BAB 2 LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teori Dalam rangka memperoleh suatu pedoman guna lebih memperdalam masalah, maka perlu dikemukakan suatu kajian teori yang bersifat ilmiah. Dalam kajian teori ini dikemukakan teori yang ada hubungannya dengan materi-materi yang digunakan dalam pemecahan masalah. Teori tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yakni : Grand Theory, Middle Theory, dan Applied Theory. Grand Theory yang dibahas yakni mengenai Manajemen, Middle Theory nya adalah Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), dan Applied Theory nya yaitu Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi, Stres Kerja, dan Turnover Intention. 2.1.1 Manajemen Grand theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengenai manajemen. Menurut
Robbins dan Coulter (2012) bahwa manajemen diartikan
sebagai aktivitas kerja yang melibatkan koordinasi pengawasan terhadap pekerjaan oranglain, sehingga pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Berdasarkan asal katanya, manajemen berasal dari kata management yang merupakan bentuk nouns dari kata kerja to manage yang bermakna mengurus, mengatur, melaksanakan, dan mengelola sehingga manajemen adalah pengurusan, pengaturan, pelaksanaan, dan pengelolaan. Menurut Hasibuan (2007) Manajemen hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Manajemen yang baik akan memudahkan terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Dengan manajemen, daya guna dan hasil guna unsur-unsur manajemen akan dapat ditingkatkan. Unsur-unsur manajemen yang dimaksud terdiri dari 6 yakni : Man, Money, Methode, Machines, Materials, dan Market, disingkat 6 M. Manajemen yang berasal dari kata to manage yang artinya mengatur juga menimbulkan pertanyaan tentang : apa yang diatur, apa tujuannya diatur, mengapa harus diatur, siapa yang mengatur, dan bagaimana mengaturnya.
1. Yang diatur adalah semua unsur manajemen, yakni 6 M. 2. Tujuannya diatur adalah agar 6 M lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mewujudkan tujuan. 3. Harus diatur supaya 6 M itu bermanfaat optimal, terkoordinasi dan terintegrasi dengan baik dalam menunjang terwujudnya tujuan organisasi. 4. Yang mengatur adalah pimpinan dengan kepemimpinannya yaitu pimpinan puncak,manajer madya, dan supervise. 5. Mengaturnya adalah dengan melakukan kegiatan urutan-urutan fungsi manajemen tersebut. Untuk dapat melaksanakan tugas dan menjalankan perannya dengan baik dan benar, maka sebuah manajemen memiliki peran yang dapat mendukung dan membantu dalam penerapannya. Dalam manajemen terdapat 4 (empat) fungsi atau aktifitas menurut beberapa ahli, sebagai berikut: 1. Perencanaan (Planning) Menurut Robbins dan Coulter (2012): “As managers engage in planning, they set goals, establish strategies for achieving those goals, and develop plans to integrate and coordinate activities.” Perencanaan (Planning) adalah fungsi manajemen yang mencangkup proses mendefinisikan sasaran, menetapkan strategi untuk mencapai sasaran itu, dan menyusun rencana untuk mengintegrasikan dan mengoordinasikan sejumlah kegiatan. Menurut Thomas S & Baleman Scott A Snell (2008): Perencanaa (Planning) adalah membuat rincian tujuan-tujuan yang akan dicapai dan tindakantindakan tepat yang diperlukan untuk mencapai tujuan akan diputuskan di awal. Dan terdapat aktivitas dalam perencanaan yang meliputi: menganalisis situasi-situasi saat ini yang sedang terjadi, mengantisipasi masa depan, menentukan sasaran-sasaran yang akan dicapai, menentukan jenis aktivitasaktivitas yang akan dilakukan perusahaan, dan menentukan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. 2. Pengorganisasian (Organizing) Menurut Robbins dan Coulter (2012): “When ,amagers organize, they determine what task are to be done, who is to the, how the tasks are to be grouped, who reports to whom, and where decisions are to be made.”
Pengorganisasian (Organizing) adalah fungsi manajemen yang mencangkup proses menentukan tugas apa yang harus dilakukan, siapa yang melakukan, bagaimana cara mengelompokkan tugas-tugas itu, siapa harus melapor ke siapa, dan di mana keputusan harus dibuat. 3. Kepemimpinan (Leading) Menurut Robbins dan Coulter (2012): “This is the leading fuction. When managers motivate subordinates, help resolve work group conflicts, influence individuals or team as they work, select the most effective communication channel, or deal in any way with employe behavior issues, they,re leading.” Kepemimpinan (Leading) adalah fungsi manajemen yang mencakup memotivasi bawahan, memengaruhi individu atau tim sewaktu mereka bekerja, memiliki saluran komunikasi yang paling efektif, dan memecahkan dengan berbagai cara masalah perilaku karyawan.. 4. Pengendalian (Controlling) Menurut Robbins dan Coulter (2012): “The final management function is controlling. After goal and plans are set (planning), task and structural arrangements put in place (organizing), and people hired, trained, and motivated (leading), there has to be some evaluation of whether things are going as planned.” Pengendalian (Controlling) adalah fungsi manajemen yang mencakup memantau kinerja aktual, membandingkan actual dengan standar, dan membuat koreksinya, jika perlu. Keempat fungsi di atas, tidak ada yang paling baik dan buruk.Karena keempat fungsi tersebut yang terdiri dari Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing), Kepemimpinan (Leading), dan Pengendalian (Controlling) memiliki fungsi masing-masing yang bermanfaat bagi sebuah manajemen sehingga keempat fungsi tersebut tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunya. Dan keempat fungsi manajemen ini adalah merupakan rangkaian yang bisa dikatakan dengan istilah selangkah demi selangkah (step by step) dalam menjalankan fungsi manajemen dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Dalam sejarahnya yang perlu diketahui bahwa manajemen telah dipraktikkan sejak lama. Usaha-usaha terorganisasi yang diarahkan dan diatur oleh orang-orang yang bertanggung jawab menjalankan fungsi-fungsi perencanaan, penataan, kepemimpinan, dan pengendalian telah ada sejak ribuan tahun silam.
