ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGA MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI MOBIL MOBIL DI INDONESIA
OLEH ANINDITO AJIRESWARA H14050754
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
2
RINGKASAN
ANINDITO AJIRESWARA. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Mobil di Indonesia (dibimbing oleh WIDYASTUTIK). Liberalisasi perdagangan telah menghilangkan hampir seluruh batas antar negara. Arus modal yang demikian cepat, serta beroperasinya perusahaanperusahaan Multi National Companies (MNC) dengan produksi serta jaringan distribusi yang menyebar di seluruh dunia menjadi gambaran kondisi sektor industri dunia, tidak terkecuali Indonesia. Diantara sekian banyak industri berskala internasional tersebut, salah satunya adalah industri mobil, yang merupakan sektor yang cukup berkembang di Indonesia. Berkembangnya sektor mobil di Indonesia tidak lepas dari potensi yang dimiliki Indonesia dalam sektor tersebut, baik dari sisi produksi dengan banyaknya sumberdaya yang potensial, maupun dari segi konsumsi, karena memiliki pasar potensial yang senantiasa terus berkembang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi output industri mobil di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis bagaimana elastisitas masing-masing faktor produksi serta nilai skala hasil usaha industri mobil di Indonesia, kemudian melihat nilai tambah serta efisiensi industri mobil untuk mengetahui perkembangan kinerja industri mobil di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa nilai output dan biaya input industri mobil Indonesia beserta tiga faktor produksi yakni bahan baku, modal, serta energi. Data tersebut merupakan data time series dari periode 1985 hingga 2005 yang berasal dari Badan Pusat Statistik. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan fungsi Cobb-Douglas yang diregresikan secara linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Hasil penelitian ini menunjukkan faktor produksi bahan baku memiliki pengaruh positif signifikan, yang berarti bahwa peningkatan input bahan baku akan meningkatkan nilai output, ceteris paribus. Faktor produksi bahan baku merupakan faktor produksi dengan nilai input yang terbesar. Faktor produksi modal memiliki pengaruh positif namun tidak nyata, yang berarti bahwa peningkatan input modal akan meningkatkan nilai output, ceteris paribus. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat kendala-kendala yang dihadapi perusahaan jika ingin mendapat hasil optimal dari peningkatan nilai input modal. Faktor produksi energi memiliki pengaruh positif signifikan, yang berarti jika nilai input energi ditingkatkan, maka output akan mengalami peningkatan, ceteris paribus. Peran input energi yang besar dikarenakan industri mobil banyak menggunakan mesin dalam proses produksinya. Kondisi ini menuntut pasokan energi dalam jumlah besar agar proses produksi dapat berjalan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa krisis ekonomi tahun 1997 tidak berpengaruh nyata terhadap industri mobil, yang ditandai dengan cepat pulihnya industri ini pasca krisis,
3
sedangkan deregulasi tanggal 24 Juni 1999 bepengaruh nyata terhadap industri mobil, yang dapat dilihat dari meningkatnya efisiensi industri mobil sejak diberlakukannya deregulasi ini. Nilai elastisitas dari ketiga faktor produksi yang dipergunakan memiliki nilai antara 0 sampai 1. Hal ini berarti bahwa penggunaan ketiga faktor produksi telah optimal. Nilai skala hasil usaha yang terlihat dari penjumlahan seluruh koefisien faktor produksi menunjukkan nilai yang lebih besar dari satu, yang berarti bahwa industri mobil memiliki skala hasil usaha yang meningkat (increasing returns to scale). Kondisi ini umum terjadi pada kondisi industri dengan ukuran perusahaan besar dimana spesialisasi dalam proses produksi sangat kompleks seperti pada industri mobil. Selama kurun waktu 1985 hingga 2005, industri mobil Indonesia menunjukkan efisiensi yang cukup baik dengan tren yang konstan. Hal ini menandakan bahwa industri mobil di Indonesia telah menerapkan metode produksi yang tepat. Pada tahun 1998, sempat terjadi penurunan nilai efisiensi sebagai akibat dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun sebelumnya. Pasca krisis, tepatnya mulai tahun 1999, efisiensi industri mobil mengalami peningkatan. Kondisi ini sejalan dengan diberlakukannya deregulasi tanggal 24 Juni 1999 yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi industri mobil. Nilai tambah industri mobil memiliki tren yang cukup stabil pada tahun-tahun sebelum krisis namun mengalami peningkatan yang besar pada tahun-tahun pasca krisis. Hal ini dikarenakan semakin efisiennya proses produksi sehingga mampu menghasilkan output dalam nilai yang lebih besar dibandingkan nilai inputnya. Pada tahun 1997, terjadi penurunan nilai tambah yang disebabkan meningkatnya biaya input akibat kondisi ekonomi yang menurun, sedangkan penurunan tahun 2003 disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan industri komponen kendaraan, sehingga berdampak pada jumlah output yang dihasilkan oleh industri mobil Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa industri mobil Indonesia memiliki pertumbuhan yang positif, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi 1997. Akan tetapi masih terdapat beberapa kendala yang harus diatasi agar industri mobil dapat berproduksi dengan lebih optimal. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat terus mendorong produktivitas industri mobil dengan cara menjamin ketersediaan dan kelancaran distribusi pasokan listrik (energi) kepada pelaku industri serta terus mendorong pertumbuhan industri komponen pendukung (bahan baku) agar proses produksi tidak terhambat.
4
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI MOBIL DI INDONESIA
Oleh ANINDITO AJIRESWARA H14050754
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
5
Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Mobil di Indonesia Nama
: Anindito Ajireswara
NIM
: H14050754
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Widyastutik, M.Si NIP. 19751105 200501 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Lulus :
6
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA NYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
Agustus 2009
Anindito Ajireswara H14050754
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Anindito Ajireswara lahir di kota Bogor pada tanggal 18 Juni 1987. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan ayah Asep Saefuddin dan ibu Ratna Widiyastuti. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Papandayan 1 Bogor pada tahun 1999 dan kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 5 Bogor. Setelah lulus pada tahun 2002, penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan setelah melewati Tingkat Persiapan Bersama, pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
8
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Mobil di Indonesia”. Industri mobil merupakan industri yang saat ini sedang berkembang pesat , karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Disamping itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1.
Kedua orang tua atas kasih sayang, doa serta dorongan motivasi yang sangat besar bagi penulis.
2.
Widyastutik, M.Si yang telah banyak membantu dalam membimbing penulis baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan.
3.
Tanti Novianti, M.Si selaku penguji Utama atas saran dan kritiknya demi perbaikan skripsi ini.
4.
Fifi Diana Thamrin, M.Si selaku penguji Komisi Pendidikan atas saran dan kritiknya demi perbaikan skripsi ini.
5.
Pak Ari Nugraha dan Pak Saman yang telah membantu penulis dalam pengambilan data di BPS.
6.
Eci atas kebersamaan, bantuan, serta dorongan motivasi yang sangat besar bagi penulis.
7.
1312 BB serta 5171 BD yang telah menjadi pengantar setia serta ‘teman’ yang baik bagi penulis (good-bye 1312..).
8.
Indra, Diki, Icha, teman-teman satu bimbingan, teman-teman IE 42, serta teman-teman A15 kebersamaan selama di IPB serta orang-orang lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
9
Penulis mohon maaf apabila ada kesalahan pada kata-kata yang penulis gunakan. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
Anindito Ajireswara H14050754
10
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ v DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... vi I.
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang........................................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 5 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7 1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................. 7 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ........................ 9 2.1. Pengertian Industri.................................................................................. 9 2.2. Fungsi Produksi ...................................................................................... 9 2.2.1. Fungsi Produksi Cobb-Douglas ................................................. 15 2.2.2. Konsep Elastisitas....................................................................... 18 2.2.3. Skala Hasil Usaha (Returns to Scale) ......................................... 19 2.2.4. Efisiensi dan Nilai Tambah ........................................................ 21 2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu................................................................ 22 2.3.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Output ...................................... 22 2.3.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Industri Mobil .......................... 23 2.4. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu................................................. 24 2.5. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 24 2.6. Hipotesis Penelitian ................................................................................ 28 III. METODE PENELITIAN .............................................................................. 29 3.1. Jenis dan Sumber Data............................................................................ 29 3.2. Analisis Data........................................................................................... 31 3.2.1. Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas.................................... 32 3.2.2. Analisis Elastisitas dan Skala Hasil Usaha ................................. 33
11
3.2.3. Analisis Efisiensi ........................................................................ 34 3.2.4. Analisis Nilai Tambah ................................................................ 34 3.3. Pengujian Hipotesis ................................................................................ 35 3.3.1. Kriteria Uji Ekonomi .................................................................. 35 3.3.2. Kriteria Uji Statistik .................................................................... 35 3.3.2.1. Uji Koefisien Determinasi (R2)..................................... 35 3.3.2.2. Uji F-statistik ................................................................ 36 3.3.2.3. Uji t-statistik ................................................................. 37 3.3.3. Kriteria Uji Ekonometrika .......................................................... 38 3.3.3.1. Uji Multikolinearitas..................................................... 39 3.3.3.2. Uji Heteroskedastisitas ................................................. 40 3.3.3.3. Uji Autokorelasi............................................................ 41 3.3.3.4. Uji Normalitas Error Term ........................................... 42 IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MOBIL INDONESIA .......................... 43 4.1. Sejarah Industri Mobil Indonesia............................................................ 43 4.2. Perkembangan Kebijakan Industri Mobil Indonesia .............................. 44 4.3. Profil Beberapa Perusahaan Mobil Indonesia......................................... 47 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 52 5.1. Hasil Estimasi Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas .......................... 52 5.2. Analisis Uji Statistik ............................................................................... 52 5.2.1. Uji Koefisien Determinasi (R2) .................................................. 52 5.2.2. Uji F-statistik .............................................................................. 53 5.2.3. Uji t-statistik ............................................................................... 53 5.3. Analisis Uji Ekonometrika ..................................................................... 54 5.3.1. Uji Multikolinearitas .................................................................. 54 5.3.2. Uji Autokorelasi ......................................................................... 54 5.3.3. Uji Heteroskedastisitas ............................................................... 55 5.3.4. Uji Normalitas Error Term......................................................... 55 5.4. Analisis Ekonomi.................................................................................... 56 5.4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Mobil Indonesia............................................................. 56
12
5.4.2. Elastisitas dan Skala Hasil Usaha ............................................... 60 5.4.2.1. Elastisitas Industri Mobil Indonesia ............................. 60 5.4.2.2. Skala Hasil Usaha Industri Mobil Indonesia ................ 62 5.5. Efisiensi dan Nilai Tambah Industri Mobil Indonesia............................ 63 5.5.1. Efisiensi Industri Mobil Indonesia.............................................. 63 5.5.2. Nilai Tambah Industri Mobil Indonesia...................................... 66 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 68 6.1. Kesimpulan ............................................................................................. 68 6.2. Saran ....................................................................................................... 69 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 71 LAMPIRAN.......................................................................................................... 73
13
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1.
Produksi Mobil Thailand, Malaysia, dan Indonesia 2005-2008............. 2
3.1.
Rincian Data Variabel Penelitian............................................................ 29
4.1.
Penjualan dan Pangsa Pasar Berdasarkan Perusahaan Tahun 2008 ............................................................................................. 48
4.2.
Penjualan dan Persentase Berdasarkan Kelas Tahun 2008..................... 48
5.1.
Hasil Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglas Industri Mobil di Indonesia Periode 1985 - 2005............................................................ 52
5.2.
Nilai Elastisitas Model Cobb-Douglas ................................................... 61
14
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1.
Perkembangan Harga Minyak Dunia 2002 – 2008................................. 4
2.1.
Grafik Fungsi Produksi Jangka Pendek .................................................. 11
2.2.
Alur Kerangka Pemikiran ....................................................................... 27
5.1.
Nilai Efisiensi Produksi Industri Mobil Indonesia Periode 1985 – 2005 ............................................................................... 64
5.2.
Nilai Perkembangan Nilai Tambah Bruto Industri Mobil Indonesia Periode 1985 – 2005............................................................... 66
15
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Variabel Data Penelitian ......................................................................... 74
2.
Tabel Efisiensi, NTB, dan Output/TK .................................................... 75
3.
Hasil Estimasi Variabel Data.................................................................. 75
4.
Correlation Matrix uji Multikolinearitas................................................ 76
5.
Uji Autokorelasi...................................................................................... 76
6.
Uji Heteroskedastisitas ........................................................................... 76
7.
Uji Normalitas Error Term (Uji Jarque-Bera) ....................................... 76
16
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pertumbuhan sektor industri di Indonesia, menurut Thee (1988) dan
McCawley (1979) dalam Tumbuan (2006), disebabkan oleh sedikitnya tujuh faktor, yakni pertama, membaiknya iklim perekonomian akibat kebijakankebijakan stabilisasi, rekonstruksi, dan rehabilitasi yang dilakukan pasca rezim orde lama; kedua, semakin dikuranginya kontrol ketat pemerintahan terhadap perekonomian dan memberikan kesempatan pada kekuatan pasar, khususnya liberalisasi perdagangan internasional; ketiga, semakin berkurangnya perlakuan khusus terhadap BUMN sehingga memberikan fairness bagi investor swasta baik nasional maupun asing; keempat, dikeluarkannya UU mengenai investasi yakni UU PMA tahun 1967 dan UU PMDN tahun 1968; kelima, terjadinya excess demand yang besar terhadap aneka barang jadi akibat kekurangan pada era orde lama; keenam, melimpahnya devisa pasca tahun 1968 akibat boom minyak, ekspor mineral non-minyak, dan kayu gelondongan serta capital inflow baik akibat PMA maupun bantuan luar negeri; dan ketujuh, pemberlakuan kebijakan substitusi impor yang menjamin tersedianya pasar domestik. Guna meningkatkan produktivitas industri yang berkelanjutan, perlu diupayakan pemanfaatan secara maksimal dari seluruh potensi sumber daya dan peluang
dari
dalam
maupun
luar
negeri.
