FAKTOR- FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BAYI UMUR 6-12 BULAN DI PUSKESMAS AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG
ARTIKEL
Oleh : CANDRA TARISKA FAJAR ROMLANI NIM. 030214a005
PROGRAM STUDI D-IV KEBIDANAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO UNGARAN 2015
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
1
FAKTOR- FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BAYI UMUR 6-12 BULAN DI PUSKESMAS AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG Candra Tariska Fajar Romlani*), Anggun Trisnasari**), Dwi Novitasari ***) *) Mahasiswa Program Studi D-IV Kebidanan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran **) Staf Pengajar Program Studi D-III Kebidanan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran ***) Staf Pengajar Program Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran
______________________________________________________________________________E mail: UP2M@AKBIDNgudiWaluyo ABSTRAK
Penyakit ISPA masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan kematian pada bayi dan balita. Faktor yang berhubungan dengan terjadinya ISPA pada bayi yaitu faktor lingkungan seperti pencemaran udara di dalam rumah karena asap, status gizi serta peran keluarga dalam pencegahan ISPA. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang. Penelitian ini menggunakan metode analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah semua bayi umur 6-12 bulan yang berkunjung ke Puskesmas Ambarawa berjumlah 75 bayi dari rata-rata kunjungan per bulan pada 3 bulan terakhir yaitu dari bulan Mei-Juli 2015. Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling sebanyak 30 responden dan analisis data menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat dengan uji Chi Square dan uji Fisher Exact. Ada hubungan kebiasaan merokok didalam rumah dengan kejadian ISPA pada bayi umur 6-12 bulan dengan p-value 0,045 < 0,05. Ada hubungan peran keluarga dalam pencegahan ISPA dengan kejadian ISPA pada bayi umur 6-12 bulan dengan p-value 0,009 < 0,05 dan tidak ada hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada bayi umur 6-12 bulan dengan p-value 0,694 > 0,005. Petugas kesehatan hendaknya lebih meningkatkan kegiatan KIE mengenai penyakit ISPA sebagai upaya meningkatkan pengetahuan dan perilaku pencegahan ISPA kepada masyarakat. Kata kunci : Kebiasaan Merokok, Status Gizi, Peran Pencegahan, ISPA, Bayi Kepustakaan : 33 pustaka (2002-2014)
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
1
ABSTRACT The Factors Associated With The Incidence Of Acute Respiratory Infections (ISPA) In Infants Aged 6-12 Months Old in Ambarawa Public Health Center Semarang Regency Acute Respiratory disease is still a major cause of morbidity and mortality in infants and toddlers. The factors related to the occurence of respiratory infection in infants is environmental factors such as indoor air pollution due to smoke, nutritional status and role of the family in the prevention of ISPA. The purpose of this study was to determine the factors related to the incidence of acute respiratory infection in infants aged 6-12 months old in Ambarawa public health center, Semarang Regency. This study used analytic correlation method with cross sectional approach. This study population was all babies aged 6-12 months old who visited Ambarawa public health center as many as 75 infants of the average visits every month in the last 3 months from May to July 2015. The sampling technique used accidental sampling to 30 respondents and data analysis used the analysis using Chi Square test and Fisher Exact test. There was a relationship between smoking habit inside the house with ISPA in infants aged 612 months old with p-value 0,045 < 0,05. There was a relationship between the role of the family in the prevention of ISPA with ISPA in infants aged 6-12 months old with p-value 0,009 < 0,05. And there was no association between ISPA and nutritional status in infants aged 6-12 months old with p-value 0,694 > 0,05. Health workers should further enhance Communication Information Education (KIE) activities regarding respiratory disease as an effort to improve knowledge and prevention behavior of ISPA to the community. Keywords
: smoking habits, nutritional status, the role of prevention, the Incidence Of Acute Respiratory Infections, Baby Bibliographies : 33 (2002-2014) PENDAHULUAN Latar Belakang Bayi dan balita merupakan kelompok usia yang kekebalan tubuh masih belum sempurna, sehingga masih rentan terhadap berbagai bentuk infeksi (Suhandayani, 2010). Kejadian infeksi paling sering terjadi pada balita umur 6-12 bulan hal ini menunjukkan semakin muda usia anak semakin sering dan rentan mendapat serangan infeksi seperti ISPA (Prabu, 2010). Banyak hal yang dapat kita jadikan sebuah indikator untuk menilai tingkat kesehatan maupun kesejahteraan bayi dan balita, antara lain adalah Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA). Menurut data tahun 2008 di Indonesia, Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia adalah sebesar 34 kematian per 1000 kelahiran hidup, ada sekitar 157.000 kematian anak setiap tahunnya. Sedangkan Angka Kematian Balita (AKABA) di
Indonesia sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, atau ada lebih dari 200.000 balita Indonesia yang meninggal setiap tahunnya. Hal ini masih jauh dari target MDG’S pada tahun 2015 yang menetapkan AKB harus turun menjadi 23/1000 kelahiran hidup dan AKABA harus turun menjadi 32/1000 kelairan hidup (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM, 2013). AKB dan AKABA di Kabupaten Semarang lebih tinggi jika dibandingkan dengan di Kota Semarang. Hal ini bisa dilihat dari posisi Kabupaten Semarang yang menempati posisi tertinggi ke 5. AKB di Kabupaten Semarang sendiri pada tahun 2013 ini mencapai 11,95/ 1000 kelahiran hidup mengalami penurunan dari tahun 2012 yaitu 13,20/ 1000 kelahiran hidup. Begitu pula dengan AKABA pada tahun 2013 sebesar 13,44/ 1000 kelahiran hidup juga mengalami penurunan dari tahun 2012 yaitu 14,47/ 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Kabupaten Semarang, 2013).
