ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT INTEGRASI VERTIKAL INDUSTRI MOBIL DI INDONESIA
OLEH FITRI ATIKAH H14104051
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
FITRI ATIKAH. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Integrasi Vertikal Industri Mobil di Indonesia (dibimbing oleh WIDYASTUTIK).
Industri mobil merupakan salah satu industri yang berkembang pesat di Indonesia. Saat ini jumlah produksi mobil di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di Asia Tenggara setelah Thailand dan Malaysia. Namun, perkembangan industri mobil tersebut masih dibayang-bayangi oleh permasalahan antara lain lemahnya keterkaitan industri perakit dengan industri komponen dan pendukung sebagai pemasok bahan baku utama mobil. Rata-rata penggunaan komponen lokal pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2005 mencapai angka 49,83 persen. Angka tersebut masih dibawah standar komposisi penggunaan komponen mobil dalam negeri yang ditetapkan pemerintah sebesar minimal 70 persen. Keadaan ini akan mengakibatkan rendahnya produktivitas dan daya saing industri mobil dalam negeri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Struktur industri yang terintegrasi secara vertikal baik ke hulu maupun ke hilir yang kuat akan mempermudah industri meningkatkan produktivitas dan daya saingnya. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder time series selama tahun 1975-2005 yang meliputi data : jumlah output, nilai input, biaya bahan baku utama, nilai tambah, jumlah perusahaan, rasio konsentrasi empat perusahaan mobil terbesar di Indonesia. Data tersebut diperoleh dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, Departemen Perindustrian, Center of Statistic International Studies (CSIS), Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), penelitian terdahulu, buku dan literatur lain yang terkait dengan integrasi vertikal dan industri mobil. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan Error Correction Model (ECM) sedangkan pengolahan data menggunakan software e-views 4.1. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, hanya variabel rasio konsentrasi empat perusahaan mobil terbesar dan efisiensi internal yang berpengaruh nyata terhadap integrasi vertikal. Sedangkan ukuran rata-rata perusahaan, pertumbuhan permintaan dan biaya bahan baku utama tidak mempengaruhi integrasi vertikal secara signifikan. Ukuran rata-rata perusahaan tidak mempengaruhi tingkat integrasi vertikal secara signifikan dikarenakan industri mobil di Indonesia terdiri dari perusahaanperusahaan besar yang memiliki aktivitas-aktivitas produksi yang semakin terspesialisasi. Ketika terjadi peningkatan skala produksi, perusahaan tidak akan dihadapkan pada tingginya biaya koordinasi. Hal inilah yang menyebabkan motivasi perusahaan melakukan integrasi vertikal berkurang dalam jangka panjang. Variabel pertumbuhan permintaan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal dalam jangka panjang dikarenakan perusahaan mobil
merupakan perusahaan yang sudah berada pada tahap mapan sehingga tidak mengalami kesulitan dalam transfer informasi mengenai jumlah permintaan dan keberadaan industri pemasok bahan baku yang lebih efisien. Biaya bahan baku utama berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia karena perusahaan mobil sudah berada pada tahap mapan sehingga tingginya biaya bahan baku utama dalam jangka panjang tidak mempengaruhi perusahaan melakukan integrasi vertikal. Sedangkan variabel efisiensi internal dan rasio konsentrasi empat perusahaan mobil terbesar berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal. Ukuran rata-rata perusahaan merupakan satu-satunya variabel yang tidak mempengaruhi tingkat integrasi vertikal pada industri mobil secara nyata dalam jangka pendek sehingga variabel tersebut harus dihapuskan dalam model ketika dilakukan seleksi variabel. Biaya bahan baku utama, efisiensi internal dan rasio konsentrasi empat perusahaan mobil terbesar berpengaruh signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal secara positif. Ketika terjadi peningkatan biaya bahan baku utama, perusahaan akan berusaha mengamankan pasokan bahan baku utamanya yang lebih efisien dalam jangka pendek dengan melakukan integrasi vertikal. Hasil estimasi untuk variabel pertumbuhan permintaan berbeda dengan teori sebelumnya. Pengaruh negatif yang signifikan pada variabel pertumbuhan permintaan disebabkan dalam jangka pendek rata-rata pertumbuhan permintaan mobil di Indonesia selama tahun 1975-2005 hanya sebesar 3,10 persen sehingga perusahaan mampu memasok bahan bakunya sendiri tanpa melakukan integrasi vertikal dengan industri pemasok. Kesimpulan dari penelitian ini adalah industri mobil yang termasuk dalam struktur pasar oligopoli ketat memiliki keterkaitan proses produksi yang sangat kuat dengan industri komponen berdasarkan rasio integrasi vertikal sebesar 0,74. Pemerintah melalui Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) harus melakukan pengawasan terhadap batas maksimal rasio konsentrasi dan kapasitas produksi perusahaan mobil agar integrasi vertikal yang dilakukan tidak mengarahkan struktur pasar menjadi monopoli atau pasar persaingan tidak sehat. Selain itu, pemerintah dan pelaku industri mobil harus meningkatkan penggunaan input secara terpadu agar Indonesia mampu menciptakan mobil nasional dengan kandungan komponen lokal yang sangat tinggi di masa yang akan datang.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT INTEGRASI VERTIKAL INDUSTRI MOBIL DI INDONESIA
Oleh FITRI ATIKAH H14104051
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Fitri Atikah
Nomor Registrasi Pokok
: H14104051
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Integrasi Vertikal Industri Mobil di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Widyastutik, M.Si NIP. 132 311 725
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872
Tanggal kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2008
Fitri Atikah H14104051
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Fitri Atikah lahir pada tanggal 11 Juni 1987 di Jakarta. Penulis merupakan anak sulung dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak H. Abdul Madjid dan Ibu Hj. Tarwiyah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Manaratul Islam, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 12 Jakarta. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 46 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai pengurus organisasi kemahasiswaan seperti Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan selama dua tahun kepengurusan berturut-turut yaitu tahun 2005-2006 dan pada tahun 2007. Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alikum Wr. Wb. Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang selalu memberi rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis diberi kemudahan dan kekuatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Kedua orang tua penulis, Bapak H. Abdul Madjid dan Ibu Hj. Tarwiyah atas doa, dukungan, perhatian dan pengertiannya kepada penulis. Adib, Nadia dan Hagi atas keceriaannya selama ini. 2. Widyastutik, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar dan penuh perhatian membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 3. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr, selaku dosen penguji utama dan Henny Reinhardt, SP. M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat bagi penulis. 4. Teman-teman penulis, Dhawie, Mamieh, Rista dan Alin atas semangat dan kebersamaannya selama ini. Rolas, Tia, Arum, Heni, Hana, Septi, Rani, Dita, Niken, Mair, Baba, Tata, Popy, Dela, Islam, Dodol, Dado, Irwan dan temanteman Ilmu Ekonomi angkatan 41, angkatan 42 dan angkatan 40, kak Lea, dan kak Dian Abang. Terima kasih atas masukan dan dukungannya.
5. Gerry Danistyo atas doa, dukungan, keceriaan dan kebersamaannya dengan penulis selama ini. 6. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini dan tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga hasil dari skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bogor, Juli 2008
Fitri Atikah H14104051
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................iv DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................vi I. PENDAHULUAN............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 9 1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 9 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................ 9 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 11 2.1 Integrasi Vertikal........................................................................................ 11 2.1.1 Konsep Dasar Integrasi Vertikal ....................................................... 11 2.1.2 Jenis-Jenis Integrasi Vertikal ........................................................... 13 2.1.3 Motivasi Integrasi Vertikal .............................................................. 16 2.1.4 Manfaat Integrasi Vertikal ............................................................... 19 2.2 Metode Pengukuran Integrasi Vertikal ..................................................... 23 2.2.1 Rasio Nilai Tambah Terhadap Penjualan ......................................... 23 2.2.2 Rasio Inventory Terhadap Penjualan ............................................... 25 2.2.3 Pengukuran Backward Integration .................................................. 26 2.2.4 Pengukuran Forward Integration .................................................... 26 2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Integrasi Vertikal ............................. 26 2.3.1 Struktur Pasar ................................................................................... 27 2.3.2 Biaya Input Utama ........................................................................... 28 2.3.3 Pertumbuhan Permintaan ................................................................. 29 2.3.4 Ukuran Rata-Rata Perusahaan ......................................................... 30
ii
2.3.5 Tingkat Efisiensi Internal ................................................................. 30 2.4 Definisi Kendaraan Bermotor Roda Empat .............................................. 31 2.5 Kebijakan Pemerintah Mengenai Industri Mobil ...................................... 32 2.6 Model Koreksi Kesalahan (ECM).............................................................. 33 2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu .................................................................. 35 2.7.1 Penelitian Terdahulu Mengenai Integrasi Vertikal .......................... 35 2.7.2 Penelitian Terdahulu Mengenai Industri Mobil ............................... 38 2.7.3 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu .......................................... 39 2.8 Kerangka Pemikiran Konseptual .............................................................. 39 2.9 Hipotesis Penelitian ................................................................................... 42 III. METODE PENELITIAN .............................................................................. 43 3.1 Jenis dan Sumber Data .............................................................................. 43 3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... 43 3.3 Analisis Runtun Waktu (Time Series) ........................................................ 44 3.3.1 Uji Stasioneritas (Unit Root Test) ..................................................... 45 3.3.2 Uji Derajat Integrasi ......................................................................... 46 3.3.3 Uji Kointegrasi ................................................................................. 46 3.4 Model Koreksi Kesalahan (ECM) ............................................................. 48 3.5 Uji Pelanggaran Asumsi Klasik (Diagnostic Test) .................................... 50 3.5.1 Uji Autokorelasi ............................................................................... 50 3.5.2 Uji Heteroskedastisitas ..................................................................... 51 3.5.3 Uji Normalitas .................................................................................. 51 3.5.4 Uji Multikolinearitas ........................................................................ 52 3.6 Uji Statistik ............................................................................................... 52 3.6.1 Uji Determinasi (R2) ......................................................................... 52 3.6.2 Uji F-Statistik ................................................................................... 53 3.6.3 Uji t-Statistik .................................................................................... 53 3.7 Definisi Operasional Variabel ................................................................... 53 IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MOBIL ................................................ 55 4.1 Sejarah Industri Mobil di Indonesia .......................................................... 55
iii
4.2 Kebijakan Seputar Industri Mobil di Indonesia ........................................ 56 4.3 Profil Beberapa Perusahaan Otomotif di Indonesia .................................. 59 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 66 5.1 Pengujian Model Integrasi Vertikal .......................................................... 66 5.2 Uji Kestasioneran Data ............................................................................. 67 5.3 Uji Kointegrasi dan Hasil Estimasi ECM .................................................. 68 5.4 Hasil Uji Pelanggaran Asumsi Klasik ....................................................... 75 5.4.1 Hasil Uji Autokorelasi ...................................................................... 76 5.4.2 Hasil Uji Heteroskedastisitas ........................................................... 76 5.4.3 Hasil Uji Normalitas ........................................................................ 77 5.4.4 Hasil Uji Multikolinearitas ............................................................... 77 5.5 Implikasi Kebijakan .................................................................................. 78 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 81 6.1 Kesimpulan ............................................................................................... 81 6.2 Saran .......................................................................................................... 82 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 83 LAMPIRAN ......................................................................................................... 86
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1
Produksi Mobil Terbesar Berdasarkan Negara di Asia Tenggara ................ 2
1.2
Perkembangan Industri Mobil Periode Januari-Juli 2007 ............................ 3
1.3
Sepuluh Besar Penjualan Mobil di Indonesia Berdasarkan Model, Tahun 2006 .............................................................................................................. 5
1.4
Produksi dan Penjualan Mobil Domestik di Indonesia, Periode 2006 ......... 6
4.1
Produksi Mobil Berdasarkan Perusahaan Tahun 2000-2005 ..................... 59
5.1
Perkembangan Tingkat Integrasi Vertikal Industri Mobil ......................... 67
5.2
Hasil Uji Unit Root pada Level .................................................................. 68
5.3
Hasil Uji Unit Root pada First Difference ................................................ 68
5.4
Hasil Estimasi Persamaan Jangka Panjang dan Jangka Pendek................ 70
5.5
Hasil Uji Unit Root Terhadap Residual Persamaan Regresi ..................... 75
5.6
Hasil Uji Autokorelasi .............................................................................. 76
5.7
Hasil Uji Heteroskedastisitas ..................................................................... 76
5.8
Hasil Uji Multikolinearitas ........................................................................ 78
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1
Ilustrasi dari Sebuah Integrasi Vertikal ...................................................... 15
2.2
Kerangka Pemikiran Konseptual................................................................ 41
5.1
Hasil UJi Normalitas .................................................................................. 77
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Data Variabel Penelitian ............................................................................ 87
2
Hasil Uji Unit Root pada Level ................................................................. 88
3
Hasil Uji Unit Root pada First Difference ................................................ 89
4
Hasil Estimasi Persaman Jangka Panjang .................................................. 91
5
Hasil Uji Error Correction Model (ECM) dengan Seleksi Variabel ......... 91
6
Hasil Uji Error Correction Model (ECM) Tanpa Seleksi Variabel........... 92
7
Hasil Uji Kointegrasi ................................................................................. 93
8
Hasil Uji Autokorelasi ............................................................................... 93
9
Hasil Uji Heteroskedastisitas ..................................................................... 93
10
Hasil Uji Normalitas .................................................................................. 93
11
Hasil Uji Multikolinearitas......................................................................... 94
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Industrialisasi merupakan salah satu kunci dalam perubahan struktur perekonomian yang ditandai dengan terjadinya keseimbangan proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi produksi dan perdagangan antar negara dengan pendapatan masyarakat. Industrialisasi bukan tujuan akhir dari pembangunan melainkan strategi yang mendukung proses pembangunan. Era globalisasi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi akan berdampak pada sangat ketatnya persaingan dan cepatnya perubahan lingkungan. Produk-produk hasil industri dalam negeri begitu keluar dari pabrik akan langsung berkompetisi dengan produk luar negeri. Persaingan internasional menjadi suatu perspektif baru bagi semua negara, sehingga fokus strategi pembangunan industri di masa depan adalah meningkatkan produktivitas sektor industri yang berkelanjutan di pasar domestik dan internasional. Untuk meningkatkan produktivitas industri yang berkelanjutan diperlukan suatu upaya pemanfaatan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki bangsa dan kemampuan untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada secara optimal. Strategi yang berorientasi pada pengembangan industri dan peningkatan produktivitas memunculkan perusahaan-perusahaan besar baik domestik maupun asing yang memiliki kekuatan modal untuk bersaing di dalam negeri. Salah satu sektor industri yang berkembang pesat di Indonesia adalah industri otomotif. Industri otomotif secara garis besar terbagi ke dalam tiga golongan, yakni industri
2
kendaraan bermotor roda empat (mobil), industri kendaraan bermotor roda dua (motor) dan industri komponen. Indonesia merupakan salah satu produsen otomotif yang sangat potensial di kawasan Asia Tenggara. Tabel 1.1 menjelaskan bahwa jumlah produksi mobil di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 446.975 unit atau menduduki peringkat ketiga terbesar di Asia Tenggara setelah Thailand dan Malaysia. Namun, pada tahun terakhir yakni tahun 2006 jumlah produksi mobil di Indonesia mengalami penurunan sebesar 48,55 persen dibanding tahun sebelumnya. Akan tetapi, penurunan tersebut tidak menggeser kedudukan Indonesia sebagai produsen mobil ketiga terbesar di kawasan Asia Tenggara. Tabel 1.1 Produksi Mobil Terbesar Berdasarkan Negara di Asia Tenggara Negara
Jumlah Produksi (unit)
2005 2006 Thailand 915.717 1.001.035 Malaysia 466.097 428.860 Indonesia 446.975 229.949 Sumber : Asian Automotive Business Review, 2006
Perubahan (persen) 9,32 -7,99 -48,55
Negara-negara yang merupakan anggota ASEAN (Association South East Asia Nation) berencana membentuk suatu komunitas ekonomi ASEAN pada tahun 2020 yang bertujuan untuk menciptakan wilayah ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing ekonomi yang sangat tinggi dengan cara membebaskan arus barang, jasa dan modal. Pembentukkan komunitas ekonomi negara-negara ASEAN tersebut dimaksudkan untuk menciptakan ASEAN sebagai single market dan single production base berdasarkan keragaman karakteristik yang dimiliki tiap negara ASEAN sehingga menjadikan ASEAN lebih dinamis. Terdapat 11 sektor yang menjadi prioritas negara-negara ASEAN. Kesebelas sektor tersebut