Dalam
pertumbuhan
dan
perkembanganya dewasa ini, liberalisasi perdagangan dunia telah menghilangkan hampir seluruh batas antar negara. Arus modal yang demikian cepat serta
17
beroperasinya perusahaan-perusahaan Multi National Companies (MNC) dengan produksi serta jaringan distribusi yang menyebar di seluruh dunia menjadi gambaran kondisi sektor industri dunia saat ini, tidak terkecuali di Indonesia. Diantara sekian banyak industri berskala internasional tersebut, salah satunya adalah industri mobil, yang merupakan sektor yang cukup berkembang di Indonesia. Berkembangnya sektor industri mobil di Indonesia tersebut tidak lepas dari potensi yang dimiliki Indonesia dalam sektor tersebut, baik dari sisi produksi dengan banyaknya sumberdaya yang potensial, maupun dari segi konsumsi, karena memiliki pasar potensial yang senantiasa terus berkembang. Pada tahun 2005 tercatat bahwa Indonesia memproduksi 446.975 unit kendaraan atau peringkat ketiga di bawah Thailand dan Malaysia. Walaupun mengalami penurunan pada tahun 2006, Indonesia tetap tergabung dalam tiga besar penghasil industri mobil di Asia Tenggara. Tabel 1.1 Produksi Mobil Thailand, Malaysia, dan Indonesia 2005 - 2008 Jumlah Produksi (unit) 2005 2006 2007 2008 Thailand 915.717 1.001.035 1.290.000 1.400.000 Malaysia 446.097 428.860 Indonesia 446.975 229.940 411.638 564.202 Sumber: Direktorat Industri Alat Transport, 2006 - 2009 (diolah) Negara
Perubahan (%) 8,5 -3,8 37
Sebagai sektor yang senantiasa berkembang dan menjadi kebutuhan bagi masyarakat Indonesia seiring dengan semakin meningkatnya kemampuan perekonomian bangsa, sektor industri mobil terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Peranan sektor industri mobil terhadap perekonomian Indonesia baik sektor riil maupun fiskal cukup besar. Persentase sektor industri mobil
18
terhadap pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal kedua tahun 2007 yang mencapai 2,41 persen (Direktorat Industri Alat Transport, 2007). Semakin terbukanya arus modal antar negara, yang merupakan akibat dari globalisasi juga mempermudah sektor industri mobil dalam berkembang. Tercatat pada tahun 2007, total dana investasi industri mobil di Indonesia baik PMA maupun PMDN mencapai Rp. 4,154 trilyun1. Perkembangan sektor industri otomotif, khususnya industri mobil, juga berdampak pada sektor riil perekonomian Indonesia. Sektor industri mobil berperan dalam meningkatkan sektor-sektor industri lainnya seperti industri komponen mobil. Dalam Atikah (2007), disebutkan bahwa nilai rata-rata integrasi vertikal antara industri mobil dengan industri komponen pendukungnya selama kurun waktu 1974 – 2005 adalah sebesar 0,74. Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak pertengahan tahun 2008 merupakan sebuah fenomena yang oleh sebagian ekonom digambarkan sebagai krisis terburuk sejak depresi besar pada tahun 1930an dan merupakan jilid kedua dari krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997. Melesunya perekonomian dunia, yang ditandai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga finansial internasional serta perusahaan-perusahaan MNC turut menyerang sektor industri mobil, tak terkecuali di Indonesia. Krisis ini diperkirakan akan menekan pertumbuhan sektor industri mobil. Selain krisis finansial global, industri mobil juga turut terhambat oleh naiknya harga minyak mentah dunia.
1
www.bisnis.com. Depperin Optimis Industri Mobil Tumbuh 11,50 Persen. [2 Maret 2009].
19
160 140
Harga (US$)
120 100 80 60
harga dalam US$
40 20 0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Sumber: Bespoke Investment Group2, 2008 (diolah)
Gambar 1.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia (2002 – 2008)
Pada Gambar 1.1, dapat dilihat peningkatan harga minyak yang sangat drastis dari tahun 2002 sampai tahun 2008, mulai dari kisaran US$20 – US$30 pada tahun 2002 mencapai kisaran diatas US$100 pada tahun 2008. Harga minyak dunia yang sempat mencapai angka US$ 146 per barel menyebabkan harga BBM dalam negeri baik bersubsidi maupun non-subsidi mengalami kenaikan. Bagi sektor industri mobil peristiwa ini berpengaruh baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Kenaikan harga bahan bakar ini, dari sisi produksi, berdampak pada biaya operasional produksi, sedangkan dari sisi konsumen, kenaikan harga BBM turut menjadi pertimbangan bagi calon konsumen untuk membeli mobil. Oleh karena itu, guna mengetahui lebih lanjut mengenai industri mobil Indonesia dan bagaimana keberlanjutan proses produksinya, relevan untuk dilakukan penelitian 2
http://bespokeinvest.typepad.com. Oil Price Chart Since 1990. [21 Mei 2009].
20
dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Mobil di Indonesia.
1.2.
Perumusan Masalah Indonesia merupakan salah satu dari tiga besar kekuatan industri mobil di
Asia Tenggara (lihat Tabel 1) serta merupakan salah satu pasar paling potensial industri mobil baik secara regional maupun global. Berbagai potensi serta peluang yang dimiliki oleh industri mobil Indonesia menjadikannya sebagai salah satu sektor yang potensial untuk semakin berkembang dan menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia dari sektor industri. Kenaikan harga minyak yang terjadi pada kurun waktu 2002 – 2009 menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku industri mobil dunia, tidak terkecuali yang berada di Indonesia. Pergerakan harga minyak dari kisaran US$20 per barel pada tahun 2002 menjadi kisaran US$ 140 pada tahun 2008 memiliki dampak ganda pada sektor industri mobil. Kenaikan harga minyak ini, pada sisi produksi, berdampak pada naiknya biaya input faktor-faktor produksi yang dipergunakan seperti bahan baku serta energi sedangkan pada sisi konsumsi, kenaikan ini berdampak pada preferensi konsumen untuk membeli mobil. Krisis perekonomian yang terjadi pada tahun 1997 juga merupakan masalah bagi sektor industri mobil di Indonesia. Akibat krisis ini, ekonomi riil serta pasar industri mobil menjadi tertekan, terutama pada negara berkembang yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi. Bagi perusahaan mobil, kondisi ini menyebabkan meningkatnya biaya input produksi, terutama untuk
21
faktor produksi yang masih diimpor. Ketidakstabilan kondisi ekonomi pada era krisis ini juga berdampak pada investasi sektor industri mobil. Restrukturisasi manajemen akibat perubahan komposisi kepemilikan saham pada perusahaanperusahaan pelaku pasar merupakan suatu hal yang terjadi pada era 1997. Permasalahan sektor industri mobil di Indonesia dapat dipetakan melalui dua jalur3. Pertama, hampir semua produsen mobil dunia bermain di Indonesia karena Indonesia dinilai memiliki pasar yang besar. Permasalahannya adalah, kondisi produsen mobil saat ini sedang mengalami penurunan sehingga terdapat kemungkinan terjadinya penurunan produksi. Kedua, perlambatan ekonomi dunia turut menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional sehingga menyebabkan daya beli penduduk ikut menurun. Kondisi ini berimplikasi pada turunnya permintaan terhadap barang dan jasa, termasuk permintaan terhadap sektor industri mobil. Pasca terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, pemerintah mengeluarkan deregulasi tanggal 24 Juni tahun 1999. Kebijakan ini diberlakukan untuk menggantikan kebijakan-kebijakan protektif terdahulu yang dianggap terlalu memanjakan industri mobil Indonesia. Melalui kebijakan ini, pemerintah kembali mengizinkan impor kendaraan dalam bentuk utuh, yang bertujuan untuk lebih meningkatkan efisiensi industri mobil dalam negeri yang selama ini relatif tidak memiliki saingan. Akan tetapi, pemberlakuan kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran dari pelaku pasar. Izin impor kendaraan dalam bentuk utuh dikhawatirkan dapat menurunkan penjualan mobil produksi dalam negeri.
3
http: //ahmaderani.com/ Krisis Sistemik Industri Mobil. [13 Pebruari 2009]
22
Berdasarkan beberapa permasalahan yang timbul terkait dengan keberadaan industri mobil di Indonesia maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi output industri mobil di Indonesia? b. Bagaimana elastisitas, skala hasil usaha, efisiensi, serta nilai tambah industri mobil Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan pada subbab sebelumnya, maka tujuan dari
penelitian ini adalah: a. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi output industri mobil di Indonesia, b. Menganalisis elastisitas, skala hasil usaha, efisiensi, serta nilai tambah industri mobil di Indonesia.
1.4.
Manfaat Penelitian Dengan disusunnya penelitian ini, diharapkan penelitian ini dapat
bermanfaat sebagai: a. Bagi penulis, merupakan sebuah sarana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama berada di perguruan tinggi b. Sebagai bahan kepustakaan bagi mahasiswa-mahasiswa yang akan datang baik untuk memperkaya wawasan maupun untuk dipergunakan sebagai referensi dalam penulisan karya tulis
23
c. Sebagai masukkan dan bahan pertimbangan bagi pelaku industri maupun pengambil keputusan yang bergerak dalam bidang industri mobil.
1.5.
Ruang Lingkup Guna lebih menspesifikasi pembahasan dalam penelitian ini, serta sebagai
sebuah pembeda dengan penelitian-penelitian lainnya, maka ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Industri mobil yang dimaksud yakni kendaraan bermotor (motor vehicle) dengan jumlah roda 4 atau lebih (ISIC 34100) yang dikhususkan bagi kendaraan penumpang (passanger car), dan tidak termasuk kendaraan jenis trailer dan semi-trailer. b. Tidak adanya merek produksi 100 persen lokal, maka merek-merek internasional yang diproduksi dan dijual di Indonesia dapat dikatakan sebagai industri mobil Indonesia.
24
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam menganalisis output suatu industri beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya, terlebih dahulu perlu didefinisikan secara lebih mendalam pengertian dari industri dan output itu sendiri serta bagaimana faktor-faktor tersebut berkaitan dengan industri tersebut sehingga pada akhirnya mampu mempengaruhi output industri tersebut. 2.1. Pengertian Industri Industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen, atau mempunyai sifat saling mengganti yang erat (Hasibuan, 1993). Sedangkan menurut Dumairy (1995) industri mempunyai dua arti. Pertama, sebagai himpunan perusahaan sejenis, dan kedua, sebagai suatu sektor ekonomi yang didalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
2.2. Fungsi Produksi Dalam menjalankan operasionalnya, kegiatan utama sebuah perusahaan bertujuan untuk mengubah masukan (input) menjadi keluaran (output). Dalam mencapai tujuannya ini, perusahaan memiliki pilihan-pilihan masukan yang dapat dipergunakan dalam proses produksinya itu, seperti berapa komposisi sebuah masukan tertentu yang ideal guna mencapai output yang semaksimal mungkin namun dengan biaya dan kinerja yang seefisien dan seefektif mungkin. Namun, mencapai tujuan ini juga disertai dengan kerumitan yang timbul dalam
25
pelaksanaannya.
Guna
lebih
menyederhanakan
permasalahan
tersebut,
dikembangkanlah suatu model produksi abstrak yang disebut fungsi produksi. Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai suatu daftar (schedule) yang memperlihatkan besarnya jumlah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh sejumlah masukan (input) tertentu pada suatu tingkat teknologi tertentu (Syahruddin, 1989) sedangkan menurut Nicholson (1995), fungsi produksi memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif sejumlah input tertentu. Secara matematis, hubungan tersebut dapat ditulis sebagai berikut: Y = f( X1,X2,X3,….,Xn)
(2.1)
Dimana: Y
= Output yang dihasilkan dalam suatu periode tertentu
Xn
= Input yang digunakan dalam memproduksi Y
f
= Bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input kedalam output Dalam fungsi produksi, input yang digunakan dalam proses produksi disebut
faktor produksi. Menurut Soekartawi (1993), faktor produksi adalah segala sesuatu yang digunakan dalam menghasilkan suatu produk atau output. Faktor produksi umumnya digolongkan menjadi tanah, tenaga kerja, dan modal. Fungsi produksi dapat dinyatakan dalam bentuk grafik yang menggambarkan kenaikan dan penurunan tingkat output yang dikenal dengan hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (The Law of Diminishing Return). Hukum ini menyatakan bahwa jika input produksi ditambah secara terus menerus, dengan asumsi bahwa hanya terdapat satu faktor produksi yang berubah, sedangkan faktor produksi lain
26
dianggap tetap (ceteris paribus), maka tambahan jumlah output produksi akan semakin berkurang (Nicholson, 1995). Y 45°
PT III II I PR X2
X1
X3
PM
X
Sumber: Soekartawi, 1993
Gambar 2.1 Grafik Fungsi Produksi Jangka Pendek
Produk marjinal (PM) dari suatu input adalah bertambah atau berkurangnya suatu output sebesar satu satuan unit yang diakibatkan oleh penambahan suatu input sebesar satu satuan unit (Soekartawi, 1993) dimana input-input lain dianggap konstan. Secara matematis, produk marjinal ditulis sebagai berikut: Produk Marjinal = = = f’(X)
(2.2)
27
Nicholson (1995) menyatakan bahwa ketika jumlah input yang digunakan masih sedikit, maka produk marjinal akan memiliki nilai yang sangat tinggi dengan asumsi bahwa input lain dinggap konstan, sehingga produk marjinal dari setiap unit terakhir memiliki nilai yang tidak selalu sama. Selain itu secara sederhana, kurva produk marjinal merupakan kemiringan (slope) dari produk total (PT). Produk total (PT) menggambarkan hubungan antara input dan output total. Jumlah output akan meningkat hingga batas maksimum ketika terjadi peningkatan salah satu faktor produksi dengan asumsi bahwa faktor produksi lainnya dianggap konstan. Jika jumlah output telah mencapai batas maksimum, maka akan terjadi penurunan jumlah output yang dihasilkan. Kurva produk total berguna untuk mengetahui kurva PM dan produk rata-rata (PR). Kedua kurva ini bisa diketahui dengan cara menurunkan kurva PT. PR adalah rata-rata output yang dihasilkan dengan menggunakan keseluruhan jumlah input dalam proses produksi. Secara matematis, PR merupakan hasil pembagian antara jumlah output total dengan jumlah input total yang dirumuskan sebagai berikut: PR =
=
(2.3)
Secara matematis, PM dan PR memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Dengan demikian, dalam Soekartawi (1993), hubungan antara PM dan PR adalah sebagai berikut: 1. Bila PM lebih besar daripada PR, maka slope kurva PR masih dalam keadaan menanjak (slope positif).