Jadi manajemen itu adalah ilmu dan seni yang mengatur suatu proses dalam rangka mencapai suatu tujuan dengan cara bekerja sama dengan individu lain atau organisasi yang terlibat di dalamnya. 2.1.2 Manajemen Sumber Daya Manusia Middle Theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah Manajemen Sumber
Daya
Manusia
(MSDM).
Manajemen
mempunyai
bagian-bagian
didalamnya, salah satunya yakni Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut (Mathis dan Jackson, 2006) bahwa manajemen sumber daya manusia adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan organisasional. Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) merupakan sesuatu yang telah mengalami banyak perkembangan sejak permulaannya pada tahun 1900an. Manajemen SDM dimulai sebagai sebuah operasi administrasi yang berhubungan dengan penggajian, riwayat karyawan, dan pengaturan kunjunagn sosial. Menurut (Gary Desssler, 2004) dalam bukunya mengatakan bahwa Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah proses memperoleh, melatih, menilai dan memberikan kompensasi kepada karyawan, memperhatikan hubungan kerja mereka, kesehatan dan keamanan, serta masalah keadilan. Sedangkan menurut (Hasibuan) Manajemen Sumber Daya Manusia adalah ilmu dan seni yang mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Fungsi-fungsi MSDM terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian,
pengadaan,
pengembangan,
kompensasi,
pengintegrasian,
pemeliharaan, kedisiplinan, dan pemberhentian. Tujuannya adalah agar perusahaan mendapatkan rentabilitas laba yang lebih besar dari % tingkat bunga bank. Karyawan bertujuan mendapatkan kepuasan dari pekerjaannya. Masyarakat bertujuan memperoleh barang atau jasa yang baikdengan harga yang wajar dan selalu tersedia di pasar, sedang pemerintah mengharapkan selalu mendapatkan pajak. Peranan MSDM diakui sangat menentukan bagi terwujudnya tujuan, tetapi untuk memimpin manusia ini sangat sulit dan rumit. Jadi MSDM itu adalah suatu proses mengelola manusia secara formal dalam suatu organisasi atau perusahaan guna mencapai suatu tujuan yang diinginkan.
2.1.3 Kepuasan Kerja Menurut (Mathis dan Jackson, 2006), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang. Menurut Byars dan Rue (2006) di dalam bukunya mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap atau perilaku umum yang ditujunjukan oleh seorang karyawan atas pekerjaannya itu sendiri.
Sedangkan Menurut (Wagner dan
Hollenbeck,2009) kepuasan kerja adalah perasaan senang atau pernyataan emosi yang positif dari hasil pemenuhan suatu pekerjaan atau pengalaman-pengalaman pekerjaan. Kepuasan kerja (Job Satisfaction) memiliki 3 komponen, yaitu: a) Value: Dimana seseorang secara sengaja atau tidak sengaja, menginginkan untuk memperoleh nilai atau manfaat dari pekerjaan itu sendiri. b) Importance of Value: Manusia dibedakan tidak hanya dari nilai-nilai yang ia yakini, tapi juga dari beban atau usaha yang diberikan untuk memenuhi nilai-nilai tersebut. Perbedaan inilah yang mempengaruhi tingkat dari kepuasan seseorang. c) Perception: Kepuasan mencerminkan persepsi kita terhadap situasi saat ini dan nilai-nilai yang kita yakini. Menurut (Robbins and Coulter, 2012) Kepuasan kerja mengacu pada sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya. Seseorang yang tidak puas memiliki sikap negatif. Ketika orang berbicara tentang sikap karyawan, mereka biasanya mengacu pada kepuasan kerja. Jadi dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah perasaan emosional yang dirasakan oleh seorang karyawan atas apa yang ia kerjakan atau atas apa yang ia rasakan terhadap pekerjaannya itu sendiri. Namun ketidakpuasan kerja akan muncul ketika harapan seseorang tidak terpenuhi. Maka dari itu, adanya balas jasa terhadap karyawan juga sangat penting untuk diperhatikan oleh suatu perusahaan, sehingga ia memperoleh kepuasan kerja dari pekerjaannya itu dan karyawan akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, status, sosial dan egoistiknya. Menurut
Danfar
kepuasan
kerja
merupakan
sikap
positif
yang
menyangkut penyesuaiankaryawan terhadap faktor-faktor yang, mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kerja, meliputi :
1) Faktor Kepuasan Finansial, yaitu terpenuhinya keinginan karyawan terhadap kebutuhan finansial yang diterimanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari sehingga kepuasan kerja bagi karyawan dapat terpenuhi. Hal ini meliputi; sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan serta promosi. 2) Faktor Kepuasan Fisik, yaitu faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan. Hal ini meliputi; jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan/suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan dan umur. 3) Faktor Kepuasan Sosial, yaitu faktor yang berhubungan denganinteraksi sosial baik antara sesama karyawan, dengan atasannya maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya. Hal ini meliputi; rekan kerja yang kompak, pimpinan yang adil dan bijaksana, serta pengarahan dan perintah yang wajar. 4) Faktor Kepuasan Psikologi, yaitu faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan. Hal ini meliputi; minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan. Menurut Robbins (2003), hal yang menentukan kepuasan kerja itu antara lain, pekerjaan
yang
menantang,
imbalan
yang
pantas,
kondisi
kerja
yang
mendukung, rekan kerja yang mendukung dan kesesuaian antara kepribadian dengan pekerjaan dan faktor genetis. Ada lima aspek yang digunakan untuk mengevaluasi kepuasan kerja dari pekerjaan mereka yang sekarang : 1. Pekerjaan itu sendiri (Work it self) Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan, Dimana pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk maju menggunakan mereka
dan
keterampilan
dan
kemampuan
menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik
mengenai betapa baiknya mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. 2. Gaji saat ini (Present pay) Kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang
diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan- harapan
tenaga
kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Uang memang mempunyai arti yang berbeda-beda bagi orang yang berbeda. Di samping memenuhi kebutuhan tingkat rendah (makanan, rumah), uang dapat merupakan simbol dari pencapaian, keberhasilan, pengakuan, atau penghargaan. Lagipula
uang
mempunyai
kegunaan
sekunder.
