ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA
OLEH: CITRA PUSPASARI H14101124
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
CITRA PUSPASARI. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan Di Indonesia (dibimbing oleh ARIEF DARYANTO). Dilihat dari sisi demografi, Indonesia dengan populasi penduduk yang besar saat ini mencapai lebih dari 210 juta jiwa, merupakan pasar yang potensial bagi produk mi instan. Peluang pasar industri mi instan masih cukup besar terlihat dari kapasitas produksi mi instan dari perusahaan yang telah beroperasi pada tahun 2003 mencapai 1,7 juta ton. Hasil riset pada tahun 2004 menunjukkan bahwa dari sisi konsumsi, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi mi instan per kapita (56-57 bungkus) per tahun terbesar ketiga di dunia setelah Korea dan Jepang sedangkan di dunia Indonesia merupakan negara produsen mi instan terbesar kedua setelah Cina dengan tingkat pertumbuhan sebesar 10 persen dari tahun 1999 sampai tahun 2000. Potensi pasar mi instan yang ada pada tahun 1999 sampai dengan 2003 sebenarnya mencapai 2,5 juta ton sampai dengan 2,6 juta ton dengan penyerapan mi instan rata-rata baru sebesar 34,4 persen.Volume ekspor terus meningkat dengan laju perubahan sebesar 15,5 persen per tahun dan 16,2 persen untuk nilai ekspornya. Volume impor juga meningkat 40 persen per tahun dan 31,1 persen untuk nilai impornya. Persaingan yang semakin ketat membuat produsen mi instan melakukan persaingan yang tidak sehat. Adanya dugaan praktek monopoli seperti penguasaan bahan baku mi instan yang dilakukan oleh Indofood melalui PT Bogasari Flour Mills akan menghambat pertumbuhan industri kecil. Adanya kebijakan impor tepung terigu sebagai bahan baku pembuatan mi secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan produsen mi instan di Indonesia. Apalagi setelah krisis moneter menyebabkan nilai mata uang rupiah terdepresiasi yang berdampak pada harga tepung terigu dalam negeri karena kebutuhan tepung terigu dalam negeri sebagian besar masih dipenuhi melalui impor. Dengan harga bahan baku dan biaya produksi yang meningkat mengharuskan produsen meningkatkan harga mi instan untuk meminimalkan kerugian. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri mi instan di Indonesia serta menganalisis implikasi kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Peneltian ini juga bertujuan untuk menganalisis hubungan antar struktur dengan kinerja. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data-data tersebut di antaranya diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), PT Capricorn Indonesia Consult Inc. (CIC), Corinthian Infopharma Corpora (CIC), Departemen Perindustrian (Depperin) dan Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) Institut Pertanian Bogor. Pengumpulan data juga dilakukan dengan mengambil data-data dari buku, kliping, jurnal ekonomi, laporan-laporan penelitian industri tepung terigu dengan studi kasus industri mi instan melalui penelitian kepustakaan serta
data elektronik melalui internet. Selanjutnya data-data tersebut diolah dengan bantuan software E-Views 4.1 dan menggunakan metode analisis Ordinary Least Square (OLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) dan ekspor memberikan pengaruh yang negatif terhadap Price Cost Margin (PCM). Kedua variabel tersebut berpengaruh negatif karena jika pada saat krisis moneter menjual produk dengan harga yang murah akan menurunkan keuntungan namun volume penjualannya meningkat dan bahan baku yang digunakan masih tergantung oleh impor dimana impor dinilai dengan dolar. Sedangkan ekspor juga dinilai dengan dolar dan adanya biaya-biaya seperti pajak ekspor yang tinggi serta regulasi dalam negeri yang sulit menyebabkan biaya produksi mi instan dengan harga jual mi instan yang diekspor sama sehingga tidak berpengaruh terhadap keuntungan. Variabel impor berpengaruh negatif namun tidak signifikan karena adanya politik dumping dengan menetapkan tarif masuk barang yang tinggi. Sedangkan efisiensi-X, produktivitas, produktivitas periode sebelumnya dan pertumbuhan memberikan berpengaruh positif terhadap PCM disebabkan suatu perusahaan memproduksi sebuah produk dengan sumber daya yang lebih sedikit sehingga perusahaan lebih efisien untuk meningkatkan kapasitas produksi. Berdasarkan data-data yang telah diolah, struktur pasar yang terjadi di industri mi instan termasuk ke dalam struktur pasar oligopoli ketat. Rata-rata CR4 yang diperoleh pada periode penelitian yaitu sebesar 51,71 persen. Nilai Minimum Efficient Scale (MES) sebesar 25,58 persen. MES yang lebih besar dari 10 persen menggambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi pada suatu industri. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan pada industri mi instan (struktur-perilaku-kinerja) yaitu dengan mengeluarkan kebijakan impor bahan baku mi instan. Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu dengan mengeluarkan kebijakan dalam investasi, ekspor, impor dan dalam bidang pengawasan bahan baku dan produksi. Kebijakan-kebijakan itu dilakukan agar industri mi instan di Indonesia berjalan secara sehat mengingat persaingan dalam industri mi instan sangat ketat.
ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA
Oleh CITRA PUSPASARI H14101124
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
Juni 2006
Citra Puspasari H14101124
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Citra Puspasari lahir pada tanggal 12 Oktober 1983 di Jepara. Penulis anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Supomo dan Aisah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan Sekolah Dasar Jatingaleh Dalam I Semarang, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 5 Semarang dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 4 Semarang dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir sehingga dapat menjadi sumber daya yang berguna. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan Di Indonesia”. Industri mi instan merupakan topik yang sangat menarik karena industri tersebut mempunyai persaingan yang ketat dalam pasar dan merupakan salah satu industri makanan yang dalam waktu relatif cepat dapat menghadapi dampak dari krisis ekonomi. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec, yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr., yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan Beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Toni Irawan, S.E., terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, yaitu Bapak Supomo dan Ibu Aisah serta Kakak penulis atas kesabaran, nasehat, doa dan dorongan semangat yang diberikan bagi penulis, penulis mengucapkan terima kasih kepada Saudara Thaufiq Abadi atas bantuannya selama penyusunan skripsi ini dalam memberikan dorongan semangat bagi penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua peserta Seminar Hasil
Penelitian yang telah memberikan saran dan kritik yang sangat membantu penulis dalam melakukan perbaikan penyusunan skripsi ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2006
Citra Puspasari H14101124
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
xi
I.
PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .......................................................................
8
1.3. Tujuan Penelitian ...........................................................................
13
1.4. Manfaat Penelitian .........................................................................
13
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................
14
2.1. Konsep Dasar Ekonomi Industri ...................................................
14
2.2. Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja ...........................................
15
2.2.1. Struktur Pasar .....................................................................
21
2.2.2. Perilaku Pasar ......................................................................
31
2.2.3. Kinerja Pasar .......................................................................
33
2.3. Defenisi Mi Instan .........................................................................
35
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ......................................................
38
2.5. Kerangka Pemikiran.......................................................................
40
2.6. Hipotesis.........................................................................................
42
METODE PENELITIAN.......................................................................
44
3.1. Jenis dan Sumber Data ..................................................................
44
3.2. Metode Analisis .............................................................................
45
3.2.1. Analisis Struktur Pasar (Market Structure)..........................
45
3.2.2. Perilaku Pasar (Market Conduct) ........................................
48
3.2.3. Kinerja Pasar (Market Performance) ...................................
49
3.2.4. Hubungan Struktur dan Kinerja ...........................................
49
3.3. Analisis Time Series (Runtun Waktu) ...........................................
53
3.3.1. Uji Akar Unit (Unit Root Test) ............................................
53
II.
III.
3.4. OLS (Ordinary Least Square)........................................................
55
3.5. Uji Statistika dan Ekonometrika ....................................................
57
GAMBARAN INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA ....................
62
4.1. Sejarah Perkembangan ...................................................................
62
4.1.1. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Dunia..........................
62
4.1.2. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Jepang ........................
64
4.1.3. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Indonesia....................
66
4.2. Gambaran Umum Industri Mi Instan .............................................
66
4.2.1. Modal Asing Dalam Industri Mi Instan ...............................
69
4.2.2. Profil Perusahaan Mi Instan .................................................
72
4.3. Saluran Distribusi Industri Mi Instan.............................................
78
HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................
80
5.1. Struktur Pasar .................................................................................
80
5.1.1. Konsentrasi Pasar .................................................................
82
5.1.2. Hambatan Masuk Pasar........................................................
83
5.2. Perilaku Pasar.................................................................................
85
5.2.1. Strategi Harga.......................................................................
85
5.2.2. Strategi Produk.....................................................................
86
5.2.3. Strategi Promosi ...................................................................
88
5.3. Kinerja Pasar ..................................................................................
90
5.4. Hubungan Struktur Dan Kinerja ....................................................
91
5.5. Implikasi Kebijakan ......................................................................
96
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
100
6.1. Kesimpulan ....................................................................................
100
6.2. Saran ..............................................................................................
102
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
106
LAMPIRAN ....................................................................................................
107
IV.
V.
VI.
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Urutan Negara Produsen Mi Instan di Dunia, Tahun 1999-2000 .............
3
1.2. Konsumsi dan Potensi Pasar Mi Instan Tahun 1999 sampai 2003 ...........
3
1.3. Perkembangan Produksi Mi Instan Indonesia Tahun 1999 sampai Tahun 2003 ...............................................................................................
5
1.4. Produksi Mi Instan Menurut Produsen Tahun 2000 .................................
5
1.5. Ukuran Pasar dan Nilai Pasar Mi Instan Tahun 2003 ...............................
6
1.6. Ekspor dan Impor Mi Instan Tahun 1999 sampai Tahun 2003.................
7
1.7. Kinerja Produksi Mi Instan Nasional Tahun 2002....................................
9
2.1. Tipe-Tipe Struktur Pasar ...........................................................................
22
2.2. Tipe-tipe Pasar...........................................................................................
23
2.3. Pengukuran-Pengukuran Konsentrasi Perusahaan ....................................
26
2.4. Jadwal Penurunan Tarif Bea Masuk dari Tahun 1995 Sampai Tahun 2003 ...............................................................................................
43
4.1. Kapasitas Produksi Produsen Mi Instan Aktif Tahun 2004 ......................
72
4.2. Modal Asing dalam Bisnis Mi Instan di Indonesia Tahun 2004...............
74
4.3. Perusahaan Yang Sudah Mendapat Ijin Produksi Mi Instan Tahun 2004 ...............................................................................................
75
5.1. Hasil Dugaan Persamaan PCM pada Industri Mi Instan di Indonesia ..................................................................................................
98
5.2. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen ...............................................
99
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Pendekatan Tradisional Structure Conduct Performance (S-C-P) ...........
19
2.2. Paradigma Structure Conduct Performance (S-C-P)................................
20
2.3. Klasifikasi Berdasarkan Wadah, Pengemasan, Rasa dan Pembuatan.......
38
2.4. Skema Alur Pemikiran Konseptual...........................................................
45
4.1. Saluran Distribusi Industri Mi Instan .......................................................
84
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Nilai CR1 dan CR4 Industri Mi Instan di Indonesia (1986-2003) ................
114
2. Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003).................................................................................................. 115 3. Price-Cost-Margin Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003)....................
116
4. Nilai Efisiensi-X Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) .......................
117
5. Ekspor dan Impor Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) .....................
118
6. Nilai Produktivitas Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) ....................
119
7. Trend Permintaan Mi Instan Dunia..............................................................
120
8. Hasil Estimasi Regresi Industri Mi Instan ...................................................
121
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Mi instan telah menjadi kebutuhan pokok bagi sebagian masyarakat Indonesia. Kenaikan konsumsi mi instan yang juga sebagai salah satu sumber karbohidrat disebabkan karena selera masyarakat terhadap pangan berubah seiring dengan semakin maraknya jenis pangan olahan yang siap saji dan praktis, serta dapat diperoleh dengan mudah. Perubahan gaya hidup masyarakat juga berpengaruh pula pada gaya makan. Selain itu tingginya konsumsi mi instan dikarenakan produk mi instan yang dihasilkan sangat beragam dan promosinya juga kuat. Banyak ragam jenis dan cara memasak dari mi. Produk mi dapat dengan cepat diolah, disajikan dan dengan kemasan yang bagus serta variasi harga yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan pilihan-pilihan produk mi sesuai dengan kemampuan. Konsumen produk mi juga meliputi semua golongan, tidak hanya golongan atas tetapi juga menengah dan bawah. Selain itu mi instan juga mudah dijumpai diberbagai tempat tidak hanya di swalayan tetapi juga di pasar tradisional atau warung kecil di pedesaan. Di lihat dari sisi demografi, Indonesia dengan populasi penduduk yang besar saat ini mencapai lebih dari 210 juta jiwa, merupakan pasar yang potensial bagi produk mi instan. Namun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk tersebut, konsumsi mi instan per kapitanya masih rendah di kisaran 1 bungkus per
minggu. Hal ini yang menyebabkan banyak produsen yang menganggap peluang pasar industri mi instan masih cukup terbuka lebar dan menjanjikan. Dari sisi bahan baku, meskipun bahan baku industri mi instan masih dikuasai oleh Indofood melalui PT Bogasari Flour Mills dan semua segmen pasarnya dibuat dari harga rendah hingga premium, namun pemain baru dalam industri ini terus bermunculan mencari celah-celah pasar yang ada. Selain itu kondisi perekonomian Indonesia yang mulai membaik turut mendorong menciptakan pasar yang menjanjikan, bahkan kini banyak produsen giat mempromosikan produk mi instannya. Industri mi instan berkembang pesat hingga mencapai 20 produsen dengan 31 pabrik yang tersebar di seluruh Indonesia dengan dua ratus merek lebih dan kapasitas produksi mencapai 13,5 milyar bungkus per tahun, naik 29 persen dari tahun 1995 yang baru 10,5 milyar bungkus per tahun. Kapasitas produksi ini diperkirakan akan meningkat sejalan dengan beroperasinya beberapa pabrik baru yang sedang dibangun saat ini. Pada tahun 2004 ditunjukkan bahwa dari sisi konsumsi, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi mi instan per kapita (56-57 bungkus) per tahun terbesar ketiga di dunia setelah Korea dan Jepang yang konsumsi mi instan mencapai 100 bungkus per kapita per tahun. Indonesia merupakan negara produsen mi instan terbesar kedua setelah Cina dengan tingkat pertumbuhan sebesar 10 persen dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2000. Urutan negara produsen mi instan di dunia dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Urutan Negara Produsen Mi Instan di Dunia, Tahun 1999-2000 No
1. 2. 2. 4. 5.
Negara
Cina Indonesia Jepang Korea Selatan Thailand
Produksi 1999
Produksi 2000
Pertumbuhan
(Juta Bungkus) 29060 11000 7150 3635 1520
(Juta Bungkus) 31966 12100 7685 3999 1672
(Persen) 10.00 10.00 7.48 10.01 10.00
Sumber : Capricorn Indonesia Consult, 2002
Total konsumsi mi instan di Indonesia selama periode 1999 sampai 2003 meningkat dengan laju perubahan rata-rata 10,7 persen per tahun dari 718 ribu ton atau sekitar 9 milyar bungkus pada tahun 1999 menjadi 1,1 juta ton atau sekitar 13,5 milyar bungkus pada tahun 2003. Jika diasumsikan semua penduduk mengkonsumsi mi instan rata-rata dalam seminggu tiga bungkus seukuran 80 gram atau setara dengan 12,48 kg per tahun, berarti potensi pasar mi instan yang ada pada tahun 1999 sampai dengan 2003 sebenarnya mencapai 2,5 juta ton sampai dengan 2,6 juta ton. Berarti penyerapan mi instan selama kurun waktu tersebut rata-rata baru sebesar 34,4 persen. Hal ini masih jauh dibandingkan Korea Selatan dan Jepang yang tingkat konsumsinya mencapai 100 bungkus per kapita per tahun. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.2. Konsumsi Mi Instan di Indonesia. Tabel 1.2. Konsumsi dan Potensi Pasar Mi Instan Tahun 1999 sampai 2003 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 Potensi mi instan (%)
Konsumsi 718017.7 803688.7 871429.3 951956.3 1077334.8 34.4
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004
Peluang pasar 2507878.6 2533755.9 2560812.4 2589504.7 2622021.3 65.6
Produksi mi instan juga mengalami peningkatan pesat sejalan dengan meningkatnya permintaan dan konsumsi masyarakat. Selama periode tersebut laju peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 1996 yaitu sebesar 13,6 persen. Hal ini terjadi karena pada tahun 1996 produk mi instan merupakan makanan yang sangat populer di Indonesia yang ditandai dengan semakin banyaknya produsenprodusen baru yang masuk ke dalam industri mi instan (Capricorn Indonesia Consult, 2002). Hingga akhir tahun 2003, tercatat 31 perusahaan yang aktif masuk dalam industri mi instan dengan kapasitas produksi sekitar 1,7 juta ton atau sekitar 23,7 milyar bungkus. Sementara 17 perusahaan lagi sudah keluar dari persaingan dan 13 perusahaan lagi bersiap masuk ke industri ini. Dari 31 perusahaan tersebut, 5 perusahaan diantaranya mendapat fasilitas penanaman modal asing (PMA), yaitu PT ABC President Enterprises Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT I Tsun Food Indonesia, PT Jakaranatama Food Industry dan PT Nissin Mas. Selama periode 1999 sampai 2003, produksi mi instan secara umum meningkat dengan laju perubahan rata-rata 10,8 persen per tahun. Pada tahun 1999 produksinya baru mencapai 730 ribu ton atau sekitar 10,4 milyar bungkus yang terus meningkat seiring meningkatnya permintaan dan pada tahun 2003 produksinya menjadi 1,1 juta ton atau sekitar 15 milyar bungkus. Dilihat dari tingkat pemanfaatan kapasitas yang ada (utility) pada tahun 2003 baru mencapai 64,1 persen. Pada 2003, kenaikan produksi tersebut erat kaitannya dengan bermunculannya merek-merek baru mi instan di pasar yang dengan terus-menerus mengiklankan di layar televisi. Selain itu kenaikan produksi juga disebabkan oleh
peningkatan realisasi produksi beberapa produsen yang mulai meningkatkan usahanya. Produksi mi instan di Indonesia tahun 1999 sampai 2003 dapat dilihat pada Tabel 1.3. Tabel 1.3. Perkembangan Produksi Mi Instan Indonesia Tahun 1999 sampai 2003 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 utility (%)
Produksi 730002.2 817149.7 886717.4 969988.4 1097855.4 64.1
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004
Berdasarkan pangsa pasarnya produksi mi instan di Indonesia saat ini masih dikuasai oleh PT Indofood Sukses Makmur. Pangsa pasar Indomie pada tahun 2003 mencapai 325,2 ribu ton atau sekitar 30,2 persen dari total pasar sebesar 1,1 juta ton (Corinthian Infopharma Corpora, 2004). Produksi mi instan Indonesia menurut produsen pada tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 1.4. Tabel 1.4. Produksi Mi Instan Menurut Produsen, 2000 Nama Perusahaan PT Indofood Sukses Makmur Tbk. PT ABC President Enterprises Indonesia PT Jakaranatama Food Industry PT Supmi Sakti/ Nestle Indonesia PT Nissin Mas PT Sentrafood Indonusa Corp. PT Sentraboga Inti Selera PT Saritama Tunggal PT Dellifood Sentosa Corp. PT Serena Indopangan Industri Produsen lainnya Total Sumber : Capricorn Indonesia Corpora, 2002
Produksi (Ton) 695152.9 31260.9 20981.1 15374.4 12576.0 11600.0 8320.0 7737.7 8926.7 2400.0 5184.0 819149.7
Ekivalent Share (Juta Bungkus) (Persen) 9930.8 85.1 446.6 3.8 299.7 219.6 179.7 165.7 118.9 105.3 99.0 34.3 74.1 11673.7
2.6 1.9 1.5 1.0 1.0 0.9 0.8 0.3 0.6 99.9
Dengan semakin banyaknya pemain baru dalam industri mi instan maka Indofood sudah mulai menurun pangsa pasarnya, walaupun Indofood masih tetap pemegang pangsa pangsa pasar mi instan tertinggi yaitu 75 persen yang pada tahun 2002 mencapai hingga 88 persen. Ukuran pasar dan nilai pasar mi instan 2003 dapat dilihat pada Tabel 1.5. Tabel 1.5. Ukuran Pasar dan Nilai Pasar Mi Instan, 2003 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Merek
Ukuran Pasar (Ton)
Ekivalen (Juta Bungkus)
Indomie 325220.7 4028.0 Sarimi 178731.7 2239.4 Supermi 101704.8 1367.0 Sakura 70860.0 1181.0 Gaga 100 44012.2 440.1 ABC 43718.8 619.9 Salam mi 36679.9 501.9 Mi sedap 28384.5 362.4 Alhami 14541.8 172.1 Selera Rakyat 13226.2 225.1 Nissin mi 12606.9 191.6 Gaga mi 11575.2 192.9 Lainnya 196072.2 3136.7 Total 1077334.8 14658.2 Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004
Peranan (Persen) 30.2 16.6 9.4 6.6 4.1 4.1 3.4 2.6 1.3 1.2 1.2 1.1 18.2 100.0
Nilai Pasar Peranan (Rp. Juta) (Persen) 3959201.6 1638949.0 996766.8 541419.5 444522.9 522102.1 386759.6 248176.5 126085.5 129899.9 119921.2 118336.0 1871905.2 11104045.8
35.7 14.8 9.0 4.9 4.0 4.7 3.5 2.2 1.1 1.2 1.1 1.1 16.9 100.0
Dari segi pemasaran, meskipun masih kecil jika dibandingkan dengan produksinya, namun secara rata-rata volume ekspor terus meningkat dengan laju perubahan sebesar 15,5 persen per tahun dan 16,2 persen per tahun untuk nilai ekspornya. Demikian pula pada sisi impor, meskipun volumenya masih sangat kecil, namun secara rata-rata volume impor selama periode tersebut meningkat 40 persen per tahun dan nilai impornya meningkat 31,1 persen per tahun. Ekspor dan impor mi instan tahun 1999 sampai 2003 akan ditunjukkan pada Tabel 1.6.
Tabel 1.6. Ekspor dan Impor Mi Instan Tahun 1999 sampai 2003 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 Perubahan (%)
Ekspor Volume Nilai (Ton) (Ribu US$) 12514 14514 16620 19949 22273 16
9350.8 10453.8 12569.6 14352.8 17018.8 16.2
Impor Volume (Ton)
Nilai (Ribu US$)
532 1053 1332 1917 1752 40
453.7 797.1 963.5 1313.0 1201.9 31.1
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004
Sejalan dengan pertumbuhan kebutuhan rumah tangga dengan kesadaran gizi dan penganekaragaman makanan yang ditunjang oleh keadaan ekonomi yang semakin membaik serta berkembangnya bisnis di bidang produk mi instan merupakan keadaan yang mendukung kondisi permintaan di pasar domestik. Selain itu adanya orientasi ekspor ke pasar luar negeri telah mampu menciptakan lahan investasi yang lebih terbuka lebar untuk industri pengolahan mi instan, termasuk perluasan dan modernisasi industri-industri yang sudah ada. 1.2. Perumusan Masalah Industri mi instan adalah salah satu dari banyak industri berorientasi pasar domestik yang menunjukkan loncatan yang tajam dalam konsentrasi pasar yang dapat menjadi indikasi adanya tindakan anti persaingan. Tahun 1975 industri mi mempunyai rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar 44 persen, tetapi meningkat menjadi 75 persen pada tahun 1985 dan menjadi 96 persen pada tahun 1995. PT Sarimi Asli dimiliki oleh Salim Group, yang melalui PT Bogasari Flour Mills mendapatkan monopoli penggilingan gandum, bahan baku utama industri mi instan. Pada pertengahan tahun 1980-an, Salim Group lewat PT
Indofood mengambil alih PT Sanmaru dan kemudian PT Supermi. Sejak saat itu PT Indofood telah menjadi penghasil mi instan terbesar di Indonesia. PT Indofood kemudian mengalihkan distribusi dari seluruh produknya dari distributor independen ke Indomarco, suatu perusahaan distribusi milik Salim Group. Sebelum deregulasi pasar terigu, semua penghasil mi yang membeli terigu dari Bulog, termasuk group Salim harus membayar harga yang sama. Karena group Salim mendapat keuntungan dari penjualannya ke Bulog, maka perusahaan tersebut telah memiliki bahan baku utamanya, yaitu tepung terigu dengan harga yang lebih rendah. Makin banyak terigu yang digunakan Indofood maka makin banyak gandum yang dapat diimpor dan diproses oleh Bogasari secara menguntungkan. Keunggulan biaya group Salim telah memungkinkannya menjual mi lebih banyak dengan menurunkan harga dan menambah penjualan (Laporan Kebijakan Persaingan Indonesia, 1999). Bila dilihat dari siapa produsen mi instan pasti sudah bisa terlihat bahwa Indofood group sebagai penguasa industri mi instan. Indofood Group merupakan sub group dari Salim Group yang memerger 18 perusahaan makanan olahan sebagai divisi dari Salim Group. Sedangkan perusahaan pesaingnya diantaranya adalah PT ABC President, PT Jakaranatama, PT Nissin Mas, PT Artha Millenia, dan PT Delly Food. Total kapasitas produksi secara nasional pada tahun 2002 adalah sebesar 950.600 ton dan ternyata mi instan bermerek Indomie mampu diproduksi sebesar 4,3 milyar bungkus dari 9,5 milyar bungkus total produksi mi instan atau sekitar 45 persen total produksi.