3
antara lain kayu, otomotif, karet, tekstil dan produk tekstil, agro, perikanan, elektronik, e-commerce, penerbangan, produk kesehatan dan turisme. Indonesia didaulat untuk menjadi koordinator industri kayu dan otomotif. Sebagai koordinator industri otomotif dan salah satu negara penghasil mobil terbesar ketiga di Asia Tenggara, Indonesia dituntut untuk selalu meningkatkan kinerja industri mobilnya sehingga produk mobil yang dihasilkan berdaya saing tinggi di antara produk-produk serupa dari luar negeri. Tabel 1.2 menjelaskan realisasi produksi mobil di Indonesia pada periode Januari-Juni 2007 menunjukkan tren yang meningkat. Penurunan hanya terjadi pada bulan Februari sebesar 17,23 persen dan pada bulan Mei sebesar 2,48 persen. Tabel 1.2 Perkembangan Industri Mobil Periode Januari-Juni 2007 Indikator Januari Februari Maret April Mei Juni Pertumbuhan Produksi (unit) 24.867 20.580 34.357 35.585 34.702 35.418 Konsumsi DN (unit) 26.827 23.646 33.863 35.208 38.311 39.395 Ekspor CBU (unit) 2.950 3.686 3.870 Tidak tersedia Ekspor CKD (unit) 5.194 6.558 6.885 Tidak tersedia Impor CBU (unit) 1.760 1.848 1.941 Tidak tersedia Impor CKD (unit) 1.001 1.051 1.104 Tidak tersedia Pertumb PDB 1,97 2,41 (persen) Sumber : Direktorat Industri Alat Transportasi, 2007 Selain itu, konsumsi mobil di dalam negeri periode Januari-Juni 2007 secara keseluruhan meningkat. Penurunan konsumsi hanya terjadi pada bulan Februari sebesar 11,86 persen. Sedangkan untuk data ekspor dan impor kendaraan jadi atau Completely Built Up (CBU) dan kendaraan rakitan atau Completely Knock Down (CKD) pada bulan April-Juni 2007 tidak tersedia. Selain itu, kontribusi industri mobil terhadap pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal
4
kedua tahun 2007 meningkat sebesar 2,41 persen dibandingkan dengan kuartal pertama. Secara sederhana, industri mobil pada tahun 2007 menunjukkan peningkatan produktivitas walaupun industri mobil masih dibayang-bayangi oleh permasalahan antara lain lemahnya keterkaitan industri perakit dengan industri komponen dan pendukung sebagai pemasok bahan baku utama mobil, belum optimalnya peran lembaga-lembaga pendukung industri mobil, seperti pusat diklat, lembaga sertifikasi, pusat engineering dan perguruan tinggi, serta masih adanya ketergantungan industri terhadap bahan baku impor (Departemen Perindustrian, 2007). Permasalahan mengenai lemahnya keterkaitan antara industri pemasok bahan baku mobil dengan industri komponennya menjadi salah satu penyebab utama. Suatu perusahaan yang memproduksi mobil sangat memerlukan keberadaan industri pemasok komponen dalam negeri. Ketika hubungan antara industri mobil dengan industri komponen lokal melemah maka industri mobil akan memiliki kandungan komponen lokal yang sangat rendah. Hal ini menyebabkan rendahnya produktivitas industri mobil dalam negeri sehingga dalam jangka panjang akan menurunkan daya saing industri mobil tersebut. Dengan dikeluarkannya liberalisasi kebijakan otomotif tahun 1999 menjadikan pasar otomotif dalam negeri menjadi lebih kompetitif. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah membebaskan impor mobil utuh sehingga menjadikan komposisi pasar berubah. Kompetisi industri mobil dalam negeri terjadi secara terbuka dengan masuknya merek-merek asing ke Indonesia. Hal tersebut akan berdampak baik dan buruk bagi perkembangan industri mobil dalam negeri. Ketika industri mobil dalam negeri tidak mampu meningkatkan
5
produktivitasnya, industri mobil tersebut akan dikuasai pemain-pemain asing. Menurut data Departemen Perindustrian (2007), sampai saat ini terdapat lebih dari 10 perusahaan mobil yang berproduksi di Indonesia. Seluruh perusahaan mobil tersebut merupakan perusahaan asing yang melakukan joint venture dengan agen tunggal di Indonesia sehingga seluruh aktivitas produksi dan pemasaran mobil di Indonesia dikendalikan oleh agen tunggal pemegang merek tersebut. Tabel 1.3 Sepuluh Besar Penjualan Mobil di Indonesia Berdasarkan Model, Tahun 2006 Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Model
Toyota Avanza Toyota Kijang Daihatsu Xenia Suzuki Carry/Futura Mitsubishi Colt Diesel FE Honda Jazz Toyota Dyna Suzuki APV Isuzu Panther Mitsubishi L-300 Lainnya Jumlah Sumber : Gaikindo, Januari-Desember, 2006
Total (unit) 52.260 46.565 23.555 23.301 21.740 18.581 13.479 12.283 11.615 10.722 83.803 318.904
Market Share (persen) 16,4 14,6 7,4 7,3 6,8 5,8 4,2 3,9 3,6 3,4 26,6 100,0
Tabel 1.3 menyajikan 10 penjualan terbaik tipe mobil yang dikeluarkan oleh enam perusahaan mobil terbesar di Indonesia selama tahun 2006. Terdapat enam perusahaan yang menguasai penjualan mobil di Indonesia. Untuk menghindari dominannya penguasaan perusahaan mobil asing dalam industri mobil domestik dibutuhkan dukungan dari berbagai sektor, diantaranya sektor industri komponen sebagai salah satu industri pemasok bahan baku utama bagi industri mobil. Saat ini pemerintah memfokuskan pertumbuhan industri mobil
6
dengan cara menguatkan industri komponen nasional dikarenakan antara industri mobil dengan industri komponen terdapat suatu mata rantai produksi yang tidak dapat dipisahkan. Tabel 1.4 Produksi dan Penjualan Mobil Domestik di Indonesia Periode 2006 No
Kategori
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei 1. Penjualan (unit) 26.873 25.960 26.837 22.577 23.078 2. Produksi (unit) 25.286 21.831 19.078 17.754 19.794 3. Ekspor komponen 17.611 21.182 35.556 21.396 24.274 (unit) 4. Impor komponen 3.000 1.620 1.380 1.320 1.380 (unit) Sumber : Direktorat Industri Alat Transportasi, 2006
Total 125.325 103.743 120.019 8.700
Tabel 1.4 menunjukkan bahwa selama tahun 2006 nilai ekspor komponen jauh lebih tinggi dari nilai impor komponen. Hal ini mengindikasikan produktivitas industri mobil di Indonesia akan meningkat seiring dengan semakin mandirinya industri mobil terhadap komponen impor. Industri mobil merupakan sektor industri yang memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan Bisnis Indonesia (2007), tercatat bahwa total dana investasi industri mobil di Indonesia pada tahun 2007 sebesar Rp. 4,154 trilyun dan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 245.385 orang. Pertumbuhan industri mobil sangat tergantung pada pertumbuhan industri komponen lokal. Terdapat suatu bentuk pengintegrasian di antara perusahaan industri mobil yang mempunyai kelanjutan proses produksi dengan perusahaan komponen nasional. Keterkaitan antara industri mobil dengan industri komponen membentuk suatu pola pengintegrasian secara vertikal. Secara teori, integrasi vertikal mampu
7
menciptakan efisiensi dan penghematan sehingga industri mobil dalam negeri yang terintegrasi dengan industri pemasok komponen mampu meningkatkan produktivitasnya. Selain itu, strategi integrasi vertikal menciptakan keunggulan kompetitif sehingga industri yang terintegrasi akan mampu menghasilkan komoditi yang memiliki daya saing yang tinggi di pasar internasional. Oleh karena itu, penelitian mendalam mengenai pola integrasi vertikal pada industri mobil menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Dengan melakukan integrasi vertikal, masalah ketidakpastian pasokan bahan baku utama dapat diatasi. 1.2 Perumusan Masalah Secara umum, Indonesia merupakan salah satu pasar otomotif paling potensial di Asia. Permintaan mobil dari tahun ke tahun relatif meningkat walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 1998 sebagai puncak krisis ekonomi. Krisis ekonomi tahun 1998 memberikan tekanan yang sangat berat pada produksi mobil dalam negeri. Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (2005), total penjualan mobil pada tahun 1997 yang mencapai 386.691 unit mengalami penurunan yang sangat drastis pada tahun 1998 hingga mencapai 85 persen. Namun hingga tahun 2004, industri mobil dalam negeri mulai menunjukkan pertumbuhan yang terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 12 persen sejak tahun 2000. Pertumbuhan produksi industri mobil harus diimbangi dengan pertumbuhan industri komponen dalam negeri sebagai industri pemasok bahan baku utama bagi industri mobil. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (1998-2005), rata-rata penggunaan komponen dalam negeri pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2005 mencapai
8
angka 49,83 persen. Angka tersebut masih dibawah standar komposisi penggunaan komponen mobil dalam negeri yang ditetapkan pemerintah sebesar minimal 70 persen. Mengingat antara industri mobil dengan industri komponen terdapat suatu bentuk pengintegrasian secara vertikal, maka masih rendahnya angka penggunaan komponen lokal akan mengakibatkan rendahnya produktivitas industri mobil dalam negeri. Keadaan ini menyebabkan industri mobil di Indonesia meningkat tetapi tidak menghasilkan pertumbuhan produktivitas. Dengan kata lain pertumbuhan industri mobil tidak menghasikan perkembangan dalam segi produktivitasnya. Sumber utama peningkatan daya saing adalah peningkatan produktivitas di sektor industri. Daya saing yang buruk menyebabkan perekonomian sangat rentan terhadap guncangan ekonomi eksternal sehingga mudah didera krisis yang berkepanjangan. Terdapat suatu bentuk pengintegrasian antara industri mobil dengan industri komponen. Hampir seluruh perusahaan yang memproduksi mobil melakukan strategi integrasi vertikal dengan industri komponen dalam negeri untuk mengamankan pasokan bahan baku yang dibutuhkannya. Struktur industri terintegrasi baik kehulu maupun kehilir yang kuat akan memberikan kemudahan bagi upaya pencapaian peningkatan daya saing. Berdasarkan uraian diatas, maka beberapa perumusan masalah yang akan diteliti antara lain : a.
Bagaimana tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia ?
9
b.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia dalam jangka panjang ?
c.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia dalam jangka pendek ?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian perumusan masalah diatas, maka terdapat tujuan dari penelitian ini antara lain : a.
Menganalisis tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia
b.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia dalam jangka panjang ?
c.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia dalam jangka pendek ?
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat sebagai : a.
Bahan pembelajaran bagi penulis dalam menerapkan ilmu yang didapat.
b.
Sumber informasi mengenai industri mobil dan komponen di Indonesia.
c.
Bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah : a.
Istilah otomotif yang dimaksud dalam penelitian ini berupa kendaraan roda empat (mobil) yang merupakan salah satu komoditi dari industri besar dan
10
sedang dengan ISIC 38431 dan 34100. Komoditi mobil meliputi antara lain jenis mobil niaga berupa bus dan truk, jenis mobil penumpang seperti mobil serbaguna atau Multi Purpose Vechile (MPV) dan mobil serbaguna khusus atau Sport Utility Vechile (SUV) serta jenis kendaraan sedan. b.
Integrasi vertikal yang menjadi pokok bahasan utama dalam penelitian ini terjadi antara industri mobil dengan industri komponen sebagai pemasok bahan baku utama di Indonesia.
c.
Tingkat integrasi vertikal dalam penelitian ini diestimasi dengan menggunakan
variabel
ukuran
rata-rata
perusahaan,
pertumbuhan
permintaan, rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar, nilai bahan baku utama dan nilai efisiensi internal.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Integrasi Vertikal Menurut Hasibuan (1993), perilaku integrasi dapat dibagi menjadi dua yakni integrasi horizontal dan integrasi vertikal. Integrasi horizontal adalah penggabungan dari beberapa perusahaan yang memiliki proses produksi yang sama dan produk yang dihasilkan juga serupa. Sedangkan integrasi vertikal adalah penggabungan beberapa perusahaan yang memiliki kelanjutan proses produksi. Berbeda dengan integrasi horizontal, perusahaan-perusahaan yang melakukan integrasi vertikal tidak akan menghasilkan produk yang serupa. Dalam konsep integrasi vertikal, terdapat perusahaan yang proses produksinya lebih awal (bagian hulu) dan ada perusahaan yang memiliki tahapan produksi sampai dengan barangbarang jadi (bagian hilir). Dengan demikian integrasi vertikal terjadi antara perusahaan-perusahaan yang memiliki kelanjutan proses produksi baik yang di hulu maupun yang di hilir. Beberapa perusahaan yang memiliki keterkaitan proses produksi melakukan suatu bentuk pengintegrasian secara vertikal sebagai strategi untuk meningkatkan efisiensi sehingga produk yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif. Strategi integrasi vertikal banyak dilakukan oleh perusahaan untuk memenangkan persaingan. Di sisi lain integrasi vertikal juga dapat menghilangkan persaingan. 2.1.1 Konsep Dasar Integrasi Vertikal Pada dasarnya integrasi vertikal merupakan bagian dari merjer yang terjadi karena adanya keterkaitan proses produksi. Secara sederhana, integrasi vertikal
12
adalah suatu bentuk penyatuan beberapa tahapan produksi di dalam satu organisasi yang pada dasarnya masing-masing tahapan produksi tersebut dapat dilaksanakan oleh beberapa organisasi yang terpisah. Integrasi vertikal dapat menimbulkan
ekonomisasi
dan
berdampak
antipersaingan.
Perusahaan-
perusahaan besar yang melakukan integrasi vertikal akan semakin memperbesar pangsa pasarnya sehingga efisiensi atau penghematan akan mudah diperoleh. Keadaan inilah yang membuat perusahaan-perusahaan besar semakin menguasai pasar dengan melakukan integrasi vertikal. Terciptanya suatu hambatan masuk bagi perusahaan-perusahaan baru menyebabkan kondisi pasar semakin mendekati monopoli. Dalam sistem pasar, integrasi vertikal akan berlangsung dengan baik apabila dapat menyebabkan penghematan teknis (Jaya, 2004). Strategi integrasi vertikal menghendaki perusahaan melakukan penguasaan yang lebih atas distributor, pemasok dan atau pesaing baik melalui merger, akuisisi atau perusahaan sendiri. Industri mobil yang sangat tergantung pada industri komponen hendak menguasai pemasok bahan baku utama mobil dengan melakukan integrasi vertikal. Industri mobil memiliki tahapan-tahapan produksi yang jelas antara industri di hulu dengan industri di hilir. Keadaan inilah yang memperjelas terjadinya pola integrasi vertikal antara industri mobil dengan industri komponen. Perusahaan tertarik melakukan integrasi vertikal didasarkan atas alasan untuk menciptakan barrier to entry bagi pendatang baru, memberikan fasilitas investasi, menjaga kualitas produk dan memperbaki penjadwalan. Menurut Rumelt (1986), tingkat integrasi vertikal dianggap sebagai proporsi pendapatan perusahaan yang berasal dari produk sampingan, produk
13
antara dan produk akhir dari urutan proses produksi yang terintegrasi vertikal. Batasan rasio integrasi vertikal adalah sebagai berikut : •
Rasio integrasi vertikal = 0; maka suatu industri tidak terintegrasi vertikal dengan industri pemasoknya.
•
Rasio integrasi vertikal < 0,70; maka suatu industri termasuk dalam unrelated business sehingga keterkaitan vertikal antara industri hulu dengan industri hilir sangat lemah.
•
Rasio integrasi vertikal ≥ 0,70; maka suatu industri termasuk dalam dominantvertical sehingga keterkaitan vertikal antara industri hulu dengan industri hilir sangat kuat.
•
Rasio integrasi vertikal = 1; maka suatu industri termasuk dalam full integration sehingga seluruh bahan baku yang dibutuhkan perusahaan disediakan oleh perusahaan pemasok terkaitnya.
2.1.2 Jenis-Jenis Integrasi Vertikal Integrasi vertikal dibagi menjadi dua jenis, yaitu integrasi ke hulu (up stream) dan integrasi ke hilir (down stream). Integrasi ke hulu adalah jenis integrasi vertikal dimana perusahaan yang terintegrasi memproduksi sendiri input yang dibutuhkannya. Sedangkan integrasi ke hilir adalah perusahaan yang memutuskan untuk menyalurkan output yang dihasilkan kepada konsumen melalui perusahaan yang terintegrasi dengannya (Hasibuan, 1993). Menurut Mulyaningsih dan Karseno (2002), integrasi vertikal memiliki tiga pola yaitu pertama, perusahaan di hilir yang bersifat monopoli melakukan integrasi vertikal dengan perusahan di hulu yang bersifat kompetitif. Pola tersebut
14
akan mendorong perluasan penggunaan input oleh perusahaan monopoli sehingga akan menghasilkan output dalam jumlah yang lebih banyak dengan harga yang lebih rendah. Kedua, perusahaan di hilir yang bersifat kompetitif melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan di hulu yang bersifat monopoli. Bentuk integrasi seperti ini juga akan menurunkan harga output akhir karena perusahaan monopoli yang akan menetapkan biaya marjinal dan harga produknya sehingga akan menurunkan margin antara harga monopoli dengan biaya marginalnya. Ketiga, bentuk integrasi vertikal yang terakhir adalah perusahaan di hulu yang bersifat monopoli melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan di hilir yang juga bersifat monopoli yang menjadi pembeli inputnya. Bentuk integrasi vertikal seperti ini akan meningkatkan harga produk akhir. Hal ini dikarenakan monopolisasi pasar oleh perusahaan di hilir karena dapat memperoleh input melalui perusahaan di hulu yang juga bersifat monopoli dan terintegrasi secara vertikal dengannya. Integrasi vertikal dapat dilakukan oleh suatu perusahaan dengan beberapa alternatif, yaitu : 1. Full Integration Perusahaan yang melakukan full integration ketika memproduksi semua input bahan baku yang dibutuhkan atau menyalurkan semua output yang dihasilkan melalui perusahaan yang terintegrasi dengan perusahaan tersebut. 2. Tapered Integration Tapered Integration merupakan perpaduan antara integrasi vertikal dengan pertukaran pasar (market exchange). Perusahaan induk membeli input yang
15
dibutuhkan dari perusahaan lain selain dari perusahaan yang terintegrasi dengannya atau menyalurkan hasil produksinya sendiri dan melalui perusahaan lain yang tidak terintegrasi. Tapered integration memiliki beberapa keuntungan yaitu pertama, perusahaan dapat memperluas jaringan input atau output tanpa memerlukan modal yang substansial. Kedua, perusahaan dapat menggunakan informasi dari jaringan internal dalam bernegosiasi dengan perusahaan independen. Ketiga, perusahaan dapat mengembangkan kapasitas pasokan input untuk melindungi dari persaingan dengan pemasok input independen. 3. Aliansi Strategis dan Joint Venture Aliansi strategis merupakan penggabungan perusahaan yang bekerja sama untuk berbagi informasi secara horizontal maupun vertikal. Aliansi horizontal meliputi kerja sama perusahaan dalam industri yang sama sedangkan aliansi vertikal meliputi kerja sama perusahaan pemasok input dengan perusahaan pembelinya. Joint venture adalah bagian dari aliansi strategis dimana dua atau lebih perusahaan bekerja sama dan membuat sebuah perusahaan gabungan baru yang biasanya dioperasikan oleh pekerja dari perusahaan induk. Integrasi vertikal tidak berfungsi memperluas kekuatan monopoli perusahaan dari satu tingkat ke tingkat lain. Tingkat 1
1
2
4
3
Perusahaan A Tingkat 2
2
B
C
Sumber : Jaya, 2004 Gambar 2.1 Ilustrasi Dari Sebuah Integrasi Vertikal
D
E
16
Berdasarkan Gambar 2.1, integrasi vertikal yang dilakukan oleh perusahaan A tidak akan mempengaruhi persaingan dengan perusahaan B, C, D dan E. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi tidak mempengaruhi persaingan (Jaya, 2004). 2.1.3 Motivasi Integrasi Vertikal Suatu perusahaan yang melakukan integrasi vertikal harus memiliki motivasi yang terbaik karena integrasi vertikal dapat mengakibatkan timbulnya biaya-biaya substansial. Menurut Aulia (2005), terdapat tiga konsekuensi yang mungkin diakibatkan dengan adanya strategi integrasi vertikal, yaitu : 1. Biaya yang terbentuk dari memasok sendiri bahan baku yang dibutuhkan atau mendistribusikan sendiri produk yang dihasilkan akan lebih besar pada perusahaan yang melakukan integrasi vertikal dibandingkan dengan perusahaan yang menggantungkan pada mekanisme pasar yang kompetitif yang akan memperlakukan dengan lebih efisien. 2. Integrasi vertikal menjadikan suatu perusahaan semakin besar sehingga diperlukan biaya pengelolaan yang lebih tinggi dikarenakan kesulitan dalam mengelola perusahaan terintegasi tersebut yang semakin besar. 3. Suatu perusahaan yang melakukan integrasi vertikal mungkin akan dihadapkan pada biaya proses hukum yang mengatur tentang merjer dengan perusahaan lain. Menurut Hasibuan (1993), terdapat beberapa motivasi yang rasional untuk melakukan integrasi vertikal seperti motivasi untuk meningkatkan pangsa pasar, pertumbuhan, mendapatkan laba yang lebih tinggi, efisien dan untuk mengurangi
17
ketidakpastian
usaha.
