ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA (Periode 1982-2003)
OLEH M. FAHREZA H14101011
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
M. FAHREZA. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu Di Indonesia (dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A) Sejak repelita I pemerintah menaruh perhatian khusus pada pengembangan industri pangan. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan yang cukup bagi seluruh lapisan masyarakat, terjangkau secara fisik dan ekonomis setiap saat untuk meningkatkan status gizinya, guna meningkatkan kualitas sumber daya dan taraf hidupnya. Untuk memenuhi sasaran tersebut pemerintah melakukan berbagai upaya antara lain pengadaan bahan pangan pokok (program ketahanan pangan), termasuk tepung terigu. Penyediaan tepung terigu sebagai bahan pangan pokok adalah untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang pada saat itu produksinya sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri, dan pasokan beras di pasar dunia sangat terbatas, sementara itu pasokan tepung terigu dan gandum di pasar dunia cukup berlimpah bahkan bantuan luar negeri pun diberikan dalam bentuk tepung terigu atau gandum. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor harga tepung terigu, harga barang substitusi tepung terigu, dan perubahan pendapatan per kapita masyarakat terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data tahunan dari tahun 1982 sampai tahun 2003. Sumber data berasal dari Badan Urusan Logistik (BULOG) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data diperoleh juga dari referensi studi kepustakaan yang diperoleh dari buku, perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, APTINDO, perpustakaan LSI IPB, dan internet. Data-data yang digunakan adalah data jumlah permintaan tepung terigu (Q), harga tepung terigu (PT), harga beras (PB) dan pendapatan masyarakat perkapita (Y). Selanjutnya data-data tersebut diolah dengan bantuan software e-views 4.1 dan menggunakan metode analisis Ordinary Least Squares (OLS). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variabel yang mempengaruhi permintaan tepung terigu adalah pendapatan per kapita, harga tepung terigu, dan dummy krisis ekonomi, karena probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Sedangkan variabel harga tepung beras secara statistik tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen, hal ini menjelaskan bahwa tepung beras bukan merupakan barang substitusi bagi tepung terigu. Dari hasil estimasi OLS dapat diketahui bahwa koefisien determinasi sebesar 0.9522. Hal ini menunjukkan bahwa variasi variabel bebas (harga tepung terigu, harga tepung beras, pendapatan masyarakat per kapita dan dummy krisis) mampu dijelaskan sebesar 95.22 persen, sedangkan sisanya sebesar 4.78 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model.
Variabel PT yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar -0.05 menunjukkan bahwa PT berpengaruh negatif, sehingga sesuai hipotesis bahwa PT bersifat inelastis. Variabel PB yang tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar -0.03 mempunyai hubungan negatif. Temuan empiris ini tidak sesuai dengan hipotesis yaitu tepung terigu dan beras bersubsidi. Hasil estimasi yang diperoleh koefisien elastisitas silang menunjukkan bahwa hubungan tepung beras dan tepung terigu tidak bersifat substitusi. Jadi tepung beras bukan merupakan alternatif bahan substitusi tepung terigu untuk menekan laju impor gandum, sehingga perlu dicari alternatif bahan substitusi lain untuk menekan laju impor gandum. Variabel Y yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar 0.68 menunjukkan bahwa pendapatan mempunyai hubungan positif. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa tepung terigu adalah barang normal. Variabel dummy krisis berpengaruh negatif yang signifikan pada taraf nyata 5 persen terhadap jumlah permintaan terigu di Indonesia dengan nilai koefisien sebesar -0.36 menunjukkan bahwa setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menurunkan permintaan akan tepung terigu di Indonesia, asumsi cateris paribus. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa krisis ekonomi akan berdampak negatif terhadap permintaan tepung terigu. Hal ini disebabkan situasi politik dan makroekonomi yang semakin tidak menentu setelah terjadinya krisis berakibat pada konsumsi. Dari hasil yang telah ada maka terdapat beberapa saran yang dapat diberikan untuk pemerintah yaitu perlu adanya peningkatkan kontrol terhadap perkembangan industri tepung terigu, terutama masalah menurunkan permintaan tepung terigu, sehingga masyarakat tidak tergantung pada tepung terigu dan permintaan impor gandum akan menurun.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA (Periode 1982-2003)
OLEH M. FAHREZA H 14101011
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: M. FAHREZA
Nomor Registrasi Pokok : H14101011 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis
Faktor-faktor
Yang
Mempengaruhi
Tingkat Permintaan Tepung Terigu Di Indonesia (Periode 1982-2003)
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Findi A, S.E, M.E. NIP. IPB 030507
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
Januari 2007
M. FAHREZA H14101011
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama M. FAHREZA lahir pada tanggal 27 Juni 1983 di Bireun, yang tepatnya berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penulis lahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Marzuki dan Nurhayati. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 5 Bireun pada tahun 1995 dan melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bireun dan lulus tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Bireun dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis meninggalkan kota yang tercinta untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis berhasil diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas segala Rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu di Indonesia (Periode 1982-2003)”. Industri tepung terigu merupakan topik yang sangat menarik untuk diteliti, karena tepung terigu merupakan komoditi pangan yang semakin penting di Indonesia, sehingga untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang pada saat itu produksinya sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak, terutama kepada: 1. Bapak Muhammad Findi A, S.E., M.E. yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Bapak Dr. M. P. Hutagaol selaku penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 3. Ibu Fifi D. Thamrin, M.Si. selaku komisi pendidikan yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Marzuki H Budiman dan Ibu Nurhayati serta kakak-kakak dan adik-adik penulis yang telah memberikan dorongan dan doa untuk kesehatan, kelancaran dan keselamatan dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini. 5. Esi Dewi Tirtayasi, SE yang telah memberikan motivasi dan perhatiannya dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Le Granson T.L., SE. sebagai teman curhat terutama dalam pengolahan data skripsi ini. 7. Ruth S, SE., Devi, SE. dan Kokom, Amd. yang telah membantu penulis dalam mempersiapkan konsumsi dan yang sabar menunggu selama penulis ujian sidang.
8. Teman-teman IE’38 dan IE’39 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan semuanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Kelemahan serta kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, namun demikian semoga dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor,
Januari 2007
M. Fahreza H14101011
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian ...........................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................. .......
8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1. Tinjauan Umum Ekonomi Industri ................................................
9
2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................
10
2.2.1. Teori Permintaan ................................................................
10
2.2.2. Elastisitas ............................................................................
17
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual ..................................................
24
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ......................................................
27
2.5. Hipotesis Penelitian ......................................................................
29
III. METODE PENELITIAN
IV.
3.1. Jenis Dan Sumber Data .................................................................
30
3.2. Metode Analisis Data ...................................................................
30
3.3. Model Dasar Penelitian .................................................................
31
3.4. Uji Ekonometrika .........................................................................
31
3.5. Uji Statistik Model .........................................................................
33
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Industri Tepung Terigu di Indonesia .............................................
37
4.2. Hasil Estimasi Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu di Indonesia ........................
42
xi
V.
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ...................................................................................
51
5.2. Saran .............................................................................................
51
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
52
LAMPIRAN ......................................................................................................
54
xii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
2.1. Kombinasi Harga dan Jumlah Barang .....................................................
10
4.1. Perkembangan Permintaan dan Harga Tepung Terigu di Indonesia Tahun 1982-2003.....................................................................................
39
4.2. Uji Multikolinieritas .................................................................................
43
4.3. Uji Autokolerasi .......................................................................................
43
4.4. Uji Heteroskedastisitas..............................................................................
44
4.5. Uji Normalitas ..........................................................................................
45
4.6. Hasil Estimasi Regresi .............................................................................
46
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Perkembangan Harga Tepung Terigu Tingkat Konsumen di Indonesia...
3
1.2. Penggunaan Tepung Terigu di Indonesia Tahun 2003 .............................
5
1.3. Perkembangan Impor Gandum di Indonesia Tahun 1985-2002 ..............
6
2.1. Kurva Permintaan Individu ......................................................................
11
2.2. Kurva Permintaan Pasar ............................................................................
12
2.3. Perubahan Permintaan ..............................................................................
14
2.4. Bentuk-bentuk Kurva Permintaan (Berkaitan Dengan Elastisitas Harga)
22
2.5. Permintaan Tepung Terigu di Indonesia Tahun 1982:2003 ......................
25
2.6. Bagan Kerangka Pemikiran Konseptual ....................................................
26
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Variabel penelitian ..............................................................................
55
2. Data Variabel penelitian Dalam Logaritma ................................................
56
3. Perhitungan Harga Tepung Beras ...............................................................
57
4. Hasil Estimasi .............................................................................................
58
5. Uji Multikolinearitas ...................................................................................
58
6. Uji Heteroskedastisitas ................................................................................
58
7. Uji Autokolerasi ..........................................................................................
58
8. Uji Normalitas .............................................................................................
59
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pembangunan industri merupakan salah satu jalur kegiatan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti tingkat hidup yang lebih maju maupun taraf hidup yang lebih bermutu. Pembangunan industri bertujuan pokok untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan merupakan kegiatan yang mandiri untuk hanya sekedar mencapai kemapanan fisik saja. Hal ini disebabkan produk-produk industrial selalu memiliki dasar tukar (term of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk-produk sektor lain. Hal ini karena Industri mempunyai peranan sebagai leader sector (sektor pemimpin). Sektor pemimpin ini adalah sektor yang dapat memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lain seperti, sektor pertanian, sektor jasa, dan lain-lain. Pertumbuhan industri yang pesat akan merangsang pertumbuhan sektor pertanian untuk menyediakan bahanbahan baku bagi industri. Sejak repelita I pemerintah menaruh perhatian khusus pada pengembangan industri pangan. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan yang cukup bagi seluruh lapisan masyarakat, terjangkau secara fisik dan ekonomis setiap saat untuk meningkatkan status gizinya, guna meningkatkan kualitas sumber daya dan taraf hidupnya. Untuk memenuhi sasaran tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya antara lain pengadaan bahan pangan pokok (program ketahanan pangan), termasuk tepung terigu.
2
Tepung terigu dianggap dapat menjadi pelengkap atau pengganti sumber karbohidrat yang cukup penting di Indonesia. Kenyataan bahwa tepung terigu telah menjadi bahan pangan penting di Indonesia telah diakui sejak lama. Hal ini tidak terlepas dari peran pemerintah melalui program ketahanan pangan tersebut. Penyediaan tepung terigu sebagai bahan pangan pokok adalah untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang pada saat itu produksinya sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri, dan juga pasokan beras di pasar dunia sangat terbatas. Sementara itu pasokan tepung terigu dan gandum di pasar dunia cukup berlimpah bahkan bantuan luar negeri pun diberikan dalam bentuk tepung terigu atau gandum. Keterlibatan pemerintah dalam pengadaan dan penyaluran gandum serta tepung terigu yang telah dilakukan sejak tahun 1966 tersebut terbukti dapat menjaga kontinuitas ketersediaan dan kestabilan harganya. Harga tepung terigu ditingkat konsumen relatif stabil meskipun dalam jangka panjang mulai terlihat cenderung meningkat (Gambar 1.1). Data biro analisis harga dan pasar bulog tahun 2003 selama kurun waktu 11 tahun (1993-2003) menunjukkan bahwa harga tepung terigu setiap tahunnya rata-rata mengalami peningkatan.
