ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON PENAWARAN KAKAO DI INDONESIA
OLEH SUNDORO ARY ARMANDA H14053975
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
SUNDORO ARY ARMANDA. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respon Penawaran Kakao di Indonesia (dibimbing oleh TONY IRAWAN). Sejak tahun 1987 ekspor Indonesia didominasi oleh sektor non-migas. Ekspor komoditas pertanian merupakan salah satu bagian penting dalam komposisi ekspor non-migas. Dari total komoditas pertanian tersebut, sub sektor yang memberikan kontribusi terbesar dibandingkan sub sektor lainnya adalah sub sektor perkebunan, yaitu sebesar 87,57 persen di tahun 2004 dengan total nilai ekspor sebesar 7,4 milyar US$. Salah satu komoditas perkebunan yang berkontribusi terhadap ekspor perkebunan Indonesia adalah kakao. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Mengingat besarnya potensi komoditas ini dalam perekonomian, maka tak heran pengembangan komoditas ini terus dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi respon penawaran kakao di Indonesia dan menduga respon penawaran dari petani kakao dalam jangka pendek dan jangka panjang. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang dipergunakan adalah data time series dari tahun 1971 sampai dengan tahun 2003. Dalam menganalisis respon penawaran kakao dalam penelitian ini, digunakan software Microsoft Excel 2007 dan Eviews 5.1. Metode analisis yang digunakan adalah model penyesuaian parsial Nerlove, model ini sering digunakan untuk studi mengenai respon penawaran berbagai komoditi berupa persamaan tunggal regresi berganda dengan fungsi Double Natural Logaritma atau Logaritma Natural Ganda (Ln) dengan menggunakan teknik estimasi Ordinary Least Square (OLS). Hasil penelitian menunjukan bahwa respon luas area dipengaruhi secara nyata oleh variabel harga kopi tahun sebelumnya, harga CPO tahun sebelumnya, luas area tahun sebelumnya, harga kakao tahun sebelumnya, dan curah hujan tahun sebelumnya. Respon produktivitas dipengaruhi secara nyata oleh variabel upah riil tahun berjalan, produktivitas tahun sebelumnya, harga riil kakao tahun berjalan, harga riil pupuk urea tahun berjalan, dan curah hujan tahun berjalan. Kebijakan untuk meningkatkan penawaran kakao dalam jangka pendek akan lebih tepat bila ditekankan pada usaha intesifikasi sedangkan untuk jangka panjang adalah kebijakan yang mengarah pada usaha ekstensifikasi Kata kunci: respon area, respon produktivitas, respon penawaran.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON PENAWARAN KAKAO DI INDONESIA
Oleh SUNDORO ARY ARMANDA H14053975
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
i
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respon Penawaran Kakao di Indonesia
Nama Mahasiswa
: Sundoro Ary Armanda
Nomor Registrasi Pokok : H14053975
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Tony Irawan, M. App Ec NIP. 19820306 200501 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Kelulusan :
ii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2009
Sundoro Ary Armanda H14053975
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Sundoro Ary Armanda, lahir di Bekasi pada tanggal 28 februari 1987 dari pasangan Sukarman dan Sendang Sundari. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara. Perjalanan akademis penulis dimulai dari TK. Ritrika Patal Bekasi pada tahun 1992-1993, SDN Bekasi Timur2 pada tahun 1993-1999, SMPN 18 Bekasi pada tahun 1999-2002, dan SMUN 1 Bekasi pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Pada tahun kedua di IPB penulis memilih Program Studi Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
4
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penelitian ini dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respon Penawaran Kakao Di Indonesia. Kakao merupakan salah satu komoditi perkebunan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti faktorfaktor yang mempengaruhi penawaran kakao di Indonesia. selain itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departeman Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis memperoleh bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kata terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada: 1
Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu mengalirkan do’a dan kasih sayangnya
2
Bapak Tony Irawan, M. App Ec. Sebagai pembimbing skripsi yang telah menyempatkan waktunya untuk dapat membimbing dan memberi arahan kepada peneliti dalam melakukan penelitian ini.
3
Seluruh staf Departemen Ilmu Ekonomi
4
Lembaga Penelitian interCAFE yang telah banyak memberikan bantuan dan bimbingannya dalam penelitian ini.
5
Teman-teman BARISTAR Squad
6
Teman-teman Supply Response Team ( Gina Ayu Putri, Renny Fitria Sari, Tias Arum N, Reza Lukiawan, Lukman Kresno, M.iqbal, I Made Sanjaya, Thomson M.S, Grace Sintari S, Dwi Maharani P).
7
Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 42.
8
Teman-teman B26 angkatan 42
9
Teman-teman di D’ OZONE
10 Teman-teman Merpati Putih Cabang Bekasi dan Merpati Putih Cabang Bogor
5
Akhir kata, penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain, terutama bagi para pembaca yang berminat untuk melanjutkan dan menyempurnakan penelitian ini.
Bogor, Agustus 2009
Sundoro Ary Armanda H14053975
6
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..............................................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................................ viii I. PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang......................................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah............................................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................................... 7 1.4. Manfaat Penelitian.................................................................................................. 7 1.5. Ruang Lingkup Penelitian..................................................................................... 8 II. TINJAUAN PUSATAKA............................................................................................. 9 2.1. Komoditi Kakao.....................................................................................................
9
2.2. Hasil Penelitian Terdahulu....................................................................................... 10 2.3. Kerangka Pemikiran................................................................................................ 16 2.4. Hipotesis Penelitian................................................................................................... 25 III. METODE PENELITIAN................................................................................................. 27 3.1. Jenis dan Sumber Data.............................................................................................. 27 3.2. Metode Analisis......................................................................................................... 27 3.3. Model Ekonometrika................................................................................................ 28 3.3.1. Respon Luas Area....................................................................................... 28 3.3.2. Respon Produktivitas.................................................................................... 29 3.3.3. Respon Penawaran........................................................................................ 30 3.4. Evaluasi Model.......................................................................................................... 30 3.4.1. Uji Kriteria Ekonomi.................................................................................... 30 3.4.2. Uji Kriteria Statistik...................................................................................... 30 3.4.3. Uji Kriteria Ekonometrika...................................................................... 32 IV. GAMBARAN UMUM KAKAO ................................................................................... 35 4.1. Perkembangan Produksi.........................................................................................35 4.2. Perkembangan Ekspor............................................................................................37 4.3. Perkembangan Impor..............................................................................................38
7
4.4. Perkembangan Harga............................................................................................ 40 V. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................................... 42 5.1. Respon Luas Area Tanam............................................................................ 42 5.2. Respon Produktivitas.................................................................................... 46 5.3. Respon Penawaran........................................................................................ 51 VI. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................................... 54 6.1. Kesimpulan...................................................................................................... 54 6.2. Saran................................................................................................................ 55 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 57 LAMPIRAN............................................................................................................................. 59
8
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.1. Peran Sektor Pertanian Terhadap Sektor Non-Migas................................................... 1 1.2. Luas Area dan Produksi Perkebunan Kakao di Indonesia........................................... 2 1.3. Peran Kakao Dalam Sektor Pertanian........................................... ................................ 4 4.1. Perkembangan Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2004-2008.................................. 36 4.2. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Beberapa Negara Produsen Utama Tahun 1999/2000-2003/2004........................................................................................ 37 4.3. Perkembangan Impor Biji Kakao Beberapa Negara Importir Utama Tahun 1999/2000-2003/2004............................................................ 38 5.1. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Respon Area Tanam Kakao di Indonesia Tahun 1971-2003......................................................................... 41 5.2. Hasil Pendugaan Parameter Respon Produktivitas Kakao di Indonesia Tahun 1971-2003.................................................................................... 45 5.3. Nilai Elastisitas Luas Area, Produktivitas, dan Penawaran Kakao......................... 49
9
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
2.1 Kurva Penawaran...............................................................................................................18 2.2. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Penelitian...................................................................24 4.1. Ekspor Kakao Indonesia Tahun 1969-2006. .......................................................38 4.2. Impor Kakao Indonesia Tahun 1975-2006.........................................................40
10
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Pendugaan Model Respon Luas Area Kakao...................................................59 2. Uji Normalitas Pada Model Luas Area Kakao................................................ 60 3. Uji Autokorelasi Pada Model Luas Area Kakao..............................................60 4. Uji Heteroskedastisitas Pada Model Luas Area Kakao....................................60 5. Uji Multikolinearitas Pada Model Luas Area Kakao.......................................61 6. Pendugaan Model Respon Produktivitas Kakao..............................................62 7. Uji Normalitas Pada Model Produktivitas Kakao........................................... 63 8. Uji Autokorelasi Pada Model Produktivitas Kakao.........................................63 9. Uji Heteroskedastisitas Pada Model Produktivitas Kakao...............................63 10. Uji Multikolinearitas Pada Model Produktivitas Kakao..................................64
11
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perkembangan nilai ekspor Indonesia sampai tahun 1986, masih didominasi oleh ekspor migas, namun sejak tahun 1987 ekspor Indonesia didominasi oleh sektor non-migas. Ekspor komoditas pertanian merupakan salah satu bagian penting dalam komposisi ekspor non-migas. Total nilai ekspor produk pertanian selama lima tahun terakhir menunjukkan trend yang meningkat, yaitu dari 3,8 milyar US$ di tahun 2000 menjadi 8,2 milyar US$ di tahun 2004. Dari total komoditas pertanian tersebut, sub sektor yang memberikan kontribusi terbesar dibandingkan sub sektor lainnya adalah sub sektor perkebunan, yaitu sebesar 87,57 persen di tahun 2004 dengan total nilai ekspor sebesar 7,4 milyar US$. Besarnya kontribusi tersebut menyebabkan sub sektor ini menjadi andalan Indonesia dalam ekspor di luar non-migas. Tabel 1.1. Peran Sektor Pertanian Terhadap Sektor non-migas No
Sektor
I II III
Sektor Industry Sektor Pertambangan Sektor Pertanian Komoditi Sektor Lainnya Nonmigas
IV
2001 (000.000 US$) 37.656,2 3.569,6 2.453,6
Peran (%) 86,20 8,17 5,62
2002 (000.000 US$) 38.708,8 3.743,7 2.589
Peran (%) 85,93 8,31 5,75
5,4
0,01
4,5
0,01
43.684,8
100,00
45.046
100,00
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian, 2005 (diolah)
Salah satu komoditas perkebunan yang berkontribusi terhadap ekspor perkebunan Indonesia adalah kakao. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa
12
negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada Tahun 2006, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 1.237.119 kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan nilai sebesar US $ 852.778.000. Mengingat besarnya potensi komoditas ini dalam perekonomian, maka tak heran pengembangan komoditas ini terus dilakukan. Dalam 40 tahun terakhir luas perkebunan kakao meningkat pesat dari 12.839 hektar pada Tahun 1967 menjadi 1.563.423 hektar pada Tahun 2008 dan produksi meningkat lebih dari 640 kali lipat dari 1.233 ton pada tahun 1967 menjadi 796.982 ton pada tahun 2008 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008) Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an dan tahun 2002, area perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha dimana sebagian besar (87,4%) merupakan perkebunan rakyat dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta. Tabel 1.2. Luas Area Dan Produksi Perkebunan Kakao Tahun 1998-2008 Tahun Luas Area (Ha) 1998 572.553 1999 667.715 2000 749.917 2001 821.449 2002 914.051 2003 964.223 2004 1.090.960 2005 1.167.046 2006 1.320.820 2007 1.442.045 2008 1.563.423 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008 (diolah).
Produksi (ton) 448.927 367.475 421.142 536.804 571.155 698.816 691.704 748.828 769.386 779.186 796.982
13
Keberhasilan perluasan area tersebut telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di pasar internasional. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote d’Ivoire) pada tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003. Tergesernya posisi Indonesia tersebut salah satunya disebabkan oleh makin mengganasnya hama penggerek buah kakao. Kondisi tersebut sempat membuat anjloknya produksi kakao sampai di bawah angka 400.000 ton dari 450.000 ton pada tahun 2002 (Sikumbang, 2003)1. Di samping itu, pembudidayaan kakao di Indonesia dihadapkan pada beberapa permasalahan seperti mutu produk yang masih rendah dan masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Namun, berkat kerja keras seluruh pihak, kini Indonesia telah kembali menjadi negara produsen kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai Gading, dengan luas area 1.563.423 ha dan produksi 795.581 ton ( Departemen Pertanian, 2009)2. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak (bulk cocoal) yang merupakan tanaman kakao dari jenis Forarestro dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia (finecocoal), yang merupakan tanaman kakao dari jenis Criolo dan Trinitario serta hasil persilangannya, oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Uraian di atas menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para pihak yang terkait untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih 1
www. jumacoklat.blogspot.com. Produksi Kakao Indonesia Anjlok di Bawah 400.000 Ton. [20 Agustus 2009]. 2 www. indonesia.go.id/id/index.php. Sosialisasi Gerakan Peningkatan Produksi Kakao Nasional [Portal Nasional Republik Indonesia]. [14 Juli 2009].