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
2
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain : faktor lingkungan (pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah, kepadatan hunian rumah), faktor individu anak (umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A, status imunisasi), dan faktor perilaku keluarga. Apabila faktor resiko terjadinya ISPA tidak segera ditangani maka dapat menyebabkan perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah berat (Maryunani, 2010). Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 bahan kimia yang 200 diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya dapat menyebabkan kanker bagi tubuh (Mukono, 2012). Polusi udara oleh Carbondioxide (CO2) terjadi selama merokok. Asap rokok mengandung CO2 yang tinggi, didalam asap rokok yang terisap mengakibatkan kadar Carboxyhemoglobin (COHb) didalam darah meningkat. Selain berbahaya terhadap orang yang merokok, adanya asap rokok yang mengandung CO2 juga berbahaya bagi orang yang berada disekitarnya karena asapnya dapat terisap. Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan. Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA pada anak (Dinkes, 2012). Penyakit ISPA dan kekurangan gizi sering terjadi secara bersamaan dan saling mempengaruhi. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih sering terserang ISPA dibandingkan dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang berkurang. Penyakit ISPA akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi, pada keadaan gizi yang kurang balita lebih sering terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Maryunani, 2010). Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Peran aktif keluarga/ masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA
merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda dan keluhan dini dari penyakit ISPA dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem pelayanan kesehatan agar penyakit balitanya tidak menjadi lebih berat. Peran keluarga dalam praktik penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab apabila praktik penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/ buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah berat (Maryunani, 2010). Kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Kabupaten Semarang sendiri pada tahun 2012 yang ada yaitu 184.536 jiwa, jika dibandingkan dengan tahun 2013 terjadi penurunan yaitu sebesar 145.229 jiwa. Berdasarkan 26 puskesmas yang ada di Kabupaten Semarang, penyakit ISPA ini menempati posisi 10 besar penyakit hampir di seluruh Puskesmas yang ada. Puskesmas yang tertinggi penderita ISPAnya adalah Puskesmas Ambarawa sebesar 20.356 jiwa. Walaupun mengalami penurunan dari tahun 2012 yaitu sebesar 22.701 jiwa, namun Puskesmas Ambarawa tetap menduduki posisi pertama (Profil Kesehatan Kabupaten Semarang, 2013). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 15 April 2015 diperoleh hasil ada 6 bayi umur 6-12 bulan (60%) yang terkena penyakit ISPA. Hasil wawancara dengan 6 ibu yang membawa bayi yang terkena ISPA diperoleh hasil ada 4 anggota keluarga (66,67%) yang memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah dan 2 anggota keluarga (33,33%) yang tidak memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah. Jika dilihat dari status gizi ada 3 bayi (50%) yang gizinya baik, 2 bayi (33,33%) gizinya kurang, dan 1 bayi (16,67%) gizinya lebih. Segi peran keluarga dalam pencegahan ISPA diperoleh 4 orang tua bayi (66,67%) mengatakan belum mengetahui pencegahan penyakit ISPA, mereka mengatakan bahwa batuk pilek yang diderita bayinya hanya penyakit biasa yang disebabkan karena pergantian musim dan akan sembuh dengan sendirinya, sehingga mereka hanya memberikan perawatan seadannya tanpa membawa bayi ke pusat pelayanan kesehatan,
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
3
