ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTENSITAS ENERGI INDUSTRI MENENGAH-BESAR INDONESIA
OLEH HARRY GUSTARA PAMBUDI H14054200
DEPERTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
HARRY GUSTARA PAMBUDI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Energi Industri Menengah-Besar Indonesia (dibimbing oleh TONY IRAWAN). Energi sangat penting peranannya dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai bahan bakar untuk proses industrialisasi, sebagai bahan baku untuk proses produksi, dan sebagai komoditas ekspor. Sumber energi yang digunakan untuk keperluan domestik meliputi energi fosil (minyak bumi, gas bumi, dan batubara) serta energi terbarukan (tenaga air dan tenaga panas bumi). Secara umum peningkatan kebutuhan energi memiliki keterkaitan yang erat dengan semakin berkembangnya kegiatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang begitu dinamis, yang ditandai dengan meningkatnya output produksi dan beragam aktivitas ekonomi lain, menyebabkan peningkatan kebutuhan energi yang cukup besar dan tidak dapat dihindari. Menurut Pusat Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral penggunaan energi dari tahun ke tahun memiliki tren yang selalu naik di Indonesia. Sektor industri merupakan sektor yang mengkonsumsi energi akhir paling besar setiap tahunnya bila dibandingkan dengan sektor lainnya. Peningkatan penggunaan energi di sektor industri dalam 15 tahun terakhir bukan hanya terjadi karena proses transformasi struktural yang cepat dari sektor pertanian ke sektor industri. Namun hal ini terjadi juga karena ada dugaan pemborosan penggunaan energi di sektor industri. Intensitas energi merupakan salah satu ukuran yang sering digunakan untuk melihat tingkat efisiensi energi dalam suatu sektor. Semakin kecil nilai intensitas energi maka akan semakin efisien energi yang digunakan oleh suatu sektor. Berbicara mengenai intensitas energi, intensitas energi di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya berdasarkan data yang diperoleh dari KLBI 2005. Ternyata banyak hal yang perlu ditelusuri guna melihat dan meyakini angka-angka yang muncul dalam datadata terkait intensitas energi. Ada kemungkinan angka-angka yang menggambarkan intensitas energi yang memiliki hubungan terbalik dengan efisiensi energi bukanlah data yang nyata menggambarkan masalah efisiensi. Ukuran perusahaan, lamanya sebuah perusahaan telah berdiri, total upah, dan banyak hal lain yang perlu dirumuskan lebih lanjut guna mengidentifikasi masalah ketidakefisienan sebuah perusahaan dalam menghasilkan outputnya. (Kumar, 2003) Hubungan antar faktor perlu mendapat sorotan yang lebih mendalam mengingat kesalahan menginterpretasikan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam pengambilan keputusan perusahaan. Ketidakefisienan pemakaian energi jelas sangat merugikan terutama pada sektor industri karena akan terkait dengan jumlah output yang dihasilkan serta keuntungan agregat industri tersebut. Indikator yang paling umum digunakan adalah dengan melihat nilai elastisitas energi pada setiap perusahaan terkait. Semakin elastis maka semakin efisien perusahaan tersebut menggunakan energi. (Direktorat Migas
Indonesia) Begitu juga sebaliknya semakin inelastis maka semakin tidak efisien pula perusahaan tersebut dalam operasionalnya. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi intensitas energi, nilai elastisitas energi serta tingkat efisiensi energi merupakan suatu hal yang perlu dianalisis lebih lanjut. Terkait dengan upaya efisiensi energi nasional serta pengambilan keputusan yang tepat bagi perusahaan dan sektor terkait. Karena tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kebutuhan akan energi akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya sektor industri dalam negeri. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai intensitas energi pada industri menengah-besar di Indonesia serta menganalisis sektor-sektor yang mengkonsumsi energi dengan efisien dan sektor yang mengkonsumsi energi secara tidak efisien. Data yang digunakan data merupakan data sekunder yang merupakan data cross section yang diambil dari statistik industri menengah-besar di Indonesia pada periode 2000-2005. Selanjutnya dibangun panel data pada level sektor industri (ISIC dua digit) yang terdiri dari 23 sektor industri menengah-besar pada periode 2000-2005. Hasil penelitian ini menemukan pada periode 2000-2005 beberapa industri memiliki lonjakan yang tidak normal. Industri batu bara, pengilangan minyak bumi dan pengolahan gas bumi barang-barang dari hasil pengilangan minyak bumi, dan bahan bakar nuklir memiliki nilai intensitas energi yang sangat besar pada tahun 2004. Industri logam dasar memiliki tren yang selalu naik setiap tahunnya dengan kenaikan diatas rata-rata industri lain. Sedangkan pada industri kendaraan bermotor memiliki nilai intensitas yang melonjak naik pada tahun 2002. Selanjutnya analisis yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode Two Way Error Components Fixed Effect Model untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas energi dengan menggunakan dummy waktu dan dummy sektor industri. Hal ini dikarenakan penelitian ini ingin menemukan adanya keberagaman antar sektor dan antar waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara intensitas energi dengan total penjualan suatu sektor, intensitas biaya perbaikan dan integrasi vertikalnya. Selain itu adanya hubungan positif antara intensitas energi dengan total upah dan intensitas biaya perbaikan. Terakhir, hasil analisis dijadikan patokan bagi peneliti untuk merumuskan beberapa masukan kebijakan mengenai penggunaan energi nasional yaitu pemberian insentif kepada perusahaan-perusahaan yang kecil untuk meningkatkan skala perusahaannya. Menjadikan efisiensi pemakaian energi sebagai tolak ukur dari produktivitas industri. Penetapan standar efisiensi energi maksimum diberikan agar dapat mengatur penggunaan energi agar tetap efisien, dan pemberian sanksi juga perlu diberlakukan untuk sektor dengan penggunaan energi yang boros dan insentif kepada sektor yang efisien.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTENSITAS ENERGI INDUSTRI MENENGAH-BESAR INDONESIA
Oleh HARRY GUSTARA PAMBUDI H14054200
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPERTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Energi Industri Menengah-Besar Indonesia
Nama Mahasiswa
: Harry Gustara Pambudi
Nomor Registrasi Pokok
: H14054200
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Tony Irawan, M. App. Ec NIP. 19820306 20050 1 1001
Mengetahui, Kepala Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR
HASIL
DIGUNAKAN
KARYA
SEBAGAI
SAYA SKRIPSI
SENDIRI ATAU
YANG
BELUM
KARYA
ILMIAH
PERNAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Harry Gustara Pambudi H14054200
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Harry Gustara Pambudi lahir pada tanggal 28 Agustus 1987 di Depok, sebuah kota di Provinsi Jawa Barat. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Edy Wartoyo dan Suhartini. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Keramat Pela 01 pagi, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 3 Depok dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 1 Depok dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun tersebut penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu di Institut Pertanian Bogor. Penulis masuk IPB melalui jalur Prestasi International dan Nasional IPB (PIN) dan setahun kemudian setelah melewati Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis diterima sebagai mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis memilih jurusan Ilmu Ekonomi atas keinginannya sendiri dikarenakan ekonomi merupakan salah satu sektor penting yang digunakan untuk pembangunan suatu bangsa dan negara. Selama jadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi BEM FEM (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen) dengan menjadi Kepala Departemen P dan K (Perekonomian dan Kewirausahaan) pada periode 2007 sedangkan pada periode 2008, penulis menjadi Wakil Ketua BEM FEM. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitian seperti Economics Contest, Espresso, Pujangga, Sportakuler dan Masa Perkenalan Departemen Ilmu Ekonomi.
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Energi Industri Menengah – Besar Indonesia”. Energi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam seluruh aktifitas manusia di dunia. Energi merupakan penggerak dan bahan bakar utama untuk semua sektor perekonomian. Sedangkan sektor industri merupakan sektor dengan penggunaan energi terbesar dibandingkan sektor lainnya. Sehingga penelitian mengenai masalah tersebut menjadi hal yang sangat penting untuk dijabarkan lebih lanjut. Selain itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, doa dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, ucapan terima kasih dan penghargaan penulis disampaikan kepada: 1. Tony Irawan, M. App. Ec selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan ilmu dan nasehat-nasehat yang sangat berguna demi berkembangnya pemikiran penulis. 2. Dr. Dedi Budiman Hakim dan Jaenal Effendi, MA selaku dosen penguji utama dan komisi pendidikan, yang telah memberikan saran-saran dan ilmu yang bermanfaat. 3. Seluruh Civitas Ilmu Ekonomi atas pengalaman dan ilmu yang berharga. 4. Kedua orang tua penulis Bapak Edy Wartoyo dan Ibu Suhartini atas doa dan dukungannya. Juga untuk Mba Ayu , Mas Hendry, dan Om Catur yang telah
banyak membantu. Terima Kasih pula kepada Ginna Ayu Puteri atas doa, semangat, dan perhatian yang diberikan. 5. Seluruh teman IE 42. Teman-teman seperjuangan Lukman, Joger, Riza, Gerry, Vagha, Iqbal, Adori, Sundoro, Fitrah, Anggi, Doni, Huda dan temanteman angkatan 40,41, 43 dan 44 6. Pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih banyak kekurangan. Semua saran dan kritik dari berbagai pihak merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Meskipun demikian, apabila terdapat kesalahan dalam penelitian ini, hal ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2009
Harry Gustara Pambudi H14054200
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................................... i DAFTAR TABEL ........................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xiv I. PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................................ 6 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 7 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 7 1.5 Ruang Lingkup ................................................................................................... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................... 9 2.1 Fungsi Produksi .................................................................................................. 9 2.2. Teori Intensitas dan Elastisitas Energi ............................................................ 11 2.3 Energi ................................................................................................................ 12 2.4 Klasifikasi Industri dan Kebijakan Pemerintah .............................................. 15 2.5 Klasifikasi Baku Lapangan Kerja Indonesia................................................... 17 2.5.1 Cakupan KLBI 2005 ............................................................................... 18 2.5.2 Kegiatan Utama (Primer), Sekunder, dan Penunjang ........................... 18 2.5.3 Struktur dan Sistem Pemberian Kode KLBI 2005 ................................ 22 2.6 Penelitian Terdahulu ......................................................................................... 23 2.7 Kerangka Pemikiran ......................................................................................... 26 III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................... 29 3.1 Jenis dan Sumber Data ..................................................................................... 29 3.2 Metode Analisis Data ....................................................................................... 29 3.3 Pengujian Asumsi Klasik ................................................................................. 44 3.3.1 Pengujian Autokorelasi ........................................................................... 44
3.3.2 Pengujian Multikolinearitas .................................................................... 45 3.3.3 Pengujian Heteroskedastisitas ................................................................ 45 3.4 Model penelitian ............................................................................................... 46 3.4.1 Definisi Operasional Variabel ................................................................ 47 3.4.2 Model Intensitas Energi .......................................................................... 49 3.5 Membangun panel data .................................................................................... 49 IV. PEMBAHASAN ....................................................................................................... 52 4.1 Gambaran Umum Penggunaan Energi di Industri Indonesia ........................ 52 4.2 Model Intensitas Energi (Industri Menengah-Besar Indonesia) .................... 57 4.3 Implikasi Kebijakan.......................................................................................... 69 V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 74 5.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 74 5.2 Saran .................................................................................................................. 75 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 77 LAMPIRAN .................................................................................................................... 79
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pemakaian Energi Akhir Menurut Sektor
Halaman 3
4.1 Intensitas Energi di Sektor Industri Menengah-Besar Indonesia
54
4.2 Hasil Estimasi Fungsi Intensitas Energi dengan Berbagai Pendekatan
59
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1.1 Jaringan Sistem Energi
2
2.1 Hubungan Intensitas Energi dan Konsumsi Per Kapita
12
2.2 Transformasi Energi
15
2.3 Kerangka Pemikiran
28
3.1 Grafik Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square
33
3.2 Grafik Estimasi dengan Pendekatan Within Group Estimator
35
3.3 Pengujian Pemilihan Model dengan Pengolahan Panel Data
41
4.1 Grafik Intensitas Energi Sektor Industri (Menengah-Besar) Indonesia
56
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
Lampiran 1. Hasil Estimasi Fungsi Intensitas Energi dengan Menggunakan Fixed Effect Model 80 Lampiran 2. Hasil Estimasi Fungsi Intensitas Energi dengan Menggunakan Two Way Error Components Fixed Effect
81
Lampiran 3. Hasil Estimasi Fungsi Intensitas Energi dengan Menggunakan Panel Corrected Standard Error 82 Lampiran 4. Hasil Uji Heteroskedastisitas
83
Lampiran 5. Hasil Uji Autokorelasi dengan Menggunakan Wooldridge Test
85
Lampiran 6. Hausman Test
86
Lampiran 7. Nilai Intensitas Energi pada Sektor Industri Menengah-Besar di Indonesia
88
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Energi memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat,
karena energi merupakan salah satu indikator pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kelangsungan berbagai sektor di suatu negara seperti sektor industri, rumah tangga, transportasi, jasa dan lain-lain tidak dapat dipisahkan dari penggunaan energi. Secara umum peningkatan kebutuhan energi memiliki keterkaitan yang erat dengan semakin berkembangnya kegiatan ekonomi (Sugiyono, 2004). Pertumbuhan ekonomi yang begitu dinamis, yang ditandai dengan meningkatnya output produksi dan beragam aktivitas ekonomi lain, menyebabkan peningkatan kebutuhan energi yang cukup besar dan tidak dapat dihindari. Menurut Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (2004)1, pada tahun 1970 konsumsi energi primer hanya sebesar 50 juta SBM (Setara Barel Minyak). Sedangkan pada tahun 2001 konsumsi energi primer telah menjadi 715 juta SBM atau mengalami pertumbuhan sebesar 1330 persen dan dapat dikatakan pertumbuhan ratarata periode 1970-2001 adalah sebesar 42,9 persen/tahun. Kenyataan ini sudah tidak bisa dihindari lagi, yang dapat dilakukan adalah menjaga agar kenaikan penggunaan energi dapat diimbangi dengan tambahan output yang dihasilkan.
1
www.republika.co.id/berita/144. Pemanfaatan Energi Alternatif Harus Dipaksakan. [14 Juli 2008]
Sumber : DESDM, 1996
Gambar 1.1. Jaringan Sistem Energi Dalam jaringan sistem energi, masing-masing bentuk energi memiliki peran dalam penggunaanya. Energi primer merupakan energi yang langsung didapat dari alam dan kemudian dapat digunakan secara langsung. Energi primer memiliki peran sebagai bahan bakar awal untuk kemudian diolah menjadi bentuk energi tahap kedua (secondary energy). Yang termasuk dalam kategori energi primer berdasarkan DESDM adalah batubara, minyak mentah, gas bumi, tenaga air, panas bumi, dan biomass. Energi dalam bentuk primer sangat rentan akan terjadinya kelangkaan karena sumber energi secara ekstraktif langsung didapat dari alam. Jika tidak diperbaharui maka jumlahnya akan terus menyusut atau bahkan bisa habis ketika eksploitasi besar-besaran terjadi seperti saat revolusi industri di Inggris.
Bentuk selanjutnya adalah bentuk transformasi dari energi primer yaitu bentuk energi tahap kedua (secondary energy). Pada bentuk ini energi belum merupakan energi yang dapat dipakai oleh industri ataupun rumah tangga. Karena energi bentuk kedua ini adalah energi yang masih dalam proses sampai dengan energi tersebut menjadi energi bentuk akhir. Adapun bentuknya adalah kilang minyak, kilang LPG, pembangkit listrik dan gas kota. Bentuk terakhir dari energi adalah energi akhir (final energy) yang merupakan bentuk energi baru dan dapat digunakan setelah melalui beberapa proses. Energi bentuk ini paling banyak digunakan oleh pelaku ekonomi. Namun perlu diingat bahwa awal pembentukan energi akhir ini adalah dari energi primer, sehingga ketika sumber-sumber energi mengalami penyusutan dan kelangkaan, maka bentuk energi akhir juga akan mengalami kelangkaan. Bentukbentuk energy final menurut DESDM adalah berupa energi listrik, bahan bakar olahan ( minyak tanah, solar, premium, dll), LPG dan bentuk energi olahan lainnya. Tabel 1.1 Pemakaian Energi Akhir Menurut Sektor (dalam %)
Sumber : ”Statistik Ekonomi Energi Indonesia 2007”, Pusat Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral, 2007.