14
besar dari agribisnis kakao. Sehingga Indonesia tidak hanya dapat mengekspor kakao dalam bentuk biji kakao tetapi dalam bentuk produk kakao yang telah diolah. Melihat potensi yang besar dalam industri kakao, maka perlu kiranya dilakukan penelitian tentang respon penawaran kakao. Sehingga dapat diketahui respon dari produktivitas dan luas area tanaman kakao. 1.2. Perumusan Masalah Kakao menjadi komoditas yang berperan penting dalam pertanian karena merupakan komoditi pertanian yang sangat menjanjikan dalam penciptaan lapangan kerja dan penghidupan bagi petani karena memiliki prospek kedepan yang cerah, selain itu kakao juga berperan dalam menghasilkan devisa bagi negara yang di dapatkan dari ekspor produk tersebut yang terus mengalami kenaikan tiap tahunnya. Dalam Tabel 1.3. terlihat bahwa pada Tahun 2001 peran komoditas kakao dalam ekspor komoditas non-migas menempati urutan kedua dibandingkan dengan ekspor komoditi pertanian lainnya yaitu sebesar 0,63% dan terus mengalami peningkatan sampai pada Tahun 2002 menjadi 1,16%. Table 1.3. Peran Kakao Dalam Sektor Pertanian No
Sektor Pertanian
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Udang Biji coklat Kopi Ikan tongkol Kerang-kerangan Ikan lainnya The Tembakau Hasil Pertanian Lain Total
2001 (000.000 US$) 927,9 276,6 182,6 134,9 95 78,8 94,7 80,8 852,3 2.453,6
Peran (%) 2,12 0,63 0,42 0,31 0,22 0,18 0,22 0,18 1,33 5,62
2002 Peran (000.000 US$) (%) 829,9 1,84 521,3 1,16 218,8 0,49 126,4 0,28 106,7 0,24 103,6 0,23 98 0,22 66,5 0,15 517,8 1,15 2589 5,75
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian 2005 (diolah)
15
Pada tahun 2006 sektor ini telah menyerap tenaga kerja (petani) sebanyak 1.237.119 orang dan terus mengalami peningkatan sampai 1.526.271 pada tahun 2008. Nilai ekspor komoditi kakao juga terus mengalami peningkatan, pada tahun 1969 sebesar 155.000 US$ meningkat menjadi 852.778.000 US$ pada tahun 2006 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008) Keunggulan dari komoditi kakao tersebut membuat posisi kakao menjadi sangat penting dalam sektor pertanian. Dengan menjadi komoditi yang penting dalam pertanian, maka tidak menutup kemungkinan dinamisme komoditi kakao akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan kepada komoditi pertanian yang lain. Sayangnya peningkatan permintaan ekspor kakao Indonesia yang tinggi di dunia internasional tidak diikuti dengan permintaan industri pengolahan kakao domestik yang tinggi juga. Hal tersebut dikarenakan kurang berkembangnya industri pengolahan kakao di Indonesia. Industri pengolahan kakao domestik hanya menyerap sekitar 27% dari total produksi kakao domestik dan sisanya di ekspor ke pasar luar negeri. Namun, ternyata pasar domestik Indonesia juga mengimpor produk-produk olahan kakao. Kondisi tersebut tentunya merugikan, karena kita mengekspor komoditi yang bernilai jual rendah dan kemudian mengimpor komoditi yang memiliki nilai jual tinggi, sehingga menyebabkan terkurasnya cadangan devisa. Sektor komoditi kakao juga dihadapkan pada beberapa masalah yang cukup mengganggu perkembangan sektor ini, seperti : fluktuasi harga kakao yang sangat tinggi dan serangan hama penggerek kakao (PBK) yang menyebabkan turunnya mutu kakao domestik. Serangan hama PBK merupakan ancaman yang
16
serius bagi kelangsungan usaha perkebunan kakao karena belum ditemukan pengendalian hama yang efektif. Sejarah telah mencatat bahwa hama PBK telah tiga kali menghancurkan perkebunan kakao di Indonesia yaitu tahun 1845 di daerah Minahasa, tahun 1886 di sepanjang pantai Utara Jawa Tengah hingga Malang, Kediri dan Banyuwangi serta tahun 1958 di beberapa perkebunan kakao di Jawa (Roesmanto, 1991). Belajar dari pengalaman kita dimasa lalu, maka diperlukan upaya untuk meyelamatkan perkebunan kakao dari ancaman hama PBK, sehingga keberlanjutan agribisnis kakao dapat dipertahankan dan peranan perkebunan kakao bagi perekonomian dapat ditingkatkan. Upaya penanggulangan yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan gerakan pengendalian hama terpadu secara luas dan menyeluruh. Berkembangnya industrialisasi dan industri perumahan menyebabkan semakin tergerusnya lahan yang dapat digunakan untuk sektor pertanian, sehingga menyebabkan ketersediaan lahan bagi sektor pertanian semakin berkurang. Ketika lahan semakin berkurang, maka persaingan antara komoditas pertanian dalam penggunaan lahan yang semakin terbatas akan meningkat dan jumlah komoditas pertaniaan yang ditanam juga semakin berkurang. Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan, hanya komoditas - komoditas pertaniaan yang dianggap strategis dan menguntungkan saja yang akan ditanam. Dengan adanya persaingan antar komoditas-komoditas pertanian dalam penggunaan lahan yang terbatas tersebut, maka dinamisme dari suatu komoditi, baik luas area tanam, produktivitas, maupun harga, pasti akan mempengaruhi luas area tanam, produktivitas, dan harga dari komoditi-komoditi pertanian lainnya. Persaingan tersebut akan terjadi pada komoditi-komoditi penting dari sektor
17
pertanian yang memiliki karakter area tanam yang hampir sama sehingga dapat saling bersubtitusi dengan komoditi kakao. Dalam penelitian ini dibatasi hanya pada komoditi kopi, kelapa sawit, dan karet. Mengingat
pentingnya
komoditas
kakao
terhadap
perekonomian
Indonesia, maka sangat relevan apabila dilakukan analisis mengenai pengaruh yang di timbulkan dari dinamisme komoditi kakao terhadap komoditi pertanian yang lain, seperti luas area tanam, tingkat produktivitas, dan harga kakao terhadap harga, tingkat produktivitas, dan luas area tanam dari komoditi penting dari sektor pertanian lainnya. Oleh karena itu permasalahan yang akan di analisis dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi respon penawaran kakao di Indonesia ? 2. Bagaimana respon penawaran dari petani kakao dalam jangka pendek dan jangka panjang ? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan-permasalahan antara lain: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi respon penawaran kakao di Indonesia 2. Menduga respon penawaran dari petani kakao dalam jangka pendek dan jangka panjang 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna bagi semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan komoditi kakao, terutama bagi pemerintah, agar dapat
18
dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan mengenai komoditi kakao tersebut yang terkait dengan komoditi pertanian lainnya (kopi, kelapa sawit, dan karet). Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan, referensi, dan literatur bagi penelitian selanjutnya. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, penelitian ini dibatasi pada faktor-faktor yang mempengaruhi luas area dan produktivitas dari komoditi kakao di Indonesia. Penelitian ini juga dibatasi pada faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat elastisitas penawaran komoditas kakao di Indonesia. Keterbatasan dari penelitian ini adalah tidak dijelaskannya secara mendalam tentang kebijakan-kebijakan apa yang tepat untuk peningkatan penawaran kakao dan juga tidak dijelaskan secara mendalam tentang usaha tani dari komoditas kakao.
19
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komoditas Kakao Secara umum budidaya kakao (Theobroma cacao L.) terdiri atas pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen dan pasca panen. Sebelum penanaman pohon kakao, lahan ditanami pohon pelindung. Pembibitan kakao dilakukan dengan menyemaikan bijinya pada polibag sampai bibit berumur kurang lebih enam bulan. Setelah itu bibit dipindahkan ke lapangan, dengan lubang dan pohon pelindung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Jarak tanam kakao yaitu tiga meter dalam baris dan enam meter jarak antar baris, sehingga barisan pohon pelindung terletak diantara barisan tanaman kakao (Bafadal, 2000) Kegiatan dalam pemeliharaan tanaman kakao antara lain mempertahankan kesuburan
tanah,
penyiangan,
pengendalian
hama
dan
penyakit,
dan
pemangkasan. Pemangkasan dilakukan untuk menjaga agar tajuk tidak saling bersinggungan sehingga sinar matahari tidak terhalangi, sehingga merangsang pertumbuhan dan pembuahan. Tanaman kakao mulai berbuah setelah berumur tiga tahun dengan umur ekonomis 20 tahun. Pemanenan buah kakao dilakukan setelah buah yang merah menjadi orange dan buah hijau menjadi kuning. perubahan warna kulit tersebut menunjukkan bahwa buah tersebut sudah masak. Pada saat itu biji-biji di dalam buah mulai lepas dari dinding buah. Pengolahan biji kakao yang baru dipanen sampai siap untuk dipasarkan terdiri atas fermentasi, pencucian dan penjemuran. Proses fermentasi kakao biasanya dilakukan selama dua sampai tiga hari, selanjutnya dilakukan pencucian untuk menghindari kapang atau jamur. Setelah pencucian, biji kakao dikeringkan
20
dengan cara dijemur selama kurang lebih tiga hari, kemudian dilakukan sortasi sebelum dipasarkan ke pabrik pengolahan. Dalam industri pengolahan, biji kakao dapat digunakan untuk bahan baku pembuatan makanan (cocoa butter, cocoa cake, cocoa paste, cocoa powder), minuman, bahan baku farmasi, dan sebagai bahan campuran kosmetika. Selain itu kulit buah kakao dapat di diolah untuk bahan pakan ternak. 2.2. Hasil Penelitian Terdahulu 2.2.1. Kajian Respon Penawaran Penelitan Nurung (1997) tentang respon penawaran kopi di Bengkulu dengan pendekatan tidak langsung yaitu dengan respon luas area dan produktivitas. Dalam persamaan luas area, peubah penjelas yang dimasukkan adalah harga kopi, harga karet, upah rata-rata pekerja perkebunan dan peubah bedakala. Hasilnya menunjukkan bahwa luas area tanaman kopi tidak respon terhadap perubahan harga kopi, harga karet dan upah pekerja perkebunan. Pada persamaan respon produktivitas, peubah yang dimasukkan sebagai peubah penjelas adalah harga kopi, upah rata-rata pekerja perkebunan, tingkat teknologi, luas area dan peubah bedakala. Hasilnya menunjukkan bahwa produktivitas responsif terhadap perubahan teknologi, tetapi tidak responsif terhadap perubahan harga kopi, upah pekerja perkebunan dan peubah bedakala. Secara keseluruhan penawaran kopi di Bengkulu tidak respon terhadap perubahan harga kopi dan upah pekerja baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Elastisitas penawaran terhadap harga kopi dan upah pekerja dalam jangka panjang lebih besar dibandingkan dengan elastisitas jangka pendek, tetapi kedua nilai elastisitas tersebut lebiih kecil dari satu atau tidak elastis.
21
Gultom (1997) menelaah respon penawaran kentang di tiga sentra produksi kentang di Indonesia, yaitu Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim). Penawaran tersebut diduga secara tak langsung dengan menduga dahulu respon luas area dan produktivitas. Luas area panen dipengaruhi oleh harga cabai merah, harga pupuk urea, harga TSP, harga pestisida, trend dan peubah beda kala. Sedangkan respon produktivitas dipengaruhi oleh harga kentang, harga kedelai, harga kacang tanah, harga cabai merah, harga urea, harga TSP, harga pestisida, trend teknologi dan peubah beda kala. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa peubah respon area
yang
memberikan pengaruh nyata di Jabar adalah harga kacang tanah dan harga pestisida. Sedangkan di Jateng peubah respon area yang memberikan pengaruh nyata adalah harga kedelai dan trend teknologi, untuk kasus Jatim peubah respon area yang memberikan pengaruh nyata adalah harga cabai. Untuk respon produktivitas, yang memberikan pengaruh nyata di Jabar adalah harga kacang tanah dan harga pestisida, produktivitas tahun lalu dan trend teknologi. Di Jatim tidak satupun peubah penjelas yang memberikan pengaruh nyata terhadap penawaran. Penawaran dalam jangka pendek adalah inelastis di Jateng dan Jatim, sedangkan di Jabar elastis. Elastisitas penawaran dalam jangka panjang adalah elastis di Jateng dan Jatim, sedangkan di Jabar inelastis. 2.2.2. Kajian Kakao Lolowang (1999) melakukan analisis penawaran dan permintaan kakao Indonesia di pasar domestik dan internasional. Data yang digunakan adalah data sekunder runtun waktu 1969-1996. Analisa data menggunakan pendekatan ekonometrika dengan persamaan simultan.
