ISSN 1978-0346
Volume 4, Nomor 1, Januari 2012
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo - Ungaran
JGK
Vol. 4
No. 1
Halaman 1 - 53
Ungaran Januari 2012
ISSN 1978-0346
ISSN : 1978-0346 Penanggung jawab
:
Pimpinan Umum Wakil Pimpinan Umum
: :
Asaat Pitoyo. S.Kp.,M.Kes. (Ketua STIKES Ngudi Waluyo) Drs. Sugeng Maryanto, M.Kes. Puji Pranowowati, S.KM, M.Kes.
REDAKSI Editor Pelaksana Ketua : Wakil Ketua :
Yuliaji Siswanto, S.KM, M.Kes.(Epid). Rosalina, S.Kp., M.Kes.
Anggota
:
Auly Tarmaly, SKM, M.Kes. Drs. Jatmiko Susilo, Apt, M.Kes. Puji Purwaningsih, S.Kep. Ns Heni Hirawati Pranoto, S.SiT Galeh Septiar Pontang, S.Gz.
:
Prof. dr. Siti Fatimah Muis,M.Sc.,Sp.GM dr. Ari Udiyono, M.Kes Ir. Suyatno, M.Kes dr. Kusmiyati D.K , M.Kes.
: :
Sukarno, S.Kep., Ns. Heni Purwaningsih, S.Kep., Ns.
Editor Ahli
SEKRETARIAT BENDAHARA
JGK diterbitkan 2 kali dalam satu tahun. Harga langganan : Rp. 25.000,Alamat Redaksi : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Jl. Gedongsongo-Mijen, Ungaran Tlp: 024-6925408, Fax: 024-6925408 E-mail : www.nwu.ac.id
ii
ISSN 1978-0346 Vol. 4, No. 1, Januari 2012
Daftar Isi Dewi Puspita Sri Kadarsih Soejono Totok Utoro
Ekspresi Siklooksigenase-2 (COX-2) di Sel Granulaso Folikel Ovarium Akibat Pemberian Kurkumin Dengan Dan Tanpa Penambahan Teofilin Setelah Stimulasi LH (Kajian in vivo untuk menentukan letak kerja kurkumin pada Rattus norvegicus strain sprague dawley dalam jalur transduksi sinyal ekspresi COX-2 pada jalur cAMP)
1–6
Abdul Wakhid
Studi Fenomenologi Pengalaman Ketidakberdayaan Lansia Dengan Hipertensi di Kota Bogor
7 – 13
Eni Fitriyani Puji Pranowowati Sri Wahyuni
Hubungan Antara Praktik Ibu Dalam Mencegah Karies Gigi Dengan Kejadian Karies Gigi Pada Anak di R.A Istiqomah Ungaran
14 – 19
Ari Widyaningsih Yuliaji Siswanto Umi Aniroh
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Usia Menopause pada Wanita Usia 55 tahun ke atas di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang
20 – 28
Rosalina Suwanti
Pengaruh Pemberian Etanol Per-Oral Terhadap Fungsi Sel Acini Pancreas Pada Tikus Putih Strain Wistar
29 – 31
Zumrotul Choiriyah Umi Aniroh Yuniar Restu
Studi Fenomenologis Tentang Perilaku Ibu Dalam Memberikan Asupan Makanan Pada Balita Gizi Kurang di Desa Panggang Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara
32 – 36
Agung Wahyudi Yuliaji Siswanto Auly Tarmali
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Pengobatan MDT Pada Penderita Kusta Di RSK Donorojo Kabupaten Jepara
37 – 47
Endang Susilowati
Dampak Kekerasan Domestik Pada Anak Ditinjau Dari Psikologi Perkembangan
48 – 53
iii
Ekspresi Siklooksigenase-2 (COX-2) di Sel Granulaso Folikel Ovarium Akibat Pemberian Kurkumin Dengan Dan Tanpa Penambahan Teofilin Setelah Stimulasi LH (Kajian in vivo untuk menentukan letak kerja kurkumin pada Rattus norvegicus strain sprague dawley dalam jalur transduksi sinyal ekspresi COX-2 pada jalur cAMP) Dewi Puspita*), Sri Kadarsih Soejono**), Totok Utoro***) *)
Staf pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Bagian Ilmu Faal FK Universitas Gadjah Mada ***) Bagian Patologi Anatomi FK Universitas Gadjah Mada **)
ABSTRACT Background : The pre-ovulatory surge of gonadotropins triggers a marked and obligatory increase in follicular prostaglandin syntesis prior to ovulation, and the cyclooxygenase-2 (COX-2) enzyme is an important key enzyme in biosynthesis of prostaglandin. LH direct activates the cyclic adenosine monophosphat dependent protein kinase (PKA) pathway, which equally able to up regulate COX-2 expression in pre-ovulatory granulosa cells. Curcumin reported to be a potent inhibitor of COX-2. The objective is to asses the inhibition of curcumin on COX-2 expression in granulosa cells of the ovarian follicle and to know the action site of curcumin on signal transduction in cAMP pathway. Methods :. The subject of this study were 27 female rattus norvegicus strain sprague dawley. At the age of 28 the subject were induced by 5 IU PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin). Rats were stimulated by 5 IU LH (Luteinizing Hormone), then administered by teophylline 25 mg/kgBW orally and curcumin 100mg/kgBW orally at 24 hours after PMSG administration. Aquades administered as a control group. Rats were sacrified at 30 days of age. Evaluation of COX-2 expression and immunohistology samples of granulosa cells of ovary used immunohistochemistry technique with prime Antibody of Rabbit Monoclonal (RB-9072-P) to determine the antigen location. Results : COX-2 expression in curcumin group significantly decrease than in control group and COX-2 expression in LH+theophylline+curcumin groups significantly decrease than in LH+theophylline groups. Conclusion : Curcumin inhibited COX-2 in granulosa cells ovary follicle and the action site of curcumin inhibition in upstream of cAMP in protein kinase (PKA) pathway. Keywords : COX-2, Curcumin, Protein Kinase A (PKA) pathway.
ABSTRAK Latar Belakang : Proses ovulasi melibatkan urutan yang komplek dari kejadian biologis yang akhirnya menyebabkan ruptur folikel pre ovulasi. Pengikatan LH pada reseptornya di ovarium mengaktivasi cAMP secara langsung melalui jalur Protein Kinase A (PKA) dapat meng-upregulasi ekspresi COX-2 pada sel granulosa pre ovulasi. Kurkumin dilaporkan sebagai inhibitor COX-2 yang menghambat biosintesis prostaglandin. Tujuan penelitian ini untuk menilai penghambatan kurkumin melalui ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus dan menentukan letak kerja kurkumin berada di sebelum cAMP dalam jalur transduksi sinyal ekspresi COX-2 pada jalur cAMP di sel granulosa folikel ovarium tikus. Metode : Jenis penelitian ini adalah experimental post test control group design. Sampel dalam penelitian ini adalah 27 ekor tikus strain sprague dawley umur 28 hari diinduksi dengan PMSG dengan dosis 5 IU untuk menyeragamkan fase estrus. Perlakuan diberikan pada umur 29 hari dengan memberikan LH 5 IU, Teofilin 25 mg/kgBB dan Kurkumin 100 mg/kgBB sesuai dengan kelompoknya. Hewan coba dikorbankan pada umur 30 hari dan dibuat preparat untuk dilihat ekspresi COX-2 pada sel granulosa folikel ovarium dengan metode immunohistokimia.
1
Hasil : Ekspresi COX-2 kelompok Kurkumin lebih rendah dan berbeda secara bermakna dibanding kelompok Kontrol. Ekspresi COX-2 kelompok LH+Teofilin+Kurkumin lebih rendah dan berbeda secara bermakna dibanding kelompok LH+Teofilin. Kesimpulan : Kurkumin menghambat ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus dan letak kerja penghambatannya berada di sebelum cAMP dalam jalur transduksi sinyal ekspresi COX-2 pada jalur cAMP. Kata kunci : COX-2, Kurkumin, jalur Protein Kinase A (PKA).
PENDAHULUAN
Proses ovulasi melibatkan suatu urutan yang komplek dari kejadian biologis yang pada akhirnya menyebabkan ruptur folikel pre ovulasi. Di ovarium, LH berperan dalam ovulasi dengan menyebabkan ruptur folikel preovulatori. Secara biokimia LH juga berperan dalam steroidogenesis yang dimediasi lewat cAMP dan protein kinase.1 Pengikatan LH pada reseptornya di ovarium mengaktivasi Adenilate Cyclase (AC) di membran sel yang mengakibatkan peningkatan cAMP intraseluler yang berfungsi sebagai second messenger untuk LH pada stimulasi steroidogenesis.1,2 Aktivasi cAMP secara langsung melalui jalur Protein Kinase A (PKA) dapat meng-upregulasi ekspresi COX-2 pada sel granulosa pre ovulasi.3,4,5 Kajian pada sistem reproduksi menunjukkan peranan prostaglandin sangat penting sejak peristiwa ovulasi hingga luteolisis. Hambatan pada mekanisme kerja prostaglandin dapat menyebabkan ovulasi tidak terjadi.6 Siklooksigenase bertanggungjawab terhadap perubahan asam arakhidonat menjadi bentuk enderoperoksidase yang merupakan prekursor utama dari berbagai bentuk prostaglandin termasuk PGF2α dan PGF2α.7 Sirois et al. (2004) mengemukakan bahwa COX-2 dapat menjadi petanda molekuler di sel granulosa pada siklus ovulasi mamalia.8 Observasi terhadap kegagalan ovulasi dan fertilisasi pada tikus, diduga berasal dari kekurangan enzim COX-2 yang berasal dari prostaglandin ovarium.9 Kurkumin dan PGV-0 dilaporkan sebagai inhibitor COX-2 yang menghambat biosintesis prostaglandin.10,11,12 Secara mekanis, ovulasi terdiri dari pembesaran folikel secara cepat diikuti dengan keluarnya folikel dari permukaan ke kortek, ruptur ini mengakibatkan ekstrusi oosit-kumulus komplek, pada manusia dimulai 5-6 hari sebelum onset LH surge preovulatori. Lonjakkan LH preovulasi menyebabkan ruptur
folikel pada 36 jam kemudian. Sel Granulosa berasal dari permukaan ovarium epitel mesotelium. Tidak mempunyai sistem perdarahan langsung namun berhubungan dengan oosit. Aktivitas steroidogenik preovulasi sel granulosa ditandai dengan memproduksi hormon steroid, estradiol. Sintesisnya membutuhkan kolaborasi sel teka sebagai prekursor reaksi aromatisasi. Proses ini dikendalikan oleh LH (di teka) dan FSH ( kompartemen granulosa).13 Pengaruh LH pada ruptur folikel dimediasi oleh leukosit yang mensekresi enzim proteolitik, radikal oksigen dan prostaglandin. LH surge memicu aktivitas berbagai macam jalur sinyal intraselular di sel granulosa dan mencapai puncaknya dalam merubah komplek transkripsi yang dimediasi gen2 ovulatorium. LH_R yang berikatan dengan protein G mengaktifkan AC menyebabkan peningkatan kadar cAMP intraseluler yang akan mengaktivasi PKA.14,15 LH surge memediasi induksi enzim yang juga terlibat pada jalur signaling termasuk kalsium dependen PKC dan jalur tirosin kinase.4,16 LH surge lebih dulu merangsang jalur sinyal, sejak pemberian LH meningkatkan produksi IP3 pada sel granulosa tikus.17 seperti peningkatan pada aktifitas fosfolipase C dan kalsium intraselular pada sel non ovarium. Prostaglandin memediasi pengaruh stimulasi LH pada “enzim ovulasi” seperti protease dan kolagenase. Pada saat ovulasi, COX-2 diperlukan untuk proses ruptur folikel, kemungkinan sebagai perantara langsung enzim-enzim proteolitik yang diperlukan untuk terjadinya ovulasi. Kurkumin dikenal sebagai bahan alami yang memiliki aktifitas biologis yang terdapat pada rimpang kunyit (Curcuma longa) dan temulawak (Curcuma xanthoriza Robx). Kurkumin mempunyai banyak aktifitas biologis dan digunakan sebagai obat tradisional (jamu) yang bermanfaat dalam mengatur siklus menstruasi dan menjarangkan kehamilan, khususnya pada masyarakat madura.18,19
2
Teofilin bekerja sebagai obat bronkhodilator dengan merelaksasi otot polos bronkhus, merupakan golongan metil xantin. Teofilin mempunyai struktur kimia 1,3dimetilxantin.20 Mekanisme kerja teofilin dengan menghambat phospodiesterase untuk meningkatkan level cAMP intraselular.21 Pemberian teofilin menyebabkan rusaknya cyclic nucleotides dalam sel sehingga meningkatkan konsentrasi cyclic 3'5'-adenosine monophosphate (cyclic AMP) dan cyclic 3',5'guanosine monophosphate (cyclic GMP).22 Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah kurkumin menghambat ekspresi COX-2 pada sel granulosa folikel ovarium tikus? (a) Apakah ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus pada kelompok yang diberi kurkumin lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi akuades? (b) Apakah ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus pada kelompok yang diberi LH+kurkumin lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi LH ? (c) Apakah ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus pada kelompok yang diberi kurkumin lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi LH+kurkumin ? 2. Apakah letak kerja kurkumin berada di sebelum cAMP dalam jalur transduksi sinyal ekspresi COX-2 melalui jalur cAMP pada sel granulosa folikel ovarium tikus? (a) Apakah ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus yang diberi teofilin+kurkumin lebih rendah dibanding yang diberi teofilin? (b) Apakah ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus yang diberi LH+teofilin+kurkumin lebih rendah dibanding yang diberi LH+teofilin? Tujuan utama dalam penelitian ini adalah menilai penghambatan kurkumin pada ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus dan menentukan letak kerja kurkumin berada di sebelum cAMP pada jalur transduksi sinyal ekspresi COX-2 pada jalur cAMP di sel granulosa folikel ovarium tikus. Tujuan pendukung untuk mencapai tujuan utama tersebut di atas adalah (1) Menghitung ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus pada kelompok yang diberi kurkumin dibandingkan dengan yang diberi akuades (2) Menghitung ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus pada kelompok yang
diberi LH+kurkumin dibandingkan dengan yang diberi LH (3) Menghitung ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus pada kelompok yang diberi kurkumin dibandingkan dengan yang diberi LH+kurkumin (4) Menghitung ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus pada kelompok yang diberi Teofilin+kurkumin dibandingkan dengan yang diberi teofilin (5) Menghitung ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium tikus pada kelompok yang diberi LH+teofilin+kurkumin dibandingkan dengan yang diberi LH+teofilin.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah ekperimental post test control group design dengan variabel terikat : ekspresi COX-2 dan variabel bebas : LH, teofilin dan kurkumin. Penelitian ini dilakukan secara in vivo menggunakan Rattus norvegicus strain sprague dawley umur 28 hari sejumlah 27 ekor yang dibagi menjadi 9 kelompok perlakuan. Tikus diinduksi dengan PMSG 5 IU untuk menyeragamkan fase estrus. Pada umur 29 hari tikus diberikan perlakuan sesuai dengan kelompoknya. 1. Kelompok 1 : Akuades 2. Kelompok 2 : LH 5 IU 3. Kelompok 3 : CMC 1 ml 4. Kelompok 4 : Kurkumin 100 mg/kgBB dan CMC 1 ml 5. Kelompok 5 : LH 5 IU dan kurkumin 100 mg/kgBB 6. Kelompok 6 : Teofilin 25 mg/kgBB 7. Kelompok 7 : LH 5 IU dan teofilin 25 mg/kgBB 8. Kelompok 8 : Teofilin 25 mg/kgBB+kurkumin 100 mg/kgBB. 9. Kelompok 9 : LH 5 IU+teofilin 25 mg/kgBB+kurkumin 100 mg/kgBB. Pada umur 30 hari tikus dikorbankan dan dilakukan ovarektomi untuk dibuat preparat mikroskopis dan dihitung ekspresi COX-2 menggunakan teknik immunohistokimia. Ekspresi COX-2 dihitung dengan menghitung jumlah sel granulosa yang mengekspresikan warna coklat dibagi dengan jumlah sel granulosa seluruhnya dikalikan 100 persen. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji beda non parametrik Kruskal Wallis dan Mann Whitney-U. Uji Kruskal Wallis dimaksudkan untuk mengetahui adanya perbedaan karena perlakuan yang berbeda-beda antar 9 kelompok. Sedangkan uji Mann Whitney-U dimaksudkan untuk mengetahui adanya perbedaan antara 2
3
kelompok perlakuan. Perbedaan dinyatakan signifikan apabila nilai p < 0,05.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengamatan terhadap preparat ovarium diketahui bahwa COX-2
diekspresikan pada sel-sel granulosa. Sel-sel yang mengekspresikan COX-2 berwarna coklat karena adanya reaksi antara kromogen DAB (Diaminobenzidine) dengan antibodi label (antibodi sekunder). Ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium terdapat pada gambar 1.
Gambar 1. Histogram ekspresi COX-2 di sel granulosa folikel ovarium
Gambar di atas menunjukkan ekspresi COX-2 paling banyak pada kelompok teofilin + kurkumin sebesar 86,09% diikuti dengan LH sebesar 78,9%, kelompok Kontrol (Akuades) sebesar 71,47%, kelompok LH+teofilin sebesar 70,31%, kelompok teofilin sebesar 59,01%, kelompok LH+kurkumin sebesar 56,8%, kelompok kurkumin sebesar 55,04%, kelompok CMC sebesar 51,58% dan paling rendah pada kelompok LH+teofilin+kurkumin 38,03%. Dari hasil analisa statistik menggunakan Kruskal Wallis Test didapatkan adanya perbedaan bermakna antar kelompok perlakuan dengan signifikansi P<0,05. Uji statistik berikutnya dilakukan untuk mengetahui perbedaan antar 2 kelompok menggunakan Mann-Whitney U. Perbedaan bermakna ditemukan pada kelompok kontrol dengan kelompok Kurkumin, dan pada kelompok LH+teofilin dengan kelompok LH+teofilin+kurkumin (p<0,05). Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi COX-2 dan untuk menentukan letak kerja kurkumin dalam jalur transduksi sinyal ekspresi COX-2 melalui jalur cAMP pada sel
granulosa folikel ovarium Rattus norvegicus strain sprague dawley. Pada saat ovulasi, COX2 diperlukan untuk proses ruptur folikel, kemungkinan sebagai perantara langsung enzim-enzim proteolitik yang diperlukan untuk terjadinya ovulasi. Siklooksigenase bertanggungjawab terhadap perubahan asam arakhidonat menjadi bentuk enderoperoksidase yang merupakan prekursor utama dari berbagai bentuk prostaglandin termasuk PGE2 dan PGF2α.7 (Algire et al., 1992). Menurut Sirois (2004), peningkatan ekspresi COX-2 pada level prostaglandin intraovarium terjadi 24-36 jam setelah pemberian hCG yang mempunyai struktur dimer αβ yang khas dan paling menyerupai LH.8 Menurut Sirois et al. (2004) COX-2 dapat menjadi petanda molekuler di sel granulosa pada siklus ovulasi mamalia.8 Untuk menguji hipotesis ini folikel distimulasi dengan FSH eksogen, ovulasi diinduksi dengan hCG dan ekspresi COX-2 diperiksa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ekspresi COX-2 24 jam setelah pemberian hCG terdeteksi di 76% folikel dengan diameter > 8mm.
4
Gambar 2. Immunohistokimia ekspresi COX-2 pada kelompok teofilin+kurkumin
Gambar 3. Immunohistokimia ekspresi COX-2 pada kelompok LH+teofilin+kurkumin Perbandingan ekspresi COX-2 pada kelompok kurkumin lebih rendah dan berbeda secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol. kurkumin dan PGV-0 dilaporkan sebagai inhibitor COX-2 yang menghambat biosintesis prostaglandin.10,11,12 Pada penelitian ini kurkumin menghambat ekspresi COX-2 sehingga dibandingkan kelompok kontrol, ekspresi COX-2 pada kelompok kurkumin lebih rendah dan berbeda secara bermakna. Pada kelompok LH+teofilin+kurkumin terlihat ekspresi COX-2 di sel granulosa lebih rendah dan berbeda secara bermakna dibandingkan pada kelompok LH+teofilin. Tujuan pemberian teofilin adalah untuk mengakumulasikan cAMP, tetapi meski sudah diberikan teofilin, tetapi juga diberikan kurkumin, menyebabkan penurunan ekspresi COX-2. Penelitian yang mendukung hal ini bahwa kurkumin mengurangi kadar cAMP secara bermakna (p<0,05) pada korpus luteum yang distimulasi LH dengan atau tanpa penambahan teofilin.23 Hal ini menunjukkan adanya penghambatan pada jalur sebelum cAMP sehingga menghambat sinyal transduksi dari cAMP untuk mengaktifkan PKA yang mengakibatkan COX-2 yang diekspresikan juga
terhambat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Purwaningsih (2009) bahwa kurkumin menghambat sinyal transduksi steroidogenesis kultur sel luteal (umur 4 hari) dengan sasaran aksi di up stream cAMP.23
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah kurkumin menghambat ekspresi COX-2 pada sel granulosa folikel ovarium tikus dan letak kerja kurkumin berada di sebelum cAMP dalam jalur transduksi sinyal ekspresi COX-2 melalui jalur cAMP pada sel granulosa folikel ovarium tikus. Saran yang bisa diberikan penulis demi kemajuan ilmu pengetahuan dan pemanfaatan tesis ini adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme kerja kurkumin terhadap hambatan kerja LH dengan melihat pengaruhnya pada reseptor LH, protein G, kadar cAMP dan jalur transduksi sinyal yang lain.
5
DAFTAR PUSTAKA 1. Brannstrom,M., Koos, R.D., Le Maire, W.J. and Janson, P.O., Cyclic adenosine 3’5’ monophosphate induced ovulation in the perfused rat ovary and its mediation by prostaglandin. Biology of Reprod. 1987; 37 : 1047-1053. 2. Clark, M.R., Triebwasser, W. F. Marsh, J.M., Lemaire, W.J. Prostaglandin in ovulation. Ann. Biol.anim. Bioch. Bioph., 1978.;18 (2B), 427-34. 3. Wong, W.Y., DeWitt, D.L.,Smith, W.L.and Richards, J.S. Rapid induction of prostaglandin enderoperoxide synthase in rat periovulatory follicles by luitenizing hormone and camp is blocked by inhibition of transcription and translation. Mol. Endocrinol. 1989; 3: 1714-1723. 4. Wong, W.Y. and Richards, J.S. Induction of prostaglandin H synthase in rat periovulatory follicles by gonadotropin releasing hormone. Endocrinol. 1992; 130 : 3512-3521. 5. Liu J, Carriere P.D., Dore M., and Sirois J. Prostaglandin G/H synthase-2 is expressed in bovine preovulatory follicles after the endogenous surge of luteinizing hormone. Biol. Reprod. 1997; 7 : 1524-1531. 6. Hadi, R.S. Mekanisme kurkumin dan pentagamavunon (PGV-0) terhadap steroidogenesis dan apoptosis pada kultur sel luteal. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2009. 7. Algire, J.E., Srikandakumar, A., Guilbault, L.A., and Downey, B.R. Preovulatory changes in follicullar prostaglandin their role in ovulation in cattle. Can J Vet Res. 56 : 6769. 8. Sirois, J., Sayasith, K., Brown, K.A., Stock, A.E., Bouchard, N. And Dore, M. 2004. Cyclooxygenase-2 and its role in ovulation : a 2004 account. Hum Reprod Update. 1992; 10 : 373-85. 9. Matsumoto, H., Ma, W., Smalley, W., Trzaskos, J., Breyer, R.M. And Dey, S.K. Diversification of cyclooxygenase-2 derived prostaglandin in ovulation and implantation. Biol of Reprod. 2001; 64 : 1557-1565. 10. Huang, H.C., Jan T.R. and Yeh, S.H. 1992. Inhibitory effect of curcumin, an anti inflamatory agent, on vascular smooth muscle cell proliferation. Eur J. Pharmacol. 221 : 381-384. 11. Zhang F., Abtorki, N.K. Mestre, J.R., Subbaramiah, K. Dan Dannenberg, H.J., Curcumin inhibitor cox-2 transcription in bile acid & phorbol ester treared human
gastrointestinal epithelial cell. Carcinogenesis. 1999; 20 : 445-451. 12. Sardjiman, Synthesis of some new series of curcumin analogues. Antioxydative, antiinflamatory, antibacterial activities and qualitative structure activity relationship. Disertation. Gadjah Mada University.Yogyakarta. 2000. 13. Greenspan, F.S. Basic and clinical endocrinology. 3rd Ed. Prentice Hall International Inc. USA. 1991. 14. Marsh, JM., The role of cAMP in gonadal steroidogenesis. Biol Reprod; 1976.14(1): 30-53. 15. Reich, R., Daphna I.D., Chun, S.Y. et al., Preovulatory changes in ovarian expression of collagenases and tissue metalloproteinase inhibitor messenger ribonucleid acid : role of eicosanoids. Endocrinol. 1991; 129 : 18691875. 16. Morris, JK dan Richards, JS. Luteinizing Hormone induces prostaglandin enderoperoxidase synthase-2 and luteinizing in vitro by A kinase and C kinase pathways. Endocrinol. 1995. 136, 1549-1558 17. Davis, BJ., Lennard, DE., Lee, CA., Tiano, HF., Morham, SG., Wetsel, WC., dan Langenbach, R. Anovulation in cyclooxygenase-2 deficient mice is restored by prostaglandin E2 and interleukin-1a. Endocrinol. 1999. 140; 2685-2695. 18. Meiyanto, E., Kurkumin sebagai obat kanker : Menelusuri mekanisme aksinya. Majalah Farmasi Indonesia, 1999; 10 (5) : 224-236. 19. Nurcahyo, H., dan Soejono, S.K., Pengaruh Kurkumin Terhadap Aktifitas Apoptosis pada Kultur sel Granulosa Berbagai Ukuran Folikel Ovarium, Mediagama. 2001; 3 : 111. 20. Katzung, B.G, Basic and clinical pharmacology,10th edition, Lange Mc.Graw-Hill, San Fransisco. 2005. 21. Thomas, J.P., Dorflinger, L.J., and Behrman, H.R., Mechanism of the rapid antigonadotropic agent of rostaglandin in cultured luteal cells, Proc Natl Acad Sci., 1978; 75 (3): 1344-1348. 22. Zirkin, B. dan Chen, H. Regulation on leydig cell steroidogenic functional during aging. Biol Reprod. 2000; 63 : 977-981. 23. Purwaningsih, E., Sasaran aksi kurkumin dan pentagamavunon-0 pada steroidogenesis kajian kadar cAMP, fosforilasi extracellular signal regulated kinase (ERK) dan sitokrom p450 scc pada kultur sel luteal. (Disertasi). Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2009.
