ANALISIS RESPON PENAWARAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA
OLEH LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO H14054245
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO. Analisis Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM).
Perkebunan merupakan salah satu sub sektor bidang pertanian yang mempunyai potensi besar dan memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Pada tahun 2008 sub sektor perkebunan mempunyai kontribusi sebesar 14,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian atau kurang lebih sebesar 2,14 persen terhadap PDB (BI, 2009). Sebagai salah satu komoditas perkebunan utama pada pasar minyak nabati dunia, CPO (Crude Palm Oil) juga tidak terlepas dari sasaran untuk tujuan konversi ke produk agrofuel. Agrofuel adalah bahan bakar yang berasal dari tanaman pertanian seperti kelapa sawit, jarak pagar, dan singkong. Terlepas dari konversi minyak sawit menjadi agrofuel, digunakannya CPO sebagai bahan baku agrofuel ditengarai telah berperan pada peningkatan harga minyak sawit di dunia, sebagaimana yang terjadi pada berbagai komoditas yang menjadi sasaran untuk digunakan sebagai bahan baku untuk agrofuel seperti kacang kedelai, dan jarak pagar. Hal ini diungkapkan dalam bentuk respon penawaran kelapa sawit dan perubahan luas areal kelapa sawit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan luas areal dan produktivitas kelapa sawit di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menduga respon penawaran dari petani kelapa sawit dalam jangka pendek dan jangka panjang. Setelah faktorfaktor dan dugaan respon penawaran diketahui, maka akan dirumuskan implikasi kebijakan yang dapat diterapkan pada sektor perkebunan kelapa sawit. Pada penelitian ini, model ekonometrika yang digunakan untuk mengestimasi respon penawaran adalah model Nerlove. Model Nerlove adalah model dinamis yang menyatakan bahwa output adalah fungsi dari harga yang diharapkan, penyesuaian areal, dan beberapa variabel eksogen lainnya. Bentuk yang tereduksi (reduced form) dari model Nerlove akan berbentuk model autoregressive karena model tersebut memasukkan nilai lag dari variabel dependen diantara variabel-variabel penjelasnya. Respon penawaran diduga secara tidak langsung melalui persamaan respon luas areal dan respon produktivitas menggunakan teknik estimasi Ordinary Least Square (OLS) menggunakan Eviews 5.1. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan deret waktu (time series) selama 38 tahun, yaitu dari tahun 1969-2006. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah antara lain : luas areal tanam kelapa sawit, produktivitas kelapa sawit, harga CPO, harga karet alam, upah tenaga kerja, harga pupuk urea, harga pupuk
sp-36, harga kacang kedelai, suku bunga modal kerja, harga pestisida, dummy kebijakan inti plasma, dummy perkebunan swasta, dan dummy krisis ekonomi. Hasil yang diberikan dari elastisitas luas areal kelapa sawit terhadap harga CPO dalam jangka pendek sebesar 0,0261 menggambarkan bahwa ketika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sekarang maka petani akan merespon dengan menaikkan luas areal kelapa sawitnya pada tahun yang akan datang. Pada jangka panjang, respon luas areal kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,2496. Ini menggambarkan bahwa para petani telah memahami bahwa pada jangka panjang, permintaan terhadap CPO sebagai bahan baku agrofuel akan semakin meningkat. Oleh karena itu, para petani memutuskan untuk mengkonversi sisa lahan yang dimiliki mereka menjadi areal perkebunan kelapa sawit guna meningkatkan respon penawaran mereka (IOPRI, 2008). Hasil yang diberikan dari respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO dalam jangka pendek sebesar 0,0281 menggambarkan ketika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sekarang, maka petani akan meresponnya dengan meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya pada tahun berikutnya. Pada jangka panjang, respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami sedikit peningkatan yaitu sebesar 0,0880. Dengan demikian, dapat dipastikan akan terjadi peningkatan produktivitas kelapa sawit dalam jangka pendek dan panjang. Nilai respon penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek bertanda positif dan bersifat inelastis yaitu masing-masing sebesar 0,3377 dalam jangka panjang dan 0,0542 dalam jangka pendek. Hasil ini menggambarkan jika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sekarang maka akan direspon dengan meningkatkan penawaran kelapa sawit di Indonesia pada tahun berikutnya. Ini menjelaskan bahwa pada jangka pendek, beberapa faktor yang mempengaruhi luas areal bernilai tetap sementara dalam jangka panjang faktor-faktor tersebut sangat bervariasi. Para petani menggunakan acuan harga CPO tahun sebelumnya untuk meningkatkan penawarannya. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai variabel-variabel yang belum bisa dimasukkan pada penelitian ini sehingga dapat memaparkan ruang lingkup lebih spesifik. Adapun variabel-variabel yang dimaksud seperti curah hujan, harga tanaman tumpang sari yaitu kacang kedelai, harga minyak kedelai, dan luas areal teririgasi.
ANALISIS RESPON PENAWARAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA
Oleh : LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO H14054245
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 Judul Skripsi
: Analisis Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia
Nama
: Lukman Kresno Oktavianto
NIM
: H14054245
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
Agustus 2009
Lukman Kresno Oktavianto H14054245
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Oktober 1985 di Bandung. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Eddy Priandono dan Siti Kadariyah Rahayu. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Angkasa XII Kabupaten Bandung yang kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 21 Bandung. Penulis kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di SMU Negeri 8 Bandung. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2005 melalui jalur SPMB dan pada tahun berikutnya memilih Mayor Ilmu Ekonomi dan Minor Kebijakan Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis cukup aktif di beberapa kegiatan organisasi seperti SES-C (Sharia Economics Student Club) dan Hipotesa serta beberapa kegiatan kepanitiaan di IPB.
