ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA
OLEH SHOLIHATI DIYAN TIMOR H14103022
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
SHOLIHATI DIYAN TIMOR. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Jagung di Indonesia (dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI). Seiring dengan perkembangan industri pakan, industri makanan olahan (snack food), dan produk industri turunan berbasis jagung (integrated corn industry), jagung tidak hanya menjadi sumber karbohidrat kedua setelah beras tetapi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, penyedia bahan baku industri serta menjadi penarik bagi pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir (Lampiran 1). Industri pakan merupakan konsumen terbesar jagung di Indonesia, keberadaanya diperlukan untuk mendukung pertumbuhan industri peternakan yang harus bersaing dengan produk peternakan impor. Konsumsi produk peternakan seperti daging, telur, dan susu mengalami peningkatan karena tumbuhnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi di era globalisasi. Produksi jagung Indonesia selama periode tahun 1985 – 2005 dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang disertai dengan peningkatan konsumsi jagung terutama untuk industri. Namun, masih terbatasnya produksi jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan baku industri pakan mengakibatkan impor jagung Indonesia pada kurun waktu tersebut juga mengalami peningkatan secara fluktuatif. Sebagian besar jagung yang diimpor berasal dari Cina, Amerika Serikat, dan Argentina. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji perkembangan produksi, konsumsi, dan impor jagung di Indonesia, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung di Indonesia, dan (3) menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi impor jagung di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder deret waktu periode tahun 1985 – 2005, dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif dengan metode Two-Stages Least Squares (2SLS). Model yang digunakan adalah model persamaan simultan dan menggunakan alat bantu piranti lunak Microsoft Office 2003 dan E-Views 4.1. Jagung lokal dalam penelitian ini tidak dibedakan berdasarkan jenis jagung yang diproduksi, sedangkan jagung impor berdasarkan kode HS Nomor 1005.90.10.00 yaitu yellow maize atau corn. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan produksi jagung di Indonesia disebabkan oleh peningkatan luas areal dan produktivitas jagung. Luas areal mengalami peningkatan secara fluktuatif dan terkonsentrasi di Pulau Jawa, disamping itu terjadi pergeseran dari lahan kering ke lahan sawah beririgasi pada musim kemarau. Produktivitas jagung di Indonesia masih relatif rendah karena sistem usaha tani belum optimal, yaitu sebagian besar petani masih menggunakan
benih varietas jagung lokal, penggunaan pupuk yang belum berimbang, dan masih terbatasnya penggunaan pestisida untuk pengendalian hama. Meskipun secara nasional jumlah produksi jagung lebih besar dibandingkan jumlah konsumsi jagung selama periode tahun 1985 – 2005, akan tetapi impor jagung dari tahun ke tahun pada kurun waktu tersebut mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal tersebut karena industri pakan terus mengalami perkembangan. Industri pakan sebagai konsumen jagung terbesar membutuhkan bahan baku dari jenis jagung gigi kuda (Zea mays indentata). Di satu sisi, jenis jagung yang banyak diproduksi di Indonesia adalah jagung mutiara (Zea mays indurata). Perbedaan jenis jagung inilah penyebab peningkatan impor jagung. Peran pemerintah untuk melindungi petani jagung dalam negeri adalah melalui tarif impor sebesar 5 – 10 persen dimana besarnya tarif yang diberlakukan disesuaikan dengan kondisi pertanian jagung Indonesia (musim panen atau tidak). Hasil estimasi diperoleh pada taraf nyata lima persen. Untuk persamaan luas areal panen, variabel yang berpengaruh nyata adalah harga riil jagung di tingkat produsen, harga riil kedelai, tingkat suku bunga kredit, dan luas areal panen tahun sebelumnya; sedangkan untuk produktivitas jagung hanya variabel produktivitas tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata. Variabel harga riil jagung di tingkat produsen, tingkat inflasi, dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal, sementara variabel harga impor jagung dan jumlah impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia. Variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung, tarif impor jagung dan harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga impor jagung Indonesia. Terdapat beberapa variabel yang berpengaruh nyata tetapi tidak sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis, yaitu tingkat suku bunga kredit, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan tarif impor jagung. Untuk mewujudkan peningkatan produksi jagung sekaligus menurunkan impor jagung Indonesia adalah berupaya agar produksi jagung Indonesia lebih kompetitif melalui peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas akan tercapai dengan memperbaiki sistem usaha tani jagung, seperti beralih menggunakan benih varietas unggul (tipe jagung gigi kuda/Zea mays indentata), penggunaan pupuk yang sesuai dengan rekomendasi, pengendalian hama dengan pestisida, dan beralih ke lahan sawah beririgasi. Dengan demikian, impor akan dapat diturunkan dan harga jagung di tingkat petani akan meningkat, sehingga menggairahkan petani untuk lebih banyak menanam jagung. Kebijakan pemerintah dalam hal nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, tarif impor jagung, dan harga yang lebih berpihak kepada petani sangat dibutuhkan dalam mewujudkan tujuan pertanian jagung Indonesia.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA
Oleh SHOLIHATI DIYAN TIMOR H14103022
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Sholihati Diyan Timor
Nomor Registrasi Pokok
: H14103022
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Jagung di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc NIP. 131 967 243
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
Januari 2008
Sholihati Diyan Timor H14103022
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Sholihati Diyan Timor lahir pada tanggal 22 April 1985 di Pati, Jawa Tengah. Penulis adalah putri pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Sholeh dengan Rohayati. Riwayat pendidikan dimulai dari pendidikan TK Kenanga V Solo kemudian dilanjutkan pendidikan SD Negeri Palur 07 Solo sampai dengan kelas lima dan dilanjutkan di SD Negeri Cendono 04 Kudus sampai dengan lulus pada tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Kudus dan lulus pada tahun 2000, selanjutnya tahun pertama sekolah lanjutan atas penulis selesaikan di SMU Negeri 1 Sumber, Rembang dan dilanjutkan di SMU Negeri 1 Tayu, Pati sampai dengan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan melanjutkan pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Manajemen Departeman Ilmu Ekonomi. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif pada organisasi Sharia Economics Student Club (SESC) pada Divisi Publikasi dan Informasi, Himpunan Profesi Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) pada Departemen Research and Development, dan Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Ilmiah (PKMI) yang berhasil menjadi finalis di tingkat IPB dan juara III presentasi terbaik pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XVIII (PIMNAS XVIII) di Padang tahun 2005.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Jagung di Indonesia” dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, khususnya: 1. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc selaku Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 2. Sahara, SP, M.Si selaku Penguji Utama atas saran dan kritik yang telah diberikan sehingga bermanfaat pada perbaikan skripsi ini. 3. Tony Irawan, SE, M.App.Ec selaku Penguji dari Komisi Pendidikan. 4. Papa dan Mama yang telah penuh dengan do’a dan kesabaran memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaikbaiknya. 5. De Cecep, De Fahni, dan De Fifi yang tanpa bosan menghibur penulis di saat putus asa dan sedih. 6. Staf Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang penuh kesabaran membantu penulis, baik pada saat seminar dan sidang. 7. Ibu Dewi Kartika selaku Kepala Bidang Tarif dan Non Tarif, Puslitbang Departemen Perdagangan beserta staf (Mas Bagas Haryotejo, Bang Leo Mualdy Christoffel, dan Mbak Aziza Rahmaniar Salam) yang telah membantu dalam pengumpulan data. 8. Bang Charlos Mangunsong, Andina Oktariani, dan Rina Maryani yang telah membantu dalam pengolahan data.
9. Deky Kurniawan yang telah menjadi pembahas pada seminar hasil penelitian beserta teman-teman yang menjadi peserta pada seminar tersebut. 10. Ika Sari Widayanti, Tirani Sakuntala Devi, dan Erni Dwi Lestari serta teman-teman sau bimbingan skripsi penulis (Hany Larassati, Pritta Amalia, dan Tuti Ratna Dewi) untuk saran dan kritik yang diberikan. 11. Conny, teman satu bumbingan skripsi sekaligus teman seperjuangan penulis untuk kata ”SEMANGAT” dan kebersamaan selama penyelesaian skripsi ini. 12. Teman-teman Ilmu Ekonomi 40, Wisma Melati, Moshi-moshi’s Crew (Teh Manal, Kak Zaqie, Kak Tulus, Ennie, Eva, Neneng, Dewi, dan Luluk), Teh Ipah, Teh Itoh, Ceu’ Ani, Mbak Anna, dan ”Ndunk” untuk motivasi yang diberikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan berguna bagi pihak yang memerlukannya.
Bogor,
Januari 2008
Sholihati Diyan Timor H14103022
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI................................................................................................... x DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv I.
PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah ........................................................................ 7 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................... 10 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .................................. 11
II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN............. 13 2.1. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 13 2.1.1. Teori Penawaran, Permintaan, dan Harga........................... 13 2.1.2. Teori Perdagangan Internasional......................................... 21 2.1.3. Tarif..................................................................................... 25 2.1.4. Model Persamaan Simultan ................................................ 27 2.1.5. Penelitian Terdahulu ........................................................... 28 2.2. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................... 33 2.2.1. Fungsi Produksi................................................................... 33 2.2.2. Fungsi Impor ....................................................................... 40 2.2.3. Kerangka Pemikiran............................................................ 41
III. METODE PENELITIAN ..................................................................... 44 3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 44 3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data ........................................... 44 3.3. Persamaan Model Ekonometrika .................................................... 45 3.3.1. Fungsi Produksi Jagung ...................................................... 45 3.3.2. Fungsi Luas Areal Jagung................................................... 46 3.3.3. Fungsi Produktivitas Jagung ............................................... 47
3.3.4. Fungsi Harga Jagung Lokal ................................................ 48 3.3.5. Fungsi Impor Jagung Indonesia .......................................... 48 3.3.6. Fungsi Harga Impor Jagung Indonesia ............................... 49 3.4. Hipotesis.......................................................................................... 51 3.5. Identifikasi Model ........................................................................... 52 3.6. Pengujian Model ............................................................................. 54 3.6.1. Uji Dugaan Variabel secara Individu.................................. 54 3.6.2. Uji Kesesuaian Model ......................................................... 55 3.6.3. Uji Multikolinearitas ........................................................... 56 3.6.4. Uji Autokorelasi .................................................................. 57 3.6.5. Uji Heteroskedastisitas........................................................ 58 3.7. Definisi Operasional ....................................................................... 59 IV. PRODUKSI, KONSUMSI, DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA..................................................................................... 62 4.1. Produksi Jagung di Indonesia ......................................................... 62 4.1.1. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Jagung ................ 62 4.1.2. Sistem Usaha Tani Jagung .................................................. 69 4.2. Konsumsi Jagung di Indonesia ....................................................... 78 4.3. Impor Jagung di Indonesia .............................................................. 84 V.
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG ....................................................................... 91 5.1. Hasil Dugaan Model ....................................................................... 91 5.2. Dugaan Model Ekonometrika ......................................................... 93 5.2.1. Luas Areal Jagung............................................................... 93 5.2.2. Produktivitas Jagung ........................................................... 97 5.2.3. Harga Riil Jagung Lokal ..................................................... 99 5.2.4. Impor Jagung Indonesia ...................................................... 103 5.2.5. Harga Impor Jagung Indonesia ........................................... 106
VI. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 111 6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 111 6.2. Saran................................................................................................ 114
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 115 LAMPIRAN.................................................................................................... 119
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005 ................................................................................. 3 1.2. Perkembangan Ekspor-Impor Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005............................................................................................. 8 4.1. Produksi Jagung Menurut Pulau Terbesar di Indonesia Tahun 2005 – 2007 ................................................................................. 63 4.2. Perkembangan Produksi, Luas Areal Panen, dan Produktivitas Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005 ................................................ 67 4.3. Jenis Pupuk dan Takaran Penggunaan .................................................... 75 4.4. Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia Tahun 2000 – 2005 ............. 79 4.5. Daftar Perusahaan Pakan di Indonesia.................................................... 81 4.6. Impor Jagung Indonesia Menurut Negara Asal (Kg).............................. 89 5.1. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung di Indonesia ............................................................................................. 93 5.2. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia................ 97 5.3. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Jagung Lokal di Indonesia ................................................................................................. 100 5.4. Hasil Estimasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ................... 103 5.5. Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia..................... 107
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
2.1.
Kurva Penawaran .......................................................................................13
2.2.
Kurva Permintaan ......................................................................................19
2.3.
Mekanisme Perdagangan Internasional......................................................23
2.4.
Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif.....................24
2.5.
Fungsi Produksi..........................................................................................38
2.6.
Kerangka Pemikiran Operasional ..............................................................43
3.1.
Bagan Alur Sistem Persamaan Simultan ...................................................50
4.1.
Kontribusi Sentra Produksi Jagung di Indonesia Tahun 2005 – 2007................................................................................................66
4.2.
Perkembangan Jumlah Perusahaan Pakan di Indonesia Tahun 2001 – 2005 ....................................................................................80
4.3.
Perkembangan Harga Jagung Dunia dan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika ...............................................................84
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Pohon Industri Jagung........................................................................... 119
2.
Produk Hasil Agroindustri Berbahan Baku Jagung .............................. 120
3.
Data-data yang Digunakan dalam Penelitian ........................................ 121
4. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung di Indonesia ........................................................................................... 124 5.
Uji Multikolinearitas Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung di Indonesia............................................................................... 124
6. Uji Autokorelasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung di Indonesia ........................................................................................... 124 7.
Uji Heteroskedastisitas Persamaan Luas Areal Tanaman Jagung di Indonesia ........................................................................................... 124
8. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia.............. 125 9.
Uji Multikolinearitas Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia ............................................................................................... 125
10. Uji Autokorelasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia .......... 125 11.
Uji Heteroskedastisitas Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia ............................................................................................... 125
12. Hasil Estimasi Persamaan Harga Jagung Lokal di Indonesia ............... 126 13.
Uji Multikolinearitas Persamaan Harga Jagung Lokal di Indonesia ............................................................................................... 126
14. Uji Autokorelasi Persamaan Harga Jagung Lokal di Indonesia............ 126 15.
Uji Heteroskedastisitas Persamaan Harga Jagung Lokal di Indonesia ............................................................................................... 126
16. Hasil Estimasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ................. 127 17.
Uji Multikolinearitas Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ............................................................................................... 127
18. Uji Autokorelasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ............. 127 19.
Uji Heteroskedastisitas Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ............................................................................................... 127
20. Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia................... 128
21.
Uji Multikolinearitas Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia ............................................................................................... 128
22. Uji Autokorelasi Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia ............................................................................................... 128 23.
Uji Heteroskedastisitas Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia ............................................................................................... 128
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Jagung sebagai salah satu komoditas subsektor tanaman pangan pada
sektor pertanian memiliki peranan sangat penting dalam perekonomian nasional. Komoditi jagung mempunyai prospek yang cukup baik sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri. Seiring dengan perkembangan industri pakan, industri makanan olahan (snack food), dan produk industri turunan berbasis jagung (integrated corn industry), jagung tidak hanya menjadi sumber karbohidrat kedua setelah beras tetapi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, penyedia bahan baku industri serta menjadi penarik bagi pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir (Lampiran 1). Industri pakan merupakan konsumen terbesar jagung di Indonesia (85,84 persen) dibandingkan dengan industri snack food (6,44 persen) dan integrated corn industry (7,73 persen). Kebutuhan jagung sebagai pakan ternak pada tahun 2007 mencapai kurang lebih 6,5 juta ton, dimana sebanyak empat juta ton digunakan sebagai bahan baku pakan dan sisanya digunakan langsung oleh peternak (Departemen Perindustrian, 2007). Perkembangan industri pakan diperlukan untuk mendukung pertumbuhan industri peternakan yang selama ini harus bersaing dengan produk peternakan impor. Konsumsi produk peternakan seperti daging, telur, dan susu mengalami peningkatan karena tumbuhnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berdaya
saing tinggi di era globalisasi. Kandungan protein pada daging, telur, dan susu lebih tinggi dibandingkan protein pada tahu. Jika harga protein telur Rp 75 per gram sama dengan harga protein tahu per gramnya tetapi telur memiliki kandnugan protein (12,5 persen) lebih besar dibandingkan tahu (7,5 persen), sedangkan kandungan protein pada daging, khususnya daging ayam mencapai 18,5 persen dengan harga protein daging ayam Rp 85 per gram sedikit lebih mahal dibandingkan dengan harga protein telur. Rendahnya
daya
beli
masyarakat
terhadap
produk
peternakan
menyebabkan konsumsi akan protein hewani juga relatif rendah. Konsumsi daging masyarakat Indonesia tahun 2006 hanya sebesar 4,5 kg per kapita masih rendah dibandingkan dengan Filipina yang mencapai 8,5 kg per kapita atau Thailand 14 kg per kapita. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia, Indonesia sangat jauh tertinggal, karena konsumsi di kedua negara tersebut berturut-turu telah mencapai 28 kg per kapita dan 38,5 kg per kapita (Kompas, 2007). Oleh karena itu, ketersediaan jagung dalam negeri sangat penting mendukung pertumbuhan industri peternakan agar dapat berproduksi secara efisien sehingga harga produk peternakan terjangkau oleh masyarakat. Sejak awal pertumbuhan industri peternakan dalam negeri pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri. Hal ini terbukti selama periode tahun 1985 – 2005 produksi jagung dalam negeri relatif meningkat seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.1. Peningkatan produksi jagung tersebut diupayakan melalui program Insus (Intensifikasi Khusus) yang berlanjut ke Supra Insus berupa percepatan peningkatan produksi jagung hibrida dan komposit.
Kemudian program perluasan areal tanam/panen dan peningkatan Intensitas Pertanaman (IP) di daerah-daerah penghasil jagung di Indonesia yang masih terdapat potensi lahan cukup luas untuk pengembangan usaha tani jagung yang mulai dirintis tahun 1996/1997. Tahun 2001 pemerintah mengadakan program Gema Palagung (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai, dan Jagung) diaktualisasikan dalam Upaya Khusus Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional (UPSUS PKPN) agar swasembada jagung dapat tercapai (Sumarno et al., 1998 dalam Sarasutha, 2002). Tabel 1.1.
Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung di Indonesia Produksi Jagung Indonesia (Ribu Ton)
Konsumsi Rumah Tangga (Ribu Ton)
Permintaan Industri (Ribu Ton)
1985
4.330
2.335,78
3.797,64
1986
5.920
1.974,96
5.193,08
1987
5.156
1.668,52
4.522,32
1988
6.652
1.603,10
5.834,75
1989
6.193
1.539,33
5.431,78
1990
6.734
1.450,80
5.906,78
1991
6.256
1.327,44
5.487,39
1992
7.995
1.211,73
7.013,25
1993
6.460
1.104,65
5.666,18
1994
6.869
893,55
6.025,07
1995
8.246
720,61
7.232,92
1996
9.307
584,06
8.164,04
1997
8.771
616,23
7.693,38
1998
10.169
650,04
8.920,20
1999
9.204
682,54
8.073,35
2000
9.677
728,37
8.488,13
2001
9.347
790,34
8.198,92
2002
9.585
863,29
8.407,76
2003
10.886
869,41
9.549,08
2004
11.225
877,37
9.846,26
2005 Rata-rata pertumbuhan
12.014
885,40
10.537,87
6,20%
-4,25%
6,21%
Tahun
Sumber: Departemen Pertanian, 2006
Pertumbuhan produksi jagung tersebut telah mampu mencukupi konsumsi jagung secara nasional, bahkan dapat dikatakan surplus produksi karena terjadi penurunan konsumsi di tingkat rumah tangga meskipun konsumsi untuk industri meningkat, sehingga diperlukan terobosan teknologi pengolahan/penyajian (product development) untuk meningkatkan kembali konsumsi jagung di tingkat rumah tangga. Pada dasarnya terdapat perbedaan jenis jagung yang dikonsumsi sebagai bahan pangan pokok dan bahan baku industri, terutama industri pakan. Jenis jagung yang digunakan untuk bahan pangan pokok adalah jagung lokal yang ditanam pada ekosistem lahan kering dengan teknologi tradisional (subsisten), sehingga hasilnya relatif rendah. Jagung lokal termasuk ke dalam tipe jagung mutiara (Zea mays indurata) yang umumnya berwarna putih. Jagung untuk bahan baku industri (jagung hibrida dan varietas unggul komposit) ditanam pada lahan sawah atau lahan kering beriklim basah dengan menerapkan teknologi maju. Berdasarkan tipenya termasuk ke dalam jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang umumnya berwarna kuning. Mengingat industri pakan merupakan konsumen terbesar jagung di dalam negeri dan jenis jagung yang digunakan sebagai bahan baku pakan belum banyak diproduksi oleh petani jagung dalam negeri, maka kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan sejauh ini dipenuhi melalui impor. Pemerintah akan mengijinkan impor jagung selama kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan belum mampu dipenuhi produksi jagung dalam negeri. Akibat masih terbatasnya produksi jagung yang digunakan industri pakan perkembangan impor jagung Indonesia relatif meningkat selama periode tahun 1985 – 2005 secara fluktuatif.
Kebijakan impor jagung dipilih sebagai cara untuk mengatasi kekurangan dan kontinuitas pasokan jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan baku industri pakan. Pemerintah tidak ingin memberatkan industri pakan sebagai pendukung pertumbuhan industri peternakan menanggung biaya produksi yang tinggi sebab hal tersebut akan berakibat pada tingginya harga produk peternakan. Di satu sisi, pemerintah harus tetap memperhatikan petani jagung dalam negeri agar memperoleh pendapatan yang layak dari usaha tani jagung. Impor jagung yang terus meningkat akan berakibat pada rendahnya insentif yang diterima petani jagung, sehingga akan menyebabkan bahaya latent, yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Peningkatan impor jagung juga berdampak negatif pada terkurasnya devisa negara dan neraca perdagangan ekspor-impor jagung Indonesia yang semakin defisit. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk meningkatkan produksi jagung Indonesia, terutama jagung gigi kuda (Zea mays indentata) perlu segera ditingkatkan agar secara bertahap Indonesia mampu mengurangi bahkan menghilangkan
ketergantungan
impor
jagung.
Faktor-faktor
yang
perlu
diperhatikan agar produksi jagung Indonesia dapat lebih ditingkatkan dan mampu mencukupi konsumsi jagung, terutama industri pakan adalah berawal dari perbaikan transparansi data produksi. Data produksi jagung Indonesia belum dijelaskan apakah produksi jagung berupa jagung kering pipilan dengan kadar air 17 persen atau bentuk lain, seperti tanaman jagung, jagung sayur atau tongkol. Data yang belum terspesifikasi sesuai dengan jenis jagung juga mempersulit analisis konsumsi jagung sebagai bahan baku industri. Kemudian memperbaiki
variabel utama dalam penentuan produksi jagung, yaitu luas areal panen dan produktivitas jagung. Peningkatan produksi jagung selama ini diduga dipengaruhi oleh peningkatan produktivitas per hektar areal penanamannya, sedangkan jika terjadi fluktuasi produksi antara lain karena mengikuti pola luas areal panen. Di tahun 2005 produktivitas jagung Indonesia (3,43 ton per hektar) masih relatif rendah dibandingkan dengan produktivitas jagung dunia (4,72 ton per hektar) namun Indonesia masih berpotensi besar untuk meningkatkan produktivitas jagung melalui perbaikan sistem usaha tani jagung. Seiring dengan upaya peningkatan produksi melalui faktor-faktor di atas, impor jagung Indonesia yang relatif meningkat dari tahun ke tahun meskipun kondisi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika memiliki kecenderungan terdepresiasi juga perlu segera diatasi. Faktor utama penyebab terjadinya peningkatan impor jagung Indonesia, selain jenis jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang masih terbatas di Indonesia adalah tingkat harga jagung dunia yang relatif selalu menurun karena ketersediaan jagung di pasar dunia selalu melimpah akibat peningkatan ekspor jagung Amerika Serikat dan Cina. Faktor lain yang menjadi pendorong para pengusaha pakan melakukan impor adalah efisiensi, dimana pengusaha pakan hanya berurusan dengan seorang eksportir jagung dari negara asal. Jika membeli jagung lokal pengusaha pakan harus mengumpulkan jagung sedikit demi sedikit dari beberapa petani di berbagai wilayah sebagai pasokan bahan baku dengan kualitas yang belum terstandarisasi dan tidak kontinu setiap waktu. Tarif impor juga dianggap sebagai faktor penting
yang harus dianalisis secara tepat, sebab tarif impor diharapkan dapat membatasi impor jagung ketika sedang dalam musim panen. Berdasarkan gambaran kondisi produksi, konsumsi, dan impor komoditi jagung di Indonesia, maka sangat diperlukan suatu kajian atau penelitian yang membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor jagung Indonesia sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang berperan penting dalam produksi dan impor jagung sekaligus mengetahui hal-hal apa saja yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri dan mengurangi impor jagung ke Indonesia.