Jumlah
gaji yang
diperoleh dapat secara nyata mewakili kebebasan untuk melakukan apa yang ingin dilakukan. Dengan menggunakan teori keadilan Adam, orang menerima gaji yang dipersepsikan sebagai terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami ketidakpuasan. Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil, jika gaji dipersepsikan sebagai adil dari tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasan kerja. 3. Kesempatan promosi (Promotion opportunities) Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh
peningkatan
karir
selama
bekerja.
Seorang
karyawan
yang merasakan bahwa kesempatan promosi terbuka bagi mereka akan mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan tersebut. 4. Pimpinan (Supervision) Cara atasan dalam memperlakukan bawahan akan mempengaruhi kepuasan kerja. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa. Tingkat kepuasan yang paling besar dengan atasan adalah jika kedua hubungan tersebut positif. 5. Rekan Kerja (Co-workers) Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial.
Oleh
karena
itu
rekan
kerja
atau
anggota
tim
yang
kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja yang paling sederhana pada karyawan secara individu.
Kelompok kerja yang saling memberikan
dukungan, nasehat, serta bantuan akan menciptakan suasana pekerjaan yang menyenangkan sehingga menimbulkan kepuasan kerja pada individu karyawan.
Robbins (2003), mengemukakan bahwa ada konsekuensi ketika karyawan menyukai pekerjaan mereka, dan ada konsekuensi ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka. Pada gambar 2.1 menunjukan empat respon yang berbeda dari satu sama lain bersama dengan dua dimensi :
Sumber: Robbins (2003) Gambar 2.1 Respon-Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja
Respon-respon tersebut didefinisikan seperti berikut: 1) Keluar (Exit): Perilaku ketidakpuasan yang ditujukan untuk meninggalkan organisasi termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri. 2) Aspirasi (Voice): Secara aktif dan konstruksif berusaha memperbaiki kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan beberapa bentuk aktivitas serikat kerja. 3) Kesetiaan (Loyalty): Secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk “melakukan hal yang benar”. 4) Pengabaian (Neglect): Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus-menerus, kurangnya usaha, dan meningkatnya angka kesalahan. Jadi ketika karyawan tersebut merasa puas dengan perkerjaannya sekarang maka karyawan tersebut akan memberikan suatu timbal balik yang lebih baik, bisa berupa peningkatan kinerja atau komitmen terhadap organisasi atau perusahaan dimana dia bekerja. Sedangkan ketika karayawan tidak merasa puas maka karyawan cenderung berlakukan sebaliknya dari ketika merasa puas dengan pekerjaannya tersebut.
2.1.4 Komitmen Organisasi Menurut (Mathis dan Jackson, 2006) komitmen organisasi adalah tingkat sampai dimana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serat berkeinginan untuk tinggal bersama organisasi tersebut. Berbagai studi menunjukkan bahwa orang-orang yang relatif puas dengan pekerjaannya akan sedikit lebih berkomitmen terhadap organisasi. Sedangkan karyawan yang tidak puas dengan pekerjaanya atau tidak berkomitmen terhadap organisasi memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk meninggalkan organisasi, mungkin lewat ketidakhadiran atau perputaran secara permanen. Sedangkan menurut (Robbins and Coulter,2012) komitmen organisasi adalah sejauh mana seorang karyawan mengenali tujuan organisasi tertentu dan menganggap kinerja pekerjaannya menjadi penting bagi diri. Sedangkan keterlibatan kerja adalah mengidentifikasi dengan pekerjaan Anda, komitmen organisasi adalah mengidentifikasi dengan organisasi yang mempekerjakan Anda. Komitmen organisasional yang kuat
ditandai dengan : 1. Sebuah dukungan dan penerimaan tujuan dan nilai organisasi 2. Sebuah
keinginan
untuk
mengerahkan
usaha
yang
cukup
atas
nama organisasi 3. Sebuah keinginan untuk tetap dengan organisasi.
Jadi, komitmen organisasi berdasarkan beberapa pendapat diatas adalah suatu rasa untuk setia atau untuk loyal terhadap pekerjaan atau organisasi dimana karyawan tersebut bekerja. Biasanya karyawan yang sudah memiliki rasa komitmen organisasi akan cenderung bertahan lama di perusahaan tersebut dan tidak memiliki niatan untuk meninggalkan perusahaan. Rasa komitmen organisasi akan muncul apabila seorang karyawan sudah merasakan kepuasan dalam bekerja di perusahaan tersebut. Setiap organisasi atau perusahaan sangat membutuhkan orang (karyawan) yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi atau perusahaan. Sedangkan menurut Allen dan Meyer (Noordin, dkk, 2003) , ada tiga Dimensi komitmen organisasi adalah : 1. Komitmen afektif (affective comitment), yaitu keterikatan emosional karyawan,identifikasi, dan keterlibatan dalam organisasi. Keterikatan emosional ini terbentuk karena karyawan setuju dengan tujuan dasar dan nilai- nilai organisasi tersebut, serta mengerti untuk apa organisasi tersebut
berdiri. Karyawan dengan tingkat komitmen afektif yang tinggi akan memilih untuk tetap tinggal dalam organisasi untuk menyokong organisasi dalam mencapai misinya. 2. Komitmen berkelanjutan (continuence commitment), yaitu komitmen berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi. Semakin lama seseorang tinggal dalam sebuah organisasi, ia akan semakin tidak rela kehilangan apa yang telah mereka investasikan di
organisasi
tersebut
selama
bertahun-tahun,
misalnya
senioritas,
kesempatan promosi, rencana pensiun, hubungan persahabatan dengan rekan kerja. Karyawan dengan tingkat komitmen kelanjutan yang tinggi akan memilih untuk tetap tinggal dalam organisasi hanya karena tidak ingin mengambil resiko kehilangan hal-hal tersebut. 3. Komitmen normatif (normative commiment): Perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan. Keharusan untuk tetap tingal dalam organisasi disebabkan karena tekanan dari orang atau pihak lain. Karyawan dengan tingkat komitmen normatif yang tinggi sangat peduli pada apa yang akan dipikirkan orang lain bila ia keluar dari organisasi tempatnya bekerja. Karyawan ini akan merasa enggan untuk mengecewakan majikannya dan khawatir akan dicap buruk oleh rekan sekerjanya bila ia keluar dari pekerjaan tersebut. 2.1.5 Stres Kerja 2.1.5.1 Pengertian Stres Menurut Robbins dan Judge (2007) “Stress is a dynamic condition in which an individual is confronted with an opportunity, demand, or resource related to what the individual desires and for which the outcomes is perceived to be both uncertain and important.” Stres adalah suatu kondisi yang dinamik dimana seseorang dihadapkan dengan kesempatan, permintaan, atau sumber yang berhubungan dengan apa yang diinginkan oleh individu tersebut dan yang di mana hasilnya adalah merasa sama-sama tidak pasti dan penting. 2.1.5.2 Pengertian Stres Kerja Menurut Luthans (2006) mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan serta dikarakteristikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal
mereka.