Munculnya produsen baru mi instan akan membuat persaingan akan menjadi semakin kompetitif antar perusahaan. Hingga tahun 2003, tercatat 31 perusahaan yang aktif bersaing dalam industri mi instan dengan kapasitas produksi sekitar 1,7 ribu ton atau 23,7 milyar bungkus. Sementara 17 perusahaan lagi sudah keluar dari persaingan dan 13 perusahaan lagi yang bersiap untuk masuk industri mi instan. Dari sini terlihat bahwa dalam industri mi instan persaingan semakin ketat dan apabila perusahan tersebut tidak dapat mempertahankan kinerjanya maka perusahaan itu akan tersisih karena kalah bersaing dengan perusahaan lain yang lebih berkembang. Kinerja produksi mi instan nasional tahun 2002 dapat disajikan pada Tabel 1.7. Tabel 1.7. Kinerja Produksi Mi Instan Nasional, 2002 Kinerja Produksi Mi Instan Nasional 2002 (Ton) Perusahaan Kelompok Merek PT Indofood Indofood Indomie,Supermi, Sakura, Sukses Makmur Super Cup, 3 Ayam, Pop Bihun, Pazto, Chatz Mie, My Noodlelez PT Myojoprima Indofood Myojo Lestari PT Jakaranatama Wicaksana Michiyo, Gaga Mi 100, Gaga Mi Soto PT Nissin Mas Roda Mas Nissin Mas, Doraemon, Cup Newdless PT ABC President ABC ABC, President, Top Rame PT Artha Millenia Orang Tua Happy Mie PT Nestle Nestle Maggi Indonesia PT Delly Food SC Miduo, Mi Gelas, Roma PT Sentra Food IC. Medco Salam Mie PT Asia Inti Selera Mikita, Ayam 2 Telor
Kapasitas 782000
33600 31000 48000 47500 10000 40000 36000 46200
Sumber : Capricorn Indonesia Consult, 2002
Kinerja pasar dipengaruhi oleh struktur dan perilaku pasar. Kinerja yang baik terutama mencakup harga yang rendah, efisiensi, inovasi dan keadilan. Pada
umumnya konsentrasi industri yang terjadi di negara-negara maju disebabkan oleh kekuatan untuk menguasai pasar. Meskipun salah satu dari perusahaan tersebut menguasai (untuk beberapa waktu) sebagian pasar, yang lain akan segera mengejar kembali dan menyeimbangkan modal serta keuntungan. Persaingan keras seperti ini yang berlangsung terus menerus akan mengendalikan usaha perusahaan dan memaksa harga turun mendekati tingkat biayanya, hal ini yang terjadi di dalam industri mi instan. Produksi aktual mi instan di Indonesia selama lima tahun belakangan ini mengalami peningkatan dengan laju perubahan rata-rata 10,8 persen per tahun. Pada 1999, produksi sebesar 730 ribu ton dan meningkat menjadi 1,1 juta ton pada 2003. Selama periode tersebut laju peningkatan tertinggi terjadi pada 2003, yang meningkat 13,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Lonjakan produksi tersebut erat kaitannya dengan bermunculannya merek-merek baru mi instan di pasar. Dalam industri mi instan untuk mempertahankan produknya maka perusahaan akan melakukan promosi-promosi dengan pemberian hadiah atau diskon, namun hal itu ternyata dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat pada industri mi instan nasional. Pemberian hadiah atau diskon yang semakin tidak realistis akan menyebabkan produsen mi instan harus mensubsidi harga mi instan agar tetap terjangkau oleh masyarakat dengan menjual mi di bawah harga, karena harga mi instan tidak pernah mengalami kenaikan secara signifikan. Sedangkan, kenaikan harga bahan baku mi instan lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan kenaikan harga produk mi instan.
Di negara berkembang konsentrasi terjadi karena kekuasaan pemerintah dalam perencanaan ekonomi, kebijakan impor, proteksi yang berlebihan dan fasilitas lisensi. Semakin banyaknya industri mi instan saat ini, kemungkinan terjadinya persaingan yang tidak sehat yang menyebabkan industri mi instan yang mungkin memiliki pangsa pasar yang lebih kecil tidak dapat memasuki pasar karena perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang lebih besar melakukan kecurangan. Kecurangan itu dapat berupa persengkokolan dalam menetapkan harga atau melakukan perang tarif sehingga akan menghambat perusahaan lain untuk masuk pasar. Pada tahun 2003 baik Departemen Keuangan maupun Badan Pusat Statistik (BPS) belum memberi kejelasan mengenai penetapan dan pembagian tarif bea masuk bagi mi instan. Namun pada 2004 Dirjen Bea dan Cukai serta Departemen Keuangan telah menerbitkan tarif bea masuk bagi industri mi instan, sehingga ada kejelasan agar penetapan tarif dapat berjalan adil sesuai pembagian kelompok komoditinya dan tidak ada penyalahgunaan tarif bea masuk. Seperti pada pengadaan bahan baku mi instan sampai saat ini masih dikuasai oleh Indofood yang bahan bakunya disuplai oleh PT Bogasari Flour Mills. Tetapi tidak dengan perusahaan lain mereka harus membeli bahan baku dengan harga yang jauh lebih tinggi. Di sini Indofood lebih diuntungkan dengan biaya produksi yang lebih rendah dan Indofood sebagian besar telah menguasai pangsa pasar, maka keuntungan yang didapat akan jauh lebih tinggi. Apabila tidak ada pengawasan yang ketat akan menciptakan suatu bentuk persaingan yang tidak sehat dimana akan merugikan pesaing lain. Perusahaan
besar dapat memproduksi produk yang lebih murah dibanding perusahaan kecil jika kurva biaya industri menunjukkan skala ekonomis yang besar, maka suatu perusahaan akan mencapai biaya rata-rata yang terendah dengan pangsa pasar yang tinggi. Harga yang lebih murah ini tentunya akan menarik perhatian konsumen guna beralih ke barang tersebut. Selanjutnya permintaan barang tersebut akan naik dan membuat keuntungan (return) perusahaan bertambah besar. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang ada, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk struktur pasar industri mi instan di Indonesia? 2. Bagaimana perilaku pasar industri mi instan di Indonesia? 3. Bagaimana kinerja industri mi instan di Indonesia? 1.3. Tujuan Penulisan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian mengenai industri mi instan ini adalah : 1. Menganalisis struktur pasar industri mi instan di Indonesia. 2. Menganalisis perilaku pasar industri mi instan di Indonesia. 3. Menganalisis kinerja industri mi instan di Indonesia. 4. Bagaimana implikasi kebijakan pada industri mi instan di Indonesia. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai tambahan informasi bagi pelaku ekonomi khususnya bagi pelaku industri mi instan untuk melakukan
persaingan yang sehat yang berbasis pada ketentuan-ketentuan dasar persaingan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna dalam pengambilan keputusan yang rasional dan logis bagi pelaku industri mi instan dalam menjalankan usahanya supaya tidak menghambat pesaing lain untuk masuk pasar dan sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya. Bagi penulis merupakan proses belajar untuk lebih kritis dalam menganalisis suatu permasalahan yang sedang terjadi di sektor industri dan dapat lebih memberikan wawasan yang lebih luas mengenai industri mi instan di Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam penelitian mengenai industri mi instan di Indonesia serta struktur, perilaku dan kinerjanya, perlu disajikan kajian-kajian teoritis yang berkaitan dengan struktur pasar dan bentuk persaingan sehingga dapat menjelaskan bagaimana hubungan struktur-perilaku-kinerja suatu industri yang saling bersaing dalam pasar. Analisis definisi pasar terdiri dari tiga langkah: pertama, mendefinisikan pasar produk yang relevan; selanjutnya pasar geografis yang relevan; dan terakhir menentukan semua perusahaan yang turut serta dalam pasar produk dan geografis yang relevan. Definisi pasar mengemukakan semua produk yang dapat dianggap sebagai subtitusi yang berarti bagi produk yang sedang dipelajari. Definisi pasar geografis ialah mendefenisikan areal geografis dari pasar. Analisis menentukan perusahaan yang aktif yaitu perusahaan tersebut sanggup menawarkan produk-produk untuk dijual di pasar yang relevan dalam periode waktu yang wajar (Asian Development Bank, 2001). 2.1. Konsep Dasar Ekonomi Industri Secara mikro, industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan
barang-barang
yang
homogen,
atau
barang-barang
yang
mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat. Secara makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah (Hasibuan, 1994). Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi. Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaaan yang secara relatif lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi
struktur pasar, perilaku dan kinerja pasar. Dalam ekonomi industri terdapat dua sisi yang menarik, di satu sisi ekonomi industri merupakan seperangkat konsep dan analisa mengenai persaingan dan monopoli dengan berbagai macam pasar yang berada di antara keduanya. Di sisi lain, ekonomi industri juga berkaitan dengan pasar riil yang sangat diramaikan oleh adanya persaingan antar perusahaan (Jaya, 2001). Beberapa alasan ekonomi industri menjadi semakin penting untuk dipelajari, baik di negara-negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Pertama, praktek-praktek struktur pasar yang semakin terkonsentrasi dalam kegiatan bisnis dan praktek-praktek perilakunya menimbulkan kerugian bagi konsumen. Kedua, semakin tinggi konsentrasi industri cenderung mengurangi persaingan antar perusahaan sehingga menciptakan perilaku yang kurang efisien. Ketiga, konsentrasi industri yang tinggi membawa konsentrasi kekayaan yang melemahkan usaha-usaha pemerataan, baik dilihat dari pemerataan pendapatan, kesempatan kerja, maupun kesempatan berusaha. Keempat, kaitan struktur industri dengan penyelesaian masalah-masalah ekonomi membawa lebih jauh intervensi pemerintah. Kelima, kajian-kajian tentang struktur-perilaku dan kinerja industri tidak terlepas dari masalah-masalah produksi dan distribusi ( Hasibuan, 1994). 2.2. Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja Bain (1956) menyatakan bahwa dalam hubungan analisis strukturperilaku-kinerja tidak lagi terbatas pada variabel mikro, seperti konsentrasi pasar produk, permodalan, bentuk-bentuk persaingan, serta masalah-masalah biaya dan
efisiensi alokasi, tetapi telah mulai berkenaan dengan variabel ekonomi makro, seperti kebijaksanaan pemerintah tentang proteksi, rintangan masuk, rintangan perdagangan, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan investasi asing. Beberapa aspek yang dipelajari dalam kaitannya dengan struktur-perilakukinerja industri. 1. Aspek kebebasan memilih dan berusaha walaupun masih ada intervensi pemerintah yang pada akhirnya akan berubah menjadi suatu bentuk persaingan, 2. Aspek peluang yang sama, baik dalam pengertian sebagai pembeli dan penjual, maupun dalam kesempatan, dan pemerataan pendapatan, 3. Aspek keadilan dan kewajaran terhadap praktek-praktek bisnis yaitu melalui pelarangan praktek-praktek bisnis yang tidak wajar dan adanya kepastian hukum, 4. Aspek kesejahteraan masyarakat, yaitu efisiensi alokasi sumber-sumber ekonomi, kesempatan kerja, kestabilan harga, kesehatan, dan lingkungan yang bersih, 5. Aspek kemajuan, yaitu adanya kebebasan, keadilan dan kesejahteraan. Untuk mengamati hubungan antara struktur-perilaku-kinerja dalam ekonomi industri maka dapat dilihat dari hubungan struktur dan kinerja industri, pengamatan kinerja dan perilaku yang kemudian dikaitkan lagi dengan struktur, menelaah kaitan struktur terhadap perilaku dan kemudian baru diamati kinerjanya, kinerja tidak perlu diamati lagi, oleh karena telah dijawab dari hubungan struktur dan perilakunya. Struktur pasar menggambarkan pangsa pasar dari perusahaan-
perusahaan. Struktur pasar merupakan kunci penting dari pola konsep konvensional dalam ekonomi industri. Struktur pasar juga mempengaruhi perilaku dari perusahaan. Struktur dan perilaku akhirnya akan mempengaruhi kinerja pasar. Yang utama dari struktur-perilaku-kinerja adalah determinan-determinan yang membentuk struktur itu sendiri, yaitu skala ekonomi dan disekonomi (Hasibuan, 1994). Martin (1993) berpendapat bahwa pendekatan struktur-perilaku-kinerja digunakan untuk menganalisa hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja industri mi instan. Teori struktur, perilaku dan kinerja industri menyebutkan bahwa struktur, perilaku dan kinerja mempunyai tiga kategori utama untuk melihat monopoli dan persaingan yang terjadi di pasar. Dalam versi sederhana, struktur pasar bersifat eksogen dan menentukan perilaku perusahaan dalam pasar tersebut dan selanjutnya akan menentukan kinerja. Aspek-aspek struktur adalah jumlah perusahaan, ukuran besarnya perusahaan, kondisi hambatan masuk, sedangkan perilaku mencakup masalah kolusi, perilaku, inovasi, kebijakan harga, output dan iklan (Yunianti, 2001). Pada analisis struktur, perilaku dan kinerja terdapat dua model pendekatan Structure Conduct Performance (SCP). Pertama, SCP School yang menekankan bahwa kekuatan pasar dari perusahaan merupakan sumber penyebab buruknya kinerja pasar dan pasar berada pada kondisi persaingan tidak sempurna dengan demikian pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk membatasi perilaku perusahaan. SCP School menekankan bahwa tingkat konsentrasi dan keuntungan yang tinggi diintepretasikan sebagai indikator penguasaan dan penyalahgunaan
penguasaan pasar. Dengan demikian masyarakat akan merasakan dampak negatifnya dan pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk membatasi perilaku perusahaan. Kedua, SCP Chicago School menyatakan bahwa sumber utama terjadinya kekuatan monopoli adalah pemerintah, sehingga agar tercapai kinerja pasar yang diinginkan sebaiknya di serahkan pada mekanisme pasar (Alistair, 2004). Paradigma Chicago meyakini bahwa keberhasilan perusahaan (firm success) yang diukur dengan tingkat keuntungan dan pangsa pasarnya mengindikasikan kepuasan konsumen, bukan kinerja yang buruk (Daryanto,2003). Pandangan lainnya adalah The New Industrial Economics yang menekankan pada peran perilaku yaitu apresiasi terhadap dimensi strategis dari keputusan perusahaan. Perusahaan tidak hanya bereaksi dan beradaptasi terhadap kondisi eksternal, tapi juga berusaha agar lingkungan ekonomi berada pada posisi yang dapat memberi keuntungan dengan pertimbangan bahwa pesaingnya juga akan melakukan hal yang sama. Paradigma SCP berpendapat bahwa konsentrasi pasar yang tinggi membuat perusahaan lebih mudah untuk menguasai pasar dan menghasilkan keuntungan atau margin yang tinggi. Penguasaan pasar yang tinggi cenderung menghasilkan kinerja pasar yang buruk, yaitu konsumen harus membayar harga yang sangat tinggi (Daryanto, 2003). Dasar paradigma SCP sendiri dicetuskan oleh Edward S. Mason, seorang dosen di University of Harvard tahun 1930-an. Tahun 1979, Scherer juga turut mengembangkan pendekatan SCP menjadi lebih luas dengan penjelasan yang logis, sehingga mempengaruhi para ekonom-ekonom dunia saat itu untuk
memandang SCP sebagai suatu cara yang biasa digunakan dalam menganalisis suatu industri (Shepherd, 1992). Berikut merupakan gambar pendekatan tradisional struktur-perilaku-kinerja.
KONDISI DASAR
STRUKTUR
PERILAKU
KINERJA
Gambar 2.1. Pendekatan Tradisional Structure Conduct Performance (S-C-P) Sumber: Daryanto, 2004
Dalam ekonomi industri struktur pasar menggambarkan pangsa pasar dari perusahaan. Dan untuk memperluas pangsa pasar, suatu perusahaan menghadapi sejumlah rintangan. Setiap struktur pasar berada di antara monopoli (pangsa pasar yang tinggi dan rintangan masuk yang tinggi) dan persaingan murni (pangsa pasar kecil dan rintangan masuk kecil). Struktur industri manufaktur erat kaitannya dengan tiga hal, yakni tingkat diversifikasi produk, intensitas pemakaian faktorfaktor produksi, termasuk SDA dan orientasi pasar. Gambar 2.2. menunjukkan bahwa struktur dan perilaku kemudian mempengaruhi kinerja pasar. Kinerja yang baik terutama mencakup harga yang rendah, efisiensi, inovasi dan keadilan. Kondisi dasar yang diwakili oleh elastisitas permintaan dapat melihat struktur, semakin elastis ada kecenderungan struktur pasar yang semakin terkonsentrasi. Struktur pasar yang semakin terkonsentrasi antara lain akan menyebabkan adanya kecenderungan dalam kekakuan harga. Hal ini dapat berpengaruh pada perilaku pasar.
UKURAN-UKURAN Kondisi Permintaan Kondisi Penawaran Elastisitas Permintaan Skala Ekonomi Elastisitas silang dari Ekonomi Vertikal permintaan
STRUKTUR Ukuran distribusi Perusahaan Pangsa Pasar Konsentrasi Rintangan masuk Elemen-elemen lain
PERILAKU Kerja sama dengan pesaing Strategi melawan pesaing Iklan
Harga-biaya dan pola keuntungan X-efisiensi Pengalokasian yang efisien
KINERJA Kemajuan teknologi Keseimbangan dalam pendistribusian Pengaruh-pengaruh lainnya
Gambar 2.2. Paradigma Structure Conduct Performance (S-C-P) Sumber : Jaya, 2001
Dalam penelitian-penelitian empiris pada umumnya tingkah laku perusahaan seringkali diabaikan. Pengujian hipotesis dengan pola hubungan seperti di atas selalu terbentur variabel tingkah laku yang sulit diukur dan dijabarkan sehingga sulit untuk mendapatkan hasil pengujian yang berarti untuk hubungan antara struktur dan perilaku. Oleh karena itu, perkiraan atas kinerja industri dapat diketahui melalui unsur-unsur pasar yang dimasukkan sebagai variabel bebas.
Pengujian hipotesa pola hubungan struktur dan kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu indikator tertentu dari struktur pasar seperti tingkat konsentrasi penjual dan menggunakan PCM sebagai indikator kinerja. Tetapi akan lebih baik bila memasukkan unsur-unsur struktur pasar yang lain dalam pengujian. 2.2.1. Struktur Pasar Defenisi pasar adalah sebagai suatu kelompok penjual dan pembeli yang mempertukarkan barang yang dapat disubtitusikan. Kemampuan subtitusi barang merupakan kunci pokok sehingga ekonomi muncul sebagai daya tarik bagi pasarpasar individu. Tiap pasar dibatasi oleh dua dimensi yaitu jenis produk dan daerah geografis (Jaya, 2001). Struktur pasar merupakan suatu variabel yang digunakan untuk menentukan perilaku perusahaan dan interaksi antara perilaku dan struktur pasar menentukan kinerja. Selanjutnya kinerja mempunyai pengaruh terhadap pembentukan struktur. Dalam struktur pasar selain memperhatikan jumlah perusahaan juga harus memperhatikan ukuran atau besaran distribusi dari perusahaan tersebut. Secara teoritis struktur pasar dapat dibedakan menjadi dua yaitu persaingan sempurna dan persaingan tidak sempurna. Persaingan tidak sempurna dibedakan menjadi tiga yaitu persaingan monopoli, oligopoli dan monopolistik. Struktur pasar dapat dilihat dari tiga hal yaitu jumlah perusahaan, tipe produksi dan hambatan masuk (Hasibuan, 1994). Ringkasan tipe-tipe struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Tipe-Tipe Struktur Pasar Tipe Pasar 1. Persaingan Sempurna 2. Persaingan Tidak Sempurna a. Persaingan Monopolistik b. Oligopoli c. Monopoli
Jumlah Perusahaan Banyak
Homogen
Hambatan Masuk Bebas
Banyak
Diferensiasi
Bebas
Sedikit Satu atau kolusi
Diferensiasi Diferensiasi
Terbatas Sangat terbatas
Tipe Produksi
Sumber: Hasibuan, 1994
Dalam struktur pasar terdapat beberapa elemen-elemen yang termasuk didalamnya yaitu pangsa pasar, konsentrasi pasar dan hambatan-hambatan untuk masuk. Ketiga elemen tersebut akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini. 1. Pangsa Pasar (Market Share) Pangsa pasar adalah perbandingan antara hasil penjualan suatu perusahaan dengan total penjualan industri. Setiap perusahaan memiliki pangsa pasarnya sendiri, dan besarnya berkisar antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Pangsa pasar mencerminkan proksi keuntungan bagi perusahaan karena pangsa pasar yang besar biasanya menandakan kekuatan pasar yang besar dalam menghadapi persaingan dan sebaliknya. Pangsa pasar dapat dihitung dengan beberapa cara yaitu berdasarkan nilai penjualan, unit penjualan, unit produksi dan kapasitas produksi. Pada produk yang bersifat homogen biasanya pangsa pasar diukur dengan menggunakan unit atau volume penjualan sedangkan pada pasar yang produknya heterogen pangsa pasar dihitung terhadap total penjualan. Beberapa tipe pasar dengan kondisi pangsa pasar dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Tipe-tipe Pasar Tipe Pasar Monopoli murni
Kondisi Utama Suatu perusahaan yang memiliki 100 persen dari pangsa pasar. Perusahaan yang Suatu perusahaan yang memiliki 50dominan (dominant 100 persen dari pangsa pasar dan firm) tanpa pesaing yang kuat. Oligopoli ketat Penggabungan empat perusahaan terbesar yang memiliki pangsa pasar 60-100 persen. Kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga relatif mudah. Oligopoli longgar Penggabungan empat perusahaan terbesar yang memiliki 40-60 persen pangsa pasar, kesepakatan mereka untuk menetapkan harga sebenarnya tidak mungkin. Persaingan Banyak pesaing yang efektif, tidak monopolistik satu pun yang memiliki lebih dari 10 persen pangsa pasar.
Contoh PLN, TELKOM, PAM
Persaingan murni
Sapi dan unggas
Lebih dari 50 persen pesaing yang mana tidak satupun yang memiliki pangsa pasar yang berarti.