1.2.
Perumusan Masalah Produksi jagung Indonesia yang mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun selama periode tahun 1985 – 2005 ternyata disertai dengan peningkatan konsumsi jagung terutama untuk industri. Jumlah produksi jagung yang lebih besar dibandingkan dengan konsumsi jagung menunjukkan bahwa tidak pernah terjadi ketimpangan antara produksi dan konsumsi jagung secara nasional. Akan tetapi, selama kurun waktu tersebut impor jagung Indonesia memiliki kecenderungan meningkat secara fluktuatif. Perbedaan jenis jagung yang banyak diproduksi di Indonesia dengan jenis jagung yang diimpor merupakan penyebab utama peningkatan impor meskipun Indonesia dapat dikatakan telah surplus produksi. Produksi jagung lokal Indonesia yang umumnya tipe jagung mutiara (Zea mays indurata) hanya enak dikonsumsi langsung sebagai campuran beras dan tidak cocok digunakan sebagai bahan baku pakan.
Upaya untuk mengatasi kekurangan jagung gigi kuda (Zea mays indentata) sebagai akibat tingginya konsumsi jagung sebagai bahan baku industri pakan, pemerintah Indonesia mengijinkan para pengusaha pakan untuk mengimpor jagung yang setiap tahunnya meningkat dan bahkan mulai tahun 1990-an status Indonesia telah berubah menjadi negara net importir jagung (Tabel 1.2) (Kasryno, 2002 dalam Kariyasa dan Sinaga, 2004). Hal tersebut telah berdampak positif pada pengembangan sumber pendapatan dan lapangan kerja yang luas bagi peternakan rakyat. Jika sejak awal perkembangan industri pakan dan peternakan disertai dengan antisipasi yang efektif dalam memenuhi kebutuhan jagung maka ketergantungan pada impor jagung tidak akan terjadi. Tabel 1.2.
Perkembangan Ekspor-Impor Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005
Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata pertumbuhan Sumber: Departemen Pertanian, 2006
Ekspor
Impor 3.542 4.433 4.680 37.454 232.093 136.641 30.742 136.523 52.088 34.091 74.880 26.830 18.957 632.515 96.647 28.066 90.474 16.306 33.691 32.679 62.748 241,14%
49.863 57.369 220.998 63.454 33.340 515 323.176 55.498 494.446 1.109.253 969.145 616.942 1.098.354 313.463 618.060 1.264.575 1.035.797 1.154.063 1.345.452 1.088.928 234.706 3182%
Sebelum tahun 1980 penggunaan jagung di Indonesia hanya sebatas untuk kebutuhan konsumsi langsung oleh sekelompok masyarakat di daerah-daerah tertentu. Pada tahun 1980 sekitar 94 persen penggunaan jagung untuk memenuhi konsumsi langsung dan hanya sekitar enam persen untuk industri pakan. Selama periode 1980 – 2002 penggunaan jagung masih didominasi untuk kebutuhan konsumsi langsung tetapi pangsanya relatif menurun. Sejak tahun 2003 pangsa penggunaan jagung untuk kebutuhan konsumsi langsung relatif lebih kecil dibandingkan untuk penggunaan industri pakan. Selama periode 2000 – 2004 penggunaan jagung untuk konsumsi langsung menurun dengan laju sekitar dua persen per tahun, sementara penggunaan jagung untuk industri pakan dan industri pangan meningkat masing-masing sebesar 5,76 persen per tahun dan tiga persen per tahun (Departemen Pertanian, 2005). Konsumsi jagung oleh negara berkembang relatif meningkat karena pola konsumsi terhadap produk peternakan cenderung meningkat akibat pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk dan urbanisasi. Pasandaran dan Kasryno (2003) menjelaskan bahwa peningkatan permintaan jagung sebagai bahan baku pakan di negara-negara peningkatan
berkembang produksi
dihadapkan
jagung
dalam
pada negeri
permasalahan di
negara
lambannya
masing-masing.
Perkembangan perdagangan ekspor-impor jagung Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan defisit dan mencapai puncaknya pada tahun 2003, yaitu sebesar 1,31 juta ton atau setara 163,41 juta US$ (Tabel 1.2). Hal ini disebabkan karena penggunaan jagung impor sebagai bahan baku industri pakan di dalam negeri meningkat cukup tajam selama periode 1990 – 2001 dengan laju
sekitar 11,81 persen per tahun. Mulai tahun 1994 ketergantungan industri pakan terhadap jagung impor sangat tinggi, yaitu sekitar 40,29 persen. Pada tahun 2000 penggunaan jagung impor dalam industri pakan sudah mencapai 47,04 persen, sementara 52,96 persen sisanya berasal dari jagung produksi dalam negeri. Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi oleh pertanian jagung Indonesia, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi jagung di Indonesia?
2.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi impor jagung di Indonesia?
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas,
maka tujuan dari penelitian ini antara lain adalah: 1.
Mengkaji perkembangan produksi, konsumsi, dan impor jagung Indonesia.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung di Indonesia.
3.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor jagung di Indonesia. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh seluruh
stakeholder dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan produksi jagung Indonesia dan mengurangi bahkan menghapus ketergantungan impor jagung. Adapun stakeholder yang terkait dalam hal ini diantaranya mencakup tiga pihak, yaitu pemerintah sebagai pengambil kebijakan, pelaku ekonomi (produsen dan
konsumen jagung), dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai data dasar (bench mark data) bagi penelitian selanjutnya yang terkait dalam bidang ini.
1.4.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini merupakan kajian terhadap sistem pertanian jagung nasional
dimana selalu terjadi kesenjangan dari waktu ke waktu. Permasalahan produksi jagung di Indonesia yang dianalisis dalam penelitian ini tidak dibedakan berdasarkan jenis jagung yang diproduksi (jagung lokal, jagung hibrida atau jagung komposit) oleh petani jagung di Indonesia sehingga data produksi yang digunakan adalah data produksi jagung nasional. Analisis impor jagung Indonesia dalam penelitian ini didasarkan pada kode HS Nomor 1005.90.10.00 yaitu yellow maize atau corn dan tidak dibedakan berdasarkan negara asal impor. Berdasarkan pola data historis produksi dan impor jagung Indonesia dari tahun 1985 – 2005 dapat disimpulkan apakah terjadi kecenderungan meningkat atau menurun. Adapun keterbatasan dari penelitian ini dimana tujuan dan penelitian dapat dicapai dengan menggunakan data historis yang ada, antara lain: 1.
Data yang digunakan adalah data tahunan, sehingga model persamaan yang dirumuskan tidak menggambarkan fluktuasi semesteran, bulanan, mingguan atau bahkan harian.
2.
Terdapat beberapa faktor yaitu data curah hujan rata-rata di Indonesia; jumlah penggunaan pupuk rata-rata di Indonesia; intensifikasi luas lahan kering, sawah, dan pasang surut; harga benih jagung lokal, hibrida, dan komposit yang dapat mewakili harga faktor produksi selain harga pupuk
urea yang diduga berpengaruh dalam menganalisis produktivitas jagung di Indonesia. 3.
Data produksi, luas areal panen, produktivitas, konsumsi, dan harga jagung tidak dibedakan berdasarkan jenis jagung yang terdapat di Indonesia.
4.
Data impor jagung berupa volume dan nilai impor jagung Indonesia yang digunakan tidak dibedakan berdasarkan jenis-jenis jagung yang diimpor dan negara asal impor jagung baik oleh perusahaan pakan maupun importir, sehingga data impor yang digunakan hanya berdasarkan kode HS Nomor 1005.90.10.00 yaitu yellow maize atau corn.
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Tinjauan Pustaka
2.1.1. Teori Penawaran, Permintaan, dan Harga Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa dalam lingkup ekonomi merupakan jumlah suatu barang atau jasa (komoditi) yang rela dan mampu dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan pada tingkat harga tertentu (Pappas dan Hirschey, 1995). Penawaran dalam pertanian merupakan banyaknya komoditas pertanian yang disediakan atau ditawarkan oleh berbagai produsen di suatu daerah. Hubungan yang terjadi antara harga dan jumlah yang ditawarkan adalah positif, yaitu semakin tinggi harga suatu komoditi (dari 0P1 ke 0P2), semakin banyak jumlah komoditi yang ditawarkan produsen (dari 0Q1 ke 0Q2) (Gambar 2.1). Harga barang Kurva Penawaran P2 P1
0
Q1
Q2
Jumlah barang
Gambar 2.1. Kurva Penawaran Sebaliknya, semakin rendah harga suatu komoditi semakin sedikit jumlah komoditi yang ditawarkan. Soekartawi (2002) dalam Rahim dan Hastuti (2007)
menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran produk pertanian meliputi teknologi, harga input, harga produk yang lain, jumlah produsen, harapan konsumen, dan elastisitas produksi. Asumsi yang digunakan dalam teori penawaran ini adalah ceteris paribus, yaitu keadaan dimana faktor-faktor lain dianggap tetap. Misalnya, apabila harga komoditi itu sendiri naik, diasumsikan ceteris paribus berarti faktor-faktor selain harga komoditi itu sendiri tidak mengalami perubahan (Lipsey, 1995). Jumlah produksi yang ditawarkan di pasaran berasal dari produksi pada waktu tertentu dan inventory (persediaan) dari periode-periode sebelumnya. Menurut Iswardono (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi secara matematis dapat dituliskan dengan fungsi sebagai berikut: QSK=f(PK, PS, PI, G, T, TX) .............................................................................. (2.1) dimana: QSK
= Penawaran komoditi
PK
= Harga komoditi itu sendiri
PS
= Harga komoditi lain (substitusi atau komplementer)
PI
= Harga faktor produksi
G
= Tujuan perusahaan
T
= Tingkat penggunaan teknologi
TX
= Pajak dan subsidi Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi secara
langsung adalah:
1.
Harga komoditi itu sendiri. Dalam keadaan ceteris paribus, harga komoditi itu sendiri mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah barang yang ditawarkan. Tingkat harga yang tinggi pada komoditi tersebut akan membuat produsen menambah produksinya sehingga penawaran meningkat. Hal ini karena peningkatan harga akan meningkatkan keuntungan produsen. Sebaliknya jika harga komoditi tersebut menurun, minat produsen untuk berproduksi akan berkurang sehingga penawaran akan turun. Dengan demikian, perubahan harga suatu komoditi akan menyebabkan pergerakan sepanjang kurva penawaran.
2.
Harga komoditi lain (substitusi atau komplementer). Berbagai komoditi dapat disubstitusi dan juga memiliki komoditi pendukung, baik dalam produksi maupun konsumsi. Komoditi lain, baik substitusi maupun komplementer juga mempengaruhi komoditi yang bersangkutan. Peningkatan harga barang sustitusi akan menyebabkan penurunan
penawaran
komoditi
yang
bersangkutan.
Sebaliknya,
penurunan harga barang substitusi akan meningkatkan penawaran komoditi yang bersangkutan. Sementara untuk barang komplementer, kenaikan harganya akan menyebabkan peningkatan penawaran komoditi yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya, penurunan harga barang komplementer akan berakibat turunnya penawaran komoditi yang bersangkutan.
3.
Harga faktor-faktor produksi. Harga suatu faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Faktor-faktor produksi seperti mesin, tenaga kerja, dan bahan baku akan mempengaruhi jumlah komoditi yang ditawarkan. Semakin tinggi harga faktor-faktor produksi, maka keuntungan yang diperoleh produsen berkurang, sehingga insentif produsen untuk berproduksi juga berkurang. Jadi, kenaikan harga faktor-faktor produksi akan menurunkan jumlah komoditi yang diproduksi dan ditawarkan.
4.
Tujuan perusahaan. Jumlah komoditi yang ditawarkan juga tergantung apa yang menjadi tujuan perusahaan. Teori dasar ilmu ekonomi menyatakan bahwa tujuan perusahaan adalah memaksimumkan laba. Akan tetapi, terdapat juga perusahaan yang tidak berorientasi kepada maksimisasi laba. Perusahaan seperti itu dapat meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa terlalu memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan.
5.
Tingkat penggunaan teknologi. Kunci utama dari penawaran suatu komoditi adalah teknologi. Teknologi mengacu kepada bagaimana input diproses menjadi output. Apabila teknologi yang digunakan dapat mempercepat proses produksi atau mengurangi biaya produksi, maka keuntungan dan insentif produsen untuk berproduksi akan meningkat. Akibatnya jumlah komoditi yang ditawarkan akan meningkat. Jadi teknologi yang digunakan berkolerasi positif terhadap penawaran suatu komoditi.
6.
Pajak dan subsidi. Adanya
pajak
seperti
pajak
penjualan,
pajak
penghasilan
akan
mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk berproduksi. Maka, penawaran komoditi tersebut akan berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan meningkatkan keuntungan, sehingga penawaran komoditi tersebut akan meningkat. Asumsi ceteris paribus digunakan dalam pasar persaingan sempurna, dimana perubahan semua faktor kecuali harga komoditi yang bersangkutan dapat menyebabkan pergeseran kurva penawaran yang berarti peningkatan dalam penawaran akan berakibat turunnya harga komoditi tersebut, dan sebaliknya. Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu dan kondisi tertentu (Pappas dan Hirschey, 1995). Dalam teori ekonomi mikro untuk mempelajari perilaku konsumen atau masyarakat dalam mengonsumsi barang dan jasa dapat digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kardinal dan pendekatan ordinal. Menurut Sudarisman dan Algifari (1999) dalam Rahim dan Hastuti (2007), pendekatan kardinal menganggap seorang konsumen dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa selalu berusaha memperoleh kepuasan total yang maksimum dari barang dan jasa yang dikonsumsi. Sedangkan pendekatan ordinal adalah kepuasan konsumen dapat diukur secara kondirol (absolut), tetapi kepuasannya hanya mungkin dapat diukur dengan angka ordinal (relatif). Iswardono (1994) juga menjelaskan faktor-
faktor yang mempengaruhi permintaan secara sistematis dapat dituliskan sebagai berikut: QDK=f(PK, PS, I, S, PD) .................................................................................... (2.2) dimana: QDK
= Permintaan komoditi
PK
= Harga komoditi itu sendiri
PS
= Harga komoditi lain
I
= Pendapatan
S
= Selera
PD
= Populasi penduduk Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan suatu komoditi secara
langsung adalah: 1.
Harga komoditi itu sendiri. Dengan asumsi ceteris paribus, peningkatan harga komoditi yang bersangkutan akan menurunkan permintaannya, dan penurunan harga komoditi
yang
bersangkutan
akan
meningkatkan
permintaannya.
Permintaan dan harga komoditi yang bersangkutan memiliki hubungan yang negatif. 2.
Harga komoditi lain. Perubahan harga komoditi substitusi akan mempengaruhi permintaan atas komoditi yang bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditi substitusi
akan
meningkatkan
permintaan
atas
komoditi
yang
bersangkutan, dan permintaan barang yang bersangkutan akan mennurun
jika harga komoditi substitusi turun. Sedangkan perubahan harga barang komplementer dapat mengubah permintaan komoditi yang bersangkutan secara negatif. Semakin tinggi harga barang komplementer, semakin rendah permintaan atas komoditi yang bersangkutan. 3.
Pendapatan. Kenaikan
pendapatan
cenderung
meningkatkan
permintaan
untuk
komoditi yang berupa barang normal, dan sebaliknya. 4.
Selera. Salah satu hal yang berpengaruh terhadap permintaan adalah selera. Perubahan selera terjadi dari waktu ke waktu, dan cepat atau lambat akan meningkatkan permintaan pada periode tertentu dan tingkat harga tertentu.
5.
Populasi penduduk. Peningkatan jumlah penduduk dapat meningkatkan permintaan atas suatu komoditi. Hal ini diakibatkan semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak konsumen yang menginginkan suatu komoditi. Harga barang
P2 P1 Kurva Permintaan
0
Q2
Q1
Jumlah barang
Gambar 2.2. Kurva Permintaan
Hubungan antara harga dengan jumlah barang yang akan dibeli adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ketika produsen meningkatkan harga barang, maka yang terjadi pada jumlah barang yang akan dibeli akan berkurang. Kemudian ketika harga barang diturunkan konsumen akan bersedia membeli lebih banyak barang sehingga jumlah barang yang diminta akan meningkat (Gambar 2.2). Permintaan suatu komoditas pertanian adalah banyaknya komoditas pertanian yang dibutuhkan dan dibeli oleh konsumen (Soekartawi, 1999 dalam Rahim dan Hastuti, 2007). Jadi, permintaan komoditas pertanian merupakan keseluruhan atau banyaknya jumlah komoditas pertanian yang dibutuhkan dan diinginkan
oleh
pembeli
(lembaga-lembaga
pemasaran
dan
konsumen)
berdasarkan harga yang sudah ditentukan oleh produsen (petani, nelayan, dan peternak). Harga dibentuk oleh pasar yang mempunyai dua sisi, yaitu penawaran dan permintaan. Harga merupakan sinyal kelangkaan (scarcity) suatu sumberdaya yang mengarahkan pelaku ekonomi untuk mengalokasikan sumberdayanya (Sunaryo, 2001). Perpotongan kurva penawaran dengan kurva permintaan suatu komoditi dalam suatu pasar menentukan harga pasar komoditi tersebut, dimana jumlah komoditi yang diminta sama dengan jumlah komoditi yang ditawarkan. Dengan kata lain, keseimbangan harga pasar merupakan hasil interaksi kekuatan penawaran dan permintaan kmoditi di pasar (Nicholson, 1995). Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai: (1) pemberi informasi tentang jumlah komoditi yang sebaiknya dipasok oleh produsen untuk
memperoleh laba maksimum; (2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum (Nicholson, 1995). Permintaan mempengaruhi harga secara positif, dimana jika permintaan turun maka kuantitas komoditi yang ada di pasar cenderung berlebihan sehingga produsen akan menawarkan komoditinya dengan harga yang lebih rendah. Sedangkan penawaran mempengaruhi harga secara negatif, dimana jika penawaran meningkat maka harga akan cenderung turun dikarenakan kuantitas komoditi yang ada lebih besar daripada yang diinginkan konsumen (Nicholson, 1995). 2.1.2. Teori Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional menganalisis dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang diperoleh suatu negara dari pelaksanaan perdagangan internasional tersebut. Pada dasarnya perdagangan internasional bertujuan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor dan memperbesar penerimaan devisa sebagai penyediaan dana pembangunan bagi negara yang bersangkutan. Salvatore (1997) menjelaskan bahwa para aliran Merkantilisme berpendapat satu-satunya cara bagi sebuah negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sesedikit mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkan selanjutnya akan dibentuk dalam aliran emas lantakan, atau logam mulia, khususnya emas dan perak. Kaum Merkantilisme mengukur kekayaan sebuah negara dengan stok (cadangan) logam mulia yang dimilikinya.
Lain halnya dengan Adam Smith yang berpendapat bahwa perdagangan antara dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan
dengan
cara
masing-masing
melakukan
spesialisasi
dalam
memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut, dan menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. David Ricardo berpendapat meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini merupakan komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditi ini memiliki kerugian absolut). Pada umumnya model perdagangan internasional didasarkan pada empat hubungan inti, antara lain sebagai berikut: 1.
Hubungan antara batas-batas kemungkinan produksi dengan kurva penawaran relatif.
2.
Hubungan antara harga-harga relatif dengan tingkat permintaan.
3.
Penentuan keseimbangan dunia dengan penawaran relatif dunia dan permintaan relatif dunia.
4.
Dampak-dampak atau pengaruh nilai tukar perdagangan (terms of trade), yaitu harga ekspor dari suatu negara dibagi dengan harga impornya, terhadap kesejahteraan suatu negara. Px/Py
Px/Py Sx
P3 P2
B
Ekspor
Px/Py S(Ekspor)
A” E
A” Dx
x1 Kurva 1 (Negara 1)
P3
B”
A P1
Sx
X
A’ B’ Impor
D(Impor)
x Kurva 2 (Negara 2)
E’
X
x2 Kurva 3 (Negara 3)
X
Sumber: Salvatore, 1997
Gambar 2.3. Mekanisme Perdagangan Internasional Keterangan gambar: Kurva 1: Menggambarkan keadaan pasar komoditi X di negara 1 (x1). Kurva 2: Menggambarkan perdagangan internasional komoditi X negara 1 dan 2 (x). Kurva 3: Menggambarkan keadaan pasar komoditi X di negara 2 (x2). Mekanisme perdagangan internasional dapat dilihat pada Gambar 2.3. Negara 1 akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik A berdasarkan harga relatif komoditi X (Px/Py) sebesar P1 sebanyak x1, sedangkan negara 2 akan berproduksi dan berkonsumsi di titik A’ pada harga relatif komoditi X di P3 sebanyak x2. Setelah hubungan perdagangan berlangsung di antara kedua negara
tersebut, harga relatif komoditi X akan berada di antara P1 dan P2. Apabila harga relatif yang berlaku di negara 1 lebih besar dari P1, maka negara 1 akan memasok lebih banyak daripada tingkat permintaan (konsumsi) domestiknya. Kelebihan produksi tersebut akan diekspor ke negara 2. Di lain pihak, jika harga relatif yang berlaku di negara 2 lebih kecil dari P3, maka negara 2 akan mengalami peningkatan permintaan, sehingga tingkat permintaan akan melebihi penawaran domestiknya. Hal ini akan mendorong negara 2 untuk mengimpor komoditi X dari negara 1. Px Dx
Sx
E P2 G
J
P1 A C
M
RE
H N
B
T X
RE = Revenue Effect Sumber: Salvatore, 1997
Gambar 2.4. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif Kurva pada Gambar 2.4 menunjukkan dampak diberlakukannya tarif impor di suatu negara. Sebelum adanya tarif impor harga komoditi berada pada P1 dengan konsumsi dan produksi domestik masing-masing berada di D1 (AB) dan S1 (AC), sehingga harus melakukan impor komoditi X sebesar CB dari negara lain. Jika negara tersebut memberlakukan tarif impor sebesar T, maka harga akan melonjak menjadi P2. Akibat kenaikan harga tersebut maka konsumen akan
menurunkan konsumsinya menjadi D2 (AN), dan produksi meningkat menjadi S2 (AM), sehingga impor turun menjadi sebesar MN. Dengan demikian maka dampak adanya tarif terhadap konsumsi domestik bersifat negatif, yaitu sebesar BN. Sementara itu dampak terhadap produksi domestik bersifat positif, yaitu meningkatkan produksi sebesar CM. Secara keseluruhan, pemberlakuan tarif memberi pemasukan terhadap penerimaan pemerintah (revenue effect of
the
tariff) sebesar banyaknya tarif (T) dikali banyaknya komoditi X yang diimpor setelah tarif (MN), yaitu sebesar MNHJ. 2.1.3. Tarif Tarif adalah pajak produk internasional (impor) di pasar domestik (Sunaryo, 2001). Sedangkan, menurut Smith dan Blakslee (1995) yang dimaksud tarif adalah bea masuk (atau pajak) yang dikenakan terhadap barang yang diangkut dari satu wilayah pabean ke wilayah pabean lain, baik dengan tujuan untuk melindungi atau untuk memperoleh penghasilan. Tarif menyebabkan harga suatu barang impor lebih tinggi, sehingga membuat barang tersebut secara umum kurang dapat bersaing di pasar negara pengimpor, kecuali jika negara pengimpor tersebut tidak menghasilkan barang yang dikenai tarif tersebut. Kebijakan pemerintah dalam menentukan dan memberlakukan tarif atas suatu komoditi impor bertujuan untuk melindungi produsen dalam negeri. Hady (2004) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya, sistem (cara pemungutan) tarif bea masuk ini dapat dibedakan sebagai berikut:
1.
