ISSN 1978-0346
Volume 3, Nomor 1, Januari 2011
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo - Ungaran
JGK
Vol. 3
No. 1
Halaman 1 - 47
Ungaran Januari 2011
ISSN 1978-0346
ISSN : 1978-0346 Penanggung jawab
:
Pimpinan Umum Wakil Pimpinan Umum
: :
Asaat Pitoyo. S.Kp.,M.Kes. (Ketua STIKES Ngudi Waluyo) Drs. Sugeng Maryanto, M.Kes. Puji Pranowowati, S.KM, M.Kes.
REDAKSI Editor Pelaksana Ketua : Wakil Ketua :
Yuliaji Siswanto, S.KM, M.Kes.(Epid). Rosalina, S.Kp., M.Kes.
Anggota
:
Auly Tarmaly, SKM, M.Kes. Drs. Jatmiko Susilo, Apt, M.Kes. Puji Purwaningsih, S.Kep. Ns Heni Hirawati Pranoto, S.SiT Galeh Septiar Pontang, S.Gz.
:
Prof. dr. Siti Fatimah Muis,M.Sc.,Sp.GM dr. Ari Udiyono, M.Kes Ir. Suyatno, M.Kes dr. Kusmiyati D.K , M.Kes.
: :
Sukarno, S.Kep., Ns. Heni Purwaningsih, S.Kep., Ns.
Editor Ahli
SEKRETARIAT BENDAHARA
JGK diterbitkan 2 kali dalam satu tahun. Harga langganan : Rp. 25.000,Alamat Redaksi : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Jl. Gedongsongo-Mijen, Ungaran Tlp: 024-6925408, Fax: 024-6925408 E-mail : www.nwu.ac.id
ISSN 1978-0346 Vol. 3, No. 1, Januari 2011
Daftar Isi
Tri Nurmiyati SR. Aflah Rahim Hillan Fitria Primi Astuti
Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Bidan terhadap Penggunaan Partograf di Wilayah Kecamatan Madukara dan Kecamatan Pagentan Kabupaten Banjarnegara
1 – 10
Dewi Puspita Imron Rosyidi
Identifikasi Motivasi Pencegahan HIV/AIDS pada Remaja di SMA Bhinneka Karya Boyolali
11 – 15
Khoiru Millatin Auly Tarmali Yuliaji Siswanto
Hubungan Antara Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang
16 – 28
Raharjo Apriyatmoko Heri Susanto
Hubungan Fungsi Sosial dengan Kenakalan Remaja
Keluarga
29 – 33
Zumrotul Choiriyyah Imron Rosyidi
Analisa Pengetahuan dan Perilaku (Sikap) Orang Tua dalam Stimulasi Tumbuh Kembang pada Anak Retardasi Mental di SLB Kota Madya Semarang
34 – 39
Ita Puji Lestari Puji Pranowowati Auly Tarmali
Hubungan Antara Stress Kerja Dengan Kejadian Insomnia Pada Pekerja Pabrik Roti Saudara Kota Semarang
40 – 47
iii
Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Bidan terhadap Penggunaan Partograf di Wilayah Kecamatan Madukara dan Kecamatan Pagentan Kabupaten Banjarnegara Tri Nurmiyati*), SR. Aflah Rahim Hillan**), Fitria Primi Astuti***) *)
Alumni Program Studi D IV Kebidanan STIKES Ngudi Waluyo Staf pengajar AKBID Ngudi Waluyo ***) Staf pengajar D III Kebidanan STIKES Ngudi Waluyo **)
ABSTRAK Derajat kesehatan di Indonesia hingga saat ini masih memprihatinkan. Faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah kuantitas dan kualitas tenaga bidan. Faktor yang mempengaruhi tingginya AKI dan AKB di Kabupaten Banjarnegara adalah masih adanya bidan yang kurang kompeten dalam penanganan kegawatdaruratan serta kondisi ibu dan janin saat dirujuk sudah dalam keadaan yang kurang baik. Hal tersebut seharusnya dapat dicegah apabila bidan patuh dan disiplin menggunakan partograf dalam proses persalinan. Berkaitan dengan masalah tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan bidan terhadap penggunaan partograf di wilayah Kecamatan Madukara dan Kecamatan Pagentan Kabupaten Banjarnegara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelatif dengan pendekatan secara cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah bidan yang sudah mengikuti pelatihan APN yang diambil secara purposive sebanyak 54 responden. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data berupa kuesioner yang terdiri atas pengetahuan 17 pertanyaan dan kepatuhan 33 pertanyaan. Kemudian diolah dengan program SPSS. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan sebagian besar responden (48,1%) berpengetahuan baik. Sedangkan hampir semua responden tidak patuh terhadap penggunaan partograf (96,3%). Hasil penelitian ini ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Bidan terhadap Penggunaan Partograf (p=0,519 ≤ 0,05). Diharapkan agar para bidan dapat menumbuhkan sikap profesionalisme khususnya yang berkaitan dengan pentingnya kepatuhan dalam penggunaan partograf dalam proses persalinan. Kata Kunci
: Pengetahuan, Kepatuhan bidan dan Partograf
PENDAHULUAN Derajat kesehatan ibu dan bayi baru lahir di Indonesia hingga saat ini masih memprihatinkan. Hal itu dapat terlihat dari masih tingginya AKI dan AKB di Indonesia. Salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan yaitu dengan mengetahuai Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). AKI dan AKB di Indonesia merupakan angka kematian terbesar di Asia Tenggara.1) Kematian ibu di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun, walaupun penurunan tersebut belum signifikan. Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2003 AKI menunjukkan 307/100.000 Kelahiran Hidup
dan mengalami penurunan pada tahun 2007 menjadi 228/100.000 Kelahiran Hidup. Sedangkan AKB sebesar 35 per 1.000 Kelahiran Hidup pada tahun 2003 dan menurun pada tahun 2007 yaitu menjadi 34 per 1.000 Kelahiran Hidup.2) Adapun AKI untuk Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008 sebanyak 97,96 per 100.000 Kelahiran Hidup dan AKB sebesar 9,27 per 1000 Kelahiran Hidup. Di Kabupaten Banjarnegara tahun 2009, AKI menunjukkan sebesar 125,5 per 100.000 Kelahiran Hidup, sedangkan AKB 19,9 per 1.000 Kelahiran Hidup.3) Di Indonesia penyebab kematian langsung pada ibu bersalin adalah perdarahan 45%, infeksi 15%, dan eklamsi 13%. Penyebab lain komplikasi aborsi 11%, partus lama 9%. Sedangkan penyebab kematian tidak
1
langsung adalah anemia 15%, Kurang Energi Kronis (KEK) 30%, komplikasi kehamilan dan persalinan menunjukkan 15% sampai dengan 20% dari seluruh kehamilan. Sekitar 65% ibu hamil mengalami keadaan “4 terlalu” (terlalu muda menikah, terlalu tua untuk hamil, terlalu sering melahirkan dan terlalu banyak hamil).4) Faktor pendukung lain yang menyebabkan kematian ibu adalah kuantitas dan kualitas tenaga penolong khususnya tenaga bidan. Pada tahun 2007 cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia sebesar 77,21% dan pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 80,08%.2) Kondisi ini yang melatarbelakangi kematian karena bidan sering terlambat dan ada 3 keterlambatan yaitu terlambat mengambil keputusan, terlambat merujuk, dan terlambat mendapatkan penanganan medis yang memadai ditempat pelayanan kesehatan.5) Beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya AKI dan AKB di Kabupaten Banjarnegara, antara lain : masih adanya bidan yang kurang kompeten dalam penanganan kegawatdaruratan baik obstetri maupun neonatal, masih kurang tercukupinya sarana logistik (obat dan peralatan) di beberapa puskesmas non PONED, ketidakberdayaan sebagian ibu hamil baik normal maupun beresiko selama kehamilan untuk memutuskan mencari pertolongan dalam persalinan dengan tenaga kesehatan (bidan) yang mengakibatkan masih banyaknya persalinan tanpa pertolongan, masihkurangnya pemanfaatan sarana kesehatan baik PKD, Pustu dan Puskesmas yang tersedia oleh masyarakat serta kondisi ibu dan janin saat dirujuk sudah dalam keadaan yang tidak baik, ditambah lambatnya pertolongan di tempat rujukan (RS).3) Berbagai upaya telah dilakukan terkait dengan resiko terjadinya komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan termasuk pencegahannya. Pada tahun 2000 pemerintah telah mencanangkan Making Pregency Safer (MPS). Tujuan dari program ini adalah melindungi hak reproduksi dan hak asasi manusia pada wanita dengan cara mengurangi beban kesakitan, kecacatan dan kematian yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan. Dalam mengantisipasi permasalahan obstetrik tersebut kebijakan Depkes RI untuk mempercepat penurunan AKI adalah melalui pergeseran paradigma yaitu menggeser pola pikir yang berfokus pada penatalaksanaan persalinan dari kebiasaan menunggu dan menanggani komplikasi, menjadi mencegah
kemungkinan terjadinya komplikasi dengan menggunakan partograf. Dengan menggunakan partograf bidan akan dapat memantau kondisi ibu, janin dan kemajuan persalinan dalam pengawasan kemajuan persalinan.6) Bidan sebagai salah satu tenaga kerja profesional di bidang kesehatan – Kebidanan (Midwifery) dituntut dapat memberikan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan kebidanan dan mampu memprediksi kelainan-kelainan yang terjadi selama proses persalinan dengan menggunakan partograf. Melalui grafik yang terdapat pada partograf bidan dapat menggambarkan keadaan janin, sehingga bila terdapat ketidaksesuian dan adanya kelainan, bidan dapat segera mengambil keputusan dengan tepat sesuai dengan prosedur kerja berdasarkan standar pelayanan kebidanan. Salah satunya adalah dengan menggunakan partograf.1) Partograf merupakan sarana pendokumentasian bagi bidan dalam memberikan asuhan kepada ibu bersalin berdasarkan Sandar Pelayanan Kebidanan (SPK). Partograf juga sebagai syarat legalnya persalinan atau sebagai perlindungan hukum bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.7) Selain itu partograf bermanfaat bagi klien yang akan melahirkan untuk memperoleh pelayanan kebidanan yang optimal. Dengan mengacu pada partograf kondisi kesehatan janin dan ibu senantiasa dipantau secara berkala yang meliputi; kontraksi dan denyut jantung janin yang dipantau setiap tiga puluh menit dan bila ada indikasi kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal bidan akan segera melakukan pemeriksaan dan selanjutnya mengambil keputusan yang tepat. Pengisian partograf harus tertib dan benar, bidan harus memiliki disiplin dalam penggunaan partograf.1) Mengingat pentingnya pengetahuan dan kepatuhan bidan dalam penggunaan partograf, maka sejak tahun 2006 secara bertahap bidan telah mengikuti Pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN) di Kabupaten Banjarnegara. Hampir semua bidan di Kabupaten Banjarnegara khususnya Kecamatan Madukara dan Kecamatan Pagentan sudah mengikuti pelatihan APN, salah satu materi pembahasan dalam pelatihan APN adalah membahas tentang partograf. Dengan harapan setelah bidan mengikuti pelatihan APN, bidan akan mengerti dan memahami tentang partograf dan bisa menggunakan partograf dengan tepat dan benar. Namun dalam kenyataannya sampai
2
sekarang masih ada bidan di Kecamatan Madukara dan Kecamatan Pagentan yang belum memahami tentang partograf dan cara penggunaan partograf dengan tepat dan benar. Hal ini terlihat dari penjajakan pada responden yang dilakukan penulis pada bulan juni 2010 terhadap 10 Bidan di Wilayah Kecamatan Madukara dan Kecamatan Pagentan ternyata ada 3 bidan yang belum mengetahui tentang partograf dan hanya 4 bidan yang sudah melaksanakan pengisian partograf dengan tepat dan benar dan selebihnya masih belum benar dalam cara pengisian partograf.
Berdasarkan tabel 1 di menunjukan bahwa sebagian responden (85,2 %) berumur 20 tahun dan sebagian kecil responden %) berumur >35 tahun. 2.
atas besar - 35 (14,8
Lama kerja Tabel 2 Distribusi Frekuensi Lama Kerja Lama kerja ≤ 3 tahun > 3 tahun Total
f
% 14,8 85,2 100,0
8 46 54
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelasi yang pada hakekatnya merupakan penelitian atau penelaah hubungan antara 2 variabel pada suatu situasi atau sekelompok subyek.8) Penelitian ini dilakukan secara cross sectional yaitu Pendekatan terhadap variable bebas (faktor resiko) dan variable terikat (faktor efek) diobservasi hanya sekali pada saat yang sama.9) Populasi merupakan semua karakter yang mungkin dari satu obyek secara lengkap dan jelas ingin diteliti.8) Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bidan di Wilayah Kecamatan Madukara dan Kecamatan Pagentan yang berjumlah 54 bidan. Sampel adalah sebagian yang mewakili populasi yang diteliti.10) Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu11), dan pertimbangan yang digunakan adalah sudah pernah mengikuti pelatihan APN. Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kecamatan Madukara dan Kecamatan Pagentan Kabupaten Banjarnegara. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Analisis data secara univariat dan bivariat dengan uji Kruskal-Walls dibantu dengan SPSS versi 13. HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden 1. Umur Tabel 1 Distribusi Frekuensi Umur Umur 20 - 35 tahun < 35 tahun Total
f 46 8 54
% 85,2 14,8 100,0
Berdasarkan tabel 2 di atas menunjukan bahwa sebagian besar responden (85,2%) sudah bekerja selama ≤ 3 tahun dan sebagian kecil responden (14,8%) lama bekerja > 3 tahun.
3.
Pendidikan Tabel 3 Distribusi Pendidikan Pendidikan D1 D3 Total
Frekuensi
f 5 49 54
% 9,3 90,7 100
Berdasarkan tabel 3 di atas menunjukan bahwa sebagian besar responden (90,7%) mempunyai pendidikan terakhir D3dan sebagian kecil responden (9,3%) mempunyai pendidikan terakhir D1. Analisis Univariat 1. Tingkat Pengetahuan Tabel 4 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Bidan tentang Partograf Pengetahuan Baik Cukup Kurang Total
f 26 12 16 54
% 48,1 22,2 29,6 100,0
Berdasarkan tabel 4 di atas menunjukan bahwa sebagian besar responden (48,1%) berpengetahuan baik dan sebagian kecil responden (22,2%) berpengetahuan cukup.
3
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Partograf Pertanyaan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Pengertian partograf Tujuan partograf untuk melihat hasil observasi dan kemajuan persalinan Semua tindakan dalam persalinan normal didokumentasikan pada partograf Partograf digunakan pada persalinan normal Partograf digunakan rutin dalam pertolongan persalinan Pengisian partograf dimulai dari kolom pembukaan serviks 4 cm Pemeriksaan DJJ dilakukan setiap 30 menit Air ketuban yang masihb utuh ditulis dengann huruf “U” Tanda untuk mencatat penurunan kepala yaitu “X” Pemeriksaan dalam dilakukan setiap 4 jam sekali Pemeriksaan protein urine dilakukan jika terdapat tanda pre eklamsia Penilaian molase dicatat dengan angka 1 jika tulang-tulang kepala janin saling bersentuhan Penurunan kepala dicatat dengan tanda “O” Semua obat yang diberikan dalam persalinan dicatat pada partograf Persalinan harus segera dilakuka jika pembukaan serviks melebihi garis waspada Pemantauan kala IV dilakukan dilakukan setiap 15 menit pada jam pertama dan 30 menit pada jam kedua Pengisian pertama kolom pembukaan serviks mengikuti garis waspada
Pada pengertian partograf sebagian besar responden menjawab benar (55,6%) dan sebagian kecil responden (44,4%) menjawab salah. Untuk tujuan pengisian partograf didapatkan persentase terbesar yaitu (64,8%) menjawab benar bahwa semua tindakan dalam pertolongan persalinan didokumentasikan pada partograf.partograf dan sebagian kecil responden (35,2%) menjawab salah. Partograf berfungsi dan dapat digunakan pada persalinan normal belakang kepala, menunjukan bahwa sebagian besar responden (77,8%) menjawab benar dan sebagian kecil responden (22,2 %) menjawab salah. Partograf digunakan secara rutin setiap asuha persalinan, menunjukan bahwa sebagian besar responden (68,5%) menjawab benar tentang waktu penggunaan partograf dan sebagian kecil responden (31,5%) menjawab salah. Komponen isi partograf yang meliputi pembukaan serviks, DJJ, air ketuban, penurunan kepala, prptein urine dan molase menunjukan bahwa sebagian besar responden menjawab benar tentang molase (83,3%) dan
Benar f % 30 55,6
f 24
Salah % 44,4
32
59,3
22
40,7
35
64,8
19
35,2
42 37 43
77,8 68,5 79,6
12 17 11
22,2 31,5 20,4
41 39 38 37 38
75,9 72,2 70,4 68,5 70,4
13 15 16 17 16
24,1 27,8 29,6 31,5 29,6
46
83,3
9
16,7
35 33
35,2 61,6
19 21
64,8 38,9
32
59,3
22
40,7
41
75,9
13
24,1
37
68,5
17
31,5
sebagian kecil menjawab salah (16,7%). Cara pengisian partograf menunjukan bahwa sebagian besar responden menjawab benar bahwa pemantauan kala IV dilakukan setiap 15 menit pada jam pertama dan 30 menit pada jam kedua dan sebagian kecil (24,1%). 2.
Kepatuhan Bidan terhadap Penggunaan Partograf Tabel 6 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Bidan terhadap Penggunaan Partograf
Kepatuhan Patuh Tidak Patuh Total
f 52 2 54
% 96,3 3,7 100
Berdasarkan tabel 6 di atas menunjukan hampir semua (96,3%) responden tidak patuh terhadap penggunaan partograf dan sebagian kecil (3,7%) responden patuh.
4
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Responden tentang Kepatuhan dalam Pendokumentasian Partograf Selalu
Pertanyaan f
1. Setiap asuhan persalinan didokumentasikan pada partograf 2. Pengisian partograf dimulai pada fase aktif
3. DJJ dikontrol setiap 30 menit 4. Selaput ketuban yang masih utuh ditulis dengan tanda “U” 5. Selaput ketuban sudah pecah dan berwarna jernih ditulis dengan tanda “J” 6. Selaput ketuban sudah pecah bercampur mekonium ditulis dengan tanda “M” 7. Selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban kering ditulis dengan tanda “K” 8. Jika tulang-tulang kepala janin terpisah ditulis dengan tanda “0” 9. Jika tulang-tulang kepala janin bersentuhan ditulis dengan tanda “1” 10. Jika tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih dan dapat dipisahkan ditulis dengan tanda “2” 11. Jika tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih dan tidak dapat dipisahkan ditulis dengan tanda “3” 12. Pemeriksaan diperiksa setiap 4 jam 13. Hasil pemeriksaan dalam ditulis dengan tanda “X” 14. Jika pembukaan melebihi garis waspada maka pasien harus segera dirujuk 15. Penurunan kepala janin dinilai setiap melakukan pemeriksaan dalam 16. Penurunan kepala ditulis dengan tanda “O” 17. Pengontrolan kontraksi dilakukan setiap 30 menit 18. Pengontrolan kontraksi dilakukan selama 15 menit 19. Apabila kontraksi berlangsung selama 20-40 detik ditulis dengan tanda 20. Apabila kontraksi berlangsung selama >40 detik ditulis dengan tanda 21. Pengontrolan TD dilakukan setiap 4 jam 22. Hasil pengontrolan TD ditulis dengan tanda “ 23. Pengontrolan nasi setiap 30 menit 24. Nadi ibu ditulis dengan tanda “ “ 25. Hasil pemeriksaan urine dicatat pada partograf 26. Pemantauan kala IV dilakukan setiap 30 menit
Setiap asuhan persalinan didokumentasikan pada lembar partograf menunjukan bahwa sebagian besar responden (48,1%) menjawab selalu mendokumentasikan partograf dan sebagian kecil responden
%
Sering f
%
Kadangkadang f %
Tidak pernah f %
26
48,1
9
16,7
22
20,4
26
48,1
3
5,6
16
29,6
34
63,0
3
5,6
9
16,7
34
63,0
2
3,7
13
24,1
5
9,3
25
46,3
7
13,0
12
22,2
10
18,5
26
48,1
9
16,7
9
16,7
10
18,5
26
48,1
9
16,7
10
18,5
9
16,7
29
53,7
6
11,1
13
24,1
6
11,1
26
48,1
5
9,3
14
15,9
9
16,7
24
44,4
9
16,5
15
27,8
6
11,1
27
50,0
7
13,0
15
27,8
5
9,3
33
61,0
6
11,1
11
20,4
4
7,4
39
72,2
5
9,3
7
13,0
3
5,6
35
64,8
6
11,1
10
18,5
3
5,6
30
55,6
9
16,7
8
14,8
7
13,0
33
61,6
3
5,6
7
13,0
11
20,4
30
55,6
3
5,6
16
29,6
5
9,3
24
44,4
8
14,8
17
31,5
5
9,3
26
48,1
11
20,4
11
20,4
6
11,1
29
53,7
10
18,5
10
18,5
5
9,3
32
59,3
8
14,8
8
14,8
6
11,1
30
55,6
6
11,1
15
27,8
3
5,6
30 37
55,6 68,5
7 6
13,0 11,1
15 16
27,8 51,5
2 5
3,7 9,3
31
57,4
3
5,6
16
29,6
4
7,4
26
48,1
5
9,3
12
22,2
11
20,4
8 9 8
14,8 16,7 14,8
(14,8%) menjawab tidak pernah. Kepatuhan dalam penggunaan partograf yang meliputi pembukaan serviks, DJJ, Selaput ketuban, Molase, penurunan kepala, kontraksi uterus, TD, nadi, Urine dan pemantauan pada kala IV
5
menunjukan sebagian besar responden (72,2%) menjawab selalu memberi tanda “X” untuk menuliskan hasil pembukaan dan sebagian kecil (5,6%) menjawab tidak pernah. Analisis Bivariat Analisis bivariat dimaksudkan untuk membuat suatu kesimpulan dengan melakukan suatu pembuktian secara analitik mengenai Tabel
8
hubungan antara dua variabel yang teliti dengan melakukan uji hipotesis yang telah ditetapkan dengan menggunakan uji KruskalWalls. Korelasi dapat diketahui dengan melihat p value. Bila p ≤ 0,05 maka H0 ditolak berarti ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan terhadap penggunaan partograf.