6
Studi Fenomenologi Pengalaman Ketidakberdayaan Lansia Dengan Hipertensi di Kota Bogor Abdul Wakhid*) *)
Staff pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo
ABSTRACT Hypertension was a major and serious problem. In 2030, predicted 23.6 million people will die caused CVD, particularly from heart disease and stroke. 1) Hypertension was a chronic disease that requires the handling of blood pressure management of long term conditions that could trigger the emergence of depression and helplessness. Objectives to explore the experience of helplessness especially by elderly who have hypertension in Kota Bogor. Methods qualitative descriptive phenomenology to 6 participants. The finding was revealed themes response physical, social and psychological, seeking for social support, reframing helplessness, spiritual support, passive appraisal, mobilizing family to acquire and accept help, hope against disease conditions. Recommendation for community mental health nurse to do nursing care management in the helplessness diagnosis by implementing of psychosocial aspects can be determined the appropriate mental nursing therapeutic in the helplessness diagnosis. Keywords :
Elderly, Hypertension, Helplessness
ABSTRAK Hipertensi merupakan masalah yang serius. Pada tahun 2020, diprediksi 23,6 juta orang akan meninggal karena CVD, terutama penyakit jantung dan stroke.1) Hipertensi merupakan salah satu penyakit kronis karena penatalaksanaan tekanan darah membutuhkan penanganan jangka panjang yang dapat memicu munculnya kondisi depresi dan ketidakberdayaan. Tujuan penelitian untuk mengeksplorasi pengalaman ketidakberdayaan lanjut usia yang mengalami hipertensi di Kota Bogor. Metode penelitian kualitatif deskriptif fenomenologi terhadap 6 partisipan. Hasil penelitian didapatkan tema respon fisik, respon sosial, respon psikologis, mencari dukungan sosial, memaknai ulang ketidakberdayaan, dukungan spiritual, penilaian pasif, memobilisasi keluarga untuk mendapatkan dan menerima bantuan, harapan terhadap kondisi penyakit. Rekomendasi perawat jiwa dilingkup komunitas untuk melakukan pengelolaan asuhan keperawatan pada diagnosis ketidakberdayaan dengan menerapkan aspek psikososial sehingga dapat ditentukan terapi keperawatan jiwa yang sesuai pada diagnosis ketidakberdayaan. Kata Kunci:
Lansia, Hipertensi, Ketidakberdayaan
7
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Pada tahun 2050 diperkirakan penduduk di dunia dengan usia lebih dari 65 tahun meningkat 2 kali lipat dan individu dengan usia 85 tahun ke atas meningkat 4 kali lipat.2) Meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia, harus diimbangi dengan meningkatnya perhatian kepada lanjut usia karena akan muncul perubahan-perubahan sistem-sistem tubuh akibat proses menua (aging process) yang akan menimbulkan masalah kesehatan fisik dan psikososial. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan penyakit kronis sebagai gejala durasi panjang dan perkembangan lambat dan menggambarkan kondisi kronis sebagai masalah kesehatan yang memerlukan pengelolaan terus-menerus selama periode tahun atau puluhan tahun.3) Gejala hipertensi dikenal sebagai kelompok heterogeneous group of disease karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur dan kelompok sosial-ekonomi. Hipertensi sering disebut sebagai the silent killer (pembunuh diam-diam), sebab seseorang dapat mengidap hipertensi selama bertahuntahun tanpa menyadarinya sampai terjadi kerusakan organ vital yang cukup berat dan bahkan dapat membawa kematian.4) Dalam menghadapi gejala hipertensi yang membutuhkan penanganan jangka panjang, dibutuhkan mekanisme koping yang adaptif agar lanjut usia dapat menjalani masa tua secara optimal dengan bahagia dan sejahtera serta tidak jatuh pada kondisi maladaptif akibat mengalami gejala kronis. Mekanisme koping secara adaptif dilakukan sebagai upaya pencegahan berkembangnya stresor menjadi kondisi maladaptif yang dapat menimbulkan lanjut usia mengalami ketidakberdayaan terhadap gejala yang dialaminya. Kondisi lanjut usia yang mengalami gejala hipertensi di Kelurahan Baranangsiang Kota Bogor sebanyak ± 1,45% dari 24.187 jiwa penduduk di Kelurahan Baranangsiang.
Desain penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif fenomenologi dengan pendekatan deskriptif dengan pendekatan fenomenologi. Partisipan atau sampel penelitian ini adalah lansia yang mengalami ketidakberdayaan akibat hipertensi. Jumlah sampel yang terlibat pada penelitian ini seluruhnya berjumlah 6 orang. Tempat penelitian ini dilaksanakan di RW 05 Kelurahan Baranangsiang Kecamatan Bogor Timur Kota Bogor. Penelitian dilaksanakan Desember 2011. Wawancara mendalam dilakukan selama 50-90 menit. Analisis data penelitian menggunakan langkah-langkah analisis data dari Colaizzi, (1978) dalam Streubert & Carpenter (2003) dengan membuat transkripsi verbatim, membaca trankrip secara berulangulang, mengumpulkan penyataan signifikan, mementukan arti setiap pernyataan yang penting, mengumpulkan kata kunci, dan membuat catatan lapangan, mengelompokkan ke dalam kategori, kemudian disusun menjadi sub tema dan dikelompokkan menjadi tema yang dirujuk terhadap tujuan penelitian.5)
HASIL PENELITIAN Partisipan dalam penelitian ini adalah lansia yang mengalami ketidakberdayaan akibat hipertensi. Partisipan terdiri dari tiga orang lakilaki dan tiga orang perempuan dengan rata-rata usia 70,5 tahun. Tingkat pendidikan partisipan bervariasi, mulai dari sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, dan sekolah lanjutan tingkat atas. Keseluruhan partisipan tinggal bersama keluarganya. Lama partisipan menderita hipertensi bervariasi, yaitu satu setengah tahun (partisipan pertama), tiga tahun (partisipan kedua), empat tahun (partisipan ketiga), lima tahun (partisipan ke empat dan ke enam) dan 6 tahun (partisipan ke lima). Perincian selengkapnya karakterisik partisipan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik partisipan No partisipan
Jenis kelamin
Usia
Pendidikan
P1 P2 P3 P4 P5 P6
Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan
69 tahun 74 tahun 67 tahun 68 tahun 74 tahun 71 tahun
SMA SMA SMP SD SD SMP
Tekanan darah (mmHg) 180/90 200/120 160/90 170/90 170/120 180/90
Lama menderita hipertensi 1,5 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun 5 tahun
8
Didapatkan berbagai pengalaman dari partisipan selama menghadapi ketidakberdayaan akibat hipertensi. 1.
“...terus kalau saya banyak pikiran jadi ga berasa ga enak badannya, ya..susah juga kalau banyak kegiatan pak...” (P4)
Gambaran respon pengalaman ketidakberydayaan akibat hipertensi a. Respon fisik Pengalaman partisipan tentang respon fisik merupakan kondisi yang sangat mungkin terjadi seiring dengan kondisi hipertensi yang dialami oleh partisipan. ”Beberapa hari yang lalu saya agak susah melakukan kegiatan, pusing, badan rasanya lemas pak...” (P3)
“...ya sedih pak, bingung juga, jadi merasa ga bisa melakukan apa-apa, kalau kepikiran kondisi ini ya…. begitu saya jadi berat ini tengkuknya rasanya...” (P4) “...gak pengen marah-marah, biasa saja, tapi sebenarnya marah itu bukan pernah saya lakukan, tetapi pengennya saja gitu, ndak sampe marah se...” (P1)
“... pusing maunya tiduran aja pak, tapi kalau di bawa tidur juga ga bisa” (P4)
“...takut juga nanti kalo pas hipertensi, maksakan beraktivitas malah tiba-tiba ngedrop...” (P1)
“...gak ngerjain kerjaan rumah, banyak diam, tiduran, tapi badannya jadi makin lemas pak, kayak gak kuat ngapa-ngapain gitu pak” (P5) b.
c.
Respon sosial Keterbatasan dalam mengikuti kegiatan sosial dapat dialami oleh lanjut usia yang mengalami ketidakberdayaan akibat hipertensi. “...kalau dulu sering juga ikut pengajian setiap minggunya, atau bantu-bantu tetangga kalau ada selamatan atau syukuran begitu…kalau belakangan ini jarang pak, saya ga enak juga sama tetangga...” (P4)
Respon psikologis Respon psikologis merupakan persepsi yang berhubungan dengan perubahan emosional yang dialami terhadap kondisi ketidakberdayaan akibat hipertensi. Berbagai respon psikologis yang muncul yaitu takut, marah, sedih, rasa kurang nyaman dan cemas. “...iya pak kemarin tu naik lagi. Yah sempet takut juga habis kok rasanya kaki ringan kaya ga berasa napak ditanah pak..Untung ada anak waktu itu dirumah....” (P5) “...selain pusing, ini pak, mau melakukan aktivitas rumah tu jadinya takut, takut nanti tiba-tiba jatuh gitu, jadi ya banyak diem saja, ga ngerjain apa-apa...” (P6)
“...takut juga pak make eh minum lama-lama takut ginjalnya nanti masalah...” (P6)
2.
Gambaran pengalaman mekanisme koping lansia dengan ketidakberdayaan akibat hipertensi a. Mencari dukungan sosial Pengalaman mencari dukungan sosial dialami oleh partisipan, dimana partisipan mengungkapkan pengalaman mendapat bantuan lingkungan tentang pencarian solusi kesehatan tersebut tidak cukup hanya dari diri sendiri, tetapi juga bisa didapatkan dari orang lain. “...seharusnya ya cari solusi itu bukan hanya dari diri kita sendiri. tapi orang lain...” (P2) “...anak-anak semuanya jauh pak, pernah saya minta tolong tetangga...(jika partisipan mengalami kekambuhan penyakit hipertensinya, partisipan meminta bantuan ke tetangga)” (P3) b.
Memaknai ulang kondisi ketidakberdayaan Pengalaman partisipan yang lain dalam menerapkan mekanisme koping terhadap ketidakberdayaan akibat hipertensi adalah memaknai ulang. “...ya kalo kegiatan dirumah selesai kan bisa istirahat, maen sama cucu, pikirannya tenang gitu pak...” (P5)
9
c.
Dukungan spiritual Adanya kondisi ketidakberdayaan akibat hipertensi mengakibatkan partisipan melakukan kegiatan untuk lebih mendekatkan terhadap Tuhan. “...masih kuat juga kalau sholat malam, minta Allah menyembuhkan penyakitnya, ini semua saya anggap cobaan buat saya...” (P4) “...khawatir juga pak, tapi ini semua saya anggap saja cobaan dari tuhan, saya kan hanya bisa berdoa mudahmudahan allah SWT menyembuhkan penyakit saya...” (P3)
d.
Penilaian pasif Pengalaman mekanisme koping berikutnya yang didapatkan dari partisipan adalah penilaian pasif. Penilaian pasif merupakan sebuah mekanisme pertahanan defensive. “...saat mengalami kondisi tersebut (hipertensi), pengennya dirumah saja mas, mau kemana-mana males rasanya gitu...” (P1) “...Tapi saya pasrah aja, berdoa juga, kan mintanya cuma sama Allah, mudah-mudahan dikasih kesehatan...” (P4) “...tidak rutin pak ke Puskesmasnya, terakhir saya ke Puskesmas sekitar awal tahun ini...” (P3)
e.
Memobilisasi keluarga untuk mendapatkan dan memperoleh bantuan Didapatkan empat partisipan yang menyampaikan penggunaan obat herbal untuk menurunkan gejala hipertensi yang dialami. “...biasanya kan saya rebus daun belimbing lalu nanti saya minum air rebusannya...” (P3) “... saya minum air timun, kadang minum air rebusan daun belimbing, ya begitu pak…minum obat tradisional aja...”(P4) “...yah berusaha untuk tidak mikir yang berat-berat pak...” (P6)
3.
Harapan terhadap kondisi penyakit Sebagai manusia yang hidup dalam lingkungan sosial, adanya harapan terhadap kondisi penyakit akan dapat menjadikan
sebagai motivasi untuk berubah. Pengalaman ketidakberdayaan, tidak menghalangi bagi partisipan untuk memiliki keinginan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. “...harapan saya penyakit saya cepat sembuh tidak hipertensi lagi...” (P1) “...inginnya kan… saya itu masih bisa melakukan ini itu, tapi sekarang koq saya merasa badan ini berat ya...” (P3)
PEMBAHASAN Tema Respon fisik Respon fisik lanjut usia yang mengalami hipertensi tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Webb et al (2006) yang didapatkan gambaran lanjut usia yang mengalami hipertensi mengalami beberapa perubahan seperti perubahan diet, kurang beraktifitas secara teratur, dan mengalami peningkatan berat badan.6) Tetapi adanya aktivitas fisik yang teratur, dijelaskan oleh penelitian Luckson (2008), merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk pengelolaan hipertensi pada lanjut usia.7) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada lanjut usia yang mengalami ketidakberdayaan akibat hipertensi, perlu dilakukan berbagai aktifitas fisik yang masih dapat dilakukan secara teratur sebagai salah satu upaya pengelolaan hipertensi dan juga sebagai sarana untuk mengisi waktu luang sehingga lanjut usia mempunyai kegiatan fisik yang dapat dilakukan untuk mengisi waktu luangnya.
Tema respon sosial Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manzini & Simonetti (2009) bahwa pasien yang mengalami hipertensi ditemukan mengalami berbagai perubahan dalam pola hidupnya. Pada penelitiannya, didapatkan kesulitan untuk mempertahankan perilaku untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk perubahan dalam kegiatan yang membuat perasaan senang, perubahan interaksi sosial dan perubahan gaya hidup.8) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipan yang mengalami ketidakberdayaan akibat hipertensi cenderung mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial akibat adanya peningkatan tekanan darah sehingga menyebabkan partisipan mengalami perubahan pemenuhan kebutuhan secara umum termasuk perubahan dalam interaksi sosialnya. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk
10
membantu partisipan dalam mengatasi masalah interaksi sosial dengan memfasilitasi terbentuknya kelompok pendukung (self help group) diantara sesama lanjut usia yang mengalami ketidakberdayaan akibat hipertensi.
Tema respon psikologis Sherina, Rampal, dan Mustaqim (2004) menyatakan dalam penelitiannya, penyebab atau faktor resiko terjadinya depresi pada lanjut usia adalah masalah kesehatan, pengobatan, ketakutan akan kematian, dan cemas tentang isu-isu terkait penyakit yang dialaminya.9) Rasa sedih yang dinyatakan partisipan karena hipertensi yang dialaminya membutuhkan perawatan atau pengobatan secara terusmenerus. Rasa sedih yang dirasakan partisipan dikarenakan keluhan penyakit dirasakan sangat berat dan muncul kekhawatiran akan komplikasi yang mungkin membuat dirinya susah. Pada penelitian ini, cemas yang muncul dipersepsikan oleh partisipan yang merasa cemas terhadap kondisi penyakit dan efek obat yang muncul jika melakukan pengobatan dengan obat kimia. Cemas terhadap efek pengobatan tersebut menjadikan partisipan meninggalkan obat-obatan kimia dan melalukan antisipasi masalah dengan obat-obatan herbal. Pada penelitian ini, perasaan takut, sedih, dan cemas banyak dialami oleh pertisipan perempuan. Sedangkan partisipan laki-laki sebagian besar mengalami perasaan marah dan cemas.
Tema mencari dukungan sosial Adanya dukungan sosial yang sama dengan penelitian Rachma (2010) dalam penelitian ini karena lokasi penelitian dilakukan pada setting yang sama yaitu setting komunitas, sehingga partisipan lebih merasakan bentuk dukungan sosial yang diperoleh dari tetangga ataupun dari anggota keluarganya.10)
Tema memaknai ulang terhadap kondisi ketidakberdayaan Penelitian ini sejalan dengan penelitian Wong et al (2005) bahwa adanya penyakit hipertensi menjadikan responden kembali mengingat dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya, karena menganggap bahwa penyakit yang dialaminya merupakan hukuman Tuhan atas apa yang pernah dilakukannya. Selain menganggap penyakit sebagai hukuman Tuhan, responden juga menjadikan adanya penyakit hipertensi sebagai pemicu semangat untuk menjalani kehidupan yang dihadapinya.11)
Tema dukungan spiritual Hal yang sama juga didapatkan oleh Wong et al (2005) yang meneliti tentang kepatuhan merawat hipertensi pada penduduk Amerika didapatkan responden memiliki perilaku mendekatkan diri dengan berbagai kegiatan spiritual selama hidupnya.11) Berdasarkan hal tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa dukungan spiritual merupakan upaya untuk mengalihkan perhatian dari kondisi sakit atau kondisi masalah keduaniwian dialihkan dengan terhadap masalah kerohaniahan sehingga pikiran seseorang tidak berfokus secara terus menerus terhadap kondisi tetapi dapat mengembangkan pemikiran yang lebih jauh ke depan, bahwa kehidupan tidak akan hanya berakhir di dunia. Dukungan spiritual merupakan salah satu upaya mekanisme koping yang dapat dilakukan oleh siapapun dalam menghadapi kondisi atau perilaku. Tema penilaian pasif Menurut Chow dan Cummings (2000), penilaian pasif merupakan interpretasi dari lingkungan dan situasi diri dalam beradaptasi terhadap perilaku.12) Mekanisme pertahanan dengan cara defensive akan mengakibatkan seseorang gagal memperoleh pengalaman dan ketrampilan dalam berhubungan dengan orang lain, akibatnya akan terjadi keraguan kemampuan sosial dan membatasi kesadarannya.13) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mekanisme koping ini dapat digunakan lanjut usia yang mengalami ketidakberdayaan akibat menderita hipertensi, sehingga akan membantu meningkatkan kesadaran diri lanjut usia untuk mempercepat atau memudahkan lanjut usia menerima kondisinya. Hal ini tergantung kemampuan seseorang menyesuaikan diri.
Tema Menggerakkan keluarga untuk memperoleh dan menerima bantuan Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Moulton (2009), yang didapatkan bahwa penduduk Amerika keturunan Afrika tidak merespon secara baik terhadap pemberian obat anti hipertensi, sehingga dibutuhkan kehati-hatian bagi perawat pada saat menggambarkan program pengobatan, meskipun hal ini tidak beralasan untuk menggunakan kombinasi dosis pengobatan.14) Antisipasi merupakan kegiatan dimana seseorang melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kejadian yang tidak diinginkan. Hasil
11
penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan Li, Wallhagen dan Froelicher (2007) yang meneliti tentang pengontrolan hipertensi yang didapatkan bahwa penatalaksanaan secara efektif pada kondisi hipertensi dan manfaat untuk pencegahan komplikasi perlu ditumbuhkan secara adekuat.15) Pengontrolan hipertensi merupakan upaya untuk mengetahui perkembangan kondisi hipertensi yang dialaminya, apakah stabil, menurun atau bahkan mengalami kenaikan. Upaya ini dilakukan setelah partisipan melakukan upaya dengan mencari bantuan ke tenaga profesional atau fasilitas pelayanan kesehatan. Tetapi karena alasan tidak ada perubahan terhadap kondisi, faktor usia dan ketidakmampuan menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan maka upaya alternatif yang lain yang masih bisa dilakukan adalah dengan memanfaatakan sumber daya yang ada dilingkungan.
SIMPULAN Gambaran respon ketidakberdayaan pada lanjut usia yang mengalami hipertensi didapatkan tema respon fisik, respon sosial, dan respon psikologis. Mekanisme koping pada lanjut usia yang mengalami ketidakberdayaan didapatkan tema mencari dukungan sosial, menggerakkan keluarga untuk mendapatkan dan menerima bantuan, dukungan spiritual, memaknai ulang dan penilaian pasif terhadap kondisi. Harapan lanjut usia terhadap penyakitnya didapatkan tema harapan lanjut usia terhadap kondisi penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
Tema harapan terhadap kondisi penyakit Tema terakhir yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah harapan terhadap kondisi penyakit. Hasil penelitian menggambarkan partisipan yang memiliki penyakit hipertensi menahun mempunyai harapan untuk dapat kembali melakukan aktifitas sehari-hari, memiliki kondisi yang lebih baik dari sebelumnya, gejala hipertensi tidak muncul lagi atau selalu dalam rentang normal. Pernyataan tersebut sering kali muncul ketika seseorang menderita penyakit yang berlangsung sangat lama/ kronik sehingga memerlukan perawatan secara terus-menerus. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Wong et al (2005), didapatkan bahwa responden meyakini hipertensi yang dialaminya merupakan penyakit yang akan dialami sepanjang masa, sehingga responden menyikapi dengan berharap masih dapat melakukan aktivitas yang dapat dilakukan secara mandiri pada saat tidak muncul gejala hipertensinya. 11) Pada penelitian ini juga didapatkan harapan yang sama dengan penelitian Wong et al (2005) yaitu partisipan ingin dapat kembali melakukan aktivitasnya.11) Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kondisi ketidakberdayaan tidak menghalangi seseorang untuk memiliki keinginan dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan meneruskan hidupnya. Hanya saja kondisi ketidakberdayaan membuat seseorang tidak mampu untuk mencapai keinginannya tersebut.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
WHO. 2008. Technical brief for Policy Maker. Geneva. Switzerland. Varcarolis, E,M,. Carson, V,B,. & Shoemaker, N,C,. 2006. Foundation of psychiatric Mental health nursing a clinical approach. Missouri: saunders elsevier. WHO. 2002. Innovative Care for Chronic Conditions: Building Blocks for Action. World Health Organization. Geneva. Switzerland. Aziza. L,. 2007. Hipertensi the silent killer. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Streubert. H,J,. & Carpenter, D,R,. 2003. Qualitative research in nursing; Addvancing the humanistic imperative. third edition. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia. Webb. M,S,. & Gonzales. L,O,. 2006. The Burden of Hypertension: Mental Representations Of African American Women. Issues in mental health nursing. Taylor & Francis Group. LLC USA. Luckson. M,. 2009. Hypertension management in older people. British Journal of Community Nursing, Vol 15, No 01. Manzini. F,C,. & Simonetti. J,P,. 2009. Nursing consultation applied to hypertensive clients: application of Orem’s self care theory. Revista Latino-Americana de Enfermagem (RLAE), Universidade de Sao Paolo. Sherina. M,S,. Rampal. L,. & Mustaqim. A,. 2004. Factors associated with chronic illness among the elderly in a rural community. Asia pasific journal of public health. Vol 16. no. 2. April 6, 2011. http://aph.sagepub.com/cgi/content/abstract /16/2/109.
12
10. Rachma. N,. 2010. Pemahaman mendalam tentang arti dan makna pengalaman lansia dalam melakukan perawatan tekanan darah tinggi di Kelurahan Ngesrep, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang Jawa Tengah. Tesis FIK UI. Tidak di Publikasikan. 11. Wong. C,C,. et al. 2005. Adherence with hypertension care among hmong Americans, Journal of Community Health Nursing. Lawrences Erlbaum Associates. Inc. California. 12. Chow. T,W,. & Cummings. J,L,. 2000. Neuropsychiatry: Clinical assessment and
approach to diagnosis. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 13. Semiun. Y,. 2006. Kesehatan mental. Kanisius. Yogyakarta. 14. Moulton. S, A,. 2009. Hypertension in African American and its chronic disease. Journal of Cultural Diversity. Vol 16 No 4. Tucker Publication. Toronto. 15. Li. W,W,. Wallhagen. M,I,. & Froelicher. E,S,. 2007. Hypertension control, predictors for medication adherence and gender differences in older Chinese immigrants. Journal compilation. Blackwell Publishing. Ltd.California.
