ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI TEPUNG TERIGU DI INDONESIA PERIODE 1986-2003
OLEH ELSA TASLIAH H14102019
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
ELSA TASLIAH. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Tepung Terigu di Indonesia Periode 1986-2003 (dibimbing oleh TANTI NOVIANTI).
Laju pertumbuhan sektor industri pada negara maju maupun negara berkembang relatif lebih cepat dibanding sektor pertaniannya. Sektor ini berangsur-angsur menggantikan peranan sektor tradisional (sektor pertanian) dalam menyerap tenaga kerja dan sumber pendapatan negara. Hal ini memberi indikasi bahwa perkembangan sektor industri sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Hingga saat ini, sektor industri telah memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, pada subsektor industri pengolahan, industri yang menyumbang paling besar terhadap PDB adalah industri makanan, minuman dan tembakau. Industri tersebut menyumbang lebih dari separuh jumlah PDB yang disumbangkan oleh subsektor industri pengolahan tanpa migas setiap tahunnya. Industri tepung terigu yang merupakan salah satu bagian dari industri makanan kini telah menjadi komoditi makanan tambahan yang cukup penting bagi masyarakat Indonesia. Industri tepung terigu memiliki keterkaitan (linkages) dengan industri nasional lainnya. Dalam menghasilkan output, industri tepung terigu mengalami kesulitan dalam pembudidayaan gandum, hal ini disebabkan karena lahan (kontur tanah) dan iklim yang tidak cocok dalam pembudidayaan gandum, sehingga sampai saat ini industri tepung terigu di Indonesia masih mengimpor biji gandum sebagai bahan baku pembuatan tepung terigu. Pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi melanda Indonesia yang berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Adanya peningkatan harga BBM dan tarif listrik akan menambah beban biaya produksi yang semakin meningkat sehingga berdampak pada kenaikan harga tepung terigu. Prospek industri tepung terigu di Indonesia sangatlah menjanjikan baik pada pasar domestik maupun di pasar global. Kenaikan ekspor tepung terigu disebabkan semakin tingginya kualitas industri tepung terigu nasional dalam negeri. Namun demikian persaingan di pasar internasional sangatlah ketat, terutama impor tepung terigu yang berasal dari Australia, Srilangka, Belgia, India, Cina, Singapura dan negara-negara Uni Emirat Arab yang harga jual terigu ekspornya jauh lebih rendah dari pada tepung terigu Indonesia, dengan semakin banyaknya produk impor yang memiliki nilai tambah dan efisiensi yang lebih tinggi menyebabkan industri tepung terigu lokal harus meningkatkan kualitas, nilai tambah dan efisiensi ekonomi dari produk yang dihasilkannya, supaya produk terigu lokal memiliki daya saing di pasaran dalam negeri dan internasional. Tujuan dari penelitian ini, untuk menganalisis faktor-faktor produksi yang mempengaruhi output industri tepung terigu di Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis elastisitas dari masing-masing input, skala usaha
(return to scale) industri tepung terigu dan menganalisis nilai tambah dan efisiensi pada industri tepung terigu di Indonesia. Pada penelitian ini, untuk menganalisis faktor-faktor produksi yang mempengaruhi output industri tepung terigu digunakan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data input industri tepung terigu (modal, tenaga kerja, bahan baku dan energi), data output industri tepung terigu dan IHPB (Indeks Harga Perdagangan Besar) dari tahun 1986-2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor produksi bahan baku (X3) dan energi (X4) memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan nilai output industri tepung terigu di Indonesia. Dummy krisis memberikan pengaruh yang negatif dan dummy penghapusan monopoli Bulog memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan nilai output industri tepung terigu. Tenaga kerja memiliki tanda positif dan modal memiliki tanda negatif, tetapi secara individu kedua faktor produksi tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan nilai output industri tepung terigu di Indonesia. Bahan baku memiliki dugaan nilai elastisitas terbesar yaitu sebesar 0.600. Energi memiliki dugaan nilai elastisitas sebesar 0.168. Pendugaan nilai elastisitas tenaga kerja dan modal adalah nol. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan ketersediaan faktor produksi modal dan tenaga kerja sebesar satu persen tidak meningkatkan output yang dihasilkan, ceteris paribus. Dengan demikian, berapapun perubahan ketersediaan faktor produksi tidak akan berpengaruh terhadap perubahan jumlah outputnya. Skala usaha industri tepung terigu berada pada kondisi constant return to scale yang berarti bahwa laju pertumbuhan output sama dengan laju pertumbuhan input. Selama masa periode penelitian nilai tambah industri tepung terigu secara keseluruhan cenderung mengalami fluktuasi. Penurunan nilai tambah terbesar terjadi pada tahun 1997 sebesar -99.22 persen dari tahun sebelumnya, yang disebabkan karena meningkatnya harga input yang digunakan dalam proses produksi tepung terigu, sehingga biaya input yang harus dikeluarkan semakin besar. Berdasarkan hasil nilai terkecil dari rasio antara biaya input dengan nilai output maka tingkat efisiensi industri tepung terigu yang paling tinggi selama masa periode penelitian terdapat pada tahun 1997. Industri tepung terigu dalam peningkatan output riil disarankan untuk menambah bahan baku karena nilai elastisitasnya yang tertinggi. Perusahaan dapat terus menambah bahan baku selama penambahan output yang dihasilkan masih lebih besar dari tambahan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi tersebut.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Elsa Tasliah
Nomor Registrasi Pokok : H14102019 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul
: Analisis
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Output Industri Tepung Terigu di Indonesia Periode 1986-2003
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Tanti Novianti, SP, M.Si NIP. 132 206 249
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2006
Elsa Tasliah H14102019
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Elsa Tasliah lahir pada tanggal 8 Desember 1984 di Jakarta. Penulis anak ke dua dari lima bersaudara, dari pasangan Abdul Makmun dan Dedeh Karyati. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 5 Sawangan, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Sawangan dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Parung dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan studinya ke Institut Pertanian Bogor. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi seperti Hipotesa FEM IPB.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Alloh SWT karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Tepung Terigu di Indonesia Periode 1986-2003”. Tepung terigu merupakan salah satu komoditi yang strategis yang merupakan alternatif bahan makanan pokok di Indonesia. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Ibu Tanti Novianti, SP, M.Si, yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Dr. Sri Mulatsih, yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Findi Alexandi, M.Si, terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Penulis juga sangat terbantu oleh kritik dan saran dari para peserta seminar hasil penelitian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada mereka. Penulis juga berterima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, yaitu Ayahanda Abdul Makmun dan Ibunda Dedeh Karyati serta saudara-saudara penulis, Estika, Emma, Indah dan Pretty. Doa dan dorongan motivasi yang mereka berikan sangat besar artinya dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Sanimah, Indah, Sari, Vina, Nila, Widi, Irma dan teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 39
lainnya yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2006
Elsa Tasliah H14102019
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI TEPUNG TERIGU DI INDONESIA PERIODE 1986-2003
Oleh ELSA TASLIAH H14102019
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Laju pertumbuhan sektor industri pada negara maju maupun negara berkembang relatif lebih cepat dibanding sektor pertaniannya. Sektor ini berangsur-angsur menggantikan peranan sektor tradisional (sektor pertanian) dalam menyerap tenaga kerja dan sumber pendapatan negara. Hal ini memberi indikasi bahwa perkembangan sektor industri sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Hingga saat ini, sektor industri telah memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Pada triwulan I tahun 2005, sektor ekonomi yang menunjukkan nilai tambah bruto yang terbesar atas dasar harga berlaku adalah sektor industri pengolahan sebesar Rp 179.6 triliun, Sektor perdagangan-hotel-restoran sebesar Rp 102.7 triliun, sektor pertanian Rp 97.3 triliun, sektor jasa-jasa sebesar Rp 64.2 triliun, sektor pertambangan-penggalian Rp 59.6 triliun dan sektor keuangan sebesar Rp 52.6 triliun. Sektor ekonomi lainnya masing-masing menghasilkan nilai tambah bruto di bawah Rp 50 triliun. Pada perhitungan atas dasar harga konstan 2000, pada triwulan I tahun 2005 keenam sektor di atas, memberikan nilai tambah bruto berturut-turut sektor industri pengolahan sebesar Rp 121.8 triliun, sektor perdagangan-hotel-restoran Rp 71.4 triliun, sektor pertanian Rp 64.7 triliun (Depertemen Perindustrian, 2005). Kontribusi sektor industri pengolahan pada tahun 2004-2005 disajikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. PDB Menurut Sektor Ekonomi/Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000 (Triliun Rupiah) Sektor Ekonomi/Lapangan Usaha
Harga Berlaku
Harga Konstan 2000
Tr IV 2004
Tr I 2005
Tr IV 2004
Tr I 2005
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
78.6 55.4 171.7 36.8 99.2 37.9 51.4
97.3 59.6 179.6 6.1 38.5 102.7 39.1 52.6
54.9 41.2 120.8 2.9 25.4 70.7 25.3 39.1
64.7 40.3 121.8 2.9 25.4 71.4 25.5 39.5
63.0
64.2
38.5
39.1
PDB PDB Tanpa Migas
600.0 542.7
639.7 577.8
418.8 382.1
430.6 393.7
Sumber: Departemen Perindustrian, 2005
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB. Kinerja sektor industri pengolahan harus tetap dipertahankan bahkan ditingkatkan, karena keterpurukan sektor industri dapat menyebabkan kehancuran bagi perekonomian Indonesia. Diantara kelompok-kelompok industri pengolahan yang ada, ternyata kontribusi paling besar terhadap pembentukan PDB masih dari subsektor tradisional, yakni makanan, minuman dan tembakau. Industri tersebut menyumbang lebih dari separuh jumlah PDB yang disumbangkan oleh subsektor industri pengolahan tanpa migas setiap tahunnya (BPS dalam Putri, 2004). Industri tepung terigu yang merupakan salah satu bagian dari industri makanan kini telah menjadi komoditi makanan tambahan yang cukup penting bagi masyarakat. Komoditi ini merupakan salah satu input untuk menghasilkan produk makanan tambahan masyarakat, seperti: mie, kue-kue, biskuit, roti dan sejenisnya.
Selain itu, industri tepung terigu memiliki keterkaitan (linkages) dengan industri nasional lainnya seperti industri makanan, sektor peternakan, industri kain belacu dan kantong terigu yang melibatkan banyak tenaga kerja (Aptindo, 2005). Pengguna tepung terigu di Indonesia saat ini masih didominasi oleh sektor industri makanan yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan mie, roti, biskuit, kue dan lain-lain. Berdasarkan data Aptindo (2005) pengguna tepung terigu terbesar adalah industri mie basah dan industri kecil sebesar 32 persen, diikuti dengan industri mie instan, roti dan kue dengan penggunaan sebesar 20 persen, industri biskuit/snack dan rumah tangga sebesar 10 persen dan industri mie kering sebesar 8 persen. Pasar terigu atas dasar produk akhir disajikan pada Gambar 1.1. Mie Basah dan Industri Kecil 32%
Mie Kering 8%
Biskuit Rumah 10% Tangga 10%
Mie Instan 20%
Roti dan Kue 20%
Gambar 1.1. Pasar Terigu Atas Dasar Produk Akhir Sumber: Aptindo, 2005
Besarnya komoditi masyarakat Indonesia terhadap tepung terigu, menyebabkan komoditi ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pangan alternatif yang dapat menggantikan beras, selain jagung dan sagu. Di samping itu, kandungan karbohidrat tepung terigu hampir setara dengan beras dan lebih berkualitas dibandingkan jagung dan sagu (Aptindo, 2005).
Dalam menjalankan proses produksi atau menghasilkan output tidak sedikit masalah yang dihadapi industri tepung terigu baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Permasalahan yang berasal dari dalam negeri yang mempengaruhi output industri tepung terigu adalah yang berkaitan dengan masalah lahan dan iklim. Indonesia memiliki lahan atau kontur tanah dan iklim yang tidak cocok untuk pembudidayaan gandum, pada saat ini bahan baku tepung terigu dalam negeri dipenuhi dari impor dalam bentuk biji gandum yang kemudian diproses menjadi tepung terigu oleh industri penepungan seperti PT Bogasari Flour Mills. Volume impor biji gandum Indonesia sangat tinggi dimana data tahun 2003 mencatat lebih dari 4 juta ton per tahun (www.batan.go.id, 2003). Permasalahan yang lain yaitu pada pertengahan tahun 1997, Indonesia dilanda krisis mata uang yang merupakan kelanjutan dari krisis serupa yang telah dialami sebelumnya oleh Thailand, Malaysia dan Philipina, yang terus berkembang menjadi krisis moneter bahkan menjadi krisis ekonomi yang berdampak sangat luas terhadap sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kenaikan nilai tukar dollar Amerika terhadap rupiah, menyebabkan devisa yang harus disediakan untuk impor gandum menjadi sangat tinggi. Hal lainnya adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung bersifat kontraproduktif seperti kenaikan tarif listrik dan harga BBM menyebabkan biaya produksi semakin meningkat, dengan demikian harga produk tepung terigu semakin mahal. Produk tepung terigu Indonesia menjadi tidak dapat
bersaing dengan produk dari negara lain yang lebih murah harganya (www.kompas.com, 2001). Masalah yang berasal dari luar negeri yang mempengaruhi output industri tepung terigu yaitu krisis Irak pada tahun 2003 yang berdampak pada kenaikan harga minyak di pasaran internasional telah membuat industri nasional semakin suram terutama pada industri tepung terigu yang menghadapi kenaikan ongkos transportasi laut sebagai akibat dari kenaikan harga minyak. Gandum yang harganya dari 20 dollar AS per ton, dengan adanya kenaikan harga biaya pengapalan gandum membuat harga gandum meningkat menjadi 160 dollar AS per ton sampai di pelabuhan Indonesia (www.kompas.com, 2003). Permasalahan yang lain yaitu adanya kenaikan harga gandum di pasaran internasional tahun 2003 yang disebabkan karena kegagalan panen gandum di Cina, karena Cina mengalami kegagalan panen gandum, maka Cina mengimpor gandum dalam jumlah besar di pasar dunia. Meningkatnya permintaan Cina akan gandum maka menyebabkan permintaan kapal angkut akan semakin meningkat dan hal ini akan semakin menambah sentimen positif bagi kenaikan indeks ongkos angkut laut (www.tempointeraktif.com, 2004). Selain permasalahan di atas pada industri tepung terigu di Indonesia terdapat kebijakan yang mempengaruhi output industri tepung terigu yaitu dengan dikeluarkannya Keppres No. 19/1998 tanggal 21 Januari 1998, dengan demikian sejak tahun 1998 monopoli Bulog terhadap industri tepung terigu telah dihapuskan. Sebelum tahun 1998, kebutuhan tepung terigu di dalam negeri merupakan tanggung jawab Bulog. Deregulasi tahun 1998 ini telah merubah
paradigma bisnis dan struktur industri tepung terigu, pasar menjadi kompetitif dan terbuka, adanya peningkatan pelayanan kepada pelanggan, adanya inovasi produk, merk, distribusi dan promosi, serta efisiensi biaya sebagai dampak dari skala ekonomi (Aptindo, 2005). Prospek industri tepung terigu di Indonesia sangatlah menjanjikan baik pada pasar domestik maupun di pasar global. Setiap tahun pangsa pasar tepung terigu bertambah antara 5 hingga 10 persen. Meningkatnya pangsa pasar terigu karena semakin besarnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang bukan nasi. Menurut catatan Asosiasi Produsen Terigu Indonesia tahun 2002, total omset terigu setiap tahun sekitar Rp 6 triliun. Angka sebesar ini membuat banyak pengusaha terangsang untuk masuk ke jalur bisnis ini (www.sinarharapan.co.id, 2002). Ekspor produk tepung terigu terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Keadaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Perkembangan Ekspor Tepung Terigu di Indonesia ( 2001-2003) Tahun
Ekspor
2001
Berat (Kg) 2,498,000
Nilai (US$) 515,000
2002
8,438,000
2,652,000
2003
15,261,000
3,784,000
Sumber: Departemen Perindustrian, 2005
Kenaikan ekspor tepung terigu disebabkan semakin tingginya kualitas industri tepung terigu nasional dalam negeri. Namun demikian, persaingan di pasar internasional sangatlah ketat, terutama impor tepung terigu yang berasal dari Australia, Srilangka, Belgia, India, Cina, Singapura dan negara Uni Emirat Arab yang harga jual terigu ekspornya jauh lebih rendah dari pada tepung terigu
Indonesia, dengan semakin banyaknya produk impor yang memiliki nilai tambah dan efisiensi yang lebih tinggi sehingga menyebabkan industri tepung terigu lokal harus meningkatkan kualitas, nilai tambah dan efisiensi ekonomi supaya produk tepung terigu lokal memiliki daya saing di pasaran dalam negeri dan ekspor.
