanggung jawab atas seluruh kegiatan BPR. Namun kualitas dari SDM yang ada di BPR tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Koperasi. Indonesia yang masih sangat kental dengan nepotismenya, menjadi suatu kendala tersendiri didalam hal ini. Banyak pegawai di BPR yang dinilai masih dibawah standar, hal ini dikarenakan lokasi BPR yang di daerah terpencil sehingga susah mendapatkan SDM yang berkualitas. Hal ini berdampak pada kredit yang mereka berikan kepada nasabah. Setelah dilakukan pengawasan lebih lanjut, banyak terjadinya kredit macet yang dikarenakan jenis usaha debitor tidak layak untuk diberikan kredit oleh BPR. Selain itu banyak juga yang melakukan kredit kepada BPR yang masih memiliki hubungan saudara sehingga tidak lagi diperlukan analisa 5’C dalam penentuan pemberian kredit.
2.2.3 Profil Bank Perkreditan Rakyat Dikutip dari website resmi Bank Indonesia, Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BPR biasanya terletak didaerah daerah yang cukup jauh dari kota besar, sehingga yang menjadi nasabah dari BPR ini adalah rakyat kecil misalkan petani, kepala desa, dan lain-lain. Dalam melakukan kegiatan perbankannya, ada beberapa kegiatan tertentu yang dilarang dilakukan oleh BPR misalnya dilarang menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, melakukan kegiatan dalam valuta asing, melakukan penyertaan modal di bank lain, dan melakukan usaha lain diluar kegiatan usaha yang diperbolehkan oleh BPR.
11
Dalam menjalankan seluruh kegiatan usaha, BPR memerlukan modal. Namun sumber dana modal pun tidak boleh sembarang diperoleh oleh BPR, diharapkan sumber dana modal tidak berasal dari pinjaman dalam bentuk apapun yang berasal dari bank atau pihak lain di Indonesia, serta dana modal tidak boleh berasal dari kegiatan yang melanggar hukum. Dalam melakukan kegiatan usahanya, BPR wajib mematuhi aturan prinsip kehati-hatian, yang antara lain mengenai mencakup ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Kualitas Aktiva Produktif (KAP), Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), dan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) merupakan sejumlah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh bank yang dihitung berdasarkan persentasi tertentu dari Aktiva Tertimbang Menurut Resiko. BPR wajib memenuhi modal minimum sehingga dalam melakukan pengembangan usaha serta bisa menanggung resiko kerugian. Sebuah BPR wajib menyediakan modal minimun sebesar 8% dari nilai ATMR.
Aktiva Produktif merupakan penanaman dana BPR dalam bentuk kredit, SBI dan penanaman dana pada bank lain, yang diharapkan mendapatkan penghasilan dari kegiatan tersebut. Kualitas dari Aktiva Produktif dapat digolongkan menjadi kolektibilatas yang terdiri atas lancar, kurang lancar, diragukan, dan macet. Kualitas aktiva produktif dapat dihitung sebagai nilai persentase dengan membagi nilai aktiva produktif yang diklasifikasikan dengan aktiva produktif.
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) merupakan sejumlah dana yang wajib disisihkan oleh BPR guna untuk menutup resiko kerugian yang mungkin terjadi. Besarnya pembentukan PPAP minimal adalah 0,5% dari nilai aktiva produktif yang dikategorikan lancar, 10% dari nilai aktiva produktif yang dikategorikan kurang lancar, 50% dari nilai aktiva produktif yang dikategorikan diragukan, 100% dari nilai aktiva produktif yang dikategorikan macet, yang ketiga sebelumnya dikurangi dengan nilai anggunan yang dikuasai. 12
Batas Maksimum Pemberian Kredit atau BMPK adalah suatu nilai batas maksimum kredit yang diperbolehkan untuk diberikan oleh BPR kepada peminjam, kelompok peminjam yang tidak terkait dengan BPR dan pihak-pihak terkait dengan BPR. Bagi satu peminjam dan kelompok peminjam yang tidak terkait dengan BPR, batas maksimun pemberian kredit yang diperbolehkan adalah 20% dari modal BPR. Namun bagi pihak-pihak yang terkait dengan BPR baik secara individual maupun secara keseluruhan, batas maksimum pemberiankredit yang diperbolehkan adalah 10% dari modal BPR.