13
Hubungan Antara Praktik Ibu Dalam Mencegah Karies Gigi Dengan Kejadian Karies Gigi Pada Anak di R.A Istiqomah Ungaran Eni Fitriyani*), Puji Pranowowati **), Sri Wahyuni**) *)
Alumni Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo Staf pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo
**)
ABSTRACT The problem of dental health is still society health problem in indonesia. Basic Health Research report in 2007, dental caries suffered approximately by 72.1% population in Indonesia. Based on the result studies of preliminary on children at RA Istiqomah Ungaran there were 30% mothers gave candy and ice cream to child in time free meals 40% mothers did not theach children for brushing teeth and there are 50% of children with brownish colored teeth and there white spots on the surface of the teeth. The factors influenced dental caries occurrences are micro-organisms, laque, substrate, time, age, gender, geography, social culture of the population, awareness of attitudes and individual behavior and dental health. This research is to understan the correlation between mothers' practice in preventing dental caries with incidience of dental caries on children at RA Istiqomah Ungaran 2011. The research was analytic observational method with cross sectional approach. Population in this research all children at RA Istiqomah Ungaran. Samples in this research were students at RA Istiqomah Ungaran kindergarten as many as 66 students. The sample technique used proportional random sampling. The data obtained by using questionnaire and chi square test used as data analyst (p≤0.05). The mothers’ practice in preventing dental caries obtain (93,3%) mothers buy a special toothbrush for children, (72,7%) mothers do not examine child teeth every six month to healthcare. 63,6% children experience dental caries and 36,4% children do not experient caries and from analysis obtain p value = 0,025 so that it can be concluded that there is correlation between mothers' practice in preventing dental caries with incidience of dental caries on children at RAIstiqomah Ungaran 2011. The researcher suggest to mothers to be expected to teach brushing teeth habit after meal and before sleep, and the mother should ask children to brush teeth accompainied by stories about dental disease if they are not brushing teeth Keywords
: Prevention practice, Dental caries, Child
ABSTRAK Masalah gigi di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar 2007, karies gigi diderita sekitar 72,1% penduduk Indonesia. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada anak TK RA Istiqomah Ungaran terdapat 30% ibu memberikan permen dan es krim kepada anak pada waktu senggang makan dan terdapat 40 % ibu yang tidak mengajari anak untuk menggosok gigi dan terdapat 50% anak yang giginya berwarna kecoklatan dan terdapat noda-noda putih pada permukaan gigi. Faktor yang mempengaruhi karies gigi antara lain : mikroorganisme, plak, substrat, waktu, usia, jenis kelamin, letak geografis, kultur sosial penduduk, kesadaran sikap dan perilaku individu terhadap kesehatan gigi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara praktik ibu dalam mencegah karies gigi dengan kejadian karies gigi pada anak TK di R.A Istiqmoah Ungaran. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak yang bersekolah di R.A Istiqomah Ungaran. Sampel yang digunakan adalah anak TK A dan B RA Istiqomah Ungaran yang berjumlah 66 anak. Teknik pengambilan sampel menggunakan proportional random sampling. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dengan menggunakan uji chi-square (p≤0,05). Praktik ibu dalam mencegah karies gigi yaitu didapatkan (93,3%) ibu yang membelikan sikat gigi khusus anak dan ibu yang tidak memeriksakan gigi anak setiap 6 bulan sekali ke pelayanan kesehatan (72,7%). Anak yang mengalami karies gigi sebesar 63,6% dan anak yang tidak mengalami karies sebesar 36,4% dan hasil analisis diperoleh nilai p=0,025 sehingga disimpulkan ada hubungan antara praktik ibu dalam mencegah karies gigi dengan kejadian karies gigi pada anak di R.A Istiqomah Ungaran. Peneliti menyarankan pada ibu diharapkan ibu memberikan kebiasaan menggosok gigi setelah makan dan sebelum tidur, serta ibu bisa mengajak anak untuk menggosok gigi disertai dengan ceritacerita tentang penyakit gigi bila tidak menggosok gigi.
14
PENDAHULUAN Kesehatan gigi dan mulut merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat. Dengan keadaan gigi dan mulut yang sehat akan sangat menunjang fungsi pengunyahan, fungsi bicara dan fungsi estetika wajah. Meskipun gigi dan mulut mempunyai fungsi yang penting, namun ternyata penyakit gigi dan mulut tersebar di seluruh dunia. Tak ada satu negara atau daerah yang luput dari penyakit ini, baik negara yang sudah maju maupun negara berkembang hanya saja terdapat perbedaan dalam tingkat keparahannya.1) Karies gigi adalah merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin, dan sementum, yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan yang ditandai dengan adanya demineralisasi jaringan keras gigi yang kemudian diikuti oleh kerusakan bahan organiknya.2) Sisa makanan yang bergula (termasuk karbohidrat ) atau susu menempel pada permukaan bergula tersebut akan menghasilkan asam dan melarutkan permukaan email akan menjadi media pertumbuhan yang baik bagi bakteri. Bakteri yang menempel pada permukaan bergula tersebut akan menghasilkan asam dan melaurtkan permukaan email sehingga terjadi proses demineralisasi. Demineralisasi tersebut mengakibatkan karies pada email.3) Penyakit karies pada anak, banyak dan sering terjadi namun kurang mendapat perhatian dari orang tua karena anggapan bahwa gigi anak akan digantikan gigi tetap. Orang tua kurang menyadari bahwa dampak yang ditimbulkan sebenarnya akan sangat besar bila tidak dilakukan perawatan untuk mencegah karies sejak dini pada anak.4) Dampak yang terjadi bila sejak awal sudah mengalami karies adalah selain fungsi gigi sebagai pengunyah yang terganggu, anak juga akan mengalami gangguan dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari sehingga anak tidak mau makan akibat yang lebih parah bisa terjadi malnutrisi, anak tidak dapat belajar karena kurang berkonsentrasi sehingga akan mempengaruhi kecerdasan. Akibat lain dari kerusakan gigi pada anak adalah penyebaran toksin atau bakteri pada mulut melalui aliran darah, saluran pernapasan, saluran pencernaan apalagi bila anak menderita malnutrisi, hal tersebut akan menyebabkan daya tahan tubuh anak menurun dan anak akan mudah terkena penyakit. Bila gigi sulung sudah berlubang dan rusak maka dapat diramalkan gigi dewasanya tidak akan sehat nantinya.1) Masa anak khususnya balita merupakan awal dari pembentukan perilaku. Masa balita adalah masa usia yang paling rentan
terhadap berbagai pengaruh baik yang datang dari dalam maupun dari luar diri anak. Tidak mengherankan apabila mereka cukup rentan mengalami perubahan status kesehatan, termasuk di dalamnya kesehatan gigi. Pada anak-anak pengaruh dari orang tua sangat kuat. Sikap dan perilaku orang tua terutama ibu dalam pemeliharaan gigi memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap sikap dan perilaku anak. Disamping itu perilaku anak sendiri menentukan status kesehatan gigi mereka, termasuk pola makan dan kebiasaan membersihkan gigi. Pada umumnya anak sangat menggemari makanan yang manis seperti gulali, permen, donat, dan coklat yang diketahui sebagai substrat yang disukai oleh bakteri untuk berkembang biak. Makanan tersebut tergolong kariogenik yang dapat diubah menjadi asam oleh bakteri dan selanjutnya dapat melarutkan struktur gigi, keadaan ini diperburuk dengan kemalasan anak membersihkan giginya atau anak belum mampu melakukannya serta ketergantungan anak kepada orangtuanya. 5) Upaya pencegahan karies gigi pada anak dapat dilakukan dengan cara mengenalkan dokter gigi kepada anak, orang tua memperhatikan pola makan anak, misalnya menganjurkan anak untuk tidak terlalu sering mengkonsumsi makanan yang manis akan menyebabkan karies gigi. Orang tua dapat memilihkan makanan anaknya misalnya buahbuahan, memberikan coklat atau permen tidak terlalu sering, anak yang sudah mulai besar, orang tua harus dapat membantu anak mulai rutinitas menggosok gigi.5) Karies gigi terdapat di seluruh dunia, tanpa memandang umur, bangsa maupun keadaan ekonomi. Di negara-negara Eropa, Amerika dan Asia termasuk Indonesia. Ternyata 80-95% anak dibawah umur 18 tahun terserang karies gigi. Masalah kesehatan gigi di Indonesia sampai saat ini masih perlu mendapatkan perhatian. Hal ini disebabkan oleh berbagai upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut belum menunjukkan hasil nyata.6) Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar 2007, karies gigi menyerang atau diderita sekitar 72,1 % penduduk Indonesia. Jadi terdapat penurunan prevalensi karies dari tahun 2003 ke tahun 2007. Sedangkan di Propinsi Jawa Tengah yang bermasalah dengan gigi sebanyak 25,8% dan di Kabupaten Semarang terdapat 22,8%. Menurut golongan umur prevalensi anak yang bermasalah dengan gigi yaitu umur <1 Tahun 1,4 %, anak umur 1-4 Tahun 9,6 %, anak umur 5-9 Tahun 27,3 %. Hal itu terjadi karena kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut sangat minim.7)
15
Hasil studi pendahuluan pada tanggal 15 Desember 2010 yang dilakukan pada beberapa ibu yang mengantar anaknya ke sekolah, peneliti mengajukan beberapa pertanyaan pada ibu-ibu tersebut tentang praktik pencegahan karies gigi anak meliputi apakah ibu sering memberikan permen, coklat, donat, es krim, es cendol, kue lapis, biskuit pada waktu senggang makan kepada anak. Apakah ibu mengajarkan anak untuk menggosok gigi dengan benar dan apakah ibu menganjurkan anak untuk menggosok gigi sehabis makan dan sebelum tidur. Dilihat dari jawaban beberapa ibu, terdapat 30% ibu yang memberikan permen dan es krim kepada anak pada waktu senggang makan, serta ibu yang tidak mengajarkan gosok gigi pada anak dengan benar dan tidak menganjurkan anak untuk menggosok gigi sehabis makan dan sebelum tidur terdapat 40%, dan ibu yang mengajari anak gosok gigi terdapat 10%. Setelah peneliti mengajukan pertanyaan pada beberapa ibu, peneliti langsung melihat gigi anak sesuai dengan tanda-tanda karies gigi, bahwa terdapat 50% anak yang giginya berwarna kecoklatan dan terdapat noda-noda putih pada permukaan gigi, serta 30% anak yang terdapat giginya berlubang, dan anak yang giginya bersih terdapat 20%.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasional, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subjek kemudian menganalisis dinamika korelasi antara faktor resiko dengan faktor efek. Penelitian ini menggunakan pendekatan Cross Sectional yaitu pengukuran variabel bebas dan variabel terikat hanya satu kali pada satu saat.8) Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah anak kelas A dan kelas B di R.A Istiqomah Ungaran yang berjumlah 194 anak tahun ajaran 2010/2011. Sampel merupakan sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.8) Sampel dalam penelitian ini adalah anak klas A dan klas B di R.A Istiqomah Ungaran dengan jumlah sampel sebanyak 66 anak (dihitung berdasarkan rumus), yang diambil dengan teknik proporsional random sampling.
Rumus besar sampel : 8) N n= 1 + N (d²) Keterangan : n : besar sampel N : besar populasi d : tingkat kepekaan yang diinginkan (0,1)
Tabel 1 Perhitungan pada siswa kelas A dan kelas B R.A Istiqomah Ungaran Kelas
N
A B Jumlah
106 88 194
Presentase (%) 29,9 36,0 100,00
n 30 36 66
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner oleh responden dan pemeriksaan gigi oleh perawat gigi pada saat dilakukan penelitian. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Data dan informasi yang diperoleh dari analisis univariat dapat mendeskripsikan variabel bebas yaitu praktik ibu dalam melakukan pencegahan karies gigi pada anak dan variable terikat yaitu kejadian karies gigi yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Analisis untuk mengetahui hubungan antara praktik ibu dalam mencegah karies gigi dengan kejadian karies gigi yang dilakukan dengan menggunakan program SPSS 11.5 for windows. Analisis data dilakukan dengan uji Chi-Square (x2).
HASIL PENELITIAN 1.
Umur Ibu Tabel 1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Ibu di R.A Istiqomah Ungaran 2011
Umur Ibu (Tahun) 20-35 >35 Total
51 15
Persentase (%) 77,3 22,7
66
100,0
Frekuensi
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar umur ibu antara 20-35 tahun yaitu sebesar 51 responden (77,3%)
2. 16
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Praktik Ibu dalam Mencegah Karies Gigi Pada Anak di R.A Istiqomah Ungaran 2011
Jenis Kelamin Anak Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak di R.A Istiqomah Ungaran 2011
Jenis Kelamin Anak Laki-laki Perempuan
Frekuensi 29 37
Total
66
Praktik Ibu dalam Mencegah Karies Tidak mendukung
Persentase (%) 43,9 56,1 100,0
Kejadian Karies Tabel 3
Distribusi Frekuensi Kejadian Karies pada Anak di R.A Istiqomah Ungaran 2011
Kejadian Karies
Frekuensi
Persentase (%) 63,6
Karies
42
Tidak karies
24
36,4
Total
66
100,0
Tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden yang mengalami karies (63,6%) lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak mengalami karies
4.
Mendukung
39
59,1
Total
66
100,0
Tabel 4 menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden telah mendukung yaitu (59,1%).
Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase responden perempuan (56,1%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (43,9%). 3.
27
Persentase (%) 40,9
Frekuensi
5.
Hubungan Antara Praktik Ibu Dalam Mencegah Karies Gigi Dengan Kejadian Karies Gigi Pada Anak TK Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase responden yang mengalami karies dengan praktik ibu dalam mencegah karies gigi anak yang tidak ada dukungan sebesar 81,5% lebih tinggi dibandingkan dengan praktik ibu dalam melakukan pencegahan sebesar 51,3%. Hasil uji statistik dengan Chi Square didapatkan p value = 0,025 (p≤0,05) maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang bermakna antara praktik ibu dalam mencegah karies gigi dengan kejadian karies gigi pada anak di R.A Istiqomah Ungaran.
Praktik Ibu Dalam Mencegah Karies Gigi Anak
Tabel 5
Distribusi Responden Berdasarkan Praktik Ibu dalam Mencegah Karies dan Kejadian Karies Gigi pada Anak di R.A Istiqomah Ungaran 2011
Praktik Ibu dalam Mencegah Karies Tidak mendukung Mendukung Total
Kejadian Karies Gigi pada Anak Karies Tidak Karies f % f % 22 81,5 5 18,5 20 51,3 19 48,7 42 63,6 24 36,4
PEMBAHASAN Praktik Ibu Dalam Mencegah Karies Gigi Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan praktik ibu dalam mencegah karies gigi pada anak yang mendukung sebesar 39 responden (59,1%) lebih besar dibandingkan yang tidak mendukung sebesar 27 (40,4%). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu-ibu memperhatikan kesehatan gigi anak, dengan ibu
Total f 27 39 66
% 100,0 100,0 100,0
p value 0,025
memperhatikan kesehatan gigi anak dalam melakukan pencegahan diharapkan karies gigi pada anak dapat berkurang. Peran ibu dalam melakukan pencegahan sangatlah besar karena praktik ibu dalam mencegah karies gigi mempengaruhi kesehatan gigi sang anak. Ibu adalah figur pertama kali yang anak kenal dengan demikian ibu dapat membiasakan sang anak untuk melakukan pencegahan terhadap penyakit karies gigi, masa anak-anak merupakan masa pembentukan kebiasaan. Jika dari kecil anak dibiasakan rajin,
17
maka seterusnya akan rajin. Begitu pula dengan kebiasaan dalam melakukan pencegahan karies gigi, maka kebiasaan tersebut akan terus dilaksanakan hingga dewasa. Praktik pencegahan karies gigi pada anak dilaksanakan dengan cara membatasi makanan manis seperti es krim, coklat, permen dan lain-lain pada waktu sengggang makan, pemeriksaan gigi anak setiap 6 bulan sekali, memilihkan sikat gigi dan pasta gigi khusus anak, menganjurkan anak untuk menggosok gigi setelah makan dan mengajari anak untuk menggosok gigi sebelum tidur. Ibu yang mengajari anak untuk menggosok gigi sebelum tidur adalah 68,2%, ibu yang membatasi makanan manis seperti es krim, coklat dan permen adalah 57,6%, ibu yang mengajak anak untuk melakukan pemeriksaan gigi setiap 6 bulan ke pelayanan kesesehatan adalah 27,3%, hal ini sesuai dengan yang diharapkan dimana ibu dapat melakukan pencegahan karies gigi terhadap anak yang berfungsi untuk mengurangi penyakit karies gigi pada sang anak. Kejadian Karies Hasil penelitian diketahui anak yang mengalami karies gigi 63,6% persentasenya lebih besar dibandingkan anak yang tidak mengalami karies gigi 36,4%. Kejadian karies dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti mikroorganisme, plak, substrat, waktu, usia, jenis kelamin, suku bangsa, letak geografis, kultur sosial penduduk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sampel menderita karies gigi. Penyakit tersebut dimulai dari bakteri atau kuman-kuman yang berada pada permukaan gigi. Daya kariogenik dari kuman tersebut timbul karena adanya produksi asam laktat, dengan akibat pH cairan di sekitar gigi tersebut menjadi rendah atau bersifat sangat asam dimana kondisi tersebut cukup kuat untuk melarutkan mineral-mineral dari permukaan gigi, sehingga menjadi keropos. Sebagai akibat dari kerusakan gigi dan jaringan pendukung gigi dapat menurunkan tingkat produktivitas sang anak, karena aspek biologis akan dirasakan sakit atau gigi goyang, sehingga aktivitas belajar, makan dan tidur akan terganggu. Dampak yang terjadi bila sejak awal sudah mengalami karies adalah selain fungsi gigi sebagai pengunyah yang terganggu, anak juga akan mengalami gangguan dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari sehingga anak tidak mau makan akibat yang lebih parah bisa terjadi malnutrisi, anak tidak dapat belajar karena kurang berkonsentrasi sehingga akan mempengaruhi kecerdasan. Akibat lain dari kerusakan gigi pada anak adalah penyebaran toksin atau bakteri pada mulut melalui aliran
darah, saluran pernapasan, saluran pencernaan apalagi bila anak menderita malnutrisi, hal tersebut akan menyebabkan daya tahan tubuh anak menurun dan anak akan mudah terkena penyakit. Bila gigi sulung sudah berlubang dan rusak maka dapat diramalkan gigi dewasanya tidak akan sehat nantinya.1) Karies gigi adalah suatu penyakit terhadap jaringan gigi oleh karena adanya zat asam sebagai akibat kerjanya kuman-kuman karbohidrat yang dapat mendekalsifikasi garamgaram anorganik. Karies gigi biasanya didahului oleh suatu keadaan pada permukaan gigi yang disebut dengan plak. Plak merupakan endapan lunak yang melekat pada permukaan gigi yang terdiri dari air liur, kuman-kuman tersebut nantinya akan membuat asam dari gula (makanan yang kita makan) yang melekat pada permukaan gigi. Kemudian asam ini akan merusak email gigi dan akhirnya mengakibatkan terbentuknya karies permulaan. Plak ini juga merangang untuk membuat zat racun yang dibuat oleh kuman-kuman yang melekat padanya sehingga dapat menimbulkan penyakit pada gusi. Bila plak ini mengalami perkapuran maka akan terbentuk karang gigi yang kelak dapat merusak gigi dan jaringan sekitarnya.9) Karies pada anak, bisa mulai terjadi saat anak mulai tumbuh gigi. Bila orang tua tidak memperhatikan kondisi kesehatan gigi dan mulut anak, sering sekali terjadi rampan karies. Rampan karies merupakan kondisi terdapat karies yang sangat meluas hampir terdapat disetiap gigi. Bila gigi anak terkena karies dan tidak dicegah, maka akan menyebabkan patologis pada gigi, dengan gejala rasa sakit gigi (linu, sakit saat makan dan tidur, gusi mudah berdarah). Kondisi ini sudah memasuki tahap pulpitis, adanya peradangan pada gigi anak. Dan bila tetap segera ditangani, maka akan menyebabkan gigi masuk dalam tahap kondisi ini akan mudah cepat rusak dengan cepat.
Hubungan Antara Praktik Ibu Dalam Mencegah Karies Gigi Dengan Kejadian Karies Gigi Pada Anak TK Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase responden yang mengalami karies dengan praktik ibu dalam mencegah karies gigi anak yang tidak mendukung sebesar 81,5% lebih tinggi dibandingkan dengan persentase praktik ibu dalam mencegah karies gigi anak yang mendukung sebesar 51,3%. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan ada hubungan antara praktik ibu dalam mencegah karies gigi dengan kejadian karies gigi pada anak TK (p≤0,05). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian (Holt RD, dkk) yang melakukan
18
penelitian tentang efek pendidikan kesehatan gigi yang diberikan ibu kepada anaknya yang berusia 5 tahun di london. Hasil penelitian tersebut mengungkapakan bahwa 69% dari anak-anak yang ibunya memberikan oral health education di rumah memperlihatkan bebas karies, dan angka gingivitas (radang gusi) yang lebih rendah daripada anak-anak yang tidak dididik tentang kesehatan gigi dan mulut oleh ibunya. Ibu memegang peranan penting dalam keluarga, hal yang perlu dicermati yang teramat penting, yaitu peranan ibu. Figur pertama yang dikenal anak begitu ia lahir adalah ibunya. Maka dari itu, perilaku dan kebiasaan ibu dapat dicontoh oleh sang anak. Perilaku ibu dalam menjaga kesehatan gigi anaknya dan akan sangat menentukan status kesehatan gigi anaknya kelak. Secara umum penyakit yang menyerang gigi dimulai dengan adanya plak gigi. Plak timbul dari sisa makanan yang mengendap pada lapisan gigi yang kemudian berinteraksi bakteri yang banyak terdapat dalam mulut. Kemudian plak akan melarutkan lapisan email pada gigi sehingga lama-kelamaan lapisan tersebut akan menipis. Karena itulah praktik ibu dalam mencegah karies gigi pada anakanya sangatlah penting untuk menghindari menimbulnya plak yang nantinya akan menyebabkan karies gigi. Kebersihan gigi yang buruk juga dapat mengakibatkan terjadinya karies gigi, karena makanan yang menempel di gigi, jika tidak segera dibersihkan maka sisa makanan di gigi merupakan media terbaik bagi kuman untuk berkembang sehingga menimbulkan pengasaman yang menyebabkan email gigi larut dan timbullah lubang gigi. Karies gigi masih kecil dan belum begitu dalam mungkin tidak akan menganggu, tetapi jika karies sudah membesar dan makin dalam maka bisa mengakibatkan terjadinya infeksi. Kelalaian terhadap kesehatan gigi bisa menyebabkan penyakit yang berat bisa membawa pada kematian.
karies gigi di RA Istiqomah Ungaran (nilai p=0,025).
SARAN 1. Diharapkan ibu ataupun ayah memberikan kebiasaan menggosok gigi setelah makan dan sebelum tidur, serta ibu bisa mengajak anak untuk menggosok gigi disertai dengan ceritacerita tentang penyakit gigi bila tidak menggosok gigi. 2. TK Istiqomah Ungaran perlu menambahkan materi perilaku PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) diantaranya menggosok gigi dalam kurikulumnya. 3. Perlu diadakan penelitian selanjutnya tentang derajat keasaman saliva, anatomi gigi, mikroorganisme dalam mulut dan indeks kebersihan mulut sehingga dapat diketahui kaitan variabel-variabel tersebut dengan kejadian karies gigi.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4.
5.
6. KESIMPULAN 1. Ibu yang praktik dalam mencegah karies gigi tidak mendukung sebesar 27 anak (40,9%) dan ibu yang mendukung sebesar 39 anak (51,9%). 2. Anak yang mengalami karies gigi sebanyak 42 anak (63,6%) dan anak yang tidak karies sebanyak 24 anak (36,4%). 3. Ada hubungan antara praktik ibu dalam mencegah karies gigi dengan kejadian
7.
8. 9.
Tarigan, R. 1993. Restorasi Gigi. Jakarta : Hipocrates. Kidd, E.A.M, dkk. 1991. Dasar-Dasar Karies Penyakit Dan Penanggulangannya. Alih bahasa : Narlan S. dan Safrida F. Jakarta : EGC. Syuhada, 2001. Factor-faktor yang berhubungan dengan perilaku kepatuhan pasien dalam perawatan gigi dan mulut. Retived 28 Desember 2008, from http://lontar.cs.ui.id/gateway Suwelo, Suharsono Ismu. 1992. Karies Gigi Pada Anak Dengan Berbagai Factor Etiologi. Jakarta : EGC. Sukmono S, dkk. 2009. Prevalensi Karies Gigi Pada Balita Usia 3-5 Tahun. Retrived oktober, 5, 2009, from http://www.liwestile_okezone.com Sihombing, Juminah. 2010. Karakteristik Penderita Karies Gigi Yang Berobat di Rumah Sakit Umum dr. Pringadi Medan Tahun 2007. Retrived November, 15, 2010 from www.pdffactory.com Riskesda, 2007. Depkes RI. Retrived November, 29, 2010 from http://www.riskesda.com. Notoadmodjo S, 2005. Metodologi Penelititan Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. D., Zelvya P.R. 2003. Kesehatan Gigi dan Mulut. http://beta.tnial.mil.id/cakrad_cetak.