Dapat dilihat pada Tabel 1.1, bahwa penggunaan energi dari tahun ke tahun memiliki tren yang selalu naik, penurunan hanya terjadi saat krisis multidimensi terjadi yaitu pada tahun 1998. Sektor industri merupakan sektor yang mengkonsumsi energi akhir paling besar setiap tahunnya bila dibandingkan dengan sektor lainnya. Peningkatan pemakaian energi di sektor industri dalam 15 tahun terakhir bukan hanya terjadi karena proses transformasi struktural yang cepat dari sektor pertanian ke sektor industri. Namun hal ini terjadi juga karena ada dugaan pemborosan pemakaian energi di sektor industri (DESDM, 2007). Krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah membuat kurs rupiah terdepresiasi sangat tajam. Keadaan ini sangat memukul sektor industri dalam negeri yang memiliki ketergantungan yang besar terhadap mesin-mesin produksi impor, sehingga banyak pelaku industri dalam negeri yang tidak mampu untuk memperbaharui mesin-mesin produksinya. Pada akhirnya banyak industri yang beroperasi dengan hanya mengandalkan mesin-mesin tua yang sangat boros akan bahan bakar. Indikasi ini dapat dilihat dari nilai intensitas energi pada tahun 1997 yaitu sebesar 4,196, nilai ini mengalami peningkatan yang cukup besar dari tahun 1996 yang hanya sebesar 2,637. Intensitas energi yang semakin besar dapat mengindikasikan bahwa pemakaian energi semakin tidak efisien. Bila dilihat dari hubungan nilai tambah sektor industri dengan pemakaian energi, ternyata terjadi perubahan pada saat sebelum dan sesudah krisis multidimensi. Pada masa sebelum krisis, pertumbuhan nilai tambah lebih besar dari pertumbuhan pemakaian energi. Namun semenjak tahun 1998, yang terjadi adalah sebaliknya,
pertumbuhan pemakaian energi lebih besar dari pertumbuhan nilai tambahnya. Hal ini terjadi pada industri makanan, industri tekstil, industri kertas, dan industri kimia. Di sisi lain, ada dugaan bahwa pemakaian energi di sektor industri lebih besar dari data yang disajikan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Selama ini konsumsi energi di sektor industri khususnya untuk BBM dicatat dengan pendekatan dari sisi penawaran yaitu berdasarkan pasokan langsung dari Pertamina. Padahal bila dicermati kembali ternyata selama ini banyak penyelewengan penggunaan BBM oleh sektor industri yaitu berupa pengalihan jatah BBM rumah tangga ke sektor industri. Hal ini terjadi karena adanya disparitas harga yang cukup besar, dimana BBM untuk sektor industri sudah tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah. Jadi sebenarnya intensitas energi di sektor industri yang menunjukkan tingkat efisiensi pemakaian energi akan lebih besar dari angka yang sebenarnya. Berbicara mengenai intensitas energi yang terus bertambah dan beberapa alasannya ternyata banyak hal yang perlu ditelusuri guna melihat dan meyakini angka-angka yang muncul dalam data-data terkait intensitas energi. Ada kemungkinan angka-angka yang menggambarkan intensitas energi yang memiliki hubungan terbalik dengan efisiensi energi bukanlah data yang nyata menggambarkan masalah efisiensi. Ukuran perusahaan, lamanya sebuah perusahaan telah berdiri, total upah, dan banyak hal lain yang perlu dirumuskan lebih lanjut guna mengidentifikasi masalah ketidakefisienan sebuah perusahaan dalam menghasilkan outputnya (Kumar, 2003). Hubungan antar faktor perlu mendapat sorotan yang lebih mendalam
mengingat kesalahan menginterpretasikan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam pengambilan keputusan perusahaan. Ketidakefisienan pemakaian energi jelas sangat merugikan terutama pada sektor industri karena akan terkait dengan jumlah output yang dihasilkan serta keuntungan agregat industri tersebut. Indikator yang paling umum digunakan adalah dengan melihat nilai elastisitas energi pada setiap perusahaan terkait. Semakin elastis maka semakin efisien perusahaan tersebut menggunakan energi (DESDM, 2007). Begitu juga sebaliknya semakin inelastis maka semakin tidak efisien pula perusahaan tersebut dalam operasionalnya. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi intensitas energi, nilai elastisitas energi serta tingkat efisiensi energi merupakan suatu hal yang perlu dianalisis lebih lanjut. Terkait dengan upaya efisiensi energi nasional serta pengambilan keputusan yang tepat bagi perusahaan dan sektor terkait. Karena tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kebutuhan akan energi akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya sektor industri dalam negeri. 1.2
Perumusan Masalah Beberapa permasalahan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah : 1. Bagaimana gambaran tingkat energi di tingkat sektor industri di Indonesia? 2. Bagaimana hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas energi?
3. Bagaimana implikasi kebijakan pemerintah terkait dengan penggunaan energi yang tidak efisien pada sektor industri di Indonesia? 1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menganalisis gambaran tingkat energi pada tingkat sektor industri di Indonesia. 2. Menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas energi. 3. Menganalisis implikasi kebijakan pemerintah terkait dengan penggunaan energi yang tidak efisien pada sektor industri di Indonesia.
1.4
Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan terkait dengan penggunaan energi di sektor industri. 2. Bagi sektor industri, hasil dari penelitian ini yaitu berupa tingkat elastisitas energi dari setiap sektor yang dapat digunakan untuk melihat tingkat efisiensi perusahaan dalam menggunakan energi diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi sektor industri khususnya perusahaan dalam membuat strategi penggunaan energi yang lebih efektif. 3. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai intensitas dan efisiensi penggunaan energi oleh sektor industri di Indonesia.
4. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas energi dalam suatu industri. 5. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi media untuk mengaplikasikan ilmu yang selama ini telah didapat selama masa perkuliahan. 1.5
Ruang Lingkup Fokus
penelitian
adalah
menganalisis
hubungan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi tingkat intensitas energi pada sektor industri menengah-besar di Indonesia. Setelah itu juga dilihat hubungan antara intensitas dengan efisiensi energi di sektor industri. Penelitian ini menggunakan data sekunder. Pemilihan sektor industri menengah-besar didasarkan pada ketersediaan data.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Fungsi Produksi Fungsi Produksi adalah fungsi yang menunjukkan hubungan antara berbagai
kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output. Q = f (X1, X2, X3…..Xn) Q = Tingkat Produksi atau Output (X1, X2, X3…..Xn) = kombinasi input yang digunakan Atau yang paling sering digunakan Q = f (K, L) Q = Output K = Modal L =Tenaga kerja. Asumsi dasar yang menjelaskan fungsi produksi adalah berlakunya The Law Diminishing Return yang menyatakan apabila suatu input ditambahkan dan inputinput yang lain tetap, maka tambahan output dari setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan mula-mula menaik, tapi pada suatu tingkat tertentu akan menurun jika input tersebut ditambahkan. Jadi dalam hukum ini ada 3 tingkat produksi : Tahap I
: Produksi terus bertambah dengan cepat
Tahap II
: Pertambahan produksi total semakin kecil
Tahap III : Pertambahan produksi total menurun
Pada perkembangan selanjutnya fungsi produksi tidak hanya menggunakan dua input saja. Ternyata masih terdapat input produksi yang berpengaruh signifikan yang tidak disebutkan. Spesifikasi fungsi Produksi yang dikemukakan oleh Fare et all (1985) adalah fungsi produksi ray-homothentic Cobb-Douglas non linear. Dalam fungsi produksi ini dapat menggunakan 3 input yaitu Tenaga Kerja (L) , bahan baku (M) dan Energi yang digunakan (E). Q = log {θL[α/(L+M+E)] M β M/(L+M+E) E Φ E/(L+M+E) } Q merupakan output produksi yang berarti nilai tambah yang dibentuk dari faktorfaktor K (produksi modal), L (tenaga kerja), dan E (energi). Bahan adalah mitra pasif dari proses produksi dan tidak berkontribusi secara aktif kepada nilai tambah. Namun, jika bahan menjadi langka, tentu saja pertumbuhan akan terhambat. Batas pertumbuhan yang dihasilkan dari sumber daya atau kendala lingkungan dapat dimasukkan ke dalam model. Modal K dapat diukur dalam unit moneter, dikoreksi, dan begitu pula output Q, sedangkan langkah-langkah yang tepat untuk L adalah upah per jam kerja per tahun. Faktor penggunaan energi dimasukkan ke dalam fungsi dikarenakan faktor ini memiliki hubungan yang besar terhadap output yang dihasilkan dalam sebuah proses produksi. Semakin besar penggunaan energi semakin besar pula output yang dihasilkan namun menurut hukum Diminishing Return yang dijelaskan diatas maka tidak selamanya teori ini berlaku ada saatnya ketika penggunaan yang berlebih justru menyebabkan pengurangan tambahan output secara marginal. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Fare et all (1985) energi dalam persamaan tidak berhubungan secara linear namun merupakan fungsi yang lebih kompleks lagi. 2.2.
Teori Intensitas dan Elastisitas Energi Elastisitas energi adalah pertumbuhan kebutuhan energi yang diperlukan
untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi (GDP) tertentu. Angka elastisitas energi di bawah 1,0 dicapai apabila energi yang tersedia telah dimanfaatkan secara produktif. Menurut riset yang dilakukan oleh Pusat Data dan Informasi ESDM elastisitas energi di Indonesia pada tahun 2004 adalah sebesar 1,84. Artinya, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, maka konsumsi energi Indonesia harus naik rata-rata 1,84 persen. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia 6 persen, maka diperlukan tambahan penyediaan energi sebesar 11 persen. Dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN seperti Thailand angka elastisitasnya 1,16, dan Singapura 1,1, elastisitas energi di Indonesia masih terbilang cukup besar. Di negara-negara maju elastisitas ekonomi berkisar antara 0,1 persen hingga 0,6 persen. Di Jerman bahkan untuk kurun waktu 1998-2003 angka elastisitasnya 0,12 persen, artinya kenaikan perkonomian justru menurunkan kebutuhan akan energi. Intensitas energi adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto. Semakin efisien suatu negara, maka intensitasnya akan semakin kecil. Intensitas energi Indonesia sebesar 482 TOE (ton-oil-equivalent) per juta dollar AS. Artinya untuk menghasilkan nilai tambah (GDP) sebesar 1 juta dollar AS, Indonesia membutuhkan energi 482 TOE. Sebagai perbandingan, intensitas energi Malaysia 439 TOE/juta dollar AS, dan intensitas
energi rata-rata negara maju yang tergabung dalam OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) hanya 164 TOE/juta dollar AS
Sumber : Konservasi Energi Nasional 2004
Gambar 2.1 Hubungan Intensitas Energi dan Konsumsi Per Kapita 2.3
Energi Hingga saat ini, energi masih merupakan elemen penting yang sangat
dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia. Dalam prosesnya energi yang digunakan oleh manusia harus melewati suatu proses teknologi sehingga energi itu dapat digunakan untuk industri rumah tangga dan komersil lainnya. Bertambahnya jumlah penduduk, kemajuan teknologi, dan peningkatan perekonomian menyebabkan peningkatan konsumsi energi dunia. International Energy Agency (IEA, 2007) melaporkan peningkatan konsumsi energi dunia hampir dua kali lipat dari 6.128 MTOE pada tahun 1973 hingga 11.435 MTOE pada tahun 2005. Meski bila dilihat dari sisi jumlah, penggunaan bahan bakar fosil semakin meningkat, namun akibat masalah ketersediaan dan harga yang fluktuatif, persentase
penggunaan minyak bumi mengalami penurunan yaitu dari 46,2 persen pada tahun 1973 menjadi 35 persen pada tahun 2005. Penurunan persentase penggunaan minyak bumi tersebut dikompensasi oleh kenaikan penggunaan gas (16 persen menjadi 20,7 persen) dan batubara (24,4 persen menjadi 25,3 persen), serta sumber energi nuklir (0,9 persen menjadi 6,3 persen). Selama kurun waktu yang sama, penggunaan sumber energi air mengalami peningkatan dari 1,8 persen menjadi 2,2 persen, sedangkan sumber-sumber energi yang lain seperti surya, panas bumi, dan angin mengalami peningkatan dari 0,1 persen menjadi 0,5 persen. Selain itu, pembakaran biomassa dan sampah menyumbang suplai energi sekitar 10 persen. Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa peradaban dunia saat ini masih sangat ditopang oleh bahan bakar fosil. Seperti halnya komposisi energi dunia, Indonesia juga masih bertumpu pada minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan energinya bahkan dengan persentase yang lebih tinggi yaitu 54,4 persen dari total energi (DESDM, 2007). Namun kesadaran kolektif bangsa Indonesia terkait permasalahan pada minyak bumi, yakni penurunan tingkat produksi domestik (kurang dari 1 juta barel per hari), cadangan yang tidak besar (sekitar 24 tahun pada tahun 2007), serta ketidakstabilan harga minyak dunia menumbuhkan keinginan bangsa ini untuk mengurangi ketergantungannya terhadap minyak bumi. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa pada tahun 2025 konsumsi minyak bumi diharapkan turun menjadi 20 persen, gas alam naik menjadi 30 persen, batubara naik menjadi 33 persen, sedangkan energi baru dan terbarukan naik menjadi 17 persen. Target capaian energi terbarukan pada perpres
tersebut yaitu 15 persen cukup maju dibandingkan dengan negara tetangga seperti Australia yang hanya 6 persen pada tahun 2029-2030 (International Energy Agency, 2007), sedangkan India mentargetkan kontribusi tenaga air dan nuklir sebesar 11,8 persen pada tahun 2031-2032 (International Energy Agency, 2007). Guna mencapai target penggunaan energi terbarukan tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 yang mewajibkan berbagai sektor pengguna energi untuk menggunakan Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan persentase dan pentahapan tertentu.
Bentuk Energi Energi primer adalah energi yang langsung tersedia atau diberikan oleh alam
dan belum mengalami proses lebih lanjut. Jika sudah mengalami proses perubahan (konversi) maka sudah masuk dalam kategori energi sekunder. Termasuk energi primer adalah minyak bumi (dalam wujud aslinya dari dalam bumi), gas bumi, batu bara, nuklir, biomassa, tenaga air (hidro), panas bumi, tenaga matahari (solar), tenaga angin, dan tenaga ombak. Salah satu satuan yang sering dipakai dalam menyatakan konsumsi energi primer adalah TOE (tonne of oil equivalent = setara ton minyak). Satu TOE didefinisikan sebagai berat atau massa suatu jenis energi yang bisa menghasilkan energi setara dengan hasil pembakaran satu ton crude (minyak mentah), yaitu 42 GJ (Giga Joule). Sistem penyediaan kebutuhan energi, baik sebelum maupun setelah melalui teknologi tranformasi sampai pengguna akhir dapat diperlihatkan pada Gambar 2.2.
Sumber : BPPT 1993
Gambar 2.2 Transformasi Energi 2.4
Klasifikasi Industri dan Kebijakan Pemerintah Industri adalah suatu unit atau kesatuan produksi yang terletak pada suatu
tempat tertentu yang melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan untuk mengubah suatu barang serta mekanik, kimia, atau dengan tangan, sehingga menjadi benda, barang, atau produk baru yang nilainya lebih tinggi, dan sifatnya lebih dekat kepada konsumen akhir. Perusahaan atau usaha industri merupakan suatu unit kesatuan usaha yang melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa, dan memiliki catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada yang bertanggung jawab atas usaha tersebut. Industri dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis menurut Badan Pusat Statistik, diantaranya: a.
Industri besar, memiliki tenaga kerja > 100 orang,
b.
Industri sedang, memiliki tenaga kerja antara 20-99 orang,
c.
Industri kecil, memiliki tenaga kerja antara 5-19 orang,
d.
Industri rumah tangga, memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang.
Kebijakan pemerintah berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan energi nasional dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam peraturan tersebut, pada tahun 2025 konsumsi minyak bumi diharapkan turun menjadi 20 persen, gas alam naik menjadi 30 persen, batubara naik menjadi 33 persen, sedangkan energi baru dan terbarukan naik menjadi 17 persen. Target capaian energi terbarukan pada Perpres tersebut yaitu 15 persen, cukup maju dibandingkan dengan negara tetangga seperti Australia yang hanya 6 persen pada tahun 2029-2030 (International Energy Agency, 2007), sedangkan India mentargetkan kontribusi tenaga air dan nuklir sebesar 11,8 persen pada tahun 20312032 (International Energy Agency, 2007). Secara umum, keamanan energi (energy security) dapat dipenuhi melalui dua cara, yakni diversifikasi energi (yang telah diatur dalam Perpres No 5 tahun 2006) dan penghematan energi (yang telah diatur di berbagai peraturan: misalnya Instruksi Presiden No 10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi yang selanjutnya diatur prosedurnya melalui Keputusan Menteri ESDM No 31 tahun 2005, kemudian Pasal 25 dari UU No 30 tahun 2007 tentang Energi juga mengatur perihal penghematan energi). Semua sektor penyedia dan pengguna energi perlu melakukan upaya diversifikasi dan penghematan energi guna mencapai keamanan energi nasional. Sedangkan konsumsi energi akhir di sektor industri adalah yang tertinggi bila dibandingkan dengan sektor transportasi, rumah tangga dan komersial. Kontribusi minyak bumi pada komposisi energi akhir sektor industri adalah sebesar 35,7 persen, lainnya disumbang oleh gas alam, batubara, LPG, dan listrik (DESDM, 2007).