1.2. Perumusan Masalah Kebutuhan konsumsi tepung terigu akan semakin meningkat seiring dengan semakin besarnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang bukan nasi dan semakin berkembangnya restoran siap saji (fast food) yang menjual jenis makanan seperti burger, hot dog, pizza, kebab, donat dan sebagainya. Globalisasi menyebabkan semakin mudahnya tepung terigu impor masuk ke dalam negeri. Maraknya tepung terigu impor yang harganya jauh lebih rendah dari harga tepung terigu nasional menyebabkan keterpurukan bagi industri tepung terigu nasional. Konsumen akan lebih cenderung membeli tepung terigu yang harganya relatif lebih murah. Persaingan dalam pasar domestik dan pasar ekspor akan menjadi lebih ketat. Apalagi dengan semakin efisiennya industri tepung terigu negara-negara pengekspor lainnya sehingga dapat menekan harga jual tepung terigu dan memiliki daya saing yang tinggi. Adanya masalah pada lahan dan iklim di Indonesia yang tidak cocok dengan pembudidayaan gandum, sehingga penyediaan gandum sampai sekarang masih terus diimpor, adanya ketidakstabilan ekonomi dan politik yang berdampak pada turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, begitu pula halnya dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai kenaikan harga BBM dan tarif listrik yang merupakan komponen yang sangat penting dalam menjalankan dunia usaha. Keadaan tersebut akan semakin menambah beban biaya produksi yang semakin meningkat. Hingga tahun 2003, biaya input yang diperlukan dalam pembuatan tepung terigu cenderung terus mengalami peningkatan, sehingga menambah beban produksi yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha (BPS, 2003). Untuk menghindari kerugian, maka pelaku usaha sepakat untuk menaikkan harga jual tepung terigu. Akhirnya produk tepung terigu Indonesia akan menjadi sangat mahal dan daya serap konsumen terhadap produk tersebut akan semakin rendah, sedangkan di pasaran dalam negeri produk impor tepung terigu semakin meningkat yang harganya jauh lebih rendah dibandingkan hasil produksi dari dalam negeri. Jika hal ini terus berlanjut maka produk tepung terigu nasional tidak bisa bersaing dengan produk dari luar negeri yang harganya lebih murah dan berkualitas. Pada akhirnya industri tepung terigu mengalami kebangkrutan bahkan dapat tutup usaha. Berdasarkan pada penjelasan di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini: 1. Bagaimana pengaruh faktor-faktor produksi (input) terhadap perubahan output industri tepung terigu di Indonesia? 2. Bagaimana elastisitas output dari masing-masing input dan skala usaha (return to scale) industri tepung terigu di Indonesia? 3.
Bagaimana nilai tambah dan efisiensi industri tepung terigu di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi (input) terhadap perubahan output industri tepung terigu di Indonesia. 2. Menganalisis elastisitas dari masing-masing input dan bagaimana return to scale industri tepung terigu di Indonesia. 3. Menganalisis nilai tambah dan efisiensi industri tepung terigu di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat memberikan berbagai macam bukti empirik serta informasi mengenai kondisi industri tepung terigu di Indonesia, akan terlihat kondisi yang terjadi berikut perkembangan pada industri tepung terigu terutama mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi output. Kegunaan penelitian ini secara lebih khusus adalah sebagai berikut: 1. Bagi pemerintah sebagai lembaga pembuat kebijakan (policy makers) penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta menjadi bahan masukan dalam merumuskan berbagai kebijakan di masa yang akan datang. 2. Bagi para pelaku pasar, penelitian ini diharapkan menjadi tambahan informasi atas kondisi dan tindakan-tindakan yang terjadi pada industri tepung terigu yang konsekuensinya akan berakibat pada pelaku pasar itu, baik produsen dan distributor.
3. Bagi penulis, penelitian ini merupakan proses belajar untuk lebih kritis dalam menganalisis kebijakan yang di keluarkan terhadap sektor industri. Tentu saja akan banyak tambahan ilmu dan pengetahuan yang akan didapatkan selama proses penelitian. Hal ini dapat membuka lebih jauh wawasan serta pemahaman untuk mencari jawaban atas perumusan masalah.
1.5. Ruang Lingkup Dalam skripsi ini penelitian dilakukan pada industri tepung terigu di Indonesia, dengan menganalisis faktor-faktor produksi yang mempengaruhi output industri tepung terigu dalam kurun waktu 1986-2003. Faktor-faktor produksi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah hanya faktor-faktor yang dianggap dominan dalam mempengaruhi hasil output, yaitu modal, tenaga kerja, bahan baku dan energi pada industri tepung terigu skala besar dan sedang. Faktorfaktor produksi lainnya yang tidak dibahas dalam penelitian ini diasumsikan bernilai konstan.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Suatu sistem perekonomian merupakan suatu cara sebuah negara untuk mengalokasikan sumberdaya negaranya, baik individu maupun organisasi. Beberapa pakar mengklasifikasikannya ke dalam tiga kelompok penting pelaku ekonomi (Lipsey et al., 1995) yang terdiri dari rumah tangga (households), perusahaan (firms), dan pemerintah (government).
2.1. Pengertian Industri Industri diartikan sebagai sekumpulan perusahaan yang serupa atau sekelompok produk yang berkaitan erat (Lipsey, et al., 1995). Dalam hal ini industri tepung terigu adalah sekumpulan perusahaan tepung terigu. Secara mikro, industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan
barang-barang
yang
homogen,
atau
barang-barang
yang
mempunyai sifat saling mengganti yang erat. Pengertian industri secara makro dari segi pembentukan pendapatan adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah yakni semua produk, baik barang maupun jasa. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian industri secara luas adalah suatu unit usaha yang melakukan kegiatan ekonomi yang mempunyai tujuan untuk menghasilkan barang dan jasa yang terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu serta mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seseorang atau lebih yang bertanggung jawab atas resiko usaha tersebut (Hasibuan, 1993).
BPS (2002), mendefinisikan industri pengolahan sebagai suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir. Perusahaan industri adalah suatu unit usaha yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau dari yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya yang terletak di suatu bangunan atau pada lokasi tertentu yang mempunyai catatan administrasi sendiri mengenai produksi dan struktur biaya, serta ada orang yang bertanggung jawab terhadap resiko usaha. Penggolongan sektor industri menurut BPS dikelompokkan menjadi empat golongan berdasarkan banyaknya pekerja, yaitu: 1. Industri besar, tenaga kerja terdiri dari 100 orang atau lebih 2. Industri sedang, tenaga kerja terdiri dari 20-99 orang 3. Industri kecil, tenaga kerja terdiri dari 5-19 orang 4. Industri rumah tangga, tenaga kerja terdiri dari 1-4 orang Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002, industri pengolahan dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu: 1. Industri migas a. Industri pengilangan minyak bumi b. Industri gas alam cair 2. Industri bukan migas a. Industri makanan, minuman dan tembakau
b. Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki c. Industri barang kayu dan hasil hutan lain d. Industri barang kertas dan barang cetakan e. Industri pupuk, kimia dan barang dari karet f. Industri semen dan barang galian bukan logam g. Industri logam dasar besi dan baja h. Industri alat angkutan, mesin dan peralatan i. Industri barang lainnya Dalam hal ini, industri tepung terigu termasuk kategori industri bukan migas, yaitu industri makanan, minuman dan tembakau. Menurut Departemen Perindustrian, industri tepung terigu merupakan bagian dari industri makanan, yang terdiri dari: industri biskuit, industri coklat olahan, industri daging dalam kaleng, industri kelapa parut, industri gula lainnya, industri ikan dan udang dalam kemasan, industri ikan/udang beku, industri kecap/saos, industri kembang gula, industri kerupuk udang, industri msg, industri margarin, industri mete olahan, industri mie dari tepung terigu, industri minyak goreng kelapa, industri minyak goreng lain dari nabati, industri minyak goreng sawit, industri olahan rumput laut (agar-agar), industri pakan ternak (komponen + ransum), industri snack food (makanan ringan), industri tepung ikan, industri tepung tapioka, dan industri tepung terigu. Industri tepung terigu berdasarkan klasifikasi industri standar internasional terperinci (ISIC) Badan Pusat Statistik (BPS) termasuk dalam industri lima digit 31164 (hingga tahun 1989), yaitu industri tepung terigu. Pada tahun 1990
klasifikasinya berubah menjadi 31168 dan kemudian menjadi 15321 pada tahun 1998.
2.2. Pengertian Produksi Produksi atau memproduksi adalah menambah kegunaan (nilai guna) suatu barang. Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dari bentuk semula, untuk memproduksi dibutuhkan faktor-faktor produksi yaitu alat atau sarana untuk melakukan proses produksi. Faktor-faktor produksi yang dimaksudkan dalam Ilmu Ekonomi adalah manusia (tenaga kerja = TK), modal (uang atau alat modal seperti mesin = M), sumber daya alam (tanah = T) dan skill (teknologi = T) (Putong, 2005). Produksi merupakan semua kegiatan untuk menciptakan dan menambah kegunaan suatu barang atau jasa dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi yang tersedia, sedangkan faktor produksi adalah sumber-sumber ekonomi yang harus diolah oleh perusahaan untuk dijadikan barang atau jasa untuk kepuasan konsumen
dan
sekaligus
memberikan
keuntungan
bagi
perusahaan
(Sumarni,1998). Ada pula yang mengatakan bahwa faktor produksi adalah sumber daya yang digunakan dalam memproduksi barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan, seringkali terdiri dari kategori dasar yaitu: tanah, tenaga kerja dan modal (Lipsey, 1995). Meskipun dalam suatu proses produksi terdapat banyak faktor produksi yang digunakan, namun tidak semua faktor produksi digunakan dalam analisis fungsi produksi. Hal ini tergantung dari penting tidaknya pengaruh dari faktor
produksi terhadap hasil produksi. Faktor produksi yang tidak begitu penting tidak digunakan dalam analisis fungsi produksi, karena itu fungsi produksi hanya merupakan fungsi pendugaan (Soekartawi, 1993). Berdasarkan pengertian produksi di atas, maka produksi merupakan suatu sistem. Sistem produksi adalah suatu keterkaitan unsur-unsur produksi secara terpadu, menyatu dan menyeluruh dalam melakukan transformasi masukan menjadi keluaran. Oleh karena itu pengambilan keputusan dalam bidang produksi perlu mengetahui lebih mendalam mengenai produksi dan sistem produksi, sehingga proses produksi yang berjalan dapat mencapai tujuan yang diharapkan (Assuari, 1980).
INPUT Bahan Tenaga kerja Mesin Energi Modal Informasi
TRANSFORMASI
OUTPUT
Proses Konversi
Barang Jasa
Gambar 2.1. Proses Produksi Sumber: Assuari, 1980
Dalam produksi dikenal istilah nilai output dan biaya input. Nilai output merupakan penjumlahan dari pada nilai-nilai barang dan jasa yang dihasilkan sendiri dan dijual kepada pihak lain ditambah dengan nilai tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dan dijual kepada pihak lain serta selisih nilai stok barang setengah jadi. Biaya input adalah penjumlahan dari nilai bahan baku dan penolong yang dipergunakan oleh perusahaan industri tepung terigu besar dan sedang baik yang berasal dari luar negeri (impor) atau dari dalam negeri, nilai bahan bakar
yang dipakai, tenaga listrik yang dibeli, sewa gedung, mesin dan alat-alat, jasa industri yang diberikan kepada pihak lain serta jasa non industri lainnya (BPS, 2003).