Tabel Silang Pengetahuan dengan Kepatuhan Bidan terhadap Penggunaan Partograf
Kepatuhan Patuh Tidak patuh Total
Baik f % 1 3,8 25 96,2 26 48,2
Pengetahuan Cukup Kurang f % f % 1 8,3 0 0,0 11 91,7 16 100,0 12 22,2 16 29,6
Berdasarkan tabel 8 menunjukan sebagian besar responden (96,2%) yang berpengetahuan baik tetapi tidak patuh terhadap penggunaan partograf dan hanya (3,8%) responden yang berpengetahuan baik yang patuh terhadap penggunaan partograf. Responden yang berpengetahuan cukup yaitu (91,7%) tidak patuh terhadap penggunaan partograf dan hanya (8,3%) yang patuh terhadap penggunaan partograf. Semua responden yang berpengetahuan kurang yaitu (100,0%) tidak patuh terhadap penggunaan partograf. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p value 0,519, karena p value < 0,05 maka dikatakan Ha ditolak berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan bidan terhadap penggunaan partograf di wilayah Kecamatan Madukara dan Kecamatan Pagentan Kabupaten Banjarnegara.
PEMBAHASAN Karakteristik Responden 1. Umur Pada tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (85,2%) berumur 20-35 tahun. Pada umur 20-30 tahun merupakan kelompok umur yang sangat produktif. Dewasa ini produktifitas bidan meliputi bekerja untuk mencari nafkah baik untuk bekerja maupun untuk mencari nafkah, dan bidan juga masih bisa menerima materi pengetahuan yang baru sehingga pengetahuan intelektualnya bertambah baik
Total f 2 52 54
% 3,7 96,3 100,0
p value 0,519
Umur merupakan lama hidup yang dihitung sejak dilahirkan. Semakin bertambah umur seseorang, semakin bertambah pula daya tangkapnya sehingga tingkat pengetahuan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.12) Umur juga berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan karena kemampuan mental yang diperlukan untuk mempelajari dan menyusun daripada situasi-situasi baru, seperti mengingat hal-hal yang pernah dipelajari, penalaran analogi dan berfikir kreatif. Di mana pada umur rata-rata 2035 tahun, kematangan intelektual sedang berkembang dan mencapai puncaknya, sehingga dengan pelatihan-pelatihan bisa meningkatkan pengetahuan responden tentang partograf dan responden akan lebih cepet menerima dan memahami ilmu atau informasi yang disampaikan sehingga tercapai standarisasi pertolongan persalinan secara maksimal. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini bahwa pengetahuan mereka baik kemungkinan karena usia responden dalam penelitian ini adalah usia produktif di mana kematangan intelektual sedang berkembang dan mencapai puncaknya sehingga akan lebih cepat menerima dan memahami ilmu atau informasi yang disampaikan meskipun tidak melalui jalur pendidikan formal.
2. Lama Kerja Pada tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (85,2%) sudah bekerja > 3 tahun. Pengalaman
6
belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman belajar, selama belajar akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah. Bidan yang mempunyai masa kerja lebih lama tentunya mempunyai pengetahuan dan pengalaman serta dapat mengembangkan kemampuan dalam mengambil keputusan yang tepat yaitu kepatuahan dalam penggunaan partograf di setiap asuhan persalinan yang diberikan dibandingkan dengan bidan yang masa masa kerjanya baru.
3. Pendidikan Pada tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (90,7%) adalah berpendidikan DIII Kebidanan dan sebagian kecil responden (9,3%) berpendidikan DI Kebidanan. Pendidikan bidan yang tinggi diharapkan pengetahuan yang dimiliki seorang bidan cukup tinggi. Makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah orang tersebut menerima informasi.12) Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun media masa, semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Dengan pendidikan yang tingggi, bidan akan lebih mudah memahami dan mencerna hal-hal baru yang di ditemuinya sehingga sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Bidan yang berpendidikan tinggi semakin mudah menyerap informasi sehingga memiliki persepsi yang lebih baik dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah.
Analisis Univariat
1. Gambaran Tingkat pengetahuan bidan Hasil penelitian secara umum terlihat pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan responden tentang partograf kelompok terbanyak pada kategori baik (48,1%) dan kelompok terkecil pada kategori cukup (22,2%). Lingkup pengetahuan responden dalam penelitian ini meliputi pengertian partograf, tujuan penggunaan partograf,
fungsi partograf bagi bidan, waktu penggunaan partograf, komponen isi partograf dan cara pengisian partograf berada dalam kategori baik. Partograf digunakan sebagai alat untuk memantau keadaan ibu dan janin. Dengan partograf akan lebih cepat menemukan adanya persalinan abnormal yang memerlukan tindakan segera baik pembedahan kebidanan atau tindakan patologi pervaginam.7) Oleh karena partograf sangat berguna sebagai acuan jalannya persalinan yang aman. Maka sebagai bidan harus benar-benar mempunyai pengetahuan tentang pertograf agar terwujud persalinan yang aman. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior). Tingkat pengetahuan didalam kognitif ada 6 tingkatan yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.12) L. Green dalam Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi sebagai penunjang kemampuan bidan dalam penggunaan partograf yang didapat melalui pendidikan dan pelatihan yang didikuti sehingga pengetahuannya akan lebih luas tentang partograf. Berdasarkan tabel 5. 5 menunjukkan bahwa pada pengertian partograf sebagian besar responden menjawab benar (55,6%) dan sebagian kecil responden (44,4%) menjawab salah. Untuk tujuan pengisian partograf didapatkan persentase terbesar yaitu (64,8%) menjawab benar bahwa semua tindakan dalam pertolongan persalinan didokumentasikan pada partograf.partograf dan sebagian kecil responden (35,2%) menjawab salah. Partograf bertujuan untuk mencatat hasil pemeriksaan fisik, mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan serta dapat mendeteksi apakah proses persalinan berjalan lancar secara normal sehingga dapat mendeteksi secara dini setiap kemungkinan terjadinya partus lama.1) Partograf berfungsi dan dapat digunakan pada persalinan normal belakang kepala, menunjukan bahwa sebagian besar responden (77,8%) menjawab benar dan sebagian kecil responden (22,2 %) menjawab salah. Fungsi partograf bagi penolong persalinan
7
yaitu mencatat kemajuan persalinan, mencatat kondisi ibu dan janin, mencatat temuan selama proses persalinan, mengidentifiksai adanya penyulit persalinan secara dini serta memutuskan tindakan klinik yang sesuai dan tepat waktu.1) Partograf digunakan secara rutin setiap asuha persalinan, menunjukan bahwa sebagian besar responden (68,5%) menjawab benar tentang waktu penggunaan partograf dan sebagian kecil responden (31,5%) menjawab salah. Komponen isi partograf yang meliputi pembukaan serviks, DJJ, air ketuban, penurunan kepala, prptein urine dan molase menunjukan bahwa sebagian besar responden menjawab benar tentang molase (83,3%) dan sebagian kecil menjawab salah (16,7%). Cara pengisian partograf menunjukan bahwa sebagian besar responden menjawab benar bahwa pemantauan kala IV dilakukan setiap 15 menit pada jam pertama dan 30 menit pada jam kedua dan sebagian kecil (24,1%). Partograf diisi oleh bidan setiap melakukan asuhan persalinan berupa pemantauan pada pada kala I sampai kala IV dan diisi dengan tepat dan benar sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan.1) Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa sebagian responden memahami tentang komponen partograf yaitu sebesar (83,3%). Komponen isi partograf diantaranya adalah tentang penilaian air ketuban, penurunan kepala, penilaian molase, pembukaan serviks dan pemantauan kala IV persalinan. Komponen partograf harus diisi secara rutin oleh semua bidan dalam memberikan asuhan kepada ibu selama persalinan dan kelahiran.1)
2. Kepatuhan bidan Berdasarkan tabel 5.6 menunjukan hampir semua (96,3%) responden tidak patuh terhadap penggunaan partograf dan sebagian kecil (3,7%) responden patuh. Lingkup kepatuhan responden meliputi kepatuhan pendokumentasian partograf, proses pemantauan pada kala I persalinan dan pemantauan kala II, III dan IV. Pemantauan dalam manggunakkan partograf dapat mendeteksi secara dini adanya kelainan-kelainan selama kala I dan bisa segera menentukan tindakan
yang harus dilakukan demi keselamatan ibu dan bayi.1) Kepatuhan bidan dalam penggunaan partograf sangat penting. Sikap dan tindakan bidan dalam penggunaan partograf dilandasi oleh sikap profesional yang meliputi : kedisiplinan, kesadaran, kejujuran dan kepatuhan sehingga dapat memenuhi tuntutan profesi dalam penggunaan partograf secara benar dan tepat. Dampak dari faktor diatas akan meningkatkan kualitas pelayanan kebidanan. Sikap bidan merupakan kesiapan dan kesediaan untuk bertindak secara tepat dan benar.12) Dalam mengantisipasi tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin bermutu terhadap pelayanan kebidanan, perubahan-perubahan yang cepat dalam upaca meningkatkan kualitas kesehatan yang lebih baik. Diharapkan dengan meningkatkan pelayanan kebidanan, maka kepatuhan bidan dalam menggunakan partograf sangat penting dan semua persalinan dengan masalah dapat dideteksi serta dapat dilakukan intervensi secara dini. Sehingga pada akhirnya AKI dan AKB menurun. Pada tabel 5.7 menunjukan bahwa setiap asuhan persalinan didokumentasikan pada lembar partograf sebagian besar responden (48,1%) menjawab selalu mendokumentasikan partograf dan sebagian kecil responden (14,8%) menjawab tidak pernah. Kepetuhan dalam penggunaan partograf yang meliputi pembukaan serviks, DJJ, Selaput ketuban, Molase, penurunan kepala, kontraksi uterus, TD, nadi, Urine dan pemantauan pada kala IV menunjukan sebagian besar responden (72,2%) menjawab selalu memberi tanda “X” untuk menuliskan hasil pembukaan dan sebagian kecil (5,6%) menjawab tidak pernah. Dapat dilihat hampir semua responden menjawab selalu melakukukan serta melengkapi semua komponen yang terdapat pada halaman depan partograf baik penulisan hasil pemeriksaan DJJ, penilaian warna air ketuban, penilaian selaput ketuban, penilaian molase, pemeriksaan dalam, garis waspada dan garis bertindak, penurunan kepala janin, pengontrolan kontraksi uterus, obat/cairan selama asuhan persalinan, pengontrolan TD, pengontrolan nadi ibu, dan pemeriksaan urine.
8
Partograf digunakan untuk mencatat hal-hal yang terjadi selama proses persalinan dan kelahiran, serta tindakan-tindakan yang dilakukan sejak persalinan kala I hingga kala IV (termasuk bayi baru lahir). Nilai dan catat asuhan yang diberikan pada ibu dalam masa nifas terutama selama persalinan kala IV untuk memungkinkan penolong persalinan mengetahui secara dini jika terjadi penyulit selama proses persalinan dan dapat membuat keputusan klinik yang sesuai (Depkes RI, 2008).1) Oleh karena itu bidan harus memetuhi tentang pengisian partograf dan cara pendokumentasian yang benar sehingga dengan partograf bisa memastikan para ibu dan bayinya mendapat asuhan yang aman dan tepat waktu. Analisa Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Bidan Pada 5.8 menunjukan sebagian besar responden (92,2%) yang berpengetahuan baik tetapi tidak patuh terhadap penggunaan partograf dan hanya (3,8%) responden yang berpengetahuan baik yang patuh terhadap penggunaan partograf. Responden yang berpengetahuan cukup yaitu (91,7%) tidak patuh terhadap penggunaan partograf dah hanya (8,3%) yang patuh terhadap penggunaan partograf. Semua responden yang berpengetahuan kurang yaitu (100,0%) tidak patuh terhadap penggunaan partograf. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan ρ value 0,519, karena ρ value < 0,05 maka dikatakan Ha ditolak berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan bidan terhadap penggunaan partograf di wilayah Kecamatan Madukara dan Kecamatan Pagentan Kabupaten Banjarnegara. Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya tentang hubungan karakteristik bidan dengan praktik bidan dalam pengisian partograf di wilayah Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal.13) Pengetahuan adalah hasil dari tahu terhadap obyek melalui indera yang dimiliki, sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Seseorang yang mampu menyebutkan, mendefinisikan dan menyatakan tentang obyek dapat dikatakan bahwa orang tersebut mengetahui obyek. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Penerimaan
perilaku baru/adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka prilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.12) Dengan pengetahuan dan kepatuhan bidan dalam penggunaan partograf dapat menentukan tindakan apa yang harus dilakukan oleh seorang bidan, karena partograf dianggap sebagai sistem peringatan awal kapan seorang ibu harus dirujuk, dipercepat atau diakhiri kehamilannya dan partograf juga dapat menmbantu menentukan adanya masalah pada ibu dan janin.14) Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar bidan yang menjadi responden penelitian mempunyai pengetahuan yang baik tapi hampir semua tidak patuh terhadap penggunaan partograf dalam proses persalinan, menurut asumsi peneliti kemungkinan hal ini disebabkan oleh faktor perilaku dari masing-masing bidannya sendiri dan juga adanya pengawasan terhadap kinerja bidan yang terus-menerus. Sehingga teori tersebut belum semuanya diterapkan oleh responden mungkin hal inilah yang menyebabkan tidak adanya hubungan antara pengetahuan dan praktik pengisian partograf.
KESIMPULAN 1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden (48,1%) mempunyai pengetahuan baik tentang partograf dan sebagian kecil responden (22,2 %) memiliki pengetahuan cukup. Hal ini berarti bahwa tingkat pengetahuan bidan secara menyeluruh dalam kategori cukup. Sedangkan disatu pihak diharapkan bidan memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang penggunaan partograf. Hal ini penting dalam pemantauan proses persalinan. 2. Kepatuhan bidan terhadap penggunaan partograf antara menunjukan hampir semua (96,3%) responden tidak patuh terhadap penggunaan partograf dan sebagian kecil (3,7%) responden patuh. 3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan bidan terhadap penggunaan partograf di wilayah kecamatan madukara dan kecamatan pagentan kabupaten banjarnegara. hal
9
ini dibuktikan dengan uji KruskalWalls didapatkan ρ value 0,519, karena ρ value < 0,05 maka dikatakan Ha ditolak berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan bidan terhadap penggunaan partograf di wilayah Kecamatan Madukara dan Kecamatan Pagentan Kabupaten Banjarnegara.
3.
4.
5.
6. SARAN 1. Bidan perlu menumbuhkan sikap profesionalisme bidan khususnya yang berkaitan dengan pentingnya penggunaan partograf selama proses persalinan demi terwujudnya persalinan yang aman dengan cara lebih awal mendeteksi adanya penyulit persalinan. 2. Bagi praktisi kebidanan perlu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dengan diselenggarakannya pelatihan tentang penanganan kegawatdaruratan baik obstetri maupun neonatal dan seminar tentang perkembangan ilmu kebidanan yang terbaru seperti penyempurnaan langkah-langkah dalam asuhan persalinan normal dan lain-lain. 3. Bagi Dinas kesehatan agar lebih sering mengadakan servey, memonitor kerja bidan, meningkatkan profesional bidan dengan mencari informasi terbaru tentang pengetahuan dan kepatuhan bidan khususnya dalam penggunaan partograf serta mengambil tindakan tegas bagi bidan yang bermasalah terutama yang berkaitan dengan pelayanan kebidanan. 4. Bagi peneliti selanjutnya, agar lebih memperhatikan metodelogi penelitian yang tepat.
7. 8.
9.
10.
11. 12.
13.
14.
Dinkes Banjarnegara. 2009. Laporan tahunan Kesehatan Ibu dan Anak tahun 2009 . Banjarnegara: Dinkes Depkes RI. 2002 . Standar Pelayanan Kebidanan. Jakarta: Depkes RI Saifudin, A. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: YBPSP. JNPK-KR. 2008. Asuhan Persalinan Normal dan Inisiasi Menyusu Dini. Jakarta : JNPK-KR Sumapraja, S . 2001. Partograf WHO . Jakarta : Balai Penerbit FKUI Notoatmodjo,S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Taufiqurrahman, A. 2008. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Sugiyono. 2006. Statistik untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Novia. 2009. Karakteristik bidan dengan praktik bidan dalam pengisian partograf di Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal. Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk pendidikan Bidan. Jakarta : EGC. Niven. 2002. Psikologi Kesehatan Pengantar Untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain . Jakarta : EGC
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
Depkes RI. 2008. Rencana Strategi Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia 2001-2010. Jakarta: Depkes RI Depkes RI. 2009 . Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta : Depkes RI
10
Identifikasi Motivasi Pencegahan HIV/AIDS pada Remaja di SMA Bhineka Karya Boyolali Dewi Puspita, Imron Rosyidi, Staf pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo
ABSTRACT VCT program is expected for high-risk group to have motivation to check them selves at the clinic for VCT to know their health conditions as early as possible, so that further action can be given immediately. In addition, this program is the entrance to the further services which are care, support and treatment very important to be accessed professionally. However, the motivation of high-risk groups in utilizing the VCT services are perceived less, so that researcher interested in explaning identification the motivation of Teenage about HIV/AIDS at Yunior High School Bhineka Karya Boyolali The population in this research was all student in Yunior High School Bhineka Karya Boyolali. Sampling technique used a snowball sampling, non-random method to get samples from previous sample information. Data collection techniques conducted by in-depth interviews, Validity test in this study used focus groups discussion. Based on this result of the research, we found that factor of supporting to do VCT comes from the willingness, desire and self-awareness. The reason or purpose to do VCT from interviews of the respondents is to determine the status of the HIV/AIDS, get information on HIV/AIDS and prevention of HIV/AIDS. This result of the research also mentions the exixtence of the external environment and in providing motivation for VCT through consultations and discussions. Throught this phenomenon needs to increase self-motivation that arises in high-risk groups to do VCT and the environment must remain actively involved and support in providing various information about the existence of professional counseling services.