Persembahan…
Allah SWT, Petunjuk dan hidayah dalam mengarungi bahtera hidup
Rasulullah SAW Inspirasi kesuksesan dunia dan akhirat
Bapak, Ibu, Mas Yan, Fina Dukungan dan semangat
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua karunia rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia”. Respon penawaran merupakan topik yang menarik untuk diangkat karena melihat berbagai pengaruh harga (baik harga komoditi sendiri ataupun komoditi substitusi) dan biaya-biaya input terhadap respon produksi para petani. Disamping hal tersebut, skripsi juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Keluarga penulis, Bapak Eddy Priandono, Ibu Siti Kadariyah Rahayu, Mas Yan, dan Fina atas semua do’a dan dukungannya dalam penyusunan skripsi ini. 2. Dedi Budiman Hakim, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan baik secara teoritis dan teknis kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Wiwiek Rindayati selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik, dan ilmu yang bermanfaat dalam skripsi ini. 4. Tony Irawan, M.App.Ec selaku penguji komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa dan pedoman penulisan skripsi. 5. Iman Sugema, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan akademik kepada penulis selama menjadi mahasiswa di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. 6. Kepala Tata Usaha beserta staf pelaksana Departemen Ilmu Ekonomi atas dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu Bapak Cecep, Mas Anto, Mbak Atik, Mas Dede, Mas Ryan, Mas Anwar. 7. Pihak Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian yang telah memberikan data statistik kelapa sawit periode 1969-2008. 8. Pihak Indonesian Palm Oil Research Institute yang telah memberikan informasi dan data-data tentang perkembangan tanaman kelapa sawit di Indonesia.
9. Keluarga
kontrakan,
yaitu
Tara,
Ragil,
Mahesa,
Huda,
Dony
atas
kebersamaannya dalam suka dan duka selama dua tahun. 10. InterCAFE’s Supply Response Team, yaitu Made, Thomson, Ginna, Renny, Sundoro, Iqbal, Arum, Reza, Dwi, Kak Ade, dan Kak Tony yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 11. Riza dan keluarga, Gerry, Adrian, Inna, Vagha, Amalia, Dhamar, Riri, Nursechafia, Dewinta, Bayu, Adhitia, Arisa, Anggi, Reza, Ardani, Indra, Novi, Dian, Nada, Istiana, Reni, Hendra, Rizkita, Surya, keluarga AK 6, tim futsal IE 42, dan teman-teman IE 42 serta seluruh civitas FEM dan InterCAFE atas dukungan yang sangat berarti kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Kalian adalah orang-orang yang dianugerahi pengetahuan, wawasan dan rasa sosialitas yang tinggi dan tanpa kalian, diri ini takkan mampu tuk berdiri tegap dan merasa berarti. Penghargaan setinggi-tingginya untuk kalian. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Sekali lagi, terima kasih banyak.
Bogor,
Agustus 2009
Lukman Kresno Oktavianto H14054245
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ……………………………………………………...
iii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..
iv
I.
PENDAHULUAN ……………………………………………..
1
1.1. Latar Belakang …………………………………………….
1
1.2. Permasalahan ……………………………………………...
8
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………….
13
1.4. Manfaat Penelitian ………………………………………..
14
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ………………………………...
14
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………….
15
2.1. Profil Kelapa Sawit ……………………………………......
15
2.2. Aspek Ekonomis dan Pengolahan Kelapa Sawit .................
15
2.3. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia …………………………………………………..
18
2.4. Tinjauan Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Minyak Sawit ………………………………………..……………..
20
2.5. Kerangka Pemikiran Teoritis ……………………….….…
22
2.5.1. Penawaran …………………………………………..
22
2.5.2. Respon Penawaran …………………………………
23
II.
2.5.2.1. Perubahan Jumlah Produksi Menurut Perubahan Areal dan Produktivitas …………………..…… 2.5.2.2. Respon Penawaran melalui Respon Areal dan Respon Produktivitas ………………………… 2.5.2.3. Respon Beda Kala (Lag) dalam Komoditi Pertanian ……………………………………… 2.5.2.4. Model Lag yang Didistribusikan ………………
25 26 28 29
2.5.2.5. Model Nerlove …………………………………
31
2.6. Kerangka Pemikiran Konseptual ………………………….
34
2.7. Penelitian Terdahulu …………………………...………….
37
2.6.1. Penelitian Mengenai CPO …………………………..
37
2.6.2. Penelitian Mengenai Respon Penawaran ……...……
38
12
2.8. Hipotesis Penelitian …………………………………...….
41
METODE PENELITIAN ……………………………………...
42
3.1. Jenis dan Sumber Data ………………….…………………
42
3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data …..………………..
42
3.3. Spesifikasi Model Analisis ………………...……………...
43
3.3.1. Model Respon Luas Areal ………………………….
44
3.3.2. Model Respon Produktivitas ……….……………….
46
3.3.3. Spesifikasi Variabel …….………….………………
48
3.3.4. Model Respon Penawaran …………………………
51
3.4. Pengujian Model dan Hipotesis …………………………..
53
3.4.1. Uji Kesesuaian Model ………………..…………….
53
3.4.2. Pengujian Hipotesis …………………...……………
54
3.4.3. Uji Autokorelasi …………………………………….
55
3.4.4. Uji Multikolinieritas ……………………...………...
56
3.4.5. Uji Heteroskedastisitas ……………………………..
57
3.4.6. Uji Normalitas …………………………..………….
58
3.4.7. Pengukuran Elastisitas …………………..…………
59
3.5. Definisi Operasional …………………………...………….
60
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………..
62
4.1. Estimasi Parameter Model ………………………………..
62
4.1.1. Respon Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia ………
62
4.1.2. Respon Produktivitas Kelapa Sawit Indonesia ……
67
4.2. Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia ………….
71
4.3. Implikasi Kebijakan …..……………………………..……
74
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………..
76
5.1. Kesimpulan ………………………………………….…….
76
5.2. Saran ………………………………………………………
78
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….
79
LAMPIRAN ……………………………………………………………
84
III.
IV.
V.
13
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1.
Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1980-2010 ……...
2
1.2.
Luas Areal CPO, Produksi Perkebunan CPO Seluruh Indonesia, Harga CPO, dan Harga CO ………………………………………………………...
5
1.3.
Volume dan Nilai Ekspor Impor Kelapa Sawit Indonesia …………………
7
2.1.
Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 20002008 ………………………………………………………………………… 19
4.1.
Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia ………….
63
4.2.
Hasil Estimasi Parameter Produktivitas Kelapa Sawit di Indonesia ……….
67
4.3.
Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang …………………………………………………………...… 72
14
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1.
Pangsa Ekspor Negara Produsen CPO ……………………………………...
3
1.2.
Harga Mingguan Minyak Mentah Indonesia ……………………………….
4
Korelasi Harga CPO dan Harga CO ………………………………………..
6
Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit …………………………………..
9
Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit ………………………………..
10
Rata-rata Persentase Pertumbuhan Harga CPO ……………………………
11
Rata-rata Persentase Pertumbuhan Produksi Kelapa Sawit ………………...
12
2.1.
Pohon Industri Kelapa Sawit ……………………………………………….
17
2.2. 2.3.
PerkembanganProduksi Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2008…………………………………………………………… Kurva Penawaran ….......................................................................................