3
3500
3000
HARGA
2500
2000
1500
1000
500
20 03
20 02
20 01
19 99
20 00
19 98
19 97
19 96
19 95
19 94
19 93
19 92
19 91
19 89
19 90
19 88
19 87
19 86
19 85
19 84
19 83
19 82
0
TAHUN HARGA TEPUNG TERIGU
Sumber: Biro Analisis Harga dan Pasar, BULOG (2003)
Gambar 1.1. Perkembangan Harga Tepung Terigu Tingkat Konsumen di Indonesia. Perubahan peran itu tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintah yang telah berpengaruh terhadap keputusan konsumen atau tingkat konsumsi terigu, serta pesatnya perkembangan industri penggilingan gandum. Peralihan pola konsumsi kelompok berpendapatan bawah dan menengah begitu cepat ke makanan yang berasal dari gandum, terutama mie instan dan roti, telah mendorong peningkatan impor gandum atau tepung terigu, serta berkurangnya permintaan pangan yang berasal dari sumberdaya dalam negeri. Cepatnya pertumbuhan permintaan terhadap makanan berasal dari terigu untuk kelompok tersebut tidaklah lazim di negara-negara Asia. Umumnya yang terjadi adalah laju peningkatan permintaan terigu dan tingginya tingkat konsumsi terigu per kapita untuk kelompok berpendapatan tinggi. Seperti yang terjadi di banyak negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Malaysia. Pada saat sekarang, tingkat konsumsi terigu dan makanan berasal dari terigu terbanyak dikonsumsi oleh kelompok berpendapatan tinggi, 40 sampai 60
4
kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berpendapatan terendah. Tidak saja tepung terigu, tetapi juga mie instan, mie lainnya, roti tawar atau roti manis. Indonesia telah menjadi negara ke dua terbesar di dunia setelah Cina dalam tingkat konsumsi mie instan. Tingkat konsumsi mi instan masyarakat Indonesia telah mencapai 8,9 milyar bungkus per tahun. Dibandingkan dengan Thailand dan Filipina, masing-masing hanya 1,5 dan 1,4 milyar bungkus per tahun. Penelitian di 4 kota di Jawa terungkap bahwa mie instan telah menjadi makanan siap saji yang populer. Enam puluh empat persen responden mengaku sebagai makanan mendadak, 32 persen sebagai makanan selingan, dan hanya 4 persen sebagai makanan pokok sehari-hari. Sebagian besar mie instan dihasilkan oleh industri besar, yang terbesar adalah Indofood Sukses Makmur yang menguasai 85-90 persen dari total produksi mi instan dalam negeri, dan dominan menguasai pasar dalam negeri. Diperkirakan ada 50 merek dagang mie instan, mampu berproduksi 8,2 milyar bungkus pada tahun 2000 (Majalah Asian Week, 25 Mei 2001).
1.2.
Perumusan Masalah Industri tepung terigu kini merupakan industri strategis penyedia pangan
pokok kedua setelah beras. Konsumsi tepung terigu hampir selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena kegunaan tepung terigu yang semakin berkembang. Selain untuk membuat mie, roti, dan biskuit, tepung terigu juga digunakan untuk pembuatan berbagai macam kue dan pangan lainnya. Dengan menggunakan tepung terigu dapat dihasilkan jenis-jenis makanan yang beraneka ragam.
5
Menurut data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) pada tahun 2003, penggunaan tepung terigu di Indonesia antara lain untuk bahan dasar pembuatan mie basah dan mie kering sebesar 30 persen, pembuatan roti sebesar 25 persen, mie instan sebesar 20 persen, makanan kecil dan biskuit sebesar 15 persen, industri kecil pembuatan gorengan sebesar 5 persen dan untuk kebutuhan rumah tangga sebesar 5 persen (lihat Gambar 1.2.).
Industri KecilRumah Tangga 5% Biskuit 5% 15%
Mie Instan 20%
Mie Basah dan Kering 30%
Roti 25%
Sumber: APTINDO, 2003
Gambar 1.2. Penggunaan Tepung Terigu di Indonesia Tahun 2003 Tepung terigu merupakan komoditi pangan yang penting di Indonesia, karena tepung terigu banyak diperlukan oleh masyarakat. Secara umum diketahui bahwa tepung terigu merupakan bahan dasar bagi mie, roti dan berbagai jenis kue yang dikonsumsi hampir di setiap rumah tangga dan meliputi segala lapisan masyarakat, mulai dari kalangan atas sampai kalangan bawah. Tingginya permintaan terhadap tepung terigu dan makanan berbahan baku tepung terigu secara langsung berdampak pada peningkatan impor gandum, sehingga perkembangan impor gandum di Indonesia cenderung meningkat. Pada tahun 1985 impor gandum sebesar 1,3 juta ton, kemudian dari tahun 1986 sampai tahun 1996, impor gandum mengalami peningkatan. Sedangkan dari tahun 19962002 impor gandum berfluktuatif. Meningkatnya impor gandum dari tahun ke
6
tahun disebabkan karena tingginya permintaan terhadap tepung terigu. Peningkatan permintaan yang berbahan baku tepung terigu akan berdampak pada peningkatan impor gandum.
4500000 4000000 3500000
TON
3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000
01
00
02 20
20
20
98
99 19
19
96
95
97 19
19
94
19
93
19
19
91
90
92 19
19
19
88
89 19
19
86
87 19
19
19
85
0
TAHUN
Impor Gandum (Ton)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2002.
Gambar 1.3. Perkembangan Impor Gandum di Indonesia Tahun 1985-2003 Peningkatan impor gandum sebagai dampak lanjutan dari peningkatan permintaan gandum di Indonesia akan berakibat pada peningkatan permintaan terhadap devisa. Pada saat sebelum krisis peningkatan permintaan devisa untuk membiayai impor gandum kemungkinan tidak menjadi masalah. Namun dengan terjadinya krisis moneter, peningkatan impor gandum sangat berpengaruh terhadap neraca pembayaran serta akan membebani keuangan negara. Sesuai teori ekonomi peningkatan permintaan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga barang itu sendiri, harga barang subtitusi, letak
7
geografis, selera, pendapatan masyrakat, dan lain-lain. Permintaan barang yang bersubtitusi akan menurun dengan meningkatnya harga barang tersebut dan sebaliknya, permintaan barang tersebut akan meningkat jika harga barang subtitusinya meningkat. Berdasarkan permasalahan diatas, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh faktor harga tepung terigu (elastisitas harga), harga barang subtitusi tepung terigu/tepung beras (elastisitas silang), dan perubahan pendapatan perkapita masyarakat (elastisitas pendapatan) terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia? 2. Bagaimana pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor harga tepung terigu, harga barang subtitusi tepung terigu, dan perubahan pendapatan perkapita masyarakat terhadap tingkat permintaan tepung terigu di Indonesia 2. Mengetahui dan menganalisis pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia
8
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini tidak hanya dapat dipergunakan untuk penulis,
tetapi juga dapat dipergunakan oleh pihak lain yang terkait, seperti pemerintah. dimana penelitian ini dapat dijadikan dasar, evaluasi, dan arah kebijakan industri tepung terigu di Indonesia. Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran yang dapat memberikan pengetahuan dan wawasan terutama dalam faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat permintaan tepung terigu di Indonesia. Sedangkan bagi pihak lain yang berkepentingan, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Umum Ekonomi Industri Pengertian industri sangat luas, baik dalam lingkup mikro maupun dalam
lingkup makro. Secara mikro, industri adalah kumpulan dari perusahaanperusahaan yang menghasilkan barang-barang homogen atau mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat, misalnya industri sepatu, walaupun sepatu yang lain tidak sama tetapi kita tetap menyebutnya sebagai industri sepatu. Namun demikian dari segi pembentukan pendapatan, yakni yang cenderung bersifat makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah (Hasibuan, 1993). Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 3 tahun 2002 menyebutkan bahwa industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Menurut Sumarni (1998) industri merupakan kegiatan pengadaan suatu barang ekonomi (economic goods) untuk keperluan dan kesejahteraan manusia dari orang-orang tertentu di suatu tempat tertentu. Barang ekonomi dapat berupa bahan atau barang, misalnya tekstil, mobil, hasil pertanian atau dapat pula berupa jasa seperti perbankan. Jadi pengertian industri secara luas merupakan suatu unit usaha yang melakukan kegiatan ekonomi dimana barang dan jasa tersebut mempunyai tujuan untuk menghasilkan barang dan jasa. Dimana unit usaha tersebut terletak pada suatu bangunan atau
10
lokasi tertentu serta mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya. Selain itu, ada seseorang atau yang lebih bertanggung jawab atas resiko usaha tersebut. Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi. Ekonomi industri membantu menjelaskan mengapa pasar perlu diorganisir dan bagaimana pengorganisasiannya mempengaruhi cara kerja pasar industri. Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku dan kinerja pasar. Koch dalam Jaya (2001) mendefinisikan ekonomi industri sebagai studi teoritis dan empiris tentang bagaimana struktur pasar dan tingkah laku penjual-pembeli mempengaruhi kinerja dan kesejahteraan ekonomi.
2.2.
Kerangka Pemikiran Teoritis
2.2.1. Teori Permintaan Kurva permintaan adalah garis menunjukkan berbagai kombinasi harga dan jumlah barang yang diminta atau berbagai kemungkinan harga per satuan waktu tertentu, misalnya per hari, per bulan, atau per dekade. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1. Kombinasi Harga dan Jumlah Barang Harga (Rp)
Jumlah Barang
Kombinasi (unit)
41
100
E
42
80
D
43
60
C
44
44
B
45
20
A
Sumber: Iswardono SP, 1994
11
Dari Tabel 2.1 diatas nampak bahwa adanya kenaikan harga barang akan menyebabkan jumlah barang yang diminta menurun, dengan anggapan ceteris paribus. Hubungan tersebut diatas dapat digambarkan pada Gambar 2.2: RP A
45
B
44
C
43
D
42
E
41
20
40
60
80
100
JUMLAH (UNIT)
Sumber: Iswardono, 1994
Gambar 2.1. Kurva Permintaan Individu Permintaan adalah keinginan konsumen membeli suatu barang pada berbagai tingkat harga selama periode waktu tertentu. Permintaan juga merupakan pokok bahasan dalam ekonomi mikro. Meskipun ekonomi mikro yang analisisnya bersifat individual, akan tetapi bukan hal yang sederhana dan mudah untuk mengetahui konsep-konsep dasar permintaan secara individual. Permintaan individual menggambarkan permintaan orang perorang terhadap suatu barang tertentu. Sedangkan gabungan dari seluruh permintaan perorangan tersebut disebut permintaan pasar. Kurva permintaan pasar didapat dengan menjumlahkan (secara horinzontal) kurva permintaan individu-individu yang ada di pasar, misalnya ada 2 individu (konsumen) di pasar yang membeli suatu barang mempunyai bentuk kurva permintaan sebagai berikut:
12
PX
PX
PX A
d1
B
E
H
d2
C G
F d2
0
X1 X2
X
0 INDIVIDU2 X3
X
DD
0
PASAR
X4
X
Sumber : Iswardono, 1994.