PENDAHULUAN Fenomena HIV semakin lama semakin mengkhawatirkan. Penyakit yang penyebab utamanya adalah free sex ini, memiliki trend meningkat dari tahun ke tahun. Mulai dari skala global, nasional bahkan lokal. Fenomena penderita HIV/AIDS seperti gunung es, yang Nampak hanya sebagian kecil dari sekian banyak populasi manusia di dunia yang terkena virus HIV. HIV/AIDS merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan belum ditemukan obat yang dapat memulihkan secara total hingga saat ini. Penyakit ini sampai sekarang masih menjadi isu kesehatan public didalam komunitas diseluruh dunia (Smeltzer & Bare, 2002). AIDS adalah singkatan dari Aquired Immuno Deficiency Syndrome, merupakan sekumpulan gejala – gejala yang menyertai infeksi HIV. AIDS (Aquired Immuno
Deficiency Syndrome) merupakan bentuk terparah dalam tingkatan penyakit yang disebabkan oleh infeksi HIV (Smeltzer & Bare, 2002). HIV (Human Immunodeficiency Virus) termasuk dalam sebuah kelompok retrovirus yang membawa material genetiknya di dalam RNA. Virus ini menyerang daya tahan tubuh manusia sehingga system kekebalan manusia dapat mnenurun tajam bahkan hingga tidak berfungsi sama sekali (Dubin, 2007). Secara garis besar, penyebaran HIV dapat dibagi menjadi empat (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa tengah, 2005), yaitu penularan melalui hubungan seksual yang tidak aman dengan orang yang terinfeksi virus, penularan melalui pemakaian bersama jarum dan alat suntik yang tidak steril atau benda tajam lain yang menusuk atau menyayat kulit dengan orang yang telah terinfeksi HIV, penularan melalui tranfusi darah atau tranfusi organ lain
11
dari seseorang yang terinfeksi dan penularan dari ibu ke anak ketika dalam kandungan maupun ketika melahirkan (Lestari, 2009). Gejala – gejala tersebut tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya system imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut. HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina dan ASI (gunung dkk, 2005). Sejak pertamakali ditemukan pada tahun 1981, kasus-kasus HIV/AIDS baru selalu muncul setiap tahun. Pada tahun 2008, didunia terdapat 39,5 juta orang hidup dengan HIV positif dan 2,9 juta orang meninggal akibat AIDS. Di tahun berikutnya, terdapat 2,5 juta kasus HIV baru dengan jumlah kematian akibat AIDS sebesar 2,1 juta kasus (Lestari,2009). Kasus HIV/AIDS di Indonesia meroket cepat. Perilaku dengan gaya hidup bebas telah membuat kasus ini melaju kancang di Indonesia. Menurut data komisi Penanggulangan AIDS (KPA) nasional menunjukkan, tahun 1987 jumlah penderita AIDS di Indonesia masih lima kasus. Dalam rentang waktu 10 tahun, hanya bertambah menjadi 44 kasus. Tetapi sejak 2007, kasus AIDS tiba – tiba melonjak menjadi 2.947 kasus dan periode Juni 2009 meningkat hingga delapan kali lipat, menjadi 17.699 kasus. Dari jumlah tersebut, yang meninggal dunia menjadi 3.586 orang. Peningkatan kasus HIV/AIDS yang dilaporkan 1 Januari s.d 30 September 2009 menjadi 2.332 orang (Dirjen PPM dan PL Depkes RI, 2007). Kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah cenderung meningkat dibandingkan tahun – tahun sebelumnya. Dari data Ditjen PPM dan PL Depkes RI, menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah menduduki posisi ke-7 dari 33 Provinsi di Indonesia. Dengan jumlah penderita HIV/AIDS dan 238 orang telah meninggal akibat HIV/AIDS. Tiga daerah dengan kasus HIV/AIDS terbanyak di Jawa Tengah adalah Kota Semarang, Kabupaten Banyumas dan Kota Solo (dirjen PPM dan PL Depkes RI, 2007). Mengetahui adanya infeksi HIV sedini mungkin sangat penting karena pengobatan dan pencegahan penularan secara dini akan memberiikan hasil yang paling baik. Pemeriksaan antibody terhadap virus untuk mengetahui adanya infeksi dilakukan dengan cara ELISA dan Western blot. Pemeriksaan Western blot saat ini jarang digunakan karena biayanya yang mahal dan 2 atau 3 kali
pemeriksaan ELISA ditemukan memiliki akurasi yang tidak berbeda dengan Westen blot. Pemeriksaan antigen virus merupakan pemeriksaan yang lebih spesifik, pemeriksaan ini juga penting untuk mengetahui infeksi dini HIV, skrining darah, mendiagnosis infeksi pada bayi baru lahir dan memonitor pengobatan dengan ARV (Rachmat, 2005). Penyebaran infeksi virus HIV/AIDS bisa terjadi sejak penderita belum menampakkan gejala.Oleh karena itu, banyak diantara populasi masyarakat seringkali tidak menyadari dirinya sudah terkena virus HIV. Oleh karena itu, diperlukan system diagnosis yang baik bagi penderita, sehingga status HIV positif bisa diketahui dan penyebaran infeksi bisa dikendalikan. Satu – satunya cara untuk mengetahui status HIV seorang individu adalah melalui tes HIV Sukarela rahasia atau dengan voluntary counseling and testing. Untuk melaksanakan program VCT dengan baik, banyak prasyarat yang diperlukan, anatara lain tersedianya konselor yang handal, pemasaran sosial yang memadai, akses pada tes HIV serta dukungan – dukungan pasca tes (psikologis, sosial, ekonomis dan medis). Bila individu yang HIV positif bisa diketahui maka hal ini akan mempunyai manfaat ganda, yaitu layanan konseling untuk perubahan perilaku pada mereka dengan tujuan agar tidak menularkan virusnya pada orang lain dan meningkatkan kualitas hidup mereka sendiri terlebih – lebih dengan tersedianya obat – obat antiretroviral (ARV) dewasa ini (Gunung, dkk, 2005). Pada tahun 2003 empat puluh tujuh VCT yang dibuka diseluruh Negara, sebagian besar di daerah perkotaan. Pada tahun 2004, di Jawa Tengah mulai dikenalkan program voluntary councelling and testing sebagai sebuah upaya sukarela untuk melakukan meneriksaan HIV/AIDS dan memberi konseling untuk ODHA, keluarga dan lingkungannya. VCT sangat perlu sebelum maupun sesudah melakukan tes. Hal ini penting untuk memperoleh informasi yang rinci terhadap hasil tes baik negative maupun positif. Sehingga mulai tahun 2004 sampai dengan sekarang, masyarakat sudah bisa mengakses pelayanan VCT diberbagai fasilitas rumah sakit dan klinik berbagai kota di Jawa Tengah. Motivasi yang berasal dari kesadaran diri kelompok resiko tinggi masih dirasakan kurang. Motivasi mereka berkunjung ke pelayanan VCT karena diajak oleh teman dan diingatkan tim VCT dan berbagai LSM untuk mengikuti program VCT. Hal itu merupakan
12
motivasi ekstrinsik yang mendorong mereka mengunjungi klinik VCT di Puskesmas Duren. Adanya program VCT diharapkan kelompok resiko tinggi memiliki kesadaran untuk memeriksakan diri mereka di klinik VCT sehingga mereka dapat mengetahui sedini mungkin kondisi kesehatannya, sehingga dapat segera diberikan tindakan lanjut. Selain itu program VCT merupakan pintu masuk untuk pelayanan lanjutan yaitu care support and treatment sehingga sangat penting untuk diakses secara professional. Berangkat dari isu hasil studi pendahuluan diatas, peneliti tertarik untuk mengidentifikasi motivasi pencegahan HIV/AIDS pada remaja di SMA Bhineka Karya Boyolali.
METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Bhineka Karya. Sumber utama dalam penelitian ini adalah lima partisipan dan diskusi kelompok terarah
1.
sebagai penguat dari pernyataan sumber utama atau sebagai validitas hasil penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam yang dilaksanakan pada minggu pertama hingga minggu kedua yang bertempat di SMA Bhineka Karya Boyolali dengan responden melalui teknik sampel snowball sampling dan didapatkan 5 responden di klinik VCT tersebut.
HASIL PENELITIAN Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari proses wawancara yang sudah direkam di MP3 dan catatan – catatan kecil dari peneliti, kemudian data diorganisasikan ke dalam bentuk kategori dan dijabarkan ke dalam unit – unit. Setelah itu data tersebut disusun ke dalam pola, memilih yang penting sehingga pada waktu penyajian data dapat dipahami oleh peneliti maupun orang lain.
Identifikasi motivasi intrinsik remaja tentang pencegahan HIV/AIDS di SMA Bhineka Karya Boyolali a. Faktor Pendorong Tabel 1 Pengkategorian dan kata kunci tentang faktor pendorong dalam diri untuk melakukan VCT Kategori Faktor Pendorong dalam diri
2.
Kata Kunci Kemauan sendiri (R1, R3) Kesadaran (R2) Keinginan (R4, R5)
Identifikasi motivasi ekstrinsik pencegahan HIV/AIDS pada remaja di SMA Bhineka Karya Boyolali a. Pengaruh luar atau lingkungan dalam memberikan motivasi Tabel 2 Pengkategorian kata kunci tentang adanya pengaruh luar atau lingkungan dalam memberikan motivasi untuk melakukan VCT Kategori Pengaruh luar dalam memberii motivasi
Kata Kunci Bujukan ajakan teman (R1, R2, R3, R4, R5) Konseling (R1, R2, R3, R5) Petugas kesehatan atau puskesmas (R2, R4)
Tema : Adanya pengaruh luar atau lingkungan dalam memberikan motivasi pencegahan HIV/AIDS di SMA Bhineka Karya
13
b.
Cara Memotivasi Tabel 3 Pengkategorian kata kunci tentang cara lingkungan memotivasi Kategori
Cara memotivasi
Kata kunci
Diskusi (R1, R3) Penyuluhan (R2, R4, R5)
Tema : Cara memotivasi
Hasil Observasi Selama proses wawancara berlangsung peneliti juga mencatat hal – hal atau kondisi partisipan selama proses wawancara yang dapat mendukung jawaban dari partisipan, sehingga kelengkapan data juga diperoleh selama proses wawancara. Hal – hal yang dapat diobservasi selama proses wawancara adalah kondisi partisipan selama proses wawancara diantaranya adalah kelelahan, sikap, raut muka, kondisi mata dan cara menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Selama observasi ini peneliti tidak melakukan informed consent sebelumnya dengan partisipan, hal ini karena partisipan tahu akan diobservasi, ditakutkan partisipan akan memanipulasi kondisi tubuhnya sehingga hasil observasi tidak sesuai dengan keadaan partisipan sebenarnya. Hasil observasi yang didapatkan padasaat dilakukan wawancara responden 1 terlihat cooperative, kontak mata terlihat baik dan postur tubuh tegak. Responden 1 terlihat bersemangat dalam menjawab pertanyaan padawaktu proses wawancara berlangsung. Selain itu berdasarkan observasi didapatkan dari hasil observasi dengan responden 2 jugaterlihat kontak mata terjaga dengan pewawancara dan dapat menjawab semua pertanyaan dengan baik. Sedangkan pada responden 3 hasil observasi didapatkan kontak mata kadang – kadang sering mengabaikan pewawancara, terlihat baik begitu berminat menjawab pertanyaan dalam proses wawancara. Hasil observasi, didapatkan responden 4 juga terlihat sangat malas untuk menjawab pertanyaan, hal ini terlihat dari kontak mata yang sering melihat kearah luar ruangan dan kurang bersemangat menjawab pertanyaan. Sedangkan responden 5 didapatkan responden dapat menjawab semua pertanyaan dengan semangat, kontak mata dengan pewawancara baik, dan dapat bekerjasama dengan baik. Core Categori Adanya kemauan sendiri, kesadaran dan keinginan merupakan faktor pendorong dalam diri pencegahan HIV/AIDS Adanya ajakan teman LSM, dan petugas puskesmas merupakan pengaruh luar pemberi motivasi melalui diskusi dan penyuluhan
Mengetahui status HIV/AIDS, informasi tentang HIV/AIDS, mengetahui cara pencegahan HIV/AIDS merupakan pendorong dalam melakukan VCT
Faktor pendorong timbulnya motivasi dalam pencegahan HIV/AIDS dari dalam diri yaitu adanya kemauan sendiri, kesadaran dan keinginan. Sedangkan pendorong dalam adalah untuk dapat mengetahui HIV/AIDS, mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS dan mengetahui pencegahan HIV/AIDS. Dan dorongan atau motivasi yang berasal dari pengaruh luar atau lingkungan adanya bujukan teman, petugas puskesmas dan LSM melalui diskusi dan penyuluhan.
14
Validitas Data Penelitian ini difokuskan pada hasil perolehan data yang bersifat kualitatif sehingga beberapa gambaran dan kesimpulan yang akurat dapat dihasilkan untuk mendapatkan jawaban motivasi pencegahan HIV/AIDS pada remaja di SMA Bhineka Karya Boyolali. Pemeriksaan keabsahan data melalui wawancara dan diskusi. Proses diskusi terarah dilakukan secara langsung setelah peneliti mengobservasi responden. Hasil wawancara yang diperoleh dengan semua partisipan hasilnya sama sehingga data wawancara yang didapat oleh peneliti dengan partisipan valid.
4.
Lingkungan atau pihak luar memberikan motivasi kepada responden dengan cara diskusi
SARAN 1. Perlu peran aktif puskesmas dalam memberikan berbagai informasi tentang adanya pelayanan konseling secara profesional. 2. Profesi Keperawatan, perlu peningkatan kemampuan konseling terhadap HIV/AIDS 3. Meningkatkan kesadaran dan motivasi remaja untuk memanfaatkan sumber sumber informasi yang ada
DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN 1. Faktor pendorong dalam diri responden yang merupakan yaitu adanya kemauan, keinginan dan kesadaran dari dalam diri. 2. Alasan atau pendorong responden karena responden ingin mengetahui informasi tentang HIV/AIDS dan pencegahan HIV/AIDS 3. Terdapat pengaruh luar yang berasal dari teman dan petugas kesehatan serta bimbingan konseling
Alimul, A. H (2007). Riset keperawatan dan tehnik penulisan ilmiah. Jakarta : Salemba Medika Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekata Praktik. Jakarta : Rineka Cipta Depkes RI (2005) Panduan penyuluhan HIV/AIDS bagi tenaga kesehatan. Jakarta : Depkes Handoko, M (1995) Motivasi daya penggerak tingkah laku. Jakarta : Kanisius
15
Hubungan Antara Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang Khoiru Millatin*), Auly Tarmali**), Yuliaji Siswanto**) *)
Alumni Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo Staf pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo
**)
ABSTRACT Ventilation is an air hole with function as an intake and outake unfavourable air process in a room. The inappropriate standard of ventilation availability and size is one of the risks for acute rispiratory tract infection (ARI) occurence especially for children under five years age. The aim of this research is to identify the relation between ventilation and acute rispiratory tract infection (ARI) occurence on children under five years age at pabelan local government clinic semarang regency. This research used analytic with observasional research design and cross sectional approach. The population in this research was 178 children under five years age who visited Pabelan Local Government Clinic Semarang Regency in Agust – December 2009. 55 samples were taken with simple random sampling. The data were collected by doing interview and direct measurement using questionairre and rollmeter device instrument. Chi square was used as data analysis technique. The research result indicates that there is on elation existed between ventilation availability with accute respiratory tract infection occurrence on children under five age (p=0,539 and OR=1,559). The research obtains that there is on valuable relation existed between ventilation size with acute rispiratory tract infection in children under five years age (p=0,114 and OR= 1,533, and p value for family room = 0,157 and OR= 1,505). Based result show the singnificant relationship between ventilation and acute rispiratory tract infection (p value= 0,026 and OR= 1,853). The community is expected to be repair as of a ventilation in order to comply with healthy standard. The Local Government Clinic is also expected to give information about healthy ventilation standard to community. It is expected the existence of futher research that analyze other factor releated with accute respiratoty tract infection like ventilation hygiene factor and opening ventilation habit. Keywords : ventilation, ARI, children under five years age
ABSTRAK Ventilasi adalah suatu lubang penghawaan yang fungsinya sebagai proses pemasukan udara (bersih) dan pengeluaran udara yang berkualitas kurang baik dari dalam ruangan. Ketersediaan dan ukuran ventilasi yang tidak sesuai dengan standar merupakan salah satu risiko untuk terjadi penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) terutama pada balita. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pabelan Kabupten Semarang. Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik dengan desain penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang berkunjung ke Puskesmas Pabelan pada bulan Agustus- Desember 2009 sebanyak 178 balita. Sampel yang diambil sebanyak 55 balita dengan teknik pengambilan sampel secara simple random sampling. Pengumpulan data dengan melakukan wawancara serta pengukuran secara langsung dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner dan alat rollmeter. Teknik analisa data yang digunakan adalah chi-square. Hasil penelitian menunjukan tidak ada hubungan antara ketersediaan ventilasi dengan kejadiam ISPA pada balita (p=0,539 dan OR=1,559). Hasil penelitian juga didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ukuran ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita (nilai p untuk ukuran ventilasi kamar tidur = 0,114 dan OR=3,286, sedang nilai p untuk ukuran ventilasi di ruang keluarga= 0,157 dan OR= 2,805). Diharapkan masyarakat untuk memperbaiki ventilasi yang sudah ada agar memenuhi standar kesehatan. Diharapkan agar puskesmas mengadakan kegiatan penyuluhan tentang standar rumah sehat, khususnya pada ketersediaan dan ukuran ventilasi kepada masyarakat. Disarankan perlu adanya penelitian lanjutan yang menganalisis faktor lain dalam hubungan ventilasi dengan kejadian ISPA misalnya faktor kebersihan ventilasi serta kebiasaan membuka ventilasi. Kata kunci : ventilasi, ISPA, balita
16
PENDAHULUAN Bayi dan balita merupakan kelompok usia yang kekebalan tubuhnya masih belum sempurna, sehingga masih rentan terhadap berbagai bentuk infeksi.1) Kejadian infeksi paling sering terjadi pada balita umur 6-12 bulan hal ini menunjukan semakin muda usia anak makin sering dan rentan mendapat serangan infeksi seperti ISPA.2) Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari.3) ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama serta merupakan salah satu penyebab kematian anak terutama di negara berkembang. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kejadian dan kematian karena penyakit ISPA terutama pada balita. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009, memperkirakan insiden ISPA pada balita usia sampai 5 tahun di negara berkembang adalah 29% pertahun dan 5 juta kejadian ISPA baru setiap tahunnya. Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering dijumpai pada anak-anak dan bayi, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada orang dewasa.4) Penyakit ISPA di Indonesia, selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita, di Indonesia menurut hasil Riskesdas 2008 prevalensi ISPA adalah 25,5% dengan prevalensi tertinggi pada balita yaitu lebih dari 35%. Analisis lanjut memakai data dari Riskesdas 2008 yang sudah terkumpul (data sekunder), dari jumlah Balita 88.579 orang yang dianalisa, didapatkan persentase balita yang menderita ISPA di Indonesia sebesar 42,18%.5) Khusus di Jawa Tengah, penyakit ISPA juga merupakan masalah kesehatan utama masyarakat. Pada tahun 2002 kejadian ISPA pneumonia pada balita di Jawa Tengah mencapai 19,03%, angka tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2003 yaitu 21,16% dan pada tahun 2004 menjadi 50,06%.6) Prevalensi ISPA di Kabupaten Semarang pada tahun 2007 adalah 29,5%. Target ISPA pneumonia tertangani adalah adalah 100%, tetapi pada tahun 2005 cakupan balita dengan ISPA pneumonia yang tertangani baru mencapai 28,34%, dan pada tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 16,31% dan pada tahun 2007 cakupannya mengalami sedikit kenaikan dari tahun 2006 menjadi 20,60%.7) Setiap balita mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. Penyakit ISPA mencakup penyakit saluran nafas bagian atas (ISPaA) dan saluran pernafasan bagian bawah
(ISPbA) beserta adnexa-nya. ISPA menyebabkan kematian anak dan menyebabkan kecacatan hingga dewasa misalnya otitis media yang merupakan penyebab ketulian. Sedangkan hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil, disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut (ISPbA). Sebagai kelompok penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke pelayanan kesehatan. Kunjungan penderita ISPA berobat ke puskesmas sebesar 40% 60%, sedangkan yang berkunjung berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap RS disebabkan sebesar 15% - 30%.8) Pada seorang anak, ISPA terkait dengan mekanisme pertahanan saluran pernafasan yang dimulai dari bulu hidung sampai alveoli. Mekanisme pertahanan saluran pernafasan (defence mechanism) ini akan terus berjalan atau berfungsi sampai kita dewasa, namun untuk anak dibawah lima tahun, mekanisme ini masih belum sempurna. Hal ini menyebabkan kerentanan terkena ISPA, sehingga ISPA banyak terjadi pada usia di bawah lima tahun. ISPA bawah (ISPbA) biasanya didahului oleh ISPA atas (ISPaA), dan perubahan dari ISPA atas menjadi ISPA bawah dipengaruhi oleh mekanisme pertahanan saluran bagian bawah terutama alveolar yang dikenal dengan Pulmonary Alveolus Macrophage (PAM). Jika sistem ini tidak bekerja dengan baik, maka bakteri dan virus dapat masuk ke dalam saluran pernafasan bagian bawah yang menyebabkan ISPA bawah (ISPbA).9) Penyebab ISPA sangat beraneka ragam, namun penyebab utamanya adalah infeksi virus dan bakteri. Hingga saat ini telah dikenal lebih dari 300 jenis bakteri dan virus penyebab ISPA. Penyebab penyakit ini dapat sendiri atau bersama-sama secara simultan.10) Penularan ISPA bisa melalui air ludah, darah, bersin, udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat ke saluran pernafasan. Infeksi saluran pernafasan bagian atas yang terutama disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada musim dingin. Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang berlanjut menjadi pneumonia sering kali terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasikan dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Risiko utama terjadi pada anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban immunologinya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan cacing, serta tidak
17
tersedianya atau berlebihanya pemakaian antibiotik.11) Penyakit ISPA disebabkan oleh tiga faktor risiko yaitu yang pertama faktor lingkungan yang terdiri dari pencemaran udara, ventilasi rumah, kepadatan hunian, dan kelembaban udara. Faktor yang kedua yaitu faktor dari individu anak meliputi umur, berat badan lahir, status gizi, vitamin A, dan status imunisasi. Faktor yang ketiga adalah faktor prilaku terhadap pencegahan dan penanggulangan terhadap ISPA.2) Rumah berfungsi sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. Rumah sehat merupakan salah satu sarana untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Untuk memperoleh rumah yang sehat ditentukan oleh tersedianya sarana sanitasi perumahan. Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik dimana orang menggunakanya untuk tempat tinggal, tempat berlindung serta dapat mempengaruhi derajat kesehatan manusia yang tinggal di dalamnya. Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia dan penyediaan air bersih. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh terhadap kejadian ISPA.8,12) Pada tahun 2006, jumlah rumah yang ada di Kabupaten Semarang sebanyak 217.717 rumah, dan yang memenuhi syarat kesehatan sebesar 32.712 rumah (63,29%) dari 51.684 rumah yang diperiksa.13) Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah ataupun mekanis.14) Standar luas ventilasi rumah menurut Kepmenkes RI no 829 Tahun 1999 adalah minimal 10% dari luas lantai. Setiap ruangan yang dipakai sebagai ruangan kediaman setidak tidaknya terdapat satu jendela lubang ventilasi yang langsung berhubungan dengan udara luar bebas rintangan dengan luas 10% luas lantai. Ruangan yang ventilasinya kurang baik akan membahayakan kesehatan khususnya saluran pernafasan. Terdapatnya bakteri di udara disebabkan adanya debu dan uap air. Jumlah bakteri udara akan bertambah jika penghuninya ada yang menderita penyakit saluran pernafasan, seperti TBC, Influenza dan ISPA.15,16) Mikroorganisme dapat berada di udara dengan berbagai cara antara lain dari debu yang bertebaran, debu ini dapat berasal
dari tanah, kotoran hewan atau manusia yang mengering serta bahan lainya. Debu yang mengandung mikroorganisme ini akan berterbangan di dalam ruangan, sehingga jika tidak terdapat ventilasi, debu yang berada di udara dan mengandung mikroorganisme ini tidak dapat keluar ruangan hal ini akan mennyebabkan timbulnya berbagai penyakit antara lain ISPA.17) Ventilasi memungkinkan tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan yang sangat dibutuhkan manusia, sehingga apabila suatu ruangan tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik dan over crowded maka akan menimbulkan keadaan yang dapat merugikan kesehatan. Rumah yang ventilasinya kecil mengakibatkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik serta meningkatkan paparan asap. Ventilasi yang kurang baik juga mengakibatkan rumah menjadi lembab dan basah, rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap pada dinding tembok dan matahari pagi sukar masuk dalam rumah, hal ini juga mempermudah anak-anak untuk terserang ISPA.14) Resiko pada bayi dan balita untuk terserang ISPA lebih besar jika dibandingkan pada orang dewasa hal ini berkaitan dengan mekanisme pertahanan saluran pernafasan pada anak yang masih belum sempurna sehingga belum dapat berfungsi secara optimal, berbeda dengan orang dewasa yang mekanisme pertahanan pernafasanya sudah sempurna sehingga lebih tahan terhadap serangan ISPA.9) Penyakit ISPA di wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang terbilang cukup tinggi. Penyakit ISPA di Kabupaten Semarang menduduki peringkat ke 8 di Provinsi Jawa Tengah. Selama tahun 2007 penyakit ISPA menduduki peringkat pertama penyakit tertinggi di 24 puskesmas dari 25 puskesmas di wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang. Puskesmas Pabelan pada tahun 2007, terdapat 186 kasus ISPA pneumonia pada balita, sedangkan kasus ISPA pneumonia yang tertangani hanya sebanyak 29 kasus atau baru sekitar 15,63%.7) Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang didapatkan hasil, dari 10 rumah yang dilakuakn studi pendahuluan 5 rumah (50%) dari rumah berventilasi <10% dari luas lantai, balita yang tinggal di dalamnya mengalami ISPA, sedangkan 3 rumah yang berventilasi >10% dari luas lantai balita yang tinggal didalamnya juga menderita ISPA, serta 2 rumah yang berventilasi >10% dari luas lantai, balita yang tinggal didalamnya tidak menderita ISPA. Dari hasil tersebut maka,
18
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hubungan antara Ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang.