Ad Valorem Tariff Besarnya pungutan tarif atas barang impor ditentukan oleh tingkat persentase tarif dikalikan harga dari barang tersebut. Sistem ini memberikan keuntungan sebagai berikut: 1.
Dapat mengikuti perkembangan tingkat harga (inflasi).
2.
Terdapat diferensiasi harga produk sesuai kualitasnya.
Sedangkan kerugian dari sistem ini antara lain: 1.
Memberikan beban yang cukup berat bagi administrasi pemerintahan, khususnya bea cukai karena memerlukan data dan perincian harga barang yang lengkap.
2.
Sering menimbulkan perselisihan dalam penetapan harga untuk perhitungan bea masuk antara importir dan bea cukai sehingga dapat menimbulkan stagnasi (kemacetan) arus barang di pelabuhan.
2.
Specific Tariff Pungutan tarif ini didasarkan pada ukuran atau satuan tertentu dari barang impor. Di Indonesia sistem tarif ini digunakan sebelum tahun 1991. Keuntungan yang diperoleh jika menetapkan sistem ini antara lain: 1.
Mudah dilaksanakan karena tidak memerlukan perincian harga barang sesuai kualitasnya.
2.
Dapat digunakan sebagai alat kontrol proteksi industri dalam negeri.
Adapun kerugian dalam penetapan sistem ini adalah sebagai berikut: 1.
Pengenaan tarif dirasakan kurang atau tidak adil karena tidak membedakan harga atau kualitas barang.
2.
Hanya dapat digunakan sebagai alat kontrol proteksi yang bersifat statis.
3.
Compound Tariff Pungutan tarif ini merupakan perpaduan antara sistem ad valorem dan specific tariff.
2.1.4. Model Persamaan Simultan Model empirik yang baik dalam menjelaskan fenomena ekonomi adalah model yang dibuat sebagai suatu persepsi mengenai fenomena ekonomi aktual dan didasarkan pada teori ekonomika. Ada beberapa model empirik yang dianggap paling baik dalam kerangka model persamaan tunggal, yaitu model empirik dengan pendekatan koreksi kesalahan atau sering disebut error correction method (ECM) (Insukindro dan Aliman, 1999 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001). Akan tetapi model koreksi kesalahan mempunyai kelemahan yang paling berbahaya dalam model koreksi kesalahan, yaitu kemungkinan terjadinya overparameterisasi (Breusch dan Wickens, 1998 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001). Pada banyak penelitian, terkadang peneliti dihadapkan pada fenomena ekonomi aktual yang saling mempengaruhi antara variabel ekonomi yang satu dengan yang lain dan telah disepakati sebagai suatu teori ekonomika. Hal ini biasa disebut
dalam
teori
ekonometrika
sebagai
model
persamaan
simultan
(simultaneous-equation models). Berbeda dengan model regresi persamaan tunggal dimana variabel terikat (dependent variable) dinyatakan sebagai sebuah fungsi linier dari satu atau lebih variabel bebas (independent variable), sehingga hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas merupakan
hubungan satu arah (variabel bebas merupakan penyebab dan variabel terikat merupakan akibat). Model persamaan simultan merupakan suatu model dimana sejumlah persamaan membentuk suatu sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan di antara berbagai variabel dalam persamaan-persamaan tersebut, misalnya variabel terikat (Y) tidak hanya merupakan fungsi dari variabel bebas (X) atau (Y)=f(X) akan tetapi X=f(Y) (Sprout dan Weaver, 1993 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001). Di dalam model persamaan simultan tidak mungkin menaksir hanya satu persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada pada persamaan lainnya, kecuali jika dibuat asumsi khusus. Perbedaannya dengan metode penaksiran parameter dengan ordinary least squares (OLS) adalah pada metode ini dari setiap persamaan satu per satu diterapkan tanpa memperhatikan kaitannya dengan persamaan-persamaan lain, maka hasil penaksiran yang diperoleh tidak saja bias tetapi juga tidak konsisten. Artinya jika jumlah sampel ditambah sampai tak terhingga, penaksiran tidak akan mendekati atau tidak menggambarkan nilai parameter yang sesungguhnya (Pasaribu dan Saleh, 2001). 2.1.5. Penelitian Terdahulu Subandi (1998) dalam Nugraha, et al. (2003) menjelaskan bahwa rendahnya rata-rata hasil produksi jagung nasional disebabkan oleh interaksi dari beberapa faktor, antara lain sebagai berikut: 1.
Lahan. Sekitar 89 persen jagung dibudidayakan pada lahan sawah tadah hujan dan tegalan dengan curah hujan yang tidak menentu, sehingga sering
mengalami kekeringan atau tergenang, serta pada tanah-tanah yang umumnya memiliki kesuburan rendah, pH basa atau masam. 2.
Petani. Petani jagung umumnya memiliki sumber daya yang terbatas, lahan sempit dan terpencar dan banyak di antaranya terletak di daerah terpencil dengan fasilitas komunikasi serta akses terhadap masukan yang terbatas. Hal ini menyebabkan rendahnya adopsi teknologi baru.
3.
Teknik budidaya yang diterapkan petani. Banyak petani yang mungkin dianggap telah mengadopsi teknologi baru, namun kebanyakan mereka masih menerapkan sebagian atau seluruh teknik budidaya tradisional dengan masukan rendah, seperti mutu benih rendah, varietas lokal berdaya hasil rendah, tanpa atau dengan pupuk takaran rendah, tanpa perlindungan hama dan penyakit, dan populasi tanaman tidak memadai. Karena kemampuan investasi dan daya tarik harga produk yang rendah, petani menganggap bahwa teknologi baru, terutama hibrida, merupakan teknologi yang mahal.
4.
Penanganan pasca panen. Sekitar 69 persen jagung dipanen pada musim hujan dan pengeringan sangat tergantung pada sinar matahari dan lantai jemur. Kadar air jagung setelah penjemuran biasanya hanya mencapai 16 – 18 persen walaupun pada musim kemarau. Kontaminasi aflatoksin terutama pada musim hujan dapat menurunkan mutu biji jagung yang dihasilkan.
5.
Harga. Di tingkat petani, harga jagung beragam tergantung pada daerah, dengan kisaran 35 – 64 persen dari harga di pasar kabupaten. Harga yang
lebih rendah di tingkat petani biasanya terjadi di daerah-daerah terpencil. Fluktuasi daya serap pasar dengan harga produk yang rendah ini kurang memacu petani untuk mengadopsi teknologi baru. Kemitraan antara pengusaha pakan dan petani dalam produksi dan pemasaran jagung telah terjalin akhir-akhir ini, namun komitmen dalam pelaksanaan hal-hal yang telah disepakati masih perlu ditingkatkan. 6.
Dukungan
pemerintah.
Berbagai
dukungan
telah
diberikan
oleh
pemerintah untuk meningkatkan produksi jagung domestik, seperti penelitian pengembangan varietas, penyuluhan, produksi benih, kredit, kebijakan harga dan pemasaran jagung, namun dukungan yang lebih efektif masih diperlukan. Pasandaran dan Kasryno (2003) melakukan penelitian di sentra utama produksi jagung di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tujuan produksi jagung di enam propinsi sentra produksi jagung berbeda-beda. Di Sumatera Utara produksi jagung lebih diorientasikan untuk komersiil (dijual), sedangkan di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan digunakan untuk bahan pangan pokok, dan di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk bahan pangan pokok dan bahan baku industri. Namun, tujuan tersebut mengalami pergeseran pangsa setelah pabrik pakan mulai berkembang, produksi jagung lebih diorientasikan sebagai bahan baku pakan. Perubahan lain yang terjadi adalah pergeseran penanaman jagung dari lahan kering ke lahan
beririgasi, yang ternyata telah mampu meningkatkan produktivitas, di samping karena penggunaan hibrida. Kasryno (2003) menganalisis perkembangan produksi jagung di Indonesia, yang ternyata produktivitas menjadi faktor utama peningkatan produksi jagung, meskipun luas panen jagung relatif tidak banyak mengalami perubahan. Produktivitas dapat ditingkatkan melalui inovasi dan adopsi teknologi baru, berupa varietas jagung unggul baru. Peningkatan produktivitas jagung akan meningkatkan insentif petani untuk menanam jagung sehingga produksi akan meningkat. Rachman (2003) menganalisis kebijakan perdagangan jagung domestik dalam penelitiannya yang berjudul Perdagangan Internasional Komoditas Jagung, dapat disimpulkan bahwa penerapan bea masuk impor yang realistis serta sesuai dengan siklus harga jagung dan nilai kurs rupiah dipandang penting sebagai langkah antisipatif terhadap penurunan harag jagung di pasar internasional dan untuk merangsang petani dalam meningkatkan produktivitas. Situmorang (2005) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras Indonesia menggunakan model persamaan simultan dengan metode Two Stage Least Squares. Sebagai komoditi yang juga termasuk dalam lingkup ketahanan pangan, ternyata produksi beras dipengaruhi oleh luas arel panen tanaman padi, produktivitas padi, dan kebijakan harga dasar gabah. Sedangkan dalam hal impor beras dipengaruhi harga impor beras, dimana harga impor beras dipengaruhi oleh harga beras dunia dan harga impor tahun sebelumnya.
Aldillah (2006) mencoba meramalkan permintaan dan penawaran jagung nasional dengan menggunakan model ARIMA. Dari hasil peramalannya menunjukkan bahwa permintaan jagung selalu melebihi penawarannya, sehingga kondisi neraca jagung nasional selalu defisit hingga tahun 2015. Rendahnya produksi jagung penyebab kecenderungan kecilnya pertumbuhan penawaran jagung. Purnamasari (2006) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor kedelai di Indonesia, menggunakan metode Two Stage Least Squares (2SLS) dengan menggunakan program SAS version 6.12. Dari hasil estimasi model secara keseluruhan hasil analisis yang diperoleh, luas areal panen kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai domestik, harga jagung, dan lag luas areal panen kedelai. Dalam jangka panjang luas areal panen kedelai responsif terhadap perubahan harga riil kedelai domestik dan perubahan harga jagung. Produktivitas kedelai dipengaruhi secara nyata oleh curah hujan, harga riil jagung, dan produktivitas kedelai tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap harga kedelai domestik adalah harga riil kedelai di tingkat produsen, harga riil kedelai impor, jumlah impor kedelai dan harga riil kedelai domestik tahun sebelumnya. Harga kedelai di tingkat produsen dipengaruhi secara nyata oleh jumlah produksi kedelai, jumlah impor kedelai, jumlah konsumsi kedelai, dan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya. Jumlah impor kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai internasional, jumlah populasi, jumlah produksi kedelai dan jumlah konsumsi kedelai.
Variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai impor Indonesia adalah harga kedelai internasional, nilai tukar, dan harga riil kedelai impor tahun sebelumnya. Dalam hal intervensi pemerintah, hasil analisis menunjukkan bahwa monopoli BULOG sangat berpengaruh terhadap harga riil kedelai di tingkat produsen, dengan kata lain pasar bebas domestik Indonesia masih perlu diproteksi oleh pemerintah dari pengaruh fluktuasi harga internasional, misalnya dengan cara membatasi impor, mengupayakan agar petani kedelai mau bermitra dengan petani, dimana petani diberi pendampingan teknis berupa pengadaan benih, pupuk, teknologi budidaya dari pengusaha terkait.
2.2.
Kerangka Pemikiran
2.2.1. Fungsi Produksi Produksi adalah tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa (Lipsey, 1993). Produksi komoditas pertanian merupakan hasil proses dari lahan pertanian dalam arti luas berupa komoditas pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan) dengan berbagai pengaruh faktor-faktor produksi dan faktor-faktor hasil tangkapan (perahu, alat tangkap, nelayan, jumlah trip, operasional dan musim) (Rahim dan Hastuti, 2007). Tidak ada produk yang dihasilkan dengan menggunakan satu input. Riset-riset yang telah dilakukan tidak hanya berperan dalam pengembangan kualitas input melainkan juga mempengaruhi pemakaian dan kombinasi penggunaan input-input tersebut. Proses produksi dalam rangka menghasilkan berbagai output seperti
yang diinginkan membutuhkan bermacam-macam input dengan kombinasi tertentu yang berbeda-beda. Fungsi yang digunakan untuk menjelaskan kombinasi input-input yang diperlukan
untuk
menghasilkan
output
dalam
produksi,
para
ekonom
menggunakan sebuah fungsi yang disebut fungsi produksi. Fungsi produksi adalah hubungan fungsi yang memperlihatkan jumlah maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap input dan oleh kombinasi berbagai input (Lipsey, 1993). Nicholson (2002) menjelaskan bahwa fungsi produksi memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan tenaga kerja (L). Salah satu fungsi produksi yang telah populer digunakan untuk menjelaskan hubungan produksi dalam sektor pertanian adalah fungsi produksi neoklasik (Debertin, 1986). Di dalam fungsi produksi neoklasik dijelaskan bahwa peningkatan penggunaan input akan meningkatkan produktivitas input tersebut. Kemudian produktivitas fisik marjinal (marginal physical productivity) menjelaskan seberapa banyak tambahan output yang dihasilkan melalui penambahan satu atau lebih input pada proses produksi dengan menganggap input-input lainnya tidak berubah (konstan). Fungsi produksi dapat dibuat dalam bentuk persamaan secara matematis atau digambarkan secara grafis untuk menjelaskan bahwa setiap pelaku ekonomi mempunyai tujuan masing-masing dalam proses kegiatan ekonominya, misalnya seorang petani mengkombinasikan tenaga mereka dengan bibit, tanah, hujan, pupuk dan peralatan mesin untuk memperoleh hasil panen. Produk pertanian yang
menggunakan sejumlah input tertentu, fungsi produksi secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: Y=f(X1,X2,X3,...,Xn)......................................................................................... (2.3) dimana Y adalah output yang dihasilkan dan X1, ..., Xn adalah input yang digunakan dalam proses produksi. Simbol fungsi f menunjukkan suatu bentuk hubungan
yang
mengubah
input
menjadi
output.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi produksi komoditas pertanian dapat berupa: 1. Lahan Pertanian. Lahan pertanian merupakan faktor utama penentu produksi komoditas pertanian. Secara umum dinyatakan bahwa semakin luas lahan (yang diolah/ditanami), semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan dari lahan tersebut. 2. Tenaga Kerja. Tenaga kerja dalam hal ini yang dimaksud adalah petani. Petani harus mempunyai kualitas berpikir yang maju agar dapat mengadopsi inovasiinovasi baru, terutama dalam menggunakan teknologi untuk pencapaian komoditas yang bernilai jual tinggi. 3. Modal. Setiap kegiatan ekonomi untuk mencapai tujuan dibutuhkan modal terlebih lagi dalam kegiatan proses produksi. Dalam kegiatan proses produksi modal dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (fixed cost) dan modal tidak tetap (variable cost). Modal tetap terdiri dari tanah, bangunan, mesin dan peralatan dimana biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi
tidak habis dalam sekali proses produksi, sedangkan modal tidak tetap terdiri dari benih, pupuk, pestisida dan upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja. 4. Pupuk. Tanaman tidak hanya membutuhkan air sebagai konsumsi pokoknya tetapi juga pupuk agar dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal. Sutejo (2002) dalam Rahim dan Hastuti (2007) menjelaskan bahwa pupuk yang sering digunakan adalah pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik atau pupuk alam merupakan hasil akhir dari perubahan atau penguraian bagian-bagian atau sisa-sisa tanaman atau binatang, misalnya pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, bungkil, guano dan tepung tulang. Sedangkan pupuk anorganik atau pupuk buatan merupakan hasil industri atau hasil pabrik-pabrik pembuat pupuk, misalnya pupuk urea, TSP dan KCL. 5. Pestisida. Pestisida dibutuhkan ranaman untuk mencegah serta membasmi hama dan penyakit yang menyerang tanaman tersebut. 6. Bibit. Keunggulan suatu komoditas tanaman ditentukan dari bibit tanaman tersbut berasal. Bibit yang unggul biasanya tahan terhadap penyakit dan hasil komoditasnya berkualitas tinggi sehingga harganya dapat bersaing di pasar.
7. Teknologi. Penggunaan teknologi dapat menciptakan rekayasa perlakuan terhadap tanaman dan mencapai tingkat efisiensi yang tinggi. 8. Manajemen. Peranan manajemen dalam usahatani modern menjadi sangat penting dalam mengelola produksi komoditas pertanian, mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengendalian (controlling), dan evaluasi (evaluation). Fungsi produksi yang digambarkan secara grafis dapar dilihat pada Gambar 2.1. Kurva produksi akan bergerak ke atas atau meningkat pada tingkat awal penambahan penggunaan input (x1) yang berarti akan menambah jumlah hasil produksi. Titik A menggambarkan kondisi dimana penambahan input tersebut menghasilkan tambahan hasil produksi yang maksimal. Kemudian pada saat berada di Titik B kondisi yang terjadi menurunnya hasil produksi meski penambahan penggunaan input tetap dilakukan, hal ini menunjukkan terjadinya tambahan hasil yang menurun. Selanjutnya kurva akan mencapai titik maksimum, yaitu pada Titik C dan mulai bergerak ke bawah atau menurun yang berarti setelah melewati titik maksimum penambahan penggunaan input tidak akan menambah hasil produksi. Kondisi ini terjadi misalnya ketika petani menggunakan pupuk anorganik secara berlebihan pada lahan yang sama dengan jenis tanaman yang sama secara berulang-ulang dari waktu ke waktu. Sehingga berakibat pada kerusakan keseimbangan alami tanah dan produktivitas lahan tersebut semakin berkurang.
450
TP
C B TP A
MP,AP
x1
x2
x3
x (input)
D E
AP Biaya (Rp)
x1
x2
x3
x (input) MP MC SATC SAVC
SAFC y1
y2
y3
SAFC y (output)
Harga (Rp) Kurva Penawaran Jangka Pendek p3 p2 y (output)
Sumber: Debertin, 1986 dan Nicholson, 2002
Gambar 2.5. Fungsi Produksi
Keterangan gambar: A
: Titik balik kurva produksi
C: Kondisi saat TP maksimum
B dan E: Kondisi saat AP maksimum Penambahan
suatu
input
D: Kondisi saat MP maksimum dalam
proses
produksi
awalnya
akan
menyebabkan kenaikan output secara signifikan, ceteris paribus. Tetapi perolehan manfaat dari penambahan input tersebut akan semakin menurun ketika input tersebut semakin banyak ditambahkan. Hal ini mencerminkan prinsip ekonomi mengenai produktivitas marjinal yang semakin menurun (diminishing marginal production). Selain memperhitungkan masalah penambahan suatu input terhadap peningkatan output, juga perlu memperhitungkan produktivitas fisik rata-rata (average product productivity) yaitu jumlah output per input. Skala hasil (return to scale) dalam konsep fungsi produksi dibagi menjadi tiga. Pertama, sebuah fungsi produksi dikatakan menunjukkan skala hasil konstan (constant return to scale) jika peningkatan seluruh input sebanyak dua kali lipat berakibat pada peningkatan output sebanyak dua kali lipat pula. Kedua, jika penggandaan seluruh input menghasilkan output yang kurang dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi tersebut dikatakan menunjukkan skala hasil menurun (decreasing return to scale). Ketiga, jika penggandaan seluruh input menghasilkan output lebih dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi mengalami skala hasil meningkat (increasing return to scale). Dari kurva fungsi produksi dimana produsen dapat menentukan jumlah output yang akan dihasilkan dengan tujuan memaksimumkan keuntungan pada tingkat biaya produksi minimum dapat
diperoleh kurva penawaran dalam jangka pendek. Hal ini sesuai dengan komoditas pertanian yang bersifat mudah rusak. 2.2.2. Fungsi Impor Impor dapat diartikan aliran masuknya barang dan jasa ke pasar sebuah negara untuk dipakai. Negara meningkatkan kesejahteraannya dengan mengimpor berbagai macam barang dan jasa yang bermutu dengan harga yang lebih rendah daripada yang dapat diproduksi di dalam negeri (Smith dan Blakeslee, 1995). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi suatu negara untuk melakukan impor suatu komoditi antara lain harga internasional, harga domestik, jumlah permintaan domestik, harga komoditi substitusi, serta Produk Domestik Bruto negara tersebut. Selain itu, secara tidak langsung impor ditentukan pula oleh perubahan laju nilai tukar uang (exchange rate) mata uang suatu negara terhadap negara lain. Di samping itu, faktor-faktor lain seperti nilai tukar, harga impor, biaya transportasi, tarif, selera konsumen, dan distribusi pendapatan juga berpengaruh terhadap impor. Hady (2004) menjelaskan bahwa kebijakan perdagangan internasional di bidang impor dapat dikelompokkan menjadi dua macam, antara lain sebagai berikut: 1.
Kebijakan Tariff Barrier. Kebijakan Tariff Barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut: 1.
Pembebasan bea masuk (tarif) rendah adalah antara nol persen sampai dengan lima persen dikenakan untuk bahan makanan pokok dan vital, seperti beras, mesin-mesin vital, alat-alat militer, dan lain-lain.
2.
Tarif sedang antara kurang dari lima persen sampai dengan 20 persen dikenakan untuk barang setengah jadi dan barang-barang lain yang belum cukup diproduksi di dalam negeri.
3.
Tarif tinggi di atas 20 persen dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan barang kebutuhan pokok.
2.
Kebijakan Non-Tariff Barrier. Kebijakan Non-Tariff Barrier adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional.