Gambar 2.2. Kurva Permintaan Pasar Cara mendapatkan kurva permintaan pasar yang diperlihatkan dalam Gambar 2.1 yaitu titik A didapat dari titik B pada permintaan individu 1, karena pada harga tersebut belum ada jumlah yang diminta baik oleh individu 1 maupun oleh individu 2. Titik C didapat dengan menjumlah barang X yang diminta oleh individu 1 dan 2, dimana individu 1 meminta sejumlah X1 sedangkan individu 2 belum meminta barang X. Titik F didapat dari titik H dan G dimana pada harga itu individu 1 dan 2 meminta sejumlah X2 + X3 = X4. Sehingga kalau titik A, C dan F dihubungkan akan didapat kurva permintaan pasar DD yang merupakan penjumlahan horizontal dari kurva permintaan yang ada di pasar. Hukum permintaan berbunyi “pada tingkat harga yang lebih tinggi, jumlah barang yang diminta akan semakin berkurang, atau sebaliknya pada harga yang lebih rendah, jumlah barang yang diminta akan semakin bertambah, dengan asumsi cateris paribus atau hal-hal lain yang mempengaruhi dianggap konstan” (Iswardono, 1994). Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah yang diminta berhubungan terbalik (inverse) dengan harga barang tersebut dengan anggapan bahwa hal-hal lain dianggap konstan pada berbagai kemungkinan harga.
13
Harga tidak merupakan satu-satunya yang menentukan berapa banyak masyarakat mau membeli barang-barang dan jasa. Disamping harga permintaan dipengaruhi oleh pendapatan. Misalnya, jika harga barang sesuatu meningkat, tetapi pendapatan juga meningkat tidak dapat diketahui bagaimana perubahan jumlah barang yang diminta. Akan tetapi kalau harga konstan dan parameter nonprice juga konstan maka dapat ditentukan arah perubahan jumlah barang yang diminta. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan akan suatu barang, diantaranya yaitu harga barang sendiri, pendapatan konsumen, harga terkait baik yang bersifat substitusi maupun komplementer terhadap barang tersebut, selera atau kebiasaan konsumen, jumlah penduduk, dan perkiraan harga di masa mendatang. (Iswandono, 1994 ) 1. Perubahan Harga Barang Itu Sendiri Perubahan harga barang sendiri akan menyebabkan perubahan jumlah barang yang diminta dengan asumsi cateris paribus. Ini dicerminkan oleh pergerakkan pada satu kurva permintaan. Pada Gambar 2.2 nampak adanya perubahan jumlah barang yang diminta jika ada perubahan harga. Perubahan dari titik A ke B atau ke C disebabkan karena perubahannya harga barang itu sendiri. Ini berarti bahwa setiap kurva permintaan, jumlah barang yang diminta berubah sebagai akibat dari perubahan harga barang itu sendiri. Semakin tinggi harga suatu barang, semakin sedikit jumlah barang yang diminta, dan semakin rendah harga suatu barang semakin banyak jumlah barang yang diminta. Pernyataan ini sering disebut sebagai hukum permintaan yang berlaku dengan asumsi cateris paribus.
14
Hal yang perlu diingat bahwa perubahan harga akan menyebabkan pergerakan sepanjang kurva permintaan. 2. Pendapatan Konsumen Adanya perubahan faktor lain selain harga barang itu sendiri akan menimbulkan
terjadinya
perubahan
permintaan
yang
ditunjukkan
oleh
bergesernya kurva permintaan ke kanan atau ke kiri. D1
HARGA RP
D
D2
D2 0
D
D1
JUMLAH (UNIT)
Sumber: Iswardono, 1994
Gambar 2.3. Perubahan Permintaan Dalam Gambar 2.3 diatas, nampak bahwa kurva permintaan mula-mula adalah DD, kemudian berubah menjadi D1D1 dan D2D2. Perubahan ini yang disebut sebagai perubahan permintaan. Permintaan bertambah (meningkat) dicerminkan oleh D1D1 dan permintaan berkurang (menurun) ditunjukkan oleh D2D2. Oleh
karena
itu,
kenaikan
pendapatan
cenderung
meningkatkan
permintaan. Ini berarti bahwa kurva permintaan menunjukkan kuantitas (jumlah) yang diminta lebih besar pada setiap harga. Sehingga kenaikan pendapatan akan menggeser kurva permintaan kekanan (DD-D1D1) dan sebaliknya menurunnya
15
pendapatan akan menggeser kurva permintaan kekiri (DD-D2D2). Kenaikan permintaan mungkin disebabkan meningkatnya pendapatan dan sebaliknya menurunnya permintaan karena menurunnya pendapatan. Ini berarti ada hubungan positif antara pendapatan dengan permintaan. 3. Harga Barang Terkait : Substitusi dan Komplementer Adanya perubahan harga barang lain juga akan menyebabkan perubahan permintaan. Dalam menggambarkan kurva permintaan selalu dianggap bahwa harga barang itu sendiri yang berpengaruh terhadap jumlah barang yang diminta sedangkan harga barang tersebut (prices of related goods) dianggap konstan. Ada dua macam barang terkait yaitu barang substitusi dan barang komplementer. Kedua macam barang tersebut dapat didefinisikan dalam kaitannya dengan perubahan harga tersebut terhadap permintaan akan sesuatu barang. Misalnya, ada 2 (dua) barang X dan Y. Jika barang X dan barang Y substitusi, maka jika harga barang Y turun dan harga barang X tetap, kurva permintaan barang X akan bergeser kekiri atau ada penurunan permintaan. Contohnya: beras dan jagung. Dengan perkataan lain hubungannya positif artinya kenaikan harga beras (barang Y) cenderung meningkatkan permintaan akan jagung (barang X) dan sebaliknya. Sedang barang X dan barang Y komplementer, maka hubungannya negatif. Ini berarti bahwa jika harga barang Y naik cenderung akan menurunkan permintaan akan barang dan sebaliknya. Contohnya raket tenis dengan bola tenis. Ini berarti bahwa kalau harga raket tenis meningkat maka permintaan akan bola
16
tenis menurun dan sebaliknya kalau harga raket tenis menurun maka permintaan akan bola tenis meningkat. 4. Selera atau Kebiasaan Konsumen Selera atau kebiasaan juga dapat mempengaruhi permintaan suatu barang. Misalnya, selera wanita berubah, tidak menyukai rok mini lagi, ini akan berakibat bergesernya kurva permintaan rok mini kekiri dalam. Dan sebaliknya kalau selera wanita terhadap rok mini meningkat maka kurva permintaan rok mini akan bergeser kekanan atas. Para ekonom tidak banyak membicarakan peranan selera pada perubahan permintaan. Hal ini disebabkan karena para ekonom tidak mampu mendefinisikan dan memberi tolak ukur terhadap selera serta tidak menjelaskan faktor-faktor apa yang menentukan selera. Ringkasnya, karena ada kesulitan dalam pengukuran dan teori tentang perubahan selera maka dianggap bahwa selera konstan, walaupun sebenarnya tidak, khususnya kalau ada pengenalan produk baru di pasar. 5. Jumlah Penduduk Robert Malthus dalam Sukirno (1985) mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk merupakan deret geometri (ukur) sedangkan pertumbuhan pangan adalah merupakan deret aritmetika (hitung). Artinya adalah bahwa pertumbuhan pangan tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk yang pesat. Semakin banyak jumalah penduduk maka pangan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup akan semakin meningkat pesat (permintaan pangan meningkat) sedangkan persediaan pangan relatif meningkat secara perlahan. Kelemahan teori ini kurang memperhitungkan faktor tekhnologi dalam proses peningkatan produktivitas.
17
6. Perkiraan Harga di Masa Mendatang Teory of Rational Expectation atau teori perkiraan yang rasional yang dikemukakan olh Lucas dalam The economics of Money, Banking, and Financial Markets menyatakan bahwa masyarakat umumnya berperilaku berjaga-jaga dalam mengantisi kondisi yang akan terjadi di masa mendatang. Artinya adalah kejadian yang diperkirakan terjadi pada masa yang akan datang akan mempengaruhi situasi saat ini. Sebagai contoh harga suatu barang yang diperkirakan akan naik di masa yang akan datang yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti kondisi makroekonomi dan politik yang kurang stabil maka masyarakat akan menambah stok sebagai persediaan di masa yang akan datang. Keadaaan ini mendorong masyarakat untuk membeli lebih banyak saat ini guna menghemat belanja di masa yang akan datang. Apabila kita memperkiraan bahwa harga suatu barang akan naik, adalah lebih baik membeli barang itu sekarang. Keadaaan ini mendorong orang untuk membeli lebih banyak saat ini guna menghemat belanja di masa mendatang.