Besar sampel dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan rumus sebagai berikut : 21)
N1=N2=(Zα√2PQ+Zβ√P1Q1+P2Q2)² (P1-P2)² METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain penelitian observasional yaitu hanya melakukan pengamatan saja tanpa melakukan intervensi dengan menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu melakukan pengukuran variabel-variabel hanya satu kali pada saat tertentu.18) Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau objek yang diteliti.19) Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang berkunjung di Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang. Populasi target dalam penelitian ini adalah semua balita yang berkunjung ke puskesmas pabelan selama 5 bulan terakhir yaitu dari bulan Agustus- Desember 2009 dan didapatkan rata-rata setiap bulannya adalah sebanyak 178 balita. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik responden yang dimiliki oleh populasi.20) Sampel dalam penelitian ini adalah semua balita yang terpilih sebagai sampel dan berkunjung di Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang selama 5 bulan terakhir yaitu dari bulan Agustus- Desember 2009. Sedangkan respondennya adalah ibu balita yang berkunjung di Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang. Penentuan pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling (sampel acak sederhana) yaitu pengambilan sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi.20) 1. Kriteria inklusi a. Balita yang berkunjung ke Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang pada bulan Agustus- Desember 2009 b. Balita tidak menderita asma 2. Kriteria eksklusi a. Balita yang berkunjung ke Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang pada bulan Agustus- Desember 2009, tetapi berasal dari luar wilayah kerja Puskesmas Pabelan. b. Setuju untuk ikut serta dalam penelitian c. Ventilasi yang rusak.
Keterangan : N1,N2 = besar sampel Zα= 1,64 (kesalahan tipe I di tetapkan sebesar 5%, hipotesis dua arah) Zβ = 0,84 (kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20%) P2 = proporsi kejadian ISPA pada penelitian 1) terdahulu didapatkan proporsi kejadian ISPA adalah 66% (0,66). P1=P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna ditetapkan sebesar 0,2
Hasil sampel yang didapatkan dari hasil perhitungan diatas sebanyak 55 sampel atau responden. Pengumpulan data adalah mengamati variabel yang diteliti dengan metode wawancara dan kuesioner. Pelaksanaan pengumpulan data yang terpenting adalah dilaksanakan secara objektif, tidak dipengaruhi oleh keinginan pengamat.22) Instrumen yang dipakai adalah kuesioner. Kuesioner adalah suatu teknik pengumpul data yang dikumpulkan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawab.20) Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan observansi dan wawancara langsung dengan responden serta melakukan pengukuran langsung terhadap ukuran ventilasi rumah responden. Analisis data dilakukan menggunakan komputer melalui program Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows versi 12.0. Analisis data meliputi : univariat dan bivariat. Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan untuk menguji variabel-variabel penelitian yaitu variabel independent (ventilasi) dengan variabel dependent (ISPA pada balita). Untuk menganalisis hubungan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita digunakan uji chi-square karena skala data yang digunakan bersifat kategorik20), dengan tingkat signifikansi (α)=0,05.
19
HASIL PENELITIAN
2.
Karakteristik sampel 1. Umur balita Tabel 1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan Umur balita (bulan) 0-24 25-59 Total
Frekuensi 36 19 55
Ketersediaan ventilasi Ada Tidak ada Total
Persentase (%) 65,5 34,5 100,0
Jenis kelamin balita Tabel 2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan Jenis kelamin Laki- laki Perempuan Total
Frekuensi 34 21 55
Tempat keberadaan ventilasi Hanya di kamar tidur Hanya di ruang kelurga Ada di kedua ruang Total
Analisis univariat 1. Kejadian ISPA pada balita Tabel 3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kejadian ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan Frekuensi 36 19 55
Persentase (%) 65,5 34,5 100,0
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa sebagian besar balita yang berkunjung ke Puskesmas Pabelan menderita ISPA yaitu sebanyak 36 balita (65,5%).
53 2 55
Persentase (%) 96,4 3,6 100,0
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Ketersediaan Ventilasi menurut letak keberadaan ventilasi Rumah Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan
Persentase (%) 61,8 38,2 100,0
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa persentase tertinggi balita yang berkunjung ke Puskesmas Pabelan adalah balita laki-laki sebanyak 34 balita (61,8%).
Kejadian ISPA ISPA Tidak ISPA Total
Frekuensi
Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa hampir seluruh balita mempunyai ketersediaan ventilasi sebesar 54 balita (96,4%). Sehubungan dengan rumah yang mempunyai ventilasi hanya berjumlah 53, maka jika dilihat dari ketersediaan ventilasi menurut letak keberadaan ventilasi, dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut:
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa balita yang berkunjung ke Puskesmas Pabelan, sebagian besar berusia 0-24 bulan yaitu sebesar 36 balita (65,5%). 2.
Ketersediaan ventilasi Tabel 4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Ketersediaan Ventilasi Rumah Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan
Frekuensi
Persentase (%)
5
9,4
5
9,4
43
81,2
53
100,0
Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa sebagian besar rumah balita memiliki ventilasi di kedua ruang (kamar tidur dan ruang keluarga) yaitu sebesar 43 balita (81,2%). 3.
Ukuran ventilasi Ukuran ventilasi rumah balita dibedakan menjadi dua yaitu ukuran ventilasi di kamar tidur balita dan ukuran ventilasi di ruang keluarga balita dapat dilihat pada tabel 6 dan 7 sebagai berikut:
20
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Ukuran Ventilasi Kamar Tidur Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan Ukuran ventilasi Tidak standar Standar Total
Frekuensi 30
Persentase (%) 62,5
18 48
37,5 100,0
Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa frekuensi ukuran ventilasi ruang keluarga rumah balita hampir sama, yaitu ukuran ventilasi yang tidak standar sebanyak 25 balita (52,1%) dan ukuran ventilasi yang standar sebanyak 23 balita (47,9%). 4.
Ventilasi (dilihat dari memenuhi standar atau tidak memenuhi standar) Tabel 8
Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa sebagian besar rumah Balita memiliki ukuran ventilasi kamar tidur yang tidak standar sebanyak 30 balita (62,5%) . Tabel 7
Ukuran ventilasi Tidak standar Standar Total
Ventilasi
25
Persentase (%) 52,1
23 48
47,9 100,0
Frekuensi
Tidak memenuhi standar Memenuhi standar Total
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Ukuran Ventilasi Ruang keluarga Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan Frekuensi
Distribusi Frekuensi Ventilasi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan
38
Persentase (%) 69,1
17
30,9
55
100,0
Berdasarkan tabel 8 diketahui bahwa frekuensi ventilasi rumah balita sebagian besar tidak memenuhi standar sebesar 38 balita (69,1%), dan ventilasi yang memenuhi standar sebesar 17 balita (30,9%).
Analisis bivariat 1.
Hubungan antara ketersediaan ventilasi rumah populasi dengan kejadian ISPA pada balita Tabel 9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Ketersediaan Ventilasi Rumah Balita Dan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan Ketersedian ventilasi Tidak ada Ada Total
Kejadian ISPA ISPA Tidak ISPA f % f % 2 100,0 0 0,0 34 62,4 19 35,8 36 65,5 19 34,5
Berdasarkan tabel 9 diperoleh data bahwa persentase balita yang terkena ISPA lebih tinggi pada balita yang tidak tersedia ventilasi sebesar 100%, dibandingkan dengan balita yang tersedia ventilasi sebesar 62,4%. Balita yang tidak terkena ISPA lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah yang tersedia ventilai sebesar 35,8%, dibandingkan dengan yang tinggal di
Total f 2 53 55
% 100,0 100,0 100,0
p
OR
0,539
1,559
95% CI
1,275-1,906
rumah tidak tersedia ventilasi yaitu 0,0%. Perbedaan hasil persentase penelitian tersebut jika dilihat secara statistik tidak terbukti bermakna dengan nilai p =0,539 (p>0,05), sedangkan dari nilai OR atau tingkat risiko maka ketidaktersediaan ventilasi di rumah meningkatkan risiko 1,559 kali pada balita untuk terkena ISPA, dibanding dengan rumah balita yang tersedia ventilasi.
21
Tabel 10
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Ketersediaan Ventilasi Masing-masing Ruangan Rumah Balita Dan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan
Ketersediaan ventilasi
Ada di salah satu ruangan Ada di kedua ruangan Total
Kejadian ISPA ISPA Tidak ISPA f % f % 7 70,0 3 30,0
f 10
% 100,0
27
62,8
16
37,2
43
100,0
34
62,2
19
35,8
53
100,0
Berdasarkan tabel 10 diperoleh data bahwa persentase balita yang terkena ISPA lebih tinggi pada balita yang tersedia ventilasi hanya di salah satu ruangan sebesar 70,0%, dibandingkan dengan balita yang tersedia ventilasi dikedua ruangan sebesar 62,8%. Balita yang tidak terkena ISPA sedikit lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah yang tersedia ventilai di kedua ruangan sebesar 37,2%, dibandingkan dengan yang tinggal di rumah dengan tersedia ventilasi hanya disalah satu ruangan sebesar 30,0%. Perbedaan hasil 2.
Total
p
OR
95% CI
1,000
1,115
0,313-6,118
persentase penelitian tersebut jika dilihat secara statistik tidak terbukti bermakna dengan nilai p =1,000 (p>0,05). Dilihat dari nilai OR atau tingkat risiko maka ketersediaan ventilasi di rumah balita yang ada hanya di salah satu ruangan (kamar tidur atau ruang keluarga saja) meningkatkan risiko 1,115 kali pada balita untuk terkena ISPA, dibanding dengan rumah yang ketersedian ventilasinya ada di kedua ruangan (kamar tidur dan ruang keluarga).
Hubungan antara ukuran ventilasi rumah populasi dengan kejadian ISPA pada balita Tabel 4.11
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Ukuran Ventilasi Kamar Tidur Rumah Balita Dan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan Tahun
Ukuran ventilasi kamar tidur Tidak standar Standar Total
Kejadian ISPA ISPA Tidak ISPA f % f % 23 76,7 7 23,3 9 50,0 9 50,0 32 66,7 16 33,3
Berdasarkan tabel 11 diatas menunjukkan bahwa persentase balita yang terkena ISPA lebih tinggi pada balita yang ukuran ventilasi kamar tidur tidak standar sebesar 76,7%, dibandingkan dengan ukuran ventilasi kamar tidur yang standar sebesar 50,0%. Persentase balita yang tidak ISPA lebih tinggi pada balita yang ukuran ventilasi kamar tidurnya standar sebesar 50,0%, dibandingkan ukuran ventilasi kamar tidur tidak standar sebesar 23,3%.
Total f 30 18 48
% 100,0 100,0 100,0
p
OR
95%CI
0,114
1,533
0,939-11,500
Perbedaan hasil persentase penelitian tersebut jika dilihat secara statistik tidak terbukti bermakna dengan nilai p =0,114 (p>0,05), sedangkan jika dilihat dari nilai OR atau tingkat risiko maka ventilasi kamar tidur yang tidak standar meningkatkan risiko 1,533 kali pada balita untuk terkena ISPA dibandingkan rumah yang ukuran ventilasi kamar tidurnya sesuai standar.
Tabel 12 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Ukuran Ventilasi Ruang Keluarga Rumah Balita Dan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan Ukuran ventilasi ruang keluarga Tidak standar Standar
Kejadian ISPA ISPA Tidak ISPA f % f % 18 72,1 7 27,0 11 37,9 12 52,2
F 25 23
% 100,0 100,0
Total
29
48
100,0
60,4
19
39,6
Total
p
OR
95%CI
0,157
1,505
0,848-9,281
22
Berdasarkan tabel 12 diatas menunjukkan bahwa persentase balita yang terkena ISPA lebih tinggi pada balita yang ukuran ventilasi ruang keluarga tidak standar sebesar 72,1%, dibandingkan dengan ukuran ventilasi ruang keluarga yang standar sebesar 37,9%. Persentase balita yang tidak ISPA lebih tinggi pada balita yang ukuran ventilasi ruang keluarga standar sebesar 52,2%, dibandingkan ukuran ventilasi ruang keluarga tidak standar sebesar 27,0%.
Tabel 13
Perbedaan hasil persentase penelitian tersebut jika dilihat secara statistik tidak terbukti bermakna dengan nilai p =0,157 (p>0,05), sedangkan jika dilihat dari nilai OR atau tingkat risiko maka ventilasi ruang keluarga yang tidak standar meningkatkan risiko 1,505 kali pada balita untuk terkena ISPA dibandingkan rumah yang ukuran ventilasi ruang keluarga sesuai standar. Persentase kejadian ISPA pada balita jika dilihat dari ventilasi (ketersediaan dan ukuran ventilasi) dapat dilihat pada tabel 4.13 sebagai berikut:
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Ventilasi Rumah Balita Dan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pabelan
Ventilasi
Tidak memenuhi standar Memenuhi standar Total
Kejadian ISPA ISPA Tidak ISPA f % f % 29 76,3 9 23,7 7 36
41,2 65,5
10 19
Berdasarkan tabel 13 diatas menunjukkan bahwa persentase balita yang ISPA lebih tinggi pada balita yang tinggal dirumah dengan ventilasi tidak memenuhi standar sebesar 76,3%, dibandingkan dengan balita ISPA yang tinggal dirumah dengan ventilasi memenuhi standar sebesar 41,2%. Balita tidak ISPA lebih tinggi pada balita yang tinggal dirumah dengan ventilasi memenuhi standar sebesar 58,8%, dibandingkan dengan balita tidak ISPA yang tingal dirumah tidak memenuhi standar sebesar 23,7%. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,026 yang menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara Ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Dilihat dari nilai OR sebesar 1,853 yang berarti ventilasi yang tidak memenuhi standar meningkatkan risiko 1,853 kali pada balita untuk terkena ISPA dibandingkan dengan ventilasi yang memenuhi standar. PEMBAHASAN Gambaran ketersediaan ventilasi di wilayah kerja Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang Hasil penelitian didapatkan bahwa hampir seluruh balita tinggal di rumah yang
58,8 34,5
Total f 38
% 100,0
17 55
100,0 100,0
p
OR
0,026
1,853
95% CI 1,022-3,361
terdapat ventilasi sebanyak 53 balita (96,4%), sedangkan yang tinggal di rumah tanpa ventilasi sebanyak 2 balita (3,6%), dan sebagian balita telah memiliki ventilasi dikedua ruangan sebesar 43 balita (81,2%), adapun ventilasi yang hanya ada disalah satu ruangan saja sebanyak 10 balita (masingmasing 5 balita (9,4%) hanya di kamar tidur, dan 5 balita (9,4%) hanya di ruang keluarga). Ventilasi rumah saat ini sudah merupakan hal umum yang harus ada di dalam suatu bangunan, dari hasil di atas menunjukan bahwa masyarakat sudah menyadari akan pentingnya ketersediaan ventilasi, terutama ventilasi kamar tidur dan ventilasi ruang keluarga, walaupun masih ada beberapa rumah yang ketersediaan ventilasinya masih kurang yang ada hanya disalah satu ruangan saja, bahkan masih didapatkan rumah yang tidak memiliki ventilasi. Ketidaktersediaan ventilasi tersebut mungkin dikarenakan rumah yang berdampingan dengan rumah lain sehingga satu tembok digunakan untuk dua rumah, sehingga tidak memungkinkan untuk dibuat ventilasi. Ventilasi pada sebagian besar rumah sampel, umumnya terbuat dari kayu, berbentuk jendela yang mempunyai daun jendela yang dapat dibuka. Ventilasi rumah merupakan sesuatu yang harus ada di dalam bangunan rumah, walaupun ketersedianyanya tidak begitu diperhatikan apakah sudah sesuai dengan luas rumah atau belum atau kesesuaian
23
dengan jumlah ruangan, ketersediaan ventilasi yang baik adalah jika setiap ruangan mempunyai minimal satu ventilasi yang luasnya ≥10% luas lantai.23) Gambaran ukuran ventilasi di wilayah kerja Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang Hasil penelitian terhadap ukuran ventilasi rumah balita didapatkan bahwa balita yang dirumahnya terdapat ventilasi kamar tidur yang sesuai dengan standar kesehatan sebanyak 37,5%, dan balita yang dirumahnya mempunyai ventilasi kamar tidur tidak sesuai standar kesehatan sebanyak 62,5%. Balita yang tinggal dirumah dengan ventilasi ruang keluarga sesuai dengan standar kesehatan sebanyak 47,9%, dan tinggal dirumah dengan ventilasi ruang keluarga yang tidak sesuai dengan standar sebanyak 52,1%. Ventilasi adalah suatu lubang penghawaan yang fungsinya sebagai proses pemasukan udara (bersih) dan pengeluaran udara yang berkualitas kurang baik dari dalam ruangan. Ventilasi akan berjalan dengan baik jika mempunyai luas penghawaan alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai.16) Fungsi dari ventilasi sendiri antara lain adalah mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernapasan, membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara, mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang, mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan, mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal dan mendisfungsikan suhu udara secara merata.2) Gambaran kejadian ISPA pada balita di Wilayah kerja Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang Berdasarkan penelitian terhadap kejadian ISPA pada balita, didapatkan hasil bahwa balita yang menderita ISPA sebanyak 36 balita (65,5%), sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 19 responden (34,5%). Banyak hal yang menyebabkan kejadian ISPA pada balita, antara lain adalah berhubungan dengan usia balita. Kejadian infeksi paling sering terjadi pada balita yang berumur 6-12 bulan, yang menunjukkan semakin muda usia anak semakin sering dan rentan mendapat serangan infeksi seperti ISPA (Prabu, 2009). Hasil penelitian kejadian ISPA pada balita, menunjukan bahwa balita yang
berusia kurang dari 2 tahun (0-24 bulan) sebanyak 65,5% menderita ISPA. Anak yang berusia kurang dari 2 tahun mempunyai risiko yang lebih besar untuk terkena ISPA dari pada anak yang lebih tua. Usia berkaitan dengan mekanisme pertahanan tubuh balita yang masih belum sempurna, sehingga daya tahan tubuh masih rentan terhadap berbagai mikroorganisme penyebab penyakit infeksi seperti ISPA.1) Kejadian ISPA pada balita, lebih banyak dialami oleh balita laki-laki sebanyak 61,8% dibanding dengan balita perempuan sebanyak 38,2%. Hal ini dikarenakan oleh berbagai sebab, pertama karena kebutuhan gizi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kebutuhan gizi pada balita laki-laki lebih besar dibandingkan dengan balita perempuan, karena balita laki-laki lebih aktif dan lebih banyak membutuhkan energi, apabila kebutuhan energi tersebut tidak tercukupi maka status gizinya akan menurun dan rentan terkena penyakit infeksi. Alasan kedua karena balita laki-laki lebih sering terpapar polusi udara diluar rumah. Orang tua cenderung membiarkan anak laki-laki untuk bermain diluar rumah dari pada anak perempuan yang lebih sering bermain didalam rumah. Selain itu balita laki-laki mempunyai risiko 2,2 kali lebih besar untuk terkena infeksi saluran pernafasan dibanding dengan balita perempuan.1) Hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang Presentase balita yang terkena ISPA lebih tinggi pada balita yang tinggal dirumah yang tidak tersedia ventilasi sebanyak 100%, sedangkan balita yang ISPA yang tinggal di rumah yang tersedia ventilasi sebesar 62,4%. Balita yang tidak terkena ISPA yang tinggal di rumah yang tersedia ventilasi sebesar 35,8%, lebih tinggi dari pada balita yang tidak terkena ISPA yang tinggal di rumah tidak tersedia ventilasi yaitu 0,0%, tetapi perbedaan hasil persentase diatas jika dilihat secara statistik tidak terbukti bermakna dengan diperoleh nilai p = 0,539. Balita mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunya, hal ini berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh balita yang belum sempurna. Pada balita, ISPA berkaitan dengan mekanisme pertahanan saluran pernafasan (defence mechanism) yang dimulai dari bulu hidung sampai dengan alveoli. Mekanisme pertahanan tubuh pada balita berhubungan dengan banyak hal antara lain keberadaan anggota keluarga yang merokok,
24
asap rokok mengandung zat yang dapat menurunkan kekebalan tubuh serta zat karsiogenik, balita yang sering terpapar asap rokok akan membuat mekanisme pertahanan tubuhnya terganggu sehingga daya tahan tubuhnya akan menurun dan memudahkan bakteri, virus, atau mikroorganisme penyebab ISPA masuk kedalam tubuh balita.9) Hasil penelitian didapatkan sebanyak 57,5% balita terkena ISPA pada keluarga yang mempunyai anggota keluarga merokok. Status gizi balita juga berpengaruh terhadap kejadian ISPA, jika status gizi balita buruk, kebutuhan akan gizi balita tidak tercukupi, hal ini akan berpengaruh terhadap kekebalan tubuh balita, yang dapat menyebabkan balita mudah untuk terserang berbagai penyakit infeksi. Begitu juga dengan penyebab lain misalnya, pemberian ASI eksklusif, umur balita, kepadatan hunian, serta keberadaan anggota keluarga yang menderita ISPA, jika salah satu keadaan diatas terjadi pada balita dapat menjadikan balita rentan untuk terkena ISPA, sehingga jika dalam penelitian ini didapatkan hasil yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan ventilasi dengan kejadian ISPA mungkin disebabkan karena penyebab ISPA terdiri dari banyak hal bukan semata dari ketersediaan ventilasi. Hasil penelitian didapatkan juga nilai odd ratio (OR) atau nilai risiko sebesar 1,559 yang artinya seorang balita mempunyai risiko 1,559 kali lebih besar untuk terkena ISPA apabila seorang balita tinggal di dalam rumah yang tidak tersedia ventilasi. Rumah merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung yang dilengkapi dengan fasilitas seperti ventilasi, dan perlengkapan lainya. Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. Kualitas udara yang rendah di dalam ruangan tidak dapat dikeluarkan dan digantikan dengan udara yang berkualitas baik jika rumah tidak tersedia ventilasi, maka adanya ventilasi yang kurang sempurna di dalam rumah akan meningkatkan risiko terjadinya ISPA dan penyakit infeksi lain pada anak.24) Persentase balita yang terkena ISPA lebih tinggi pada balita yang tersedia ventilasi hanya di salah satu ruangan sebesar 70,0%, dibandingkan dengan balita yang tersedia ventilasi dikedua ruangan sebesar 62,8%. Balita yang tidak terkena ISPA sedikit lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah yang