28
2. Bila PM lebih kecil daripada PR, maka slope kurva PR dalam keadaan menurun (slope negatif). 3. Bila PM sama dengan PR, maka PR dalam posisi titik maksimum. Adapun hubungan antara PM dengan PT dalam suatu fungsi produksi adalah sebagai berikut: 1. Bila slope PT dalam keadaan menanjak (slope positif), maka PM memiliki nilai positif. 2. Bila PT mencapai titik maksimum, maka PM bernilai nol. 3. Bila PT dalam keadaan menurun (slope negatif), maka PM memiliki nilai negatif. 4. Bila PT bergerak naik pada tahapan increasing rate, maka PM bertambah pada decreasing rate. Dalam suatu proses produksi, jumlah output yang dihasilkan tidak selalu tetap, namun berubah-ubah. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh faktor produksi yang dipergunakan yang dinyatakan dengan elastisitas produksi (εp). Elastisitas produksi adalah presentase perubahan jumlah output sebagai akibat dari presentase perubahan jumlah input (Soekartawi, 1993) yang dirumuskan sebagai berikut:
εp =
·
=
(2.5)
Dalam Soekartawi (1993), dinyatakan bahwa besarnya nilai εp bergantung pada besar kecilnya PM dari suatu input. Berdasarkan tingkat elastisitasnya, suatu fungsi produksi dapat dibagi ke dalam tiga daerah.
29
1.
Daerah I
εp > 1 dimana produsen masih mampu memperoleh jumlah produksi yang lebih menguntungkan manakala jumlah input ditambahkan. Daerah ini ditandai dengan PT yang terus naik pada tahapan increasing rate, PR yang terus naik, serta nilai PM yang naik sampai mencapai titik maksimumnya. Daerah ini disebut juga daerah irasional (irrational region) karena keuntungan masih bisa ditingkatkan dengan cara menambahkan faktor produksi, sehingga pada daerah ini keuntungan maksimum belum tercapai. 2.
Daerah II 0 <
εp
< 1 dimana tambahan sejumlah input tidak diimbangi tambahan
sejumlah output secara proporsional. Pada daerah ini, PM dan PR mengalami penurunan sedangkan PT tetap mengalami peningkatan pada tahapan decreasing rate karena setiap tambahan faktor produksi akan diikuti oleh peningkatan jumlah output yang semakin lama semakin berkurang. Hal ini menandakan bahwa penggunaan faktor produksi telah optimal sehingga disebut juga daerah rasional (rational region). 3.
Daerah III
εp < 0 dimana baik PT, PR, dan PM menurun, bahkan bernilai negatif untuk PM sehingga tambahan faktor produksi pada daerah ini akan menyebabkan penurunan jumlah output yang dihasilkan. Daerah ini termasuk daerah irasional (irrational region).
30
4.
Titik perbatasan Terdapat dua titik perbatasan yaitu titik yang membatasi daerah I dengan daerah II (titik X2) dan titik yang membatasi daerah II dengan daerah III (titik X3). Pada titik X2, PM memiliki nilai yang sama dengan PR dimana nilai εp = 1 sedangkan pada titik X3 PM bernilai 0 dimana εp = 0.
2.2.1. Fungsi Produksi Cobb-Douglas Guna menganalisis hubungan kausalitas antara faktor-faktor input dengan outputnya, salah satu alternatif model yang dapat dipergunakan adalah model Cobb-Douglas. Secara umum, menurut Soekartawi (1993), terdapat tiga alasan pokok mengapa fungsi produksi Cobb-Douglas lazim digunakan untuk menganalisis suatu proses produksi. Ketiga alasan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Fungsi Cobb-Douglas memiliki penyelesaian yang lebih mudah ketimbang fungsi produksi lainnya (misalnya fungsi kuadratik). Hal ini dikarenakan fungsi produksi Cobb-Douglas mudah untuk diubah kedalam bentuk linear. 2. Hasil pendugaan garis melalui fungsi produksi Cobb-Douglas menghasilkan koefisien regresi yang juga menunjukkan besaran elastisitas dari variabel faktor produksi yang bersangkutan. 3. Besaran koefisien regresi tersebut juga menunjukkan tingkat hasil berbanding skala (returns to scale) dimana penjumlahan dari seluruh koefisen regresi variabel faktor produksi pada fungsi produksi tersebut memperlihatkan bagaimana jenis returns to scale dari fungsi produksi tersebut.
31
Selain ketiga alasan tersebut, fungsi produksi Cobb-Douglas juga mampu mengurangi terjadinya heteroskedastisitas dan memudahkan pembandingan penelitian yang satu dengan yang lainnya yang menggunakan alat analisis yang sama (Wahyuni, 2007 dalam Kurniawan, 2008). Fungsi Cobb-Douglas, yang dinamakan sesuai C.W. Cobb dan P.H. Douglas, merupakan suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel yang terdiri dari variabel dependen, yakni variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain atau yang dijelaskan (Y), dan variabel independen yaitu variabel yang mempengaruhi vaiabel lain atau variabel yang menjelaskan (X) (Soekartawi, 1993). Fungsi tersebut, secara matematis, dapat ditulis sebagai berikut: Y = aX1b1 X2b2 Xnbn ℮u
(2.6)
Untuk memudahkan pendugaan, fungsi produksi Cobb-Douglas dapat diubah kedalam bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan persamaan fungsi tersebut sebagai berikut: Ln Y = a + b1LnX1 + b2LnX2 + bnLnXn + u dimana: Y
= Variabel dependen
X1,..,n
= Variabel independen
a
= Intersep
b1,..,n
= Koefisien regresi penduga
u
= Residual
e
= 2,1782.. (logaritma natural)
(2.7)
32
Dengan bentuk persamaan di atas, proses pendugaan dapat dilakukan dengan lebih mudah dengan menggunakan regresi linear berganda serta nilai koefisien regresi penduga (bi) dapat digunakan untuk menunjukkan nilai elastisitas X terhadap Y. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menggunakan fungsi Cobb-Douglas, yaitu (Soekartawi,1993): 1.
Tidak adanya pengamatan bernilai nol. Hal ini disebabkan karena logaritma dari bilangan nol adalah suatu bilangan infinite (tidak diketahui nilainya).
2.
Perlunya asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi dalam setiap pengamatan. Hal ini berarti bahwa bila diperlukan analisis yang menggunakan lebih dari satu model, maka perbedaan model–model tersebut terletak pada intersep dan bukan pada kemiringan garis (slope).
3.
Perbedaan lokasi pada fungsi produksi seperti iklim sudah tercakup pada faktor kesalahan (galat) u.
4.
Tiap variabel X berada dalam kondisi perfect competition. Fungsi produksi Cobb-Douglas juga memiliki beberapa kelemahan.
Kelemahan-kelemahan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Sanimah (2006) adalah: 1.
Elastisitas produksi yang diasumsikan umumnya selalu konstan.
2.
Sering timbul multikolinearitas.
3.
Nilai dugaan elastisitas produksi yang dihasilkan berbias jika variabelvariabel faktor produksi yang digunakan kurang lengkap.
33
4.
Tidak dapat digunakan untuk menduga tingkat produksi pada taraf penggunaan faktor produksi sama dengan nol.
2.2.2. Konsep Elastisitas Konsep elastisitas merupakan suatu konsep untuk mengetahui efek yang ditimbulkan oleh perubahan suatu variabel terhadap variabel lainnya dengan kondisi dimana kedua variabel tersebut tidak dapat diukur dalam ukuran yang sama. Jika dimisalkan terdapat dua variabel yakni: Y = f(K…)
(2.8)
maka, elastisitas variabel Y terhadap K dapat diketahui dengan rumus:
εY.K =
/ /
=
·
(2.9)
Secara teori, elastisitas adalah ukuran persentase perubahan suatu variabel yang diakibatkan oleh perubahan variabel lainnya sebesar satu persen sedangkan dalam prakteknya elastisitas pada dasarnya adalah ukuran seberapa jauh reaksi yang dilakukan oleh pembeli dan penjual dalam suatu pasar terhadap perubahan kondisi-kondisi di pasar. Pada fungsi produksi Cobb-Douglas, nilai koefisien regresi penduga dari model tersebut dapat digunakan untuk mengetahui nilai elastisitasnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan menurunkan rumus dari persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas terhadap salah satu faktor produksinya, sebagai contoh X1. Y = aX1b1X2b2X3b3eu Maka :
(2.10)
34
εX1
=
·
= ab1X1b1-1X2b2X3b3 × = = b1
(2.11)
Dimana:
εX1
= Elastisitas bahan baku = Perubahan output Y terhadap bahan baku (X1)
Y
= Nilai output yang dihasilkan oleh industri
X1
= Bahan baku yang digunakan dalam proses produksi
X2,X3 = Faktor produksi lainnya yang dipergunakan dalam proses produksi (misalnya energi dan permodalan).
2.2.3. Skala Hasil Usaha (Returns to Scale) Skala hasil usaha (returns to scale) menunjukkan kondisi yang terjadi pada output jika terjadi peningkatan seluruh faktor produksi dalam skala yang sama. Konsep skala hasil usaha merupakan konsep yang terjadi dalam jangka panjang (long run) dimana semua faktor produksi dianggap variabel. Terdapat tiga kriteria pengembalian hasil yakni constant returns to scale (CRTS), increasing returns to scale (IRTS), dan decreasing returns to scale (DRTS). Suatu fungsi produksi dikatakan sebagai Constant Returns to Scale apabila jika faktor produksi ditingkatkan sebesar m kali lipat, maka hasil output juga akan meningkat dalam proporsi yang sama yakni sebesar m kali lipat juga. Suatu fungsi
35
produksi dikatakan Increasing Returns to Scale adalah apabila rasio peningkatan output suatu produksi melebihi penambahan input yang diberikan. Sebagai ilustrasi, jika faktor produksi ditingkatkan sebesar m kali lipat, maka pada fungsi produksi IRTS, output akan meningkat sebanyak 2m, atau dua kali jumlah penambahan input. Yang terakhir, yaitu fungsi produksi Decreasing Returns to Scale (DRTS) yakni jika hasil output meningkat dalam skala yang lebih kecil dibandingkan skala penambahan jumlah inputnya. Sebagai ilustrasi, peningkatan faktor produksi sebesar m kali lipat menyebabkan output meningkat sebesar 0,5m kali lipat. Skala usaha cenderung berbanding lurus dengan nilai efisiensi. Sebagai contoh, skala hasil usaha yang meningkat cenderung terjadi pada industri berskala ekonomi besar dengan efisiensi tinggi dan spesialisasi yang kompleks pada proses produksinya (Frank, 1997). Pada fungsi produksi Cobb-Douglas, nilai skala hasil usaha suatu industri dapat diketahui dari penjumlahan koefisien regresi dari seluruh variabel bebasnya. Nilai dari penjumlahan variabel bebas tersebut kemudian dapat diartikan sebagai berikut: a. Jika (b1 + b2 + … + bn = 1), maka fungsi Cobb-Douglas memperlihatkan hasil berbanding skala yang konstan. b. Jika (b1 + b2 + … + bn > 1), maka fungsi Cobb-Douglas memperlihatkan hasil berbanding skala yang meningkat. c. Jika (b1 + b2 + … + bn < 1), maka fungsi Cobb-Douglas memperlihatkan hasil berbanding skala yang menurun.
36
2.2.4. Efisiensi dan Nilai Tambah Nilai efisiensi adalah perbandingan antara biaya input terhadap nilai output yang dihasilkan (BPS, 2000). Secara matematis, nilai efisiensi diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
Efisensi (η) =
(2.12)
Pentingnya nilai efisiensi ini adalah agar suatu perusahaan dapat mengetahui seberapa efisien penggunaan faktor produksi dalam menghasilkan sejumlah output tertentu.
Suatu
metode
produksi
dikatakan
efisien
apabila
telah
mengkombinasikan tingkat penggunaan input dan biaya secara optimal (Nicholson, 1995) serta mampu menghasilkan output dalam jumlah yang sama dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan metode lain (Lipsey, 1975). Suatu industri dikatakan efisien apabila memiliki nilai rasio input/output yang rendah. Nilai tambah, dalam hal ini nilai tambah bruto (NTB) adalah nilai tambah atas dasar harga yang berlaku sebelum dikurangi pajak yang dapat dilihat dari selisih antara nilai output dengan biaya input (Kurniawan, 2008). NTB = Nilai Output − Biaya Input
(2.13)
Nilai output merupakan hasil penjumlahan dari nilai barang yang dihasilkan, jasa yang diberikan pada pihak lain, keuntungan dari barang yang dijual kembali, selisih nilai stock barang setengah jadi, serta penerimaan dari jasa non industri sedangkan biaya input merupakan hasil penjumlahan dari nilai bahan baku yang dipergunakan oleh industri besar dan sedang baik impor maupun produksi sendiri,
37
nilai energi yang dipergunakan, serta nilai modal dalam bentuk sewa gedung dan alat-alat yang dipergunakan dalam proses produksi (BPS, 2000).
2.3.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
2.3.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Output Kurniawan (2008), dengan penelitian berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Sepeda Motor Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari BPS dan AISI. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh input terhadap output, elastisitas dari masing-masing input dan skala usaha, nilai tambah dan efisiensi industri, serta dampak dari pemberlakuan KepMen Lingkungan Hidup nomor 141/2003 tentang standar emisi kendaraan bermotor. Penelitian ini menggunakan metode OLS dengan hasil bahwa faktor produksi bahan baku, modal, dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap meningkatnya nilai output, sedangkan energi berdampak negatif. Nilai tambah cendering meningkat selama tahun 1980 hingga 2005 dan pemberlakuan KepMen LH no 141/2003 membuat produsen menjadi lebih produktif dan efisien. Fitriani (2005) dengan penelitian berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Ban di Indonesia Periode 1984 - 2002. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari BPS dan APBI. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi output industri ban dan mengetahui nilai elastisitas, skala usaha, efisiensi, dan nilai tambah industri ban di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode OLS
38
dengan hasil bahwa faktor produksi bahan baku, bahan bakar, dan tenaga kerja berpengaruh positif, sedangkan faktor produksi modal berpengaruh negatif. Faktor produksi bahan baku memiliki nilai elastisitas terbesar sedangkan faktor produksi modal memiliki nilai elastistas terkecil. Industri ban Indonesia merupakan industri yang increasing returns to scale dengan nilai skala usaha sebesar 1,215.
2.3.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Industri Mobil Atikah (2008), dengan penelitian berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Integrasi Vertikal Industri Mobil di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari BPS, Gaikindo, CSIS, dan Departemen Perindustrian RI. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat integrasi vertikal industri mobil serta faktor-faktor yang mempengaruhinya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM), penelitian memperoleh hasil yang menyatakan bahwa terdapat nilai rata–rata integrasi vertikal sebesar 0,74 antara industri mobil dengan industri pendukung lainnya seperti industri komponen dan suku cadang. Sutriyono
(2007),
dengan
penelitian
berjudul
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi Industri Mobil di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari BPS dan Gaikindo. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi industri mobil di Indonesia dan pengaruh krisis ekonomi tahun 1997 terhadap industri mobil di Indonesia. Dengan menggunakan OLS PCM, penelitian ini memperoleh hasil bahwa effisiensi-X berpengaruh positif signifikan, tingkat pertumbuhan produksi
39
berpengaruh positif signifikan, produktifitas perusahaan dalam menghasilkan output berpengaruh positif signifikan, dan dummy krisis berpengaruh negatif.