Dengan
berkurangnya
biaya-biaya
seperti
biaya
administrasi, transaksi, iklan dan biaya pemanfaatan informasi bersama, suatu perusahaan akan mampu meningkatkan produktivitas dan pertumbuhannya sehingga perusahaan mampu menciptakan keuntungan yang lebih tinggi. Motivasi integrasi vertikal juga dapat dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya marginalisasi ganda (double marginalization) dalam kondisi monopoli atau pasar persaingan tidak sempurna lainnya yang memungkinkan terjadinya tahapan produksi secara vertikal. Istilah marginalisasi ganda serupa dengan istilah eksternalitas. Sebagai ilustrasi, jika suatu perusahaan mempertimbangkan untuk meningkatkan profitnya dengan menaikkan harga barang akhir, hal ini tidak mempengaruhi keuntungan manufakturnya. Eksternalitas vertikal ini biasanya menyebabkan harga menjadi lebih mahal dibandingkan dengan perkiraan keuntungan gabungan di tingkat hulu dan hilir. Keberadaan marginalisasi ganda akan menciptakan insentif bagi perusahaan untuk melakukan integrasi vertikal dengan tujuan untuk meningkatkan profit gabungan. Secara garis besar, terdapat dua motif utama dalam melakukan integrasi vertikal, yaitu : 1. Motif efisiensi Motif efisiensi menekankan pada insentif perusahaan untuk melakukan integrasi vertikal yang berasal dari biaya transaksi yang terdapat dalam kontrak negosiasi diantara perusahaan pada tingkat integrasi vertikal yang berbeda. Biaya transaksi tersebut timbul karena alasan sebagai berikut :
18
•
Rasionalitas yang terbatas. Suatu perusahaan yang sangat bergantung pada pasar untuk memenuhi kebutuhan input utamanya akan dihadapkan pada munculnya biaya transaksi ketika terjadi gangguan di dalam pasar sehingga mengakibatkan terganggunya transaksi ekonomi.
•
Masalah dalam posisi tawar. Timbulnya biaya transaksi salah satunya dikarenakan hanya terdapat sedikit pemasok atau distributor di dalam suatu pasar atau industri sehingga akan lebih efisien bagi suatu perusahaan untuk memproduksi sendiri input yang dibutuhkannya.
•
Distorsi dalam pilihan input. Perusahaan melakukan integrasi vertikal untuk menghindari konsekuensi dari kekuatan pasar. Jika perusahaan yang memiliki kekuatan pasar melakukan integrasi vertikal ke hilir, dapat dijamin sebuah produk akan digunakan secara efisien sebagai barang input dengan cara membuat pilihan input berdasarkan biaya produksinya.
•
Diskriminasi harga. Perusahaan yang memproduksi input dan menjualnya dengan
elastisitas
yang
berbeda-beda
akan
lebih
efektif
jika
mendiskriminasikan harganya apabila mengintegrasikan kedepan dengan segmen elastisitas yang tinggi dipasar akhir dan memasok kepada segmen yang rendah untuk memaksimumkan keuntungan. 2. Motif strategi Salah satu tujuan perusahaan melakukan integrasi vertikal adalah untuk menciptakan hambatan masuk (barrier to entry) bagi perusahaan-perusahaan lain dengan meningkatkan biaya modal absolut untuk masuk dan meningkatkan biaya input pesaingnya. Perusahaan yang terintegrasi beroperasi di pasar barang akhir
19
pada biaya unit terendah dibandingkan dengan pesaingnya yang tidak terintegrasi. Karena itulah, akan lebih menguntungkan bagi perusahaan yang terintegrasi untuk menggunakan barang output antaranya sendiri daripada menjualnya di pasar terbuka. 2.1.4 Manfaat Integrasi Vertikal Suatu perusahaan akan melakukan integrasi vertikal apabila manfaat yang diperolehnya jauh lebih besar daripada biaya-biaya yang mungkin akan dihadapinya. Terdapat enam manfaat dari integrasi vertikal, antara lain : 1. Integrasi untuk Mengurangi Biaya Transaksi Salah satu manfaat integrasi vertikal adalah untuk mengurangi biaya transaksi. Biaya transaksi merupakan sejumlah biaya yang timbul akibat semakin kompleksnya proses produksi yang dialami oleh suatu perusahaan. Biaya transaksi mencakup antara lain biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan kontrak. Ketika melakukan integrasi vertikal, akan terjadi transformasi proses monitoring dari antar perusahaan menjadi proses monitoring di dalam perusahaan. Berikut ini adalah empat jenis transaksi dimana biaya yang ditimbulkan dapat dikurangi dengan melakukan integrasi vertikal, yaitu : •
Aset khusus Ketika suatu perusahaan dihadapkan pada permintaan konsumen akan
produk tertentu yang spesifik dan terbatas, maka biaya penyediaan input untuk menghasilkan produk tersebut juga akan meningkat. Dengan melakukan integrasi vertikal, perusahaan dapat menghindari ketergantungan terhadap pemasok tunggal yang menyediakan cetakan khusus bagi perusahaan. Selain input spesifik,
20
keberadaan pekerja yang memiliki keahlian khusus juga sangat diperlukan perusahaan. Ketika pekerja tersebut bekerja di perusahaan lain maka integrasi vertikal dapat menjadi solusi terbaik untuk menghindari ketergantungan terhadap perusahaan yang memiliki keahlian khusus tersebut. •
Ketidakpastian Ketidakpastian sering terjadi dalam dunia bisnis. Semakin tinggi
ketidakpastian, permasalahan juga akan semakin rumit. Misalnya saja, perusahaan yang memproduksi suatu barang yang pasokan bahan bakunya tidak menentu akan mengalami masalah terkait dengan ketidakpastian pasokan bahan baku. Untuk mengeliminasi hal tersebut, perusahaan cenderung akan melakukan integrasi vertikal. Dengan melakukan integrasi vertikal, pasokan bahan baku yang diperlukan oleh perusahaan lebih mudah diprediksi keberadaannya. •
Informasi Masalah kegagalan dalam mentransfer informasi secara sempurna sering
terjadi dalam suatu industri. Suatu perusahaan mungkin sudah merasa cukup memiliki informasi mengenai perkembangan pasar dari perusahaan lain, namun sebenarnya masih banyak informasi lain yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut. Hal ini terjadi akibat kesalahan dalam mendefinisikan informasi secara lengkap yang dapat diatasi dengan melakukan integrasi vertikal. Integrasi vertikal dapat menghasilkan transfer informasi yang lebih efisien. •
Koordinasi yang menyeluruh Suatu perusahaan yang memerlukan keberadaan perusahaan lain untuk
mengkoordinasikan kerja output yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut maka
21
strategi integrasi vertikal dapat dilakukan untuk memecahkan masalah koordinasi yang kompleks. 2. Integrasi untuk Menjaga Keterjaminan Pasokan Keterjaminan pasokan bahan baku menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan suatu produk. Tanpa adanya jaminan ketersediaan pasokan bahan baku maka industri memiliki resiko yang tinggi. Integrasi vertikal dapat mereduksi permasalahan yang terkait dengan keberadaan pasokan bahan baku sehingga menjadi lebih mudah bertukar informasi di dalam perusahaan daripada antar perusahaan. 3. Integrasi untuk Menghindari Eksternalitas Dengan melakukan integrasi vertikal, perusahaan dapat melakukan koreksi terhadap hal-hal yang menyebabkan kegagalan strategi melalui internalisasi eksternalitas. Sebuah perusahaan yang memiliki cabang di berbagai wilayah tidak akan mengalami kesulitan dalam mengontrol anak perusahaannya sehingga menjamin kualitas yang dihasilkan akan sama dengan kualitas dari perusahaan induknya. Hal ini tentu akan menghasilkan sebuah reputasi yang positif bagi perusahaan (eksternalitas). 4. Integrasi untuk Menghindari Intervensi Pemerintah Perusahaan melakukan integrasi vertikal untuk menghindari kontrol harga yang dilakukan pemerintah dengan menjual produknya kepada perusahaan yang terintegrasi dengannya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga yang ditetapkan pemerintah. Hal yang sama juga dilakukan perusahaan untuk menghindari pajak. Biasanya pemerintah menetapkan pajak yang berbeda-beda
22
tiap wilayah sehingga perusahaan juga akan menetapkan harga yang berbeda di setiap
wilayah.
Melalui
kombinasi
harga
yang
telah
diatur
dengan
memperhitungkan wilayah yang kebijakan penetapan pajaknya rendah dan tinggi, suatu perusahaan dapat meningkatkan keuntungannya. 5. Integrasi untuk Meningkatkan Keuntungan Monopoli Strategi integrasi vertikal pada jangka panjang akan mengarah pada perubahan struktur pasar menjadi monopoli atau struktur pasar persaingan tidak sempurna lainnya. Perusahaan yang melakukan integrasi vertikal dapat meningkatkan keuntungan monopoli melalui dua cara dalam integrasi vertikal yakni pertama, perusahaan monopolis akan melakukan integrasi vertikal ke depan untuk memonopoli proses produksi industri dalam rangka meningkatkan keuntungannya. Sedangkan perusahaan yang melakukan integrasi vertikal ke belakang akan meningkatkan keuntungannya dengan mengakuisisi pemasoknya. Kedua, pemasok yang telah terintegrasi secara vertikal sangat mungkin untuk melakukan proses diskriminasi harga guna meningkatkan profitnya. 6. Integrasi untuk Mengeliminasi Kekuatan Pasar Jika integrasi vertikal dilakukan untuk meningkatkan keuntungan monopoli, maka di lain pihak integrasi vertikal juga dapat mereduksi atau mengeliminasi kekuatan monopoli tersebut. Sebuah perusahaan yang menjual produk berupa input bagi perusahaan lain maka jika perusahaan tersebut menjual dengan harga yang tinggi karena monopoli, perusahaan pembeli akan berpikir apakah lebih efektif untuk melakukan integrasi vertikal ke belakang.
23
2.2 Metode Pengukuran Integrasi Vertikal Menurut Porter (1990), setiap tahap dalam jalur produksi menghasilkan nilai tambah. Tahap-tahap produksi vertikal tersebut diawali dengan pengumpulan bahan-bahan mentah dan diakhiri dengan distribusi dan penjualan barang jadi. Integrasi vertikal dapat diukur dengan rasio nilai tambah terhadap pendapatan akhir penjualan dimana dalam memproduksi sebuah produk terdapat jaring vertikal yang terdiri dari tahap-tahap produksi yang setiap tahapnya menghasilkan nilai. Lebih jauh lagi, ukuran integrasi vertikal dapat dipandang dari dua segi yaitu pertama, menghitung tahapan-tahapan produksi. Semakin banyak jumlah tahapan produksi yang dicakup, semakin besar pula tingkat integrasinya. Namun dalam satu tahapan produksi dapat mencakup banyak langkah individual sehingga sangat sulit untuk mendefinisikan tahap-tahap produksi. Kedua, nilai tambah yang dihasilkan terhadap nilai akhir penjualan sebagai derajat dari integrasi vertikal. Segi yang kedua sering digunakan sebagai alternatif karena keterbatasan cara mengukur segi yang pertama. Dari segi nilai tambah dapat diperoleh rasio nilai tambah perusahaan pada pendapatan akhir penjualan sebagai indeks dari derajat integrasi vertikal dengan asumsi bahwa semakin banyak tahapan produksinya, semakin besar pula nilai tambahnya. 2.2.1 Rasio Nilai Tambah Terhadap Penjualan Secara sederhana, tingkat integrasi vertikal dapat dihitung dengan menggunakan rasio antara nilai tambah terhadap jumlah output atau penjualan. Nilai tambah didefinisikan sebagai pendapatan penjualan dikurangi pengeluaran untuk bahan bakar, bahan baku dan listrik. Secara rasional, pengukuran tersebut
24
menjelaskan bahwa setiap perusahaan akan berusaha meningkatkan partisipasinya dalam berbagai tingkatan proses produksi, transaksi dalam suatu perusahaan akan berpindah ke perusahaan lain dan nilai tambah dari output atau penjualan akan meningkat. Metode tersebut dapat menunjukkan hasil pengukuran yang bias dalam integrasi vertikal. Jika harga input dan output berubah pada tingkat yang berbeda dalam satu waktu, rasio ini akan berubah meskipun proses fisik yang ditunjukkan oleh perusahaan tidak berubah. Ketika membandingkan derajat integrasi vertikal dari beberapa perusahaan, rasio integrasi dapat berbeda walaupun jumlah integrasi fisik yang dihitung sama. Perbedaan ini disebabkan oleh satu perusahaan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan lain, di mana keuntungan merupakan bagian dari nilai tambah. Jika akan membandingkan perusahaan dalam industri yang berbeda, rasio ini akan turun sejalan dengan semakin dekat dengan proses tahap akhir meskipun semua perusahaan diasumsikan sama-sama terintegrasi. Rasio ini menggambarkan tahapan proses produksi dan bukan derajat integrasi vertikal sehingga tidak dapat digunakan kecuali dengan membandingkan perusahaan yang berbeda meskipun di dalam industri yang sama atau jika perusahaan-perusahaan tersebut berada dalam tahapan proses produksi yang sama. Metode pengukuran tersebut sangat sensitif terhadap berbagai tingkatan operasional suatu perusahaan yang terbentuk dalam vertical chain. Metode lain yang mempertahankan nilai tambah konstan menjadikan industri yang lebih terinterasi ke hilir akan cenderung menghasilkan tingkat integrasi vertikal yang lebih rendah. Untuk menanggulangi masalah tersebut, diciptakan suatu metode
25
untuk menghilangkan bias yang terjadi. Metode pengukuran tersebut dibuat berdasarkan teori yang beranggapan bahwa pengukuran integrasi vertikal harus memperhitungkan relativitas kepentingan dari pertukaran ke dalam dan ke luar yang terjadi di suatu pasar. Metode tersebut membutuhkan pengukuran besarnya aliran output dari dalam perusahaan terhadap besarnya transaksi pasar yang dikendalikan oleh perusahaan. Besarnya aliran dari dalam perusahaan dihitung dengan menggunakan aliran output dalam suatu perusahaan dengan pabrikpabriknya dalam suatu industri di mana besarnya transaksi pasar dihitung dari penjualan output suatu perusahaan termasuk aliran dalam suatu perusahaan terhadap industri tetapi tidak memperhitungkan aliran di dalam industri. Aliran output dalam perusahaan dapat dihubungkan secara tidak langsung dari tabel input-output dan informasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan yang membentang dalam sutau industri. 2.2.2 Rasio Inventory Terhadap Penjualan Semakin besar jumlah tahapan proses produksi yang dilakukan oleh suatu perusahaan maka akan semakin besar pula tingkat penyimpanan (inventory). Apabila perusahaan berusaha mendapatkan manfaat dari integrasi vertikal dengan cara berhemat pada tingkat penyimpananya maka indeks ini tidak dapat digunakan. Bahkan indeks ini dapat menunjukkan bahwa peningkatan integrasi vertikal menyebabkan mengecilnya rasio inventory terhadap penjualan. Pada tingkat perubahan yang berbeda dalam harga output akhir dan inventory, indeks ini dapat berubah tanpa perlu adanya perubahan aktual pada struktur perusahaan.