tersedia ventilai di kedua ruangan sebesar 37,2%, dibandingkan dengan balita yang tidak terkena ISPA yang tinggal di rumah dengan tersedia ventilasi hanya disalah satu ruangan sebesar 30,0%., tetapi perbedaan hasil persentase diatas jika dilihat secara statistik tidak terbukti bermakna dengan diperoleh nilai p = 1,000. Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan pada persentase kejadian ISPA pada balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang hanya disalah satu ruangan dan balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi dikedua ruangan, tetapi hasil analisis statistik tidak menunjukan adanya perbedaan yang bermakna, hal ini mungkin disebabkan karena, sebagian balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang hanya disalah satu ruangan saja mempunyai kualitas yang sama atau bahkan lebih baik jika dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi dikedua ruangan tetapi kualitas ventilasinya kurang. Perbedaan ini juga mungkin disebabkan karena pengambilan sampel yang sedikit sehingga jika di analisis tidak menunjukan hasil yang tidak bermakna. Karakteristik sampel juga mempengaruhi hasil analisis, karena sampel yang diambil sebagian besar homogen pada jenis rumah yang hampir sama. Dilihat dari nilai odd ratio (OR), didapatkan hasil sebesar 1,115 yang artinya seorang balita mempunyai risiko untuk terkena ISPA 1,383 kali lebih besar apabila seorang balita tinggal di rumah yang hanya mempunyai ventilasi disalah satu ruang (kamar tidur atau ruang keluarga saja). Pencemaran udara didalam rumah dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru terutama pada balita, sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang, misalnya hanya terdapat di kamar tidur atau ruang keluarga saja, apalagi bila ditambah dengan keberadaan dapur terletak di dalam rumah yang dekat dengan dengan kamar tidur dan ruang keluarga yang tidak terdapat ventilasi. Hal ini lebih dimungkinkan karena balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga jumlah udara tercemar yang terhirup balita tentunya akan lebih tinggi, sehingga akan meningkatkan risiko balita untuk terserang ISPA,2) walaupun hasil penelitian menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan ventilasi yang hanya disalah satu ruangan saja dan ventilasi yang berada di kedua ruangan dengan kejadian
25
ISPA pada balita, tetapi keadaan ini dapat memperbesar risiko untuk terjadi ISPA. Hubungan antara ventilasi dan kejadian ISPA juga dianalisis lebih lanjut dengan menguji hubungan variabel ukuran ventilasi baik ventilasi kamar tidur maupun ventilasi ruang keluarga. Persentase kejadian ISPA pada balita sebesar 76,7% adalah balita yang tinggal di rumah dengan ukuran ventilasi kamar tidur tidak standar, sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan balita yang ISPA yang tinggal dirumah dengan ventilasi kamar tidur standar sebesar 50,0%. Balita yang tidak ISPA yang tinggal di rumah dengan ventilasi kamar tidur standar sebanyak 50,0%, sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan balita yang tidak ISPA yang tinggal di rumah dengan ventilasi kamar tidur tidak standar sebesar 23,3%. Perbedaan hasil persentase diatas jika dilihat secara statistik terbukti tidak bermakana dengan diperoleh nilai p = 0,114. Persentase kejadian ISPA pada balita sebesar 72,1% adalah balita yang tinggal di rumah dengan ukuran ventilasi ruang keluarga tidak standar, lebih tinggi jika dibandingkan dengan balita ISPA yang tinggal di rumah dengan ventilasi ruang keluarga standar sebesar 37,9%. Balita yang tidak ISPA yang tinggal di rumah dengan ventilasi ruang keluarga standar sebanyak 52,2%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan balita yang tidak ISPA yang tinggal di rumah dengan ventilasi ruang keluarga tidak standar sebesar 27,0%, perbedaan hasil persentase diatas juga tidak menunjukan hasil yang bermakna jika dianalisis secara statistik dengan didapat nilai p sebesar 0,157. Balita banyak menghabiskan waktunya di rumah terutama di kedua ruangan tersebut (kamar tidur dan ruang keluarga), sehingga jika didapat ukuran ventilasi kedua ruangan yang tidak standar akan berpengaruh pada kesehatan balita, tetapi jika ventilasi pada kedua rungan ini di ukur secara terpisah, dan didapatkan hasil bahwa ada salah satu ruangan yang standar dan yang lain tidak standar, maka kemungkinan besar tidak akan berpengaruh terhadap kesehatan balita, karena ukuran ventilasi yang kurang dari ventilasi lain akan dapat tertutupi dengan ukuran ventilasi lain yang lebih besar (standar), hal ini juga dikarenakan ukuran ventilasi masingmasing ruangan baik kamar tidur ataupun ruang keluarga sama-sama berpeluang untuk menimbulkan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Suhandayani (2006), yang menyatakan bahwa ada
hubungan yang erat antara ukuran ventilasi yang tidak standar dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai p = 0,03. Penelitian Suhandayani juga menyatakan bahwa ventilasi yang tidak sesuai dengan standar meningkatkan risiko 2,22 kali lebih besar balita untuk terkena ISPA dari pada balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang standar.1) Hubungan antara ukuran ventilasi kamar tidur dan ukuran ventilasi ruang keluarga dengan kejadian ISPA pada balita jika dilihat dari nilai OR maka ukuran ventilasi kamar tidur yang tidak standar akan meningkatkan risiko 1,533 kali lebih besar balita untuk terkena ISPA dari pada balita yang ukuran ventilasinya sesuai dengan standar, sedangkan nilai OR untuk hubungan antara ukuran ventilasi ruang keluarga dengan kejadian ISPA pada balita didapatkan ukuran ventilasi ruang keluarga yang tidak standar meningkatkan risiko 1,505 kali lebih besar balita untuk terkena ISPA dari pada balita yang mempunyai ventilasi ruang keluarga sesuai dengan standar. Hasil penelitian diatas semuanya menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara variabel-variabel yang diteliti, namun dari nilai odd ratio (OR) menunjukan adanya risiko untuk terjadi ISPA. OR sendiri adalah nilai untuk sebuah kekuatan asosiasi, yang pada penelitian ini digunakan untuk menilai kekuatan hubungan antara ukuran ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Hal ini menunjukan bahwa walaupun tidak ada perbedaan antara ukuran ventilasi kamar tidur dan ukuran ventilasi ruang keluarga dengan kejadian ISPA secara statistik, namun ada hubungan sebab akibat antara ukuran ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Persentase kejadian ISPA pada balita lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi tidak memenuhi standar sebesar 29 balita (76,3%) dibandingkan dengan rumah yang memenuhi standar sebesar 7 balita (41,2%). Dilihat dari uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0,026 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai OR sebesar 1,853 yang berarti ventilasi yang tidak memenuhi standar meningktkan resiko 1,853 kali pada balita untuk terkena ISPA dibandingkan dengan ventilasi yang memenuhi standar. Ventilasi sendiri mempunyai banyak fungsi, salah satunya adalah sebagai sirkulasi udara, jika ventilasi tidak memenuhi standar, maka akan menyebabkan kurangnya O2 di
26
dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun akan meningkat. Ventilasi yang tidak memenuhi standar juga akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Hal ini merupakan media yang baik bagi bakteri-bakteri penyebab penyakit infeksi untuk berkembang. Kualitas udara dalam ruangan yang buruk dan banyak mengandung mikroorganisme penyebab penyakit ini jika masuk dalam tubuh balita akan menyebabkan balita mudah terserang penyakit, hal ini berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh balita terutama terkait dengan mekanisme saluran pernafasan balita yang belum sempurna.
KESIMPULAN 1. Balita yang berkunjung ke Puskesmas Pabelan sebagian besar berumur 0-24 bulan sebanyak 65,5% dan berjenis kelamin laki-laki sebanyak 61,8% 2. Balita yang mempunyai ketersediaan ventilasi sebanyak 96,4% 3. Ukuran ventilasi kamar tidur rumah balita yang tidak standar sebanyak 62,5%, dan ukuran ventilasi ruang keluarga yang tidak standar sebanyak 52,1%. 4. Balita yang menderita ISPA sebanyak 65,5% orang balita. 5. Hubungan antara ketersediaan ventilasi dan ukuran ventilasi rumah sampel dengan kejadian ISPA pada balita: Hasil analisis menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ketersediaan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p=0,539 (OR= 1,559). Hasil analisis menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ukuran ventilasi kamar tidur rumah balita dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p=0,114 (OR=1,533). Hasil analisis menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ukuran ventilasi ruang keluarga rumah balita dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p=0,157 (OR=1,505).
Hasil analisis menunjukan bahwa ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p=0,026 (OR=1,853).
SARAN 1. Bagi masyarakat Diharapkan masyarakat untuk memperbaiki ventilasi yang sudah ada agar memenuhi standar kesehatan. 2. Bagi puskesmas Diharapkan agar puskesmas mengadakan kegiatan penyuluhan tentang ventilasi yang memenuhi standar kesehatan. 3. Bagi peneliti selanjutnya Disarankan perlu adanya penelitian lanjutan yang menganalisis faktor lain dalam hubungan ventilasi dengan kejadian ISPA misalnya, faktor kebersihan ventilasi serta kebiasaan membuka ventilasi. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
Suhandayani,I. (2009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di puskesmas pati I kabupaten pati tahun 2009. Skripsi. Fakultas Ilmu Keolahragaan jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Diambil pada tanggal 26 April 2009 http://unair.co.id Prabu, P. (2009). Faktor resiko ISPA. Diambil tanggal 26 Mei 2009 dari Http//:Wordpress.com. Sinaga, S. A.(2009). Analisis kecenderungan penyakit ISPA pada bayi dan balita tahun 2002-2006 untuk peramalan tahun 2007-2011 dikota medan. Diambil pada tanggal 27 April 2009 http://www.library.usus.ac.id Depkes RI. (2000). Informasi Tentang ISPA pada Balita . Jakarta : Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Supraptini (2009). Faktor-faktor pencemaran yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Ekologi dan Status Kesehatan: Jl. Percetakan Negara No.29. Profil kesehatan Dinas Kesehatan Jawa Tengah. (2005) Profil kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang. (2007)
27
8.
9.
10.
11.
12. 13. 14.
15.
16.
Nindya, T. S., & Lilis, S. (2005). Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Anak dan Balita. Skripsi. Surabaya: FKM Airlangga Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol 2 no 1 Juli 2005 43-52. Diambil tanggal 27 April 2009. Insani, D. S. & Swesty, C. (2008). Waspadai ISPA. Diambil pada tanggal 27 April 2009, dari http//www.enviro-online Daulay, R. M (1992). Kendala penanganan ISPA . Diambil pada tanggal 27 April 2009, dari . http://www.kalbe.co.id Rasmaliah. (2004). ISPA dan Penaggulangany. Medan: FKM Universitas Sumatra Utara. Azwar, A. (1990). Pengantar ilmu kesehatan lingkunga. PT Bina Rupa Aksara. Jakarta. Profil kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang. (2006) Ranuh, I.G.N. (1997). Masalah ISPA dan Kelangsungan Hidup Anak. Surabaya: continunig education. Frinck, Heinz. (1993). Ilmu konstruksi kangunan 2, Yogyakarta : Penerbit Kanisius Lampiran Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor 829/Menkes/SK/VII/1999. Persyaratan kesehatan perumahan.
17. Moerdjoko, (2004). Kaitan Sistim sanitasi bangunan dengan keberadaan mikroorganisme udara. Staf pengajar Fakultas Tehnik Sipil dan Perencanaan jurusan Arsistektur Universitas Trisakti. Diambil 12 Mei 2009, dari http://paslit.putra.ac.id 18. Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2002). Dasar-dasar penelitian metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto 19. Udiyono, A.(2007). Metodologi penelitian kesehatan. Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro. 20. Sugiyono (2008). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. 21. Dahlan, S. (2008). Langkah-langkah membuat proposal penelitian bidang kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Sagung Seto. 22. Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta. 23. Sukar.,A. L.(2009). Risiko Relatif Lingkungan Terhadap Kejadian Penyakit ISPA Pneumonia. Jawa bard. Hasil Penelitian. Jakarta. Diambil pada tanggal 15 Februari 2010, dari http://cermin dunia kedokteran.com 24. Misra. (2003). Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Diambil pada tanggal 19 Februari 2010, dari http://doktorology.net
28
Hubungan Fungsi Sosial Keluarga dengan Kenakalan Remaja Raharjo Apriyatmoko, Heri Susanto Staf pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo
ABSTRACT Family as a role model to instill trust, values, attitudes and coping mechanisms, provide feedback, and provide guidance in problem solving. But if the social function of the family did not go well would result in disorganization of the family. This study aims to determine the relationship of social functions of families with juvenile delinquency in Senior High School Tunas Patria Ungaran. This research uses a correlation study design with a cross sectional approach. Data collection using a questionnaire containing statements to measure the social function of family and juvenile delinquency. The population in this study were all Senior High School Tunas Patria Ungaran living with parents as much as 481 students and sampling techniques using a proportional sampling as many as 83 respondents. Data were analyzed statistically using kendall tau test. The results showed that the p value of 0.007 (p <0.05) means that Ho is rejected. This suggests that there relationship between social functioning families with juvenile delinquency in Senior High School Tunas Patria Ungaran. Thus it is expected for parents to be able to create the life of a harmonious family social functions, as well as teachers or parents are good role models for children.
ABSTRAK Keluarga sebagai tauladan untuk menanamkan kepercayaan, nilai, sikap dan mekanisme koping, memberikan umpan balik, dan memberikan petunjuk dalam penyelesaian masalah. Namun jika fungsi sosial keluarga itu tidak berjalan dengan baik akan mengakibatkan terjadinya disorganisasi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan fungsi sosial keluarga dengan kenakalan remaja di SMU Tunas Patria Ungaran. Penelitian ini menggunakan rancangan studi korelasi dengan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang berisi pernyataan untuk mengukur fungsi sosial keluarga dan kenakalan remaja. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Tunas Patria Ungaran yang tinggal bersama orangtua sebanyak 481 siswa, teknik sampling menggunakan proportional sampling sebanyak 83 responden. Data dianalisa secara statistik dengan menggunakan uji kendall tau. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai p value sebesar 0,007 (p<0,05) berarti Ho ditolak. Ada hubungan antara fungsi sosial keluarga dengan kenakalan remaja di SMA Tunas Patria Ungaran. Diharapkan bagi para orangtua untuk dapat menciptakan kehidupan fungsi sosial keluarga yang harmonis, serta orangtua sebagai guru atau tauladan yang baik bagi anak. Kata kunci : sosial, keluarga, kenakalan, remaja
29
PENDAHULUAN Kedudukan dan fungsi keluarga dalam kehidupan manusia bersifat primer dan fundamental. Keluarga pada hakekatnya merupakan wadah pembentukan masingmasing anggotanya, terutama remaja yang masih berada bimbingan tanggung jawab orang tuanya. Perkembangan remaja pada umumnya meliputi keadaan fisik, emosional, sosial dan intelektual. Bila semua berjalan baik kesemuanya berjalan harmonis maka dapat dikatakan bahwa remaja tersebut dalam keadaan sehat jiwanya. Keluarga dan orang tua dalam memberikan pola asuh kepada remaja akan sangat mempengaruhi bagaimana perilaku mereka saat dewasa nanti. Berbagai macam pola asuh orang tua akan membentuk berbagai perilaku dan sikap remaja. Seperti pola asuh otoriter yang memberikan pengasuhan secara kaku, diktaktor dan memaksa anak mengikuti perintah orang tua tanpa banyak alasan. Dalam pola asuh ditemukan penerapan hukuman fisik dan aturan - aturan tanpa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan dibalik aturan tersebut Fungsi sosial keluarga adalah keluarga sebagai guru, menanamkan kepercayaan, nilai, sikap dan mekanisme koping, memberikan umpan balik, dan memberikan petunjuk dalam pemecahan masalah. Oleh karena itulah keluarga memiliki tanggung jawab utama untuk menstranformasikan seorang bayi dalam beberapa tahun menjadi seorang individual yang mampu berpartisipasi dalam masyarakat. Keluarga juga berperan dalam mensosialisai nilai-nilai kebaikan dan norma yang berlaku atau yang diharapkan masyarakat pada anak mereka yang di mulai dari masalah-masalah kecil yang terjadi dalam keluarga sesuai terhadap perkembangan usia anak. Kemampuan fungsi sosial secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga yang ideal salah satunya jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya terutama dalam sosialisai terhadap anggota keluarganya, Namun, jika fungsi sosial keluarga tidak berjalan dengan baik akan mengakibatkan disorganisasi keluarga yaitu perpecahan dalam keluarga. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan perilaku anak, biasanya sering mengarah ke hal-hal negatif seperti kenakalan remaja. Kenakalan merupakan tindakan yang melanggar aturan yang menyebabkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri
maupun orang lain yang dilakukan remaja dibawah umur 17 tahun. Bentuk kenakalan tersebut seperti kabur dari rumah, membawa senjata tajam dan kebut- kebutan di jalan sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbutan criminal atau perbutan yang melanggar hukum. Faktor yang mempengaruhi kenakalan tersebut adalah pengawasan keluarga dan disiplin keluarga itu sendiri. Perilaku anti sosial pada remaja dekat hubungannya dengan ketidakmampuan orang tua mengetahui apa yang dilakukan anak remajanya. Remaja dalam masa perkembanganya melalui tahap - tahap yang harus dilaluinya secara alami. Keadaan tersebut adakalanya menyebabkan remaja sulit menerimanya, dan apabila tidak sesuai dengan remaja mencari pelarian dari keadaan tidak menyenangkan dengan mencari perhatian, melakukan hal-hal negatif, umumnya perilaku yang dianggap baik bagi dirinya namun bagi orang lain justru merugikan. Remaja cenderung menilai sesuatu dan bertindak atas pandangan dan penilaiannya sendiri. Remaja tidak membedakan antara hal-hal atau situasisituasi yang dipikirkannya sendiri dengan yang dipikirkan orang lain. Kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan menyebabkan ia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sehingga timbul rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku normatif (misalnya, asosial ataupun antisosial). Bahkan lebih ekstrem biasa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan. Peran orang tua dalam masa remaja ini sangat dibutuhkan untuk mengarahkan anaknya dan menggontrol pergaulannya di lingkungan masyarakat. Mengingat remaja berada pada masa transisi (peralihan) dimana dalam hal ini remaja perlu figure atau model. Model yang pertama adalah dari keluarga yaitu orang tua, kalau dalam keluarga tidak ada yang dijadikan figure maka remaja akan mencari model atau figure di luar keluarganya, yang belum tentu cocok atau sesuai dengan norma yang ada di masyarakat.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah studi korelasi yaitu penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada satu situasi atau sekelompok
30
subjek. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan cross sectional yaitu subjek hanya diobservasi satu kali (sesaat) untuk mengetahui data kejadian berdasarkan data yang dikumpulkan dari individu. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Tunas Patria Ungaran yang tinggal bersama orangtua sebanyak 481 siswa, teknik sampling menggunakan proportional sampling sebanyak 83 responden. Pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner yang disusun secara terstruktur dan dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan konsep teoritisnya. Data dianalisa secara statistik dengan menggunakan uji Kendall Tau.
HASIL PENELITIAN 1. Fungsi Sosial Keluarga Tabel 1 Distribusi frekuensi sosial keluarga Fungsi Sosial Keluarga Rendah Sedang Tinggi Jumlah
f
% 5 23 55 83
6,0 27,7 66,3 100,0
2. Kenakalan Remaja Tabel 2 Distribusi frekuensi kenakalan remaja Kenakalan Remaja Rendah Sedang Jumlah
3.
fungsi
f
% 63 20 83
75,9 24,1 100,0
Hubungan antara Fungsi Sosial Keluarga dengan Kenakalan Remaja
Tabel 3
Hubungan antara Fungsi Sosial Keluarga dengan Kenakalan Remaja
Fungsi Sosial Keluarga Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Kenakalan Remaja Total Rendah Sedang f % f % f % 2 40,0 3 60,0 5 6,0 14 60,9 9 39,1 23 27,7 47 85,5 8 14,5 55 66,3 63
75,9
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa remaja dengan fungsi sosial keluarga yang rendah yang memiliki kenakalan remaja kategori rendah sejumlah 40,0%, sedangkan remaja dengan fungsi sosial keluarga yang sedang yang memiliki kenakalan remaja kategori rendah sejumlah 60,9%, dan remaja dengan fungsi sosial keluarga yang tinggi yang memiliki kenakalan remaja kategori sedang sejumlah 14,5%. Ini menunjukkan bahwa berdasarkan persentase tersebut, remaja yang memiliki kenakalan remaja kategori rendah lebih banyak terjadi pada remaja dengan fungsi sosial keluarga yang tinggi
20
24,1
83
-0,319
p-value 0,007
100,0
dibandingkan remaja dengan fungsi sosial keluarga sedang atau rendah. Berdasarkan uji Kendall Tau didapat nilai sebesar -0,319 dengan pvalue 0,007. Oleh karena p-value = 0,007 < α (0,05), maka Ho ditolak, dan disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara fungsi sosial keluarga dengan kenakalan remaja di SMPN 15 Purworejo. Hubungan ini merupakan hubungan yang negatif (karena nilai bertanda negatif) yang menunjukkan bahwa jika peran sosial keluarga semakin baik maka kenakalan remaja semakin rendah. Hubungan tersebut merupakan
31
hubungan yang rendah karena nilai -0,319 terletak antara 0,20-0,40.