Stres
kerja
merupakan
fenomena
psikologis,
dimana
terdapat
ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan individu untuk mengatasi tuntutan tersebut. Reaksi orang dapat berbeda-beda dalam menghadapi sumber stres yang sama, hal ini disebabkan karena perbedaan individual yang memungkinkan sebagian orang tidak mengalami stres kerja dan sebagian lainnya mengalami stres kerja (Robbins dalam Desiana,2003). Robbins dan Judge (2007) mengatakan bahwa stres adalah sebuah kondisi dinamis di mana seorang individu dihadapkan pada suatu peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan individu tersebut dan yang hasilnya dipandang tidak pasti dan penting. Menurut Ivancevich (2007), stres adalah suatu respons adaptif, dimoderasi oleh perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau peristiwa yang memberikan tuntutan khusus terhadap seseorang yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang. Menurut Ivancevich (2007), stres dibagi menjadi dua kategori, yaitu stress sebagai suatu stimulus atau stres sebagai suatu respons. Stress sebagai suatu stimulus menganggap stres sebagai sejumlah karakteristik atau peristiwa yang mungkin menghasilkan konsekuensi yang tidak beraturan. Stres sebagai suatu respons merupakan konsekuensi dari interaksi antara suatu stimulus lingkungan dan respons individual. Hal ini berarti, stres merupakan interaksi unik antara kondisi stimulus dalam lingkungan dan cara individu untuk merespons dengan cara tertentu. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), stres adalah suatu respons yang adaptif, dihubungkan oleh karakteristik dan atau proses psikologis individu, yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan eksternal, situasi atau peristiwa yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik khusus pada seseorang. Menurut Mangkunegara (2008) stres kerja adalah perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang di alami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja tidak selalu mengarah kepada akibat yang negatif namun juga dapat menjadi kekuatan positif bagi individu. Stres bisa berakibat positif karena bisa menghasilkan stres produktif yang disebut dengan eustress dan stres yang berakibat negatif, karena dapat mengakibatkan disfungsi peran disebut juga distress. Eustress diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang lebih baik, karena dalam jumlah tertentu dapat mengarah pada lahirnya gagasan-gagasan yang inovatif. Sedangkan distress merupakan stres dalam jumlah besar dan akan menyebabkan disfungsi
peran. Dari definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu fenomena yang dialami oleh seseorang secara psikologis yang dapat berakibat positif bahkan negatif pada pekerjaannya. 2.1.5.3 Jenis – Jenis Stres Quick dan Quick (Veithzal Rivai, 2003) mengategorikan jenis stres menjadi dua yaitu: 1. Eustres yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (membangun). Hal ini tersebut termasuk kesejahteraan individu dan organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, flekisbilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi. 2. Distres, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian. 2.1.5.4 Gejala Stres di Tempat Kerja Gejala stres menurut (Veithzal Rivai, 2003) ada 7 yaitu: 1. Kepuasan kerja rendah 2. Kinerja yang menurun 3. Semangat dan energi menjadi hilang 4. Komunikasi tidak lancar 5. Pengambilan keputusan buruk 6. Kreativitas dan inovasi kurang 7. Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif 2.1.5.5 Faktor-Faktor Intrinsik dan Ekstrinsik Penyebab Stres Kerja Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres di pekerjaan berdasarkan penelitian Hurrell, dkk. 1988 (dalam Munandar, 2008) yaitu: 1. Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan Faktor intrinsik ini meliputi: a. Tuntutan fisik Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi fatal dan psikologis diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres (stressor), meliputi:
● Bising Bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran, juga dapat merupakan sumber stres yang menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis. ● Paparan (exposure) Paparan terhadap bising berkaitan dengan rasa lelah, sakit kepala, lekas tersinggung, dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. ●Getaran Getaran merupakan sumber stres yang kuat yang menyebabkan peningkatan taraf catecholamine dan perubahan dari berfungsinya seseorang secara psikologikal dan neurological. ●Hygiene Lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit stres. b. Tuntutan Tugas Penelitian menunjukkan bahwa kerja shift/kerja malam merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja yang berpengaruh secara emosional dan biologikal (Monk dan Tepas, 1985 dalam Munandar, 2008). Beban kerja yang berlebih dan beban kerja yang terlalu sedikit merupakan pembangkit stres, dimana beban kerja ‘kuantitatif’ timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada karyawan untuk diselesaikan pada waktu tertentu. Beban kerja berlebih/terlalu sedikit ‘kualitatif’, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan ketrampilan dan/atau potensi dari tenaga kerja. c. Peran Individu Dalam Organisasi Konflik peran (role conflict) timbul jika karyawan mengalami adanya pertentangan antara tugas-tugas yang harus dilakukan dan antara tanggungjawab yang dimiliki, tugas-tugas yang harus dilakukan menurut pandangan karyawan bukan merupakan bagian dari pekerjaannya, tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahan, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya, dan pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya. Stres timbul karena ketidakcakapannya untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dan berbagai harapan terhadap dirinya. Ambiguitas peran (role ambiguity) dirasakan jika seorang karyawan tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau
merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaan peran antara lain ketidakjelasan dari sasaran/tujuan kerja, kesamaran tentang tanggungjawab, ketidakjelasan tentang prosedur kerja, kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain, dan kurang adanya balikan atau ketidakpastian tentang unjuk kerja pekerjaan. d.Pengembangan Karir Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang. e. Hubungan dalam Pekerjaan Hubungan yang baik antaranggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi (Cooper,dalam Munandar, 2008). Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ambiguitas peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara para karyawan dan ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan sekerjanya (Kahn, dkk.,dalam Munandar, 2008). f. Struktur dan Iklim Organisasi Bagaimana para karyawan mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan, dan iklim organisasi adalah penting dalam memahami sumber-sumber stres potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam organisasi: kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan dengan struktur dan iklim organisasi.