2.2.2. Elastisitas Ekonom
sering
ingin
mengetahui
bagaimana
perubahan
harga
mempengaruhi permintaan akan suatu barang tertentu, atau bagaimana pengaruh perubahan pendapatan terhadap pengeluaran. Suatu hal yang menghambat untuk mengetahui hal tersebut adalah kedua unsur tersebut tidak menggunakan ukuran yang sama. Misalnya perubahan dalam suatu variabel adalah A, sementara efek
18
yang ditimbulkannya adalah B. Padahal A dan B tidak diukur dalam ukuran yang sama. Padahal A dan B tidak diukur dalam ukuran yang sama. Sebagai contoh, jumlah tepung terigu dalam ton, sedangkan harganya diukur dalam rupiah. Naiknya harga tepung terigu Rp 50.000,- per ton mengakibatkan turunnya permintaan akan tepung terigu tersebut sebanyak 2 ton per minggu. Turunnya harga beras Rp 10.000,- per ton menyebabkan naiknya permintaan akan beras tersebut sebanyak 3 ton per minggu. Dalam hal ini tidaklah mudah untuk menjawab mana yang lebih responsif antara tepung terigu dan beras tersebut. Hal ini disebabkan karena tepung terigu dan beras tidak diukur dalam unit ukur yang sama. Untuk mencari jalan keluarnya, para ahli ekonomi telah mengembangkan sebuah konsep yang dikenal dengan konsep elastisitas. Anggap suatu variabel B tergantung pada variabel lain (A). Hal ini bisa ditulis sebagai: B = f(A...), dimana titik dalam tanda kurung menunjukkan bahwa B juga tergantung dari variabel atau faktor-faktor peubah lainnya. Elastisitas B terhadap A adalah: E B, A =
=
persentase perubahan dalam B persentase perubahan dalam A
ΔB ΔA
B = ∂B . A ∂A B A
(2.1)
Persamaan diatas menunjukkan bagaimana respons B jika terjadi perubahan dalam peubah A. Dari contoh tepung terigu dan beras diatas, misalkan sekarang terjadi perubahan sebanyak 10 persen dalam harga tepung terigu,
19
menyebabkan terjadinya perubahan sebanyak 20 persen dalam pembelian tepung terigu tersebut, sedang perubahan sebesar 10 persen dalam harga beras menyebabkan berubahnya permintaan akan beras sebanyak 15 persen. Sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa respons terhadap perubahan harga tepung terigu lebih besar (20 persen) daripada respons perubahan harga beras (15 persen) (Nicholson, 2001). Elastisitas merupakan berapa persen suatu variabel akan berubah, bila satu variabel lain berubah satu persen. Angka elastisitas adalah bilangan yang menunjukkan berapa persen satu variabel tak bebas akan berubah, sebagai reaksi karena satu variabel lain (variabel bebas) berubah satu persen. Elastisitas permintaan mengukur perubahan relatif dalam jumlah unit barang yang dibeli sebagai akibat perubahan salah satu faktor yang mempengaruhinya (ceteris paribus). Pada uraian diatas telah dibahas bahwa ada tiga faktor penting yang mempengaruhi permintaan terhadap suatu barang, yaitu barang itu sendiri disebut elastisitas harga, harga barang lain disebut elastisitas silang, dan pendapatan disebut elastisitas pendapatan. 1. Elastisitas Harga
Konsep elastisitas harga menunjukkan bahwa perubahan harga akan menyebabkan perubahan jumlah barang yang diminta. Konsep ini disebut juga sebagai elastisitas harga permintaan yang didefinisikan sebagai derajat kepekaan perubahan jumlah barang yang diminta sebagai akibat perubahan harga. Elastisitas merupakan angka murni (pure number), sehingga tidak ada satuannya. Adapun rumus umum elastisitas harga adalah:
20
Ep = Persentase perubahan jumlah barang yang diminta Persentase perubahan harga atau Δq x Ep =
ΔPx
qx Px
=
Δq x Px . ΔPx q x
(2.2)
dimana: Ep = elastisitas harga, Δqx = perubahan jumlah barang x yang diminta, ΔPx = perubahan harga barang x, P = harga barang x, q = kuantitas barang x. Hukum permintaan menunjukan bahwa adanya hubungan negatif (inverse) antara harga dengan jumlah barang yang diminta. Ini berakibat bahwa elastisitas harga bertanda negatif artinya kenaikan harga suatu barang ceteris paribus, akan menurunkan jumlah barang yang diminta. Sebaliknya, penurunan harga suatu barang, asumsi ceteris paribus, akan menaikkan jumlah barang yang diminta. Persentase perubahan jumlah barang yang diminta merupakan variabel yang dipengaruhi (dependent variable), sedangkan persentase perubahan harga (per unit) adalah variabel mempengaruhi (independent variable). Suatu perubahan dalam harga menyebabkan perubahan jumlah barang yang diminta dalam arah yang berlawanan. Angka elastisitas harga merupakan nilai mutlak. Artinya elastisitas harga Ep = 2 sama artinya dengan elastisitas harga Ep = -2. Begitu juga sebaliknya. Semakin besar nilai negatifnya, semakin elastis permintaannya, sebab perubahan permintaan jauh lebih besar dibanding perubahan harga. Angka-angka elastisitas harga, yaitu:
21
a)
Inelastis (Ep < 1) Perubahan permintaan (dalam persentase) lebih kecil daripada perubahan
harga. Jika harga naik sebesar 10 persen menyebabkan permintaan turun sebesar 6 persen. Permintaan barang kebutuhan pokok umumnya inelastis. Misalnya perubahan harga beras di Indonesia, tidak berpengaruh besar terhadap perubahan permintaan terhadap beras. b)
Elastis (Ep > 1) Permintaan terhadap suatu barang dikatakan elastis bila perubahan harga
suatu barang menyebabkan perubahan permintaan yang besar. Misalnya, bila harga turun 10 persen menyebabkan permintaan naik 20 persen. Karena itu nilai Ep lebih besar daripada satu. Barang mewah seperti mobil umumnya permintaan elastis. c)
Elastis unitari (Ep = 1) Jika harga naik sebesar 10 persen, menyebabkan permintaan turun sebesar
10 persen juga. d)
Inelastis sempurna (Ep = 0) Berapapun harga suatu barang, orang akan tetap membeli jumlah yang
dibutuhkan. Contohnya adalah permintaan terhadap garam. e)
Elastis tak terhingga (Ep = ∞) Perubahan sedikit saja menyebabkan perubahan permintaan tak terhingga
besarnya. Secara grafis tingkat elastisitas harga terlihat dari slope (kemiringan) kurva permintaan yang terlihat pada gambar 2.4. Bila kurva permintaan tegak lurus,
22
permintaan inelastis sempurna. Artinya perubahan harga tidak mempengaruhi jumlah barang yang diminta. Bila kurva sejajar sumbu datar, permintaan elastis tak terhingga. Artinya perubahan harga sedikit saja menyebabkan perubahan jumlah barang yang diminta tak terhingga besarnya. Permintaan dikatakan elastis unitari, bila slope kurvanya minus satu (kurvanya membentuk sudut 45°). Artinya bahwa semakin datar kurva maka semakin elastis permintaan akan suatu barang. Harga
Ep = 0
Ep = ∞
Makin Elastis Ep = 1
0
Kuantitas
Sumber: Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, 2002
Gambar 2.4. Bentuk-bentuk Kurva Permintaan (Berkaitan Dengan Elastisitas Harga) 2. Elastisitas Harga Silang
Dampak perubahan jumlah barang yang diminta sebagai akibat perubahan harga barang lain diukur dengan elastisitas harga silang yang menunjukkan derajat kepekaan perubahan jumlah barang yang diminta sebagai akibat perubahan harga barang lain. Adanya perubahan harga barang lain, misalnya penurunan harga barang lain, akan menyebabkan pergeseran kekiri atas atau kekanan bawah kurva permintaan suatu barang. Dari definisi elastisitas harga silang akan dapat diklasifikasikan hubungan antara suatu barang dengan barang lainnya, apakah substitusi (saling mengganti)
23
atau komplementer (sama-sama dipakai bersama). Rumus Umum yang digunakan adalah sebagai berikut: Ec = Persentase perubahan jumlah barang X yang diminta Persentase perubahan harga Y atau
ΔQx Ec =
ΔPy
Qx Py
=
ΔQx Py . ΔPy Qx
(2.3)
dimana: Ec = elastisitas harga silang, Δqx = perubahan jumlah barang x yang diminta, ΔPy = perubahan harga barang y, P = harga barang y, q = kuantitas barang x. Jika elastisitasnya bertanda positif, maka hubungan kedua barang tersebut X dan Y adalah substitusi (Ec > 0), artinya kenaikan harga barang Y menyebabkan harga relatif X lebih murah, sehingga permintaan terhadap X meningkat. Misalkan, bila harga daging ayam naik, maka permintaan terhadap daging sapi akan meningkat (cateris paribus), karena harga daging sapi relatif menjadi lebih murah dibandingkan harga daging ayam. Dan sebaliknya jika elastisitasnya bertanda negatif, maka hubungan kedua barang tersebut X dan Y adalah komplementer (Ec < 0), artinya X hanya bisa digunakan bersama-sama Y. Penambahan atau pengurangan terhadap X, menyebabkan penambahan atau pengurangan terhadap Y. Kenaikan harga Y menyebabkan permintaan terhadap Y menurun, yang menyebabkan permintaan terhadap X ikut menurun. Misalkan, bila harga BBM naik (cateris paribus), maka dapat diduga permintaan terhadap mobil berkurang.
24
3. Elastisitas dan Total Pendapatan
Elastisitas pendapatan mengukur berapa persen permintaan terhadap suatu barang berubah bila pendapatan berubah sebesar satu persen. Ei = Persentase perubahan jumlah barang yang diminta Persentase perubahan pendapatan atau
ΔQ Ei =
Q ΔI
I
=
ΔQ I . ΔI Q
(2.4)
dimana: Ei = elastisitas pendapatan, Δq = perubahan jumlah barang x yang diminta, Δi = perubahan pendapatan, Pada umumnya nilai Ei positif, karena kenaikan pendapatan (nyata) akan meningkatkan permintaan. Makin besar nilai Ei, elastisitas pendapatannya makin besar. Barang dengan Ei > 0 merupakan barang normal. Bila nilai Ei antara 0 sampai 1, barang tersebut merupakan kebutuhan pokok. Barang dengan nilai Ei > 1 merupakan barang mewah. Barang dengan Ei < 0, permintaan terhadap barang tersebut justru menurun pada saat pendapatan nyata meningkat, sehingga barang ini disebut barang inferior.
2.3.
Kerangka Pemikiran Konseptual
Tepung terigu merupakan olahan dari gandum. Permintaan teoung terigu di Indonesia mempunyi tren yang meningkat dari tahun 1982 hingga tahun 1997, namun pada tahun 1998 seiring dengan terjadi krisis ekonomi permintaan tepung
25
terigu di Indonesia turun pada tahun 1998 dan tahun 1999, tetapi pada akhirnya meningkat tajam pada tahun 2000 dan berikutnya. 4000 3500
ribu ton
3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
tahun
Sumber: APTINDO, 2003
Gambar 2.5. Permintaan Tepung Terigu Di Indonesia tahun 1982:2003
Teori permintaan dalam ekonomi mikro dijelaskan bahwa permintaan dipengaruhi oleh harga barang tersebut, harga barang substitusi, dan tingkat pendapatan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis melihat apakah permintaan tepung terigu di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut diatas. Sedangkan kerangka pemikiran konseptualnya dijelaskan dalam Gambar 2.5 berikut ini:
26
Permintaan Tepung Terigu di Indonesia (AD)
Harga Tepung Terigu
Harga Tepung Beras
Pendapatan
Dummy Krisis
Regresi (OLS) Interpretasi Keimpulan dan Saran
Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran Konseptual
Dari Gambar 2.5 dapat dijelaskan bahwa penawaran tepung terigu (AS) sama dengan permintaan tepung terigu (AD) di Indonesia. Permintaan tepung terigu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya dalam penelitian ini adalah harga tepung terigu itu sendiri, harga tepung beras sebagai subtitusi dari tepung terigu, perubahan pendapatan perkapita masyarakat, dan dummy krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Untuk meramalkan faktorfaktor yang telah disebutkan diatas terhadap jumlah permintaan tepung terigu di indonesia maka digunakan analis regresi. Dari hasil output regresi dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) akan di analisis secara statistik dan ekonomi yang akan didapatkan kesimpulan. Dari hasil kesimpulan akan ditarik saran yang relevan.