Surat kabar lokal atau nasional, film kodak, batu baterai. Bank-bank lokal, siaran TV, bola lampu, sabun, toko buku, rokok kretek dan semen. Kayu, perkakas rumah tangga, mesin-mesin kecil, perangkat keras, majalah, batu baterai, obat-obatan. Pedagang eceran, penjual pakaian
Sumber : Jaya, 2001
Shepherd (1992) menyatakan pangsa pasar yang mencapai 100 persen termasuk dalam monopoli murni, jika satu perusahaan mempunyai pangsa pasar lebih dari 40 persen dan tidak mempunyai pesaing yang berarti termasuk dalam perusahaan dominan. Jika pangsa pasar mencapai lebih dari 60 persen termasuk dalam oligopoli ketat. Semakin besar pangsa pasar maka semakin besar pula hak monopoli bagi perusahaan yang bersangkutan. Derajat kekuatan pasar pada umumnya akan muncul ketika pangsa pasar mencapai 15 persen, pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu 25-30 persen derajat monopoli menjadi signifikan, dan pada tingkat 50-60 persen biasanya perusahaan mempunyai kekuatan pasar yang sangat besar. Kesuksesan perusahaan biasanya selain digambarkan oleh profit
tetapi juga oleh besarnya pangsa pasar. Secara umum terdapat hubungan yang positif antara pangsa pasar dan keuntungan (Yunianti, 2001). 2. Konsentrasi (Concentration) Konsentrasi industri merupakan suatu variabel yang dapat diukur dan pada umumnya pengukuran ini lebih banyak dilakukan untuk derajat struktur oligopoli (Hasibuan, 1994). Konsentrasi sering digunakan sebagai ukuran tingkat persaingan. Konsentrasi juga sering dipakai sebagai alat analisis struktur pasar, perilaku dan kinerja perusahaan yang beroperasi di dalamnya dan secara tidak langsung menjadi indikator perilaku anti persaingan atau kolusi (Satriawan dan Wigati, 2002). Geroski (1991) mengungkapkan bahwa pesaing baru dalam industri atau pasar akan mengurangi konsentrasi pasar apabila ukuran perusahaan tersebut relatif sama besar dengan ukuran perusahaan-perusahaan yang ada di industri atau pasar tersebut. Keluarnya perusahaan dari suatu industri atau pasar akan meningkatkan konsentrasi apabila ukuran perusahaan yang keluar relatif kecil dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam industri tersebut. Pengukuran konsentrasi tersebut dapat memperlihatkan perubahanperubahan namun perubahan tersebut kurang terlihat dalam jangka pendek. Menurut Shepherd dalam Yunianti (2001) mengemukakan bahwa konsentrasi adalah penjumlahan pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan terbesar yang sering diukur pada empat perusahaan terbesar. Nilai konsentrasi pasar dapat menunjukkan derajat oligopoli. Studi empiris yang dilakukan oleh Bain menunjukkan adanya hubungan positif antara kondisi entry dan konsentrasi pasar terhadap kekuatan pasar dimana semakin tinggi konsentrasi pasar dan semakin
sulit suatu industri baru untuk memasuki pasar maka kekuatan pasar akan semakin tinggi. Greer dalam Hasibuan (1994) menjelaskan bahwa ada empat sebab pokok adanya konsentrasi, yakni pertama, nasib baik (luck); kedua, sebab teknis; ketiga, karena kebijaksanaan pemerintah; dan keempat, kebutuhan bisnis, sehingga ada kebijaksanaan perusahaan untuk mengambil keputusan tertentu. Bird (1999) menyatakan
hipotesis
konsentrasi-kolusi
bahwa
industri
dengan
jumlah
perusahaan sedikit dan rasio konsentrasi empat perusahaan (CR4, merupakan pangsa pasar empat perusahaan terbesar) di atas 75 persen mempunyai masalah dengan persaingan dibanding industri dengan jumlah perusahaan yang lebih banyak dan konsentrasi dibawah 50 persen. Konsentrasi dapat diukur dengan menggunakan indeks konsentrasi yaitu statistik yang dikembangkan untuk menghasilkan ukuran ringkasan struktur pasar. Ukuran pasar konsentrasi yang umumnya digunakan adalah persentase dari seluruh jumlah pengiriman yang dipasok oleh empat perusahaan terbesar. Ukuran lain adalah Hirschmann-Herfindahl Index (HHI) yang menimbang pangsa pasar rata-rata dari semua perusahaan dalam sebuah industri (Asian Development Bank, 2001). Indeks konsentrasi memiliki kelemahan yaitu ketidakmampuan untuk menunjukkan atau memberikan gambaran ukuran atau kontribusi dari masingmasing perusahaan di pasar. Walters dalam Yunianti (2001) menyatakan bahwa indeks konsentrasi mempunyai kelemahan dari perhitungan konsentrasi adalah bahwa nilai konsentrasi (CR) tidak dapat menunjukkan tentang kondisi potensial
dari entry. Pengukuran-pengukuran konsentrasi perusahaan dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Pengukuran-Pengukuran Konsentrasi Perusahaan Rumus ρ
Pengukuran Rasio konsentrasi
n
CR = ∑ MS i i =1
Indeks Hirshcman-Herfindahl
n
H=
∑ MSi 2 i =1
Indeks Rosenbluth
R=
1 n
(2∑ i. pi )
-1
i =1
Indeks Entrophy
n
E=
1
∑ p.i log( pi ) i =1
Sumber: Jaya, 2001 Dimana : Msi = jumlah perusahaan terbesar
ρi
= pangsa pasar perusahaan ke-i (%)
n
= jumlah perusahaan terbesar
Menurut Martin dalam Yunianti (2001) menyatakan bahwa apabila empat perusahan terbesar menguasai 40 persen atau lebih terhadap total penjualan termasuk ke dalam pasar oligopoli. Pengukuran indeks konsentrasi : a. Rasio Konsentrasi yang standar memerlukan data mengenai ukuran pasar secara keseluruhan dan ukuran perusahaan-perusahaan yang memimpin dalam pasar. b. Indeks Hirschman-Herfindahl merupakan penjumlahan kuadrat pangsa pasar semua perusahaan dalam suatu industri. c. Indeks Rosenbluth didasarkan pada peringkat setiap perusahaan dan pangsa pasarnya.
d. Indeks Entropy mengukur semua pangsa pasar semua perusahaan dalam industri. Teori ekonomi memperkirakan bahwa kekuatan pasar lebih berlaku dalam pasar yang menunjukkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Kekuatan perusahaan dicerminkan oleh sedikitnya perusahaan yang menguasi pasar atau adanya perusahaan dominan dalam suatu industri. 3. Hambatan Untuk Masuk (Barrier To Entry) Menurut Asian Development Bank (2001) barrier to entry dapat didefenisikan sebagai setiap bentuk karakteristik pasar yang menghambat pendatang (entrant) baru untuk bersaing atas dasar yang sama dengan perusahaan yang sudah ada. Dalam defenisi ini, kombinasi biaya yang hilang (sunk cost) dan skala ekonomi dapat menjadi barrier to entry. Menurut Bain (1956) penentu utama kondisi entry adalah skala ekonomi yang besar, diferensiasi produk dan keuntungan biaya absolut antara perusahaan yang ada dengan yang baru. Kondisi entry sangat menentukan degree of competition baik yang aktual maupun yang potensial sehingga dapat diduga mempengaruhi kinerja dan struktur. Pesaing potensial adalah perusahaanperusahaan di luar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang sebenarnya (Jaya, 2001). Menurut Geroski dalam Satriawan dan Wigati, 2002 entry dapat didefenisikan sebagai: (1) masuknya perusahaan baru kedalam suatu industri;
(2) entry ditandai dengan didirikannya perusahaan baru dalam satu industri yang serupa oleh perusahaan yang masih beroperasi dalam industri tersebut; (3) pengambilalihan (akuisisi) suatu perusahaan oleh perusahaan lain satu lingkup industri; (4) penggabungan beberapa macam produk oleh perusahaan yang masih beroperasi dalam industri tersebut sehingga menciptakan pangsa pasar baru; (5) masuknya perusahaan yang dimiliki oleh pemodal asing ke industri dalam negeri. Weiss (1965) mendefenisikan entry mencakup dua hal yaitu nama perusahaan baru dan terdapat bangunan baru dalam suatu industri. Sedangkan Besanko et al. (1996) menyatakan bahwa entry dapat didefenisikan sebagai masuknya suatu produk baru jasa baru yang ditawarkan oleh perusahaan telah atau baru beroperasi ke dalam suatu pasar atau industri. Ada beberapa hal umum mengenai hambatan masuk pasar yang harus diketahui. Pertama, hambatan-hambatan yang timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak hanya dalam bentuk perangkat legal maupun kondisi yang dapat berubah dengan cepat. Kedua, hambatan dibagi mulai dari tingkatan tanpa hambatan sama sekali seperti pasar persaingan sempurna, hambatan rendah, hambatan sedang, sampai hambatan tingkat tinggi dimana tidak ada lagi jalan untuk masuk pasar, seperti pada pasar dimana terdapat perusahaan yang menjadi monopolis. Ketiga, hambatan merupakan sesuatu yang kompleks. Peranan hambatan untuk masuk suatu pasar masih diperdebatkan. Beberapa ahli ekonomi memandangnya sebagai suatu yang penting. Tetapi pandangan utama saat ini
menyatakan rintangan-rintangan dan pesaing baru merupakan hal kedua yang mungkin memodifikasi pengaruh pangsa pasar dan pemusatan. Hanya dalam kasus tertentu pesaing yang potensial menguasai pasar. Shepherd dalam Juwita (2004) membagi hambatan untuk masuk menjadi dua jenis, yaitu : hambatan eksogen dan hambatan endogen. 1). Hambatan Eksogen Hambatan untuk masuk ke dalam pasar yang sifatnya berada diluar kontrol dari leading firms dan merupakan suatu penyebab fundamental yang tidak dapat diubah. (a). Capital (Modal) Perusahaan yang dominan dan ukurannya lebih besar akan memperoleh keuntungan berupa biaya yang murah dan persediaan modal yang cukup. Hal ini akan menjadi hambatan untuk masuk bagi industri yang bersifat padat modal (capital intensive). (b). Skala Ekonomi Skala ekonomi yang besar akan membuka pendatang baru untuk berproduksi pada tingkat yang sama. Penambahan output oleh perusahaan baru mungkin relatif lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah permintaannya. Akibatnya harga produk akan jatuh, bahkan mungkin jatuh dibawah kurva biaya perusahaan baru tersebut. Jadi, tidak ada tempat bagi perusahaan baru selama perusahaan lama dapat memenuhi jumlah permintaan yang efisien.
(c). Diferensiasi Produk Diferensiasi produk muncul karena strategi periklanan dan pemasaran yang bertujuan untuk memberikan pilihan bagi konsumen terhadap produk (merek) tertentu. (d). Diversifikasi Perusahaan yang melakukan diversifikasi dapat melimpahkan sumber daya yang berlebih pada setiap cabang untuk mencegah masuknya pendatang baru. (e). Intensitas Penelitian dan Pengembangan Pendatang baru yang ingin berpartisipasi dalam pasar yang mengandalkan keunggulan teknologi memerlukan biaya penelitian dan pengembangan yang besar. (f). High Durability of Firm Specific Capital Sunk cost adalah investasi yang dikeluarkan oleh investor yang tidak memiliki kegunaan lain selain untuk proyek tersebut, atau dimana investasi tersebut tidak dapat dijual kembali untuk kegiatan industri lain. Sunk cost yang besar akan mengurangi keinginan dari pendatang baru untuk masuk ke dalam pasar karena resiko yang terlalu besar. (g). Integrasi Vertikal Jika integrasi vertikal efisien, pesaing harus masuk dalam dua tingkatan atau lebih agar dapat menyesuaikan dengan struktur biaya perusahaan lama. Hal ini membutuhkan banyak modal, penelitian dan pengembangan yang sering menaikkan resiko.
2). Hambatan Endogen Termasuk ke dalam hambatan endogen antara lain kebijakan harga dari establish firm, penciptaan kelebihan kapasitas, image dari loyalitas merk suatu produk, strategi penguasaan produk, strategi bahan baku. Peranan hambatan untuk masuk suatu pasar masih diperdebatkan (Jaya, 2001). Apabila ada kebebasan keluar-masuk, akan sulit untuk menyingkirkan perusahaan-perusahaan dalam industri terutama harga di atas biaya marjinal dan tingkat keuntungan. Adanya keuntungan yang dihasilkan dengan persaingan nonharga, tanpa hambatan sama sekali, bebas masuk, yang mana akan terus berlanjut sampai tingkat keuntungan menurun. 2.2.2. Perilaku Pasar Perilaku pasar merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu. Scherer (1990) menyatakan terdapat tiga kriteria untuk melihat perilaku industri yaitu strategi harga, kondisi entry dan tipe produk. Martin dalam Yunianti (2001) menyatakan bahwa perilaku strategis perusahaan hanya ada pada pasar oligopoli. Perilaku industri dapat dilihat pada strategis perusahaan dalam mementukan jumlah dominasi output, penentuan harga, advertensi, pemilihan teknologi, kegiatan dalam pasar dan juga dalam kebijakan produk. Sedangkan menurut Jaya (2001) pada perusahaan ada beberapa perilaku yang terjadi antara lain penetapan harga, strategi produksi, kolusi dan penawaran vertikal. Salah satu contoh nyata perilaku yang terjadi di perekonomian Indonesia adalah oligopoli. Perilaku oligopoli merupakan suatu fenomena yang rumit,
namun peranan oligopoli dalam pasar-pasar riil umumnya tidak terlalu besar (Jaya,
2001).
Perilaku
perusahaan
dalam oligopoli
memiliki
beberapa
kemungkinan. Pertama, dalam suatu industri yang bersifat oligopoli, perusahaanperusahaan akan menempatkan diri dalam kerjasama rapi yang bertindak sebagai perusahaan monopoli dengan menetapkan harga jual yang tinggi dan sedikit inovasi. Kedua, perusahaan-perusahaan akan terlibat dalam perang harga dan inovasi tiada henti. Sedangkan kemungkinan yang ketiga adalah perusahaanperusahaan tersebut berada diantara kedua kemungkinan pertama dan kedua. Perilaku perusahaan-perusahaan juga mengenal adanya integrasi vertikal, merger. Integrasi vertikal dapat menimbulkan ekonomisasi dan berdampak anti persaingan. Merger vertikal dan peraturan vertikal dalam pasar termasuk pemeliharaan harga penjualan kembali yang merupakan isu persaingan. Alasanalasan untuk melakukan integrasi vertikal dan merger antara lain adalah untuk meningkatkan pangsa pasar, pertumbuhan, mendapatkan laba yang lebih tinggi, efisiensi dan juga untuk mengurangi ketidakpastian usaha. Integrasi dan konglomerasi termasuk dalam kegiatan merger (Hasibuan, 1994). 1. Integrasi Vertikal Hasibuan (1994) mendefenisikan integrasi vertikal adalah penggabungan perusahaan-perusahaan yang mempunyai kelanjutan proses produksi. Jenis integrasi juga dapat dibagi dua, yakni integrasi ke hulu (up stream) dan integrasi ke hilir (down stream). Perusahaan yang menerapkan strategi integrasi vertikal ke hulu (up stream) adalah perusahaan yang memproduksi sendiri input yang dibutuhkannya. Sedangkan integrasi vertikal ke hilir (down stream) adalah
perusahaan yang memutuskan untuk menyalurkan output yang dihasilkan kepada konsumen melalui perusahaan yang terintegrasi dengannya. Jaya (2001) menyatakan bahwa integrasi vertikal diluar dugaan sulit diukur, salah satu metodenya adalah menghitung tahap-tahap produksi semakin banyak tahapan yang dicakup, semakin besar integrasinya. 2. Merger Secara umum kegiatan integrasi dapat temasuk dalam merger, tetapi dengan syarat ada keterkaitan dalam kelanjutan proses produksi. Pengertian merger lebih luas yaitu satu atau lebih perusahaan yang tidak sejenis dan juga tidak ada kaitan kelanjutan proses produksi dapat melakukan penggabungan (Hasibuan, 1994). Efek-efek dari merger-merger vertikal adalah keseimbangan antara dua hal: 2. Penghematan bersih yang diperoleh dengan merger yang tidak dapat diperoleh dengan pertumbuhan langsung atau kontrak jangka panjang, 3. Efek-efek antikompetitif yang dapat terjadi seperti meningkatkan halangan memasuki pasar. Pada kenyataannya pangsa pasar yang tinggi menimbulkan anggapan bahwa
biaya-biaya
sosial
dari
merger
vertikal
melebihi
keuntungan.
Ketidakseimbangan biasanya tidak begitu besar dan beberapa kasus tertentu akan condong ke arah lain, belum ada cara pengukuran keseimbangan tersebut dan karenanya tingkat-tingkat permulaan pada pangsa pasar hanya dapat diperkirakan. Konsensus diantara para ahli mungkin berada dalam batas 15 persen sampai 30
persen pangsa pasar untuk kedua perusahaan. Batasan-batasan antitrust yang terjadi saat ini berkisar antara 10 persen sampai 20 persen, merger vertikal antara dua perusahaan dengan pangsa pasar 20 persen akan ditentang dan pada akhirnya tidak diperbolehkan (Jaya, 2001). 2.2.3. Kinerja Pasar Setiap perusahaan pasti akan mempunyai tujuan untuk menguasai pasar, tujuan itu yang disebut dengan kinerja. Kinerja secara lebih rinci dapat dilihat dari laba, efisiensi, pertumbuhan (termasuk perluasan pasar), kesempatan kerja, prestise profesional, kesejahteraan personalia, dan juga kebanggaan kelompok. Kinerja tergabung antara kinerja ekonomi dan non ekonomi (Hasibuan, 1994). Kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek, namun biasanya dipusatkan pada tiga aspek pokok yaitu, efisiensi, kemajuan teknologi, dan keseimbangan dalam distribusi (Jaya, 2001). Daryanto (2004) mengungkapkan yang dimaksud dengan kinerja adalah: 1. Apakah perusahaan-perusahaan meningkatkan kesejahteraan ekonomi? 2. Apakah mereka bekerja secara efisien, menghindari pemborosan faktor-faktor produksi yang langka sifatnya? 3. Apakah alokasi faktor-faktor produksi telah efisien secara ekonomis? 4. Apakah perusahaan-perusahaan secara efektif meningkatkan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi? Ada beberapa pertimbangan yang digunakan untuk menjadikan perusahaan tertentu mempunyai kinerja yang baik sebagai barometer harga. Pertama, jika terjadi persaingan yang kurang sehat dalam suatu industri oligopoli. Kedua, dapat
mengurangi kerja administrasi, karena perhitungan ongkos-ongkos yang berulangulang. Ketiga, perusahaan yang menjadi barometer itu telah menunjukkan prestasi yang bagus, yang hampir tidak meleset ramalan-ramalannya (Hasibuan, 1994). Menurut Jaya (2001) dalam kinerja pasar terdapat konsekuensi dan kekuatan pasar yaitu kemampuan perusahaan-perusahaan untuk mempengaruhi harga produkproduk yang mereka jual kepada konsumen. Pada kenyataannya kekuatan pasar dapat mempengaruhi secara mencolok terhadap harga, keuntungan, inovasi, keadilan dan nilai-nilai lainnya. Dalam kinerja juga memperhatikan pertumbuhan dan kelayakan hal ini dikarenakan pertumbuhan dan kelayakan membutuhkan suatu usaha yang cermat, menunjukkan bagian-bagiannya dan kemungkinan pengaruh-pengaruh monopoli yang ditimbulkannya. 2.3. Deskripsi Produk Mi Instan Berdasarkan kondisi sebelum dikonsumsi, mi dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok, yaitu mi basah (boiled noodle), mi kering (steam and fried noodle), mi mentah (raw chinese noodle) serta mi instan (instan noodle). Mi adalah produk makanan setengah jadi yang terbuat dari campuran tepung terigu berkadar protein tinggi dengan bahan tambahan lain seperti air, telur, bumbu tertentu, pewarna makanan dan bahan pengawet makanan. Berkembangnya teknologi pangan berpengaruh juga terhadap produk mi yang dihasilkan dan dijual di pasaran. Sekarang ini mi tidak hanya terbuat dari tepung terigu saja, tetapi mi dapat juga dibuat dari berbagai jenis tepung biji-bijian. Mi basah adalah mi yang biasa dijual di pasar tradisional dan supermarket. Mi basah biasanya berwarna kuning segar, memiliki tekstur kenyal dan aromanya
khas. Pembuatan mi basah dapat dilakukan sendiri di rumah dengan menggunakan alat khusus untuk membuat mi. Perbedaan mi basah dengan mi instan adalah digunakannya minyak goreng dalam proses pembuatan mi basah yang berfungsi untuk melembabkan mi, sedangkan mi instan dibuat dengan melalui beberapa proses dalam pabrik sehingga mempunyai rasa dan bentuk yang lebih tahan lama. Mi instan adalah mi kering buatan pabrik. Mi ini hanya bisa diproduksi oleh pabrik karena proses pengeringannya menggunakan alat pengering tertentu. Mi instan buatan pabrik dijual dalam berbagai kemasan menarik. Ada yang masih perlu pengolahan tertentu, tapi ada juga yang tinggal ditambah air panas dan siap dikonsumsi. Mi instan secara umum adalah sejenis makanan berbentuk pasta yang bahan bakunya berasal dari tepung terigu yang diolah dengan merebus dalam air panas yang kemudian diberi bumbu sesuai dengan selera yang ada dalam kemasannya untuk siap disantap (Corinthian Infopharma Corpora, 2004). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3551-2000 yang dikeluarkan oleh Dewan Standarisasi Nasional, mi instan (instan noodle) didefinisikan sebagai mi yang dibuat dari adonan tepung terigu atau tepung beras atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya, dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali. Proses pregelatinisasi dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan atau proses dehidrasi lainnya (Corinthian Infopharma Corpora, 2004). Mi instan disini adalah mi yang bermerek (branded) yang berbentuk pasta diolah dari tepung terigu dan biasanya dikemas sedemikian rupa dengan plastik,
aluminium foil, cup, box dan sebagainya. Instan sendiri dicirikan dengan adanya penambahan bumbu dan memerlukan proses rehydrasi untuk siap dikonsumsi (Corinthian Infopharma Corpora, 2004). Mi instan terbuat dari tiga bahan baku yaitu tepung terigu, minyak sayur, dan bumbu penyedap (seasoning). Secara sederhana proses pembuatan mi instan diawali dengan menyediakan bahan baku yang akan digunakan, kemudian dilakukan proses pencampuran antara air, bahan baku yang akan digunakan kemudian dilakukan proses pencampuran antara air, bahan baku utama dan bahan baku tambahan yang bertujuan untuk membentuk tekstur (mixing). Selanjutnya dilakukan pessing, yaitu proses yang menghasilkan lembaran-lembaran untaian mi dan siap untuk pengukusan (steaming). Pengukusan dilakukan untuk membunuh bakteri dan merupakan proses yang menentukan tekstur mi. Setelah itu dilakukan proses pemotongan dan siap untuk proses penggorengan (cutting). Proses selanjutnya adalah pendinginan untuk kemudian siap dikemas (cooling), yang berfungsi untuk melindungi produk dari pengaruh luar (Corinthian Infopharma Corpora, 2004). Defenisi mi instan menurut Japan Agricultural Standards (JAS) adalah mi instan dibuat dari bahan tepung beras atau tepung gandum yang diberi tambahan bumbu atau rempah-rempah. Mi diproses sedemikian rupa untuk meningkatkan elastisitas dan viskositas, kemudian mi didehidrasikan, ditambahkan aroma kemudian mi instan siap diolah. JAS mengklasifikasikan mi instan menurut wadah, pengemasan, rasa dan pembuatan dimana pada dasarnya mi instan dibagi
dalam dua jenis yaitu mi dalam kemasan plastik dan mi dalam kemasan gelas (cup)
Mi instan
Mi dalam kemasan plastik
Mi instan ala Cina
Mi instan ala Jepang
Mi goreng yang digelatinisasi
Mi dalam kemasan gelas/cup
Mi instan ala Barat
Mi goreng yang digelatinisasi
Mi rebus yang tidak digelatinisasi
Mi rebus yang digelatinisasi
Mi instan ala Cina
Mi instan ala Jepang
Mi goreng yang digelatinisasi
Mi goreng yang digelatinisasi
Mi rebus yang digelatinisasi
Mi rebus yang digelatinisasi
Mi rebus yang digelatinisasi
Gambar 2.3. Klasifikasi berdasarkan wadah, pengemasan, rasa dan pembuatan Sumber : Japan Agriculture Standards (JAS)
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu Yunianti (2001) melakukan penelitian mengenai Implikasi Kebijakan Tepung Terigu Terhadap Industri Tepung Terigu dan Industri Makanan: Studi Kasus Industri Mi Instan bertujuan untuk memberikan gambaran pengaruh kebijakan pemerintah terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri tepung terigu serta menganalisis kebijakan-kebijakan perusahaan terhadap industri tepumg terigu serta menganalisis kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap industri tepung
terigu dan industri makanan berbasis tepung terigu. Hasil penelitiannya mengenai struktur, perilaku dan kinerja industri mi instan. Pertama, pada industri mi instan campur tangan pemerintah secara langsung sangat terbatas, industri mi instan sangat terkonsentrasi, adanya deregulasi tata niaga tepung terigu tahun 1998 ternyata tidak mengubah struktur industri mi instan secara drastis, adanya hubungan vertikal antara industri hulu dengan industri hilirnya. Kedua, pada industri mi instan mempunyai konsentrasi tinggi yaitu kurang lebih 89 persen dan berada pada pasar yang lebih kompetitif karena sifat produknya yang consumer good, dengan memberikan kontribusi tepung terigu sebesar 16 persen dari total penjualan bersih maka divisi mi instan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar yaitu 34 persen dari total penjualan. Ketiga, adanya kebijakan proteksi pada barang antara yang merupakan bahan baku utama telah mempengaruhi struktur industri penghasil barang akhir yang mempunyai hubungan vertikal. Alistair (2004) melakukan penelitian pada industri tepung terigu mengenai Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja pada Industri Tepung Terigu di Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli Bulog. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa struktur pasar tepung terigu di Indonesia adalah bentuk pasar yang dikuasai oleh satu perusahaan dominan yang setiap tahunnya meraih pangsa pasar lebih dari 50 persen. Hambatan masuk pada industri ini cukup tinggi jika dilihat dari perangkat-perangkat legal dan kondisi alamiah yaitu adanya peraturan SNI wajib bagi tepung terigu dan MES yang sangat tinggi. Perilaku yang terjadi menggambarkan perusahaan yang mendominasi pasar memiliki strategi produk dan promosi yang paling berkembang sedangkan penetapan harga biasanya
dilakukan dengan melihat harga bahan baku di pasar internasional yang kemudian dikoordiansikan di antara para produsen tepung terigu. Kinerja yang dilihat dari utilitas kapasitas produksi menggambarkan bahwa produsen tepung terigu tidak memaksimalkan kapasitas produksinya. Hasil lainnya yang didapat dari penelitian ini adalah meskipun setelah deregulasi pada tahun 1998 industri tepung terigu masih dikuasai oleh perusahaan dominan namun rupanya tidak menjadi suatu masalah besar bagi produsen lain. Masalah utama bagi para produsen lokal adalah meningkatnya volume impor yang melakukan praktek dumping maupun yang tidak memenuhi peraturan SNI. Robert (1995) meneliti mengenai Struktur-Perilaku-Kinerja pada industri pemintalan dengan judul Hubungan Struktur dengan Kinerja Pasar (Studi Empiris pada Industri Pemintalan). Penelitian ditujukan untuk melihat pengaruh struktur berdasarkan pangsa pasar, konsentrasi dan Hirschman-Herfindahl Index terhadap kinerja industri tekstil yang diproksi dengan Price-Cost-Margin. Hasil penelitian yang meregresikan variabel CR, efisiensi-X dan produktivitas terhadap PCM terdapat hubungan positif antara pangsa pasar dengan keuntungan perusahaanperusahaan di dalam pasar. Dengan terbuktinya pangsa pasar yang mempengaruhi keuntungan, menunjukkan adanya suatu kekuatan pasar yang memungkinkan terjadinya perilaku kolusif di antara pelaku. 2.5. Kebijakan Yang Terkait Dengan Industri Mi Instan Struktur pasar yang semakin terkonsentrasi mempunyai perilaku yang eksploitatif, seperti pengaturan harga, adanya hambatan masuk pasar yang menyebabkan industri semakin tidak atau kurang efisien, sehingga tingkat
kesejahteraan masyarakat menurun. Oleh karena itu tujuan utama dilakukan kebijakan oleh pemerintah adalah untuk membantu kelemahan-kelemahan yang dialami mekanisme pasar. Kebijakan Pemerintah Sejak tahun 1983 pemerintah mengeluarkan paket-paket deregulasi yang dapat mencerahkan iklim investasi dan perdagangan, baik di dalam maupun di luar negeri. Kebijakan ini sebagian besar ditujukan untuk membangun industri dan mengembangkan iklim investasi yang baik. Dengan demikian diharapkan pada masa-masa yang akan datang sektor industri dapat menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Peraturan yang menunjang pembangunan sektor industri juga mulai diperbaiki seperti peraturan tentang mutu, periklanan dan label serta pengawasan kualitas dan keamanan bahan baku serta produk itu sendiri. 1. Kebijakan dalam Investasi Keputusan Presiden No.31 Tahun 1995 yang termuat dalam paket deregulasi bulan Mei 1995 (Pakmei 1995) tentang daftar bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal (daftar negative list). Dalam paket tersebut industri mi instan tidak termasuk dalam daftar negatif investasi tersebut. Hal ini berarti industri mi instan masih terbuka untuk investor baru domestik PMDN, PMA, maupun non PMA atau PMDN.