2.4. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Mobil di Indonesia mempunyai beberapa perbedaan dengan penelitianpenelitian terdahulu yaitu pertama, ruang lingkup penelitian ini adalah output dari industri mobil di Indonesia. Kedua, variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan baku, modal, dan energi yang digunakan dalam proses produksi industri mobil serta memasukan pengaruh krisis ekonomi tahun 1997 dan penerapan deregulasi tanggal 24 juni 1999 dalam bentuk variabel dummy. Ketiga, penelitian ini menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan metode OLS yang hasil regresinya selain dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh input terhadap output, juga dapat mengetahui elastisitas produksi dan skala usaha dari industri mobil Indonesia. Keempat, penelitian ini menggunakan data sekunder time series dari tahun 1985 - 2005.
2.5.
Kerangka Pemikiran Industri mobil merupakan salah satu industri yang sedang berkembang saat
ini. Indonesia merupakan negara penghasil mobil ketiga terbesar di ASEAN, dibawah Thailand dan Malaysia (Direktorat Industri Alat Transport, 2009) dimana sektor ini memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PDB Indonesia serta
40
berperan dalam meningkatkan investasi di dalam negeri. Sektor industri mobil juga berperan dalam mendorong pengembangan industri lain yang terkait, seperti industri bahan baku komponen kendaraan. Sebagaimana industri-industri lainnya, industri mobil juga memiliki berbagai permasalahan yang mempengaruhi jumlah output yang dihasilkannya. Secara garis besar, permasalahan yang dihadapi industri ini dapat dibagi dua, yakni permasalahan yang berasal dari dalam negeri, dan permasalahan yang berasal dari luar negeri. Permasalahan yang berasal dari dalam negeri berupa permasalahan yang terkait langsung dengan proses produksi, seperti kondisi industri bahan baku kendaraan yang terkadang tidak sesuai dengan permintaan industri mobil, serta kondisi infrastruktur pendukung seperti kelancaran distribusi tenaga listrik (energi). Selain itu, permasalahan dari dalam negeri juga dapat berupa kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap kurang mendukung perkembangan industri mobil. Permasalah yang berasal dari luar negeri berupa guncangan-guncangan terhadap perekonomian yang umumnya terjadi dalam bentuk krisis perekonomian. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 merupakan salah satu contoh krisis yang memberikan dampak yang negatif terhadap perkembangan industri mobil di Indonesia. Selain krisis, guncangan juga dapat berupa fluktuasi harga minyak yang berimplikasi pada berfluktuasinya biaya-biaya input produksi serta biaya produksi itu sendiri. Setelah mengetahui permasalahan-permasalahan tersebut, penelitian ini akan menganalisis bagaimana faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap output
41
industri mobil dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang dianalisis menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Penggunaan metode ini dipilih karena selain dapat melihat pengaruh faktor-faktor di atas terhadap output industri mobil, model yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk menganalisis elastisitas serta returns to scale atau skala hasil usaha dari industri mobil di Indonesia. Selain menggunakan metode OLS, penelitian ini juga akan menganalisis efisiensi serta nilai tambah industri mobil Indonesia secara terpisah.
42
Industri mobil Indonesia Perumusan Masalah: Pergerakan harga minyak mentah yang semakin meningkat pada kurun waktu 2002-2008 Krisis perekonomian tahun 1997 mengakibatkan meningkatnya biaya input produksi Pemberlakuan deregulasi tahun 1999 dikhawatirkan menurunkan produksi mobil produksi dalam negeri
Input industri mobil Indonesia: Bahan baku Permodalan Energi
Analisis Regresi Linear Berganda dengan menggunakan Fungsi Produksi Cobb-Douglas Dummy krisis ekonomi 1997
Skala Hasil Usaha dan Elastisitas Produksi
Dummy deregulasi 24 Juni 1999
Output Industri Mobil Indonesia
keterangan: : dianalisis
Gambar 2.2 Alur Kerangka Pemikiran
Nilai Tambah dan Efisiensi Produksi
43
2.6. Hipotesis Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian serta kerangka pemikiran, maka rumusan jawaban sementara mengenai permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1.
Faktor produksi bahan baku, faktor produksi modal, serta faktor produksi energi berpengaruh positif terhadap output yang dihasilkan oleh industri mobil. Hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan dalam penggunaan ketiga faktor produksi tersebut, maka nilai output industri mobil juga akan mengalami peningkatan.
2.
Variabel dummy krisis ekonomi tahun 1997 memiliki pengaruh negatif terhadap output industri mobil Indonesia.
3.
Variabel dummy kebijakan deregulasi 24 Juni 1999 memiliki pengaruh positif terhadap output industri mobil Indonesia.
4.
Dugaan nilai elastisitas untuk faktor produksi bahan baku, modal, dan energi adalah positif. Skala hasil usaha industri mobil Indonesia diduga bersifat increasing returns to scale dimana penambahan faktor produksi akan meningkatkan nilai output dalam rasio yang lebih besar dibandingkan nilai penambahan faktor produksinya. Selain itu, dugaan terhadap efisiensi produksi adalah industri ini mampu berproduksi secara efisien dan memiliki nilai tambah (NTB) yang secara rata-rata semakin meningkat dari tahun ke tahun.
44
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series selama kurun waktu 1985 - 2005. Adapun data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Rincian Data Variabel Penelitian No 1 2 3 4 5 6
Nama Variabel Output (Y) Bahan Baku (X1) Permodalan (X2) Energi (X3) Krisis Ekonomi 1997 (Dk) Deregulasi Juni 1999 (DR)
Sumber BPS BPS BPS BPS -
Keterangan Variabel Dependen Variabel Independen Variabel Independen Variabel Independen Variabel Dummy Variabel Dummy
Spesifikasi secara lebih rinci dari data yang dipergunakan tersebut adalah sebagai berikut: a. Variabel dependen 1. Output (Y) Merupakan total output yang dihasilkan oleh industri mobil di Indonesia selama periode 1985–2005 dalam satuan ribu rupiah. b. Variabel independen 1. Bahan Baku (X1) Merupakan total nilai bahan baku yang dipergunakan dalam proses produksi oleh industri mobil Indonesia selama periode 1985–2005 dalam satuan ribu rupiah.
45
2. Modal (X2) Merupakan total permodalan yang digunakan pada proses produksi industri mobil Indonesia selama periode 1985–2005 dalam satuan ribu rupiah. 3. Energi (X3) Merupakan total jumlah energi yang dipergunakan industri mobil Indonesia selama periode 1985–2005 dalam satuan ribu rupiah. 4. Dummy Krisis Ekonomi (Dk) Pengaruh krisis moneter tahun 1997 terhadap industri mobil di Indonesia. 5. Dummy Deregulasi Juni 1999 (DR) Pengaruh deregulasi kebijakan tanggal 24 Juni 1999 terhadap industri mobil di Indonesia. Data yang diperoleh merupakan data nominal yang kemudian diubah kedalam bentuk riil dengan rumus sebagai berikut:
Nilai riil =
× 100
(3.1)
Penggunaan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sebagai deflator dimaksudkan agar semua agregat dinilai atas dasar harga konstan suatu tahun. Penelitian ini menggunakan IHPB dengan tahun dasar 1993 (1993 = 100) dan harga dianggap tetap sehingga adanya perkembangan terhadap agregat dari tahun ke tahun disebabkan oleh perkembangan riil, bukan fluktuasi kenaikan harga. Selain data utama di atas, penelitian ini juga menggunakan data-data tambahan yang berasal dari instansi-instansi, penelitian terdahulu, buku-buku,
46
serta literatur-literatur terkait yang dapat membantu menjelaskan analisis dalam penelitian ini.
3.2. Analisis Data Analisis data pada penelitian ini menggunakan fungsi produksi CobbDouglas yang mampu menggambarkan pengaruh variabel-variabel independen terhadap suatu variabel dependen tertentu. Pada penelitian ini, yang menjadi variabel dependen adalah variabel output industri mobil Indonesia sedangkan yang menjadi variabel independennya adalah variabel bahan baku, modal, serta energi sektor industri mobil Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh variabel-variabel indpenden tersebut terhadap variabel dependen tersebut dalam kurun waktu tertentu. Selain variabel independen tersebut, penelitian ini juga menggunakan variabel dummy yakni dummy krisis ekonomi tahun 1997 untuk mengetahui bagaimana dampak dari terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 terhadap output dari industri mobil Indonesia dengan membandingkan kondisi output sebelum dan sesudah terjadinya krisis yakni pada tahun 1997 serta dummy deregulasi kebijakan tanggal 24 Juni 1999 untuk mengetahui dampak deregulasi kebijakan tanggal 24 Juni 1999 terhadap perkembangan output dengan membandingkan kondisi output sebelum dan sesudah deregulasi. Guna lebih memudahkan pendugaan terhadap persamaan dalam bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas, maka model fungsi produksi tersebut terlebih dahulu dilinearkan menjadi bentuk linear berganda
47
dengan melogaritmakan persamaan tersebut sehingga dalam model data yang diinput dirubah kedalam satuan persen.
3.2.1. Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas Fungsi tersebut, secara matematis, dapat ditulis sebagai berikut: Y = aX1b1 X2b2 X3b3 ℮b4dk ℮b5dR ℮u
(3.2)
Yang apabila dilinearkan menjadi: Ln Yt = a+b1LnX1t+b2LnX2t+b3LnX3t+b4Dk+b5DR+u
(3.3)
dimana: Y
= Output riil industri mobil tahun ke-t (persen)
X1
= Bahan baku riil industri mobil tahun ke-t (persen)
X2
= Modal riil industri mobil tahun ke-t (persen)
X3
= Energi riil tahun ke-t (persen)
Dk
= Dummy krisis, melihat dampak sebelum (D=0) dan sesudah krisis (D=1)
DR
= Dummy deregulasi tahun 1999, melihat dampak sebelum (D=0) dan sesudah deregulasi (D=1)
a
= Intersep
bi
= Keofisien regresi penduga (i = {1,…,5})
u
= Residual
e
= 2,1782.. (logaritma natural) Nilai dugaan parameter yang diharapkan: b1,b2,b3,b5> 0; b4 < 0 Dengan fungsi produksi Cobb-Douglas yang telah dilinearkan tersebut,
maka variabel-variabel pada fungsi tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan
48
analisis regresi linear berganda dan metode Ordinary Least Square (OLS). Asumsi-asumsi dalam OLS adalah sebagai berikut (Gujarati, 1995): a. Nilai harapan dari rata-rata kesalahan adalah nol. b. Ragam konstan (homoscedasticity). c. Tidak ada hubungan antara variabel bebas dan error term. d. Tidak ada korelasi serial antara error (non-autocorrelation). e. Tidak terdapat hubungan antara variabel bebas (non-multicolinearity). f. Ragam error menyebar normal. Jika asumsi di atas dapat dipenuhi dalam model regresi linear berganda, maka penduganya mempunyai ragam minimum yang merupakan penduga linear tak bias atau Best Linear Unbiased Estimator (BLUE).
3.2.2. Analisis Elastisitas dan Skala Hasil Usaha Nilai koefisien regresi penduga masing-masing variabel bebas pada fungsi Cobb-Douglas menunjukkan nilai elastistas dari variabel tersebut. Nilai elastisitas (εp) variabel bebas terhadap variabel tak bebasnya dapat dilihat dari nilai koefisien regresinya. Terdapat tiga kondisi nilai elastisitas yaitu pertama jika εp > 1 dimana penggunaan input belum optimal, kedua 0<εp<1 dimana penggunaan input telah optimal, dan ketiga εp < 0 dimana penggunaan input sudah over utilized. Penjumlahan dari seluruh nilai koefisien regresi penduga variabel bebas pada fungsi Cobb-Douglas menunjukkan skala hasil usaha. Terdapat tiga kriteria skala hasil usaha yaitu pertama increasing returns to scale (IRTS) jika nilai penjumlahan koefisien regresi penduga lebih besar dari satu (∑b >1), kedua
49
constant returns to scale (CRTS) jika ∑b = 1, dan ketiga decreasing returns to scale (DRTS) jika ∑b < 1.
3.2.3. Analisis Efisiensi Analisis efisiensi ini digunakan untuk mengetahui bagaimana tingkat efisiensi dari faktor produksi untuk menghasilkan suatu output dalam jumlah tertentu. Nilai ini diperoleh dengan menghitung perbandingan antara biaya input dengan nilai output (BPS, 2002), sebagaimana dirumuskan sebagai berikut: Efisiensi (η) =
(3.4)
Semakin rendah nilai rasio perbandingan biaya input dengan nilai output, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya nilai koefisien η, menunjukkan tingkat efisiensi yang semakin tinggi (Sanimah, 2006).
3.2.4. Analisis Nilai Tambah Analisis nilai tambah dilakukan untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan suatu industri (Sanimah, 2006). Dengan mengamati nilai tambah bruto (NTB) suatu industri, dalam hal ini industri mobil, dapat diketahui apakah industri tersebut mengalami pertumbuhan yang positif atau negatif. Nilai tambah bruto merupakan suatu nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu proses produksi sebelum dikurangi pajak, atau secara umum merupakan selisih antara nilai output dengan biaya input, sebagaimana dirumuskan sebagai berikut: NTB = Nilai Output – Biaya Input
(3.5)
50
dimana nilai NTB yang positif menunjukkkan bahwa industri tersebut mengalami pertumbuhan yang positif.
3.3. Pengujian Hipotesis 3.3.1. Kriteria Uji Ekonomi Pengujian suatu model ekonomi bertujuan untuk mengetahui apakah spesifikasi persamaan struktural suatu model cukup beralasan (reasonable) dan apakah koefisien yang diestimasi memiliki nilai yang sesuai, baik dengan hipotesis yang dibangun, maupun teori yang mendasarinya, dalam hal ini teori ekonomi. Menurut Timor (2008) dalam Kurniawan (2008), kriteria uji ekonomi dilakukan dengan melihat tanda dan besaran masing-masing variabel dugaan apakah tanda dan besarannya sesuai dengan teori ekonomi atau tidak.