20 22
2.4
Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian ………………………………..
36
15
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1.
Halaman
Tabel Uji Normalitas Model Respon Luas Areal Kelapa Sawit dan Model Respon Produktivitas Kelapa Sawit …………………………….…….......
85
3.
Tabel Uji Multikolinieritas (Variance Inflation Factor) Model Respon Luas Areal dan Produktivitas …………..…………………………………... Pendugaan Model Respon Luas Areal ……………………………………...
86 87
4.
Pendugaan Model Respon Produktivitas …………………………………...
88
5.
Peta Sebaran Komoditi Kelapa Sawit ……………………………………....
89
2.
16
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis di dunia yang mempunyai
kekayaan alam yang melimpah. Indonesia mempunyai luas daratan sebesar 2.027.087 km2 dengan luas lautan sebesar 3.166.163 km2 dari total luas area Indonesia yang mencapai 5.193.250 km2 dan inilah yang menjadikan Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia (BPS, 2006). Sektor-sektor pertanian, peternakan, perikanan, hingga sektor pariwisata memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Perkebunan merupakan salah satu sub sektor bidang pertanian yang mempunyai potensi besar dan memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Pada tahun 2008 sub sektor perkebunan mempunyai kontribusi sebesar 14,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian atau kurang lebih sebesar 2,14 persen terhadap PDB (BI, 2009).1 Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit mentah yang dihasilkan dari komoditi perkebunan kelapa sawit kini telah menjadi primadona dan komoditi ekspor andalan Indonesia. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan di daerah luar pulau Jawa seperti Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Selain itu komoditi ini juga memiliki keunggulan komparatif dilihat dari segi budidaya, karena tanaman ini merupakan jenis 1
Jumlah sementara
17
tanaman tropik dan dari segi luas area total sampai yahun 2006, Indonesia mempunyai areal kelapa sawit terluas di dunia, yaitu 6,594 juta hektar (Tabel 1.1). Tabel 1.1. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1980-2008 Luas Areal (000 Ha) Tahun
PR
PBN
PBS
Produksi CPO (000 ton)
Nasional
1980
6
200
84
290
1990
291
372
463
1.126
1995
659
405
1996
PR
PBN
Nasional
499
221
721
377 1.247
179
1.803
962
2.026 1.001 1.614 1.864
4.479
739
427 1.084
2.250 1.134 1.707 2.058
4.899
1997
813
517 1.592
2.922 1.283 1.587 2.578
5.448
1998
891
557 2.113
3.561 1.345 1.502 3.084
5.931
1999 1.041
577 2.284
3.902 1.548 1.469 3.439
6.456
2000 1.167
588 2.403
4.158 1.906 1.461 3.634
7.001
2001 1.561
610 2.542
4.713 2.798 1.519 4.079
8.396
2002 1.808
632 2.627
5.067 3.427 1.608 4.588
9.623
2003 1.854
663 2.766
5.283 3.517 1.751 5.173
10.441
2004 2.220
606 2.459
5.285 3.847 1.618 5.366
10.831
2005 2.356
530 2.567
5.454 4.500 1.449 5.911
11.861
2006 2.549
687 3.357
6.594 5.783 2.313 9.254
17.350
2007 2.565
687 3.358
6.611 5.895 2.313 9.254
17.373
Sumber Keterangan
1
PBS
: Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 : **) Angka Estimasi
: PR : Perkebunan Rakyat : PBN : Perkebunan Besar Negara : PBS : Perkebunan Besar Swasta Dalam
perekonomian
Indonesia,
kelapa
sawit
berperan
sebagai
penerimaan negara dari sektor non-migas yang cukup besar. Industri kelapa sawit di Indonesia juga menarik banyak perhatian mengingat kontribusinya yang sangat besar bagi perekonomian.
18
Saat ini, kelapa sawit telah melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pada tahun 2008, perkebunan kelapa sawit dikelola oleh 2.733.857 petani di mana sekitar 60 persen, yaitu 1.500.719 ora orang ng bekerja pada sektor Perkebunan Rakyat (PR). Sementara luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2008 adalah 7.007.876 hektar.. Penyebaran luas areal kelapa sawit juga tersebar di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Tercatat total luas areal perkebunan perkebunan kelapa sawit (Perkebunan Rakyat, Pekebunan Negara, dan Perkebunan Swasta) di pulau Sumatera pada tahun 2008 adalah 4.895.022 hektar sedangkan luas areal kelapa sawit di pulau Kalimantan adalah 1.819.788 hektar.. Kemudian pada tahun 2006, Indonesia merupakan kan negara penghasil CPO terbesar dunia dengan total produksi 17,350 juta ton (Ditjen. Perkebunan, 2008). Dari segi pangsa ekspor, Indonesia merupakan pesaing yang kompetitif. Pada tahun 2005, pangsa ekspor Indonesia ke luar negeri sebesar 41 persen sedangkan sedangkan Malaysia sebesar 45 persen (Gambar 1.1). Nigeria 2%
Thailand 2%
Columbia 2% Lainnya 8%
Indonesia 41% Malaysia 45%
Sumber : Indonesian Palm Oil Commision (IPOC), 2007 (diolah)
Gambar 1.1. Pangsa Ekspor Negara Produsen CPO
19
Melihat fakta ini, keunggulan lain yang dimiliki oleh komoditas kelapa sawit yang menghasilkan CPO adalah luas areal yang sangat memungkinkan untuk pengembangan industri CPO di Indonesia. Market share Indonesia sebesar 41 persen yang membuat Indonesia lebih kompetitif, dan kontribusi ekspor CPO terhadap perekonomian Indonesia khususnya pada sektor non migas adalah tertinggi dibandingkan ekspor komoditas perkebunan lainnya. Pada tahun 2006, pemerintah mencanangkan kebijakan agrofuel karena selain dibuat dari minyak sawit dan ramah lingkungan, program ini juga bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, menguatkan ekonomi, dan meningkatkan kualitas lingkungan. Agrofuel adalah bahan bakar yang berasal dari tanaman pertanian seperti kelapa sawit, jarak pagar, dan singkong.
Dollars per Barrel
120 100 80 60 40 20 0
Tahun
Sumber : Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Harga Minyak Bumi Indonesia Tahun 2007 (diolah)
Gambar 1.2. Rata-Rata Harga Mingguan Minyak Mentah Indonesia Melihat kondisi tersebut, pemanfaatan CPO sebagai bahan baku agrofuel telah menyebabkan permintaan terhadap CPO meningkat. Ditambah pula dengan
20
kondisi bahan bakar fosil yang harganya meningkat (Gambar 1.2) menyebabkan banyaknya negara mencari sumber-sumber energi alternatif, yaitu bioenergi. Tabel 1.2. Luas Areal CPO, Produksi Perkebunan CPO Seluruh Indonesia, Harga CPO, dan Harga CO.