27
2.4.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Achmad Kusasi (1982) dengan melakukan analisa permintaan tepung terigu yang dipergunakan untuk memperkirakan harga tepung terigu lima tahun ke depan untuk menekan laju konsumsi (1983-1987). Variabel dummy dan selera tidak dimasukkan dalam model karena dianggap tidak berpengaruh. Data yang digunakan adalah data time series tahun 1971-1980. Dari analisis tersebut diperoleh elastisitas pendapatan terhadap permintaan terigu adalah 4.926, elastisitas harga permintaan terigu adalah -0.2593, dan elastisitas silang terhadap harga beras adalah 2.495. Dengan demikian pada periode tahun 1971-1980 tepung terigu termasuk barang mewah, inelastis permintaannya dan mempunyai hubungan substitusi erat dengan beras. Bambang Djanuwardi (1988) melakukan penelitian tepung terigu, dengan judul “Analisis Permintaan Tepung Terigu di Indonesia”, dengan menitikberatkan pada elastisitas permintaan tepung terigu dengan menggunakan data time series tahun 1967-1986. Dalam penelitiannya menyimpulkan adanya peningkatan nilai elastisitas tepung terigu. Dibandingkan dengan perhitungan sebelumnya yang dijadikan acuan Djanuwardi, perhitungan Bambang Djanuwardi (1967-1986) menunjukkan nilai elastisitas pendapatan terhadap permintaan terigu adalah 1.767, elastisitas harga permintaan terigu adalah -0.9296, dan elastisitas silang terhadap harga beras adalah 0.6435. Dengan demikian pada periode tahun 1967-1986 tepung terigu masih tergolong barang mewah, kurang inelastis permintaannya dan hubungan substitusi dengan beras mulai berkurang. Dalam penelitian Djanuardi
28
ini terdapat kekurangan yaitu tidak diperhatikannya upaya meminimalkan terjadinya autokorelasi. Andy Harfa (1996) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permintaan tepung terigu di Indonesia beserta arah perubahannya (pada analisis kwantitatifnya) dengan periode tahun 1983-1994. Dari persamaan perhitungan menunjukkan bahwa nilai elastisitas pendapatan terhadap permintaan terigu adalah 5.0169, elastisitas harga permintaan terigu adalah -1.3836, dan elastisitas silang terhadap harga beras adalah 0.61187. Dengan demikian pada periode tahun 1983-1994 tepung terigu di masa mendatang mengalami peningkatan konsumsinya seiring dengan peningkatan pendapatan, permintaannya yang semakin elastis dan hubungan substitusi dengan beras mulai berkurang. Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa permintaan tepung terigu telah mengalami perubahan pola yaitu dari pola konsumsi langsung menuju pola konsumsi tidak langsung/bentuk olahannya (seperti dalam bentuk mie, roti). Sawit (2003) meneliti tentang kebijakan gandum/tepung terigu yang harus menumbuhkembangkan industri pangan dalam negeri. Dalam penelitiannya Sawit menjelaskan kebijakan tepung terigu orde baru, kebijakan liberalisasi, dan skenario pembatasan impor tepung terigu. Menurutnya kebijakan penerapan bea masuk beras, akan berdampak pada peningkatan permintaan impor gandum, karena eratnya substitusi antara tepung terigu dan beras. Semakin efektifnya penerapan bea masuk beras akan membuat harga beras dalam negeri menjadi tinggi, akan mendorong impor gandum atau tepung terigu.
29
Oleh karena itu, menurut Sawit (2003) agar bea masuk untuk gandum diberlakukan juga, paling tidak setengah dari tingkat bea masuk ditetapkan untuk beras. Apabila bea masuk beras ditetapkan Rp 400/kg, mungkin tepat bila bea masuk gandum atau tepung terigu sekitar Rp 200/kg. Dengan cara ini diharapkan dapat membendung impor gandum/tepung terigu yang terlalu berlebih dan harganya akan tinggi, sehingga akan mengurang/memperlambat laju konsumsi tepung terigu, dan masyarakat akan beralih ke pangan produksi dalam negeri yang lebih murah seperti ubi-ubian, jagung, atau sagu.
2.5.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, permasalahan, dan tujuan penelitian, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis dalam skripsi ini sebagai berikut: 1. Harga tepung terigu berpengaruh negatif terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia. 2. Harga tepung beras berpengaruh positif terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia. 3. Pendapatan perkapita masyarakat mempunyai pengaruh positif terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia. 4. Dummy krisis berpengaruh yang negatif terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu
data yang didapat dari hasil penelitian lain atau organisasi yang sudah jadi dan dipublikasikan. Sedangkan jenis data yang digunakan adalah data Time Series tahunan pada rentang waktu antara 1982 sampai tahun 2003. Sumber data berasal dari Badan Urusan Logistik (BULOG) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data diperoleh juga dari referensi studi kepustakaan yang diperoleh dari buku, perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, APTINDO, perpustakaan LSI IPB, dan internet. Data-data yang digunakan adalah data jumlah permintaan tepung terigu (Q), harga tepung terigu (PT), harga tepung beras sebagai harga barang substitusi (PB), dan pendapatan masyarakat perkapita (Y).
3.2.
Metode Analisis Data Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode ekonometrika. Model ekonometrika yang digunakan adalah model regresi linier dengan menggunakan Ordinary Least Squares (OLS), yang diolah dengan menggunakan software eviews 4.1. Menurut Gujarati (1995), metode OLS biasa dapat digunakan jika dipenuhi asumsi sebagai berikut:
31
1. Variasi unsur sisa menyebar normal, dimana OLS cenderung akan mendekati distribusi normal apabila sampel semakin besar, yaitu n mendekati tak hingga (∞). 2. Nilai rata-rata dari unsur sisa sama dengan nol. Maksudnya adalah kesalahan pengganggu sama dengan nol, yaitu E (ei) = 0. 3. Ragam merupakan bilangan tetap (homoskedastisitas). 4. Tidak ada autokolerasi antara kesalahan pengganggu. 5. Tidak ada kolinier sempurna antara viriabel bebas (multikolinearitas).
3.3.
Model Dasar Penelitian Model ekonometrika yang dipakai dalam menjelaskan penelitian mengenai
“Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Terigu Di Indonesia (Periode 1982-2003)” adalah sebagai berikut: LQ = c + a1LPT +a2LPB + a3LYper kapita + a4Dummy + et Dimana : LQ LPT LPB LY Dummy et ai
= Logaritma Jumlah Permintaan Tepung Terigu di Indonesia = Logaritma Harga Tepung Terigu = Logaritma Harga Tepung Beras = Logaritma Pendapatan per Kapita = Dummy Krisis Ekonomi ( 0 untuk sebelum krisis ekonomi, 1 untuk setelah krisis ekonomi) = error term = Parameter dugaan
3.4.
Uji Ekonometrika
1.
Multikoliniearitas Multikoliniearitas dapat diartikan sebagai hubungan linear diantara
beberapa atau semua variabel bebas dalam sebuah model regresi. Asumsi bahwa
32
suatu model terbebas dari masalah multikoliniearitas yaitu kondisi dimana terdapat hubungan yang linier sempurna diantara beberapa atau semua variabel bebas dalam sebuah model regresi. Multikoliniearitas dapat dideteksi apabila terjadi korelasi yang sangat kuat antara variabel-variabel bebas. Hal ini akan menyebabkan kesimpulan cenderung menyatakan terima H0 atau pengaruh variabel bebas tidak signifikan meskipun nilai R2 sangat tinggi. Untuk
melihat
masalah
multikoliniearitas
dalam
penelitian
ini
dipergunakan uji correlation matrix hasil perhitungan dengan E-views. Semakin besar correlation matrix, maka hubungan antara variabel-variabel bebas tersebut semakin erat atau multikoliniearitas yang terjadi akan semakin tinggi. Demikian juga sebaliknya jika nilai correlation matrix semakin kecil atau kurang dari │0.8│maka tidak ada multikoliniearitas (Gujarati, 1995). 2.
Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi jika ragam atau varians tidak konstan. Akibat
dari heteroskedastisitas ini menyebabkan sifat BLUE (best linier unbiased estimate) tidak tercapai atau pengujiannya tidak valid. Selain itu, jika digunakan untuk prediksi maka hasilnya tidak efisien. Pengujian heteroskedastisitas pada penelitian ini dilakukan dengan menghitung nilai probabilitas yang terdapat pada uji value heterkedasticity (cross term) dengan menggunakan program E-views. Sebuah
hasil
regresi
dikatakan
homokedastisitas
(tidak
mengandung
heteroskedastisitas) jika nilai probabilitas dari uji white heteroskedasticity lebih besar dari taraf nyata (α) yang digunakan.
33
3.
Autokolerasi Autokolerasi terjadi jika nilai error tidak bersifat bebas antara yang satu
dengan yang lainnya. Artinya terjadi kolerasi antar error sehingga model yang baik menghasilkan error yang acak, tidak lagi berpola. Akibatnya varians yang kita peroleh under estimate. Pengujian autokolerasi dilakukan dengan menggunakan uji Breausch-Godfrey serial correlation LM hasil perhitungan dengan E-views. Jika nilai probabilitasnya lebih besar dari taraf nyata (α) terbesar yang dipakai pada model maka hasil regresi tidak mengandung autokolerasi.
3.5.
Uji Statistik Model
1.
Uji Koefisien Determinasi R2 Nilai koefisien determinasi (R2) digunakan untuk melihat seberapa besar
keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas yang terpilih terhadap variabel tidak bebas (Q). Koefisien determinan dapat dirumuskan sebagai berikut: R2 = 1 -
SSE SSR = SST SST
( 3 . 1)
Dimana: SST = jumlah kuadrat total SSE = jumlah kuadrat galat SSR = jumlah kuadrat regresi Koefisien determinasi (R2) memiliki dua sifat (Gujarati, 1995). Pertama, R2 merupakan besaran non negatif, dan kedua besarnya nilai R2 adalah 0 ≤ R2 ≤ 1, dimana bila R2 semakin mendekati 1 berarti model tersebut dapat dikatakan semakin baik karena semakin dekat hubungan antar variabel bebas terhadap variabel tidak bebas, demikian pula sebaliknya.
34
2.
Uji t-Statistik Nilai t-hitung digunakan untuk menguji secara statistik apakah koefisien
regresi dari masing-masing variabel bebas yang digunakan yaitu harga tepung terigu (PT), harga beras (PB), dan pendapatan masyarakat (Y) yang dipakai secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebas yaitu jumlah permintaan tepung terigu perkapita (Q). Pengujian secara statistik sebagai berikut: Hipotesis: H0 : Variabel bebas tidak signifikan H1 : Variabel bebas signifikan Uji statistik yang digunakan adalah uji-t ; t-hitung =
bi * − bi bi * − 0 bi * = = S ( bi ) S (bi ) S (bi )
( 3 .2 )
t-tabel = tα/2(n-k) Dimana: bi = nilai koefisien α dan β bi* = nilai koefisien regresi dugaan S(bi*) = simpangan baku koefisien dugaan (n) = jumlah sampel k = jumlah koefisien regresi dugaan (termasuk konstan) Kriteria uji : t-hitung > tα/2(n-k), maka tolak H0 t-hitung < tα/2(n-k), maka terima H0 Jika nilai mutlak t-hitung lebih besar dari t-tabel (tolak H0) maka variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (permintaan tepung terigu). Sebaliknya jika nilai t-hitung lebih kecil dari t-tabel (terima H0) berarti variabel bebas yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas.
35
Uji ini juga dapat dilakukan dengan membandingkan probabilitas tstatistiknya dengan taraf nyata yang digunakan. Jika probabilitas t-statistik > taraf nyata yang digunakan maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas tersebut signifikan berpengaruh terhadap variabel terikatnya. 3.