22
Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku luas area tanaman di Indonesia bagian barat dan bagian timur dalam jangka pendek tidak responsif terhadap perubahan harga kakao domestik, harga kopi domestik, upah tenaga kerja dan tingkat bunga bank. Produktivitas kakao di bagian barat dan bagian timur dalam jangka pendek tidak responsif terhadap harga kakao domestik, harga pupuk dan area tanaman. Ekspor kakao Indonesia ke Amerika Serikat, Singapura, Jerman dalam jangka pendek tidak responsif terhadap harga kakao dunia, harga ekspor cocoa butter, produksi kakao Indonesia, nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga. Harga kakao dunia baik dalam jangka pendek dan jangka panjang responsif terhadap penawaran ekspor dunia, sedangkan terhadap permintaan impor dunia tidak responsif dalam jangka pendek tetapi responsif dalam jangka panjang. Harga kakao domestik tidak responsif terhadap harga kakao dunia, penawaran kakao domestik dan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek dan jangka panjang. Wardani, et al.(1997) menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk melihat hubungan antara masukan atau input dengan produktivitas kakao serta pengaruh faktor-faktor endowment (faktor manajemen, lingkungan, intrinsik tanaman) terhadap pergeseran fungsi produksi. Hasil studi ini menunjukan bahwa dari 21 peubah yang dimasukkan, terdapat 5 peubah yang berpengaruh nyata positif, 4 peubah berpengaruh negatif dan sisanya berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas kakao. Peubah yang berpengaruh nyata adalah penggunaan pupuk urea, pupuk kieserite, fungisida tembaga dan tenaga kerja tetap untuk pemupukan, masing-masing dengan nilai koefisien 0,02, 0,02, 0,01, 0,02 dan 0,02. Faktor endowment yang paling
23
berpengaruh terhadap pergeseran fungsi produksi adalah penerapan manajemen. Manajemen kebun yang baik dapat menggeser fungsi produksi ke atas hingga 284,79%, dan manajemen yang kurang baik menggeser fungsi produksi ke bawah hingga 44,20% dari fungsi produksi rata-rata. Tulisan lain untuk menduga fungsi produksi, dilakukan oleh Wardani (1997). Wardani menduga fungsi produksi potensial dalam suatu proses produksi dengan metode iterasi. Fungsi produksi yang digunakan adalah model Cobb-Douglas. Lokasi perkebunan yang digunakan sebagai sampel adalah PTPN XII. Peubah yang digunakan adalah produktivitas tanaman, penggunaan pupuk, pestisida, tenaga kerja, populasi tanaman kakao, populasi tanaman penaung, umur tanaman, jenis tanaman, masukan dan harga keluaran. Dari fungsi produksi potensial stokastik yang diperoleh digunakan untuk menduga efisiensi teknis dari lokasi kebun yang diamati. Hasilnya menunjukkan bahwa nisbah rata-rata produksi aktual dengan produksi potensial kebun yang diamati sebesar 59,91%. Kisaran hasil pendugaan efisiensi teknis 38,58 % -81%. Hal ini berarti melalui alokasi penggunaan input yang sama masih terdapat kemungkinan dilakukannya usaha peningkatan produktivitas melalui perbaikan teknik budidaya, perbaikan manajerial, perbaikan faktor lingkungan pertanaman dan perbaikan faktor intrinsik tanaman. Noorsapto (1994) mengadakan penelitian tentang keunggulan komparatif dan dampak kebijakan pemerintah pada komoditas kakao di perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis matriks kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM). Hasilnya menunjukkan bahwa semua sistem komoditas kakao adalah menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi
24
di mana ketiga bentuk pengusahaan mempunyai keunggulan komparatif dan secara finansial mempunyai keunggulan kompetitif (dalam arti sempit sebagai komoditas ekspor). Hal serupa dilakukan oleh Yudhistira (1997), yang mengadakan penelitian di PBN Rajamandala Jawa Barat dalam kajian keunggulan komparatif komoditas kakao. Baik secara finansial dan ekonomi pengusahaan komoditas kakao menguntungkan atau layak diteruskan. Dari analisis keuntungan privat diperoeh nilai RP. 303,909/kg kakao kering, dan dengan analisis ekonomi diperoleh keuntungan sebesar RP. 498,54/kg kakao kering. Ini berarti baik dalam pasar persaingan sempurna dan pasar terdistorsi atau ada campur tangan pemerintah maka pengusahaan kakao layak untuk dijalankan. Dengan menggunakan kriteria Rasio Biaya Privat (PCR) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC), pengusahaan komoditas kakao memiliki keunggulan komparatif dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu, yaitu berturut-turut 0,76 dan 0,58. 2.2.3. Kajian Respon Penawaran Kakao Suharto (1991) mengadakan penelitian tentang respon penawaran kakao menurut status pengusahaan dan wilayah produksi kakao di Indonesia. Secara spesifik tujuan penelitian ini untuk melihat pengaruh faktor ekonomis, seperti harga kakao, harga kopi sebagai komoditas pesaing dalam penggunaan lahan, dan faktor non ekonomis seperti curah hujan, hama penyakit, dan kebijaksanaan pemerintah terhadap perilaku petani perkebunan besar (PB) dan perkebunan rakyat (PR). Data yang digunakan adalah data sekunder kurun waktu 1967-1987. Enam wilayah sentra produksi di Indonesia dijadikan sebagai contoh, yaitu tiga di Indonesia bagian barat dan tiga di Indonesia timur. Pendekatan yang dilakukan dengan respon
25
area kakao dan respon penawaran kakao. Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku petani PR dalam menentukan area tanaman di wilayah Indonesia bagian barat lebih responsif terhadap faktor ekonomis dibanding dengan perilaku petani PR di Indonesia bagian timur. Perilaku petani PB dalam menentukan area tanam di bagian barat dan bagian timur lebih responsif terhadap faktor non ekonomis. Perilaku petani PR dalam menentukan produksi kakao di bagian barat dan timur dipengaruhi oleh tingkat harga kakao, sedangkan perilaku petani PB dipengaruhi oleh perubahan tingkat harga kakao. Karenanya kebijakan yang tepat di bagian barat adalah kebijakan harga, sedangkan di bagian timur Indonesia adalah pada pembukaan transportasi. Bafadal (2000) Menggunakan fungsi cobb-Douglas untuk melakukan analisis produksi dan respon penawaran kakao rakyat di Sulawesi Tenggara. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa input tenaga kerja berpengaruh positif terhadap produksi kakao rakyat. Sedangkan input pupuk urea tidak berpengaruh terhadap produksi kakao rakyat. Luas area kakao dipengaruhi oleh harga riil kakao, harga riil cengkeh, harga riil pupuk urea, dan luas area tahun sebelumnya. Luas area lebih respon terhadap dibandingkan dengan produktivitas terhadap peubahan harga riil kakao dalam jangka pendek dan jangka panjang. 2.3.
Kerangka Pemikiran
2.3.1. Respon Penawaran Respon
penawaran
komoditas
menunjukkan
pengaruh
harga
produksi dengan jumlah yang ditawarkan pada waktu tertentu, sedangkan faktor lain dianggap konstan. Faktor lain yang dimaksud seperti harga komoditi itu
26
sendiri, harga faktor produksi yang digunakan, harga produk alternatif, teknologi, subsidi, tujuan perusahaan, dan harapan harga yang akan datang (lipsey, 1995). 1. Harga Komoditas Dalam hipotesa ekonomi, hubungan antara harga suatu komoditas dengan jumlah penawarannya adalah positif, artinya ketika harga suatu komoditas meningkat maka permintaan atas komoditas tersebut juga meningkat, demikian pula sebaliknya. Karena dengan adanya peningkatan harga mendorong petani untuk meningkatkan produksinya dan kemudian menjualnya untuk mendapatkan keuntungan lebih. Elastisitas harga penjualan terhadap tingkat penawaran produsen merupakan gambaran dari perubahan tingkat penawaran produsen yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas itu sendiri. Nilai elastisitas adalah positif, ini berarti semakin besar elastisitas harga untuk penawaran maka jumlah yang ditawarkan akibat perubahan harga komoditas tersebut akan semakin besar. 2. Harga Produk Alternatif Komoditas alternatif dapat berupa komoditas subtitusi atau komoditas komplementer. Dalam hubungan komplementer, hubungan antara komoditas memiliki elastisitas penawaran yang positif. Dengan demikian, ketika terjadi peningkatan harga suatu komoditas komplemennya akan menyebabkan turunnya tingkat penawaran komoditas tersebut. Jika terjadi peningkatan harga pada komoditas subtitusinya maka akan menyebabkan meningkatnya tingkat penawaran komoditas tersebut. Hal tersebut disebabkan karena adanya hubungan elastisitas penawaran yang negative antara suau komoditas dengan komoditas subtitusinya.
27
3. Harga Faktor Produksi Harga faktor produksi adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dalam kegiatan produksinya. Jika terjadi kenaikan harga faktor produksi maka biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam kegiatan produksinya
meningkat
sehingga
menurunkan
tingkat
keuntungan
perusahaan. Hal tersebut direspon oleh perusahaan dengan mengurangi jumlah produksinya untuk menghemat biaya produksinya. Oleh sebab itu, meningkatnya harga faktor produksi akan menurunkan jumlah komoditas yang ditawarkan oleh perusahaan. 4. Tujuan Perusahaan Tujuan perusahaan juga mempengaruhi jumlah komoditas yang ditawarkan. Tujuan perusahaan tidak selalu berorientasi hanya pada usaha memaksimumkan keuntungan. Beberapa perusahaan bertujuan untuk memksimalkan volume produksi, sehingga selalu berusaha menghasilkan dan menjual lebih banyak untuk meningkatkan penawarannya. 5. Tingkat Penggunaan Teknologi Penggunaan teknologi dapat meningkatkan efisiensi waktu dan biaya. Dengan penggunaan teknologi perusahaan dapat meminimalkan biaya produksi dan memaksimalkan pendapatan yang kemudian akan meningkatkan keuntungan perusahaan. Dengan tingkat keuntungan yang meningkat perusahaan akan meresponnya dengan peningkatan volume produksinya, sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan teknologi akan meningkatkan penawaran suatu komoditas.