Tahun
Produksi CPO
Luas Areal Tanam
Produktivitas
Harga CPO
Harga CO
ton
Ha
ton/Ha
Rp/Kg
Rp/Kg
1989
1.964.954
973.528
2,018
741,20
577,246
1990
2.412.612
1.126.677
2,141
690,00
703,149
1991
2.657.600
1.310.996
2,027
773,00
1.012,169
1992
3.266.250
1.467.470
2,226
798,40
710,771
1993
3.421.449
1.613.187
2,121
694,00
702,443
1994
4.008.062
1.804.149
2,222
803,10
511,790
1995
4.479.670
2.024.986
2,212
1.028,40
601,459
1996
4.898.658
2.249.514
2,178
833,00
708,324
1997
5.448.508
2.516.079
2,165
921,60
812,919
1998
5.930.415
2.788.783
2,127
1.697,80
1.158,200
1999
6.455.590
2.975.120
2,170
769,30
1.106,013
2000
7.000.508
3.769.609
1,857
614,60
1.851,134
2001
8.396.472
4.420.968
1,899
512,10
1.767,766
2002
9.622.345
4.781.866
2,012
197,40
1.497,059
2003
10.440.834
4.926.080
2,120
804,30
1.616,441
2004
12.326.419
5.070.294
2,431
883,90
2.098,564
2005
14.619.830
5.214.508
2,804
895,30
2.929,754
Sumber : Departemen Pertanian, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 dan Harga Minyak Bumi Indonesia Tahun 2007 (diolah)
Peningkatan permintaan CPO menyebabkan harga CPO akan terus meningkat. Peningkatan harga ini juga disebabkan oleh peningkatan permintaan dari dua konsumen terbesar dunia, yakni India dan China. Jika pada tahun 2000
21
harga minyak bumi (CO, Crude Oil) adalah US$ 22 per barrel, maka pada bulan Juli tahun 2007 harga minyak bumi telah mencapai kisaran US$ 75 per barrel. Namun bisa dilihat bahwa harga CPO pada kisaran tahun 1998 sampai tahun 2002 mengalami fluktuasi (Tabel 1.2). Selain karena dampak krisis ekonomi tahun 1997/1998, hal ini juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng dari bahan lain di dunia seperti zaitun dan kedelai. Seperti yang telah diketahui bahwa CPO juga dijadikan bahan baku minyak goreng sawit. Saat ini, sumbangan minyak kedelai masih yang terbesar dalam pasar minyak goreng dunia. Pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2006, harga minyak bumi mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan minyak bumi telah berkurang yang ditandai dengan kenaikan harga (Tabel 1.2). Dollars per Barrel 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Harga CPO
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
Tahun
Harga CO
Sumber : Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Harga Minyak Bumi Indonesia Tahun 2007 (diolah)
Gambar 1.3. Korelasi Harga CPO dan Harga CO
22
Pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998, harga CPO turun drastis dari Rp. 1.697,80 per Kg menjadi Rp. 769, 30 per Kg. Sedangkan harga CO juga mengalami sedikit penurunan dari Rp. 1.158,2 per Kg menjadi Rp. 1.106,013 per Kg. Namun, keadaan ini justru ditanggapi dengan kenaikan luas areal tanam kelapa sawit dari 2.516.079 hektar menjadi 2.788.783 hektar. Bila keadaan ini diturunkan dalam bentuk grafik (Gambar 1.3), maka dapat disimpulkan bahwa harga CPO dan harga CO berkorelasi positif setiap tahun dan hal ini mengisyaratkan bahwa peran CPO sebagai komoditas bahan makanan mulai bergeser menjadi komoditas energi. Tabel 1.3. Volume dan Nilai Ekspor Impor Kelapa Sawit Indonesia EKSPOR
Tahun
IMPOR
Minyak Sawit (CPO) Nilai (000. US$)
Volume (Ton)
Minyak Inti Sawit (Kernel Palm Oil, KPO)
Kelapa Sawit (Oil Palm) Volume (Ton)
Nilai (000. US$)
Volume (Ton)
Nilai (000. US$)
Minyak Inti Sawit (Kernel Palm Oil, KPO)
Minyak Sawit (CPO) Volume (Ton)
Nilai (000. US$)
Volume (Ton)
Nilai (000. US$)
2001
4.903.218
1.080.906
5.485.144
1.227.165
581.926
146.259
141
60
4.974
2.464
2002
6.333.708
2.092.404
7.072.124
2.348.638
738.416
256.234
9.499
3.267
2.362
1.478
2003
6.386.409
2.454.626
7.046.303
2.719.304
659.894
264.678
4.014
2.201
1.592
1.066
2004
8.661.647
3.441.776
9.565.974
3.944.457
904.327
502.681
4.320
1.937
3.564
3.157
2005
10.375.792
3.756.557
11.418.987
4.344.303
1.043.195
587.746
10.810
5.374
3.257
2.992
2006
10.471.915
3.552.810
11.745.954
4.139.286
1.274.039
616.476
1.645
1.287
1.386
1.207
2007
11.875.418
7.868.640
13.210.742
8.866.445
1.335.324
997.805
1.067
1.023
3.594
6.013
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 20072009
Menghadapi permintaan pasar luar negeri baik sebagai bahan baku agrofuel dan konsumsi bahan pangan yang dalam hal ini adalah minyak goreng sawit, Indonesia memiliki barganing position yang kuat. Salah satu penyebabnya adalah iklim tropis Indonesia yang mendukung perkebunan CPO sehingga produksi dan produktivitas kelapa sawit semakin meningkat.
23
Naiknya harga energi berdampak langsung pada harga produk pertanian melalui kenaikan biaya input seperti pupuk, dan biaya transportasi (Nainggolan dan Suprapto, 2007). Pencarian bahan bakar alternatif bersumber bioenergi memang telah memberikan persaingan terhadap sumber daya pangan. Hal ini dapat terjadi jika lahan dan sumber daya produktif pertanian berubah menjadi sumber daya untuk pasokan energi. Secara makro ekonomi, alasan peningkatan harga bahan pangan dapat dijelaskan pada sisi penawaran. Pada sisi penawaran, peningkatan harga minyak bumi telah menyebabkan peningkatan biaya produksi pertanian, dan juga menyebabkan lahan pertanian diubah dari keperluan produksi bahan pangan menjadi keperluan produksi bahan baku untuk biofuel. Berdasarkan uraian di atas, akan menarik apabila melihat bagaimana pengaruh berbagai komoditas yang lain yang terkait dengan kelapa sawit baik langsung maupun tidak langsung. Menarik juga bila melihat bagaimana pengaruh biaya input seperti pupuk dan upah tenaga kerja terhadap respon penawaran kelapa sawit.