26
Sehingga pada perbedaaan tertentu dalam pola siklusnya, indeks ini akan menghasilkan pola inventory yang berbeda pula. 2.2.3 Pengukuran Backward Integration: Pembelian Antar Perusahaan Untuk mengukur tingkat integrasi vertikal ke hulu (Backward Vertical Integration) dapat digunakan rasio pembelian input antar perusahaan pada tahap ini dengan total nilai input yang digunakan. Indeks ini menunjukkan bahwa perusahaan harus mempercayakan pada pasar untuk memasok inputnya dalam proses produksi. 2.2.4 Pengukuran Forward Integration: Transfer Output Antar Perusahaan Tingkat integrasi vertikal ke hilir (Forward Vertical Integration) dapat dihitung dengan menggunakan rasio antara transfer output antar perusahaan terhadap total output. Rasio ini mengindikasikan perusahaan untuk tergantung pada pasar dalam menjual outputnya pada tahap ini. 2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Integrasi Vertikal Berdasarkan penelitian Stigler (1951) mengenai tingkat integrasi vertikal pada industri tekstil dan pengolahan di Amerika Serikat, tingkat integrasi vertikal dipengaruhi oleh rasio konsentrasi, pertumbuhan permintaan dan ukuran rata-rata perusahaan. Sedangkan dalam penelitian Mulyaningsih dan Karseno (2002) mengenai tingkat integrasi vertikal pada industri kertas di Indonesia, tingkat integrasi vertikal dipengaruhi oleh rasio konsentrasi, pertumbuhan permintaan dan biaya input utama. Dalam penelitian ini, peneliti mengkombinasikan penelitian Stigler (1951) dengan penelitian Mulyaningsih dan Karseno (2002) serta
27
menambahkan variabel efisiensi internal yang kemudian diaplikasikan terhadap industri mobil di Indonesia. 2.3.1 Struktur Pasar Struktur pasar menentukan perilaku perusahaan dalam industri yang pada akhirnya akan menentukan kualitas kinerja industri tersebut. Struktur pasar dapat menentukan sifat kompetisi dan harga pasar. Menurut jumlah dan ukuran distribusi penjual dan pembeli, hambatan masuk serta tingkat diferensiasi produk, struktur pasar dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis, yaitu struktur pasar monopoli, oligopoli ketat, perusahaan dominan dan persaingan ketat. Struktur pasar memiliki beberapa elemen yang menggambarkan ukuran perusahaanperusahaan yang bersaing di dalam pasar. Salah satu elemen dari struktur pasar adalah konsentrasi (pemusatan). Konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis yang terdiri dari 2 sampai 8 perusahaan dan saling tergantung satu sama lain (Jaya, 2004). Rasio konsentrasi yang menggambarkan jumlah perusahaan dalam suatu industri merupakan determinan penting dalam menentukan integrasi vertikal. Kemudahan perusahaan menemukan pembeli dan penjual dari barang intermediate menentukan kemampuan dari perusahaan yang mapan untuk mendapatkan manfaat dari posisi tawar menawar mereka. Menurut Stigler (1951), jika hanya terdapat beberapa perusahaan dalam setiap tahapan proses produksi maka integrasi vertikal akan diterapkan. Hal ini dikarenakan perusahaan mencoba untuk menghindari opportunisme yang muncul dari pihak lain sebagai akibat dari terbatasnya pilihan. Dalam hubungan vertikal yang tidak terintegrasi, perusahaan membutuhkan investasi tertentu sehingga
28
peluang opportunitas akan muncul untuk beberapa perusahaan terhadap beberapa barang yang dihasilkan dari investasi perusahaan lain. Besarnya dampak dari opportunisme didasarkan pada tingkat ketergantungan dari pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan monopoli bilateral yang kemudian tergantung pada spesifikasi dari investasi tertentu. Integrasi vertikal diharapkan berhubungan positif dengan semakin sedikitnya perusahaan dalam suatu industri sehingga tingkat konsentrasi menjadi semakin tinggi. Seiring dengan semakin sedikitnya jumlah perusahaan, pilihan terhadap sumber-sumber alternatif permintaan dan penawaran
dari
produk
intermediate
juga
semakin
menurun
sehingga
mengakibatkan pertukaran melalui pasar terhambat secara signifikan dan perusahaan cenderung berintegrasi vertikal. 2.3.2 Biaya Input Utama Biaya input utama merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengakses bahan baku utama yang diperlukan dalam proses produksi. Ketika terjadi peningkatan biaya bahan baku utama maka akan meningkatkan biaya produksi yang harus dikeluarkan perusahaan. Strategi integrasi vertikal yang dilakukan oleh perusahaan membuat perusahaan tidak dihadapkan pada masalah tingginya biaya produksi karena bahan baku utama yang digunakan merupakan hasil produksi dari perusahaan di hulu yang terintegrasi dengan perusahaan di hilir dengan kontrak yang telah disepakati sebelumnya. Menurut Mulyaningsih dan Karseno (2002), dalam jangka pendek biaya input utama berhubungan negatif dengan tingkat integrasi vertikal. Hal ini dikarenakan tingginya biaya input utama yang digunakan akan menurunkan nilai tambah yang dihasilkan sehingga rasio
29
integrasi vertikal akan menurun. Tingkat integrasi vertikal diperoleh berdasarkan rasio nilai tambah dengan nilai output. Sedangkan dalam jangka panjang, biaya input utama berpengaruh positif terhadap tingkat integrasi vertikal. Hal ini dikarenakan tingginya biaya input utama akan mendorong perusahaan melakukan berbagai penyesuaian sehingga dalam jangka panjang perusahaan akan meningkat outputnya dan nilai tambah yang dihasilkan perusahaan juga akan meningkat demikian pula dengan rasio integrasi vertikal. 2.3.3 Pertumbuhan Permintaan Faktor penting lainnya yang dapat mempengaruhi tingkat integrasi vertikal adalah pertumbuhan permintaan. Meningkatnya jumlah permintaan akan suatu komoditas membuat perusahaan memandang perlu untuk mengamankan pasokan bahan baku yang diperlukan guna memenuhi permintaan yang meningkat tersebut. Kepastian terhadap pasokan bahan baku utama sangat penting untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sesuai dengan permintaan. Oleh karena itu, pilihan untuk melakukan integrasi vertikal dipandang sebagai strategi yang tepat untuk mengatasi ketidakpastian perusahaan. Selain itu, pengaruh variabel pertumbuhan permintaan terhadap integrasi vertikal juga dapat dijelaskan dengan teori efisiensi relatif dari transfer informasi antar perusahaan. Menurut Stigler (1951), perusahaan-perusahaan yang baru berkembang memiliki spesifikasi produk yang belum terstandarisasi sehingga membuat pengorganisasian berbagai tingkat produksi menjadi tidak efisien. Selain itu, masalah kontinuitas supply juga dapat muncul di dalam industri pada tahap awal perkembangannya yang sedang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan
30
perusahaan mendapatkan informasi tentang jumlah permintaan yang proporsional dan efisien antar perusahaan. Ketika suatu perusahaan mengalami pertumbuhan permintaan maka perusahaan tersebut harus mampu mengakses informasi yang tepat mengenai jumlah permintaan dan keberadaan perusahaan pemasok yang menyediakan input secara lebih efisien. Integrasi vertikal dapat menghasilkan sebuah transfer informasi yang efisien. 2.3.4
Ukuran Rata-Rata Perusahaan Teori ketidakekonomisan manajerial menyatakan bahwa semakin luas
fungsi suatu perusahaaan, semakin sulit tugas koordinasi dalam perusahaan tersebut (Stigler, 1951). Ketika terjadi peningkatan skala produksi, perusahaanperusahaan kecil yang cenderung berkonsentrasi pada aktivitas-aktivitas produksi yang berbeda akan dihadapkan pada masalah tingginya biaya untuk mengelola dan mengkoordinasi perusahaan tersebut. Keadaan inilah yang mendorong perusahaan-perusahaan dengan ukuran kecil melakukan integrasi vertikal. Sedangkan untuk perusahaan-perusahaan dengan ukuran besar cenderung lebih terkonsentrasi dalam aktivitas-aktivitas produksi yang semakin sempit dan serupa sehingga tidak akan mengalami masalah tingginya biaya pengelolaan seiring dengan meningkatnya skala produksi. Dengan demikian, industri yang dikuasai oleh perusahaan besar akan cenderung kurang terintegrasi secara vertikal. 2.3.5
Tingkat Efisiensi Internal Efisiensi internal dapat dicapai dengan meminimumkan biaya produksi,
teknologi yang tepat, penggunaan input secara terpadu dan perekrutan tenaga kerja yang kompeten dibidangnya (Jaya, 2004). Strategi yang dapat dilakukan
31
untuk mencapai efisensi internal terkait dengan penggunaan input secara terpadu adalah strategi integrasi vertikal. Dengan melakukan integrasi vertikal, perusahaan diharapkan mampu menggunakan bahan baku utama secara tepat dan efisien dari perusahaan pemasok bahan baku yang terintegrasi dengannya. 2.4 Definisi Kendaraan Bermotor Roda Empat Secara umum, industri otomotif terdiri dari tiga bagian yaitu industri kendaraan bermotor roda dua, industri kendaraan bermotor roda empat dan industri komponen. Antara industri kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat dengan industri komponen tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan gabungan dari komponen-komponen yang dirakit sehingga membentuk suatu kesatuan dengan harapan dapat memberikan manfaat secara maksimal dalam penggunaannya. Secara umum, kendaraan bermotor merupakan jenis kendaraan yang digerakan oleh peralatan teknik yang ada pada kendaraan tersebut dan biasa digunakan sebagai alat angkut orang atau barang di jalan selain kendaraan yang berjalan di atas rel (Departemen Perhubungan Republik Indonesia, 1995-1996). Salah satu bagian dari industri otomotif yang mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian Indonesia adalah industri mobil. Mobil merupakan salah satu hasil akhir industri manufaktur yang mampu memberikan kontribusi terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar sehingga pemerintah berupaya mendorong produktivitas industri mobil. Pemerintah menekankan akan pentingnya perkembangan industri mobil nasional dengan menggunakan merek yang diproduksi di dalam negeri serta memiliki kandungan komponen lokal minimal 70 persen.
32
2.5 Kebijakan Pemerintah Mengenai Integrasi Vertikal dan Industri Mobil Strategi integrasi vertikal dalam jangka panjang akan mengantarkan struktur pasar menjadi persaingan tidak sempurna. Keadaan ini akan merugikan konsumen karena dihadapkan pada struktur pasar monopoli sehingga tidak terdapat alternatif lain dalam memilih produk industri. Perusahaan monopolis akan berusaha mendapatkan laba monopoli yang lebih tinggi dengan cara meningkatkan harga. Untuk mencegah terjadinya monopoli, pemerintah mengeluarkan undang-undang mengenai persaingan usaha. Undang-undang No.5 Tahun 1999 berisikan tentang larangan praktek monopoli dan segala bentuk persaingan usaha yang tidak sehat. Pasal 14 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Menguasai produksi yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan jasa tertentu mulai dari hulu sampai hilir adalah suatu bentuk integrasi vertikal. Praktek integrasi vertikal yang mengarahkan perusahaan menguasai produksi suatu barang dan jasa dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat yang akan merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat meskipun integrasi vertikal diharapkan mampu menghasilkan barang dan jasa dengan harga yang lebih murah.
33
Selain Instruksi Presiden No.2 Tahun 1996, dikeluarkan pula liberalisasi kebijakan otomotif tahun 1999. Mobil merupakan salah satu output yang dihasilkan dari industri otomotif. Melalui liberalisasi kebijakan tersebut pemerintah berupaya menjadikan pasar otomotif dalam negeri menjadi lebih kompetitif dengan mengizinkan impor mobil utuh (CBU) oleh importir-importir umum dan menghapuskan monopoli penjualan mobil di Indonesia. Komposisi pasar berubah, kompetisi terjadi secara terbuka dengan masuknya merek-merek asing ke Indonesia. Berkembangnya pasaran mobil-mobil asing di Indonesia diharapkan mampu mendorong peningkatan produktivitas industri mobil nasional.
2.6 Model Koreksi Kesalahan atau Error Correction Model (ECM) Model koreksi kesalahan atau Error Correction Model (ECM) adalah salah satu model dinamik yang diterapkan secara luas dalam analisa ekonomi. ECM bertujuan untuk mengatasi masalah data time series yang tidak stasioner dan regresi palsu (spurious regression). ECM diterapkan untuk mengatasi perbedaan hasil estimasi antara jangka pendek dan jangka panjang, dengan cara proporsi disequilibrium pada satu periode dikoreksi pada periode selanjutnya sehingga tidak ada kesalahan dalam menggunakan model. Ketidakseimbangan kesalahan (disequilibrium error) terjadi karena kesalahan spesifikasi seperti kesalahan pemilihan variabel, parameter, keseimbangan itu sendiri, kesalahan dalam membuat definisi variabel dan cara mengukurnya serta kesalahan yang disebabkan oleh faktor manusia dalam menginput data. Kegunaan dari penerapan koreksi kesalahan atau ECM dalam analisis ekonomi adalah :
34
a. Untuk mengatasi masalah data runtun waktu yang tidak stasioner dan regresi palsu (spurious regression). b. Model dengan variabel-variabel dalam bentuk first difference mengeliminasi trend dari variabel. c. Error Correction Model (ECM) dapat diestimasi dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). d. Error Correction Model (ECM) dapat disesuaikan atau disamakan dengan pendekatan umum ke khusus (melihat kecenderungan umum dan membaginya menjadi pendekatan jangka pendek dan jangka panjang). e. Membedakan dengan jelas antar parameter jangka panjang sehingga sangat ideal digunakan untuk menaksir keakuratan sebuah hipotesis. Jika terdapat variabel yang tidak nyata dapat direduksi sehingga akan meningkatkan efisiensi estimasi. f. Membantu mengatasi masalah pengolahan data lanjutan seperti masalah multikolinearitas antar data yang dapat menyebabkan standar error yang sangat besar. Keunggulan dan keuntungan penggunaan ECM yang lain adalah seluruh informasi dan komponen pada tingkat variabel telah dimasukkan dalam model dan memasukkan semua bentuk kesalahan untuk dikoreksi yaitu dengan mendaur ulang error yang terbentuk pada periode sebelumnya sehingga dapat menghindari masalah trend dan regresi palsu. Sifat-sifat statistik yang diinginkan dari model dan pemberian makna dari persamaan dalam model tersebut juga lebih sederhana. Artinya ECM mampu memberikan makna lebih luas dari hasil estimasi model
35
ekonomi sebagai pengaruh perubahan variabel independent terhadap variabel dependent dalam hubungan jangka pendek maupun jangka panjang. 2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.7.1 Penelitian Terdahulu Mengenai Integrasi Vertikal Stigler (1951) dalam penelitiannya yang berjudul The Division of Labor is Limited by The Extend of The Market menyimpulkan bahwa tingkat integrasi vertikal pada industri tekstil dan pengolahan di Amerika Serikat dipengaruhi oleh tiga variabel, yaitu tingkat konsentrasi industri, pertumbuhan permintaan, dan ukuran rata-rata perusahaan. Tingkat konsentrasi industri berhubungan positif dengan integrasi vertikal. Dengan menurunnya jumlah perusahaan menjadikan pilihan terhadap sumber-sumber alternatif permintaan dan pasokan juga akan menurun sehingga pertukaran melalui pasar terhambat dan perusahaan akan cenderung berintegrasi vertikal. Pertumbuhan permintaan berkorelasi positif terhadap tingkat integrasi vertikal suatu industri. Meningkatnya permintaan terhadap suatu produk membuat perusahaan melakukan strategi integrasi vertikal untuk mengamankan pasokan bahan bakunya. Sedangkan ukuran rata-rata perusahaan berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal. Semakin luas fungsi yang diemban suatu perusahaan menyebabkan semakin sulit tugas koordinasi dalam perusahaan tersebut. Keadaan ini dapat menimbulkan biaya pengelolaan perusahaan yang lebih tinggi. Levy (1984) dalam penelitiannya yang berjudul Testing Stingler’s Interpretation of The Division of Labor is Limited by The Extent of The Market menyatakan bahwa tingkat integrasi vertikal pada industri tekstil dan pengolahan
36
di Amerika Serikat dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi, pertumbuhan permintaan, dan ukuran rata-rata perusahaan. Dengan menggunakan metode Ordinary least Square (OLS), dapat disimpulkan bahwa tingkat integrasi vertikal sangat dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi industri guna menghindari distorsi penggunaan
input
pada
industri
hilir.
Pertumbuhan
permintaan
juga
mempengaruhi integrasi vertikal. Integrasi vertikal banyak dilakukan pada industri yang menghadapi pertumbuhan permintaan yang tinggi. Namun ukuran rata-rata perusahaan berpengaruh negatif terhadap integrasi vertikal. Semakin besar ukuran perusahaan maka integrasi vertikal semakin jarang dilakukan. Kesimpulan dari penelitian Levy tidak jauh berbeda dengan penelitian Stigler. Mulyaningsih dan Karseno (2002) dalam penelitiannya yang berjudul Integrasi Vertikal dan Efisiensi Industri : Industri Kertas 1979-1997, dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM) menyimpulkan bahwa baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, variabel pertumbuhan permintaan berhubungan positif dengan tingkat integrasi vertikal. Sedangkan variabel tingkat konsentrasi industri berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal dikarenakan industri kertas bersifat monopolistik sehingga integrasi vertikal akan membuat harga yang terbentuk mengandung marjin yang lebih besar (Double Marginalization). Variabel ketiga yang berupa biaya input utama, dalam jangka pendek berhubungan negatif dengan tingkat integrasi vertikal. Hal ini dikarenakan peningkatan biaya input utama yang digunakan dalam jangka pendek akan menyebabkan penurunan nilai tambah sehingga rasio integrasi vertikal juga akan mengalami penurunan. Sedangkan dalam jangka panjang, biaya input utama
37
berhubungan positif terhadap tingkat integrasi vertikal. Tingginya biaya input utama yang digunakan dalam jangka panjang akan menurunkan output yang dihasilkan sehingga nilai tambah perusahaan akan meningkat demikian pula dengan tingkat integrasi vertikal. Penelitian Supriatna (2005) yang berjudul Tingkat Integrasi Vertikal Pada Industri Air Minum dalam Kemasan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya menyimpulkan bahwa jumlah output berhubungan positif baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang terhadap tingkat integrasi vertikal. Sedangkan variabel rasio konsentrasi hanya berhubungan positif dengan integrasi vertikal dalam jangka panjang saja. Aulia (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pengaruh Konsentrasi Pasar terhadap Integrasi Vertikal di Industri Manufaktur Indonesia : Pengujian Hipotesis Stigler menyimpulkan bahwa variabel konsentrasi industri dan pertumbuhan permintaan telah sesuai dengan hipotesis Stigler (1951). Sedangkan variabel ukuran rata-rata perusahaan bertentangan dengan hipotesis Stigler yang menyimpulkan bahwa variabel tersebut berhubungan negatif terhadap tingkat integrasi vertikal. Ghani, Ahmad dan Khalil (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Vertical Integration : An Empirical Test Using Malaysian Data, dengan menggunakan metode Ordinary Laest Square (OLS), disimpulkan bahwa biaya transaksi dapat meningkatkan kecenderungan untuk berintegrasi vertikal. Selain menggunakan variabel rasio konsentrasi, ukuran rata-rata perusahaan dan pertumbuhan permintaan seperti yang telah dilakukan dalam penelitian
38
sebelumnya, peneliti juga menambahkan variabel pembagian output dari perusahaan asing dalam industri tersebut. Integrasi vertikal berhubungan positif dengan pertumbuhan permintaan dan rasio konsentrasi industri setelah mengendalikan dampak dari keikutsertaan perusahaan asing di dalam suatu industri. Terdapat fakta yang menyebutkan bahwa tingkat integrasi vertikal berhubungan dengan ukuran perusahaan. Nugrahandita (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Tingkat Integrasi Vertikal Pada Industri Mie Instan di Indonesia (tahun 1986-2004), dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan data Time Series, ditetapkan bahwa variabel rasio konsentrasi berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal karena jumlah perusahaan di hulu hampir sama dengan jumlah perusahaan mie instan. Ukuran rata-rata perusahaan dan pertumbuhan permintaan tidak berpengaruh terhadap integrasi vertikal karena ukuran perusahaan mie instan relatif sama. Nilai output berpengaruh positif sedangkan nilai input berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal mie instan di Indonesia. 2.7.2 Penelitian Terdahulu Mengenai Industri Otomotif Sutriyono (2007) dalam penelitiannya yang berjudul
Analisis Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Industri Mobil di Indonesia, dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) menyimpulkan bahwa industri mobil di Indonesia termasuk dalam pasar oligopoli ketat. Efisiensi internal, pertumbuhan dan produktivitas berpengaruh positif yang signifikan terhadap kinerja industri mobil di Indonesia. Sedangkan krisis ekonomi berpengaruh negatif yang signifikan terhadap industri mobil di Indonesia.
39
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disarankan agar perusahaan industri mobil hendaknya meningkatkan efisiensi internal dengan merekrut tenaga ahli dan teknologi tepat guna yang dapat meningkatkan jumlah produksi dengan meminimumkan biaya operasional. 2.7.3
Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian yang berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Tingkat Integrasi Vertikal Industri Mobil di Indonesia mempunyai beberapa perbedaan dibandingkan dengan penelitian lainnya yaitu pertama, ruang lingkup penelitian ini berupa sektor industri mobil yang memiliki keterkaitan proses produksi dengan industri komponen lokal. Kedua, variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ukuran rata-rata perusahaan, pertumbuhan permintaan, rasio konsentrasi, biaya bahan baku utama dan efisiensi internal. Ketiga, penelitian ini menggunakan metode analisis Error Correction Model dimana hasil estimasinya membedakan antara hasil estimasi jangka panjang dengan jangka pendek. Keempat, data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder time series dari tahun 1975-2005. 2.8
Kerangka Pemikiran Konseptual Liberalisasi kebijakan otomotif tahun 1999 yang membebaskan arus impor
mobil utuh dan rencana pengintegrasian ekonomi ASEAN pada tahun 2020 yang membebaskan arus perdagangan barang dan jasa melalui penurunan dan penghapusan beban tarif di antara negara ASEAN telah membuat peta persaingan industri mobil menjadi lebih kompetitif. Indonesia harus meningkatkan kinerja dan daya saing industri mobil melalui pemberdayaan industri komponen sebagai
40
pemasok bahan baku utamanya. Sebagai salah satu industri pemasok bahan baku utama mobil, industri komponen dituntut untuk selalu mampu mensupply input bagi industri mobil. Persentase penggunaan komponen lokal selama ini masih dibawah angka yang ditetapkan pemerintah sebesar minimal 70 persen. Hal ini mengindikasikan lemahnya hubungan antara industri mobil dengan industri komponen sehingga dalam jangka panjang akan menurunkan produktivitas dan daya saingnya. Penelitian ini menganalisis tingkat integrasi vertikal industri mobil nasional selama tahun 1975-2005 dengan menggunakan variabel-variabel antara lain ukuran rata-rata perusahaan, pertumbuhan permintaan, rasio konsentrasi, biaya bahan baku utama dan tingkat efisiensi internal industri mobil di Indonesia. Kelima variabel bebas tersebut akan dianalisis dengan menggunakan Error Correction Model (ECM) untuk melihat pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap tingkat integrasi vertikal industri mobil dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini dikarenakan strategi integrasi vertikal merupakan strategi yang dilakukan oleh perusahaan dalam jangka pendek dan akan berdampak terhadap kinerja industri tersebut dalam jangka panjang. Berdasarkan hasil estimasi maka dapat diperoleh implikasi kebijakan yang mungkin digunakan pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan daya saing industri mobil di Indonesia.