28
Pergeseran kurva penawaran dapat dilihat pada Gambar 2.1. terjadi apabila faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran berubah. Kurva penawaran bergeser ke kiri dari S0 ke S1 apabila terjadi penurunan penawaran yang diakibatkan oleh perubahan tertentu dalam tujuan yang ingin dicapai produsen atau adanya kenaikan harga faktor-faktor produksi yang penting untuk memproduksi suatu komoditi. Sebaliknya, pergeseran kurva penawaran kearah kanan dari S0 ke S2, menunjukan adanya peningkatan penawaran harga faktor-faktor produksi yang penting untuk memproduksi barang tersebut. harga S1 S0 S2
0
Jumlah
Sumber : Lipsey, 1995 Gambar 2.1. Kurva Penawaran
2.3.2. Peubah Bedakala Pada komoditas pertanian dibutuhkan jangka waktu tertentu dalam rangka penyesuaian produksi sebagai akibat perubahan harga yang disebut time lag, sehingga proses produksinya merupakan fungsi dari waktu disamping pebahpeubah lainnya. Dalam ekonometrika peubah time lag dikenal dengan istilah lagged variabel (Koutsoyiannis, 1977). Intriligator dalam bukunya ””Econometric Models, Techniques and Applications” yang terbit pada tahun 1978 menyatakan bahwa paling sedikit ada
29
tiga alasan digunakannya peubah bedakala. Alasan pertama adalah alasan teknis dalam produksi pertanian, dimana ada rentang waktu yang cukup lama antara kegiatan penanaman dan pemanenan hasil. Masalah kelembagaan merupakan alasan kedua, sedangkan yang terakhir menyangkut masalah psikologis, dimana perilaku kadang-kadang mendasari kebiasaan dan harapan di masa mendatang (Bafadal, 2000). Respon penawaran terjadi karena seluruh kegiatan yang ditentukan oleh produsen sangat ditentukan oleh faktor-faktor penentu pada waktu sebelumnya. Misal, pada tanaman kakao, penanaman pada tahun t akan menghasilkan pada waktu t+3 atau t+4. Oleh karena itu, jika lahan kakao dijadikan sebagai peubah bebas dan hasil sebagai peubah tidak bebas, maka pengaruh peubah bebas tidak akan kelihatan pada waktu yang sama, tetapi akan disebarkan pada waktu yang akan datang. 2.3.3. Respon Luas Area dan Produktivitas Fungsi luas area tanaman kakao dikembangkan dengan asumsi bahwa seorang petani akan menggunakan input yang diinginkan pada keadaan optimal. Misal, diasumsikan petani ingin menggunakan lahan secara optimal pada A*t, dimana luas tanam yang diinginkan tergantung pada nilai-nilai X. A*t = ao + a1Xt + et …………………………………………………………..…..(2.1) Peubah A*t tidak dapat diamati secara empiris, sehinga tidak dapat langsung diduga. Oleh karenanya perlu penyesuaian antara luas area tanaman aktual dengan yang diinginkan. Suatu model variabel beda kala dikemukakan oleh Nerlove (Koutsoyiannis, 1977) A t – At-1 = δ (A*t – At-1) + µc
…………………………………………………………………………….(2.2)
30
dimana, At – At-1 = Perubahan luas area tanaman aktual A*t – At-1= Perubahan luas area tanaman yang diinginkan δ = Koefisien penyesuaian, o≤ δ ≤ 1 Agar dapat diduga, persamaan (2.1) disubstitusikan ke persamaan (2.2), sehingga: At – At-1 = δ [ (ao + a1Xt +et) – At-1] +µt A = δ ao + δ a1Xt +(1- δ) At-1+ (µt + δ et) ………………......................................…(2.3) Persamaan respon luas area dirumuskan sebagai berikut : At = bo + biXt+ b2At-1 + vt …………………………….………………………..(2.4) dimana, b1 = δ ai, untuk i= 0,1,2 b2 = (1- δ) atau δ = (1-b2) vt = (µt + δ et) Dengan cara yang sama, maka respon produktivitas dirumuskan sebagai berikut : Yt = do +diXt+d2Yt-1 +vt …………………………….………………..……….(2.5) 2.3.4. Konsep Elastisitas Penawaran Respon penawaran diukur atau dinyatakan dengan elastisitas penawaran, yaitu besarnya perubahan jumlah komoditas yang ditawarkan akibat adanya perubahan harga, sedangkan faktor-faktor lain dianggap konstan. Dari persamaan (2.4) dan (2.5) dapat diperoleh hubungan antara peubah tak bebas dengan peubah bebas secara kuantitatif yang dinyatakan dalam elastisitas. Elastisitas jangka pendek (ESR) dan jangka panjang (ELR) untuk respon luas area dapat ditentukan dari persamaan berikut :
31
Ln A t = Ln b o + b1 LnPt + b2 Ln At-1 + vt ……………..……………………..(2.6) ESR
= b,
ELR
= ESR/ δ = ESR/ (1-b2)
dimana, Pt = Mewakili peubah bebas ke i δ = i-b 2 = Koefisien penyesuaian A = Luas area Dengan cara yang sama, maka elastisitas jangka pendek (ESR) dan jangka panjang (E LR ) untuk respon produktivitas dapat ditentukan dari persamaan berikut : Ln Yt = Ln do + d1 LnPt + d2LnYt-1 + vt
…………………………….…………………….………………….(2.7)
ESR = d1 ELR = ESR/ δ = ESR/(1-d2) Elastisitas
produksi
(elastisitas
penawaran)
diperoleh
dengan
pendekatan tidak langsung (indirect approach). Seperti yang dikemukakan oleh Nainggolan dan Ato (1987) bahwa produksi (Q) komoditas merupakan perkalian antara luas area dengan produktivitas. Q = A . Y, atau……………………………………….……….………….…(2.8) Ln Q = Ln A + Ln Y………………………………………..………….……..(2.9) Jika luas area adalah fungsi dari harga, dan produktivitas fungsi dari harga dan luas area, maka elastisitas penawaran, elastisitas luas area dan elastistas produktivitas terhadap harga dapat ditentukan. Dengan melakukan diferensial total terhadap harga (P), maka diperoleh hasil sebagai berikut : δ Ln Q/ δ P=( δ Ln A/ δ P) +( δ Ln Y/ δ P) …………………………...….…(2.10)
32
(δ Ln Q/ δ Q) . (δ Q/ δ P) = (δ Ln A/ δ A) . (δ A/ δ P) + (δ LnY/ δ Y) . (δ Y/ δ P) (1/Q) • (δ Q/ δ P) = (1/A) . (δ A/ δ P) + (1/I) . (δ Y/ δ P) …………………….(2.11) Dengan mengalikan Persamaan (2.11) dengan P, maka diperoleh : (P/Q) . (δ Q/ δ P) = (P/A) . (δ A/ δ P) + (P/Y) . (δ Y/ δ P) Dengan demikian elastisitas penawaran dirumuskan sebagai berikut : EQP = EAP + EYP ……………………..…………………………...………...…..(2.13) dimana, EQP = Elastisitas penawaran terhadap harga EYP = Elastisitas produktivitas terhadap harga EAP = Elastisitas luas area terhadap harga Dengan cara yang sama dapat ditentukan respon luas area dan produktivitas terhadap harga input lain, sehingga respon penawaran terhadap harga input lain dalam jangka pendek dan jangka panjang dapat diketahui. Efek kompetitif merupakan konsep yang terkandung pada penawaran. Bila terjadi penurunan harga kakao akan mengakibatkan petani kakao mengganti tanamannya dengan tanaman lain yang menjadi kompetitornya (misal tanaman cengkeh), dan sebaliknya bila terjadi kenaikan harga kakao akan memotivasi petani untuk memperluas area. Elastisitas penawaran adalah suatu besaran atau angka yang menunjukkan persentase perubahan komoditas yang ditawarkan sebagai akibat perubahan harga 1%. Elastisitas silang atas penawaran adalah angka yang menunjukkan persentase perubahan barang yang ditawarkan sebagai akibat perubahan harga komoditas lain 1%.
33
2.3.5. Kerangka Pemikiran Konseptual Penawaran komoditi pertanian dalam negeri pada dasarnya tergantung pada besar kecilnya produksi yang di hasilkan oleh produsen dalam negeri. Secara teknis, produksi merupakan perkalian antara luas area tanam dengan produktivitas. Karenanya respon penawaran suatu komoditas terdiri atas respon luas area tanam dan respon produktivitas. Respon area dan produktivitas dianalisis melalui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sampai saat ini belum ada hasil penelitian kakao yang menggunakan analisis respon penawaran dengan pendekatan respon luas area dan produktivitas. Analisis respon penawaran dikemukakan untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang kebijakan ekstensifikasi atau intensifikasi yang perlu diambil oleh petani maupun pemerintah dalam usaha meningkatkan penawaran kakao baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Respon penawaran dianalisis dengan menggunakan data runtun waktu, dengan prosedur ini memungkinkan menganalisis elastisitas penawaran baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dikemukakannya
analisis
penawaran
kakao
terkait
dengan
usaha
pengembangan tanaman kakao, sehingga akan bermanfaat bagi petani dan bagi pemerintah. Ketidakcermatan mengantisipasi respon penawaran kakao di pasar, akan menimbulkan timbulnya kelebihan produksi (surplus produksi) dan adanya penggunaan sumberdaya yang tidak atau kurang tepat. Hal yang paling dikhawatirkan adalah dapat menimbulkan kurangnya motivasi petani untuk meningkatkan produksinya. Dengan demikian, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku penawaran kakao perlu ditelaah dan dikaji lebih jauh.
34
HARGA KARET UPAH HARGA KOPI HARGA PUPUK UREA HARGA CPO
HARGA KOMODITAS PESAING
HARGA INPUT
LUAS AREA
PRODUKTIVITAS
RESPON PENAWARAN
LUAS AREA TAHUN SEBELUMNYA
PRODUKTIVITAS TAHUN SEBELUMNYA
HARGA KOMODITAS (HARGA KAKAO) CURAH HUJAN (FAKTOR CUACA)
Gambar 2.2. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Penelitian 2.4.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka, hipotesis dari penelitian
ini adalah sebagai berikut : 1. Luas area tanam kakao tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap luas area tanam kakao tahun berjalan. Artinya, jika terjadi peningkatan luas area tanam kakao tahun sebelumnya akan menyebabkan peningkatan luas area tanam kakao tahun berjalan, sebaliknya bila terjadi penurunan
35
luas area tanam kakao tahun sebelumnya menyebabkan penurunan luas area tanam kakao tahun berjalan. 2. Harga riil kakao tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap luas area tanam kakao tahun berjalan. Berarti kenaikan harga riil kakao tahun sebelumnya akan menyebabkan kenaikan luas area tanam kakao tahun berjalan. Sebaliknya, jika terjadi penurunan harga riil kakao tahun sebelumnya menyebabkan penurunan luas area tanam kakao tahun berjalan. 3. Harga riil komoditas pesaing (kompetitif dalam penggunaan lahan) tahun sebelumnya berpengaruh negatif terhadap luas area tanam kakao tahun berjalan. Kenaikan harga riil komoditas pesaing akan menyebabkan penurunan luas area tanam kakao tahun berjalan, begitupun sebaliknya. 4. Curah hujan tahun sebelumnya berpengaruh negatif terhadap luas area tanam kakao tahun berjalan. Peningkatan curah hujan tahun sebelumnya akan menyebabkan peningkatan luas area tanam kakao tahun berjalan, begitupun sebaliknya. 5. Produktivitas kakao tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap produktivitas kakao tahun berjalan. Kenaikan produktivitas kakao tahun sebelumnya menyebabkan kenaikan produktivitas kakao tahun berjalan. Begitupun sebaliknya, penurunan produktivitas kakao tahun sebelumnya menyebabkan produktivitas kakao tahun berjalan. 6. Harga riil kakao tahun berjalan berpengaruh positif terhadap produktivitas kakao tahun berjalan. Ini berarti, ketika terjadi kenaikan harga riil kakao tahun berjalan maka produktivitas kakao tahun berjalan juga meningkat,
36
begitupun sebaliknya. 7. Harga
riil
input
tahun
berjalan
berpengaruh
negative
terhadap
produktivitas kakao tahun berjalan. Artinya, peningkatan harga riil input tahun berjalan menyebabkan peningkatan produktivitas kakao tahun berjalan, begitupun sebaliknya. 8. Curah hujan tahun berjalan berpengaruh negatif terhadap produktivitas kakao tahun berjalan. Peningkatan curah hujan pada tahun berjalan menyebabkan penurunan produktivitas kakao tahun berjalan, begitupun sebaliknya. 9. Elastisitas penawaran kakao di Indonesia bersifat inelastis positif terhadap harga output baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
37
III.
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang dipergunakan adalah data time series dari tahun 1971 sampai dengan tahun 2003. Data-data tersebut diperoleh dari berbagai sumber antara lain Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO), International Center for Applied Finance and Economics (interCAFE), serta sumber dan referensi pustaka yang lain yang relevan dengan tujuan penelitian ini. Data nominal yang diubah kedalam bentuk riil menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun dasar 2000. Rumus yang digunakan untuk menghitung harga rill adalah sebagai berikut : Harga Rill =
Harga Nominal IHK
3.2. Metode Analisis Dalam menganalisis respon penawaran kakao dalam penelitian ini, digunakan software Microsoft Excel 2007 dan Eviews 5.1 dengan metode analisis model penyesuaian parsial Nerlove yang sering digunakan untuk studi mengenai respon penawaran berbagai komoditi berupa persamaan tunggal regresi berganda dengan fungsi Double Natural Logaritma atau Logaritma Natural Ganda (Ln) dengan menggunakan teknik estimasi Ordinary Least Square (OLS). Permasalahan dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan menggunakan model ekonometrika. Untuk mempermudah dalam pengolahan data dalam penelitian ini maka, data-data yang
38
sudah didapatkan dikelompokkan terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan perhitungan dengan meggunakan program Microsoft Excel 2007 dan kemudian diolah dengan menggunakan software Eviews 5.1. 3.3. Model Ekonometrika 3.3.1. Respon Luas Area Luas area tanam kakao tahun berjalan dipengaruhi oleh harga riil kakao tahun sebelumnya, harga riil kopi tahun sebelumnya, harga riil sawit (CPO) tahun sebelumnya, harga riil karet tahun sebelumnya, curah hujan tahun sebelumnya, dan luas area tanam kakao tahun sebelumnya. Persamaan luas area berbentuk linier dalam logaritma. Ln At = Ln ao+ al LnHKA(t-1)+ a2 LnHKO(t-1) + a3 LnHKR(t-1) + a4 LnHCP(t-1) + a5 LnCH(t-1) + a6 LnA(t-1) + ut ………………………..………………………………………(3.1) dimana, t
= Periode tahun 1971-2003
Ln ao
= Intersep
At
= Luas area tanaman kakao tahun berjalan (Ha)
A(t-1)
= Luas area tanaman kakao tahun sebelumnya (Ha)
HKA(t-1)
= Harga riil domestik kakao tahun sebelumnya (Rp/Kg)
HKO(t-1)
= Harga riil domestik kopi tahun sebelumnya (Rp/Kg)
HKR(t-1)
= Harga riil domestik karet tahun sebelumnya (Rp/Kg)
HCP(t-1)
= Harga riil domestik CPO tahun sebelumnya (Rp/Kg)
CH(t-1)
= Curah hujan tahun sebelumnya (mm/tahun)
ul
= Peubah pengganggu
39
Tanda parameter dugaan yang diharapkan adalah : a1, a6>0; a2,a3, a4, a5 < 0 3.3.2. Respon Produktivitas Produktivitas kakao merupakan fungsi dari harga riil kakao tahun berjalan, upah riil tenaga kerja tahun berjalan, harga riil pupuk urea tahun berjalan, curah hujan tahun berjalan, dan peubah bedakala produktivitas. Dapat dikatakan, peningkatan harga
kakao
cenderung
meningkatkan
sifat
inovatif
petani,
sehingga
produktivitas akan meningkat. Oleh karenanya persamaan produktivitas kakao dirumuskan sebagai berikut :
LnYt = Lnbo+ blLnHKAt + b2LnHPUt + b3LnUPHt + b4LnCHt + b5LnY(t-1) + u2……………………...…………………………………………….……(3.2) Dimana, t
= Periode tahun 1979-1998
Lnbo
= Intersep
Yt
= produktivitas tanaman kakao (Ha) tahun berjalan
Y(t-1)
= produktivitas tanaman kakao (Ha) tahun sebelumnya
HKAt = Harga riil kakao (Rp/Kg) HPUt = Harga riil pupuk urea (Rp/Kg) UPHt = Upah riil (Rp/HOK) CHt
= Curah hujan (mm/tahun)
u2
= Peubah pengganggu
Tanda parameter dugaan yang diharapkan adalah : bl, b5 > 0; b2, b3, b4 < 0
40
3.3.3. Respon Penawaran Respon penawaran atau elastisitas produksi diduga dengan pendekatan tidak langsung, yaitu melalui respon luas area dan produktivitas. Produksi adalah perkalian antara luas area dan produktivitas, sehingga persamaan produksi dirumuskan sebagai berikut : Q =A.Y atau LnQ=LnA+LnY Berdasarkan persamaan (2.13), maka diperoleh : EQP =EYP+EAP ………………………………………….............................……(3.3) dimana, EQP = Elastisitas penawaran terhadap harga EAP = Elastisitas luas area terhadap harga EYP= Elastisitas produktivitas terhadap harga Dengan cara yang sama dapat ditentukan respon penawaran terhadap harga pupuk urea dan input lainnya baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. 3.4. Evaluasi Model 3.4.1. Uji Kriteria ekonomi Uji kriteria ekonomi dilakukan dengan melihat besaran dan tanda parameter yang diestimasi, apakah sesuai atau tidak dengan teori-teori ekonomi atau kondisi yang sebenarnya. 3.4.2 Uji Kriteria Statistik Uji kriteria statistik dilakukan sebagai berikut : Uji Koefisien Determinasi (R2 / R2 adjusted) Uji Koefisien Determinasi (R2 / R2 adjusted) digunakan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel-variabel bebas dalam suatu model untuk
41
menjelaskan variabel terikatnya. Nilai R2 / R2 adjusted berkisar antara 0 sampai dengan 1, semakin mendekati 1 maka model semakin baik. Untuk menghitung koefisien determinasi dapat dilakukan dengan rumus : R2 = 1.