1.2.
Permasalahan Harga dunia minyak bumi yang melambung hingga mencapai US$ 140 per
barel pada Juni 2008 membuat negara-negara baik negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia mengalami kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga meningkatkan biaya produksi dalam negerinya. Tidak hanya sektor industri yang terkena dampak, tetapi juga sektor-sektor lain termasuk sektor pertanian mengalami kenaikan dalam hal biaya produksinya. Berbagai
24
program pun dirumuskan untuk mencari solusi dari krisis energi ini. Salah satu cara yang ditempuh adalah mencoba untuk mengganti bahan bakar berbahan baku fosil menjadi bahan bakar alternatif berbahan baku nabati. Beberapa komoditas pertanian pun bertambah fungsinya tidak hanya digunakan untuk kebutuhan pangan tetapi juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi.
Hektar
Luas Areal
7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0
Tahun
Luas Areal
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 (diolah)
Gambar. 1.4. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Sebagai salah satu komoditas utama pada pasar minyak nabati dunia, CPO juga tidak terlepas dari sasaran untuk tujuan konversi ke produk agrofuel. Terlepas dari konversi minyak sawit menjadi agrofuel, digunakannya CPO sebagai bahan baku agrofuel ditengarai telah berperan pada peningkatan harga minyak sawit di dunia, sebagaimana yang terjadi pada berbagai komoditas yang menjadi sasaran untuk digunakan sebagai bahan baku untuk agrofuel seperti
25
kacang kedelai, dan jarak pagar2.Hal ini diungkapkan dalam bentuk respon penawaran kelapa sawit dan perubahan luas areal kelapa sawit. Berdasarkan Gambar 1.4, perkembangan luas areal kelapa sawit sejak tahun 1969 mengalami peningkatan secara berkelanjutan. Pada saat Perkebunan Besar Swasta (PBS) masuk pada tahun 1980, perkembangan luas areal mulai meningkat. Memasuki tahun 2000, peningkatan luas areal meningkat secara tajam karena pada tahun tersebut timbul isu agrofuel. Trend peningkatan luas areal (Gambar 1.4) menggambarkan peningkatan permintaan atas CPO yang terjadi akan produk olahannya seperti ekspor CPO ke China, India, dan Belanda untuk diolah menjadi minyak goreng sawit dan berbagai produk olahan kimia lainnya
Ton/Hektar
Produktivitas
3 2.5 2 1.5 1 0.5
Tahun
0
Produktivitas
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 (diolah)
Gambar. 1.5. Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit
2
Effendi Arianto. Perilaku Harga Minyak Sawit. 2008. http://strategika.wordpress.com/
26
Berdasarkan Gambar 1.5, perkembangan produktivitas kelapa sawit sejak tahun 1969 mengalami trend yang sangat fluktuatif. Pada saat PBS masuk ke sektor perkebunan kelapa sawit pada tahun 1980, produktivitas kelapa sawit meningkat ngkat tapi hanya bertahan selama 3 tahun dan selebihnya sangat fluktuatif. Hal ini dapat disebabkan oleh besarnya biaya-biaya biaya biaya input yang juga fluktuatif. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa naiknya harga energi berdampak langsung pada harga produk pertanian pertanian melalui kenaikan biaya input. Jika harga input terlalu tinggi, maka akan membuat biaya produksi dari petani menjadi meningkat yang membuat petani akan mengurangi produksinya. Begitu juga dengan harga output. Penetapan harga output berupa harga dasar dasar yang sesuai bagi para petani sangat penting untuk dilakukan mengingat harga output merupakan salah satu insentif terbesar yang mempengaruhi keputusan petani dalam menambah atau mengurangi produksinya.
Persentase Pertumbuhan (%)
300 250 200 150 100 50 0 -50 -100
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Jumlah Tahun Observasi Harga CPO
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan rkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 (diolah)
Gambar. 1.6. Persen Pertumbuhan Harga CPO.
27
Berdasarkan Gambar 1.6, rata-rata persentase petumbuhan harga CPO selama 37 tahun dari tahun 1970 hingga 2006 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini dapat apat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti diterapkannya kebijakan pemerintah ataupun peningkatan pening permintaan terhadap CPO sebagai bahan pangan. Secara garis besar, fluktuasi harga CPO mempengaruhi respon produksi para petani.
Persentase Pertumbuhan (%)
60 50 40 30 20 10 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Jumlah Tahun Observasi Produksi CPO
Sumber : Direktorat Jenderal eral Perkebunan, Statistik Perkebunan rkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 (diolah)
Gambar. 1.7. Persen Pertumbuhan Produksi Kelapa Sawit. Berdasarkan Gambar 1.7, rata-rata rata rata persentase petumbuhan produksi kelapa sawit selama 37 tahun dari tahun 1970 hingga 2006 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini membuktikan bahwa harga CPO dan produksi kelapa sawit berkorelasi positif karena kenaikan harga CPO akan diikuti dengan peningkatan produksi kelapa sawit. Berdasarkan uraian di atas, masih banyak faktor-faktor or lain yang mempengaruhi keputusan petani kelapa sawit baik dalam kegiatan produksi
28
maupun dalam hal penggunaan faktor-faktor produksi yang didekati melalui respon luas areal tanam dan respon produktivitas. Alasannya adalah penggunaan luas areal tanam dan produktivitas sebagai variabel tidak bebas dapat dengan mudah ditentukan atau dikontrol oleh para petani (Askari dan Cummings, 1977). Semua keputusan tersebut semata-mata didasarkan pada prinsip efisiensi dalam menentukan alokasi yang optimal dari sarana produksi yang berorientasi pada keuntungan atau pendapatan petani. Dengan demikian, akan menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana respon penawaran dari para petani terhadap berbagai stimulus pasar yang terjadi seperti harga (harga komoditi sendiri dan komoditi substitusi) dan biaya-biaya input sehingga dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan luas areal dan produktivitas kelapa sawit di Indonesia? 2. Bagaimana respon penawaran dari petani kelapa sawit dalam jangka pendek dan jangka panjang?