sedangkan 2 orang tua bayi (33,33%) mengatakan sudah mengetahui pencegahan penyakit ISPA dan selalu membawa balitanya kepusat pelayanan kesehatan ketika balitanya sakit. Sedangkan hasil wawancara dari 4 ibu yang membawa bayi umur 6-12 bulan (40%) yang tidak terkena ISPA diperoleh hasil ada 3 anggota keluarga (75%) yang tidak memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah, dan 1 anggota keluarga (25%) yang memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah. Jika dilihat dari status gizi yang terkena ISPA ada 2 bayi (50%) yang gizinya baik, 1 bayi (25%) gizinya kurang, 1 bayi (25%) gizinya lebih. Segi peran keluarga dalam pencegahan ISPA diperoleh 3 orang tua bayi (75%) mengatakan belum mengetahui pencegahan penyakit ISPA, mereka mengatakan bahwa batuk pilek yang diderita bayinya hanya penyakit biasa yang disebabkan karena pergantian musim dan akan sembuh dengan sendirinya, sehingga mereka hanya memberikan perawatan seadannya tanpa membawa bayi ke pusat pelayanan kesehatan, sedangkan 1 orang tua bayi (25%) mengatakan sudah mengetahui pencegahan penyakit ISPA dan selalu membawa balitanya kepusat pelayanan kesehatan ketika balitanya sakit. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor- faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Bayi Umur 6-12 Bulan di Puskesmas Ambarawa.” Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang 2. Tujuan Khusus a. Menggambarkan kebiasaan merokok di dalam rumah pada anggota keluarga bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang b. Menggambarkan status gizi pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang c. Menggambarkan peran keluarga dalam pencegahan ISPA pada bayi
d.
e.
f.
g.
umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang Menggambarkan penyakit ISPA pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang Mengetahui hubungan kebiasaan merokok di dalam rumah dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang Mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Mengetahui hubungan peran keluarga dalam pencegahan ISPA dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
Manfaat Penelitian 1. Bagi Institusi Pendidikan Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi lebih lanjut di bidang kesehatan terutama Ilmu Kesehatan Anak dan sebagai bahan referensi serta menambah koleksi pustaka. 2. Bagi Pelayanan Kesehatan (Bidan) Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam melakukan upaya-upaya yang lebih Promotif, Preventif, Kuratif, dan Rehabilitatif terhadap kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) selanjutnya. 3. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat digunakan sebagai pengalaman dan sebagai referensi dan data empiris untuk penelitian selanjutnya. 4. Bagi Ibu Bayi Umur 6-12 Bulan Memberikan pengetahuan bagi ibu yang mempunyai bayi, faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) sebagai upaya pencegahan sekaligus upaya penanganan sedini mungkin.
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
4
METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi umur 6-12 bulan dan berkunjung ke Puskesmas Ambarawa, berjumlah 75 bayi dari rata-rata kunjungan per bulan pada 3 bulan terakhir yaitu dari bulan Mei-Juli 2015. Sampel dalam penelitian ini adalah semua bayi umur 6-12 bulan yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Ambarawa dan berkunjung ke Puskesmas Ambarawa. Besarnya sampel sebanyak 30 bayi. Sedangkan respondennya adalah ibu/anggota keluarga yang membawa bayinya umur 6-12 bulan yang berkunjung di Puskesmas Ambarawa. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah accidental sampling. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kebiasaan merokok dalam rumah, status gizi, dan peran keluarga dalam pencegahan ISPA. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA. Uji validitas ini dilakukan tanggal 1 sampai 4 Juli pada bayi umur 6-12 bulan yang karakteristiknya hampir sama dengan responden yang dilakukan diluar tempat penelitian dengan menggunakan 20 responden, uji validitas dilaksanakan di Puskesmas Bawen Kabupaten Semarang. Hasil perhitungan tiap-tiap item akan dibandingkan dengan tabel nilai product moment instrumen dikatakan valid apabila nilai r hitung > r tabel. R tabel untuk jumlah sampel n = 20 dan tingkat signifikansi 5% adalah 0,444. Jadi item dikatakan valid jika r hitung > 0,444. Hasil uji validitas kuesioner tentang peran keluarga dalam pencegahan ISPA yang terdiri dari 11 item pertanyaan didapatkan hasil bahwa seluruh pertanyaan valid karena nilai r hitung > 0,444. Uji reliabilitas di lakukan pada tanggal 1 sampai 4 Juli di Puskesmas Bawen, Kabupaten Semarang. Menguji reliabilitas ada beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya ISPA pada bayi, yang meliputi variabel peran keluarga dalam pencegahan ISPA dilakukan dengan menggunakan rumus Alfa Cronbach karena dalam analisis data hasil pengujian instrument merupakan skala beringkat. Item pertanyaan yang dinyatakan valid diatas