Diversifikasi yang sudah berjalan di sektor industri ini perlu dipertahankan dan ditingkatkan, antara lain dengan meningkatkan penggunaan BBN (Bahan Bakar Nabati) guna menurunkan konsumsi minyak bumi. Selain diversifikasi energi, hal yang tidak kalah penting dilakukan di sektor industri adalah penghematan energi. Data dari Departemen Perindustrian menyatakan bahwa potensi penghematan energi di sektor ini rata-rata adalah sebesar 22 persen, suatu angka yang signifikan apabila bisa diwujudkan. 2.5
Klasifikasi Baku Lapangan Kerja Indonesia Klasifikasi Baku Lapangan Kerja Indonesia (KLBI) merupakan klasifikasi
baku mengenai kegiatan ekonomi yang terdapat di Indonesia. KLBI disusun dengan maksud untuk menyediakan satu set klasifikasi kegiatan ekonomi di Indonesia agar dapat digunakan untuk penyeragaman pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data masing-masing kegiatan ekonomi. Dengan penyeragaman tersebut, keterbandingan data kegiatan ekonomi antar waktu, antar wilayah, dan keterbandingan dengan data internasional dapat dilakukan. Sampai saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) telah berhasil menerbitkan lima versi klasifikasi lapangan usaha. Tiga versi pertama adalah Klasifikasi Lapangan Usaha (KLUI) yang diterbitkan berturut-turut pada tahun 1977, 1983, dan 1990, disusun berdasarkan International Standart Classification of All Economic Activities (ISIC) revisi 2, tahun 1968. Dua versi berikutnya adalah KLBI yang diterbitkan berturut-turut pada tahun 1997 dan 2000, disusun berdasarkan ISIC revisi 3, tahun 1990. Karena masih terdapat berbagai kekurangan, KLBI 2000 kemudian
disempurnakan menjadi KLBI 2005. Disamping itu, penyempurnaan dilakukan juga karena untuk lebih mengakomodasi kepentingan Sensus Ekonomi (SE) yang akan dilaksanakan pada tahun 2006. 2.5.1 Cakupan KLBI 2005 Cakupan KLBI 2005 hanya mengelompokkan unit produksi menurut kegiatan ekonomi. Dengan demikian, KLBI 2005 tidak membedakan unit produksi menurut kepemilikan, jenis badan hukum, atau modus operasi. Unit-unit produksi yang melakukan kegiatan ekonomi yang sama diklasifikasikan pada kelompok KLBI 2005 yang sama, tanpa memandang apakah unit produksi tersebut merupakan bagian dari suatu perusahaan berbadan hukum atau tidak, swasta atau tidak, bahkan apakah berasal dari suatu perusahaan induk (enterprise) yang terdiri dari satu establishment atau bukan. Klasifikasi menurut jenis kepemilikan, jenis organisasi atau modus operasi dapat saja dibuat terpisah dari KLBI 2005. Usaha menyilangkan klasifikasi tersebut dengan KLBI 2005 akan memperoleh informasi tambahan. Dalam kegiatan industri pengolahan, KLBI 2005 juga tidak membedakan apakah kegiatan ekonomi suatu perusahaan industri dilakukan dengan mesin atau dengan tangan, dilakukan di pabrik atau di rumah tangga, tercakup sebagai industri modern atau tradisional. KLBI 2005 juga tidak membedakan antara produksi formal atau informal. 2.5.2 Kegiatan Utama (Primer), Sekunder, dan Penunjang Bila membicaran kegiatan ekonomi, maka istilah “kegiatan” diartikan sebagai suatu proses. Dengan kata lain, suatu kegiatan ekonomi terjadi bila sumber-sumber produksi, seperti bahan baku atau penolong, tenaga kerja, peralatan, dan teknik
produksi, dikombinasikan untuk menghasilkan barang dan jasa tertentu. Jadi, kegiatan ekonomi ditandai dengan adanya suatu input, suatu proses produksi, dan suatu output. Suatu kegiatan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang mengkombinasikan berbagai sumber-sumber produksi untuk menghasilkan satu set barang-barang yang homogen. Dalam KLBI 2005, suatu kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang-barang yang homogen tersebut dicatat dalam suatu klasifikasi kegiatan yang dinamakan kelompok. Suatu kegiatan ekonomi yang didefinikan di atas dapat terdiri dari: a. Suatu proses sederhana, contohnya : pertenunan. b. Serangkaian dari beberapa sub proses, yang masing-masing sub proses mungkin termasuk dari kelompok KLBI 2005 yang berbeda. Contohnya : industri mobil. Meskipun kegiatan pembuatan mobil ini terdiri dari beberapa sub proses, misalnya mencetak, menempa, mengelas, merakit, mengecat, dan sebagainya, namun kegiatan tersebut dianggap sebagai kegiatan ekonomi karena proses produksinya merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Begitu pula, jika industri mobil tersebut membuat bagian-bagian khusus dari mobil, seperti mesin, gear, boxes, dan peralatan lainnya, yang merupakan suatu kesatuan kegiatan pembuatan mobil, maka keseluruhan proses tersebut masih tercakup sebagai satu kegiatan ekonomi. Mengingat kegiatan ekonomi yang dikemukakan diatas hanya menghasilkan satu produk akhir, maka penentuan kegiatan utama dari kegiatan ekonomi tersebut dengan mudah dapat dilakukan . Berdasarkan kegiatan utama itu, kelompok lapangan
usaha dari kegiatan ekonomi bersangkutan dapat pula dengan mudah ditentukan, Penentuan kegiatan utama suatu proses produksi tidak selalu dapat dengan mudah ditentukan. Misalnya pada satu proses produksi yang sama (bahan bakunya sama, dikerjakan oleh pekerja yang sama, dilakukan dengan peralatan yang sama), yang menghasilkan dua atau lebih barang yang berbeda, proses produksi dari salah satu barang yang dihasilkan tersebt harus ditetapkan sebagai kegiatan utama atau primer, dan proses produksi yang menghasilkan barang lainnya harus ditetapkan sebagai kegiatan sekunder. Penentuan kegiatan utama dari proses produksi tersebut biasanya ditentukan berdasarkan nilai tambah terbesar, atau nilai produksi terbesar, atau dari nilai jual terbesar dari barang yang dihasilkan. Lebih lanjut, kegiatan suatu unit produksi perlu pula dibedakan antara kegiatan sekunder dengan kegiatan penunjang. Kegiatan penunjang diperlukan untuk mendukung kegiatan utama dan kegiatan sekunder. Kegiatan penunjang ini antara lain berupa kegiatan pembukuan, transportasi, pergudangan, pembelian, promosi, penjualan, jasa kebersihan, perbaikan dan perawatan, keamanan dan sebagainya. Dengan demikian hasil dari kegiatan penunjang ini menghasilkan jasa-jasa, atau mungkin berupa barang, yang keseluruhannya atau sebagian besar dimanfaatkan untuk kelancaran kegiatan ekonomi unit produksi bersangkutan. Mengingat kegiatan penunjang merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam bentuk usaha satuan tersendiri, walaupun kegiatan tersebut dilakukan pada lokasi berbeda yang mempunyai catatan sendiri, maka kegiatan penunjang ini tidak dapat dihitung untuk menentukan kelompok kegiatan dari unit produksi tersebut. Contoh yang paling jelas
mengenai satuan usaha yang melakukan kegiatan penunjang adalah kantor administrasi pusat yang lebih dikenal sebagai kantor pusat. Meskipun demikian ada beberapa kegiatan penunjang yang tidak dapat dianggap sebagai kegiatan penunjang. Kegiatan tersebut adalah: a. Memproduksi barang atau mengerjakan pekerjaan yang merupakan bagian dari pembentukan modal tetap. b. Kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa, yang sebagian besar dari barang atau jasa tersebut dijual ke pasar, walaupun sebagian diantaranya dipakai sebagai konsumsi antara dari kegiatan utama dan kegiatan sekundernya. c. Menghasilkan barang yang menjadi bagian fisik dari produk akhir dari kegiatan utama atau kegiatan sekunder. Misalnya produksi kotak, botol minuman, atau yang sejenisnya dari unit produksi lain yang termasuk satu induk perusahaan (enterprise), yang digunakan sebagai pembungkus untuk produksi akhir suatu unit prosuksi. d. Penelitian dan pengembangan. Kegiatan ini tidak universal dan kegiatan ini tidak menyediakan jasa yang dapat dikonsumsi pada kegiatan berproduksi yang sekarang. Semua kegiatan penunjang tersebut bila datanya tersedia secara terpisah harus diklasifikasikan secara tersendiri.
2.5.3 Struktur dan Sistem Pemberian Kode KLBI 2005 KLBI 2005 dan KLBI 2000 menggunakan kode angka sebanyak dua digit, dan satu digit berupa kode alphabet yang disebut kategori. Kode alphabet bukan merupakan bagian dari kode KLBI 2005, tetapi kode alphabet ini dicantumkan dengan maksud untuk memudahkan didalam penyusunan tabulasi sektor atau lapangan usaha utama di setiap negara, mengingat kode kategori dapat dikonversikan ke dalam kode angka satu digit KLUI 1990 (sektor atau lapangan usaha). Struktur dan pemberian kode KLBI 2005 adalah sebagai berikut : a. Kategori, yang menunjukkan garis pokok penggolongan kegiatan ekonomi. Penggolongan ini diberi kode satu digit kode alphabet. Dalam KLBI 2005, seluruh kegiatan ekonomi di Indonesia digolongkan menjadi 18 kategori. Kategori- kategori tersebut diberi kode huruf dari A sampai Q, dan X sebagai kegiatan yang belum jelas batasannya. b. Golongan Pokok, yang merupakan uraian lebih lanjut dari kategori. Setiap kategori diuraikan menjadi satu atau beberapa golongan pokok (sebanyakbanyaknya lima golongan pokok, kecuali industri pengolahan) menurut sifatsifatnya masing-masing golongan pokok. Setiap golongan pokok diberi kode dua digit angka. c. Golongan, yang merupakan uraian lebih lanjut dari golongan pokok (butir b). Kode golongan terdiri dari tiga digit angka, yaitu dua digit angka pertama menunjukkan golongan pokok yang berkaitan, dan satu digit angka terakhir menunjukkan kegiatan ekonomi dan setiap golongan bersangkutan. Setiap
golongan pokok dapat diuraikan menjadi sebanyak-banyaknya sembilan golongan. d. Sub golongan, yang merupakan uraian lebih lanjut dari kegiatan ekonomi yang tercakup dalam suatu golongan (butir c). Kode sub golongan terdiri dari empat digit, yaitu kode tiga digit angka pertama menunjukkan golongan yang berkaitan, dan satu digit angka terakhir menunjukkan kegiatan ekonomi dari sub golongan bersangkutan. Setiap golongan dapat diuraikan lebih lanjut menjadi sebanyak banyaknya sembilan sub golongan. e. Kelompok, yang dimaksudkan untuk memilah lebih lanjut kegiatan yang dicakup dalam suatu sub golongan, menjadi beberapa kegiatan yang lebih homogen. 2.6
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai intensitas energi serta efisiensi energi menghasilkan
pendapat yang berbeda-beda. Beberapa penulis melihat pentingnya angka intensitas energi yang harus selalu terkontrol sebagian lagi berpendapat intensitas energi merupakan suatu angka yang wajar bernilai besar ketika masa pertumbuhan. Pada penelitian yang berjudul “Energy Intensity : A Quantitive Exploration for Indian Manufacturing” oleh Alok Kumar dapat disimpulkan bahwa intensitas energi selalu memiliki angka yang berkebalikan dengan efisiensi energi. Semakin tinggi angka intensitas energinya maka semakin tidak efisien sektor atau perusahaan terkait. Penelitian ini dilakukan pada tingkat perusahaan guna melihat hubungan faktor-faktor
yang mempengaruhi intensitas energi pada industri manufaktur di India. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah: a) Bahwa aktivitas penelitian dan pengembangan (R & D) memiliki kontribusi yang cukup penting dalam penururunan angka intensitas energi. b) Perusahaan-perusahaan asing mempunyai intensitas energi yang lebih rendah dari perusahaan lokal, artinya perusahaan asing lebih efisien dibandingkan dengan perusahaan lokal. c) Hubungan positif antara impor teknologi dengan intensitas energi. d) Perusahaan milik negara memiliki intensitas energi yang lebih tinggi. e) Hubungan berkebalikan antara ukuran perusahaan dengan intensitas energi. Ini dikarenakan oleh skala ekonomi, dimana perusahaan besar cenderung lebih efisien. f) Intensitas energi pada industri manufaktur di India selalu naik. Penelitian lain yang berjudul “Firm Size and the Demand for Energy in Dutch Manufacturing, 1978--1986” oleh Aad Kleijweg, Department of Fundamental Research yang menyebutkan bahwa pada perusahaan-perusahaan besar dapat lebih menekan angka intensitas energi atau dalam kata lain lebih efisien dalam penggunaan energi. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa elastisitas energi pada perusahaan kecil lebih rendah satu tingkat dibandingkan dengan tingkat elastisitas pada perusahaan menengah-atas. Penelitian selanjutnya yang berjudul “Examining the sectoral energy use in Turkish economy (1980–2000) with the help of decomposition analysis” oleh Volkan
S. Ediger menyimpulkan bahwa di Negara Turki, yang sedang dalam masa pertumbuhan terutama pada tahap transformasi dari negara agraris menuju negara industri, kenaikan tingkat intensitas energi adalah wajar. Namun di Turki kenaikan intensitas ini jauh melebihi kenaikan pendapatan nasional negara tersebut. Temuan lainnya adalah faktor pemerintahan (stabilitas politik) juga mempengaruhi permintaan energi, penggunaan energi dan penggunaan material. Ketika pemerintahan stabil ditemukan bahwa sektor-sektor berjalan dengan lebih efisien. Temuan terakhir adalah hubungan positif antara konsumsi energi dengan produktivitasnya. Pada penelitian berjudul “Energi Dan Lingkungan: Sebuah Keterkaitan Erat” Oleh Yuli Setyo Indartono yang menyatakan bahwa konsumsi energi final di sektor industri adalah yang tertinggi (dibandingkan dengan sektor transportasi, rumah tangga dan komersial). Kontribusi minyak bumi pada komposisi energi final sektor industri adalah sebesar 35,7 persen, lainnya disumbang oleh gas alam, batubara, LPG (Liquefied Petroleum Gas), dan listrik (Ariati, 2008). Diversifikasi yang sudah berjalan di sektor industri ini perlu dipertahankan dan ditingkatkan, antara lain dengan meningkatkan penggunaan BBN (Bahan Bakar Nabati) guna lebih jauh menurunkan konsumsi minyak bumi. Selain diversifikasi energi, hal yang tidak kalah penting dilakukan di sektor industri adalah penghematan energi. Data dari Departemen Perindustrian menyatakan bahwa potensi penghematan energi di sektor ini rata-rata adalah sebesar 22 persen, suatu angka yang signifikan apabila bisa diwujudkan.
Kemudian pada penelitian lainnya yang berjudul “Intensitas dan Elastisitas Energi Indonesia” oleh Gamil Abdullah (2008) yang menyebutkan bahwa menentukan boros atau tidaknya penggunaan energi tidak hanya berdasarkan pada angka elastisitas dan intensitas energi. Pertumbuhan kebutuhan energi itu jika diplot terhadap skala waktu akan menyerupai kurva S. Saat sebuah negara baru mengalami industrialisasi maka konsumsi energinya relatif rendah. Ketika industri dan ekonominya tumbuh pesat, maka konsumsi energinya akan meningkat secara signifikan. Ketika negara tersebut sudah mapan dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan nasionalnya, maka konsumsi energi berada dalam fase ekuilibrium (relatif konstan) sehingga elastisitasnya rendah. Untuk selanjutnya masih tergantung lagi pada kemampuan sebuah negara dalam mengelola kondisi berbagai sektor. Konsumsi energinya bisa saja meningkat, stagnan, atau bahkan turun. 2.7
Kerangka Pemikiran Masalah penggunaan energi pada sektor industri merupakan masalah yang
harus segera dicarikan solusinya. Karena seluruh aktifitas ekonomi atau bahkan seluruh aktivitas manusia tidak terlepas dari penggunaan energi. Sementara sektor industri adalah sektor yang menghabiskan energi yang paling banyak diantara sektorsektor lain yang ada. Adapun kerangka pemikiran yang menggambarkan faktor-faktor pembentuk intensitas energi dan juga efisiensi energi dapat dilihat pada bagan alur yang merupakan kerangka pemikiran dalam penelitian, sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.3. Pada gambar dapat dijelaskan bahwa penggunaan energi di Indonesia dari tahun ke tahun selalu meningkat bila dilihat dari nilai intensitas energinya.
Penggunaan energi ini digunakan oleh sektor rumah tangga, industri, transportasi, komersil dan lainnya. Namun ternyata energi paling banyak dihabiskan pada sektor industri pengolahan yang memang membutuhkan banyak bahan bakar untuk menjalankan mesin-mesinnya yaitu sebesar 44,82 persen (data pada tahun 2007). Di industri pengolahan terdapat lagi berbagai sub sektor yang masing-masing memiliki nilai intensitasnya masing-masing. Ada sektor-sektor yang bergerak dengan efisien ada pula yang masih inefisien. Hal ini dengan jelas dilihat dengan dibantu oleh metode ekonometrika. Selanjutnya juga akan dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas energi serta sejauh mana faktor ini mempengaruhi intensitas sektor tersebut. Dalam menentukan faktor yang akan diteliti penulis kembali mengacu pada jurnal Kumar (2003) untuk menentukan faktor-faktor tersebut. Namun tidak hanya faktor-faktor internal dari sektor terkait saja yang mempengaruhi, berbagai peraturan pemerintah juga turut mempengaruhi terbentuknya nilai intensitas energi pada industri menengah besar di Indonesia. Hasilnya dari pendekatan ekonometrik dan dengan melihat peraturan yang ada diharapkan penulis dapat membuat sebuah usalan kebijakan yang baru terkait mengenai masalah energi pada sektor industri.
Meningkatnya jumlah penggunaan energi dari tahun ke tahun Sektor industri sebagai pengguna terbesar energi di Indonesia Mengetahui nilai intensitas energi tiap sektor industri Melihat faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas energi Pendekatan ekonometrik dengan menggunakan panel data
Program-program pemerintah terkait dengan intensitas energi di Indonesia
Alternatif kebijakan pemerintah untuk meningkatkan efisiensi energi atau menurunkan tingkat intensitas energi Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data tersebut
merupakan data cross section yang diambil dari statistik industri menengah-besar di Indonesia pada periode 2000-2005. Selanjutnya dibangun panel data pada tingkat sektor industri (ISIC dua digit) yang terdiri dari 23 sektor industri menengah-besar pada periode 2000-2005. Data sekunder lainnya diperoleh dari berbagai jurnal internasional, artikel internet serta literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti sebagai bahan rujukannya. 3.2
Metode Analisis Data Dalam sebuah penelitian, terkadang ditemukan suatu persoalan mengenai
ketersediaan data untuk mewakili variabel yang digunakan dalam penelitian. Misalnya, terkadang bentuk data dalam series yang tersedia pendek sehingga proses pengolahan data time series tidak dapat dilakukan berkaitan dengan persyaratan jumlah data yang minim. Lain halnya terkadang ditemukan bentuk data dengan jumlah unit cross section yang terbatas pula, sehingga sulit untuk dilakukan proses pengolahan data cross section untuk mendapatkan informasi prilaku dari model yang akan diteliti. Dalam teori ekonometrika, kedua kondisi diatas salah satunya dapat diatasi dengan menggunakan data panel (pooled data) agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom).
Penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Islam (1995) dalam penelitian menyatakan bahwa penggunaan data panel ini dapat memeperlihatkan country effect dan menghindari terjadinya kesalahan penghilangan variabel (omitted variable bias) dibandingkan jika menggunakan data kerat lintang (cross section). Selain itu, penggunaan data panel ini memungkinkan untuk dapat menangkap karakteristik antar individu dan antar waktu yang bisa saja berbeda-beda. Untuk keperluan hal ini, penulis akan membentuk beberapa notasi yang akan digunakan dalam teknik estimasi data panel, yaitu: Yit
= nilai dependent variable untuk setiap unit individu (cross section unit) ke-I pada periode t dimana i = 1, ..., n dan t = 1, …, t.
Xjit
= nilai explanatory variable ke-j untuk setiap unit individu ke-I pada periode ke-t.
dimana variabel penjelas diberi indeks dengan j = 1, …, k Disini pembahasan penelitian dibatasi pada data panel yang bersifat balanced panels, yaitu dimana terdapat jumlah observasi yang sama untuk setiap unit individualnya, sehingga total observasi yang dimiliki adalah n x t. Ketika n = 1 dan t memiliki sejumlah observasi, maka akan dapat dibentuk data yang bersifat deret waktu (time series). Jika kondisi sebaliknya, yaitu dimana nilai t = 1 dan n cukup besar, maka akan didapat bentuk data yang bersifat cross section.
Dalam analisa model data panel dikenal dua macam pendekatan yang terdiri dari fixed effect, dan random effect. Dua pendekatan yang dilakukan dalam analisa data panel ini akan dijelaskan pada bagian berikut : 1. Pendekatan Fixed Effect Kesulitan terbesar dalam pendekatan metode kuadrat terkecil biasa tersebut adalah asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar daerah maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generalisasi secara umum sering dilakukan adalah dengan memasukan variabel dummy untuk mengizinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang berbeda-beda baik antar lintas unit cross section maupun antar waktu. Dalam pengujian skripsi ini, akan disoroti nilai intersep yang mungkin saja berbeda antar unit cross section. Pendekatan dengan memasukan variabel dummy dikenal dengan istilah fixed effect. Pendekatan tersebut dapat ditulis dalam persamaan berikut: Yit = a + bXit + g2W2t + g3W3t + …. + gNWNt + d2Zi2 + d3Zi3 + … + d TZiT + e it (3.6) dimana: Wit = 1 untuk individu ke-i, i = 2, …, n dan 0 untuk lainnya Zit = 1 untuk period ke-t, t = 2, …, t dan 0 untuk lainnya Dengan demikian telah ditambahkan sebanyak (n-1) + (t-1) variabel dummy ke dalam model dan menghilangkan dua sisanya untuk menghindari kolinearitas sempurna antar variable penjelas. Dengan menggunakan pendekatan ini akan terjadi degree of freedom sebesar nt-2-(n-1)-(t-1) atau sebesar nt-n-t.
Keputusan memasukan variabel dummy ini harus didasarkan pada pertimbangan statistik. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan melakukan penambahan variabel dummy ini akan dapat mengurangi banyaknya degree of freedom yang pada akhirnya akan mempengaruhi keefisienan dari parameter yang diestimasi. Pertimbangan
pemilihan
pendekatan
yang
digunkan
ini
didekati
dengan
menggunakan statistik F yang berusaha membandingkan antara nilai jumlah kuadrat dari error dari proses pendugaan dengan menggunakan metode pooled least square (kuadrat terkecil) dan fixed effect yang telah memasukan variabel dummy. Fixed Effect Model (FEM) muncul ketika antara efek individu dan periode memiliki korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu menjadi bagian dari intersep, yaitu: i.
Untuk one way komponen error: yit = αi + λi + Xit β + uit, dan
ii.
Untuk two way error component: yit = α i + λi + µi + Xit β + u it. Penduga pada FEM dihitung dengan empat teknik sebagai berikut:
a.
Pooled Least Square (PLS) Pada prinsipnya, pendekatan ini adalah menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat n x t observasi, dimana n menunjukkan jumlah unit cross section dan t menunjukkan jumlah titik waktu yang digunakan, yang diregresikan dengan model: yit = α i + Xit β + uit................................................................................................................................ (3.1)
dimana αi bersifat konstan untuk semua observasi, atau α i = α, yang dirumuskan: .....................................................................................................(3.2)
......................................................................................(3.3) dimana
dan Dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data cross
section dan data time series, dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, sehingga:
…………………………………………………(3.4) Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias. Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan PLS yang tidak sejajar dengan garis regresi dari masing-masing individu.
Slop yang bias ketika fixed effect diabaikan
Gambar 3.1. Grafik Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square
Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda. b. Pendekatan Within Group (WG) Pendekatan ini mengasumsikan bahwa intersep akan berbeda untuk masing-masing kelompok yang berbeda, misalkan diberikan:
dimana
dan
Jika yit = αi + xit β + uit , maka diperoleh: ..................................(3.5) atau
sehingga,
………………………………………………………(3.6)
Berdasarkan persamaan tersebut terlihat bahwa FEM dengan pendekatan WG tidak memiliki konstanta intersep. Untuk mengilustrasikan bagaimana pendekatan ini bekerja dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Gambar 3.2. Grafik Estimasi dengan Pendekatan Within Group Estimator Kelebihan dari WG ini adalah dapat menghasilkan parameter β yang tidak bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (βWG) cenderung lebih besar dari var (βPLS) sehingga dugaan WG menjadi relatif lebih tidak efisien. Untuk melihat hal ini dapat dibuktikan dengan mendefinisikan:
sehingga dapat dilihat bahwa: ............................................................................(3.7)
diketahui bahwa
sehingga, variance dari penduga β dengan pendekatan WG adalah: =
= ……………………………………..(3.8) Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa var(β) pada WG lebih besar dari var(β) pada PLS. Kelemahan lain dari WG adalah tidak dapat mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM, seperti terlihat dari tidak dimasukkannya konstanta intersep ke dalam model. c. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV) Metode ini berusaha merepresentasikan perbedaan intersep dengan menambah dummy variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan diketahui persamaan awal seperti pada persamaan PLS dan kelompok dummy variable d git = 1 (g = i). ……………………………………………………(3.9) dengan memasukkan sejumlah d git = 1 (g = i), persamaan awal menjadi: yit
u\ i………………………….(3.10)
persamaan ini dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh parameter βLSDV.
Kelebihan pendekatan ini (LSDV) adalah dapat menghasilkan dugaan parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah unit observasinya besar maka akan sulit menduga persamaan regresinya karena penggunaan peubah dummy yang terlalu banyak. Untuk menguji apakah intersep konstan atau tidak dapat menggunakan f-test dengan hipotesis sebagai berikut: H0 : α1 = α2 = α3 = ..... = αN dan H1 : minimal ada sepasang α yang tidak sama Hipotesa ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik menggunakan PLS ataulah LSDV. Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F-statistik.
…………………………………(3.11) dimana: = koefisien determinasi LSDV = koefisien determinasi Pooled Least Square k
= banyaknya peubah Jika nilai F-Stat hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup
bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga hipotesis bahwa α adalah konstan dapat ditolak. d. Two Way Error Components Fixed Effect Model Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed effect tidak hanya berasal dari observasi individu tetapi juga berasal dari time-effect, sehingga model dasar yang digunakan adalah:
yit = α i + λi + µi + Xit β + u it, dimana µi mempresentasikan time effect Jika masing-masing pengaruh individu (αi) dan time-effect (γt) diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah zsit = 1 (s = t) peubah dummy yang merepresentasikan efek waktu diperoleh persamaan: ….. (3.12) Penambahan
sejumlah
dummy
variable
ke
dalam
persamaan
menyebabkan masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat kebebasan, yang pada akhirnya akan semakin mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. 2. Pendekatan Random Effect Keputusan untuk memasukkan variabel dummy dalam model fixed effect tidak dapat dipungkiri akan dapat menimbulkan konsekuensi (trade off). Penambahan variabel dummy ini akan dapat mengurangi banyaknya degree of freedom yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Berkaitan dengan hal ini, dalam model data panel dikenal pendekatan random effect. Dalam model ini, parameter yang berbeda antar daerah maupun antar waktu dimasukan ke dalam eror. Karena hal ini, model random effect sering juga disebut model komponen error (error component model) Bentuk model random effect akan dijelaskan pada persamaan berikut ini: Yit = α + βXit + εit………………………………………………………………(3.13) ε it = ui + vt + wit…………………………………………………………………(3.14) dimana:
u i – N (0, δu2)
= komponen cross section error
vt – N (0, δv2)
= komponen time series error
Wit – N ( 0, δw 2)
= komponen error kombinasi
Diasumsikan bahwa error secara individual juga tidak saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya. a. Pendekatan Between Estimator Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimator pada sebuah regresi dari rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between estimator konsisten untuk N tak hingga, dengan asumsi bahwa peubah bebas dengan error tidak saling berkorelasi atau E (xit, εi = 0) begitu juga dengan nilai rata-rata error E (xit, εi = 0) b. Generalized Least Square (GLS) Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah regresi. Dengan menggunakan model random effect, maka dapat menghemat pemakaian degree of freedom dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan pada model fixed effect. Hal ini berimplikasi parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi semakin efisien. Keputusan penggunaan model fixed effect ataupun random effect ditentukan dengan menggunakan spesifikasi yang dikembangkan oleh Hausman. Spesifikasi ini akan memberikan
penilaian dengan menggunakan nilai Chi-Square Statistic sehingga keputusan pemilihan model akan dapat ditentukan secara statistik. Disamping itu terdapat beberapa pertimbangan dalam memilih apakah menggunakan fixed atau random effect. Apabila diasumsikan bahwa εi dan variabel bebas X berkorelasi, maka fixed effect lebih cocok untuk dipilih. Sebaliknya, apabila εi dan variable bebas X tidak berkorelasi, maka random effect lebih baik untuk dipilih. Menurut Judge (1985), beberapa pertimbangan untuk dijadikan panduan dalam memilih antara fixed atau random adalah: 1. Bila t (banyaknya unit time series) besar sedangkan n (jumlah unit cross section) kecil, maka hasil fixed dan random tidak jauh berbeda sehingga dapat pilih pendekatan yang lebih mudah untuk dihitung yaitu fixed. 2. Bila n besar dan t kecil, maka hasil estimasi kedua pendekatan akan berbeda jauh. Jadi, apabila diyakini bahwa unit cross section yang kita pilih diambil secara acak maka random effect harus digunakan, dan sebaliknya. 3. Bila komponen error individual (ε i) berkorelasi dengan variable bebas X maka parameter yang diperoleh dengan random akan bias sementara parameter yang diperoleh dengan fixed tidak bias. 4. Bila n besar dan t kecil, dan bila asumsi yang mendasari random effect dapat terpenuhi, maka random lebih efisien dibandingkan fixed. Seperti yang telah disampaikan, penelitian ini akan mempertimbangkan 3 model dalam pengolahan data panel, yaitu:
1. Yit = α i + xitβ + ε it , untuk fixed effect dimana terdapat variasi pada intersep yang dimanifestasikan dalam bentuk dummy variable. 2. Yit = µ + xitβ + αi + ε it , untuk random effect dimana variasi pada intersep dimanifestasikan dalam komponen galat (error component model). 3. Yit = α + βiXit + εit untuk pooled least square dimana untuk setiap cross section memiliki prilaku yang sama yang ditunjukkan dengan parameter intersep dan slope yang sama. Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Diagram pengujian statistik untuk memilih model yang digunakan dapat diperlihatkan pada gambar berikut ini: Fixed Effect Hausman Test
Chow Test
Random
LM Test Pooled Least
Gambar 3.3. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel 1) Chow test atau beberapa buku menyebutkan adalah pengujian F-statistik adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least
Square atau Fixed Effect. Seperti yang kita ketahui terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan saja setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0 : Model Pooled Least Square (Restricted) H1 : Fixed Effect Model (Unrestricted) Dasar Penolakan terhadap hipotesa nol tersebut adalah dengan menggunakan F statistik seperti dirumuskan Chow : CHOW = (RRSS – URSS)/(N – 1) URSS / (UN==NT – N- K)……………………………………(3.15) dimana : RRSS = Restricted Residual Sum Square (Merupakan Sum or Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode pooled least square atau common intercept URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Merupakan Sum or Square Residual yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode fixed effect) N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas Dimana pengujian ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu FN-1, NT-N-K.
Jika nilai CHOW Startistics (F-Stat) hasil pengujian lebih besar dari F-table, maka jika nilai cukup bukti bagi kita untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga model yang kita gunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. 2) Hausman Test HT adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan model fixed atau random effect. Seperti yang telah kita ketahui bahwa penggunaan model fixed mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya degree of freedom dengan memasukan variabel dummy. Namun, penggunaan metode random effect pun harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Hausman Test dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H0 : Random Effect Model H1 : Fixed Effect Model Dengan menggunakan software STATA 9.0 sebagai dasar penolakan hipotesis nol yaitu jika statistik Hausman > Chi-Square Table atau dapat juga dengan menggunakan nilai probabilitas (p-value). Jika p-value < tingkat kritis α, maka tolak hipotesis untuk memilih random effects model. Statistic Hausman dirumuskan dengan: m = (β – b)’ (M0 – M1)-1 (β – b) - X2 (K)………………………………(3.16)
dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, M0 adalah matriks kovarian untuk dugaan FEM dan M1 adalah matriks kovarian untuk dugaan REM. 3) LM test atau lengkapnya The Breush – Pagan LM Test digunakan sebagai pertimbangan statistik dalam memilih model Random Effect versus Pooled Least Square. H0 : Pooled Least Square H1 : Random effect, maka dasar penolakan terhadap H0 dengan menggunakan LM yang diikuti distribusi Chi Square. 3.3
Pengujian Asumsi Klasik Pengujian ini dilakukan atau bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas. Apabila terjadi penyimpangan terhadap asumsi klasik tersebut, uji-t dan uji-F yang dilakukan sebelumnya menjadi tidak valid dan secara statistik dapat mengacaukan kesimpulan yang diperoleh. 3.3.1 Pengujian Autokorelasi Autokorelasi terjadi bila nilai gangguan dalam periode tertentu berhubungan dengan nilai gangguan sebelumnya. Untuk melakukan uji autokorelasi pada STATA, kita dapat menggunakan ado file tambahan ”xtserial” atau ”Wooldridge Test” yang dikembangkan oleh David Drukker. Perumusan hipotesis : Ho : p1 = p2….. = pp = 0 Non Autokorelasi (faktor pengganggu periode tertentu tidak berkorelasi dengan faktor pengganggu pada periode lain).
Ha : p1 = p2…. = pp =0
Autokorelasi (faktor pengganggu periode tertentu
berkorelasi dengan faktor pengganggu pada periode lain). 3.3.2 Pengujian Multikolinearitas Uji multikolinearitas dilakukan dengan pendeteksian atas nilai R2 dan signifikansi dari variabel yang digunakan. Rule of Thumb mengatakan apabila didapatkan R2 yang tinggi sementara terdapat sebagian besar atau semua yang secara parsial tidak signifikan, maka diduga terdapat multikolinearitas pada model tersebut (Gujarati, 1995). Lebih dari itu, multikolinearitas biasanya terjadi pada estimasi yang menggunakan data runtut waktu sehingga dengan mengkombinasikan data yang ada dengan data cross section mengakibatkan masalah multikolinearitas secara teknis dapat dikurangi. Penelitian ini menggunakan data panel, jadi sebenarnya secara teknis sudah dapat dikatakan masalah multikolinearitas sudah tidak ada. Hal tersebut diperkuat dengan hasil estimasi model bahwa semua variabel yang digunakan signifikan sehingga dengan sendirinya model ini sudah terbebas dari penyimpangan asumsi klasik. 3.3.3 Pengujian Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan
bila varian
tidak konstan
atau berubah-ubah disebut dengan
heteroskedastisitas. Pada umumnya, heteroskedastisitas diperoleh pada data cross
section. Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka pada hasil regresi akan terjadi misleading (Gujarati, 1995). Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas maka kita harus melakukan beberapa prosedur, yakni dengan membandingkan hasil dengan menggunakan Generalized Least Square (GLS) yang memasukkan option heteroskedastisitas dan yang tanpa menggunakan option heteroskedastisitas. Selanjutnya digunakan Likelihood-ratio test untuk membandingkan kedua model tersebut. Pada Likelihood-ratio test hipotesis nol pada tes ini adalah bahwa model bersifat homoskedastik. Jika hasil tes ini dapat kita lihat bahwa probability dari chi square adalah 0.000 mengartikan bahwa kita harus menolak hipotesis nol, atau dengan kata lain model yang digunakan melanggar asumsi homoskedastisitas. 3.4
Model penelitian Dalam berbagai penelitian yang harus dilakukan awalnya adalah membentuk
sebuah persamaan regresi sederhana yang kemudian dikaitkan dengan data yang dimiliki serta hal-hal yang akan di teliti. Pada data ISIC dua digit didapatkan data yang jumlahnya besar baik dari bentuk time seriesnya maupun cross sectionnya sehingga penggunaan panel data jelas lebih efektif. Model yang digunakan dalam penelitian ini mengadopsi model yang digunakan oleh Kumar (2003) yang meneliti tentang intensitas energi pada industri manufaktur di India.