2. Kebijakan dalam Bidang Ekspor Ditemukannya
produk-produk
dari
Eropa
terutama
Belgia
yang
terkontaminasi bahan kimia polychlorinated byphenyls (PCBs) dan carcenogin dioxin yang bisa menyebabkan kanker. Adanya kejadian ini maka Indonesia segera memberlakukan larangan impor. Importir dari Singapura hanya diizinkan menjual produk manufaktur asal Eropa yang diimpor sebelum 20 Januari 1999. Dalam UU No.7 Tahun 1996 tentang pangan pasal 36 (ayat 1) disebutkan bahwa setiap pangan yang dimasukkan ke wilayah Indonesia untuk diedarkan wajib memenuhi ketentuan dalam UU dan peraturan pelaksananya. Ayat (2) setiap orang dilarang memasukkan pangan di dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia apabila pangan tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam UU dan PP. Pasal 37 berbunyi : (a) dengan telah diuji dan atau diperiksa serta dinyatakan lulus dari segi keamanan, mutu, dan atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal, (b) pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan atau pemeriksaan, (c) pangan terlebih dulu diuji dan atau diperiksa di Indonesia dari segi keamanan, mutu, dan atau gizi sebelum peredarannya. 3. Kebijakan dalam Bidang Impor Berdasarkan Pakmei 1995, produk mi instan tidak termasuk barang yang terkena tataniaga impor. Hal ini diperkuat dengan paket Januari 1996 dan paket November 1997. Dengan demikian impornya boleh dilakukan oleh para importir
umum (IU) dan tidak harus oleh importir terdaftar (IT). Berikut jadwal penurunan tarif bea masuk dari tahun 1995 sampai tahun 2003. Tabel 2.4. Jadwal Penurunan Tarif Bea Masuk dari Tahun 1995 Sampai Tahun 2003 Sebelum Pakmei 1995 5% 10% 15% 20% 25%
Pakmei 1995
1996
1997
1998
1999
2000
T 5% 10% 15% 20%
t t t t 15%
T T 5% 10% T
t t t t 10%
t t t 5% t
≤ 5% ≤ 5% ≤ 5% ≤ 5%
30%
25%
20%
t
15%
35%
30%
25%
t
40%
30%
25%
t
2001
2002
2003
T
t
T
≤ 10%
t
10%
t
T
≤ 10%
20%
t
15%
t
10%
≤ 10%
20%
t
15%
t
10%
≤ 10%
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004 Keterangan : t : yaitu tetap ≤ : yaitu setinggi-tingginya
Tarif bea masuk mi instan mengalami penurunan secara bertahap. Hingga 1994 (Pakjun 1994) tarif bea masuk mi instan berkisar antara 5 sampai 20 persen sedangkan bea masuk tambahan telah ditiadakan sejak 1991 dan dengan paket deregulasi Mei 1995 terjadi penurunan bea masuk. Bea masuk mi instan di turunkan menjadi 5 persen yang berlanjut sampai sekarang. 4. Kebijakan dalam Bidang Pengawasan Bahan Baku dan Produksi Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 386/Menkes/SK/IV/1994 disebutkan bahwa untuk memproduksi makanan termasuk mi instan harus mendapat izin dari Menteri Kesehatan dan sebelum diedarkan harus didaftarkan lebih dahulu untuk mendapatkan persetujuan dari Depkes RI. Persetujuan yang dimaksud dalam peraturan tersebut adalah produknya memenuhi standar mutu
atau persyaratan yang ditetapkan oleh menteri di negara asalnya (bagi produk impor) tidak dilarang peredarannya, tidak berbahaya atau mengganggu kesehatan manusia, bebas dari hama atau penyakit yang dapat menular pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ketentuan
dalam
peraturan
Menteri
Kesehatan
No.79/Men
Kes/Per/III/1978 tentang wadah, pembungkus, penandaan, etiket, label serta periklanan. Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, isinya bahwa pengusaha yang dengan sengaja memperdagangkan produk yang tidak layak dikonsumsi atau berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Peraturan Menteri Kesehatan No.239/ MenKes/Per/V/1985 tentang zat warna yaitu bahan yang digunakan untuk memberi warna atau memperbaiki warna bahan atau barang. 2.6. Kerangka Pemikiran Posisi Indofood sebagai produsen mi instan terbesar di Indonesia hingga saat ini belum ada yang menandingi. Perusahaan ini sudah terlanjur besar dan menguasai pasar dalam periode waktu yang cukup lama, sehingga sulit bagi perusahaan lain untuk menyamainya. Posisi pesaingnya masih jauh dibawah produk-produk kelompok Indofood. Setelah terjadi perubahan politik dan juga mulainya dibuka kran impor tepung terigu, para pesaing Indofood ini tampaknya mulai bergerak. Mereka cukup agresif dalam mengambil bagian pasar Indofood, dan kondisi ini memang telah mulai menggerogoti posisi pasar Indofood. Tetapi kelihatannya masih perlu
waktu lama untuk bisa mengambil bagian lebih dari 50 persen bagian Indofood dari yang sekarang sekitar 85 persen. Kondisi yang demikian telah menyebabkan persaingan pasar yang ketat, para konsumen juga semakin bebas memilih produk dengan harga yang relatif rendah dan bervariatif. Persaingan yang ketat dapat dilihat dari kondisi struktur pasarnya yang kemudian dari struktur akan mempengaruhi perilaku dan kinerja perusahaan. Ketiga kondisi tersebut pada akhirnya akan berujung pada implikasi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah maupun badan-badan pengawas yang terkait. Dimana implikasi kebijakan tersebut akan berpengaruh pada perilaku perusahaan. Industri mi instan
Struktur
Perilaku
Kinerja
Implikasi Kebijakan
Gambar 2.4. Skema Alur Pemikiran Konseptual Pada Gambar 2.4. memperlihatkan kerangka pemikiran konseptual yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Permasalahan utama yaitu bagaimana persaingan dalam industri mi instan yang dilihat dari struktur-perilaku-kinerja dan pengaruh implikasi kebijakan yang akan dianalisis dengan menggunakan persamaan PCM dengan variabel-variabel eksogen yang membangun persamaan tersebut.
2.7. Hipotesis Berdasarkan keberadaan industri mi instan saat ini, dan teori-teori yang mendasari penelitian ini, maka hipotesis yang diajukan adalah : (1) konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) memiliki hubungan yang positif terhadap tingkat laba (PCM). Semakin tinggi konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang akan diperoleh perusahaan. Sedangkan tingkat konsentrasi memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat persaingan dimana ketika tingkat konsentarsi meningkat maka akan menurunkan tingkat persaingan dan sebaliknya; (2) efisiensi-X memiliki hubungan yang positif terhadap PCM. Efisiensi-X berarti biaya pada tingkat yang minimum yang memungkinkan. Semakin efisien suatu perusahaan maka memungkinkan suatu perusahaan untuk memproduksi sebuah produk dengan sumber daya yang lebih sedikit atau sama karena efisiensi merupakan pengurangan biaya sehingga biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam jangka panjang akan lebih murah. Dengan adanya efisiensi maka tingkat keuntungan perusahaan akan meningkat; (3) produktivitas memiliki hubungan yang positif dengan PCM. Produktivitas merupakan perbandingan antara nilai output dengan nilai input tenaga kerja. Semakin tinggi nilai output akan meningkatkan nilai produktivitas suatu perusahaan. Produktivitas yang meningkat menunjukkan kinerja yang meningkat pula. Kinerja yang meningkat akan menambah penghasilan dan keuntungan bagi perusahaan;
(4) intensitas ekspor memiliki hubungan yang positif dengan PCM. Kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspor yang tinggi dan yang dapat mencegah tindakan mengimpor kembali barang yang telah diekspor akan meningkatkan intensitas ekspor sehingga akan meningkatkan tingkat keuntungan perusahaan; (5) intensitas impor memiliki hubungan yang negatif dengan PCM. Adanya persaingan barang impor dapat mengurangi kekuatan pasar yang ada dalam industri dalam negeri. Keberadaan barang impor dapat mendorong produsen dalam negeri untuk menurunkan harga (sejauh masih di atas biaya produksi) agar tidak kehilangan pangsanya dalam pasar domestik. Semakin tingginya intensitas impor berarti penerimaan yang didapat suatu perusahaan akan semakin menurun hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yang akan diterima perusahaan juga akan semakin menurun; rata-rata tingkat pertumbuhan nilai produksi yang mewakili kondisi permintaan pasar (GRS) memiliki hubungan positif dengan PCM.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Dalam pelaksanaan penelitian diperlukan data-data yang akurat untuk membahas dan menganalisis hasil penelitian. Data untuk penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diambil dari data-data yang sudah diolah pada instansiinstansi terkait yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), PT Corinthian Infopharma Corpora, Departemen Perindustrian, dan Lembaga Sumber Daya Informasi (LSI). Pengumpulan data juga dilakukan dengan mengambil data-data dari data skripsi, buku dan berbagai sumber yang menunjang penelitian ini. Data yang digunakan untuk analisis Structure Conduct Performance (SCP) secara deskriptif adalah data dari tahun 1999 sampai 2003, yaitu ketika persaingan dan produsen mi instan semakin berkembang. Sedangkan data statistik yang diestimasi merupakan data time series dengan jumlah observasi 18 yaitu tahun 1986 sampai 2003 dan diolah menggunakan software E-Views 4.1. data yang diperoleh masih dalam bentuk nominal yang harus diubah kedalam bentuk riil dengan membagi data nominal dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). IHPB adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya perubahan harga pada tingkat harga perdagangan besar atau harga grosir dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan disuatu negara atau daerah. Komoditi tersebut merupakan produksi-produksi dalam negeri yang dipasarkan di dalam negeri ataupun diekspor dan komoditi yang diimpor. IHPB yang digunakan pada penelitian ini adalah IHPB dengan tahun dasar 1993 (1993=100) yang diperoleh dari BPS.
3.2. Metode Analisis Analisis data yang telah didapatkan dilakukan dengan baik secara deskriptif dengan memberikan gambaran dari hasil penelitian maupun secara kuantitatif dengan melihat pengaruh variabel-variabel yang saling berhubungan. Model penelitian yang digunakan untuk melihat bagaimana perkembangan industri mi instan di Indonesia adalah dengan menggunakan pendekatan SCP (Structure-Conduct-Performance) dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Penggunaan metode OLS dikarenakan OLS merupakan metode yang paling populer dan sangat berpengaruh dalam analisis garis regresi serta memiliki ketepatan estimasi. Estimator-estimator yang diperoleh dengan menggunakan metode least square dikenal dengan estimator-estimator least square. Estimatorestimator least square tersebut memilki sifat-sifat sebagai berikut: 1.
Estimator-estimator OLS hanya mengeskpresikan nilai-nilai yang dapat diamati (yaitu, Y dan X) sehinga mudah dihitung,
2.
Estimator-estimator itu merupakan estimator-estimator titik. Untuk sampel tertentu, tiap estimator hanya memberikan satu nilai tunggal pada parameter populasi yang relevan. Berbeda dengan estimator-estimator dalam interval yang memberikan kemungkinan-kemungkinan berbagai nilai-nilai pada parameter-parameter populasi yang tidak diketahui,
3.
Sekali estimator-estimator dengan OLS diperileh dari daata sampel, garis regresi sampel dapat ditentukan dengan mudah. Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis penelitian yaitu sebagai
berikut.
3.2.1. Analisis Struktur Pasar (Market Structure) Elemen utama dalam struktur pasar adalah : a. Pangsa Pasar Setiap perusahaan mempunyai pangsa pasar yang berbeda-beda yaitu berkisar antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Pangsa pasar menggambarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dari hasil penjualannya.
msi =
si x 100 stot
(3.1)
Dimana : msi
= Pangsa pasar perusahaan i (%)
si
= Penjualan perusahaan i
stot
= Penjualan total seluruh perusahaan
b. Konsentrasi Industri Tingkat konsentrasi dapat dihitung dengan dua cara yaitu Concentration Ratio (CR) dan Indeks Hirschman–Herfindahl (HHI). Dimana CR menggambarkan struktur pasar sedangkan penggunaan HHI untuk mengetahui industri mi instan berada pada struktur pasar yang bagaimana berdasarkan interval indeksnya. •
Rasio Konsentrasi (CR) Rasio konsentrasi merupakan persentase dari total output industri atau
pendapatan penjualan. Rasio konsentrasi sejumlah perusahaan besar mengukur pangsa relatif dari total output industri yang dipertanggungjawabkan oleh perusahaan-perusahaan itu m
CR m = ∑ MS i i =1
(3.2)
Semakin besar angka persentasenya (mendekati 100 persen) berarti semakin besar konsentrasi industri dari produk tersebut. Jika rasio konsentrasi suatu industri mencapai 100 persen berarti bentuk pasarnya adalah monopoli. •
Indeks Hirschman – Herfindahl (HHI) Pengukuran ini didasarkan pada jumlah total dan distribusi ukuran dari
perusahaan-perusahaan dalam industri. Dihitung dengan penjumlahan kuadrat pangsa pasar semua perusahaan dalam suatu industri. n
HHI = ∑ MS i2
(3.3)
i =1
Dimana pada persamaan (3.2) dan (3.3): CRm = Rasio konsentrasi sebanyak m perusahaan (%) HHI = Indeks Hirschman – Herfindahl MSi = Pangsa pasar perusahaan ke-i (%) m
= Jumlah perusahaan terbesar
n
= Jumlah total seluruh perusahaan yang berada pada industri
HHI akan mempunyai nilai 1 jika suatu perusahaan menguasai penjualan industri 100 persen. HHI mempunyai nilai 1/n jika masing-masing perusahaan dalam industri mempunyai jumlah penjualan yang sama. c. Hambatan Masuk Pasar Hambatan masuk pasar dapat disebabkan oleh adanya persaingan bisnis mi instan yang semakin ketat. Masih adanya perusahaan mi instan yang berperan secara dominan menyebabkan peluang pasar perusahaan yang lain semakin kecil karena dikuasainya sebagian besar pangsa pasar mi instan serta adanya perang
harga antara para produsen menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat. Adanya respon terhadap otonomi daerah menyebabkan para pelaku industri memunculkan produk-produk mi instan dengan dengan cita rasa daerah sehingga setiap daerah telah memiliki cita rasa yang berbeda-beda dan itu juga merupakan sebagai penghambat bagi pelaku industri mi instan yang lain untuk menjual produknya ke daerah-daerah. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat hambatan masuk adalah dengan mengukur skala ekonomis yang didekati melalui output perusahaan yang menguasai pasar lebih dari 50 persen. Nilai output tersebut kemudian dibagi dengan output total industri. Data ini disebut sebagai Minimum Efficiency Scale (MES). MES =
Output perusahaan terbesar Output total
(3.4)
3.2.2. Perilaku Pasar (Market Conduct) Elemen-elemen dalam perilaku pasar adalah: a. Strategi Harga dan Produk Strategi penetapan harga suatu industri tergantung dari beberapa faktor produksi, terutama bahan baku. Semakin banyak masyarakat yang mengkonsumsi mi instan berarti semakin banyak pula impor gandum atau tepung terigu yang didatangkan dari luar negeri serta bahan-bahan pendukung dalam pembuatan mi instan. Strategi harga bagi industri mi instan dapat dilakukan dengan membuat harga yang bersaing dan terjangkau mulai dari kalangan bawah sampai atas. Sedangkan strategi produk dapat dilakukan dengan membuat produk-produk yang High-End artinya adanya spesifikasi produk untuk konsumen menengah ke atas
dan ke bawah serta menciptakan produk yang berkaitan dengan peristiwaperistiwa khusus dan bersifat occasional (temporer). Dalam hal ini yang akan dilihat apakah terdapat strategi khusus dalam menentukan produk yang akan dijual, seperti adanya diversifikasi produk ataupun kesepakatan jumlah penawaran produk. b. Strategi promosi Strategi promosi dilakukan melalui advertensi (periklanan). Iklan dilakukan oleh perusahaan untuk menarik konsumen memakai produknya dan untuk mendapatkan brand image di masyarakat. Strategi promosi dapat berupa antara lain promosi berhadiah langsung yaitu berupa pemberian diskon atau hadiah. c.
Tindakan Vertikal Tindakan vertikal yang dimaksud adalah penguasaan serangkaian proses
produksi barang tertentu mulai hulu sampai hilir (integrasi vertikal). Penguasaan bahan baku serta pangsa pasar dengan mengeluarkan berbagai jenis merek untuk menghambat pesaing lain untuk masuk pasar. Dengan demikian merek-merek yang sering dijumpai adalah hanya merek-merek yang sama. 3.2.3. Kinerja Pasar (Market Performance) Analisis kinerja dilakukan dengan menggunakan analisis Price-CostMargin (PCM), efisiensi-X dan utilisasi kapasitas produksi. PCM dinyatakan sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga di atas biaya produksi. PCM juga didefinisikan sebagai persentase keuntungan dari kelebihan penerimaan atas biaya langsung.
PCM =
P − AVC Nilai tambah − Upah Total = P Barang yang dihasilkan
(3.5)
Pengukuran efisiensi dapat dilakukan dengan menghitung rasio nilai tambah dengan nilai input ataupun dengan cara mengukur atau melihat tingkat utilisasi kapasitas produksi perusahaan-perusahaan di industri tersebut.
X − eff =
Nilai tambah industri Nilai input industri
(3.6)
Utilisasi kapasistas produksi Kapasitas produksi
(3.7)
Utilisasi =
3.2.4. Hubungan Struktur dan Kinerja Struktur suatu pasar dapat menjelaskan bagaimana kinerja pasar dimana setiap industri memiliki struktur dan kinerja yang berbeda-beda. Struktur pasar yang optimal dapat memberikan atau menciptakan suatu kombinasi yang baik bagi suatu kinerja. Sedangkan struktur yang alami (natural structure) adalah struktur yang hanya terdapat dalam pasar yang nyata, struktur alami cenderung ke arah oligopoli yang ketat. Untuk melihat hubungan struktur dan kinerja dalam penelitian ini menggunakan model regresi berganda (Ordinary Least Square). Variabel endogen adalah proksi dari keuntungan industri yaitu PCM (persen). Variabel eksogen yang digunakan adalah rasio konsentrasi (persen), nilai efisiensi-X (persen), produktivitas (persen), jumlah ekspor (ton), jumlah impor (ton) dan pertumbuhan (persen). Penggunaan variabel PCM sebagai proksi keuntungan telah
dilakukan
oleh Collins dan Preston (1968,1969), lalu kemudian digunakan pula oleh
Shepherd (1972) dan kini PCM semakin banyak digunakan dalam penelitianpenelitian ilmiah. Rasio konsentrasi juga telah banyak digunakan sebagai variabel struktur yang akan mempengaruhi profitabilitas, antara lain digunakan oleh Shepherd (1992) dan Katrak dalam Alistair (2004) sebagai variabel bebas utama yang menentukan keuntungan pasar. Di Indonesia penelitian menggunakan rasio konsentrasi sebagai variabel struktur juga digunakan Robert (1995) yang dijelaskan pada persamaan (3.11). PCM = α 0 - α 1Kt + α 2CRmt - α 3St + α 4AIt + α 5RGt
(3.8)
Profit Rate = α 0 + α 1CRmt + α 3St + α 4AIt + α 5Gt
(3.9)
Penggunaan variabel efisiensi-X didasarkan pada pendapat Shepherd (1979) yang mengatakan bahwa kinerja merupakan fungsi dari pangsa pasar, konsentrasi, hambatan masuk, efisiensi internal, dan kondisi eksternal. Efisiensi-X dan produktivitas juga digunakan oleh Robert (1995) dan Alistair (2004) dalam model PCM (persamaan (3.11)). Variabel ekspor dan impor digunakan oleh Chou (1986) sebagai faktor yang juga menentukan profitabilitas (persamaan (3.10)) dengan variabel bebasnya menggunakan indeks Hirschman-Herfindahl (Hd), rata-rata tingkat pertumbuhan nilai produksi industri yang mewakili kondisi permintaan pasar (GRS), pangsa pasar domestik perusahaan untuk mencapai skala efisiensi minimum (MESMS), intensitas impor (Tm), intensitas ekspor (Tx), variabel dummy yang mewakili perusahaan negara (PE), dan rasio jumlah perusahaan asing terhadap total jumlah perusahaan yang ada (FDI). Model yang digunakan Chou dalam penelitiannya adalah:
PCM = α 0 + α 1HD + α 2MESMS + α 3GRS + α 4PE - α 5Tm - α 6Tx - α 7FDI PCM = α 0 + α 1CRmt + α 2X-efft + α 3Prodt + α 4Txt + α 5Tmt
(3.10) (3.11)
Dimana pada persamaan (3.8) sampai (3.11): Kt
= Intensitas modal,
CRt
= Rasio konsentrasi,
St
= ukuran perusahaan,
AIt
= Intensitas iklan,
RGt
= Pertumbuhan pendapatan,
Gt
= Pertumbuhan,
GRS
= Pertumbuhan,
HD
= Indeks Hirschman-Herfindahl,
MESMS
= Skala efisiensi minimum,
PE
= Perusahaan negara,
FDI
= Rasio jumlah perusahaan asing terhadap total jumlah perusahaan,
Tmt
= Intensitas impor,
Txt
= Intensitas ekspor,
X-efft
= Efisiensi-X,
Prodt
= Produktivitas. Dalam penelitian mengenai Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan di
Indonesia, variabel HD diganti dengan variabel CR4. Variabel MESMS dan FDI tidak digunakan dalam model karena keterbatasan data. Variabel dummy PE tidak dimasukkan ke dalam penelitian karena didalam industri mi instan di Indonesia
tidak ada perusahan negara. Berdasarkan model-model hubungan struktur dan profitabilitas yang telah dijelaskan pada persamaan (3.8) sampai (3.11), maka pada penelitian ini model yang digunakan adalah pada persamaan (3.12). PCMt = α 0 + α 1CR4t + α 2X-efft + α 3Prodt + α 4Prodt-1 + α 5GRSt + α 6 LXt -
α 7LMt+Ut
(3.12)
Dimana : PCMt
=
Nilai tambah − Upah , Barang yang dihasilkan
rasio
keuntungan
industri
yang
mencerminkan kelebihan atas biaya langsung pada tahun ke-t (%), PCMt-1
= Rasio keuntungan industri yang mencerminkan kelebihan atas biaya langsung pada periode sebelumnya (%),
CRmt
= Konsentrasi pasar dari m perusahaan dalam suatu industri pada tahun ke-t (%),
X-efft
=
Nilai tambah industri , rasio efisiensi yang dinyatakan sebagai Nilai input industri
perbandingan antara nilai tambah dan nilai input industri pada tahun ke-t untuk mengukur efisiensi internal industri (%), Prodt
=
Nilai output , produktivitas yang dinyatakan sebagai Nilai input tenaga ker ja
perbandingan nilai output dan nilai tenaga kerja pada tahun ke-t, GRSt
= Rata-rata tingkat pertumbuhan nilai produksi industri yang mewakili kondisi permintaan pasar pada tahun ke-t (%),
LMt
= Logaritma nilai komoditi yang diimpor (ton),
LXt
= Logaritma nilai komoditi yang diekspor (ton),
α0
= Intercept,
α 1, α 2, α 3, α 4, α 5, α 6 ut
= Koefisien kemiringan parsial,
= Unsur gangguan.