kemudian dilakukan uji reliabilitas, dari uji reliabilitas menggunakan rumus Alfa Cronbach didapatkan hasil reliabilitas untuk variabel peran keluarga dalam pencegahan ISPA sebesar 0,866. Nilai tersebut jauh diatas nilai uji Alfa Cronbach yaitu 0,60, sehingga kuesioner tersebut reliabel dan dapat digunakan untuk pengambilan data. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Univariat Tabel 1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Gizi Bayi Umur 6-12 Bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang, 2015 Status Gizi Balita Kurang Baik Jumlah
Frekuensi 10 20 30
Persentase (%) 33,3 66,7 100,0
Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa dari 30 responden bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang sebagian besar memiliki status gizi baik, yaitu sejumlah 20 bayi (66,7%). 1. Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga di dalam Rumah Tabel 2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga di dalam Rumah pada Bayi Umur 6-12 Bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang, 2015 Kebiasaan Merokok Merokok Tidak Merokok Jumlah
Frekuensi 20 10 30
Persentase (%) 66,7 33,3 100,0
Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa dari 30 responden bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang, sebagian besar bayi memiliki anggota keluarga yang memiliki kebiasaan merokok, sejumlah 20 bayi (66,7%). Tabel 3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Keluarga dalam Pencegahan ISPA pada Bayi Umur 6-12 Bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang, 2015
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
5
Peran Keluarga dalam Pencegahan ISPA Tidak Aktif Aktif Jumlah
Frekuensi
Persentase (%)
23 7 30
76,7 23,3 100,0
Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa sebagian besar keluarga bayi umur 612 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang memiliki peran yang tidak aktif dalam pencegahan ISPA, yaitu sejumlah 23 bayi (76,7%). Tabel 4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kejadian ISPA pada Bayi Umur 6-12 Bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang, 2015 Kejadian ISPA ISPA Tidak ISPA Jumlah
Frekuensi 18 12 30
Persentase (%) 60,0 40,0 100,0
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa sebagian besar bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang Analisis Bivariat Tabel 5 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Bayi Umur 6-12 Bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang, 2015 Status Gizi Kurang Baik Jumlah
Kejadian ISPA ISPA Tidak ISPA F % f % 7 70,0 3 30,0 11 55,0 9 45,0 18 60,0 12 40,0
Total f 10 20 30
% 100 100 100
Pvalue 0,694
Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui bahwa bayi dengan status gizi kurang sebagian besar mengalami kejadian ISPA sejumlah 7 bayi (70,0%). Sedangkan bayi dengan status gizi baik sebagian besar juga mengalami kejadian ISPA sejumlah 11 bayi (55,0%). Tabel 6 Hubungan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Bayi Umur 6-12 Bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang, 2015 Kejadian ISPA Tidak ISPA ISPA F % f % Merokok 15 75,0 5 25,0 Tidak Merokok 3 30,0 7 70,0 Jumlah 18 60,0 12 40,0 Kebiasaan Merokok
Total F 20 10 30
Pvalue
% 100 0,045 100 100
OR 7,00
Berdasarkan tabel 6, dapat diketahui bahwa bayi yang anggota keluarganya memiliki kebiasaan merokok sebagian besar mengalami kejadian ISPA sejumlah 15 bayi (75,0%). Sedangkan bayi yang anggota keluarganya tidak memiliki kebiasaan merokok sebagian besar tidak mengalami kejadian ISPA sejumlah 7 bayi (70,0%). Tabel 7 Hubungan Peran Keluarga dalam Pencegahan ISPA dengan Kejadian ISPA pada Bayi Umur 6-12 Bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang, 2015 Peran Keluarga Tidak Aktif Aktif Jumlah