19
Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Usia Menopause pada Wanita Usia 55 tahun ke atas di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang Ari Widyaningsih*), Yuliaji Siswanto**), Umi Aniroh***) *)
Staf pengajar D IV Kebidanan STIKES Ngudi Waluyo Staf pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo *) Staf pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo **)
ABSTRAK Faktor – faktor yang mempengaruhi menopause antara lain yaitu usia menarche, faktor psikis, paritas, usia melahirkan, pemakaian alat kontrasepsi, dan merokok. Sebagian besar wanita mulai mengalami gejala pre menopause pada usia 40-an dan puncaknya tercapai pada usia 50 tahun yaitu terjadinya masa menopause dimana pada menopause ini wanita sudah tidak mengalami haid lagi. Kebanyakan wanita mengalami pre menopause selama kurang dari 5 tahun dan sebagian kecil lebih dari 5 tahun. Namun bila diambil rata – ratanya, umumnya seorang wanita akan mengalami menopause sekitar usia 45 – 50 tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor – faktor apa saja yang berhubungan dengan usia menopause pada wanita usia 55 tahun ke atas. Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua wanita usia 55 tahun ke atas di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang pada bulan Juli tahun 2011 yaitu sebanyak 684 orang. Sampel yang digunakan diambil dengan teknik simple random sampling yaitu sebanyak 252 orang. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner sebagai panduan wawancara yang berisi 6 pertanyaan. Analisis data yang digunakan adalah uji statistik chi square. Hasil penelitian dengan menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa faktor – faktor yang berhubungan dengan usia menopause yaitu, usia menarche dengan p = 0,000 (<0,05) dan alat kontrasepsi dengan p = 0,000 (<0,05). Sedangkan faktor – faktor yang tidak berhubungan yaitu, paritas dengan p = 0,840 (≥0,05) dan usia melahirkan dengan p = 0,764 (≥0,05). Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan bidan dan petugas kesehatan lebih meningkatkan perannya dalam memberikan informasi tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan usia menopause, agar wanita usia reproduktif dapat mencegah terjadinya menopause yang terlalu dini.
Kata Kunci : Menopause, Paritas, Menarche, Usia Melahirkan, Alat kontrasepsi
PENDAHULUAN Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kapan seorang wanita mengalami menopause antara lain yaitu usia menarche, faktor psikis, paritas, usia melahirkan, pemakaian alat kontrasepsi, dan merokok.1) Datangnya menstruasi tidak sama pada setiap remaja. Banyak faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut, salah satunya adalah karena gizi. Contohnya, ada remaja perempuan yang mendapatkan menstruasi pertama diusia 9 – 10 tahun, namun ada pula yang pada usia 14 tahun. Akan tetapi umumnya menstruasi terjadi pada usia sekitar 12 tahun.2) Pada abad ini umumnya nampak bahwa menarche makin dini timbul dan menopause makin lambat terjadi, sehingga masa reproduksi menjadi semakin panjang.
Walaupun demikian, di negara – negara maju rupanya menarche tidak bergeser lagi ke umur yang lebih muda, tampaknya batas maksimal telah tercapai. Menopause yang artifisial karena operasi atau radiasi umumnya menimbulkan keluhan yang lebih banyak dibandingkan dengan menopause alamiah.3) Hal ini didukung pula oleh tim penelitian Unversitas Harvard yang mengasumsikan usia menopause yang lebih lama dinilai positif karena melambangkan tingginya kemampuan reproduksi perempuan. Ironisnya di tengah - tengah kekhwatiran itu, saat ini berkembang pula istilah premature ovarium failure (POF) yaitu kondisi berhentinya haid pada usia kurang dari 45 tahun karena kegagalan produksi estrogen di dalam ovarium. Kondisi ini kemudian dikenal dengan istilah menopause dini.4)
20
Pada wanita perokok dapat mengakibatkan gangguan rahim, kanker, dan gangguan janin. Ternyata, rokok juga memicu terjadinya menopause secara dini. Ini terbukti penelitian dari Universitas Oslo. Di antara wanita sebanyak 2.123 yang berusia 59 sampai 60 tahun, mereka yang saat ini merokok, 59% lebih mungkin mengalami menopause dini dibandingkan dengan yang bukan perokok.5) Saat ini makin banyak wanita di Inggris yang melahirkan anaknya ketika usia mereka sudah diatas 40 tahun. Ini menurut data yang diambil dari kantor statistik nasional, yang memperlihatkan jumlah wanita yang melahirkan diatas usia 40 tahun bertambah dua kali lipat dalam waktu 10 tahun terakhir. Jumlah wanita yang melahirkan di usia 35 hingga 39 tahun juga bertambah tajam, sekitar 27% dari tahun 1990-an. Namun yang melahirkan di bawah usia 30 tahun, bertambah sedikit.6) Perempuan Indonesia lebih bebas memiliki jumlah anak tidak seperti di China yang hanya dibatasi memiliki 1 anak saja. Dibandingkan tahun 1970 yang rata - rata perempuan Indonesia punya 5,5 anak, data Survei Demografi dan Kesehatan 2007 menunjukkan perempuan usia subur di Indonesia punya 2,6 anak atau 2 sampai 3 anak selama hidupnya.7) Sebagian besar wanita mulai mengalami gejala pre menopause pada usia 40an dan puncaknya tercapai pada usia 50 tahun yaitu terjadinya masa menopause dimana pada menopause ini wanita sudah tidak mengalami haid lagi. Kebanyakan wanita mengalami menopause selama kurang dari 5 tahun dan sebagian kecil lebih dari 5 tahun. Namun bila diambil rata – ratanya, umumnya seorang wanita akan mengalami menopause sekitar usia 45 – 50 tahun.8) Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Kabupaten Semarang didapatkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk sementara Kabupaten Semarang adalah 931.041 orang, yang terdiri atas 457.987 laki – laki dan 473.054 perempuan. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Semarang pertahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000 – 2010 sebesar 1,02 persen. Kecamatan Ungaran Barat sebagai ibukota Kabupaten Semarang mempunyai jumlah penduduk terbanyak, yaitu 74.055 orang. Kecamatan Ungaran Barat yang mempunyai jumlah penduduk paling banyak mempunyai laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,76 persen. Sex ratio penduduk Kabupaten Semarang sebesar 97 yang artinya jumlah penduduk perempuan 3 persen lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk laki - laki. Jumlah penduduk perempuan di Kecamatan
Ungaran Barat sebanyak 38.018 orang sedangkan jumlah penduduk laki – laki sebanyak 36.037 orang. Data yang diperoleh dari hasil studi pendahuluan pada tanggal 11 Juni 2011 di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang didapatkan jumlah penduduk wanita yang berusia diatas 55 tahun yaitu sebanyak 684 orang atau sebanyak 1,79 %. Pada hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti terhadap 20 wanita usia 55 tahun ke atas, 13 diantaranya atau sebanyak 60% mengatakan mereka belum menopause, dan 7 wanita lainnya atau sebanyak 40 % mengatakan sudah menopause. Sehingga di Kelurahan Ungaran didapatkan bahwa pada wanita memiliki usia menopause yang bervariasi.
METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah analitik, yaitu penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan 9) mengapa fenomena itu terjadi. Pendekatan yang digunakan dalam adalah cross sectional dimana subyek penelitian hanya diteliti dan diobservasi atau diukur pada waktu yang bersamaan, hanya sekali saja tanpa ingin 10) mengetahui perkembangan selanjutnya. Populasi dalam penelitian ini adalah semua wanita yang berusia 55 tahun ke atas yang bertempat tinggal di wilayah Kelurahan Ungaran pada bulan Juli 2011 yaitu sebanyak 684 orang. Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan subjek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.11) Sampel dalam penelitian ini adalah wanita yang berusia 55 tahun ke atas yang sudah menopause dan dipilih secara acak sederhana yang bertempat tinggal di wilayah Kelurahan Ungaran yaitu sebanyak 252 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang pada bulan Maret - Juli 2011 dan pengambilan data dilakukan pada tanggal 4 – 17 Juli 2011. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner sebagai panduan wawancara. Kuesioner yang digunakan sebanyak 6 item pertanyaan. Analisis univariate adalah analisa yang dilakukan pada setiap variabel secara statistik deskriptif untuk mendapatkan gambaran mengenai distribusi frekuensi paritas, usia menarche, usia melahirkan, pemakaian alat kontrasepsi dan usia menopause. Analisis
21
bivariate yaitu untuk menganalisa faktor – faktor yang berhubungan dengan usia menopause. Analisis bivariate dilakukan dengan SPSS 16. dengan menggunakan uji : X2 (chi square) dengan nilai α (0,05).12)
3.
Tabel 3
Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia melahirkan di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang bulan Juli tahun 2011
Usia Melahirkan Muda Tua Total
HASIL PENELITIAN Analisis Univariate 1.
Usia Melahirkan
Frekuensi 239 13 252
Persentase (%) 94,8 5,2 100,0
Paritas Tabel 1
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa hampir seluruh responden melahirkan anaknya pada usia muda atau < 40 tahun, yaitu sebanyak 239 responden (94,8%).
Distribusi frekuensi responden berdasarkan paritas di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang bulan Juli tahun 2011
Paritas
Frekuensi
Primipara Multipara Grandemultipara Total
14 199 39 252
Persentase (%) 5,5 79,0 15,5 100,0
4. Alat Kontrasepsi Tabel 4
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki paritas 2 - 4 atau multipara, yaitu sebanyak 199 responden (79,0%).
Distribusi frekuensi responden berdasarkan alat kontrasepsi di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang bulan Juli tahun 2011
Alat Kontrasepsi Hormonal Non hormonal Tidak KB Total
Frekuensi 130 71 51 252
Persentase (%) 51,6 28,2 20,2 100,0
2. Usia Menarche Tabel 2
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa sebagian dari responden menggunakan alat kontrasepsi hormonal, yaitu sebanyak 130 responden (51,6%).
Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia menarche di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang bulan Juli tahun 2011
Usia Menarche Normal Tarda Total
Frekuensi 115 137 252
Persentase (%) 45,6 54,4 100,0
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian dari responden mengalami menarche tarda yaitu sebanyak 137 responden (54,4%).
5.
Usia Menopause Tabel 5
Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia menopause di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang bulan Juli tahun 2011
Usia Menopause Normal Lambat Total
Frekuensi 202 50 252
Persentase (%) 80,2 19,8 100,0
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa hampir seluruh responden mengalami menopause pada usia 40 – 52 tahun atau normal, yaitu sebanyak 202 responden (80,2%).
22
Analisis Bivariate 1.
Hubungan Paritas dengan Usia Menopause Tabel 6
Hubungan antara paritas dengan usia menopause pada wanita usia 55 tahun ke atas di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang bulan Juli tahun 2011
Paritas Primi Multi Grande Total
Usia Menopause Normal Lambat f % f 11 78,6 3 161 80,9 38 30 76,9 9 202 80,2 50
Total % 21,6 19,1 23,1 19,8
f
% 100,0 100,0 100,0 100,0
14 199 39 252
p value 0,840
Berdasarkan tabel 6, dapat diketahui bahwa responden yang mengalami usia menopause lambat lebih banyak terjadi pada wanita grandemultipara dibandingkan dengan primipara maupun multipara yaitu sebanyak (23,1%). Pada hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,840 (≥ 0,05), maka tidak ada hubungan antara paritas dengan usia menopause.
2.
Hubungan antara Usia Menarche dengan Usia Menopause Tabel 7
Hubungan antara usia menarche dengan usia menopause pada wanita usia 55 tahun ke atas di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang bulan Juli tahun 2011
Usia Menarche Normal Tarda Total
Usia Menopause Normal Lambat f % f 79 68,7 36 123 89,8 14 202 80,2 50
Total % 31,3 10,2 19,8
f 115 137 252
% 100,0 100,0 100,0
p value 0,000
Berdasarkan tabel 7, dapat diketahui bahwa responden yang mengalami usia menopause normal lebih banyak terjadi pada wanita yang usia menarchenya lambat dibandingkan dengan yang usia menarchenya normal yaitu sebanyak (89,8%). Pada hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,000 (≤ 0,05), maka ada hubungan antara usia menarche dengan usia menopause.
3.
Hubungan antara Usia Melahirkan dengan Usia Menopause Tabel 8
Hubungan antara usia melahirkan dengan usia menopause pada wanita usia 55 tahun ke atas di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang bulan Juli tahun 2011
Usia Melahirkan Muda Tua Total
Usia Menopause Normal Lambat f % f 192 80,3 47 10 76,9 3 202 80,2 50
Total % 19,7 23,1 19,8
f 239 13 252
% 100,0 100,0 100,0
p value 0,764
Berdasarkan tabel 8, dapat diketahui bahwa responden yang mengalami usia menopause normal lebih banyak terjadi pada wanita yang melahirkan anak terakhirnya pada usia muda dibandingkan dengan yang melahirkan pada usia tua yaitu sebanyak (80,3%). Pada hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,764 (≥ 0,05), maka tidak ada hubungan antara usia melahirkan dengan usia menopause.
4.
23
Hubungan antara Alat Kontrasepsi dengan Usia Menopause Tabel 9
Hubungan antara alat kontrasepsi dengan usia menopause pada wanita usia 55 tahun ke atas di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang bulan Juli tahun 2011
Alat Kontrasepsi Hormonal Non Hormonal Tidak KB Total
Usia Menopause Normal Lambat f % f 93 71,5 37 57 80,3 14 45 88,2 6 202 80,2 50
Berdasarkan tabel 9, dapat diketahui bahwa responden yang mengalami usia menopause lambat lebih banyak terjadi pada wanita yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal dibandingkan dengan yang menggunakan alat kontrasepsi non hormonal maupun yang tidak KB yaitu sebanyak (28,5%). Pada hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,043 (≤ 0,05), maka ada hubungan antara pemakaian alat dengan kontrasepsi usia menopause.
2.
AnalisisUnivariate Gambaran Paritas Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian besar responden memiliki paritas 2 - 4 atau multipara yaitu sebanyak 199 responden (79,0%). Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup diluar rahim (28 minggu). Fenomena tingginya jumlah paritas multipara dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tingginya tingkat kesadaran masyarakat dalam menjalankan program pemerintah yaitu Keluarga Berencana dalam rangka menekan laju pertumbuhan penduduk. Banyaknya jumlah paritas multipara di Kelurahan Ungaran dapat dilihat dari tingginya jumlah pasangan usia subur (PUS) yang menggunakan kontrasepsi yaitu sebanyak 76,25%. Hal ini sesuai data yang diperoleh dari BKKBN Provinsi Jawa Tengah pada semester I tahun 2011 yang menunjukkan bahwa tercatat 4,9 juta pasangan dari 6,9 juta pasangan usia subur (PUS) menjadi peserta aktif KB.13) Paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan grandemultipara.14)
% 28,5 19,7 11,8 19,8
f 130 71 51 252
% 100,0 100,0 100,0 100,0
p value 0,043
Gambaran Usia Menarche Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian dari responden mengalami menarche tarda yaitu sebanyak 137 responden (54,4%). Menarche adalah perdarahan pertama dari uterus yang terjadi pada seorang wanita. Menarche dibagi menjadi 2 macam, yaitu menarche prekoks dan menarche tarda. Menarche prekoks yaitu sudah ada haid sebelum umur 10 tahun, sedangkan menarche tarda yaitu menarche yang baru datang umur 14 - 16 tahun.15) Tingginya jumlah menarche tarda di Kelurahan Ungaran dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah status gizi yang kurang. Status gizi yang kurang pada seseorang dapat disebabkan karena berbagai faktor, salah satunya karena faktor ekonomi. Berdasarkan data yang diperoleh sebagian besar dari penduduk di Kelurahan Ungaran adalah petani yang tidak memiliki pendapatan tetap, sehingga status ekonomi di Kelurahan Ungaran terbilang rendah. Apabila keadaan ekonomi kurang, maka status gizi penduduknya juga cenderung kurang. Menarche terlambat terjadi pada kelompok sosial ekonomi rendah, selisih sekitar 12 bulan. Hal ini telah diteliti di India berdasarkan pendapatan per kapita. Orang yang berasal dari kelompok sosial ekonomi sedang sampai tinggi mengalami menarche lebih dini. Setelah diteliti ternyata jumlah asupan protein yang berpengaruh terhadap kejadian menarche.2)
PEMBAHASAN
1.
Total
3.
Gambaran Usia Melahirkan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa hampir seluruh responden melahirkan anaknya pada usia muda atau < 40 tahun, yaitu sebanyak 239 responden (94,8%).
24
Banyaknya jumlah wanita yang melahirkan pada usia muda di Kelurahan Ungaran dapat disebabkan karena beberapa faktor diantaranya adalah faktor budaya yang menuntut terjadinya pernikahan di usia muda, selain itu adanya faktor pendidikan yang rendah dimana masyarakat mempunyai pola pikir bahwa pendidikan tidak terlalu penting bagi kaum wanita. Hal ini sesuai dengan studi yang pernah dilakukan oleh Hidayati pada tahun 2007 yang menyebutkan bahwa terdapat 50,6% respondennya menikah pada usia muda dan mayoritas hanya berpendidikan dasar.
maka seorang wanita tersebut telah mengalami menopause.18) Perubahan – perubahan yang terjadi karena penurunan kadar esterogen antara lain, berkurangnya tenaga, gairah, konsentrasi dan kemampuan akademik, mudah tersinggung, susah tidur, rasa sepi, ketakutan,dll. Perubahan psikis ini berbeda – beda tergantung dari kemampuan setiap wanita untuk menyesuaikan diri.8)
Analisis Bivariate 1.
4.
Gambaran Alat Kontrasepsi Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden menggunakan alat kontrasepsi hormonal, yaitu sebanyak 130 responden (51,6%). Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya keunggulan yang dimiliki KB hormonal, diantaranya keefektifitasan yang tinggi, cara kerja yang cepat, tidak menggunakan alat sehingga pemakai alat kontrasepsi ini merasa lebih nyaman, selain itu KB hormonal juga terjangkau dan mudah didapat. Kontrasepsi hormonal adalah alat atau obat kontrasepsi yang bertujuan untuk mencegah kehamilan yang bahan bakunya terdiri dari hormon esterogen dan progesteron.16)
5.
Gambaran Usia Menopause Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian besar responden mengalami usia menopause pada usia 40 52 tahun yaitu sebanyak 202 responden (80,2%). Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor psikis. Berbagai perubahan psikis yang dialami oleh seorang wanita berbeda – beda, perubahan tersebut biasanya dilihat dari kesiapan seorang wanita untuk menerima bahwa dirinya akan memasuki masa menopause, sehingga dapat mempengaruhi cepat lambatnya terjadinya menopause. Menopause sebenarnya terjadi pada siklus menstruasi yang terakhir. Tetapi kepastiannya baru diperoleh jika seorang wanita tidak mengalami siklusnya selama minimal 12 bulan.17) Tidak ada cara untuk mengetahui kapan periode menstruasi seorang wanita akan berakhir atau periode menstruasi manakah yang terakhir. Untuk mengetahuinya, harus menunggu sekitar 12 bulan setelah periode menstruasi terakhir. Jika sampai saat itu tidak terjadi menstruasi,
Hubungan antara Paritas dengan Usia Menopause Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami usia menopause lambat lebih banyak terjadi pada wanita grandemultipara yaitu sebanyak (23,1%). Pada hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,840 (≥ 0,05), maka tidak ada hubungan antara paritas dengan usia menopause. Pada hasil penelitian didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara paritas dengan usia menopause, hal ini dapat disebabkan karena ada faktor lain yang menyebabkan paritas grandemultipara mengalami menopause pada usia normal misalnya karena adanya faktor psikologis, gaya hidup sehat, serta konsumsi makanan yang bergizi. Meskipun pada hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara paritas dengan usia menopause, tetapi pada proporsi tabel silang menunjukkan semakin tinggi paritas maka semakin lama seorang wanita mengalami menopause. Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa usia menopause lambat lebih banyak terjadi pada wanita grandemultipara, ternyata sesuai dengan teori Kasdu yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah paritasnya maka semakin lambat usia menopausenya, dikarenakan kehamilan dan persalinan akan memperlambat sistem kerja organ reproduksi wanita dan juga dapat memperlambat penuaan tubuh. Jumlah paritas berhubungan dengan usia menopause, karena pada saat proses kehamilan dan persalinan, kadar hormon progesteron dan esterogen meningkat. Kedua hormon tersebut sangat berperan dalam sistem reproduksi wanita, terutama dalam memproduksi sel telur di dalam ovarium. Pada umumnya setelah melahirkan, organ reproduksi wanita akan mengadakan regenerasi sel dengan bantuan
25
kedua hormon tersebut. Sehingga semakin sering seorang wanita melahirkan, maka semakin subur pula organ reproduksinya.19) 2.
Hubungan antara Usia Menarche dengan Usia Menopause Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa responden yang mengalami usia menopause normal lebih banyak terjadi pada wanita yang usia menarchenya lambat dibandingkan dengan yang usia menarchenya normal yaitu sebanyak (89,8%). Pada hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,000 (≤ 0,05), maka ada hubungan antara usia menarche dengan usia menopause. Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa usia menopause normal lebih banyak terjadi pada wanita yang usia menarchenya lambat, ternyata sesuai dengan teori Kasdu yang menyatakan bahwa wanita yang mengalami menarche lambat, maka akan semakin cepat terjadi menopause.1) Menstruasi sangat berkaitan dengan kerja hormon – hormon, keadaan status gizi seseorang sangat berpengaruh terhadap kerja hormon seksual yaitu progesteron dan esterogen yang mempengaruhi menstruasi. Cepat lambatnya menstruasi dipengaruhi oleh keadaan gizi seseorang, semakin baik status gizi seseorang semakin mematangkan organ reproduksinya sehingga mempercepat datangnya masa pubertas. Demikian pula pada masa menopause, apabila status gizinya baik maka organ reproduksinya masih berfungsi dengan baik akibat dari kerja hormon – hormon tersebut, sehingga menopause dapat terjadi lebih lambat.2)
3.
anak terakhirnya di usia tua mengalami menopause pada usia normal misalnya karena adanya faktor psikologis, gaya hidup sehat, serta konsumsi makanan yang bergizi.. Meskipun pada hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara usia melahirkan dengan usia menopause, tetapi pada proporsi tabel silang menunjukkan semakin tinggi paritas maka semakin lama seorang wanita mengalami menopause. Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa usia menopause normal lebih banyak terjadi pada wanita yang melahirkan anak terakhirnya pada usia muda, ternyata sesuai dengan teori Kasdu yang menyatakan bahwa semakin tua usia melahirkan terakhirnya maka semakin lambat usia menopausenya, dikarenakan kehamilan dan persalinan akan memperlambat sistem kerja organ reproduksi wanita dan juga dapat memperlambat penuaan tubuh.1) Usia melahirkan berhubungan dengan usia menopause disebabkan karena pada saat proses kehamilan dan persalinan, kadar hormon progesteron dan esterogen meningkat. Padahal kedua hormon tersebut sangat berperan dalam sistem reproduksi wanita, terutama dalam memproduksi sel telur di dalam ovarium. Pada umumnya setelah melahirkan, organ reproduksi wanita akan mengadakan regenerasi sel dengan bantuan kedua hormon tersebut. Sehingga semakin tua seorang wanita melahirkan anak terakhirnya maka akan semakin lambat terjadi regenerasi sel.19)
Hubungan antara Usia dengan Usia Menopause
Melahirkan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mengalami usia menopause normal lebih banyak terjadi pada wanita yang melahirkan anak terakhirnya pada usia muda dibandingkan dengan yang melahirkan pada usia tua yaitu sebanyak (80,3%). Pada hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,764 (≥ 0,05), maka tidak ada hubungan antara usia melahirkan dengan usia menopause. Pada hasil penelitian didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara usia melahirkan dengan usia menopause, hal ini dapat disebabkan karena ada faktor lain yang menyebabkan wanita yang melahirkan
4.
Hubungan antara Alat dengan Usia Menopause
Kontrasepsi
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mengalami usia menopause lambat lebih banyak terjadi pada wanita yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal yaitu sebanyak (28,5%). Pada hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,043 (≤ 0,05), maka ada hubungan antara pemakaian alat dengan kontrasepsi usia menopause. Pada saat pemakaian kontrasepsi hormonal, maka tubuh akan menerima tambahan hormon esterogen dan progesteron. Kedua hormon tersebut sangat berpengaruh pada kesuburan organ reproduksi wanita, sehingga apabila seorang wanita menggunakan alat kontrasepsi hormonal maka akan memperlambat fungsi seluruh organ reproduksinya sehingga tidak akan berhenti memproduksi sel telur (Proverawati,2010).