3.3.Analisis Time Series (Runtun Waktu) Uji stasioneritas dimaksudkan untuk mengetahui sifat dan kecenderungan data yang dianalisis, apakah mempunyai pola yang stabil, stasioner atau tidak Apabila ditemukan data yang tidak memiliki sifat-sifat di atas, maka berbagai indikator yang menyertai hasil analisis empiris atau hasil analisis model regresi tidak menunjukkan sifat-sifat yang valid. Pengujian akar unit (unit root) dilakukan untuk mengetahui kestasioneran data, apakah data itu stasioner atau tidak stasioner. Untuk mengetahui ada tidaknya unit root yaitu dengan menggunakan uji ADF (Augmented DickeyFuller) pada program E-Views 4.1. data dikatakan stasioner jika nilai ADF test statistik lebih kecil dari nilai Tabel Mackinnon. Hipotesis yang digunakan adalah : H0 : data tidak stasioner (mengandung unit root). H1 : data stasioner (tidak mengandung unit root). Penolakan hipotesis nol menunjukkan data yang dianalisis adalah stasioner. Variabel dikatakan tidak stasioner, jika terdapat hubungan antara variabel tersebut dengan waktu atau trend. Model yang mengandung variabel yang tidak stasioner sering menimbulkan masalah regresi lancung (spurious regression), yaitu dimana hasil estimasi yang diperoleh dari model secara stastistik signifikan tetapi pada kenyataannya secara ekonomi tidak memiliki arti
apapun, atau tidak sesuai dengan teori ekonomi yang ada. Setelah data diketahui tidak stasioner, langkah selanjutnya yaitu dengan uji derajat integrasi. Perbedaan antara data time series yang stasioner dan yang tidak yaitu, jika stasioner dampak shock atau guncangan yang terjadi pada data time series yang stasioner bersifat sementara. Sejalan dengan waktu, dampak dari shock tersebut akan berkurang dan data time series akan kembali ke long run mean yang berfluktuasi di sekitar mean (rata-rata) tersebut. Perilaku dari data time series yang stasioner adalah sebagai berikut : 1). Mean dari data menunjukkan perilaku yang konstan. 2). Data stasioner menunjukkan varians (ragam) yang konstan. 3). Correlogram (diagram korelasi) yang menyempit seiring dengan penambahan waktu. Data yang tidak stasioner adalah data yang cenderung mengalami perubahan yang mendasar seiring dengan berjalannya waktu (time dependent). Perilaku data yang tidak stasioner yaitu sebagai berikut : 1). Data time series yang tidak stasioner tidak memiliki long run mean. 2). Memiliki ketergantungan terhadap waktu, dan varians akan memperbesar tanpa batas seiring dengan perubahan waktu. 3). Correlogram dari data tersebut cenderung melebar. 3.4. Ordinary Least Square (OLS) Ekonometrika adalah integrasi dari teori ekonomi, matematika dan statistik, untuk menduga nilai parameter dari hubungan-hubungan ekonomi dan menguji teori ekonomi (Koutsoyiannis,1978). Sedangkan menurut Roefiq, (2002)
analisis regresi adalah suatu metode yang berguna untuk menentukan pola hubungan satu variabel yang disebut sebagai variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen. Tujuan analisis regresi adalah untuk memperkirakan nilai rata-rata dari variabel dependen apabila nilai variabel yang menerangkan sudah diketahui. Dari persamaan regresi yang telah diperoleh, terlebih dahulu harus diuji apakah memenuhi kriteria yang ditetapkan, dalam arti tidak terjadi penyimpangan yang cukup serius dari asumsi-asumsi yang diperlukan dalam model regresi. Beberapa asumsi yang harus diuji terlebih dahulu dalam model regresi
adalah:
Kenormalan,
Multikolinearitas,
Heteroskedastisitas
dan
Autokorelasi. Jika asumsi yang ada dalam penerapan model regresi dapat terpenuhi, maka dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) akan dapat dihasilkan koefisien regresi yang memenuhi sifat-sifat Best Linear Unbiased Estimator (BLUE), yaitu koefisien regresi yang linear, tidak bias, konsisten (walaupun sampel diperbesar menuju tak terhingga, taksiran yang didapat akan tetap mendekati nilai parameternya), serta efisien (memiliki varians yang minimum). Dalam menggambarkan hubungan yang terjadi antar variabel yang kita duga dapat diwujudkan dengan membuat model. Model sendiri adalah representasi dari keadaan nyata. Suatu model dikatakan baik jika memenuhi kriteria yang ditetapkan, dalam arti tidak terjadi penyimpangan yang cukup serius dari asumsi-asumsi yang diperlakukan dalam model regresi. Kriteria-kriteria yang dikatakan baik sebagai berikut :
1). Kriteria Ekonomi Kriteria ini ditentukan oleh dasar-dasar ekonometrika dan berhubungan dengan tanda dan besar parameter dari hubungan ekonomi. Model yang diperoleh akan dievaluasi berdasarkan teori-teori ekonomi yang ada (Koutsoyiannis,1978). 2). Kriteria Statistik Kriteria ini menyangkut uji statistik untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel eksogen terhadap variabel endogen pada masing-masing persamaan maupun secara bersamaan, kemampuan variabel eksogen dalam menjelaskan variasi atau keragaman variabel endogen. 3). Kriteria Ekonometrika Kriteria Ekonometrika didasari oleh asumsi-asumsi dari OLS sebagai berikut (Gujarati,1978) : a). Nilai rata-rata kesalahan pengganggu sama dengan nol, yaitu E (ei) = 0 untuk I = 1,2,3,…n. b). Varian (ej) = E(Ej) = σ2 sama untuk kesalahan pengganggu (asumsi homoskedastisitas). c). Tidak ada autokorelasi antara kesalahan pengganggu yang berarti kovarian (ei,ej) = 0; i ≠ j. d). Variabel eksogen X1, X2, X3, …, Xn konstan dalam sampling yang terulang dan bebas terhadap kesalahan pengganggu, E(Xi,ei) = 0. e). Tidak ada kolinier ganda diantara variabel eksogen X.
f. ei ≈ N(0,σ2), artinya kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal dengan rata-rata nol dan varian σ2. Dengan dipenuhinya asumsi diatas, maka koefisien atau parameter yang diperoleh merupakan penduga linier terbaik yang tidak bias atau Blue Linier Unbiased Estimator (BLUE). 3.5. Uji Statistika dan Ekonometrika Uji statistik dan ekonometrika dilakukan untuk melihat hasil regresi yang didapatkan setelah melakukan pengujian-pengujian, apakah hasil regresi tersebut telah memenuhi asumsi-asumsi dalam uji statistik dan ekonometrika sehingga didapatkan model yang dikatakan baik. Pertama, kriteria statistik yaitu menyangkut uji terhadap koefisien dari variabel penduga atau variabel bebas melalui uji t. Koefisien penduga perlu berbeda dari nol secara signifikan atau P-value sangat kecil. Uji kedua adalah Uji F atau uji model secara keseluruhan. Uji F ini dilakukan untuk melihat apakah semua koefisien regresi berbeda dengan nol atau model diterima. Pengujian ketiga yaitu melihat koefisien determinasi R2 atau R2 adjusted. Koefisien determinasi ini menunjukkan kemampuan garis regresi menerangkan variasi variabel terikat (proporsi (persen) variasi variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas). Nilai R2 atau R2 adjusted berkisar antara 0 sampai dengan 1, semakin mendekati satu semakin baik. Kedua, kriteria ekonometrika yaitu menyangkut pelanggaran asumsi Ordinary Least Square (OLS) yaitu meliputi multikolinearitas, heteroskedastisitas
dan autokorelasi. Jika asumsi tersebut telah dipenuhi maka akan memperoleh nilai parameter yang BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Ketiga, kriteria ekonomi yaitu uji tanda dan besaran untuk melihat kecocokan tanda variabel dan nilai koefisien penduga dengan teori atau nalar. a. Uji t Pengujian ditujukan untuk mengetahui tingkat signifikansi variabel bebas. H0 : b1 = 0 atau bi = 0 H1 : b1 ≠ 0 atau bi ≠ 0 Kriteria uji : Probability t-statistic 〈 α , maka tolak H0 Probability t-statistic 〉 α , maka terima H0 Jika H0 ditolak, maka variabel bebas berpengaruh nyata pada taraf α terhadap variabel tak bebasnya. Sebaliknya, jika H0 diterima berarti variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. b. Uji F Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Hipotesis : H0 : b1 = 0 atau bi = 0 H1 : minimal ada salah satu b1 ≠ 0 atau bi ≠ 0 Kriteria uji : Probability F-statistic 〈 taraf nyata ( α ), maka tolak H0 Probability F-statistic 〉 taraf nyata ( α ), maka terima H0
Jika H0 ditolak, berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dan model layak digunakan. Sebaliknya jika H0 diterima, maka tidak ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata. c. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas muncul apabila diantara masing-masing variabel independen saling berhubungan secara linear artinya adanya korelasi yang kuat pada sesama variabel bebas (eksogen). Uji Multikolinearitas dilakukan dengan melihat koefisien korelasi antar variabel eksogen yang terdapat pada matriks korelasi. Suatu model tidak mengandung gejala multikoliniearitas apabila nilai mutlak koefisien korelasi antar variabel eksogen lebih besar dari |0.8|. Multikolinearitas muncul apabila di antara masing-masing variabel independen saling berhubungan secara linear. Jika hubungan itu sangat erat yaitu (r= 1), berarti terjadi multikolinearitas sempurna, yang berakibat tidak dapat ditentukannya koefisien dari variabel independen dan standar deviasi dari koefisien tersebut menjadi sangat besar. Jika dari hasil pengujian statistikanya didapatkan R2 besar, F-test besar, dan t-test juga besar, berarti tidak terjadi multikolinearitas. Kalaupun terjadi, maka derajat multikolinearitasnya rendah. d. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas merupakan suatu kondisi dimana nilai varian dari variabel eksogen tidak memiliki nilai yang sama. Untuk mengetahui ada tidaknya masalah heteroskedastisitas yaitu dengan melihat nilai Obs* R-square, jika nilai Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka persamaan tidak
memiliki
masalah
heteroskedastisitas.
Namun
dengan
adanya
Heteroskedastisitas, taksiran parameter berdasarkan Ordinary Least Square (OLS) akan tetap unbiased dan konsisten tetapi tidak efisien, artinya memiliki varians yang lebih besar dari varian yang minimum. Gejala adanya Heteroskedastisitas dapat
ditunjukkan
oleh
probability
Obs*R-square
pada
uji
White
Heteroskedasticity. H0 : γ = 0 H1 : γ = 0 Kriteria uji : probability Obs*R-square 〈 α , maka tolak H0 probability Obs*R-square 〉 α , maka terima H0 Jika H0 ditolak, maka terdapat gejala heteroskedastisitas pada model. Sebaliknya jika H0 diterima, maka pada model tidak terdapat gejala heteroskedastisitas. e. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah hasil estimasi model tidak mengandung korelasi serial di antara disturbance term. Autokorelasi adalah tingkat hubungan linier antara pengamatan ke-t dengan pengamatan ke t + k, dimana k adalah selisih waktu (lag). Autokorelasi terjadi jika nilai error tidak bersifat bebas antara yang satu dengan yang lainnya. Artinya terjadi korelasi antar error, sehingga model yang baik menghasilkan error yang acak dan tidak berpola. Akibatnya varian (keragaman) yang diperoleh under estimate. Untuk mendeteksi autokorelasi, dapat digunakan uji Durbin-Watson atau dengan melihat nilai Obs* R-squared pada Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test, jika nilai Obs*R-
squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka persamaan tidak memiliki autokorelasi. Hipotesis : H0 : ρ = 0 H1 : ρ = 0 Kriteria uji : probability Obs*R-square 〈 α , maka tolak H0 probability Obs*R-square 〉 α , maka terima H0 Jika H0 ditolak maka terjadi autokorelasi (positif atau negatif) dalam model. Sebaliknya jika H0 diterima maka tidak ada autokorelasi dalam model.
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA
4.1. Sejarah Perkembangan 4.1.1. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Dunia Mi merupakan salah satu jenis makanan yang paling populer di Asia khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara. Mi pertama kali dibuat dan diproduksi di daratan Cina kira-kira 5000 tahun yang lalu dibawah kekuasaan dinasti Han. Dari Cina, mi berkembang dan menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan, Indocina dan Asia Tenggara, bahkan meluas ke seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat dan Dataran Eropa. Mi mulai diperkenalkan oleh Marcopolo ke Eropa setelah Marcopolo melanglang buana ke Cina. Di Eropa sendiri, khususnya Italia sekarang dikenal dengan nama spagheti. Semua jenis mi di negara tersebut bervariasi, ada yang tipis hingga melebar. Namun mi umumnya dihidangkan panjang-panjang. Dalam tradisi Cina ini sebagai simbol agar berumur panjang dan umumnya dihidangkan dalam perayaan besar seperti acara ulang tahun. Sebenarnya seni menggiling gandum dan pembuatan roti telah terlebih dahulu berkembang di Timur Tengah yaitu Mesopotamia, Mesir, dan Persia. Logikanya mi juga mula-mula dikembangkan dan diajarkan sebagai lembaran roti yang tidak mengembang, yang di negara Cina tampaknya mendapat perhatian sangat khusus dalam pengembangannya. Perkembangan permintaan mi instan di dunia dapat dilihat pada Lampiran 7.
4.1.2. Sejarah Perkembangan Mi Instan (Ramen Instan) di Jepang Nama ramen sendiri berasal dari sebuah merek mi instan pertama yang dikeluarkan di Jepang yaitu” Chicken Ramen”. Pada awalnya mi ramen muncul dalam kemasan mi yang sudah diberi bumbu sehingga konsumen hanya perlu menambahkan air panas, namun dalam perkembangannya pada awal tahun 1960an mi ramen kemudian dibuat dalam kemasan dengan mi dan bumbu yang belum tercampur sehingga konsumen bisa menambahkan bumbu sesuai selera mereka sendiri, bumbu bisa ditambah dengan sayuran kering dan bahan tambahan lain seperti daging atau bakso dan memberikan efek kuah yang lebih kental. Variasi mi ramen lebih beragam di akhir tahun 1960-an. Produsen mulai berlomba mengeluarkan produk yang berbeda satu sama lain dalam usaha memenuhi selera konsumen. Produsen lain mengeluarkan produk mi ramen dengan rasa dan bumbu rempah-rempah yang berbeda satu sama lain. Cara baru dalam variasi produk mi ramen adalah mi ramen yang dikeringkan dengan udara panas bukan dengan cara digoreng seperti mi ramen konvensional. Cara ini diyakini bisa membuat mi ramen lebih mendekati tekstur mi basah yang segar dan bumbu yang lebih terasa, namun kemudian diketahui jika bumbu yang kurang terasa bukan disebabkan oleh penggorengan mi ramen sehingga inovasi lain yang dilakukan oleh produsen adalah dengan mencampur bumbu dengan bahan cair seperti minyak zaitun maupun minyak tumbuhan lain. Awal tahun 1970, muncul mi ramen dalam kemasan gelas (cup). Mi ramen dalam kemasan cup memberikan kemudahan bagi konsumen sehingga bisa dinikmati kapan saja dan dimana saja. Kehadiran mesin penjualan otomatis
disertai dengan air panas membuat mi ramen bisa dikonsumsi di ruang terbuka seperti ketika sedang berolah raga atau ketika sedang piknik. Inovasi lain berupa mi ramen setengah porsi sehingga mi bisa dinikmati sebagai makanan ringan. Pada akhir tahun 1970-an kemasan mi ramen semakin inovatif dengan munculnya mi ramen kemasan persegi dan kemasan mangkok. Mi ramen konvensional yang dikemas dalam plastik juga semakin berkembang dengan munculnya mi ramen telur dan mi ramen dengan bumbu sup dalam kemasan terpisah. Pada masa ini juga muncul mi ramen dalam berbagai rasa lokal atau daerah. Pada tahun 1980-an, muncul mi ramen dengan cita rasa tinggi. Satu porsi mi ramen jenis ini harganya dua kali harga mi ramen biasa. Bahkan ada mi ramen yang dijual seharga hampir US$ 6. Meskipun harga mi ramen cita rasa tinggi ini dijual lebih mahal namun ternyata penjualannya 40 persen dari total penjualan mi ramen di seluruh Jepang. Mi ramen dengan porsi 1,5 kali ukuran mi ramen biasa muncul di akhir tahun 1980-an ketika remaja yang sering mengunjungi kafe menginginkan porsi mi ramen yang lebih besar. Tahun 1990-an mi ramen jenis lain muncul, mi segar dengan cita rasa yang mendekati mi tradisional. Sampai dengan tahun 1995 sebanyak 5,19 milyar porsi ramen telah terjual mi ramen sekarang dikonsumsi sebagai makanan yang biasa dikonsumsi oleh seluruh rakyat Jepang. 4.1.3. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Indonesia Mi instan diciptakan oleh Momufuku Ando pada 1958, yang kemudian mendirikan perusahaan Nissin dan memproduksi produk mi instan pertama di dunia Chikin Rame (ramen (sejenis mi jepang) rasa ayam). Peristiwa penting
lainnya terjadi pada 1971 dimana Nissin memperkenalkan mi gelas, produk mi instan dalam wadah (styrofoam) tahan air yang bisa digunakan untuk memasak mi tersebut. Inovasi berikutnya termasuk menambahkan sayuran kering ke gelas, melengkapi hidangan mi tersebut. 4.2. Gambaran Umum Industri Mi Instan Mulanya industri mi instan di Indonesia diawali dari industri mi basah dan mi kering sekitar dekade 1950-an hingga 1960-an. Baru pada April 1968, dengan berdirinya PT Lima Satu Sankyu yang menjadi cikal bakal industri mi instan di Indonesia. Perusahaan ini mulanya berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) dan merupakan gabungan antara pengusaha domestik yaitu antara Sjarif Adil Sagala, SH (65 persen), Eka Widjaja Moeis (25 persen) dengan Sankyu Shakushin Kabushiki Kaisha (15 persen) dari Jepang, negara dimana asal mulanya mi instan berasal. Pada 1997, perusahaan ini berganti nama menjadi PT Lima Satu Sankyu Indonesia dan kemudian berubah lagi menjadi PT Supermi Indonesia, sesuai dengan merek mi instan andalannya, yaitu Supermi. Bahkan Supermi sempat menjadi brand generik untuk mi instan (instan noodle) sampai akhir dekade 1980an. Kemudian pada 1970, pasar mi instan diramaikan lagi dengan berdirinya PT Sanmaru Food Manufacturing sebagai salah satu anak perusahaan baru dari Jangkar Jati Group yang memproduksi mi instan dengan merek Indomie. Disusul kemudian dengan berdirinya PT Sarimi Asli Jaya (Salim Group) pada 1982 dengan lokasi pabrik di Tangerang, Jawa Barat. Perusahaan ini memproduksi mi instan dengan merek Sarimi.
Selanjutnya industri ini semakin ramai dengan mulai beroperasinya PT Sampurna Pangan Indonesia (Sidoarjo) pada 1972 yang kini menjadi PT Heinz Suprama, PT Khong Guan Biscuit Factory Indonesia Ltd (Jakarta) pada 1976, PT Radiance Food Indonesia Corp. (Jakarta) dan Pandu Sari I (Purbalingga) pada 1977, PT Siantar Top Tbk (Sidoarjo) pada 1978, PT Asia Megah Food Manufacturing (Padang) pada 1980, PT Supmi Sakti (Tangerang), PT Jakaranatama Food Industri (Bogor), PT ABC President Enterprises Indonesia dan produsen-produsen lain. Sejak saat itu, pasar mi instan mulai ditandai dengan persaingan yang sangat ketat. Terutama setelah Indofood (Salim Group) bergabung dengan Jangkar Jati Group pada 1984, dengan membentuk PT Indofood Interna Corporation. Perusahaan inilah yang merupakan cikal bakal Indofood Group yang bernaung di bawah bendera PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Langkah selanjutnya terjadi pengkristalan lagi dalam industri mi instan ketika pada 1986 PT Indofood Interna Corporation melalui anak perusahaannya PT Lambang Insan Makmur mengambil alih PT Supermi Indonesia. Usaha penguasaan pasar mi instan oleh Indofood atau Salim Group tidak berhenti sampai disini saja. Pada 1992, Salim Group telah mengambil alih seluruh saham Jangkar Jati Group di PT Indofood Interna Corporation. Dan puncaknya adalah ketika Indofood mencabut produknya di jaringan distributor PT Wicaksana Overseas dan dialihkan ke PT Indomarco Adiprima. Sejak saat itu dominasi Indofood dengan mi instan merek Indomi, Supermi dan Sarimi semakin menguasai pasar mi instan di pasar domestik. PT Indofood Sukses Makmur, Tbk
menjadi produsen dengan kapasitas produksi terbesar yang mencapai 15 milyar bungkus per tahun atau sekitar 1,1 juta ton atau sekitar 64,5 persen dari total kapasitas produksi nasional. Produsen dengan kapasitas terbesar selanjutnya adalah PT Jakaranatama Food Industry dengan kapasitas produksi sebesar 91,9 ribu ton per tahun atau sekitar 5,4 persen, kemudian PT Siantar Top Tbk dengan kapasitas sebesar 82,9 ribu ton per tahun atau sekitar 4,8 persen, PT Sentrafood Indonusa Corporation dengan kapasitas sebesar 56 ribu ton atau sekitar 3,3 persen, PT ABC President Enterprises Indonesia dengan kapasitas sebesar 54,6 ribu ton atau sekitar 3,2 persen, PT Arta Milenia Pangan Makmur dengan kapasitas sebesar 47,5 ribu ton atau sekitar 2,8 persen dan perusahaan-perusahaan lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Kapasitas Produksi Produsen Mi Instan Aktif, 2004 PERUSAHAAN PT Indofood Sukses Makmur, Tbk PT Jakaranatama Food Industry, Tbk PT Siantar Top, Tbk PT Sentrafood Indonusa Corporation PT ABC President Enterprises Indonesia PT Arta Milenia Pangan Makmur PT Nissin Mas PT Olagafood Sukses Mandiri PT Sentraboga Inti Selera PT Suryapangan Indonusa PT I Tsun Food Indonesia PT Barokah Inkopontreu PT Serena Indopangan Industri Estimasi Perusahaan Lainnya Total Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004
Kapasitas Produksi (Ton) 1106072 91880 82900 56000 54583 47500 31000 30456 30000 23000 14400 14400 6000 125566 1713757
Ekivalen (Juta Bungkus) 15000 1108 1266 766 832 809 471 360 410 288 230 219 96 1881 23736
Share (Persen) 64.5 5.4 4.8 3.3 3.2 2.8 1.8 1.8 1.8 1.3 0.8 0.8 0.4 7.3 100
4.2.1. Modal Asing Dalam Industri Mi Instan Adanya orientasi ekspor ke pasar luar negeri telah mampu menciptakan lahan investasi yang lebih terbuka lebar untuk industri pengolahan mie, termasuk perluasan dan moderenisasi industri-industri yang sudah ada. Yang dimaksud dengan perluasan usaha adalah perusahaan yang telah terjun di industri mi insatn dan akan menambah kapasitas produksinya atau perusahaan yang merencanakan akan mempromosikan merek dan atau variasi rasa baru untuk produk minya. Sedangkan pengertian investasi baru adalah perusahaan yang akan masuk ke bisnis mi. Bisnis mi instan nampaknya menarik investor asing untuk berinvestasi. Dari 31 perusahaan yang aktif dalam industri mi instan, 5 perusahaan diantaranya adalah dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) lima perusahaan dengan modal asing tersebut merupakan produsen besar dalam industri mi instan dan juga produk makanan dan minuman di Indonesia. Investor yang masuk berasal dari Jepang, Taiwan, Hongkong, Australia dan Virgin Islands. Sebelumnya ada investor dari Swiss yaitu Nestle S.A dan Soprapha S.A melalui PT Supmi Sakti yang kemudian diambil alih oleh PT Nestle Indonesia dengan merek Maggi Mi. Kemudian dari Jepang ada Myojo Foods Co. Ltd. dan Mitsui Co. Ltd. dengan mitra lokal PT Prima Intipangan Sejati dan PT Mitsui Expor Indonesia melalui PT Myojo Prima Lestari dengan merek UMMAH dan dari Belanda ada Maatschappij Voor International Beleggingen (Mavibel) melalui PT Unilever Indonesia, Tbk dengan merek Mi&Mi, namun ketiga merek ini kini
tidak diproduksi lagi. Modal asing dalam bisnis mi instan di Indonesia dapat ditunjukkan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Modal Asing dalam Bisnis Mi Instan di Indonesia, 2004 Produsen PT ABC President Enterprises
PT Indofood Sukses Makmur, Tbk
Lokasi Pabrik
Modal Asing
Karawang
Cayman President Holding Kingstar Australia Pty. Ltd.