Sistem penilaian Bank Perkreditan Rakyat mengacu pada Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan BPR. Dalam melakukan penilaian tingkat kesehatan suatu bank, dilakukan suatu penilaian kualitatif yang disebut CAMEL, yang merupakan singkatan dari faktor-faktor seperti Pemodalan (Capital), Kualitas Aktiva Produktif (Assets Quality), Manajemen (Management), Rentabilitas (Earning Power), dan Likuiditas (Liquidity). Masing-masing faktor memiliki pembobotan tersendiri yang nanti menjadi tolak ukur kinerja suatu BPR. Bobot masingmasing faktor dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 2.1 Pembobotan CAMEL
Faktor Camel Permodalan Kualitas Aktiva Produktif Manajemen Rentabilitas Likuiditas
BOBOT 30% 30% 20% 10% 10%
Setelah masing-masing faktor memiliki bobot tertentu, maka hasil penilaian tingkat kesehatan suatu bank dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok sehat, kelompok cukup sehat, kelompok kurang sehat serta kelompok tidak sehat. Batasbatas dari kelompok-kelompok tersebut dapat dilihat lebih jelas pada tabel dibawah ini:
13
Tabel 2.2 Nilai Kredit Kelompok CAMEL
Kelompok Sehat Cukup Sehat Kurang Sehat Tidak Sehat
Nilai Kredit 81 – 100 66 – 80 51 – 65 0 – 50
Ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai Tingkat Kesehatan yaitu adanya Pelanggaran BMPK dan Faktor Judgement. Faktor Judgement merupakan faktor yang dapat menurunkan tingkat kesehatan suatu bank menjadi tidak sehat apabila terdapat beberapa hal misalnya adanya perselisihan intern, campur tangan pihak ketiga, window dressing, adanya praktek bank dalam bank, terjadi kesulitan keuangan serta praktek perbankan lainnya yang menyimpang yang dapat membahayakan kelangsungan usaha dari bank dan dapat menurunkan kesehatan bank.
2.2.4 Situasi Bank Perkreditan Rakyat Belakangan ini terdapat dua masalah utama yang dapat menghambat perkembangan BPR, dua masalah ini sudah menjadi perhatian Bank Indonesia dalam membenahi BPR. Masalah utama tersebut adalah Rasio Kecukupan Modal (CAR) dan belum adanya suatu penjaminan untuk dana nasabah di BPR. Dari data yang didapat, untuk selama kurun waktu Januari sampai dengan Oktober 2006, sudah ada 6 BPR yang telah dilikuidasi oleh BI. Enam BPR tersebut adalah BPR Palapa Nusa Raya di Jakarta, BPR Tripilar Arthajaya di Yogyakarta, Mitra Banjaran di Bandung, BPR Cimahi, Mranggen Mitra Niaga di Semarang, dan BPR Samandhana di Sukabumi. Dengan jumlah BPR yang saat ini mencapai 1903 bank, sebagian besar memiliki masalah yaitu tidak mampu memenuhi syarat kecukupan modal yang telah ditetapkan BI. Hal ini bisa disebutkan sebagai bukti buruknya kondisi BPR yang ada di Indonesia.