3.3.2. Kriteria Uji Statistik 3.3.2.1. Uji Koefisien Determinasi (R2) Kegunaan uji koefisien determinasi (R2) adalah untuk mengetahui seberapa besar nilai keragaman yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas (independen) terhadap variabel tak bebas (dependen). Uji ini menjelaskan persentase keragaman total peubah tidak bebas yang disebabkan oleh peubah bebasnya. Rumus umum penghitungan koefisien determinasi (R2) adalah sebagai berikut: R2 = dimana: R2
= Koefisien Determinasi
(3.6)
51
JKR
= Jumlah Kuadrat Regresi, dan
JKT
= Jumlah Kuadrat Total Besarnya nilai R2 ini berbanding lurus dengan jumlah variabel bebasnya,
artinya nilai R2 akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya jumlah variabel bebas yang dimasukkan dalam model. Gujarati (1995) menjelaskan bahwa R2 memiliki dua sifat sebagai berikut: 1. R2 selalu bernilai positif. 2. Memiliki besar antara 0 ≤ R2 ≤ 1. Nilai R2 sebesar satu (R2 = 1) memiliki arti bahwa variabel independen dalam model memiliki kecocokan sempurna dengan variabel dependennya, sedangkan nilai R2 sebesar nol (R2 = 0) berarti bahwa tidak terdapat kesesuaian antara variabel dependen dengan variabel independennya.
3.3.2.2. Uji F-statisitik (Fstat) Dalam model persamaan regresi, uji Fstat digunakan untuk membuktikan bahwa seluruh koefisien regresi signifikan dalam menentukan nilai dari variabel dependen. Nilai Fstat dapat dihitung dengan rumus umum sebagai berikut: F-Hitung =
(
²(
²)
)
Dengan hipotesis sebagai berikut: H0 : bi = 0 H1 : minimal ada satu bi ≠ 0
(3.7)
52
Kriteria uji : F-Hitung > F α (k-1, n-k), maka tolak H0 F-Hitung < F α (k-1, n-k), maka jangan tolak H0 dimana: R2 = Koefisien Determinasi n = Banyaknya data, dan k = Banyaknya Koefisien Regresi Dugaan. Kondisi H0 yang ditolak (F-Hitung > F
α (k-1, n-k))
memiliki arti bahwa
terdapat paling tidak satu variabel independen yang berpengaruh nyata (signifikan) terhadap total output industri mobil. Sebaliknya, kondisi H0 yang tidak ditolak (F-Hitung < F
α (k-1, n-k))
memiliki arti bahwa tidak ada satupun
variabel independen yang berpengaruh nyata (tidak signifikan) terhadap total output industri mobil.
3.3.2.3. Uji tstatistik (tstat) Uji tstat digunakan untul membuktikan apakah koefisien regresi dalam model secara statistik bersifat signifikan atau tidak. Uji ini digunakan untuk melihat apakah secara statistik koefisien regresi dari masing–masing variabel independen dalam model memiliki pengaruh nyata terhadap variabel dependen secara terpisah. Rumus umum untuk menghitung tstat adalah: t-hitung =
( )
dengan hipotesis sebagai berikut:
(3.8)
53
H0 : bi = 0 H1 : bi ≠ 0 Kriteria Uji: t-hitung > t α 2(n-k), maka tolak H0 t-hitung < t α 2(n-k), maka jangan tolak H0 dimana: S(b) = Simpangan Baku Koefisien Dugaan. Kondisi H0 yang ditolak (t-hitung > t
α 2(n-k))
memiliki arti bahwa masing-
masing variabel independen secara terpisah berpengaruh nyata (signifikan) terhadap total output industri mobil. Sebaliknya, kondisi dimana H0 tidak ditolak (t-hitung < t
α 2(n-k))
memiliki arti bahwa masing-masing variabel independen
secara terpisah tidak berpengaruh nyata (tidak signifikan) terhadap total output industri mobil.
3.3.3. Kriteria Uji Ekonometrika Suatu model persamaan regresi yang menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dapat menghasilkan hasil suatu estimasi yang sah atau valid jika model tersebut menghasilkan nilai parameter yang Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Metode OLS memiliki enam asumsi klasik, dimana pelanggaran terhadap salah satu asumsi tersebut akan menghasilkan nilai parameter yang tidak BLUE. Ada tidaknya pelanggaran terhadap asumsi-asumsi tersebut dapat diketahui dengan melakukan uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas.
54
3.3.3.1. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah suatu kondisi dimana adanya hubungan linear sempurna diantara beberapa atau semua variabel bebas dalam regresi, yang menyebabkan adanya kesulitan untuk memisahkan pengaruh antara variabel dependen dengan variabel independen pada model. Jika dalam suatu model terdapat multikolinearitas, maka parameter yang diestimasi akan memiliki nilai ketepatan yang rendah, oleh karena itu, tujuan asumsi model regresi linear klasik dengan tidak adanya multikolinearitas adalah agar parameter yang diestimasi memiliki ketepatan yang tinggi. Nilai R2 yang tinggi, yakni antara 0,7 sampai 1 merupakan kondisi dimana multikolinearitas sering terjadi. Multikolinearitas memiliki beberapa konsekuensi, diantaranya: 1. Nilai dari galat baku mengalami peningkatan. 2. Estimasi koefisien tidak dapat dilakukan. 3. Probabilitas untuk menerima hipotesis yang salah meningkat. 4. Penurunan nilai t. 5. Hasil-hasil estimasi sangat sensitif terhadap perubahan spesifikasi. Salah satu cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas adalah dengan menggunakan Correlation Matrix, dimana batas terjadinya korelasi antara variabel independen tidak boleh lebih dari tanda mutlak 0,8. Nilai korelasi antar variabel yang melebihi mutlak 0,8 mengindikasikan terjadinya multikolinearitas pada model yang dipergunakan. Namun, menurut Klein, jika nilai korelasi antar variabel yang terjadi tidak melebihi nilai Adjusted R-square yang tertulis, maka
55
gejala multikolinearitas yang terjadi dapat diabaikan (Koutsoyiannis, 1977) Beberapa cara untuk menghilangkan multikolinearitas adalah: 1. Menggunakan panel data. 2. Menggunakan informasi tambahan. 3. Menyingkirkan variabel yang berkorelasi. 4. Mentransformasi data. 5. Menambah jumlah data atau memasukkan data baru.
3.3.3.2. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang dipakai dalam penerapan model regresi linier adalah homoskedastisitas, yaitu kondisi dimana ragam (varians) dari setiap gangguan (error) adalah konstan. E(μi2) = σ2 untuk i = 1,2,3,….,n
(3.9)
Namun, ada kondisi dimana ragam konstan tersebut tidak tercapai. Kondisi ini dinamakan heteroskedastisitas. Adanya heteroskedastisitas menyebabkan tidak efisiennya proses estimasi, meskipun hasil estimasinya tetap konsisten dan tidak bias. Hasil-hasil uji-F dan uji-t menjadi tidak berguna (misleading). Masalah heteroskedastisitas lebih cenderung terjadi pada model yang menggunakan data cross sectional dibandingkan data time series. Uji yang dipergunakan untuk mengetahui ada tidaknya heteroskedasitisitas pada suatu model adalah uji White (White Heteroscedasticity Test). Indikator yang dipergunakan dalam uji White ini adalah nilai Obs*R-square, yakni jika nilai probabilitas Obs*R-square lebih besar dari taraf nyata (α) tertentu, maka
56
persamaan yang diuji tersebut tidak mengandung heteroskedastisitas. Sebaliknya, jika nilai probabilitas Obs*R-square lebih kecil dari taraf nyata (α) tertentu, maka persamaan tersebut mengandung heteroskedastisitas.
3.3.3.3. Uji Autokorelasi Menurut Gujarati (1995), autokorelasi merupakan kondisi dimana terdapat korelasi antara serangkaian observasi yang diurutkan menurut deret waktu (time series) sehingga jika terjadi dalam suatu persamaan akan menyebabkan persamaan tersebut memiliki selang kepercayaan yang semakin lebar dan pengujian menjadi kurang akurat. Sebagai akibatnya, diperolehlah varian residual yang lebih rendah dari seharusnya sehingga berakibat pada nilai R2 yang lebih tinggi, tidak sahnya uji-t dan uji-F, serta penaksir regresi akan menjadi sangat peka terhadap fluktuasi pengambilan contoh. Guna mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, salah satu uji yang biasa digunakan adalah Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Dalam uji ini, apabila nilai probabilitas (probability) dari Obs*R-squared-nya lebih besar dari suatu taraf nyata (α) tertentu, maka dalam persamaan yang diuji tidak terdapat autokorelasi. Sebaliknya, apabila nilai probabilitas dari Obs*R-squared-nya lebih kecil dari suatu taraf nyata (α) tertentu, maka dalam persamaan yang diuji terdapat autokorelasi.
57
3.3.3.4.Uji Normalitas Error Term Pada suatu permodelan dengan sampel berjumlah 30 atau lebih, maka error term akan menyebar secara normal. Untuk kasus dimana jumlah sampel kurang dari 30, normal atau tidaknya penyebaran error term tersebut harus diuji terlebih dahulu. Uji tersebut dinamakan Jarque-Bera Test (J-B). Hipotesis:
H0 : error term menyebar normal H1 : error term tidak menyebar normal
Asumsi dari kriteria uji statistik Jarque-Bera Test (J-B) adalah: 1. Jika (J-B) > χ2 df=k atau probability (P-Value) < α maka tolak H0 Hal ini berarti error term tidak menyebar secara normal 2. Jika (J-B) < χ2 df=k atau probability (P-Value) > α maka jangan tolak H0 Hal ini berarti error term menyebar secara normal.
58
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MOBIL INDONESIA
Industri mobil di Indonesia telah ada sejak dekade 1960an. Pada awal mulanya, kegiatan industri mobil Indonesia hanya sebatas mengimpor dan mendistribusi produk berupa mobil kepada konsumen. Seiring perkembangannya, kegiatan tersebut berkembang menjadi perakitan mobil dalam bentuk terurai completely knocked down (CKD) hingga mampu menghasilkan kendaraan dengan kandungan komponen produksi lokal lebih dari 50 persen. Perkembangan industri mobil tersebut tidak lepas dari peran pemerintah yang terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong peningkatan perkembangan industri mobil Indonesia. Krisis finansial yang sempat melanda Indonesia terbukti mampu dilewati oleh industri mobil Indonesia yang saat ini menjadi salah satu industri besar di Indonesia dengan kontribusi terhadap PDB Indonesia mencapai 2,41 persen pada tahun 2007 (Direktorat Industri Alat Transport, 2007).
4.1. Sejarah Industri Mobil Indonesia Industri mobil Indonesia dimulai pada akhir dekade 1960 dengan kehadiran merek Datsun (yang saat ini dikenal sebagai Nissan) dan Isuzu. Ketika itu, peranan industri mobil Indonesia hanyalah sebagai importir dan distributor produk. Masuknya perusahaan-perusahaan mobil baru seperti Toyota, Mitsubishi, Daihatsu, dan Suzuki pada dekade 1970 serta semakin tingginya perhatian pemerintah terhadap perkembangan sektor industri mobil mendasari dibentuknya asosiasi industri mobil di Indonesia dengan nama Gabungan Industri Kendaraan
59
Bermotor Indonesia (Gaikindo) pada tanggal 1 Agustus 1969. Sebagai asosiasi non profit terbesar yang menaungi pelaku industri mobil Indonesia, Gaikindo bertujuan untuk meningkatkan pembangunan industri otomotif, memperbaiki kualitas hidup bangsa Indonesia dan kegiatan lain yang dipengaruhi oleh industri otomotif Indonesia. Salah satu tujuan utama Gaikindo adalah sebagai jembatan antara pemerintah dengan pelaku industri mobil di Indonesia. Saat ini, industri mobil Indonesia telah berkembang dengan pesat.
4.2. Perkembangan Kebijakan Industri Mobil Indonesia Secara garis besar, perkembangan kebijakan seputar industri mobil di Indonesia dapat dibagi dalam empat periode sebagai berikut: 1. Periode 1969 – 1979 Tahun 1969, menteri perindustrian dan perdagangan mengeluarkan surat keputusan bersama untuk mengatur impor kendaraan bermotor, baik dalam bentuk Completely Built Up (CBU) maupun CKD, pendirian pabrik perakitan seperti pabrik aki, ban, dan cat, serta pendirian agen tunggal pemegang merek (ATPM) sebagai penjual tunggal bagi suatu merek mobil tertentu. PT. Indokaya, sebagai agen tunggal Datsun, merupakan agen tunggal yang pertama beroperasi di Indonesia pada tahun 1969. Memasuki dekade 1970, penjualan domestik telah mencapai 50.000 unit per tahun. Hal ini memicu pemerintah untuk semakin mengembangkan industri mobil Indonesia dengan mengeluarkan larangan impor kendaraan dalam bentuk CBU
60
pada tahun 1974. Sejak saat itu, impor kendaraan dilakukan dalam bentuk CKD melalui perantara ATPM. Pada tahun 1976, pemerintah mengeluarkan serangkaian peraturan yang dikenal dengan sebutan Program Penanggalan. Bagian pertama dari kebijakan ini adalah penetapan bea masuk yang tinggi untuk kendaraan yang tidak menggunakan stamping parts atau bagian-bagian komponen berupa lempengan baja yang dipress produksi dalam negeri. Pada periode ini, pemerintah masih memprioritaskan pengembangan kendaraan jenis minibus dengan penerapan pajak yang lebih tinggi pada kendaraan jenis sedan serta pajak yang rendah untuk minibus. Pada akhir periode ini, angka penjualan kendaraan telah mencapai 103.000 unit per tahun 2. Periode 1980 – 1989 Pada awal dekade 1980, tepatnya pada tahun 1983, pemerintah mulai menaruh perhatian pada industri mobil Indonesia dalam bentuk pemberian insentif terhadap penggunaan komponen produksi lokal dengan penetapan bea masuk bagi komponen impor serta larangan impor kendaraan dalam kondisi utuh (CBU). Melalui kebijakan tersebut, diharapkan industri mobil Indonesia tidak bergantung pada produk komponen impor dari negara lain. 3. Periode 1990 – 1998 Pada tahun 1993, pemerintah mengganti program penanggalan dengan suatu program insentif pajak yang dikenal dengan nama deregulasi Paket Juni (Pakjun) 1993. Kebijakan ini berupa insentif pengurangan bea masuk mulai dari 0 hingga 100 persen. Semakin besar kandungan lokal suatu kendaraan, semakin rendah bea
61
masuk yang harus dibayar. Bagi kendaraan jenis sedan, pengurangan bea masuk sebesar 100 persen akan diberikan apabila kandungan lokal yang dipergunakan lebih dari 60 persen, sedangkan bagi kendaraan niaga, syarat tersebut lebih rendah yaitu hanya 40 persen saja. Pada tahun 1995, pemerintah mengeluarkan paket deregulasi Mei 1995 (Pakmei 1995). Kebijakan ini berisi pengurangan bea masuk komponen sebesar 35 persen. Pada tahun 1996, pemerintah mengeluarkan kebijakan mobil nasional (Mobnas). Program ini menetapkan bahwa agar suatu produk mendapatkan pembebasan bea masuk, tingkat kandungan lokal yang dipergunakan harus sebesar 20 persen untuk tahun pertama, 40 persen untuk tahun kedua, dan 60 persen untuk tahun ketiga. Krisis ekonomi tahun 1997 memberikan tekanan pada industri mobil Indonesia. Terdepresiasinya nilai rupiah mencapai kisaran Rp 18.000 per dollar AS dari sebelumnya Rp 2.500 per dollar AS serta ketidakstabilan politik yang berujung pada iklim investasi yang tidak sehat berdampak pada merosotnya industri mobil Indonesia. Nilai penjualan yang pada tahun 1997 mencapai 390.000 unit turun menjadi hanya 58.000 unit pada tahun 1998. Naiknya harga kendaraan antara 100 hingga 300 persen turut menjadi penyebab merosotnya jumlah penjualan kendaraan. 4. Periode 1999 - sekarang Pada tahun 1999, pemerintah kembali mengeluarkan deregulasi terhadap industri mobil Indonesia. Deregulasi yang dikeluarkan pada tanggal 24 Juni 1999 berupa penghapusan larangan impor mobil dalam kondisi CBU. Akibat deregulasi
62
ini, hak impor kendaraan utuh tidak hanya pada ATPM saja, tetapi juga dimiliki oleh importir-importir umum (IU). Deregulasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan efisiensi serta kualitas industri mobil indonesia yang dianggap terlalu dimanjakan oleh proteksi-proteksi yang diakibatkan oleh kebijakankebijakan terdahulu. Saat ini, tarif bea maksimum diturunkan menjadi maksimum 80 persen dari sebelumnya yang mencapai 200 persen. Perubahan kebijakan tersebut terbukti mendorong industri mobil Indonesia ke arah yang lebih baik. Sejak tahun 2005, Indonesia sudah dijadikan basis ekspor kendaraan jenis Sport Utility Vehicle (SUV) dan niaga oleh dua perusahaan yang berada di bawah grup Astra International yakni PT. Toyota Astra Motor yang mengekspor Toyota Innova, Fortuner, Rush, serta Avanza serta PT. Astra Daihatsu Motor yang mengekspor Daihatsu Xenia, Terios, Gran Max, serta Luxio. Sebagai basis produksi, perakitan kendaraan-kendaraan diatas sepenuhnya dilakukan di Indonesia, serta diekspor ke negara-negara ASEAN, Timur Tengah, serta Asia Timur.