Jumlah Kuadrat residual Jumlah Kuadrat Total Uji t Uji t merupakan kriteria statistik untuk melihat signifikansi variabel bebas
tertentu mempengaruhi variabel dependennya. Pengujian parsial ini (uji t) dapat dilihat dari nilai probabilitas t- statistiknya. H0 : b1 = b2 = .... = bi = 0 H1 : bi ≠ 0 Tolak H0 jika |thit| > tα/2 artinya, variabel signifikan berpengaruh nyata pada taraf α. Terima H0 jika |thit| ≤ tα/2 artinya, variabel signifikan berpengaruh nyata pada taraf α. 2.
Uji F Uji simultan (Uji-F) digunakan untuk menguji secara bersama-sama
apakah peubah-peubah eksogen dapat menjelaskan variasi peubah endogen. Mekanisme yang digunakan untuk mengkaji hipotesis tersebut adalah sebagai berikut : H0 = b1 = b2 = b3 = … = bi = 0 H1 = b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ … ≠ b1 ≠ 0
42
Uji F ini dilakukan dengan membandingkan nilai taraf nyata (α) yang ditetapkan dan nilai probabilitas F-statistiknya. Dari uji F tersebut dapat diketahui suatu model dapat diterima atau tidak. Kriteria Uji : Probability F-Statistic < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability F-Statistic > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika uji F tolak H0 atau terima H1, maka dapat disimpulkan minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya dan model yang digunakan dapat diterima. Sebaliknya jika dalam uji F terima H0 atau tolak H1 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya dan model tidak layak digunakan. 3.4.3. Uji Kriteria Ekonometrika 1.
Multikolinearitas Multikolinearitas mengacu pada kondisi dimana terdapat korelasi linear di
antara variabel bebas sebuah model. Jika dalam suatu model terdapat multikolinear akan menyebabkan nilai R2 yang tinggi dan lebih banyak variabel bebas yang tidak signifikan daripada variable bebas yang signifikan atau bahkan tidak ada satupun. Masalah multikolinearitas dapat dilihat melalui correlation matrix, dimana batas tidak terjadi korelasi sesame variabel yaitu dengan uji Akar Unit sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari 0.80 (Gujarati, 1997). Melalui correlation matrix ini dapat pula digunakan Uji Klein dalam mendeteksi multikolinearitas. Apabila terdapat nilai korelasi yang lebih dari 0.80 , maka menurut uji Klein multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi nilai R-squared (Adj) atau R2-nya.
43
2.
Heteroskedastisitas Kondisi heteroskedastisitas merupakan kondisi yang melanggar asumsi
dari regresi linear klasik. Heteroskedastisitas menunjukkan nilai varian dari variabel bebas yang berbeda, sedangkan asumsi yang dipenuhi dalam linear klasik adalah mempunyai varian yang sama (konstan) / homoskedastisitas. Pengujian masalah
heteroskedastisitas
dilakukan
dengan
menggunakan
uji
White
Heteroscedasticity Test (Gujarati, 1997). Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probabilitas Obs*R-squared-nya. H0 : δ = 0 H1 : δ ≠ 0 Kriteria Uji : Probability Obs*R-squared < taraf nyata (α), maka terima H0 Probability Obs*R-squared > taraf nyata (α), maka tolak H0 Jika hasil menunjukkan tolak H0 maka persamaan tersebut tidak mengalami gejala heteroskedastisitas. Begitu sebaliknya, jika terima H0 maka persamaan tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas. 3.
Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang
diurutkan menurut waktu dan ruang. Masalah autokorelasi dapat diketahui dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. H0 : τ = 0 H1 : τ ≠ 0 Kriteria uji : Probability Obs*R-squared < taraf nyata (α), maka terima H0
44
Probability Obs*R-squared > taraf nyata (α), maka tolak H0 Apabila nilai probabilitas Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata tertentu (tolak H0), maka persamaan itu tidak mengalami autokorelasi. Bila nilai Obs*R-squared-nya lebih kecil dari taraf nyata tertentu (terima H0), maka persamaan itu mengalami autokorelasi. 4.
Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30. Uji
ini berguna untuk melihat error term apakah terdistribusi secara normal. Uji ini disebut uji Jarque-bera test. Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probability Jarque-bera Test. H0 : error term terdistribusi normal H1 : error term tidak terdistribusi normal Kriteria uji : Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika terima H0, maka persamaan tersebut tidak memiliki error term yang terdistribusi normal dan sebaliknya, jika tolak H0 (terima H1) maka persamaan tersebut memiliki error term yang terdistribusi normal.
45
IV.
GAMBARAN UMUM KAKAO
4.1. Perkembangan Produksi Produksi kakao dunia didominasi oleh negara-negara Afrika dengan produksi sebanyak 80 persen dari total produksi kakao dunia. Pada awal dekade tahun 1980-an, negara-negara Asia-Pasifik yang berperan dalam produksi kakao adalah Malaysia, Papua Nugini dan Indonesia. Pada saat itu pangsa produksi ketiga negara tersebut hanyalah sebesar lima persen dari produksi dunia. Rincian pangsa produksi tersebut adalah Indonesia (0,4 persen), Pantai Gading (24,7 persen), Brazil (21,3 persen), Ghana (15,5 persen), Nigeria (9,3 persen), Kamerun (7,2 persen), Ekuador (4,9 persen), Malaysia (2,4 persen), Papua Nugini (1,7 persen) dan negara-negara lainnya sekitar 12,6 persen (Roesmanto, 1991). Produksi kakao dunia terus bertambah sejak tahun 1986/1987 setelah produksi mengalami penurunan pada tahun 1981/1982 dan tahun 1983/1984. Produksi tahun 1987/1988 sebanyak 2,2 juta ton dan lebih besar lagi pada tahun 1988/1989. Kenaikan produksi tercatat di Pantai Gading, Brazil, Nigeria, Malaysia, Kamerun dan Indonesia. Sebaliknya produksi menurun di Ghana dan Ekuador. Ternyata kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara, pangsa produksinya telah meliputi 15,2 persen dari total produksi dunia tahun 1987/1988. Ghana, sebagai salah satu produsen kakao terbesar di Afrika dan dikenal sebagai "a high quality origin", ternyata pada saat ini hanya mampu menghasilkan kakao sekitar 180-200 ribu ton setahun bila dibandingkan dengan prestasinya sebelum tahun 1970-an yang mampu menghasilkan 400 ribu ton
46
setahun (Roesmanto, 1991). Keberhasilan peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di pasar internasional, menempatkan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading pada tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003. Pada tahun 2003/2004, produksi kakao dunia diperkirakan sebesar 2.996 ribu ton. Wilayah Afrika memproduki biji kakao sebesar 2.058,8 ribu ton atau 68,7 persen produksi dunia. Sementara Asia Oceania dan Amerika Latin masing-masing memproduksi 549,7 ribu ton dan 387.6 ribu ton atau 18,4 persen dan 12,9 persen produksi dunia. Tabel 4.1. Perkembangan Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2004 – 2007 (000 Ton) Negara Produsen Pantai Gading Gana
2004 2005 1.407 (40%) 1.286 (38%) 737 (21%) 599 (18%)
2006 2007 1.407 (37%) 1.229 (36%) 740 (19%) 614 (18%)
Indonesia
430 (12%)
460 (14%)
560 (15%)
530 (16%)
Nigeria
180 (5%)
200 (6%)
200 (5%)
190 (6%)
Brazil
163 (4%)
170 (5%)
161 (4%)
125 (4%)
Equador
117 (3%)
116 (3%)
114 (4%)
114( 3%)
Papua New Guinea
38 (1%)
47 (1%)
51 (1%)
47 (1%)
Malaysia 34 (1%) Total Dunia 3.541 Sumber: International Cocoa Organization
28 (1%) 3.381
33 (1%) 3.767
32 (1%) 3.378
Produsen utama kakao dunia adalah Pantai Gading dengan total produksi 1.229 ribu ton atau 36% dari total produksi kakao dunia pada tahun 2007. Produsen utama lainnya adalah Ghana, Indonesia, Nigeria dan Brazil dengan produksi pada tahun 2007 masing-masing 624 ribu ton, 530 ribu ton, 190 ribu ton dan 125 ribu ton. Persentase produksi kakao indonesia terhadap produksi kakao dunia terus meningkat dari tahun 2004-2007 menandakan bahwa perkembangan produksi kakao di Indonesia berjalan baik.
47
Namun, pada Tahun 2009 Indonesia kembali menjadi negara produsen kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai Gading, dengan luas area 1.563.423 ha dan produksi 795.581 ton ( Departemen Pertanian, 2009). 4.2. Perkembangan Ekspor Pada awal tahun 1970-an total ekspor dunia telah mencapai sekitar 1.13 juta ton, kemudian mengalami penurunan sekitar awal tahun 1980 -an, namun setelah itu, secara terus-menerus mengalami kenaikan dimana pada tahun 1985 ekspor menjadi sekitar 1,40 juta ton. Kemudian pada tahun 1990 naik menjadi sekitar 1,90 juta ton dan pada tahun 1996 total ekspor sudah mencapai sekitar 2,08 juta ton atau meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 1970 (Arsyad, 2004). Tabel 4.2. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Beberapa Negara Produsen Utama 1999/2000 – 2003/2004 (000 Ton) Negara
99/00
00/01
01/02
02/03
03/04
Pertmb (%/thn)
Pangsa (%/thn)
Pantai gading Ghana Indonesia Nigeria Cameroon Papua new guinea Equador Rep. Dominica Malaysia Venezuela Brazil Lainnya
1.373,1 360,25 338,83 125,75 82,82 46,40 40,80 24,43 10,41 8,91 2,23 48,98
903,39 306,83 326,46 149,37 101,56 38,8 57,19 33,81 17,17 7,59 2,48 42,07
1.019,2 284,68 364,81 160,29 95,63 37,92 58,86 40,25 18,45 8,20 3,50 46,80
1.070 310,33 365,65 145,09 108,19 39,07 57,37 38,39 21,11 8,30 3,59 47,92
1.039 608,1 314,1 161,8 136,1 38,70 85,88 4,44 11,84 7,39 1,56 74,38
1,63 12,51 2,5 2,42 5,24 4,63 6,80 0,23 13,69 2,62 24,89 2,26
41,25 24,13 12,47 6,42 5,40 1,54 3,41 1,6 0,47 0,29 0,06 2,95
Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan , 2006
Tabel 4.2. di atas menunjukkan bahwa sampai saat ini volume ekspor dunia masih didominasi oleh negara-negara produsen di Kawasan Afrika (75 persen dari total ekspor dunia). Pantai Gading merupakan eksportir utama di kawasan tersebut menyusul Ghana, Nigeria dan Kamerun. Kawasan Asia
48
Oceania memiliki pangsa 14,48 persen terhadap total ekspor dunia dan sisanya adalah negara lain.