3.4.1 Definisi Operasional Variabel Intensitas energi yaitu perbandingan antara jumlah konsumsi energi per PDB (Pendapatan Domestik Bruto). Semakin efisien suatu perusahaan, maka intensitasnya akan semakin kecil. Karena dalam tulisan ini yang menjadi sorot utama adalah sektor industri maka dapat dikatakan intensitas energi disini adalah perbandingan antara penjualan atau output total terhadap penggunaan energinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah: a. Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan diukur oleh penjualan atau nilai aset yang dimiliki perusahaan. Dalam penelitian, mengambil logaritma dari penjualan untuk mengukur variabel ini. Hal ini disebabkan karena dengan melakukan logaritma maka dapat dipastikan variabel ini akan menyebar normal. Dilihat dari ukuran dan skala perusahaan maka perusahaan-perusahaan besar akan lebih efisien dalam mengkonsumsi energi karena terkait dengan skala produksinya. Pada penelitian terdahulu hubungan antara ukuran perusahaan dan intensitas energi adalah berkebalikan ataupun berhubungan negatif. b. Tingkat gaji atau upah Definisi dari variabel ini adalah tingkat gaji yang dikeluarkan perusahaan untuk membayar karyawannya. Jika tenaga kerja menjadi lebih mahal ataupun besar, maka perusahaan yang berinvestasi di lebih tenaga kerja yang menggunakan teknologi menyimpan lebih banyak energi dan
seterusnya akan meningkatkan energi intensitas. Maka hubungan variabel gaji terhadap tingkat upah adalah positif c. Integrasi vertikal Variabel ini menghitung rasio dari nilai tambahan kotor terhadap total output. d. Intensitas perbaikan alat Variabel ini menghitung rasio dari total pengeluaran untuk perbaikan pada pabrik dan mesin-mesin dengan penjualan. Variabel ini diharapkan mempunyai hubungan yang positif, karena perbaikan pasti membutuhkan energi tambahan untuk menjalankannya. e. Dummy industri Penelitian ini menggunakan 23 sub sektor industri menengah-besar. Angka satu (1) diberikan pada sub sektor industri yang sedang diamati dan nol (0) untuk variabel lainnya. f. Dummy waktu Untuk melihat apakah intensitas energi telah berubah di seluruh waktu dan untuk menangkap adanya Fixed effect dari Shift waktu antara maka digunakan dummy waktu untuk mengatasinya. Dilihat dari waktu pengambilan pengamatan yang merupakan data tahunan maka dummy ini memberikan nilai 1 terhadap tahun yang sedang diamati dan 0 untuk tahun lainnya.
3.4.2 Model Intensitas Energi log(engyint)it = α + ß1 logasset it +ß 2 Logwage it + ß3Repairint it + ß4Vertintegra it + jdumm+
ttime +µit
Log(engyint) : logaritma dari intensitas energi, Logasset
: logaritma dari total output penjualan,
Logwage
: logaritma tingkat gaji atau upah,
Repairint
: intensitas perbaikan alat,
Vertintegra
: intengrasi vertikal,
jDummy
: Dummy industri,
ttime
: Dummy waktu, Penggunaan fungsi logaritma dikarenakan nilai intensitas energi, aset dan
upah yang terlalu besar jika dibandingkan dengan nilai intensitas tenaga kerja, intensitas perbaikan alat dan integrasi vertikal. Selain itu fungsi logaritma berguna untuk mengubah data yang bersifat acak menjadi linear. 3.5
Membangun panel data Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data cross section yang
diambil dari statistik industri menengah-besar di Indonesia pada periode 2000-2005. Awalnya data yang tersedia merupakan data pada level ISIC lima digit atau pada level perusahaan. Proses membangun panel data awalnya adalah dengan mengambil variabel-variabel penting yang akan digunakan pada model. Pada proses ini tidak hanya variabel yang terdapat pada model saja yang diambil, melainkan variabel
pembentuk juga harus diambil seperti pada variabel intensitas energi dimana merupakan rasio antara penggunaan energi dan output. Penggunaan energi disini terdiri dari bentuk energi listrik dan non listrik, variabel-variabel seperti ini yang dimaksud dengan variabel-variabel pembentuk. Tahapan selanjutnya adalah menggabungkan data ke dalam bentuk panel data. Seperti telah diketahui bahwa panel data merupakan bentuk data yang menggabungkan data cross section dan time series dalam satu tabel. Pada tahap ini data masih berada pada tingkat ISIC lima digit. Pada tingkat ISIC lima digit ini data yang berhasil dikumpulkan berjumlah 169842 observasi. Kemudian untuk mendapatkan data ke dalam tingkat ISIC dua digit adalah dengan cara mengelompokkan data kedalam sektor industrinya masing-masing dan menjumlahkan berdasarkan sektor tersebut. Tahapan terakhir dalam membangun panel data setelah data ISIC dua digit diperoleh adalah membangun variabel-variabel yang dibutuhkan dalam model. Adapun variabel-variabel dan cara membangunnya adalah dengan : a. Intensitas energi : intensitas energi secara harfiahnya adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto. Dalam model variabel ini merupakan variabel dependen yang dipengaruhi oleh variabel-variabel independen lainnya. Secara matematis dapat dihitung dengan cara membagi total energi yang digunakan dengan total output yang dihasilkan. Namun dalam penelitian ini total energi diwakilkan oleh total electricity dan total output diwakili oleh total aset.
b. Untuk variabel-variabel independen seperti output penjualan dan tingkat upah, data langsung dapat diolah karena data-data ini telah memiliki kode ISIC sebelumnya. c. Intensitas perbaikan alat : merupakan variabel yang dapat melihat berapa perubahan biaya perbaikan alat setiap ada penambahan total output satu satuan. Perhitungannya adalah dengan membagi total biaya perbaikan per tahun dengan total output penjualan. d. Integrasi vertikal : merupakan variabel yang dapat menjelaskan hubungan antara total nilai tambah dengan output penjualan. Perhitungannya adalah dengan membagi total nilai keuntungan per tahun dengan total output per tahun. Setelah seluruh variabel telah muncul barulah data tersebut dapat dikatakan data panel sektor industri ISIC pada tingkat dua digit (tingkat sektor industri).
IV. PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Penggunaan Energi di Industri Indonesia Pertumbuhan industri di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun,
bahkan pada tahun 2004 tercatat mencapai angka 7,5 persen. Hal ini tentu saja membawa sebuah konsekuensi baru terkait dengan penggunaan energi sektor industri di Indonesia. Sesuai dengan data yang diperoleh dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, sejak tahun 2001 pemakai energi terbesar di Indonesia adalah sektor industri. Pada tahun 2004 sektor industri menggunakan energi sebanyak 201,3 MBOE (38,5 persen) dimana sektor rumah tangga dan komersial menggunakan energi sebanyak 123 MBOE (23,5 persen) dan sektor transportasi sebanyak 198,9 MBOE (38 persen). Hal ini dikarenakan energi merupakan faktor utama dalam proses produksi dan apabila industri berhasil memanfaatkan energi secara bijaksana maka hal tersebut akan mendorong terwujudnya efisiensi secara keseluruhan karena energi merupakan kunci utama dalam efisiensi. Sejalan dengan telah dimulainya era globalisasi ekonomi maka hal ini berdampak sangat besar dalam hal persaingan produk-produk hasil manufaktur Indonesia. Pada tahun 2004, kontribusi industri terhadap PDB Indonesia adalah sebesar 24,52 persen dan dikhawatirkan kondisi ini akan berubah apabila industri di Indonesia tidak mampu bersaing di pasar dunia (Bank Indonesia, 2006) 2. Apabila hal
2
www.bi.go.id. PDB Tumbuh, Manufaktur Terpuruk & Hasil Tambang Diisap. [3 Agustus 2009].
ini dikaitkan dengan penggunaan energi BBM yang terus meningkat di sektor industri, maka akan membawa dampak dan tantangan besar dalam peningkatan daya saing industri Indonesia dan penyediaan energi di masa yang akan datang. Sektor industri sebagai salah satu pengguna BBM diharapkan dapat berperan serta dalam menyelesaikan masalah energi nasional tersebut. Apalagi tidak dapat dipungkiri bahwasanya electricity cost dalam production cost merupakan salah satu variabel yang sangat besar nilainya, dan pada saat ini terbukti hal tersebut menyebabkan produk dari Indonesia kalah bersaing di global market karena harga yang sudah tidak kompetitif jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya (World Energy, 2007)3. Pada penelitian sebelumnya oleh Alok Kumar di India nilai intensitas energi diperoleh dengan membagi nilai energi keseluruhan yang digunakan dengan output yang dihasilkan. Namun, pada penelitian ini nilai intensitas energi diperoleh dengan Membagi nilai electricity cost dengan Asset yang dimiliki suatu sektor. Hal ini dikarenakan Asset merupakan salah satu proksi dari output sehingga fungsi fariabel output dapat terwakilkan dengan adanya variabel asset. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai intensitas energi untuk masing-masing sektor industri (menengahbesar) yaitu :
3
www.bp.com. Statistical Review of World Energy June [28 Juli 2009].
Tabel 4.1 Intensitas Energi di Sektor Industri Menengah-Besar Indonesia 2000-2005 (dalam kwh/Rp) Kode ISIC 15 16 17 18 19 20
21 22
23
24
25 26 27 28
29 30
Sektor Industri Industri makanan dan minuman Industri pengolahan tembakau Industri tekstil Industri pakaian jadi Industri kulit dan barang dari kulit Industri kayu, barangbarang dari kayu (tidak termasuk furnitur), dan barangbarang anyaman Industri kertas dan barang dari kertas Industri penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman Industri batu bara, pengilangan minyak bumi dan pengolahan gas bumi, barangbarang dari hasil pengilangan minyak bumi, dan bahan bakar nuklir Industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia Industri karet dan barang dari karet Industri barang galian bukan logam Industri logam dasar Industri barang dari logam, kecuali mesin dan peralatannya Industri mesin dan perlengkapannya Industri mesin dan peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data
2000
2001
2002
2003
2004
2005
0.010373
0.051652
0.035335
0.007687
0.019153
0.008316
0.016684
0.020676
0.020656
0.003723
0.018305
0.016011
0.103519
0.142708
0.093689
0.122293
0.115282
0.016316
0.039866
0.085049
0.004859
0.07889
0.085345
0.171287
0.056963
0.002325
0.151559
0.014658
0.099722
0.145392
0.046491
0.043519
0.052068
0.00761
0.047109
0.065189
0.031406
0.020014
0.021468
0.002197
0.048943
0.02576
0.048705
0.037013
0.031016
0.032752
0.112643
0.094674
0.150075
0.192213
0.034476
0.07549
0.392881
0.049961
0.026877
0.051844
0.031523
0.032464
0.057557
0.004078
0.057329
0.06847
0.071279
0.011989
0.01504
0.141521
0.063791
0.075701
0.076004
0.06815
0.094864
0.097218
0.045414
0.003875
0.052773
0.203876
0.225679
0.456055
0.062485
0.032666
0.063671
0.071304
0.102226
0.080553
0.017041
0.03861
0.018556
0.042565
0.021371
0.024129
0.065539
0.010658
0.046491
0.036319
0.039097
0.024187
31
32
33
34 35
36
37
Industri mesin listrik lainnya dan perlengkapannya Industri radio, televisi, dan peralatan komunikasi, serta perlengkapannya Industri peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam dan lonceng Industri kendaraan bermotor Industri alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih Industri furnitur dan industri pengolahan lainnya Daur ulang
0.072216
0.087364
0.037745
0.006554
0.202742
0.110393
0.018689
0.043593
0.066515
0.076612
0.196115
0.104222
0.055989
0.025593
0.067014
0.098501
0.03619
0.047456
0.039323
0.056124
0.266476
0.062528
0.138891
0.12951
0.122322
0.118424
0.088671
0.078589
0.178433
0.145916
0.024381
0.037838
0.126772
0.01844
0.162765
0.155302
0.008317
0.054558
0.088658
0.122527
0.095809
0.099286
Dari tabel di atas menggambarkan nilai intensitas energi pada masing-masing sektor pada industri menengah-besar di Indonesia. Karena fungsi intensitas energi merupakan kebalikan dari fungsi efisiensi energi maka semakin kecil nilai intensitas energi berarti sektor industri tersebut secara ekonomi lebih efisien. Pendekatan perhitungan dari intensitas energi memang diatas dilakukan dengan dengan membagi nilai electricity cost dengan nilai total asset suatu industri. Perhitungan ini mengacu pada standar yang dikeluarkan oleh Energy Information Administration yang menyebutkan bahwa salah satu cara perhitungan intensitas energi adalah dengan cara membagi nilai energi yang digunakan dengan nilai produksi dari suatu industri. Selain itu penelitian ini juga merujuk pada jurnal international dimana Alok Kumar pada penelitiannya mendefinisikan intensitas energi sebagai hasil bagi antara total
energi yang digunakan dibagi dengan penjualan (asset yang merupakan proksi dari penjualan).
Gambar 4.1 Grafik Intensitas Energi Sektor Industri (Menengah-Besar) Indonesia Pada gambar terlihat bahwa pada sektor industri batu bara, pengilangan minyak bumi dan pengolahan gas bumi, barang-barang dari hasil pengilangan minyak bumi, dan bahan bakar nuklir terdapat sebuah lonjakan nilai intensitas energi yang cukup signifikan di tahun 2004. Hal ini diduga karena pada industri batu bara tahun 2004 mengalami lonjakan produktivitas yang cukup besar. Ini disebabkan oleh tingginya harga batu bara pada tahun tersebut sehingga para produsen batubara berlomba-lomba meningkatkan keuntungan dengan meningkatkan volume produksi yang kemudian di ekspor. Bahkan menurut World Coal Institute, sejak tahun 2004 Indonesia telah menjadi eksportir batubara kedua terbesar di dunia setelah Australia dengan volume produksi terbesar kedua setelah Cina. Ini memperkuat dugaan bahwa peningkatan nilai intensitas energi pada sektor ini disebabkan oleh peningkatan volume produksi batubara, mengingat tidak adanya hal yang berbeda pada sektor lain
yang terkait seperti stabilnya harga minyak mentah tahun tersebut dan rendahnya produksi nuklir dalam negeri tahun tersebut. Pada gambar terlihat ada lonjakan tajam juga pada industri kendaraan bermotor di tahun 2002. Setelah ditelusuri ternyata kenaikan ini disebabkan volume jumlah produksi yang juga meningkat tajam pada tahun 2002. Kenaikan produktivitas ini dipacu oleh jumlah pengguna sepeda motor yang meningkat pada setiap tahunnya sehingga produktifitas untuk mengimbangi permintaan pun juga meningkat. Pada industri logam dasar kenaikan nilai intensitas energi terjadi pada setiap tahun dari tahun 2000 sampai 2005. Hal ini disebabkan oleh pergeseran pertumbuhan dari sektor pertanian ke sektor industri. Imbangan dari pertumbuhan sektor industri adalah peningkatan bahan bakar, sarana dan prasarananya. Industri logam dasar merupakan industri penyokong industri-industri lainnya. Sehingga ketika industri secara keseluruhan meningkat maka industri logam akan lebih secara tidak langsung meningkat lebih signifikan. Pada industri lainnya tingkat intensitas energi menyebar cukup normal, tidak ada pencilan yang terdapat lagi di dalamnya. 4.2
Model Intensitas Energi (Industri Menengah-Besar Indonesia) Model intensitas energi merupakan model regresi yang digunakan untuk
melihat hubungan antara intensitas energi dengan variabel-variabel lainnya. Dikarenakan data berbentuk pooled maka harus dilakukan beberapa tahapan sebelum data yang tersedia kemudian dapat di estimasi. Sebagai dasar pertimbangan dalam memilih model fixed effect atau model random effect maka dapat dilakukan pengujian statistik melalui Hausman test. Hasil Hausman test untuk model intensitas energi
dapat dilihat pada lampiran 6. Pada lampiran 6 dapat dilihat bahwa nilai statistik Hausman test menunjukkan angka sebesar 59,37 lebih besar dari nilai Chi-Square yang berarti hipotesis untuk menggunakan efek acak diterima, sehingga disimpulkan pendekatan efek tetap baik digunakan pada penelitian ini. Selain itu beberapa dasar pertimbangan untuk memilih model fixed effect atau random effect, yaitu melihat unit cross section-nya, karena unit cross section yang dipilih dalam sampel tidak dipilih secara acak namun secara teratur berurutan maka keputusan pengambilan model adalah fixed effect. Selain itu pemilihan model fixed effect dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan dalam melihat heterogenitas tiap unit cross section dalam sampel penelitian. Dengan model fixed effect, intersep antar unit cross section dapat bervariasi, dan perbedaan nilai nilai konstanta ini diasumsikan sebagai perbedaan antara cross section. Estimasi dengan menggunakan fixed effect untuk model intensitas energi diawali dengan meregresikan nilai intensitas energi dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kemudian untuk mendapatkan asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap berbeda baik antar sektor maupun antar waktu generalisasi secara umum sering dilakukan adalah dengan memasukan variabel dummy untuk mengizinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang berbeda-beda baik antar lintas unit cross section maupun antar waktu, dimasukanlah dummy industri dan dummy waktu. Dengan memasukkan kedua dummy ini berarti model berbentuk Two Way Error Components Fixed Effect Model. Dummy industri dimasukkan dengan alasan bahwa ada dugaan perbedaan pengaruh atau perilaku
faktor-faktor yang mempengaruhi nilai intensitas energi antara satu sektor dengan sektor yang lain. Lebih lanjutnya dummy ini akan bisa menjelaskan sektor apa saja yang telah berproduksi dengan efisien dan sektor mana yang berproduksi dengan tidak efisien secara lebih tepat. Begitu pula dengan dummy waktu, ada dugaan faktorfaktor juga punya pengaruh yang berbeda-beda di setiap tahunnya. Selain itu pada dummy waktu dapat melihat apakah tren pada industri menengah-atas di Indonesia mengalami tren yang selalu naik atau justru memiliki tren yang menurun dalam penggunaan energinya. Tabel : 4.1 Hasil Estimasi Fungsi Intensitas Energi dengan berbagai pendekatan Fixed Effect Model
Two Way Error Components Fixed Effect
Panel Corrected Standart Error
Variabel
Coef.
P>z
Ket
Coef.
P>z
Ket
Coef.