4.3. Profil Beberapa Perusahaan Mobil di Indonesia Saat ini keseluruhan perusahaan mobil yang beroperasi di Indonesia merupakan perusahaan asing yang izin pemasaran dan produksinya dimiliki oleh agen tunggal pemegang merek (ATPM). Mayoritas ATPM tersebut merupakan perusahaan patungan (joint venture) antara perusahaan asing dengan perusahaan lokal. Industri mobil Indonesia dihuni oleh lebih dari sepuluh perusahaan yang masing-masing memiliki ciri khas dan preferensi konsumen tersendiri. Tabel 4.1
63
berikut menggambarkan total penjualan serta pangsa pasar beberapa perusahaan mobil di Indonesia. Tabel 4.1 Penjualan dan Pangsa Pasar Berdasarkan Perusahaan Tahun 2008 Merek Toyota Mitsubishi Daihatsu Suzuki Honda Isuzu Lainnya Total Pasar
Penjualan (Unit) 211.909 87.524 78.044 73.066 52.500 25.325 79.437 607.805
Pangsa Pasar (%) 34,9 14,4 12,8 12 8,6 4,2 13,1 100.0
Sumber: Gaikindo, 2009 (diolah)
Hasil produksi industri mobil Indonesia secara umum dibagi menjadi beberapa kelas. Masing-masing kelas tersebut dibedakan berdasarkan bentuk fisik kendaraan, kisaran harga jual, serta preferensi konsumen. Secara umum, terdapat sembilan kelas kendaraan yang dipasarkan di Indonesia, yaitu kelas Multi Purpose Vehicle (MPV) subkompak, sedan kompak, MPV rendah, MPV menengah, SUV menengah, sedan medium, sedan premium, MPV premium, dan SUV premium. Tabel 4.2 Penjualan dan Persentase Berdasarkan Kelas Tahun 2008 Kelas MPV subkompak Sedan subkompak MPV rendah MPV menengah SUV menengah Total Sumber: Gaikindo, 2009 (diolah)
Penjualan (Unit) 61.022 18.556 158.031 81.048 44.530 363.187
Persentase 16,80 5,11 43,51 22,32 12,26 100.00
Tabel 4.2 menunjukkan penjualan serta persentase dari kelima kelas pertama. Kelima kelas tersebut merupakan kelas-kelas dengan sumbangan terbesar terhadap penjualan mobil di Indonesia, sedangkan keempat kelas yang terakhir merupakan kendaraan-kendaraan mewah dengan pasar terbatas.
64
1. PT. Toyota Astra Motor PT. Toyota Astra Motor (TAM) merupakan agen tunggal pemegang merek mobil Toyota. Didirikan pada tahun 1971, PT. TAM merupakan perusahaan joint venture antara PT. Astra International Tbk dengan Toyota Motor Company (TMC) Jepang dengan kepemilikan saham sebesar 51 persen untuk PT. TAM dan 49 persen untuk TMC. PT. Toyota-Astra Motor telah memiliki pabrik produksi seperti stamping, casting, engine dan assembly di area industri Sunter, Jakarta. Untuk meningkatkan kualitas produk dan kemampuan produksi, pada tahun 1998 diresmikan pabrik di Karawang yang menggunakan teknologi terbaru di Indonesia. Pada tahun 2003, PT. TAM direstrukturisasi menjadi dua perusahaan yaitu:
PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) yang merupakan divisi perakitan kendaraan serta eksportir kendaraan dan suku cadang. Perusahaan ini adalah perusahaan joint venture antara PT Astra International dengan Toyota Motor Corp. dengan komposisi kepemilikan saham 5 persen untuk Astra dan 95 persen untuk TMC
PT. Toyota Astra Motor sebagai distributor, importir, dan agen penjualan. Komposisi kepemilikan saham dalam PT. TAM ini adalah 51 persen untuk PT. Astra International dan 49 persen untuk Toyota Motor Corp. Toyota dikenal sebagai produsen dan penjual mobil nomor satu di Indonesia dan bahkan di dunia. Di Indonesia, Toyota terkenal dengan kendaraan-kendaraan seperti Kijang, Corolla, serta Avanza.
65
2. PT. Krama Yudha Tiga Berlian Motor (PT. KTB) Sebagai agen tunggal pemegang merek Mitsubishi di Indonesia, perusahaan ini pertama berdiri pada tahun 1970 dengan nama PT. New Marwa 1970 Motors sebelum berubah menjadi PT. KTB pada tahun 1973. Komposisi kepemilikan PT. KTB per Nopember 2007 adalah 40 persen untuk PT. Krama Yudha, 40 persen untuk Mitsubishi Corporation Automotive Holding Asia B.V, 2 persen untuk Mitsubishi Motors Corporation, dan 18 persen untuk Mitsubishi Fuso Truck and Bus Corporation. Di Indonesia, Mitsubishi terkenal dengan produk truk Fuso dan pick up Colt L300 untuk kategori mobil niaga dan Mitsubishi Lancer dan Kuda untuk kategori mobil penumpang. 3. PT. Astra Daihatsu Motor (PT. ADM) PT. Astra Daihatsu Motor merupakan agen tunggal pemegang merek dari mobil Daihatsu yang merupakan joint venture antara PT. Astra International dengan Daihatsu Motor Company Ltd. Berdiri sejak tahun 1978, PT. ADM dikenal konsumen mobil Indonesia dengan produk minivan Zebra, Xenia, Gran Max, serta Luxio. Nama PT. ADM mulai diperhitungkan di industri mobil Indonesia setelah sukses dengan produk Xenia dan Terios yang merupakan hasil kerjasama dengan PT. Toyota Astra Motor. Produk Luxio merupakan mobil produksi Indonesia dengan kandungan lokal mencapai 74 persen. 4. PT. Indomobil Suzuki International PT. Indomobil Suzuki International merupakan agen tunggal merek Suzuki di Indonesia yang merupakan gabungan dari Suzuki Motor Corporation Japan
66
sebagai principal, PT. Indomobil Suzuki International sebagai agen tunggal, dan PT. Indomobil Niaga International sebagai distributor tunggal. PT. Indomobil Suzuki International memiliki tiga pabrik produksi dan perakitan yaitu pabrik Cakung I, Cakung II, dan Tambun II. Di Indonesia, Suzuki dikenal dengan produk Suzuki Carry yang lazim digunakan sebagai angkutan kota, sedan Suzuki Baleno, Suzuki Vitara, Suzuki Karimun, serta Suzuki APV. Selain mobil, Suzuki juga bergerak di bidang industri sepeda motor. 5. PT. Honda Prospect Motor PT. Honda Prospect Motor merupakan agen tunggal dari mobil Honda yang merupakan gabungan dari Honda Motor Company Jepang dengan kepemilikan sahan sebesar 51 persen dan PT. Prospect Motor dengan kepemilikan saham sebesar 49 persen. Honda terkenal sebagai produsen kendaraan yang irit bahan bakar dengan rata-rata konsumsi BBM sebesar satu liter bensin untuk sepuluh kilometer. Di Indonesia, Honda dikenal dengan produk-produk seperti Civic, Accord, Jazz, dan City.
67
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Estimasi Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas Penelitian ini menggunakan metode analisis data Ordinary Least Square (OLS) dengan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas dan analisis regresi linear berganda yang dianalisis menggunakan software Eviews 4.1 dan Microsoft Excel 2003. Hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.1. Hasil Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglas Industri Mobil di Indonesia Periode 1985 – 2005 Variabel Konstanta X1 (Bahan Baku) X2 (Modal) X3 (Energi) DK (Dummy Krisis 1997) DR (Dummy Deregulasi 1999)
Koefisien -1,281843 0,479733 0,126073 0,623389 -0,378624 1,043332
t-Statistik -0,381848 3,029214 1,076539 3,894834 -1,297922 2,964321
R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic) Sumber : Lampiran 3 Catatan: taraf nyata 5 % (α=0,05), F-tabel = 2,90; t-tabel = 2,131.
Probabilitas 0,7079 0,0085 0,2987 0,0014 0,2139 0,0096 0,941429 0,921905 48,21954 0,000000
5.2. Analisis Uji Statistik 5.2.1. Uji Koefisien Determinasi (R2) Hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas industri mobil pada Tabel 5.1 memperlihatkan bahwa nilai R2 pada model tersebut adalah sebesar 0,9414. Hal ini berarti bahwa variabel independen pada model tersebut yaitu bahan baku, modal, energi, dummy krisis ekonomi 1997, dan dummy deregulasi 24 Juni 1999
68
memiliki kemampuan sebesar 94 persen untuk menjelaskan variabel dependen (output) pada model tersebut. Sisanya, sebesar 6 persen dijelaskan oleh variabelvariabel lain di luar model yang tidak dimasukkan sebagai variabel independen.
5.2.2. Uji F-statistik Hasil analisis regresi pada model yang dipergunakan memiliki nilai Fstatistik sebesar 48,21954 dengan probabilitas 0,0000. Nilai F-tabel pada persamaan ini adalah sebesar 2,90 pada taraf nyata lima persen, lebih kecil dari nilai F-statistiknya, sehingga persamaan dalam penelitian ini lulus uji F-statistik. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat minimal satu variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (output) pada tingkat kepercayaan 95 persen.
5.2.3. Uji t-statistik Signifikansi dari pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen dapat diketahui dengan melihat nilai t-statistik dari masingmasing variabel independen untuk kemudian dibandingkan dengan nilai t-tabel. Variabel independen yang memiliki nilai t-statistik yang lebih besar daripada nilai t-tabel (t-tabel = 2,131) dinyatakan memiliki pengaruh yang signifikan atau nyata terhadap variabel dependen. Berdasarkan Tabel 5.1 diatas, dapat dilihat bahwa variabel bahan baku (t-stat = 3,0292), energi (t-stat = 3,8948), dan dummy deregulasi 24 Juni 1999 (t-stat = 2,9643) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap output sedangkan variabel-variabel independen lainnya (modal dan
69
dummy krisis ekonomi 1997) memiliki pengaruh yang tidak signifikan dengan nilai t-stat yang lebih kecil dari t-tabel. Selain dilihat dari nilai t-statistik, signifikansi suatu variabel independen juga dapat dilihat dari probabilitasnya. Jika probabilitas suatu variabel lebih kecil dari taraf nyata (α = 0,05), maka variabel tersebut berpengaruh nyata (signifikan).
5.3. Analisis Uji Ekonometrika 5.3.1. Uji Multikolinearitas Terjadinya multikolinearitas dalam suatu model dapat diketahui dari nilai korelasi antar variabel independen pada tabel correlation matrix (lihat Lampiran 4). Berdasarkan tabel correlation matrix tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat nilai korelasi antar variabel independen yang melebihi nilai |0,8| yakni korelasi antara variabel dummy krisis ekonomi 1997 dengan dummy deregulasi 24 Juni 1999 dengan nilai 0,8164. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat multikolinearitas pada model yang digunakan. Akan tetapi, nilai korelasi yang terjadi masih lebih kecil dibandingkan nilai Adjusted R-squared pada model (Adj R-squared = 0,9219), sehingga menurut uji Klein, keberadaan multikolinearitas dalam model tersebut dapat diabaikan.
5.3.2. Uji Autokorelasi Pendeteksian autokorelasi pada suatu model dapat dilakukan melalui uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Berdasarkan uji tersebut, nilai probabilitas dari Obs*R-squared adalah sebesar 0,8524, lebih besar dari nilai taraf
70
nyata lima persen (lihat Lampiran 5). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa model fungsi produksi Cobb-Douglas industri mobil Indonesia tidak mengandung autokorelasi.
5.3.3. Uji Heteroskedastisitas Gejala heteroskedastisitas dalam suatu model dapat diketahui dengan menggunakan uji White Heteroscedasticity Test. Nilai probabilitas Obs*Rsquared pada uji ini adalah sebesar 0,1349 (lihat Lampiran 6), lebih besar dari nilai taraf nyata lima persen. Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada model ini tidak terjadi gejala heteroskedastisitas.