41
Liberalisasi Kebijakan Otomotif Tahun 1999
Rencana Penyatuan Ekonomi ASEAN Tahun 2020 (Indonesia sebagai koordinator industri otomotif)
Peningkatan Kinerja Industri Mobil Indonesia
Industri Komponen Nasional
Integrasi Vertikal
Ukuran Perusahaan (AVSIZE)
Pertumbuhan Permintaan (GROWTH)
Rasio Konsentrasi (CR4)
Biaya Bahan Baku (RAW)
Implikasi Kebijakan Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual
Efisiensi Internal (XEFF)
42
2.9
Hipotesis Penelitian Rumusan jawaban sementara mengenai permasalahan dalam penelitian ini
berdasarkan teori dan konsep adalah sebagai berikut : 1. Ukuran rata-rata perusahaan diduga berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Semakin besar ukuran rata-rata perusahaan maka akan menurunkan tingkat integrasi vertikal dengan asumsi cateris paribus. 2. Pertumbuhan permintaan diduga berpengaruh positif terhadap integrasi vertikal baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Setiap kenaikan permintaan akan meningkatkan tingkat integrasi vertikal dengan asumsi cateris paribus. 3. Rasio konsentrasi diduga berpengaruh positif terhadap integrasi vertikal baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Setiap kenaikan rasio konsentrasi akan meningkatkan tingkat integrasi vertikal, cateris paribus. 4. Biaya bahan baku utama diduga berpengaruh positif terhadap integrasi vertikal dalam jangka panjang dan berpengaruh negatif dalam jangka pendek. Peningkatan biaya bahan baku utama dalam jangka panjang akan meningkatkan tingkat integrasi vertikal sedangkan dalam jangka pendek akan menurunkan tingkat integrasi vertikal dengan asumsi cateris paribus. 5. Efisiensi internal berpengaruh positif terhadap integrasi vertikal. Efisiensi internal dapat dicapai oleh suatu perusahaan salah satunya dengan menggunakan input secara terpadu. Penggunaan input secara terpadu dapat dilakukan perusahaan melalui strategi integrasi vertikal.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder deret waktu (time series) dari tahun 1975-2005 yang meliputi data : jumlah output, nilai input, nilai bahan baku utama, nilai tambah, jumlah perusahaan, rasio konsentrasi empat perusahaan mobil terbesar di Indonesia. Data tersebut diperoleh dari berbagai sumber seperti Badan pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian, Center of Statistic International Studies (CSIS), Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), penelitian terdahulu, buku dan literatur lain yang terkait dengan integrasi vertikal. Data yang diperoleh merupakan data nominal yang kemudian diubah ke dalam bentuk riil dengan membagi data nominal dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) lalu dikalikan dengan 100 (persamaan 3.1). Penggunaan IHPB sebagai deflator dimaksudkan agar semua agregat dinilai atas dasar harga konstan suatu tahun dasar. IHPB yang digunakan dalam penelitian ini adalah IHPB dengan tahun dasar 1993 (1993=100). Harga dianggap tetap sehingga adanya perkembangan terhadap agregat dari tahun ke tahun semata-mata karena perkembangan riil dan bukan fluktuasi kenaikan harga. Nilai riil = Nilai nominal x 100 IHPB
(3.1)
3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan melihat pengaruh dari variabel-variabel yang saling berhubungan dan secara deskriptif dengan
44
memberikan gambaran dari hasil penelitian. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan Metode Error Correction Model (ECM) sedangkan pengolahan data menggunakan software e-views 4.1. Error Correction Model (ECM) yaitu pendekatan yang diyakini dapat menguji apakah spesifikasi model empirik yang digunakan valid atau tidak berdasarkan nilai error correction term (ECT). Metode ECM dapat meliputi lebih banyak variabel dalam menganalisis fenomena ekonomi jangka pendek dan jangka panjang serta mengkaji konsisten tidaknya model empirik dengan teori ekonomi dan dalam usaha mencari pemecahan terhadap persoalan variabel time series yang tidak stasioner dan regresi lancung dalam analisis ekonometrik. Model yang digunakan untuk menganalisis tingkat integrasi vertikal mengacu pada beberapa penelitian terdahulu. Hasil estimasi ECM yang diperoleh harus diuji terlebih dahulu agar tidak melanggar asumsi-asumsi dasar yaitu autokorelasi, heteroskedastisitas, multikolinearitas dan normalitas. 3.3 Analisis Runtun Waktu (Time Series) Tahap awal dalam penelitian ini adalah melakukan Unit Root Test untuk mengetahui apakah data yang digunakan stasioner atau tidak. Unit Root Test dapat diketahui dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test atau nilai probabilitas (Prob*). Kemudian, akan dilakukan uji derajat integrasi serta uji kointegrasi untuk mengetahui adanya hubungan jangka panjang diantara variabelvariabel yang digunakan. Langkah selanjutnya adalah melakukan koreksi kesalahan dengan menggunakan ECM. Langkah-langkah pembuatan ECM yaitu sebagai berikut :
45
3.3.1
Uji Stasioneritas (Unit Root Test) Uji kestasioneritasan data dilakukan untuk mengetahui sifat dan
kecenderungan data yang akan dianalisis, apakah data yang digunakan dalam penelitian memiliki pola yang stabil atau stasioner. Apabila ditemukan data yang tidak memiliki sifat tersebut maka hasil analisis model regresi tidak menunjukkan sifat-sifat yang valid. Menurut Enders (2004), untuk mengetahui ada tidaknya unit root dapat menggunakan ADF test (Augmented Dickey-Fuller) pada program eviews 4.1. Data dikatakan stasioner apabila nilai ADF test statistic lebih kecil dari nilai tabel Mackinnon. Hipotesis yang digunakan adalah : H0 = data tidak stasioner (mengandung unit root) H1 = data stasioner (tidak mengandung unit root) Penolakan hipotesis nol menunjukkan bahwa data yang dianalisis adalah stasioner. Variabel dikatakan tidak stasioner jika terdapat hubungan antara variabel tersebut dengan waktu atau trend sehingga sering menimbulkan masalah regresi lancung (spurious regression), dimana hasil estimasi yang diperoleh dari model secara statistik signifikan tetapi pada kenyataannya secara ekonomi tidak memiliki arti apapun atau tidak sesuai dengan teori ekonomi yang ada. Setelah data diketahui tidak stasioner, langkah selanjutnya adalah menggunakan uji derajat integrasi. Perbedaan antara data time series yang stasioner dengan yang tidak adalah pada data time series yang stasioner, dampak shock atau guncangan yang terjadi pada data hanya bersifat sementara. Sejalan dengan waktu, dampak dari shock
46
tersebut akan berkurang dan data time series akan kembali ke long run mean yang berfluktuasi di sekitar mean tersebut. Selain dengan memperhatikan nilai ADF statistik, pengujian kestasioneran juga dapat dilakukan dengan memperhatikan nilai probabilitas (prob*). Jika nilai probabilitas (prob*) lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka data tersebut tidak staaioner. Sementara itu, jika nilai probabilitas (prob*) lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan maka data tersebut stasioner. 3.3.2
Uji Derajat Integrasi Uji derajat integrasi merupakan kelanjutan dari uji unit root sebagai
konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada derajat nol atau I(0). Uji derajat integrasi dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang digunakan tidak stasioner dan berapa kali variabel harus di-difference untuk menghasilkan variabel yang stasioner. Pada uji ini, variabel yang diteliti didifference pada derajat tertentu sehingga semua variabel stasioner pada derajat yang sama. Suatu variabel dikatakan stasioner pada first difference jika setelah didifference satu kali nilai ADF test lebih kecil dari nilai kritis mackinnon. 3.3.3
Uji Kointegrasi Menurut Enders (2004), kointegrasi merupakan suatu hubungan jangka
panjang antara variabel-variabel yang tidak stasioner dan residual dari kombinasi linear tersebut harus stasioner. Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya keseimbangan atau kestabilan jangka panjang dari variabel-variabel yang diamati. Penelitian ini menggunakan uji kointegrasi EngleGranger. Hubungan kointegrasi hanya bisa dibentuk oleh variabel-variabel yang
47
terintegrasi pada derajat yang sama. Uji kointegrasi dapat dianggap sebagai tahap awal untuk menghindari terjadinya regresi palsu. Penggunaan uji Engle-Granger dilakukan pada persamaan tunggal dengan menggunakan metode ADF yang terdiri dari dua tahap. Pertama, meregresikan persamaan variabel dependent dengan variabel independent yang kemudian akan didapatkan residual dari persamaan tersebut. Kedua, dengan menggunakan metode ADF yang menguji unit root terhadap residual dengan hipotesis uji unit root ADF sebelumnya. Jika hipotesis nol ditolak atau signifikan maka variabel residual adalah stasioner. Artinya meskipun variabel-variabel yang digunakan tidak stasioner pada level, tetapi dalam jangka panjang variabel-variabel cenderung menuju keseimbangan. Oleh karena itu, kombinasi linear dari variabelvariabel ini disebut regresi kointegrasi dan parameter-parameter yang dihasilkan dari kombinasi tersebut dapat disebut sebagai cointegrated parameter. Persamaan linear yang digunakan dalam penelitian ini adalah : VIt = b0 + b1 AVSIZEt + b2 GROWTHt + b3 CR4t + b4 RAWt + b5 XEFFt + et Dimana : VIt
= Tingkat integrasi vertikal pada periode t (satuan)
AVSIZEt
= Ukuran rata-rata perusahaan pada periode t (Ribu Rupiah)
GROWTHt
= Pertumbuhan Permintaan pada periode t (Ribu Rupiah)
CR4t
= Rasio konsentrasi pada periode t (persen)
RAWt
= Biaya bahan baku utama pada periode t (Ribu Rupiah)
XEFFt
= Tingkat efisiensi internal pada periode t (satuan)
(3.2)
48
et
= Unsur gangguan (error disturbance) pada periode t Beberapa variabel yang digunakan dirubah ke dalam bentuk logaritma (ln)
dikarenakan satuan dari keenam variabel berbeda, maka persamaan menjadi : LNVIt = b0 + b1 LNAVSIZEt + b2 LNGROWTHt + b3 CR4t + b4 LNRAWt + b5 LNXEFFt + et
(3.3)
Dimana : LNVIt
= Tingkat integrasi vertikal pada periode t (persen)
LNAVSIZEt
= Ukuran rata-rata perusahaan pada periode t (persen)
LNGROWTHt
= Pertumbuhan permintaan pada periode t (persen)
CR4t
= Rasio konsentrasi empat perusahaan periode t (persen)
LNRAWt
= Biaya bahan baku utama pada periode t (persen)
LNXEFFt
= Tingkat efisiensi internal pada periode t (persen)
et
= Unsur gangguan (error disturbance) pada periode t
3.4 Model Koreksi Kesalahan atau Error Correction Model (ECM) Untuk mengetahui apakah spesifikasi model dengan ECM merupakan model yang valid maka dilakukan uji terhadap koefisien error correction term (ECT). Jika hasil pengujian terhadap koefisien ECT signifikan maka spesifikasi model yang diamati valid. Model ECM bertujuan untuk mengatasi permasalahan data time series yang tidak stasioner dan regresi palsu (Mardianti, 2005). Hal ini dikarenakan seluruh komponen dan informasi pada tingkat variabel telah dimasukan ke dalam model, kemudian memasukan semua bentuk kesalahan untuk dikoreksi yaitu dengan mendaur ulang error yang terbentuk pada periode
49
sebelumnya. Munculnya ECM untuk mengatasi perbedaan hasil estimasi antara jangka panjang dan jangka pendek. Persamaan jangka pendek digunakan untuk melihat pengaruh dari variabel-variabel yang digunakan terhadap tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia adalah sebagai berikut : DLNVIt = b1 DLNAVSIZEt + b2 DLNGROWTHt + b3 DCR4t + b4 DLNRAWt + b5 DLNXEFFt + γUt-1 + et
(3.4)
-1 < γ > 0 Dimana : DLNVIt
= Tingkat integrasi vertikal pada periode t
DLNAVSIZEt
= Ukuran rata-rata perusahaan pada periode t
DLNGROWTHt
= Pertumbuhan Permintaan pada periode t
DCR4t
= Rasio konsentrasi empat perusahaan periode t
DLNRAWt
= Biaya bahan baku utama pada periode t
DLNXEFFt
= Tingkat efisiensi internal pada periode t
Ut-1
= Error Correction Term (ECT) Hubungan yang terjadi antar variabel yang diduga dapat diwujudkan
dalam sebuah model. Suatu model dikatakan baik jika memenuhi kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonometrika. Kriteria ekonomi ditentukan oleh dasar-dasar ekonometrika dan berhubungan dengan tanda dan besar parameter dari hubungan ekonomi, model yang diperoleh akan dievaluasi berdasarkan teori-teori ekonomi yang ada. Kriteria statistik menyangkut uji statistik untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dari variabel-
50
variabel
independent
terhadap
variabel
dependent.
Sedangkan
kriteria
ekonometrika didasari oleh asumsi-asumsi dari Ordinary Least Square (OLS) seperti
pengujian
autokorelasi,
heteroskedastisitas,
multikolinearitas
dan
normalitas. Jika uji-uji ekonometrika dipenuhi, maka koefisien atau parameter yang diperoleh adalah penduga linear terbaik yang tidak bias (BLUE). 3.5
Uji Pelanggaran Asumsi Klasik (Diagnostic Test)
3.5.1 Uji Autokorelasi Autokorelasi terjadi pada serangkaian data time series dimana unsur gangguan pada satu pengamatan secara sistematik tergantung kepada unsur gangguan pada pengamatan yang lain. Gejala autokorelasi akan mempengaruhi efisiensi model dan berdampak pada ketidakkonsistenan dan ketidakbiasan model. Rumusan dari adanya autokorelasi dalam permodelan adalah sebagai berikut : E(Ui,Uj) ≠ 0 Dimana :
i≠j
(3.5)
Ui = unsur gangguan pengamatan i Uj = unsur gangguan pengamatan j
Uji yang digunakan untuk medeteksi apakah data yang diamati terjadi autokorelasi atau tidak adalah uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis yang digunakan dalam uji autokorelasi adalah sebagai berikut : Ho : ρ = 0 Hi : ρ ≠ 0 Apabila probabilitas Obs*R-Squared lebih besar dari taraf nyata maka tidak ditemukan gejala autokorelasi pada model. Sedangkan jika probabilitas
51
Obs*R-Squared lebih kecil dari taraf nyata maka ditemukan gejala autokorelasi pada model. 3.5.2
Uji Heteroskedastisitas Menurut Arief (1993), masalah heteroskedastisitas terjadi ketika varian
residual tidak bersifat konstan. Rumusan homoskedastik adalah sebagai berikut : E(Ui2) = σ2 Dimana :
i = 1,2,..,N
(3.6)
Ui = unsur gangguan σ2 = nilai varian
Heteroskedastisitas menyebabkan tidak efisiennya proses estimasi, sementara hasil estimasinya sendiri masih konsisten dan tak bias serta mengakibatkan uji t-statistik dan uji F-statistik menjadi tidak berarti. Pengujian yang dapat dilakukan untuk mendeteksi heteroskedastisitas yaitu dengan uji White-Heteroskedasticity. Apabila nilai Obs*R-Squared lebih kecil dari taraf nyata maka tolak H0 berarti terdapat gejala heteroskedastisitas dalam model, sedangkan jika probabilitas Obs*R-Squared lebih besar dari taraf nyata maka tidak terdapat gejala heteroskedastisitas. Hipotesis :
H0 : ρ = 0 H1 : ρ ≠ 0
3.5.3
Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah error term mendekati
distribusi normal. Jika diperoleh nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka model ECM tidak mempunyai masalah
52
normalitas atau error term terdistribusi normal (Laboratorium Komputasi, 2004). Berikut ini adalah hipotesis yang digunakan untuk mendeteksi masalah normalitas pada model. Jika terima H0 maka model tidak mengalami masalah normalitas. Hipotesis :
H0 : error term terdistribusi normal H1 : error term tidak terdistribusi normal
3.5.4
Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas merupakan pengujian yang dilakukan untuk melihat
apakah terdapat hubungan linear diantara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi dengan melihat koefisien korelasi antara variabel eksogen dalam suatu matriks korelasi. Jika terdapat koefisien korelasi lebih besar dari |0.8| (rule of thumbs 0,8) maka terdapat gejala multikolinearitas (Irfany dan Kholis, 2007). Jika terdapat multikolinearitas maka tidak mungkin dipertahankan asumsi bahwa semua variabel lain konstan ketika salah satu variabel bebas berubah. 3.6
Uji Statistik
3.6.1
Uji Determinasi (R2) Uji determinasi dilakukan untuk mengukur tingkat keberhasilan model
regresi dalam memprediksi nilai variabel terikat. Semakin dekat nilai R2 dengan satu maka semakin dekat hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Uji determinasi dapat dihitung menggunakan rumus dibawah ini : R2 =
JKR JKT
Dimana :
(3.7) R2
= Koefisien determinasi
JKR
= Jumlah Kuadrat Regresi
53
JKT 3.6.2
= Jumlah Kuadrat Tengah
Uji F-Statistik Uji-F digunakan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan
sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Hipotesis :
H0 : β1 = β2 = β3 = … = βi = 0 H1 : minimal ada satu βi ≠ 0
Kriteria uji :
Probability f-statistic > taraf nyata (α) maka terima H0 Probability f-statistic < taraf nyata (α) maka tolak H0
Jika tolak H0, minimal terdapat satu variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat sehingga model layak digunakan. 3.6.3
Uji t-statistik Uji-t digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi variabel-variabel
bebas yang digunakan dalam model. Hipotesis :
H0 : β1 = β2 = β3 = … = βi = 0 H1 : βi ≠ 0
Kriteria uji :
Probability t-statistic > taraf nyata (α) maka terima H0 Probability t-statistic < taraf nyata (α) maka tolak H0
Jika H0 ditolak maka variabel bebas yang digunakan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya. 3.7
Definisi Operasional Variabel Adapun definisi operasional dari variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
54
1. Integrasi vertikal diukur berdasarkan rasio nilai tambah dengan nilai output industri dikali 100. Nilai integrasi vertikal berkisar antara 0 sampai 1. Apabila tingkat integrasi vertikal semakin mendekati satu maka integrasi vertikal dapat disebut full integration. 2. Ukuran rata-rata perusahaan merupakan hasil pembagian nilai output dengan jumlah perusahaan dalam suatu industri. Variabel ini menggunakan satuan dalam ribu Rupiah sehingga dalam proses pengolahan harus dilogaritmakan terlebih dahulu agar didapatkan nilai dalam satuan persen. 3. Pertumbuhan permintaan merupakan salah satu variabel yang diduga mempengaruhi integrasi vertikal. Pertumbuhan permintaan diperoleh dengan membagi nilai output tahun t dengan nilai output tahun t-1. 4
Rasio konsentrasi dalam penelitian ini menggunakan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) yang dihitung dengan membagi jumlah penjualan dari empat perusahaan terbesar terhadap jumlah total penjualan industrinya.
5
Biaya bahan baku utama merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh bahan baku utama mobil. Satuan dari biaya bahan baku utama adalah ribu Rupiah sehingga dalam proses pengolahan harus dilogaritmakan.
6
Efisiensi internal diperoleh dengan cara membagi nilai tambah dengan nilai input yang digunakan dalam industri mobil kemudian dikalikan 100. Efisiensi internal harus dilogaritmakan terlebih dahulu agar diperoleh dalam satuan persen seperti variabel lainnya.