Faktor stres yang ditemukenali
dalam kategori ini terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta dan pada support sosial. 2. Faktor Ekstrinsik dalam Pekerjaan Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja di dalam satu organisasi, dan dengan demikian memberikan tekanan pada individu.Isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan,
keyakinan-keyakinan
pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya mempunyai dampak yang negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi.
Namun demikian, perlu diketahui bahwa peristiwa kehidupan pribadi dapat meringankan akibat dari pembangkit stres organisasi. Menurut Munandar (2008), stres ditentukan pula oleh ciri-ciri individu, sejauh mana melihat situasinya sebagai penuh stres.
Reaksi-reaksi psikologis,
fisiologis dan/atau dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya, mencakup ciri-ciri kepribadian yang khusus dan polapola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman lalu, keadaan kehidupan, dan kecakapan (antara lain intelegensi, pendidikan, pelatihan, dan pembelajaran). Dengan kata lain faktor-faktor dalam individu berfungsi sebagai faktor pengubah antara rangsang dari lingkungan yang merupakan pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang menentukan bagaimana, dalam kenyataannya, individu bereaksi terhadap pembangkit stres potensial 2.1.5.6 Penyebab – penyebab Stres Kerja Penyebab stres kerja menurut John M. Ivancevich (2012): 1. Partisipasi Partisipasi mengacu pada sejauh bahwa pengetahuan seseorang, pendapat, dan ide-ide yang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan. Ini adalah bagian penting dari bekerja di organisasi bagi sebagian orang. Kelompok dan organisasi yang tidak mendorong atau memungkinkan anggota nya untuk berpartisipasi akan menjadi sumber frustrasi bagi mereka yang menghargai hal itu. 2. Hubungan intra dan antar kelompok Hubungan buruk di dalam dan di antara kelompok-kelompok dapat menjadi sumber stres. Hubungan yang buruk adalah termasuk kepercayaan yang rendah, kurangnya kohesi, daya dukung rendah, dan kurangnya minat dalam mendengarkan dan berurusan dengan masalah yang dihadapi kelompok atau anggota kelompok. Masalah hubungan dapat menyebabkan kemacetan komunikasi dan kepuasan kerja rendah, lebih lanjut meningkatkan kemungkinan stres. 3. Politik organisasi Tingkat perilaku politik dalam organisasi dapat menjadi sumber stres bagi banyak karyawan. Politik organisasi secara konsisten disebut sebagai stressor utama dalam organisasi. Aktivitas politik, dan perebutan kekuasaan dapat
menciptakan gesekan, meningkatkan persaingan disfungsional antara individu dan kelompok, dan stres meningkat. 4. Budaya organisasi Seperti individu, organisasi memiliki kepribadian yang berbeda. Kepribadian organisasi dibentuk terutama oleh top eksekutif. Sebuah tim eksekutif dan otokratis mampu menciptakan budaya yang penuh dengan ketakutan. Faktor yang mendukung terciptanya budaya organisasi adalah iklim organisasi, dimana iklim di dalam organisasi merupakan keadaan mengenai karakteristik yang terjadi di lingkungan kerja yang dianggap mempengaruhi perilaku orang orang yang berada dalam lingkungan organisasi tersebut. oleh karena itu, iklim organisasi dapat dikatakan sebagai lingkup organisasi. 5. Kurangnya umpan balik kinerja Kebanyakan orang ingin tahu bagaimana mereka melakukan dan bagaimana manajemen memandang pekerjaan mereka. Bagaimanapun, informasi evaluasi kinerja bermakna kurang, atau informasi yang disediakan dalam cara yang sangat otoriter atau kritis jika terlalu sering dilakukan. Umpan balik informasi dari atasan harus disediakan untuk meminimalkan stress dan harus berlangsung dalam suatu sistem komunikasi dua arah terbuka. 6. Kurangnya peluang pengembangan karir Pengembangan karir merupakan aspek-aspek lingkungan organisasi yang mempengaruhi seseorang kualitas kemajuan karirnya. Variabel Karir dapat menjadi stres ketika mereka menjadi sumber keprihatinan, kecemasan, atau frustrasi. Hal ini dapat terjadi jika seorang karyawan peduli tentang penurunan nilai, merasa bahwa pengembangan promosi tidak memadai, atau umumnya puas dengan kesesuaian antara aspirasi karir dan posisi saat ini. Perencanaan karir yang baik akan membuat seseorang akan lebih mudah untuk memperkirakan masa depan jabatan dia di suatu organisasi. 7. Perampingan Perampingan terutama terkait dengan pengurangan sumber daya manusia, PHK, pengurangan, pemindahan, atau pensiun dini. Perampingan merupakan stressor yang sangat potensial. Hal ini dapat memiliki efek negatif baik untuk individu dan organisasi. Peningkatan ini berasal baik dari karyawan yang telah diberhentikan juga dari mereka yang tetap. Itulah mungkin mengapa
banyak perusahaan seperti Novell dan Wachovia, telah membentuk program untuk membantu karyawan mengatasi stres reorganisasi dan PHK. 8. Stres diluar pekerjaan Stres diluar pekerjaan adalah yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar organisasi. Meskipun penekanan dalam bab ini adalah pada pekerjaan, stres diluar pekerjaan tidak boleh diabaikan. Membesarkan anak-anak, merawat orang tua, masalah finansial, menjadi sukarelawan di masyarakat, mengambil kursus perguruan tinggi, dan menyeimbangkan keluarga dan kehidupan kerja adalah situasi menegangkan bagi banyak orang. Gangguan – gangguan antara pekerjaan dengan keluarga sangat berpengaruh dalam munculnya stres. Stres di luar pekerjaan kemungkinan akan mempengaruhi kinerja seseorang dan perilaku kerja yang umum.