P>z
Ket
Konstanta
4.239
0.055
-
10.405
0
-
10.512
0
-
Asset
-0.808
0.000
Signifikan
-0.812
0
Signifcan
-0.809
0
Signifikan
Upah Intergasi Vertikal Intensitas Perbaikan dummy industry dummy waktu
0.610
0.000
Signifikan
0.298
0.026
Signifikan
0.289
0.027
Signifikan
-3.631
0.000
signifikan
-3.076
0
Signifikan
-2.997
0
Signifikan
-0.213
0.521
tidak
-0.153
0.605
Tidak
-0.087
0.773
Tidak
tidak
Ya
Ya
tidak
Ya
Ya
R-sq:
0.7021
0.7746
0.7746
Hetero
ada
Ada
Tidak
Autokol
ada
Ada
Tidak
Menurut Gujarati (1995), model ekonometrika yang baik harus memenuhi kriteria ekonometrika dan kriteria statistik. Berdasarkan kriteria ekonometrika, model harus sesuai dengan asumsi klasik yang artinya harus terbebas dari gejala
multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji koefisien determinasi (R2 ), uji-F dan uji-z. Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh Tabel 4.2, nilai R-Square (R2 ) atau koefisiensi determinasi pada fixed effect model sebesar 0,7021 yang menunjukkan bahwa 70,21 persen keragaman intensitas energi dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya. Pada Two Way Error Components Fixed Effect R-Square (R2 ) memiliki nilai sebesar 0,7746 yang menunjukkan bahwa 77,46 persen keragaman intensitas energi dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya. Terakhir pada Panel Corrected Standart Error R-Square (R2 ) memiliki nilai sebesar 77,46 yang menunjukkan bahwa 77,46 persen keragaman intensitas energi dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya. Hal ini diperkuat dengan probabilitas F-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen dan α = 5 persen yaitu sebesar 0,000 yang berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Untuk uji signifikansi individu (uji-t) maka digunakan z-statistik dengan tingkat kritis α = 5 persen (α = 2,5 persen untuk uji dua arah) yang memiliki z-kritis sebesar 1,96 dan membandingkannya dengan nilai mutlak t-statistik dari hasil estimasi fungsi intensitas energi. Hal ini berlaku pada tiga bentuk estimasi. Pada Two Way Error Components Fixed Effect indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat probabilitas z-statistik dalam regresi. Berdasarkan hasil estimasi fungsi intensitas energi terdapat tiga variabel dari empat variabel penjelas yang bersifat signifikan sehingga masalah multikolinearitas dalam model bisa
diabaikan. Uji asumsi penting ekonometrika kedua adalah uji autokolerasi dengan menggunakan Wooldridge Test. Dari hasil estimasi fungsi intensitas energi dalam penelitian ini dimana H0 dari uji autokorelasi ini adalah tidak ada korelasi. Dimana, jika memiliki hasil yang signifikan, berarti tolak H0, atau dengan kata lain, model yang di uji memiliki masalah autokorelasi. Hasil yang diperoleh dari fungsi intensitas energi adalah signifikan pada tingkat 10 persen dengan demikian berdasarkan kerangka identifikasi autokorelasi dapat disimpulkan terdapat autokorelasi dalam model. Kriteria ekonometrika terakhir yang harus terpenuhi adalah mendeteksi adanya heteroskedastisitas dari estimasi model intensitas energi. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas maka kita harus melakukan beberapa prosedur, yakni dengan membandingkan hasil dengan menggunakan Generalized Least Square (GLS) yang memasukkan option heteroskedastisitas dan yang tanpa menggunakan option heteroskedastisitas. Selanjutnya digunakan lrtest untuk membandingkan kedua model tersebut. Pada hasil tes pada fungsi intensitas energi dapat dilihat bahwa probabilitas dari chi-square adalah 0,000 yang mengartikan bahwa kita harus menolak hipotesis nol,
atau
dengan
kata
lain
model
yang
digunakan
melanggar
asumsi
homoskedastisitas. Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi, model yang digunakan memiliki masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi. Oleh karena itu, agar model menjadi BLUE, terlebih dahulu harus dilakukan modifikasi model. Pada STATA 9.0 untuk memperbaiki model yang didalamnya memiliki masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi maka harus melakukan Panel-Corrected
Standard Errors. Penggunaan metode ini akan dapat mengatasi masalah statistik dalam model. Hasil estimasi model intensitas energi pada Fixed Effect Model menunjukan bahwa variabel logasset berpengaruh signifikan terhadap intensitas energi dan berhubungan negatif. Koefisien logasset sebesar -0,808 artinya jika terjadinya kenaikan ukuran suatu perusahaan yang dalam hal ini diwakili oleh asset sebesar 1 persen maka akan mengurangi angka intensitas energi pada sektor tersebut sebesar 0,808 persen. Ini terkait dengan skala ekonomi perusahaan. Semakin besar perusahaan maka perusahaan tersebut akan lebih efisien dalam memproduksi barang dan jasa. Sedangkan dalam penelitian terdahulu telah dijelaskan bahwa efisiensi energi memiliki hubungan yang berkebalikan dengan intensitas energi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketika terjadi kenaikan ukuran perusahaan akan menyebabkan turunnya angka intensitas energi. Variabel selanjutnya adalah logwage berpengaruh signifikan terhadap intensitas energi dan berhubungan positif. Koefisien variabel logwage sebesar 0,610 artinya ketika terjadi kenaikan tingkat upah secara agregat sebesar 1 persen maka nilai intensitas energi akan naik sebesar 0,610 persen. Hal ini terjadi karena ketika upah tenaga kerja meningkat maka perusahaan akan melakukan investasi dalam bentuk mesin dalam jumlah yang cukup besar karena ketika mengkonversi tenaga kerja dengan mesin-mesin maka perusahaan dapat berjalan lebih efisien. Namun, penggunaan mesin pasti diikuti dengan penggunaan energi sebagai bahan bakarnya.
Sehingga kenaikan upah tenaga kerja akan menyebabkan kenaikan pada intensitas energi suatu perusahaan. Variabel verintegra berpengaruh signifikan terhadap intensitas energi dan berhubungan negatif. Verintegra merupakan rasio dari nilai tambah terhadap total output perusahaan. Nilai koefisien sebesar -3,631 artinya ketika terjadi kenaikan verintegra sebesar 1 satuan maka akan menyebabkan penurunan intensitas energi sebesar 3,631 satuan. Nilai vertical integration ini merupakan suatu ukuran terhadap keterkaitan antara sektor hulu, hilir maupun perantara. Hubungan negatif mengartikan bahwa ketika hubungan vertikal antara sub sektor dalam industri semakin kuat berarti nilai intensitas energi semakin berkurang yang dapat diartikan industri tersebut juga semakin efisien dalam berproduksi. Integrasi vertikal adalah strategi umum yang digunakan oleh perusahaan apabila perusahaan tersebut mengakuisisi perusahaanperusahaan yang menjadi pemasok (backward vertical integration) atau perusahaanperusahaan yang menjadi pembeli output perusahaan tersebut (forward vertical integration). Perusahaan yang mendirikan usaha distributor sendiri alasannya adalah demi efisiensi dan menciptakan sinergi, seperti yang dilakukan oleh PT Bintang Toedjoe. Produknya kini ditangani oleh PT Enserval Putera yang merupakan anak perusahaan dari PT Bintang Toedjoe. Jadi jelas bahwa ketika tingkat integrasi vertikal suatu perusahaan naik maka intensitas energi akan semakin rendah. Variabel repintens berpengaruh tidak signifikan terhadap intensitas energi dan berhubungan negatif. Repintens merupakan rasio dari biaya perbaikan atau nilai penyusutan alat-alat perusahaan terhadap total output perusahaan. Nilai koefisien
sebesar -0,213 satuan ketika terjadi kenaikan verintens sebesar 1 persen maka akan menyebabkan penurunan intensitas energi sebesar 0,213 satuan. Hal ini disebabkan oleh ketika terjadi kerusakan mesin maka mesin-mesin tersebut akan mengalami perbaikan. Biasanya perbaikan mesin akan berpengaruh signifikan terhadap nilai efisiensi dari mesin tersebut sehingga menyebabkan penggunaan bahan baku yang lebih besar dari sebelumnya. Pada Two Way Error Components Fixed Effect Model menunjukan bahwa variabel logsasset berpengaruh signifikan terhadap intensitas energi dan berhubungan negatif. Koefisien logasset sebesar -0,812 artinya jika terjadinya kenaikan ukuran suatu perusahaan yang dalam hal ini diwakili oleh asset sebesar 1 persen maka akan mengurangi angka intensitas energi pada sektor tersebut sebesar 0,812 persen. Ini terkait dengan skala ekonomi perusahaan. Semakin besar perusahaan maka perusahaan tersebut akan lebih efisien dalam memproduksi barang dan jasa. Sedangkan dalam penelitian terdahulu telah dijelaskan bahwa efisiensi energi memiliki hubungan yang berkebalikan dengan intensitas energi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketika terjadi kenaikan ukuran perusahaan akan menyebabkan turunnya angka intensitas energi. Variabel selanjutnya adalah logwage berpengaruh signifikan terhadap intensitas energi dan berhubungan positif. Koefisien variabel logwage sebesar 0,298 artinya ketika terjadi kenaikan tingkat upah secara agregat sebesar 1 persen maka nilai intensitas energi akan naik sebesar 0,298 persen. Hal ini disebabkan oleh, ketika upah tenaga kerja meningkat maka perusahaan akan melakukan investasi dalam
bentuk mesin dalam jumlah yang cukup besar. Ini disebabkan karena, ketika mengkonversi tenaga kerja dengan mesin-mesin maka perusahaan dapat berjalan lebih efisien. Namun, penggunaan mesin pastilah diikuti dengan penggunaan energi sebagai bahan bakarnya. Sehingga kenaikan upah tenaga kerja akan menyebabkan kenaikan pada intensitas energi suatu perusahaan. Variabel verintegra berpengaruh signifikan terhadap intensitas energi dan berhubungan negatif. Verintegra merupakan rasio dari nilai tambah terhadap total output perusahaan. Nilai koefisien sebesar -3,076 artinya ketika terjadi kenaikan verintegra sebesar 1 satuan maka akan menyebabkan penurunan intensitas energi sebesar 3,076 satuan. Nilai vertical integration ini merupakan suatu ukuran terhadap keterkaitan antara sektor hulu, hilir maupun perantara. Hubungan negatif mengartikan bahwa ketika hubungan vertikal antara sub sektor dalam energi semakin kuat berarti nilai intensitas energi semakin berkurang yang dapat diartikan industri tersebut juga semakin efisien dalam berproduksi. Variabel repintens berpengaruh tidak signifikan terhadap intensitas energi dan berhubungan positif. Repintens merupakan rasio dari biaya perbaikan atau nilai penyusutan alat-alat perusahaan terhadap total output perusahaan. Nilai koefisien sebesar -0,153 artinya ketika terjadi kenaikan verintens sebesar 1 satuan maka akan menyebabkan penurunan intensitas energi sebesar 0,153 satuan. Untuk variable dummy industri, sepuluh dari 21 variabel dummy yang digunakan untuk menangkap variasi industri, mencapai statistik yang signifikan. Dari jumlah yang signifikan tersebut, dengan melihat pada patokan sektor industri
(industri makanan dan minuman) terdapat tujuh sektor industri yang memiliki intensitas energi yang rendah sementara tiga sektor industri lainnya memiliki intensitas energi yang cukup tinggi. Hal ini mengambarkan bahwa pada industri menengah-besar di Indonesia sebagian masih menggunakan energi dalam jumlah yang cukup boros. Dummy yang memiliki nilai negatif berarti sektor tersebut memiliki nilai intensitas energi yang rendah artinya sektor ini lebih efisien dalam menggunakan energi. Begitu pula sebaliknya, pada hasil dummy yang memiliki tanda positif memiliki arti bahwa sektor tersebut tidak efisien dalam menggunakan energi. Temuan selanjutnya pada dummy waktu di setiap tahunnya sejak tahun 2002-2005 intensitas energi mengalami tren yang terus meningkat. Terlihat dari hasil koefisien dummy waktu yang terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini menindikasikan bahwa setiap tahun penggunaan energi terus meningkat dan industri-industri setiap tahun menunjukkan gejala inefisiensi. Intrepretasi model yang terakhir adalah dengan menggunakan Panel Corrected Standard Error. Hasil estimasi model intensitas energi menunjukan bahwa variabel logasset berpengaruh signifikan terhadap intensitas energi dan berhubungan negatif. Koefisien logasset sebesar -0,809 artinya jika terjadinya kenaikan ukuran suatu perusahaan yang dalam hal ini diwakili oleh aset sebesar 1 persen maka akan mengurangi angka intensitas energi pada sektor tersebut sebesar 0,809 persen. Ini terkait dengan skala ekonomi perusahaan. Semakin besar perusahaan maka perusahaan tersebut akan lebih efisien dalam memproduksi barang dan jasa. Sedangkan dalam penelitian terdahulu telah dijelaskan bahwa efisiensi energi
memiliki hubungan yang berkebalikan dengan intensitas energi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketika terjadi kenaikan ukuran perusahaan akan menyebabkan turunnya angka intensitas energi. Variabel selanjutnya adalah logwage berpengaruh signifikan terhadap intensitas energi dan berhubungan positif. Koefisien variabel logwage sebesar 0,289 artinya ketika terjadi kenaikan tingkat upah secara agregat sebesar 1 persen maka nilai intensitas energi akan naik sebesar 0,289 persen. Hal ini disebabkan oleh, ketika upah tenaga kerja meningkat maka perusahaan akan melakukan investasi dalam bentuk mesin dalam jumlah yang cukup besar. Ini disebabkan karena, ketika mengkonversi tenaga kerja dengan mesin-mesin maka perusahaan dapat berjalan lebih efisien. Namun, penggunaan mesin pastilah diikuti dengan penggunaan energi sebagai bahan bakarnya. Sehingga kenaikan upah tenaga kerja akan menyebabkan kenaikan pada intensitas energi suatu perusahaan. Variabel verintegra berpengaruh signifikan terhadap intensitas energi dan berhubungan negatif. Verintens merupakan rasio dari nilai tambah terhadap total output perusahaan. Nilai koefisien sebesar -2,997 artinya ketika terjadi kenaikan verintens sebesar 1 satuan maka akan menyebabkan penurunan intensitas energi sebesar 2,997 satuan. Hal ini disebabkan oleh ketika terjadi penambahan nilai tambah total berarti ada dua asumsi. Variabel repintens berpengaruh tidak signifikan terhadap intensitas energi dan berhubungan negatif. Repintens merupakan rasio dari biaya perbaikan atau nilai penyusutan alat-alat perusahaan terhadap total output perusahaan. Nilai koefisien
sebesar -0,087 artinya ketika terjadi kenaikan verintens sebesar 1 satuan maka akan menyebabkan penurunan intensitas energi sebesar 0,087 satuan. Hal ini disebabkan oleh ketika terjadi kerusakan mesin maka mesin-mesin tersebut akan mengalami perbaikan. Biasanya perbaikan mesin akan berpengaruh signifikan terhadap nilai efisiensi dari mesin tersebut sehingga menyebabkan penggunaan bahan baku yang lebih besar dari sebelumnya. Untuk variabel dummy industri, 12 dari 21 variabel dummy yang digunakan untuk menangkap variasi industri, mencapai statistik yang signifikan dimana lima dengan tanda yang positif dan tujuh dengan tanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa dengan melihat pada patokan sektor industri (industri makanan dan minuman) terdapat tujuh sektor industri yang memiliki intensitas energi yang rendah sementara selebihnya memiliki intensitas energi yang cukup tinggi. Hal ini mengambarkan bahwa pada industri menengah-atas di Indonesia sebagian besar menggunakan energi dalam jumlah yang besar. Temuan selanjutnya pada dummy waktu di setiap tahunnya sejak tahun 2002-2005 intensitas energi mengalami tren yang terus menurun. Terlihat dari hasil koefisien dummy waktu yang terus meningkat pada setiap tahunnya. Hasil estimasi yang dilakukan melalui tiga pendekatan menghasilkan nilai variabel yang sama arahnya. Untuk variabel asset dan juga wage memiliki nilai yang sama dengan apa yang telah diteliti oleh Alok Kumar di India. Sedangkan untuk nilai variabel integrasi vertikal memiliki arah yang berbeda disebabkan pada semakin kuat integrasi vertikal suatu sektor maka akan semakin efisien sektor tersebut dan akan
semakin kecil pula nilai intensitas energinya. Pada repair intensity perbedaan arah dengan jurnal pengampu tidak diikuti dengan uji-z yang signifikan. 4.3
Implikasi Kebijakan Kebijakan pemerintah berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan energi
nasional dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam peraturan tersebut, pada tahun 2025 konsumsi minyak bumi diharapkan turun menjadi 20 persen, gas alam naik menjadi 30 persen, batubara naik menjadi 33 persen, sedangkan energi baru dan terbarukan naik menjadi 17 persen. Target capaian energi terbarukan pada Perpres tersebut yakni 15 persen, cukup maju dibandingkan dengan negara tetangga seperti Australia yang hanya 6 persen pada tahun 2029-2030 (International Energy Agency, 2007), sedangkan India mentargetkan kontribusi tenaga air dan nuklir sebesar 11,8 persen pada tahun 20312032 (International Energy Agency, 2007),. Secara umum, keamanan energi (energy security) dapat dipenuhi melalui dua cara, yakni diversifikasi energi (yang telah diatur dalam Perpres No 5 tahun 2006) dan penghematan energi (yang telah diatur di berbagai peraturan: misalnya Instruksi Presiden No 10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi yang selanjutnya diatur prosedurnya melalui Keputusan Menteri ESDM No 0031 tahun 2005, kemudian Pasal 25 dari UU No 30 tahun 2007 tentang Energi juga mengatur perihal penghematan energi). Semua sektor penyedia dan pengguna energi perlu melakukan upaya diversifikasi dan penghematan energi guna mencapai keamanan energi nasional. Namun dalam pasal-pasal yang telah disebutkan dan dijelaskan belum adanya
peraturan atau pasal yang menjelaskan dengan teknis apa yang dilakukan untuk mencapai efisiensi energi merupakan suatu hal yang perlu ditindaklanjuti lebih baik lagi. Prosedur melalui Keputusan Menteri ESDM hanya menjadi sebuah acuan tanpa tindak lanjut yang nyata. Kebijakan energi berupa program diversifikasi energi untuk mengurangi konsumsi minyak bumi dari total konsumsi energi di Indonesia ternyata belum menghasilkan kontribusi yang signifikan untuk mengatasi masalah energi. Berbagai program diversifikasi energi itu sukar dilihat hasilnya. Kegagalan kebijakan diversifikasi energi di Indonesia terlihat dari lambatnya pertumbuhan energi nonBBM dan masih tingginya konsumsi BBM. Bahkan, konsumsi BBM Indonesia naik terus setiap tahunnya, meskipun besaran persentasenya berkurang terhadap total energi nasional. Konsumsi energi di Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 1990 pengunaan BBM mencapai 76 persen dari total energi final nasional, sementara di tahun 2003 BBM masih menyumbang 63 persen. Jika dikonversi dalam barel per hari, konsumsi minyak Indonesia naik secara signifikan dari hanya 621 ribu barel per hari pada tahun 1990 menjadi 1,132 juta barel per hari di tahun 2003 (LIPI, 2009)4. Di lain sisi, gas alam dan batu bara yang diharapkan dapat menjadi sumber energi alternatif di Indonesia mengalami kenaikan yang tidak signifikan dari 10 persen di tahun 1990 menjadi 17 persen di tahun 2003 untuk gas alam, dan batubara
4
www.lipi.com. Efisiensi Energi [4 Agustus 2009].