Hongkong
Nissin Food Product Co.Ltd. First Pasific Co.Ltd. Mr. Yang Chung Ching Mr. Lee Cheng Hsung Batavia Investment British Virgin Islands Ltd Nissin Food Product Nisshoiwo Corp.
Jepang
Jakarta
PT I Tsun Food Indonesia
Sidoarjo
PT Jakaranatama Food Industry
Ciawi
PT Nissin Mas
Cikarang Bekasi
Mitra Lokal
Negara
Australia
PT ABC Central Food Industry PT Anugerah Tama Binacitra PT Soemadev Corporation Salim Group Pemerintah RI Publik
Merek ABC, GURIMI, PRESIDENT
Indomi, Supermi, Sarimi, Sakura
Hongkong Taiwan
-
I TSUN, KA HONG
Virgin Islands
PT Pilarinti Pentamegah PT Eka Damudatama
Gaga, Gaga Star Mi, Gaga Mi Soun, Gaga 100
Jepang
PT Indofood Sukses Makmur, Tbk
Nissin, Top Ramen, Cup Noodles, TR Mi, Newdles, Jumbo-Jumbo
Jepang
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004
Banyaknya perusahaan dan industri yang tidak dapat bertahan dari bisnis mi instan secara tidak langsung merupakan seleksi bagi perusahaan-perusahaan itu sendiri. Industri yang mampu bersaing akan terus berkembang, sedangkan industri yang tidak mampu bersaing akan gulung tikar atau akan mengurangi produksi untuk sementara waktu. Selain itu produsen yang kurang mampu menekan biaya
produksi, biasanya akan tersingkir kecuali produk yang dihasilkan telah memiliki brand loyalti yang cukup tinggi. Seperti yang dialami PT Unilever Indonesia dengan merek Mi & Mi yang sebelumnya sempat mengancam posisi PT Indofood Sukses Mandiri Tbk, akhirnya tidak dapat bertahan. Meskipun demikian munculnya Mi & Mi sempat mengkhawatirkan PT Indofood Sukses Mandiri Tbk yang tidak mau kalah bersaing dengan mengeluarkan Chatz Mi yang sekarang juga ikut kandas. Apalagi perusahaan lainnya PT Heinz Suprama dengan mengeluarkan Kadabra yang tidak bisa bertahan juga. Pada tahun 2004 banyak perusahaan yang ingin meramaikan industri mi instan diantaranya dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Perusahaan Yang Sudah Mendapat Ijin Produksi Mi Instan 2004 No
Perusahaan
Status
Tahun Ijin
Kapasitas (Ton)
1
PT Darmex Oil & Fats
PMDN
2003
2
PT Fulso Food Industries
PMDN
1995
7200
3
PT Gema Guntur Perkasa
PNC
2003
20220
4
PT Goro Batara Sakti
PMDN
1996
30000
5
PT Hexapratama Food Industry
PMDN
1995
3750
6
PT Multirasa Prima
PMDN
1997
3000
7
PT Native Prima Canned Food Industry
PMDN
1997
5940
8
PT Nong Shim Sekar
PMA
1995
7000
9
PT Profita Aneka Sariboga
PMA
2003
1014
10
CV Ronald Agung
PMA
1995
13120
11
PT Sinar Terang Inti Tunggal
PMDN
1997
20000
12
PT Swada Andhika
PMDN
1996
20000
13
PT Swandayani Raya
PMDN
1996
20000
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004
4.2.2. Profil Beberapa Perusahaan Mi Instan Di Indonesia tercatat 31 perusahaan yang aktif bersaing dalam industri mi instan. Untuk mengetahui bagaimana kondisi pangsa pasar perusahaan dalam pasar maka profil perusahaan sangat dibutuhkan. Profil perusahaan dapat diindikasikan untuk mengetahui keberadaan persaingan antar produsen mi instan. Banyaknya perusahaan mi instan dan adanya keterbatasan data yang diperoleh dalam penelitian ini mengenai profil perusahaan sehingga hanya dituliskan beberapa profil perusahaan mi instan yang ada di Indonesia. 4.2.2.1. PT Indofood Sukses Makmur Tbk. PT Indofood Sukses Makmur secara resmi berdiri pada 14 Agustus 1990 dengan nama PT Panganjaya Intikusuma dengan modal awal Rp.150 milyar setelah mengambil alih saham PT Sarimi Asli Jaya (Sarimi) dan PT Supermi Indonesia (Supermi). Pada Juni 1992, sebesar 51 persen saham diambil alih oleh PT Indocement Tunggal Prakasa dan pada 5 Februari 1994 perusahaan berganti nama menjadi PT Indofood Sukses Makmur. Pada pertengahan Februari 1994, sebanyak 18 perusahaan dalam Indofood Group bergabung (merger) ke PT Indofood Sukses Makmur. Adapun ke 18 perusahaan yang bergabung tersebut terdiri dari 10 anak perusahaan milik Indofood Group, enam perusahaan yang berdiri sendiri dan dua perusahaan lainnya yang merupakan anak perusahaan milik PT Indofood Interna Corporation. Selanjutnya setelah bergabung pada Maret 1994, Indofood memperoleh statusnya
sebagai
perusahaan
PMA
sebagai
hasil
dari
restrukturisasi
permodalannya. Pada 24 Juni 1994, Indofood menawarkan sahamnya kepada
masyarakat (go public) sehingga namanya berubah menjadi PT ISM Tbk. Juli 1995, PT ISM Tbk mengambil alih seluruh aset PT Bogasari Flour Mills dari induk perusahaannya, PT Indocement Tunggal Prakasa. Saat ini PT ISM Tbk adalah produsen mi instan yang meliputi pembuatan mi dan pembuatan bumbu mi instan serta pengolahan gandum menjadi tepung terigu. Adapun produk mi instan yang dikeluarkan oleh PT Indofood Sukses Makmur antara lain, yaitu MIQU, Sarimi, Supermi, Supercup, Indomi, Sakura, Chatzmi, Jumbo, Supermi Premium, Indomi Premium, Sarimi Besar, Ummah dan My Noodles Kids. 4.2.2.2. PT Jakaranatama Food Industry PT Jakaranatama Food Industry didirikan pada tanggal 20 Juni 1980 dengan modal dasar Rp.150 juta dan mulai beroperasi pertama kali pada tahun 1993 dengan memproduksi mi instan. Pada tahun 1993 PT Jakaranatama Food Industry berkecimpung dalam industri pengolahan dengan memproduksi mi instan, mi telur dan snack. Produknya seperti Gaga Mi, Gaga Star Mi, Gaga Soun, Michiyo, Arjuna dan Ini Mi (tidak diproduksi lagi). Pada tahun 1995 PT Jakaranatama Food Industry masuk dalam bisnis bumbu instan nasi goreng dengan merek Gaga yang dipasarkan tahun 1997. Saat ini perusahaan telah memperkerjakan sekitar 664 orang tenaga kerja aktif. 4.2.2.3. PT ABC President Enterprises Indonesia PT ABC President Enterprises Indonesia didirikan di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 1992 dengan modal awal US$ 6 juta. Perusahaan ini mulai beroperasi pertama kali dengan memproduksi mi instan pada tahun 1993 dan berstatus
perusahaan PMA. Perusahaan ini memperkerjakan sekitar 807 orang tenaga kerja aktif dengan produknya antara lain, yaitu Guri Mi, ABC, dan Mi President. 4.2.2.4. PT Siantar Top Tbk. PT Siantar Top pada awalnya bernama perusahaan makanan Siantar Top didirikan di Surabaya (Jawa Timur) pada tahun 1972 dengan status sebagai Sole Proprietory Company pada saat itu perusahaan hanya mengelola satu home industry dan tradisional dengan memproduksi kerupuk tradisional dan kacang olahan. Perusahaan ini mulai beroperasi pada tahun 1978 dan pada tahun 1979 PT Siantar Top membangun pabrik di daerah Rungkut (Surabaya). Pada 12 Mei 1987 nama dan status perusahaan dirubah menjadi PT Siantar Top Industri dengan modal awal sebesar Rp.500 juta. Pada bulan Maret 1988 nama perusahaan ini dirubah lagi menjadi PT Siantar Top dan pada tahun 1989 perusahaan membangun pabrik di daerah Waru Sidoarjo. Selanjutnya pada Desember 1994, modal awal perusahaan ini ditingkatkan lagi menjadi Rp.100 milyar kemudian pada 16 Agustus 1996, perusahaan melakukan Stuck Split dan Company Tbk. Baru kemudian pada November 1996, PT Siantar Top go public dengan menjual 28,42 persen sahamnya kepada masyarakat melalui BEJ dan BES. Sejak saat itu modalnya meningkat menjadi Rp.47,5 milyar. Perusahaan ini berstatus PMDN dan memperkerjakan 4500 orang tenaga kerja. Pada tahun 1997 PT Siantar Top membangun pabrik di daerah Lubuk Pakam, Deli Serdang (Sumatera Utara). Produknya antara lain, yaitu Fajar Mi, Puji Mi, Jaya Mi, Sui Mi, Mister Mi, Wilco Mi, Yoki Mi, Go&Go, Saleh Mi, Saleh Mi 105, Idola 105, Besto, Besto 105, N-Gy, Tasto Mi dan Sinchan Mi. PT Siantar Top merupakan anggota dari
Siantar Top Group, sebuah kelompok perusahaan yang berkembang pesat dipimpin oleh bapak Shindo Sudimono. Aktivitas utama dari group ini adalah di bidang industri dan pemasaran makanan dan plastik. 4.2.2.5. PT Olagafood Industry Makanan dan Minuman PT Olagafood Industry Makanan dan Minuman didirikan pada 5 Mei 1997 di Medan Sumatera Utara dengan modal awal Rp.210 milyar. Pertengahan tahun 1999 perusahaan memproduksi mi instan dengan kapasitas produksi 360 juta pak per tahun atau sekitar 30,5 ribu ton (mi instan perusahaan ini rata-rata berukuran 85 gram). Perusahaan ini berstatus National Private Company (NPC), perusahaan ini mengeluarkan produk mi instan antara lain Alhami, Santre Mi dan Maitri. 4.2.2.6. PT Nissin Mas PT Nissin Mas didirikan pada 28 Februari 1992 di Jakarta dengan modal awal US$ 6 juta. Perusahaan ini berstatus PMA dan perusahaan ini memperkerjakan 200 orang tenaga kerja. Produk mi instannya antara lain Nissin Mi, Nissin Pedas Pedazz, Nissin Top Ramen dan Nissin Jumbo. 4.2.2.7. PT Karunia Alam Segar PT Karunia Alam Segar didirikan di Surabaya, Jawa Timur pada 11 Desember 1996 dengan modal awal Rp. 3 milyar dan mulai beroperasi pada tahun 1999. Pada bulan April 2003 group Wings dan group Djarum bergabung dalam PT Karunia Alam Segar. Pendiri perusahaan ini adalah PT Mitrajaya Ekaprana (perusahaan swasta nasional). Perusahaan ini berstatus Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan mempunyai 109 orang tenaga kerja dengan produknya adalah mi instan Sedaap.
4.2.2.8. PT Khong Guan Biscuit Factory Indonesia PT Khong Guan Biscuit Factory Indonesia didirikan pada 6 September 1956 bernama Giok San Kangsie dengan berstatus Naamlodze Vennootschap (N.V) dengan modal awal Rp.1,6 juta. Pada tahun 1969 perusahaan ini mengalami perubahan menjadi PT Khong Guan Biscuit Factory Indonesia setelah mengalami beberapa perubahan. Pada 2 Maret 1976 perusahaan ini berubah namanya menjadi PT Khong Guan Biscuit Indonesia dan berstatus PMDN. Perusahaan ini mempunyai 10.009 orang tenaga kerja dan mempunyai produk mi instan Khong Guan. 4.2.2.9. PT Heinz Suprama (PT Sampurna Pangan Indonesia) PT Heinz Suprama yang dulunya bernama
PT Sampurna Pangan
Indonesia didirikan pada 4 Maret 1971 dengan modal awal Rp.100 juta. Perusahaan ini mulai beroperasi sejak tahun 1972 dan setelah tahun 1995 perusahaan melakukan ekspansi dengan menambah kapasitas produksi mi kering sebesar 200 ton. Pada tahun 2000 PT Sampurna Pangan Indonesia berubah namanya menjadi PT Heinz Suprama yang berstatus National Private Company (NPC). Perusahaan ini mempunyai 1100 orang tenaga kerja dan produknya antara lain, yaitu Kadabra, Duta Mi dan Surya Mi. 4.2.2.10. PT Megah Putra Sejahtera Didirikan pada tahun 1969 dengan nama Toko Liem yang memproduksi kopi, dimana ini merupakan cikal bakal perusahaan yang mendapat fasilitas PMDN. Pada 4 Oktober 1972 Toko Liem ini berubah menjadi CV Usaha Dagang dan Industri Megah, selanjutnya pada 1 November 1990 status perusahaan
berubah dari CV menjadi PT yang sekaligus berubah namanya menjadi PT Megah Brothers dan sebulan kemudian pada 3 Desember 1990, nama perusahaan berubah lagi menjadi PT Megah Putra Sejahtera yang berstatus PMDN dan mulai tahun 1991 PT Megah Putra Sejahtera mulai memproduksi mi instan. Perusahaan ini mempunyai 390 orang tenaga kerja. 4.2.2.11. PT Asia Inti Selera Tbk. PT Asia Inti Selera Tbk. Didirikan pada tahun 1953 dengan nama PT Mi Asia. Modal awal perusahaan sebesar Rp. 360 milyar, perusahaan ini mulai beroperasi sejak tahun 1953 di bidang mi kering. Pada tahun 1974 pabrik yang lama dipindahkan ke Cimanggis, Bogor. Kemudian pada tahun 1990 PT Mi Asia mulai memproduksi mi instan dan sejak tanggal 26 Januari 1990 namanya berubah menjadi PT Asia Inti Selera. Tahun 1995 perusahaan melakukan diversifikasi usaha lagi untuk memproduksi snack. Saat ini kapasitas produksi pabrik tersebut adalah mi kering sebesar 37.500 ton, mi instan 10.500 ton dan snack 1.500 ton per tahun. Hasil produksi untuk mi kering dipasarkan dengan merek Ayam Dua Telor, sedangkan mi instan dipasarkan dengan merek Haha Mi, Mikita dan Bossmi. PT Asia Inti Selera berstatus Perusahaan Swasta Nasional (BRO) dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 300 orang. Kemudian pada bulan Mei 1997 PT Asia Inti Selera menjadi perusahaan yang go public dengan menjual 33,33 persen sahamnya ke masyarakat.
4.2.2.12. PT Sentrafood Indonusa PT Sentrafood Indonusa merupakan anak perusahaan Medco Grup dengan merek Salam Mi. Kapasitas produksi Salam Mi sejak diluncurkan tahun 1996 baru mencapai 5 persen dari kapasitas nasional. Produk Salam Mi sebelumnya masih dibuat di pabrik lain melalui kontrak produksi di Karawang dan Surabaya, namun mulai tahun 1997 Salam Mi diproduksi di pabriknya sendiri, karena memang pabrik baru milik PT Sentrafood baru selesai dibangun awal tahun 1997 di Karawang. 4.2.2.13. PT Supmi Sakti PT Supmi Sakti didirikan sejak 20 April 1981 dengan merek dagang Doremi dan Sup Mi Ayam. PT Supmi Sakti juga bekerja sama dengan Nestle untuk memproduksi mi instan merek Maggi, namun produksinya masih kecil. Sejak 12 Januari 1995, 80 persen saham PT Supmi Sakti telah diakuisisi oleh Nestle NA. 4.3. Saluran Distribusi Industri Mi Instan Sebagian besar produsen menggunakan perantara pemasaran untuk memasarkan produknya dengan cara membangun suatu saluran distribusi, yaitu sekelompok organisasi yang saling tergantung dalam keterlibatan mereka pada proses yang memungkinkan suatu produk atau jasa tersedia bagi penggunaan atau konsumsi oleh konsumen atau pengguna industrial. Saluran distribusi mempunyai beberapa fungsi penting. Pertama, sebagai katalisator penjualan bagi perusahaan. Kedua, ketersediaan produk dan layanan yang memuaskan dari peritel (produsen) akan meningkatkan tingkat layanan
pelanggan. Ketiga, penggunaan saluran distribusi dengan reputasi dan layanan yang baik akan ikut meningkatkan reputasi dan citra produk. Saluran distribusi sangat bervariasi tergantung besar kecilnya skala industri. Produsen mi instan yang berskala kecil atau rumah tangga biasanya mempunyai skope pasar yang relatif terbatas, sehingga pemasaran dan distribusinya langsung ditangani oleh perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan produsen mi instan yang berskala menengah dan besar umumnya mempunyai wilayah pemasaran yang lebih luas, sehingga untuk memperlancar penyaluran produknya ke konsumen cenderung menunjuk distributor tertentu. Untuk memasarkan produknya ke pasar ekspor dengan menunjuk eksportir umum, maupun dilakukan sendiri (eksportir produsen). Bahkan terkadang eksportir dan distributor masih dalam satu kelompok usaha. Distributor sendiri selanjutnya membentuk cabang-cabang atau sub-sub distributor untuk memasarkan produk ke tingkat retail yang lebih rendah. Distributor menyalurkan produk ke supermarket, minimarket, hipermarket, wholesaler, grosir, hotel, restaurant dan sebagainya. Selanjutnya wholesaler meneruskannya ke retailer seperti toko dan warung-warung yang pada akhirnya akan bermuara ke konsumen. Sedangkan supermarket langsung meneruskan kepada konsumen. Selain dengan saluran distribusi yang sudah ada ada alternatif lain yang dapat digunakan yaitu perusahaan mambuka badan usaha baru yang merupakan anak perusahaan dan berfungsi sebagai penyalur untuk memasarkan produknya. Dengan cara ini pemasaran produk dapat dipantau dengan cermat oleh induk perusahaan, namun perusahaan harus menyediakan modal dan segala
keperluan untuk pendirian perusahaan baru.Saluran distribusi dalam industri mi instan dapat dilihat pada Gambar 4.1. Produsen atau pabrik (merangkap distributor atau eksportir)
Eksportir
Distributor Grosir inti
Sub distributor
Star outlet
Hipermarket
Wholesaler atau grosir atau pasar swalayan atau operasi kanvas
Supermarket atau minimarket
Retailer atau pengecer (toko, warung dsb.) Konsumen
Gambar 4.1. Saluran Distribusi Industri Mi Instan Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004
Keunggulan sistem dengan menggunakan distributor ini, produsen hanya menentukan segmen pasar yang dituju dan target pencapaian penjualan dalam satu periode tertentu, sedangkan strategi dan pemasaran produk, sepenuhnya merupakan tanggung jawab distributor yang ditunjuk. Sedangkan kelemahannya yaitu harga jual produk menjadi lebih mahal, karena perusahaan harus membayar semua biaya saluran distribusi yang dilewati oleh produk tersebut.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Struktur Pasar Industri mi instan di Indonesia berawal mulai dekade 1950-an sampai dekade 1960-an yang diawali dengan industri mi basah dan mi kering. Baru setelah dekade 1960-an banyak bermunculan industri mi instan yang diawali dengan berdirinya PT Lima Satu Sankyu pada tahun 1968 yang menjadi cikal bakal industri mi instan di Indonesia. Melihat struktur industri mi instan di Indonesia tentunya masyarakat telah banyak mengenal Indofood Group sebagai rajanya industri mi instan. Banyak jenis mi instan yang telah dikeluarkan oleh Indofood, Indofood Group sendiri merupakan sub Group dari Salim Group yang memerger 18 perusahaan makanan olahan sebagai divisi dari Salim Group. Perusahaan tersebut memerger 6 produsen mi instan di antaranya PT Sanmaru, PT Pangan Jaya Abadi, PT Lambang Insan Makmur, dan PT Sarimi Asli Jaya. PT Indofood Sukses Makmur dan PT Myojo Prima Lestari adalah dua perusahaan milik Indofood Group dengan jumlah kapasitas 782.000 ton. Tak dielakkan lagi bahwa pangsa pasar PT Indofood Sukses Makmur terhadap pasar mi instan di dalam negeri mencapai lebih dari 80 persen. Kondisi ini mencerminkan bahwa dominasi Indofood Group terhadap produsen mi instan yang lain diduga telah menciptakan suatu tindakan monopoli yang masih diperdebatkan oleh pakar hukum dan pejabat pemerintah. Struktur pasar mi instan dapat dilihat dari berbagai hal antara lain perkembangan penjualan mi instan di Indonesia, namun karena adanya
keterbatasan data penjualan mi instan tidak dapat disajikan. Selain dari data penjualan struktur pasar mi instan juga dapat dilihat dari tingkat konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar yang datanya dapat dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan data konsentrasi pasar yang diperoleh dari BPS, rata-rata konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) dari tahun 1986 sampai dengan tahun 2003 adalah sebesar 51,71 persen. Konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar tertinggi terdapat di tahun 1993 yaitu sebesar 96,13 persen hal ini diduga karena pada 1992, Salim Group telah mengambil alih seluruh saham Jangkar Jati Group di PT Indofood Interna Corporation. Dan puncaknya adalah ketika Indofood mencabut produknya di jaringan distributor PT Wicaksana Overseas dan dialihkan ke PT Indomarco Adiprima. Dengan demikian maka PT Indofood Sukses Makmur semakin menguasai pasar mi instan domestik dengan nilai produksinya yang meningkat. Setelah adanya penggabungan tersebut berarti perusahaan baru akan mengalami kesulitan untuk memasuki pasar karena adanya kekuatan pasar yang dimiliki oleh Indofood untuk menguasai pasar menyebabkan sedikit sekali perusahaan baru yang berani bersaing artinya tingkat persaingannya menurun sehingga menyebabkan naiknya tingkat konsentrasi rasio perusahaan mi instan. Kondisi struktur pasar mi instan di Indonesia berada pada kondisi dimana dilihat dari konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar yaitu perusahaan yang mempunyai pangsa 50 persen sampai 100 persen dari pangsa pasar dan tanpa pesaing yang kuat. Menurut Martin dalam Yunianti, 2001 apabila empat perusahaan terbesar menguasai 40 persen atau lebih terhadap total penjualan maka
struktur pasarnya tergolong oligopoli ketat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa struktur pasar industri mi instan di Indonesia adalah oligopoli ketat karena berdasarkan data yang didapat konsentrasi empat perusahaan mi instan terbesar adalah sebesar 51,71 persen dimana sebagian besar pangsa pasarnya dikuasai oleh Indofood. 5.1.1. Konsentrasi Pasar Persaingan dalam industri sangat mempengaruhi kebijakan dan kinerja perusahaan. Dalam persaingan yang oligopolis, perusahaan mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk mempengaruhi pasar. Persaingan yang sempurna biasanya memaksa perusahaan menjadi follower, termasuk dalam harga produknya. Konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaanperusahaan oligopolis di mana mereka menyadari adanya saling ketergantungan. Tingkat konsentrasi dipandang sebagai indikator untuk menilai sehatnya satu industri. Penelitian ini menggunakan perhitungan konsentrasi rasio (CR). CR4 adalah konsentrasi rasio yang didapat dengan menjumlahkan pangsa pasar dari empat perusahaan terbesar dan CR1 adalah konsentrasi rasio dari pangsa pasar satu perusahaan terbesar. Data mengenai CR4 dan CR1 industri mi instan di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan konsentrasi rasio CR4 dan CR1 yang terdapat pada lampiran maka dapat diketahui bahwa dari tahun 1986 sampai tahun 2003 industri mi instan di Indonesia memiliki tingkat konsentrasi rasio rata-rata (CR4) sebesar 51,71 persen dan tingkat konsentrasi tertinggi didapat di tahun 1993 yaitu sebesar 96,13
persen. Sebelum adanya kebijakan impor tepung terigu tingkat konsentrasi rasio empat perusahaan mi instan sangat berfluktuasi yaitu berkisar antara 41 persen hingga mencapai 96 persen. Sesuai data yang didapat dari BPS nilai rata-rata tingkat konsentrasi satu perusahaan terbesar adalah sebesar 25,65 persen dimana tingkat konsentrasi rasio satu perusahaan tertinggi juga didapat di tahun 1993 sebesar 92,91 persen kemudian di tahun 1989 sebesar 40,39 persen. 5.1.2. Hambatan Masuk Pasar Masuknya perusahaan pendatang baru akan menimbulkan sejumlah implikasi bagi perusahaan yang sudah ada, misalnya kapasitas yang menjadi bertambah, terjadinya perebutan pangsa pasar (market share) serta perebutan sumberdaya produksi yang terbatas. Kondisi ini menimbulkan ancaman bagi perusahaan yang telah ada. Menurut Umar (2000) ada beberapa faktor yang bisa menghambat masuknya pendatang baru ke dalam suatu industri, yaitu skala ekonomi, diferensiasi produk, kecukupan modal, biaya peralihan, akses ke saluran distribusi, ketidakunggulan biaya independen dan peraturan pemerintah. Jika ada hambatan masuk pasar pesaing potensial tidak dapat masuk ke pasar yang bersangkutan. Ada dua jenis hambatan masuk pasar bagi pesaing potensial, yaitu hambatan masuk pasar privat akibat dominasi pelaku usaha yang bergerak pada pasar yang bersangkutan dan hambatan masuk pasar karena kebijakan-kebijakan negara (pemerintah). Hambatan masuk pasar privat antara lain adalah hambatan akibat dikuasainya produk suatu barang, baik dalam proses produksi dari hulu ke hilir maupun pendistribusiannya. Sehingga karena begitu kokohnya pelaku usaha tertentu dalam sektor tertentu mengakibatkan pelaku
usaha potensial tidak mampu menembus ke pasar yang bersangkutan. Bahkan pesaing potensial sulit masuk, walaupun pasarnya secara teoritis sudah terbuka, karena secara faktual pasar bersangkutan sudah dikuasai, baik pasar hulunya dan hilirnya maupun pendistribusiannya. Dan jika pesaing potensial tersebut mencoba masuk ke pasar yang bersangkutan, biasanya berdasarkan perhitungan laba rugi dalam jangka waktu tertentu tidak akan menguntungkan, oleh karena itu pesaing potensial enggan masuk, karena perkiraan margin labanya baru dapat diperoleh dalam jangka waktu yang lama. Misalnya di sektor mi instan yang didominasi oleh PT Indofood Sukses Makmur. Karena begitu kuatnya PT Indofood menguasai sektor mi instan dan mempunyai kemampuan keuangan yang kuat serta mempunyai integrasi vertikal yang kuat akan mempersulit masuknya pesaing potensial, walaupun secara teoritis pasar mi instan sudah terbuka bagi setiap pelaku usaha. Jadi, pada kondisi tertentu walaupun pasar yang bersangkutan sudah terbuka, tetapi pesaing potensial enggan masuk, karena pesaing faktual sudah menekan pada pasar yang bersangkutan. Sedangkan mi instan impor juga akan sulit menyamai kedudukan mi instan produk PT Indofood, karena rasa mi instan impor berbeda dengan mi instan PT Indofood. Produk mi instan PT Indofood rasanya sudah disesuaikan dengan selera Indonesia. Sedangkan rasa mi instan impor perlu disesuaikan dengan selera Indonesia, seperti mi instan Thailand, Korea, Jepang, dan yang lain. Mi instan impor bisa perlahan-lahan mengambil alih pasar mi instan Indofood, jika harganya lebih murah dan rasanya sesuai dengan selera Indonesia serta melakukan iklan besar-besaran untuk menarik
perhatian konsumen, sehingga konsumen mau beralih ke produk mi instan impor tersebut. Berdasarkan teori diketahui bahwa untuk dapat mempertahankan eksistensi dalam industri mi instan di Indonesia maka para pesaing potensial harus memiliki ukuran efisiensi minimum (MES) yang setara dengan yang dimiliki oleh perusahaan terbesar. Ukuran efisiensi minimum (MES) adalah ukuran paling kecil dimana biaya diminimumkan dan MES sering berfungsi untuk mendefinisikan ukuran dari perusahaan paling kecil dalam pasar. Sebuah pasar dikatakan efisien menurut alokasi jika harga yang bersedia dibayar pelanggan untuk unit terakhir yang dijual menyamai hanya untuk ekstra bagi masyarakat untuk memproduksi unit terakhir itu. Sedangkan pasar dikatakan efisien menurut produktivitas jika biaya total diminimumkan untuk setiap tingkat output. Nilai MES didapatkan dari perbandingan antara nilai output perusahaan terbesar dengan nilai output total. Besarnya MES tahun 1986 sampai tahun 2003 dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan Lampiran 2 dan teori yang ada maka dapat diketahui bahwa jika produsen baru yang ingin bersaing dalam industri mi instan maka minimal output yang harus dihasilkan adalah rata-rata sebesar 25,58 persen dari total output mi instan di Indonesia. Menurut Comanor dan Wilson (1967) dalam Alistair (2004), MES yang lebih besar dari 10 persen menggambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi pada suatu industri.