26
Wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal akan lebih lama/tua memasuki masa menopause, karena cara kerja kontrasepsi yang menekan fungsi indung telur sehingga memproduksi sel telur.1)
KESIMPULAN 1. Sebagian besar responden memiliki paritas 2 - 4 atau multipara, yaitu sebanyak 199 responden (79,0%) 2. Sebagian dari responden mengalami menarche tarda yaitu sebanyak 137 responden (54,4%). 3. Hampir seluruh responden melahirkan anaknya pada usia muda atau < 40 tahun, yaitu sebanyak 239 responden (94,8%). 4. Sebagian dari responden menggunakan alat kontrasepsi hormonal, yaitu sebanyak 130 responden (51,6%). 5. Hampir seluruh responden mengalami menopause pada usia 40 – 52 tahun atau normal, yaitu sebanyak 202 responden (80,2%). 6. Tidak ada hubungan antara paritas dengan usia menopause di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang (p = 0,840). 7. Ada hubungan antara usia menarche dengan usia menopause di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang (p = 0,000). 8. Tidak ada hubungan antara usia melahirkan dengan usia menopause di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang (p = 0,764). 9. Ada hubungan antara alat kontrasepsi dengan usia menopause di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang (p = 0,043). 10. Faktor – faktor yang berhubungan dengan usia menopause di Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang adalah usia menarche dan alat kontrasepsi.
2.
3.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3.
4.
5. 6.
7.
8. 9.
SARAN 1. Diharapkan agar wanita usia reproduktif tidak perlu khawatir ketika menghadapi masa menopause karena menopause merupakan keadaan fisiologis yang akan dialami oleh semua wanita, oleh karena itu agar bahagia di masa menopause sebaiknya wanita selalu berpikir positif, menerapkan pola hidup sehat, olah raga
teratur serta menghindari merokok dan alkohol. Diharapkan tenaga kesehatan khususnya Bidan dapat memberikan konseling tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan usia menopause pada wanita usia reproduktif agar dapat mencegah terjadinya menopause dini. Diharapkan bagi peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian lebih lanjut dengan memperhatikan faktor – faktor lain yang berhubungan dengan usia menopause.
10.
11.
12. 13.
Kasdu, Dini. 2002. Kiat sehat dan Bahagia di Usia Menopause. Jakarta : Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Proverawati, Atikah. 2009. Menarche Menstruasi Pertama Penuh Makna. Yogyakarta : Nuha Medika. Wiknjosastro, H. 2006. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Nirmala. 2003. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Menopause pada Wanita di Kelurahan Titi Papan Kelurahan Medan Tahun 2009. Skripsi Fakultas kesehatan Masyarakat Medan. Smart, Aqila. 2010. Bahagia di Usia Menopause. Yogyakarta : A+PLUS BOOKS. Lisa. 2003. http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/ detail.aspx?x=health+woman&y= cybermed|0|0|14|405. Diakses pada tanggal 23 Mei 2011. BKKBN. 2011. Perempuan Indonesia Rata-rata Punya 2 Sampai 3 Anak. http://banten.bkkbn.go.id/berita/318/. Diakses pada tanggal 23 Mei 2011. Proverawati, Atikah. 2010. Menopause dan Sindrome Premenopause. Yogyakarta : Nuha Medika. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT.Rineka Cipta. Nursalam. 2008. Konsep Penerapan Metodologi Penelitian Dan Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Arikunto, Suharsini. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT.Rineka Cipta. Sugiono. 2008. Statistik Untuk Penelitian. Jakarta : PT. Rineka Cipta. BKKBN. 2011. PPKBD Tentukan Kesuksesan Program KB.
27
14. 15.
16.
17.
http://www.semarangkab.go.id/utama/berita /kegiatan-pemerintahan/1138-ppkbdtentukan-kesuksesan-program-kb.html. Diakses pada tanggal 31 Juli 2011. Varney. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC. Wiknjosastro, H. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Manuaba, Ida Bagus Gede. 2008. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC Diputra, Pandu. 2006. 7 Fakta dan Tips Menghadapi Menopause. http://migas-
indonesia. net/downloadindex.php?option=com_conte nt&task=view&id=265&Itemid=34. Diakses pada tanggal 17 Maret 2011. 18. Melinda. 2009. Menopause. http://www.melindahospital. com/ modul/user/ detail_artikel.php?id_194_Menopause. Diakses pada tanggal 17 Mei 2011. 19. Progestian, Prima. 2010. Sel Telur dari Janin hingga Menopause. http://drprima.com/kandungan/sel-telurdari-janin-hingga-menopause.html. Diakses pada tanggal 27 Juli 2011.
28
Pengaruh Pemberian Etanol Per-Oral Terhadap Fungsi Sel Acini Pancreas Pada Tikus Putih Strain Wistar Rosalina*), Suwanti*) *) Staf pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo
ABSTRACT Long – term ethanol consumption can induced pancreas destruction. The pancreas destruction caused by direct toxic effect of ethanol on pancreatic acinar cells. The aims of this study was to assess how much the influenced of direct toxicethanol effect based on changes which happened on pancreatic acinar cells and pancreatic serum lipase level after ethanol administration with different concentration. This study performes on 24 adult male wistar rats (ratus norvegicus), weighing 180 – 250 gr. They were divided into 4 groups, i.e kontrol group, theatment group 1, 2 and 3. Awuades 2,5 ml/day orally was given to the rats in kontrol group, meanwhile ethanol 3%, 12% and 20% were given to the rats in treatment groups 1, 2 and 3 respectively as much as 2,5 ml/day orally each groups for 30 days. After 30 days, blood of each was taken from rats retroorbital vein preparing histological examination of pancreas. The result showed and increased level of pancreatic serum lipase. The number of pancreatic acinar cells between kontrol group and treatment groups after ethanol administration indicated significant different (p < 0,05). The correlation between the number of pancreatic acinar cells with pancreatic serum lipase level of rats indicated low and negative relationship (r = -0,342). There was strong correlation berween athanol level and the number of pancreatic acinar cells (r = -0,878). As conclusion, oral ethanol administration with different concentration induced destruction pancreatic acinar and increased pancreatic serum lipase level.
PENDAHULUAN Minuman yang mengandung etanol sudah dikenal sejak lama di Indonesia. Saat ini konsumsi etanol tidak hanya oleh kalangan dewasa, tapi sudah memasuki pergaulan remaja yang menunjukkan kecenderungan mengalami peningkatan. Adanya anggapan yang keliru di dalam masyarakat bahwa minuman keras dapat meningkatkan prestasi seseorang karena dapat berfungsi sebagai stimulant, menambahkan kecenderungan peningkatan konsumsi minuman keras (Wresniwira, 1999). DI Amerika hamper separuh penduduk telah mengkonsumsi etanol pada usia diatas 12 tahun (Apte el al., 1997). Penggunaan etanol untuk jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan gangguan fungsi tubuh dan psikis. Gangguan fungsi tubuh meliputi gangguan pada berbagai fungsi system organ tubuh manusia seperti system saraf, system kardiovaskuler, system hematologi, hepar, pankreas dan lain – lain. Adapun gangguan psikis meliputi gangguan pada kemampuan herbal, perilaku antisocial,
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan lain – lain (Wresniwira, 1999). Pankreas adalah salah satu organ yang terkena dampak penggunaan etanol. Hubungan antara penggunaan etanol dan kerusakan pada pankreas telah dilaporkan pada awal 1878 oleh Friedreich (Apte et al., 1997). Menurut Price (1993) etanol merupakan salah satu penyebab utama terjadinya pankreatitis baik akut maupun kronis. Pankreatitis alkoholik merupakan penyakit yang berpotensi untuk menjadi fatal baik akut ataupun kronis. Meskipun angka kejadian pankreatitis alkoholik dalam populasi tidak diketahui dengan pasti, tetapi para klinisi bersepkat bahwa pankreatitis alkoholik akut dan kronik mengakibatkan jumlah yang signifikan terhadap kejadian penyakit dan kematian di Amerika serikat (Apte et al., 1997). Menurut Apte et al. (1997) kerusakan yang terjadi padapankreas akibat efek toksik etanol adalah pada sel asini pankreas. Sel asini pankreas ini menghasilkan enzim – enzim yang dalam keadaan normal dibutuhkan untuk
29
mencerna nutrient yang terkandung dalam makanan seperti karbohidrat, protein dan lemak. Padapenelitian yang dilakukan padapenderita pankreatitis alkoholik, sepertiga dari penderita tidak menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan kadar amylase sehingga dianjurkan pemeriksaan lipase untuk menegakkan diagnosis pankreatitis karena kadar serum lipase bertahan untuk periode waktu yang lama dalam darah dibandingkan dengan amylase (Apte et al., 1997) Kerusakan pad apankreas akan mengakibatkan peningkatan kadar lipase dalam darah sehingga jumlah lipase yang memasuki duodenum akan menurun. Kekurangan enzim ini akan menyebabkan lemak yang memasuki usus halus tidak dapat di absorpsi dan mengakibatkan terjadinya steatorea (lemak yang berlebihan dalam feses). Pada penelitian yang dilakukan oleh Vatseba et al., (2002) disimpulkan bahwa lipase pankreas tidak secara khusus mempunyai peran yang besar dalam mengawali terjadinya pankreatitis, namun kemungkinan lipase dapat mengakibatkan bertambahnya kerusakan pankreas melalui pelepasan asam lemak bebas dan meningkatkan terjadinya nekrosisi pada orang yang mengalami pankreatitis akut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian etanol per oral dengan konsentrasi yang berbeda – beda secara terus menerus selama 30 hari terhadap pankreas khususnya fungsi sel asini pankreas dengan : 1. Mengkaji kadar lipase serum pankreas 2. Mengkaji gambaran histologik sel asini pankreas khusunya jumlah sel 3. Mengkaji korelasi antara kadar lipase serum pankreas, kadar etanol dengan jumlah sel asini pankreas.
HASIL DAN PEMBAHASAN Subjek penelitian ini berjumlah 24 ekor tikus putih (Ratus Norvwgicus) jantan dewasa strain wistar, yang dibagi menjadi 4 kelompok dengan masing – masing kelompok berjumlah 6 ekor tikus. Satu kelompok kontrol diberikan aquades dan tigakelompok perlakuan diberikan etanol 3%, 12% dan 20%. 1.
Efek Etanol terhadap jumlah sel asini pankreas Rata – rata jumlah sel asini pankreas untuk kelompok kontrol 4157,3333, sedangkan untuk kelompok perlakuan adalah perlakuan 1 etanol 3%
3997,0000., perlakuan 2 etanol 12% 3189,3333 dan perlakuan 3 etanol 20% 2600,6667. Dari nilai rata – rata jumlah sel asini pankreas terlihat adanya penurunan jika dibandingkan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Penurunan mulai bermakna padakelompok yang diberi etanol 12%. Pengujian statistik dengan anova satu jalan terhadap jumlah sel asini pankreas didapatkan Fhitung > Ftabel (34,601 > 3,03) dengan taraf kemakmuran 95%. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna ( p < 0,05) pemberian etanol per oral terhadap jumlah sel asini pankreas. (p < 0,05). Selanjutnya dilakukan uji lanjut dengan post hoc test multiple comparisons LSD dan didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompokperlakuan etanol 12% dan etanol 20%. Pada kelompok perlakuan etanol 3% tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Gambaran mikroskopis sel asini pankreas setelah pemberian etanol dapat dilihat secara mikroskopis pada Gambar B, C dan D, tampak bentuk asinus terlihat tidak jelas, sitoplasma tampak pucat dan pada gambar D terlihat adanya perlemakan.
2.
Efek Etanol pada kadar lipase pankreas dalam serum Kadar lipase pankreas dalam serum tikus setelah diberikan etanol dengan konsentrasi yang berbeda – beda dapat dilihat nilai rata – rata setiap kelompok menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan. Kadar lipase pankreas dalam serum untuk kelompok yang mendapatkan etanol 3% menunjukkan adanya penurunan dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu 135,000 U/L tapi penurunan ini tidak memberikan makna. Sedangkan untuk kelompok perlakuan etanol 12% didapatkan rata – rata kadar lipase serum pankreas 143,8333 U/L dan kelompok perlakuan etanol 20% didapatkan 157,8333 U/L. Dari hasil perhitungan statistik dengan avana satu jalan didapatkan F hitung < F tabel (2,262 < 3,03) dengan taraf kemaknaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adapengaruh yang bermakna (p > 0,05) pemberian
30
etanol per oral terhadap peningkatan kadar lipase serum pankreas. 3.
Hubungan jumlah sel asini pankreas dengan kadar lipase serum pankreas Untuk mengetahui hubungan antara jumlah sel asini penkreas dengan kadar lipase serum pankreas pada masing – masing kelompok dilakukan analisis statistik korelasi pearson product moment. Hasil analisi hubungan antara kedua variabel didapatkan r = -0,342, menunjukkan hubungan yang bersifat negative (invers). Hal ini berarti bahwa semakin sedikit jumlah sel asini pankreas maka akan semakin tinggi kadar lipase serum pankreas. Pada pengujian signifikansi koefisien korelasi didapatkan rhitung < rTabel (0,342 < 0,515) dengan taraf kepercayaan 99%, jadi hubungan antara kedua variabel rendah (Sugiyono, 2005).
4.
Hubungan Kadar Etanol dengan jumlah sel asini pankreas
statistik korelasi pearson product moment dan didapatkan r = -0,878 yang menunjukkan asanya hubungan yang bersifat negatif (invers). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kadar etanol maka akan semakin sedikit jumlah sel asini pankreas. Selanjutnya dilakukan pengujian signifikansi koefisien korelasi didapatkan rHitung > rTabel (0,878 > 0,590) dengan taraf kepercayaan 99%, jadi ada hubungan yang sangat kuat antara kedua variabel (Sugiyono, 2005)
DAFTAR PUSTAKA Berne, Robert and Matthew N Levi, 2000, Principles of Physiology, Mosby, St.Louis Guyton, Arthu, C (1996). Txtbook of Medical Physiology, W.B Sounder.Chonpany, Philadelphia Sugiyono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Untuk mengetahui hubungan natara kedua variabel dilakukan analisis
31
Studi Fenomenologis Tentang Perilaku Ibu Dalam Memberikan Asupan Makanan Pada Balita Gizi Kurang di Desa Panggang Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara Zumrotul Choiriyah*), Umi Aniroh*), Yuniar Restu**) *)
Staf pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Alumni Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo
**)
ABSTRAK Gizi kurang/buruk jumlahnya meningkat di Indonesia. Status gizi dipengaruhi oleh asupan makanan dan penyakit infeksi. Asupan makanan dipengaruhi oleh pengetahuan, cara menyajikan makanan, cara mengatasi anak susah makan, dan pelayanan kesehatan. Adanya penyakit infeksi juga berpengaruh terhadap status gizi. Penyakit infeksi akan mengakibatkan terjadinya penghancuran jaringan tubuh baik oleh bibit – bibit penyakit itu sendiri maupun untuk memperoleh protein yang diperlukan untuk pertahanan tubuh sehingga penyakit infeksi akan memperburuk taraf gizi. Desain penelitian adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam terhadap lima responden di Desa Panggang Kecamatan Jepara. Dari hasil penelitian diketahui asupan makanan yang diberikan yaitu sayur sop di campur udang, tempe, tahu, dan ikan, sayur bening, ikan laut, telur dadar, dan sayur asem. Pemahaman tentang makanan sehat ada yang sudah tahu dan ada yang belum. Cara ibu dalam menyajikan makan yaitu dengan menyajikannya di meja makan, dan kalau tidak minta makan tidak di ambilkan makanan. Cara ibu dalam mengatasi anak susah makan dengan cara di rayu, di turuti apa maunya anak, di ajak jalan – jalan, kalau tidak makan anak di marahi supaya mau makan, di beri vitamin, sambil bermain mencari belalang, memetik buah – buahan. Kadang di beri kacang, ciki, dan gedang. Rekomendasi dari peneliti 1) bagi ibu balita hendaknya memberikan perhatian yang lebih kepada anak, 2) bagi bidan desa pendeteksian sedini mungkin tentang balita gizi buruk akan mengurangi angka kejadian gizi buruk, 3) bagi peneliti perlunya menambah pengetahuan dan pengalaman nyata dalam penelitian, 4) bagi puskesmas dengan adanya gizi seimbang dapat menurunkan angka kesakitan. Kata kunci
: Ibu , Anak, Gizi Kurang
PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan termasuk keadaan gizi masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas dan taraf hidup serta kecerdasan dan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Gizi berperan dalam meningkatkan sumber daya manusia dan kualitas kehidupan. Konsumsi seorang akan zat – zat yang bergizi yang penting untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan berpengaruh pada keadaan gizi seseorang (GBHN, 1998). Keadaan gizi seseorang mempengaruhi penampilan, kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan serta daya tahan tubuh. Jika keadaan gizi seseorang tidak terpenuhi maka akan terjadi suatu keadaan kurang gizi. Sebaliknya jika konsumsi zat gizi seseorang memenuhi kebutuhan tubuhnya, maka
pertumbuhan fisik dan perkembangan mentalnya akan berlangsung baik dan keadaan sempurna, tersebut menggambarkan status keadaan gizi (Counrtney, 1997). Gizi yang baik, sangat penting untuk anak terutama pada usia sampai 5 tahun. Pada masa ini pertumbuhan berlangsung sangat cepat, sehingga memerlukan konsumsi protein dan zat pengatur (vitamin dan mineral). Perkembangan mental memerlukan lebih banyak protein, terutama untuk pertumbuhan sel otaknya. Untuk aktivitas, perlu mengkonsumsi zat tenaga, pertumbuhan sel otak sangat cepat dan akan berhenti mencapai taraf sempurna pada usia 4 sampai 5 tahun. Ketidak sempurnaan pertumbuhan ini tidak bisa diperbaiki pada masa berikutnya (Soemartono, 2000). Berdasarkan wawancara kepada petugas kesehatan, dimana petugas kesehatan menceritakan bahwa tidak semua ibu rutin
32
datang ke Posyandu. Hal ini dapat berakibat negatif terhadap anaknya karena status gizi anak tidak bisa dipantau perkembangannya, dan apabila status gizi anaknya menurun itu akan berakibat buruk terhadap anaknya karena ibu tidak mengetahui tindakan apa yang menyebabkan dan apa yang harus dilakukan. Dengan keaktifan ibu ke Posyandu akan membantu ibu untuk memantau status gizi anaknya. Selain itu petugas kesehatan juga menceritakan ibu yang jarang datang ke Posyandu karena kesibukan pekerjaan ibu dan motivasi ibu kurang untuk datang ke Posyandu. Oleh karena itu, keadaan gizi anaknya tidak bisa diukur dan sering bermasalah, ini bisa disebabkan karena ibu tidak mendapatkan informasi yang benar tentang nutrisi untuk balita dari petugas kesehatan. Dari hasil wawancara dengan ibu yang mempunyai anak gizi kurang, para ibu mengaku mengalami beberapa kesulitan dalam memberikan asupan makanan kepada anaknya. Para ibu mengatakan kesulitan menyuapi anaknya karena mempunyai anak yang selalu aktif bergerak dan bermain. Kalau tiba waktu makan anaknya susah sekali untuk disuapi, apalagi kalau anaknya sudah asyik bermain dengan teman atau dengan mainannya. Kemudian ada juga ibu yang mempunyai anak yang sukanya pilih – pilih dalam setiap makanan yang mau di makan. Ibunya mengatakan kalau anaknya susah sekali jika harus memakan sayuran. Hanya sayuran tertentu saja yang mau di makannya. Itupun hanya mau dalam beberapa sendok saja, selanjutnya sudah tidak mau makan. Lalu ada juga ibu yang mempunyai banyak anak yang masih kecil – kecil. Sehingga kalau memberi makan anaknya menunggu anaknya yang minta dulu, baru nanti disuapi. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Kabupaten Jepara pada bulan Desember tahun 2010 ada lebih dari 3.000 penderita gizi buruk dan gizi kurang yang tersebar diseluruh Kecamatan yang berada di Kabupaten Jepara. Sedangkan data yang diperoleh di Puskesmas Kecamatan Jepara terdapat sebanyak 40 kasus anak yang terdiri dari 1 anak menderita gizi buruk dan 39 anak menderita gizi kurang. Kemudian petugas Puskesmas membagi penderita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB) dan Berat Badan per Umur (BB/U). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang perilaku ibu dalam memberikan asupan makanan pada balita gizi kurang di Desa Panggang Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara, meliputi : jenis makanan yang diberikan, pemahaman ibu
tentang makanan sehat, cara ibu dalam menyajikan makanan, cara ibu dalam mengatasi apabila anak susah makan.
METODE PENELITIAN Desain yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan dari sudut fenomenologis. Fenomena disajikan secara apa adanya tanpa manipulasi dan peneliti tidak mencoba menganalisis bagaimana dan mengapa fenomena tersebut bisa terjadi, oleh karena itu penelitian jenis ini tidak perlu adanya hipotesis (Nursalam, 2003). Pada penelitian ini peneliti berusaha memahami mengenai fenomenologis tentang perilaku ibu dalam memberikan asupan makanan pada balita gizi kurang di Desa Panggang Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara. Data yang dipakai diupayakan berasal dari pendeskripsian objek penelitian terhadap fenomenologis tentang pengalaman ibu yang mempunyai anak gizi kurang baik dalam bentuk ungkapan, tindakan, cara fikir maupun cara pandang objek tersebut. Berdasarkan data Puskesmas Kecamatan Jepara, jumlah balita dengan gizi buruk di Kecamatan Panggang sebanyak 40 anak. Sehingga jumlah populasi penelitian ini adalah 40 anak. Pada penelitian ini, sampel ditentukan sebanyak 5 responden, dengan ibu yang mempunyai anak gizi kurang. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah warga di Desa Panggang Kecamatan Jepara dan waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari 2012 dan dilakukan selama 3 minggu. Wawancara dilakukan secara terpisah pada masing-masing responden dan waktu dapat disesuaikan dengan jadwal yang telah disepakati antara peneliti (pewawancara) dengan responden (ibu yang mempunyai anak gizi kurang). Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah, langkah berikutnya ialah mereduksi data yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Adapun langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Peneliti mengetik seluruh hasil wawancara ke dalam komputer secara lengkap kata demi kata. 2. Setelah mengetik peneliti mempelajari seluruh data yang tersedia dengan
33
3.
4.
5.
membaca, mempelajari dan menelaah seluruh data yang tersedia dari sumber, yaitu wawancara mendalam (indepth interview). Mencari kata kunci dari data tersebut Informasi terkecil yang dapat berdiri sendiri, artinya satuan itu harus dapat ditafsirkan tanpa informasi tambahan selain pengertian umum dalam konteks latar penelitian. Pada langkah ini hendaknya peneliti membaca dan mempelajari dari seluruh data yang telah terkumpul. Menemukan kategori-kategori dengan bertolak dari data yang sudah ada Kategori disini adalah satu tumpukan yang disusun atas dasar pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu. Menemukan hubungan di antara kategori-kategori yang ada Peneliti mencoba mengemukakan penjelasan-penjelasan mengenai hubungan di antara kategori-kategori tersebut, yaitu dengan cara mengembangkan pemikiran-pemikiran yang bersifat hipotesis berupa proposisi-proposisi yang berisi keterkaitan antar kategori.
Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data (Nursalam, 2003). Validitas merupakan derajat
ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti (Sugiyono, 2008). Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi: uji credibility (validitas internal), transferability (validitas ekternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (objektifitas).
HASIL PENELITIAN Gambar Karakteristik Responden Pada penelitian ini penulis mendapatkan data dengan berusaha melakukan eksplorasi tentang pengetahuan dan perilaku ibu dalam memberikan asupan makanan pada balita gizi kurang yang telah dilakukan dengan pendekatan induktif, yaitu dengan melakukan wawancara secara langsung terhadap ibu yang mempunyai balita gizi kurang. Pada saat wawancara berlangsung penulis merekam dengan menggunakan tape, acuan pertanyaan wawancara mendalam dan buku catatan interview. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan terhadap 5 orang responden, berikut hasil konfirmasi kasus gizi kurang Kecamatan Jepara tahun 2011:
Tabel 1 Karakteristik Responden NO 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Responden
JK
R1 R2 R3 R4 R5
L L P P P
BB (kg) 7,2 7,5 7,5 10,5 10,7
U (bl) 29 30 17 47 56
Perilaku ibu dalam memberikan asupan makanan pada balita gizi kurang 1.
Jenis makanan yang diberikan. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa terdapat 2 informan yang menyatakan bahwa mereka kesulitan memberikan nasi, sayur, setiap pagi atau sore makannya hanya sedikit, 1 informan memberi roti, ciki, permen, kadang kacang, 1 informan setiap makan harus menuruti apa yang di mau anaknya, kadang nasi dengan kecap, nasi dengan docang, sesekali dengan tempe goreng, 1 informan memberi makan untuk balitanya dengan sarimi.