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MOBIL DI INDONESIA
Industri mobil merupakan bagian dari sektor industri manufaktur yang memiliki kontribusi terhadap PDB yang semakin meningkat. Berdasarkan data yang dikeluarkan Direktorat Industri Alat Transportasi (2007), industri mobil memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan PDB pada kuartal kedua tahun 2007 sebesar 2,41 persen yang mengalami peningkatan dibanding pertumbuhan PDB pada kuartal pertama tahun 2007. Produksi dan distribusi mobil di Indonesia merupakan suatu proses yang panjang dan kompleks. Gambaran umum industri mobil di Indonesia dapat dijelaskan melalui pendekatan sejarah dan kebijakan seputar industri mobil serta profil beberapa perusahaan mobil di Indonesia. 4.1 Sejarah Industri Mobil di Indonesia Industri mobil pertama kali berkembang di Indonesia pada awal tahun 1970. Ketika itu jaringan penjualan dan pendistribusian mulai berkembang dan pemerintah mulai memperbaharui kebijakan mengenai impor mobil utuh menjadi impor mobil rakitan. Beberapa asosiasi mulai didirikan. Tanggal 1 Agustus 1969 asosiasi otomotif pertama didirikan dengan nama GAKINDO, kemudian dilanjutkan dengan GAM diakhir tahun 1969. Awal tahun 1983, pemerintah menetapkan program intensif untuk komponen lokal melalui penetapan bea masuk dan larangan impor mobil utuh. Kebijakan tersebut dibuat agar industri mobil dalam negeri yang baru berkembang tidak tergantung pada produk serupa yang diimpor dari negara lain.
56
Perkembangan industri mobil di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dari keberhasilan pemerintah dalam merancang mobil nasional dengan komponen lokal sebesar 60 persen pada tahun 1996. Saat ini Indonesia berperan hampir diseluruh sektor industri otomotif dengan kapasitas produksi mencapai 800.000 unit per tahun dengan melibatkan lebih dari 50 produsen komponen. 4.2 Kebijakan Seputar Industri Mobil Di Indonesia Kebijakan mengenai industri mobil di Indonesia dimulai pada tahun 1974 ketika para agen tunggal pemegang merek diberikan dorongan untuk melakukan perakitan di dalam negeri. Secara garis besar kebijakan seputar industri mobil di Indonesia dapat dibagi dalam empat periode sebagai berikut : 1. Periode 1969-1979 Pada tahun 1969, menteri perindustrian dan perdagangan mengeluarkan surat keputusan bersama untuk mengatur impor mobil baik dalam kondisi utuh atau Completely Built Up (CBU) maupun rakitan atau Completely Knocked Down (CKD). Kebijakan tersebut juga mengatur pendirian pabrik-pabrik perakitan dan agen tunggal di dalam negeri. Pabrik perakitan dan pendukung mulai berkembang. Pada tahun 1971 PT. Kharma Yuda Motor yang memproduksi mobil Mitsubishi merupakan perusahaan yang pertama mendapatkan izin untuk beroperasi sebagai agen tunggal. Pada tahun 1974 pemerintah melarang impor mobil utuh (CBU) untuk membangun industri mobil dalam negeri. Hanya agen tunggal yang berfungsi sebagai pabrik perakitan yang diizinkan untuk mengimpor kendaraan bentuk CBU.
57
Pada tahun 1976, pemerintah mengeluarkan serangkaian peraturan yang terkenal dengan sebutan Program Penanggalan. Bagian pertama dari kebijakan tersebut menetapkan bea masuk yang tinggi untuk kendaraan yang masuk tidak menggunakan stamping parts yang diproduksi dalam negeri. Pemerintah memprioritaskan pembangunan minibus dengan menetapkan pajak yang lebih tinggi untuk mobil jenis sedan dan pajak yang lebih rendah untuk mobil jenis minibus seperti kijang dan Colt T120. 2. Periode 1980-1989 Pada tahun 1983 pemerintah mengeluarkan program penanggalan kedua untuk mendorong produsen komponen lokal. Kebijakan tersebut dimaksudkan agar industri mobil dalam negeri tidak tergantung pada komponen impor. 3. Periode 1990-1998 Pada tahun 1993 pemerintah mengganti program penanggalan dengan program insentif yang dikenal dengan paket kebijakan otomotif 1993. Produsen mobil diperbolehkan memilih sendiri komponen yang akan menggunakan produk lokal dan akan mendapatkan potongan bea masuk atau bahkan dibebaskan dari bea masuk jika berhasil mencapai tingkat kandungan lokal tertentu. Pada tahun 1996 pemerintah memutuskan untuk mempercepat program intensif dan memperkenalkan Program Mobil Nasional. Program ini menetapkan bahwa untuk mendapatkan pembebasan bea masuk, perusahaan harus mencapai tingkat kandungan lokal sebesar 20 persen, 40 persen dan 60 persen pada tahun pertama, kedua dan ketiga.
58
Pembebasan pajak barang mewah selain bea masuk untuk kendaraan yang memiliki kandungan lokal 60 persen mendorong produsen untuk menanamkan modal dalam pabrik-pabrik baru seperti pabrik mesin dan casting yang menghasilkan produk setengah jadi. Tercatat 20 merek asing maupun nasional bersaing dalam pasar lokal. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memberikan tekanan yang sangat keras pada perindustrian mobil di Indonesia. Setelah mencapai angka penjualan tertinggi pada tahun 1997 sebesar 392.000 unit, penjualan mobil di Indonesia jatuh menjadi 58.000 pada tahun 1998. 4. Periode 1999-sekarang Liberalisasi pasar masuk ke Indonesia setelah pemerintah mengeluarkan Kebijakan Paket otomotif 1999 yang bertujuan untuk mendorong ekspor produk otomotif, menggerakkan pasar domestik pasca krisis, dan memperkuat struktur sektor otomotif dengan mengembangkan industri pembuatan komponen. Program insentif ditinggalkan, bea masuk rata-rata diturunkan hingga setengahnya. Kendaraan CBU masuk ke pasar dalam negeri dan importir mobil CBU mulai berkembang. Kompetisi semakin ketat karena harus bersaing dengan produk impor sehingga produsen lokal harus meningkatkan kualitasnya. Saat ini industri kendaraan bermotor Indonesia berada pada kondisi persaingan terbuka sejak diterbitkannya Kebijakan Otomotif Nasional tahun 1999 yang memberikan kesempatan pada importir umum untuk mengimpor produk dalam keadaan jadi serta mengurangi tarif bea masuk menjadi maksimum 80 persen dari sebelumnya yang mencapai 200 persen.
59
Perubahan
kebijakan
tersebut
mendorong
industri
mobil
untuk
meningkatkan kemampuannya dalam persaingan di pasar dalam negeri, regional bahkan dunia. Setelah melalui beberapa pasang surut pertumbuhan, industri mobil dalam negeri kini mampu mensupply mobil ke pasar dunia. Hal tersebut memacu industri komponen untuk meningkatkan kemampuannya dalam memenuhi permintaan industri perakit yang semakin meningkat. 4.3 Profil Beberapa Perusahaan Otomotif Besar di Indonesia Saat ini terdapat lebih dari sepuluh perusahaan mobil yang berproduksi di Indonesia. Seluruh perusahaan tersebut merupakan perusahaan asing yang izin produksi dan pemasarannya dimiliki oleh agen tunggal pemegang merek di Indonesia. Tabel 4.1 menginformasikan perusahaan mobil yang berproduksi di Indonesia beserta dengan persentase pangsa pasar yang dimilikinya. Tabel 4.1 Produksi Mobil Berdasarkan Perusahaan Tahun 2000-2005 Perusahaan Toyota Mitsubishi Suzuki Daihatsu Isuzu Honda Nissan Hino Hyundai Mercedes Benz BMW GM Peugeot Kia Mazda Lainnya Total
2000 89.932 65.927 46.568 32.174 39.635 8.910 1.950 2.627 2.128
2001 80.486 63.195 52.791 20.731 31.726 11.969 3.743 3.030 2.667
1.383 2.351 5.214 101 0 354 260 299.514
2.378 2.674 2.011 458 1.097 197 34 279.187
Tahun 2002 2003 84.307 93.766 75.110 75.441 62.965 71.295 19.509 22.637 21.987 18.643 13.997 14.662 4.046 7.789 2.779 4.265 5.762 7.813 2.252 1.966 1.507 189 0 78 37 296.491
Sumber : Gaikindo, 2000-2005.
2.546 2.003 462 513 0 142 67 322.044
Total
Share
2004 130.440 86.823 81.784 46.491 22.296 27.520 13.813 6.301 2.021
2005 169.178 86.277 103.830 48.729 24.558 39.597 12.685 7.229 4.646
648.109 452.773 419.233 190.271 158.845 116.655 44.026 26.231 25.037
30,57 21,36 19,77 8,97 7,49 5,50 2,08 1,24 1,18
2.248 1.310 473 553 0 35 0 422.108
2.229 1.084 259 288 0 121 0 500.710
13.036 11.388 9.926 2.102 1.097 927 398 2.120.054
0,61 0,54 0,47 0,11 0,05 0,04 0,02 100
60
Berdasarkan Tabel 4.1, berikut profil dari lima belas perusahaan mobil di Indonesia berdasarkan peringkat pangsa pasar terbesarnya. 1. PT. Toyota Astra Motor PT. Toyota Astra Motor (TAM) merupakan Agen Tunggal Pemegang Merek mobil Toyota di Indonesia. PT. TAM merupakan perusahaan joint venture antara PT. Astra International Tbk dengan komposisi saham sebesar 51 persen dan Toyota Motor Corporation Jepang dengan komposisi saham 49 persen. Sejak 15 Juli 2003, PT. TAM direstrukturisasi menjadi dua perusahaan, yaitu : •
PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia yang merupakan perusahaan perakit produk Toyota serta eksportir kendaraan dan suku cadang Toyota. Perusahaan ini merupakan joint venture antara Astra International dan PT. Toyota Manufacturing Company dengan komposisi kepemilikan saham sebesar 5 dan dan 95 persen.
•
PT. Toyota Astra Motor yang berperan sebagai agen penjualan, importir dan distributor produk Toyota di Indonesia. Komposisi kepemilikan saham di perusahaan ini adalah 51 persen untuk Astra International dan 49 persen untuk PT. Toyota Manufacturing Company.
2. PT. Krama Yudha Tiga Berlian Motor PT. Krama Yudha Tiga Berlian Motor pertama kali didirikan pada tahun 1973 setelah sebelumnya dikenal sebagai PT. New Marwa 1970 Motors pada tahun 1970. PT. Kharma Yudha Motor merupakan agen tunggal pemegang merek pertama yang mendapat izin memproduksi dan memasarkan mobil Mitsubishi di
61
Indonesia. Sejak awal, PT. Krama Yudha Motor telah memasarkan kendaraan Mitsubishi, mulai dari kendaraan kecil kategori I hingga truk-truk besar yang tergolong dalam kategori IV, serta kendaraan penumpang sedan. 3. PT. Indomobil Suzuki International PT. Indomobil Suzuki International adalah penggabungan antara perusahaan Suzuki Motor Corporation Japan sebagai principal dengan PT. Indomobil Suzuki International sebagai agen tunggal serta PT. Indomobil Niaga International sebagai distributor tunggal. Suzuki memulai produksi mobil pada tahun 1976 berupa kendaraan Pick Up ST 10 dan mobil penumpang Suzuki Fronte. Produk-produk yang dikeluarkan PT. Suzuki antara lain Suzuki Vitara, Escudo, Esteem, Baleno, Karimun dan sebagainya.
4. PT. Astra Daihatsu Motor PT. Astra Daihatsu Motor (ADM) adalah agen tunggal pemegang merek mobil Daihatsu di Indonesia yang merupakan perusahaan joint venture antara Daihatsu Motor Company dengan PT. Astra International. Daihatsu Motor didirikan pada tanggal 1 Januari 1992 melalui merger antara Daihatsu Indonesia (berdiri sejak tahun 1978), Daihatsu Engine Manufacturing (berdiri sejak tahun 1983) dan National Astra Motor (berdiri sejak tahun 1987). Kendaraan Daihatsu yang dipasarkan di Indonesia antara lain Taruna, Xenia, Sirion dan sebagainya. 5. PT. Isuzu Motor Indonesia Isuzu motor pertama kali didirikan pada tahun 1937 di Jepang. Pada tahun 1971, General Motors Corporation dan Isuzu mulai bertukar teknologi. Aliansinya
62
berkembang menjadi kerja sama dalam semua tingkat produksi dan pada tahun 1997 ditetapkan Isuzu memimpin pengembangan mesin di General Motors. Kini, Isuzu bertukar produk dengan Honda Motor Co dan Nissan Diesel Motor Co. 6. PT. Honda Prospect Motor PT. Honda Prospect Motor merupakan agen tunggal dari Honda Automobiles and Component. Total modal yang dimiliki Honda sebesar US$ 70.000.000 dengan proporsi pembagian saham sebesar 51 persen untuk Honda Motor dan 49 persen dipengang oleh PT. Prospect Motor. Produk-produk yang dipasarkan Honda antara lain Accord, Civic, City, CRV, Jazz dan sebagainya. 7. PT. Nissan Motor Indonesia Pada tanggal 14 April 1981, keagenan tunggal Datsun dipegang oleh PT. Wahana Wirawan. Tiga tahun kemudian dibentuk perusahaan baru bernama PT. Nayaka Wirawan sebagai distributor tunggal dari kendaraan merek Nissan. Namun pada tahun 1989 PT. Nayaka Wirawan dibubarkan dan selanjutnya didirikan PT. Indocitra Buana. Pada pertengahan tahun 2001, Nissan bergabung dengan Renault sehingga di Indonesia terjalin kerjasama antara Indomobil Group yang diwakili oleh PT Auto Euro Indonesia dengan Renault Perancis. Saat ini, struktur perusahaan Nissan adalah sebagai berikut : •
PT. Nissan Motor Indonesia sebagai Agen Tunggal Nissan
•
PT. Nissan Motor Distributor Indonesia sebagai distributor utama Nissan
•
PT. Wahana Wirawan sebagai agen penyalur mobil merek Nissan
•
PT. Indomobil Trada Nasional sebagai retailer kendaraan Nissan
•
PT. Auto Euro Indonesia sebagai Agen Tunggal Renault
63
8. Hino Motor Manufacturing Indonesia PT. Hino Motor Manufacturing Indonesia merupakan salah satu perusahaan Hino yang berkonsentrasi sebagai pusat produksi strategis untuk kawasan Asia Tenggara yang dapat memenuhi semua kebutuhan pasar dalam negeri maupun luar negeri. PT. Hino Indonesia Manufacturing berdiri pada bulan Desember 1982, sedangkan PT. Hino Motor Manufacturing Indonesia terbentuk pada bulan April 2003. Proporsi kepemilikan saham adalah 90 persen dimiliki Hino Motors dan 10 persen untuk PT. Indomobil Sukses International, Tbk. 9. PT. Hyundai Indonesia Motor Pangsa pasar Hyundai Motor Corp yang dipasarkan dengan merek dagang Hyundai ini pada awalnya baru mencapai 1,4 persen, kemudian naik menjadi 2,4 persen untuk seluruh jenis mobil yang terjual. Hyundai Grup berhasil membukukan laba bersih senilai Rp. 10,4 triliun dari kemampuan menjual mobil senilai 23 miliar dollar AS. Saat ini, produk-produk yang dihasilkan oleh PT. Hyundai Indonesia Motor antara lain Accent, New Atoz, Trajet dan sebagainya. 10. PT. Daimler Chrysler Indonesia Daimler Chrysler Indonesia terdiri dari tiga perusahaan yaitu PT. Daimler Chrysler Indonesia, PT. Daimler Chrysler Distribution Indonesia dan PT. Star Engines Indonesia. PT. Daimler Chrysler Indonesia merupakan perusahaan asing yang seluruh kepemilikan sahamnya dikuasai oleh Daimler Chrysler AG, Stuttgart dan Daimler Chrysler Project Consult, Germany yang merupakan agen tunggal dan produsen Daimler Chrysler di Indonesia. PT. Daimler Chrysler Distribution Indonesia merupakan perusahaan joint venture antara Daimler Chrysler AG
64
Stuttgart dengan PT. Daimler Chrysler Indonesia dan partner Indonesia Iwan Valiant Joesoef, Jakarta. Perusahaan ini sebagai distributor utama PT. Daimler Chrysler Indonesia. Produk-produk Daimler Chrysler antara lain Mercedes Benz C-Class, Mercedes Benz E-Class dan Mercedes Benz S-Class. 11. PT. BMW Indonesia PT. BMW Indonesia pertama kali didirikan pada tahun 2001 yang sepenuhnya dimiliki oleh Bayerische Motoren Werke (BMW) AG. BMW AG pertama kali memasuki pasar Indonesia melalui kerja sama dengan PT. Tjahja Sakti Motor yang merupakan cabang dari PT. Astra International untuk merakit dan mendistribusikan mobil BMW baik dalam bentuk komplit maupun rakitan. 12. PT. General Motors Indonesia PT. General Motors AutoWorld Indonesia (GMAWI) merupakan agen tunggal pemegang merek produk General Motors (GM) yang saat ini menangani Chevrolet. PT. GMAWI adalah bagian dari PT. General Motors Indonesia yang dimiliki oleh General Motors Corporation dan telah berdiri sejak tahun 1993. PT. General Motors adalah perusahaan otomotif terbesar di dunia yang telah memimpin penjualan mobil secara global selama 76 tahun dan berdiri sejak tahun 1908. Pada 2006, GM meraih angka penjualan mobil dan truknya di seluruh dunia sebanyak 9,1 juta mobil. 13. PT. Peugeot Indonesia Peugeot merupakan salah satu produsen mobil utama Perancis. Produksi dan pemasaran mobil Peugeot di Indonesia dilaksanakan oleh PT. Astra Finance
65
Motor sebagai agen tunggalnya. Pada tahun 2001, produksi mobil Peugeot yang terserap pasar dunia mencapai 1,9 juta unit. Khusus Peugeot 206, angka penjualannya mencapai hampir 50 persen dari seluruh angka penjualan Peugeot. 14.
PT. Kia Indonesia Motor PT. KIA Mobil Indonesia pertama kali didirikan pada tanggal 16
Desember 1999 sebagai distributor kendaraan merek KIA dalam bentuk utuh dan kemudian pada tanggal 17 April 2000 diresmikan sebagai distributor resmi oleh Kia Motors Corporation yang merupakan prinsipal KIA Motors Korea. Untuk meningkatkan kualitas produk dan distribusinya, PT. KIA Mobil Indonesia mendirikan PT. Kia Indonesia Motor pada tanggal 6 September 2001 yang berfungsi sebagai produsen mobil merek KIA. 15.