Ekspor (Ton) 700000 600000 500000 400000 300000
Ekspor (Ton)
200000 100000 0 1960
1970
1980
1990
2000
2010
Gambar 4.1. Ekspor Kakao Indonesia, 1969-2006 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008
Pada Gambar 4.1. terlihat bahwa ekspor kakao Indonesia terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada Tahun 1969 ekspor kakao Indonesia berada pada angka 410 Ton dengan nilai ekspor sebesar 155.000 US$, sedangkan pada tahun 2003 ekspor kakao Indonesia mencapai 609.035 Ton dengan nilai ekspor sebesar 852.778.000 US$. 4.3. Perkembangan Impor Secara umum impor biji kakao di dunia sangat didominasi oleh negaranegara yang industrinya lebih maju. Biji kakao dijadikan bahan baku industri cokelat di negara importir tersebut. Negara-negara importir sebagian besar berada di kawasan Eropa dan Amerika Utara. Namun, kini Negara Oceania mulai melakukan impor biji kakao untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Pada Tahun 1999-2004 posisi importir kakao terbesar di dunia di pegang oleh Belanda dengan jumlah impor sampai dengan 21% dari total impor dunia, di
49
ikuti oleh Amerika Serikat dan Jerman dengan masing-masing
sebesar
18.24% dan 7.92% dari total impor dunia. Table 4.3. Perkembangan Impor Biji Kakao Beberapa Negara Importir Utama 1999/2000 – 2003/2004 (000 Ton) 01/02
02/03
03/04
Pertmb (%/thn)
Pangsa (%/thn)
Netherland 445,29 549,05 493,91 USA 521,04 354,68 397,13 Germany 231,61 228,24 212,39 Malaysia 95,17 109,63 113,99 France 148,53 157,18 142,65 Belgium 86,11 101,31 106,27 UK 136,54 150,73 107,34 Canada 55,86 57,84 56,23 Estonia 62,46 58,65 65,50 Spain 57,99 48,80 55,73 Rusia 59,64 71,67 68,35 Federation Singapore 98,6 67 62,53 Japan 48,44 49,16 50,09 Brazil 90,07 41,73 46,56 Switzerland 22,67 21,48 22,12 Cina 28,52 22,09 12,16 Thailand 12,49 12,29 14,53 South Africa 3,26 5,80 3,46 Lainnya 265,33 302,18 298,47 Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan, 2006
495,24 323,26 205,13 99,19 138,89 122,54 126,96 52,15 57,28 60,05
561,23 488,57 212,15 181,2 154,49 139,59 138,81 71,85 68,69 67,35
2,77 4,47 5,98 27,11 4,79 11,13 3,32 11,1 0,81 4,47
20,95 18,24 7,92 6,77 5,77 5,21 5,18 2,68 2,56 2,51
70,72
64,49
1,93
2,41
64,97 49,18 60,71 22,51 9,06 15,72 3,63 276,46
57,09 56,84 44,15 24,64 19,43 18,89 2,52 306,39
7,28 0,82 16,9 1,44 8,06 7,89 13,76 3,99
2,13 2,12 1,65 0,92 0,73 0,71 0,09 11,44
Negara
99/00
00/01
Meskipun impor kakao Indonesia relatif kecil namun terus mengalami kenaikan tiap tahunnya. Pada tahun 1975 impor kakao Indonesia hanya sebesar 1.002 Ton dengan nilai sebesar 587.000 US$, namun pada Tahun 2006 total impor kakao Indonesia mencapai angka 47.939 Ton dengan nilai sebesar 74.185.000 US$.
50
Impor(Ton) 60000 50000 40000 30000 Impor(Ton) 20000 10000 0 1960
1970
1980
1990
2000
2010
Gambar 4.2. Impor Kakao Indonesia, 1975-2006 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008.
4.4. Perkembangan Harga Fluktuasi harga biji kakao dapat dilihat dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Berdasarkan metode yang dipublikasikan oleh ICCO, variasi harga dalam jangka pendek biasanya diukur dalam mingguan, jangka menengah diukur dalam bulanan, sedangkan dalam jangka panjang diukur dalam tahunan. Sementara itu menurut Lolowang (1999), untuk informasi mengenai harga tersebut selama ini berpatokan pada harga yang berlaku dan terjadi di London Cocoa Terminal Marker dan New York Board of Trade (NYBOT) mengingat tujuan ekspor dan konsumen kakao terbesar di dunia sejak dulu adalah Masyarakat Eropa dan Amerika Utara. Pada dasarnya harga kakao dunia dipengaruhi oleh harga kakao nomor satu dari Pantai Gading, Afrika Barat. Sejak dahulu Pantai Gading memang merajai kakao dunia dengan hasil tinggi dan mutunya yang menjadi incaran para pembeli (Roesmanto, 1991).
51
Harga kakao di pasar dunia senantiasa berfluktuasi. Hal ini disebabkan oleh laju peningkatan produksi yang tinggi. Terjadinya akumulasi stok yang terus meningkat mengakibatkan harga kakao dunia melemah. Harga biji kakao dunia selama periode 1988-1990 cukup fluktuatif. Pada tahun 1989 harga biji kakao mengalami penurunan meskipun kembali mengalami kenaikan yang cukup berarti pada tahun 1997. Hal ini mendorong terjadinya perluasan area yang dapat meningkatkan produksi kakao dunia dan secara terus-menerus mengakumulasi stok. Akibatnya, harga kakao dunia turun kembali pada tahun 1999 dan kembali menguat pada tahun 2002
52
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada persamaan luas area tanam kakao (At), peubah independen yang digunakan adalah luas area tanam kakao satu tahun sebelumnya(At-1), harga riil biji kakao satu tahun sebelumnya (HXt-1), harga riil kopi satu tahun sebelumnya (HKOt-1) dan harga riil CPO satu tahun sebelumnya (HCPt-1) dan harga riil karet satu tahun sebelumnya (HKRt-1) sebagai komoditi pesaing dari tanaman kakao, serta rata-rata curah hujan nasional satu tahun sebelumnya (CHt-1). Sedangkan pada persamaan produktivitas (Yt), peubah independen yang digunakan adalah produktivitas tanaman kakao satu tahun sebelumnya (Yt-1), harga riil biji kakao tahun ini (HXt), harga riil pupuk urea tahun ini (HPUt), upah riil tenaga kerja tahun ini (UPHt), dan curah hujan tahun ini (CHt). Pendugaan parameter dalam penelitian ini menggunakan metode jumlah kuadrat terkecil (Ordinary Least Square), dengan bantuan perangkat lunak komputer eviews 5, serta pengujian parameter dengan taraf nyata (α) 5%. 5.1. Respon Luas Area Tanam Hasil pendugaan parameter pada persamaan luas area tanam kakao ditunjukan pada Table 5.1. dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,996, yang berarti bahwa keragaman luas area tanam kakao dapat dijelaskan oleh variabel independennya di dalam model sebesar 99,6% dan sisanya sebesar 0,4% dijelaskan oleh variable lain di luar model. Berdasarkan uji normalitas, dengan nilai jarque-bera yang lebih besar dari taraf nyata 5%, yaitu sebesar 0,428399, maka persamaan tersebut memiliki error term yang terdistribusi normal. Untuk uji autokorelasi, dengan nilai probabilitas
53
chi-square lebih besar dari taraf nyata 5%, yaitu sebesar 0,608885, maka persamaan
ini
terbebas
dari
masalah
autokorelasi.
Berdasarkan
uji
heteroskedastisitas, dengan nilai probabilitas chi-square lebih besar dari taraf nyata 5%, yaitu sebesar 0,184616, maka persamaan ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Berdasarkan uji multikolinearitas, dengan tidak adanya nilai korelasi antara variabel independen yang lebih besar dari nilai (R2), maka dapat dikatakan persamaan ini terbebas dari masalah multikolinearitas (lampiran 5). Table 5.1. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Respon Area tanam Kakao di Indonesia Tahun 1971-2003 Variabel Bebas
Koefisien Regresi
t-stat
Probabilitas
Intersep
2,773419
2,555517
0,0168
Harga Riil Kakao Tahun Sebelumnya
0,152022
2,117316
0,0440**
Harga Riil Kopi Tahun Sebelumnya
0,168033
2,802346
0,0095*
Harga Riil CPO Tahun Sebelumnya
-0,488333
-6,092742
0,0000*
Harga Riil Karet Tahun Sebelumnya
0,287729
2,412788
0,0232**
Curah Hujan Tahun Sebelumnya
-0,422446
-2,865864
0,0081*
Luas Area Tanam Tahun Sebelumnya
0,968123
54,80156
0,0000*
R-Square
0,996580
R-Square Adjusted
0,995791
Prob(F-statistic)
0.000000
Autokorelasi
Tidak Ada
Heteroskedastisitas
Tidak Ada
Multikolinearitas
Tidak Ada
Keterangan : * nyata pada taraf α = 1% ** nyata pada taraf α = 5%
Tanda parameter dugaan luas area tanam kakao tahun sebelumnya sesuai dengan harapan atau sesuai dengan teori, yaitu sebesar 0,97 dan signifikan pada
54
taraf nyata 1%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya luas area tanam kakao tahun sebelumnya sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan luas area tanam kakao tahun berjalan sebesar 0,97%. Kenaikan area tanam kakao satu tahun sebelumnya mendorong petani kakao untuk memperluas area tanamnya, karena dengan meningkatnya luas area tanam satu tahun sebelumnya, menandakan tanaman kakao merupakan tanaman yang layak untuk terus dikembangkan dan memiliki prospek yang baik. Tanda parameter dugaan harga riil biji kakao tahun sebelumnya sesuai dengan harapan atau sesuai dengan teori, yaitu sebesar 0,15 dan signifikan pada taraf nyata 5%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya harga riil biji kakao tahun sebelumnya sebesar 1% maka akan menyebabkan meningkatnya luas area tanam kakao tahun berjalan sebesar 0,15%. Harga biji kakao satu tahun sebelumnya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi luas area tanam kakao tahun berjalan karena dengan meningkatnya harga biji kakao memberikan insentif lebih bagi para petani kakao untuk memperluas area tanamnya dengan anggapan bahwa tanaman kakao merupakan komoditi yang menjanjikan melihat dari sisi harga yang meningkat. Tanda parameter dugaan harga riil CPO tahun sebelumnya sesuai dengan harapan, yaitu sebesar -0,49 dan signifikan pada taraf nyata 1%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya harga riil CPO tahun sebelumnya sebesar 1% maka akan menyebabkan menurunnya luas area tanam kakao tahun berjalan sebesar 0,49%. Sawit merupakan tanaman pesaing dari tanaman kakao dalam hal lahan, oleh karena itu dengan peningkatan harga CPO satu tahun sebelumnya menyebabkan sebagian petani kakao akan mengkonversi lahan
55
mereka menjadi lahan kelapa sawit sehingga menyebabkan berkurangnya lahan kakao tahun berjalan. Kopi merupakan tanaman pesaing dari kakao dalam hal lahan, karena memiliki karakteristik lahan yang hampir sama. Tanda parameter dugaan harga riil biji kopi tahun sebelumnya tidak sesuai dengan harapan atau teori, yaitu sebesar 0,17 dan signifikan pada taraf nyata 1%. Sehingga tidak dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya harga riil biji kopi tahun sebelumnya sebesar 1% akan menyebabkan meningkatnya luas area tanam kakao tahun berjalan sebesar 0,17%. Hal ini dikarenakan karena masih banyaknya lahan tidak produktif yang dapat digunakan untuk area tanam kakao ataupun untuk area tanam kopi sehingga dengan meningkatnya harga kopi yang dapat menyebabkan meningkatnya area tanam kopi tidak menyebabkan tergerusnya area tanam kakao, selain itu perbedaan sentra produksi kakao yang berada di Sulawesi sedangkan sentra produksi kopi yang berada di Sumatera juga merupakan salah satu sebab tidak saling bersaingnya lahan kakao dengan lahan kopi. Secara statistik, penjelasannya dapat dilihat dari tren data luas area tanam kakao dan harga kopi yang sama-sama positif. Sehingga, ketika terjadi kenaikan harga kopi, maka luas area tanam kakao juga meningkat tanpa ada hubungan sebab akibat (Lampiran 12). Karet juga merupakan salah satu tanaman pesaing dari kakao. Tanda parameter dugaan harga riil karet tahun sebelumnya tidak sesuai dengan harapan atau teori, yaitu sebesar 0,29 dan signifikan pada taraf nyata 5%. Sehingga tidak dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya harga riil karet tahun sebelumnya sebesar 1% maka akan menyebabkan meningkatnya luas area tanam kakao tahun berjalan sebesar 0,29%. Sama halnya dengan komoditas kopi, tidak bersaingnya
56
lahan kakao dengan lahan karet terjadi karena masih banyaknya lahan tidak produktif yang dapat digunakan untuk pengembangan lahan masing-masing komoditi serta sentra produksi kakao dan karet yang berbeda. Sentra produksi kakao terdapat di Sulawesi sedangkan sentra produksi banyak terdapat di Kalimantan. Sehingga dapat dikatakan, ketika terjadi kenaikan harga karet, maka luas area tanam kakao juga meningkat tanpa ada hubungan sebab akibat. Tanda parameter dugaan curah hujan rata-rata per tahun pada tahun sebelumnya sesuai dengan harapan atau sesuai dengan teori, yaitu sebesar -0,42 dan signifikan pada taraf nyata 1%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya curah hujan rata-rata pertahun pada tahun sebelumnya sebesar 1% menyebabkan menurunnya luas area tanam kakao tahun berjalan sebesar 0,42%. Tanda negatif pada parameter curah hujan disebabkan karena data curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini secara rata-rata bukan merupakan curah hujan yang ideal untuk tanaman kakao. Curah hujan rata-rata per tahun yang ideal untuk tanaman kakao adalah berada pada kisaran 1.300 mm per tahun, sedangkan rata-rata data curah hujan yang dipakai berada pada kisaran 2.300 mm per tahun (Martodiresto dan Suryanto, 2001). 5.2. Respon Produktivitas Hasil pendugaan parameter pada persamaan produktivitas tanam kakao ditunjukan pada Table 5.2. dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,954, yang berarti bahwa keragaman produktivitas tanam kakao dapat dijelaskan oleh variabel independennya sebesar 95,4% dan sisanya sebesar 4,6% dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
57
Table 5.2. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produktivitas Kakao di Indonesia Tahun 1971-2003 Variabel Bebas
Koefisien Regresi
t-stat
Probabilitas
Intersep
-2,12137
-1,395571
0,1742
Harga Kakao tahun berjalan
0,160656
2,169158
0,0390**
Harga pupuk urea tahun berjalan
0,244143
2,475012
0,0199**
Upah tenaga kerja tahun berjalan
0,646898
4,534916
0,0001*
Curah hujan tahun berjalan
-0,337055
-2,289718
0,0301**
Produktivitas kakao tahun sebelumnya
0,533641
5,000038
0,0000*
R-Square
0,954844
R-Square Adjusted
0,946481
Prob(F-statistic)
0.000000
Autokorelasi
Tidak ada
Heteroskedastisitas
Tidak ada
Multikolinearitas
Tidak ada
Keterangan : * nyata pada taraf α = 1% ** nyata pada taraf α = 5%
Berdasarkan uji normalitas, dengan nilai jarque-bera yang lebih besar dari taraf nyata 5%, yaitu sebesar 1,697877, maka persamaan tersebut memiliki error term yang terdistribusi normal. Bedasarkan uji autokorelasi, dengan nilai probabilitas chi-square lebih besar dari taraf nyata 5%, yaitu sebesar 0,7815, maka persamaan
ini
terbebas
dari
masalah
autokorelasi.