5.3.4. Uji Normalitas Error Term Menurut hukum bilangan besar, suatu pemodelan yang memadai sebaiknya memiliki jumlah pengamatan sebanyak 30 atau lebih. Jumlah data yang besar akan menyebabkan error term terdistribusi secara normal. Pada model fungsi produksi Cobb-Douglas industri mobil Indonesia ini jumlah pengamatan hanya mencapai 21 tahun, yakni dari tahun 1985 hingga 2005. Agar dapat mengetahui apakah error term menyebar secara normal atau tidak pada model ini, digunakan uji Jarque-Bera. Berdasarkan uji ini, nilai probability (P-value) dari model ini adalah sebesar 0,9572 (lihat Lampiran 7), lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu lima persen (α = 0,05). Nilai P-value yang lebih besar dari taraf nyata ini menunjukkan bahwa pada model ini error term terdistribusi secara normal pada tingkat keyakinan 95 persen.
71
5.4. Analisis Ekonomi 5.4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Mobil Indonesia Estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas pada Tabel 5.1 menghasilkan bentuk persamaan fungsi produksi sebagai berikut: LNY = -1,2818 + 0,4797LNX1 + 0,1260LNX2 + 0,6233LNX3 – 0,3786Dk + 1,0433DR Berdasarkan persamaan di atas, dapat dilihat bahwa faktor produksi bahan baku (X1) memiliki konstanta dengan nilai 0,4797 dan nilai probabilitas 0,0085 (Tabel 5.1) sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor produksi bahan baku mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap output industri mobil. Nilai 0,4797 memiliki makna bahwa jika terjadi kenaikan ketersediaan bahan baku sebesar satu persen, maka output akan meningkat sebesar 0,4797 persen, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menduga bahwa faktor produksi bahan baku memiliki pengaruh positif terhadap output industri mobil, dimana kenaikan penggunaan bahan baku akan menyebabkan kenaikan jumlah output. Bahan baku merupakan faktor produksi yang memiliki kontribusi paling besar terhadap besarnya jumlah output yang dihasilkan dengan rata-rata nilai per tahun sebesar 18,9 persen dari nilai output (BPS, 2005). Selain itu, tingginya nilai integrasi vertikal antara industri perakitan (assembly) mobil dengan produsen komponen mobil domestik juga menunjukkan signifikansi penggunaan faktor produksi bahan baku dalam menghasilkan output industri mobil. Nilai integrasi vertikal pada industri mobil Indonesia memiliki nilai rata-rata 0,74 hingga tahun 2005 (Atikah, 2008).
72
Faktor produksi modal (X2) memiliki konstanta dengan nilai 0,1260 dan nilai probabilitas 0,2987 (Tabel 5.1) sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor produksi modal memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan terhadap output industri mobil Indonesia. Nilai 0,1260 memiliki makna bahwa setiap kenaikan ketersediaan modal sebesar satu persen akan berakibat pada kenaikan output sebesar 0,1260 persen, ceteris paribus. Penambahan modal pada industri mobil umumnya berupa pembangunan pabrik perakitan baru serta penambahan mesin produksi. Saat ini, penanaman modal tersebut terkendala masalah ketersediaan infrastruktur pendukung dan pasokan listrik yang tersedia. Peningkatan kapasitas produksi dalam bentuk penanaman modal baru oleh pelaku pasar harus diikuti oleh peningkatan infrastruktur dan pasokan listrik 4 . Jika faktor produksi lain dianggap tetap (ceteris paribus), maka penambahan nilai modal tetap akan meningkatkan nilai output industri mobil, namun dalam jumlah yang belum optimal. Hal ini dikarenakan saat ini kondisi ketersediaan faktor-faktor pendukung permodalan seperti pasokan listrik belum memadai untuk memenuhi kebutuhan jika terjadi peningkatan ketersediaan modal. Hal inilah yang mendasari tidak signifikannya pengaruh faktor produksi modal terhadap output industri mobil. Faktor produksi energi (X3) dalam penelitian ini memiliki nilai koefisien 0,6233 dengan probabilitas 0,0014 (Tabel 5.1) yang memiliki arti bahwa faktor produksi ini memiliki pengaruh yang positif dan signifikan atau nyata terhadap output industri mobil Indonesia. Nilai 0,6233 berarti apabila terjadi peningkatan
4
http://autos.okezone.com. Produksi Mobil Murah, Pemerintah Lobi Prinsipal.[16 Mei 2009].
73
penggunaan energi sebesar satu persen, maka nilai output industri mobil Indonesia akan meningkat sebesar 0,6233 persen, ceteris paribus. Sesuai dengan hipotesis awal, pengaruh positif signifikan dari faktor produksi energi dikarenakan industri mobil Indonesia merupakan industri padat modal dimana dalam proses peraktian kendaraan maupun proses pembuatan komponen kendaraan seperti pencetakan rangka dan plat badan kendaraan (molding), peleburan (casting) dan pemboran (welling) bagian-bagian dari baja (contohnya mesin dan komponen-komponen mesin) serta proses-proses lain seperti pengecatan hingga perakitan menjadi kendaraan utuh didominasi oleh penggunaan mesin. Penggunaan mesin yang mendominasi proses produksi mobil tersebut berbanding lurus dengan nilai penggunaan energi. Selain itu, pentingnya penggunaan energi untuk menggerakkan mesin-mesin produksi juga ditegaskan pada poin sebelumnya (X2). Kondisi-kondisi tersebut menjelaskan signifikansi dari pengaruh faktor produksi energi terhadap output industri mobil Indonesia. Dummy krisis ekonomi 1997 tidak berpengaruh nyata terhadap output industri mobil Indonesia. Krisis ekonomi sempat menyebabkan terjadinya penurunan nilai output pada tahun 1998, namun tidak sampai menyebabkan terhentinya perkembangan industri mobil di Indonesia. Pada tahun 1998, nilai output mengalami penurunan sebesar Rp. 2,8 trilyun sedangkan nilai input meningkat sebesar Rp. 266 milyar. Akan tetapi, seiring dengan membaiknya kondisi perkonomian Indonesia serta semakin baiknya kinerja pelaku industri akibat berbagai penyesuaian internal membuat nilai output kembali meningkat sebesar Rp. 1,8 trilyun sedangkan biaya input mengalami penurunan sebesar Rp.
74
380 milyar pada tahun 1999 (BPS, 2000). Pada tahun-tahun berikutnya, nilai output industri mobil Indonesia terus mengalami peningkatan hingga kisaran puluhan trilyun. Membaiknya kondisi industri mobil pasca krisis juga dibantu oleh perilaku pasar mobil Indonesia. Meskipun sempat terjadi penurunan produksi, pasar mobil Indonesia yang konsumtif mampu menyelamatkan industri mobil di Indonesia. Meski sempat menurunkan angka penjualan mobil dari 390 ribu unit pada tahun 1997 menjadi 56 ribu unit pada tahun 1998, pada tahun 1999 permintaan masyarakat akan mobil meningkat sebesar 100 persen menjadi 110 ribu unit, yang kemudian diikuti kenaikan sebesar 200 persen pada tahun 2000 5 . Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa baik dari sisi produksi maupun konsumsi, krisis ekonomi tahun 1997 tidak sampai menyebabkan terhentinya industri mobil di Indonesia. Sebaliknya, industri mobil dapat pulih dengan cepat dimana output dan penjualan justru meningkat melebihi kondisi sebelum krisis. Dummy deregulasi otomotif tanggal 24 Juni 1999 berpengaruh terhadap output industri mobil di Indonesia. Deregulasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi kinerja industri mobil Indonesia melalui pencabutan larangan izin impor kendaraan dalam bentuk utuh oleh pihak-pihak non ATPM atau yang lazim disebut importir umum (IU). Kebijakan ini didasari pertimbangan dimana industri mobil dalam negeri dianggap terlalu dimanjakan dengan kebijakan-kebijakan terdahulu yang terlalu protektif dan anti impor, sehingga produsen lokal melalui ATPM tidak memiliki saingan. Sesuai dengan tujuan kebijakan ini, nilai efisiensi
5
www.tempo.co.id. Pasar Mobil Nyaris Pulih. [16 Juni 2009].
75
mengalami peningkatan konstan pasca pemberlakuan deregulasi ini pada tahun 1999 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5.1. Faktor produksi yang memiliki pengaruh paling besar terhadap output industri mobil Indonesia adalah faktor produksi energi dengan nilai koefisien 0,6233. Sebagai industri yang lebih banyak menggunakan mesin dalam proses produksinya, faktor produksi energi sangat diperlukan untuk menggerakan mesinmesin produksi. Pengurangan ataupun penambahan jumlah energi yang dipergunakan sangat berpengaruh pada meningkat atau menurunnya kemampuan produksi. Faktor produksi yang paling signifikan dalam mempengaruhi output industri mobil adalah faktor produksi energi dengan nilai probabilitas 0,0014 pada tingkat kepercayaan 95 persen. Dengan sistem produksi yang dipergunakan saat ini, penambahan energi sangat mempengaruhi kemampuan opersional mesin, sehingga persentase kenaikan output akibat naiknya penggunaan energi akan signifikan.
5.4.2. Elastisitas dan Skala Usaha 5.4.2.1. Elastisitas Industri Mobil Indonesia Berdasarkan kerangka pemikiran pada bab sebelumnya, diketahui bahwa salah satu keunggulan fungsi produksi Cobb-Douglas adalah nilai koefisien regresi dari masing-masing variabel independen juga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat elastisitas produksi dari variabel tersebut.
76
Tabel 5.2. Nilai Elastisitas Model Cobb-Douglas Variabel X1 (bahan baku) X2 (modal) X3 (energi)
Elastisitas Produksi 0,4797 0,1260 0,6233
Sumber: Lampiran 3
Tabel 5.2. menunjukkan bahwa ketiga faktor produksi dalam model (bahan baku, modal, serta energi) memiliki nilai elastisitas yang termasuk dalam daerah II, atau memiliki nilai elastisitas antara 0 sampai 1 yang berarti setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan meningkatkan output antara nol sampai satu persen. Daerah ini termasuk dalam daerah rasional karena penambahan jumlah suatu faktor produksi akan meningkatkan jumlah output dalam rasio yang semakin berkurang (diminishing returns), ceteris paribus. Faktor produksi bahan baku (X1) memiliki nilai elastisitas produksi 0,4797 yang artinya jika penggunaan faktor produksi bahan baku meningkat sebesar satu persen, maka nilai output akan meningkat sebesar 0,4797 persen, ceteris paribus. Peningkatan yang relatif besar tersebut, sebagaimana telah dibahas pada subbab sebelumnya, adalah karena bahan baku merupakan faktor produksi utama dalam menghasilkan output. Besar-kecilnya output yang dihasilkan sangat bergantung pada jumlah bahan baku yang digunakan, hal ini dikarenakan metode produksi yang telah efisien sehingga dalam proses produksi, seluruh input faktor produksi bahan baku dapat termanfaatkan secara optimal. Faktor produksi modal (X2) memiliki nilai elastisitas produksi 0,1260 yang artinya jika terjadi peningkatan modal sebesar satu persen maka nilai output akan meningkat sebesar 0,1260 persen, ceteris paribus. Pengunaan modal tetap dalam
77
industri modal saat ini telah mencapai tingkat yang cukup optimal dimana penambahan modal tetap akan meningkatkan produksi, tetapi dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Kondisi tersebut dapat dijelaskan oleh kondisi di lapangan dimana peningkatan ketersediaan modal baru akan memberikan peningkatan output yang signifikan apabila kondisi faktor penggerak permodalan tersebut juga ikut ditingkatkan agar dapat memenuhi peningkatan kebutuhan akibat bertambahnya jumlah alat-alat modal. Faktor produksi energi (X3) memiliki elastisitas produksi 0,6233 yang artinya jika penggunaan energi meningkat sebesar satu persen, maka output akan meningkat sebesar 0,6233 persen, ceteris paribus. Sebagai industri yang padat modal, dimana proses produksi lebih banyak dikerjakan oleh mesin, penggunaan energi sangat besar pengaruhnya terhadap output yang dihasilkan.
5.4.2.2. Skala Hasil Usaha Industri Mobil Indonesia Skala usaha menjelaskan bagaimana suatu kenaikan proporsional dari semua faktor produksi terhadap output. Pada fungsi produksi Cobb-Douglas, nilai skala usaha dapat diketahui dari penjumlahan semua koefisien variabel independen dalam model. Hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas industri mobil Indonesia menunjukan bahwa penjumalah semua koefisien bebas memiliki nilai 1,229 atau (b1 + b2 + b3 > 1). Hal ini menunjukkan bahwa industri mobil Indonesia bersifat increasing return to scale yakni kondisi dimana penambahan seluruh faktor produksi dalam persentase yang sama akan meningkatkan output dalam persentase yang lebih besar. Hal ini sesuai teori dimana pada industri
78
mobil, jumlah perusahaan yang beroperasi relatif sedikit, masing-masing perusahaan berukuran besar, dan spesialisasi dalam proses produksi sangat kompleks. Kondisi nyata di lapangan menunjukkan bahwa hingga tahun 2008, hanya terdapat 16 perusahaan mobil di Indonesia, dimana semuanya merupakan perusahaan-perusahaan multinasional yang berskala besar. Proses produksi industri mobil juga memiliki spesialisasi yang sangat tinggi, dimana tiap-tiap proses produksi dilakukan secara terpisah (baik oleh tenaga manusia maupun mesin) dalam suatu garis produksi yang dinamakan assembly line6.
5.5. Efisiensi dan Nilai Tambah Industri Mobil Indonesia 5.5.1. Efisiensi Industri Mobil Indonesia Keberhasilan suatu industri, yang tercermin dari keberhasilan mayoritas perusahaannya, dapat dilihat dari nilai efisiensi. Nilai efisiensi merupakan perbandingan antara biaya input terhadap nilai output dimana semakin kecilnya nilai efisiensi menandakan tingkat efisiensi produksi suatu industri yang semakin tinggi. Berdasarkan Gambar 5.1, dapat dilihat bahwa koefisien nilai efisiensi (η) industri mobil Indonesia berkisar antara 0,05 hingga 0,25. Berdasarkan teori, semakin kecilnya koefisien nilai efisiensi (η) tersebut menandakan tingkat efisiensi yang semakin tinggi, hal ini menegaskan bahwa industri mobil Indonesia
6
Assembly Line merupakan sebuah proses produksi di mana bagian-bagian suatu produk dirakit dan digabungkan satu persatu dengan urutan tertentu hingga menjadi produk akhir. Proses ini menghasilkan tingkat produksi yang lebih cepat daripada metode biasa, dimana seluruh bagian produk tersebut dirakit oleh satu orang ahli. (id.wikipedia.org. Lini Perakitan. [30 Agustus 2009]).