2.2.3. Kerangka Pemikiran Operasional Produksi jagung pada prinsipnya ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu luas areal dan produktivitas. Perkembangan luas areal panen jagung yang relatif masih
kecil
dibandingkan
dengan
perkembangan
produktivitas
jagung
menyebabkan produksi jagung belum mencapai hasil yang maksimal. Selama periode tahun 1985 – 2005 produksi jagung Indonesia mampu mencukupi konsumsi jagung Indonesia. Namun demikian, impor jagung Indonesia juga mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan konsumsi produk peternakan harus tetap dipertahankan atau bahkan lebih ditingkatkan agar kualitas sumber daya manusia Indonesia meningkat. Hal ini berimplikasi terhadap pneingkatan konsumsi jagung sebagai bahan baku pakan, Produksi jagung Indonesia belum sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan jagung untuk industri pakan meskipun produksi jagung di
dalam negeri relatif meningkat, sehingga Indonesia harus mengimpor jagung untuk mencukupi konsumsi jagung industri pakan. Penyebab utama peningkatan impor jagung adalah masih terbatasnya produksi jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan baku oleh industri pakan. Selain itu, rendahnya harga impor jagung dibandingkan dengan harga riil jagung lokal turut menyebabkan peningkatan impor jagung Indonesia. Meski demikian, produktivitas jagung masih berpotensi untuk ditingkatkan melalui penggunaan benih hibrida dan komposit dari jenis varietas unggul dan adopsi teknologi oleh petani. Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model persamaan produksi dan impor jagung Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan simultan. Setelah melakukan spesifikasi dan identifikasi model akan dilakukan analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor jagung Indonesia. Hasil analisis yang diperoleh diharapkan dapat digunakan untuk seluruh stakeholder agar dapat memajukan produksi jagung Indonesia serta mengurangi ketergantungan impor jagung. Selain itu, hasil analisis juga diharapkan dapat menjadi literatur bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Secara grafis, kerangka pemikiran operasional dapat digambarkan pada Gambar 2.6.
Komoditas Pertanian
Konsumsi Jagung Indonesia
Subsektor Tanaman Pangan (Jagung)
Permintaan Jagung oleh Rumah Tangga dan Industri
Penawaran Jagung Indonesia
Produksi Jagung Indonesia
Tarif Impor
Era Perdagangan Bebas
Impor Jagung Indonesia
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Jagung
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Jagung
Luas Areal Panen Jagung
Persamaan Model Ekonometrika
Jumlah Impor Jagung
Produktivitas Jagung
Metode Two Stages Least Square
Harga Impor Jagung Indonesia
Harga Jagung Lokal
Interpretasi
Kesimpulan dan Saran
Analisis Deskriptif Analisis Kuantitatif Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran Operasional
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dalam
bentuk data deret waktu (time series) dengan periode waktu 21 tahun, yaitu tahun 1985 – 2005, serta hasil wawancara dengan beberapa pihak yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi pemerintah atau lembaga-lembaga terkait diantaranya Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Urusan Logistik (BULOG), Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Pusat Studi Ekonomi, perpustakaan Institut Pertanian Bogor, studi literatur dan internet. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah produksi jagung Indonesia, luas areal panen tanaman jagung, produktivitas tanaman jagung, volume atau jumlah impor jagung Indonesia, harga jagung lokal, harga jagung di tingkat produsen, harga pupuk urea, harga impor jagung, harga jagung dunia, tarif impor jagung, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, pendeflasi Produk Domestik Bruto (2000=100), Indeks Harga Perdagangan Jagung Dunia (2000=100) dan lain-lain.
3.2.
Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dan metode kuantitatif. Gambaran perkembangan produksi dan impor
jagung Indonesia dianalisis secara deskriptif dengan tabulasi. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor jagung Indonesia. Model analisis data yang digunakan adalah model persamaan simultan. Masing-masing persamaan dalam penelitian diduga dengan metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dengan menggunakan program Eviews version 4.1 yang sebelumnya dilakukan penghitungan dengan menggunakan Microsoft Excel 2003.
3.3.
Persamaan Model Ekonometrika Model persamaan yang dirumuskan dalam penelitian ini terdiri dari satu
persamaan identitas, yaitu fungsi produksi jagung. Model persamaan produksi jagung berbentuk persamaan identitas karena pada persamaan tersebut tidak mengandung error, merupakan hubungan yang sudah pasti bukan perkiraan (estimasi). Model persamaan lainnya merupakan fungsi persamaan struktural yang menggambarkan respon pelaku ekonomi dan mencakup hubungan ekonomi. Persamaan struktural dalam penelitian ini terdiri dari fungsi luas areal panen tanaman jagung, fungsi produktivitas jagung, fungsi harga jagung lokal, fungsi impor jagung, dan fungsi harga impor jagung. Model persamaan terdiri dari variabel endogen dan variabel eksogen. 3.3.1. Fungsi Produksi Jagung Produksi jagung pada tahun ke-t (QJt) merupakan perkalian antara luas areal produktif atau panen jagung (LAPt) dengan produktivitas jagung pada tahun tersebut (Yt). Persamaan produksi jagung dirumuskan sebagai berikut:
QJt=LAPt*Yt .................................................................................................... (3.1) dimana: QJt
= Produksi jagung pada tahun ke-t (ribu ton).
LAPt = Luas areal panen jagung tahun ke-t (ribu ha). Yt
= Produktivitas jagung tahun ke-t (ton/ha).
3.3.2. Fungsi Luas Areal Jagung Luas areal panen digunakan dalam model fungsi luas areal sebab diduga sebagai proksi terhadap luas areal tanam yang dihasilkan. Luas areal panen tanaman jagung (LAPt) diduga dipengaruhi oleh harga riil jagung di tingkat produsen (PDt), harga riil kedelai (PKt), harga riil padi (PPt), tingkat suku bunga kredit di Indonesia (SBt) dan luas areal panen tahun sebelumnya (LAPt-1). B
Tanaman kedelai dapat diusahakan secara tumpangsari dengan tanaman jagung dalam penanamannya sehingga diharapkan akan memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan ketika mengusahakan jagung secara monokultur (Purwono dan Hartono, 2006). Variabel harga riil padi dipilih untuk dimasukkan ke dalam persamaan karena diduga tetap menjadi kompetitor dalam penggunaan lahan. Persamaan luas areal panen tanaman jagung dapat dirumuskan sebagai berikut: LAPt=a0+a1PDt+a2PKt+a3PPt+a4SBt+a5LAPt-1+μ1 .......................................... (3.2) dimana: LAPt = Luas areal panen tanaman jagung tahun ke-t (ribu ha). PDt
= Harga riil jagung di tingkat produsen tahun ke-t (Rp/kg).
PKt
= Harga riil kedelai tahun ke-t (Rp/kg).
PPt
= Harga riil padi tahun ke-t (Rp/kg).
SBt
= Tingkat suku bunga kredit di Indonesia tahun ke-t (%).
LAPt-1 = Luas areal panen tanaman jagung tahun sebelumnya (ribu ha). a0
= Intersep.
ai
= Parameter yang diduga (i=1,2,3,4,5).
μ1
= Variabel pengganggu. Nilai dugaan parameter yang diharapkan, a1, a2>0; a3, a4<0; 0
3.3.3. Fungsi Produktivitas Jagung Produktivitas jagung (Yt) diduga dipengaruhi oleh harga riil jagung lokal (PJt), harga riil pupuk urea (PUt), tingkat suku bunga kredit di Indonesia (SBt) dan produktivitas jagung tahun sebelumnya (Yt-1). Persamaan produktivitas jagung dapat dirumuskan sebagai berikut: Yt=b0+b1PJt+b2PUt+b3SBt+b4Yt-1+μ2............................................................... (3.3) dimana: Yt
= Produktivitas jagung tahun ke-t (ton/ha).
PJt
= Harga riil jagung lokal tahun ke-t (Rp/kg).
PUt
= Harga riil pupuk urea tahun ke-t (Rp/kg).
SBt
= Tingkat suku bunga bank di Indonesia tahun ke-t (%).
Yt-1
= Produktivitas jagung tahun sebelumnya (ton/ha).
b0
= Intersep.
bi
= Parameter yang diduga (i=1,2,3,4).
μ2
= Variabel pengganggu. Nilai dugaan parameter yang diharapkan, b1>0; b2, b3<0; 0
3.3.4. Fungsi Harga Jagung Lokal Harga riil jagung lokal (PJt) diduga dipengaruhi oleh harga riil jagung di tingkat produsen (PDt), produksi jagung Indonesia (QJt), tingkat inflasi di Indonesia (INFt) dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya (PJt-1). Persamaan harga riil jagung lokal dapat dirumuskan sebagai berikut: PJt=d0+d1PDt+ d2QJt+d3INFt+d4PJt-1+μ3.......................................................... (3.4) dimana: PJt
= Harga riil jagung lokal tahun ke-t (Rp/kg).
PDt
= Harga riil jagung di tingkat produsen tahun ke-t (Rp/kg).
QJt
= Produksi jagung Indonesia tahun ke-t (ribu ton).
INFt
= Tingkat inflasi di Indonesia tahun ke-t (%).
PJt-1
= Harga riil jagung lokal tahun sebelumnya (Rp/kg).
c0
= Intersep.
ci
= Parameter yang diduga (i=1,2,3,4).
μ3
= Variabel pengganggu. Nilai dugaan parameter yang diharapkan, d1, d3>0; d2<0; 0
3.3.5. Fungsi Impor Jagung Indonesia Jumlah impor jagung Indonesia (IJt) diduga dipengaruhi oleh Produk Domestik Bruto Indonesia (PDBt), harga impor jagung (PMt), harga riil jagung dunia (PWt) dan jumlah impor jagung tahun sebelumnya (IJt-1). Persamaan jumlah impor jagung Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: IJt=e0+e1PDBt+e2PMt+e3PWt+e4IJt-1+μ5 .......................................................... (3.5)
dimana: IJt
= Jumlah impor jagung Indonesia tahun ke-t (ton).
PDBt = Produk Domestik Bruto Indonesia tahun ke-t (Rp milliar). PMt
= Harga impor jagung tahun ke-t (Rp/kg).
PWt
= Harga riil jagung dunia tahun ke-t (US$/ton).
IJt-1
= Jumlah impor jagung Indonesia tahun sebelumnya (ton).
e0
= Intersep.
ei
= Parameter yang diduga (i=1,2,3,4).
μ5
= Variabel pengganggu. Nilai dugaan parameter yang diharapkan, e1>0; e2, e3<0; 0<e7<1.
3.3.6. Fungsi Harga Impor Jagung Indonesia Harga impor jagung Indonesia (PMt) diduga dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (ERt), jumlah impor jagung Indonesia (IJt), harga riil jagung dunia (PWt), tarif impor jagung Indonesia (TIt) dan harga impor jagung tahun sebelumnya (PMt-1). Persamaan harga impor jagung Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: PMt=f0+f1ERt+f2IJt+f3PWt+f4TIt+f5PMt-1+μ6 .................................................. (3.6) dimana: PMt
= Harga impor jagung Indonesia tahun ke-t (Rp/kg).
ERt
= Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat tahun ke-t (Rp/US$).
IJt
= Jumlah impor jagung Indonesia tahun ke-t (ton).
PWt
= Harga riil jagung dunia tahun ke-t (US$/ton).
TIt
= Tarif impor jagung Indonesia tahun ke-t (%).
PMt-1 = Harga impor riil jagung Indonesia tahun sebelumnya (Rp/kg). f0
= Intersep.
fi
= Parameter yang diduga (i=1,2,3,4,5).
μ6
= Variabel pengganggu. Nilai dugaan parameter yang diharapkan, f1, f2, f3, f4>0; 0
PPt
PUt
PKt SBt
LAPt LAPt
Yt-1 Yt
PDt
QJt
PJt INFt
PD
PJt-
PWt
ERt
IJt
PMt
IJt-1
PMt
TIt
Gambar 3.1. Bagan Alur Sistem Persamaan Simultan Keterangan gambar: : Variabel independen : Variabel dependen : Hubungan dua arah antara variabel dependen dan independen : Hubungan satu arah antara variabel dependen dan independen
Berdasarkan persamaan model ekonometrika dari model persamaan identitas produksi jagung dan persamaan struktural luas areal panen tanaman jagung, produktivitas jagung, harga jagung lokal jagung, jumlah impor jagung dan harga impor jagung di atas dapat dibuat bagan alur sistem persamaan identitas dan struktural analisis faktor yang mempengaruhi produksi dan impor jagung di Indonesia. Bagan alur tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1 bagaimana hubungan antara variabel dalam masing-masing persamaan ataupun dengan persamaan lain. Terdapat pula hubungan dua arah antara variabel seperti pada hubungan luas areal panen tanaman jagung, produktivitas jagung, dan produksi jagung.
3.4.
Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran,
dan model persamaan analisis yang telah dirumuskan sebelumnya, maka dapat diajukan hipotesis penelitian. Hipotesis didasarkan pada fungsi-fungsi di atas yang diduga ada beberapa variabel eksogen yang memiliki hubungan signifikan terhadap variabel endogen. Variabel-variabel tersebut dapat diukur nilainya dan data untuk masing-masing variabel tersebut tersedia. Hipotesis-hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1.
Luas areal panen tanaman jagung diduga dipengaruhi secara positif oleh harga riil jagung di tingkat produsen dan harga riil kedelai. Harga riil padi sebagai tanaman kompetitor dalam penggunaan lahan serta tingkat suku
bunga kredit di Indonesia sebagai proksi atas modal yang dapat dimiliki petani berpengaruh negatif terhadap luas areal panen tanaman jagung. 2.
Produktivitas jagung diduga dipengaruhi secara positif oleh harga riil jagung lokal dan sebaliknya dipengaruhi secara negatif oleh harga riil faktor produksi pupuk urea dan suku bunga kredit di Indonesia.
3.
Jumlah impor jagung diduga dipengaruhi secara positif oleh Produk Domestik Bruto Indonesia. Sedangkan, harga impor jagung dan harga riil jagung dunia berpengaruh secara negatif. Adapun hipotesis-hipotesis yang diturunkan dari hipotesis utama antara
lain sebagai berikut: 1.
Harga riil jagung lokal dipengaruhi secara positif oleh harga riil jagung di tingkat produsen dan tingkat inflasi di Indonesia. Produksi jagung Indonesia berpengaruh negatif terhadap harag riil jagung lokal.
2.
Harga impor jagung dipengaruhi secara positif oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung Indonesia, harga riil jagung dunia dan tarif impor jagung Indonesia.
3.5.
Identifikasi Model Menurut Hallam (1990) dalam Kariyasa dan Sinaga (2004) model
merupakan abstraksi atau penyederhanaan dari fenomena yang terjadi. Secara ideal sebuah model menampilkan komponen-komponen utama dari fenomena nyata yang diamati, agar dapat dilakukan estimasi secara akurat. Salah satu model pendekatan kuantitatif yang sering dipakai untuk menganalisis masalah ekonomi
adalah model ekonometrika. Intriligator et al. (1996) dalam Kariyasa dan Sinaga (2004) menjelaskan model ekonometrika adalah suatu model statistika yang menghubungkan peubah-peubah ekonomi dari suatu fenomena ekonomi yang mencakup unsur stokastik. Suatu model yang baik harus dapat memenuhi kriteria ekonomi, statistika, dan ekonometrika (Koutsoyiannis, 1977 dalam Situmorang, 2005). Perumusan model persamaan dalam penelitian ini, khususnya digunakan pada pendugaan perilaku luas areal panen tanaman jagung dan produktivitas jagung secara nasional. Melalui model tersebut dalam upaya meningkatkan produksi jagung nasional dapat dilakukan dengan disagregasi pada luas areal panen tanaman jagung dan produktivitas jagung. Mengacu pada model Nerlove dalam penelitian ini produksi jagung bukan merupakan persamaan struktural, namun hanya merupakan persamaan identitas yaitu perkalian antara luas areal panen tanaman jagung dengan produktivitas jagung. Sebelum menentukan metode pendugaan yang akan digunakan, maka terlebih dahulu perlu dilakukan uji keidentifikasian persamaan simultan dalam model
(Koutsoyiannis,
1977
dalam
Purnamasari,
2006).
Rumus
uji
keidentifikasian model menurut order condition adalah: K-M ≥ G-1 ........................................................................................................ (3.7) dimana: G
= Total banyaknya persamaan.
K
= Total banyaknya variabel dalam model.
M
= Total banyaknya variabel dalam model tertentu.
Jika suatu persamaan menunjukkan (K-M)>(G-1), maka persamaan terdentifikasi berlebih (over identified). Jika suatu persamaan menunjukkan (K-M)=(G-1), maka persamaan teridentifikasi secara tepat (exactly identified), sedangkan jika suatu persamaan
menunjukkan
kondisi
(K-M)<(G-1),
maka
persamaan
tidak
teridentifikasi (underidentified). Hasil uji keidentifikasian setiap persamaan struktural harus exactly identified atau over identified agar dapat diduga parameternya. Model persamanan dalam analisis produksi dan impor jagung di Indonesia terdiri dari lima model persamaan struktural, antara lain persamaan luas areal panen tanaman jagung, produktivitas tanaman jagung, harga jagung lokal, jumlah impor jagung dan harga impor jagung, serta satu persamaan identitas yaitu produksi jagung di Indonesia. Model terdiri dari enam variabel current endogenous, lima variabel lag endogenous, 10 variabel exogenous, sehingga ada 15 variabel predetermine. Hasil uji keidentifikasian model menunjukkan persamaan adalah over identified (G=6, K=21, M=5). Dengan demikian, salah satu metode pendugaan parameter yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan metode 2SLS (Two Stage Least Squares).
3.6.
Pengujian Model
3.6.1. Uji Dugaan Variabel secara Individu Uji-t digunakan untuk membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara statistik bersifat signifikan atau tidak signifikan. Melalui uji-t akan terlihat apakah secara statistik koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas yang
digunakan dalam model secara terpisah memiliki pengaruh yang nyata terhadap variabel terikat. Uji-t ini akan diuji apakah koefisien regresi satu per satu secara statistik signifikan atau tidak signifikan. Jika nilai tstatistik lebih besar dari nilai ttabel atau nilai p-value lebih kecil dari nilai critical value (α) berdasarkan suatu level of significance tertentu maka hipotesis H0=b1=0 ditolak, variabel bebas signifikan. Sebaliknya jika nilai tstatistik lebih kecil dari ttabel atau nilai p-value lebih besar dari nilai critical value (α) berdasarkan suatu level of significance tertentu, maka hipotesis H0 diterima dan hipotesis H1 ditolak, variabel bebas tidak signifikan. Untuk menghitung nilai tstatistik adalah: t1=
b1 ........................................................................................................... ......(3.8) S1
⎛ 1 Sj= ⎜ ⎝N−K
⎞ ∑ e ⎟⎠ (X X ) 2
'
−1 jj
....................................................................... ......(3.9)
dimana: H0
: b1=b2=...=bi=0
H1
: bi ≠ 0
N
= Jumlah observasi
S
= Jumlah variabel independen
3.6.2. Uji Kesesuaian Model Uji-F digunakan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh koefisien regresi juga signifikan dalam menentukan nilai dari variabel bebas. Jika seluruh nilai sebenarnya dari parameter regresi sama dengan nol, dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang linear antara variabel dependen dengan variabel independen. ⎡ R2 ⎤ ⎢ (k − 1)⎥ ⎦ .............................................................................................(3.10) Fhitung= ⎣ 2 ⎡ 1− R ⎤ ⎢ (N − k ) ⎥ ⎣ ⎦
(
)
dimana: R
= Koefisien determinasi
N
= Jumlah data
k
= Jumlah koefisien regresi dugaan
H0
: b1=b2=...=bi=0
H1
: bi ≠ 0 Jika nilai Fstatistik lebih besar dari Ftabel atau nilai p-value lebih kecil dari
nilai critical value (α) berdasarkan suatu level of significance, maka hipotesis H1 diterima, artinya minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Jika hasil nilai Fstatistik lebih kecil dari Ftabel atau nilai pvalue lebih besar dari nilai critical value (α) berdasarkan suatu level of significance tertentu, maka hipotesis H0 diterima, artinya tidak ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya. 3.6.3. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas mengacu pada kondisi dimana terdapat hubungan yang linear diantara variabel penjelas dalam suatu model. Terjadinya multikolinearitas disebabkan karena adanya kecenderungan variabel-variabel dalam ekonomi bergerak secara bersamaan. Dalam penetapan suatu model seringkali terdapat
kesulitan untuk memisahkan pengaruh antara dua atau lebih variabel bebas dengan variabel terikatnya. Multikolinearitas sering terjadi ketika R2 tinggi, yaitu ketika nilainya antara 0,7 sampai dengan satu. Jika diantara variabel bebas berkolerasi sempurna, maka estimasi koefisien tidak dapat ditentukan. Ada beberapa cara untuk mengetahui apakah terjadi multikolinearitas pada suatu model atau tidak. Salah satu caranya adalah dengan melihat koefisien korelasi. Jika nilai koefisien korelasi lebih besar o,8 , maka pada model terdapat gejala multikolinearitas. Menurut Koutsoyiannis (1977) dalam Situmorang (2005) berdasarkan ketentuan dari uji Klein, disebutkan bahwa masalah korelasi sederhana antara variabel bebas bisa diabaikan jika nilai koefisien korelasinya lebih kecil dari nilai koefisien korelasi determinasi atau keragamannya (korelasi keseluruhannya). 3.6.4. Uji Autokorelasi Autokorelasi merupakan gejala adanya korelasi antara serangkaian observasi yang diurutkan menurut deret waktu (time series) (Gujarati, 1978). Adanya gejala autokorelasi dalam suatu persamaan akan menyebabkan persamaan tersebut memiliki selang kepercayaan yang semakin lebar dan pengujian menjadi kurang akurat. Akibatnya, varian residual yang diperoleh akan lebih rendah daripada semestinya sehingga mengakibatkan R2 menjadi lebih tinggi, hasil uji-t dan uji-F tidak sah dan penaksir regresi akan menjadi sensitif terhadap fluktuasi pengambilan contoh. Uji yang sering digunakan untuk mendeteksi apakah data yang diamati terjadi autokorelasi atau tidak adalah uji Durbin-Watson (uji-d). Nilai statistik-d
yang berada pada kisaran angka dua menandakan tidak terdapat autokorelasi. Sebaliknya, jika semakin jauh dari angka dua, maka peluang terjadinya autokorelasi semakin besar. Pengujian lain untuk melihat apakah ada autokorelasi atau tidak, dapat dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey-Serial Correction Langrange Multiplier Test. Kriteria uji yang digunakan sebagai berikut: 1. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared > nilai critical value (α) yang digunakan, maka terima H0 yang berarti pada persamaan tidak terjadi autokorelasi. 2. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared < nilai critical value (α) yang digunakan, maka tolak H0 yang berarti pada persamaan terjadi autokorelasi. 3.6.5. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas merupakan suatu kondisi dimana nilai ragam error term pada variabel bebas tidak memiliki nilai yang sama untuk setiap observasi (Nachrowi dan Usman, 2002). Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketakbiasan dan konsistensi dari penaksir 2SLS, tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai variasi minimum (efisien). Bila pada suatu persamaan terjadi heteroskedastisitas, maka akan berakibat: 1.
Hasil estimasi tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator tidak efisien.
2.
Estimasi dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien.
3.
Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan rumus yang berkaitan dengan nilai variansnya. Pengujian
untuk
mendeteksi
gejala
heteroskedastisitas
dengan
menggunakan uji White Heteroskedasticity. Kriteria uji yang digunakan: 1. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared > nilai critical value (α) yang digunakan, maka terima H0 yang berarti pada persamaan tidak terjadi heteroskedastisitas. 2. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared < nilai critical value (α) yang digunakan, maka tolak H0 yang berarti pada persamaan terjadi heteroskedastisitas.
3.7. 1.
Definisi Operasional Jagung yang dimaksud dalam penelitian ini tidak dipisahkan menurut jenisnya menjadi jagung gigi kuda (Zea mays indentata), jagung mutiara (Zea mays indurata), jagung manis (Zea mays saccharata), jagung berondong (Zea mays everta), jagung tepung (Zea mays amylaceae), jagung polong (Zea mays tunicata), ataupun jagung ketan (Zea mays ceratina) karena jagung yang dikonsumsi sebagai bahan pangan pokok dan sebagai bahan baku industri tidak dispesifikasikan secara khusus, baik dalam hal produksi, konsumsi, maupun impor.