1.3.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan
penelitian ini adalah : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan luas areal dan produktivitas kelapa sawit di Indonesia. 2. Menduga respon penawaran dari petani kelapa sawit dalam jangka pendek dan jangka panjang.
29
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah dan instansi-
instansi terkait, baik swasta maupun negeri dalam merumuskan kebijakan pengelolaan kelapa sawit sehingga mampu meningkatkan produktivitas. Penelitian ini selain bermanfaat bagi peneliti karena mampu mengaplikasikan ilmu yang dipelajari selama perkuliahan, juga diharapkan bermanfaat bagi para pembaca sebagai sarana menambah wawasan dan bahan penelitian selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
produksi kelapa sawit yang diestimasi dengan perubahan luas areal dan produktivitas kelapa sawit di Indonesia. Penelitian ini juga terkonsentrasi pada dugaan elastisitas penawaran dari petani baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek terhadap berbagai stimulus pasar yang terjadi.
30
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Profil Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit merupakan komoditas andalan perkebunan dalam
negeri, karena memiliki andil yang besar sebagai pemasok devisa negara. Walaupun kelapa sawit bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun tanaman ini dapat berkembang dengan baik karena mampu beradaptasi dengan iklim Indonesia (Ditjen Perkebunan, 2006). Dari segi pemanfaatannya, kelapa sawit dapat diolah menjadi berbagai produk. Saat ini, industri hilir kelapa sawit telah mampu mengolah mulai dari daging buah, biji, tandan kosong, hingga batangnya. Komoditas ini sangat ekonomis karena memiliki berbagai kegunaan baik untuk industri pangan maupun non pangan. Namun, perkembangan produk kelapa sawit lebih cenderung ke arah pengembangan produk pangan (sekitar 90 persen) dan sisanya ke arah produkproduk non pangan atau produk oleokimia (sekitar 10 persen). Dalam hal pangan, sebagian besar minyak sawit digunakan untuk pembuatan minyak goreng dan sebagian untuk pembuatan margarin (Hariyadi et al, 2003)
2.2.
Aspek Ekonomis dan Pengolahan Kelapa Sawit Gambar 1 merupakan gambar pohon industri kelapa sawit yang
menunjukan setiap bagian dari kelapa sawit yang memiliki nilai ekonomi. Tandan buah segar kelapa sawit terbagi menjadi 3 bagian yaitu buah, tandan kosong, dan sludge (kotoran). Empat bagian utama dari buah kelapa sawit, yaitu daging, biji,
31
tempurung, dan serat dapat diolah menjadi berbagai produk turunannya. Gambar 2.1 juga menggambarkan suatu model pasar, di mana proses merupakan hubungan yang terintegrasi satu sama lain. Buah kelapa sawit dalam pengolahannya menghasilkan dua jenis minyak. Minyak yang berasal dari daging buah (mesocarp) berwarna merah dikenal sebagai minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO), sedangkan minyak yang kedua berasal dari inti kelapa sawit atau kernel palm oil (KPO). Selain minyak, buah kelapa sawit juga menghasilkan bahan padatan berupa sabut, cangkang (tempurung) dan tandan buah kosong kelapa sawit. Bahan padatan ini dapat dimanfaatkan untuk sumber energi, pupuk, makanan ternak, dan bahan untuk industri. Seperti yang telah diketahui bahwa produk kelapa sawit dapat dikelompokan dalam jenis bahan makanan (oleofood), bahan non makanan (oleochemical), bahan kosmetika, dan farmasi. Minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pangan diperoleh melalui proses fraksinasi, rafinasi, dan hidrogenasi.
Gambar 2.1. Pohon Industri Kelapa Sawit
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Skema Penggunaan Hasil Pengolahan Tandan Kelapa Sawit, 2006
32
33
Pada umumnya, sebagian besar CPO difraksinasi sehingga menghasilkan fraksi olein (cair) dan fraksi stearin (padat). Fraksi olein digunakan untuk bahan pangan, dan fraksi stearin (padat) digunakan untuk keperluan non pangan. Bahan pangan dengan bahan baku olein antara lain : minyak goreng, mentega, industri makanan ringan, dan sebagainya. Minyak kelapa sawit sebagai bahan non pangan dapat digunakan untuk bahan industri ringan maupun berat, antara lain untuk industri penyamakan kulit agar menjadi lembut dan fleksibel. Industri tekstil menggunakan minyak sawit sebagai pelumas yang tahan terhadap tekanan dan suhu tinggi. Pada industri ringan dipakai sebagai bahan baku sabun, deterjen, semir sepatu, lilin, tinta cetak, dan sebagainya (Ditjen Perkebunan, 2006) Selain untuk industri bahan pangan dan non pangan, minyak kelapa sawit juga mempunyai potensi yang cukup besar untuk industri kosmetik dan farmasi. Sifat minyak kelapa sawit yang mudah diabsorbsi kulit, banyak dipakai untuk pembuatan shampo, minyak rambut, lipstik, dan sebagainya.
2.3.
Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Sejak tahun 1967, luas areal kelapa sawit tumbuh dengan cepat. Hal ini
juga disebabkan oleh upaya pemerintah yang ingin mengembangkan tanaman perkebunan sebagai komoditi ekspor. Perkebunan kelapa sawit menurut pengusahaan dibagi menjadi tiga, yaitu Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Rakyat (PR). Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan, Perkebunan Rakyat mendominasi
34
produksi kelapa sawit hingga tahun 1980. Kemudian sampai dengan tahun 1988, perkebunan kelapa sawit didominasi oleh PBN, dan kemudian digantikan oleh PBS hingga saat ini. Menurut pendistribusian lahannya, propinsi Riau memiliki lahan yang paling luas yang kemudian diikuti oleh Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jambi. (Ditjen Perkebunan, 2006) Tabel 2.1. Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 20002008* (Ha) Tahun
PR
PBN
PBS
Jumlah
2000
1.166.758
588.125
2.403.194
4.158.077
2001
1.561.031
609.947
2.542.457
4.713.435
2002
1.808.424
631.566
2.627.068
5.067.058
2003
1.854.394
662.803
2.766.360
5.283.557
2004
2.220.338
605.865
2.458.520
5.284.723
2005
2.356.895
529.854
2.567.068
5.453.817
2006
2.549.572
687.428
3.357.914
6.594.914
2007
2.752.172
606.248
3.408.416
6.766.836
2008*)
2.903.332
607.419
3.497.125
7.007.876
Sumber
: Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009
Keterangan : *) Angka estimasi
: PR : PBN : PBS
: Perkebunan Rakyat : Perkebunan Besar Negara : Perkebunan Besar Swasta
Bersamaan dengan perkembangan luas areal yang telah mencapai 6.766.836 hektar pada tahun 2007 (Tabel 2.1), produksi minyak kelapa sawit pun ikut berkembang pesat. Pertumbuhan produksi kelapa sawit Indonesia paling tinggi diantara negara produsen CPO lainnya dalam 8 tahun terakhir, yaitu 20002007, atau tumbuh lebih dari 2 kali lipat dari 7,44 juta ton menjadi 17,66 juta ton (Gambar 2.2).