Masalah kedua yang dihadapi oleh BPR adalah tidak adanya penjaminan untuk dana para nasabah BPR. Hal ini dilihat bahwa banyak dana nasabah yang tidak dimasukkan ke dalam program penjaminan oleh pengelola BPR. Sebagai akibatnya, maka sebagian dari simpanan nasabah tidak bisa dicairkan karena masuk dalam kategori
14
yang tidak layak bayar. Dikutip dari hukumonline.com pada tanggal 3 januari 2007, Kepala Eksekutif Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Krisna Wjaya menemukan banyak sekali praktek penipuan yang dilakukan pengelola BPR saat membuat catatan pembukuan. Modus yang biasa dilakukan oleh BPR adalah nasabah diberikan bilyet asli tapi palsu dan menciptakan nasabah fiktif.
Dalam menanggapi masalah ini, Bank Indonesia telah menerbitkan dua Peraturan Bank Indonesia (PBI), yakni PBI No. No. 6/22/PBI tentang BPR dan PBI No. 6/23/PBI/2004 tentang Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan (Fit and Proper Test) BPR. Dalam peraturan tersebut, BI mensyaratkan untuk setiap direktur dan calon direktur harus memiliki Sertifikat Kompetensi Profesi. Dengan adanya sertifikat ini BI mengharapkan dalam meningkatkan kapasitas dan kualitas di BPR. Hingga saat ini, untuk periode Maret 2005 sampai Agustus 2006, Lembaga Sertifikasi Profesi Lembaga Keuangan Mikro (LSP LKM) telah mengadakan ujian sebanyak 7 kali. Dari sejumlah ujian yang telah dilaksanakan jumlah direktur yang telah kompeten dan mendapat SKP sebanyak 1.984 orang dari 2.206 orang yang ikut serta. Menurut catatan BI, jumlah BPR yang direkturnya masih belum memilki SKP sebanyak 254 BPR.
2.2.5 Kondisi Perekonomian Kondisi perekonomian tentu saja sangat mempengaruhi unit usaha BPR ini dalam menjalankan kegiatan usahanya terutama pada sektor penbankan dimana menurunnya nilai kredit yang bermasalah. Saat ini nilai NPL dari BPR masih cukup tinggi, sehingga bisa menghambat kegiatan suatu bank untuk menjadi sehat. Nilai pendapatan masyarakat juga menjadi suatu hambatan tersendiri bagi BPR, jika daya beli masyarakat menurun maka akan ada peningkatan pengangguran sehingga nilai NPL makin tinggi. Hal ini bisa dilihat dari daya serap pertumbuhan ekonomi tidak mencukupi untuk menyerap kesempatan kerja baru.
Kemampuan membeli masyarakat juga bisa menurun jika di lain pihak laju inflasi tidak bisa dikendali, sehingga terjadi depresi Rupiah yang membuat biaya impor
15
bahan baku mengalami kenaikan. Diharapkan BI sebagai sentral perekonomian Indonesia bisa mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.
2.2.6 Situasi Politik Situasi politik juga bisa mempengaruhi
BPR dapat melakukan kegiatan
usahanya. Dengan ketidakstabilan politik misalnya terjadi huru hara banyak nasabah akan menarik seluruh dananya dalam waktu yang bersamaan dengan jumlah yang besar. Hal ini bisa menjadi masalah jika BPR tersebut tidak memiliki nilai likuiditas yang tinggi, selain itu dengan ditariknya seluruh dana oleh para nasabah maka BPR juga tidak bisa melaksanakan kegiatan perbankannya. Untuk mengurangi resiko ini, ada baiknya adanya jaminan bagi dana yang ditanamkan nasabah di BPR. Namun sampai saat ini masih banyak BPR yang belum memasukkan dana nasabahnya ke dalam program penjaminan oleh pengelola BPR.
2.2.7 Consumer Konsumen atau nasabah dari BPR terdiri dari masyarakat yang ada di sekitar BPR itu sendiri. BPR biasanya tidak terletak di ibukota propinsi melainkan di kotamadya atau di kabupaten-kabupaten. Dari lokasi BPR itu sendiri dapat disimpulkan bahwa yang menjadi nasabah BPR adalah masyarakat kecil yang tingkat pendapatannya masih kecil, kurang mengerti tentang perbankan sehingga diperlukan pendekatan yang berbeda dan lain-lain.
