HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN IBU TENTANG ISPA DENGAN UPAYA PENCEGAHAN TERJADINYA ISPA PADA BALITA DI DESA KARANG JATI KECAMATAN BERGAS KABUPATEN SEMARANG MUKSIN TUNDI 010801065 SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN ABSTRAK Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. ISPA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, khususnya pada kelompok balita karena dapat menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang termasuk dalam 10 besar penyakit terbanyak di Puskesmas Bergas. Pengetahuan tentang ISPA merupakan salah satu faktor penting dalam melakukan upaya pencegahan terjadinya ISPA. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan upaya pencegahan terjadinya ISPA pada balita di Desa Karang Jati Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Metode penelitian yang digunakan deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai balita sebanyak 387. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan jumlah sampel 78 ibu balita. Pengambilan sampel menggunakan cluster. Dan uji analisis data menggunakan Uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden memiliki pengetahuan kurang sebanyak 36 (46,2%), dan upaya pencegahan kurang sebanyak 29 (37,2%). Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan upaya pencegahan terjadinya ISPA pada balita, uji Chi Square diperoleh nilai χ2 hitung = 13,174 dengan p-value 0,010. Terlihat bahwa pvalue = 0,010 < α (0,05), maka Ho ditolak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan kepada puskesmas untuk mengadakan penyuluhan-penyuluhan tentang kesehatan pada balita. Kata kunci : pengetahuan dan upaya pencegahan terjadinya ISPA Kepustakaan : 31 (2000-2010) PENDAHULUAN Derajat kesehatan masyarakat dapat diukur dengan beberapa indikator, salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. World Health Organization (WHO) memperkirakan insiden Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dinegara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15-20% pertahun pada golongan usia balita (Depkes, 2007). Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun
2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2008). Data terbaru yang di peroleh di Dinas Kesehatan Kota Semarang jumlah penderita ISPA pada tahun 2011 tercatat 58.627 kasus. Data tersebut diantaranya berasal dari 37 Puskesmas yang ada di kota Semarang. Tercatat Puskesmas Bangetayu Semarang terdapat 4.512 kasus penyakit ISPA. Angka ini merupakan angka tertinggi diseluruh Puskesmas kota Semarang (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2011). ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4
kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. Dari 40% - 60% kunjungan di Puskesmas adalah oleh penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20% 30%. Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (Depkes. 2004). Hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang berat masih sangat tinggi. Kematian seringkali disebabkan oleh karena penderita datang untuk berobat dalam keadaan berat, sering disertai penyulit-penyulit dan kurang gizi. Hal ini menandakan usaha peningkatan kesehatan masyarakat pada kenyataannya tidaklah mudah untuk diatasi, karena masalah ini sangatlah kompleks (Rasmaliah, 2004). ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan infeksi jasad renik bakteri, virus. ISPA adalah proses infeksi akut berlangsung Selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Syafrudin, 2011). ISPA meliputi infeksi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Salah satu yang termasuk dalam infeksi saluran pernapasan bagian atas adalah batuk pilek biasa, sakit telinga, radang tenggorokan, influenza, bronchitis dan sinusitis sedangkan infeksi yang menyerang bagian bawah saluran napas seperti paru-paru salah satunya adalah pneumonia (Depkes RI, 2007). Tanda dan gejala ISPA adalah demam, beringus, batuk, sakit kepala, sakit tenggorokan, anorexia, diare, sumbatan jalan nafas karena adanya sekret, Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah
volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, demam dan dingin (Rasmaliah, 2004). Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA (Depkes, 2004). Namun kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut masih tetap tinggi seperti yang telah dilaporkan berdasarkan penelitian yang telah disebutkan di atas (Rasmaliah, 2004). Penanggulangan penyakit Pneumoni menjadi fokus kegiatan program P2ISPA (Penanggulangan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan) (Misnadiarly, 2008). Program ini mengupayakan agar istilah Pneumonia lebih dikenal masyarakat, sehingga memudahkan kegiatan penyuluhan dan penyebaran informasi tentang penanggulangan Pneumonia. Program P2ISPA mengklasifikasikan penderita kedalam dua kelompok usia: usia dibawah dua bulan (Pnemonia Berat dan bukan Pnemonia) dan usia dua bulan sampai kurang dari lima tahun (dua bulan Pnemonia, Pnemonia berat dan bukan Pnemonia). Manusia pada dasarnya selalu ingin tahu yang benar. Untuk memenuhi rasa ingin tahu ini, manusia sejak zaman dahulu telah berusaha mengumpulkan pengetahuan. Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperoleh baik dari pengalaman orang lain. Semenjak adanya sejarah kehidupan manusia di bumi ini, manusia telah berusaha mengumpulkan fakta. Dari fakta-fakta ini kemudian disusun dan simpulkan menjadi berbagai teori, sesuai dengan fakta yang dikumpulkan tersebut. Teori-teori tersebut kemudian digunakan untuk memahami gejala-gejala alam dan kemasyarakatan yang lain. Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, teori-teori makin berkembang, baik kualitas maupun kuantitasnya, seperti apa yang telah kita rasakan dewasa ini (Notoatmodjo 2010).
Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan non formal saja, akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini akan menentukan aspek seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu. Menurut teori WHO (World Health Organization) yang dikutip oleh notoatmodjo 2007, salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri. Kejadian ISPA terkait erat dengan pengetahuan tentang ISPA yang dimiliki oleh masyarakat khususnya ibu, karena “ibu sebagai penanggungjawab utama dalam pemeliharaan kesejahteraan keluarga. Mereka mengurus rumah tangga, menyiapkan keperluan rumah tangga, merawat keluarga yang sakit, dan lain sebagainya. Pada masa balita dimana balita masih sangat tergantung kepada ibunya, sangatlah jelas peranan ibu dalam menentukan kualitas kesejahteraan anaknya” (Nadesul, 2002). Pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA merupakan modal utama untuk terbentuknya kebiasaan yang baik demi kualitas kesehatan anak Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan berlangsung lama dan bersifat permanen ibu yang memiliki pengetahuan yang baik tentang ISPA diharapkan akan membawa dampak positif bagi kesehatan anak karena
resiko kejadian ISPA pada anak dapat dieliminasi seminimal mungkin (Notoatmodjo, 2003). Upaya pencegahan dan pemberantasan ISPA adalah imunisasi, sanitasi, mengurangi polusi udara dalam rumah dan fentilasi yang baik, mepeerbaiki status gizi, menjauhkan bayi dan balita dari penderita batuk (ISPA), pemberian ASI ekslusif, menjaga kebersihan perseorangan atau keluarga, promosi kesehatan (Rasmaliah, 2004). Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Puskesmas Bergas pada tanggal 07 November 2012, menurut catatan Puskesmas Bergas, Desa Karang Jati merupakan urutan pertama yang memiliki balita yang terkena ISPA di Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Pada 3 bulan terakhir didapatkan sejumlah 78 balita terkena ISPA yaitu dari 387 balita. Berdasarkan wawancara pada tanggal 09 November 2012 yang dilakukan peneliti pada 8 ibu dengan anak ISPA didapatkan, 2 ibu tidak tahu tentang ISPA tetapi mengetahui tentang upaya pencegahan ISPA seperti menjauhkan balita dari orang yang merokok, tidak memakai obat nyamuk bakar dan selalu membersihkan rumah, 3 ibu sama sekali tidak tahu tentang ISPA dan upaya pencegahan dan 3 ibu sudah tahu tentang ISPA dan upaya pencegahan seperti mejauhkan balita dari orang merokok, tidak membiarkan rumah kotor, memberikan imunisasi, memberikan ASI ekslusif. Melihat fenomena dilapangan banyak ibu balita yang tidak terlalu mempermasalahkan ISPA. Mereka menganggap ISPA adalah penyakit biasa dan ringan, tidak menimbulkan masalah yang terlalu buruk, karena kurangnya pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA dan upaya pencegahan terjadinya ISPA pada balita. Dengan alasan inilah peneliti memandang perlu dilakukan penelitian dengan judul hubungan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan upaya pencegahan terjadinya ISPA pada balita di Desa Karang Jati Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang.
Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi, dimana peneliti berusaha menggambarkan kenyataan yang ada tentang suatu keadaan yang dijumpai secara obyektif untuk melihat hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain dengan menggunakan pendekatan survey cross sectional, yaitu melakukan pengukuran/observasi dan pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2002). Peneliti ini menggambarkan pengetahuan ibu tentang ISPA dengan upaya pencegahan terjadinya ISPA pada balita di Desa Karang Jati Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Ibu yang memiliki Balita di Desa Karangjati Kec. Bergas Kab. Semarang, 2013 Pendidikan SD SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah
Frekuensi 21 22 29 6 78
Persentase (%) 26,9 28,2 37,2 7,7 100,0
BerdasarkanTabel 5.1, dapatdiketahui bahwa dari 78 responden ibu yang memiliki balita di DesaKarangjatiKec. Bergas, Kab. Semarang, paling banyak ibu berpendidikan SMA, yaitu sejumlah 29 orang (37,2%). Tabel 5.2 DistribusiFrekuensi Berdasarkan Pekerjaan Ibu yang memiliki Balita di Desa Karangjati Kec.Bergas Kab. Semarang, 2013 Pekerjaan IRT Karyawan Swasta Wiraswasta PNS Buruh Jumlah
Frekuensi 27 21 11 4 15 78
Persentase (%) 34,6 26,9 14,1 5,1 19,2 100,0
BerdasarkanTabel 5.2, dapat diketahui bahwa dari 78 responden ibu yang memiliki balita di DesaKarangjatiKec. Bergas, Kab. Semarang, paling banyak ibu bekerja
sebagai ibu rumah tangga, yaitu sejumlah 27 orang (34,6%). Analisis Univariat Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan Ibu tentang ISPA pada Balita di Desa Karangjati Kec. Bergas Kab. Semarang, 2013 Pengetahuan Kurang Sedang Baik Jumlah
Frekuensi 36 19 23 78
Persentase (%) 46,2 24,4 29,5 100,0
BerdasarkanTabel 5.3,dapatdiketahui bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang ISPA pada balita di Desa Karangjati Kec. Bergas Kab. Semarang, paling banyak dalam kategori kurang, yaitu sejumlah 36 orang (46,2%). Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Upaya Pencegahan ISPA pada Balita di Desa Karangjati Kec. Bergas Kab. Semarang, 2013 Upaya Pencegahan ISPA Kurang Sedang Baik Jumlah
Frekuensi
Persentase (%) 37,2 32,1 30,7 100,0
29 25 24 78
BerdasarkanTabel 5.4, dapatdiketahui bahwa upaya pencegahan terjadinya ISPA pada balita di Desa Karangjati Kec. Bergas Kab. Semarang, paling banyak dalam kategori kurang, yaitu sejumlah 29 orang (37,2%). Analisis Bivariat Tabel 5.5 Hubungan antara Pengetahuan Ibu tentang ISPA dengan Upaya Pencegahan terjadinya ISPAdi Desa Karangjati Kec. Bergas Kab. Semarang, 2013 Upaya Pencegahan ISPA Pengetahuan Kurang Sedang Baik f % f % f % Kurang 17 47,2 11 30,6 8 22.2 6 31,6 10 52,6 3 15.8 Sedang 6 26,1 4 17,4 13 56.5 Baik Jumlah 29 37,2 25 32,1 24 30.8
Total f 36 19 23 78
pχ2 value % 100 13,174 0,010 100 100 100
BerdasarkanTabel5.5,dapatdiketahuibah wa ibu dengan pengetahuan kurang sebagian besar melakukan upaya pencegahan ISPA dalam kategori kurang sejumlah 17 orang (47,2%), ibu dengan pengetahuan sedang sebagian besar melakukan upaya pencegahan ISPA dalam kategori sedang sejumlah 10 orang (52,6%), dan ibu dengan pengetahuan baik sebagian besar melakukan upaya pencegahan ISPA dalam kategori baik sejumlah 13 orang (56,5%). PEMBAHASAN Dari hasil angket pengetahuan ibu tentang ispa di Desa Karang Jati Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang didapatkan 33,3% ibu balita tidak mengetahuai pengertian ISPA, 47,4% ibu balita tidak tahu bakteri merupakan penyebab ISPA, 28,4% ibu balita mejawab virus bukan merupakan penyebab ISPA, 42,3% tadak tahu jamur merupakan penyebab ISPA, 30,8% menjawab ISPA tidak ditularkan melalui bersin, 42,3% ibu balita tidak tahu ISPA ditularkan melalui batuk, 32,1% ibu balita tidak tahu demam merupakan tanda ISPA, 46,2% ibu balita tidak tahu batuk merupakan tanda ISPA, 37,2% ibu balita tidak tahu nyeri perut merupakan tanda dan gejala ISPA, 46,2% ibu balita tidak tahu perdarahan merupakan bahaya ISPA, 44,9% ibu balita menjawab kejang bukan termasuk bahaya ISPA, 44,9% ibu balita tidak tahu apakah diare terjadi pada anak ibu yang menderita ISPA, 59,0% ibu balita tidak tahu anoreksia merupakan tanda ISPA. Menurut Latipun, (2001) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan diantaranya : Pendidikan yaitu semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal-hal yang baru tersebut. Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat menngkatkan kualitas hidup (Notoatmodjo, 2003).