PT. Mazda Motor Indonesia Mazda Motor Corporation pertama kali didirikan pada Januari 1920 dan
memproduksi mobil pertamanya diawal tahun 1960. PT. Mazda Motor Indonesia yang merupakan perusahaan distributor kendaraan Mazda pertama kali didirikan pada tahun 2006. Pada bulan Agustus 2007, Mazda meraih penghargaan sebagai The Best SUV Premium Class untuk kendaraan Mazda CX-72.3L DISI Turbo, Best Sedan Medium Class untuk kendaraan Mazda 3 2.0 A/T dan The Best MPV Medium Class untuk kendaraan Mazda5 2.0L A/T.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pendugaan Model Integrasi Vertikal Model dalam persamaan ini diolah dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM) pada software eviews 4.1. Uji statistik yang dilakukan terhadap hasil estimasi dianalisis dengan menggunakan uji serempak (uji F), uji parsial (t-statistik) dan uji goodness of fit (R-squared). Sedangkan uji ekonometrika yang digunakan antara lain uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, uji multikolinearitas dan uji normalitas. Pembahasan ekonomi dalam penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hasil estimasi dengan keadaan yang sebenarnya baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Secara ekonometrika, ECM menganalisis keabsahan model baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek berdasarkan error correction term. Analisis dalam jangka panjang dan jangka pendek dilakukan karena strategi integrasi vertikal dilakukan oleh perusahaan dalam jangka pendek yang mempunyai dampak pada jangka panjang. Tabel 5.1 menyajikan tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia selama tahun 1975-2005 dengan nilai rata-rata sebesar 0,74. Menurut Rumelt (1986), jika rasio integrasi vertikal lebih besar dari 0,70 maka hubungan vertikal yang terjadi antara industri mobil dengan industri komponen sangat kuat (dominant vertical). Struktur industri yang terintegrasi baik ke hulu maupun ke hilir yang kuat akan memberikan kemudahan bagi upaya peningkatan daya saing melalui peningkatan produktivitasnya. Hampir seluruh perusahaan mobil melakukan integrasi vertikal dengan industri komponen untuk mengamankan
67
pasokan bahan baku yang dibutuhkannya. Ketika industri komponen lokal tidak mampu mensupply bahan baku mobil maka dalam jangka panjang industri mobil nasional akan mengalami penurunan produktivitas dan daya saing. Tabel 5.1 Perkembangan Tingkat Integrasi Vertikal Industri Mobil Tahun VI Tahun VI 1975 0,61 1983 0,76 1976 0,95 1984 0,82 1977 0,82 1985 0,73 1978 0,94 1986 0,33 1979 0,84 1987 0,32 1980 0,80 1988 0,83 1981 0,82 1989 0,80 1982 0,94 1990 0,74 Sumber : BPS, 1975-2005 (diolah)
Tahun 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
VI 0,50 0,50 0,60 0,75 0,74 0,84 0,71 0,74
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata
VI 0,81 0,64 0,87 0,94 0,84 0,83 0,86 0,74
5.2 Kestasioneran Data Langkah pertama yang dilakukan dalam metode analisis Error Correction Model (ECM) adalah menguji kestasioneran data (Unit Root Test) dengan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Unit Root Test dimaksudkan untuk mengetahui sifat dan kecenderungan data yang dianalisis, apakah data tersebut mempunyai pola yang stabil (stasioner) atau tidak. Model yang mengandung variabel yang tidak stasioner sering menimbulkan masalah regresi semu atau spurious regresion, yaitu hasil estimasi yang diperoleh dari model secara statistik signifikan tetapi pada kenyataannya secara ekonomi tidak memiliki arti apapun. Suatu variabel dikatakan tidak memiliki unit root dan stasioner pada taraf nyata tertentu apabila nilai t-statistik ADF lebih kecil dari nilai kritis Mackinnon. Berdasarkan hasil uji unit root pada keenam variabel yang digunakan dalam penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga variabel yang tidak stasioner
68
pada level yakni variabel integrasi vertikal, ukuran rata-rata perusahaan dan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar. Hal ini diperlihatkan pada Tabel 5.2. konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada derajat nol atau I(0), maka seluruh variabel akan diuji dengan pengujian derajat integrasi. Tabel 5.2 Hasil Uji Unit Root Pada Level Variabel LNVI LNAVSIZE LNGROWTH CR4 LNRAW LNXEFF
Nilai ADF -2,340443 -1,790177 -3,860132 -1.751410 -3,209634 -4,732583
Nilai Kritis Mackinnon 1% 5% 10% -3,670170 -2,963972 -2,621007 -3,670170 -2,963972 -2,621007 -3,670170 -2,963972 -2,621007 -3.670170 -2.963972 -2.621007 -3,670170 -2,963972 -2,621007 -3,670170 -2,963972 -2,621007
Keterangan Tidak stasioner Tidak stasioner Stasioner Tidak stasioner Stasioner Stasioner
Sumber : Lampiran 2 Pada uji ini, variabel yang diamati di-difference pada first difference, sehingga semua variabel stasioner pada derajat yang sama. Tabel 5.3 memperlihatkan hasil uji unit root pada first difference, semua variabel yang digunakan dalam penelitian, baik variabel dependent maupun variabel independent stasioner pada derajat integrasi satu atau I(I). Dengan hasil pengujian unit root tersebut, maka metode analisis ECM dapat dilanjutkan. Tabel 5.3 Hasil Uji Unit Root Pada First Difference Variabel LNVI LNAVSIZE LNGROWTH CR4 LNRAW LNXEFF
Nilai ADF -8,411233 -6,119790 -7,147762 -4.996794 -8,832090 -11,01693
Sumber : Lampiran 3
Nilai Kritis Mackinnon 1% 5% 10% -2,647120 -1,952910 -1,610011 -2,647120 -1,952910 -1,610011 -2,650145 -1,953381 -1,609798 -3.679322 -2.967767 -2.622989 -2,647120 -1,952910 -1,610011 -2,647120 -1,952910 -1,610011
Keterangan Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner
69
5.3 Uji Kointegrasi dan Hasil Estimasi ECM Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang antara variabelvariabel yang tidak stasioner. Uji kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka panjang yang stabil antara variabel-variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama. Tahap awal pada uji kointegrasi adalah dengan meregresikan persamaan OLS antara variabel bebas dan variabel terikat guna mendapatkan residual dari persamaan tersebut. Hasil estimasi persamaan jangka panjang dan jangka pendek pada Tabel 5.4 memperlihatkan bahwa variabel yang memberikan pengaruh signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal dalam jangka panjang adalah rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) dan tingkat efisiensi internal (LNXEFF) dengan tingkat kepercayaan sebesar 10 persen. Sedangkan variabel ukuran rata-rata perusahaan (LNAVSIZE), pertumbuhan permintaan (LNGROWTH) dan biaya bahan baku utama (LNRAW) memberikan dampak yang tidak signifikan. Persamaan jangka panjang ini memiliki R-Squared sebesar 0,92 dan adjusted R-Squared sebesar 0,90 artinya variasi perubahan integrasi vertikal dalam jangka panjang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas dalam model sebesar 90 persen setelah mengalami beberapa penyesuaian terhadap errornya. Sedangkan 10 persen sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model. Metode Error Correction Model (ECM) digunakan untuk melihat perilaku jangka pendek dari persamaan regresi dengan mengestimasi dinamika Error Correction Term (ECT). Jika ECT signifikan maka dapat disimpulkan bahwa hasil estimasi persamaan jangka pendek yang diamati bersifat valid. Hasil ECM yang
70
terbaik mengenai industri mobil di Indonesia memperlihatkan bahwa variabel pertumbuhan permintaan (DLNGROWTH), rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (DCR4), biaya bahan baku utama (DLNRAW) dan rasio efisiensi internal (DLNXEFF) berpengaruh signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal (DLNVI) pada taraf nyata sebesar 10 persen. Sedangkan ukuran rata-rata perusahaan (DLNAVSIZE) tidak berpengaruh signifikan sehingga harus dihapuskan dalam model saat dilakukan seleksi variabel. Hasil regresi persamaan jangka panjang dan jangka pendek yang terbaik adalah sebagai berikut : Tabel 5.4 Hasil Estimasi Persamaan Jangka Panjang dan Jangka Pendek Hasil Estimasi Persamaan Jangka Panjang Variabel Koefisien Probabilitas C -2,294233 LNAVSIZE -0,131312 LNGROWTH 0,042882 CR4 0,005574 LNRAW 0,165827 LNXEFF 0,630596 F-statistic 57,59651 R-squared 0,920123 Adjusted R-squared 0,904148 Durbin-Watson stat 2,002238 Hasil Estimasi Persamaan Jangka Pendek Variabel Koefisien Probabilitas DLNGROWTH -0,203451 DRC4(-1) -0,003818 DCR4(-4) 0,006954 DLNRAW 0,224065 DLNRAW(-1) -0,342439 DLNXEFF 0,657629 DLNXEFF(-2) 0,131544 ECT(-1) -0,624635 R-squared 0,895099 Adjusted R-squared 0,854304 Durbin-Watson stat 1,669219 Sumber : Lampiran 4 dan Lampiran 5
0,1642 0,1259 0,4539 0,0090 0,1706 0,0000 0,0000
0,0024 0,3825 0,0894 0,0034 0,0009 0,0000 0,0290 0,0052
71
Hasil estimasi jangka pendek terhadap model memiliki nilai R-Squared dan Adjusted R-squared masing-masing sebesar 0,89 dan 0,85. Model yang dibuat dapat menjelaskan 85 persen variasi perubahan integrasi vertikal atau dengan kata lain fluktuasi perubahan tingkat integrasi vertikal dalam jangka pendek dapat dijelaskan oleh model dengan tingkat kepercayaan mencapai 85 persen setelah model mengalami penyesuaian terhadap errornya. Sedangkan 15 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai Error Correction Term (ECT) menentukan seberapa cepat equilibrium tercapai kembali atau dengan kata lain mekanisme untuk kembali pada keseimbangan jangka panjang. Nilai ECT pada model sebesar -0,624635menunjukkan bahwa 62 persen dari ketidakseimbangan atau disequilibrium periode sebelumnya terkoreksi pada periode sekarang. 1. Ukuran rata-rata perusahaan Ukuran rata-rata perusahaan berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Hal ini dikarenakan industri mobil di Indonesia terdiri dari perusahaan-perusahaan berukuran besar yang sudah memiliki aktivitas produksi yang semakin terspesialisasi, sehingga ketika terjadi peningkatan skala produksi, perusahaan tidak akan dihadapkan pada tingginya biaya koordinasi. Hal inilah yang menyebabkan motivasi perusahaan melakukan integrasi vertikal berkurang sehingga menyebabkan ukuran rata-rata perusahaan berpengaruh tidak signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek.
72
2. Pertumbuhan permintaan Pertumbuhan permintaan berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia dalam jangka panjang. Hal ini dikarenakan industri mobil di Indonesia merupakan industri yang sudah berada pada tahap mapan sehingga pengorganisasian pada berbagai tingkat produksi sudah efisien. Pertumbuhan permintaan dalam jangka panjang tidak akan menyulitkan perusahaan dalam transfer informasi mengenai jumlah permintaan dan keberadaan industri pemasok bahan baku utama yang efisien yang dapat diperoleh melalui strategi integrasi vertikal. Sedangkan dalam jangka pendek, pertumbuhan permintaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia. Hubungan negatif antara pertumbuhan permintaan dengan tingkat integrasi vertikal ditunjukkan dengan nilai koefisien sebesar 0,20 persen. Ketika terjadi peningkatan pertumbuhan permintaan sebesar satu persen maka tingkat integrasi vertikal akan menurun sebesar 0,20 persen, cateris paribus. Perbedaan hasil ini terjadi karena dalam jangka pendek, angka permintaan mobil di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat lambat. Selama tahun 1975 sampai dengan tahun 2005, rata-rata pertumbuhan permintaan mobil di Indonesia hanya meningkat sebesar 3,10 persen (Badan Pusat Statistik, 1975-2005). Keadaan ini membuat perusahaan mobil tidak perlu melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan komponen karena pasokan bahan baku yang dibutuhkan untuk memenuhi pertumbuhan permintaan tersebut masih dapat disediakan oleh perusahaan. Meningkatnya angka pertumbuhan permintaan dalam jangka pendek yang sangat lambat akan menurunkan tingkat
73
integrasi vertikal antara industri mobil dengan industri komponennya. Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS (1975-2005), rata-rata pasokan bahan baku yang dibutuhkan industri mobil untuk memenuhi permintaan mobil di Indonesia hanya sebesar 4,15 persen. 3. Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal pada industri mobil di Indonesia baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Hasil ini semakin menguatkan penelitian Stigler (1951) mengenai tingkat integrasi vertikal pada industri tekstil dan pengolahan di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal. Semakin sedikit perusahaan dalam suatu industri menjadikan industri tersebut semakin terkonsentrasi sehingga tingkat integrasi vertikal yang terjadi semakin tinggi. Integrasi vertikal dilakukan untuk menghindari opportunisme dari pihak lain sebagai akibat dari terbatasnya pilihan. Berdasarkan hasil estimasi error correction model, rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar mencapai keseimbangan dalam jangka pendek setelah periode ke empat sehingga perubahan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar dapat memberikan respon terhadap tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia setelah periode ke empat. 4. Biaya bahan baku utama Biaya bahan baku utama berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia dalam jangka
74
panjang. Hal ini dikarenakan industri mobil di Indonesia merupakan industri yang sudah berada pada tahap mapan sehingga tingginya biaya bahan baku utama yang digunakan dalam jangka panjang tidak akan mempengaruhi industri melakukan integrasi vertikal dengan industri pemasoknya. Sedangkan dalam jangka pendek, biaya bahan baku utama berpengaruh negatif yang signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia. Hasil ini sesuai dengan penelitian Mulyaningsih dan Karseno (2002) mengenai tingkat integrasi vertikal dan efisiensi industri pada industri kertas tahun 1979-1997 yang menyatakan bahwa dalam jangka pendek biaya bahan baku utama berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal. Hal ini dikarenakan tingginya biaya bahan baku utama yang digunakan dalam jangka pendek tidak diikuti dengan peningkatan output industri seperti yang terjadi dalam jangka panjang sehingga nilai tambah yang dihasilkan dalam jangka pendek akan menurun demikian pula dengan tingkat integrasi vertikalnya. 5. Efisiensi internal Efisiensi internal berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal industri mobil di Indonesia baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Hasil penelitian ini semakin menguatkan teori Jaya (2004) yang menyatakan bahwa efisiensi internal dapat dicapai salah satunya dengan penggunaan input secara terpadu melalui strategi integrasi vertikal. Hal ini terlihat dari nilai probabilitas t-statistik dari variabel efisiensi internal yang lebih kecil dari taraf nyata 10 persen. Suatu perusahaan yang ingin mencapai tingkat efisiensi internal dapat meminimumkan biaya produksi dengan cara menggunakan input
75
secara terpadu. Penggunaan input secara terpadu dapat terjadi dengan melakukan strategi integrasi vertikal. Dengan melakukan integrasi vertikal, perusahaan mobil dapat mengatasi masalah ketidakpastian pasokan input dan meminimumkan biaya produksi sehingga efisiensi internal dapat tercapai. Satu persyaratan yang dibutuhkan untuk menunjukkan bahwa diantara variabel-variabel yang diteliti berkointegrasi adalah dengan melihat perilaku residual atau error correction term (ECT) dari persamaan yang digunakan. ECT harus stasioner meskipun terdapat variabel yang tidak stasioner pada level. Jika hasil pengujian terhadap koefisien ECT signifikan maka spesifikasi model yang diamati valid. Tabel 5.5 Hasil Uji Unit Root Terhadap Residual Persamaan Regresi Variabel
Nilai ADF
Nilai Kritis Mackinnon 1%
ECT -5,319220 Sumber : Lampiran 7
-3,670170
5%
-2,963972
Keterangan
10%
-2,621007 Stasioner
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai residual (ECT) persamaan integrasi vertikal stasioner pada level. Hal ini terlihat dari nilai ADF yang lebih kecil dari nilai kritis Mackinnon. Uji stasioneritas juga dapat dilihat dengan nilai dari probabilitas. Jika nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka ECT stasioner pada level. Hasil uji stasioneritas terhadap residual semakin menguatkan bahwa diantara variabel-variabel yang digunakan terdapat kointegrasi sehingga perumusan ECM dapat dilanjutkan.