Kejadian ISPA Tidak ISPA ISPA F % F % 17 73,9 6 26,1 1 14,3 6 85,7 18 60,0 12 40,0
Total F 23 7 30
Pvalue
% 100 0,009 100 100
OR 17,00
Berdasarkan tabel 7, dapat diketahui bahwa bayi dengan keluarga yang berperan tidak aktif dalam pencegahan ISPA sebagian besar mengalami kejadian ISPA sejumlah 17 bayi (73,9%). Sedangkan bayi dengan keluarga yang berperan aktif dalam pencegahan ISPA sebagian besar tidak mengalami kejadian ISPA sejumlah 6 bayi (85,7%). Pembahasan Analisis Univariat 1. Gambaran Status Gizi pada bayi umur 612 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel 1 menunjukkan bahwa dari 30 responden bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang sebagian besar memiliki status gizi baik, yaitu sejumlah 20 bayi (66,7%). Hal ini karena pada umumnya orangtua telah memperhatikan bayinya agar dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan memberi nutrisi yang cukup pada bayi sehingga bayi memiliki berat badan yang optimal. Kondisi ini juga didukung dimana banyak dari ibu yang tidak bisa membiarkan bayi kelaparan terutama saat bayi menangis, dan kebanyakan orangtua akan selalu memberikan makanan di saat bayi lapar
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
6
dan menangis. Jadi, dengan nutrisi yang cukup bayi dapat memiliki berat badan yang optimal dan memiliki status gizi yang baik. 2. Gambaran Kebiasaan Merokok di dalam Rumah pada Anggota Keluarga Bayi Umur 6-12 Bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel 2 menunjukkan bahwa dari 30 responden bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang, sebagian besar bayi memiliki anggota keluarga yang memiliki kebiasaan merokok, sejumlah 20 bayi (66,7%). Hal ini disebabkan kebiasaan merokok di dalam rumah memang sudah menjadi kebiasaan di desa-desa di Indonesia khususnya di Jawa Tengah, yang mana banyak dari anggota keluarga terutama kaum pria yang merokok di dalam rumah tanpa menghiraukan ada anak bayi di dalam rumah. Kebiasaan merokok di dalam rumah tersebut juga didukung karena kepercayaan mereka bahwa merokok tidak akan merusak kesehatan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain disekitarnya. Banyak dari masyarakat terutama kaum pria yang beranggapan bahwa “meskipun saya merokok, saya tetap sehat dan tidak batuk-batuk”. Hal inilah yang menyebabkan bahwa sebagian besar anggota keluarga di masyarakat terutama kaum pria memiliki kebiasaan merokok baik itu di luar rumah maupun di dalam rumah. Berdasarkan dari 20 responden yang rumahnya terpapar asap rokok atau ada anggota keluarga dalam rumah tangga memiliki kebiasaan merokok, rata-rata jumlah rokok yang dihisap setiap hari satu bungkus atau 12 batang per orang. Jika per hari terdapat 2 atau lebih anggota keluarga yang merokok berarti di dalam rumah bisa terpapar asap rokok sedikitnya sekitar 24 batang per hari. 3. Gambaran Peran Keluarga dalam pencegahan ISPA pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang memiliki peran yang tidak aktif dalam pencegahan ISPA, yaitu sejumlah 23 bayi (76,7%). Hal ini juga disimpulkan bahwa sebagian besar keluarga memiliki peran yang kurang dalam pencegahan ISPA. Kurangnya peran keluarga dalam pencegahan ISPA disebabkan banyak dari anggota keluarga yang masih belum mendapat informasi dan belum mengerti tentang apa saja yang perlu dihindari dan dilakukan untuk mencegah terjadinya ISPA pada bayi. Ketidaktahuan ini tentu menimbulkan banyak keluarga yang memiliki kebiasaan buruk dalam memperhatikan bayinya terhadap pencegahan ISPA. Kebiasaan buruk tersebut seperti kurang memperhatikan kebersihan tubuh dan lingkungan sekitar, kebiasaan membawa bayi ke dapur atau menempatkan bayi dekat dengan dapur ketika anggota keluarga sedang memasak dan tidak ada jendela untuk pergantian asap hasil memasak, sedangkan pada kenyataannya banyak keluarga yang masih belum tahu bahwa hal ini akan menyebabkan bayi terkena ISPA. Kurangnya peran keluarga ini bisa dilihat dari hasil isian kuesioner dari responden, dimana banyak pernyataan atau perilaku peran keluarga dalam pencegahan ISPA yang tidak dilakukan oleh responden, terutama pada item nomor 3 pernyataan tentang anggota keluarga mencuci tangan setelah batuk, dimana 24 responden (80,0%) tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa banyak responden atau anggota keluarga yang tidak mencuci tangan setelah batuk. Kemudian pada item nomor 8 pernyataan tentang ibu memberikan ASI eksklusif sejak dini kepada bayi, dimana 24 responden (80,0%) tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa banyak keluarga yang tidak memberikan ASI eksklusif pada bayi sejak dini. Selain itu, pada item 23 pernyataan tentang anggota keluarga menggunakan masker ketika menderita