2.
Produksi jagung Indonesia adalah jumlah total produksi jagung di Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ribu ton.
3.
Luas areal panen tanaman jagung adalah luas seluruh areal produktif atau panen tanaman jagung di Indonesia dinyatakan dalam satuan ribu ha.
4.
Produktivitas jagung merupakan hasil bagi antara produksi jagung Indonesia dengan luas areal panen tanaman jagung per tahun yang dinyatakan dalam satuan ton per ha.
5.
Volume impor jagung Indonesia adalah jumlah seluruh impor jagung yang dipasarkan di pasar domestik setiap tahun baik untuk konsumsi langsung maupun bahan baku industri, tidak termasuk impor jagung ilegal yang dinyatakan dalam satuan ton.
6.
Harga riil jagung lokal adalah harga jagung lokal setelah dideflasi (2000=100) dengan pendeflasi Produk Domestik Bruto yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram.
7.
Harga riil jagung di tingkat produsen adalah harga jagung di tingkat produsen yang dideflasi (2000=100) dengan pendeflasi Produk Domestik Bruto yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram.
8.
Harga riil pupuk urea yang mewakili harga riil faktor produksi merupakan harga pupuk urea yang dideflasi (2000=100) dengan pendeflasi Produk Domestik Bruto yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram.
9.
Harga impor jagung adalah harga jagung Indonesia yang merupakan hasil bagi antara nilai impor jagung dengan volume impor jagung, dideflasi (2000=100) dengan pendeflasi Produk Domestik Bruto yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram.
10. Harga riil jagung dunia adalah harga jagung di Amerika Serikat Free on Board dideflasi (2000=100) dengan Indeks Harga Perdagangan Jagung Dunia yang dinyatakan dalam satuan dollar Amerika per ton. 11. Nilai tukar mata uang rupiah adalah perbandingan dari perubahan mata uang Amerika Serikat terhadap mata uang Indonesia yang dinyatakan dalam satuan rupiah per dollar Amerika. 12. Tarif impor jagung adalah tarif yang ditetapkan pemerintah terhadap jagung, dengan sistem (cara pemungutan) ad valorem yang dinyatakan dalam satuan persen. 13. Pendeflasi Produk Domestik Bruto mengukur tingkat harga yang diterima produsen pada tiga tahapan, yaitu barang jadi, barang setengah jadi, dan barang jadi.
IV.
4.1.
PRODUKSI, KONSUMSI, DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA
Produksi Jagung di Indonesia
4.1.1. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Jagung Penelitian ekonomi jagung di Indonesia diketahui pertama kali dilakukan oleh Peter Timmer bersama dengan tim dari The Food Research Institute of The Stanford University pada tahun 1983 – 1985. Sejak penelitian tersebut pertanian jagung di Indonesia mengalami banyak perkembangan didukung dengan adanya Revolusi Hijau komoditi jagung yang dimotori oleh perubahan pola konsumsi masyarakat dan Revolusi Peternakan sehingga konsumsi akan produk-produk peternakan meningkat sebagai pemenuh kebutuhan sumber protein. Sebelum dilakukan penelitian sekitar tahun 1970 – 2000 sentra produksi jagung di Indonesia adalah Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1970 keenam propinsi tersebut memiliki pangsa areal tanam sekitar 84 persen dari total areal tanam di Indonesia dengan pangsa produksi sekitar 83 persen dari total produksi di seluruh Indonesia. Pada tahun 2001, pangsa areal tanamnya menurun menjadi 82 persen tetapi pangsa produksinya meningkat menjadi 85 persen. Selama kurun waktu 1970 – 2001 hampir tidak terjadi perubahan antara keenam propinsi tersebut dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia sebagai sentra produksi jagung di Indonesia, baik dari segi pangsa areal tanam maupun pangsa produksi (Pasandaran dan Kasryno, 2003).
Tabel 4.1.
Produksi Jagung Menurut Pulau Terbesar di Indonesia Tahun 2005 – 2007 (Ton) Pulau 2005 2006 (ASEM) 2007 (ARAM I) Sumatera 2.655.130 2.388.491 2.429.024 (21,20%) (20,57%) (19,62%) Jawa 7.455.724 6.688.571 7.085.179 (59,53%) (57,61%) (57,22%) Bali dan Nusa 730.782 766.716 725.515 Tenggara (5,84%) (6,60%) (5,86%) Kalimantan 189.141 215.872 254.726 (1,51%) (1,86%) (2,06%) Sulawesi 1.459.460 1.515.378 1.850.651 (11,65%) (13,05%) (14,95%) Maluku dan 33.657 35.618 36.466 Papua (0,27%) (0,31%) (0,29%) Indonesia 12.523.894 11.610.646 12.381.561 (100%) (100%) (100%)
Sumber : Departemen Pertanian, 2007 () : Persentase Laju Pertumbuhan Produksi per Tahun
Seiring dengan perkembangan ekonomi Indonesia saat ini produksi jagung dalam negeri sangat ditentukan oleh produksi tujuh propinsi sentra jagung di Indonesia, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Barat. Pangsa areal panen ketujuh propinsi tersebut mencapai 84,43 persen dari total area panen jagung nasional, sementara pangsa produksinya mencapai 87,80 persen dari total produksi jagung nasional (Tabel 4.1). Secara umum produksi jagung Indonesia ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu luas areal dan produktivitas per satuan luas. Produksi jagung tahun 2006 (Angka Sementara) sebesar 11,61 juta ton turun sekitar 913,25 ribu ton (7,29 persen) dibandingkan produksi tahun 2005. Penurunan produksi terjadi karena luas panen turun seluas 279,56 ribu hektar (7,71 persen), selain itu faktor iklim yang tidak sebaik tahun sebelumnya juga berpengaruh terhadap penurunan produksi jagung dalam negeri, sedangkan produktivitas naik sebesar 0,16 kuintal
per hektar (0,46 persen). Produksi jagung tahun 2007 (Angka Ramalan I) diperkirakan sebesar 12,38 juta ton, naik sebesar 770,92 ribu ton (6,64 persen) dibandingkan tahun 2006. Kenaikan produksi tersebut terjadi karena peningkatan luas panen sekitar 104,22 ribu hektar (3,11 persen) dan produktivitas sebesar 1,18 kuintal per hektar (3,40 persen). Jagung yang dibudidayakan di Indonesia pada umumnya dibedakan menjadi tiga, antara lain (www.deptan.go.id): 1. Jagung lokal adalah jagung yang merupakan hasil pertanaman spesifik lokasi, tidak merupakan benih hibrida dan impor, contoh Jagung Kodok, Jagung Kretek, Jagung Manado Kuning dan Jagung Metro. Jagung jenis lokal Indonesia umumnya tipe jagung mutiara (Zea mays indurata/ flint corn) berbentuk bulat dan umumnya berwarna putih.. Jagung mutiara biasanya berumur genjah sehingga hasilnya relatif rendah. Meskipun demikian, banyak masyarakat yang menyukai jenis ini karena bila dicampur beras tidak keras. 2. Jagung hibrida adalah jagung yang benihnya merupakan keturunan pertama dari persilangan dua galur atau lebih dimana sifat-sifat individunya Heterozygot dan Homogen. Contohnya: kelompok Cargil seperti C1, C2, kelompok Pioneer seperti P1, P2, kelompok Bisi seperti Bisi 1, kelompok Semar seperti Semar 1 dan kelompok CPI seperti CPI 1. Termasuk ke dalam tipe jagung gigi kuda (Zea mays indentata/ dent corn) yang berwarna kuning dan hampir 95 persen jagung yang diimpor merupakan jagung jenis ini.
3. Jagung komposit adalah jagung yang benihnya campuran dari beberapa varietas, sehingga individunya Heterozygot dan Heterogen. Contohnya: Lamuru, Krisna, Gumarang, Bisma dan lain-lain. Produksi jagung di Indonesia yang ditentukan oleh luas areal panen dan produktivitas jagung selalu dikatakan meningkat berdasarkan data yang tersedia. Meski demikian, tidak sedikit industri berbasis jagung di Indonesia, terutama industri pakan yang membutuhkan jagung dalam jumlah besar dan kontinu menyatakan sering terjadi kelangkaan jagung di pasar dalam negeri. Kondisi produksi jagung di Indonesia sebagai salah satu negara produsen jagung dunia peringkat kedelapan berdasarkan FAO (2005) dalam Outlook Tanaman Pangan (2006) jika dibandingkan dengan negara-negara produsen jagung di dunia masih sangat rendah dilihat dari persentase kontribusi produksi jagung Indonesia terhadap produksi jagung dunia, yaitu hanya sebesar 1,73 persen. Meskipun persentase kontribusi luas areal panen jagung di Indonesia terhadap luas areal panen dunia sebesar 2,38 persen. Jika Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat sebagai negara produsen jagung peringkat pertama di dunia sangat berbeda kondisinya. Kontribusi produksi jagung Amerika Serikat di pasar dunia mencapai 40,35 persen dengan kontribusi luas areal panen hanya sebesar 20,44 persen. Dengan demikian dapat diketahui bahwa luas areal panen bukanlah yang utama dari dua variabel utama yang diduga mempengaruhi produksi jagung. Perkembangan produksi jagung di Indonesia selama periode tahun 1985 – 2005 lebih banyak ditentukan oleh perkembangan produktivitas, sedangkan terjadinya fluktuasi produksi selama periode tersebut antara lain karena mengikuti
pola luas areal panen. Pola perkembangan produksi jagung di Indonesia berbeda untuk wilayah Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Perkembangan produksi jagung yang terjadi di Pulau Jawa memiliki kecenderungan lebih fluktuatif dibandingkan di luar Pulau Jawa, hal ini disebabkan oleh besarnya persaingan dalam penggunaan lahan di Pulau Jawa. Kondisi luas areal panen di luar Pulau Jawa yang relatif meningkat didukung oleh daya saing jagung yang ditanam di lahan sawah tadah hujan dan lahan kering relatif lebih baik dibanding jagung yang di tanam di lahan sawah di Pulau Jawa.
2%
13%
0%
20%
6%
59%
Sumatera
Jawa
Bali dan Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Papua
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007
Gambar 4.1. Kontribusi Sentra Produksi Jagung di Indonesia 2005 – 2007 Sentra produksi jagung di Indonesia masih didominasi oleh Pulau Jawa yaitu sekitar 59 persen, sedangkan di luar Pulau Jawa hanya sekitar 41 persen (Gambar 4.1). Sejak tahun 2001 pemerintah menggalakkan program Gema Palagung (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung) yang telah berhasil memacu petani untuk meningkatkan produktivitasnya dan terbukti dapat meningkatkan produksi jagung di dalam negeri tetapi tetap belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi untuk industri pakan di dalam negeri. Upaya
peningkatan produktivitas jagung akan lebih berhasil jika tidak hanya meningkatkan penggunaan benih varietas unggul tetapi juga disertai dengan pengelolaan lingkungan fisik dan hayati serta penerapan teknologi produksi yang sesuai dengan lingkungan tumbuh. Tabel 4.2.
Perkembangan Produksi, Luas Areal Panen, dan Produktivitas Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005 Tahun
Produksi (Ribu Ton)
Luas Areal Panen ( Ribu Ha)
Produktivitas (Ton/Ha)
1985
4.330
2.440
1,77
1986
5.920
3.143
1,88
1987
5.156
2.626
1,96
1988
6.652
3.406
1,95
1989
6.193
2.944
2,10
1990
6.734
3.158
2,13
1991
6.256
2.909
2,15
1992
7.995
3.629
2,20
1993
6.460
2.940
2,20
1994
6.869
3.109
2,21
1995
8.246
3.652
2,26
1996
9.307
3.744
2,49
1997
8.771
3.355
2,61
1998
10.169
3.848
2,64
1999
9.204
3.456
2,66
2000
9.677
3.500
2,77
2001
9.347
3.286
2,85
2002
9.585
3.109
3,08
2003
10.886
3.359
3,24
2004
11.225
3.357
3,34
2005
12.014
3.626
3,43
Rata-rata pertumbuhan
6,20%
2,96%
3,23%
Sumber: Departemen Pertanian, 2006
Laju pertumbuhan luas areal panen tanaman jagung Indonesia hanya sebesar 2,96 persen per tahun, masih terlalu rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat dimana laju pertumbuhan luas arealnya mencapai 20,44 persen per tahun, mengingat Indonesia memiliki potensi lahan yang luas dan banyak yang belum
termanfaatkan. Berdasarkan data series yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian (2005) menunjukkan bahwa selama periode tahun 1969 – 2006 terjadi penambahan luas areal panen tanaman jagung di Pulau Jawa mencapai angka 345.000 hektar atau meningkat sebesar 21,58 persen, sementara itu penambahan luas areal panen tanaman jagung di luar Pulau Jawa mencapai angka 802.000 hektar atau meningkat sebesar 95,82 persen. Tingginya tingkat penambahan luas areal panen tanaman jagung di luar Pulau Jawa dibandingkan dengan penambahan luas areal panen tanaman jagung di Pulau Jawa dikarenakan daya saing produksi jagung yang ditanam pada lahan sawah tadah hujan atau lahan kering di luar Pulau Jawa relatif lebih baik dibandingkan daya saing produksi jagung yang ditanam pada lahan sawah di Pulau Jawa. Meskipun demikian, perkembangan luas areal panen tanaman jagung hingga saat ini masih dominan terjadi di Pulau Jawa meski secara perlahan mengalami pergeseran ke luar Pulau Jawa. Faktor utama penyebab penurunan pangsa luas areal panen tanaman jagung di Pulau Jawa adalah adanya persaingan dalam penggunaan lahan antara komoditi jagung dengan komoditi pangan lainnya seperti padi dan kedelai (Outlook Tanaman Pangan, 2006). 4.1.2. Sistem Usaha Tani Jagung Penerapan sistem usaha tani jagung berpengaruh terhadap perkembangan produksi jagung. Analisis sistem usaha tani jagung memberikan informasi bagaimana perkembangan produksi jagung Indonesia dilihat berdasarkan perluasan areal tanam, penggunaan benih varietas unggul dan sarana produksi serta penerapan teknologi. Perluasan areal dapat mengalami perubahan sesuai
dengan penemuan benih varietas yang lebih unggul. Kemudian penggunaan varietas unggul dapat disesuaikan dengan jenis lahan yang ditanam. Sedangkan salah satu bentuk penerapan teknologi adalah melalui penggunaan pupuk. Berikut ini akan diuraikan usaha-usaha yang telah diterapkan di Indonesia dalam rangka peningkatan produksi jagung melalui produktivitas jagung. Jagung sebagian besar (60 – 65 persen) ditanam di lahan kering dan 35 – 40 persen ditanam di lahan sawah, dimana 10 – 15 persen diantaranya diperkirakan ditanam di lahan sawah beririgasi. Pada periode 1970 – 1980 areal beririgasi mengalami peningkatan dengan pesat dalam rangka pencapaian swasembada beras. Hal tersebut berakibat pada berkurangnya luas lahan sawah tadah hujan yang berarti berkurang pula lahan yang ditanami jagung. Setelah swasembada beras tercapai pada tahun 1984 investasi yang dialokasikan untuk irigasi dihentikan, sehingga setelah tahun 1990-an terbuka peluang untuk peningkatan lahan sawah tadah hujan sebagai sarana pengembangan jagung. Masalah utama penanaman jagung di lahan kering adalah kebutuhan air yang sepenuhnya tergantung pada curah hujan. Selain itu, faktor kesuburan lahan yang bervariasi dan adanya erosi yang mengakibatkan penurunan kesuburan lahan juga menjadi kendala penanaman jagung di lahan kering. Jagung yang ditanam di lahan kering dapat berupa varietas unggul bersari bebas atau varietas unggul hibrida. Beberapa varietas bersari bebas yang dapat dipilih antara lain Arjuna, Bisma, Lagaligo, Kalingga, Wiyasa, Rama dan Wisanggeni. Kemudian varietas unggul hibrida yang dapat digunakan diantaranya Semar-2, Semar-3, CP-1, CP-2, Bisi-1, Bisi-2, Pioneer-3, Pioneer-4 dan Pioneer-5.
Penggunaan lahan sawah untuk penanaman jagung setelah tanaman padi hingga saat ini masih berkisar 21 persen dari total lahan sawah yang ada di Indonesia (Adisarwanto dan Widyastuti, 2004). Padahal peluang peningkatan produktivitas jagung per satuan luas lebih baik dibandingkan di lahan kering sebab kendala teknis pada kondisi tanah dan pendukung dari lahan sawah irigasi relatif sedikit. Beberapa kelebihan lahan sawah irigasi diantaranya tingkat kesuburan tanah yang lebih baik, ketersediaan air lebih terjamin, lebih dekat dengan tempat penjualan sarana produksi dan kondisi prasarana umumnya juga sudah lebih baik. Kemudian pada dasarnya semua varietas unggul jagung dapat ditanam di lahan sawah baik yang bersari bebas atau hibrida maupun berumur pendek, sedang atau dalam. Faktor lain yang perlu diperhatikan jika penanaman jagung dilakukan di lahan sawah adalah permintaan spesifikasi konsumen pasar setempat. Hal ini terkait dengan warna biji kuning atau putih dari varietas yang ditanam. Di beberapa daerah, varietas jagung berbiji putih lebih disenangi konsumen karena biasanya dicampur dengan nasi untuk bahan makanan pokok dan keperluan lain. Sementara di daerah lain lebih memilih biji kuning karena akan digunakan untuk bahan baku pakan dan industri. Selain penanaman jagung di lahan kering dan lahan sawah terdapat salah satu jenis lahan lain yang cukup potensial untuk penanaman jagung yaitu lahan pasang surut. Lahan pasang surut pada umumnya mempunyai dua jenis tanah yaitu aluvial dan gambur. Lahan pasang surut di Indonesia relatif masih cukup luas dan belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Masalah utama pada lahan pasang surut adalah tingkat kesuburan tanah yang masih rendah, keadaan tanah
masam (pH 3 – 5) dan tingkat kelarutan mineral (Al) dan besi (Fe) masih tinggi sehingga mempengaruhi ketersediaan fosfat dalam tanah. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pemberian kapur dan fosfat pada lahan pasang surut. Varietas jagung yang dapat ditanam pada lahan pasang surut tidak jauh berbeda dengan varietas yang ditanam di lahan kering. Perkembangan penanaman jagung mengalami pergeseran dari lahan kering ke lahan beririgasi sebagai akibat adanya Revolusi Hijau pada komoditi jagung. Sebelum tahun 1970 sekitar 80 persen jagung ditanam di lahan tegalan/lahan kering tetapi dengan penemuan bibit unggul yang tanggap terhadap pemupukan dan kelembaban tanah penanaman jagung mulai bergeser ke lahan basah atau sawah beririgasi. Bahkan jagung hibrida banyak ditanam di lahan sawah atau lahan kering dengan curah hujan dan pada musim hujan yang tinggi. Penanaman jagung di lahan sawah umumnya dilakukan pada musim kemarau setelah panen padi tetapi pada lahan sawah yang berdrainase baik atau ketika ketersediaan air tidak mencukupi untuk padi petani juga menanam jagung pada musim hujan. Jenis jagung yang ditanam pada kondisi lahan demikian adalah jenis jagung hibrida. Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas pada musim kemarau sekitar 75 persen lahan sawahnya ditanami jagung hibrida karena dinilai lebih kompetitif dibanding padi atau palawija lainnya. Petani jagung di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Lampung memanfaatkan pengairan air tanah secara intensif pada musim kemarau untuk menanam jagung hibrida. Meski demikian, tidak sedikit petani di beberapa wilayah Indonesia yang masih menanam jagung lokal. Jagung lokal termasuk ke dalam tipe jagung mutiara yang hasilnya relatif rendah.
Penggunaan varietas jagung juga dibedakan berdasarkan ketinggian tempat penanaman. Pada daerah dataran rendah dapat digunakan jagung berumur dalam atau sedang dan berumur genjah, seperti Harapan Baru, Metro, Parikesit, Bogor, Composite-2, Arjuna, Bromo, Kalingga, Wiyasa, Harapan, dan Hibrida untuk jenis varietas jagung berumur dalam atau sedang. Jenis jagung berumur genjah untuk daerah dataran rendah yang dapat dipilih antara lain Penjalinan, Genjah Kretek dan Genjah Kertas, dimana ketiga varietas jagung berumur genjah tersebut merupakan varietas lokal. Lain halnya untuk varietas jagung di daerah dataran tinggi yang hanya dapat menggunakan jagung berumur dalam seperti Bastar Kuning, Bima, Pandu dan Harapan. Faktor lain yang menyebabkan masih rendahnya peningkatan produksi jagung di Indonesia adalah jenis jagung yang ditanam oleh petani. Jika mayoritas petani jagung di Indonesia telah beralih menanam jagung varietas unggul, seperti hibrida dan komposit diduga akan meningkatkan produktivitas jagung sehingga produksi jagung juga meningkat secara signifikan. Penggunaan varietas jagung unggul merupakan faktor penting lain dalam upaya peningkatan produksi jagung di Indonesia. Produktivitas jagung Indonesia hanya sebesar 3,43 ton per hektar sangat rendah jika dibandingkan dengan produktivitas jagung Amerika Serikat yang telah mencapai 9,31 ton per hektar. Hal ini mengingat masih tertinggalnya adopsi teknologi oleh petani jagung dalam negeri karena teknologi baru membutuhkan biaya yang relatif mahal sehingga pemerintah bersama pihak swasta, khususnya pengusaha pakan seharusnya bekerjasama dalam hal investasi teknologi pertanian jagung.
Secara umum benih jagung dikelompokkan menjadi dua, yaitu benih varietas jagung bersari bebas dan hibrida. Benih varietas bersari bebas adalah varietas yang benihnya dapat digunakan terus menerus pada setiap penanaman. Benih ini berasal dari tongkol tanaman yang sesuai dengan varietas bersangkutan. Benih varietas bersari bebas masih sering diusahakan oleh petani terutama untuk keperluan sendiri. Varietas bersari bebas dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu varietas sintetik dan komposit. Benih varietas sintetik berasal dari campuran dua atau lebih galur perkawinan sendiri, sedangkan varietas komposit berasal dari campuran sejumlah plasma nutfah yang telah mengalami perkawinan acak (Adisarwanto dan Widyastuti, 2004). Keuntungan menggunakan benih varietas bersari bebas adalah harganya relatif murah dan dapat ditanam beberapa kali tanpa mengalami degenerasi yang serius tetapi potensi hasil yang diperoleh lebih rendah dibanding benih varietas hibrida. Beberapa contoh varietas unggul bersari bebas adalah Arjuna, Rama, Kalingga, Wiyasa dan Bisma. Benih jagung hibrida merupakan benih dari varietas jagung hibrida yang berasal dari keturunan pertama (F1) hasil persilangan varietas jagung bersari bebas dan bersari bebas, bersari bebas dan galur, atau galur dan galur.Varietas unggul jagung hibrida menjadi andalan utama meningkatkan produksi jagung karena memiliki beberapa keunggulan dibanding varietas jagung bersari bebas, seperti hasil yang diperoleh lebih tinggi yaitu sekitar tujuh ton per hektar, pertumbuhannya lebih seragam dan tahan penyakit. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki varietas jagung hibrida diimbangi dengan harga yang relatif mahal untuk kalangan petani dengan skala usaha kecil yang relatif dominan di Indonesia dan
tersedia dalam jumlah terbatas. Terlebih lagi benih jagung hibrida hanya dapat digunakan untuk sekali tanam. Beberapa varietas benih jagung hibrida yang dianjurkan ditanam di Indonesia diantaranya Hibrida C-1 dan C-2, Pioneer-1, 2, 7 dan 8, CPI-1, Bisi-2 dan Bisi-3 serta Semar-1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9. Penanaman varietas jagung unggul adalah salah satu komponen penting dalam program intensifikasi peningkatan produksi jagung. Selain penggunaan benih varietas unggul tingkat produktivitas jagung juga ditentukan oleh mutu benih. Penggunaan benih yang bermutu tinggi bersifat lebih responsif terhadap teknologi produksi yang diterapkan dan menentukan kepastian populasi tanaman yang tumbuh. Mutu benih didasarkan pada mutu genetik, fisik dan fisiologi. Mutu genetik berhubungan dengan unsur kontaminasi benih itu sendiri terhadap benih tanaman atau varietas lain. Mutu fisik benih dapat dilihat dari tingkat kebersihan benih dari sisa tanaman, tangkai, batang, dan pecahan benih yang ukurannya kurang dari ukuran sebenarnya atau kerikil. Sementara mutu fisiologi benih dapat diukur dari tingkat stabilitasnya, termasuk daya kecambah dan vigor. Berkaitan dengan kriteria mutu benih maka ditetapkan standarisasi dalam serifikasi benih. Standarisasi mutu benih dalam program sertifikasi benih diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Tanaman Pangan. Kemudian dalam hal perdagangan benih di Indonesia, mutu benih yang diperdagangkan dibina oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) yang berkedudukan di masingmasing daerah. Pembagian benih berdasarkan tingkat mutunya dibedakan menjadi benih berlabel (warna label merah jambu) dan benih bersertifikasi (warna label biru atau hijau).