TB (cm) 82 82 46 79 93
STATUS GIZI BB/U BB/TB Buruk Kurus sekali Buruk Kurus sekali Buruk Kurus Kurang Normal Kurus Normal
Dapat dikatakan bahwa secara umum balita diberikan PMT akan tetapi sebagian ibu belum mengetahui tentang jenis – jenis PMT yang harus diberikan pada balita. 2.
Bagaimana cara ibu dalam menyajikan makanan. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa terdapat 3 informan yang menyajikan makanan dengan menaruh di meja dan mengambil sendiri, 1 informan yang mengambilkan makanan untuk anaknya, dan 1 informan tidak akan memberikan makanan jika tidak anaknya yang meminta makan. Dapat dikatakan
34
bahwa sebagian responden ada yang sudah mengetahui tentang cara dalam menyajikan makanan dan ada responden yang tidak akan mengambilkan makanan kalau tidak anaknya yang minta. Ketidakmampuan dari seseorang dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup akan mencakup kebutuhan untuk makan. Kurangnya pemahaman orang tua akan kebutuhan makan yang tidak terpenuhi akan mempengaruhi status gizi seorang anak. Keadaan ini bisa diakibatkan juga karena faktor kondisi ekonomi orang tua yang menyebabkan kurangnya kebutuhan gizi untuk anaknya. Terpenuhinya asupan makanan dengan baik maka anak akan memiliki berat badan yang ideal dan memiliki status gizi yang baik. 3.
Bagaimana cara ibu mengatasi anak susah makan. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa terdapat 4 informan menyatakan bahwa dalam setiap menyuapi anaknya makan mereka selalu mengajak anaknya jalan – jalan sembari memakan makanannya, dan 1 informan dengan cara memarahi anaknya bila tidak mau makan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa cara ibu mengatasi anak susah makan pada balita yang dilakukan oleh 5 ibu secara umum belum mengetahui secara benar dan tepat bagaimana caranya menyiasati anak balita supaya mau makan makanan yang sehat dan bergizi. Dari pernyataan responden menunjukkan bahwa pemahaman bagaimana cara ibu mengatasi anak susah makan yang ditunjukkan 5 responden sebagian ibu sedikit tahu mengetahui bagaimana caranya mengatasi anaknya yang susah makan meski yang dilakukan masih belum optimal. Ibu balita sudah melakukan beberapa cara untuk mengatasi anak susah makan yaitu dengan cara merayu anaknya, menuruti apa yang di inginkan anaknya, dengan di ajak jalan – jalan, dengan memberikan vitamin, dan sambil mengajaknya bermain. Tapi semua itu masih belum mendapatkan hasil yang memuaskan karena anaknya susah makan, lebih suka jajan di sekolahan, dan makanan yang tidak selalu habis. Maka dari itu ibu balita seharusnya terus diberi dorongan motivasi untuk tetap mengatasi anak yang susah makan.
Perilaku seseorang akan terpengaruh jika terus – menerus selalu diberi motivasi untuk mengatasi anaknya yang susah makan dari orang terdekat dan nantinya ibu balita akan timbul sendiri kesadaran untuk termotivasi dan ibu akan berusaha untuk mengatasi anak yang susah makan dengan memberikan kebutuhan gizi yang diperlukan yang sesuai dengan kebutuhan balitanya.
KESIMPULAN 1.
2.
3.
Jenis makanan yang diberikan, adalah dari hasil penelitian yang di dapat adalah ibu balita sudah memberikan asupan makanan seperti telur dadar, sayur bening, ikan laut, tahu, tempe goreng, sayur asem, kadang juga di beri kacang, ciki, dan pisang. Makanan selingan diberikan 2 kali sehari di antara waktu makan, seperti : bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dsb. Cara ibu dalam menyajikan makanan, setiap dalam menyajikan makanan ada ibu yang sudah tahu cara yang benar dalam menyajikan makanan, tapi ada juga sebagian ibu yang belum tahu cara menyajikan makanan dengan benar. Setiap menyajikan makanan jangan lupa untuk selalu menjaga/menutupi masakan dengan godong saji dari debu atau hewan seperti lalat, cicak, dll. Karena jika makanan sudah di hinggapi lalat atau cicak akan mengakibatkan gejala penyakit. Maka dari itu jangan lupa untuk selalu menutup makanan supaya makanan tetap hygenis dan sehat. Memasak sayuran juga jangan terlalu lama nanti kandungan gizi yang ada bisa menghilang. Menyajikan makanan yang benar yaitu makanan terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur dan buah. Makanan yang sehat tidak harus yang mahal harganya, yang penting makanan itu mengandung sumber zat tenaga, sumber zat pembangun, dan sumber zat pengatur. Cara ibu dalam mengatasi anak susah makan, adalah beberapa ibu sudah sedikit banyak tahu tentang cara yang dilakukan untuk mengatasi anaknya yang susah makan. Seperti dengan cara merayu anaknya, menuruti apa yang di inginkannya, di ajak jalan – jalan, dengan memberi vitamin, dan sambil mengajak bermain. Selain itu, sedikit
35
berkreasi dan menghias makanan dalam memberi makan juga bisa dilakukan agar anak tertarik makan. Semua itu dilakukan ibu balita agar anaknya mau makan.
SARAN 1. Bagi ibu balita Ibu balita hendaknya tetap berusaha untuk memberikan konsumsi gizi dan memahami manfaat tentang gizi sehingga ibu mampu memberikan gizi yang baik pada balitanya. 2.
3.
Bagi petugas kesehatan Khususnya bagi bidan desa melakukan pendeteksian sedini mungkin tentang balita gizi buruk akan mengurangi angka kejadian gizi buruk di Desa Panggang Kecamatan Jepara. Bagi instansi (Puskesmas) Pemberian pendidikan kesehatan secara rutin dan teratur sebaiknya dilakukan oleh petugas kesehatan dari puskesmas supaya ibu – ibu balita di daerah tersebut tetap termotivasi dan mengerti tentang pentingnya gizi pada balita, sehingga angka kejadian gizi kurang di Desa Panggang Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara dapat menurun.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. (2001). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Amalia. (2006). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Dempsey, Patricia Ann & Arthur D. Demsey. (2002). Riset Keperawatan Buku Ajar & Latihan (alih bahasan : Palupi Widyastuti, edisi 4). Jakarta : EGC
Kemenkes RI. tidak dipublikasikan Hendra, S. (2006). The Experiment Management. Retrived 19 November 2007 from http://hendrablogspot.com Hidayat, A. Alimul Aziz. (2008). Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika Kemenkes RI. (2011). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta : Kemenkes RI. tidak dipublikasikan Kumaidi. (1994). Pentingnya Memahami Perkembangan Si Kecil. From : http://www//tabloidnova.com Moleong, Lexy J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif (alih bahasa : Semiawan, edisi revisi). Bandung : Remaja Rosda Karya Notoatmodjo Soekitjo, 2002, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineke Cipta, Jakarta. Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Kesehatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : PT. LKIS Pelangi Aksara Sediaoetama, A. Djaeni. (1999). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa Profesi. Jakarta : Dian Rakyat Supriasa. (2001). Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC Victor, S. (2008). Mengetahui Status Gizi Balita. Retrieved 20 November 2008. From : http//creasoft.wordpress.com/2008/05/01 status-gizi-versi-kms/
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000. Modul kesehatan dan gizi masyarakat khusus untuk kegiatan UPGK dan posyandu bagi kepala desa, Jakarta : Depkes RI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003. Modul Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, Jakarta : Depkes RI.
36
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Pengobatan MDT Pada Penderita Kusta Di RSK Donorojo Kabupaten Jepara Agung Wahyudi*), Yuliaji Siswanto**), Auly Tarmali**) *) *)
Alumni Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo Staf pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo
ABSTRACT Leprosy is a contagious disease caused by Microbacterium leprae, and today is still become a public health problem. Leprosy affects the medical and psychosocial aspects to the patients. Leprosy control efforts are carried out by using Multi Drug Therapy (MDT) treatment on leprosy patients, and BCG vaccination on family member who live at the same house with new patients. And one key to break the chain of transmission is MDT treatment. But in the implementation of treatment is still facing many obstacles, including the medication treatment for people with leprosy. To achieve the purpose of leprosy treatment, obedience on MDT treatment is needed. This study aim is to analyze the relationship between knowledge, family support and health communication role of MDT treatment obedience. This kind of research was correlative description with cross-sectional approach. Population in this research was all leprosy patients at RSK Donorojo in 2008 the number was 185. Large sample of 65 respondents drawn with purposive sampling technique. Statistical test used the Chi Square at 0.05 alpha. The results shows fro 65 respondents, 66.2% of respondents obey, and 33.8% disobey MDT treatment, 41.5% has medium knowledge, 43.1% gets medium family support, 69.2% has good communication with health provider. The statistical analysis shows that there is a relationship between knowledge of the MDT treatment obedience (p = 0.016), no relationship between family support with MST treatment obedience (p = 0.197), and there is no connection between the communication of health provider with MDT treatment obedience (p = 0.108) . Keys word
:
knowledge, family support, communication health provider, MDT treatment obedience
ABSTRAK Kusta adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Microbacterium leprae, dan sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta berdampak pada segi medis dan psikososial bagi yang menderitanya. Upaya pengendalian penyakit kusta dilakukan dengan pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) pada penderita kusta, dan vaksinasi BCG pada orang kontak serumah dengan penderita baru. Dan salah satu kunci pemutusan mata rantai penularan adalah pengobatan MDT. Namun dalam pelaksanaan pengobatan masih mengalami berbagai hambatan, diantaranya kepatuhan minum obat bagi penderita kusta. Untuk mencapai tujuan pengobatan kusta diperlukan kepatuhan dalam pengobatan MDT. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan, dukungan keluarga dan peran komunikasi petugas kesehatan terhadap kepatuhan pengobatan MDT. Jenis penelitian ini adalah diskripsi korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kusta yang berobat di RSK Donorojo pada tahun 2008 yaitu sebanyak 185. Besar sampel sebanyak 65 orang responden diambil dengan teknik purposive sampling. Uji statistik yang digunakan adalah Chi Square pada alfa 0,05. Hasil penelitian menunjukan dari 65 responden yang diteliti, 66,2% responden patuh dan 33,8% tidak patuh terhadap pengobatan MDT, 41,5% mempunyai pengetahuan sedang, 63,1% memiliki dukungan keluarga baik, 87,7% memiliki komunikasi dengan petugas kesehatan baik. Hasil analisa statistik mununjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan pengobatan MDT (p=0,016), tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan pengobatan MDT (p=0,197), dan tidak ada hubungan antara komunikasi petugas kesehatan terhadap kepatuhan pengobatan MDT (p=0,108). Kata Kunci
:
Pengetahuan, dukungan keluarga, komunikasi petugas kesehatan, kepatuhan pengobatan MDT
37
PENDAHULUAN Penyakit kusta atau disebut juga leprae (leprosy), juga disebut sebagai morbus hansen adalah suatu penyakit infeksi menular kronik yang digolongkan pada penyakit granulomatous yang disebabkan oleh kuman mycobacterium leprae. Gejala dan tanda awalnya ditemukan pada kulit berupa ruam hipopigmentasi seperti panu dengan berkurangnya rasa rangsangan nyeri pada ruam tersebut (anestetik). Ruam ini dapat ditemukan dimana saja di tubuh, namun yang sering pada wajah, daun telinga, badan dan lengan. Ditemukan juga gejala gangguan pada saraf perifer berupa penebalan serabut saraf dan neuropati (gangguan fungsi saraf). Kusta juga dapat menyerang sistem pernapasan atas, mata, membran selaput lendir. Kusta dapat menular melalui kontak kulit dengan penderita atau melalui bersin.1) Permasalahan penyakit kusta bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat.2) Jumlah penderita kusta baru di dunia tahun 2008 adalah mencapai 212.802, dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional atau wilayah Asia Tenggara (133.422) diikuti Afrika (40.830), Amerika (32.904) dan sisanya berada di wilayah regional lain di dunia. Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000, sehingga penyakit kusta tidak lagi menjadi masalah kesehatan. Indonesia sudah mencapai eliminasi pada tahun 2000, namun demikian berdasarkan data yang dilaporkan jumlah penderita baru di Indonesia sampai saat ini tidak menunjukan adanya penurunaan yang bermakna, yaitu pada tahun 2008 jumlah penderita kusta masih mencapai 17.243 yang malah mengalami peningkatan dari tahun 2007 yaitu 17.000. Masalah ini menempatkan Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia setelah India dan Brasil.3) Adanya kemajuan teknologi di bidang promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di bidang pemberantasan
penyakit menular, seharusnya penyakit kusta sudah dapat diatasi dan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Akan tetapi dalam kenyataannya masih saja timbul penderita baru, walaupun sudah dilakukan upaya pengendalian atau pemutusan mata rantai penularan, yaitu dengan pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) pada penderita kusta, dan vaksinasi BCG pada orang kontak serumah dengan penderita baru. Dari hasil penelitian WHO di Malawi pada tahun 1996 didapatkan bahwa secara klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang belum tentu merupakan faktor penular, penularan hanya tergantung pada tingkat keganasan microbacterium leprae dan daya tahan tubuh penderita.4) Masalah penyakit kusta ini diperberat dengan kompleksnya epidemiologi dan tingkat pengetahuan yang menyebabkan penderita kusta yang berobat sudah dalam keadaan cacat, sebagai akibat masih adanya stigma dan kurangnya pemahaman tentang penyakit kusta dan akibat yang ditimbulkannya di sebagian masyarakat Indonesia. Sebagai keterlambatan pengobatan penderita adalah penularan masih terus berjalan sehingga kasus baru banyak bermunculan. Keadaan ini tentu akan menghambat pencapaian tujuan penberantasan penyakit kusta. Penyakit kusta sendiri sampai saat ini juga masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga termasuk juga sebagian petugas kesehatan disebabkan oleh karena takut tertular, dan kurangnya pengetahuan atau pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Penyakit kusta bila tidak ditangani secara tepat dapat menimbulkan kecacatan dan keadaan ini menjadi halangan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi.2) Menurut buku petunjuk pedoman pemberantasan penyakit kusta, salah satu cara yang tepat untuk memutus mata rantai penularan penyakit kusta adalah dengan pengobatan MDT (Multi Drug Teraphy) yaitu dengan pemberian blister obat MDT yang masing-masing blister terdiri dari Dapson, Rifampisin, Lamprene yang dikomsumsi berbeda-beda oleh penderita kusta. Pada penderita tipe Pausi Basiler (PB) harus mengkonsumsi 6 blister dalam kurun waktu 6-9 bulan, dan untuk tipe Multi Basiler (MB) harus mengkonsumsi 12 blister dalam kurun waktu 12-18 bulan.5) Menurut Sarafino (1990) dalam Smert (1994) menyebutkan bahwa kepatuhan pengobatan adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau petugas kesehatan.6) Kepatuhan pengobatan MDT adalah tingkat dimana penderita kusta menyelesaikan regimen MDT
38
pada kurun waktu yang telah ditentukan. Kepatuhan pengobatan MDT merupakan salah satu kunci keberhasilan pemberantasan penyakit kusta. Menurut Dirjen P2M penyakit kusta, penderita kusta yang telah menyelesaikan pengobatan MDT dengan dosis yang telah dipenuhi dan tidak terlambat dalam mengambil obat pada waktu yang telah ditentukan, dinyatakan sembuh dan tidak lagi menjadi sumber penularan tanpa pemerikasaan laboratorium. Menurut Smert (1994), kepatuhan minum obat atau berobat dapat menurunkan tingkat kesakitan penderita atau dapat mencapai tingkat kesembuhan dari kesakitan. Tingkat kepatuhan minum obat untuk menyembuhkan kesakitan sangat berbeda-beda dari jenis penyakit. Untuk penyakit akut dengan cara pengobatan jangka pendek tingkat kepatuhannya mencapai 78%, sedangkan untuk penyakit kronis dengan pengobataan jangka panjang tingkat kepatuhannya hanya mencapai 58%.6) Menurut Notoatmodjo (2003) faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan adalah pengetahuan, pendidikan, sikap, lama waktu pengobatan, kepercayaan, motivasi atau dukungan dari berbagai pihak misalnya teman, kerabat, keluarga, dan juga peran petugas kesehatan dalam hal komunikasi dan motivasi terhadap penderita.7) Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya tindakan seorang. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, maka didalam diri orang tersebut terjadi proses kesadaran atau pengetahuan terhadap suatu objek, minat, penilaian, uji coba hingga akhirnya penerimaan perubahan. Dukungan atau motivasi informal (teman, keluarga) sangat menentukaan proses pengobatan. Dorongan pengobatan tidak sepenuhnya karena variabel umur atau jenis kelamin pasien, tempat praktek, akan tetapi harus juga melihat tipe interaksi atau komunikasi antara pasien dengan perawat atau petugas kesehatan.6) Penanganan penyakit kronis juga membutuhkan penanganan dengan pendekatan interpersonal, mulai dari aspek preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif sejak di tingkat pelayanan kesehatan primer, sehingga disini peran interaksi atau komunikasi antara pasien dengan petugas kesehatan sangat diperlukan dalam menentukan keberhasilan pengobatan MDT penderita kusta. Menurut studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Rumah Sakit Kusta Donorojo pada 10 penderita kusta yang melakukan pengobatan MDT. Dalam wawancara tersebut didapatkan hasil sementara bahwa tingkat pengetahuan penderita kusta dari
6 (60%) berpengetahuan baik, dan dari 4 (40%) penderita kusta melakukan pengobatan karena mendapat dukungan dari keluarga. Peran komunikasi petugas kesehatan yang dirasakan oleh penderita kusta cukup baik karena 8 (80%) penderita banyak mendapat informasi dan motivasi dari petugas untuk menyelesaikan pengobatan. Dari data Dinas Kesahatan Jawa Tengah jumlah penderita kusta di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2006 mencapai 1486 penderita. Sedangkan dari data di Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara jumlah penderita di Kabupaten Jepara pada tahun 2006 mencapai 73 penderita, 9 penderita PB dan 64 penderita MB. Tahun 2007 jumlah penderita baru sebanyak 77 penderita dengan keseluruhan tipe MB. Tahun 2008 berjumlah 77 penderita, 6 penderita PB dan 71 penderita MB.8) Rumah Sakit Kusta Donorojo yang terletak di Kabupaten Jepara sebagai rumah sakit rujukan bagi penderita kusta yang tidak dapat diatasi dan memerlukan perawatan sesuai dengan pelayanan rumah sakit kusta. Pada RSK Donorojo total kunjungan untuk MDT pada tahun 2006 mencapai 92 penderita, tahun 2007 sebanyak 112 penderita, dan pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebanyak 185 penderita kusta. Dari peningkatan jumlah pengobatan MDT di RSK Donorojo dari tahun ke tahun, diikuti terjadinya peningkatan angka Drop out (DO) pengobatan MDT di RSK Donorojo, dimana tahun 2006 terjadi angka DO sebanyak 26 (28,3%) dan meningkat pada tahun 2007 sebanyak 38 (33,9%). Terjadinya DO merupakan salah satu bentuk ketidakpatuhan dalam pengobatan, sedangkan kepatuhan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pengobatan dan pemberantasan penyakit kusta. Berdasarkan permasalahanpermasalahan tersebut peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobataan MDT pada penderita kusta di Rumah Sakit Kusta Donorojo. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi, dimana peneliti berusaha menggambarkan kenyataan yang ada tentang keadaan yang dijumpai secara objektif untuk melihat hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain. Desain penelitian yang digunakan adalah observasional yaitu hanya melakukan pengamatan saja tanpa melakukan intervensi dengan menggunakan pendekatan cross sectional yaitu melakukan pengukuran
39
variabel-variabelnya hanya satu kali pada satu saat.9) Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian.10) Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kusta yang berobat di RSK Donorojo pada tahun 2008 yaitu sebanyak 185. Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya.9) Jadi sampel pada penelitian ini adalah penderita kusta yang berobat di RSK Donorojo pada tahun 2008. Penentuan besar sampel dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : 11)
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai pekerjaan sebagai petani yaitu 24 responden (37,0 %) .
2. Jenis Kelamin Tabel 2
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
N n= 1 + N (d2) Keterangan : N = besar populasi (185) n = besar sampel d = tingkat kepercayaan/ ketepatan (90%→0,1)
Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 65 responden yang diambil dengan menggunakan tekhnik purposive sampling. Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik yang diperlukan dalam suatu penelitian.12) Instrumen yang digunakan adalah kuesioner, dimana pertanyaan bersifat terstruktur. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan literatur yang ada. Tehnik pengumpulan data yang digunakan yaitu kuesioner diisi sendiri oleh responden. Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dengan bantuan komputer menggunakan program SPSS versi 12.0, dan dilakukan analisis univariat dan bivariat dengan uji chi-square (α = 0,05) karena skala data yang digunakan bersifat kategorik.13) HASIL PENELITIAN
1. Pekerjaan Tabel 1 Distribusi frekuensi pekerjaan responden yang melakukan pengobatan MDT di RSK Donorojo Kabupaten Jepara tahun 2008 Pekerjaan Tidak bekerja Pedagang Petani Buruh PNS Nelayan Peternak Tukang ojek Jumlah
Frekuensi 21 8 24 7 2 1 1 1 65
Persentase 32,3 12,3 37,0 10,8 3,1 1,5 1,5 1,5 100,0
Frekuensi 34 31 65
Persentase 52,3 47,7 100,0
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa 34 responden (52,3%) berjenis kelamin laki-laki, dan 31 responden (47,7%) berjenis kelamin perempuan.
3.
Umur Tabel 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur yang melakukan pengobatan MDT di RSK Donorojo Kabupaten Jepara tahun 2008
Umur <20 21-40 >41 Jumlah
Frekuensi 1 20 44 65
Persentase 1,5 30,8 67,7 100,0
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahuai bahwa 44 responden (67,7%) berumur >41 tahun, 20 responden (30,8%) berumur 21-40 tahun, dan 1 responden (1,5%) berumur <20 tahun. 4.
Karakteristik Responden
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin yang melakukan pengobatan MDT di RSK Donorojo Kabupaten Jepara tahun 2008
Pendidikan Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan yang melakukan pengobatan MDT di RSK Donorojo Kabupaten Jepara tahun 2008
Pendidikan Tidak sekolah SD SLTP SLTA Perguruan tinggi Jumlah
Frekuensi 9 37 12 6 1 65
Persentase 13,8 56,9 18,5 9,3 1,5 100,0
Berdasarkan tabel 4 didapatkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan SD yaitu 37 responden (56,9%).
40
Analisis Univariat 1. Tingkat Pengetahuan Tabel 5 Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Penyakit Kusta yang melakukan pengobatan MDT di RSK Donorojo Kabupaten Jepara tahun 2008 Pengetahuan Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Frekuensi 18 27 20 65
3.
Tabel 7 Tingkat Komunikasi Petugas Kesehatan Terhadap Responden yang melakukan pengobatan MDT di RSK Donorojo Kabupaten Jepara tahun 2008
Persentase 27,7 41,5 30,8 100,0
Komunikasi petugas kesehatan Kurang Baik Jumlah
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa 27 responden (41,5%) berpengetahuan sedang, 20 responden (30,8%) berpengetahuan tinggi, dan 18 responden (27,7%) berpengetahuan rendah.
2.
Dukungan Keluarga Sedang Baik Jumlah
Frekuensi 24 41 65
Persentase 36,9 63,1 100,0
Berdasarkan tabel 6 didapatkan bahwa 41 responden (63,1%) mempunyai dukungan keluarga baik, sedangkan 24 reponden (36,9%) mempunyai dukungan keluarga sedang
Frekuensi
Persentase
8 57 65
12,3 87,7 100,0
Berdasarkan tabel 7 didapatkan bahwa 57 responden (87,7%) mempunyai komunikasi dengan petugas kesehatan baik, sedangkan 8 responden (12,3%) mempunyai komunikasi dengan petugas kesehatan sedang.
Tingkat Dukungan Keluarga Tabel 6 Tingkat Dukungan Keluarga Terhadap Responden yang melakukan pengobatan MDT di RSK Donorojo Kabupaten Jepara tahun 2008
Tingkat Komunikasi Petugas Kesehatan
4.
Tingkat Kepatuhan Pengobatan Tabel 8 Tingkat Kepatuhan Pengobatan Responden yang melakukan pengobatan MDT di RSK Donorojo Kabupaten Jepara tahun 2008 Kepatuhan Tidak patuh Patuh Jumlah
Frekuensi 22 43 65
Persentase 33,8 66,2 100,0
Berdasarkan tabel 8 didapatkan bahwa sebagian besar responden patuh dalam pengobatan yaitu 43 responden (66,2%).
Analisis Bivariat 1.
Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Kepatuhan Pengobatan Tabel 9 Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Kepatuhan Pengobatan
Pengetahuan Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Tidak Patuh f % 11 61,1 6 22,2 5 25,0 22 33,8
Kepatuhan Patuh f % 7 38,9 21 77,8 15 75,0 43 66,2
Jumlah f % 18 27,7 27 41,5 20 30,8 65 100,0
p value 0,016
Menurut data diatas responden yang patuh dalam pengobatan kebanyakan berpengetahuan sedang 21 (77,8%) dan berpengetahuan tinggi 15 (75%), sedangkan responden yang tidak patuh dalam pengobatan kebanyakan berpengetahuan rendah yaitu 11 responden (61,1%). Dari tabel 9 menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan pengobatan dimana p = 0,016.