Uji F-Statistik
Uji F-statistik digunakan untuk mengetahui tingkat signifikan dari pergerakan seluruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap pergerakan dari variabel tidak bebasnya dalam suatu persamaan. Kemudian dari hasil regresi juga diperoleh nilai F yang akan memberikan informasi apakah semua variabel bebas secara serempak atau bersama-sama mempengaruhi variabel tidak bebas. Pengujian terhadap model penduga secara statistik sebagai berikut: Hipotesis : H0 : α = β = 0 H1 : α ≠ β ≠ 0 Uji statistik yang digunakan adalah uji F F-hitung =
R 2 /( k − 1) (1 − R 2 ) /( n − k )
( 3 . 3)
Kriteria uji : F-hitung > Fα(k-1,n-k), maka tolak H0 F-hitung < Fα(k-1,n-k), maka terima H0 Apabila nilai mutlak F-hitung lebih besar dari F-tabel (tolak H0) berarti secara bersama-sama variabel bebas (PT, PB, Y, dan Dummy) dalam jumlah permintaan tepung terigu mempunyai pengaruh yang nyata terhadap variabel tidak bebas(Q). Sebaliknya jika nilai F-hitung lebih kecil dari F-tabel (terima H0) berarti
36
secara bersama-sama variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas. Uji F juga dapat dilakukan dengan membandingkan probabilitas Fstatistiknya dengan taraf nyata yang digunakan. Jika probabilitas F-statistik > taraf nyata yang digunakan maka dapat disimpulkan bahwa keabsahan suatu model dapat diterima atau dengan kata lain paling tidak ada satu variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya.
IV. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA
4.1.
Industri Tepung Terigu di Indonesia Tepung terigu sebagai bahan pangan yang sangat penting di Indonesia
merupakan satu alasan bagi pokok untuk pemerintah untuk terlibat dalam industri tepung terigu di Indonesia. Keterlibatan pemerintah dalam industri tepung terigu di Indonesia dimulai sejak tahun 1966 dengan tujuan untuk menjaga kontuinitas ketersediaan dan kestabilan harga tepung terigu di Indonesia. Secara garis besar kondisi industri tepung terigu Indonesia dapat dibagi dalam dua periode yang berbeda yakni: masa monopoli Bulog (sebelum tahun 1998) dan masa liberalisasi perdagangan (sejak tahun 1998). Industri tepung terigu di Indonesia pada masa sebelum liberalisasi tahun 1998, gandum dan tepung terigu sepenuhnya dikuasai atau diatur oleh Bulog. Bulog merupakan satusatunya yang berhak melakukan pembelian gandum dan atau tepung terigu di Indonesia atau dengan kata lain bahwa Bulog mengatur semua tata niaga industri tepung terigu di Indonesia, sedangkan swasta hanya berperaan sebagai jasa penggilingan gandum menjadi tepung terigu. Perlu diketahui bahwa pembelian gandum oleh bulog sampai tahun 1997 di subsidi oleh pemerintah. Pada tahun 1998, dengan berbagai pertimbangan dengan melihat dampak buruk dari monopoli yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap industri tepung terigu di Indonesia, pemerintah mengeluarkan surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan NO.21/MPP/Kep/1/1998 mengenai pencabutan monopoli oleh Bulog (Bogasari) pada tepung terigu dan bahan dasarnya di
38
Indonesia. Maka sejak dikeluarkannya surat keputusan tersebut maka pengadaan dan penyaluran tepung terigu di dalam negeri dilakukan secara bebas dan tanpa campur tangan pemerintah. Pasar tepung terigu yang tadinya merupakan monopoli yang dikuasai oleh Bulog secara teori berubah menjadi pasar persaingan sempurna, dimana setiap pihak menpunyai hak yang sama untuk impor gandum dan tepung terigu dari luar negeri (pengadaan dan penyediaan tepung terigu di Indonesia dilakukan secara bebas). Kebijakan pencabutan monopoli oleh Bulog, membawa suasana yang berbeda bagi industri tepung terigu di Indonesia. Pasar yang sebelumnya kaku menjadi pasar yang sangat terbuka dan kompetitif. Hal ini dikarenakan masuknya pelaku-pelaku baru dalam pasar tepung terigu, sehingga mendorong inovasi pada produk, kualitas, merek, promosi, pelayanan dan efisiensi pada produsen. Menurut data pada APTINDO, 2003 empat perusahaan terbesar yang mengusai pangsa pasar adalah Bogasari dengan 71.1 persen, Berdikari sebesar 8.2 persen, Sriboga dengan 6 persen, Panganmas sebesar 4.2 persen. Jumlah total empat perusahaan yang menguasai pangsa pasar tersebut adalah sebesar 89.5 persen. Pangsa pasar. lainnya sebesar 9.9 persen tepung terigu Impor dan sisanya oleh perusahaan lainnya. Permintaan tepung terigu di Indonesia dari tahun ke tahun relatif meningkat. Dari tahun 1982 sampai tahun 1997 permintaan tepung terigu meningkat pesat. Tercatat bahwa pada tahun tahun 1982 permintaan tepung terigu di Indonesia hanya sebesar 746.891 ton,
dan dari tahun ketahun cenderung
39
meningkat hingga pada tahun 1997 permintaan tepung terigu pada puncaknya yakni sebesar 3.212.309 ton. Tabel 4.1. Perkembangan Permintaan dan Harga Tepung Terigu di Indonesia Tahun 1982-2003 Permintaan Harga Tahun Tepung Terigu (Ton) Tepung Terigu (Rp) 1982 746891 274,34 1983
794650
317,17
1984
812649
379,94
1985
952426
432,07
1986
1156731
460,82
1987
1199943
533,13
1988
1273180
600,60
1989
1335751
694,27
1990
1298071
776,41
1991
1720912
795,91
1992
1642264
807,59
1993
2029203
832,17
1994 1995
2463262 3158006
836,08 872,62
1996
3062969
904,45
1997
3212309
992,65
1998
2534380
2464,20
1999
2409238
2807,30
2000
3606380
2532,30
2001
3789504
2905,50
2002
4025648
3122,90
2003
4560856
3431,60
Sumber: APTINDO, 2003 dan Biro Analisis Harga dan Pasar (BULOG), 2003
Krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara pada tahun 1997 berdampak pada perekonomian Indonesia. Krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997 kwartal ke III dan puncaknya pada tahun 1998. Ketidakstabilan makroekonomi dan situasi politik yang kurang kondusif berdampak pula pada
40
permintaan tepung terigu di Indonesia. Permintaan tepung terigu turun menjadi 2.534.380 ton pada tahun 1998 dan 2.409.238 pada tahun 1999. Namun seiring dengan membaiknya perekonomian Indonesia permintaan tepung terigu meningkat tajam pada tahun berikutnya dan mencapai 4.560.856 ton pada tahun 2003. Harga tepung terigu di Indonesia dari tahun 1982 sampai dengan tahun 1997 meningkat perlahan dan relatif stabil pada level ratusan Rupiah. Tetapi setelah krisis ekonomi yang berdampak pada terjadinya krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia, dimana nilai tukar Rupiah yang melemah tajam (terdepresiasi) terhadap mata uang asing terutama mata uang Dollar Amerika Serikat berpengaruh terhadap harga tepung terigu di Indonesia. Inflasi yang membumbung tinggi meningkatkan harga-harga sebagai dampak lanjutan dari krisis moneter yang terjadi. Harga-harga komoditi di Indonesia secara keseluruhan meningkat tajam tak terkecuali harga tepung terigu. Harga tepung terigu meningkat sangat tajam dari tahun sebelumnya yakni pada tahun 1997 sebesar Rp 992 perkilogram menjadi Rp 2464 perkilogram pada tahun 1998. Demikian tahun berikutnya harga tepung terigu meningkat pada level yang tinggi. Namun perlu di ketahui bahwa peningkatan harga yang sangat tinggi ini tidak hanya semata-mata disebabkan oleh krisis ekonomi tetapi juga di pengaruhi oleh dicabutnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah pada gandum dan tepung terigu di Indonesia sejak tahun 1998. Gandum sebagai bahan dasar tepung terigu tidak terlepas dari industri tepung terigu di Indonesia. Tingginya permintaan tepung terigu berdampak pada
41
meningkatnya permintaan akan gandum untuk di olah menjadi tepung terigu. Ketersediaan dari gandum di peroleh dari impor sebab Indonesia bukan merupakan penghasil gandum, tetapi termasuk negara importir terbesar di dunia dengan pangsa pasar 3.76 persen, setelah Uni Eropa 7.18 sebesar persen, Brazil sebesar 6.33 persen, Mesir sebesar 6.60 persen, Jepang sebesar 5.50 persen, pecahan Uni Soviet sebesar 5.24 persen, dan Algeria sebesar 4.67 persen .(data rata-rata dari tahun 1998/1999 sampai tahun 2004/2005 sumber USDA, 2005). 4500000 4000000 3500000
TON
3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000
02
00
01
20
20
20
98
99 19
19
96
95
94
97 19
19
19
93
19
19
91
90
92 19
19
19
88
89 19
19
86
87 19
19
19
85
0
TAHUN
Impor Gandum (Ton)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2002 (di olah)
Gambar 4.1. Perkembangan Impor gandum Indonesia Tahun 1985-2002 Sebelum puncak krisis pada tahun 1998 impor gandum di Indonesia tiap tahunnya berfluktuasi tetapi cenderung meningkat. Namun pada tahun 1998 seiring dengan turunnya permintaan tepung terigu impor gandum di Indonesia turun. Pada tahun 1996/1997 impor gandum Indonesia mencapai 4.2 juta ton, namun memasuki periode krisis ekonomi yakni yang dimulai pada tahun 1997
42
kwartal III dan puncaknya tahun 1998 impor gandum Indonesia turun menjadi 3.7 juta ton pada tahun 1997/1998, dan 3.1 juta ton pada tahun 1998/1999.
4.2.
Hasil Estimasi Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu di Indonesia
1.
Uji Ekonometrika Multikolinearitas merupakan suatu keadaaan dimana terjadinya satu atau
dua variabel bebas yang berkorelasi sempurna atau mendekati sempurna atau mendekati sempurna dengan variabel bebas lainnya. Terjadinya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat correlation matrix, jika korelasi antar variabel bebas dalam persamaan regresi kurang dari ⎪0.8⎮(rule of thumbs) maka disimpulkan bahwa dalam persamaan regresi tidak terjadi gejala multikolinearitas, dan sebaliknya jika coefficient matrixnya > dari ⎪0.8⎮ maka disimpulkan pada persamaan regresi terjadi gejala multikolinearitas. Namun menurut klein bahwa gejala multikolinearitas dimana coefficient matrix > rule of thumbs dapat diabaikan jika koefisien determinasi > dari koefisien matrixnya. Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa ada coeficient matrix antara variabel bebas yaitu variabel pendapatan per kapita masyarakat dengan dummy krisis yang lebih besar dari rule of thumbs yakni sebesar 0.843634, tetapi lebih kecil dari koefisien determinasi / R2-square yakni sebesar 0.952167 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa model tersebut tidak mengalami masalah multikolinearitas.