=
PEMBAHASAN Gambaran mengenai fungsi sosial Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa fungsi sosial keluarga pada sebagian besar dalam kategori tinggi yaitu sejumlah 55 siswa (63,3%). Ini banyak terlihat di dalam item-item pertanyaan yang telah diisi oleh responden, hal-hal yang dilakukan oleh orang tua responden, antara lain orang tua mengingatkan untuk menjalankan perintah agama, taat beribadah, mengingatkan untuk saling menghargai dan menghormati sesama, memberikan tauladan yang baik bagi anak, terbuka kepada anakanaknya, tidak membiarkan anak bertengkar dengan saudara lain, mengingatkan untuk saling membantu kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan, taat dan patuh kepada norma dan aturan yang berlaku di masyarakat, mengajarkan kepada anak bagaimana berpenampilan yang baik sehingga mampu menanamkan kepercayaan diri, mengingatkan untuk memakai pakaian yang sopan, mengingatkan untuk mengerjakan tugas-tugas yang telah diberikan. Gambaran mengenai kenakalan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kenakalan remaja di SMA Tunas Patria pada umumnya masih dalam kategori rendah yaitu sejumlah 63 siswa (75,9%). Terlihat didalam item-item pertanyaan yang telah diisi oleh responden kenakalan remaja yang ditunjukkan seperti berbohong, pergi keluar rumah tanpa pamit, begadang bersama teman, mudah marah atau tersinggung dan tidak membantu pekerjaan rumah.
kenakalan remaja di SMA Tunas Patria. Dari jawaban responden terlihat bahwa fungsi sosial keluarga responden tinggi tingkat kenakalan remaja yang dilakukan rendah dan fungsi sosial keluarga yang rendah tingkat kenakalan remaja juga rendah tetapi ada juga yang fungsi sosial keluarganya tinggi yang melakukan kenakalan berat. Berdasarkan tabel 3 hubungan antara fungsi sosial keluarga dengan kenakalan remaja di SMP N 15 Purworejo yang dilakukan pada 83 ditemukan fakta bahwa fungsi sosial keluarga rendah dengan tingkat kenakalan remaja sedang yaitu sebanyak 3 remaja (60,0 %), sedangkan fungsi sosial keluarga tinggi dengan tingkat kenakalan remaja rendah yaitu sebanyak 47 remaja (85,5%). Istilah fungsi sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh individu akan kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya. Juga dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok bagi penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat. Penampilan dianggap efektif diantaranya jika suatu keluarga mampu melaksanakan tugastugasnya
KESIMPULAN 1. Fungsi sosial keluarga pada remaja sebagian besar dalam kategori tinggi yaitu sejumlah 55 responden (66,3%) 2. Perilaku kenakalan remaja secara umum termasuk dalam kategori rendah yaitu sejumlah 63 responden (75,9%) 3. Ada hubungan antara fungsi sosial keluarga dengan kenakalan remaja dimana hasil p=0,007<α (0,05) SARAN
Hubungan antara fungsi sosial keluarga dengan kenakalan remaja Berdasarkan uji statistik Kendall Tau dengan tingkat kepercayaan 95% atau tingkat kesalahan 5% didapatkan nilai Kendall Tau sebesar -0,319 dengan p-value sebesar 0,007<α (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara fungsi sosial keluarga dengan
1. Bagi Orang Tua a. Diharapkan bagi para orang tua untuk dapat menciptakan kehidupan fungsi sosial keluarga yang harmonis, serta orang tua sebagai guru dan tauladan yang baik bagi anak. b. Disarankan kepada orang tua untuk dapat menjaga hubungan yang hangat dalam keluarga dengan cara saling menghargai, pengertian dan
32
penuh kasih sayang serta tidak bertengkar di depan anak, sehingga orang tua dapat memberikan tauladan yang baik bagi anak. 2. Bagi Remaja a. Diharapkan remaja mampu untuk mengenali potensi tertinggi yang dimilikinya sehingga dikehidupan nanti akan lebih bermanfaat baik didalam kehidupan pribadi, keluarga dan lingkungan masyarakat. b. Untuk menghindari suatu bentuk kenakalan hal-hal yang harus diperhatikan remaja adalah kontrol diri atau pertahanan diri yang kuat, pemilihan teman dan lingkungan pergaulan yang baik, peningkatan teman dan lingkungan pergaulan yang baik serta peningkatan aktifitas sepiritual sesuai dengan kepercayaan. 3. Bagi Pihak Sekolah Pihak sekolah disarankan dapat membantu siswa untuk menggali potensi-potensi yang dimiliki siswa sehingga membantu mereka dalam pencapaian prestasi akademik maupun non akademik. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya Untuk penelitian selanjutnya yang berminat untuk mengangkat tema yang sama diharapkan mempertimbangkan variabel-variabel lain yang lebih mempengaruhi kenakalan remaja seperti teman sebaya atau peer group, media massa, status sosial ekonomi, dan disarankan juga untuk menggunakan alat ukur yang memiliki realibilitas yang lebih tinggi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menggunakan data tambahan seperti observasi dan wawancara agar hasil yang didapat lebih mendalam dan sempurna, karena tidak semua hal dapat diungkap dengan angket. 5. Bagi Profesi Keperawatan Dapat dijadikan informasi dan gambaran bagi pihak kesehatan terutama keperawatan anak dan komunitas dalam menjalankan peran perawat dan penyusunan rencana serat intervensi keperawatan kepada anak untuk memberikan pelayanan keperawatan yang bersifat promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif kepada masyarakat luas dalam hal ini khususnya mengatasi fenomena tentang fungsi sosial keluarga serta kenakalan remaja.
DAFTAR PUSTAKA Asfriyati. 2003. Pengaruh keluarga terhadap kenakalan anak. Fakultas Kesehatan masyarat Universitas sumatera Utara. Friedman, M.M. 1998. Keperawatan keluarga teori dan praktik. Edisi 3. Ahli bahasa : Ina Debora, R.L. Jakarta : EGC Hurlock, E.B. 1999. Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta : Erlangga. Kartono, K. 2006. Patologi sosial 2. kenakalan remaja. Jakarta : PT. raja grafindo persada Masngudin, H. M.S. 2006. Kenakalan remaja sebagai perilaku menyimpang badan litbang sosial depertemen sosial RI. Monks, F. J,K & Haditono, S.R. 1999. Psikologi perkembangan. Yogyakarta : Gajah mada University press. Notoatmojo, S. 2002. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta Santrock, J. W. (1996). Perkembangan remaja. Jakarta : Erlangga Sarwono. 2007. Psikologi remaja. Edisi Sebelas. Jakarta : Raja Grafindo persada. Shirley, M. H. H. 1996. Family health care nursing : theory, practice, and research. Philadelphia : F. A Dafis Company. Soetjiningsih.1994. Tumbuh kembang anak. Bagian Ilmu kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Airlangga. Jakarta : EGC Sugiyono, 2003. Statistika untuk penelitian. Alfabeta : Bandung Wahyuningsih, S. 2007. Pengaruh keluarga terhadap kenakalan remaja. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. William, Marshall. 2011. Criminal mediation. Edisi 4. European Journation CriminalPolicy and Research.
33
Analisa Pengetahuan dan Perilaku (Sikap) Orang Tua dalam Stimulasi Tumbuh Kembang pada Anak Retardasi Mental di SLB Kota Madya Semarang Zumrotul Choiriyyah, Imron Rosyidi *)Staff dosen PSIK Stikes Ngudi Waluyo Ungaran
ABSTRACT Mental retardation is a heterogenic disorder which consist of intellectual function below normal and disorder of adaptive skill which found before someone is 18 years old. Children with mental retardation have limitation. And this limitation leads to less independent children. One of the methods to train children’s independent is by doing growth and development stimulation This research was descriptive correlation with cross sectional approach. The population were parent’s with mental retarded children at SLB Semarang. The number of sample were 55 people. The technique sampling used accidental sampling. Source of data was primary data, with chi square analysis test. The result shows: the giving of growth and development stimulation with less categories at 50,9%, while good category at 49,1%. There is no correlation between knowledge and attitude with growth stimulation action. Keyword : Mental retarded, growth and development, knowledge, attitude ABSTRAK Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri dari fungsi intellektual yang di bawah rata-rata dan gangguan dalam keterampilan adaptif yang ditemukan sebelum orang berusia 18 tahun. Anak retardasi mental mempunyai keterbatasan, dan keterbatasan ini menyebabkan anak kurang mandiri. Salah satu cara untuk melatih kemandirian anak adalah dengan melakukan stimulasi tumbuh kembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap orang tua terhadap pemberian stimulasi tumbuh kembang anak retardasi mental. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi adalah orang tua yang memiliki anak retardasi mental yang ada di Sekolah Luar Biasa di Kotamadya Semarang. Sampel penelitian sejumlah 55 orang. Teknik pengambilan sample dengan accidental sampling. Instrument penelitian berupa kuisioner. Analisis data menggunakan Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan pemberian stimulasi tumbuh kembang dalam kategori kurang sebesar 50,9%, sedangkan kategori baik sebesar 49,1%. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap tindakan stimulasi tumbuh kembang. Kata Kunci : Retardasi mental, tumbuh kembang, pengetahuan, sikap
PENDAHULUAN Kelahiran anak merupakan saat yang ditunggu–tunggu dan sangat menggembirakan bagi pasangan suami isteri. Anak sebagai buah pertautan cinta suami isteri merupakan buah hati yang sangat di dambakan kehadirannya. Kehadirannya bukan hanya mempererat tali cinta pasangan suami isteri melainkan juga sebagai penerus generasi yang sangat
diharapkan oleh keluarga tersebut (Mangunsong, 1998) Saat–saat yang menegangkan dan menggembirakan tersebut dapat berubah menjadi kekecewaan manakala suami isteri menyaksikan anaknya tidak sempurna. Reaksi umum yang terjadi pada orang tua adalah sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak atau marah, sebelum akhirnya menerima keadaan anaknya (Mangunsong, 1998)
34
Salah satu kecacadan yang sudah dikenal masyarakat luas adalah Retardasi Mental. Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri dari fungsi intelektual yang di bawah rata–rata dan gangguan dalam ketrampilan adaptif yang ditemukan sebelum orang berusia 18 tahun. (Sadock dan Kaplan, 1997) Tahap pertama yang biasanya muncul adalah perasaan syok, mengalami goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan kecacadan yang diderita anak. Pada tahap ini biasanya orang tua akan mencari tahu mengenai keadaan anak dan mencoba memperoleh berbagai diagnosis dari dokter maupun terapis yang bisa memberikan prognosis yang lebih positif. Tahap berikutnya mereka merasa kecewa, sedih dan mungkin merasa marah, ketika mereka mengetahui realitas yang harus dihadapi. Pada saat ini mereka sering merasa bersalah dan menyangkal kenyataan yang dihadapinya. (Mangunsong, 1998) Reaksi perasaan muncul dalam bentuk pertanyaan mengapa kami dicoba ? apakah kesalahan kami? dan seterusnya. Setelah itu perasaan tersebut diikuti dengan penerimaan kecacadan anaknya dan mulai bisa menyesuaikan diri dengan kecacadan tersebut. Namun demikian proses penerimaan ini akan memakan waktu yang lama selain itu juga akan berfluktuatif.(Mangunsong, 1998) Salah satu kecacadan yang sudah dikenal masyarakat luas adalah Retardasi Mental. Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri dari fungsi intelektual yang di bawah rata–rata dan gangguan dalam ketrampilan adaptif yang ditemukan sebelum orang berusia 18 tahun. (Sadock dan Kaplan, 1997) Prevalensi retardasi mental sekitar 1% dalam suatu populasi. Di Indonesia 1– 3% penduduknya menderita kelainan ini. Insiden ini sulit diketahui karena retardasi mental kadang tidak dikenali sampai anak usia pertengahan dimana retardasinya dalam taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki–laki dibandingkan dengan perempuan.(Sadock dan Kaplan, 1997) Angka kejadian retardasi mental di Indonesia mencapai 6,6 juta orang atau 3% dari jumlah penduduk 220 juta (Antara,2007) Angka kejadian retardasi mental di Indonesia mencapai 6,6 juta orang atau 3% dari jumlah penduduk 220 juta ((Depsos,2009) Kecacadan yang terjadi pada anak dapat mempengaruhi sikap dan pendekatan orang
tua terhadap anak, serta keaktifan dalam berpartisipasi program pendidikan anak selanjutnya (Mangunsong,1998) Ketidak tahuan orang tua tentang kondisi anak yang sesungguhnya merupakan faktor penghambat kemandirian anak retardasi mental dalam pemenuhan kebutuhan harian. Salah satu cara untuk melatih kemandirian anak dalam pemenuhan kebutuhan harian tersebut adalah dengan melakukan stimulasi tumbuh kembang. Stimulasi tumbuh kembang ini meliputi kemampuan motorik halus, kemampuan motorik kasar, kemampuan bicara dan bahasa, dan kemampuan bersosialisasi (Depkes RI, 2005) Secara umum kualitas tumbuh kembang balita di Indonesia perlu mendapat perhatian serius seperti kebutuhan anak untuk mendapatkan gizi yang baik, stimulasi yang memadai serta terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Setiap anak perlu mendapat stimulasi tumbuh kembang secara rutin dan terus menerus pada setiap kesempatan. Kurangnya stimulasi dapat menyebabkan penyimpangan tumbuh kembang anak bahkan gangguan yang menetap (Depkes RI,2005) Bagi anak retardasi mental perlu adanya intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang agar penyimpangan tersebut tidak semakin berat. Selama ini kesadaran masyarakat terutama orang tua yang memiliki anak retardasi mental belum memahami pentingnya melakukan stimulasi tumbuh kembang. Teori perilaku yang dikemukakan oleh Green membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut , yakni behavioral factors (faktor perilaku), dan non behavioral factors (faktor non perilaku) Selanjutnya Green menganalisis, bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu: Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor-faktor penguat (reinforcing factors). (Marshall W Kreuter, 2000). Faktor predisposisi perilaku keluarga meliputi karakteristik biografikal, pengetahuan, sikap, persepsi terhadap nilai anak. Dari karakteristik biografikal, usia ibu sangat menentukan adanya kejadian retardasi mental. Hal ini berkaitan dengan maturasi fungsi reproduksi . Demikian juga dengan keterlibatan pengasuhan pada anak di rumah sering kali dilakukan oleh kedua orang tua , itupun terkadang orang tua tidak melakukannya secara rutin dengan alasan melakukan
35
kesibukan lain, misalnya kesibukan bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Keluarga yang mempunyai anak retardasi mental sering mengalami kendala di masyarakat. Beban mereka berat ketika masyarakat tidak bisa menerima kondisi anaknya yang membutuhkan perlakuan khusus . Retardasi mental masih dianggap aib bagi masyarakat, ini berkaitan dengan persepsi terhadap nilai anak, tidak jarang orang tua yang memiliki anak retardasi mental cenderung menyembunyikan, anak tidak boleh keluar rumah, supaya tidak bermasalah. Semakin orang tua menyembunyikan anaknya maka anak semakin tidak mandiri. Hasil wawancara dengan salah satu wali murid yang anaknya mengalami retardasi mental mengatakan, pada saat anaknya menginjak usia sekolah, dirinya merasa malu untuk menyekolahkan anaknya, karena anaknya berbeda dengan anak lain seusia, Ini menunjukkan sikap yang negatif dari keluarga. Hal ini yang masih menjadi kendala atau terhambatnya stimulasi tumbuh kembang pada anak retardasi mental. Di Sekolah Luar Biasa proses belajar mengajar dibatasi oleh jam pertemuan. Pada umumnya jam masuk sekolah dimulai pukul 07.00 WIB dan selesai pukul 13.00 WIB. Taman kanak–kanak (TK) memiliki jam pertemuan yang lebih pendek yaitu mulai pukul 07.30 WIB sampai dengan 10.00 WIB atau 2,5 jam per hari, dengan kata lain bahwa anak retardasi mental lebih banyak waktunya berada di lingkungan rumah dibandingkan di sekolah. Peran orang tua sangatlah besar untuk melakukan stimulasi tumbuh kembang dari pada guru di sekolah. Berdasarkan latar belakang tersebut, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “ apakah ada hubungan antara pengetahuan dan sikap, orang tua terhadap pemberian stimulasi tumbuh kembang anak retardasi mental di Sekolah Luar Biasa Kotamadya Semarang?”. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap orang tua terhadap pemberian stimulasi tumbuh kembang anak retardasi mental di sekolah Luar Biasa Kotamadya Semarang”. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional (lintang),(Sugiyono,2009) untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap orang tua sebagai variabel bebas, dan stimulasi tumbuh kembang sebagai variabel terikatnya. Populasi
dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak retardasi mental yang ada di tujuh Sekolah Luar Biasa di wilayah Kotamadya Semarang sebanyak 153 orang tua siswa. Sedangkan sampel pada penelitian ini memiliki kriteria inklusi: - Orang tua yang memiliki anak retardasi mental yang ad adi tujuh sekolah luar biasa se Kotamadya Semarang - Anak berada di kelas setingkat taman kanak-kanak dan kelas satu, kelas dua sekolah dasar. - Retardasi ringan sampai sedang - Tidak disertai kelainan fisik - Mampu didik dan mampu latih Alasan memilih kotamadya Semarang adalah peneliti menilai Kotamadya Semarang memiliki sejumlah Sekolah Luar Biasa dan sekolah terapi yang banyak dibandingkan dengan daerah lain. Teknik pengambilan sampel dengan teknik sampling nonrandom. Pemilihan pengambilan dengan cara Insidental sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 55 orang tua siswa. Alat ukur berupa kuisioner. Uji coba kuisioner dilakukan di empat Sekolah Luar Biasa di luar Kotamadya Semarang. Uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan Spearman Brown dan Alpha Cronbach’s. Pengumpulan data dilakukan secara bertahap dengan mengunjungi Sekolah Luar Biasa se Kotamadya Semarang. Adapun analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat Chi Square.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan Orang Tua Tentang Stimulasi Tumbuh Kembang Untuk menilai pengetahuan orang tua peneliti menggunakan median atau nilai tengah dengan nilai 0,00. Pemilihan median disebabkan oleh karena data yang berdistribusi tidak normal. Median merupakan alat deskripsi yang baik untuk distribusi data yang tidak normal. Sebagian besar pengetahuan responden dalam kategori kurang dengan nilai 50,9%. Sedangkan kategori baik sejumlah 49,1%. Sikap Orang Tua Sikap responden diukur dengan menggunakan nilai median 0,90. Sikap orang tua dalam stimulasi tumbuh kembang diuraikan mengenai item jawaban setuju dan tidak setuju. Responden yang memiliki sikap
36
negative sejumlah 41,8%. Responden yang memiliki sikap positif sejumlah 58,2%.Artinya sikap positif memiliki persentase lebih banyak dari pada sikap negatif. Tindakan Stimulasi Tumbuh Kembang Tindakan stimulasi tumbuh kembang menggunakan nilai median 1,63.Tindakan orang tua dalam melakukan stimulasi tumbuh kembang anak retardasi mental sebagian besar adalah tidak efektif dengan jumlah 50,9% sedangkan tindakan yang efektif memiliki jumlah 49,1%.
Tabel 1. Distribusi frekuensi hasil analisis univariat Variabel
Frekuensi (n = 55)
1. Pengetahuan a. Kurang b. Baik 2. Sikap a. Negative b. Positif 3. Tindakan a. Tidak efektif b. Efektif
Persentase
28 27
50,9 49,1
23 32
41,8 58,2
28 27
50,9 49,1
Hubungan antara pengetahuan terhadap tindakan stimulasi tumbuh kembang. Tabel 2. Hubungan pengetahuan terhadap pemberian stimulasi tumbuh kembang
Pengetahuan Kurang Baik Total
Tindakan Kurang Baik f % f % 14 53,8 12 46,2 14 48,2 15 51,8 28 50,9 27 49,1
Dari tabel tersebut dapat dikatakan bahwa tindakan stimulasi tumbuh kembang dengan kategori kurang sebagian besar pada responden dengan tingkat pengetahuan kurang dengan nilai 53,8%. Sedangkan tindakan stimulasi tumbuh kembang dengan kategori baik sebagian besar berada pada responden dengan tingkat pengetahuan baik dengan nilai 51,8%. Pengetahuan responden dengan tindakan stimulasi tumbuh kembang menunjukkan nilai signifikansi 0,680 lebih besar dari 0,05 berarti tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan tindakan pemberian stimulasi tumbuh kembang. Orang tua yang mempunyai pendidikan rendah tidak siap untuk memberikan stimulasi yang sesuai bagi anak-anaknya (Sadock dan Kaplan,1997). Peningkatan pengetahuan sendiri tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku , akan tetapi ada hubungan yang positif antara perubahan perilaku dengan organizational variabel ditunjukkan lebih awal ( Marshal W.Kreuter, 2000). Pengetahuan seseorang terhadap objek, dalam hal ini anak retardasi mental mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan seseorang mempunyai tingkatan tindakan dalam stimulasi tumbuh kembang yang
Total f 26 29 55
% 47,3 52,7 100,0
p value 0,680
berbeda pula. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang kurang mengenai stimulasi tumbuh kembang. Kaitan dengan pengetahuan responden, sebagian besar mengatakan bahwa responden mengetahui tentang alat-alat yang digunakan untuk melakukan stimulasi adalah dengan memodifikasi alat yang ada, dan saat yang tepat untuk melatih anak adalah setiap saat baik di rumah maupun di sekolah. Kurikulum yang tepat bagi anak retardasi mental akan membantu perkembangan lebih cepat akan kemandiriannya. Penelitian yang dilakukan oleh Stephanny F.N. dan Freeman and Marvin C. Alkin mengatakan bahwa anak retardasi mental digabungkan dengan pendidikan secara umum (sekolah umum) menunjukkan tingkat kemampuan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan retardasi mental pada sekolah khusus. Berikut kutipannya: When comparing children with mental retrdation in general education and special education classrooms, integrated students perform better than their comparable segregated students on measures of academic achievement and social competence(Stephani,FN, 2000).