41
2.
Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Pengobatan Tabel 10 Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Pengobatan Dukungan Keluarga Sedang Baik Jumlah
Tidak Patuh f % 11 45,8 11 26,8 22 33,8
Kepatuhan Patuh f % 13 54,2 30 73,2 43 66,2
Jumlah f % 24 36,9 41 63,1 65 100,0
p value 0,197
Menurut data diatas responden yang patuh dalam pengobatan mempunyai dukungan keluarga baik sebesar 30 (73,2%), lebih besar dari pada dukungan keluarga sedang yaitu 13 (54,2%). Sedangkan responden yang tidak patuh dalam pengobatan mempunyai dukungan keluarga sedang yaitu 45,8 % lebih besar dari pada dukungan keluarga baik yaitu 26,8%. Dari tabel 4.10 menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan kepatuhan pengobatan dengan nilai p = 0,197. 3.
Hubungan Antara Komunikasi Petugas Kesehatan Dengan Kepatuhan Pengobatan Tabel 11 Hubungan Antara Komunikasi Petugas Kesehatan Dengan Kepatuhan Pengobatan Komunikasi Petugas Kesehatan Sedang Baik Jumlah
Tidak Patuh f % 5 62,5 17 29,8 22 33,8
Kepatuhan Patuh f % 3 37,5 40 70,2 43 66,2
Menurut tabel diatas responden yang patuh memilki tingkat komunikasi dengan petugas kesehatan baik sebanyak 40 responden (75,6%) lebih besar dari pada responden yang mempunyai komunikasi dengan petugas kesehatan sedang yaitu 3 (37,5%), sedangkan responden yang tidak patuh dalam pengobatan memiliki komunikasi dengan petugas kesehatan sedang sebanyak 62,5% lebih besar dari pada responden yang mempunyai komunikasi dengan petugas kesehatan baik yaitu 29,8%. Dari tabel 11 menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara komunikasi petugas kesehatan dengan kepatuhan pengobatan, dengan nilai p = 0,108.
PEMBAHASAN Analisis Univariat 1.
Gambaran Pengetahuan Penderita Kusta Hasil penelitian tentang pengetahuan penderita kusta menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan sedang yaitu sebesar 41,5%. Pada tingkat pengetahuan yang tergolong sedang ini,
Jumlah % 8 12,3 57 87,7 65 100,0
p value
f
0,108
sebagian besar responden yaitu 55,4% hanya mampu menjawab 1 dari 4 kriteria penyakit kusta. Dan sebagian besar responden yaitu 96,9% berpengetahuan tinggi tentang pengobatan kusta dan cara pencegahan kusta. Hal ini ditunjukan dengan seluruh responden yaitu 100% mengerti siapa yang melakukan pengobatan, 96,9% mengetahui tempat untuk melakukan pengobatan, dan 80,0% mengerti berapa lama pengobatannya. Hal ini dikarenakan pada pengambilan obat, waktu yang tersedia hanya sebentar dan informasi yang didapat hanya tentang pengobatan kusta saja. Pengetahuan sedang yang dimiliki responden mungkin dipengaruhi pemberian informasi oleh petugas kesehatan pada waktu pengambilan obat maupun informasi yang didapat dari keluarga. Informasi dari petugas kesehatan inilah yang menjadi dasar penderita kusta mengerti tentang penyakit yang dideritanya. Semakin banyak informasi yang didapat penderita kusta maka semakin baik pula pengetahuan penderita kusta. Menurut pendapat Latipun (2001) yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pengetahuan adalah sosial ekonomi keluarga, inteligensi, motivasi,
42
informasi, pelayanan kesehatan, fasilitas dan sosial budaya.14) Menurut Purwanto (2003) bahwa pengetahuan seseorang yang di dapat baik melalui pendidikan formal atau non formal, maupun yang didapatkan dari pergaulan sehari-hari dengan orang lain, media informasi dan penyuluhan di tempat pelayanan kesehatan, sebagai dasar untuk bertindak atau melakukan perilaku baru. Penderita kusta dengan informasi yang terbatas ataupun yang tidak mendapatkan informasi, mereka tidak mampu berpikir kritis dan kurang mampu merencanakan sesuatu dengan baik. Informasi yang baik akan dapat membantu dalam membentuk perilaku yang lebih baik pula dan melalui informasilah individu bisa meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang lebih baik.
2.
Gambaran Dukungan Keluarga Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai dukungan keluarga baik yaitu sebesar 63,1%. Menurut Friedman (1998) faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga adalah umur, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, budaya, dan lingkungan.15) Dukungan keluarga yang tergolong baik ini dapat ditunjukan dari hasil penelitian yaitu sebagian besar responden (73,8%) selalu diingatkan untuk mengambil obat. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa responden banyak mendapatkan informasi dari keluarga tentang pengobatan kusta, dan kepedulian keluarga terhadap perkembangan yang dialami responden. Banyaknya dukungan informasi yang diberikan keluarga terhadap penderita kusta, dipengaruhi oleh cukupnya pengetahuan keluarga tentang penyakit kusta. Secara keseluruhan responden banyak mendapatkan dukungan keluarga berupa informasi, dan emosional, tetapi kurang dalam hal biaya dan penyediaan sarana dan prasarana dalam pengambilan obat. Beberapa dukungan inilah yang dibutuhkan penderita kusta untuk melakukan tindakan atau perilaku kesehatan. Menurut Friedman (1998) peran dukungan keluarga terdiri dari kemampuan mengkomunikasikan gagasan dan perasaan, menyusun dalam menentukan pembagian tugas keluarga, saling berinteraksi, melindungi antara sesama
anggota keluarga, saling berpartisipasi untuk menolong anggota keluarga yang sakit.15) Perlunya dukungan keluarga telah diakui dibanyak bidang kehidupan mulai dari perawatan kesehatan fisik sampai pada perawatan kesehatan mental, penderita menerima dukungan emosional dari orang lain dapat membantu mereka mengatasi hambatan atau membentuk perilaku baru, dukungan keluarga ini sangat penting bagi kesembuhan penderita kusta atau pencegahan kekambuhan. Gangguan fisik yang diderita penderita kusta dimana penderita kusta tidak mampu melakukan kebutuhan secara sendiri, hal seperti ini harus diimbangi oleh keluarga dengan memberikan dorongan atau dukungan dan memberikan semangat kepada penderita kusta. Disinilah peran penting dukungan dari keluarga terhadap penderita kusta untuk membantu memenuhi kebutuhan penderita kusta.
3. Gambaran Komunikasi Petugas Kesehatan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai komunikasi dengan petugas kesehatan baik yaitu sebesar 87,7%. Komunikasi antara responden dengan petugas kesehatan yang tergolong baik ini dikarenakan perhatian petugas kesehatan terhadap responden, ditunjukan dengan pemberian senyum dan pemberian kesempatan untuk bertanya. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa sebagian besar responden banyak mendapatkan penjelasan tentang tujuan pengobatan MDT. Secara keseluruhan responden mendapatkan perhatian, dukungan, dan informasi dari petugas kesehatan, sehingga berpengaruh pada baiknya komunikasi petugas kesehatan. Menurut Subijanto (2009) faktorfaktor yang mempengaruhi komunikasi pada petugas kesehatan yaitu keadaan, tuntutan profesi, pengetahuan, lingkungan, dan sikap. Dilihat dari hasil penelitian juga, responden banyak mendapatkan informasi, perhatian, dukungan mengenai pengobatan, hal ini menandakan tuntutan profesi sebagai petugas kesehatan untuk melakukan komunikasi terapeutik yang baik terhadap klien atau penderita kusta. Petugas kesehatan memiliki peranan penting untuk menentukan keberhasilan pengobatan MDT. Kemampuan petugas kesehatan dalam hal ini berperan
43
sebagai komunikator yaitu mencakup keahliahan atau kredibilitas daya tarik dan keterpercayaan merupakan faktor yang sangat berpengaruh dan menentukan keberhasilan dalam komunikasi. Sakit yang diderita penderita kusta bukan hanya sakit secara fisik saja, namun psikososial. Penyebabnya bisa dikarenakan oleh proses adaptasi dengan lingkungannya sehari-hari. Keadaan demikian menyebabkan penderita kusta yang baru terasa asing dan cenderung gelisah atau takut. Disinilah komunikasi petugas kesehatan mempunyai peran yang sangat besar dalam memberikan dorongan, informasi kepada penderita kusta.
4. Gambaran Kepatuhan Pengobatan MDT Pada Penderita Kusta Hasil penelitian tentang kepatuhan pengobatan MDT menunjukkan bahwa sebagian besar responden patuh dalam pengobatan MDT yaitu sebesar 66,2% dan yang tidak patuh sebanyak 33,8%. Masih terdapatnya responden yang tidak patuh dalam pengobatan dikarenakan sebagian besar responden yaitu 56,9% hanya berpendidikan SD hal ini akan mengakibatkan kurangnya pengetahuan tentang kusta. Selain dari pendidikan, sebagian besar responden juga mempunyai pekerjaan sebagai petani yaitu 37,0%, maka waktu responden lebih banyak di sawah dari pada untuk mengambil obat. Menurut Suyatno (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi tidak selesainya pengobatan adalah keadaan geografis, pendidikan, sikap, dukungan, motivasi dan kepercayaan. Banyaknya penderita kusta yang patuh dalam pengobatan, merupakan suatu hal yang mendukung dalam program pemberantasan penyakit kusta. Responden yang patuh dalam pengobatan MDT tidak lagi menjadi sumber penularan penyakit kusta. Tetapi sebaliknya responden yang tidak patuh akan menimbulkan ketidak sembuhan dan menjadi sumber penularan, dan akan menyebabkan resistensi terhadap obat.
Analisis Bivariat 1. Hubungan Pengetahuan Penderita Kusta Dengan Kepatuhan Pengobatan MDT Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden yang patuh kebanyakan berpengetahuan sedang (77,8%) dan tinggi yaitu (75,0%), sedangkan responden yang tidak patuh kebanyakan
berpengetahuan rendah yaitu (61,1%). Dari data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa semakin baik tingkat pengetahuan yang didapat penderita kusta, semakin meningkat pula tingkat kepatuhan dalam pengobatan. Hal ini sesuai dengan Notoatmodjo (2003) yaitu semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka akan mempengaruhi terhadap perilaku.11) Setelah dilakukan analisis data dengan menggunakan uji statistik chi square dengan nilai p=0,016 < α (0,05), yang berarti ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan penderita kusta dengan kepatuhan pengobatan MDT. Hal ini sependapat dengan penelitian yang dilakukan Triyanto (2009) tentang hubungan tingkat pengetahuan dan sikap penderita tuberkulosis paru dengan kepatuhan berobat di RSUD Kabupaten Karanganyar, didapatkan hasil ada hubungan antara sikap dengan kepatuhan berobat, dengan nilai p = 0,008 < 0,05. Salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan minum obat adalah pengetahuan, menurut Notoatmodjo (2003), kegiatan belajar untuk memperoleh pengetahuan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja.11) Seseorang dapat dikatakan belajar apabila dalam dirinya terjadi perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak dapat mengerjakan menjadi dapat mengerjakan sesuatu. Belajar dapat diperoleh dari media masa, media cetak serta ligkungan. Terbentuknya suatu perilaku baru terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dimana responden terlebih dahulu mengerti tentang kusta, sehingga akan menimbulkan pengetahuan baru pada responden tersebut. Hal ini akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap responden terhadap kusta yang diketahuinya. Akhirnya rangsangan yakni pengertian kusta yang telah diketahuinya, dan di sadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan.11) Tindakan-tindakan tersebut dapat berupa kepatuhan dalam pengobatan yang sesuai dengan prinsip pengobatan kusta yaitu penderita kusta yang patuh dalam pengobatan akan sembuh dan dapat membunuh bakteri penyebab kusta.
2. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Pengobatan MDT Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan kepatuhan
44
pengobatan MDT dengan nilai p = 0,197> 0,05 (α). Hal ini tidak sesuai dari hasil penelitian yang dilakukan Warsito (2009) tentang hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada fase intensif pada penderita TB di Puskesmas Pracimantoro Wonogiri, yang didapatkan ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat, dengan nilai p = 0,000 < 0,05.16) Dukungan keluarga dalam penelitian ini kurang berperan dalam kepatuhan pengobatan, hal ini ditunjukan dengan tidak adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan pengobatan, faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan dalam penelitian ini sebenarnya adalah dari dalam diri responden, yaitu pengetahuan tentang kusta, maupun faktor dari sosial ekonomi responden. Responden yang patuh dalam pengobatan memiliki dukungan keluarga baik sebesar 30 (73,2%), sedangkan responden yang tidak patuh memiliki dukungan keluarga sedang yaitu 45,8%. Menurut Friedman (1998) dukungan keluarga terdiri dari empat aspek yaitu informasi, emosional, dan aspek penilaian atau penghargaan, serta aspek instrumental.15) Adanya dukungan sosial keluarga yang baik dapat mendukung penderita kusta dalam menjalani pengobatan. Dukungan sosial keluarga ini dapat membantu penderita kusta mengatur obat yang diminum, perluya dukungan keluarga telah diakui di banyak bidang kehidupan mulai dari perawatan kesehatan fisik sampai pada perawatan kesehatan mental. Penderita yang menerima dukungan emosional dari orang lain dapat membantu mereka mengatasi hambatan atau belajar keterampilan atau perilaku baru, dukungan keluarga ini sangat penting bagi kesebuhan penderita kusta. Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan internal, seperti dukungan dari suami/ istri atau dukungan dari saudara kandung. Dukungan keluarga eksternal ini berasal dari keluarga besar, dimana kini keluarga besar dapat memberikan dukungan sosial yang paling penting bagi keluarga inti. kebanyakan kaum dewasa hidup dalam komunitas dimana mereka membuat satu kontak atau lebih dengan orang tua atau kerabat dekat yang masih hidup.15) Mengasuh dan merawat penderita kusta bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, karena hal ini memerlukan pengetahuan, ketrampilan, kemauan, pengabdian, dan kesabaran sehingga peran yang diberikan oleh keluarga sesuai dengan yang
dibutuhkan penderita kusta. Keluarga penderita kusta harus memiliki kemampuan khusus dalam mengasuh dan merawat penderita kusta untuk mencapai keberhasilan pengobatan MDT. Kehilangan support mental keluarga merupakan tidak adanya atau hilangnya dukungan keluarga dalam merawat penderita kusta yang dapat berbentuk perlakuan salah keluarga terhadap penderita kusta. Kehilangan dukungan sosial dari keluarga ini dapat menyebabkan penderita kusta menghentikan pengobatan. Derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial secara negatif berhubungan dengan kepatuhan. Peningkatan dukungan sosial keluarga diikuti peningkatan kepatuhan penderita kusta dalam pengobatan MDT, sebaliknya rendahnya dukungan keluarga terhadap penderita kusta akan diikuti oleh rendahnya kepatuhan penderita kusta dalam pengobatan MDT. 3. Hubungan Komunikasi Petugas Kesehatan Dengan Kepatuhan Pengobatan MDT Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara komunikasi petugas kesehatan dengan kepatuhan pengobatan, dengan nilai p=0,108 lebih besar dari 0,05 (α). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kristiana (2003) tentang pengaruh komunikasi petugas kesehatan terhadap perilaku kepatuhan berobat penderita pulpitis di poli gigi Puskesmas Pucang Sewu, didapatkan hasil ada hubungan antara komunikasi petugas kesehatan dengan kepatuhan berobat penderita pulpitis, dengan nilai p = 0,02 < 0,05. 17) Komunikasi petugas kesehatan dalam penelitian ini kurang berperan dalam kepatuhan pengobatan dikarenakan pada waktu pengambilan obat responden hanya mendapatkan informasi tentang pengobatan saja. Jadi faktor yang berpengaruh dalam penelitian ini adalah faktor intern dari responden sendiri yaitu diantaranya pengetahuan, jarak lokasi tempat pengambilan obat. Responden yang patuh memiliki tingkat komunikasi dengan petugas kesehatan baik sebanyak 75,6%, dan responden yang tidak patuh dalam pengobatan memiliki komunikasi dengan petugas kesehatan sedang 62,5%. Komunikasi interpersonal yang baik antara petugas dengan penderita kusta sangatlah penting, karena turut berperan dalam menentukan proses penyembuhan.
45
Dengan berkomunikasi yang baik, penderita kusta akan termotivasi untuk minum obat secara teratur dan tidak terputus, sesuai dengan dosis yang telah ditentukan. Motivasi ini timbul setelah penderita mengetahui bahwa penyakit kusta dapat menyebabkan kecacatan dan dapat menular kepada anggota keluarganya, akan tetapi dapat disembuhkan dengan minum obat secara teratur serta memantau gejala-gejala yang perlu diwaspadai. Mengingat waktu yang tersedia di sarana pelayanan kesehatan bagi penderita kusta terbatas, tidaklah mungkin memberikan informasi kepada penderita terlalu banyak. Meskipun demikian waktu yang terbatas tersebut harus dipergunakan seefektif mungkin untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan. Oleh karena itu proses komunikasi perlu dilakukan secara terstruktur,. Informasi yang diberikan sebaiknya singkat, jelas, padat dan sederhana, pesan disusun sedemikian rupa sehingga timbul komunikasi yang timbal balik antara petugas kesehatan dan penderita. Komunikasi interpersonal yang baik akan memberikan rasa nyaman sehingga penderita mau menjelaskan penyakit yang dideritanya serta bertanya tentang apa yang belum dipahami. Diharapkan komunikasi antara petugas kesehatan dengan penderita kusta di setiap pelayanan kesehatan dapat berjalan efektif, sehingga terjadinya kegagalan komunikasi dapat dihindari. Dalam melakukan komunikasi, petugas kesehatan harus mampu memberikan pertanyaan, menjelaskan hal-hal yang penting serta memastikan apakah penderita mengerti apa yang dibicarakan.
KESIMPULAN 1. Penderita kusta yang melakukan pengobatan MDT di RSK Donorojo sebagian besar mempunyai pengetahuan tentang penyakit kusta sedang yaitu sebesar 41,5 %. 2. Penderita kusta yang melakukan pengobatan MDT di RSK Donorojo sebagian besar mempunyai dukungan keluarga baik yaitu sebesar 63,1%. 3. Penderita kusta yang melakukan pengobatan MDT di RSK Donorojo sebagian besar mempunyai komunikasi petugas kesehatan baik yaitu sebesar 87,7%. 4. Penderita kusta yang melakukan pengobatan MDT di RSK Donorojo
5.
6.
7.
sebagian besar patuh dalam pengobatan MDT yaitu 66,2%. Ada hubungan antara pengetahuan tentang kusta dengan kepatuhan pengobatan MDT pada penderita kusta di RSK Donorojo Kabupaten Jepara (p=0,016). Tidak ada hubungan antara dukungan keluarga penderita kusta dengan kepatuhan pengobatan MDT pada penderita kusta di RSK Donorojo Kabupaten Jepara (p=0,197). Tidak ada hubungan antara peran komunikasi petugas kesehatan pada penderita kusta dengan kepatuhan pengobatan MDT pada penderita kusta di RSK Donorojo Kabupaten Jepara (p=0,108).
SARAN 1. Petugas kesehatan lebih meningkatkan pemberian informasi kepada penderita mengenai penyakit kusta dan cara pengobatan yang benar. 2. Masyarakat diharapkan lebih menerima keberadaan penderita kusta dan memberikan dukungan kepada keluarganya yang menderita kusta dalam pengobatan, yaitu berupa informasi tentang kusta dan cara pengobatanya, biaya maupun sarana prasarana yang mendukung pengobatan. 3. Bagi penelitian selanjutnya, perlu diteliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan, yaitu durasi dan jumlah obat, sikap penderita kusta terhadap pengobatan, biaya dalam pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
Depkes RI. 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah Yang Ditimbulkannya. FKM Universitas Sumatera Utara. Depkes RI. 2008. Departemen Kesehatan Republik indonesia. Diunduh pada 28 Agustus2009, dari http://www.depkes.go.id./downloads/pr ofil/depkesRI/2008.
46
4.
Depkes RI. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas. 5. Dinkes Jateng. 2007. Prov Jateng. Diunduh pada 28 agustus 2009, dari http://www.depkes.go.id/downloads/pr ofil/prov%20jateng%202006.pdf. 6. Smert, Bart. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT Gramedia Widia Sarana Indonesia. 7. Notoatmodjo, S. 2003 Pengantar Pendidikan Dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta. 8. Dinkes Jepara. 2008. Profil Kesehatan Kabupaten Jepara tahun 2008. 9. Sastroasmoro. 2002. Dasar-dasar penelitian klinis. Jakarta : CV Sagung Seto. 10. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. 11. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 12. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman
13. Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta . 14. Latipun. 2001. Psikologi Konseling. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang. 15. Friedman M. M. 1998. Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktek. Alih Bahasa. Jakarta : EGC 16. Warsito. 2009. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Fase Intensif Pada Penderita Tb Di Puskesmas Pracimantoro Wonogiri. Diunduh pada 11 Desember 2009, dari http://etd.eprints.ums.ac.id/891/1/J2100 40042.pdf 17. Kristiana. 2003. Tentang Pengaruh Komunikasi Petugas Kesehatan Terhadap Perilaku Kepatuhan Berobat Penderita Pulpitis Di Poli Gigi Puskesmas Pucang Sewu. Diunduh pada 11 Desember 2009, dari http://arc.ugm.ac.id/files/(1235-H2003).pdf.
47
Dampak Kekerasan Domestik Pada Anak Ditinjau Dari Psikologi Perkembangan Endang Susilowati*) *) Staf Pengajar Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
ABSTRACT This paper entitled Impact of Domestic Violence against children in terms of child development psychology. This paper is the result of observation of the writer’s daughter who had suffered violence from guardians when she was three years old. Writer tried to observe the development of children over two and a half years using the psychology of child development. The results show that the child who gets violence will experience distorted development. It takes considerable time and attention as well as cooperation with the environment around the child to be able to eliminate the effects of violence.
ABSTRAK Paper ini berjudul Dampak Kekerasan Domestik terhadap anak ditinjau dari psikologi perkembangan anak. Paper ini merupakan hasil pengamatan terhadap anak penulis yang pernah mengalami tindak kekerasan dari pengasuhnya pada saat anak penulis berumur tiga tahun. Penulis mencoba mengamati perkembangan anak selama dua tahun setengah dengan menggunakan psikologi perkembangan anak. Hasil pengamatan yang dilakukan anak yang mengalami tindak kekerasan akan mengalami bias perkembangan atau perkembangan yang menyimpang. Diperlukan waktu yang cukup lama dan perhatian penuh serta kerja sama dengan lingkungan di sekitar anak untuk bisa menghilangkan dampak akibat kekerasan yang diterima oleh anak.