Efek stres sangat banyak dan bervariasi. Beberapa efek tentu saja berdampak positif, seperti dapat memotivasi diri dan menstimulasi untuk memenuhi tujuan individu dan organisasi. Tidak semua individu akan mengalami gejala yang sama. Penelitian menunjukkan, misalnya bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi hasil stres adalah jenis pekerjaan. 2.1.6 Turnover Intention Menurut (Mathis dan Jackson, 2006), mengatakan bahwa turnover adalah suatu proses dimana seorang karyawan meninggalkan suatu organisasi dan harus digantikan. Mobley (1986) mengemukakan beberapa hal yang perlu dipahami untuk menemukan definisi umum turnover, antara lain: a) Turnover berfokus pada penghentian atau pemisahan diri karyawan dari organisasi. b) Turnover berfokus pada karyawan, dalam arti mereka yang menerima upah dari organisasi suatu kondisi yang menunjukkan keanggotaan dari organisasi sebagai suatu kondisi yang menunjukkan keanggotaan karyawan dalam organisasi. c) Definisi umum turnover dapat dipakai untuk berbagai tipe organisasi dan pada berbagi macam tipe hubungan karyawan-organisasi
Sedangkan menurut (Robbins) dalam bukunya mengatakan bahwa turnover terjadi diakibatkan dari beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, status marital, tingkat pendidikan, dan lama kerja. Menurut (Harnoto,2003) berkata bahwa “turnover intention adalah kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan, banyak alasan yang menyebabkan timbulnya turnover intention ini dan di antaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik”. Pendapat tersebut juga relatif sama dengan pendapat yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa turnover intention pada dasarnya adalah keinginan untuk meninggalkan (keluar) dari perusahaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa turnover intention adalah keinginan untuk keluar dari organisasi. Jadi, dapat disimpulkan dari beberapa kutipan diatas bahwa turnover adalah kecenderungan seseorang untuk meninggalkan suatu organisasi atau pekerjaan yang saat ini mereka jalani. Dimensi penting dalam keputusan perputaran (turnover) karyawan
menurut
(Ployhart,2006) : 1) Ketertarikan terhadap pekerjaan saat ini (Attraction of the present job). Masalah kepuasan kerja menangkap sebagian besar penelitian tentang daya tarik dari pekerjaan ini. 2) Ketertarikan masa depan terhadap pekerjaan saat ini (Future attraction of the present job). Meskipun Baysinger dan Mobely memasukkan ini sebagai kategori terpisah, review dari literatur kepuasan kerja menunjukkan ini merupakan masalah mapan yang termasuk dalam pemikiran karyawan ketika mengevaluasi kepuasan kerja saat ini. Bahkan, salah satu langkah yang paling sering digunakan untuk mengukur kepuasan kerja (JDI) mencakup penilaian kesempatan
promosi.
Schneider,
Gunnarson,
dan
Wheeler
bahkan
berpendapat bahwa kesempatan adalah kepuasan besar, itu bukan apa yang anda miliki tetapi apa yang anda tahu bahwa anda memiliki kesempatan untuk memiliki yang mengarah pada kepuasan. 3) Alternatif eskternal yang dirasakan (Perceived external alternatives). Di pasar tenaga kerja yang ketat, dimana pekerjaan langka, perputaran lebih rendah daripada ketika ekonomi sedang booming. Pada tingkat individu, ini artinya bahwa karyawan lebih percaya ada alternatif yang lebih menarik
daripada pekerjaan yang sekarang, sehingga semakin besar kemungkinan mereka untuk meninggalkan organisasi. 4) Investasi ekonomi dan psikologis (Economic and psychological investments). Investasi moneter meliputi isu-isu seperti program pensiun. Karyawan yang diberi adalah mereka yang telah tinggal cukup lama dengan perusahaan. Kebanyakan perusahaan mengharuskan karyawan bekerja beberapa periode waktu sebelum mereka berhenti, dari 6 bulan sampai 10 tahun. Contoh benefit termasuk rencana bonus, kebijakan asuransi, kepemilikan saham, dsb. Ketika karyawan memilih untuk tetap dengan perusahaan karena manfaat moneter, imbalan ini disebut “golden handcuffs”. Di sisi psikologis, investasi dapat mengambil bentuk komitmen terhadap organisasi. Misalnya, seseorang yang telah sejak awal dengan organisasi akan berkomitmen terhadap organisasi. Meninggalkan organisasi akan menyakitkan secara emosional bahkan ketika itu terlihat seperti hal yang rasional untuk dilakukan. 5) Faktor bukan pekerjaan (Non job factors). Kategori ini mencakup isu-isu seperti tanggung jawab keluarga dan kesesuaian pekerjaan dan tanggung jawab bukan pekerjaan yang dirasakan. 2.1.6.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover cukup kompleks dan saling berkaitan satu sama lain. Diantara faktor – faktor tersebut yang akan dibahas antara lain sebagai berikut (Novliadi, 2007): 1)
Usia Tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada karyawan berusia muda disebabkan karena mereka memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan atau organisasi kerja serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar melalui cara coba-coba tersebut. Hal ini juga didukung oleh Cheng dan Chan (2008), bahwa turnover intention lebih kuat pada karyawan dengan masa kerja yang lebih pendek dan lebih kuat pada karyawan yang lebih muda daripada karyawan yang lebih tua.
2)
Lama Kerja Semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan turnover-nya. Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat.