Berdasarkan
uji
heteroskedastisitas, dengan nilai probabilitas chi-square lebih besar dari taraf nyata 5%, yaitu sebesar 0,501575, maka persamaan ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Berdasarkan uji multikolinearitas, dengan tidak adanya nilai korelasi antara variable independen yang lebih besar dari nilai (R2), maka dapat dikatakan persamaan ini terbebas dari masalah multikolinearitas (Lampiran 10).
58
Tanda parameter dugaan produktivitas kakao tahun sebelumnya sesuai dengan harapan atau sesuai dengan teori, yaitu sebesar 0,53 dan signifikan pada taraf nyata 5%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya produktivitas tanam kakao tahun sebelumnya sebesar 1% maka akan menyebabkan kenaikan luas area tanam kakao tahun ini sebesar 0,53%. Dengan meningkatnya produktivitas kakao tahun sebelumnya, petani kakao beranggapan bahwa kakao merupakan komoditi yang potensial dan layak untuk dikembangkan, sehingga mereka berusaha meningkatkan produktivitas tanaman kakao. Tanda parameter dugaan harga riil biji kakao tahun berjalan sesuai dengan harapan atau sesuai dengan teori, yaitu sebesar 0,16 dan signifikan pada taraf nyata 5%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya harga riil biji kakao tahun berjalan sebesar 1% maka akan menyebabkan meningkatnya luas area tanam kakao tahun berjalan sebesar 0,16%. Peningkatan harga riil biji kakao ini direspon oleh para petani dengan meningkatkan luas area tanam kakao, karena dengan meningkatnya harga kakao menyebabkan meningkatnya insentif bagi para petani untuk meningkatkan produktivitas kakao dengan melakukan intesifikasi. Pupuk urea merupakan input yang dominan dalam budidaya kakao, Sehingga perubahan pada harga pupuk tahun berjalan di harapkan akan mempengaruhi tingkat produktivitas kakao tahun berjalan. Namun tanda pada parameter dugaan harga riil pupuk urea tahun berjalan tidak sesuai dengan harapan, yaitu sebesar 0,24 dan signifikan pada taraf nyata 5%. Namun, hal tersebut tidak dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya harga riil pupuk urea tahun berjalan sebesar 1% maka akan menyebabkan menurunnya produktivitas kakao tahun berjalan sebesar 0,24%. Melainkan, ketika terjadi kenaikan harga riil
59
pupuk urea tahun berjalan sebesar 1%, kenaikan tingkat produktivitas tanaman kakao tahun berjalan tetap terjadi sebesar 0,24%. Hal ini terjadi karena ketika terjadi kenaikan harga input pupuk urea maka petani akan meresponnya dengan mengurangi penggunaan input pupuk urea dan mensubtitusinya dengan penggunaan input lain yang harganya relatif lebih murah. Seperti penggunaan pupuk majemuk yang dapat menggantikan peran dari pupuk urea dalam usaha budidaya tanaman kakao. Selain itu, penggunaan pupuk majemuk ternyata juga dapat menghemat biaya produksi sehingga penggunaan pupuk majemuk ini dapat dijadikan alternatif penggunaan input ketika harga pupuk urea mengalami peningkatan. Selain itu, kondisi ini juga dapat mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk urea oleh para petani kakao di Indonesia telah melewati batas yang sewajarnya. Penggunaan pupuk urea yang melebihi batas yang sewajarnya akan menyebabkan penurunan tingkat produktivitas dari tanaman kakao. Oleh karena itu, ketika terjadi kenaikan harga pupuk urea dan petani kakao meresponnya dengan melakukan pengurangan penggunaan pupuk urea, maka pengurangan jumlah pupuk urea yang digunakan tersebut dapat meningkatkan produktivitas dari tanaman kakao. Input tenaga kerja juga merupakan input yang dominan dalam usaha budidaya kakao. Sehingga, ketika upah riil tenaga kerja tahun berjalan meningkat diharapkan akan mempengaruhi tingkat produktivitas dari tanaman kakao. Tanda parameter dugaan tingkat upah riil tidak sesuai dengan harapan atau teori, yaitu sebesar 0,64 dan signifikan pada taraf nyata 5%. Hal ini tidak dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya upah riil tahun berjalan sebesar 1% maka akan
60
menyebabkan meningkatnya produktivitas kakao tahun berjalan sebesar 0,64%. Melainkan, ketika tingkat upah tahun berjalan meningkat sebesar 1%, kenaikan produktivitas tanaman kakao tahun berjalan tetap meningkat sebesar 0,64%. Kondisi
ini
mengindikasikan
bahwa
penggunaan
tenaga
kerja
diperkebunan kakao telah melewati batas yang sewajarnya. Dengan penggunaan tenaga kerja yang melewati batas yang sewajarnya akan menyebabkan penurunan tingkat produktivitas tanaman kakao. Sehingga ketika tingkat upah buruh pekerja mengalami peningkatan dan para petani kakao meresponnya dengan mengurangi jumlah tenaga kerja yang digunakan maka produktivitas tanaman kakao dapat meningkat. Selain itu, hal ini juga dapat terjadi karena ketika tingkat upah meningkat maka petani kakao akan melakukan pengurangan jumlah tenaga kerja yang digunakan dan menggantinya dengan penggunaan tenaga kerja dari kalangan keluarga yang dibayar dengan upah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan pengunaan buruh tenaga kerja. Ataupun dengan melakukan pengurangan input tenaga kerja dan mensubtitusinya dengan penggunaan input lain, seperti peningkatan teknologi dan penggunaan mesin. Sehingga, meskipun tingkat upah buruh tenaga kerja meningkat, produktivitas tanaman kakao juga dapat meningkat. Curah hujan tahun berjalan merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi produktivitas tanaman kakao. Oleh karena itu diharapkan, parameter dugaan curah hujan tahun berjalan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat produktivitas tanaman kakao. Hasil yang di dapat menunjukan bahwa parameter curah hujan tahun berjalan bernilai -0,33 dan berpengaruh nyata
61
terhadap luas area tanam kakao tahun berjalan dalam taraf nyata 5%, hal tersebut menggambarkan bahwa dengan perubahan curah hujan sebesar 1% menyebabkan penurunan tingkat produktivitas tanaman kakao sebesar 0,33%. Tanda negatif pada parameter disebabkan karena data curah hujan rata-rata per tahun yang di gunakan berada di luar kisaran curah hujan yang ideal untuk tanaman kakao. Curah hujan rata-rata per tahun yang ideal untuk tanaman kakao adalah berada pada kisaran 1.300 mm per tahun, sedangkan rata-rata data curah hujan yang dipakai berada pada kisaran 2.300 mm per tahun (Martodiresto dan Suryanto, 2001) 5.3. Respon Penawaran Kakao Respon penawaran dapat dihitung berdasarkan rumus pada persamaan (2.1.3). pada Table 4.3. disajikan hasil perhitungan respon luas area , produktivitas, dan penawaran terhadap harga kakao, upah tenaga kerja dan harga pupuk dalam jangka pendek dan jangka panjang. Respon luas area dan produktivitas dalam jangka panjang lebih besar dibandingkan dengan jangka pendek, hal ini disebabkan koefisien penyesuaian bernilai relatif kecil. Sehingga elastisitas jangka panjang bernilai lebih besar dibandingkan
dengan
elastisitas
jangka
pendeknya.
Kecilnya
koefisien
penyesuaian ini berarti tidak terjadi penyesuaian secara penuh dan memerlukan waktu yang lama atau proses penyesuaian tersebut berjalan lambat. Oleh karena itu baik luas area maupun produktivitas lambat dalam melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan kondisi ekonomi.
62
Tabel.5.3. Nilai Elastisitas Luas Area, Produktivitas, dan Penawaran Kakao Elastisitas Peubah Area
Produktivitas
Penawaran
Jangka Pendek
0,152022
0,160656
0,312678
Jangka Panjang
4,769018
0,344489
5,113507
Jangka Pendek
-0,422446
-0,337055
-0,759501
Jangka Panjang
-13,25237
-0,722737
-13,975107
Jangka Pendek
-0,488333
-
-
Jangka Panjang
-15,31928
-
-
Harga Kakao
Curah Hujan
Harga CPO
Elastisitas area terhadap harga CPO dalam jangka pendek adalah -0,488 dan pada jangka panjang sebesar -15,319. Artinya kenaikan harga CPO tahun sebelumnya sebesar 1% dalam jangka pendek menyebabkan penurunan luas area tanam tahun berjalan menurun sebesar 0,488% dan dalam jangka panjang akan menurunkan luas area tanam tahun berjalan sebesar 15,319%. Perbedaan nilai elastisitas yang besar antara jangka pendek dan jangka panjang dalam elastisitas area ini disebabkan karena koefisien penyesuaian luas area yang sangat kecil. Elastisitas penawaran terhadap curah hujan dalam jangka pendek sebesar 0,759 dan dalam jangka panjang sebesar -13,975. Artinya kenaikan curah hujan sebesar 1% menyebabkan penurunan penawaran kakao dalam jangka pendek sebesar 0,759 % dan dalam jangka panjang terjadi penurunan penawaran kakao sebesar 13,975%, begitupun sebaliknya.
63
Elastisitas penawaran terhadap harga kakao dalam jangka pendek adalah 0,312 dan dalam jangka panjang sebesar 5,113. Artinya kenaikan harga kakao sebesar 1% menyebabkan peningkatan penawaran kakao dalam jangka pendek sebesar 0,312% dan dalam jangka panjang terjadi peningkatan penawaran kakao sebesar 5,113%. Produktivitas lebih responsif dibandingkan dengan luas area terhadap harga kakao dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang luas area lebih responsif dibandingkan produktivitas terhadap harga kakao. Hal ini berarti bahwa perilaku petani kakao dalam merespon peningkatan harga kakao dalam jangka pendek lebih mengarah pada usaha untuk meningkatkan produktivitas kakao. Sedangkan dalam jangka panjang, perilaku petani kakao dalam merespon peningkatan harga lebih kepada usaha peningkatan luas area tanam kakao. Oleh karena itu jika terjadi kenaikan harga kakao, maka kebijakan yang paling tepat untuk meningkatkan penawaran dalam jangka pendek adalah kebijakan yang mengarah pada usaha intensifikasi, sedangkan kebijakan yang paling tepat untuk meningkatkan penawaran kakao dalam jangka panjang adalah kebijakan yang mengarah pada usaha ekstesifikasi. Respon petani kakao terhadap penurunan curah hujan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang lebih mengarah pada usaha peningkatan luas area tanam kakao. Hal tersebut dapat terlihat dari luas area yang lebih responsif dibandingkan dengan produktivitas terhadap curah hujan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dan bertanda negatif. Oleh karena itu jika terjadi penurunan tingkat curah hujan, maka kebijakan yang paling tepat untuk
64
meningkatkan penawaran kakao baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang adalah dengan kebijakan yang mengarah pada usaha ekstensifikasi. Kebijakan ekstensifikasi adalah kebijakan yang mengarah pada usaha untuk meningkatkan produksi kakao dengan cara meningkatkan luas area tanam, sedangkan kebijakan intensifikasi adalah kebijakan yang mengarah pada usaha peningkatan produksi kakao melalui peningkatan produktivitas kakao. Respon penawaran kakao dalam jangka panjang lebih besar dibandingkan dengan respon penawaran jangka pendek. Hal ini disebabkan karena koefisien penyesuaian bernilai sangat kecil, dan berarti dalam jangka panjang proses penyesuaian berjalan lambat sehingga petani mempunyai kesempatan untuk melakukan penyesuaian dalam kegiatan produksinya.