48
PENDAHULUAN Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, sepanjang tahun 2012 terjadi 2637 kasus penganiayaan anak (Viva News Online, 13 Januari 2013). Banyak anak yang dieksploitasi oleh orang-orang yang lebih dewasa bahkan oleh orang tuanya sendiri dan pengasuhnya. Perlakuan kasar yang diterima anak-anak tersebut akan terus memperngaruhi perkembangan jiwa anak-anak sampai mereka dewasa. Hukuman dan kekejaman yang telah mereka dapatkan ketika kecil akan terus membayanginya. Tidak semua anak dapat melupakan masa lalunya ketia ia dewasa, dan tidak semua anak secara cerdik bisa menyikapi perlakukan yang mereka dapatkan. Kekerasan pada anak juga pernah terjadi pada anak penulis. Pada saat itu anak penulis berusia 3 tahun dan diasuh oleh pembantu pada saat penulis bekerja. Anak penulis mengalami penyiksaan yang berupa dikunci di kamar, dicubit dan ditampar oleh pengasuhnya. Kejadian tersebut sangat memberikan dampak negatif dalam perkembangan kejiwaannya. Anak penulis menjadi sangat takut jika bertemu dengan orang asing, pemalu, bahkan sering mengigau “minta tolong” pada saat dia tidur. Kejadian tersebut mendorong penulis untuk mengamati dampak yang akan muncul pada diri anak penulis. Paper ini bertujuan untuk mengungkapkan dampak kekerasan terhadap anak yang ditinjau dari psikologi perkembangan anak. Penulis mencoba mengamati perkembangan kejiwaan anak penulis yang pernah mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pengasuhnya pada saat anak penulis berumur 3 tahun. Sekarang ini anak penulis sudah berusia 5 tahun setengah. Penulis akan menjelaskan masalah tersebut dengan menggunakan psikologi perkembangan anak. KEKERASAN PADA ANAK Prasetya mengatakan bahwa kekerasan domestic adalah kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga (2003:60). Bentuk kekerasan domestic sangat beraneka ragam, misalnya penyiksaan yang dilakukan pada anak, penyiksaan suami terhadap istri, penyiksaan yang dilakukan majikan pada pembantunya dan lain-lain. Kekerasan domestik yang akan dikaji adalah kekerasan domestic pada anak yang berupa penyiksaan. Fontana mengatakan bahwa yang termasuk dengan kekerasan pada anak adalah
perlakuan menelantarkan anak dengan tidak memberinya makan dan menelantarkannya yang disebut dengan stadium awal perlakuan salah, dan penganiayaan fisik yang merupakan stadium akhir yang paling berat dari perlakuan salah yang dilakukan oleh orang tuanya atau pengasuhnya (Soetjiningsih;1995:166). Kekerasan domestik pada anak ini biasanya diakibatkan oleh pelepasan tujuan hidup orang tua, adanya anggapan bahwa hubungan orang tua dengan anak tidak lebih dari hubungan biologis saja, anak sebagai sumber masalah dan lain-lain. Pengaruh kekerasan domestik pada anak antara lain adalah :a. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya yang tidak mendapatkan perlakukan salah. b. Perkembangan kejiwaan antara lain:1. Kecerdasan: Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembanban kognitif, bahasa, membaca dan motorik. Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala juga karena malnutrisi. Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh lingkungan anak yang tidak memberikan stimulasi yang cukup atau karena gangguan emosi. 2. Emosi: Untuk mengetahui akibat emosional pada anak yang mendapatkan kekerasan perlu anamnesis yang lengkap dari keluarga, termasuk informasi beberapa orang dewasa yang ada di rumah, bagaimana hubungan masing-masing dengan anak tersebut, rencana perawatan anak, kejadian terakhir yang menimpa orang tua yang memelihara anak tersebut dan lain-lain. Terdapat gangguan emosi perkembangan konsep diri yang postifi dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan social dengan orang lain termasuk kemampuan untuk percaya diri.Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan denga orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri atau menjauhi pergaulan. Anak suku ngompol, hiperaktif, berperilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, temperamental dan lain-lain. 3. Konsep diri: Anak yang mendapat kekerasan merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba untuk membunuh diri. 4. Agresif :Anak yang mendapat kekerasan secara badani lebih agresif terhadap teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orang tua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagi hasil miskinnya konsep diri. 5. Hubungan sosial: Anak-anak ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman, suka
49
mengganggu orang dewasa misalnya dengan melempari baru atau perbuatan-perbuatan kriminal lainnya. 6. Munculnya beberapa penyakit terhadap anak yang mendapatkan kekerasan seperti, penyakit kulit, kelainan pada tulang, kelainan pada mata dan penyakit pencernaan (Soetjiningsih, 1995:170-172) PSIKOLOGI PERKEMBANGAN Monks dan Knoers (2004:1) mengatakan bahwa objek psikologi perkembangan adalah perkembangan manusia sebagai pribadi. Pengertian perkembangan menunjukkan pada suatu proses ke arah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Beberapa ahli psikologi membedakan antara pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan lebih mengacu pada bertambah besarnya ukuran badan dan fisik yang murni sedangkan istilah perkembangan lebih mengacu pada sifat khas mengenai gejala psikologis yang muncul. Beberapa pandangan tentang teori pertumbuhan dan perkembangan menurut beberapa ahli teori perkembangan adalah a. Perkembangan Psikoseksual Freud yang terdiri dari fase oral (0-11 bulan), fase anal (1 sampai 3 tahun), fase falik (3 sampai 6 tahun), fase latein (6 sampai 12 tahun), fase genital (12-18 tahun). b. Perkembangan psikososial Erikson yakni pendekatan Erikson dalam membahas proses perkembangan anak adalah dengan menguraikan tahapan perkembangan psikososial, yaitu percaya versus tidak percaya (0-1 tahun), otonomi versus rasa malu dan ragu (1 sampai 3 tahun), inisiatif versus rasa bersalah (3 sampai 6 tahun), rasa mampu, rajin dan usaha versus rendah diri (6-12 tahun), identitas dan kerancuan peran (12 sampai 18 tahun), intimitas versus isolasi (1 sampai 40 tahun/dewasa muda), generativitas versus stagnasi (40-65 tahun/dewasa tengah), Integritas ego versus putus asa (65 tahun sampai mati). c. Perkembangan kognitif Piaget yang membahas perkembangan anak berdasarkan tahapan sensoris-motorik (0-2 tahun), praoperasional (2 sampai 7 tahun), konkrit operasional (7 sampai11 tahun) dan formal operasional (11 sampai 15 tahun). d. Perkembangan moral Kohlberg yang melihat perkembangan anak pada perkembangan kognitif anak dan terdiri atas tiga tahapan utama yaitu prekonvensional (0-9 tahun), fase konvensional (9-13 tahun), fase post-konvensional (13 tahun sampai meninggal). Pada setiap proses perkembangan terdapat perpaduan antara dorongan mempertahankan diri dan dorongan mengembangkan diri. Hal ini berarti bahwa apa yang sudah dicapai oleh seseorang berkat
perkembangan dirinya akan dipertahankan dan dijadikan miliknya untuk kemudian dijadikan modal dasar bagi pengembangan selanjutnya. Berkat dorongan mempertahankan diri tersebut seseorang akan menyimpan segala pengalaman yang berguna. Selanjutnya dengan pengalamanpengalaman tersebut ia makin menjadi pandai dan matang. Dan penghayatan hidupnya menjadi semakin kaya serta mendalam. Setiap stadium hidup yang baru saja tercapai merupakan bentuk keseimbangan sementara yang dijadikan titik tolak bagi usaha-usaha dan aktivitas baru. Jadi , ada tingkat aspirasi, yaitu tingkat perjuangan mengarah pada taraf yang lebih tinggi (Monks, 2004:178). Menurut Kartono&Kartini (1995:40) perpaduan antara dorongan mempertahankan diri dan pengembangan diri ini merupakan proses sintese-integrasi, yaitu berwujud impuls realisasi diri dan upaya transendensi-diri (pengatasan diri sendiri, untuk meningkat pada niveau hidup lebih tinggi). Dalam psikologi perkembangan juga disebutkan bahwa dalam prinsip perkembangan, motif utama dari hidup ialah meniadakan dan melepaskan diri dari semua rintangan, rasa tegang dan disequiibrium batin. Keseimbangan akan tercapa jika semua kebutuhan sudah dipenuhi sehingga hilang semua ketegangan dan gangguan batin. Adakalanya evoluosi perkembangan anak yang teratur mengalami suatu proses revolusi yang ditandai oleh gejala-gejala pemberontakan dan penentangan. Saat demikian itu berlangsung dua(2) kali dalam masa perkembangan anak, pertama, pada usia 3-4 tahun dan yang kedua pada masa pubertas sekitar umur 12-15 tahun. Saat-saat pembe dirontakan dan penentangan ini dikenal dengan Trotzalter (usia keras kepala, usia tegar). Ciri yang menonjol dalam periode ini adalah sikap keras kepala dan suka menentang, karena anak sedang dalam fase menemukan diri sendiri atau menemukan akunya dan tengah menghayati kemampuan diri serta harga dirinyaa. Pada periode ini anak ingin mencoba segala potensi dan kemampuan yang ditujukan pada dunia luar. Anak menjadi tidak puas dengan otoritas orang tua atau pengasuhnya yang dianggap terlalu menguasai dan banyak mengatur pribadinya. Lalu ia mencoba menerapkan sikap baru dengan memakai reaksi reaktif yang lain daripada biasanya terhkuadap lingkungannya. Oleh karena itu anak belum menemukan kemantapan batinnya maka cara respon yang baru itu biasanya disertai dengan luapan emosi-emosi yang kuat seperti rasa marah (agresi), kecenderungan untuk memberontak, menentang, berkepala batu, tegar, rasa kebingungan, kecaman-kecaman pedas kepada orang tua, kesukaan bermulut besar, bimbang hati, dan
50
lain-lain. Sikap memberontak anak itu didorong oleh keinginan untuk menuntut hak-haknya dan menuntut pengakuan atas status dan martabat dirinya. Periode trotzalter ini tidak ada sangkut pautnya dengan pembawaan buruk yang diperkirakan tampil pada masa itu. Periode ini merupakan gejala perkembangan yang wajar pada setiap perkembangan individu anak. Malahan boleh dikatakan sebagai keharusan dalam perkembangan yang normal. Periode trotzalter biasa disebut sebagai masa peralihan (masa transisi) dalam proses perkembangan dari masa kanak-kanak pindah ke masa pubertas/remaja (Kartono, 1995 :53-54) Kemampuan lain yang ikut membantu proses perkembangan anak ialah kemampuan untuk menghadapi masalah, dan menyembuhkan diri sendiri dari masalah yang dihadapinya. Dalam masa perkembangan anak terdapat apa yang disebut dengan saat-saat kritis yang dapat berlangsung breaking point atau titik patah yang merupakan dampak langsung dari trauma psikis yang akibatnya sulit untuk disembuhkan kembali. Beberapa perilaku anak yang menyimpang biasanya juga dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman pada masa kritis tersebut, sehingga pengalaman itu akan meninggalkan bekas-bekas luka psikis yang permanen. Contohnya, seorang anak yang mengalami penyiksaan dengan dikurung di dalam kamar mandi dan tidak boleh bergaul dengan teman-temannya akan membuat anak tersebut dihinggapi rasa rendah diri yang cukup parah dikemudian harinya. Namun breaking point ini dapat juga diatasi oleh anak itu sendiri dengan adanya kematangan fungsi-fungsi tertentu, anak secara otomatis melatih fungsi tersebut. Anak tidak hanya mampu berprestasi dalam usahanya akan tetapi ia juga sanggup mengadakan peningkatan dan perbaikan pada aktivitasnya. Bahkan anak juga sanggup mengubah beberapa kebiasaan tingkah laku yang tidak baik. Jadi ia sanggup merevisi total dalam aktivitasnya (Kartono, 1995;58). PEMBAHASAN Dilihat dari perkembangan psikososial Erikson, pada tahap awal perkembangan percaya versus tidak percaya (0-1 tahun), telah terbentuk kepercayaan yang kuat antara anak penulis dengan penulis dan pengasuh yang membantu penulis. Pada tahap ini tidak terjadi bias dalam perkembangan anak. Sesuai dengan perkembangan psikososial Erikson, belaian cinta kasih penulis dan pengasuhnya dalam memberikan perhatian dan memenuhi kebutuhan dasarnya yang konsisten terutama dalam pemberian susu dan makan pada saat
haus dan lapar sangat membantu dalam mengembangkan rasa percaya ini. Pada periode ini bayi belajar bahwa orang tuanya dapat memberi perhatian dan cinta kasih melalui perlakuannya sehingga dapat menurunkan perasaan tidak nyaman. Pada saat kebutuhan bayi tidak terpenuhi, bayi menjadi curiga, penuh rasa takut dan tidak percaya Dilihat dari tahapan yang kedua psikososial Erikson, otonomi versus rasa malu dan ragu (1 sampai 3 tahun) dalam awal perkembangannya tidak ditemukan adanya masalah dalam perkembangan. Anak masih bias bergaul dengan baik, motorik juga bagus dengan ditandai pada usianya yang memasuki dua belas bulan sudah bisa berjalan sendiri dan dalam kebahasaan juga sudah bisa memanggil mamamama dan beberapa kata lain seperti maem, minum. Tidak ditemukan adanya masalah karena dalam perkembangan awal anak mendapatkan rasa cinta dan perhatian. Masalah mulai muncul ketika orang tua tidak bisa bekerja sama dengan baik dengan pengasuh anak yang baru. Anak merasa tidak nyaman karena harus beradaptasi dengan orang baru. Apalagi ketika pengasuh baru ini tidak bisa memenuhi kebutuhan sang anak. Tidak terbentuk adanya kepercayaan sang anak dengan pengasuh barunya. Hal itu mengakibatkan sang anak merasa tidak nyaman dengan pengasuhnya yang ditandai dengan semakin susahnya anak untuk diberi makan, susu dan diajak bermain. Faktor anak sebagai sumber masalah yang ditandai dengan susahnya anak untuk diberi makan dan diberi susu merupakan alasan utama sang pengasuh untuk melakukan tindak kekerasan. Kekerasan tersebut terjadi pada saat anak berumur tiga tahun. Pada usia ini menurut Piaget (1952) anak berada pada tahap praoperasional ( 2 sampai 7 tahun) anak mulai belajar baik dan buruk, atau benar dan salah melalui budaya sebagai dasar dalam peletakan nilai moral. Anak mulai mencerna segala tindakan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Di lihat dari tugas perkembangan anak di usia ini mulai mendapatkan bahasa dan perluasan hubungan sosial, belajar standar peran, meningkatkan kontrol diri dan penguasaan, mengembangkan peningkatan kesadaran tentang ketergantungan dan kemandirian. dan mulai mengembangkan konsep diri. Bagi anak yang masa perkembangannya terganggu di tahapan ini, anak akan menjadi takut, minder dan cenderung untuk menarik diri. Apalagi kalau anak diusia tiga tahun ini mendapatkan tindak kekerasan seperti dikurung di dalam kamar, dicubit dan ditampar, akan mengakibatkan anak semakin merasa ketakutan bahkan ketika tidur pun
51
cenderung gelisah dan berteriak-teriak meminta tolong. Hal ini disebabkan anak merekam semua kejadian yang menimpanya. Pada fase ini, anak sebenarnya juga mengalami periode Trotzalter karena anak masih dalam fase menemukan diri sendiri dan atau menemukan akunya dan tengah menghayati kemampuan diri serta harga dirinya. Perubahan sikap dan perilaku anak tersebut perlu segera dipahami dan dikaji oleh orang tua. Tidak semua anak bisa mengungkapkan apa yang dirasakannya karena kemampuan bahasa yang masih terbatas. Pendekatan khusus perlu dilakukan pada anak yang memasuki usia toddler. Kepercayaan anak kepada orang tua terutama ibu yang sudah terbentuk sejak awal yang membuat pendekatan kepada anak bisa dilakukan. Tentu saja, anak masih takut dengan pengasuhnya oleh karenanya memisahkan anak dan menjauhkan dari pengasuhnya adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Setelah anak merasa nyaman maka anak akan mulai bisa menceritakan segala kejadian yang menimpanya. Perlu waktu lama dan proses untuk bisa membuat anak mampu mengungkapkannya. Dengan kemampuan bahasa yang masih terbatas, orang tua bisa melakukan dengan peragaan atau contoh sehingga bisa mengetahui masalah yang ada. Komunikasi dengan anak perlu dilakukan untuk mengetahui kegelisahan anak setiap kali tidur. Dampak penyiksaan yang terjadi pada anak tidak bisa hilang dalam waktu yang cepat. Hal itu dibuktikan dengan masih susahnya anak penulis untuk bisa menumbuhkan kepercayaan yang ada. Anak menjadi susah untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, tidak mau menerima kehadiran orang baru, tidak mau ditinggal di sekolahnya dan yang paling parah anak masih mengigau ketika tidur. Komunikasi dan perhatian sangat diperlukan untuk bisa menumbuhkan rasa nyaman pada anak.Butuh waktu 3 bulan untuk bisa membuat anak tidak mengigau dalam tidur. Masalah tersebut dapat teratasi dengan semakin seringnya penulis memberi perhatian terhadap anak. Kerjasama dengan lingkungan sangat diperlukan. Komunikasi dan kerjasama dengan pembimbing di sekolah dan tempat penitipan anak sangat mendukung proses pemulihan anak. Memasuki usia empat tahun anak mulai bisa sedikit demi sedikit melupakan kejadian yang menimpanya. Anak mulai bisa bersosialisasi kembali dengan lingkungannya. Di sekolah anak mulai bisa beradaptasi dengan temantemannya. Keceriaan juga mulai terlihat di wajah anak. Pola makan pun juga berubah. Anak mulai bisa makan sendiri dan minum susu di gelas. Aturan-aturan yang ada di sekolah mulai bisa diterapkan oleh anak. Konsistensi
dan motivasi dalam pengasuhan sangat membantu penulis untuk kembali bisa menumbuhkan rasa percaya diri anak. Hal itu sejalan dengan perkembangan moral Kohlberg (1963:20) yang menyatakan bahwa seorang anak yang mendapatkan motivasi yang kuat dari keluarga akan mampu membentuk label baik dan benar dalam berperilaku. Pada fase ini mulai muncul kemampuan anak untuk membentuk label baik dan benar dalam berperilaku sehingga hal ini membuat perasaan takut sang anak mulai hilang. Setelah dua tahun setengah dampak negatif yang muncul akibat penyiksaan yang dilakukan oleh pengasuh anak benar-benar sudah tidak. Anak sudah bisa berkembang sesuai dengan perkembangan anak-anak sebayanya. Di sekolah anak juga bisa melakukan aktivitas yang diberikan oleh guru. Dengan teman-temannya juga bisa menghargai dan mampu bersosialisasi dengan baik. Anak terlihat mampu mengatasi breaking point atau titik patah yang merupakan dampak langsung dari trauma psikis yang akibatnya sulit untuk dipulihkan kembali. Kemampuan anak untuk menghadapi masalah dan menyembuhkan diri sendiri dari masalah yang dihadapinya sudah terbentuk.
KESIMPULAN Kekerasan domestik terhadap anak bisa terjadi kapan saja. kemampuan seorang anak untuk bisa menghilangkan dampak negatif sangat beragam. Perhatian dan dukungan orang tua sangat diperlukan oleh anak untuk bisa mengatasi masalah yang muncul akibat kekerasan yang diterimanya. Lingkungan juga sangat berperanguh untuk bisa mendukung anak mengatasi masalah. Kerjasama orang tua dan sekolah sangat diperlukan sehingga breaking point bisa diatasi oleh anak Breaking point tersebut juga dapat diatasi oleh anak dengan sendirinya karena adanya kematangan fungsi-fungsi tertentu; anak secara otomatis melatih fungsi tersebut. Anak tidak hanya mampu berprestasi dalam usahanya akan tetapi ia juga sanggup mengadakan peningkatan dan perbaikan pada akitivitasnya. Bahkan anak juga sanggup mengubah beberapa kebiasaan tingkah laku yang tidak baik. Jadi ia sanggup mengadakan revisi total dalam aktivitasnya.
52
DAFTAR PUSTAKA Erickson,
Rober. 2000 Anak dalam Perkembangan (diterjemahkan oleh Susi Purwoko). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Erikson EH; 1963. Childhood and Society. New York: Norton Guthrie, Elizabeth. 2003. Anak Sempurna atau Anak Bahagia. Bandung: Pt. Mizan Pustaka Hurlock, Elizabethn B. 1991. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (terjemahan Istiwadayanti dan Soedjarwo) Jakarta: Erlangga ……..1978. Perkembangan anak Jilid 1 dan 2 (terjemahan dr. Med Meitasari Tjandrasa ). Jakarta: Erlangga Kartono, Kartini. 1995. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung Penerbit Mandar Maju. Kolberg. L. 1968. The Child as Moral. Cambridge, MA: Harvard University Monks dkk, 2004. Psikologi Perkembangan. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press Piaget, J. 1952. The Origin of Intelegence in Children. New York: International University Press
53
PEDOMAN BAGI PENULIS Informasi umum Jurnal Gizi dan Kesehatan menerima makalah ilmiah dari para staf STIKES, AKBID DAN AKPER, para alumnus NGUDI WALUYO, maupun profesi lain yang berhubungan dengan kesehatan. Makalah dapat berupa karangan asli (penelitian), laporan kasus, ikhtisar kepustakaan, dan tulisan lain yang ada hubungannya dengan bidang kesehatan. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum pembentukan Istilah atau dalam bahasa Inggris. Format naskah Tulisan diketik pada kertas kuarto, batas atas-bawah dan samping masingmasing 2,5 cm, spasi dobel, font Times New Roman, ukuran 12 dan tidak bolak balik. Naskah untuk penelitian (karangan asli) harus meliputi : 1) Judul tulisan, dibuat singkat bersifat informatif dan mampu menerangkan isi tulisan; nama para penulis lengkap berikut gelar beserta alamat kantor/instansi /tempat kerja lain, diletakkan di bawah judul. 2) Pendahuluan, berisi latar belakang, masalah, maksud & tujuan serta manfaat penelitian. 3) Bahan/subyek dan cara kerja. 4) Hasil penelitian. 5) Pembahasan, kesimpulan dan saran. 6) Pernyataan terima kasih (kalau ada). 7) Daftar rujukan. 8) Lampiran-lampiran. Tabel/bagan/grafik/gambar/foto, harus dibuat dengan jelas dan rapi disertai keterangan yang jelas dan informatif. Diberi nomor menurut urutan dalam naskah. Gambar/bagan harus berwarna, jumlahnya dibatasi tidak lebih dari 3 lembar, keterangan ditempatkan di bawah gambar/bagan: Keterangan tabel ditempatkan di atas tabel. Tabel/bagan/grafik/gambar/foto semuanya dilampirkan terpisah dari naskah. Rujukan dalam teks dibuat berdasarkan model Vancouver yaitu dengan angka sesuai dengan urutan tampil. Angka ditulis di atas (superscript) tanpa kurung setelah tanda baca. Bila angka berurutan bisa disingkat. Misalnya 2,3,4,6,7 ditulis menjadi 2-7. Daftar rujukan, disusun menurut cara Vancouver, menurut urutan penampilan dalam naskah, ditulis dengan urutan sebagai berikut : Nama dan huruf pertama nama keluarga penulis, judul tulisan kemudian untuk majalah diikuti dengan : Nama majalah (dengan singkatan yang umum dipakai), tahun, volume dan halaman. Sedangkan untuk buku diikuti Nama kota, penerbit, tahun dan halaman (bila perlu). Contoh: Maryanto, S, Siswanto, Y. and Susilo, J. The effect of fiber on lipid fraction rats with high cholesterol dietary. Jurnal Kesehatan dan Gizi 2007;1;1: 1-10 Ardhani, M.H, Sulisno, M., dan Rosalina. Teknik mengontrol halusinasi dalam manajemen ESQ. Edisi 2, Ungaran, 2001. Priyanto, Muhajirin, A. Program Studi Ilmu Keperawatan. Stikes Ngudi Waluyo [on line] : URL. http://www.nwu.ac.id/personal,kuliah,edu/.plan.l l. 2006. Nama penulis yang dikutip dalam naskah harus tercantum dalam daftar rujukan. Dalam mengutip nama penulis dalam naskah harus dibubuhi tahun publikasi. Untuk sumber pustaka dari internet ditulis : nama penulis, judul, organisasi penerbit, [On Line] : URL nomor Home Page, tahun.
Abstrak Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris terdiri sekurangkurangnya 100 kata sebanyak-banyaknya 350 kata, diketik pada lembaran kertas terpisah dengan spasi ganda. Abstrak penelitian berupa "structured abstract" berisi : 1. Pendahuluan /Introduction : Berisi latar belakang, masalah, tujuan, dan kegunaan penulisan. 2. Subyek/Material dan Metode/Subject/Material and Method. Berisi: Subjek : nyatakan cara-cara seleksi, kriteria yang diterapkan, dan jumlah peserta pada awal dan akhir penelitian. Rancangan : tulisan rancangan penelitian yang tepat, pengacakan, secara buta, baku emas untuk diagnostik, dan waktu penelitian (restrospektif atau prospektif). Tempat: menunjukkan tempat penelitian (rumah sakit, klinik, komunitas) juga termasuk tingkat pelayanan klinik (primer, atau sekunder, praktek pribadi atau intitusi). Intervensi : uraikan keistimewaan intevensi, termasuk metode & lamanya. Ukuran luaran utama : harus dinyatakan sebelum merencanakan pengambilan data. 3. Hasil (Result) : Jika memungkinkan pada hasil disertakan interval kepercayaan (yang tersering adalah 95 %) dan derajat kemaknaan. Untuk penelitian komparatif, interval kepercayaan harus berhubungan dengan perbedaan antara kelompok. 4. Kesimpulan (Conclusions) : nyatakan kesimpulan yang didukung oleh data penelitian (hindari generalisasi yang berlebihan atau hasil penelitian tambahan). Perhatian yang sama diberikan pada hasil yang positif maupun yang negatif sesuai dengan kaidah ilmiah. 5. Di bawah abstrak bahasa Inggris ditulis kata kunci (Keywords) maksimal 4 kata dalam bahasa Inggris. Sinopsis Sinopsis diketik dalam bahasa Indonesia atau Inggris terdiri atas 1 atau 2 kalimat, tidak lebih dari 25 kata dari kesimpulan naskah, digunakan dalam penulisan daftar isi, dan diketik pada lembar terpisah dengan spasi ganda. Running title Berikan judul singkat naskah pada sisi kanan atas pada tiap lembar naskah. Pengiriman Berkas dikirim rangkap dua (hard copy) disertai CD (soft copy) dengan mempergunakan program Microsoft Word, dialamatkan kepada Redaksi Jurnal Gizi dan Kesehatan, STIKES NGUDI WALUYO, JI. Gedongsongo – Mijen, Ungaran, Kabupaten Semarang . Ketentuan lain Redaksi berhak memperbaiki susunan naskah atau bahasanya tanpa mengubah isinya. Naskah yang telah dimuat di majalah lain tidak diperkenankan diterbitkan dalam majalah ini