Pupuk yang digunakan dalam penanaman jagung antara lain urea, SP-36, KCl dan ZA, sedangkan jumlah takaran yang direkomendasikan untuk memperoleh hasil maksimal serta penggunaan jagung oleh petani secara umum dapat dilihat pada Tabel 4.3. Petani jagung di Indonesia, khususnya di sentrasentra produksi jagung menggunakan pupuk urea lebih dari jumlah takaran yang direkomendasikan, yaitu rata-rata 378 kg per hektar karena diduga harga pupuk urea lebih murah dibandingkan dengan harga pupuk-pupuk lain. Penggunaan ratarata pupuk SP-36 oleh petani sebanyak 142 kg per hektar, pupuk KCl rata-rata sebanyak 72 kg per hektar tetapi baru digunakan oleh 39 persen petani, sedangkan pupuk ZA masih digunakan oleh sebagian kecil petani (14 persen) rata-rata sebanyak 54 kg per hektar. Tabel 4.3. Pupuk* Urea SP-36 KCl ZA
Jenis Pupuk dan Takaran Penggunaan Rekomendasi Takaran Harga Takaran (Kg Pemakaian (Kg Pupuk per per Hektar) per Hektar) Kg (Rp) 200 – 300 378 1.500 100 – 200 142 1.800 0 – 100 72 1.750 0 – 100 54 -
Jumlah Petani (%)** 100 80 39 14
Sumber: Djulin, Syafa’at, dan Kasryno (2002) *Pemakaian pupuk disesuaikan dengan pertumbuhan tanaman ** Rata-rata petani di Indonesia
Pengendalian hama penyakit dapat dilakukan melalui penggunaan pestisida. Petani jagung di Indonesia menggunakan dua jenis pestisida, yaitu pestisida padat dan pestisida cair. Penggunaan pestisida padat hanya digunakan oleh 21 persen petani jagung di Indonesia, sedangkan 42 petani jagung menggunakan pestisida cair, dan 37 persen petani jagung belum menerapkan
teknologi baru berupa pengendalian hama penyakit (Djulin, Syafa’at, dan Kasryno, 2002). Adisarwanto dan Widyastuti (2004) menjelaskan bahwa penerapan sistem usaha tani sebagai upaya peningkatan produksi jagung di Indonesia akan berhasil jika pemerintah mau bekerja sama dengan petani secara terpadu melalui beberapa hal, antara lain: 1. Memperluas Areal Panen. Perluasan areal panen adalah faktor potensial dalam mendukung peningkatan produksi jagung yang dapat dilakukan melalui beberapa cara, sebagi berikut: a. Ekstensifikasi. Upaya pengadaan sumber pertunbuhan baru berupa perluasan/penambahan
areal
penanaman.
Perluasan
penanaman
sebaiknya dilakukan di daerah-daerah seperti Hutan Tanaman Industri (HTI), daerah transmigrasi, lahan pasang surut, lahan lebak, lahan tidur dan lahan belum produktif lainnya. b. Diversifikasi. Kegiatan penganekaragaman komoditas pertanian yang dibudidayakan. Jika peningkatan jgaung dilakukan engan menjadikan jagung sebagai tanaman pokok pada suatu kegiatan pola tanam, maka kegiatan tersebut dikenal dengan diversifikasi horizontal. Sedankan diversifikasi vertikal merupakan kegiatan penganekaragaman produk industri yang berbahan baku jagung. c. Rehabilitasi. Perbaikan potensi varietas unggul dengan pemurnian benih atau penggantian benih hibrida yang sudah berkali-kali ditanam.
Di samping itu juga perlu dilakukan perbaikan kesuburan lahan, misalnya dengan pemberian kapur pada lahan masam dan perbaikan drainase di lahan pasang surut. d. Peningkatan Intensitas Pertanaman (IP). Intensitas Pertanaman (IP) diartikan banyaknya pertanaman dalam satu tahun pola tanam di suatu daerah. Biasanya ditujukan untuk lahan tidur dengan pola tanam monokultur maupun tumpang sari. e. Penambahan periode panen jagung. Penanaman jagung di Indonesia masih dilakukan pada waktu tanam tertentu saja, hal ini berakibat produksi jagung relatif fluktuatif, yaitu berlebihan ketika musim panen dan kekurangan ketika tidak di musim panen. 2. Meningkatkan Produktivitas. Produktivitas dapat ditingkatkan dengan penanaman varietas unggul disertai pengelolaan fisik yang dan hayati serta penerapan teknologi yang efektif dan efisien. 3. Menekan Senjang Hasil. Kesenjangan hasil merupakan perbedaan antara hasil riil yang dicapai petani dengan potensi genetik dari suatu varietas yang ditanam. Kesenjangan antara hasil yang diperoleh petani dengan hasil yang mungkin dapat dicapai disebabkan oleh faktor biofisik dan faktor sosial ekonomi dalam proses alih teknologi.
4. Mempertahankan Stabilitas Produksi. Stabilitas hasil jagung pada suatu wilayah diartikan sebagai besarnya perubahan hasil dari tahun ke tahun di wilayah tersebut dengan penerapan teknologi produksi yang sam. Faktor yang mempengaruhi stabilitas hasil, antara lain perkembangan hama penyakit dan kondisi lingkungan (kekeringan, genangan, dan gulma). 5. Menurunkan Kehilangan Hasil. Menurunkan persentase kehilangan hasil melalui penggunaan alat dan mesin pertanian yang tepat dapat membantu meningkatkan total produksi nasional. Peningkatan jasa mesin pertanian pascapanen menjadi faktor penting dalam menekan kerugian petani.
4.2.
Konsumsi Jagung di Indonesia Permintaan suatu komoditas pertanian pada umumnya terdiri dari
permintaan langsung (dikonsumsi) dan permintaan tidak langsung (diolah lebih lanjut menjadi produk konsumsi atau lainnya) (Departemen Pertanian, 2006). Pada dasarnya konsumsi jagung dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai bahan pangan, bahan baku industri olahan, dan bahan baku pakan (Purwono dan Hartono, 2005). Peningkatan permintaan jagung pada periode 1990 – 2000 sebesar 3,4 persen tidak diimbangi dengan peningkatan produksi jagung dalam negeri. Saat itu peningkatan jagung hanya sebesar 1,4 persen per tahun. Akhirnya, kekurangan pasokan tersebut ditutup dengan impor yang terus meningkat sejak tahun 1990. Permintaan jagung untuk bahan pangan pokok cenderung menurun
sejak tahun 1984, akan tetapi relatif konstan mulai tahun 1990, yaitu sekitar tiga juta ton per tahun. Krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997 kembali meningkatkan permintaan jagung untuk bahan pangan pokok, sedangkan penggunaan jagung untuk bahan baku pakan mengalami penurunan pada tahun 1998 dan kembali meningkat seiring dengan pulihnya perekonomian. Sebagian besar negara berkembang mempunyai masalah yang sama dalam pertanian jagung di dalam negerinya. Indonesia yang masih dapat dikatakan sebagai negara berkembang meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional mulai digantikan oleh sektor industri juga menghadapi masalah tersebut. Masalah utama pertanian jagung negara berkembang adalah peningkatan produksi jagung yang relatif rendah dibandingkan dengan konsumsi jagung secara nasional (Tabel 4.4). Tabel 4.4. Tahun
Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia Tahun 2000 – 2005 (Ribu Ton) Produksi
Konsumsi
Industri Pangan
2000 9.677 4.657 234 2001 9.347 4.567 2.415 2002 9.585 4.478 2.489 2003 10.886 4.388 2.564 2004 11.225 4.299 2.638 2005 12.524 4.174 2.713 Rata-rata 5,48%/tahun -2,17%/tahun 188,77%/tahun pertumbuhan Sumber: Departemen Perdagangan, 2007
Industri Pakan 3.713 3.955 4.197 4.438 468 3.419 111,90%/tahun
Permintaan jagung di Indonesia baik di tingkat rumah tangga maupun industri menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Permintaan jagung di tingkat rumah tangga meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif meningkat meskipun hanya di beberapa wilayah di Indonesia. Sebelum tahun 1990 permintaan jagung untuk konsumsi langsung (rumah tangga)
lebih tinggi dibandingkan konsumsi industri. Kemudian pada tahun 2006 kondisinya telah berubah secara signifikan dimana permintaan jagung untuk konsumsi industri jauh lebih besar dibandingkan konsumsi rumah tangga. Tingginya permintaan jagung untuk konsumsi industri setelah tahun 1990 merupakan akibat perkembangan industri pakan secara nasional, dimana lebih dari 50 persen bahan baku pakan adalah jagung sehingga hasil produksi jagung banyak diserap oleh indutri pakan (Gambar 4.2). 60
59
56 48
50
48
48
40 Unit 30 20 10 20 05
20 04
20 03
20 02
20 01
0
Tahun Jumlah Perusahaan Pakan
Sumber: Statistik Peternakan, 2006
Gambar 4.2. Perkembangan Jumlah Perusahaan Pakan di Indonesia 2001 – 2005 Upaya-upaya untuk mengembangkan industri berbasis jagung sebagai salah satu sektor yang potensial karena mempunyai rantai nilai yang cukup panjang, seperti minyak jagung, industri tepung, dan pati jagung akan terus digalakkan (Lampiran 2). Hal ini dapat terwujud apabila disertai dengan upayaupaya peningkatan dari sisi produksi jagung dalam negeri yang akan menjamin ketersediaan jagung di dalam negeri baik dari segi jumlah, kualitas, harga, dan kepastian pasokan.
Tabel 4.5. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47.
Daftar Perusahaan Pakan di Indonesia
Nama Perusahaan PT. Cheil Jedang Superfeed PT. Charoen Pokphand Indonesia PT. Cargill Indonesia PT. Citra Ina Feedmill PT. Gold Coin Indonesia PT. Metro Inti Sejahtera PT. Sierad Produce, Div. Feedmill PT. Central Pangan Pertiwi PT. Japfa Comfeed Indonesia Vista Grain Corp PT. Japfa Comfeed Indonesia PT. Welgro Feedmill Indonesia PT. Wonokoyo Jaya Kusuma PT. Japfa Comfeed Indonesia PT. Sentra Profeed Intermitra PT. Malindo Feedmill PT. Sinta Prima Feedmill PT. Japfa Comfeed Indonesia PT. Charoen Pokphand Indonesia PT. Gold Coin Indonesia PT. Sierad Produce, Div. Feedmill PT. Berlian Unggas Sakti PT. Bintang Terang Gemilang Universal Agribisnisindo/Luxindo Internusa Multiphala Agrinusa PT Suri Tani Pemuka PT. Wirifa Sakti PT. Bintang Terang Gemilang PT. Central Proteina Prima PT. Cheil Jedang Feed Jombang PT. Cargill Indonesia PT. Wonokoyo Jaya Corporindo PT. Mabar Feed Indonesia PT. Charoen Pokphand Indonesia PT. Indojaya Agrinusa PT. Gold Coin Indonesia PT. Allied Feeds Indonesia PT. Panca Patiot Prima PT. Matahari Sakti PT. Arta Citra Terpadu (Tutup) PT. Subur Ripah (Tutup) PT. Farmindo Utama (Tutup) PT. Hirema (Tutup) PT. Buana Superior (Tutup) PT. Unggul Citra Top Feed (Tutup) PT. Restu Jaya (Tutup) PT. Satwa Biga Sampurna (Tutup)
Sumber: GPMT, 2007
Kota Serang, Banten Jakarta Utara Bogor, Jawa Barat Jakarta Timur Bekasi Barat Bekasi Barat Jakarta Selatan Jakarta Tanjung Bintang, Lampung Lampung Cirebon, Jawa Barat Bogor, Jawa Barat Serang, Banten Tangerang Bandar Lampung Jakarta Selatan Jakarta Barat Sidoarjo, Jawa Timur Surabaya, Jawa Timur Surabaya, jawa Timur Sidoarjo, Jawa Timur Medan Serang, Banten Bekasi Sragen, Jawa Tengah Sidoarjo, Jawa Timur Surabaya, Jawa Timur Sidoarjo, Jawa Timur Semarang, Jawa Tengah Jombang, Jawa Timur Pasuruan, Jawa Timur Surabaya, Jawa Timur Medan Medan Medan Medan Bogor, Jawa Barat Sidoarjo, Jawa Timur Surabaya, Jawa Timur -
Industri pakan berkembang pesat setelah tahun 1980. sebagian besar berlokasi di Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung dan Sumatera Utara. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2007) di Indonesia terdapat 67 perusahaan pakan yang memanfaatkan jagung sebagai bahan baku utama produksinya dengan total kapasitas terpasang sebesar 12 juta ton per tahun. Berbeda dengan data Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) (2007) bahwa hanya terdapat 47 perusahaan pakan yang terdaftar menjadi anggota GPMT dan delapan perusahaan diantaranya dinyatakan telah tutup. Nama-nama perusahaan pakan anggota GPMT di Indonesia beserta wilayahnya dapat dilihat pada Tabel 4.5. Perusahaan yang termasuk dalam industri makanan olahan berbahan baku jagung (snack food) berjumlah 17 perusahaan dengan kapasitas terpasang sebesar 18.018 ton per tahun. Selain industri pakan dan industri makanan olahan (snack food) juga terdapat industri berbasis jagung lain, seperti PT. Suba Indah (integrated corn industry) yang dalam kegiatan produksinya menghasilkan produk turunan pengolahan jagung seperti Corn Starch, Corn Gluten dan Corn Meal yang juga memanfaatkan jagung sebagai bahan baku industrinya dengan kapasitas terpasang sebesar 360 ribu ton per tahun (Departemen Perindustrian, 2007). Rata-rata pertumbuhan permintaan jagung oleh industri selama periode tahun 1998 – 2005 adalah sebesar 4,31 persen lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan sebelum krisis (1985 – 1997) yaitu sebesar 7,47 persen. Kondisi ini diduga karena pada saat krisis banyak industri pakan yang tidak mampu bertahan sehingga permintaan akan jagung sebagai bahan baku
menurun drastis. Sebaliknya kondisi permintaan jagung untuk konsumsi langsung yang relatif menurun pada saat krisis mengalami peningkatan hingga mencapai 12,13 persen sebagai akibat masyarakat melakukan diversifikasi pangan (Outlook Tanaman Pangan, 2006). Berdasarkan data Departemen Perdagangan (2007) menunjukkan bahwa kondisi lima tahun terakhir produksi dan konsumsi jagung di Indonesia mengalami surplus produksi (Tabel 4.4). Dengan demikian, permintaan jagung dalam negeri baik untuk konsumsi langsung dan bahan baku industri telah mampu dipenuhi oleh produksi jagung dalam negeri tetapi kenyataannya Indonesia masih mengimpor jagung yang kecenderungannya selalu meningkat. Industri pakan sebagai konsumen utama komoditi jagung mulai berkembang pesat di Indonesia setelah tahun 1980. Sebagian besar lokasi pabriknya berada di daerah-daerah yang menjadi sentra produksi jagung di Indonesia, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung dan Sumatera Utara. Pemilihan lokasi ini berhubungan dengan pasokan jagung sebagai bahan baku utama pakan sehingga dalam hal kuantitas dan kualitas dapat terjamin. Kapasitas terpasang perusahaan pakan mengalami peningkatan dimana selama periode tahun 1990 – 1994 hanya sebesar tujuh juta ton per tahun menjadi 11 juta ton per tahun pada periode tahun 1995 – 2004. Kemudian meningkat lagi hingga mencapai 12 juta ton per tahun pada tahun 2005. Hal ini merupakan salah satu ciri dari keberhasilan Revolusi Peternakan. Berbeda dengan kondisi perkembangan produksi padi dan jagung akibat adanya Revolusi Pertanian yang bersifat supply driven, sebab yang terjadi pada Revolusi Peternakan bersifat demand driven,
terjadi karena perubahan pola konsumsi msyarakat dengan meningkatnya konsumsi daging, telur, dan susu.
4.3.
Impor Jagung di Indonesia Perubahan era pasar komoditas pertanian yang mengarah pada pasar bebas
membawa konsekuensi terhadap harga komoditas pertanian, yaitu harga pangan di pasar domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar internasional. Harga komoditas pangan di pasar dunia secara langsung akan mempengaruhi harga komoditas pangan di dalam negeri. Sebagai salah satu komoditas pangan, fluktuasi perubahan harga jagung tidak terlepas dari arah kebijakan perdagangan, pasar komoditas pangan dunia, stabilitas harga, dan fluktuasi nilai tukar rupiah (Gambar 4.3). Akumulasi berbagai perubahan tersebut secara simultan akan mempengaruhi fluktuasi harga jagung di dalam negeri (Meng dan Ekboir, 2001 dalam Rachman, 2003). 12,000.00 10,000.00 8,000.00 Rp/US$ 6,000.00 4,000.00 2,000.00 0.00 1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
Tahun Harga Jagung Dunia
Nilai Tukar
Sumber: Departemen Perdagangan, 2007
Gambar 4.3. Perkembangan Harga Jagung Dunia dan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika
2005
Terdapat dua kondisi yang menjadi alasan mengapa suatu negara mengimpor
jagung
dan
bagaimana
pemerintah
seharusnya
menyikapi
permasalahan tersebut. Kondisi pertama, produksi jagung lokal relatif cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri dan pada saat yang sama harga jagung dunia lebih murah dari harga jagung lokal. Pada kondisi seperti ini konsumen jagung dalam negeri yang tingkat kebutuhannya sangat tinggi, seperti perusahaan pakan akan lebih memilih impor jagung dibandingkan membeli jagung lokal. Impor jagung oleh perusahaan pakan mendorong harga jagung lokal turun menyamai harga jagung dunia. Hal ini akan memukul produsen jagung di dalam negeri, sehingga pemerintah menetapkan tarif tertentu terhadap impor jagung. Kebijakan tarif impor jagung ternyata belum mendorong petani jagung di dalam negeri menjadi lebih efisien. Kondisi kedua adalah ketika produksi jagung lokal relatif rendah dibandingkan jumlah kebutuhan jagung di dalam negeri. Seperti pada kondisi pertama, misalnya kebutuhan oleh pabrik pakan tidak dapat dipenuhi produksi jagung lokal, maka pabrik pakan akan mengimpor jagung dari pasar dunia sekalipun harganya lebih mahal. Jika harga jagung dunia lebih mahal maka pabrik pakan akan melakukan pengurangan produksi, namun keputusan tersebut juga dipengaruhi oleh rasio harga pakan dan harga hasil peternakan. Pada kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah terdorong untuk menetapkan kebijakan kuota impor dengan tetap memperhatikan dampak atau konsekuensi yang timbul seperti ”pasar gelap”. Melalui struktur tataniaga jagung yang baik, produsen (petani) jagung lokal dapat mengambil keuntungan atau insentif untuk meningkatkan
produksi jagung lokal karena kenaikan harga jagung dunia akan mendongkrak kenaikan harga jagung di dalam negeri. Kebutuhan jagung untuk bahan pangan pokok, bahan baku pakan serta bahan baku industri olahan terus meningkat. Kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan semakin meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan industri peternakan yang menuntut kontinuitas pasokan bahan baku. Oleh karena itu, volume impor jagung terus meningkat mengingat harga jagung di pasar dunia relatif lebih murah dibanding harga jagung lokal serta kualitas produk lebih terjamin (Rachman, 2003). Pengenaan tarif impor atas komoditi jagung bertujuan untuk melindungi petani jagung dalam negeri. Selama tahun 1974 – 1979 besarnya tarif impor yang diberlakukan adalah sebesar lima persen, kemudian ditingkatkan menjadi 10 persen pada tahun 1980-1993. Tarif impor kembali diturunkan menjadi lima persen pada tahun 1994 hingga saat ini, bahkan penurunannya mencapai nol persen ketika kondisi pertanian jagung di Indonesia tidak sedang dalam musim panen. Pemenuhan jagung sebagai bahan baku industri pakan dan industri olahan berbasis jagung sepenuhnya dipenuhi dari impor. Kebijakan pengenaan tarif impor dan bentuk-bentuk proteksi lainnya tidak akan efektif mempengaruhi kesejahteraan petani jagung di dalam negeri sebelum sistem produksi jagung nasional dapat bersaing secara efisien (Rachman, 2003). Keputusan terbaru mengenai besarnya tarif impor jagung telah ditetapkan berdasarkan SK Menteri Keuangan Nomor 600/PMK.010/2004 tanggal 23 Desember 2004 dinyatakan bahwa tarif impor jagung meningkat dari nol persen
menjadi lima persen. Kemudian tidak hanya impor jagung yang dikenakan tarif impor tetapi juga impor pakan dikenakan tarif impor meski hanya sebesar nol persen. Pati jagung sebagai produk olahan industri berbasis jagung yang juga harus bersaing dengan produk impor yang harganya relatif lebih murah turut serta dilindungi pemerintah. Hal ini ditetapkan berdasarkan Permenkeu Nomor 108/PMK.010/2005 bahwa impor pati jagung dikenakan tarif sebesar 10 persen tetapi dengan tingkat tarif impor yang dinilai cukup harmonis tersebut ternyata belum mampu meningkatkan daya saing industri pengolahan jagung (Departemen Perindustrian, 2007). Melihat perkembangan impor jagung sebagai bahan baku pakan semakin meningkat karena kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan belum seluruhnya dapat dipenuhi dari jagung lokal, maka pelaksanaan impor bahan baku tersebut perlu dilakukan pengawasan secara ketat oleh pemerintah. Salah satu tujuan pengawasan tersebut dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi para pihak baik aparatur maupun Badan Usaha yang melakukan kegiatan importasi bahan baku pakan, yaitu perusahaan importir dan perusahaan pakan, serta dalam upaya pembinaan dan pengawasan dengan tujuan agar bahan baku pakan yang diimpor dapat dijamin mutu dan aman dari media penyakit hewan menular, sebab bahan baku pakan dapat menjadi agent penyakit hewan menular. Pengawasan ini dilakukan melalui pemberian Surat Keterangan Bahan Baku Impor. Pengaturan pemberian Surat Keterangan Bahan Baku Impor dilakukan oleh pemerintah yang didasarkan pada tindakan Sanitary and Phitosanitary (SPS-Measures), World Trade Organization (WTO), dan Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office
Internatinal des Epizootes/OIE) yang telah ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor 63/TN.240/Kpts/DJBPP/Deptan/2002 (Departemen Pertanian, 2002). Perkembangan impor jagung Indonesia setelah tahun 1990 menunjukkan kecenderungan yang selalu meningkat. Kemudian pada tahun 2003 impor jagung Indonesia meningkat signifikan sebagai akibat tingginya permintaan jagung untuk industri pakan yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi jagung dalam negeri. Sistem produksi dan distribusi jagung nasional yang belum bekerja dengan baik diduga sebagai penyebab peningkatan impor jagung dari tahun ke tahun meskipun produksi jagung dikatakan meningkat. Sistem statistik data sebagai peramalan dan informasi perlu segera diperbaiki sebab hingga saat ini data produksi jagung di Indonesia belum terdefinisi dengan baik dan jelas apakah perhitungan produksi tersebut berupa jagung pipilan kering dengan kadar air 17 persen atau bentuk lain seperti tanaman jagung sebagai pakan hijauan ternak, jagung sayur, dan lain-lain (Kompas, 2007). Di pasar jagung dunia, Indonesia menempati peringkat kedelapan sebagai produsen jagung dengan kontribusi produksi jagung sebesar 1,73 persen (FAO, 2005 dalam Outlook Tanaman Pangan, 2006). Indonesia menjadi negara satusatunya dari kawasan Asia Tenggara yang telah masuk peringkat sepuluh terbesar produsen jagung dunia. Meskipun demikian, Indonesia juga termasuk sebagai konsumen jagung terbesar di dunia yang menempati peringkat kedelapan dengan proporsi konsumsi sebesar 1,55 persen (FAO, 2005 dalam Outlook Tanaman Pangan, 2006).