dari 4,5 persen di tahun 1990 menjadi hanya 8 persen di tahun 2003. Keadaan yang jauh berbeda dapat dilihat pada negara tetangga Malaysia yang secara drastis mampu menurunkannya. Dalam rentang waktu hanya tiga tahun, antara tahun 2000 dan 2003, Malaysia mampu menurunkan secara drastis konsumsi minyak bumi dari 53,1 persen menjadi di bawah 10 persen, sementara gas bumi naik dari 37,1 persen menjadi 71 persen. Batu bara dan PLTA naik dari 4,4 persen dan 5,4 persen menjadi 10 persen dan 11,9 persen (BP World Energy, 2007). Selain itu mengenai isu efisiensi energi hingga saat ini, pemerintah, PLN ataupun PERTAMINA hanya memberikan kampanye ataupun sebatas seruan saja. Belum ada semacam kebijakan tertulis yang mengatur penggunaan energi maksimal untuk semua sektor terutama industri di Indonesia. Arah kebijakan mengenai efisensi perlu agar ekonomi tidak boros dan konsumsi terkendali. Yang paling penting hasil efisiensi bisa bergulir menjadi investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya sehingga menguatkan pertumbuhan ekonomi. Sebenarnya pada tahun 2005 kebijakan seperti ini sudah pernah dikemukakan oleh presiden. Namun, sejauh ini, arahan presiden itu belum menghasilkan bentuk program nyata di lapangan. Wakil presiden pernah pula menganjurkan penghematan listrik dengan pemadaman, stasiun televisi berhenti siaran sebelum tengah malam, lampu-lampu iklan dikurangi, dan sebagainya. Namun, langkah itu lenyap begitu saja karena tidak ada program yang sistematis. Kenyataan yang telah dipaparkan menjelaskan bahwa masalah energi di Indonesia memang belum memiliki solusi yang tepat. Program diversifikasi masih terasa lambat serta program efisiensi belum dapat dikatakan berjalan hingga saat ini.
Khusus untuk masalah efisiensi sebagai perbandingan, di Jerman pemerintahnya membuat suatu perjanjian dengan para pelaku industri mengenai jumlah energi minimum dan maksimum yang bisa digunakan oleh sektor ini untuk mencegah sektor-sektor industri mengkonsumsi jumlah energi yang boros. Walaupun belum jelas ada sanksi atau tidak jika ada yang melanggar perjanjian ini, minimal ada sebuah kontrol dua arah untuk menjadikan target efisiensi energi dapat tercapai. Di Korea, untuk meningkatkan efisiensi energi perintahnya membuat sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengaudit dan mengestimasi penggunaan energi yang potensial pada sub sektor industri besar. Adapun kebijakan ataupun rancangan kebijakan yang pernah di lakukan ataupun di luar negeri adalah diantaranya a. Energy taxation, emission ceilings or additional mandatory reduction targets (Phylipsen et al, 2002). Merupakan kebijakan dimana dalam hal ini pemerintah ikut serta mengatur pemberian diverensiasi pajak pada tingkat industry yang berbeda. Selain itu target efisiensi juga ditetapkan untuk mengestimasi penggunaan energi pada masa yang akan datang. b. Tax discount and public-sponsored audit (Thollander et al, 2007). Merupakan bentuk pemberian insentif berupa potongan pajak kepada perusahaan yang mencapai tingkat efisiensi dalam kategori baik.
c. Technology transfer from developed countries (Worrel et al. 1997). Merupakan kebijakan impor peralatan canggih guna meningkatkan efisiensi perusahaan. Terkait dengan hasil penelitian, fakta yang telah dipaparkan, peraturan yang sudah serta kebijakan dari negara lain dapat dirumuskan bahwa penelitian ini dapat memberikan saran untuk kebijakan yang akan datang diantaranya : 1. Terkait dengan terdapatnya hubungan yang erat antara intensitas energi dengan asset dan upah, maka perlu dirumuskan kebijakan yang mendukung perusahaan untuk meningkatkan skala perusahaannya. Insentif kepada perusahaan-perusahaan yang kecil untuk memperbesar perusahaannya merupakan suatu cara yang dapat ditempuh. 2. Menjadikan efisiensi pemakaian energi sebagai tolak ukur dari produktifitas industri. 3. Mengembangkan inisiatif konservasi energi untuk meningkatkan efisiensi produk industri manufaktur antara lain membuat benchmark intensitas pemakaian energi dan menetapkan standar efisiensi energi minimum. Hal ini terkait dengan temuan adanya industri yang memiliki nilai intensitas energi yang sangat besar pada tahun-tahun tertentu. Penetapan standar efisiensi energi maksimum diberikan agar dapat mengatur penggunaan energi agar tetap efisien.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis faktor yang
mempengaruhi intensitas energi serta hubungannya dengan efisiensi energi di dalam sektor industri di Indonesia, maka diperoleh kesimpulan: a. Intensitas energi pada industri menengah-besar di Indonesia memiliki tren yang selalu naik dari tahun ke tahun. Terdapat tiga sektor yang memiliki intensitas energi yang lebih tinggi dibanding dengan yang lain yaitu industri logam, industri motor, dan industri pertambangan. b. Pada industri menengah atas di Indonesia dengan menggunakan Two Way Error Components Fixed Effect Model diperoleh bahwa: 1. Adanya hubungan negatif antara intensitas energi dengan penjualan total suatu industri. Semakin tinggi penjualan maka nilai intensitas energinya pun akan meningkat. Hal ini terkait dengan skala usaha dan efisiensi suatu industri. 2. Adanya hubungan positif antara intensitas energi dengan total upah suatu industri. Peningkatan jumlah tenaga kerja yang diikuti dengan meningkatnya nilai upah menyebabkan peningkatan penggunaan mesin untuk menggantikan tenaga kerja dan penggunaan energinya. 3. Adanya hubungan negatif antara intensitas energi dengan integrasi vertikalnya yang menunjukkan bahwa integrasi vertikal di Indonesia
diikuti dengan perbaikan teknologi yang relatif lebih efisien dalam penggunaann energi. 4. Adanya hubungan negatif antara intensitas energi dengan intensitas biaya perbaikan. 5.2
Saran Berdasarkan penelitian penulis dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang
erat nilai intensitas energi terhadap asset, upah dan integrasi vertikalnya. Sehingga pengelolaan asset dan upah merupakan hal yang harus menjadi catatan tersendiri bagi sektor-sektor industri terkait terutama sektor industri dengan nilai intensitas energi yang masih rendah. Selain itu peraturan yang lebih tepat sasaran terhadap sektorsektor dengan penggunaan energi yang masih boros merupakan hal yang perlu dikaji pemerintah agar security energy dapat terlaksana. Hasil estimasi panel data menunjukkan beberapa indikator penting dan selanjutnya dapat digunakan untuk merumuskan suatu kebijakan ke depan. Beberapa kebijakan yang perlu dipertimbangkan adalah: 1. Insentif kepada perusahaan-perusahaan yang kecil untuk meningkatkan skala perusahaannya. 2. Menjadikan efisiensi pemakaian energi
sebagai tolak ukur
dari
produktivitas industri. 3. Penetapan standar efisiensi energi maksimum diberikan agar dapat mengatur penggunaan energi agar tetap efisien.
Penelitian selanjutnya disarankan untuk menganalisis bukan lagi pada level sektor energi namun pada level perusahaan sehingga implikasi kebijakan serta arahan kebijakan dapat diberikan lebih tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, G. 2008. Intensitas dan Elastisitas Energi Indonesia. BPPT, Jakarta. Ariati. 2008. National Energy Conservation Program in Indonesia. ASHRAE Indonesia, Jakarta. BPS. 2005. Statistik Industri Besar dan Sedang. Bagian I. BPS, Jakarta. Dept. ESDM. 2007. Kebijakan Energi Nasional untuk Menjamin Keamanan Pasokan Energi . BPPT. Ediger, V. 2005. Examining the Sectoral Energy Use in Turkish Economy (19802000) with the Help of Decomposition Analysis. Energy Conversion and Management. Fare, R, L. Jansson and C.A.K Lovell. 1985. Modelling scale economies with Ray homothentic production function. Review of Economics and Statisric, 67,624629. Gujarati,D.N. 1995. Basic Ecomometrics. Third Edition, McGrow-Hill International Edition.New York.USA. Indartono, Y. S. 2008. Energi Dan Lingkungan: Sebuah Keterkaitan Erat. Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat. International Energy Agency (IEA). 2007. Key World Energy Statistic 2007. IEA. Islam, N. 1995. Growt Empiricas : A Panel Data Approach. The Querterly Journal of Economics. Judge. G,G.1985. Introduction to the Theory and Practice of Econometricse. New York. Kleijwer, A. et all. 1990. Firm Size and Demand for Energy in Dutch Manufacturing, 1978-1986. Small Business economics 2: 171-181. Kumar, A. 2003. Energy Intensity : A Quantitative Exploration for Indian Manufacturing. Indira Gandhi Institute of Development Research. Mumbai. Nicholson, W. 1998. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extension. 8th Edition. The Dryden Press, New York.
Nuryanti. 2006. Analisis Karakteristik Konsumsi Energi Pada Rumah Tangga di Indonesia. Pusat Pengembangan Energi Nuklir (PPEN) BATAN. Phylipsen, D. dll. 2002. Benchmarking the energy efficiency of Dutch industry: an assessment of the expected effect on energy consumption and CO Emissions. Department of Science, Technology and Society, Faculty of Chemistry, Utrecht University, Padualaan 14, 3584 CH Utrecht, Netherlands. Sugiyono, A. 2004. Energy Supply Optimization With Considering the Economic Crisis in Indonesia. PTPSE – BPPT. ----------------. 2005. Perubahan Paradigma Kebijakan Energi Menuju Pembangunan yang Berkelanjutan. PTPSE – BPPT . Thollander, P. et all. 2007. Energy policies for increased industrial energy efficiency: Evaluation of a local energy programme for manufacturing SMEs. Department of Management and Engineering, Division of Energy Systems, Linkoping University, SE-581 83 Linkoping, Sweden. Worrell , E. et all. 1997. Energy intensity in the iron and steel industry: a comparison of physical and economic indicators. Utrecht University, Department of Science, Technology and Society, Padualaan 14, NL-3584 CH Utrecht, Netherlands.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Estimasi Fungsi Intensitas Energi dengan Menggunakan Fixed Effect Model Fixed-effects (within) regression
Number of obs =
Group variable (i): ISICrev3_2~g R-sq: within = 0.7021 between = 1049 overall = 0.3728
Number of groups = Obs per group: min = avg = max = F(5,110) Prob > F
corr(u_i, Xb) =
-0.5118
LEnergyInt~y LTWO_V1115 LTWO_ZPSVCU VerIntegra RepIntesn _cons sigma_u sigma_e rho F test that all u_i=0:
Coef. -0.8084425 0.6102514 -3.631191 -0.2134876 4.239635 0.78576579 0.50882546 0.70455994
Std. Err. 0.0573719 0.1216769 0.6355729 0.3315752 2.184376
t -14.09 5.02 -5.71 -0.64 1.94
P>t 0.000 0.000 0.000 0.521 0.055
(fraction of variance due to u_i) F(22, 111) = 9.40
138 23 6 6 6 65.4 0 [95persen Conf. -0.9221288 0.3691405 -4.890622 -0.8705259 -0.088851
Interval] -0.694756 0.8513623 -2.371761 0.4435507 8.568122
Prob > F = 0.0000
Lampiran 2. Hasil Estimasi Fungsi Intensitas Energi dengan Menggunakan Two Way Error Components Fixed Effect Random-effects Group variable
R-sq:
Random effects corr(u_i, X) LEnergyInt~y LTWO_V1115 LTWO_ZPSVCU VerIntegra RepIntesn DummyIndu~16 DummyIndu~17 DummyIndu~18 DummyIndu~19 DummyIndu~20 DummyIndu~21 DummyIndu~22 DummyIndu~23 DummyIndu~24 DummyIndu~25 DummyIndu~26 DummyIndu~27 DummyIndu~28 DummyIndu~29 DummyIndu~30 DummyIndu~31 DummyIndu~32 DummyIndu~33 DummyIndu~34 DummyIndu~35 DummyIndu~36 DummyIndu~37 _Iyear_2001 _Iyear_2002 _Iyear_2003 _Iyear_2004 _Iyear_2005 _cons sigma_u sigma_e
GLS regression ISICrev3_2~g within between overall u_i ~ Gaussian = 0 (assumed) Coef. -0.8122438 0.2984468 -3.07651 -0.1532397 -0.7440432 0.9583924 -0.4267213 -0.6131071 -0.1772698 0.2242769 -0.7451581 -0.9041784 0.4553106 -0.0502713 1.306821 0.8055055 -0.2151359 -0.3226213 -3.786253 -0.2980809 -0.328961 -1.421942 1.071964 0.3948399 -0.1040212 -2.467751 0.0009252 0.3109163 0.3780245 0.6163888 0.6608367 10.40585 0 0.4529039
0.7746 1 0.8466
Std.Err. 0.0527 0.13427 0.58371 0.29615 0.38077 0.26506 0.28596 0.30156 0.28378 0.31532 0.40201 0.64942 0.27885 0.26939 0.33576 0.30926 0.31908 0.33637 0.86878 0.3425 0.30974 0.52254 0.40775 0.38261 0.30109 0.7209 0.15121 0.14598 0.15769 0.16004 0.17158 2.67303
Number of obs Number of groups Obs per group: min avg max
= = = = =
138 23 6 6 6
Wald chi2(32) = 584.99 Prob > chi2 = 0 Z P>z 95persenConf. Interval] -15.41 0 -0.91553 -0.70896 2.22 0.026 0.035284 0.56161 -5.27 0 -4.22057 -1.93245 -0.52 0.605 -0.73369 0.427209 -1.95 0.051 -1.49034 0.002256 3.62 0 0.438885 1.4779 -1.49 0.136 -0.9872 0.133758 -2.03 0.042 -1.20416 -0.02206 -0.62 0.532 -0.73346 0.378922 0.71 0.477 -0.39375 0.842302 -1.85 0.064 -1.53308 0.042759 -1.39 0.164 -2.17702 0.368667 1.63 0.103 -0.09122 1.001843 -0.19 0.852 -0.57827 0.477728 3.89 0 0.64874 1.964902 2.6 0.009 0.199369 1.411642 -0.67 0.5 -0.84052 0.410245 -0.96 0.337 -0.98189 0.336645 -4.36 0 -5.48904 -2.08347 -0.87 0.384 -0.96937 0.37321 -1.06 0.288 -0.93603 0.278109 -2.72 0.007 -2.44611 -0.39777 2.63 0.009 0.272783 1.871146 1.03 0.302 -0.35506 1.144737 -0.35 0.73 -0.69414 0.486102 -3.42 0.001 -3.88069 -1.05481 0.01 0.995 -0.29544 0.297287 2.13 0.033 0.024804 0.597028 2.4 0.017 0.068956 0.687093 3.85 0 0.302722 0.930056 3.85 0 0.324551 0.997123 3.89 0 5.166795 15.6449 Rho 0 (fraction of variance due to u_i)
Lampiran 3. Hasil Estimasi Fungsi Intensitas Energi dengan Menggunakan Panel Corrected Standart Error Group variable : ISICrev3_2dig Time variable : year Panels : correlated (balanced) Autocorrelation: common AR(1) Estimated covariances = Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
276 1 32
Variabel
Coef.