2.3. Penelitian Terdahulu Harfa (1996) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Permintaan Tepung Terigu di Indonesia”. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif data dan analisis regresi linear berganda yang diduga dengan OLS. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa permintaan tepung terigu kini telah mengalami perubahan polanya, yaitu dari pola konsumsi langsung menuju ke pola konsumsi tidak langsung/bentuk olahannya (seperti dalam bentuk mie, roti). Harga tepung terigu, harga beras, harga tepung tapioka, pendapatan perkapita, selera dan variabel boneka berpengaruh nyata pada fungsi permintaan tepung terigu. Wahyu (1999) dalam penelitiannya yang berjudul “ Analisis Dampak Krisis Ekonomi terhadap Kinerja Industri Makanan Olahan Tepung Terigu (Studi Kasus Industri Mie dan Roti Skala Kecil dan Wilayah Kabupaten dan Kotamadya Bogor, Jawa Barat)”. Hasil penelitiannya menunjukkan krisis ekonomi telah menurunkan volume produksi kedua industri. Selama periode krisis terjadi peningkatan total pengeluaran, yaitu masing-masing sebesar 97.89 persen pada industri mie dan 32.28 persen untuk industri roti. Peningkatan yang cukup besar
ini disebabkan oleh naiknya harga input yang digunakan terutama input variabel terutama untuk bahan baku dan bahan penolong yang digunakan. Wijaya (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Optimalisasi Produksi Tepung Terigu (Studi Kasus PT ISM Bogasari Flour Mills, Jakarta)”. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam perencanaan suatu rencana produksi yang tepat maka perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perencanaan produksi pada PT ISM Bogasari Flour Mills, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam membuat perencanaan produksi adalah jumlah permintaan dari konsumen, ketersediaan bahan baku, kapasitas mesin dan peralatan produksi yang tersedia, kapasitas gudang dan produk samping yang dihasilkan. Alistair (2004) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja pada Industri Tepung Terigu di Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli Bulog”. Alat analisisnya yang digunakan yaitu analisis deskriptif data dan analisis regresi linear berganda yang diduga dengan OLS. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa struktur pasar tepung terigu di Indonesia adalah bentuk pasar yang dikuasai oleh satu perusahaan dominan yang setiap tahunnya meraih pangsa pasar lebih dari 50 persen. Hambatan masuk pada industri ini cukup tinggi jika dilihat dari perangkat-perangkat legal dan kondisi alamiah yaitu adanya peraturan SNI wajib bagi tepung terigu dan MES (minimum efisiensi scale) yang sangat tinggi. Perilaku yang terjadi menggambarkan perusahaan yang mendominasi pasar memiliki strategi produk dan promosi yang paling berkembang sedangkan penetapan harga biasanya dilakukan dengan melihat harga bahan baku di pasar
internasional yang kemudian dikoordinasikan diantara para produsen tepung terigu. Kinerja yang dilihat dari utilisasi kapasitas produksi menggambarkan bahwa produsen tepung terigu tidak memaksimalkan kapasitas produksinya. Jamaludin (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Dampak Kebijakan Perdagangan Gandum-Tepung Terigu terhadap Keseimbangan Tepung Terigu di Indonesia”. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa produksi tepung terigu Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh variabel harga tepung terigu domestik, jumlah impor gandum, upah tenaga kerja disektor industri dan bedakala produksi tepung terigu di Indonesia. Semua peubah bebas bersifat inelastis. Permintaan tepung terigu di Indonesia merupakan agregasi dari jumlah konsumsi tepung terigu secara langsung dan konsumsi tepung terigu untuk industri pengguna tepung
terigu. Penerapan
kebijakan perdagangan
gandum-tepung terigu
berdampak pada peningkatan permintaan impor gandum, permintaan impor tepung terigu dan peningkatan harga tepung terigu domestik, namun mengakibatkan penurunan terhadap permintaan tepung terigu Indonesia.
2.4. Kerangka Pemikiran 2.4.1. Konsep Teori Fungsi Produksi Fungsi produksi menghubungkan input dengan output. Fungsi produksi menentukan output maksimum yang bisa diproduksi dengan sejumlah input tertentu, atau sebaliknya input minimum yang diperlukan untuk memproduksi suatu tingkat output tertentu. Fungsi produksi ini ditentukan oleh teknologi yang digunakan dalam proses produksi, oleh karena itu hubungan antara input/output
untuk setiap sistem produksi merupakan suatu fungsi dari tingkat teknologi, pabrik, peralatan, tenaga kerja, bahan baku dan lain-lain yang digunakan dalam suatu perusahaan. Setiap perbaikan teknologi seperti pemakaian komputer dalam proses
pengendalian
yang
memungkinkan
sebuah
perusahaan
mampu
memproduksi sejumlah output tertentu dengan bahan baku, energi, dan tenaga kerja yang lebih sedikit, atau adanya proses penelitian yang bisa meningkatkan produktivitas tenaga kerja akan meningkatkan sebuah fungsi produksi yang baru (Arsyad, 1999). Teori fungsi produksi mengatakan bahwa setiap proses produksi melibatkan suatu hubungan yang erat antara faktor-faktor produksi yang digunakan dengan produk yang dihasilkan. Fungsi produksi adalah suatu hubungan fisik atau teknis antara jumlah faktor produksi yang digunakan dengan jumlah produksi yang dihasilkan per satuan waktu tanpa memperhatikan hargaharga, baik harga faktor produksi maupun harga produk (Taken dan Asnawi, 1997). Fungsi produksi secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: Y = f ( X1, X2, X3,…. Xn)
(2.1)
Dimana : Y = Jumlah produk yang dihasilkan (output) Xi = Faktor produksi yang digunakan (input) f = Bentuk hubungan transformasi antara faktor produksi dengan hasil produksi
Fungsi produksi dapat pula dinyatakan dalam bentuk grafik, dengan asumsi bahwa hanya ada satu faktor produksi saja yang berubah sedangkan faktor produksi lainnya dianggap tetap atau ceteris paribus. Kebaikan fungsi produksi dinyatakan dalam grafik adalah mudah menganalisis peranan faktor produksi terhadap produk yang dihasilkan. Grafik fungsi produksi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2. Y PT (Ep>1) (Ep>1)
(0<Ep<1) (0<Ep<1)
(Ep<0) (Ep<0)
PR X1
X2
X3
PM
X
Gambar 2.2. Grafik Fungsi Produksi Sumber: Nicholson, 1995
Produksi Total (PT) adalah banyaknya produksi yang dihasilkan dari penggunaan total faktor produksi. Produksi Marginal (PM) adalah tambahan produksi karena penambahan penggunaan satu unit faktor produksi. Definisi produk marjinal untuk suatu input tunggal (Nicholson, 1995) adalah output tambahan yang bisa diperoleh dengan menambah input yang bersangkutan satu unit, sedangkan input-input lain dianggap konstan, secara matematis: ∂Y PM =
(2.2) ∂X
Definisi produk marjinal secara matematis di atas digunakan turunan sebagian (partial derivatives), yang mencerminkan bahwa penggunaan semua input lain dianggap konstan sementara input yang ingin diamati berubah-ubah. Ketika input-input yang digunakan masih sedikit, biasanya produk marjinal sangat tinggi. Tetapi semakin banyak input tersebut digunakan, sementara input lain akan dibiarkan konstan, maka produk marjinal tersebut akan semakin berkurang. Produksi Rata-rata (PR) adalah rata-rata output yang dihasilkan perunit faktor produksi. Secara matematis dapat ditulis: Y PR =
(2.3) X Secara matematis PT akan maksimum apabila turunan pertama dari fungsi
nilainya sama dengan nol. Turunan pertama PT adalah PM, maka PT maksimum pada saat PM sama dengan nol (Nicholson, 1995). Elastisitas produksi (Ep) adalah perubahan produk yang dihasilkan sebagai akibat dari perubahan faktor produksi yang dipakai. Hal tersebut dapat ditulis dalam bentuk berikut: ∂Y/∂X Ep =
∂Y.X =
Y/X
PM =
∂X.Y
(2.4) PR
Suatu fungsi produksi dapat dibagi kedalam tiga daerah produksi yang dibedakan berdasarkan elastisitas produksi. Daerah-daerah produksi yang terdapat pada Gambar 2.2, antara lain (Dibertin dalam Agustineu, 2004): 1. Daerah I (Irrational Region or Irrational Stage of Production) Input terletak pada daerah 0 sampai dengan X2, dimana PM > PR sehingga elastisitas produksi (Ep) > 1. Pada daerah ini kenaikan input secara terus
menerus akan meningkatkan jumlah output yang semakin besar. Pada daerah ini keuntungan maksimum belum tercapai karena tambahan produk secara fisik akibat penambahan satu satuan input fisik memberikan hasil yang selalu lebih besar dari satu sampai minimal sama, produksi masih selalu dapat ditingkatkan dengan penambahan input. Di sini produsen masih mampu memperoleh sejumlah produksi yang cukup menguntungkan manakala sejumlah input masih ditambahkan. Karena hasil yang diperoleh masih jauh lebih besar dari pada pertambahan biaya yang harus dikeluarkan, maka perusahaan/industri akan rugi jika berhenti berproduksi pada kondisi ini. Dengan demikian maka daerah ini merupakan daerah yang tidak rasional. 2. Daerah II (Rational Region or Rational Stage of Production) Input terletak pada daerah X2 sampai dengan X3, dimana 0 < PM < PR sehingga 0 < Ep < 1. Pada daerah ini kenaikan input secara terus menerus akan meningkatkan output dalam jumlah yang semakin kecil. Pada suatu tingkat tertentu dari penggunaan input akan memberikan keuntungan yang maksimum yaitu pada saat nilai produk marginal untuk faktor produksi sama dengan biaya korbanan marginal. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan faktor produksi pada daerah ini sudah optimal, maka dikatakan daerah ini merupakan daerah yang rasional. 3. Daerah III ( Irrational Regional Irrational Stage of Production) Input terletak pada daerah yang lebih besar dari X3, dimana PM < 0 sehingga Elastisitas produksi (Ep) < 0. Pada daerah ini kenaikan input secara terus
menerus akan menurunkan jumlah output. Hal ini tidak rasional karena kenaikan input harus diikuti oleh kenaikan output. Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi produksi, yaitu hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (The Law of Diminishing Return). Hukum tersebut mempunyai arti bahwa jika suatu faktor produksi ditambah terus menerus dalam suatu proses produksi, sedangkan faktor produksi lainnya tetap maka tambahan jumlah produk per satuan faktor produksi pada akhirnya akan menurun. Hukum ini akan menggambarkan adanya kenaikan hasil yang negatif dalam kurva fungsi produksi. 2.4.2. Fungsi Produksi Cobb-Douglas Bentuk fungsi produksi yang digunakan dalam menduga parameterparameter yang mempengaruhi produk ada beberapa macam, seperti fungsi produksi kuadratik, model elastisitas substitusi yang konstan (CES), model transdental, dan fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi kuadratik dan transdental memiliki persamaan yang rumit dan parameter-parameternya bukan merupakan elastisitas dari faktor-faktor produksi. Jika menggunakan fungsi produksi CES sulit untuk mempertahankan elastisitas produksi yang konstan. Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah dengan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, variabel yang satu disebut dengan variabel dependen, yang dijelaskan (Y) dan yang lain disebut variabel independen, yang menjelaskan (X) (Soekartawi, 1993). Secara matematis fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dituliskan sebagai berikut:
Y = aX1b1 X2b2 X3b3…Xnbn eu
(2.5)
Atau dapat dilinearkan dalam bentuk: Ln Y = Ln a + b1Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3….bn Ln Xn + u
(2.6)
Dimana: Y = Output (variabel yang dijelaskan) a
= Intersep
bi = Koefisien regresi penduga variabel ke-i Xi = Jenis faktor produksi ke-1 (variabel yang menjelaskan) u = Residual e
= 2.7182 (logaritma natural) Output yang dihasilkan dalam suatu proses produksi tergantung pada input
yang digunakan, secara sistematis menjelaskan suatu fungsi produksi yang merupakan hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (output) dengan variabel yang menjelaskan (faktor-faktor produksi). Pengaruh faktor lain dalam fungsi produksi Cobb-Douglas ditampung oleh parameter efisiensi α (neutral technik efisiensi parameter) dan sebagian pengaruh faktor lain akan ditampung oleh variabel residual “u”. Fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki syarat-syarat yaitu (Soekartawi, 1993): 1. Tidak ada pengamatan yang memiliki nilai nol, karena logaritma dari nol merupakan suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (invinitiv). 2. Perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan. Artinya fungsi produksi Cobb-Douglas dipakai sebagai model dalam suatu
pengamatan, dan bila diperlukan analisis yang memerlukan lebih dari satu model maka perbedaan model tersebut terletak pada intersep (α) dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut. 3. Tiap variabel bebas adalah perfect competition. 4. Perbedaan lokasi pada fungsi produksi Cobb-Douglas seperti iklim tercakup pada faktor kesalahan (μ). Model fungsi produksi Cobb-Douglas mempunyai kelebihan-kelebihan yang didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: 1. Mengurangi kemungkinan terjadinya heteroskedastisitas. 2. Koefisien pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan besarnya elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang digunakan terhadap output, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat produksi yang optimum dari pemakaian faktor-faktor produksi. 3. Jumlah elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi merupakan penduga terhadap skala usaha (return to scale) dari proses produksi. 4. Perhitungannya sederhana dapat dibuat dalam bentuk linier. Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan fungsi yang banyak digunakan dalam penelitian, sehingga dapat dengan mudah dibandingkan dengan penelitian lain yang menggunakan alat analisis yang sama. Kelemahan dari model fungsi produksi Cobb-Douglas yaitu elastisitas produksinya dianggap konstan, nilai dugaan elastisitas produksi yang dihasilkan berbias bila faktor produksi yang digunakan tidak lengkap. Selain itu tidak dapat digunakan untuk menduga tingkat produksi pada taraf penggunaan faktor produksi sama dengan nol selain itu ada
kelemahan lain dari fungsi produksi Cobb-Douglas yaitu sering terjadinya multikolinearitas. Hubungan yang membuktikan bahwa koefisien pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitasnya dapat dilihat dalam penjelasan di bawah ini dengan menurunkan rumus dari persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas yang dimisalkan dalam persamaan (2.7). Sebagai contoh perhitungan yang dilakukan adalah terhadap faktor produksi modal (X1). Y = a X1b1 X2b2 X3b3 X4b4
(2.7)
Maka: ∂Y eX1 =
. ∂X1
X1 Y
= ab1X1b1-1X2b2X3b3X4b4 .