Interaksi dengan usia dan kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaankeadaan yang memungkinkan turnover tersebut. 3)
Tingkat pendidikan dan intellegensi Menurut Handoyo, dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat intellegensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah merasa gelisah akan tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidak aman. Sebaliknya mereka yang mempunyai tingkat intellegensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang monoton. Mereka akan lebih berani keluar dan mencari pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat pendidikannya terbatas, karena kemampuan intellegensinya yang terbatas pula.
4)
Keterikatan terhadap perusahaan Pekerja yang mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambaran diri positif. Akibatnya secara langsung adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan.
Sedangkan menurut Yatna Nayaputera (2011) mengatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya turnover saling berkait satu sama lain dan cukup kompleks. Diantara faktor-faktor tersebut adalah : 1) Usia 2) Lama kerja 3) Tingkat pendidikan dan intellegensi 4) Keikatan terhadap perusahaan 5) Kepuasan kerja 6) Budaya perusahaan 2.1.6.2 Jenis – Jenis Turnover Turnover atau tingkat keluar masuk karyawan merupakan proses di mana karyawan meninggalkan organisasi dan harus digantikan. Banyak organisasi menemukan bahwa turnover merupakan masalah yang merugikan. Jenis turnover menurut Mathis dan Jackson (2006): 1) Turnover secara tidak sukarela dan Turnover secara sukarela
a)
Turnover secara tidak sukarela Pemecatan karena kinerja yang buruk dan pelanggaran peraturan kerja. Turnover secara tidak sukarela dipicu oleh kebijakan organisasional, peraturan kerja, dan standar kinerja yang tidak dipenuhi oleh karyawan.
b)
Turnover secara sukarela Karyawan meninggalkan perusahaan karena keinginannya sendiri. Turnover secara sukarela dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk peluang karier, gaji, pengawasan, geografi dan alasan pribadi/keluarga.
2) Turnover fungsional dan Turnover disfungsional a)
Turnover fungsional Karyawan yang memiliki kinerja lebih rendah, individu yang kurang dapat diandalkan, atau mereka yang mengganggu rekan kerja dapat meninggalkan organisasi dikarenakan persyaratan yang tidak memenuhi standar kualitas perusahaan.
b)
Turnover disfungsional Karyawan penting dan memiliki kinerja tinggi meninggalkan organisasi pada saat yang genting.
3) Turnover yang tidak dapat dikendalikan dan Turnover yang dapat dikendalikan a)
Turnover yang tidak dapat dikendalikan Muncul karena alasan di luar pengaruh pemberi kerja. Banyak alasan karyawan yang berhenti tidak dapat dikendalikan oleh organisasi, contohnya sebagai berikut: •
Karyawan pindah dari daerah geografis
•
Karyawan memutuskan untuk tinggal didaerah karena alsaan keluarga
b)
•
Suami atau istri dipindahkan
•
Karyawan adalah mahasiswa yang baru lulus dari perguruan tinggi
Turnover yang dapat dikendalikan Muncul karena faktor yang dapat dipengaruhi oleh pemberi kerja. Dalam turnover yang dapat dikendalikan, organisasi lebih mampu
memelihara karyawan apabila mereka menangani persoalan karyawan yang dapat menimbulkan turnover. 2.1.6.3 Manfaat Turnover Menurut (William and Hazer (1986) dalam Yatna Nayaputera (2011)) turnover telah lama menjadi area penelitian penting dari beberapa disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, ekonomi dan perilaku organisasi. Biasanya turnover dipandang sebagai suatu masalah dalam organisasi, namun pandangan ini tidak selamanya berlaku. Psikologi industri dan organisasi membagi dua jenis turnover yaitu functional turnover dan dysfunctional turnover. Dimana fungsional turnover dapat menguntungkan perusahaan-perusahaan dan dapat pula merugikan perusahaan. Dalam fungsional turnover, organisasi mempunyai kesempatan untuk mengganti performa jelek yang ditinggalkan dengan performa yang baik. Dysfunctional turnover berharga bagi organisasi karena ditinggalkannya performa yang baik. Menurut Yoder dan Staudohar (1986), “Bagaimanapun, disisi lain turnover juga dapat memberikan manfaat. Dengan adanya turnover, maka terbukalah kesempatan dalam membawa orang baru dalam segala kemampuan dan ide-ide baru dalam suatu organisasi. Keuntungan financial juga dapat diperoleh dari turnover tersebut. Misalnya dalam beberapa jenis pekerjaan, produktivitas yang dihasilkan tidak sesuai dengan tingkat kemampuan karyawan. Bila karyawan tersebut keluar, dapat digantikan dengan karyawan baru dengan gaji yang lebih rendah dan sesuai dengan produktivitas yang dihasilkan. Turnover juga dapat mengurangi biaya pendanaan pensiun dalam suatu organisasi atau perusahaan.”
2.1.6.4 Kerugian Turnover Menurut Winterton (2004), kerugian yang ditimbulkan akibat turnover adalah: 1. Menghabiskan biaya yang cukup banyak untuk proses pergantian karyawan. 2. Perusahaan
mempertahankan
pengetahuan
dan
keahlian
bagi
karyawan yang meninggalkan perusahaan. 3. Perusahaan perlu mengeluarkan biaya untuk pendidikan dan pengembangan.
2.1.7 Penelitian Terdahulu Kajian terhadap hasil penelitian terdahulu yang relevan dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang posisi dan kelayakan penelitian tentang pengaruh kepuasan kerja dan komitmen organisasi terhadap stres kerja yang berdampak pada turnover intention.
2.1 Tabel Penelitian Terdahulu
No 1.
Judul
Pengarang
Tujuan
Examining the
Ilhami
Relationship
Yucel
a) Kepuasan
among Job
(2012)
kerja
Satisfaction,
Untuk menguji :
b) Komitmen
Organizational
Organisasi
Comitment, and
c) Intensitas
Turnover Intention
Turnover
Hasil a) Mengindikasikan bahwa kepuasan kerja adalah penyebab paling kuat dari komitmen organisasi dan
: An Empirical
intensitas
Study
turnover b) Semakin tinggi tingkat kepuasan kerja maka semakin tinggi tingkat komitmen berorganisasi
2.