5.2. Perilaku Pasar 5.2.1. Strategi Harga Harga adalah sejumlah nilai yang ditukarkan konsumen dengan manfaat yang didapat dari memiliki atau menggunakan produk atau jasa yang nilainya ditetapkan oleh pembeli dan penjual melalui tawar-menawar atau ditetapkan oleh penjual untuk satu harga yang sama terhadap semua pembeli. Harga yang ditetapkan perusahaan akan berada pada suatu titik antara harga yang terlalu rendah dan yang terlalu tinggi. Biaya produk menentukan harga terendah, persepsi konsumen terhadap nilai produk menentukan harga tertinggi dan perusahaan harus dapat menentukan harga diantara kedua titik tersebut untuk menentukan harga yang paling baik dan penentuan harga bisa berdasarkan persaingan (Umar, 2000). Penentuan harga jual suatu produk tidak terlepas dari biaya produksi yang merupakan faktor utama, disamping faktor lainnya seperti saluran distribusi, strategi pemasaran, resiko dan promosi produk. Saluran distribusi yang rumit juga akan menjadikan harga menjadi lebih mahal. Adanya strategi pemasaran juga akan
membutuhkan
banyak
biaya-biaya
untuk
mempertahankan
pasar.
Berdasarkan harga jual, produk mi instan dibagi menjadi tiga segmen pasar mi instan yaitu dengan harga eceran terendah di bawah Rp 500 per bungkus, mi instan dengan harga eceran antara Rp 500 sampai Rp 750 per bungkus dan mi instan dengan harga eceran di atas Rp 750 per bungkus. Sejak terjadinya krisis yang diawali pertengahan tahun 1997 biaya kemasan meningkat karena terdepresiasinya nilai mata uang rupiah terhadap dollar karena sebagian besar bahan baku kemasan yang digunakan masih diimpor
sehingga mau tidak mau akan mendorong kenaikan harga mi instan. Selain itu kenaikan tarif dasar listrik (TDL), air, telepon dan bahan bakar minyak (BBM) ikut memicu kenaikan harga-harga barang secara umum. Pada industri mi instan biaya kemasan dihitung berdasarkan nilai produk mi instan tersebut. Jika nilai produk mi instannya murah maka biaya kemasannya otomatis menjadi tinggi dan sebaliknya. Faktor lain yang mempengaruhi harga jual seperti adanya produk impor dan distributor. Agar distributor tidak mengambil keuntungan sendiri maka produsen memberikan penghargaan atas sejumlah penjualan yang dilakukan dengan cara ini diharapkan harga tidak mudah meningkat dari setiap jalur distribusi yang dilewati. Dengan harga yang meningkat maka segmentasi pasar akan menjadi semakin sempit artinya produk tersebut hanya bisa dinikmati oleh golongan tertentu seperti golongan menegah ke atas. 5.2.2. Strategi Produk Produk adalah suatu yang bisa ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, untuk dibeli, digunakan atau dikonsumsi sebagai pemenuh keinginan atau kebutuhan. Strategi produk bisa dilihat dari dua sisi yaitu: 1. Atribut Produk Pengembangan sebuah produk mengharuskan perusahaan menetapkan manfaat-manfaat apa yang akan diberikan produk itu. Manfaat-manfaat ini bisa dipenuhi oleh atribut produk misalnya mutu, desain, merek, label dan kemasan (Umar, 2000).
a. Mutu produk menunjukkan kemampuan sebuah produk untuk menjalankan fungsinya, ciri produk merupakan sarana kompetitif untuk membedakan produk perusahaan dengan pesaing, sedangkan desain dapat memberikan kegunaan atau manfaat produk serta coraknya. Jadi tidak hanya penampilan yang diperhatikan tetapi juga dibutuhkan produk yang mudah, aman, tidak mahal untuk digunakan, sederhana dan ekonomis dalam produksi dan distribusi, b. Merek. Konsumen memandang merek sebagai bagian penting dari produk karena dengan merek dapat menambah nilai produk, c. Kemasan. Kemasan adalah kegiatan merancang dan memproduksi wadah atau pembungkus untuk suatu produk. Hal terpenting dalam membuat atau mengembangkan kemasan adalah bahwa kemasan tersebut harus mempunyai fungsi sebagai pelindung produk, menyatakan mutu tertentu dari produk atau perusahaan dan menjaga agar kemasan tetap selalu up to date, d. Label. Suatu label juga harus mempunyai berbagai fungsi antara lain label harus dapat mengidentifikasi produk atau merek, label juga harus menjelaskan tingkat mutu produk dan label harus dapat mendeskripsikan beberapa hal tentang produk seperti siapa, dimana, kapan, komposisinya dan bagaimana cara memakainya. 2. Daur Hidup Produk Setelah produk baru dikeluarkan perusahaan ingin agar produknya tetap berada di pasar dalam waktu lama dan menghasilkan penjualan yang baik karena setiap produk pasti memiliki daur hidup yang berbeda. Pola penjualan dalam suatu
daur hidup produk ditandai oleh empat tahap, dimulai dari tahap pengenalan produk di pasar, tahap pertumbuhan yang ditandai dengan meningkatnya laba dan penjualan, dan tahap penurunan yang ditandai dengan menurunnya penjualan dengan cepat. Strategi produk diperlukan untuk meningkatkan volume penjualan dan menarik minat para konsumen, strategi produk dapat dilakukan dengan cara menciptakan cita rasa baru misalnya cita rasa daerah, membuat kemasan dan ukuran produk mi instan yang menarik sesuai dengan momentum penting tertentu misalnya pada saat Idul Fitri, Natal, Imlek, acara ulang tahun dan hari kasih sayang. Membuat produk-produk yang lebih bervariasi dan berkualitas yaitu dengan menjaga mutu produk agar tetap menjadi yang terbaik sehingga konsumen akan loyal terhadap produknya. PT Jakaranatama untuk pertama kalinya berani mengeluarkan produk dengan kemasan yang lebih besar tetapi harga jualnya tidak berbeda jauh dengan mi-mi instan lain. Tidak hanya rasa
tapi ukuran dan
kemasan juga mampu menarik perhatian konsumen. Dengan tampil beda PT Jakarana Tama sampai saat ini masih bisa bertahan. 5.2.3. Strategi Promosi Promosi produk dilakukan produsen untuk menginformasikan kepada konsumen tentang adanya suatu produk di pasar dan meyakinkan mereka untuk membeli dan mengingatkan selalu produk tersebut. Tujuan utama promosi ini adalah untuk menarik perhatian agar produknya tetap disukai konsumen bahkan kalau bisa merebut pangsa pasar dari produsen lainnya.
Strategi Promosi dapat dilakukan melalui empat komponen cara yaitu periklanan atau iklan di media massa seperti koran, tabloid, majalah, televisi, radio, papan reklame, kalender, katalog, acara-acara khusus, pameran. Dengan melalui iklan diharapkan masyarakat mudah mengingat akan image produk tersebut. Selain itu promosi juga dapat dilakukan dengan kegiatan pemasaran atau penjualan. Promosi penjualan adalah intensif jangka pendek untuk meningkatkan pembelian atau penjualan suatu produk atau jasa yang diharapkan pembelian yang terjadi sekarang. Promosi dapat juga dilakukan melalui penjualan perorangan yaitu melalui penjual-penjual kecil atau wiraniaga. Promosi juga dapat dilakukan melalui pameran dan expo, demonstrasi memasak serta berbagai kegiatan seperti penawaran potongan harga, undian berhadiah. Cara lain untuk menarik minat konsumen adalah dengan melakukan hubungan masyarakat (humas) yang bertujuan untuk membangun hubungan yang baik dengan publik melalui publisitas, mengembangkan nama baik perusahaan, mengatasi timbulnya beritaberita yang tidak baik. Strategi promosi yang dilakukan oleh PT Indofood Sukses Makmur Tbk adalah dengan melihat perilaku dan kultur konsumen. Indofood merealisasikan dengan memproduksi sekitar 50 jenis mi instan yang berbeda berdasarkan rasa khas yang dimiliki berbagai propinsi di seluruh Indonesia. Selain itu Indofood juga memproduksi mi instan untuk banyak golongan. 5.3. Kinerja Pasar Kinerja pasar mencerminkan bagaimana pengaruh kekuatan pasar terhadap harga dan efisiensi. Tingkat keuntungan suatu perusahaan dapat dilihat dari
kinerja perusahaannya. Tingkat keuntungan dapat dicerminkan melalui PriceCost-Margin (PCM) dan tingkat efisiensi dapat dilihat melalui efisiensi-X. Data mengenai nilai besarnya PCM dan efisiensi-X tahun 1986 sampai 2003 dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Pada Lampiran 3 selama kurun waktu 18 tahun mulai tahun 1986 sampai tahun 2003 didapat nilai rata-rata PCM industri mi instan sebesar 26,67 persen. Nilai PCM yang didapat sangat berfluktuasi yaitu pada tahun 2000 besarnya PCM bernilai negatif yaitu sebesar 7,06 persen hal ini dikarenakan pengeluaran untuk tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan kapasitas barang yang dihasilkan. Pada tahun 1998 PCM mencapai 44.98 persen angka ini merupakan nilai PCM tertinggi dari tahun 1986 sampai tahun 2003 dalam industri mi instan. Kemudian nilai PCM tertinggi kedua didapat di tahun 2001 yaitu sebesar 39,90 persen dan nilai PCM tertinggi ketiga didapat di tahun 1992 yaitu sebesar 38,25 persen. Nilai rata-rata efisiensi-X industri mi instan di Indonesia selama tahun 1986 sampai tahun 2003 dapat ditunjukkan pada Lampiran 4. Diperoleh nilai ratarata efisiensi-X dari tahun 1986 sampai tahun 2003 adalah sebesar 52,19 persen. Nilai efisiensi tertinggi berada di tahun 1992 sebesar 80,06 persen. Berdasarkan hasil yang didapat ditunjukkan bahwa industri mi instan di Indonesia mempunyai nilai efisiensi-X (efisiensi internal) yang cukup tinggi. Berdasarkan teori yang ada efisiensi internal yang tinggi menggambarkan perusahaan mempunyai kinerja yang baik, baik dari sisi tenaga kerjanya maupun dari sisi perusahaan itu sendiri.
5.4. Hubungan Struktur dan Kinerja Untuk melihat hubungan antara struktur dengan kinerja maka digunakan analisis Struktur-Perilaku-Kinerja. Analisis SCP melihat bagaimana struktur dan kinerja pasar, dimana struktur pasar adalah karakteristik dan komposisi pasar dan industri dalam suatu perekonomian sedangkan kinerja pasar mengacu pada tingkat keberhasilan pasar dalam memberikan manfaat kepada konsumen, misalnya dengan memberikan harga yang rendah. Paradigma SCP
berpendapat bahwa
penguasaan pasar yang tinggi cenderung menghasilkan kinerja pasar yang buruk , yaitu konsumen harus membayar harga yang sangat tinggi. Pendekatan SCP mengatakan bahwa struktur akan mempengaruhi profitabilitas secara positif. Struktur pasar dianalisis dengan mengunakan CR4 yang menunjukkan bahwa industri mi instan termasuk ke dalam tipe oligopoli ketat. Kinerja industri adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri. Di negara-negara yang sedang berkembang kinerja laba sulit untuk diukur sehingga untuk memudahkan bagaimana melihat kinerja industri itu digunakanlah variabel proksi keuntungan (PCM) untuk mengukurnya. Hubungan struktur dan kinerja dapat dilihat dengan suatu model ekonometrika yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, misalnya tidak adanya autokolerasi, heteroskedastisitas dan multikolinearitas sehingga model ekonometrika tersebut memang layak untuk digunakan. Hasil estimasi model dan uji ekonometrika dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Hasil Dugaan Persamaan PCM pada Industri Mi Instan di Indonesia Variabel
Koefisien
D(CR4) -0.150710 XEFF 0.416685 D(PROD,2) 0.093031 D(PROD(-1),2) 0.228412 LEKSPOR -0.004662 D(LIMPOR) -3.549973 GRS 0.924177 C 4.808103 0.794310 Adjusted R-squared Uji Breusch-Godfrey Correlation LM Uji White Heteroskedasticity
Prob T-statistic
Prob (F-Statistic) Prob Obs*R-Squared Prob Obs*R-Squared
0.2130 0.0088 0.0810 0.0018 0.9328 0.4656 0.0503 0.5366 0.005279 0.694413 0.378155
Keterangan : Menggunakan taraf nyata 10 %
Dari hasil regresi Tabel 5.1. diperoleh persamaan sebagai berikut : PCM = 4.808103 - 0.150710 CR4t + 0.416685 XEFFt + 0.093031 PRODt + 0.228412 PRODt-1 - 0.004662 log EKSPORt - 3.549973 log IMPORt + 0.924177 GRSt Pengujian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji BreuschGodfrey Correlation LM. Apabila nilai probability obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata ( α ) yang digunakan maka hasil regresi ini tidak mengandung autokorelasi. Berdasarkan hasil pengolahan yang dilakukan ditunjukkan pada Tabel 5.1. bahwa nilai probability obs*R-squared sebesar 0,694413 lebih besar dari
taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hasil regresi pada penelitian ini tidak mengandung autokorelasi. Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroskedasticity. Apabila nilai probability obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata
(α )
yang
digunakan
maka
hasil
regresi
tidak
mengandung
heteroskedastisitas. Berdasarkan hasil pengolahan yang dilakukan ditunjukkan pada Tabel 5.1. bahwa nilai probability obs*R-squared sebesar 0,378155 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil regresi pada penelitian ini tidak mengandung heteroskedastisitas. Syarat yang terakhir dalam metode Ordinary Least Square (OLS) adalah pengujian multikolinearitas. Multikolinearitas muncul apabila di antara masingmasing
variabel
independen
saling
berhubungan
secara
linear.
Uji
Multikolinearitas dilakukan dengan melihat koefisien kolerasi antar variabel eksogen yang terdapat pada matriks kolerasi. Suatu model tidak mengandung gejala multikolinieritas apabila nilai mutlak koefisien korelasi antar variabel eksogen lebih besar dari 0.8. Tabel 5.2. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen D(CR4) XEFF D(PROD,2) D(PROD(-1),2) LEKSPOR D(LIMPOR) GRS D(CR4) 1.000000 -0.225702 0.087977 0.108234 -0.145939 0.084288 0.541802 XEFF -0.225702 1.000000 0.246341 -0.073276 -0.053333 -0.357949 -0.380939 D(PROD,2) 0.087977 0.246341 1.000000 -0.512100 0.068384 -0.099889 0.033702 D(PROD(-1),2) 0.108234 -0.073276 -0.512100 1.000000 -0.098078 -0.310727 0.105764 LEKSPOR -0.145939 -0.053333 0.068384 -0.098078 1.000000 0.180454 -0.192395 D(LIMPOR) 0.084288 -0.357949 -0.099889 -0.310727 0.180454 1.000000 0.152505 GRS 0.541802 -0.380939 0.033702 0.105764 -0.192395 0.152505 1.000000
Dari hasil yang ditunjukkan pada Tabel 5.2. dalam model regresi ini tidak ditemukan adanya gejala multikolinearitas hal ini dapat dilihat tidak adanya nilai antar variabel eksogen yang nilainya lebih besar dari 0.8 artinya tidak terdapat hubungan kausalitas pada variabel-variabel bebasnya. Setelah dilakukan uji ekonometrika pada model penelitian langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap hasil dugaan persamaan PCM pada industri mi instan (Tabel 5.1.). Berdasarkan hasil pengolahan model dengan
menggunakan software E-Views 4 telah didapatkan nilai koefisien determinasi (Adjusted R-Square) sebesar 0,794310. Ini menunjukkan bahwa variasi endogen yaitu PCM industri mi instan sebagai variabel terikat mampu dijelaskan sebesar 79.43 persen oleh variabel-variabel bebasnya (CR4, Xeff, Prod, Tx, Tm dan GRS) secara bersamaan. Sisanya sebesar 20,57 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai probability F-statistic adalah sebesar 0,005279. nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (10 persen) menunjukkan bahwa minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Berdasarkan hasil estimasi, CR4 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PCM. Dapat disimpulkan bahwa strategi menjual produk dengan harga yang murah demi menjaga ketersediaan produk pada segmen pasar tertentu akan berdampak pada volume penjualan yaitu walaupun tingkat penjualannya meningkat tetapi membuat margin keuntungan menurun. Efisiensi-X (Xeff) signifikan pada taraf 10 persen dan nilai koefisiennya sebesar 0,416685 menunjukkan bahwa diduga setiap peningkatan efisiensi-X sebesar satu persen, maka PCM sebagai indikator kinerja akan meningkat sebesar 0,416685 persen. Hal ini karenakan semakin efisien suatu perusahaan maka memungkinkan untuk suatu perusahaan untuk memproduksi sebuah produk dengan sumber daya yang lebih sedikit atau sama karena efisiensi merupakan pengurangan biaya sehingga biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam
jangka panjang akan lebih murah. Dengan adanya efisiensi maka tingkat keuntungan perusahaan akan meningkat. Nilai produktivitas signifikan pada taraf 10 persen dengan nilai koefisien sebesar 0,093031 menunjukkan setiap kenaikan produktivitas sebesar satu persen maka akan meningkatkan PCM sebesar 0,093031 persen. Nilai produktivitas pada periode sebelumnya signifikan pada taraf 10 persen dengan nilai koefisien sebesar 0,228412 yang artinya setiap kenaikan produktivitas pada periode sebelumnya sebesar satu persen maka akan meningkatkan PCM sebesar 0,228412 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis dimana semakin tinggi nilai output akan meningkatkan nilai produktivitas suatu perusahaan. Produktivitas yang meningkat menunjukkan adanya efisiensi dan kinerja yang meningkat pula. Kinerja yang meningkat akan menambah penghasilan dan keuntungan bagi perusahaan. Variabel ekspor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PCM. Hal ini disebabkan karena bahan baku yang digunakan masih tergantung oleh impor dimana impor dinilai dengan dolar. Sedangkan ekspor juga dinilai dengan dolar dan adanya biaya-biaya seperti pajak ekspor yang tinggi serta regulasi dalam negeri yang sulit menyebabkan biaya produksi mi instan dengan harga jual mi instan yang diekspor sama sehingga tidak berpengaruh terhadap keuntungan. Variabel impor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PCM. Sebab adanya politik dumping dengan menetapkan tarif masuk barang yang tinggi. Hal ini didukung oleh kemampuan konsumen dalam negeri yang tinggi. Artinya daya beli konsumen dalam negeri tinggi, sehingga volume penjualan barang-barang di dalam negeri juga dapat mengimbangi kerugian ke pasar luar negeri.