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
7
infeksi saluran pernafasan dimana sejumlah 22 responden (76,7%) tidak melakukannya. Selain itu kurang aktifnya peran keluarga dalam pencegahan ISPA juga bisa disebabkan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat setempat, seperti saat pilek atau batuk tidak memakai masker ketika dekat dengan bayi atau juga saat bersin juga tidak memakai tisu. Hal ini tentu membuat bayi di dalam rumah terpapar oleh virus-virus yang dikeluarkan oleh anggota keluarga yang sakit. Perilaku seperti ini memang umum terjadi di desadesa di sekitar Puskesmas Ambarawa. 4. Gambaran Kejadian ISPA pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang mengalami kejadian ISPA, yaitu sejumlah 18 bayi (60,0%). Analisis Bivariat 1. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Bayi Umur 6-12 Bulan di Puskesmas Ambarawa Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel 5 menunjukkan bahwa bayi dengan status gizi kurang sebagian besar mengalami kejadian ISPA sejumlah 7 bayi (70,0%). Hal ini karena status gizi yang kurang merupakan hal yang memudahkan proses terganggunya sistem hormonal dan pertahanan tubuh pada balita, sehingga status gizi kurang pada bayi memudahkan terjangkitnya ISPA. Namun, ada juga responden yang berstatus gizi kurang tetapi tidak terkena ISPA sejumlah 3 bayi (30,0%). Hal tersebut bisa terjadi kemungkinan karena faktor lingkungan tempat tinggalnya yang tidak ada yang menderita ISPA meskipun status gizinya kurang, atau bisa dikarenakan mereka sudah mendapatkan imunisasi yang lengkap sehingga mereka mempunyai kekebalan tubuh terhadap serangan infeksi sehingga tidak mudah terkena ISPA.
Berdasarkan hasil penelitian juga ditemukan status gizi kurang sejumlah 10 bayi yang terdiri dari 5 bayi perempuan dan 5 bayi laki-laki. Ini menunjukkan bahwa kejadian gizi kurang memiliki jumlah sama, baik pada bayi laki-laki ataupun perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Widarini (2010), bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian ISPA karena laki-laki dan perempuan mempunyai resiko yang sama untuk mengalami kejadian ISPA. Memang ada sedikit perbedaan anatomi saluran nafas antara anak laki-laki dan perempuan, namun hal ini tidak mempengaruhi kejadian ISPA. Selain itu dari hasil penelitian juga diperoleh bayi yang memiliki status gizi baik tetapi mengalami kejadian ISPA sejumlah 11 bayi (55,0%). Hal ini sesuai dengan teori Machmud (2006), bahwa status gizi bisa terjadi disebabkan oleh faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA pada balita seperti pemberian ASI yang tidak tepat, polusi udara, sosial ekonomi, dan BBLR. Teori lain menurut Soetjiningsih (2012), mengatakan bahwa gizi memegang peranan penting dalam kepekaan terhadap penyakit. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar bayi umur 6-12 bulan memiliki status gizi baik yaitu seimbang antara umur dengan berat badan bayi saat penelitian. Walaupun tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara status gizi bayi umur 6-12 bulan dengan kejadian ISPA di Puskesmas Ambarawa tetapi tidak menutup kemungkinan status gizi bayi akan berubah, karena status gizi bayi juga bisa dipengaruhi oleh pola asuh, tingkat sosial ekonomi masyarakat, pendidikan, dan pengetahuan ibu. Hal ini untuk mengatasi atau mencegah terjadinya masalah tersebut, maka pendidikan dan pengetahuan ibu perlu ditingkatkan dengan cara memberikan informasi melalui penyuluhan kepada masyarakat khususnya ibu-ibu, karena ibu memegang peranan penting dalam menyediakan makanan untuk keluarga.