37
Walaupun kenyataannya penggabungan antara anak umum dengan anak retardasi mental adalah suatu hal yang tidak mudah, sehingga program ini perlu diimplementasikan untuk meningkatkan status sosial pada pendidikan umum. Berdasarkan pengalaman sekolah di Indonesia untuk memfasilitasi kegiatan ini, ada sekolah yang menggabungkan antara anak dengan berkebutuhan khusus dengan anak secara umum (sekolah inklusi) memberikan dampak ketidak setujuan dari orang tua yang memiliki anak yang normal. Mereka merasa bahwa anak mereka disamakan dengan anak retardasi mental.
Kendala lain bagi sekolah adalah bahwa perlunya pendampingan bagi anak berkebutuhan khusus ini ketika proses belajar mengajar berlangsung, agar anak dapat bersosialisasi dengan baik di lingkungan, sehingga sekolah harus menyediakan sarana lebih bagi orang tua, seperti misalnya menyediakan bangku sekolah. Dari sini dapat dikatakan bahwa penggabungan sekolah antara anak berkebutuhan khusus dengan anak pada umumnya hanya digunakan untuk meningkatkan kemampuan anak pada kegiatan bersosialisasi saja, bukan untuk mencapai target akademik.
Hubungan antara sikap dengan tindakan stimulasi tumbuh kembang Tabel 3. Hubungan sikap terhadap pemberian stimulasi tumbuh kembang
Sikap Negatif Positif Total
Tindakan Kurang Baik f % f % 11 47,8 12 52,2 17 53,0 15 47,0 28 50,9 27 49,1
Dari tabel tersebut dapat digambarkan bahwa tindakan stimulasi tumbuh kembang dengan kategori kurang berada pada responden dengan sikap positif dengan nilai 53%. Sedangkan tindakan stimulasi tumbuh kembang dengan kategori baik berada pada responden dengan sikap negatif dengan nilai 52,2%. Sikap responden dengan tindakan stimulasi tumbuh kembang menunjukkan nilai signifikansi 0,698 lebih besar dari 0,05 berarti tidak ada hubungan antara sikap dengan tindakan stimulasi tumbuh kembang. Responden tidak dapat dijelaskan secara keseluruhan mengenai sikap terhadap stimulasi tumbuh kembang berada pada tingkatan menerima (receiving), Menanggapi (responding), Menghargai (valuing) atau bertanggung jawab (responsible).(Notoatmojo,2005) Namun berdasarkan studi kualitatif menyatakan bahwa ke tiga responden memiliki variasi jawaban. Jika ditinjau dari banyaknya orang tua yang menunggui anaknya sekolah, peneliti dapat mengatakan bahwa responden berada pada tahap bertanggung jawab (responsible) Artinya responden berani mengorbankan waktunya untuk mengantarkan anaknya sekolah, atau jika tidak mengantar sekolah, responden berani mengeluarkan ongkos untuk
Total f 23 32 55
% 41,8 58,2 100,0
p value 0,698
menyekolahkan anaknya sebagai wujud tanggung jawabnya. Sekolah Luar Biasa perlu difasilitasi dengan tenaga Psikolog, dengan tujuan agar anak retardasi mental dapat dikaji dan diklasifikasi sesuai dengan tingkatan dan kemampuannya. Selain itu orang tua dapat melakukan konseling sesuai dengan kebutuhannya. Namun kenyatannya tidak semua sekolah mempunyai kemampuan untuk memfasilitasi tersebut. Pentingnya Psikolog di Sekolah Luar Biasa ditunjukkan penelitian yang dilakukan oleh Luc Lecavalier, Marc J. Tasse dan Stephanie Levesque yang menyatakan bahwa sekolah yang difasilitasi dengan tenaga psikolog berperan penting dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasi siswa retardasi mental dalam menentukan persyaratan layanan yang khusus This Finding is consistent with previous studie indicating the large part that assessments play in the role of school psychologist. We also found that 91% of surveyed elementary-level school psychologyst conduct findings highlight the critical role that psychologists play in identifying and classifying students with mental retardation as well as determining eligibility fo specialized services.( Langone, J,2000) Artinya dengan adanya psikolog di Sekolah Luar Biasa berperan penting dalam
38
menentukan spesifikasi layanan diperlukan bagi setiap siswa.
yang
SIMPULAN 1.
2.
3.
Pemberian stimulasi tumbuh kembang anak retardasi mental dalam kategori tidak efektif dengan nilai 50,9% sedangkan kategori efektif dengan nilai 49,1%. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan tindakan stimulasi tumbuh kembang anak retardasi mental dengan nilai p = 0,680 Tidak ada hubungan antara sikap dengan tindakan stimulasi tumbuh kembang anak retardasi mental dengan nilai p = 0,698
DAFTAR PUSTAKA Depkes RI. 2005. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi Deteksi Dini Dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Depkes RI Feist,Gregory .2008.Theories of Personality.Edisi ke enam.Pustaka Pelajar.
Langone, J;Christine AL;McLaughlin,P. 2000. Analyzing Special Educators’Views On Community-Based Instruction for Students With Mental Retardation and Developmental Disabilities: Implications for Teacher Education.Departement of Special Aducation.University of Georgia.Journal of Developmental and Physical Disabilities. Vol 12.no 1 Mangunsong,F,dkk.1998.Psikologi Pendidikan Anak Luar LPSP3.Universitas Indonesia W.Kreuter M; Green, Promotion Planning And Environmental Edition.Mayfield Company.Mountain London.
dan Biasa.
L.2000. Health An Educational Approach.Second Publishing View Toronto
Notoadmojo,S.2005.Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta Freeman,S; Marvin C.Alkin. 2000. Remedial and Special Education http://www.sagepublication.com published by Hammil Institute on Disabilities. Sugiyono.2009. Metode Kuantitatif,Kualitatif R&D.Alfabeta
Penelitian dan
39
Hubungan Antara Stress Kerja Dengan Kejadian Insomnia Pada Pekerja Pabrik Roti Saudara Kota Semarang Ita Puji Lestari, Puji Pranowowati, Auly Tarmali *) Staf pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat
ABSTRACT Problem of health which caused life style more and more happening, one of them is Insomnia which have seriously impact, especially for workers is decrease of productivity. One of the cause of Insomnia is work stress wich effected individual reaction in the form of physiological, psychological, and behavior reactions. In general work stress is more dangerous for the employee it self and also company, the tension of one’s mind on something and then influence the central nervous system so that the physical condition is always alert, and work stress is one of the risk to insomnia sleep disorder. The purpose of the research is to know the relation between work stress with the occurence of insomnia in worker at Saudara Bakery Semarang. This research represented analytic research type with observational reaseach design with cross sectional approach. Population in this research was all workers at Saudara Bakery, 34 sample were taken by using purposive sampling. Data collection by using interview and direct measurement using questionnaire. Data analysis techniques used is Fisher'S Exact Test. The result of this research shows there is relation between work stress with the occurence of Insomnia in workers (p=0,024 dan RP=1,964). It is expected for workers to use break time as efficient as possible and do sport regulary to keep the health and body organ balance function. It is suggested to do further research about the factors influencing the occurence of insomnia in worker like motivation , diet, disease, change of environment, life style, and smoke factors. Keywords
: Work Stress, Insomnia
ABSTRAK Masalah kesehatan akibat gaya hidup makin banyak muncul, salah satunya adalah insomnia dimana insomnia mempunyai dampak serius khususnya bagi pekerja yaitu penurunan produktivitas kerja. Salah satu penyebab Insomnia adalah stress kerja dimana menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku dan bersifat internal. Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan, ketegangan pikiran seseorang terhadap sesuatu yang kemudian mempengaruhi system saraf pusat sehingga kondisi fisik senantiasa siaga, dan stress kerja merupakan salah satu risiko untuk terjadinya gangguan tidur insomnia. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara stress kerja dengan kejadian Insomnia pada pekerja di pabrik roti saudara kota Semarang. Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik dengan desain penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pekerja yang bekerja di pabrik roti Saudara. Sampel yang diambil sebanyak 34 pekerja dengan tehnik pengambilan sampel secara purposive sampling. Pengumpulan data dengan melakukan wawancara serta pengukuran secara langsung dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Teknik analisa data yang digunakan adalah Fisher’s Exact Test. Hasil penelitian menunjukan ada hubungan antara stress kerja dengan kejadian Insomnia pada pekerja (p=0,024 dan RP=1,964). Diharapkan bagi pekerja menggunakan waktu istirahat sebaik mungkin dan rajin berolah raga untuk menjaga kesehatan dan keseimbangan fungsi dari organ tubuh. Disarankan perlu adanya penelitian yang lebih mendalam tentang faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian insomnia pada pekerja seperti faktor motivasi, diet, penyakit, perubahan lingkungan, gaya hidup, dan merokok
Kata kunci
: stress kerja, insomnia
40
PENDAHULUAN Era industrialisasi dan kemajuan teknologi telah membawa perubahan pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia, dan tentu saja mengubah gaya hidupnya. Dulu, masalah kesehatan yang ditakutkan adalah penyakit infeksi. Sekarang banyak penyakit tersebut dapat ditekan dan angka kejadiannya pun menurun. Namun akibat perubahan gaya hidup itu, beberapa keadaan kesehatan tubuh dapat terganggu oleh penyakit-penyakit akibat gaya hidup yang akan menjadi masalah baru bagi dunia kesehatan (Taisir,2009) Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, 25,43 persen dari 220 juta rakyat Indonesia mengalami masalah kesehatan. Bahkan pada dasarnya, baik sebelum maupun saat krisis ekonomi terjadi, kondisi masyarakat Indonesia sesungguhnya banyak yang belum terjamin pemeliharaan kesehatannya, data lain juga menunjukkan, tak kurang dari 84% rakyat Indonesia tak terlindungi kesehatannya, sementara baru 16 % saja yang mempunyai jaminan kesehatan (Taisir,2009). Salah satu penyakit akibat gaya hidup itu adalah gangguan tidur insomnia. Insomnia adalah kesulitan untuk tidur atau kesulitan untuk tetap tertidur, atau gangguan tidur yang membuat penderita merasa belum cukup tidur pada saat terbangun (Khomsan,2009). Prevalensi insomnia di Indonesia berkisar 10 persen. Dengan kata lain, kurang lebih 28 juta dari total 238 juta penduduk Indonesia menderita insomnia, ini sama halnya bahwa angka kejadian insomnia di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, yakni sekitar 2,2 juta (Amir,2008). Insomnia mempunyai dampak yang serius yaitu turunnya produktivitas. Penderita insomnia sering mengantuk di siang hari dan tidak bisa memusatkan perhatian pada hal-hal detail. Mereka tidak dapat memberikan pertimbangan untuk mengatasi masalah. Penderita insomnia juga sering lupa, bahkan hal yang baru saja dialami (Khomsan,2009). Insomnia lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria dengan rasio 3 : 2. dengan bertambahnya usia bertambah pula angka kejadian gangguan tidur (Anonim,2008). Potter & Perry (2001) menyatakan bahwa insomnia disebabkan oleh stress situasional (masalah sekolah, pekerjaan, keluarga), jet lag syndrome, cemas, penyakit, hygiene sebelum tidur, gaya hidup, efek samping obat-obatan, lingkungan, perubahan tempat dan waktu yang ekstrim.
Salah satu penyebab gangguan tidur insomnia adalah stress situasional (masalah sekolah, pekerjaan,keluarga). Penelitian yang dilakukan Halim (1986) di Jakarta dengan menggunakan 76 sampel pekerja di perusahaan swasta menunjukkan bahwa efek stres yang mereka rasakan ada dua. Dua hal tersebut adalah yang pertama adalah efek pada psikologis mereka, dimana mereka merasa tegang, cemas, tidak bisa berkonsentrasi, ingin pergi ke kamar mandi, ingin meninggalkan situasi stres. Kedua, efek pada fisiologis mereka, seperti: jantung berdegup kencang, denyut jantung meningkat, bibir kering, berkeringat, mual, gangguan pola tidur . Stress kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja. (Widyasari,2008) Beberapa hal yang dapat mengakibatkan stress kerja adalah lingkungan fisik bisa berupa suara bising di tempat kerja, misalnya bunyi mesin pabrik, suhu lingkungan kerja yang terlalu panas atau dingin, demikian pula perubahan suasana lingkungan kerja (Khomsan,2009). Menurut Potter & Perry (2001) pekerjaan yang mengharuskan pekerjanya untuk memenuhi target dengan waktu yang telah ditentukan, dan dengan situasi serta lingkungan tempat kerja yang dapat memicu adanya tekanan pada diri pekerja tersebut, baik dari segi fisik (suhu, bising, pencahayaan, ergonomi ditempat kerja) maupun non fisik ( konflik ditempat kerja) hal tersebut dapat menimbulkan stress kerja yang berakibat terjadinya gangguan tidur insomnia pada pekerja. Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya (Rice, 1999). Seseorang yang mengalami stress akan mempengaruhi kualitas tidurnya. Gangguan tidur yang banyak terjadi pada seorang pekerja ialah insomia, dimana
41
insomnia merupakan sebuah simptom, yang didefinisikan sebagai kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur (Supriyatno,2008). Kesulitan untuk memulai tidur ( initiating sleep ) lebih sering dijumpai pada wanita, sedangkan kesulitan mempertahankan tidur dan terbangun pada pagi hari memiliki prevalensi yang sama antara wanita dan pria (WanXp,2007). Schuller (1980), mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi. Menurut peneliti ini, stress yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja, serta tendensi mengalami kecelakaan. Dimana hal ini dapat terjadi diawali dengan terjadinya gangguan pola tidur pada pekerja (Rini,2002). Beberapa penelitian telah menemukan adanya hubungan antara stress dengan penyakit, seperti gangguan pola tidur, masalah pada jantung, gangguan pencernaan, darah tinggi, maag, alergi, dan beberapa penyakit lainnya. Oleh karenanya, perlu kesadaran penuh setiap orang untuk mempertahankan tidak hanya kesehatan dan keseimbangan fisik saja, tetapi juga psikisnya (Jacinta,2002). Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya insomnia pada seseorang, namun pada penelitian ini faktor yang akan diteliti adalah stress kerja, karena stress kerja merupakan suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Stress sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya (Hager,1999). Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, didapatkan bahwa 7 (70%) dari 10 orang yang bekerja di Pabrik Roti Saudara mengalami gangguan istirahat tidur insomnia. Para pekerja merasakan ada tekanan , 6 orang (60%) merasa tertekan dengan beban kerja yang diberikan dengan batas waktu atau target waktu yang ditentukan oleh perusahaan, 5 (50%) pekerja yang merasa sering tidak dapat berkonsentrasi dalam bekerja karena suhu ruangan kerja yang panas. Beberapa hal yang terdapat ditempat kerja yang memicu para pekerja merasakan stress adalah antara lain kondisi fisik tempat kerja, dimana atapnya terbuat dari asbes yang menyebabkan suhu udara ditempat kerja meningkat, hal lainnya adalah masalah yang
terjadi akibat persaingan antar pekerja, karena berselisih antara satu dengan yang lain sehingga mempengaruhi konsentrasi dalam bekerja. Dari para pekerja yang ditemui saat studi pendahuluan 7 orang (70 %) dari 10 orang mengalami kesulitan memulai tidur dan mengalami kesulitan mempertahankan tidur karena sering terbangun, serta terbangun dari tidurnya lebih awal. Stress kerja bila terjadi berkepanjangan dan tidak segera ditangani akan secara tidak langsung dan perlahan mengakibatkan kerusakan pada kehidupan seseorang baik dari sisi fisik, social, dan mental.
METODE PENELITIAN Desain penelitian adalah rancangan penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat menuntun peneliti untuk dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian (Sastroamoro,2002). Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Observational yaitu melakukan pengamatan dan pengukuran terhadap berbagai variabel subyek penelitian menurut keadaan ilmiah tanpa melakukan manipulasi dan intervensi (Sastroamoro,2002). Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional yaitu pendekatan dimana pengumpulan atau pengukuran data variabel bebas dan terikat dilakukan satu kali pada waktu yang bersamaan (Notoatmodjo,2005). Populasi merupakan keseluruhan dari subyek penelitian (Nursalam,2001). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja yang bekerja di Pabrik Roti Saudara Banyumanik Semarang yaitu sebanyak 50 orang. Sampel merupakan sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili dari seluruh populasi (Notoatmodjo,2005). Teknik pengambilan sample dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan Purposive sampling dan didapatkan Sampel sebanyak 34 pekerja , dengan menggunakan kriteria sebagai berikut : tidak sedang dalam proses pengobatan atau mengkonsumsi obat-obatan (obat yang mengurangi jumlah tidur, menyebabkan mimpi buruk,dan obat yang meningkatkan kantuk pada siang hari), tidak mengkonsumsi alcohol, tidak merokok, tidak sedang menderita suatu penyakit (jantung, penyakit infeksi yang menyebabkan nyeri seperti asma, reumatik, ginjal, tyroid). Pengumpulan data adalah mengumpulkan variabel yang akan diteliti dengan menggunakan metode wawancara dan
42
kuesioner. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yang terpenting dilaksanakan secara obyektif dan tepat (Arikunto, 2002). Alat pengumpulan data (instrument) yang digunakan adalah kuesioner. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji Pasti Fisher melalui program SPSS 12.0 for Windows karena jenis variabel dalam penelitian ini adalah kategorik yang dikotomi, maka uji statistik yang digunakan adalah Uji Pasti Fisher yang merupakan alternatif dari uji hipotesis komparatif variabel kategorikal tidak berpasangan yang dapat dipakai untuk ukuran sampel yang kecil (Murti,1996).
Dari tabel diatas dapat diketahui responden dalam penelitian ini sebagian besar mempunyai masa kerja kurang dari 5 tahun yaitu sebesar 24 responden (70,6%).
Stress Kerja Dari hasil penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa pekerja mengalami stress kerja dengan dua tingkatan, yaitu stress ringan dan stress sedang,yang dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3
Distribusi Frekuensi Tingkatan Stress Kerja pada Pekerja di Pabrik Roti Saudara Kota Semarang
Kategori
Frekuensi
Stress Ringan Stress Sedang Jumlah
24 10 34
HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden 1. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Tabel 1 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di Pabrik Roti Saudara Kota Semarang Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Frekuensi 5 29 34
Persentase (%) 14,7 85,3 100,0
Persentase (%) 70,6 29,4 100,0
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa dari 34 responden seluruhnya mengalami stress kerja , dan sebagian besar mengalami stress kerja ringan yaitu sebesar 24 orang (70,6%) dan pekerja yang mengalami stress sedang sebesar 10 orang (29,4%). Hasil tersebut juga menunjukkan tidak ada responden yang mempunyai stress kerja pada tingkatan berat. Insomnia
Dari tabel diatas dapat diketahui responden dalam penelitian ini sebagian besar berjenis kelamin perempuan sebesar 29 (85,3%). 2.
Karakteristik responden berdasarkan masa kerja Tabel 2 Distribusi responden berdasarkan Masa kerja di Pabrik Roti Saudara Kota Semarang Umur
Frekuensi
< 5 tahun > 5 tahun Jumlah
24 10 34
Persentase (%) 70,6 29,4 100,0
Tabel 4
Distribusi Frekuensi Kejadian Insomnia pada Pekerja di Pabrik Roti Saudara Kota Semarang
Kategori
Frekuensi
Insomnia Tidak Insomnia Jumlah
20 14 34
Persentase (%) 58,8 41,2 100,0
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa dari 34 responden sebagian besar rsponden mengalami insomnia yaitu 20 orang (58,8%) dan yang tidak mengalami insomnia sebesar 14 orang (41,2%).
43
Hubungan antara Stress Keja dengan Kejadian Insomnia pada pekerja Tabel 5 Hubungan antara Stress Keja dengan Kejadian Insomnia pada pekerja di Pabrik Roti Saudara Kota Semarang Tingkatan Stress kerja Stress ringan Stress sedang Jumlah RP = 1,964
Kejadian Insomnia Insomnia Tidak Insomnia f % f % 11 45,8 13 54,2 9 90 1 10 20 58,8 14 41,2 (95% CI : 1,213- 3,178)
Menurut data diatas kejadian Insomnia lebih banyak dialami oleh pekerja yang stress ringan yaitu sebesar 11 responden (45,8%), sedangkan kejadian insomnia yang dialami oleh pekerja yang stress sedang sebesar 9 responden (90%). Analisis terhadap data dilakukan untuk menjawab hipotesis penelitian yang telah disusun. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan Fisher’s Exact Test. Dari hasil analisis didapatkan besarnya p = 0,024. Karena probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak, yang artinya ada hubungan antara stres kerja dengan Insomnia pada pekerja. Pada penelitian ini estimasi resiko relatif dinyatakan dengan Rasio Prevalen (RP), dari hasil diatas nilai RP = 1,964 (95% CI : 1,213- 3,178), sehingga dapat diartikan bahwa stress kerja merupakan faktor resiko terjadinya insomnia pada pekerja, dan dapat diinterprestasikan pekerja yang mengalami stress sedang mempunyai peluang 1,964 kali untuk mengalami gangguan tidur insomnia, dibandingkan pekerja yang mengalami stress ringan.