2.3
Akar Masalah Setelah melakukan analisis unit usaha dalam penyertaan modal BPR yang telah
dijabarkan sebelumnya, maka dapat dibuat Relations Diagram untuk mengetahui akar permasalahan yang terjadi. Dengan dibuatnya diagram ini diharapakan bisa mencari solusi terbaik untuk unit usaha ini.
16
Gambar 2.2 Relations Diagram Unit Usaha Penyertaan Modal BPR.
Pada gambar diatas bisa kita lihat bahwa masalah yang dihadapi oleh BPR tersebut adalah SDM yang kurang berkualitas yang bisa membuat kredit macet, belum adanya suatu penjaminan dana nasabah, sehinga nasabah enggan untuk menabung di BPR dan biaya opersional yang kurang efektif sehingga bisa mengurangi pemasukan untuk BPR.
Faktor pertama adalah SDM dari BPR itu sendiri. Seperti yang telah dibahas sebelumnya banyak Direktir dari BPR yang belum mempunyai sertifikat kompetensi profesi. Hal ini untuk mengurangi pemberian kredit yang tidak layak, lalu si peminjam tidak bisa mengembalikan yang akhirnya menimbulkan kredit macet. Dengan banyaknya kredit macet maka otomatis pemasukan atau pendapatan bunga dari BPR pun makin menurun sedangkan biaya operasional seperti depresiasi fixed asset serta gaji tenaga kerja makin meningkat yang pada akhirnya membuat pengeluaran lebih besar dari pada pemasukan bank tersebut.
17
Selain itu, tidak ada penjaminan dari BPR terhadap dana nasabah, membuat keengganan masyarakat untuk menabung. Mereka takut dana yang mereka tanam tidak bisa mereka ambil ketika suatu saat mereka membutuhkannya.
Untuk melihat permasalahan sesungguhnya yang dihadapi oleh BPR, berikut ditunjukkan salah satu laporan keuangan salah satu BPR yang terus mengalami kerugian pada tahun 2005. Untuk selanjutnya akan diuji tingkat kesehatan BPR ini pada tahun 2005 dengan metode camel yang menjadi suatu hal yang sangat dasar bagi BPR untuk dikategorikan sehat atau tidak sehat. Berikut ini adalah tabel Laporan keuangan dan tabel Laporan Kinerja dari salah satu BPR di Rayon Bodetabek, kita sebut BPR ini adalah BPR BDT-6.
18
Tabel 2.3 Laporan Kinerja
19
Tabel 2.4 Laporan Keuangan
Semua tabel diatas merupakan dalam satuan juta rupiah. Dengan adanya tabel diatas, kita bisa lihat secara kasat mata bahwa BPR BDT-6 ini telah mengalami kerugian sebesar 4 milyar lebih. Nilai ini merupakan nilai yang cukup besar bagi BPR untuk mengalami suatu kerugian dimana modal inti BPR hanya berkisar 2 Milyar.
20
Sehingga bisa disimpulkan jika salah satu BPR saja yang mengalami kerugian yang begitu banyak, bagaimana dengan 26 BPR lainnya, apakah menjamin BPR yang lain akan memiliki kinerja yang lebih bagus atau lebih buruk daripada BPR BDT-6 ini. Oleh karena itu diperlukan analisa mendalam terhadap ke dua puluh tujuh BPR yang menjadi unit usaha penyertaan modal dari Koperasi XYZ. Diharapkan setelah melakukan analisa, Koperasi bisa menganalisa BPR mana saja yang potensial untuk berkembang.
Untuk dapat lebih melihat kinerja dari seluruh BPR berikut ini adalah tabel nilai NPL (Non Productive Loan) atau kredit yang mengalami macet: Tabel 2.5 Nilai NPL Setiap BPR
21
22