The Relationship
Nasrin
Tujuan dari
Hasil penelitian
of Job Stress with
Arshadi,
penelitian ini
menunjukkan
Turnover Intention
Hojat
adalah untuk
bahwa terdapat
and Job
Damiri
mengetahui
hubungan yang
Performance:
(2013)
bahagaimana
negatif antara
Moderating Role
hubungan stres
stres kerja dan
of OBSE
kerja dengan
kinerja,
turnover intention
sedangkan
dan kinerja
terdapat hubungan yang
positif antara stres kerja dan turnover intention 3.
4.
Relationship
Muhammad
Tujuan dari
Hasil penelitian
Between Job
Imran
penelitian ini
menunjukan
Stress, Workload,
Qureshi,
adalah untuk
bahwa keinginan
Environment and
Mehwish
mengetahui
karyawan untuk
Employees
Iftikhar,
hubungan antara
berpindah
Turnover
Syed Gohar
stres kerja, beban
berhubungan
Intentions: What
Abbas,
kerja, lingkungan
positif dengan
We Know, What
Umar
tempat kerja, dan
stres kerja dan
Should We Know
Hassan,
keinginan
beban kerja.
Khalid
karyawan untuk
Sementara
Khan and
berpindah
berhubungan
Khalid
negatif dengan
Zaman
lingkungan
(2013)
tempat kerja.
The Relationship
Ahmad
Tujuan dari
Hasil analisa statistik
Between Job
Faisal
penelitian ini
diperoleh dalam
Satisfaction and
Mahdi,
adalah untuk
penelitian ini
Turnover Intention
Mohamad
mengetahui
menunjukkan bahwa
Zaid Mohd
pengaruh
kedua bentuk kepuasan
Zin,
Kepuasan
kerja (intrinsik dan
Mohd
pekerjaan
ekstrinsik
Roslan
terhadap turnover
kepuasan) memiliki
Mohd Nor,
intentions antara
hubungan terbalik
Ahamad
karyawan di XYZ
terhadap turnover
Asmadi
Sdn. Bhd,
intentions karyawan.
Sakat and
Malaysia.
Walaupun Kepuasan
Abang
Kerja instrinsic memiliki
Sulaiman
pengaruh kuat pada
Abang
Turnover Intention.
Naim, 2012
adanya
Kepuasan Kerja Extrinstic juga harus dipertimbangkan dalam mengukur tujuannya. 5.
An Empirical
Sinem
Tujuan dari
Komitmen Organisasi
Study of the
AYDOGD
penelitian ini
dan Kepuasan Kerja
Relationship
U, Baris
adalah untuk
merupakan aspek penting
Among Job
ASIKGIL,
mendapatkan
dari efektivitas
Satisfaction,
2011
pemahaman yang
organisasi, produktivitas
Organizational
lebih baik tentang
dan kinerja kerja dan
Commitment and
hubungan antara
dapat berdampak pada
Turnover Intention
pekerjaan
intensi turnover dan
kepuasan,
absensi.
komitmen organisasi dan intensi turnover.
2.2 Kerangka Pemikiran Kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : Pekerjaan itu sendiri (Work it self), Gaji saat ini (Present pay), Kesempatan Promosi (Promotion opportunities), Pimpinan (Supervision), Rekan Kerja (Co-workers). Sedangkan Komitmen Organisasi dipengaruhi oleh faktor seperti : Komitmen Afektif (Affective comitment), Komitmen
Berkelanjutan
(Continuence
commitment), Komitmen
Normatif (Normative commiment). Lalu Stres Kerja dipengaruhi oleh faktor seperti : Faktor Intrinsik dan Faktor Ekstrinsik. Dan Turnover Intention dipengaruhi oleh : Usia, Lama Kerja, Tingkat Pendidikan dan Intellegensi, Keterikatan terhadap Organisasi. Berdasarkan teori yang telah dikemukakan dalam topik sebelumnya maka dapat disusun kerangka pemikiran yang terdapat pada gambar 2.2 berikut ini.
Kepuasan Kerja Karyawan (X1) Stres Kerja
Turnover Intention
(Y) (Z) Komitmen Organisasional (X2)
2.2 Gambar Kerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis Berdasarkan permasalahan yang ada pada bab 1 dan kerangka pemikiran tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : •
Hipotesis 1 H0 =
Tidak ada pengaruh antara kepuasan kerja karyawan (X1) terhadap stres kerja (Y)
Ha = Ada pengaruh antara kepuasan kerja karyawan (X1) terhadap stres kerja (Y) •
Hipotesis 2 H0 =
Tidak ada pengaruh antara komitmen organisasional (X2) terhadap stres kerja (Y)
Ha = Ada pengaruh antara komitmen organisasional (X2) terhadap stres kerja (Y) •
Hipotesis 3 H0 =
Tidak ada pengaruh antara kepuasan kerja karyawan (X1) dan komitmen organisasional (X2) terhadap stres kerja (Y)
Ha = Ada pengaruh antara kepuasan kerja karyawan (X1) dan komitmen organisasional (X2) terhadap stres kerja (Y)
•
Hipotesis 4 H0 =
Tidak ada pengaruh antara kepuasan kerja karyawan (X1) terhadap turnover intention (Z)
Ha = Ada pengaruh antara kepuasan kerja karyawan (X1) terhadap turnover intention (Z) •
Hipotesis 5 H0 =
Tidak ada pengaruh antara komitmen organisasional (X2) terhadap turnover intention (Z)
Ha =
Ada pengaruh antara komitmen organisasional (X2) terhadap turnover intention (Z)
•
Hipotesis 6 H0 =
Tidak ada pengaruh antara stres kerja (Y) terhadap turnover intention (Z)
Ha = Ada pengaruh antara stres kerja (Y) terhadap turnover intention (Z) •
Hipotesis 7 H0 =
Tidak ada pengaruh antara kepuasan kerja karyawan (X1) dan komitmen organisasional (X2), terhadap turnover intention (Z) melalui stres kerja (Y)
Ha = Ada pengaruh antara kepuasan kerja karyawan (X1) dan komitmen organisasional (X2), terhadap turnover intention (Z) melalui stres kerja (Y)