Variabel GRS berpengaruh signifikan pada taraf 10 persen dengan nilai koefisien ynag cukup besar yaitu sebesar 0,924177. Artinya setiap kenaikan pertumbuhan sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0,924177 persen. Karena jumlah penduduk setiap tahunnya akan semakin bertambah sehingga tingkat konsumsinya akan semakin meningkat dan produsen mi instan berusaha untuk memenuhi permintaan pasar dengan meningkatkan kapasitas produksi. Meningkatnya penjualan akan berpengaruh juga pada peningkatan laba perusahaan. Walaupun dilanda krisis moneter hal ini tidak terlalu berpengaruh bagi keberadaan industri mi instan di Indonesia. Karena semakin maju perkembangan zaman masyarakat lebih suka dengan yang serba cepat dalam mengolah makanan salah satunya contohnya didapat dari mi instan sebagai makanan pokok pengganti yang praktis, murah harganya dan mudah didapat di warung-warung. Penjualan mi instan terus meningkat dan semakin banyak bermunculan produsen mi instan baru yang akan bersaing memasuki pasar. Hal ini menunjukkan bahwa industri mi instan merupakan salah satu industri yang tahan terhadap kondisi krisis. 5.5. Implikasi Kebijakan Peluang pasar mi instan yang cukup besar menyebabkan persaingan yang ketat diantara para produsen mi instan di Indonesia. Persaingan yang ketat dapat menimbulkan kecurangan diantara produsen mi instan. Untuk menghindari hal tersebut perlu dibuat kebijakan-kebijakan. Berdasarkan hasil pengolahan variabelvariabel yang digunakan dalam model maka dibuatlah beberapa implikasi
kebijakan yang terkait dengan variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian ini diantaranya : 1. pangsa pasar tidak berpengaruh signifikan terhadap PCM karena biaya penjualan membengkak, harga pasar tidak terkontrol dan saluran distribusi yang masih kacau, maka kebijakan yang diambil adalah seiring dengan berkembangnya perusahaan maka saluran distribusinya harus semakin dikembangkan dengan didasari tujuan yang signifikan seperti memaksimalkan jangkauan penjualan, ketersediaan produk dan margin perusahaan. Dengan jalan merekrut lebih banyak distributor dan memperluas saluran. Semakin banyaknya produk yang mirip maka perusahaan harus melakukan inovasi dalam strategi saluran dan distribusi. Hal ini dikarenakan pertama, karena alasan penjualan dan cakupan. Dengan saluran distribusi yang tepat dapat meningkatkan penjualan, meningkatnya kemampuan lebih banyak pasar dan lebih banyak pembeli dengan cepat. Kedua, demi keuntungan. Strategi distribusi yang tepat akan menghemat cost of sales. Selain itu, terciptanya kemampuan melayani lebih banyak pelanggan dengan cara yang lebih murah. Ketiga, untuk alasan pembentukan loyalitas konsumen. Pemberian pilihan saluran distribusi yang lebih banyak akan meningkatkan loyalitas pembeli. Penggabungan produk dengan produk perusahaan rekanan dapat menciptakan solusi yang lebih lengkap sehingga dapat memenuhi kebutuhan pembeli dengan lebih sempurna. 2. produktivitas periode sekarang dan produktivitas pada periode sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap PCM maka kebijakan yang diambil adalah
mengurangi jumlah karyawan dengan lebih mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkompeten dalam bidangnya dengan memberikan pelatihan-pelatihan sehingga akan lebih terampil dan produktif dalam bekerja dan dapat meningkatkan margin bagi perusahaan. 3. efisiensi-X berpengaruh signifikan terhadap PCM maka kebijakan yang diambil adalah meningkatkan teknologi yang padat modal dan padat karya dalam berproduksi, melakukan merger dengan perusahaan sejenis atau melakukan integrasi vertikal dan menata ulang manajemen distribusi yang dimiliki perusahaan sehingga dapat melayani pelanggan besar (hipermarket) maupun yang lebih kecil. 4. ekspor tidak berpengaruh signifikan terhadap PCM maka kebijakan yang diambil adalah meningkatkan promosi baik melalui above the line maupun below the line, mengajukan produk mi instan menjadi standar internasional akan kualitas mi instan yang diproduksi di Indonesia untuk mendapatkan pengakuan resmi internasional sehingga produk mi instan dari Indonesia mempunyai merek dagang internasional, produknya dapat diekspor dan penyerapannya akan lebih besar dan akan berdampak pada peningkatan devisa negara. 5. impor tidak berpengaruh signifikan terhadap PCM maka kebijakan yang diambil adalah dengan mengatur keberadaan bahan baku utama mi instan dan mi instan itu sendiri misalnya dengan mengeluarkan kebijakan dalam bentuk proteksi menggunakan tarif masuk terhadap komoditi impor dan proteksi non tarif baik pembatasan secara kuantitatif dan pembatasan secara administrasi.
6. pertumbuhan berpengaruh signifikan terhadap PCM maka kebijakan yang diambil adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas produk, menciptakan inovasi produk, dengan mendirikan pabrik-pabrik baru, melakukan kerjasama usaha dengan investor dalam dan luar negeri melalui penanaman modal untuk memperluas skala usaha.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian mengenai industri mi instan di Indonesia maka dapat diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut. 6.1. Kesimpulan Melihat hasil penelitian yang sudah dianalisis dan melihat keberadaan industri mi instan dalam kondisi persaingan yang ketat, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan hasil analisis data dari tahun 1986 sampai tahun 2003 didapatkan bahwa industri mi instan mempunyai konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar 51,71 persen. Nilai
konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar
dicapai pada tahun 1993 yaitu sebesar 96,13 persen. Industri mi instan memiliki struktur pasar oligopoli ketat. Penguasaan pasar industri mi instan tetap dipegang oleh Indofood meskipun banyak muncul produk mi instan baru. Sedangkan dalam industri mi instan pemerintah mengambil kebijakan dengan membebaskan masuknya tepung terigu impor dimana tepung terigu merupakan bahan baku utama pada industri mi instan dibukanya kran impor menyebabkan kendala untuk masuk pasar semakin kecil. 2.
Kinerja dapat dilihat dari tingkat keuntungan perusahaannya karena kinerja pasar mencerminkan kekuatan pasar terhadap harga dan efisiensi. Berdasarkan hasil analisis data nilai PCM tertinggi dicapai di tahun 1998 yaitu sebesar 44,98 persen. Sedangkan pada efisiensi-X didapat nilai efisiensi tertinggi berada di tahun 1992 sebesar 80,06 persen. Berdasarkan hasil yang didapat
ditunjukkan bahwa industri mi instan di Indonesia mempunyai nilai efisiensiX (efisiensi internal) yang cukup tinggi. 3. Untuk melihat hubungan antara strukur dengan kinerja digunakan pendekatan Structure Conduct Performance (SCP). Untuk melihat struktur pasar digunakan variabel CR4 sedangkan untuk melihat kinerja pasar digunakan variabel proksi keuntungan (PCM). Berdasarkan hasil estimasi didapatkan bahwa variabel CR4 berhubungan negatif dengan PCM hal ini berlawanan dengan hasil hipotesis yang dibuat sebelumnya. Variabel ekspor berhubungan negatif dengan PCM hal ini juga berlawanan dengan hipotesis yang dibuat sebelumnya. 4. Dari hasil pengolahan model dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) maka diperoleh hasil bahwa nilai koefisien CR4 berdampak negatif dan tidak signifikan berarti variabel CR4 tidak berpengaruh terhadap PCM, variabel efisiensi-X menunjukkan setiap peningkatan efisiensi-X sebesar satu persen, maka PCM sebagai indikator kinerja akan meningkat sebesar 0,416685 persen, Nilai produktivitas menunjukkan setiap kenaikan produktivitas sebesar satu persen maka akan meningkatkan PCM sebesar 0,093031 persen. Pada nilai produktivitas pada periode sebelumnya juga signifikan pada taraf 10 persen dengan nilai koefisien sebesar 0,228412 yang artinya setiap kenaikan produktivitas sebesar satu persen maka akan meningkatkan PCM sebesar 0,228412 persen. Pada variabel ekspor mempunyai berdampak negatif dan tidak signifikan berarti ekspor tidak berpengaruh terhadap PCM. Pada
hipotesis yang digunakan variabel impor memang memiliki tanda yang negatif namun dalam hasil estimasi ternyata tidak signifikan pada taraf nyata yang digunakan artinya bahwa variabel impor tidak berpengaruh terhadap PCM. Pertumbuhan
berpengaruh
terhadap
PCM
dimana
setiap
kenaikan
pertumbuhan sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0,924177 persen. 5. Perilaku pasar dilihat dari strategi harga, strategi produk dan strategi promosi. Strategi harga dipengaruhi oleh biaya produksi dan saluran distribusi, strategi produk
digunakan
untuk
meningkatkan
volume
penjualan
dengan
mengeluarkan produk mi instan yang bervariasi dan berkualitas. Strategi promosi dilakukan untuk menarik perhatian konsumen melalui iklan media massa maupun cetak dan komunikasi langsung dengan masyarakat (humas). 6. Kebijakan yang diambil pemerintah berkenaan dengan komoditi mi instan adalah dengan mengeluarkan kebijakan dalam investasi untuk memulikan iklim investasi, kebijakan dalam bidang ekspor dan impor serta kebijakan dalam bidang pengawasan bahan baku dan produksi. 7. Hasil estimasi menunjukkan ada empat variabel yang berpengaruh secara signifikan
terhadap
tingkat
PCM,
yaitu
efisiensi-X,
produktivitas,
produktivitas periode sebelumnya dan pertumbuhan. Keempat variabel tersebut sama-sama berpengaruh positif terhadap tingkat PCM. 6.2. Saran Setelah melihat hasil kesimpulan dan tujuan yang ada maka dapat dituliskan beberapa saran.
1. Antisipasi terhadap pangan baru seperti mi yang bahan bakunya tidak diproduksi di dalam negeri harus diperhatikan dalam mengembangkan industri dan menerapkan jenis teknologi yang akan dipilih. Pengembangan teknologi seyogyanya mampu mengembangkan penggunaan jenis serealia dan umbiumbian yang dapat digunakan sebagai subtitusi atau pencampuran sehingga ketergantungan terhadap impor terigu dapat ditekan. . 2. Produsen mi instan disarankan untuk menghentikan promosi termasuk menghentikan perang harga dan perang diskon karena perang harga dapat menyebabkan banyak produsen yang menjual mi dibawah standar harga dasar (floor price) dari pedagang besar ke pengecer. 3. Kebijakan bahan baku mi instan seperti tepung lebih dikelola dan diperhatikan dengan baik untuk mencegah persaingan yang tidak sehat antar produsen mi instan.
DAFTAR PUSTAKA
Alistair, A. 2004. Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja Pada Industri Tepung Terigu Di Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli Bulog [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asian Development Bank dan Departemen Perindustian dan Perdagangan. 2001. Analisis Ekonomi Terhadap Persaingan Usaha. Laporan. Jakarta. Bain, J. S. 1956. Barriers to New Competition. Harvard University Press, Cambridge Badan Pusat Statistik. 1986-2003. Statistik Industri Besar dan Sedang. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 1986-2003. Statistik Ekspor. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 1986-2003. Statistik Impor. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Besanko, D., Dranove, D., dan Shanley, M. 1996. The Economics of Strategy, John Wiley dan Sons, Inc. New York. Capricorn Indonesia Consult Inc., PT. 2002. “Prospek Industri dan Pemasaran Mi Instan Di Indonesia”. Laporan Khusus, 294: 3-26. Chou, T. 1986. ”Concentration, Profitability, and Trade in A Simultancous Equation Analysis: The Case of Taiwan”. The Journal of Industrial Economics, 4: 429-441. Corinthian Infopharma Corpora, PT. 2004. Studi Tentang Industri dan Pemasaran Mi Instan di Indonesia. Jakarta. Daryanto, A. 2003. Contestable Market dan Bogasari. Di dalam: E. Gumbira Said [editor]. Membangun Masa Depan Bogasari Yang Gemilang. Bogor: MMA Institut Pertanian Bogor. 61-77. Daryanto, A. 2004. Ekonomi Industri [Bahan Kuliah]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Geroski, P. A. 1991. Domestic and Foreign Entry in The United Kingdom: 19831984, in Geroski, P. A., and Schwalbach, J., Entry and Market Contestability: An International Comparison, Basil Blackwell, Oxford.
Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Hasibuan, N. 1994. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi. LP3ES, Jakarta. J. 23 Agustus 2003. “Struktur Industri Mi Instan Dan Kandungan Impornya Perlu Dibenahi”. Business News. Japan Agricultural Standards. 2006. ”Sejarah Perkembangan Mi Instan (Ramen Instan)” Dan Trend Perkembangan Mi Instan [IRMA]. http://www.instantramen.or.jp/english/history/history08.html [12 Februari 2006]. Jaya, W. K. 2001. Ekonomi Industri. BPFE, Yogyakarta. Juwita, I. 2004. Analisis Ekonomi Industri Semen dan Undang-Undang Persaingan Usaha (Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja) [skripsi]. Fakutas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kartajaya, H. 2006. Saluran Kreatif. SWA. Ed. 09/XXII/4-17 MEI 2006. Hal. 98. Koutsoyiannis, A. 1978. Theory of Econometrica. Edisi Kedua. Barnes dan Noble Books, New Jersey. Kusdian, D. E. 14 Agustus 2003. “Pasar Instan Noddle Masih Menyisakan Peluang”, Bisnis Indonesia. Kusdian, D. E. 15 Agustus 2003. “Pasar Mi Instan Masih Terbuka”, Bisnis Indonesia. Louglin, C., Marks, S., Shauki, A., dan Sirait, N. 1999. Laporan Kebijakan Persaingan Indonesia. The Law and Improved Procurement Systems (ELIPS). USAID-Pemerintah Indonesia. Martin, S. 1993. Advanced Industrial Economics. Blackwell Publiser Inc. Robert, E. 1995. Hubungan Struktur Dengan Kinerja Pasar: Studi Empiris Pada Industri Pemintalan [skripsi]. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Depok. Rofieq, M. 2002. ”Pengujian Asumsi Dalam Penerapan Model Regresi”. Jurnal Penelitian Edisi Ilmu-Ilmu Teknik, 13: 347-358. Saraswati, S. 2006. Mereka Bersama Tough Job-nya. SWA. Ed. 09/XXII/4-17 MEI 2006. Hal. 44.
Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. ANDI. Yogyakarta. Satriawan, E., dan Wigati, H. 2002. “Entry, Exit dan Tingkat Konsentrasi Pada Industri Manufaktur di Indonesia, 1995-1997”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 17: 74-84. Scherer, F. M. 1990. Industrial Market Structure and Economics Performance. Houghton Miffing. Boston. Shepherd, W. G. 1992. The Economics of Industrial Organization. Third Edition. Prentice Hall International. Umar, H. 2000. Bussiness An Introduction. JBRC. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Weiss, L. W. 1965. An Evaluation of Mergers in Six Industries, The Review of Economics and Statistics, pp. 172-181. Yunianti, S. 2001. Implikasi Kebijakan Tepung Terigu Terhadap Industri Tepung Terigu dan Industri Makanan: Studi Kasus Industri Mi Instan [tesis]. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia, Jakarta.
Lampiran 1. Nilai CR1 dan CR4 Industri Mi Instan di Indonesia (1986-2003) tahun CR1 (%) 1986 26.49 1987 25.47 1988 27.76 1989 40.39 1990 28.97 1991 27.32 1992 26.26 1993 92.91 1994 19.19 1995 17.01 1996 19.32 1997 19.37 1998 21.64 1999 20.66 2000 13.77 2001 15.91 2002 9.65 2003 9.52 Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah
CR4 (%) 44.43 44.91 46.21 68.41 57.64 69.74 67.16 96.13 47.05 41.41 46.92 45.46 50.93 50.09 43.82 41.6 34.79 34.15
Lampiran 2. Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) Nilai Output Perusahaan Terbesar (000 Rp) 1986 20599359 1987 21700302 1988 23551315 1989 70278240 1990 67648514 1991 97377363 1992 125887883 1993 9424890000 1994 171946516 1995 177454939 1996 265315105 1997 158442036 1998 405600336 1999 319616280 2000 231701505 2001 244514535 2002 159763033 2003 153988689 Keterangan: Tahun Dasar 1993 (1993=100) Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah Tahun
Nilai Output Total (000 Rp) 77753194 85194307 84834528 174015019 233477659 356442815 479378711 10143584885 896117268 1043282092 1373373532 817865663 1885887653 1584943654 1747393553 1536891036 1655551529 1618232656
MES (%) 26.49 25.47 27.76 40.39 28.97 27.32 26.26 92.91 19.19 17.01 19.32 19.37 21.51 20.17 13.26 15.91 9.65 9.52
Lampiran 3. Price-Cost-Margin Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) Pengeluaran Tenaga Kerja Barang Yang Dihasilkan (000 Rp) (000 Rp) 1986 6989042 77317996 1987 7428701 84253676 1988 6666410 82787125 1989 14488762 173310995 1990 16518707 233616074 1991 63512531 353690018 1992 30507646 477457042 1993 41039459 6900854350 1994 53141704 835198335 1995 115277987 956597388 1996 111239016 1247159025 1997 59025548 735232705 1998 21262216 1723458171 1999 55606842 1579420692 2000 732127237 1732433276 2001 70233935 1329681477 2002 87251603 1634865323 2003 77928882 1587435461 Keterangan: Tahun Dasar 1993 (1993=100) Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah Tahun
PCM riil (%) 26.69 21.46 21.25 11.24 19.81 22.31 38.25 34.31 32.15 26.54 35.17 33.62 44.98 32.27 -7.06 39.90 21.21 25.95
Lampiran 4. Nilai Efisiensi-X Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) Nilai Tambah (000 Rp) 1986 27622268 1987 25511562 1988 24260122 1989 33973770 1990 62803136 1991 142420336 1992 213152600 1993 2408777779 1994 321622980 1995 369135685 1996 549864245 1997 306236494 1998 796449914 1999 565352133 2000 609864932 2001 600768957 2002 433998234 2003 489814625 Keterangan: Tahun Dasar 1993 (1993=100) Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah Tahun
Nilai Input (000 Rp) 50130926 59682770 60574406 140041247 170674523 214022480 266226111 7734807106 574494288 674146407 823509288 511629169 1089437739 1019591521 1137528621 936122079 1221553295 1128418031
Xeff (%) 55.10 42.75 40.05 24.26 36.80 66.54 80.06 31.14 55.98 54.76 66.77 59.86 73.11 55.45 53.61 64.18 35.53 43.41
Lampiran 5. Ekspor dan Impor Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) Ekspor (%) 1986 1.74 1987 2.93 1988 13.27 1989 10.94 1990 19.83 1991 26.59 1992 30.08 1993 42.23 1994 44.33 1995 51.53 1996 85.12 1997 23.00 1998 1.28 1999 5.92 2000 9.76 2001 8.55 2002 9.73 2003 11.76 Keterangan: Tahun Dasar 1993 (1993=100) Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah Tahun
Impor (%) 1.50 0.72 0.49 1.00 0.88 1.04 1.30 2.20 3.06 2.82 3.18 3.99 0.15 0.26 0.53 0.57 0.86 1.33
Lampiran 6. Nilai Produktivitas Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) Nilai Output Nilai Input Tenaga Kerja (000 Rp) (000 Rp) 1986 77753194 6989042 1987 85194307 7428701 1988 84834528 6666410 1989 174015019 14488762 1990 233477659 16518707 1991 356442815 63512531 1992 479378711 30507646 1993 1014085032 41039459 1994 896117268 53141704 1995 1043282092 115277987 1996 1373373532 111239016 1997 817865663 59025548 1998 1885887653 21262216 1999 1584943654 55606842 2000 1747393553 732127237 2001 1536891036 70233935 2002 1655551529 87251603 2003 1618232656 77928882 Keterangan: Tahun Dasar 1993 (1993=100) Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah Tahun
Produktivitas (%) 11.13 11.47 12.73 12.01 14.13 5.61 15.71 24.71 16.86 9.05 12.35 13.86 88.70 28.50 2.39 21.88 18.97 20.77
Lampiran 7. Trend Permintaan Mi Instan Dunia No.
Negara
1
Cina, Hong Kong
2
2001
2002
2003
2004
212.0
231.0
320.0
390.0
Indonesia
99.0
109.0
112.0
120.1
3
Jepang
53.5
52.7
54.0
55.4
4
Amerika Serikat
30.0
33.0
37.8
38.0
5
Korea Selatan
36.4
36.5
36.0
36.5
6
Filipina
18.0
20.0
22.0
25.0
7
Vietnam
11.4
17.0
23.0
24.8
8
Thailand
16.5
17.0
17.2
17.8
9
Rusia
6.0
15.0
15.0
15.2
10
Brazil
10.4
11.9
11.1
11.5
11
Mexico
5.3
6.4
7.5
10.0
12
Taiwan
9.0
9.4
10.0
9.5
13
Malaysia
5.8
7.4
8.2
8.7
14
Saudi Arabia, UAE
0.6
0.6
0.6
5.0
14
Nigeria
16
India
1.8
2.3
3.0
4.3
17
Inggris
2.3
2.5
2.6
2.6
18
Polandia, Hungaria, Czech
1.6
2.0
2.2
2.3
19
Kanada
1.5
1.5
1.5
1.8
20
Kamboja
1.3
1.3
1.3
1.7
21
Australia
1.5
1.5
1.5
1.5
22
Jerman
1.4
1.4
1.4
1.4
23
Singapura
1.2
1.2
1.2
1.2
24
Fiji and outskirt islands
0.8
0.8
0.8
0.8
25
Myanmar
0.7
0.7
0.7
0.7
25
Nepal
0.7
0.7
0.7
0.7
27
Afrika Selatan
0.5
0.5
0.5
0.5
28
New Zealand
0.4
0.4
0.4
0.4
29
Perancis
0.35
0.35
0.4
0.4
30
Norwegia, Finlandia, Swedia, Denmark
0.3
0.3
0.3
0.3
31
Netherlands
0.3
0.3
0.3
0.3
32
Peru
0.1
0.2
0.2
0.2
33
Belgia
0.1
0.1
0.1
0.1
34
Lainnya**
2.0
2.0
2.0
2.0
530.8
585.0
693.5
795.7
Total
*Perkiraan tahun 2003 direvisi. **Italia, Spanyol, dll. Sumber : Japan Agricultural Standards. 2006
5.0
Lampiran 8. Hasil Estimasi Regresi Industri Mi Instan Uji Akar Unit (Unit Root Test) Null Hypothesis: PCM has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.018147 -3.886751 -3.052169 -2.666593
0.0077
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(CR4) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-14.81561 -4.297073 -3.212696 -2.747676
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: XEFF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.168686 -3.886751 -3.052169 -2.666593
0.0402
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(PRODUKTIVITAS,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-27.83648 -4.420595 -3.259808 -2.771129
0.0001
Null Hypothesis: LXPOR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.996492 -3.886751 -3.052169 -2.666593
0.0554
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LIMPOR) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.973850 -3.959148 -3.081002 -2.681330
0.0016
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: GRS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.087346 -4.200056 -3.175352 -2.728985
0.0574
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Uji Autokolerasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.127776 0.729378
Probability Probability
0.882834 0.694413
Probability
0.378155
Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: Obs*R-squared
15.00000
Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen
D(CR4) XEFF D(PROD,2) D(PROD (-1),2) XPOR D(LIMPOR) GRS
D(CR4)
XEFF
D(PROD,2)
D(PROD (-1),2)
XPOR
D(LIMPOR)
GRS
1.000000 -0.225702 0.087977 0.108234
-0.225702 1.000000 0.246341 -0.073276
0.087977 0.246341 1.000000 -0.512100
0.108234 -0.073276 -0.512100 1.000000
-0.145939 -0.053333 0.068384 -0.098078
0.084288 -0.357949 -0.099889 -0.310727
0.541802 -0.380939 0.033702 0.105764
-0.145939 0.084288 0.541802
-0.053333 -0.357949 -0.380939
0.068384 -0.099889 0.033702
-0.098078 -0.310727 0.105764
1.000000 0.180454 -0.192395
0.180454 1.000000 0.152505
-0.192395 0.152505 1.000000
Uji Stasioneritas Variabel PCM CR4 XEFF PROD LX LM GRS
Tingkat Kestasioneran level first difference level second difference level first difference level
Hasil Estimasi Regresi Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 03/28/06 Time: 16:10 Sample(adjusted): 1989 2003 Included observations: 15 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(CR4) XEFF D(PRODUKTIVITAS,2) D(PRODUKTIVITAS(-1),2) XPOR D(LIMPOR) GRS C
-0.150710 0.416685 0.093031 0.228412 -0.004662 -3.549973 0.924177 4.808103
0.109995 0.116016 0.045660 0.046827 0.053339 4.600581 0.391593 7.401131
-1.370157 3.591617 2.037464 4.877785 -0.087394 -0.771636 2.360044 0.649644
0.2130 0.0088 0.0810 0.0018 0.9328 0.4656 0.0503 0.5366
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.897155 0.794310 5.875211 241.6267 -42.12916 1.798268
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
27.37667 12.95437 6.683888 7.061514 8.723350 0.005279
Nilai Variabel Endogen dan Eksogen Obs
PCM
CR4
XEFF
1986 26.69000 44.43000 55.10000 1987 21.46000 44.91000 42.75000 1988 21.25000 46.21000 40.05000 1989 11.24000 68.41000 24.26000 1990 19.81000 57.64000 36.80000 1991 22.31000 69.74000 66.54000 1992 38.25000 67.16000 80.06000 1993 34.31000 96.13000 31.14000 1994 32.15000 47.05000 55.98000 1995 26.54000 41.41000 54.76000 1996 35.17000 46.92000 66.77000 1997 33.62000 45.46000 59.86000 1998 44.98000 50.93000 73.11000 1999 32.27000 50.09000 55.45000 2000 -7.060000 43.82000 53.61000 2001 39.90000 41.60000 64.18000 2002 21.21000 34.79000 35.53000 2003 25.95000 34.15000 43.41000 Sumber : BPS, 1986-2003, diolah.
PRODUKTIVITAS
EXPOR
IMPOR
GRS
11.13000 11.47000 12.73000 12.01000 14.13000 5.610000 15.71000 24.71000 16.86000 9.050000 12.35000 13.86000 88.70000 28.50000 2.390000 21.88000 18.97000 20.77000
0.290000 0.800000 3.780000 3.430000 6.780000 10.15000 12.45000 18.43000 20.76000 26.15000 46.90000 20.04000 12.50000 36.09000 71.09000 90.06000 83.48000 86.36000
0.250000 0.200000 0.140000 0.310000 0.300000 0.400000 0.540000 0.960000 1.430000 1.430000 1.750000 3.480000 1.510000 1.580000 3.890000 5.980000 7.410000 9.760000
171.2700 0.100000 0.000000 1.050000 0.340000 0.530000 0.340000 20.16000 -0.910000 0.160000 0.320000 -0.400000 1.310000 -0.160000 0.100000 -0.120000 0.080000 -0.020000