=
(2.8) X1 aX1b1X2b2X3b3 X4b4
ab1X1b1X2b2X3b3X4b4 aX1b1X2b2X3b3X4b4
= b1 Dimana: eX1
: Elastisitas modal
∂Y/∂X1 : Perubahan output (Y) terhadap modal Y
: Nilai riil output yang dihasilkan dalam industri (ribuan rupiah)
X1
: Modal yang digunakan (ribuan rupiah)
X2
: Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada industri (orang/jiwa)
X3
: Nilai riil bahan baku yang digunakan dalam proses produksi (ribuan rupiah)
X4
: Nilai riil bahan bakar, listrik dan gas (ribuan rupiah)
Jadi koefisien dari modal (X1) merupakan nilai elastisitas modal ( X1) dengan nilai b1. Cara yang sama digunakan untuk menghitung nilai elastisitas dari faktor produksi lainnya. Maka akan diperoleh hasil yang sama yaitu nilai koefisien pangkat dari tenaga kerja menunjukkan nilai elastisitas dari tenaga kerja (X2) tersebut, demikian pula faktor lainnya: bahan baku (X3) dan energi (X4). 2.4.3. Skala Usaha (Return to Scale) Konsep return to scale menjelaskan bagaimana suatu kenaikan yang proporsional dari semua input terhadap hasil produksi total. Konsep ini memiliki tiga kemungkinan keadaan. Pertama, jika proporsi kenaikan semua input sama dengan proporsi kenaikan output maka return to scale-nya adalah konstan (constant return to scale). Kedua, jika proporsi kenaikan output lebih besar dari proporsi kenaikan semua input, maka digunakan increasing return to scale. Ketiga, jika proporsi kenaikan output lebih kecil dari proporsi kenaikan input maka dinamakan decreasing return to scale (Arsyad, 1999). Return to scale perlu diketahui agar dapat melihat apakah kegiatan usaha yang diteliti tersebut mengikuti kaidah increasing, constant atau decreasing return to scale (Soekartawi, 1993). Jika jumlah parameter peubah bebas dari fungsi produksi Cobb-Douglas dilambangkan dengan ∑bi, skala usaha dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Jika ∑bi > 1, maka skala usaha berada pada kondisi increasing return to scale yang berarti laju pertambahan produksi lebih besar dari laju pertambahan input. 2. Jika ∑bi = 1, maka skala usaha berada pada kondisi constant return to scale yang berarti laju pertambahan produksi sama dengan laju pertambahan input. 3. Jika ∑bi < 1, maka skala usaha berada pada kondisi decreasing return to scale yang berarti laju pertambahan produksi lebih kecil dari pertambahan input. 2.4.4. Nilai Tambah dan Efisiensi Yang dimaksud nilai tambah di sini adalah nilai tambah atas dasar harga yang berlaku atau selisih antara nilai output dengan nilai input sebelum dikurangi dengan pajak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam hubungan berikut. Nilai Tambah Bruto (NTB) = Nilai Output – Biaya Input
(2.9)
Nilai output merupakan penjumlahan dari pada nilai-nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh industri besar dan sedang ditambah dengan nilai tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dan dijual kepada pihak lain serta selisih nilai stok barang setengah jadi. Nilai barang dan jasa yang dimaksud di sini seperti jumlah barang yang dihasilkan dan pendapatan produksi lain dari jasa industri. Biaya input merupakan penjumlahan dari nilai bahan baku dan penolong yang dipergunakan oleh perusahaan industri tepung terigu besar dan sedang baik yang berasal dari luar negeri (impor) atau dari dalam negeri, nilai bahan bakar yang dipakai, tenaga listrik yang dibeli, sewa gedung, mesin dan alat-alat, jasa industri yang diberikan kepada pihak lain serta jasa non industri lainnya.
Semua perusahaan industri dalam kegiatannya untuk membuat produk akan berupaya semaksimal mungkin untuk menekan semua input. Hal ini dimaksudkan untuk mencipakan efisiensi kinerja perusahaan tersebut. Untuk menilai tingkat keberhasilan suatu perusahaan dalam proses produksi maka salah satu indikator yang bisa menggambarkan keadaan tersebut yaitu nilai efisiensi. Nilai efisiensi ini merupakan perbandingan antara biaya produksi (biaya input) dengan nilai outputnya (BPS, 2002). Secara matematis dapat ditulis: Biaya Input Efisiensi (η) =
(2.10) Nilai Output
Efisiensi dapat diartikan sebagai perbandingan antara nilai hasil terhadap nilai masukan atau dapat dikatakan pula bahwa efisiensi ekonomi berkaitan dengan nilai semua input yang digunakan untuk memproduksi output tertentu. Produksi output tertentu dikatakan efisien jika tidak ada cara lain untuk memproduksi output yang bisa menggunakan seluruh nilai input dengan jumlah yang lebih sedikit. Suatu metode produksi dikatakan lebih efisien dari metode produksi lainnya, apabila menghasilkan produk yang lebih tinggi nilainya untuk tingkat korbanan yang sama (Lipsey, 1995). Seorang pengusaha mencapai keuntungan maksimum apabila telah menentukan pilihan kombinasi faktor-faktor produksi secara optimal (Nicholson, 1995). Pada saat keuntungan maksimum tercapai, berarti faktor produksi telah digunakan secara efisien.
Permasalahan Industri Tepung Terigu di Indonesia
Luar negeri: • Krisis Irak yang berdampak pada kenaikan harga minyak dunia • Kenaikan harga gandum di pasaran internasional
Dalam negeri: • Masalah lahan dan iklim • Kenaikan harga gandum akibat krisis ekonomi • Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan TDL.
ketidakefisienan pada industri tepung terigu
• • • •
INPUT Modal Tenaga kerja Bahan baku Energi
- Dummy krisis - Dummy penghapusan monopoli Bulog
OUTPUT
• Skala Usaha • Nilai Tambah • Efisiensi
Gambar 2.3. Diagram Alur Kerangka Pemikiran
2.5. Hipotesis 1. Faktor-faktor produksi modal, tenaga kerja, bahan baku dan energi berpengaruh positif terhadap output. Artinya, peningkatan input akan meningkatkan output pada industri tepung terigu di Indonesia. Variabel
dummy krisis berpengaruh negatif terhadap output dan variabel penghapusan monopoli Bulog berpengaruh positif terhadap output. 2. Nilai elastisitas output dari semua input akan bernilai positif (>1) maka skala usaha berada pada kondisi increasing return to scale, yang berarti laju pertambahan produksi lebih besar dari laju pertambahan input pada industri tepung terigu di Indonesia. 3. Faktor-faktor produksi telah digunakan secara efisien oleh industri tepung terigu di Indonesia dan nilai tambahnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian dan Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo). Data sekunder berupa data input industri tepung terigu (modal, tenaga kerja, bahan baku dan energi), data output industri tepung terigu dan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Selain itu data juga diperoleh dari studi kepustakaan, literatur lain yang relevan dan berhubungan dengan penelitian serta dapat membantu dan mendukung penelitian ini yaitu perpustakaan Institut Pertanian Bogor (IPB), perpustakaan Pusat, perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan berbagai media massa. Data yang digunakan untuk menganalisis variabel yang mempengaruhi output secara deskriptif adalah data dari tahun 1986-2003. Data statistik yang diestimasi merupakan data time series dan diolah dengan menggunakan software Eviews 4.1. Data statistik yang diperoleh disesuaikan dalam bentuk riil agar dapat menunjukkan keadaan yang sebenarnya pada saat ini dengan cara membagi data nominal dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) kemudian dikalikan dengan 100. Nilai riil =
Nilai nominal
X 100
(3.1)
IHPB
IHPB adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya perubahan harga
perdagangan
besar/harga
grosir
dari
komoditas-komoditas
yang
diperdagangkan dari suatu negara/daerah. Komoditas tersebut merupakan produksi dalam negeri yang dipasarkan di dalam negeri, diekspor atau diimpor (BPS, 2003). IHPB yang digunakan dalam penelitian ini adalah IHPB Indonesia dengan tahun dasar 1995 (1995 = 100) yang diperoleh dari BPS.
3.2. Metode Analisis 3.2.1. Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas Metode analisis yang digunakan untuk membahas hubungan antara input dengan output dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Fungsi produksi adalah suatu hubungan fisik atau teknis antara jumlah faktor produksi yang digunakan dengan jumlah produksi yang dihasilkan per satuan waktu tanpa memperhatikan harga-harga baik harga faktor produksi maupun harga produk (Taken dan Asnawi, 1997). Model yang digunakan untuk menganalisis masalah ini adalah model fungsi produksi Cobb-Douglas, yang secara matematis dapat ditulis: Y = a X1b1 X2b2 X3b3 X4b4 eu
(3.2)
atau dapat dilinearkan dalam bentuk: Ln Y = Ln a + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + b5 Duk + b6 Dub + u (3.3) Dimana: Y
= Output riil yang dihasilkan dalam industri (ribuan rupiah)
X1
= Modal riil yang digunakan (ribuan rupiah)
X2
= Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada industri (orang/jiwa)
X3
= Bahan baku riil yang digunakan dalam proses produksi (ribuan rupiah)
X4
= Bahan bakar riil, listrik dan gas (ribuan rupiah)
Duk = Dummy krisis, untuk melihat dampak krisis terhadap output • 0 = sebelum krisis • 1 = sesudah krisis
Dub = Dummy penghapusan monopoli Bulog • 0 = sebelum penghapusan monopoli Bulog • 1 = sesudah penghapusan monopoli Bulog
b
= Koefisien regresi penduga (b1.....b4) variabel ke 1- 4
u
= Residual
e
= 2.7182 (logaritma natural) Model di atas dapat digunakan untuk mengetahui nilai elastisitas dari
masing-masing input terhadap output, karena koefisien pangkat dari model di atas dapat menunjukkan nilai elastisitasnya. Selain nilai elastisitas, skala usaha (return to scale) juga dapat diketahui yaitu dengan menjumlahkan nilai koefisien dari masing-masing faktor tersebut. Jika penjumlahannya lebih dari satu maka menunjukkan skala yang semakin meningkat (increasing return to scale), jika hasil penjumlahannya sama dengan satu berarti menunjukkan skala usaha yang tetap (constant return to scale) sedangkan jika hasil penjumlahannya kurang dari satu maka menunjukkan skala usaha yang semakin menurun (decreasing return to scale) (Soekartawi, 1993). Dengan fungsi Cobb-Douglas yang telah dilinearkan di atas maka untuk menguji variabel pada persamaan tersebut dapat digunakan analisis regresi linear
berganda dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data yang berperiode maka data dapat diolah dengan menggunakan perangkat lunak (soft ware) Eviews 4.1. Menurut Gujarati (1995) metode OLS dapat digunakan jika dipenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut: 1. Variasi unsur sisa menyebar normal 2. Nilai rata-rata dari unsur sisa sama dengan nol 3. Ragam merupakan bilangan tetap (Homoskedastisitas) 4. Tidak ada korelasi diri (autokorelasi) 5. Tidak ada linier sempurna antara peubah bebas (multikolinearitas) 6. Nilai-nilai peubah adalah tetap untuk contoh-contoh yang berulang 3.2.2. Analisis Nilai Tambah dan Efisiensi Analisis nilai tambah ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan industri tepung terigu tersebut, apakah industri tersebut mengalami kemajuan atau malah mengalami penurunan dengan cara melihat nilai tambah bruto dari industri tepung terigu tersebut. Jika hasilnya terus meningkat dari tahun ketahun selama periode penelitian berarti industri tepung terigu tersebut dapat menunjukkan perkembangan yang baik. Nilai Tambah Bruto (NTB) = Nilai Output – Biaya Input
(3.4)
Analisis efisiensi yang digunakan adalah analisis efisiensi produksi dengan menggunakan harga yang berlaku. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana tingkat efisiensi dari input untuk menghasilkan output dalam jumlah tertentu. Nilai efisiensi dapat diperoleh dengan cara menghitung perbandingan
antara biaya input dan nilai output. Semakin tinggi tingkat efisiensi maka rasio/perbandingan antara biaya input dengan nilai outputnya semakin kecil (Dumairy, 2000). Biaya Input Efisiensi (η ) =
(3.5) Nilai Output
3.3. Pengujian Hipotesis 3.3.1. Kriteria Uji Ekonometrika Pengujian ekonometrik adalah untuk mengestimasi parameter regresi dengan menggunakan OLS yang menggunakan enam asumsi klasik. Melihat ada atau tidaknya pelanggaran terhadap enam asumsi tersebut dapat dilakukan dengan uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas dan uji normalitas. Apabila terjadi pelanggaran maka akan diperoleh hasil estimasi yang tidak valid. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan linear di antara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi. Gejala multikolinearitas dalam suatu model akan menimbulkan beberapa konsekuensi diantaranya adalah: 1. Meskipun penaksir OLS mungkin bisa diperoleh namun kesalahan standarnya mungkin akan cenderung semakin besar dengan meningkatnya tingkat korelasi antara peningkatan variabel. 2. Standar error dari parameter diduga sangat besar sehingga selang keyakinan untuk parameter yang relevan cenderung lebih besar.
3. Jika multikolinearitasnya tinggi kemungkinan probabilitas untuk menerima hipotesis yang salah menjadi besar. 4. Kesalahan standar akan semakin besar dan sensitif bila ada perubahan data. 5. Tidak mungkinnya mengisolasi pengaruh individual dari variabel yang menjelaskan (Gujarati, 1995). Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas, salah satunya adalah melalui correlation matrix, dimana batas terjadinya korelasi antara sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari |0.80|. Melalui correlation matrix ini dapat pula digunakan uji klien dalam mendeteksi multikolinearitas (Gujarati, 1995). Apabila terdapat nilai korelasi yang lebih dari |0.80|, maka menurut uji klien multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tidak lebih dari nilai Adjusted R-squared. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah gejala adanya korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan melalui deret waktu (time series). Suatu model dikatakan baik apabila telah memenuhi asumsi tidak terdapat gejala autokorelasi. Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah hasil estimasi model tidak mengandung korelasi serial diantara disturbance term. Pada program Eviews 4.1, uji autokorelasi dilakukan dengan melihat probability Obs*R-squared pada uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM . Hipotesis: H0 : ρ = 0 H1 : ρ ≠ 0
Kriteria uji: Probability Obs*R-squared < α, maka tolak H0 Probability Obs*R-squared > α, maka terima H0 Jika H0 ditolak maka terjadi autokorelasi (positif atau negatif) dalam model. Sebaliknya jika H0 diterima maka tidak ada autokorelasi dalam model. Uji Heteroskedastisitas Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedatisitas (tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Gejala adanya heteroskedastisitas dapat ditunjukkan oleh Probability Obs*R-squared pada uji White Heteroskedasticity. H0 : γ = 0 H1 : γ ≠ 0 Kriteria uji: Probability Obs*R-squared < α, maka tolak H0 Probability Obs*R-squared > α, maka terima H0 Jika H0 ditolak, maka terdapat gejala heteroskedastisitas pada model. Sebaliknya jika H0 diterima, maka pada model tidak terdapat gejala heteroskedastisitas. Uji Normalitas Error Term Uji ini dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30, karena jika sampel lebih dari 30 maka error term akan terdistribusi secara normal. Uji ini disebut Jarque-Bera Test. Hipotesis: H0 : error term terdistribusi normal H1 : error term tidak terdistribusi normal
Jika Jarque Bera (J-B) >Χ
2
df = 2 atau Probability (P-Value) < α maka
tolak H0, artinya error term tidak terdistribusi normal. Jika Jarque Bera (J-B) <Χ 2 df = 2 atau Probability (P-Value) > α
maka terima H0, artinya error term
terdistribusi normal. 3.3.2. Kriteria Uji Statistika Pengujian statistik terdiri dari pengujian koefisien determinasi R2 atau R2 adjusted, F-stat dan t-Statistik. Uji keragaman digunakan untuk melihat sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Uji F-stat digunakan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh koefisien regresi juga signifikan dalam menentukan nilai dari variabel endogen. Uji t-Statistik adalah uji terhadap koefisien dari variabel penduga atau variabel bebas. Uji Determinasi (R2) Untuk menjelaskan persentase variasi total peubah tidak bebas yang disebabkan oleh peubah bebas digunakan pengujian R2. Dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini. 2
JKR
R =
(3.6) JKT
Dimana: R2
= Koefisien determinasi
JKR = Jumlah kuadrat regresi JKT = Jumlah kuadrat total
Uji ini digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. R2 ini memiliki dua sifat, diantaranya R2 merupakan besaran non negatif dan besarannya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1 (Gujarati, 1995). Jika R2 sebesar satu maka berarti suatu kecocokan yang sempurna, sedangkan jika nilainya nol maka berarti tidak ada hubungan antar variabel tak bebas dengan variabel bebas. Nilai R2 akan bertambah tinggi dengan bertambahnya variabel bebas. Semakin dekat nilai R2 dengan satu maka berarti model tersebut semakin dekat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tak bebas, demikian pula sebaliknya. Uji F-statistik Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Hipotesis: H0 : b1 = b2 = … = bi = 0 H1 : minimal ada salah satu bi ≠ 0 Kriteria uji: Probability F-statistik < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability F-statistik > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika H0 ditolak, berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dan model layak digunakan. Sebaliknya jika H0 diterima, maka tidak ada satupun variabel bebas yang berpengaruh nyata.