Tabel 4.6. Negara
Impor Jagung Indonesia Menurut Negara Asal (Kg) 2000
2001
2003
2004
270.000
1.835.982
17.650.000
2.920.000
2.314.720
97.565.440
Argentina
35.846.493
37.657.731
23.818.980
222.292
1.024.047
372.128.472
Thailand
2.233.182
1.723.874
173.844.859
31.483.562
26.461.299
278.471.453
USA
192.240.257
219.764.033
465.097.422
71.553.249
8.344.800
150.532.671
Cina
387.338.271
885.635.118
325.933.707
1.032.736.361
1.308.677.535
192.490.004
Total
617.928.203
1.146.616.738
1.006.344.968
1.138.915.464
1.346.822.401
1.091.188.040
India
2002
2005
Sumber: Departemen Pertanian, 2006
Perkembangan impor jagung Indonesia selama periode 1985 – 2005 yang relatif meningkat disebabkan karena harga jagung dunia lebih murah dibandingkan harga jagung lokal. Peningkatan ekspor Amerika Serikat sebagai produsen jagung peringkat pertama di pasar dunia diduga sebagai faktor utama terjadinya penurunan harga jagung dunia. Ketika terjadi peningkatan jumlah ketersediaan jagung di pasar dunia akan berdampak pada penurunan harga jagung dunia dan peningkatan impor jagung Indonesia, Hal ini memaksa petani jagung lokal untuk menurunkan harga sebab jika tidak maka jagung lokal tidak akan terserap oleh industri berbasis jagung. Jika dilihat berdasarkan negara asal impor jagung Indonesia selama lima tahun terakhir maka USA (Amerika Serikat) dan Cina merupakan negara yang mempunyai kontribusi besar terhadap jumlah jagung yang diimpor oleh Indonesia, masing-masing sebesar 31 persen dan 63 persen kemudian sisanya berasal dari Argentina, India, dan Thailand (Tabel 4.6). Kebijakan tarif impor jagung yang bertujuan untuk melindungi petani jagung lokal, mulai tahun 1994 hingga saat ini adalah sebesar 0 – 5 persen. Besarnya tarif tersebut sebenarnya kurang efektif baik dari sisi peningkatan produktivitas petani jagnng lokal maupun pembatasan impor oleh industri berbasis jagung. Petani jagung Indonesia masih menjadikan jagung sebagai
tanaman sekunder setelah padi, sebab harga padi selalu lebih baik dibandingkan dengan harga jagung, sehingga kegiatan penanaman jagung cenderung bersifat musiman. Kemudian dari sisi pembatasan impor, jika tarif impor jagung ditingkatkan untuk membatasi impor jagung yang menjadi bahan baku industri ternyata belum ada kepastian atau jaminan bahwa produksi jagung dalam negeri akan mampu memenuhi kebutuhan jagung oleh industri berbasis jagung yang membutuhkan pasokan jagung secara kontinu. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang baik untuk mengatasi permasalah tersebut.
V.
5.1.
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG
Hasil Dugaan Model Berdasarkan hasil dugaan dari seluruh model persamaan yang telah dibuat
cukup baik dilihat dari kriteria ekonomi, statistik, dan ekonometrik seperti yang terlihat dari besarnya nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing persamaan struktural yaitu berkisar antara 0,63 sampai dengan 0,98. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh pada persamaan luas areal panen tanaman jagung adalah sebesar 0,63, produktivitas tanaman jagung sebesar 0,98, harga riil jagung lokal sebesar 0,63, jumlah impor jagung sebesar 0,80 dan harga impor jagung sebesar 0,73. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum variabel-variabel bebas yang ada dalam persamaan struktural mampu menjelaskan variabel terikatnya dengan baik. Besarnya nilai p-value untuk Fstatistik pada setiap persamaan umumnya lebih kecil dari nilai taraf nyata (α) yang berarti variasi variabel-variabel bebas dalam setiap persamaan struktural secara bersama-sama cukup mampu menjelaskan dengan baik variasi variabel terikat pada taraf nyata lima persen. Setiap persamaan struktural mempunyai variabel-variabel bebas dengan beberapa tanda parameter yang sesuai dengan hipotesis dan cukup logis dari sudut pandang ekonomi. Jika terdapat tanda parameter yang tidak sesuai dengan harapan dan teori ekonomi, hal tersebut dikarenakan masih banyak variabel yang berpengaruh namun tidak dimasukkan dalam persamaan karena keterbatasan akses data atau ketersediaan data.
Nilai tstatistik digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya. Hasil uji-t yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa variabel bebas yang tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya pada taraf nyata lima persen. Besarnya nilai taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima persen agar interpretasi hasil estimasi mendekati fenomena ekonomi aktual. Masalah multikolinearitas dalam persamaan simultan dapat diabaikan jika nilai koefisien sesuai dengan harapan atau logis dari sudut pandang ekonomi. Multikolinearitas dipandang hanya sebagai gejala dalam persamaan simultan yang tidak mempengaruhi validitas estimasi. Pengujian masalah autocorrelation dapat dilakukan dengan uji Durbin Watson (DW) Statistic, tetapi karena dalam persamaan terdapat variabel beda kala maka uji DW Statistic menjadi tidak valid, sehingga digunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Syaratnya jika nilai probabilitas Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test lebih besar dari taraf nyata lima persen maka dapat disimpulkan dalam persamaan tersebut tidak terdapat masalah autocorrelation. Dari hasil analisis diperoleh nilai probabilitas Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test lebih besar dari taraf nyata lima persen. Dengan demikian dapat disimpulkan dalam setiap persamaan struktural tidak terdapat masalah autocorrelation. Pengujian masalah heteroskedastisitas digunakan White Heteroskedasticity Test. Syaratnya jika nilai probabilitas White Heteroskedasticity Test lebih besar dari nilai taraf nyata yang digunakan maka dapat disimpulkan tidak terdapat
masalah heteroskedastisitas. Hasil analisis menunjukkan bahwa persamaanpersamaan dalam penelitian ini tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.
5.2.
Dugaan Model Ekonometrika Setelah melakukan beberapa alternatif spesifikasi model persamaan, maka
akhirnya diperoleh model persamaan produksi dan impor jagung Indonesia yang terdiri dari lima model persamaan struktural. 5.2.1. Luas Areal Jagung Nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan luas areal panen tanaman jagung adalah sebesar 0,6259 yang artinya 62,59 persen keragaman luas areal panen tanaman jagung dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel bebas di dalam model persamaan yakni variabel harga riil di tingkat produsen, harga riil kedelai, harga riil padi, tingkat suku bunga kredit di Indonesia dan luas areal panen tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya sebesar 37,41 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Hasil estimasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 5.1.
Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung di Indonesia
Variable Coefficient Std. Error C (Intersep) 10.52293 2.453830 LN_PDT (Harga riil jagung di tingkat produsen) 1.254833 0.434681 LN_PKT (Harga riil kedelai) -0.555688 0.146156 LN_PPT (Harga riil padi) -0.296317 0.425239 SBT (Tingkat suku bunga kredit) 0.011249 0.003695 LN_LAPT1 (Luas areal panen tahun sebelumnya) -0.547945 0.224392 R-squared 0.625942 Prob(F-statistic) Adjusted R-squared 0.501256 Durbin-Watson stat
Sumber: Lampiran 4, Halaman 124
t-Statistic Prob. 4.288369 0.0006 2.886794 0.0113 -3.802023 0.0017 -0.696824 0.4966 3.044093 0.0082 -2.441913 0.0275 0.006692 1.871053
Berdasarkan nilai probability untuk Fstatistik sebesar 0,0067 yang lebih kecil dari taraf nyata lima persen menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model persamaan luas areal panen jagung secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap luas areal tanaman jagung. Hasil uji-tstatistik menunjukkan bahwa variabel harga riil jagung di tingkat produsen, harga riil kedelai, tingkat suku bunga kredit di Indonesia, dan luas areal panen tanaman jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap luas areal panen tanaman jagung pada taraf nyata lima persen. Sedangkan, harga riil padi tidak berpengaruh nyata terhadap luas areal panen tanaman jagung (Lampiran 4). Seperti terlihat dari tanda koefisien dugaannya, harga riil jagung di tingkat produsen berpengaruh positif dan berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen terhadap luas areal panen tanaman jagung. Nilai koefisien dugaan variabel harga riil jagung di tingkat produsen sebesar 1,25, artinya jika terjadi peningkatan harga riil jagung di tingkat produsen sebesar satu persen maka akan meningkatkan keinginan petani untuk menanam jagung karena petani beranggapan bahwa insentif yang akan mereka terima lebih tinggi, sehingga luas areal panen tanaman jagung akan meningkat sebesar 1,25 persen, sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil jagung lokal sebesar satu persen maka luas areal panen tanaman jagung akan menurun sebesar 1,25 persen, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan kondisi pasar jagung dalam negeri yang telah ditentukan oleh mekanisme pasar sejak tahun 1990 yaitu sejak dicabutnya kebijakan harga dasar jagung. Sejak saat itu BULOG tidak lagi melakukan intervensi dalam pemasaran jagung dengan pertimbangan: (1) intervensi BULOG memerlukan biaya besar, (2) kompetisi
antar pedagang akan menciptakan keuntungan bagi petani jagung, dan (3) permintaan jagung cukup tinggi sepanjang tahun (Rachman, 2003). Nilai koefisien dugaan variabel harga riil kedelai sebesar -0,56 yang berarti jika terjadi kenaikan harga riil kedelai sebesar satu persen akan menurunkan luas areal panen tanaman jagung sebesar 0,56 persen, dan sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil kedelai sebesar satu persen akan meningkatkan luas areal panen tanaman jagung sebesar 0,56 persen, ceteris paribus. Persaingan dalam penggunaan lahan antara komoditi jagung dan kedelai saat ini mulai berkurang, sebab dengan berkembangnya sistem tumpangsari usahatani jagung tidak hanya dapat dilakukan secara monokultur. Berdasarkan analisis usahatani jagung sistem tumpangsari dengan kedelai dapat meningkatkan pendapatan yang akan diperoleh petani dibandingkan dengan sistem monokultur (Purwono dan Hartono, 2006). Harga riil padi tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien dugaan sebesar -0,30. Artinya jika terjadi peningkatan harga riil padi sebesar satu persen maka luas areal panen tanaman jagung akan menurun sebesar 0,30 persen, sebaliknya jika harga riil padi mengalami penurunan sebesar satu persen maka luas areal panen tanaman jagung akan meningkat sebesar 0,30 persen, ceteris paribus. Hal ini dapat dipahami karena padi masih menjadi tanaman pangan utama di Indonesia yang dikonsumsi oleh mayoritas penduduk di Indonesia. Meskipun telah diadakan program perluasan areal tanam tanaman jagung ke luar Pulau Jawa pada lahan sawah tadah hujan dan
lahan kering tetapi masih tetap terjadi persaingan dalam penggunaan lahan dengan tanaman padi untuk di wilayah Pulau Jawa (Departemen Pertanian 2005). Petani Indonesia dapat dikatakan masih tergolong lemah karena sebagian besar menjalankan kegiatan produksi pertaniannya secara tradisional dan luas areal pertanian yang dimiliki relatif sempit. Hal inilah yang menyebabkan petani kesulitan dalam mengajukan permohonan kredit kepada bank dibandingkan para pelaku produksi di sektor industri. Tingkat suku bunga kredit di Indonesia berpengaruh nyata terhadap luas areal panen tanaman jagung dengan nilai koefisien dugaan sebesar 0,01 yang berarti jika terjadi peningkatan tingkat suku bunga kredit sebesar satu persen maka luas areal panen tanaman jagung akan meningkat sebesar 0,01 persen. Ketika tingkat suku bunga kredit yang berlaku meningkat petani akan mengusahakan pertanian jagung lebih efisien karena dengan besarnya jumlah kredit yang diterima akan menambah modal yang dapat digunakan untuk usaha pertanian jagung. Begitu pula sebaliknya dengan menurunnya tingkat suku bunga kredit sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan luas areal panen tanaman jagung sebesar 0,01 persen, ceteris paribus. Kenaikan tingkat suku bunga kredit tidak berpengaruh besar terhadap luas areal panen tanaman jagung karena masih banyak petani yang belum menggunakan pinjaman kredit dari bank sebagai modal untuk mengadopsi teknologi, misalnya dengan membeli bibit jagung unggul (hibrida atau komposit). Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, luas areal panen juga dipengaruhi secara nyata oleh peubah beda kala. Nilai koefisien dugaan luas areal panen tanaman jagung tahun sebelumnya sebesar -0,55. Yang mana dapat
diartikan ketika luas areal panen tanaman jagung tahun sebelumnya mengalami peningkatan sebesar satu persen akan menurunkan luas areal panen tanaman jagung sebesar 0,55 persen. Sedangkan jika luas areal panen tanaman jagung tahun sebelumnya mengalami penurunan sebesar satu persen akan meningkatkan luas areal panen sebesar 0,55 persen, ceteris paribus. Pengembangan lahan pertanian tanaman pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan pertanian produktif yang berubah menjadi fungsi lain seperti pemukiman. Oleh karena itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perluasan areal panen tanaman jagung saat ini diarahkan pada lahan sawah tadah hujan dan lahan kering di luar Pulau Jawa dan telah terbukti dapat memberikan daya saing produksi relatif lebih baik. 5.2.2. Produktivitas Jagung Nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan produktivitas jagung adalah sebesar 0,9823, artinya 98,23 persen keragaman produktivitas jagung dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel bebas yakni variabel harga riil jagung lokal, harga riil pupuk urea, tingkat suku bunga kredit di Indonesia dan produktivitas tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 1,77 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam persamaan. Hasil estimasi dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 5.2.
Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia
Variable C (Intersep) LN_PJT (Harga riil jagung local) LN_PUT (Harga riil pupuk urea) SBT (Tingkat suku bunga kredit) LN_YT1 (Produktivitas tahun sebelumnya) R-squared 0.982299 Adjusted R-squared 0.977874
Sumber: Lampiran 8, Halaman 125
Coefficient Std. Error -0.296517 0.580733 0.008087 0.111265 0.041094 0.061023 -0.000276 0.000754 0.998728 0.035322 Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat
t-Statistic Prob. -0.510591 0.6166 0.072683 0.9430 0.673415 0.5103 -0.365684 0.7194 28.27459 0.0000 0.000000 1.747706
Dari nilai probability yang diperoleh untuk Fstatistik sebesar 0,0000 pada taraf nyata lima persen berarti bahwa variabel-variabel bebas dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produktivitas tanaman jagung. Hasil uji-tstatistik menunjukkan bahwa hanya produktivitas tahun sebelumnya yang berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas jagung pada taraf nyata lima persen. Harga riil jagung lokal tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas jagung pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien sebesar 0,01, yang berarti produktivitas jagung akan meningkat sebesar 0,01 persen ketika harga riil jagung lokal dapat ditingkatkan sebesar satu persen. Demikian juga ketika harga riil jagung lokal mengalami penurunan sebesar satu persen maka akan menurunkan produktivitas jagung sebesar 0,01 persen. Harga riil jagung lokal menjadi ukuran seberapa besar insentif petani menanam jagung, sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan pemerintah dapat berpihak kepada petani jagung. Harga riil faktor produksi pupuk urea ternyata tidak berpengaruh secara nyata pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien dugaan sebesar 0,04. Artinya jika terjadi peningkatan harga riil pupuk urea sebesar satu persen maka produktivitas jagung akan meningkat sebesar 0,03 persen, sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil pupuk urea maka produktivitas jagung akan menurun sebesar 0,03 persen, ceteris paribus. Meningkatnya harga pupuk berdampak pada peningkatan biaya produksi yang harus ditanggung petani, dalam kondisi seperti ini petani diduga berusaha seefektif dan seefisien mungkin, agar mendapat nilai jual hasil yang lebih tinggi. Oleh karena itu, seharusnya petani tanaman pangan
mendapatkan prioritas perlindungan oleh pemerintah melalui harga jual dan subsidi produksi karena petani membawa amanah bagi ketahanan pangan, petani pangan perlu mendapatkan kesejahteraan yang layak (www.nakertrans.go.id). Tingkat suku bunga kredit di Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas jagung pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien dugaan sebesar -0,0003 yang berarti jika tingkat suku bunga kredit meningkat satu persen maka akan menyebabkan produktivitas jagung menurun sebesar 0,0003 persen, dan sebaliknya produktivitas akan meningkat sebesar 0,0003 persen jika tingkat suku bunga kredit diturunkan sebesar satu persen, ceteris paribus. Melalui pemberian keringanan bunga kredit kepada petani disertai dengan programprogram peningkatan usaha tani dengan cara menggunakan bibit jagung yang lebih unggul diharapkan dapat mewujudkan peningkatan produksi jagung Indonesia sehingga swasembada jagung dapat segera tercapai yang seharusnya telah terealisasi pada tahun 2007. Nilai koefisien dugaan variabel produktivitas jagung tahun sebelumnya sebesar 1,00, artinya jika terjadi kenaikan produktivitas jagung tahun sebelumnya sebesar satu persen maka produktivitas jagung akan meningkat sebesar satu persen. Sebaliknya jika terjadi penurunan produktivitas jagung tahun sebelumnya sebesar satu persen maka produktivitas jagung akan turun sebesar satu persen, ceteris paribus. 5.2.3. Harga Riil Jagung Lokal Nilai koefisien determinasi (R2) dari model persamaan harga riil jagung lokal sebesar 0,6347, yang artinya 63,47 persen keragaman harga riil jagung lokal
dapat diterangkan oleh variabel-variabel bebas di dalam model persamaan yakni harga riil jagung di tingkat produsen, produksi jagung Indonesia, tingkat inflasi di Indonesia dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya sebesar 36,53 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model persamaan. Hasil estimasi harga riil jagung lokal selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 5.3.
Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Jagung Lokal di Indonesia
Variable Coefficient Std. Error C (Intersep) -2.234024 1.915697 LN_PDT (Harga riil jagung di tingkat produsen) 0.740092 0.235168 LN_QJT (Produksi jagung Indonesia) -0.038279 0.071956 INFT (Tingkat inflasi Indonesia) 0.011173 0.002804 LN_PJT1 (Harga riil jagung tahun sebelumnya) 0.640446 0.210810 R-squared 0.634713 Prob(F-statistic) Adjusted R-squared 0.543391 Durbin-Watson stat
t-Statistic Prob. -1.166168 0.2606 3.147074 0.0062 -0.531970 0.6021 3.985187 0.0011 3.038027 0.0078 0.001927 1.592565
Sumber: Lampiran 12, Halaman 126
Variabel-variabel bebas yang terdapat dalam model persamaan harga riil jagung lokal secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal. Kondisi ini dapat dilihat dari nilai probability untuk Fstatistik sebesar 0,0019 pada taraf nyata lima persen. Hasil uji-tstatistik pada taraf nyata lima persen menunjukkan variabel harga riil jagung di tingkat produsen, tingkat inflasi di Indonesia dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya berpengaruh secara nyata pada taraf nyata lima persen. Produksi jagung Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal pada taraf nyata lima persen. Instrumen kebijakan pemerintah dalam hal harga jagung lokal yang menonjol adalah kebijakan harga dasar jagung yang dimandatkan kepada BULOG, serta stabilisasi harga jagung dalam negeri dan perdagangan. Kebijakan harga dasar jagung dimaksudkan untuk melindungi petani dari penurunan harga
yang berlebihan ketika musim panen. Kebijakan harga dasar jagung dimulai tahun 1977/1978, jauh setelah pemerintah menetapkan kebijakan harga dasar gabah yang dimulai sejak tahun 1969 (Rachman, 2003). Penetapan harga dasar jagung dipandang penting karena produksi jagung pada saat itu cenderung meningkat dan ekspor cukup prospektif. Disamping itu, jagung merupakan bahan pangan pokok kedua setelah padi, meski hanya di daerah-daerah tertentu dan juga menjadi bahan baku utama pakan. Seiring dengan perkembangannya kebijakan harga dasar jagung tidak mampu memacu produksi jagung lokal, sehingga pada tahun 1990 kebijakan harga dasar jagung tidak diberlakukan lagi. Salah satu peran BULOG adalah untuk melakukan pengadaan jagung yang bersumber dari petani lokal dan impor, kemudian disalurkan ke pasar-pasar dalam negeri dan ekspor. Dari hasil analisis pada penelitian ini dapat dilihat bahwa harga riil jagung di tingkat produsen berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal, dengan koefisien dugaan variabel harga riil jagung di tingkat produsen sebesar 0,74. Berarti jika terjadi kenaikan pada harga riil jagung di tingkat produsen sebesar satu persen akan meningkatkan harga riil jagung lokal sebesar 0,74 persen. Sebaliknya, jika terjadi penurunan harga riil jagung di tingkat produsen sebesar satu persen akan menurunkan harga riil jagung lokal sebesar 0,74 persen, ceteris paribus. Produksi jagung Indonesia berpengaruh negatif terhadap harga riil jagung lokal dan tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Nilai koefisien dugaan variabel produksi jagung Indonesia sebesar -0,04. Artinya jika terjadi peningkatan produksi jagung sebesar satu persen maka harga riil jagung lokal
akan menurun sebesar 0,04 persen, sebaliknya jika produksi jagung mengalami penurunan sebesar satu persen maka harga riil jagung lokal akan meningkat sebesar 0,04 persen, ceteris paribus. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh pedagang besar untuk mengekspor jagung ketika musim panen, dengan membeli jagung melalui pedagang pengumpul/penebas yang membeli langsung dari petani jagung dengan harga rendah, sehingga memperoleh keuntungan yang lebih besar. Sedangkan ketika produksi jagung Indonesia menurun pengusaha importir jagung dan pabrik pakan memilih untuk mengimpor jagung yang dianggap lebih murah dan efisien, karena hanya berurusan dengan satu eksportir dari negara pengekspor, dibanding membeli jagung lokal yang harus dikumpulkan dari beberapa petani sedikit demi sedikit karena ketiadaan pengepul jagung. Hal ini memaksa petani jagung untuk tidak terlalu tinggi dalam meningkatkan harga jagung ketika ketersediaan jagung terbatas, bahkan terkadang harus menyesuaikan dengan harga jagung impor agar tetap dapat diserap oleh pabrik pakan. Variabel tingkat inflasi di Indonesia berpengaruh secara nyata pada taraf nyata lima persen terhadap harga riil jagung lokal. Nilai koefisien dugaan variabel tingkat inflasi di Indonesia sebesar 0,01. Artinya jika terjadi peningkatan tingkat inflasi di Indonesia sebesar satu persen maka harga riil jagung lokal akan meningkat sebesar 0,01 persen, sebaliknya jika tingkat inflasi di Indonesia mengalami penurunan sebesar satu persen maka harga riil jagung lokal akan menurun sebesar 0,01 persen, ceteris paribus. Variabel harga riil jagung lokal tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal dengan nilai koefisien dugaannya sebesar
0,64. Artinya jika terjadi peningkatan harga riil jagung lokal pada tahun sebelumnya sebesar satu persen, maka harga riil jagung lokal akan meningkat sebesar 0,64 persen, sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya sebesar satu persen, maka akan menurunkan harga riil jagung lokal sebesar 0,64 persen, ceteris paribus. Hal ini sangat dipengaruhi oleh ekspektasi dan kekhawatiran petani jagung. Jika harga riil jagung tahun sebelumnya dianggap terlalu tinggi akan menyebabkan perusahaan pengimpor jagung dan pabrik pakan lebih memilih jagung impor. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya impor pada tahun berikutnya maka petani jagung menetapkan harga yang tidak terlalu tinggi. 5.2.4. Jumlah Impor Jagung Indonesia Nilai koefisien determinasi (R2) dari model persamaan jumlah impor jagung Indonesia adalah sebesar 0,8048. Artinya keragaman dari variabel terikat mampu diterangkan oleh variabel-variabel bebas di dalam model yakni Produk Domestik Bruto Indonesia, harga impor jagung Indonesia, harga riil jagung dunia dan jumlah impor jagung tahun sebelumnya sebesar 80,48 persen. Sedangkan sisanya sebesar 19,52 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil estimasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 16. Tabel 5.4.