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
8
Berdasarkan uji Fisher Exact diperoleh p-value 0,694. Oleh karena pvalue = 0,694 > α (0,05), disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang. Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada bayi ini disebabkan status gizi bukanlah satusatunya faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA. 2. Hubungan Kebiasaan Merokok di Dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel 6 menunjukkan bahwa bayi yang anggota keluarganya memiliki kebiasaan merokok sebagian besar mengalami kejadian ISPA sejumlah 15 bayi (75,0%). Berdasarkan uji Fisher Exact diperoleh p-value 0,045. Oleh karena pvalue = 0,045 < α (0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang, 2015. Berdasarkan hasil uji juga diperoleh Odds Rasio sebesar 7,00, ini menunjukkan bahwa bayi yang memiliki anggota keluarga yang merokok berisiko 7 kali lebih besar mengalami kejadian ISPA dibandingkan bayi yang tidak memiliki anggota keluarga yang merokok. 3. Hubungan Peran Keluarga dalam Pencegahan ISPA dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Bayi Umur 6-12 Bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel 7 menunjukkan bahwa bayi dengan keluarga yang berperan tidak aktif dalam pencegahan ISPA sebagian besar mengalami kejadian ISPA sejumlah 17 bayi (73,9%). Ini karena keluarga yang tidak memiliki perilaku baik dalam memperhatikan kesehatan keluarga tentu
akan meningkatkan risiko terjadinya suatu penyakit bagi para anggota keluarga khususnya ISPA pada bayi. Berdasarkan dari hasil penelitian bayi dengan keluarga yang tidak aktif dalam pencegahan ISPA sebagian tidak mengalami ISPA sejumlah 6 bayi (26,7%) hal ini karena dilihat dari kekebalan atau imunitas bayi yang kebal membuat bayi tidak mudah terkena ISPA. Kebanyakan keluarga bayi tidak mengetahui manfaat dari imunisasi atau kekebalan dalam tubuh bayi ketika pemberian imunisasi dari tenaga kesehatan yang ada. Sedangkan bayi dengan keluarga yang berperan aktif dalam pencegahan ISPA sebagian besar tidak mengalami kejadian ISPA sejumlah 6 bayi (85,7%). Keluarga yang berperan aktif dalam pencegahan ISPA akan selalu menjaga kebersihan dan kesehatan setiap anggota keluarga, serta menjauhkan balita dari berbagai macam polusi terutama polusi udara, sehingga kesehatan setiap anggota keluarga dapat terjaga dan bebas dari berbagai penyakit khususnya ISPA. Berdasarkan uji Fisher Exact diperoleh p-value 0,009. Oleh karena pvalue = 0,009 < α (0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara peran keluarga dalam pencegahan ISPA dengan kejadian ISPA pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang. Berdasarkan hasil uji juga diperoleh Odds Rasio sebesar 17,00, ini menunjukkan bahwa bayi dari keluarga yang tidak aktif dalam pencegahan ISPA berisiko 17 kali lebih besar mengalami kejadian ISPA dibandingkan bayi dari keluarga yang aktif dalam pencegahan ISPA. Hubungan peran keluarga dalam pencegahan ISPA dengan kejadian ISPA pada bayi umur 6-12 bulan dikarenakan bayi umur 6-12 bulan memang sangat bergantung pada peran keluarga khususnya ibu yang merawat bayi. Oleh karena itu jika keluarga berperilaku buruk dalam hal menjaga kesehatan maka berakibat bayi dapat mudah terserang penyakit. Oleh karena itu, peran aktif keluarga terutama ibu dalam pencegahan
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
9
ISPA akan sangat penting bagi bayi agar terhindar dari ISPA. Hasil penelitian di atas sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulastra (2013), yang menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara peran orangtua dalam pencegahan ISPA dengan frekuensi kekambuhan ISPA pada balita dengan p-value 0,017 < 0,05. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang dapat diambil simpulan sebagai berikut : 1. Kebiasaan merokok didalam rumah yang dilakukan oleh anggota keluarga sebagian besar merokok yaitu sebanyak 20 orang (66,7%). 2. Sebagian besar bayi umur 6-12 bulan masuk dalam kategori status gizi baik yaitu sebanyak 20 bayi (66,7%). 3. Sebagian besar keluarga memiliki peran yang tidak aktif dalam pencegahan ISPA yaitu sebanyak 23 keluarga (76,7%). 4. Sebagian besar kejadian ISPA pada bayi umur 6-12 bulan yang mengalami ISPA yaitu sebanyak 18 bayi (60%). 5. Ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada bayi umur 612 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang dengan p-value 0,045 < α (0,05). 6. Tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang dengan pvalue 0,694 > α (0,05). 7. Ada hubungan yang signifikan antara peran keluarga dalam pencegahan ISPA dengan kejadian ISPA pada bayi umur 612 bulan di Puskesmas Ambarawa Kab. Semarang dengan p-value 0,009 < α (0,05).