Uji t-Statistik Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui tingkat signifikansi variabel bebas dengan hipotesis: H0 : b1 = b2 = … = bi = 0 H 1 : bi ≠ 0 Kriteria uji: Probability t-Statistik < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability t-Statistik > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika H0 ditolak, maka variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya. Sebaliknya jika H0 diterima bararti variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas.
3.4. Spesifikasi Data Dari persamaan fungsi Cobb-Douglas yang diuraikan terdahulu, data yang diperoleh ada yang memiliki satuan rupiah dan dalam nilai nominal. Sehingga agar data dapat menunjukkan keadaan yang sebenarnya pada saat ini maka nilai tersebut harus dalam bentuk riil yaitu dengan cara membagi data nominal dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sub sektor tepung terigu di Indonesia. Kemudian dikalikan 100. Untuk lebih jelasnya maka data secara spesifik dapat dirinci sebagai berikut: 1. Variabel yang dijelaskan (Output/Y) Mengukur banyaknya output yang dihasilkan oleh industri tepung terigu di Indonesia selama periode penelitian, diukur dalam ribuan rupiah.
2. Variabel yang menjelaskan (input) a. Modal (X1) Menunjukkan nilai riil dari modal tetap yang merupakan aset-aset yang sifatnya jangka panjang (mesin, gedung, tanah dan kendaraan), diukur dalam ribuan rupiah. b. Tenaga Kerja (X2) Merupakan banyaknya tenaga kerja produksi atau tenaga kerja yang berhubungan langsung dengan proses produksi pada industri tepung terigu di Indonesia, diukur dengan satuan orang atau jiwa. c. Bahan Baku (X3) Merupakan nilai riil dari biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bahan baku yang digunakan oleh industri tepung terigu di Indonesia untuk menghasilkan barang (output), diukur dalam ribuan rupiah. d. Energi (X4) Merupakan nilai riil dari banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk pembelian energi yang digunakan oleh industri tepung terigu di Indonesia untuk proses produksi. Energi yang dimaksud disini seperti bahan bakar, listrik dan gas. Diukur dalam ribuan rupiah.
IV. GAMBARAN INDUSTRI TEPUNG TERIGU DI INDONESIA
Tepung terigu yang terbuat dari gandum untuk pertama kalinya diproduksi di Hungaria dan Jerman pada abad ke-18. Tepung terigu ini sejak pertama kali diproduksi telah memiliki banyak kegunaan, diantaranya untuk pembuatan mie, pasta, roti, biskuit, cake dan pastry. Hampir semua kalangan di seluruh penjuru dunia mengkonsumsi produk tepung terigu atau produk olahan tepung terigu. Tidak terkecuali bagi masyarakat Indonesia yang juga turut mengkonsumsi jenis tepung ini (Alistair, 2004).
4.1. Kebijakan Gandum dan Tepung Terigu 4.1.1. Periode 1960-1970 Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan tepung terigu, sebelum tahun 1971 pemerintah mengimpor tepung terigu dari produsen luar negeri. Bahkan pada tahun 1968 Indonesia mendapat bantuan pangan dari Amerika Serikat berupa biji gandum yang dilakukan dalam rangka pengadaan pangan akibat perekonomian Indonesia yang cukup parah pada saat itu. Kebijakan ini utamanya ditujukan untuk menyediakan bahan pangan dengan harga murah, menanggulangi inflasi dan menggalang sumber keuangan bagi pembiayaan pembangunan. Kebijakan harga terigu yang murah diarahkan untuk mendorong konsumsi terigu sebagai bahan substitusi beras, karena sulitnya ketersediaan beras yang ada.
Apabila dibandingkan, harga terigu internasional pada saat itu lebih tinggi sekitar 50 persen dibanding harga jual terigu di dalam negeri, sehingga selisih harga internasional dan dalam negeri ini merupakan subsidi kepada konsumen tepung terigu per kapita. Secara agregat kebutuhan konsumsi tepung terigu pada periode ini cukup tinggi pertumbuhannya, yaitu sekitar 32.5 persen per tahun (Munir dalam Alistair, 2004). Pada saat itu pun pemerintah belum memiliki banyak pilihan, karena sumber pangan non terigu sebagai alternatif bahan substitusi belum banyak berkembang. 4.1.2. Periode 1970-1980 Pada akhirnya disadari bahwa terigu yang tiba di pelabuhan sering mengalami penurunan kualitas akibat waktu yang cukup lama selama perjalanan. Kondisi dan kandungan gizi tepung terigu tersebut akan lebih baik jika tepung terigu itu diproduksi sendiri di Indonesia. Maka pemerintah memutuskan untuk membangun industri tepung terigu di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sejak tahun 1971, pemerintah melalui Bulog bertanggung jawab untuk memasok kebutuhan terigu di dalam negeri dan memiliki hak monopoli dalam impor gandum sebagai bahan dasar pembuatan tepung terigu. Tujuan dari monopoli Bulog ini untuk menjamin kelangsungan pasokan terigu dan menjaga stabilitas harga. Akan tetapi Bulog memiliki kelemahan karena tidak mempunyai fasilitas penggilingan, maka Bulog menunjuk PT Bogasari Flour Mills yang untuk mengolah gandum menjadi tepung terigu. PT Bogasari ditunjuk oleh Bulog secara eksklusif tanpa melalui tender terbuka. Selanjutnya Bulog juga menunjuk PT
Berdikari Sari Utama Flour Mills yang pada saat itu merupakan BUMN untuk mengolah gandum menjadi tepung terigu. PT Berdikari pada awalnya merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dari Singapura dengan nama PT Berdikari. Pada masa ini, perekonomian Indonesia mengalami kejayaan karena pendapatan dari sektor minyak cukup besar akibat tingginya harga minyak dunia. Kebijakan subsidi tepung terigu tetap dilanjutkan dalam bentuk subsidi impor dan subsidi penyaluran. Jumlah subsidi riil juga fluktuatif dan mulai tahun 1976 cenderung meningkat. Apalagi pada tahun 1976/1977 subsidi riil untuk impor gandum sekitar Rp 3 milyar, maka tahun 1978/1979 menjadi sekitar Rp 17 milyar dan pada tahun 1980/1981 telah mencapai Rp 67.3 milyar (Munir dalam Alistair, 2004). Peningkatan pendapatan akibat situasi oil boom menyebabkan respon peningkatan permintaan terigu yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari ratarata pertumbuhan impor gandum dalam periode tersebut yang meningkat sekitar 17.2 persen per tahun. 4.1.3. Periode 1980-1990 Dalam masa ini kondisi anggaran negara (APBN) mulai mengalami pengetatan, karena penurunan permintaan dari ekspor migas, sementara ekspor non migas baru mulai digalakkkan. Kebijakan di bidang industri tepung terigu dilakukan dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap subsidi tepung terigu, dengan kebijakan mendorong kenaikan harga tepung terigu di pasaran, pemerintah justru memperoleh keuntungan penerimaan dari tata niaga tepung terigu periode ini.
Implikasi menekan subsidi tepung terigu dengan menaikkan harga tersebut menyebabkan terjadinya penurunan permintaan tepung terigu dan impor gandum juga mengalami penurunan. Suatu penurunan yang cukup signifikan, apabila dilihat dari pertumbuhan impor gandum yang mengalami penurunan sebesar 32.5 persen per tahun. Akan tetapi dengan laju pertumbuhan permintaan terigu yang masih di atas laju pertumbuhan penduduk, menyebabkan total impor gandum pada tahun 1990 mencapai 1.7 juta ton, dimana sebagian besar berasal dari impor komersial (Munir dalam Alistair, 2004). Hal itu tentu saja akan menguras devisa negara. 4.1.4. Periode 1990-1997 Dalam periode ini peran ekspor non migas menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Untuk menekan laju inflasi, harga tepung terigu kembali diturunkan dan menyebabkan permintaan agregat tepung terigu meningkat cukup tinggi. Impor gandum yang pada tahun 1990 sebesar 1.7 juta ton meningkat hampir 4 juta ton pada tahun 1997 (Munir dalam Alistair, 2004). Di lain pihak, pada tahun 1992, PT Bogasari bergabung dengan PT Indocement Tunggal Prakasa, namun tidak lama kemudian PT Indofood Sukses Makmur mengakusisi perusahaan tepung terigu ini dengan pertimbangan bahwa PT Bogasari akan lebih efisien jika tergabung dengan perusahaan yang juga bergerak dalam produksi makanan. Pada periode ini pula satu perusahaan baru penghasil tepung terigu mulai berdiri. Pada tahun 1997, PT Panganmas Inti Persada berdiri dengan lokasi pabrik di Cilacap.
4.1.5. Periode 1998-sekarang Krisis moneter yang mulai melanda Indonesia pada pertengahan 1997 telah menjatuhkan semua perkiraaan atas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dengan kenaikan nilai tukar dollar Amerika terhadap rupiah, maka devisa yang harus disediakan untuk impor gandum akan sangat tinggi. Dalam kondisi cadangan devisa yang terbatas, penyediaan devisa untuk impor gandum terasa sangat memberatkan. Disamping itu, setelah reformasi 1998, terjadi deregulasi diberbagai sektor usaha. Deregulasi itu juga menyentuh industri tepung terigu di Indonesia dengan dikeluarkannya Keppres No.19/1998 tanggal 21 Januari 1998, dengan demikian sejak tahun 1998 monopoli Bulog terhadap industri tepung terigu telah dihapuskan. Deregulasi tahun 1998 ini telah merubah paradigma bisnis dan struktur industri tepung terigu, yaitu adanya kebebasan untuk mengatur pembelian gandum dan penjualan tepung terigu, pasar menjadi kompetitif dan terbuka, adanya peningkatan pelayanan kepada pelanggan, adanya inovasi produk, merk, distribusi dan promosi, serta efisiensi biaya sebagai dampak dari skala ekonomi (Aptindo, 2005). Status perusahaan-perusahaan penggiling gandum pun berubah setelah Bulog tak lagi menangani tata niaga tepung terigu. Komoditas ini diserahkan kepada mekanisme pasar. Bahkan pada tahun 1997 dan 1998 telah berdiri perusahaan-perusahaan baru yaitu PT Panganmas yang pabriknya beroperasi di Cilacap dan Sriboga di Semarang. Pada tahun belakangan ini berdiri dua perusahaan baru yaitu UD Perusahaan Kian Jaya dan UD Harum Abadi.
Seharusnya dengan terbukanya mekanisme pasar, kenaikan harga tepung terigu menjadi lebih rendah. Akan tetapi kebijakan melepas kendali monopoli Bulog bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, sehingga harga tepung terigu sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 terus mengalami peningkatan, namun dengan peningkatan yang tidak terlalu besar.
4.2. Bahan Baku Industri Tepung Terigu di Indonesia Bahan baku utama dalam proses produksi tepung terigu pada industri tepung terigu adalah gandum. Secara umum dalam dunia perdagangan dikenal dua jenis gandum yaitu gandum keras (hard wheat) dan gandum lunak (soft wheat) (Direktorat Bina Produksi Tanaman Pangan dalam Jamaludin, 2005). Kedua jenis gandum ini tergolong spesies Triticum Aestivum. Biasanya gandum keras berwarna lebih gelap daripada gandum lunak dan tidak memperlihatkan zat pati yang putih seperti gandum lunak. Kadar gluten gandum keras lebih tinggi dari gandum lunak, sehingga menghasilkan tepung yang tidak lembek. Gandum keras sangat baik untuk membuat roti. Kadar gluten yang tinggi memberikan elastisitas dan kemampuan untuk menyerap air pada roti. Tepung yang dihasilkan dari gandum lunak cocok untuk membuat kue, cookies dan biskuit (Indrawati dalam Jamaludin, 2005). Kontur tanah dan iklim di Indonesia tidak cocok untuk menanam gandum, sehingga pengadaan gandum dilakukan dengan impor. Impor gandum Indonesia menunjukkan trend yang terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena makin besarnya permintaan terhadap tepung terigu dan produk olahan tepung
terigu. Sebagaimana diketahui bahwa gandum merupakan bahan baku dari tepung terigu. Tingginya permintaan terhadap tepung terigu dan makanan berbahan baku tepung terigu secara langsung akan berdampak pada peningkatan impor gandum. Peningkatan impor gandum tersebut berarti peningkatan permintaan terhadap devisa. Pada saat sebelum krisis peningkatan permintaan devisa untuk membiayai impor gandum tidak menjadi masalah. Namun dengan terjadinya krisis moneter, peningkatan impor gandum sangat berpengaruh terhadap neraca pembayaran dan pemberian subsidi akan membebani keuangan negara. Perkembangan impor gandum di Indonesia cenderung meningkat. Pada tahun 1985 permintaan impor gandum sebesar 1.2 juta ton kemudian pada tahun 1986 hingga tahun 1996, impor gandum mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena tingginya permintaan terhadap tepung terigu dan makanan berbahan baku tepung terigu secara langsung akan berdampak pada peningkatan impor gandum. Hal ini diperlihatkan pada Gambar 4.1.