43
Tabel 4.2. Uji Multikolinearitas LPB LPT LPB 1.000000 0.250305 LPT 0.250305 1.000000 LQ 0.295948 0.655271 LYper kapita 0.390709 0.721710 DUMMY 0.399885 0.609223
LQ 0.295948 0.655271 1.000000 0.927444 0.716751
LYper kapita 0.390709 0.721710 0.927444 1.000000 0.843634
DUMMY 0.399885 0.609223 0.716751 0.843634 1.000000
Sumber: data diolah
Autokorelasi merupakan pelanggarann asumsi klasik yang menyatakan bahwa dalam pengamatan-pengamatan yang berbeda tidak terdapat korelasi antar error term. Pengujian autokorelasi dengan menggunakan perangkat E.views 4.1 dapat diketahui melalui serial correlation LM Test, dimana jika nilai probability obs* R-Squared pada model lebih besar dari taraf nyata (α = 5%) yang digunakan maka disimpulkan bahwa model persamaan tidak mengalami gejala autokorelasi, dan sebaliknya jika probability obs* R-Squared lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (α = 5%) maka model mengalami gejala autokorelasi. Tabel 4.3. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.961430 2.499750
Probability Probability
0.404698 0.286541
Sumber: data diolah
Dari model Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu di Indonesia diperoleh bahwa nilai dari probability obs* RSquared adalah sebesar 0.286541, lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar lima persen (α = 5%). Oleh karena itu model yang digunakan tidak mengalami gejala autokorelasi. Selanjutnya
kriteria
ekonometrika
yang
perlu
diuji
adalah
heteroskedastisitas. Pengujian heteroskedastisitas ditujukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi berganda terjadi ketidaksamaan varians residual dari
44
suatu pengamatan ke pengamatan yang lain atau dapat juga dikatakan untuk menguji apakah model regresi memenuhi asumsi bahwa model memiliki gangguan yang variannya sama (homoskedastisitas). Pengujian asumsi ini dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroskedasticity. Apabila hasil nilai probabilitas Obs* R-squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen (α = 5%) maka disimpulkan bahwa model persamaan mempunyai variabel pengganggu yang variannya sama (homoskedastisitas). Tabel 4.4. Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic 2.421122 Obs*R-squared 12.04778
Probability Probability
0.075392 0.098999
Sumber: data diolah
Dari uji yang dilakukan dimana nilai dari probabilitas Obs* R-squared adalah sebesar 0.098999, maka disimpulkan bahwa model tidak memiliki masalah heteroskedastisitas. Uji normalitas perlu dilakukan jika data time series n < 30. Pengujian ini bertujuan untuk menguji apakh error term terdistribusi secara normal Uji ini disebut uji Jarque Bera-Test, dimana jika nilai probability Jarque-Bera pada model lebih besar dari taraf nyata (α = 5%) yang digunakan maka disimpulkan bahwa model memiliki error term terdistribusi normal, dan sebaliknya jika probability Jarque-Bera lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (α = 5%) maka persamaan memiliki error term yang tidak terdistribusi normal.
45
Tabel 4.5. Uji Normalitas` 6 S e r ie s : R e s id u a l s S a m p le 1 9 8 2 2 0 0 3 O b s e r v a t io n s 2 2
5 4
M M M M S S K
3 2
e a n e d ia n a x im u m in im u m td . D e v . k e w n e s s u r t o s is
1 -0 0 -0 0 0 3
.5 .0 .2 .2 .1 .4 .0
3 0 9 3 2 2 1
E 2 3 1 6 1 0 5 6 9 8 6 0
1 8 9 2 6 1 4
5 9 0 1 6 4 4
1 J a rq u e -B e ra P r o b a b il it y
0 .6 7 7 6 1 6 0 .7 1 2 6 1 9
0 - 0 .2
- 0 .1
0 .0
0 .1
0 .2
0 .3
Sumber: data diolah
Dari Tabel 4.4 diperoleh bahwa probability Jarque-Bera > taraf nyata yang digunakan (α = 5%). Sehingga disimpulkan bahwa error term terdistribusi secara normal.
2.
Estimasi Model Faktor-Faktor Yang Permintaan Tepung Terigu Di Indonesia
Mempengaruhi
Tingkat
Penelitian ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan tepung terigu yang diolah dengan metode Ordinary Least Squares (OLS) untuk mengetahui faktor-faktor tersebut tersebut dilakukan dengan studi literatur. Dari model penelitian permintaan tepung terigu diduga dipengaruhi oleh variabel harga tepung terigu (PT), harga tepung beras (PB) sebagai barang substitusi, pendapatan per kapita, dan krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997.
46
Tabel 4.6. Hasil Estimasi Regresi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu Di Indonesia Variable LPT LPB LYper kapita DUMMY C R-squared Adjusted R-squared Sum squared resid Durbin-Watson stat
Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. -0.046581 0.045247 -1.029490 0.0317* -0.030972 0.025637 -1.208132 0.2435 0.681460 0.060048 11.34856 0.0000* -0.359569 0.120298 -2.988978 0.0082* 6.789589 0.680714 9.974219 0.0000* 0.902355 0.952167 Akaike info criterion 84.60009 0.940912 F-statistic 0.000000 0.331630 Prob(F-statistic) 1.620681
Keterangan : * Signifikan pada taraf nyata 5 persen (α = 5%) Sumber: data diolah
Dari Tabel 4.2 dapat disusun persamaan regresi berganda sebagai berikut: LQ = 6.789 - 0.046 a2LPT - 0.030a3 LPB + 0.681a1LYper kapita - 0.359a4Dummy 3.
Uji Statistik Uji statistik model digunakan untuk mengetahui kelayakan suatu model
dan untuk mengetahui apakah model tersebut baik untuk digunakan pada penelitian. Pengujian statistik ini dilakukan dengan tiga metode pengujian yaitu uji koefisien determinasi (R2), uji t-statistik dan uji F-statistik. a). Uji Koefisien Determinasi (R2) Berdasarkan hasil estimasi model penelitian pada Tabel 4.5 diperoleh nilai koefisien determinasi (R-squared) sebesar 0.9522. Artinya adalah variasi variabel tak bebas (permintaan tepung terigu) dapat dijelaskan oleh variasi variabelvariabel bebas (harga tepung terigu, harga beras, pertumbuhan pendapatan masyarakat per kapita dan dummy krisis) sebesar 95.22 persen, sedangkan sisanya, yakni sebesar 4.78 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Jadi
47
dapat dikatakan bahwa uji ketepatan perkiraan (goodness of fit) dari model termasuk kategori baik.
b). Uji t-Statistik Uji t-statistik dilakukan dengan melihat nilai probabilitas dari masingmasing variabel bebas, dimana jika nilai probabilitas variabel bebas < taraf nyata yang digunakan maka disimpulkan variabel bebas signifikan mempengaruhi variabel tak bebasnya, demikian sebaliknya jika probabilitas variabel bebas > taraf nyata yang digunakan
maka disimpulkan variabel bebas tidak signifikan
berpengaruh terhadap variabel tak bebasnya pada taraf nyata yang digunakan.. Dari hasil estimasi penelitian seperti pada Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa pendapatan perkapita masyarakat, harga tepung terigu, dan dummy krisis ekonomi memiliki probabilitas yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen, sehingga disimpulkan ketiga variabel tersebut signifikan mempengaruhi variabel terikatnya pada taraf nyata 5 persen (α = 5%). Sedangkan variabel harga tepung beras memiliki tingkat probabilitas > taraf nyata yang digunakan sehingga disimpulkan variabel harga tepung beras tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya.
c). Uji F-Statistik Nilai Probabilitas F-hitung yang diperoleh dari hasil regresi seperti terlihat dalam Tabel 4.5 adalah sebesar 0.000000. Ini menunjukkan hasil yang baik karena pada tingkat signifikansi 5 persen (α = 5%), nilai probabilitas F-hitung lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yakni 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
48
keabsahan model yang dibentuk dapat diterima, dimana minimal ada satu variabel bebas yang terdapat dalam model penelitian mempengaruhi variabel tak bebasnya (permintaan tepung terigu) secara signifikan.
4.
Interpretasi dan Uji Ekonomi Variabel pendapatan perkapita berpengaruh positif yang signifikan pada
taraf nyata lima persen (α = 5%) terhadap jumlah permintaan terigu di Indonesia dengan koefisien sebesar 0.68. artinya adalah bahwa peningkatan sebesar satu persen pendapatan perkapita akan meningkatkan sebesar 0.68 persen permintaan tepung terigu di Indonesia, dan sebaliknya jika pendapatan perkapita masyarakat turun sebesar satu persen maka jumlah permintaan tepung terigu akan turun sebesar 0.68 persen, asumsi cateris paribus. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa peningkatan pendapatan akan meningkatnya alokasi untuk konsumsi yang dalam bahasan ini adalah tepung terigu dimana dapat disimpulkan dari tanda koefisien yang positif bahwa tepung terigu adalah barang normal. Variabel harga tepung terigu berpengaruh negatif yang signifikan pada taraf nyata lima persen (α = 5%) terhadap jumlah permintaan terigu di Indonesia dengan koefisien sebesar -0.05. artinya adalah bahwa peningkatan sebesar satu persen harga tepung terigu akan menurunkan sebesar 0.05 persen permintaan tepung terigu di Indonesia, dan sebaliknya jika harga tepung terigu turun sebesar satu persen maka jumlah permintaan tepung terigu akan naik sebesar 0.05 persen asumsi cateris paribus. Hubungan tersebut sesuai kerangka teoritis/ teori ekonomi, yaitu teori permintaan yang menyatakan bahwa peningkatan harga komoditi (tepung terigu) akan mengakibatkan jumlah permintaan komoditi
49
tersebut (konsumen mengurangi konsumsinya terhadap tepung terigu), asumsi cateris paribus. Dilihat dari nilai koefisien variabel harga tepung terigu yang menunjukkan elastisitas harga, maka tepung terigu bersifat inelastis, dimana Ep = Persentase perubahan jumlah barang yang diminta Persentase perubahan harga Ep = - 0.05 1 Ep = -0.05 (inelastis), karena |EP|<1. Variabel harga tepung beras berpengaruh negatif yang tidak signifikan pada taraf nyata lima persen (α = 5%) terhadap jumlah permintaan terigu di Indonesia. Temuan empiris ini tidak sesuai dengan hipotesis yaitu tepung terigu dan beras bersubsidi. Hasil estimasi yang diperoleh koefisien elastisitas silang menunjukkan bahwa hubungan tepung beras dan tepung terigu tidak bersifat substitusi. Jadi tepung beras bukan merupakan alternatif bahan substitusi tepung terigu untuk menekan laju impor gandum, sehingga perlu dicari alternatif bahan substitusi lain untuk menekan laju impor gandum. Variabel dummy krisis berpengaruh negatif yang signifikan pada taraf nyata lima persen (α = 5%) terhadap jumlah permintaan terigu di Indonesia. artinya adalah bahwa setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menurunkan permintaan akan tepung terigu di Indonesia, asumsi cateris paribus. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa krisis ekonomi akan berdampak negatif terhadap permintaan tepung terigu. Hal ini disebabkan situasi politik dan makroekonomi yang semakin tidak menentu setelah terjadinya krisis berakibat pada konsumsi. Kondisi ini dapat dijelaskan dimana produksi (supply)
50
akan menurun yang dapat diakibatkan faktor ekonomi maupun non ekonomi sebagai fenomena krisis ekonomi. Dari faktor non-ekonomi adalah situasi keamanan yang kurang kondusif, sedangkan dari faktor ekonomi adalah fluktuasi makroekonomi pada level yang tinggi seperti nilai tukar dan inflasi yang akan menyebabkan tingginya biaya faktor produksi sehingga mengurangi tingkat keuntungan, yang pada akhirnya menurunkan tingkat produksi yang akan mendorong meningkatnya tingkat harga produksi (hukum permintaan), asumsi cateris paribus. Harga-harga yang meningkat yang akan mengurangi daya beli masyarakat (teori permintaan) yang pada akhirnya mengurangi konsumsi tepung terigu.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variabel penelitian yang signifikan mempengaruhi permintaan tepung terigu adalah: pendapatan per kapita berpengaruh positif, harga tepung terigu berpengaruh negatif, dan dummy krisis ekonomi berpengaruh positif. Sedangkan variabel harga tepung beras berpengaruh negatif namun secara statistik tidak signifikan pada taraf nyata lima persen, hal ini menjelaskan bahwa tepung beras bukan merupakan barang subtitusi bagi tepung terigu.