Kultur atau budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena informasi-informasi yang baru akan disaring apakah sesuai tidak dengan budaya yang ada dan agama yang dianut. Gambaran upaya pencegahan ISPA pada balita Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa upaya pencegahan terjadinya ISPA pada balita menunjukkan baik 30,7% (24 ibu balita), sedang 32,1% (25 ibu balita) dan kurang 37,2% (29 ibu balita). Dari hasil angket upaya pencegahan terjadinya ISPA di Desa Karang Jati Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang dapatkan ibu yang tidak memberikan imunisasi pada balita 32,1%, 41,0% tidak menyediakan air bersih di rumah, 52,6% tidak selalu menyapu lantai rumah setiap hari, 48,7% tidak membuka pintu atau jendela pada pagi hari, 37,2% tidak menjauhkan anakdari orang yang merokok, 47,4% ibu tidak memberikan ASI ekslusif sampai usia 6 bulan, 48,7% ibu menyuapi anak makan tidak menjaga kebersihan, 48,7% tidak menganjurkan untuk mencuci tangan dengan sabun terlebih dahulu sebelum makan, 52,6% ibu tidak membersihkan pipis pada anaknya. Dari hasil penelitian faktor pekerjaan mempengaruhi upaya pencegahan karena perhatian seorang ibu terhadap balitanya kurang dan balita yang tinggal sama bapak yang perokok itu bisa menpengaruhi upaya pencegahan terhadap penyakit ISPA atau yang lain yang di tularkan lewat udara atau polusi. Dalam penelitian ini didapatkan hasil upaya pencegahan ISPA yang baik telah dilakukan oleh ibu balita dengan cara memberikan imunisasi pada balita, menyediakan air bersih di rumah, menyapu lantai rumah setiap hari, membuka pintu atau jendela di pagi hari, menjauhkan balita dari orang yang merokok, memberikan ASI ekslusif sampai usia 6 bulan, menjaga kebersihan perseorangan atau keluarga. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat rasmaliah (2004), kuman Streptokokus akan terbawa bersama debu yang berterbangan dan terhirup oleh manusia yang melakukan aktivitas ditempat tersebut, ISPA dapat
ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernafasanya.. Adanya perubahan perilaku pada seseorang dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu : kognitif, afektif dan psikomotor. Dimana komponen kognitif berisi kepercayaan yang dimiliki oleh individu mengenai sesuatu, sedangkan komponen afektif merupakan perasan yang menyangkut asfek emosional. Sehingga seseorang telah melewati kedua komponen tersebut maka seseorang akan cendrung melakukan suatu perubahan prilaku sebagai komponen psikomotor sesuai dengan kepercayaan dan sikap seseorang terhadap suatu obyek (Notoadmodjo, 2003).
mongoloid, cenderung membawa kelainan faktor genetik yang menyebabkan munculnya penyakit seperti syndrom down serta memiliki daya tahan yang lemah terhadap penyakit. Pada orang dengan ras negroid cenderung memilki daya tahan tubuh yang lebih kuat sehingga mereka jarang terkena sakit (Mukthy, 2001). Perilaku seseorang erat kaitanya dengan perilaku yang akan diambilnya, karena dengan pengetahuan tersebut ia akan memiliki alasan dan landasa untuk menentukan satu pilihan. Kekurangan pengetahuan tentang penyakit yang diderita akan mengakibatkan tidak terkendalinya proses perkembangan penyakit, termasuk deteksi dini adanya komlikasi penyakit (Bondan, 2002).