35
20,000,000 18,000,000
Produksi CPO (Ton)
16,000,000 14,000,000 12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008*)
Tahun
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 (diolah)
Gambar 2.2. Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2008*) (Ton)
2.4.
Tinjauan Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Minyak Sawit Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah pada sektor
industri kelapa sawit tidak hanya dari sisi peningkatan produksi, namun yang lebih kompleks pada sisi pengaturan tataniaga minyak sawit. Berbagai instrumen telah diaplikasikan untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : (1) pengendalian laju inflasi dan mencegah penurunan pendapatan masyarakat, dan (2) pengendalian pasokan minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor untuk menjaga kestabilan harga minyak goreng (Amang dalam Wardani 2008). Beberapa instrumen kebijakan pemerintah yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah (1) penetapan pungutan ekspor, (2) penetapan
36
alokasi kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan ekspor, (3) pemupukan cadangan penyangga minyak sawit kasar, dan (4) pelarangan ekspor. Instrumen yang sangat populer dan banyak menimbulkan kontroversi antar pihak-pihak yang berkepentingan adalah pajak ekspor (tax export) dan pelarangan ekspor (export ban). Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1986 Tentang
Pengembangan Pola Perkebunan, seluruh perusahaan kelapa sawit harus membangun kemitraan (kebun plasma) dengan kebun inti dengan menggunakan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Pola PIR adalah pola pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan dalam jangka waktu tertentu. Pengembangan perkebunan dengan pola PIR dilakukan untuk membangun dan membina perkebunan rakyat di wilayah baru dengan teknologi maju agar mampu memperoleh pendapatan yang layak serta meningkatkan kegiatan transmigrasi dengan mewujudkan suatu sistem pengelolaan usaha yang memadukan berbagai kegiatan produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil.
37
2.5.
Kerangka Pemikiran Teoritis
2.5.1. Penawaran Kurva penawaran adalah peyajian penawaran dalam bentuk grafik skedul penawaran (supply supply schedule) schedule) yang menggambarkan jumlah yang akan dij dijual para produsen pada harga--harga harga alternatif komoditi tersebut. Kurva penawaran menunjukkan hubungan antara jumlah atau kuantitas yang ditawarkan dan harga, jika faktor lainnya tetap sama. Kemiringan positif menunjukkan bahwa kuantitas atau jumlah yang ditawarkan tawarkan bervariasi dalam arah yang sama dengan harga. Gambar 2.3 menunjukan kurva penawaran yang menggambarkan hubungan antara kuantitas per periode dengan harga. Pergeseran kurva penawaran terjadi ketika faktor-faktor faktor lain yang mempengaruhi jumlah yang ditawarkan ditawarkan suatu perusahaan selain harga komoditi itu sendiri berubah, misalnya harga input, perubahan teknologi, harga komoditi lain, dan tujuan perusahaan (Lipsey, 1995).
Sumber : Lipsey (1995)
Gambar 2.3. Kurva Penawaran
38
Pergerakan kurva penawaran dari kiri bawah ke kanan atas dalam satu kurva (misalkan S0) menunjukkan bahwa jika harga komoditi sendiri tinggi maka penjual atau produsen akan menjual dalam jumlah yang lebih banyak. Sedangkan kurva penawaran akan bergeser dari S0 ke S1 apabila faktor selain harga komoditi sendiri seperti harga komoditi pesaing mengalami peningkatan. Jika harga komoditi pesaing meningkat dan dengan asumsi bahwa petani akan menanam komoditi yang lebih menguntungkan, maka petani akan mengurangi jumlah penawaran komoditi sendiri dan meningkatkan jumlah penawaran terhadap komoditi pesaing begitu juga sebaliknya. Menurut Lipsey (1995), jumlah yang akan dijual oleh perusahaan disebut kuantitas yang ditawarkan untuk komoditi itu. Kuantitas atau jumlah yang ditawarkan merupakan arus, yaitu banyaknya per satuan waktu. Satu hipotesis ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditi, harga komoditi dan kuantitas atau jumlah yang akan ditawarkan berhubungan secara positif, dengan faktor yang lain tetap sama. Dengan kata lain, makin tinggi harga suatu komoditi, makin besar jumlah komoditi yang akan ditawarkan, semakin rendah harga, semakin kecil jumlah komoditi yang ditawarkan.
2.5.2. Respon Penawaran Kelapa sawit termasuk golongan tanaman tahunan (perennial crop), dengan karakteristik adanya tenggang waktu yang cukup panjang antara saat tanam dengan pertama kali dipanen, yaitu sekitar 3-4 tahun. Oleh karena itu, berbagai hubungan yang dirancang untuk menjelaskan perilaku tersebut, idealnya
39
harus mempertimbangkan tenggang waktu antara saat tanam dan saat panen pertama kali, termasuk penanaman dan penggantian tanaman (Labys, 1973). Kendala yang dihadapi adalah tidak tersedianya data yang memadai, terutama untuk penggantian tanaman. Karenanya, sering dilakukan pendekatan yang lebih sederhana, namun cukup representatif. Menurut Abedullah dan Ali (1998), respon produksi dari produsen sebuah komoditi diasumsikan merupakan fungsi dari harga yang diharapkan dari komoditi itu sendiri (P*t), harga yang diharapkan dari komoditi lain (P*jt), harga input ( ), dan faktor tetap (), atau dapat dituliskan sebagai berikut : Y*t = f (P*t, P*jt, Wt, Zt, α*, β*, γ*, τ*)
(2.1)
Dengan : Y*t
= tingkat produksi yang diharapkan dari petani suatu komoditi sebagai respon dari perubahan harga yang diharapkan pada waktu ke t.