65
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Bedasarkan tujuan dan pembahasan yang dihasilkan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Respon luas area dipengaruhi secara nyata dalam taraf 1 persen oleh variabel harga kopi tahun sebelumnya, harga CPO tahun sebelumnya, dan luas area tahun sebelumnya. Dalam taraf 5 persen, respon area di pengaruhi oleh variabel harga kakao tahun sebelumnya dan harga karet tahun sebelumnya. Namun tanda koefisien variabel harga kopi dan karet tidak sesuai dengan harapan dan teori, hal ini disebabkan masih banyaknya lahan yang tidak produktif yang bisa digunakan untuk pengembangan area masing-masing komoditas, disamping itu sentra produksi kopi, karet,dan kakao berbeda sehingga pengembangan area kopi, karet,dan kakao tidak sampai saling bersubtitusi satu sama lain. 2. Respon produktivitas dipengaruhi secara nyata pada taraf 1 persen oleh variabel upah riil tahun berjalan dan produktivitas tahun sebelumnya. dalam taraf 5 persen, respon produktivitas dipengaruhi oleh harga riil kakao tahun berjalan, harga riil pupuk urea tahun berjalan, dan curah hujan tahun berjalan. Namun tanda koefisien variabel harga riil pupuk urea dan upah riil tidak sesuai dengan harapan dan teori. Hal tersebut terjadi karena adanya tujuan petani yang berbeda-beda. Bagi petani yang bertujuan memaksimalkan keuntungan tentunya ketika harga input yang digunakan meningkat maka petani tersebut akan mensubtitusi input tersebut dengan
66
input yang lain yang lebih murah. sebelumnya, hal ini dilakukan karena petani tersebut ingin menghemat biaya untuk meningkatkan keuntungan. Sedangkan bagi petani yang bertujuan memaksimalkan outputnya maka ketika terjadi kenaikan input maka petani tersebut tetap menggunakan input tersebut dalam jumlah yang sama bahkan lebih banyak dari sebelumnya untuk dapat meningkatkan produktivitasnya. 3. Luas area lebih responsif terhadap curah hujan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dibandingkan dengan produktivitas. Produktivitas lebih responsif terhadap harga kakao dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang luas area lebih responsif terhadap harga kakao. 6.2. Saran 1. Diperlukannya kebijakan pemerintah untuk mendorong upaya peningkatan penawaran produksi dan pengembangan industri pengolahan kakao di Indonesia. Sehingga indonesia dapat menjadi negara produsen utama kakao dunia dan indonesia tidak lagi hanya mengekspor biji kakao namun juga dapat mengekspor produk hasil olahan kakao. 2. Kebijakan yang tepat untuk meningkatkan penawaran kakao di Indonesia adalah kebijakan jangka panjang yang mengarah pada usaha untuk meningkatkan luas area tanam kakao. 3. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya memasukan variabel-variabel yang lebih relevan sehingga hasil dari penelitian dapat lebih menggambarkan kondisi yang sesungguhnya di lapangan. Seperti penggunaan harga tandan buah segar sawit yang seharusnya digunakan untuk menggantikan harga
67
CPO dan penggunaan harga kakao internasional yang seharusnya digunakan untuk menggantikan harga kakao domestik karena kakao di Indonesia merupakan komoditas ekspor.
68
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, M. 2004. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Produksi dan Ekspor Kakao Sulawesi Selatan. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Askari, H. dan J. T. Cumming. 1997. Agricultural Supply Respons With The Nerlove Model : A Survey Of Econometrics Evidence. Praenger. Baltimore. Bafadal, A. 2000. Analisis Produksi dan Respon Penawaran Kakao Rakyat di Sulawesi Tenggara. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Statistik Pekebunan Kakao Indonesia 2006-2008. Departemen Pertanian. Jakarta. Ghatak, S. dan K. Ingersent. 1984. Agricultural And Economic Development. The Jhons Hopkins University Press. Baltimore. Gudjarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga. Jakarta. Gultom, S. 1997. Analisis Respon Penawaran Kentang di Tiga Daerah Sentra Produksi di Indonesia. Skripsi Sarjana, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Iswandi, M. 1996. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Perkebunan Kakao Rakyat serta Perannannya terhadap Pembangunan Wilayah di Sulawesi Tenggara. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics, seconde edition. Harper & Row Publisher, INC.,USA. Lipsey, R. G. P. N. Courant, D. Purvis, O. Steiner. 1995. Pegantar Mikroekonomi Jilid 1. Wasana dan Kibrandoko [penerjemah]. Binarupa Aksara. Jakarta. Leaver, R. 2004. “Measuring The Supply Response fungtion of Tobacco in Zimbabwe”. Agrekon. Lolowang, T. F. 1999. Analisis Penawaran dan Permintaan Kakao Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Martodireso, S. dan W. A. Suryanto. 2001. Terobosan Teknologi Pemupukan Dalam Era Pertanian Organik. Kanisius. Jakarta.
69
Nainggolan, K dan Ato, S. 1987. Supply Response for Rice in Java : Empirical Evidence. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 35 (2) : 239-246. Nurung, M. 1997. Efisiensi Alokatif dan Respon Penawaran Usahatani Kopi Rakyat di Propinsi Bengkulu. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Noorsapto, A. 1994. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Pemerintah pada Komoditas Kakao Suatu Studi Kasus pada Perkebunan Kakao di Sumatra Utara. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Roesmanto, J. 1991. Kakao: Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta. Suharto, E. B. 1991. Analisis Respon Penawaran Kakao Menurut Status Pengusahaan dan Wilayah di Indonesia. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wardani, S., Gunawan, dan Mansyuri. 1997. Pendugaan Fungsi Produksi Kakao. Pelita Perkebunan, 13(2) : 115-132 Yudhistira, F. 1997. Keungulan Komparatif dan dampak Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Komoditi Kakao (Kasus di Perkebunan Rajamandala, PTP XII, Kabupaten Bandung, Jawa Barat). Skripsi Sarjana, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
70
LAMPIRAN
71
Lampiran 1. Pendugaan Model Respon Luas Area Kakao Dependent Variable: LOG(A) Method: Least Squares Date: 07/31/09 Time: 13:52 Sample: 1971 2003 Included observations: 33 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(ALAG1) LOG(HKAKAOIHK1) LOG(HCPOIHK1) LOG(HKOPIIHK1) LOG(CRHJN1) LOG(HKARETIHK1)
2.773419 0.968123 0.152022 -0.488333 0.168033 -0.422446 0.287729
1.085267 0.017666 0.071800 0.080150 0.059962 0.147406 0.119252
2.555517 54.80156 2.117316 -6.092742 2.802346 -2.865864 2.412788
0.0168 0.0000 0.0440 0.0000 0.0095 0.0081 0.0232
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Keterangan : A ALAG
0.996580 0.995791 0.098920 0.254412 33.45262 2.176959
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
11.80985 1.524779 -1.603189 -1.285748 1262.877 0.000000
= Luas Area Tanam Kakao Tahun Berjalan = Luas Area Tanam Kakao Tahun Berjalan
HKAKAOIHK1 = Harga Riil Kakao Tahun Sebelumnya HCPOIHK1
= Harga Rill CPO Tahun Sebelumnya
HKOPIIHK1
= Harga Rill Kopi Tahun Sebelumnya
HKARETIHK1 = Harga Rill Karet Tahun Sebelumnya CRHJN1
= Curah Hujan Tahun Sebelumnya
72
Lampiran 2. Uji Normalitas Pada Model Luas Area Kakao 9 Series: Residuals Sample 1971 2003 Observations 33
8 7 6 5 4 3 2 1 0 -0.2
-0.1
-0.0
0.1
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.02e-15 0.002155 0.221953 -0.216631 0.089165 -0.102393 3.519255
Jarque-Bera Probability
0.428399 0.807187
0.2
Lampiran 3. Uji Autokorelasi Pada Model Luas Area Kakao Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.372005 0.992253
Prob. F(2,24) Prob. Chi-Square(2)
0.693257 0.608885
Lampiran 4. Uji Heteroskedastisitas Pada Model Luas Area Kakao White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.596759 16.14654
Prob. F(12,20) Prob. Chi-Square(12)
0.171354 0.184616
73
Lampiran 5. Uji Multikolinearitas Pada Model Luas Area Kakao LOG(AL LOG(HKA LOG(HCP LOG(HKO LOG(CRH LOG(HKA AG1) KAOIHK1) OIHK1) PIIHK1) JN1) RETIHK1) LOG(ALA G1) LOG(HKA KAOIHK1) LOG(HCP OIHK1) LOG(HKO PIIHK1) LOG(CRHJ N1) LOG(HKA RETIHK1)
1.000000 -0.278445
-0.086935 -0.120614
0.104792
0.607714
-0.278445
1.000000
0.481557
0.454492
0.081999
0.178374
-0.086935
0.481557
1.000000
0.274817 -0.222055
0.366574
-0.120614
0.454492
0.274817
1.000000
0.470640
0.310162
0.104792
0.081999
-0.222055
0.470640
1.000000
0.249912
0.607714
0.178374
0.366574
0.310162
0.249912
1.000000
74
Lampiran 6. Pendugaan Model Respon Produktivitas Kakao Dependent Variable: LOG(PROD) Method: Least Squares Date: 07/22/09 Time: 01:07 Sample: 1971 2003 Included observations: 33 Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C -2.121370 LOG(HPUPUKIHK) 0.244143 LOG(UPAHRIEL) 0.646898 LOG(CRHJN) -0.337055 LOG(HKAKAOIHK) 0.160656 LOG(PROD1) 0.533641
1.520073 0.098643 0.142648 0.147204 0.074064 0.106727
-1.395571 2.475012 4.534916 -2.289718 2.169158 5.000038
0.1742 0.0199 0.0001 0.0301 0.0390 0.0000
Variable
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.954844 0.946481 0.117162 0.370630 27.24450 1.825701
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-1.067154 0.506449 -1.287546 -1.015453 114.1843 0.000000
Keterangan : PROD
=
Produktivitas Kakao Tahun Berjalan
PROD1
=
Produktivitas Kakao Tahun Sebelumnya
HPUPUKIHK
=
Harga Pupuk Urea Rill Tahun Berjalan
UPAHRIEL
=
Upah Riel Tahun Berjalan
HKAKAOIHK
=
Harga Riil Kakao Tahun Berjalan
CRHJN
=
Curah Hujan Tahun Berjalan
75
Lampiran 7. Uji Normalitas Pada Model Produktivitas Kakao 10 Series: Residuals Sample 1971 2003 Observations 33
8
6
4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.86e-16 0.000217 0.187205 -0.247518 0.107621 -0.555009 3.051783
Jarque-Bera Probability
1.697877 0.427869
2
0 -0.2
-0.1
-0.0
0.1
0.2
Lampiran 8. Uji Autokorelasi Pada Model Produktivitas Kakao Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.189606 0.493080
Prob. F(2,25) Prob. Chi-Square(2)
0.828464 0.781500
Lampiran 9. Uji Heteroskedastisitas Pada Model Produktivitas Kakao White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.866508 9.324861
Prob. F(10,22) Prob. Chi-Square(10)
0.575665 0.501575
76
Lampiran 10. Uji Multikolinearitas Pada Model Produktivitas Kakao LOG(HPUPU LOG(UPAH KIHK) RIEL) LOG (HPUPUKIHK) LOG (UPAHRIEL) LOG(CRHJN) LOG (HKAKAOIHK) LOG(PROD1)
LOG (CRHJN)
LOG(HKAKA OIHK)
LOG (PROD1)
1.000000
-0.171714
-0.290882
-0.013479
0.167116
-0.171714
1.000000
0.290113
-0.333932
0.863510
-0.290882
0.290113
1.000000
0.057342
0.195524
-0.013479
-0.333932
0.057342
1.000000
-0.231836
0.167116
0.863510
0.195524
-0.231836
1.000000
Lampiran 11. Kurva Area Tanam Kakao
Area Tanam Kakao 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0
Area Tanam Kakao
1960
1970
1980
1990
2000
2010
Lampiran 12. Kurva Harga Nominal Kopi
Harga Nominal Kopi 18,000.00 16,000.00 14,000.00 12,000.00 10,000.00 8,000.00 6,000.00 4,000.00 2,000.00 -
Harga Nominal Kopi
1960
1970
1980
1990
2000
2010
77
Lampiran 13. Kurva Harga Nominal Karet
Harga Nominal Karet 9,000.00 8,000.00 7,000.00 6,000.00 5,000.00 4,000.00 3,000.00 2,000.00 1,000.00 -
Harga Nominal Karet
1960
1970
1980
1990
2000
2010