Saran 1. Bagi Institusi Pendidikan Bagi institusi pendidikan diharapkan dapat memberikan berbagai macam penyuluhan tentang ISPA dan pencegahannya dalam rangka memberikan pengertian pada masyarakat agar masyarakat dapat berperilaku baik dan sehat dan aktif dalam pencegahan ISPA. 2. Bagi Pelayanan Kesehatan (Bidan) Bagi bidan diharapkan dapat secara aktif dalam memberikan bimbingan dan motivasi pada ibu tentang perilaku pencegahan ISPA yang perlu dilakukan dan dihindari supaya bayinya tidak terkena ISPA. 3. Bagi Peneliti Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan mengambil faktor lebih lama ketika melakukan observasi sehingga respondennya menjadi lebih banyak. 4. Bagi Ibu Bayi Umur 6-12 Bulan Bagi ibu bayi diharapkan dapat menerapkan perilaku hidup yang sehat di dalam rumah agar bayi dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan tidak terkena ISPA. DAFTAR PUSTAKA Adningsih. 2003. Tidak Merokok Adalah Investasi. Interaksi Media Promosi Kesehatan Indonesia No XIV : Jakarta Almatsier, Sunita.2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta Apriyoni, A. 2012. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Frekuensi Terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Puskesmas Ungaran Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. STIKES Ngudi Waluyo Ariko. 2012. Mengenal Jenis Penyakit ISPA, Flu, dan Pilek Pada Bayi dan Anak-Anak (Pencegahan, Gejala, Pemeriksaan dan Diagnosa) Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta : Jakarta
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
10
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM. 2013. Fakta Tentang Kesehatan Anak Indonesia.Yogyakarta Bataviase. 2010. Promosi Kesehatan Penanggulangan Masalah Rokok. Interaksi Media Promosi Kesehatan No XIV : Jakarta Brata, W. 2008. Rumah sejuk dengan ventilasi proporsional. Jakarta : Gramedia Pustaka Dachroni.2002. Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Interaksi Media Promosi Kesehatan No XIV : Jakarta Depkes RI. 2012. Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA. Jakara : EGC Dinkes. 2013. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang Tahun 2013. Semarang Fardiaz, S. 2002. Polusi air dan udara. Yogyakarta : Penerbit Kanisius Frinck, Heinz. 2010. Ilmu Konstruksi Bangunan 6. Yogyakarta.: Penerbit Kanisus . 2007. Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2007. Jawa Tengah . 2008. Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2008. Jawa Tengah Maryunani, A. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kesehatan. Jakarta : Trans Info Media Moerdjoko. 2004. Kaitan sistem sanitasi bangunan dengan keberadaan mikroorganisme udara. Staf pengajar Fakultas Tehnik Sipil dan Perencanaan jurusan Arsitektur Universitas Trisakti. Mukono. 2003. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Pernapasan. Jakarta : Airlangga University Press Nani, H. 2015. Berisiko ISPA. Diambil pada tanggal 11 Agustus 2015, dari http://www.sumbernutrisi.com Nindya, T.S., & Lilis,S.2010. Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernapsan Akut (ISPA) pada Anak dan Balita. Surabaya : FKM Airlangga Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol 6 no 3 Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1077/MENKES/PER/V/2011. Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1077/MENKES/PER/V/2011. Persyaratan Kesehatan Perumahan Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak Linda. 2013. Hubungan Perilaku Orang Tua Merokok Terhadap Kejadian ISPA pada Balita di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur. STIKES Ngudi Waluyo Prabu, P. 2010. Faktor Resiko ISPA. Yogyakarta : Pustaka Media Safitri, AD. 2007. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Pustaka Media Saifuddin, AB. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta. YBPSP SDKI. 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta Soetjiningsih. 2010. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC Sumiyani, S. 2014. Faktor-faktor Lingkungan Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi Usia 0-12 Bulan di Desa Sruwen Kabupaten Semarang. STIKES Ngudi Waluyo Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi umur 6-12 bulan di Puskesmas Ambarawa Kabupaten Semarang
11