Volume (Ton)
5000000 4000000 3000000 2000000 1000000
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
19 89
19 87
19 85
0
Tahun
Gambar 4.1. Perkembangan Impor Gandum di Indonesia Sumber: Statistik Impor, Badan Pusat Statistik, Tahun 1985-2003
4.3. Perusahaan Tepung Terigu di Indonesia Menurut Jenis Investasinya Sejak tahun 1998, jumlah perusahaan mengalami peningkatan karena pada tahun 1998 terjadi deregulasi di berbagai sektor usaha. Deregulasi tersebut menyentuh industri tepung terigu di Indonesia, dengan dikeluarkannya Keppres No 19/1998 tanggal 21 Januari 1998 monopoli Bulog terhadap industri tepung terigu dihapuskan. Deregulasi ini telah merubah paradigma bisnis dan struktur industri tepung terigu, yaitu adanya kebebasan untuk mengatur pembelian gandum dan penjualan tepung terigu. Pasar menjadi kompetitif dan terbuka, status perusahaan-perusahaan penggilingan gandum pun berubah setelah Bulog tak lagi menangani tata niaga tepung terigu. Komoditas ini diserahkan kepada mekanisme pasar (Aptindo, 2005). Pada tahun 1998 jumlah perusahaan adalah sebanyak 6 perusahaan, kemudian mulai tahun 1998 hingga tahun 2002 jumlah perusahaan tepung terigu cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2003, jumlah perusahaan tepung terigu mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena pada tahun 2003 diwarnai dengan berbagai kebijakan pemerintah yaitu kenaikan berbagai barang dan jasa. Berbagai kenaikan jasa itu antara lain: tarif angkutan penyebrangan mengalami peningkatan 10 persen, angkutan kereta api 17 persen, angkutan laut kelas ekonomi 10 persen, percakapan telepon 33.3 persen dan abonemen bulanan sebesar 31.10 persen. Sementara itu, harga barang yang mengalami kenaikan adalah tarif dasar listrik (TDL) sebesar 6 persen setiap tiga bulan, gas elpiji naik menjadi Rp 3000 per kg, tarif air minum PDAM naik 20-29 persen. Selain itu, yang menyebabkan penurunan pada jumlah perusahaan pada tahun 2003 yaitu
karena terjadi kenaikan harga bahan baku dan biaya transportasi akibat kenaikan harga minyak di pasar internasional (www.kompas.com, 2003). Hal ini diperlihatkan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Jumlah Perusahaan Tepung Terigu di Indonesia Menurut Jenis Investasinya Tahun 1998-2003 Tahun
Jumlah Perusahaan
Lain-lain
Total
PMDN
PMA
1998
1
-
5
6
1999
3
-
5
8
2000
2
-
7
9
2001
5
-
5
10
2002
3
1
6
10
2003
3
1
2
6
Sumber: Statistik Industri Besar dan Sedang, 1998-2003
4.4. Tenaga Kerja Industri Tepung Terigu di Indonesia Jumlah tenaga kerja produksi dan tenaga kerja lainnya mengalami peningkatan pada tahun 1998. Pada tahun 1999 mengalami penurunan jumlah tenaga kerja, hal ini diduga akibat dampak dari kondisi perekonomian Indonesia yang dilanda krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis kepercayaan, sehingga banyak tenaga kerja yang diberhentikan oleh perusahaan dan tenaga kerja yang ada semakin berkurang. Jumlah tenaga kerja yang paling banyak diserap yaitu pada tahun 1998 yaitu sebesar 4183 orang, karena pada tahun 1998 monopoli Bulog pada industri tepung terigu dihapuskan. Sejak tahun 1971, pemerintah melalui Bulog bertanggung jawab untuk memasok kebutuhan terigu di dalam negeri dan
memiliki hak monopoli dalam impor gandum. Deregulasi tahun 1998 ini menyebabkan pasar menjadi kompetitif dan terbuka, semakin banyaknya perusahaan dan tenaga kerja yang diserap pun semakin banyak. Sampai tahun 2003, tenaga kerja yang diserap pada industri tepung terigu cenderung mengalami peningkatan yang diperlihatkan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Jumlah Tenaga Kerja Produksi dan Non Produksi Industri Tepung Terigu di Indonesia Tahun 1998-2003 Menurut Jenis Kelamin Tahun
Pekerja Produksi
Pekerja Non Produksi
Total Pekerja
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
1998
1857
306
1686
334
4183
1999
1521
354
1129
283
3287
2000
1636
352
1376
307
3671
2001
1658
400
1207
314
3579
2002
1939
387
1207
329
3862
2003
2032
370
1254
379
4035
Sumber: Statistik Industri Besar dan Sedang, 1998-2003
4.5. Permasalahan dan Keunggulan Industri Tepung Terigu Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya industri tepung terigu nasional kini terdiri dari empat pelaku usaha. Bogasari yang statusnya di bawah kepemilikan Indofood dan First Pacific Group memiliki investasi tenaga kerja sebanyak 2600 orang dengan nilai aset Rp 5200 milyar. Berdikari yang sahamnya dimiliki oleh Berdikari dan Salim Group juga merupakan perusahaan PMA di bawah ATS Consortium USA dengan hutang 542 milyar. Berdikari memiliki
investasi tenaga kerja sebanyak 484 orang dan aset sebesar Rp 694 milyar. Sementara itu Sriboga memiliki tenaga kerja 384 orang dan total aset Rp 550 milyar dengan kredit Rp 135 milyar di bawah BPPN. Panganmas jumlah tenaga kerjanya adalah 300 orang dan total aset Rp 340 milyar, dimana Rp 60 milyar kredit di bawah BPPN dan Rp 240 milyar kredit tak lancar sindikasi perbankan. Industri tepung terigu nasional kini merupakan industri strategis penyedia pangan pokok kedua setelah beras. Konsumsi tepung terigu hampir selalu meningkat dari tahun ke tahun. Semakin berkembangnya restoran siap saji (fast food) yang menjual jenis makanan seperti burger, hot dog, pizza, kebab, donat dan sebagainya, akan mendorong peningkatan konsumsi tepung terigu. Adanya program diversifikasi pangan yang dicanangkan oleh pemerintah, yang menganjurkan agar rakyat tidak hanya makan nasi sebagai sumber karbohidrat cenderung akan terus meningkatkan konsumsi tepung terigu di Indonesia. Perkembangan konsumsi tepung terigu dijelaskan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Perkembangan Konsumsi Tepung Terigu Tahun
Konsumsi (Ton) 2 450 359
Jumlah Penduduk (Ribuan Jiwa) 204 400
Konsumsi Per Kapita (Kg/Tahun/Kapita) 12
Pertumbuhan Konsumsi Per Kapita (%) -
1998 1999
2 540 687
207 400
12.3
2.5
2000
3 062 809
209 500
14.6
18.7
2001
3 000 912
210 400
14.3
-2.1
2002
3 234 869
212 300
15.2
6.3
Pertumbuhan rata-rata (%) Sumber: Visidata dalam Alistair, 2004
6.4
Pada tahun 1998, konsumsi tepung terigu di Indonesia sebanyak 2.45 juta ton dengan jumlah penduduk sebanyak 204 juta jiwa, berarti konsumsi tepung terigu per kapita adalah sebanyak 12 kg/tahun/kapita. Jumlah ini meningkat pada tahun 1999 dengan pertumbuhan konsumsi sebesar 2.5 persen. Pada tahun 2000, konsumsi tepung terigu meningkat lebih besar dengan angka pertumbuhan sebesar 18.7 persen dan jumlah konsumsi menjadi 3.06 juta ton. Penurunan konsumsi yang terjadi pada tahun 2001 tidak terlalu besar (-2.1 persen), bahkan meningkat dengan angka pertumbuhan yang lebih besar lagi di tahun 2002 (6.3 persen). Pertumbuhan konsumsi rata-rata adalah sebesar 6.4 persen. Dengan demikian secara rata-rata terjadi peningkatan konsumsi tepung terigu dari tahun ke tahun yang dapat menggambarkan bahwa produk tepung terigu semakin dikuasai oleh masyarakat dan semakin diterima sebagai alternatif pangan. Keunggulan industri tepung terigu nasional yang lainnya adalah (Aptindo, 2005): -
Skala ekonomi, ditandai dengan empat perusahaan terigu memiliki fasilitas terpadu seperti pelabuhan bongkar muat, silo gandum, lini produksi skala besar, yaitu Bogasari pabrik Jakarta sebesar 7400 mt/hari, Bogasari pabrik Surabaya 4350 mt/hari, Berdikari 2150 mt/hari, Sriboga 1100 mt/hari, dan Panganmas 750 mt/hari.
-
Efisiensi biaya, yaitu memiliki competitive advantage dibanding negara lain, dengan upah tenaga kerja dan biaya energi yang kompetitif. Industri tepung terigu nasional memiliki kontribusi dan keterkaitan dengan
industri nasional lainnya yaitu yang pertama dengan industri pangan berbahan
baku terigu, total penjualan terigu nasional yang digunakan untuk industri pangan adalah sebesar Rp 6 triliun/tahun, industri hilir yang berbasis terigu memberikan nilai output sekitar Rp 50 triliun/tahun yang memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar ± 4.3 persen/tahun. Industri tepung terigu nasional memberikan kontribusi ekspor yang besar antara lain: ekspor pakan ternak sebesar US$35 Juta, ekspor biskuit dan mie instan sebesar US$ 35 Juta dan tepung industri untuk plywood sebesar US$ 8 Juta, sehingga total ekspor yang dihasilkan sebesar US$ 78 Juta. Industri tepung terigu nasional memberikan kontribusi terhadap sektor peternakan yaitu produk sampingan industri tepung terigu berupa dedak gandum yang memenuhi 20 persen kebutuhan pakan nasional. Industri tepung terigu nasional juga memberikan kontribusi terhadap industri kain belacu dan kantong terigu sebesar Rp 4 milyar/tahun (Aptindo, 2005). Selain keunggulan yang telah disebutkan di atas, produsen tepung terigu Indonesia juga termasuk ke dalam jajaran sepuluh produsen tepung terigu terbesar di dunia seperti pada Tabel 4.4. Bogasari yang pabriknya bertempat di Jakarta dengan kapasitas produksi sebesar 7400 mt/hari dan Surabaya dengan kapasitas produksi sebesar 4366 mt/hari menempati urutan pertama dan kedua sebagai produsen dengan kapasitas tertinggi. Berdikari yang lokasi pabriknya di Ujung Pandang menempati posisi ke empat dengan kapasitas produksi sebesar 2146 mt/hari setelah Prima Flour Mills dari Srilanka dengan kapasitas produksi sebesar 2600mt/hari. Sriboga di Semarang menempati urutan kesembilan dengan kapasitas produksi sebesar 1100 mt/hari dari sepuluh produsen tepung terigu dunia yang memiliki kapasitas produksi tertinggi.
Tabel 4.4. Sepuluh Produsen Tepung Terigu Terbesar di Dunia No
Perusahaan
Lokasi
Kapasitas
1
Bogasari Flour Mills
Jakarta - Indonesia
7400 mt/hari
2
Bogasari Flour Mills
Surabaya - Indonesia
4366 mt/hari
3
Prima Flour Mills
Trincomalee - Srilangka
2600 mt/hari
4
Berdikari Sari Utama
Ujung pandang - Indonesia
2146 mt/hari
5
Nabisco Brads, Inc
Toledo, Ohio - USA
1600 mt/hari
6
ConAgra Flour Milling
Buffalo, Newyork - USA
1450 mt/hari
7
General Mills, Inc
Kansas, MO - USA
1300 mt/hari
8
ADM Milling Corp
Montreal, PQ - Canada
1200 mt/hari
9
Sriboga Raturaya FM
Semarang - Indonesia
1100 mt/hari
10
General Milling Corp
Cebu - Filipina
1100 mt/hari
Sumber: Aptindo, 2005
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah OLS (Ordinary Least Square), dan menggunakan pendekatan fungsi produksi CobbDouglas. Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak (software) Eviews 4.1 dan Microsoft Excell 2003.
5.1. Hasil Estimasi Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas Data hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Hasil Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglas Industri Tepung Terigu di Indonesia Periode Tahun 1986-2003 Variabel Koefisien Std Error t-Statistik Probabilitas Konstanta 2.982656 1.860670 1.603001 0.1372 Ln(X1) -0.003293 0.014658 -0.224665 0.8264 Ln(X2) 0.340699 0.249296 1.366646 0.1990 Ln(X3) 0.599770 0.086800 6.909775 0.0000 Ln(X4) 0.167798 0.069040 2.430440 0.0334 Duk -1.065733 0.463131 -2.301150 0.0419 Dub 1.099829 0.449326 2.447728 0.0324 R-squared = 0.996297 Durbin-Watson statistic = 1.832155 Adjusted R-squared = 0.994278 F-statistik = 493.3245 S.E of regression = 0.114544 Prob(F-statistic) = 0.000000
5.2. Analisis Uji Ekonometrika Uji Multikolinearitas Masalah multikolinearitas dapat dilihat melalui Correlation Matrix. Berdasarkan Tabel Correlation Matrix (Lampiran 3) terlihat bahwa pada persamaan fungsi produksi dalam penelitian ini ternyata terdapat gejala
multikolinearitas, dengan masih adanya korelasi antar variabel bebas yang bernilai lebih besar dari |0.80|. Korelasi antara bahan baku (X3) dengan energi (X4) yang nilainya 0.956, korelasi antara tenaga kerja (X2) dengan dummy krisis yang bernilai 0.879, korelasi antara tenaga kerja (X2) dengan dummy penghapusan monopoli Bulog yang bernilai 0.842 dan korelasi antara dummy krisis dan dummy penghapusan
monopoli
Bulog
yang
bernilai
0.886.
Tetapi
masalah
multikolinearitas tersebut masih dapat diatasi dengan menggunakan uji klien. Apabila nilai korelasi antar variabel bebas tidak lebih besar dari pada nilai Rsquared (adj) persamaan tersebut, maka multikolinearitas dapat diabaikan. Nilai R-squared (adj) yang diperoleh dalam analisis ini adalah sebesar 0.9942 atau 99.42 persen, sedangkan nilai korelasi terbesar antar variabel bebas dalam model ini adalah 0.956 yaitu korelasi antara bahan baku dan bahan energi. Berarti masalah multikolinearitas dapat diabaikan, dan disimpulkan bahwa dalam model persamaan ini tidak terdapat masalah mutikolinearitas. Uji Autokorelasi Masalah autokorelasi dapat dideteksi dengan melihat nilai Durbin Watson Statistik. Tetapi uji dengan menggunakan nilai Durbin Watson Statistik mempunyai kelemahan yaitu sulit untuk mengambil kesimpulan apabila hasilnya berada pada daerah keragu-raguan, oleh sebab itu dilakukan pengujian dengan menggunakan Breusch-Godprey Serial Correlation LM Test. Nilai probabilitas Obs*R-Squared dari uji ini adalah sebesar 0.053 dan nilai tersebut sedikit tinggi dari pada tingkat signifikasinya yaitu 0.05 (Lampiran 3), maka dapat disimpulkan bahwa pada persamaan ini tidak terdapat gejala autokorelasi.
Uji Heteroskedastisitas Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroskedasticity Test. Hasil uji tersebut (Lampiran 3) menunjukkan bahwa persamaan fungsi produksi pada penelitian ini tidak terdapat gejala heteroskedastisitas, dilihat dari nilai probabilitas Obs*R-squared sebesar 0.392 yang memiliki nilai lebih tinggi dari pada tingkat signifikasinya yang bernilai 0.05 (α = 5%). Uji Normalitas Error Term Untuk menguji apakah sampel yang digunakan memiliki error term yang terdistribusi secara normal atau tidak maka dapat menggunakan uji Jarque-Bera Test. Hasil uji Jarque-Bera Test dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan Lampiran 4, nilai probability (P-Value) yaitu sebesar 0.752274 sedangkan taraf nyatanya bernilai 0.05 (α = 5%). Karena P-Value = 0.752274 > 0.05 maka terima H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat keyakinan 95 persen maka dapat dikatakan error term terdistribusi normal.