PEMBAHASAN Stress Pada Pekerja Berdasarkan analisis deskriptif pada variabel stres kerja dapat diketahui bahwa semua pekerja mengalami stress kerja dengan tingkatatn sebagai berikut 24 orang (70,6%) mempunyai tingkat stres kerja yang ringan dan 10 orang (29,4%) mempunyai tingkat stres kerja pada tingkat sedang,. Hasil tersebut juga menunjukkan tidak ada responden yang mempunyai stress kerja pada tingkatan berat. Berdasarkan observasi dan hasil pengisian kuesioner stres kerja, beberapa hal yang dapat diduga sebagai penyebab stres kerja yang dialami oleh tenaga kerja yaitu tuntutan fisik antara lain tempat kerja yang dirasakan panas
Total f 24 10 34
p % 100 100 100
0,024
karena atap yang terbuat dari asbes, posisi kerja yang tidak nyaman, ketidaksesuaian antara sarana kerja dengan bentuk tubuh, keterbatasan gerak saat bekerja karena tempat kerja yang kurang luas. Tuntutan tugas yaitu tenaga kerja melakukan pekerjaan secara berulang- ulang sehingga mengakibatkan kebosanan. Dengan tuntutan tugas yang tinggi membuat para pekerja merasa tidak nyaman dalam melaksanakan pekerjaannya. Beberapa hal tersebut diatas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Luthans (1992) bahwa stress kerja dapat disebabkan oleh perubahan sosial , keadaan komunitas dalam pekerjaan, kebijakan organisasi atau perusaahaan, keadaan fisik dalam perusahaan, kurangnya kebersamaan dalam perusahaan atu terjadi konflik antar teman sepekerjaan, serta kurangnya dukungan bagi pekerja. Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil penelitian gejala-gejala stres kerja yang banyak dialami oleh tenaga kerja adalah sebagai berikut pekerja merasa beban kerja berlebihan dalam hal jumlah, pekerja merasa ada bahaya fisik (suhu tinggi, bising) yang mengganggu saat bekerja, pekerja tidak nyaman dengan jadwal/shift kerja, pekerja merasa hasil kerja tidak memuaskan, pekerja merasa kurang mendapat perhatian dari mandor atau pemilik pabrik ditempat bekerja, pekerja merasa memiliki terlalu banyak tuntutan dalam melaksanakan pekerjaan, pekerja merasa mudah marah saat bekerja, pekerja merasa jenuh dengan pekerjaan, pekerja merasa tidak bersemangat ketika bangun pagi karena harus kembali bekerja, gejala-gejala tersebut merupakan gejala psikologis, selain itu para pekerja juga mengalami gejala fisiologis seperti pekerja merasa gemetar bila bertemu dengan mandor atau pemilik pabrik ditempat anda bekerja , pekerja merasa jantung berdebar-debar bila menghadapi mandor atau pemilik pabrik ditempat bekerja , pekerja berkeringat saat dilakukannya supervisi dari perusahaan , pekerja merasa pusing bila menghadapi
44
pekerjaan anda yang tak kunjung selesai, gejala yang ketiga adalah gejala perilaku dimana para pekerja menunda pekerjaannya dan pekerja memutuskan untuk tidak masuk kerja atau absent dari pekerjaan . Gejala-gejala yang dialami oleh tenaga kerja tersebut sesuai dengan pendapat Carry Cooper and Alison Straw (1995) yaitu ada 3 macam gejala stres kerja, meliputi gejala Psikologis, Gejala Fisiologis, dan gejala perilaku. Stres dapat menimpa semua orang dari satu individu ke individu yang lain dan dari waktu sampai kurun waktu tertentu. Munculnya gejala-gejala tersebut merupakan hasil dari tidak atau kurang adanya kecocokan antara orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya dan kecakapannya) dan lingkungan, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif. Stres kerja tidak selalu membuahkan hasil yang buruk dalam kehidupan manusia. Selye membedakan stres menjadi 2 yaitu distress yang destruktif dan eustress yang merupakan kekuatan positif. Stres diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi. Semakin tinggi dorongan untuk berprestasi, makin tinggi juga produktivitas dan efisiensinya. Demikian pula sebaliknya stres kerja dapat menimbulkan efek yang negatif. Stres dapat berkembang menjadikan tenaga kerja sakit, baik fisik maupun mental sehingga tidak dapat bekerja lagi secara optimal (Sunyoto, 2001). Stres kerja dapat berdampak, baik bagi individu maupun organisasi atau perusahaan. Stres dapat berhubungan dengan kesehatan, psikologis dan interaksi sosial. Adanya beban yang harus ditanggung tenaga kerja dapat mengakibatkan tenaga kerja tertekan sehingga tenaga kerja mengalami stres kerja, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi produktivitas tenaga kerja. Sedangkan dampak stres kerja terhadap perusahaan yaitu terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja, mengganggu kernormalan aktivitas kerja, menurunkan tingkat produktivitas, menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan (Jacinta, 2002). Stres kerja sekecil apapun juga harus ditangani dengan segera, menurut Igor S (1997) ada beberapa cara untuk mengobati stres kerja antara lain dukungan social, menjaga kesehatan tubuh dengan tidur cukup, makan makanan sehat dan berolahraga dengan benar,bekerja lebih sedikit dan mengurangi ketakutan akan perkejaan, menghindari perbaikan tambal sulam seperti minum alkohol dan kopi, manajemen waktu yang
benar,yoga,senam pagi bisa dilakukan pada hari senin mengingat produktivitas tenaga kerja pada hari senin lebih rendah dari hari yang lain. Stres kerja dapat menjadi bagian dari kehidupan individu dan organisasi atau perusahaan. Sekecil apapun gejala stres kerja yang muncul tidak perlu menunggu hingga menjadi besar dan parah, yang pada akhirnya akan merugikan tenaga kerja dan juga perusahaan yang bersangkutan karena sangat berpengaruh terhadap produktivitas kerja yang dihasilkan. Insomnia pada pekerja Hasil analisis deskriptif pada variabel insomnia menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja (58,8%) mengalami insomnia. Para pekerja mengalami kesulitan untuk memulai tidur yaitu sebesar 10 orang (29,4%), 7 pekerja (20,6%) terbangun lebih cepat,3 pekerja (8,8%) terbangun tengah malam dan tidak dapat kembali tidur, dan 3 pekerja (8,8%) merasa tidur malam tidak enak. Hal ini disebabkan para pekerja menagalami kegelisahan yang dalam , kondisi pekerjaan yang tidak mendukung, memikirkan permasalahan yang dihadapi ,dan situasi sosial yang tidak mendukung (Rafknowledge,2004). Insomnia kronis dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius. Jika insomnia tetap dan mulai mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi secara efisien pada siang hari, kondisi bisa memerlukan perawatan profesional . Insomnia disebabkan karena individu mengalami ketidakseimbangan dalam dirinya baik dalam faktor- faktor yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dalam kehidupannya sehari-hari hal tersebut sesuai dengan teori yang dikamukakan oleh Smith (2007) insomnia mungkin memiliki sejumlah penyebab, termasuk stress, depresi atau kegelisahan, jadwal kerja tidak beraturan, obat-obatan atau alkohol, perubahan besar dalam hidup, sakit kronis. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia antara lain menghilangkan kebiasaan (pindah tempat tidur, memakai tempat tidur hanya untuk tidur, dll), hindari adalah makanan dengan bumbu menyengat, kafein, alkohol, karbohidrat sederhana (gula, sirup), makanan berpengawet, dan makanan kaleng, gula dan sirup bersifat meningkatkan gula darah dan penghasil energi yang cepat sehingga akan mengganggu tidur, bangun pada waktu yang sama setiap harinya, batasi waktu di tempat tidur setiap hari pada jumlah yang sama
45
sebelum terjadi gangguan tidur, hentikan penggunaan obat-obatan yang bekerja pada susunan saraf pusat, hindari tidur sekejap dalam siang hari, olahraga, berendam di dalam air hangat 30 menit sebelum tidur, makan pada waktu yang teratur setiap hari, lakukan relaksasi otot pada malam hari, pertahankan kondisi tidur yang menyenangkan. Hubungan antara Stress Keja dengan Kejadian Insomnia pada pekerja Berdasarkan statistik didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara stress kerja dengan insomnia dengan nilai p= 0,024. Paparan kronis stres kerja adalah faktor risiko untuk insomnia, terutama di kalangan orangorang yang bekerja melibatkan tuntutan tinggi, suatu tingkat resiko yang tinggi, jam kerja yang panjang, dan beban kerja yang berlebihan, berada dalam peran pengawasan dalam pekerjaan dapat juga menyebabkan insomnia. Individu dalam situasi stres umumnya menimbulkan reaksi pada tubuh yakni terjadinya perubahan mekanisme sistem kerja saraf sehingga terjadi hal-hal seperti peningkatan denyut jantung, berkeringat, tangan dan kaki menjadi dingin, susah buang air besar, dan lain-lain, hal tersebut sesuai dengan ynag dikemukakan oleh Seyle bahwa Setiap masalah, khayalan atau kenyataan dapat menyebabkan korteks serebri (bagian berfikir dari otak) mengirim tanda bahaya ke hipotalamus (tempat utama pemberi respon stres, terletak pada otak tengah). Hipotalamus kemudian menstimulasi system saraf simpatis untuk membuat serangkaian perubahan pada tubuh. Denyut jantung, curah jantung, tekanan darah semua meninggi. Tubuh berkeringat, tangan dan kaki menjadi dingin. Beberapa hal tersebut tentunya akan membuat indsividu tersebut tidak tenang dan tidak nyaman dalam waktu istirahatnya, Seseorang yang mengalami stress kerja biasanya mengalami kesulitan tidur hal tersebut sesuai dengan teori bahwa stres yang dialami oleh seseorang dapat mempengaruhi kebutuhan waktu untuk tidur. Semakin tinggi tingkat stres pada individu tersebut maka kebutuhan waktu untuk tidur juga akan berkurang (Rafknowledge, 2004). Individu yang mengalami stress seringkali akan mengalami gangguan pada sistem pencernaanya yaitu peningkatan asam lambung yang dapat mengakibatkan maag, sehingga dari hal tersebut akan menimbulkan rasa nyeri yang kemudian akan membuat individu tersebut tidak dapat tidur karena terganggu oleh rasa nyeri yang dirasakan. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Sriati (2008) bahwa Orang yang mengalami stres seringkali mengalami gangguan pada sistem pencernaannya. Misalnya, pada lambung terasa kembung, mual dan pedih; hal ini disebabkan karena asam lambung yang berlebihan (hiperacidity). Sementara insomnia dapat terjadi pada hampir semua orang sebagai respons terhadap stres akut, seperti sakit, stres yang berhubungan dengan pekerjaan, faktor-faktor lingkungan, dan perubahan jadwal secara tiba-tiba . Seseorang yang mengalami insomnia kemungkinan akan mengalami peristiwa yang negatif dalam kehidupannya seperti mengalami penyakit, gangguan terhadap pekerjaan serta banyak yang terjadi menahun, karena perubahan dalam hidupnya yang terjadi dengan waktu yang lama karena insomnia mempunyai efek yang beragam. Hal tersebut sesuai dengan penelitian prospektif yang telah dilakukan oleh Benca (2007) bahwa seseorang yang sering mengalami peristiwa negatif dalam kehidupannya dan mengalami konflik interpersonal lebih cenderung menagalami insomnia. Menurut Rafknowledge (2004), stres psikologis yang dialami oleh pekerja juga dapat menyebabkan kesulitan tidur atau insomnia serta dapat mempengaruhi kosentrasi dan kesiagaan, dan juga meningkatkan resikoresiko kesehatan, serta dapat merusak fungsi sistem imun. Kekurangan tidur pada pekerja memberikan pengaruh terhadap fisik, kemampuan kognitif dan juga kualitas hidup. Seseorang yang mengalami stress kerja akan menyebabkan dirinya mengalami ketegangan yang selanjutnya akan mengganggu ritme sirkadian yang telah tertanam alamiah dalam tubuh, kemudian akan memicu terjadinya masalah tidur yang di mulai dari sulit untuk memulai tidur. Stress kerja merupakan faktor penyebab insomnia yang bersifat psikis dimana yang mengalami gangguan adalah psikologis dari seseorang tersebut. Hal ini dapat didukung yang dikemukakan oleh Galih (2006) bahwa penyebab insomnia ada 2 faktor yaitu gangguan fisik dan gangguan psikis, faktor fisik misalnya terserang flu yang menyebabkan kesulitan tidur sedangkan faktor psikis adalah stress, cemas dan depresi. Individu yang sering stress kerja , akan mempengaruhi masalah tidurnya yang selanjutnya yang berhubungan dengan penurunan produktifitas kerja dan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor dari pekerjaan , seperti kerja shift dan sering melakukan perjalanan, terutama di beberapa zona waktu, juga diketahui berkontribusi
46
terhadap ritme sirkadian (siklus bangun dan tidur normal) gangguan tidur dan mengakibatkan insomnia. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Benca (2007) bahwa peningkatan tekanan beban kerja adalah faktor risiko untuk masalah tidur. Stres pekerjaan yang tinggi tidak hanya terkait dengan risiko yang lebih tinggi untuk insomnia, tetapi juga untuk tidur pendek (kurang dari 6 jam per malam), menunjukkan bahwa stres terkait dengan pekerjaan dapat berkontribusi pada kombinasi dari kedua insomnia dan kurang tidur. Pada gilirannya, insomnia secara bermakna dikaitkan dengan penurunan produktivitas dan peningkatan absensi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pekerja wanita yang mengalami insomnia 16 orang (80%) dari pada pria yang hanya 4 orang (20%) dari 20 orang yang mengalami insomnia. Wanita mempunyai risiko 1,5-2 kali lebih banyak untuk mengalami insomnia (Currie & Wilson,2002). Gangguan tidur yang wanita alami dapat disebabkan oleh karena peran yang dilakukan wanita jauh lebih banyak dari pada laki-laki seperti bekerja atau mencari nafkah, menjadi seorang ibu, dan ibu rumah tangga yang harus mengurusi rumah tangganya setiap hari, selain itu ada faktor perbedaan psikologi yang disebabkan adanya perubahan tingkat hormon pada masa-masa tertentu. Hal tersebut dapat didukung dengan yang dikemukakan oleh Rafknowledge (2004) bahwa secara garis besar permasalahan tidur pada kaum wanita yang dominan dipengaruhi oleh dua kondisi yaitu siklus menstruasi dan kehamilan dimana kedua kondisi tersebut sanagat berkaitan dengan perubahan-perubahan fisik dan emosi. Adanya hubungan antara stress kerja dengan kejadian insomnia pada penelitian ini dengan nilai p= 0,024 sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Andrean (2009) bahwa ada hubungan antara tingkat stress dengan kejadian insomnia dengan nilai p= 0,034.
KESIMPULAN 1.
2.
3.
4.
Karakteristik responden yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 5 orang (14,7%), perempuan sebesar 29 orang (85,3%). Karakteristik responden berdasarkan masa kerja < 5 tahun sebesar 24 orang (70,6%), masa kerja > 5 tahun sebesar 10 orang (29,4%). Stress kerja yang dialami pekerja dengan kategori stress ringan sebesar 24 orang (70,06%), dan stress sedang sebesar 10 orang (29,4%). Pekerja yang mengalami gangguan tidur insomnia sebesar 20 orang (58,8%) dan yang tidak mengalami insomnia sebesar 14 orang (41,2%). Berdasarkan hasil penelitian dari dua variabel didapatkan bahwa ada hubungan antara stres kerja dengan kejadian Insomnia pada pekerja di Pabrik Roti “Saudara” Kota Semarang (p=0,024).
SARAN 1. Bagi Pekerja Perlu kiranya menggunakan waktu tidur sebaik mungkin, dan dapat meluangkan lebih waktu untuk bersantai bersama keluarga. 2. Bagi Perusahaan Perlu kiranya menyediakan tempat kerja yang nyaman dan bersih sehingga tenaga kerja merasa betah saat di tempat kerja, menambah lubang ventilasi agar udara yang masuk kedalam pabrik dapat mengurangi panas yang ada didalam pabrik. Diadakan kegiatan bersama misalnya piknik bersama tiap setahun sekali untuk menghilangkan kejenuhan yang dialami oleh karyawan atau pekerja. 3. Bagi Peneliti Lain Perlu penelitian yang lebih mendalam tentang faktorfaktor yang mempengaruhi kejadian insomnia pada pekerja seperti faktor motivasi, diet, penyakit, perubahan lingkungan, gaya hidup, dan merokok.
47
PEDOMAN BAGI PENULIS Informasi umum Jurnal Gizi dan Kesehatan menerima makalah ilmiah dari para staf STIKES, AKBID DAN AKPER, para alumnus NGUDI WALUYO, maupun profesi lain yang berhubungan dengan kesehatan. Makalah dapat berupa karangan asli (penelitian), laporan kasus, ikhtisar kepustakaan, dan tulisan lain yang ada hubungannya dengan bidang kesehatan. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum pembentukan Istilah atau dalam bahasa Inggris. Format naskah Tulisan diketik pada kertas kuarto, batas atas-bawah dan samping masingmasing 2,5 cm, spasi dobel, font Times New Roman, ukuran 12 dan tidak bolak balik. Naskah untuk penelitian (karangan asli) harus meliputi : 1) Judul tulisan, dibuat singkat bersifat informatif dan mampu menerangkan isi tulisan; nama para penulis lengkap berikut gelar beserta alamat kantor/instansi /tempat kerja lain, diletakkan di bawah judul. 2) Pendahuluan, berisi latar belakang, masalah, maksud & tujuan serta manfaat penelitian. 3) Bahan/subyek dan cara kerja. 4) Hasil penelitian. 5) Pembahasan, kesimpulan dan saran. 6) Pernyataan terima kasih (kalau ada). 7) Daftar rujukan. 8) Lampiran-lampiran. Tabel/bagan/grafik/gambar/foto, harus dibuat dengan jelas dan rapi disertai keterangan yang jelas dan informatif. Diberi nomor menurut urutan dalam naskah. Gambar/bagan harus berwarna, jumlahnya dibatasi tidak lebih dari 3 lembar, keterangan ditempatkan di bawah gambar/bagan: Keterangan tabel ditempatkan di atas tabel. Tabel/bagan/grafik/gambar/foto semuanya dilampirkan terpisah dari naskah. Rujukan dalam teks dibuat berdasarkan model Vancouver yaitu dengan angka sesuai dengan urutan tampil. Angka ditulis di atas (superscript) tanpa kurung setelah tanda baca. Bila angka berurutan bisa disingkat. Misalnya 2,3,4,6,7 ditulis menjadi 2-7. Daftar rujukan, disusun menurut cara Vancouver, menurut urutan penampilan dalam naskah, ditulis dengan urutan sebagai berikut : Nama dan huruf pertama nama keluarga penulis, judul tulisan kemudian untuk majalah diikuti dengan : Nama majalah (dengan singkatan yang umum dipakai), tahun, volume dan halaman. Sedangkan untuk buku diikuti Nama kota, penerbit, tahun dan halaman (bila perlu). Contoh: Maryanto, S, Siswanto, Y. and Susilo, J. The effect of fiber on lipid fraction rats with high cholesterol dietary. Jurnal Kesehatan dan Gizi 2007;1;1: 1-10 Ardhani, M.H, Sulisno, M., dan Rosalina. Teknik mengontrol halusinasi dalam manajemen ESQ. Edisi 2, Ungaran, 2001. Priyanto, Muhajirin, A. Program Studi Ilmu Keperawatan. Stikes Ngudi Waluyo [on line] : URL. http://www.nwu.ac.id/personal,kuliah,edu/.plan.l l. 2006. Nama penulis yang dikutip dalam naskah harus tercantum dalam daftar rujukan. Dalam mengutip nama penulis dalam naskah harus dibubuhi tahun publikasi. Untuk sumber pustaka dari internet ditulis : nama penulis, judul, organisasi
penerbit,
[On Line] : URL nomor Home Page, tahun.
Abstrak Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris terdiri sekurangkurangnya 100 kata sebanyak-banyaknya 350 kata, diketik pada lembaran kertas terpisah dengan spasi ganda. Abstrak penelitian berupa "structured abstract" berisi : 1. Pendahuluan /Introduction : Berisi latar belakang, masalah, tujuan, dan kegunaan penulisan. 2. Subyek/Material dan Metode/Subject/Material and Method. Berisi: Subjek : nyatakan cara-cara seleksi, kriteria yang diterapkan, dan jumlah peserta pada awal dan akhir penelitian. Rancangan : tulisan rancangan penelitian yang tepat, pengacakan, secara buta, baku emas untuk diagnostik, dan waktu penelitian (restrospektif atau prospektif). Tempat: menunjukkan tempat penelitian (rumah sakit, klinik, komunitas) juga termasuk tingkat pelayanan klinik (primer, atau sekunder, praktek pribadi atau intitusi). Intervensi : uraikan keistimewaan intevensi, termasuk metode & lamanya. Ukuran luaran utama : harus dinyatakan sebelum merencanakan pengambilan data. 3. Hasil (Result) : Jika memungkinkan pada hasil disertakan interval kepercayaan (yang tersering adalah 95 %) dan derajat kemaknaan. Untuk penelitian komparatif, interval kepercayaan harus berhubungan dengan perbedaan antara kelompok. 4. Kesimpulan (Conclusions) : nyatakan kesimpulan yang didukung oleh data penelitian (hindari generalisasi yang berlebihan atau hasil penelitian tambahan). Perhatian yang sama diberikan pada hasil yang positif maupun yang negatif sesuai dengan kaidah ilmiah. 5. Di bawah abstrak bahasa Inggris ditulis kata kunci (Keywords) maksimal 4 kata dalam bahasa Inggris. Sinopsis Sinopsis diketik dalam bahasa Indonesia atau Inggris terdiri atas 1 atau 2 kalimat, tidak lebih dari 25 kata dari kesimpulan naskah, digunakan dalam penulisan daftar isi, dan diketik pada lembar terpisah dengan spasi ganda. Running title Berikan judul singkat naskah pada sisi kanan atas pada tiap lembar naskah. Pengiriman Berkas dikirim rangkap dua (hard copy) disertai CD (soft copy) dengan mempergunakan program Microsoft Word, dialamatkan kepada Redaksi Jurnal Gizi dan Kesehatan, STIKES NGUDI WALUYO, JI. Gedongsongo – Mijen, Ungaran, Kabupaten Semarang . Ketentuan lain Redaksi berhak memperbaiki susunan naskah atau bahasanya tanpa mengubah isinya. Naskah yang telah dimuat di majalah lain tidak diperkenankan diterbitkan dalam majalah ini