Hasil Estimasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia
Variable Coefficient Std. Error C (Intersep) 46.03297 63.62185 LN_PDBT (Produk Domestik Bruto Indonesia) 0.654427 1.373705 LN_PMT (Harga impor jagung Indonesia) -3.677738 0.619206 LN_PWT (Harga riil jagung dunia) -4.534638 11.93973 LN_IJT1 (Jumlah impor jagung Indonesia -0.317484 0.133696 R-squared 0.804818 Prob(F-statistic) Adjusted R-squared 0.735111 Durbin-Watson stat
Sumber: Lampiran 16, Halaman 127
t-Statistic Prob. 0.723540 0.4813 0.476395 0.6411 -5.939444 0.0000 -0.379794 0.7098 -2.374669 0.0324 0.000145 1.537057
Nilai probability untuk Fstatistik yang diperoleh sebesar 0,0001 pada taraf nyata lima persen menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model persamaan jumlah impor jagung Indonesia secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia. Melalui uji-tstatistik variabel yang berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen terhadap impor jagung Indonesia yaitu harga impor jagung Indonesia dan jumlah impor jagung Indonesia tahun sebelumnya. Produk Domestik Bruto Indonesia berpengaruh positif sebesar 0,65 terhadap jumlah impor jagung Indonesia pada taraf nyata lima persen, dapat diartikan bahwa jika Produk Domestik Bruto Indonesia meningkat sebesar satu persen maka jumlah impor jagung Indonesia akan meningkat juga sebesar 0,65 persen, dan sebaliknya jika Produk Domestik Bruto mengalami penurunan sebesar satu persen akan menurunkan jumlah impor jagung Indonesia sebesar 0,65 persen, ceteris paribus. Berdasarkan Angka Ramalan II tahun 2007 Badan Pusat Statistik data produksi jagung Indonesia yang tersedia hanya sebanyak 12,44 juta ton lebih rendah dari jumlah yang ditargetkan yaitu sebesar 13,54 juta ton. Dibandingkan dengan produksi tahun 2003 lalu, produksi jagung Indonesia memang meningkat 1,56 juta ton di tahun 2007, karena adanya peningkatan luas areal panen seluas 73.000 hektar. Permasalahan mendasar yang harus segera diperbaiki berhubungan dengan data produksi jagung Indonesia yang tidak pernah dijelaskan secara rinci apakah produksi tersebut dalam bentuk jagung kering pipilan dengan kadar air 17 persen atau dalam bentuk lain, seperti tanaman jagung sebagai pakan hijauan ternak sapi, jagung sayur, atau tongkol. Sehingga ketersediaan jagung lokal yang
tidak pernah jelas kuantitas dan kontinuitasnya tersebut menyebabkan impor jagung Indonesia selalu meningkat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pakan sebagai pendukung perkembangan industri peternakan dan industri pengolahan berbasis jagung. Semakin meningkatnya impor jagung Indonesia dari tahun ke tahun mengakibatkan tujuan penghematan devisa negara akan sulit tercapai dalam waktu singkat dengan hanya meningkatkan pemanfaatan sumberdaya lokal. Nilai koefisien dugaan variabel harga impor jagung Indonesia sebesar -3,68, artinya setiap kenaikan harga impor jagung Indonesia sebesar satu persen maka akan menurunkan jumlah impor jagung sebesar 3,68 persen, sebaliknya jika harga impor jagung Indonesia turun sebesar satu persen maka jumlah impor jagung Indonesia akan menurun sebesar 3,68 persen, ceteris paribus. Kenaikan harga impor jagung terjadi bukan karena dipengaruhi oleh tingkat tarif impor jagung Indonesia melainkan ditentukan oleh ketersediaan jagung di pasar internasional. Salah satu contohnya ketika terjadi penurunan ekspor dari negaranegara utama penghasil jagung, seperti Amerika Serikat yang dewasa ini membutuhkan lebih banyak jagung sebagai bahan baku pembuatan ethanol sebab pemerintah Amerika Serikat telah memutuskan untuk beralih ke bahan bakar biofuel agar tingkat pencemaran yang berasal dari bahan bakar fosil dapat segera diatasi. Negara-negara maju diduga sebagai penyebab pemanasan globalkarena tingginya tingkat penggunaan bahan bakar fosil dalam aktivitas perindustriannya. Harga riil jagung dunia berpengaruh negatif terhadap jumlah impor jagung Indonesia meskipun tidak secara nyata pada taraf nyata lima persen dengan nilai
koefisien dugaan sebesar 4,53 persen. Harga riil jagung dunia dari waktu ke waktu memiliki kecenderungan menurun dikarenakan bertambahnya negara-negara yang menjadi produsen jagung sehingga ketersediaan jagung di pasar internasional selalu surplus jika dibandingkan kondisi pasar jagung di Indonesia yang belum mampu memenuhi kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan yang selalu meningkat. Oleh karena itu, para pengusaha di dalam industri peternakan selalu berharap tarif impor jagung dapat dihapuskan agar biaya produksi industri peternakan dapat ditekan karena jagung masih menjadi komponen bahan baku utama pakan. Variabel jumlah impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh secara nyata pada taraf nyata lima persen dan dari tanda koefisien dugaannya dapat diartikan jika terjadi peningkatan jumlah impor jagung tahun sebelumnya sebesar satu persen maka jumlah impor jagung akan menurun sebesar 0,32, sebaliknya jika jumlah impor jagung tahun sebelumnya mengalami penurunan sebesar satu persen maka jumlah impor akan menigkat sebesar 0,32 persen, ceteris paribus. Maka dari itu, ketersediaan jagung di dalam negeri baik jumlah, kualitas, harga dan kepastian pasokan perlu terus ditingkatkan. 5.2.5. Harga Impor Jagung Indonesia Nilai koefisien determinasi (R2) dari model harga impor jagung adalah sebesar 0,7272, artinya 72,72 persen keragaman harga impor jagung dapat dijelaskan oleh keragaman variabel-variabel bebas di dalam persamaan yakni variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung Indonesia, harga riil jagung dunia, tarif impor jagung Indonesia dan harga impor
jagung tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 27,28 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Hasil estimasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 20. Tabel 5.5.
Hasil Estimasi Harga Impor Jagung Indonesia
Variable C (Intersep) LN_ERT (Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika) LN_IJT (Jumlah impor jagung Indonesia) LN_PWT (Harga riil jagung dunia) TIT (Tarif impor jagung Indonesia) LN_PMT1 (Harga impor jagung Indonesia tahun sebelumnya R-squared 0.727150 Adjusted R-squared 0.636200
Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. -0.000453 9.135913 -4.96E-05 1.0000 -0.535793 0.252542 -2.121601 0.0509 -0.242829 2.758088 -0.123123 0.351007
0.041327 2.415975 0.028649 0.151977
Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat
-5.875819 1.141605 -4.297615 2.309608
0.0000 0.2715 0.0006 0.0356
0.001241 2.301778
Sumber: Lampiran 20, Halaman 128
Berdasarkan nilai probability untuk Fstatistik sebesar 0,0012 pada taraf nyata lima persen menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga impor jagung Indonesia (Lampiran 20). Hasil uji-tstatistik menunjukkan bahwa variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung Indonesia, tarif impor jagung Indonesia dan harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga impor jagung pada taraf nyata lima persen (Lampiran 20). Variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika berpengaruh negatif dan nyata pada taraf nyata lima persen terhadap harga impor jagung Indonesia. Nilai koefisien dugaan variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika adalah sebesar 0,05 yang berarti ketika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika terapreasi sebesar satu persen maka akan menurunkan harga impor jagung Indonesia sebesar 0,05 persen, begitu juga sebaliknya ketika kondisi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika terdepresiasi maka akan meningkatkan harga
impor jagung Indonesia, ceteris paribus. Jika ketersediaan jagung lokal di pasar dalam negeri belum mampu dipenuhi seluruhnya oleh produksi jagung lokal maka pemerintah harus berperan dalam menjaga kestabilan nilai tukar agar kegiatan produksi industri pakan dapat terlindungi dari fluktuasi nilai tukar yang akan berpengaruh pada biaya produksi. Jumlah impor jagung Indonesia mempunyai nilai koefisien dugaan variabel sebesar -0,24. Berarti jika terjadi peningkatan jumlah impor jagung sebesar satu persen maka akan menurunkan harga impor jagung Indonesia sebesar 0,23 persen, sebaliknya harga impor jagung Indonesia akan meningkat sebesar 0,23 persen jika terjadi penurunan jumlah impor jagung Indonesia sebesar satu persen, ceteris paribus. Nilai koefisien dugaan variabel harga riil jagung dunia sebesar 2,76 yang tidak berpengaruh nyata terhadap harga impor jagung pada taraf nyata lima persen. Seiring dengan perkembangan harga riil jagung di pasar internasional yang memiliki kecenderungan menurun maka harga impor jagung selalu dinilai lebih murah dibanding harga riil jagung lokal. Tanda pada nilai koefisien dugaan variabel harga riil jagung dunia dapat diartikan jika terjadi peningkatan harga riil jagung dunia sebesar satu persen maka harga impor jagung Indonesia akan meningkat sebesar 2,76 persen, sebaliknya jika harga riil jagung dunia mengalami penurunan sebesar satu persen maka harga riil jagung impor akan menurun sebesar 2,76 persen, ceteris paribus. Terbentuknya harga impor jagung ditentukan oleh kekuatan tawar menawar (bargaining position) perusahaan pengimpor dan
pabrik pakan yang mengimpor jagung dengan produsen (petani) jagung negara asal sangat berpengaruh. Tetapi dalam hal ini sulit untuk diproksikan. Tarif impor jagung Indonesia berpengaruh negatif terhadap harga impor jagung Indonesia dengan nilai koefisien dugaan variabel sebesar 0,13 dan berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Penentuan besar tarif impor jagung yang disesuaikan dengan kondisi pertanian jagung di Indonesia bertujuan untuk melindungi petani jagung lokal, tetapi ternyata hingga saat ini belum mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing jagung lokal. Ketika Indonesia berada di musim panen jagung maka tarif impor jagung yang diberlakukan adalah sebesar 10 persen, agar jumlah impor jagung Indonesia dapat berkurang dan produksi jagung lokal dapat terserap oleh industri pakan dan industri pengolahan berbasis jagung. Sedangkan pada kondisi dimana Indonesia tidak mempunyai pasokan jagung lokal yang cukup, tarif impor jagung yang diberlakukan akan diturunkan menjadi lima persen untuk memberikan keringanan kepada pengusaha importir jagung dan pengusaha pakan, sehingga biaya produksi pada industri-industri berbasis jagung dapat ditekan. Harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh positif pada taraf nyata lima persen sebesar 0,35. Artinya jika terjadi peningkatan harga impor jagung tahun sebelumnya sebesar satu persen maka hargaimpor jagung akan meningkat sebesar 0,35 persen, sebaliknya jika harga impor jagung tahun sebelumnya mengalami penurunan sebesar satu persen maka harga impor jagung akan menurun sebesar 0,35 persen, ceteris paribus.
Menurut Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia (2006) dari sejumlah industri yang ada, baik industri pakan, industri snack food serta intregated corn industry, maka kebutuhan jagung untuk industri setiap tahunnya adalah sebagai berikut: 1.
Kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan kurang lebih 6,5 juta ton, dimana empat juta ton digunakan sebagai bahan baku industri pakan ternak, sedangkan sisanya digunakan langsung oleh peternak.
2.
Kebutuhan jagung untuk industri makanan olahan kurang lebih 300 ribu ton yang digunakan sebagai bahan baku makanan olahan atau snack food.
3.
Kebutuhan Jagung untuk integrated corn industry adalah 1000 ton per hari atau kurang lebih 360 ribu ton per tahun.
4.
Total kebutuhan jagung untuk bahan baku industri sebesar kurang lebih 4,66 juta ton per tahun.
5.
Impor jagung untuk memenuhi kebutuhan industri sebesar kurang lebih 1,27 juta ton per tahun selama periode 2000 – 2005.
VI.
6.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kondisi produksi jagung di Indonesia selama periode tahun 1985 – 2005
meningkat secara fluktuatif karena peningkatan luas areal dan produktivitas tanaman jagung. Luas areal pada periode tersebut terkonsentrasi di Pulau Jawa dan mengalami pergeseran penggunaan jenis lahan dari lahan kering ke lahan beririgasi pada musim kemarau. Jenis jagung yang banyak diproduksi oleh petani jagung dalam negeri adalah jagung lokal yang termasuk jenis jagung mutiara (Zea mays indurata). Dari sisi produktivitas, produktivitas jagung Indonesia masih relatif rendah meskipun meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan sistem usaha tani petani jagung di Indonesia belum optimal, seperti terbatasnya penggunaan benih varietas unggul, pemupukan yang belum berimbang lebih dominan menggunakan pupuk urea, dan masih kurangnya penggunaan pestisida untuk pengendalian hama. Di satu sisi, konsumsi jagung juga mengalami peningkatan terutama konsumsi untuk industri. Selama periode tahun 1985 – 2005 tidak terjadi ketimpangan antara jumlah produksi dan konsumsi jagung secara nasional. Industri pakan sebagai pendukung pertumbuhan industri peternakan merupakan konsumen utama jagung di Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan kesadaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Akan tetapi, peningkatan industri pakan belum diimbangi dengan produksi jagung gigi kuda (Zea mays indentata) dalam negeri yang digunakan sebagai bahan baku pakan.
Maka dari itu, meskipun produksi jagung meningkat tetapi impor jagung Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan industri pakan. Jenis jagung yang diimpor adalah jagung gigi kuda (Zea mays indentata) sebagai bahan baku pakan. Negara Cina, Amerika Serikat, Argentina, Thailand, dan India merupakan negara-negara asal impor jagung Indonesia. Perkembangan harga jagung di pasar dunia yang relatif menurun karena selalu terjadi kelebihan penawaran jagung juga menjadi penyebab peningkatan impor jagung Indonesia. Pemerintah menetapkan tarif impor jagung Indonesia bertujuan untuk melindungi petani jagung dalam negeri. Namun demikian, kebijakan tarif impor jagung selama ini lebih berpihak pada industri pakan agar tetap dapat berproduksi pada biaya seminimal mungkin sehingga tidak terjadi kenaikan pada harga produk-produk peternakan. Analisis faktor produksi pada taraf nyata lima persen berdasarkan variabel utama yang mempengaruhi produksi, yaitu luas areal panen dan produktivitas jagung, memberikan informasi bahwa untuk persamaan luas areal panen, variabel yang berpengaruh nyata adalah harga riil jagung di tingkat produsen, harga riil tanaman palawija lain, yaitu harga riil kedelai yang menjadi kompetitor jagung dalam penggunaan lahan, tingkat suku bunga kredit, dan luas areal panen tahun sebelumnya; sedangkan untuk produktivitas jagung hanya variabel produktivitas tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata. Variabel harga riil jagung di tingkat produsen, tingkat inflasi, dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal. Variabel harga riil jagung di
tingkat produsen, tingkat inflasi, dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal. Analisis impor jagung memberikan informasi bahwa variabel harga impor jagung Indonesia dan jumlah impor Indonesia jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia. Meskipun Produk Domestik Bruto tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia tetapi memiliki tanda yang sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis. Variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung, tarif impor jagung, dan harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga impor jagung Indonesia. Terdapat beberapa variabel yang berpengaruh nyata tetapi tidak sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis, yaitu tingkat suku bunga kredit, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan tarif impor jagung.
6.2.
Saran Saran yang dapat direkomendasikan kepada pihak-pihak terkait dalam
upaya mewujudkan peningkatan produksi jagung adalah pengembangan luas areal panen sebaiknya dialihkan ke luar Pulau Jawa dan lahan yang digunakan sebaiknya mempunyai sistem irigasi yang baik sehingga penanaman jagung tidak lagi bersifat musiman. Peningkatan produktivitas tanaman jagung melalui perbaikan sistem usaha tani diwujudkan dengan penyediaan dan penggunaan benih varietas unggul baik hibrida dan komposit, penggunaan pupuk yang berimbang untuk urea, SP-36, KCl. dan ZA, serta penggunaan pestisida untuk pengendalian hama. Peningkatan produktivitas jagung, terutama jagung gigi kuda
(Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan baku industri pakan akan berdampak positif terhadap penurunan impor jagung Indonesia. Dengan demikian, harga jagung di tingkat produsen akan meningkat dan mendorong petani untuk lebih banyak menanam jagung. Pemerintah diharapkan dapat merumuskan kebijakan dalam hal nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan tarif impor jagung Indonesia yang lebih berpihak kepada petani jagung dalam negeri tanpa memberatkan pengusaha di industri pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. dan Yustina Erna Widyastuti. 2004. Meningkatkan Produksi Jagung di Lahan Kering, Sawah, dan Pasang Surut. Penebar Swadaya, Jakarta. Aldillah, Rizma. 2006. Analisis Peramalan Permintaan dan Penawaran Jagung Nasional serta Implikasinya Terhadap Strategi Pengembangan Agribisnis Jagung [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anonim. 10 September 2007. “Hapus Bea Masuk Impor Jagung”. Kompas: 17. Anonim. 2007. “Indonesia Berpotensi Jadi Pemasok Jagung Dunia” [Sinar Harapan Online]. http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2005/0115/ukm2.html [18 Mei 2007]. Anonym. 2007. "Jagung" [Wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung [6 April 2007].
Indonesia].
Anonim. 2007. "Revitalisasi Pertanian". http://agribisnis.deptan.go.id/Pustaka/revitalisasi%20pertanian%202005.p df [27 Mei 2007]. Anonim. 2007. "Statistik Usaha Tani". http://www.deptan.go.id/editama/statistik/pengolahan_analisis_data/statisti k%20usahatani.doc [1 Juni 2007]. Anonim. 2007. "Pangan dan Teknologi Produktivitas Menuju Kemandirian Pertanian Indonesia". http://www.nakertrans.go.id/hasil_penelitiantrans/ketahanan_pangan.phpK ETAHANAN [1 Juni 2007]. Anonim. 2007. ”Produksi Jagung”. http://www.bi.go.id/sipuk/id/lm/jagung/pendahuluan.asp [18 Mei 2007]. Debertin, David L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Company, New York. Departeman Perindustrian. 2007. Kebijakan Nasional Program Pengembangan Industri Pengolahan Berbasis Jagung. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Jakarta.
Departemen Perdagangan. 2006. Statistik Perdagangan. Pusat Data Perdagangan, Jakarta. Departemen Pertanian. 2003. Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan, Jakarta. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. 2006. Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. Pusat Data dan Informasi Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. 2006. Peternakan, Jakarta.
Statistik
Peternakan.
Direktorat
Jenderal
Doll, John P. dan Frank Orazem. 1984. Production Economics: Theory with Application Second Edition. John Wiley & Sons, New York. Erwidodo, Hermanto dan Herena Pudjihastuti. 2003. Impor Jagung: Perlukah Tarif Impor Diberlakukan? Jawaban Analisis Simulasi. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 21 No. 2: 175-195. Erwidodo. 2006. Kebijakan Perdagangan Unggas dan Jagung. Departemen Perdagangan, Jakarta. Lipsey, Richard G., Paul N. Courant, Douglas D. Purvis, Peter O. Steiner. 1995. Economics 10th ed. A. Jaka Wasana dan Kirbrandoko [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Mutiaratri, Dyah Ayu. 2005. Analisis Peramalan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Gandum di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Ign Bayu Mahendra [penerjemah]. PT Penerbit Erlangga, Jakarta. Pasaribu, Syamsul Hidayat dan Samsubar Saleh. 2001. Pendekatan Koreksi Kesalahan dalam Persamaan Simultan Studi Kasus: Pendapatan dan Penawaran uang di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Volume 16 No. 1: 18-29. Prabowo, Hermas P. 8 November 2007. ”Jagung, Sebuah Contoh Keruwetan”. Kompas: 34.
Purnamasari, Rika. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Purwono dan Rudi Hartono. 2006. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta. Rahim, Abd. Dan Diah Retno Dwi Hastuti. 2007. Ekonomika Pertanian (Pengantar, Teori, dan Kasus). Penebar Swadaya, Jakarta. Rosmawati, Arvita. 2007. 2007 Swasembada Jagung. Jakarta. Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Internasional.
Haris
Munandar
Salvatore, Dominick. 2001. Managerial Economics dalam Perekonomian Global. Erlangga, Jakarta. Sarasutha, IG. P. 2002. Kinerja Usaha Tani dan Pemasaran Jagung di Sentra Produksi. Jurnal Litbang Pertanian, Volume 21 No. 2: 39-47. Situmorang, Manris Tua. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Beras Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Smith, Michael B. dan Merritt R. Blakeslee. 1995. Bahasa Perdagangan. Kusnedi [penerjemah]. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Sunaryo, T. 2001. Ekonomi Manajerial: Aplikasi Teori Ekonomi Mikro. Erlangga, Jakarta. United States Department of Agriculture. 2007. World Agricultural Supply and Demand Estimates. World Agricultural Outlook Board, United States. Warisno. 1998. Budidaya Jagung Hibrida. Kanisius, Yogyakarta. Yusdja, Yusmichad dan Adang Agustian. 2003. Analisis Kebijakan Tarif Jagung Antara Petani Jagung dan Peternak. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume I No. 1: 36-54.