5.3. Analisis Uji Statistik Uji Adjusted R2 Berdasarkan hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas pada Tabel 5.1. diperoleh nilai adjusted R-squared sebesar 0.99427 atau 99.427 persen. Artinya, 99.427 persen variasi variabel dependen dari output dapat dijelaskan secara linear oleh variabel independen di dalam persamaan dan sisanya sebesar 0.573 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan.
Uji F-statistik Nilai F-statistik pada hasil analisis regresi ini sebesar 493.324 dengan nilai probabilitasnya sebesar 0.000. Maka persamaan tersebut lulus uji F-statistik, dimana nilai F-tabel pada taraf nyata 5 persen (F-tabel = 3.09) lebih kecil dari pada nilai F-statistiknya. Jadi dapat disimpulkan bahwa minimal ada salah satu variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap output pada tingkat kepercayaan 95 persen. Uji t-Statistik Pengujian terhadap masing-masing variabel bebas dilakukan dengan uji tStatistik. Pengujian t-Statistik dapat dilakukan dengan melihat nilai t-tabel atau nilai probabilitasnya dari masing-masing variabel bebas. Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa faktor produksi bahan baku, energi, variabel dummy krisis dan variabel dummy penghapusan monopoli Bulog berpengaruh nyata terhadap nilai output karena mempunyai nilai t-Statistik yang lebih besar dari pada nilai ttabel pada taraf nyata 5 persen (t-tabel = 2.201), sedangkan modal dan tenaga kerja yang mempunyai nilai t-Statistik lebih kecil dari pada nilai t-tabel berpengaruh tidak nyata terhadap nilai output.
5.4. Analisis Ekonomi 5.4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Tepung Terigu di Indonesia Berdasarkan hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas pada Tabel 5.1, maka secara matematis dapat diperoleh persamaan fungsi produksi sebagai berikut:
Ln Y = 2.983 – 0.003 Ln X1 + 0.341 Ln X2 + 0.600 Ln X3 + 0.168 Ln X4 – 1.065 Duk + 1.099 Dub Persamaan di atas menunjukkan bahwa bahan baku (X3) memiliki pengaruh positif terhadap nilai output industri tepung terigu adalah sebesar 0.600. Tanda positif koefisien bahan baku sebesar 0.600 menunjukkan bahwa kenaikan ketersediaan bahan baku sebesar satu persen akan meningkatkan output sebesar 0.600 persen, ceteris paribus. Fakta di lapangan membenarkan pengujian tersebut, bila bahan baku yang digunakan meningkat, maka jumlah output yang dihasilkan industri tepung terigu juga meningkat. Pengaruh bahan baku yang sangat besar terhadap produksi tepung terigu, diduga karena gandum merupakan faktor produksi yang penting dan utama bagi kelancaran produksi. Energi (X4) memiliki pengaruh positif terhadap nilai output industri tepung terigu sebesar 0.168. Tanda positif koefisien energi sebesar 0.168 menunjukkan bahwa peningkatan ketersediaan energi sebesar satu persen akan meningkatkan output sebesar 0.168 persen, ceteris paribus. Berdasarkan teori ekonomi, hasil pengujian ini sesuai dengan kenyataan karena jika energi meningkat, output juga akan meningkat. Hal ini diduga karena industri tepung terigu menggunakan mesin giling yang digunakan untuk menggiling gandum menjadi tepung terigu. Mesin giling tersebut membutuhkan energi yang cukup banyak. Dummy krisis memiliki tanda negatif. Hal tersebut mengindikasikan bahwa rata-rata output setelah krisis menjadi lebih rendah apabila dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis. Dummy penghapusan monopoli Bulog memiliki tanda positif. Hal tersebut mengindikasikan bahwa setelah penghapusan monopoli
Bulog, perusahaan tepung terigu menjadi lebih banyak sehingga output yang dihasilkan menjadi lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kondisi sebelum penghapusan monopoli Bulog (ceteris paribus). Faktor produksi tenaga kerja dalam penelitian ini memberikan pengaruh yang positif dan tidak nyata pada nilai output industri tepung terigu, yaitu sebesar 0.341. Hal ini diduga karena penggunaan tenaga kerja dalam industri tepung terigu tidak terlalu besar. Jika dilihat dari struktur biaya, industri tepung terigu mengeluarkan biaya untuk tenaga kerja tidak terlalu besar. Pada tahun 1999, pengeluaran untuk tenaga kerja adalah sebesar 7.19 persen, proporsinya menurun pada tahun 2000 yang menjadi sebesar 1.37 persen dan pada tahun 2001 adalah sebesar 2 persen. Hal ini menandakan industri tepung terigu bukanlah industri yang mengandalkan tenaga kerja atau padat karya (Alistair, 2004). Faktor produksi modal dalam penelitian ini memberikan pengaruh yang negatif dan tidak nyata pada nilai output industri tepung terigu, yaitu sebesar 0.003. Hal ini diduga karena modal tetap yang mencakup gedung, mesin, tanah dan kendaraan merupakan aset-aset jangka panjang, sehingga penambahan modal tersebut tidak akan efisien lagi untuk meningkatkan nilai output. 5.4.2. Elastisitas dan Skala Usaha (Return to Scale) 5.4.2.1. Elastisitas Industri Tepung Terigu di Indonesia Berdasarkan kerangka teoritis pada bab sebelumnya, diketahui bahwa nilai koefisien regresi dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi. Penjumlahan dari setiap
nilai koefisien dalam model fungsi produksi dapat digunakan untuk mengetahui keadaan skala usaha dalam produksi. Berdasarkan Tabel 5.2, dugaan nilai elastisitas produksi dari masingmasing faktor produksi bahan baku dan energi berada pada daerah II (0 < ep < 1). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi bahan baku dan energi masih rasional, dimana setiap penambahan penggunaan salah satu faktor produksi akan meningkatkan jumlah output dalam jumlah yang semakin kecil karena faktor produksi lain tetap (ceteris paribus). Pada daerah ini keuntungan maksimum dapat dicapai selama pertambahan hasil sama dengan pertambahan biayanya. Dugaan nilai elastisitas energi terhadap output industri tepung terigu sebesar 0.168 menunjukkan bahwa kenaikan ketersediaan energi sebesar satu persen akan meningkatkan nilai output sebesar 0.168 persen, ceteris paribus. Kenaikan harga BBM akibat pengurangan subsidi berdampak buruk bagi dunia industri, khususnya industri tepung terigu. Tabel 5.2. Nilai Elastisitas Model Cobb-Douglas Variabel Modal (X1) Tenaga Kerja (X2) Bahan Baku (X3) Energi (X4)
Elastisitas 0 0 0.600 0.168
Dugaan nilai elastisitas bahan baku sebesar 0.600 menunjukkan bahwa kenaikan ketersediaan bahan baku sebesar satu persen akan meningkatkan output Industri tepung terigu sebesar 0.600 persen, ceteris paribus. Elastisitas bahan baku yang tertinggi merupakan indikasi bahwa input tersebut paling dibutuhkan dalam
sektor ini. Pengaruh bahan baku yang begitu besar karena bahan baku merupakan faktor produksi yang penting dan utama bagi kelancaran produksi. Pendugaan nilai elastisitas tenaga kerja dan modal adalah nol. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan ketersediaan faktor produksi modal dan tenaga kerja sebesar satu persen tidak meningkatkan output yang dihasilkan, ceteris paribus. Dengan demikian, berapapun perubahan ketersediaan faktor produksi tidak akan berpengaruh terhadap perubahan jumlah outputnya. Peningkatan output dalam jumlah besar dapat dilakukan penambahan terhadap faktor produksi bahan baku. Keputusan ini merupakan hal yang paling efisien karena bahan baku mempunyai nilai elastisitas yang paling tinggi, sehingga dapat memberikan pengaruh yang paling besar dari pada faktor produksi lainnya. Perusahaan tepung terigu dapat terus menambah faktor produksi bahan baku, selama penambahan output yang dihasilkan masih lebih besar dari tambahan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi tersebut. 5.4.2.2. Skala Usaha (Return to Scale) Industri Tepung Terigu di Indonesia Skala usaha (Return to Scale) menjelaskan bagaimana suatu kenaikan proporsional dari semua faktor produksi (input) terhadap output. Besarnya skala usaha ditentukan dari penjumlahan parameter peubah bebasnya. Berdasarkan hasil estimasi fungsi produksi industri tepung terigu diperoleh penjumlahan dari keempat variabel bebasnya (∑bi) yaitu sebesar 1.10. Oleh karena jumlah keempat variabel bebasnya mendekati satu maka menunjukkan bahwa skala usaha industri tepung terigu berada pada kondisi constant return to scale. Artinya, laju pertumbuhan output sama dengan laju pertumbuhan input. Adapun hasil
pengujian skala usaha industri tepung terigu di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 5. 5.4.3. Nilai Tambah dan Efisiensi Kinerja Industri Tepung Terigu Indonesia 5.4.3.1. Nilai Tambah Industri Tepung Terigu Nilai tambah bruto (NTB) dapat diketahui dari selisih antara nilai output dan biaya input, sebelum dikurangi dengan pajak. NTB menunjukkan keuntungan kotor yang akan diperoleh perusahaan. Analisis nilai tambah ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan industri tepung terigu tersebut, apakah industri tersebut mengalami kemajuan atau malah mengalami penurunan dengan cara melihat nilai tambah bruto dari industri tepung terigu tersebut. Nilai tambah industri tepung terigu di Indonesia cenderung mengalami fluktuasi selama periode penelitian (1986-2003). Hal ini berarti keuntungan kotor yang diterima industri juga mengalami fluktuasi. Faktor yang menyebabkan meningkatnya nilai tambah pada industri tepung terigu adalah karena pertambahan output yang dihasilkan lebih besar daripada pertambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh industri tepung terigu, dan faktor yang menyebabkan menurunnya nilai tambah pada industri tepung terigu adalah karena pertambahan output yang dihasilkan lebih kecil daripada pertambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh industri tepung terigu. Berdasarkan Tabel 5.3. pada tahun 1990 terjadi penurunan nilai tambah. Laju pertumbuhan nilai tambah pada tahun 1990 sebesar -6.05 persen. Hal itu diduga karena pada tahun 1990 telah terjadi peningkatan harga BBM dan tarif listrik, dan juga dampak dari kebijakan uang ketat yang diterapkan oleh
pemerintah. Peningkatan harga BBM dan listrik tersebut menyebabkan biaya input industri tepung terigu semakin mahal. Pada tahun 1992, terjadi juga penurunan laju pertumbuhan nilai tambah. Hal ini diduga karena terjadinya peningkatan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif listrik, jasa angkutan dan air minum. Tabel 5.3. Data Hasil Nilai Tambah Bruto (NTB) Industri Tepung Terigu Periode 1986-2003
Tahun
Nilai Output (Ribu Rupiah)
Pertumbuhan (%)
Biaya Input (Ribu Rupiah)
Pertumbuhan (%)
NTB (Ribu Rupiah)
Pertumbuhan (%)
1986
220603086
-
195496257
-
25106829
-
1987
335594073
52.12
282781971
44.64
52812102
110.34
1988
382476893
13.97
306509438
8.39
75967455
43.84
1989
374602247
-2.05
297622046
-2.89
76980201
1.33
1990
387304097
3.39
314987485
5.83
72316612
-6.05
1991
498137224
28.61
401663303
27.51
96473921
33.40
1992
395487346
-20.60
321504575
-19.95
73982771
-23.31
1993
707236252
78.82
546532092
69.99
160704160
117.21
1994
725976401
2.64
589018708
7.77
136957693
-14.77
1995
792853160
9.21
701230605
19.05
91622555
-33.10
1996
1482674053
87.00
1325055530
88.96
157618523
72.03
1997
2040305
-99.86
814900
-99.93
1225405
-99.22
1998
1339823834
65567.82
754671175
92509.05
585152659
47651.77
1999
1413866391
5.52
1056066644
39.93
357799747
-38.85
2000
6933894596
390.42
6483010289
513.88
450884307
26.01
2001
6424620154
-7.34
4276726157
-34.03
2147893997
376.37
2002
3372014591
-47.51
2479622111
-42.02
892392480
-58.4
2003
4108722422
21.84
3411478664
37.58
697243758
-21.86
Pada tahun 1994-1995 juga terjadi penurunan nilai tambah sebesar -14.77 persen dan -33.10 persen. Penurunan tersebut diduga karena meningkatnya harga
bahan baku utama industri tepung terigu, yaitu gandum akibat kegagalan panen gandum di Australia (Aptindo, 2005). Pada tahun 1997 terjadi penurunan nilai tambah industri tepung terigu. Laju pertumbuhan nilai tambah yang menurun drastis tersebut, diduga karena meningkatnya harga faktor produksi terutama harga bahan baku gandum yang sebagian besar diimpor dari luar negeri, disebabkan karena dampak dari krisis ekonomi yang kian berkembang menjadi krisis kepercayaan yang menimbulkan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tahun 1998, industri tepung terigu menghasilkan laju pertumbuhan nilai tambah yang paling besar yaitu sebesar 47651.77 persen. Hal ini diduga karena setelah reformasi 1998, terjadi deregulasi sektor usaha. Deregulasi itu juga terjadi pada industri tepung terigu di Indonesia dengan dikeluarkannya Keppres No.19/1998 tanggal 21 Januari 1998. dengan demikian sejak tahun 1998 monopoli Bulog terhadap industri tepung terigu telah dihapuskan. Deregulasi tahun 1998 ini telah merubah paradigma bisnis dan struktur industri tepung terigu, yaitu adanya kebebasan untuk mengatur pembelian gandum dan penjualan tepung terigu, pasar menjadi kompetitif dan terbuka, adanya peningkatan pelayanan kepada pelanggan, adanya inovasi produk, merk, distribusi dan promosi, serta efisiensi biaya sebagai dampak dari skala ekonomi (Aptindo, 2005). Status perusahaan-perusahaan penggiling gandum pun berubah setelah Bulog tak lagi menangani tata niaga tepung terigu. Komoditas ini diserahkan kepada mekanisme pasar. Pada tahun 1999, laju pertumbuhan nilai tambah industri tepung terigu mengalami penurunan yaitu sebesar -38.85 persen. Hal ini diduga karena nilai
tukar rupiah terhadap dollar mengalami fluktuasi. Pada tahun 2002, laju pertumbuhan nilai tambah industri tepung terigu mengalami penurunan hal ini diduga karena situasi keamanan di Indonesia yang tidak stabil yaitu adanya peristiwa bom bali, sehingga mengakibatkan berkurangnya investasi asing di Indonesia. Pada tahun 2003, laju pertumbuhan nilai tambah industri tepung terigu mengalami penurunan yaitu sebesar -21.86 persen. Hal ini diduga karena adanya berbagai kebijakan pemerintah berupa kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik (TDL). Peningkatan harga faktor produksi bahan baku yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap nilai output disebabkan karena terjadinya gejolak ekonomi yang melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Harga bahan baku yang pembayarannya menggunakan dollar Amerika menjadi semakin mahal. 5.4.3.2. Efisiensi Industri Tepung Terigu Efisiensi suatu industri sangatlah penting dalam mengetahui tingkat keberhasilan suatu perusahaan. Semua perusahaan industri dalam kegiatannya untuk membuat produk akan berupaya semaksimal mungkin untuk menekan semua input. Analisis efisiensi yang digunakan adalah analisis efisiensi produksi dengan menggunakan harga yang berlaku. Nilai efisiensi dalam penelitian ini dilihat melalui perbandingan antara biaya input dan nilai output industri tepung terigu. Semakin tinggi tingkat efisiensi maka rasio/perbandingan antara biaya input dengan nilai outputnya semakin kecil. Hasil perhitungan tingkat efisiensi industri tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Nilai Efisiensi Produksi Industri Tepung Terigu di Indonesia Periode 1986-2003 Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Efisiensi Produksi (Input/Output) 88.61 84.26 80.13 79.45 81.32 80.63 81.29 77.27 81.13 88.44 89.36 39.94 56.32 74.69 93.49 66.56 73.53 83.03
Pertumbuhan (%) -4.91 -4.89 -0.85 2.36 -0.85 0.81 -4.94 4.99 9.00 1.04 -55.30 41.02 32.60 25.17 -28.80 10.46 12.91
Hasil data nilai efisiensi (Tabel 5.4) memperlihatkan bahwa tingkat efisiensi industri tepung terigu yang paling tinggi terdapat pada tahun 1997 yaitu sebesar 39.94. Hal ini sangatlah unik karena justru yang terjadi pada tahun 1997 adalah krisis ekonomi, tetapi industri tepung terigu menghasilkan tingkat efisiensi yang tertinggi selama periode penelitian (1986-2003). Industri tepung terigu pada tahun 1997 berusaha untuk menghasilkan produk tepung terigu dengan efisien yaitu dengan penghematan penggunaan BBM, manajemen produksi yang berkualitas, dan lain-lain di tengah-tengah kenaikan biaya faktor produksi. Tetapi ketika tingkat efisien tertinggi pada tahun 1997, output yang dihasilkan sangat rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun berikutnya efisiensi produksi industri tepung terigu mengalami penurunan dengan meningkatnya rasio antara biaya input dengan nilai output.