76
5.4 Hasil Uji Pelanggaran Asumsi Klasik (Diagnostic Test) Jika metode ECM yang digunakan bebas dari masalah-masalah autokorelasi, heteroskedastisitas, normalitas dan multikolinearitas, maka metode ECM yang digunakan diterima keabsahannya. 5.4.1
Hasil Uji Autokorelasi Masalah autokorelasi diuji dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Test. Adanya korelasi dapat dilihat dengan cara membandingkan nilai probabilitas Obs*R-Squared pada Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test dengan taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen. Tabel 5.6 Hasil Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0,641696 Probability Obs*R-squared 1,731365 Probability Sumber : Lampiran 8
0,539421 0,420764
Tabel 5.6 menyajikan hasil uji autokorelasi yang dilakukan pada model jangka pendek yang digunakan dalam penelitian. Hasil uji memperlihatkan nilai probabilitas Obs*Squared pada Breusch-Godfrey Serial Correlation Test sebesar 0,420764. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata 10 persen yang digunakan sehingga model terbebas dari masalah autokorelasi. 5.4.2
Hasil Uji Heteroskedastisitas Untuk uji heteroskedastisitas dalam persamaan ini menggunakan White
Heteroskedasticity Test. Jika nilai probabilitas Obs*R-Squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka persamaan jangka pendek tidak memiliki
77
masalah heteroskedastisitas. Hasil uji heteroskedastisitas terhadap model jangka pendek dapat dilihat dari tabel 5.7. Tabel 5.7 Hasil Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared Sumber : Lampiran 9
0,626231 Probability 13,69696 Probability
0,801614 0,621278
Nilai probabilitas Obs*Squared sebesar 0,621278menunjukkan bahwa dalam persamaan jangka pendek tidak terdapat masalah heteroskedastisitas karena nilai probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata 10 persen. 5.4.3
Hasil Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui kenormalan distribusi error
term. Gambar 5.1 menunjukkan hasil uji normalitas pada Error Correction Model (ECM). Hasil uji normalitas memperlihatkan nilai probabilitas Jarque-Bera sebesar 0,163433 mengindikasikan bahwa model jangka pendek yang digunakan memiliki error term yang terdistribusi normal. 10 Series: Residuals Sample 1980 2005 Observations 26
8
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
6
4
-0.014899 -0.042441 0.471869 -0.289652 0.166983 0.819150 3.812406
2 Jarque-Bera Probability
0 -0.2
0.0
0.2
3.622699 0.163433
0.4
Sumber : Lampiran 10 Gambar 5.1 Hasil Uji Normalitas Error Correction Model (ECM)
78
5.4.4
Hasil Uji Multikolinearitas Selain uji autokorelasi, heteroskedastisitas dan normalitas, terdapat uji
multikolinearitas untuk mengetahui bahwa diantara variabel-variabel bebas tidak terdapat hubungan yang erat. Pengujian terhadap masalah multikolinearitas menunjukkan bahwa dalam persamaan tidak terdapat masalah multikolinearitas seperti yang terlihat pada Tabel 5.8. Tabel 5.8 Hasil Uji Multikolinearitas AVSIZE AVSIZE 1,00000 GROWTH -0,25713 XEFF -0,19202 RAW 0,75334 CR4 -0,67265 VI -0,39253 Sumber : Lampiran 11
GROWTH XEFF RAW CR4 VI -0,25713 -0,19202 0,75334 -0,67265 -0,39253 1,00000 0,03107 -0,24715 0,18305 0,10856 0,03107 1,00000 -0,44399 0,54623 0,72744 -0,24715 -0,44399 1,00000 -0,63759 -0,47295 0,18305 0,54623 -0,63759 1,00000 0,75640 0,10856 0,72744 -0,47295 0,75640 1,00000
Keempat pengujian yang dilakukan tersebut menunjukkan bahwa persamaan jangka pendek yang dihasilkan sudah memenuhi asumsi BLUE (tak bias linear terbaik). 5.5 Implikasi Kebijakan Industri mobil di Indonesia termasuk dalam struktur pasar oligopoli ketat. Hal ini berdasarkan rata-rata rasio konsentrasi empat perusahaan mobil terbesar (CR4) dari tahun 1975 sampai dengan tahun 2005 sebesar 65,1 persen (Badan Pusat Statistik, 1975-2005). Dengan struktur pasar oligopoli ketat, perusahaanperusahaan besar dapat melakukan kolusi efektif yang memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut melakukan kerjasama, membangun kepercayaan
79
dan saling bertukar pengetahuan dan informasi. Salah satu bentuk kerjasama yang mungkin dilakukan perusahaan adalah integrasi vertikal. Langkah-langkah yang sebaiknya diambil pemerintah adalah mengawasi perkembangan struktur pasar industri mobil agar tidak dikuasai oleh beberapa perusahaan. Pemerintah harus mengawasi batas maksimal rasio konsentrasi dan kapasitas produksi suatu perusahaan agar tidak terjadi praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Industri mobil di Indonesia termasuk ke dalam oligopoli ketat sehingga memungkinkan beberapa perusahaan melakukan kerjasama untuk meningkatkan kinerjanya. Berdasarkan UU No.5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, disebutkan bahwa dalam struktur pasar oligopoli perusahaan dilarang melakukan kerjasama dengan perusahaan lain untuk menguasai produksi dan pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan monopoli. Perusahaan dikatakan menguasai produksi dan pemasaran barang atau jasa jika dua atau tiga perusahaan menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar. Strategi integrasi vertikal pada dasarnya memiliki dua sisi yang saling berlawanan. Di satu sisi integrasi vertikal dapat meningkatkan daya saing perusahaan, namun di sisi lain integrasi vertikal dapat mengarahkan struktur pasar menjadi monopoli atau persaingan tidak sehat. Pemerintah dapat mengawasi integrasi vertikal dengan memberdayakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) agar integrasi vertikal yang diterapkan tidak mengganggu persaingan antar perusahaan mobil. Pemerintah dapat meningkatkan integrasi vertikal selama persaingan usaha terjadi secara sehat dan integrasi vertikal tidak mengganggu
80
persaingan. Berdasarkan UU No.5 Tahun 1999 disebutkan bahwa strategi integrasi vertikal tidak akan mengganggu persaingan selama tidak mengarahkan perusahaan tersebut memperoleh pangsa pasar yang lebih besar dari 75 persen. Strategi integrasi vertikal yang diterapkan pada industri mobil di Indonesia selama ini tidak melanggar UU anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat No. 5 Tahun 1999. Hal ini dikarenakan strategi integrasi vertikal yang diterapkan tidak mengarahkan perusahaan memperoleh pangsa pasar lebih besar dari 75 pesen. Selama tahun 2000-2005 pangsa pasar mobil terbesar di Indonesia dipegang oleh PT. Toyota Astra Motor sebesar 30,57 persen (Tabel 4.1). Strategi integrasi vertikal yang diterapkan pada industri mobil di Indonesia semata-mata untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing industri mobil nasional tanpa mengarahkan struktur pasar dari oligopoli ketat menjadi struktur pasar persaingan usaha tidak sehat.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis tingkat integrasi vertikal pada industri mobil di Indonesia, maka dapat disimpulkan : 1. Tingkat rata-rata integrasi vertikal industri mobil di Indonesia selama tahun 1975 sampai dengan tahun 2005 sebesar 0,74 mengindikasikan bahwa industri mobil di Indonesia memiliki keterkaitan proses produksi yang sangat kuat dengan industri komponen sebagai pemasok bahan baku utamanya. 2. Efisiensi internal dan rasio konsentrasi mempengaruhi tingkat integrasi vertikal pada industri mobil secara nyata dalam jangka panjang. Industri mobil di Indonesia termasuk dalam pasar oligopoli ketat sehingga dalam jangka panjang perusahaan-perusahaan cenderung melakukan kerjasama seperti integrasi vertikal untuk meningkatkan daya saing dan efektifitasnya serta menciptakan hambatan masuk bagi pesaingnya. 3. Pertumbuhan permintaan, biaya bahan baku utama, efisiensi internal dan rasio konsentrasi mempengaruhi tingkat integrasi vertikal industri mobil secara nyata pada jangka pendek. Pengujian jangka pendek perlu dilakukan karena integrasi vertikal merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh perusahaan dalam jangka pendek dan mempunyai dampak pada jangka panjang.
82
6.2 Saran Saran yang dapat penulis berikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan antara lain : 1. Integrasi vertikal pada industri mobil dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas yang dalam jangka panjang akan meningkatkan daya saing. Namun, mengingat struktur pasar industri mobil di Indonesia adalah oligopoli ketat maka diperlukan pengawasan dari pemerintah agar strategi integrasi vertikal tidak mengarah pada struktur pasar industri mobil di Indonesia menjadi monopoli atau pasar persaingan tidak sempurna. 2. Efisiensi internal yang mempengaruhi integrasi vertikal secara nyata dalam jangka panjang dan jangka pendek membuat pelaku industri mobil perlu meningkatkan pengunaan input secara terpadu agar di masa yang akan datang Indonesia mampu menciptakan mobil merek nasional yang memiliki kandungan lokal yang sangat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. Universitas Indonesia Press, Jakarta Arlini, S. M. 2006. “Arah Pengembangan Industri Manufaktur Indonesia”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 2:125-158 Asian Automotive Business Review. 2006. Produksi Mobil di Asia Tenggara Pada Tahun 2005-2006. Aulia, A. F. 2005. Analisis Pengaruh Konsentrasi Pasar Terhadap Tingkat Integrasi Vertikal di Industri Manufaktur Indonesia [Tesis]. Fakultas Pascasarjana. Universitas Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2005. Indikator Industri Besar dan Sedang Tahun 19982005. _______. 2005. Statistik Industri Besar dan Sedang Tahun 1975-2005. Bank Indonesia. 2007. Laporan Perekonomian Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Bisnis Indonesia. 2007. “Depperin Optimis Sektor Otomotif Tumbuh 11,50 Persen”. http://www.bisnis.com/edisi-cetak/otomotif/lid55902.html. Departemen Perhubungan. 1996. Definisi Kendaraan Bermotor Tahun 1995-1996. Direktorat Industri Alat Transportasi. 2006. Produksi dan Penjualan Mobil Domestik di Indonesia. Departemen Perindustrian, Jakarta. _______. 2007. Perkembangan Perindustrian, Jakarta.
Industri
Mobil
Indonesia.
Departemen
Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series (Second Edition). John Willey And Sons Inc, Alabama. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia. 2004. Penjualan Mobil Tahun 1997-2004. _______. Sepuluh Penjualan Terbaik Kendaraan Bermotor Indonesia JanuariDesember 2006.
84
Ghani, N, Ahmad Z. A, dan Khalil N. 2006. “Vertical Integration, Foreign Multinationals and Stigler’s Hypotheses: An Empirical Test Using Malaysian Data”, Asian Economic journal, 20:257-274. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Haedar, T. A. 2001. Integrasi Vertikal Sebagai Alternatif Strategi Bisnis Idku Dalam Pengembangan Jaringan Warnet di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri : Persaingan, Monopoli dan Regulasi. LP3ES, Jakarta. Haryo, W. P. 1990. Analisis Berbagai Pengukuran Kinerja di Dalam Industri yang Terintegrasi Vertikal [tesis]. Fakultas Pascasarjana. Universitas Indonesia, Jakarta. Hutapea, D. P. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Penyerapan Utang Luar Negeri di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Irfany, M. I. dan A. Kholis. 2007. Ekonometrika Dasar : Pengolahan dengan Software E-Views. International Center For Applied Finance and Economics. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ito, K dan Masaru, U. 2004. Intra-Industry Trade In The ASEAN Region : The Case of The Automotive Industry. Jaya, W. K. 2004. Ekonomi Industri. BPFE, Jogjakarta. Laboratorium Komputasi. 2004. Basics Econometrics. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Levy, D. 1984. “Testing Stigler’s Interpretation of The Division of Labor is Limited By The Extent of The Market”. The Journal of Industrial Economics, 32:377-388. Mardianti, N. 2005. Analisis Inflasi di Indonesia dari Sisi Permintaan Uang [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mulyaningsih, T dan A. R Karseno. 2002. “Integrasi Vertikal dan Efisiensi Industri : Industri Kertas 1979-1997 dengan Pendekatan Error Correction Model”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 17:136-149.
85
Nugrahandita, C. E. 2007. Analisis Tingkat Integrasi Vertikal Pada Industri Mie Instan di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Porter, M. E. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors. The Free Press, New York. Rumelt, R. P. 1986. Strategy, Structure, and Economic Performance, (Rev. ed.). Harvard Business School Press, Boston. Siswanto, A. 2002. Hukum Persaingan Usaha. Ghalia Indonesia, Jakarta. Stigler, G. J. 1951. “The Divison of Labor is Limited By The Extent of The Market”. The Journal of Political Economy, 59:185-193. Supriatna, B. 2005. Tingkat Integrasi Vertikal pada Industri Air Minum dalam Kemasan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutriyono. 2007. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Industri Mobil di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. YKPN, Jogjakarta. Williamson, O. E. 1971. “The Vertical Integration of Production : Market Failure Considerations”. The American Economic Review, 61:112-123. Yusuf. 2007. Analisis Pengaruh Ekspor-Impor Komoditas Pangan Utama dan Liberalisasi Perdagangan Terhadap Neraca Perdagangan Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
87
Lampiran 1. Data Variabel Penelitian Tahun 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
LNVI 1.131380 1.493855 0.743991 0.635755 -0.183525 0.213121 0.204003 0.450438 -0.106437 -0.523626 -0.497296 -0.537548 -0.701245 -0.582910 -2.026037 -0.580007 -0.600123 -0.610426 -0.511395 -0.694570 -0.896592 -0.899220 -0.539607 -1.019909 -1.514118 -1.699743 -1.136680 -1.723728 -1.202504 -1.499679 -1.221303
LNAVSIZE 15.24808 14.82125 15.76950 15.84580 15.94439 16.76243 16.73247 16.22116 16.60799 16.86519 16.32400 16.82562 16.71454 17.04539 16.82683 19.18728 18.79929 18.33270 18.91258 19.22301 19.45785 19.40258 17.95481 14.50590 18.55693 19.88170 20.18294 20.76064 19.92646 20.56243 20.63808
Keterangan : LNVI LNAVSIZE
LNGROWTH 0.320004 1.205363 2.265948 1.697410 1.663468 2.084222 1.273237 0.652405 1.448813 1.089741 0.760971 1.055451 0.471819 0.825205 0.218228 0.651375 0.189452 -0.370521 0.600702 0.379423 0.064919 -0.132973 -1.683209 -3.393162 3.154516 0.757822 -1.048128 -0.106692 -1.996710 -0.250974 -0.895802
CR4 236.57 227.86 219.69 210.44 201.07 192.25 182.89 173.74 194.02 170.33 147.81 136.33 120.15 115.69 100.10 92.40 84.87 85.55 76.90 70.33 66.93 65.79 64.64 45.64 33.27 30.71 28.44 28.32 27.20 28.39 28.65
LNRAW 17.29148 18.21103 17.84097 18.21640 18.88524 19.64591 19.72154 19.86687 19.81775 20.14993 20.07254 20.48866 20.37990 20.68462 20.83613 20.62791 21.24751 20.13825 20.50536 20.98450 21.27459 21.33522 20.74415 18.33013 20.32703 22.04158 20.25573 21.97568 20.36360 22.08137 21.19686
LNXEFF 2.062876 1.135499 1.477912 1.308461 0.093857 0.722662 0.754470 0.008689 0.345724 -0.198062 -0.105413 -0.135233 -0.313906 -0.110685 -1.919386 0.057576 0.089988 0.075678 0.404043 0.109093 -0.257146 -0.244189 0.694484 -0.002740 -0.806524 -1.091300 0.884537 -1.041613 0.640099 -0.508234 0.776740
: Log rasio integrasi vertikal : Log ukuran rata-rata perusahaan
LNGROWTH : Log pertumbuhan permintaan CR4
: Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar
LNRAW
: Log nilai bahan baku yang digunakan
LNXEFF
: Log efisiensi internal
88
Lampiran 2. Hasil Uji Unit Root Pada Level Null Hypothesis: LNVI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-2.340443 -3.670170 -2.963972 -2.621007
Prob.* 0.1666
Null Hypothesis: LNAVSIZE has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.790177 -3.670170 -2.963972 -2.621007
0.3779
Null Hypothesis: LNGROWTH has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.860132 -3.670170 -2.963972 -2.621007
0.0063
Null Hypothesis: CR4 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-1.751410 -3.670170 -2.963972 -2.621007
Prob.* 0.3963
89
Null Hypothesis: LNRAW has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.209634 -3.670170 -2.963972 -2.621007
0.0293
Null Hypothesis: LNXEFF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-4.732583 -3.670170 -2.963972 -2.621007
Prob.* 0.0007
Lampiran 3. Hasil Uji Unit Root Pada First Difference Null Hypothesis: D(LNVI) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-8.411233 -2.647120 -1.952910 -1.610011
0.0000
Null Hypothesis: D(LNAVSIZE) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic -6.119790 -2.647120 -1.952910 -1.610011
Prob.* 0.0000
90
Null Hypothesis: D(LNGROWTH) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.147762 -2.650145 -1.953381 -1.609798
0.0000
Null Hypothesis: D(CR4) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-3.401501 -2.647120 -1.952910 -1.610011
Prob.* 0.0014
Null Hypothesis: D(LNRAW) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-8.832090 -2.647120 -1.952910 -1.610011
0.0000
Null Hypothesis: D(LNXEFF) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-11.01693 -2.647120 -1.952910 -1.610011
0.0000
91
Lampiran 4.Hasil Estimasi Persamaan Jangka Panjang Dependent Variable: LNVI Method: Least Squares Date: 07/17/08 Time: 05:46 Sample: 1975 2005 Included observations: 31 Variable Coefficient C -2.294233 LNAVSIZE -0.131312 LNGROWTH 0.042882 CR4 0.005574 LNRAW 0.165827 LNXEFF 0.630596 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.920123 0.904148 0.259106 1.678398 1.213192 2.002238
Std. Error 1.600953 0.082939 0.057644 0.001969 0.117527 0.126418
t-Statistic -1.433042 -1.583235 0.743902 2.830373 1.410969 4.988176
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.1642 0.1259 0.4639 0.0090 0.1706 0.0000 -0.536635 0.836906 0.308826 0.586372 57.59651 0.000000
Lampiran 5. Hasil Uji Error Correction Model (ECM) dengan Seleksi Variabel Dependent Variable: DLNVI Method: Least Squares Date: 07/17/08 Time: 08:00 Sample(adjusted): 1980 2005 Included observations: 26 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error DLNGROWTH -0.203451 0.057654 DCR4(-1) -0.003818 0.004265 DCR4(-4) 0.006954 0.003873 DLNRAW 0.224065 0.066354 DLNRAW(-1) -0.342439 0.086228 DLNXEFF 0.657629 0.061325 DLNXEFF(-2) 0.131544 0.055431 ECT(-1) -0.624635 0.196346 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.895099 0.854304 0.197604 0.702855 10.04672
t-Statistic -3.528843 -0.895134 1.795321 3.376819 -3.971341 10.72363 2.373116 -3.181298
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
Prob. 0.0024 0.3825 0.0894 0.0034 0.0009 0.0000 0.0290 0.0052 -0.039915 0.517693 -0.157440 0.229667 1.669219
92
Lampiran 6. Hasil Uji Error Correction Model (ECM) Tanpa Seleksi Variabel Dependent Variable: DLNVI Method: Least Squares Date: 07/18/08 Time: 12:49 Sample(adjusted): 1979 2005 Included observations: 27 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DLNVI(-1) DLNVI(-2) DLNVI(-3) DLNAVSIZE DLNAVSIZE(-1) DLNAVSIZE(-2) DLNAVSIZE(-3) DLNGROWTH DLNGROWTH(-1) DLNGROWTH(-2) DLNGROWTH(-3) DCR4 DCR4(-1) DCR4(-2) DCR4(-3) DLNRAW DLNRAW(-1) DLNRAW(-2) DLNRAW(-3) DLNXEFF DLNXEFF(-1) DLNXEFF(-2) DLNXEFF(-3) ECT(-1)
-0.995619 -0.519357 -0.630478 -0.048644 0.222515 -0.415828 -0.082444 -0.001423 -0.022902 0.202949 -0.116556 0.014437 -0.003627 0.002904 0.006484 0.086732 -0.158560 0.522872 0.394485 0.610691 0.735039 0.824984 0.408083 -0.109892
1.353293 0.937813 0.550561 0.419337 0.427094 0.305274 0.437578 0.578197 0.379373 0.418878 0.150285 0.022135 0.017719 0.014653 0.013603 0.376227 0.372061 0.530414 0.380725 0.187260 0.779621 0.828350 0.512292 0.725800
-0.735700 -0.553796 -1.145155 -0.116003 0.520997 -1.362146 -0.188410 -0.002460 -0.060369 0.484506 -0.775568 0.652239 -0.204667 0.198194 0.476618 0.230531 -0.426167 0.985781 1.036140 3.261199 0.942817 0.995937 0.796583 -0.151408
0.5152 0.6183 0.3352 0.9150 0.6384 0.2664 0.8626 0.9982 0.9557 0.6612 0.4945 0.5608 0.8509 0.8556 0.6662 0.8325 0.6987 0.3969 0.3763 0.0471 0.4153 0.3927 0.4839 0.8893
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.961586 0.667080 0.305422 0.279848 23.37482
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
-0.068780 0.529335 0.046309 1.198164 0.732795
93
Lampiran 7. Hasil Uji Kointegrasi Null Hypothesis: ECT has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.319220 -3.670170 -2.963972 -2.621007
0.0001
Lampiran 8. Hasil Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.641696 Probability 1.731365 Probability
0.539421 0.420764
Lampiran 9. Hasil Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.626231 13.69696
Probability Probability
0.801614 0.621278
Lampiran 10. Hasil Uji Normalitas 10 Series: Residuals Sample 1980 2005 Observations 26
8
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
6
4
-0.014899 -0.042441 0.471869 -0.289652 0.166983 0.819150 3.812406
2 Jarque-Bera Probability
0 -0.2
0.0
0.2
0.4
3.622699 0.163433
94
Lampiran 11 Hasil Uji Multikolinearitas
AVSIZE GROWTH XEFF RAW CR4 VI
AVSIZE 1,00000 -0,25713 -0,19202 0,75334 -0,67265 -0,39253
GROWTH XEFF -0,25713 -0,19202 1,00000 0,03107 0,03107 1,00000 -0,24715 -0,44399 0,18305 0,54623 0,10856 0,72744
RAW CR4 0,75334 -0,67265 -0,24715 0,18305 -0,44399 0,54623 1,00000 -0,63759 -0,63759 1,00000 -0,47295 0,75640
VI -0,39253 0,10856 0,72744 -0,47295 0,75640 1,00000