Hubungan pengetahuan ibu tentang ISPA dengan upaya pencegahan terjadinya ISPA pada balita Seseorang yang memiliki pertahanan tubuh yang lemah akan cenderung terkena penyakit, misalnya ISPA. Adanya polusi udara disertai daya imunitas yang kurang dapat memperparah penyakit ISPA. Faktorumur, kronologis umur berpengaruh pada imunitas terbukti bahwa sistem imun yang hipofungsi banyak terjadipadabayidan orang yang sangattua.Kedua kelompok umur ini khusus rentan terhadap infeksi yang mematikan. Kejadian ISPA dan pneumonia yang fatal oleh streptokokus, pneumonia, dan influenza merupakan kejadian umum pada anak-anak, dewasa, dan lansia. Pendewasaaan manusia dari kehidupan janin ke keadaan menjadi tua diikuti oleh perkembangan yang sesuai dari respon imunologik . Berdasarkan jenis kelamin, perempuan lebih rentang terkena penyakit dari pada laki-laki. Namun hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor yang lain, misalnya status nutrisi, lama paparan, frekuensi paparan, daya tahan tubuh, penyakit lain yang menyertai dan lain-lain. Beberapa ras tertentu diduga lebih sering menderita beberapa penyakit tertentu. Pada penyakit ISPA dapat dipengaruhi oleh faktor ras. Secara genetik ada ras tertentu yang memiliki ketahanan tubuh yang lemah terhadap suatu penyakit. Misalnya pada ras
Kesimpulan 1. Gambaran pengetahuan ibu tentang ISPA yang berpengetahuan baik sebesar 29,5% (23 ibu balita), sedang 24,4% (19 ibu balita) dan kurang 46,2% (36 ibu balita). 2. Gambaran upaya pencegahan ISPA pada balitayaitu berjumlah baik 30,7% (24 ibu balita), sedang 32,1% (25 ibu balita) dan kurang 37,2% (29 ibu balita). 3. Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan upaya pencegahan terjadinya ISPA pada balita dengan p-value 0,010 dan nilaiχ2 hitung = 13,174 menunjukan korelasi positif yang berate semakin baik pengetahuan akan semakin baik pula upaya pencegahan terjadinya ISPA. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2006. Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik ( Edisi ke5). Jakarta: Rineka Cipta Arikunto, S (2002). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Bratawidjaya. (2002). Imunologi dasar. Jakarta ; FKUI
Corwin, Elizabet J.(2008) Alih bahasa Pendit Brahm. U. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC,. Depkes RI. (2000). Informasi tentang ispa pada anak balita. Jakarta: Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat.
Depkes
RI. (2002). Pedoman pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan akut untuk penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. (2003). Survei Demografi & Kesehatan Indonesia.Jakarta Depkes RI. (2004). Lokakarya dan rakernas pemberantasan infeksi saluran pernafasan akut. Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia. Depkes RI. (2005). Rencana kerja jangka menengah nasional penanggulangan pneumoni balita tahun 2005-2009. Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia. Depkes RI. (2007). Profil Kesehatan di Indonesia. Jakarta. Hartono, R.,Rahmawati dwi, H. (2012) Ganguan pernafasan pada anak.Yogyakarta: Nuha Medika. Hidayat, A. Aziz (2007) , Metode Penelitian Keperawatan dan teknik Analisa Data ,. Penerbit Salemba medika. Latipun. (2001). Psikologi sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Muaris.H. (2006). Sarapan Sehat Untuk Anak Balita. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Mubarak, Wahit Iqbal. (2005). Pengantar keperawatan komunitas 1. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Mukono. (2000). Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga Universty Press. Mukthy, Abdul. (2001). Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya: Airlangga University Press. Misnadiarly. (2008). Penyakit infeksi saluran nafas pneumonia. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika. Riady (2009). Asuhan keperawatan anak Edisi pertama. Yogyakarta : Graham ilmu Rasmaliah. (2004). Infeksi saluran pernafasan akut (ispa) dan penanggulangannya. Retrieve:Oktober25,2008,from http://www.google.com/search?q=ca che:7PY7lGw31NYJ:library.usu.ac.i d/modules.php%3Fop%3Dmodload %26name%3D Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif Dan R & D. Bandung : Alfabeta Sutanto,(2007), Sistem Informasi Akuntansi, Penerbit Lingga Jaya, Bandung. Suriadi. (2006). Asuhan keperawatan anak. Jakarta. Uripi, Vera. (2004). Menu Sehat Untuk Balita. Jakarta : Puspa Suara. WHO. (2003). Penenganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang Pedoman untuk
Dokter dan Petugas Kesehatan Senior. Jakarta: EGC. Widoyono. (2008). Penyakit tropis. Jakarta : Erlangga. Wong. (2008). Pedoman klinis kerawatan pediatrik. Edisi 6. Jakarta: EGC.