Penurunan tersebut disebabkan karena semakin meningkatnya biaya produksi sementara itu nilai output yang dihasilkan hanya mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan peningkatan biaya input. Adanya kenaikan harga faktorfaktor produksi merupakan hal utama yang meningkatkan biaya input, yaitu meningkatnya harga bahan baku gandum, peningkatan harga BBM, listrik dan tarif telepon.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Faktor produksi bahan baku (X3) dan energi (X4) memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan nilai output industri tepung terigu di Indonesia. Dummy krisis memberikan pengaruh yang negatif dan dummy penghapusan monopoli Bulog memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan output industri tepung terigu. Tenaga kerja memiliki tanda positif dan modal memiliki tanda negatif, tetapi secara individu kedua faktor produksi tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan output industri tepung terigu di Indonesia. 2. Bahan baku memiliki dugaan nilai elastisitas terbesar yaitu sebesar 0.600, Energi memiliki dugaan nilai elastisitas sebesar 0.168. Pendugaan nilai elastisitas tenaga kerja dan modal adalah nol. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan ketersediaan faktor produksi modal dan tenaga kerja sebesar satu persen tidak meningkatkan output yang dihasilkan, ceteris paribus. Dengan demikian, berapapun perubahan ketersediaan faktor produksi tidak akan berpengaruh terhadap perubahan jumlah outputnya. 3. Nilai skala usaha (return to scale) industri tepung terigu sebesar 1.10, yang merupakan hasil penjumlahan parameter peubah bebas faktor produksi. Hasil penjumlahan tersebut menunjukkan bahwa skala usaha industri tepung terigu berada pada kondisi constant return to scale.
4. Selama masa periode penelitian nilai tambah industri tepung terigu secara keseluruhan
cenderung
mengalami
fluktuasi,
pada
tahun
1990,1992,1994,1995,1997, 1999, 2002 dan 2003 nilai tambah industri tepung terigu mengalami penurunan. Penurunan nilai tambah terbesar terjadi pada tahun 1997 sebesar -99.22 persen dari tahun sebelumnya. Hal tersebut disebabkan karena meningkatnya harga faktor produksi terutama harga bahan baku gandum yang sebagian besar diimpor dari luar negeri, disebabkan karena dampak dari krisis ekonomi yang kian berkembang menjadi krisis kepercayaan yang menimbulkan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Berdasarkan hasil nilai terkecil dari rasio antara biaya input dengan nilai output maka tingkat efisiensi industri tepung terigu yang paling tinggi selama masa periode penelitian terdapat pada tahun 1997 yaitu sebesar 39.94.
6.2. Saran 1. Industri tepung terigu dalam peningkatan output riil disarankan untuk menambah bahan baku karena nilai elastisitasnya yang tertinggi. Perusahaan dapat terus menambah bahan baku selama penambahan output yang dihasilkan masih lebih besar dari tambahan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi tersebut. 2. Peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan memiliki manajemen produksi yang berkualitas dengan cara mengadakan pelatihan skill.
DAFTAR PUSTAKA
Agustineu, S. D. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Tekstil di Jawa Barat [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Alistair, A. 2004. Analisis Struktur Perilaku Kinerja Industri Tepung Terigu di Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli Bulog [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arsyad, L. 1999. Ekonomi Manajerial: Ekonomi Mikro Terpadu untuk Manajemen Bisnis. BPFE, Yogyakarta. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia. 2005. Laporan Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO). Aptindo, Jakarta. Assuari, S. 1980. Manajemen Produksi dan Operasi. Lembaga FEUI, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1986-2003. Indeks Harga Perdagangan Besar. BPS, Jakarta. ---------------------------. 1985-2003. Statistik Impor. BPS, Jakarta. ---------------------------. 1986-2003. Statistik Industri Besar dan Sedang. BPS, Jakarta. Batan. Kerjasama Antara P3TIR-Batan dengan PT Bogasari Flour Mills. http:/www.batan.go.id. [2003]. Departemen Perindustrian. 2005. Berita Resmi Statistik Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Departemen Perindustrian, Jakarta. -------------------------------. 2005. Perkembangan Industri Makanan. Departemen Perindustrian, Jakarta. Dumairy. 2000. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Gujarati, D. N. 1995. Basic Econometrics 3rd Edition. Mc Graw-Hill International Edition, New York. Harfa, A. 1996. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Permintaan Tepung Terigu di Indonesia [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi. Cetakan ke 1. LP3ES, Jakarta. Jamaludin, J. 2005. Dampak Kebijakan Perdagangan Gandum-Tepung Terigu Terhadap Keseimbangan Tepung Terigu di Indonesia [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kompas. Pengusaha: Kenaikan Pajak http://www.kompas.com. [23 Mei 2001].
dan
Tarif
Kompas. Kenaikan Harga Minyak Memukul http://www.kompas.com. [14 Maret 2003].
Sudah
Industri
Cukup.
Nasional.
Lipsey, et al. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid 1. Bina Rupa Aksara, Jakarta. Nicholson, W. 1995. Teori Mikroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan. Bina Rupa Aksara, Jakarta. Pasaribu, H. S, D. Hartono, dan T. Irawan. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Putong, I. 2005. Pengantar Mikro dan Makro. Edisi ke-2. Ghalia Indonesia, Jakarta. Putri, I. 2004. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Rokok Kretek di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sinarharapan. Franciscus Welirang CEO PT Bogasari Flour Mills Komitmen Terhadap UKM. http://www.sinarharapan.co.id. [ 2002]. Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sumarni, M dan John S. 1998. Pengantar Bisnis. Liberty, Yogyakarta. Taken, IB dan Asnawi. 1997. Teori Ekonomi Produksi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tempointeraktif. Harga Terigu Akan Naik http://www.tempointeraktif.com. [10 Maret 2004].
5-10
Persen.
Wahyu, R. N. R. 1999. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kinerja Industri Makanan Tepung Terigu [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wijaya, H. 2003. Optimalisasi Produksi Tepung Terigu (Studi Kasus PT ISM Bogasari Flour Mills) [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
77
Lampiran 1. Data Faktor-Faktor Produksi yang Mempengaruhi Nilai Output Industri Tepung Terigu di Indonesia Periode 1986-2003 (000 Rp) Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
IHPB (1995=100) 49.7 58.85 63.1 67.51 74.29 78.08 82.17 85.22 89.82 100 145.2 117.5 237.2 262 294.7 302.05 332.16 350.6
Outputnom 220603086 335594073 382476893 374602247 387304097 498137224 395487346 707236252 725976401 792853160 1482674053 2040305 1339823834 1413866391 6933894596 6424620154 3372014591 4108722422
Modalnom 39750 288125 610256 81786676 7820534 7746081 6514374 7661797 94446980 145395053 49824573 219370989.5 388917406 588568096 7487669 8123084 13886926 544744758
Tenaga Kerja 2008 1902 1904 1914 1911 2549 2145 2192 2390 2580 3082 3158 4183 3287 3671 3579 3862 4035
Bahan Bakunom 156074515 244690536 261132372 249655269 260790721 317492363 312225671 478844547 445527068 563482810 1069615139 584572 470981284 925935075 5426799206 3686887516 2216468180 3084435699
Energinom 8037981 9002503 9009320 10869081 11599311 9592070 3425994 16972178 24267165 24555203 45862575 97468 38693204 27499635 278039964 130580585 52965772 100771240
78
Lampiran 2. Data Riil Faktor-Faktor Produksi yang Mempengaruhi Nilai Output Industri Tepung Terigu di Indonesia Periode 1986-2003
Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Output 443869388.3 570253310.1 606144046 554884086.8 521340822.5 637983125 481303816.5 829894686.7 808256959.5 792853160 1021125381 1736429.787 564849845.7 539643660.7 2352865489 2127005514 1015177803 1171911701
Modal 79979.87928 489592.1835 967125.1981 121147498.1 10527034.59 9920698.002 7927922.599 8990609.012 105151391.7 145395053 34314444.21 186698714.5 163961806.9 224644311.5 2540776.722 2689317.663 4180794.196 155375002.3
Tenaga Kerja 2008 1902 1904 1914 1911 2549 2145 2192 2390 2580 3082 3158 4183 3287 3671 3579 3862 4035
Bahan Baku 314033229.4 415786807.1 413838941.4 369804871.9 351044179.6 406624440.3 379975259.8 561892216.6 496022119.8 563482810 736649544.8 497508.0851 198558720.1 353410334 1841465628 1220621591 667289312.4 879759184
(000 Rp) Energi 16173000 15297371.28 14277844.69 16099957.04 15613556.33 12284925.72 4169397.59 19915721.66 27017551.77 24555203 31585795.45 82951.48936 16312480.61 10496043.89 94346781.13 43231446.78 15945861.03 28742509.98
79
Lampiran 3. Hasil Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas Hasil Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglas Industri Tepung Terigu di Indonesia Dependent Variable: Ln(Y) Method: Least Squares Date: 04/11/06 Time: 18:39 Sample: 1986 2003 Included observations: 18 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C Ln(X1) Ln(X2) Ln(X3) Ln(X4) DUK DUB
2.982656 -0.003293 0.340699 0.599770 0.167798 -1.065733 1.099829
1.860670 0.014658 0.249296 0.086800 0.069040 0.463131 0.449326
1.603001 -0.224665 1.366646 6.909775 2.430440 -2.301150 2.447728
0.1372 0.8264 0.1990 0.0000 0.0334 0.0419 0.0324
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.996297 0.994278 0.114544 0.144323 17.89379 1.832155
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
20.13071 1.514237 -1.210421 -0.864166 493.3245 0.000000
Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.994335 10.56345
Probability Probability
0.519752 0.392524
Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.841388 10.89798
Probability Probability
0.239178 0.053441
Uji Multikolinearitas Ln(X1) Ln(X2) Ln(X3) Ln(X4) Duk Dub
Ln(X1) 1.000000 0.395662 -0.290839 -0.246399 0.277663 0.154359
Ln(X2) 0.395662 1.000000 -0.001068 0.070250 0.879632 0.842184
Ln(X3) -0.290839 -0.001068 1.000000 0.956470 -0.178148 0.278540
Ln(X4) -0.246399 0.070250 0.956470 1.000000 -0.118078 0.312537
Duk 0.277663 0.879632 -0.178148 -0.118078 1.000000 0.886405
Dub 0.154359 0.842184 0.278540 0.312537 0.886405 1.000000
80
Lampiran 4. Uji Normalitas 6 Series: Residuals Sample 1986 2003 Observations 18
5 4 3 2 1 0 -0.1
0.0
0.1
0.2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.81E-15 -0.005740 0.223094 -0.145181 0.092139 0.418869 3.239317
Jarque-Bera Probability
0.569309 0.752274
81
Lampiran 5. Pengujian Wald test untuk Tingkat Pengembalian (Return to Scale) Industri Tepung Terigu di Indonesia Wald Test: Equation: Untitled Test Statistic F-statistic Chi-square
Value
df Probability
0.211046 0.211046
(1, 11) 1
0.6549 0.6459
Value
Std. Err.
0.104974
0.228504
Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) -1 + C(2) + C(3) + C(4) + C(5)
Restrictions are linear in coefficients.
Hipotesis : H0 = C(2) + C(3) + C(4) + C(5) = 1(constant return to scale) H1 = increasing return to scale Probability F-statistic = 0.65 > α (0.05) artinya skala usaha industri tepung terigu berada pada kondisi constant return to scale.
82
Lampiran 6. Grafik Pergerakan Faktor-Faktor Produksi terhadap Output Industri Tepung Terigu di Indonesia
22
20
21
19 18
20
17
19
16 18 15 17
14
16
13
15
12
14
11 86
88
90
92
94
96
98
00
02
86
88
90
92
LY
94
96
98
00
02
98
00
02
LMODAL
8.4
22
8.3
21
8.2
20
8.1
19
8.0
18
7.9
17
7.8
16
7.7
15
7.6
14 13
7.5 86
88
90
92
94
96
98
00
02
LTK
18 17 16 15 14 13 12 11 88
90
92
94
96
LENERGI
88
90
92
94
96
LBAKU
19
86
86
98
00
02