79
telah cukup efisien dalam berproduksi. Nilai efisiensi industri mobil Indonesia
Efisiensi Produksi
dapat dilihat pada Gambar 5.1. 1,00000 0,80000 0,60000 0,40000 0,20000 0,00000
Efisiensi (η)
Tahun Pengamatan
Sumber: Lampiran 2
Gambar 5.1. Nilai Efisiensi Produksi Industri Mobil Indonesia Periode 1985 – 2005
Efisiensi dalam suatu industri dapat tercapai apabila didukung oleh pemanfaatan faktor-faktor produksi serta penggunaan metode produksi yang tepat, sehingga mampu menghasilkan output yang melebihi biaya inputnya. Industri mobil merupakan industri padat modal dimana proses produksi lebih banyak dilakukan oleh mesin daripada tenaga manusia. Penggunaan mesin tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa alasan7, yaitu: 1. Peningkatan produktivitas, dimana jam kerja produksi bertambah mendekati 24 jam per hari sehingga kehilangan waktu akibat penggantian shift pekerja dapat dikurangi. 2. Kestabilan dan peningkatan kualitas produksi dimana cacat produksi akibat human error dapat dikurangi.
7
http://patihperkasa.wordpress.com. Analisis Robot Pendukung Industri Mobil. [9 April 2009].
80
3. Mengurangi masalah personalia yang ditimbulkan oleh tenaga kerja yang kurang terampil. 4. Mengurangi biaya-biaya tambahan seperti pendingin, pemanas, dan penerangan ruangan karena mesin dapat bekerja di lingkungan yang tidak cocok bagi manusia. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa penggunaan mesin dalam berproduksi dapat mengurangi masalah-masalah yang terjadi apabila menggunakan tenaga kerja manusia sehingga efisiensi dapat tercapai akibat berkurangnya biaya produksi serta meningkatnya hasil produksi. Pada tahun 1998, nilai efisiensi produksi sempat mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh kondisi perindustrian secara keseluruhan yang belum stabil akibat guncangan krisis ekonomi tahun 1997 dimana fluktuasi nilai tukar berpengaruh pada meningkatnya
biaya
input
serta
turunnya
permintaan
terhadap
output
menyebabkan kapasitas produksi sengaja dikurangi oleh produsen. Kondisi politik yang tidak stabil juga memicu berubah-ubahnya kebijakan dalam perindustrian sehingga tercipta iklim usaha yang tidak kondusif yang berakibat pada keraguan produsen serta investor dalam meneruskan produksi serta investasi. Namun seiring semakin stabilnya makroekonomi serta iklim usaha yang semakin kondusif membuat efisiensi industri mobil kembali meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pasca krisis, mulai tahun 1999 nilai efisiensi terlihat lebih baik dibandingkan periode sebelum krisis. Diberlakukannya deregulasi tanggal 24 Juni tahun 1999 yang mengizinkannya impor mobil dalam bentuk utuh cukup efektif dalam membuat pelaku industri mobil Indonesia meningkatkan nilai efisiensinya
81
agar tidak kalah bersaing dengan mobil-mobil impor. Kondisi ini sesuai dengan tujuan dari pemberlakuan deregulasi tersebut yakni guna meningkatkan efisiensi industri mobil di Indonesia.
5.5.2. Nilai Tambah Industri Mobil Indonesia Nilai tambah industri mobil Indonesia selama periode 1985 – 2005 memiliki tren yang meningkat sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5.2. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan kotor yang diterima industri mobil meningkat dari tahun ke tahun karena pertambahan nilai output yang melebihi pertambahan
Trilyun rupiah
biaya inputnya. 35 30 25 20 15 10 5 0
NTB 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 Tahun
Sumber: Lampiran 2
Gambar 5.2. Perkembangan Nilai Tambah Bruto Industri Mobil Indonesia Periode 1985 – 2005 Gambar 5.2. menunjukkan bahwa pada tahun 1997 dan 2003 terjadi penurunan nilai tambah bruto yang cukup signifikan. Penurunan pada tahun 1997 disebabkan oleh krisis ekonomi, dimana nilai tukar rupiah terhadap dolar mengalami penurunan drastis serta ketidakstabilan politik yang berdampak pada ketidakstabilan di bidang industri. Melemahnya nilai tukar rupiah berdampak pada naiknya biaya faktor produksi terutama bahan baku yang masih diimpor serta nilai
82
pembelian energi yang dibutuhkan dalam proses produksi. Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan output sebesar Rp. 2,8 triliyun sementara biaya input mengalami peningkatan sebesar Rp. 266 milyar, sehingga terjadi penurunan nilai tambah bruto sebagaimana terlihat pada Gambar 5.2. Setelah tahun 1998, terlihat bahwa nilai tambah bruto mengalami peningkatan yang sangat besar. Pada tahun 2003, kembali terjadi penurunan nilai tambah yang disebabkan oleh menurunnya nilai bahan baku dalam jumlah yang cukup besar. Penurunan tersebut diakibatkan oleh melambatnya pertumbuhan industri komponen dimana pertumbuhan hanya mencapai 8 hingga 10 persen pada tahun 2002 dan 2003. Pertumbuhan perekonomian nasional yang hanya 4 persen pada tahun 2003 juga diyakini sebagai penyebab menurunnya nilai output pada tahun tersebut karena angka pertumbuhan belum mampu meningkatkan pertumbuhan output industri mobil di Indonesia8. Secara keseluruhan, peningkatan nilai tambah bruto industri mobil Indonesia pasca tahun 1998 disebabkan oleh meningkatnya efisiensi sebagaimana dijelaskan pada subbab sebelumnya.
8
www.bisnis.com. Nasib Industri Komponen Tergantung Pasar Mobil 2003. [16 Agustus 2009].
83
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas serta analisis ekonomi pada bab hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa industri mobil Indonesia memiliki kondisi sebagai berikut: 1.a. Estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas menunjukkan bahwa faktor produksi bahan baku, modal, serta energi memiliki pengaruh positif terhadap jumlah output industri mobil Indonesia. Faktor produksi bahan baku serta energi berpengaruh signifikan sedangkan faktor produksi modal tidak signifikan terhadap jumlah output industri mobil indonesia. b. Krisis ekonomi tahun 1997 tidak berpengaruh nyata teradap output industri mobil Indonesia. Industri mobil Indonesia mampu bertahan selama krisis dan semakin berkembang pasca krisis. c. Kebijakan deregulasi tanggal 24 Juni 1999 berpengaruh nyata terhadap output industri mobil Indonesia. Pemberlakuan kebijakan ini terbukti meningkatkan efisiensi industri mobil Indonesia. 2.a. Elastisitas produksi industri mobil Indonesia menunjukkan bahwa faktor produksi bahan baku, modal, serta energi yang menunjukkan bahwa penambahan faktor produksi tersebut akan meningkatkan output dalam persentase yang semakin kecil. Hal ini menunjukkan penggunaan faktor produksi telah optimal.
84
b. Hasil analisis skala hasil usaha industri mobil Indonesia menunjukkan bahwa industri mobil Indonesia bersifat increasing returns to scale. Kondisi ini sesuai dengan teori dimana industri yang berukuran besar serta memiliki spesialisasi yang tinggi dalam proses produksi cenderung memiliki skala hasil usaha yang meningkat. c. Industri mobil Indonesia memiliki nilai efisiensi cukup baik yang menunjukkan bahwa persentase biaya input relatif lebih kecil dibandingkan nilai outputnya. d. Analisis nilai tambah industri mobil Indonesia menunjukkan nilai tambah memiliki tren yang meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan industri mobil cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
6.2. Saran Beberapa saran yang diberikan penulis kepada pihak-pihak yang terkait dalam industri mobil Indonesia adalah: 1.
Energi merupakan variabel yang memiliki pengaruh positif yang paling besar terhadap jumlah output industri mobil di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya menjamin ketersediaan dan kelancaraan distribusi energi kepada pelaku industri mobil agar tidak mengahambat kelancaran proses produksi.
2.
Bahan baku merupakan variabel yang memiliki pengaruh positif terbesar kedua setelah energi. Tingkat integrasi vertikal yang tinggi serta semakin meningkatnya rasio penggunaan komponen buatan dalam negeri perlu
85
dipertahankan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penerbitan deregulasi baru oleh pemerintah yang semakin mendukung industri komponen produksi dalam negeri untuk berkembang.
86
DAFTAR PUSTAKA
Atikah, F. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Integrasi Vertikal Industri Mobil di Indonesia [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistika. 1985 - 2005. Statistik Industri Besar dan Sedang (volume I & II). BPS, Jakarta. Direktorat Industri Alat Transport. 2006 - 2009. Perkembangan Industri Mobil Indonesia. Depperin, Jakarta. Dumairy. 1995. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Fitriani. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Ban di Indonesia Periode 1984 - 2002 [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Frank, R.H. 1997. Microeconomics and Behavior, Third Edition. Irwin/McGrawHill, NY. Gaikindo. 2009. Penjualan Mobil Tahun 2008. Gaikindo, Jakarta. Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Sumarno, S dan Zain, P [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli, dan Regulasi. Pustaka LP3ES, Jakarta. Kurniawan, D. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Sepeda Motor di Indonesia [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kyoutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics, Second Edition. Harper & Row Publishers inc, New York. Lipsey, G.R. 1975. Economics, Fourth Edition. Harper & Row Publishers inc, New York. Nicholson, W. 1995. Teori Mikroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan Jilid Satu Edisi Kelima. Daniel Wirajaya [penerjemah]. Bhina Aksara, Jakarta. Sanimah. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Semen di Indonesia Periode 1983 - 2003 (Dengan Pendekatan Fungsi Produksi Cobb-Douglas) [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
87
Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sutriyono. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Industri Mobil di Indonesia [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syahruddin. 1989. Dasar-dasar Teori Ekonomi Mikro. Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta. Tumbuan, T. 2006. The Development of Industry and Industrialization Policy in Indonesia Since The New Government Era to The Post Crisis Period. Kadin-Jetro, Jakarta. Walpole, R.E. 1988. Pengantar Statistika Edisi Ke-3. Bambang Sumantri [penerjemah]. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, W.W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Yogyakarta.
88
LAMPIRAN
89
Lampiran 1. Variabel Data Penelitian TAHUN
LN OUT R
LN BB R
LN MDL R
LN ENG R
2005
24,34562
22,13181
20,60251
18,31333
2004
24,17341
22,98643
21,38225
18,85771
2003
23,40545
21,27765
20,34517
18,07847
2002
24,33591
22,82968
18,54036
18,38745
2001
23,49482
21,16971
18,59573
17,91734
2000
23,62174
22,94841
19,60822
17,35277
1999
22,02676
21,23192
19,07650
16,45837
1998
20,59395
20,63271
18,85049
16,19806
1997
22,00144
20,70558
19,35968
17,91816
1996
22,11072
21,28545
19,45494
16,22019
1995
22,09700
21,27467
19,28294
17,09412
1994
21,93124
20,98468
18,01797
17,01100
1993
21,55164
20,50536
18,17547
16,73533
1992
21,04075
20,13825
18,22333
16,69767
1991
21,50745
21,24762
17,76682
16,80170
1990
21,49499
20,63303
17,98064
16,91026
1989
21,10350
20,83613
17,82617
16,69449
1988
21,27965
20,68477
17,90408
16,59377
1987
20,88909
20,38005
18,19933
16,57973
1986
20,98559
20,48884
17,83979
16,66472
1985
20,50460
20,20913
17,39539
16,66070
Keterangan: Ln OUT R
: Logaritma nilai output riil industri mobil
Ln BB R
: Logaritma nilai bahan baku riil industri mobil
Ln MDL R
: Logaritma nilai modal riil industri mobil
Ln ENG R
: Logaritma nilai energi riil industri mobil
90
Lampiran 2. Tabel Efisiensi, NTB, dan Output per TK TAHUN 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 1990 1989 1988 1987 1986 1985
EFISIENSI 0,06706 0,05695 0,10068 0,03872 0,08898 0,06867 0,23610 0,76538 0,21184 0,16622 0,15519 0,15738 0,17412 0,24014 0,10206 0,09189 0,17883 0,15079 0,15346 0,11821 0,20824
NTB 34.915.823.953 29.710.949.317 13.145.409.248 35.628.938.396 14.561.203.820 16.900.188.829 2.812.806.155 206.163.670 2.829.557.256 3.338.987.902 3.337.062.377 2.820.018.033 1.890.923.972 1.043.793.777 1.967.057.511 1.964.688.836 1.201.061.790 1.481.316.263 999.221.804 1.146.272.963 636.251.241
Output per TK 2.116.800 1.876.348 1.285.625 3.802.234 1.567.254 1.249.282 360.056 125.401 279.605 324.181 322.529 281.458 228.092 119.908 95.035 102.729 62.664 75.648 55.039 52.025 34.794
Lampiran 3. Hasil Estimasi Variabel Data Dependent Variable: LN_OUT Method: Least Squares Date: 08/15/09 Time: 11:25 Sample: 1985 2005 Included observations: 21 Variable Coefficient LN_BB 0,479733 LN_ENG 0,623389 LN_MDL 0,126073 DK -0,378624 DR 1,043332 C -1,281843 R-squared 0,941429 Adjusted R-squared 0,921905 S.E. of regression 0,351661 Sum squared resid 1,854978 Log likelihood -4,317887 Durbin-Watson stat 1,617333
Std. Error t-Statistic 0,158369 3,029214 0,160055 3,894834 0,117110 1,076539 0,291716 -1,297922 0,351963 2,964321 3,356947 -0,381848 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0,0085 0,0014 0,2987 0,2139 0,0096 0,7079 22,11882 1,258379 0,982656 1,281091 48,21954 0,000000
91
Lampiran 4. Correlation Matrix Uji Multikolinearitas Bahan Baku Energi Modal DK
Bahan Baku 1,000000 0,693467 0,671696 0,614890
Energi 0,693467 1,000000 0,661296 0,652754
Modal 0,671696 0,661296 1,000000 0,685191
DK 0,614890 0,652754 0,685191 1,000000
DR 0,765848 0,709720 0,655863 0,816497
DR
0,765848
0,709720
0,655863
0,816497
1,000000
Lampiran 5. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0,100322 Probability Obs*R-squared 0,319191 Probability
0,905240 0,852489
Lampiran 6. Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic 2,155228 Obs*R-squared 12,38221
Probability Probability
0,111367 0,134948
Lampiran 7. Uji Normalitas Error Term (Uji Jarque-Bera) 9
Series: Residuals Sample 1985 2005 Observations 21
8 7 6
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
5 4 3 2
Jarque-Bera Probability
1 0 -0.5
0.0
0.5
4.92E-16 -0.019918 0.616982 -0.688233 0.304547 -0.155475 3.056209 0.087368 0.957256