LTWO_V1115 LTWO_ZPSVCU VerIntegra RepIntesn DummyIndu~16 DummyIndu~17 DummyIndu~18 DummyIndu~19 DummyIndu~20 DummyIndu~21 DummyIndu~22 DummyIndu~23 DummyIndu~24 DummyIndu~25 DummyIndu~26 DummyIndu~27 DummyIndu~28 DummyIndu~29 DummyIndu~30 DummyIndu~31 DummyIndu~32 DummyIndu~33 DummyIndu~34 DummyIndu~35 DummyIndu~36 DummyIndu~37 _Iyear_2001 _Iyear_2002 _Iyear_2003 _Iyear_2004 _Iyear_2005 _cons Rho
-0.8098552 0.2893612 -2.997336 -0.0879505 -0.7730387 0.962849 -0.4279141 -0.6324262 -0.1832783 0.2170147 -0.7780425 -0.934923 0.4490023 -0.0562581 1.284073 0.7946793 -0.2246162 -0.3320354 -3.864342 -0.3129053 -0.3445118 -1.458883 1.042589 0.3732721 -0.1105828 -2.510503 0.0103848 0.3185515 0.3828299 0.6289502 0.6735738 10.51201 -0.0870341
Number of obs : 138 Number of groups : 23 Obs per group: min : 6 avg : 6 max : 6 R-squared : 0.8536 Wald chi2(10) : 216.77 Prob > chi2 : 0 Panel-corrected [95persen Std. Err. z P>z Conf. 0.0450637 -17.97 0 -0.8981784 0.131216 2.21 0.027 0.0321827 0.7979828 -3.76 0 -4.561353 0.304639 -0.29 0.773 -0.685032 0.3539239 -2.18 0.029 -1.466717 0.0825644 11.66 0 0.8010258 0.1962262 -2.18 0.029 -0.8125103 0.2095513 -3.02 0.003 -1.043139 0.1418858 -1.29 0.196 -0.4613694 0.1964885 1.1 0.269 -0.1680957 0.3820511 -2.04 0.042 -1.526849 0.6783215 -1.38 0.168 -2.264409 0.1226091 3.66 0 0.208693 0.1624901 -0.35 0.729 -0.3747329 0.2542311 5.05 0 0.7857894 0.1997769 3.98 0 0.4031238 0.2205096 -1.02 0.308 -0.656807 0.2635629 -1.26 0.208 -0.8486092 0.9179358 -4.21 0 -5.663464 0.2414043 -1.3 0.195 -0.786049 0.2715402 -1.27 0.205 -0.8767209 0.521538 -2.8 0.005 -2.481079 0.4151528 2.51 0.012 0.228904 0.3127065 1.19 0.233 -0.2396213 0.2890109 -0.38 0.702 -0.6770337 0.7201908 -3.49 0 -3.922051 0.0755403 0.14 0.891 -0.1376714 0.0628621 5.07 0 0.195344 0.0875102 4.37 0 0.211313 0.0942562 6.67 0 0.4442115 0.1157978 5.82 0 0.4466143 2.735413 3.84 0 5.1507
Interval] -0.7215321 0.5465398 -1.433318 0.5091309 -0.0793607 1.124672 -0.0433179 -0.2217132 0.0948128 0.602125 -0.0292361 0.3945626 0.6893117 0.2622167 1.782357 1.186235 0.2075746 0.1845383 -2.065221 0.1602384 0.1876973 -0.4366876 1.856273 0.9861655 0.4558681 -1.098955 0.1584411 0.4417591 0.5543468 0.813689 0.9005333 15.87332
Lampiran 4. Hasil Uji Heteroskedastisitas Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients: generalized least squares Panels: heteroskedastic Correlation: no autocorrelation Estimated covariances = 23 Estimated autocorrelations = 0 Estimated coefficients = 33 Log likelihood = LEnergyInt~y LTWO_V1115 LTWO_ZPSVCU labIntens VerIntegra RepIntesn DummyIndu~16 DummyIndu~17 DummyIndu~18 DummyIndu~19 DummyIndu~20 DummyIndu~21 DummyIndu~22 DummyIndu~23 DummyIndu~24 DummyIndu~25 DummyIndu~26 DummyIndu~27 DummyIndu~28 DummyIndu~29 DummyIndu~30 DummyIndu~31 DummyIndu~32 DummyIndu~33 DummyIndu~34 DummyIndu~35 DummyIndu~36 DummyIndu~37 _Iyear_2001 _Iyear_2002 _Iyear_2003 _Iyear_2004
0.6550906 Coef. -0.9946625 0.4670333 -59888.88 -2.878078 0.2494045 -1.032586 1.048766 -0.1153064 -0.4654841 -0.1595435 0.2420211 -0.8929357 -1.086212 0.322031 -0.0553373 1.323757 0.6347999 -0.3944577 -0.3132557 -3.022325 -0.5356636 -0.7477658 -1.364123 0.6931038 0.0419953 0.3209252 -2.102833 0.1012298 0.3731405 0.4290028 0.3379686
Std. Err. 0.0127962 0.0532505 6626.674 0.284501 0.0589916 0.182798 0.1087952 0.1550498 0.1175478 0.1123335 0.1485816 0.2205677 0.4706824 0.1152261 0.1494852 0.1330536 0.1208974 0.1725076 0.1853147 0.5058423 0.1534703 0.2766187 0.3020973 0.2686282 0.1986917 0.2462157 0.4427594 0.0472919 0.0499177 0.0584829 0.049326
z -77.73 8.77 -9.04 -10.12 4.23 -5.65 9.64 -0.74 -3.96 -1.42 1.63 -4.05 -2.31 2.79 -0.37 9.95 5.25 -2.29 -1.69 -5.97 -3.49 -2.7 -4.52 2.58 0.21 1.3 -4.75 2.14 7.48 7.34 6.85
Number of obs = Number of groups = Time periods = Wald chi2(32) = Prob > chi2 = P>z 95persenConf. 0 -1.019743 0 0.3626642 0 -72876.92 0 -3.435689 0 0.133783 0 -1.390864 0 0.8355318 0.457 -0.4191983 0 -0.6958735 0.156 -0.379713 0.103 -0.0491936 0 -1.32524 0.021 -2.008733 0.005 0.096192 0.711 -0.3483229 0 1.062977 0 0.3978453 0.022 -0.7325664 0.091 -0.6764659 0 -4.013758 0 -0.8364599 0.007 -1.289929 0 -1.956223 0.01 0.1666021 0.833 -0.3474334 0.192 -0.1616488 0 -2.970625 0.032 0.0085393 0 0.2753036 0 0.3143783 0 0.2412914
138 23 6 149579.85 0 Interval] -0.9695823 0.5714023 -46900.83 -2.320466 0.3650259 -0.674309 1.262001 0.1885856 -0.2350947 0.0606261 0.5332357 -0.460631 -0.1636914 0.5478701 0.2376484 1.584538 0.8717546 -0.056349 0.0499545 -2.030892 -0.2348673 -0.2056031 -0.7720231 1.219605 0.4314239 0.8034991 -1.23504 0.1939203 0.4709774 0.5436272 0.4346459
Lanjutan lampiran 4 Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients: generalized least squares Panels: homoskedastisitas Correlation: no autocorrelation Estimated covariances = 1 Estimated autocorrelations = 0 Estimated coefficients = 33 Log likelihood = -68.30392 LEnergyInt~y Coef. Std. Err. z LTWO_V1115 -0.81224 0.046186 -17.59 LTWO_ZPSVCU 0.298447 0.117677 2.54 VerIntegra -3.07651 0.51158 -6.01 RepIntesn -0.15324 0.259555 -0.59 DummyIndu~16 -0.74404 0.333717 -2.23 DummyIndu~17 0.958392 0.232304 4.13 DummyIndu~18 -0.42672 0.250625 -1.7 DummyIndu~19 -0.61311 0.264295 -2.32 DummyIndu~20 -0.17727 0.248708 -0.71 DummyIndu~21 0.224277 0.276358 0.81 DummyIndu~22 -0.74516 0.352327 -2.11 DummyIndu~23 -0.90418 0.569169 -1.59 DummyIndu~24 0.455311 0.244389 1.86 DummyIndu~25 -0.05027 0.236101 -0.21 DummyIndu~26 1.306821 0.294269 4.44 DummyIndu~27 0.805506 0.271042 2.97 DummyIndu~28 -0.21514 0.279647 -0.77 DummyIndu~29 -0.32262 0.294799 -1.09 DummyIndu~30 -3.78625 0.76142 -4.97 DummyIndu~31 -0.29808 0.300176 -0.99 DummyIndu~32 -0.32896 0.271459 -1.21 DummyIndu~33 -1.42194 0.457969 -3.1 DummyIndu~34 1.071964 0.357364 3 DummyIndu~35 0.39484 0.335326 1.18 DummyIndu~36 -0.10402 0.263881 -0.39 DummyIndu~37 -2.46775 0.631812 -3.91 _Iyear_2001 0.000925 0.132522 0.01 _Iyear_2002 0.310916 0.127939 2.43 _Iyear_2003 0.378025 0.138204 2.74 _Iyear_2004 0.616389 0.14026 4.39 _Iyear_2005 0.660837 0.150374 4.39 _cons 10.40585 2.342706 4.44 local df = e(N_g) - 1 . . lrtest hetero, df(`df') (log-likelihoods of null models cannot compared) Likelihood-ratio test (Assumption: . nested in hetero)
Number of obs = Number of groups = Time periods = Prob > chi2 = [95persen P>z Conf. 0 -0.90277 0.011 0.067805 0 -4.07919 0.555 -0.66196 0.026 -1.39812 0 0.503085 0.089 -0.91794 0.02 -1.13112 0.476 -0.66473 0.417 -0.31737 0.034 -1.43571 0.112 -2.01973 0.062 -0.02368 0.831 -0.51302 0 0.730064 0.003 0.274274 0.442 -0.76323 0.274 -0.90042 0 -5.27861 0.321 -0.88642 0.226 -0.86101 0.002 -2.31955 0.003 0.371544 0.239 -0.26239 0.693 -0.62122 0 -3.70608 0.994 -0.25881 0.015 0.060161 0.006 0.10715 0 0.341484 0 0.366108 0 5.814225
LR chi2(22) = Prob > chi2 =
137.92 0
138 23 6 0 Interval] -0.72172 0.529089 -2.07383 0.355479 -0.08997 1.4137 0.064495 -0.0951 0.310189 0.765928 -0.05461 0.211372 0.934304 0.412479 1.883578 1.336737 0.332962 0.255175 -2.2939 0.290254 0.203088 -0.52434 1.772385 1.052066 0.413175 -1.22942 0.260664 0.561671 0.648899 0.891293 0.955565 14.99747
Lampiran 5. Hasil Uji Autokorelasi dengan Menggunakan Wooldridge Test Linear regression
Number of clusters (ISICrev3_2dig)
= 23
Number of obs F( 10, 22) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
115 150.98 0 0.8027 0.5902
-13.72
0
[95persen Conf. -0.95521
0.221215 0.971686 0.332341
1.47 -3.99 -1.86
0.154 0.001 0.077
-0.13254 -5.89577 -1.30619
0.785 -1.86547 0.072274
0.158297 0.203606 0.211213 0.248836 0.288011
-0.32 1.34 1.74 2.19 2.06
0.755 0.194 0.095 0.039 0.052
-0.37823 -0.1497 -0.06965 0.0287 -0.00446
0.278347 0.694812 0.806411 1.060808 1.19014
Variabel LTWO_V1115 D1. LTWO_ZPSVCU D1. VerIntens D1. RepIntesn D1. DummyIndu~16 D1. DummyIndu~17 D1. DummyIndu~18 D1. DummyIndu~19 D1. DummyIndu~20 D1. DummyIndu~21 D1.
Coef. -0.82977
Std. Err. 0.060487
0.326228 -3.88062 -0.61696 (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped)
DummyIndu~22 D1. DummyIndu~23 D1. DummyIndu~24 D1. DummyIndu~25 D1. DummyIndu~26 D1. DummyIndu~27 D1. DummyIndu~28 D1. DummyIndu~29 D1. DummyIndu~30 D1. DummyIndu~31 D1. DummyIndu~32 D1. DummyIndu~33 D1. DummyIndu~34 D1. DummyIndu~35 D1. DummyIndu~36 D1. DummyIndu~37 D1. _Iyear_2001 D1. _Iyear_2002 D1. _Iyear_2003 D1. _Iyear_2004 D1. _Iyear_2005 D1.
(dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) (dropped) -0.04994 0.272558 0.368382 0.544754 0.592842
Wooldridge test for autocorrelation in panel data H0: no first-order autocorrelation F( 1, 22) = 8.498 Prob > F = 0.0080
t
P>t
Interval] -0.70433
Lampiran 6. Hausman Test . ***hausman test Fixed-effects (within) regression Group variable (i): ISICrev3_2~g R-sq: within = 0.7021 between = 1049 overall = 0.3728 corr(u_i, Xb) =
-0.5118
LEnergyInt~y LTWO_V1115 LTWO_ZPSVCU VerIntegra RepIntesn _cons sigma_u sigma_e rho F test that all u_i=0:
Coef. -0.8084425 0.6102514 -3.631191 -0.2134876 4.239635 0.78576579 0.50882546 0.70455994
Random-effects
GLS regression (i): ISICrev3_2~g 0.6972 0.1018 0.4022 u_i ~ Gaussian = 0 (assumed)
Group variable R-sq: within between overall Random effects corr(u_i, X) LEnergyInt~y LTWO_V1115 LTWO_ZPSVCU VerIntegra RepIntesn _cons sigma_u sigma_e rho
Coef. -0.7368444 0.6627476 -3.54105 -0.3729059 1.540184 0.54397743 0.50882546 0.53335176
Number of obs = Number of groups = Obs per group: min = avg = max = F(5,110) Prob > F Std. Err. 0.0573719 0.1216769 0.6355729 0.3315752 2.184376
t -14.09 5.02 -5.71 -0.64 1.94
P>t 0.000 0.000 0.000 0.521 0.055
(fraction of variance due to u_i) F(22, 111) = 9.40
Number of obs
z
=
P>z -13.04 7.46 -6.09 -1.11 1.16
(fraction of variance due to u_i)
Interval] -0.6947563 0.8513623 -2.371761 0.4435507 8.568122
Prob > F = 0.0000
Number of groups = Obs per group: min = avg = max = Wald chi2(5) = Prob > chi2 = Std. Err. 0.0565227 0.0888168 0.581359 0.3370416 1.332658
138 23 6 6 6 65.4 0 [95persen Conf. -0.9221288 0.3691405 -4.890622 -0.8705259 -0.088851
0 0 0 0.269 0.248
138 23 6 6 6 229.89 0 [95persen Conf. -0.8476269 0.48867 -4.680493 -1.033495 -1.071778
Interval] -0.626062 0.8368253 -2.401607 0.2876835 4.152146
Lanjutan lampiran 6 Note: the rank of the differenced variance matrix (1) does not equal the number of coefficients being tested (5); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.
---- Coefficients ---(B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) . Difference S.E. LTWO_V1115 -0.8084425 -0.736844 -0.071598 0.0098346 LTWO_ZPSVCU 0.6102514 0.6627476 -0.052496 0.0831676 VerIntegra -3.631191 -3.54105 -0.090141 0.2568553 RepIntesn -0.2134876 -0.372906 0.159418 . b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg (b) fixed
Test: Ho: difference in coefficients not systematic chi2(4) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 59.37 Prob>chi2 = 0.000 (V_b-V_B is not positive definite)
Lampiran 7. Nilai Intensitas Energi pada Sektor Industri Menengah-Besar di Indonesia Kode Sektor/tahun ISIC 15 Industri makanan dan minuman 16 Industri pengolahan tembakau 17 Industri tekstil 18 Industri pakaian jadi 19 Industri kulit dan barang dari kulit 20 Industri kayu, barang-barang dari kayu (tidak termasuk furnitur), dan barang-barang anyaman 21 Industri kertas dan barang dari kertas 22 Industri penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman 23 Industri batu bara, pengilangan minyak bumi dan pengolahan gas bumi, barang-barang dari hasil pengilangan minyak bumi, dan bahan bakar nuklir 24 Industri kimia dan barangbarang dari bahan kimia 25 Industri karet dan barang dari karet 26 Industri barang galian bukan logam 27 Industri logam dasar 28 Industri barang dari logam, kecuali mesin dan peralatannya 29 Industri mesin dan perlengkapannya
2000
2001
2002
2003
2004
2005
0.01037
0.05165
0.03533
0.00769
0.01915
0.00832
0.01668
0.02068
0.02066
0.00372
0.01831
0.01601
0.10352 0.03987 0.05696
0.14271 0.08505 0.00232
0.09369 0.00486 0.15156
0.12229 0.07889 0.01466
0.11528 0.08534 0.09972
0.01632 0.17129 0.14539
0.04649
0.04352
0.05207
0.00761
0.04711
0.06519
0.03141
0.02001
0.02147
0.0022
0.04894
0.02576
0.0487
0.03701
0.03102
0.03275
0.11264
0.09467
0.15008
0.19221
0.03448
0.07549
0.39288
0.04996
0.02688
0.05184
0.03152
0.03246
0.05756
0.00408
0.05733
0.06847
0.07128
0.01199
0.01504
0.14152
0.06379
0.0757
0.076
0.06815
0.09486
0.09722
0.04541 0.06248
0.00388 0.03267
0.05277 0.06367
0.20388 0.0713
0.22568 0.10223
0.45605 0.08055
0.01704
0.03861
0.01856
0.04257
0.02137
0.02413
Lanjutan lampiran 7 30
31
32
33 34
35 36 37
Industri mesin dan peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data Industri mesin listrik lainnya dan perlengkapannya Industri radio, televisi, dan peralatan komunikasi, serta perlengkapannya Industri peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam dan lonceng Industri kendaraan bermotor Industri alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih Industri furnitur dan industri pengolahan lainnya Industri lainnya
0.06554
0.01066
0.04649
0.03632
0.0391
0.02419
0.07222
0.08736
0.03774
0.00655
0.20274
0.11039
0.01869
0.04359
0.06651
0.07661
0.19612
0.10422
0.05599
0.02559
0.06701
0.0985
0.03619
0.04746
0.03932
0.05612
0.26648
0.06253
0.13889
0.12951
0.12232
0.11842
0.08867
0.07859
0.17843
0.14592
0.02438 0.00832
0.03784 0.05456
0.12677 0.08866
0.01844 0.12253
0.16276 0.09581
0.1553 0.09929