5.2. Saran Meningkatnya pendapatan yang berpengaruh terhadap peningkatan permintaan tepung terigu, sejalan dengan peningkatan permintaan tersebut impor gandum akan meningkat mengingat negara Indonesia merupakan negara importir gandum dari negara-negara lain. Hal ini tentunya akan memberatkan terhadap neraca pembayaran (permintaan devisa akan meningkat untuk membiayai impor). Oleh karena itu pemerintah perlu meningkatkan kontrol terhadap perkembangan industri tepung terigu, terutama masalah menurunkan permintaan tepung terigu, sehingga masyarakat tidak tergantung pada tepung terigu dan permintaan impor gandum akan menurun. Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa tepung beras bukan merupakan barang substitusi tepung terigu sehingga perlu dicari alternatif barang substitusi lain untuk mengurangi impor gandum.
DAFTAR PUSTAKA
Armytha, Alistair. 2004. Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja pada Industri Tepung Terigu di Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli Bulog. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia. 2003. Laporan Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia. APTINDO, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Industri Besar dan Sedang. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Urusan Logistik. 2003. Statistik Analisis Harga dan Pasar Tepung Terigu. Badan Urusan Logistik, Jakarta. Badan Urusan Logistik. 2003. Perkembangan Harga Tepung Terigu di Indonesia. BULOG, Jakarta. Bogasari. Industri Tepung Terigu di Indonesia. http://www.bogasari.com. [20 Januari 2004]. Djanuwardi, Bambang. 1988. Analisis Permintaan Tepung Terigu di Indonesia [Tesis]. Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta. Findi, Muhammad. 2001. Analisis Transformasi Kebijakan Pengadaan dan Penyaluran Pada Industri Pupuk di Indonesia [Tesis]. Program Pascasarjana FEUI, Jakarta. Gujarati, Damodar dan Sumarno Zain. 1995. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli Dan Regulasi. LP3ES, Jakarta. Harfa, Andy. 1996. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Permintaan Tepung Terigu di Indonesia. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ismalia, Afriani. 2002. Dampak Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Faktor Ekonomi Terhadap Penawaran dan Permintaan Tepung Terigu di Indonesia. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Iswardono. 1994. Teori Ekonomi Mikro. Gunadarma, Jakarta.
53
Kusasi, Achmad.1982. Perkiraan Harga Tepung Terigu Lima Tahun Mendatang Untuk Menekan Laju Konsumsi (1983-1987). Paper Program Perencanaan Nasional FEUI-BAPPENAS, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Perpustakaan BULOG. Jakarta. Jaya , Wihana Kirana. 2001. Ekonomi Industri. BPFE, Yogyakarta. Nicholson, Walter. 2001. Teori Ekonomi Mikro (Prinsip Pengembangannya). PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Dasar
dan
Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2002. Teori Ekonomi Mikro, Suatu Pengantar (Edisi Revisi). Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Sawit,
Muhammad. 2003. Kebijakan Gandum/Terigu: Harus Mampu Menumbuhkembangkan Industri Pangan Dalam Negeri. Biro Kerjasama Internasional dan Hubungan Antar Lembaga, BULOG, Jakarta.
Sukirno, Sudono. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan. FE UI. Bima Grafika, Jakarta. Sumarni, M dan Jhon S. 1998. Pengantar Bisnis. Liberti, Yogyakarta. Yunianti, Sri. 2001. Implikasi Kebijakan Tepung Terigu Terhadap Industri Tepung Terigu dan Industri Makanan: Studi Kasus Industri Mie Instan [Tesis]. Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
55
Lampiran 1. Data Variabel Penelitian TAHUN
Q
PT
PB
Yper kapita
Dummy
1982
746891
274,34
455,20
70543
0
1983
794650
317,17
552,83
73698
0
1984
812649
379,94
565,77
87055
0
1985
952426
432,07
588,62
94721
0
1986
1156731
460,82
607,16
95823
0
1987
1199943
533,13
660,11
114519
0
1988
1273180
600,60
798,73
142105
0
1989
1335751
694,27
819,98
167185
0
1990
1298071
776,41
881,64
195597
0
1991
1720912
795,91
944,41
227450
0
1992
1642264
807,59
1017,04
259885
0
1993
2029203
832,17
991,00
329776
0
1994 1995
2463262 3158006
836,08 872,62
1150,55 1380,09
382220 454514
0 0
1996
3062969
904,45
1476,97
535268
0
1997
3212309
992,65
1642,10
627695
1
1998
2534380
2464,20
3173,52
955753
1
1999
2409238
2807,30
3973,24
1099732
1
2000
3606380
2532,30
3585,46
1264919
1
2001
3789504
2905,50
3788,75
1467655
1
2002
4025648
3122,90
4504,45
1610565
1
2003
4560856
3431,60
4560,30
1786691
1
Sumber: Badan Urusan Logistik, Badan Pusat Statistik 2003
Keterangan: Q = Jumlah Permintaan Tepung Terigu (ton) PT = Harga tepung terigu (Rp/kg) PB = Harga tepung Beras (Rp/Kg) Y = Pendapatan per Kapita (Rupiah) Dummy = Dummy Krisis Ekonomi
56
Lampiran 2. Data Variabel Penelitian Dalam Logaritma LPB LPT LQ
LYper kapita
10.7258631311 10.9202026372 10.943340146
10.219538399 10.3646080937 10.5451835315
13.5236745365 13.5856570451 13.608054561
11.1639777319 11.2077309408 11.3742953818
10.9829510001
10.6737577981
13.7667676927
11.4586910075
11.0139625337 11.0975766738 11.2881931522
10.7381776972 10.8839354829 8.70051424854
13.9611084813 13.9977846136 14.0570282658
11.4702580187 11.6484960271 11.8643215
11.3144501357
11.1480311198
14.1050042385
12.0268562627
11.3869539954 11.4557305799 11.5298219126 6.89871453433
11.2598509172 11.2846563001 11.29922469 11.3292069329
14.0763898743 14.3583649408 14.3115863356 14.5231536631
12.183811699 12.334685713 12.4679945045 12.7061689151
11.6531655539 11.8350741794
11.3338944883 11.3766703664
14.7169970458 14.9654513737
12.853751638 13.0269839952
11.9029181569
11.4124972101
14.934895265
13.190522835
9.70631628249
11.5055483206
14.9825005512
13.3498096587
12.6677668469 12.8925098646 12.7898094542
12.4148089085 12.5451308214 10.1394683527
14.7454595892 14.6948210729 15.0982150571
13.7702547904 13.9105770717 14.0505186465
12.8449616144
12.5795275157
15.1477456978
14.1991764469
13.017989042
12.6516971287
15.2081964497
14.2920956071
10.7277287828
12.7459579179
15.3330208832
14.3958758637
Sumber: lampiran 1 (diolah)
Keterangan: LQ = Logaritma Jumlah Permintaan Tepung Terigu LPT = Logaritma Harga tepung terigu LPb = Logaritma Harga tepung Beras LY = Logaritma Pendapatan per Kapita
57
Lampiran 3. Perhitungan Harga Tepung Beras Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Index 140,82 154,31 146,78 178,26 182,44 189,81 195,79 212,87 257,58 264,42 / 99,75 107,25 114,89 123,73 120,56 139,97 167,89 179,67 199,75 / 117,72 227,51 284,85 257,05 271,63 322,93 326,93 / 99,75 102,69 120,3
Perubahan Index
Harga Tepung Beras (Rp/Kg)
9,58% -4,88% 21,45% 2,34% 4,04% 3,15% 8,72% 21%
478,54 455,20 552,83 565,77 588,62 607,16 660,11 798,73
2,66%
819,98
7,52% 7,12% 7,69% -2,56% 16,10% 19,95% 7,02%
881,64 944,41 1017,04 991,00 1150,55 1380,09 1476,97
11,18%
1642,10
93,26% 25,20% -9,76% 5,67% 18,89%
3173,52 3973,24 3585,46 3788,75 4504,45
1,24%
4560,30
2,95% 17,15%
4694,80 5500,00
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2005 (Diolah)
Keterangan: Perubahan Index Tahun t
= Index Tahun t – Index Tahun t-1 x 100% Index t-1
Harga Tepung Beras Tahun t-1 = Harga Tepung Beras Tahun t x 100% (Perubahan Index Tahun t + 100)
58
Lampiran 4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu di Di Indonesia Dependent Variable: LQ Method: Least Squares Date: 09/19/06 Time: 09:42 Sample: 1982 2003 Included observations: 22 Variable Coefficient LPT -0.046581 LPB -0.030972 LYper kapita 0.681460 DUMMY -0.359569 C 6.789589 R-squared 0.952167 Adjusted R-squared 0.940912 S.E. of regression 0.139670 Sum squared resid 0.331630 Log likelihood 14.92590 Durbin-Watson stat 1.620681
Lampiran 5. Uji Multikolinearitas LQ LPT 1.000000 0.655271 LQ 0.655271 1.000000 LPT 0.295948 0.250305 LPB LYper kapita 0.927444 0.721710 DUMMY 0.716751 0.609223
Std. Error t-Statistic Prob. 0.045247 -1.029490 0.0317 0.025637 -1.208132 0.2435 0.060048 11.34856 0.0000 0.120298 -2.988978 0.0082 0.680714 9.974219 0.0000 Mean dependent var 14.44099 S.D. dependent var 0.574582 Akaike info criterion -0.902355 Schwarz criterion -0.654391 F-statistic 84.60009 Prob(F-statistic) 0.000000
LPB 0.295948 0.250305 1.000000 0.390709 0.399885
Lampiran 6. Uji Heteroskedastisita White Heteroskedasticity Test: F-statistic 2.421122 Obs*R-squared 12.04778
LYper kapita 0.927444 0.721710 0.390709 1.000000 0.843634
Probability Probability
Lampiran 7. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.961430 Probability Obs*R-squared 2.499750 Probability
DUMMY 0.716751 0.609223 0.399885 0.843634 1.000000
0.075392 0.098999
0.404698 0.286541
59
Lampiran 8. Uji Normalitas 6 Series: R esiduals Sam ple 1982 2003 O bservations 22
5 4
Mean Median Maxim um Minim um Std. D ev. Skewness Kurtosis
3 2
1.53E-15 -0.002389 0.291690 -0.231021 0.125666 0.429814 3.016044
1 Jarque-Bera Probability 0 -0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.677616 0.712619