α*, β*, γ*, τ*
= parameter respon produksi dalam jangka panjang dari suatu komoditi sebagai respon terhadap harga sendiri, harga `komoditi lain, harga input, dan faktor tetap.
j
= komoditi alternatif. Jika mengasumsikan petani mempunyai motivasi untuk memaksimumkan
keuntungan, maka α* akan positif dan γ* akan negatif. Sedangkan β* akan positif jika komoditi bersangkutan dengan komoditi j bersifat komplementer, dan sebaliknya jika bersifat subtitusi maka akan bernilai negatif, atau mempunyai nilai
40
nol jika tidak berkaitan. Sementara τ* akan bernilai positif atau nol tergantung peran dari input tetap tersebut terhadap produksi. Jika kurva supply menggambarkan hubungan antara harga dan kuantitas dengan asumsi cateris paribus atau menganggap semua faktor lain konstan, maka respon penawaran menggambarkan respon output terhadap perubahan harga dengan tidak menahan faktor lain konstan. Di dalam ilmu ekonomi respon penawaran berarti variasi dari output pertanian dan luas areal dalam kaitannya dengan perubahan harga (Ghatak dan Ingersent, 1984).
2.5.2.1. Perubahan Jumlah Produksi Menurut Perubahan Areal dan Produktivitas Menurut Tomek dan Robinson (1972), hal-hal yang umumnya menyebabkan perubahan dalam hal produksi adalah perubahan harga input (faktor), perubahan tingkat profitabilitas komoditi alternatifnya, perubahan dalam teknologi yang mempengaruhi baik produktivitas maupun biaya produksi atau efisiensi, dan perubahan harga dari komoditi yang diproduksi secara bersamaan (joint products). Pendugaan respon penawaran sederhana dapat didekati melalui konsep bahwa jumlah produksi pertanian adalah hasil perkalian antara luas areal tanam dengan produktivitasnya (Ghatak dan Ingersent, 1984). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
(2.2)
41
Dengan : QRt
= Produksi CPO pada tahun t
ARt
= Luas areal CPO yang menghasilkan pada tahun t
YRt
= Produktivitas CPO pada tahun t Luas areal kelapa sawit dipengaruhi oleh luas areal yang ditanam, di mana
luas areal yang ditanam itu sendiri dipengaruhi oleh harga CPO yang terjadi saat itu. Tanaman kelapa sawit mulai berproduksi pada tahun kelima hingga keenam setelah tanam. Namun dengan diterapkannya teknologi maju budidaya kelapa sawit, maka dapat dipersingkat menjadi tidak lebih dari empat tahun dan juga dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Darminta, 1995). Jika dihubungkan secara langsung, maka luas areal tanam merupakan fungsi dari harga CPO pada saat masa panen tersebut dan harga pada saat tanam. Ini merupakan representasi dari jenis fungsi penyesuaian parsial Nerlove yang melibatkan bedakala (lag) peubah harga yang cukup panjang (Hallam, 1990).
2.5.2.2. Respon Penawaran Melalui Respon Areal dan Respon Produktivitas Konsep respon penawaran tercermin dalam elastisitas penawaran. Elastisitas penawaran ini mengukur ketanggapan kuantitas yang ditawarkan terhadap peubah-peubah yang mempengaruhinya dengan nilai antara nol sampai tak terhingga. Jika kurva penawarannya vertikal, maka jumlah yang ditawarkan tidak akan berubah dengan adanya perubahan harga atau elastisitas penawarannya sama dengan nol. Sebaliknya sebuah kurva penawaran yang horizontal memiliki
42
elastisitas penawaran yang tingginya tak terhingga di mana penurunan harga sedikit saja dapat menurunkan jumlah yang akan ditawarkan oleh produsen dari jumlah yang tak terhingga besarnya menjadi nol (Lipsey, 1995). Di antara kedua elastisitas penawaran yang ekstrim ini, terdapat berbagai variasi bentuk kurva penawaran. Pada umumnya produk pertanian memiliki elastisitas penawaran kurang dari satu (cenderung inelastis). Hal ini disebabkan pada saat permintaan turun, tanah, tenaga kerja, dan mesin yang ditujukan untuk pemakaian pertanian tidak ditransfer dengan cepat ke pemakaian non pertanian. Hal yang sebaliknya terjadi untuk kondisi yang berlawanan (Lipsey, 1995). Berdasarkan uraian di atas, fungsi areal panen dapat dirumuskan (Ghatak dan Ingersent, 1984) : ARt = f(PRt, PSt, PFt, UPHt, ARt-1)
(2.3)
Dengan : PRt = Harga CPO ditingkat petani pada tahun t PSt = Harga komoditi alternatif pada tahun t PFt = Harga Pupuk pada tahun t UPHt = Upah tenaga kerja pada tahun t ARt-1 = Peubah beda kala dari ARt Kemudian, respon penawaran dapat diturunkan dari persamaan (2.2) dengan mengasumsikan baik luas areal maupun produktivitas mempunyai respon
43
terhadap
perubahan
harga
(Ghatak
dan
Ingersent,
1984).
Dengan
mendiferensiasikannya terhadap harga, maka diperoleh :
(2.4)
Dengan mengasumsikan tingkat pengembalian yang konstan (constant return to scale) dan kemudian membagi kedua ruas dengan Q/P, maka kita mendapatkan : / /
/./ / . /
/ /
/ /
/ /
(2.5) (2.6)
maka :
(2.7)
Dengan : eQP
= Elastisitas (respon) penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO
eAP
= Elastisitas (respon) areal tanam terhadap harga CPO
eYP
= Elastisitas (respon) produktivitas terhadap harga CPO Dengan demikian, elastisitas (respon) penawaran kelapa sawit terhadap
harga CPO (eQP) dapat diduga secara tidak langsung dengan melakukan pendugaan elastisitas terlebih dahulu terhadap eAP dan eYP. Nilai eAP dan eYP dapat diduga melalui hasil estimasi terhadap variabel-variabel yang digunakan pada model respon luas areal dan respon produktivitas.
44
2.5.2.3. Respon Beda Kala (lag) dalam Komoditi Pertanian Salah satu karakteristik utama produk pertanian adalah adanya tenggang waktu antara menanam dan memanen yang disebut dengan gestation period atau beda kala (lag). Hasil yang diperoleh petani didasarkan pada perkiraan–perkiraan periode mendatang dan pengalamannya di masa lalu. Apabila terjadi peningkatan harga output suatu komoditas pertanian pada saat tertentu maka peningkatan itu tidak akan segera diikuti oleh peningkatan areal dan produktivitas karena keputusan alokasi sumber daya telah ditetapkan petani pada saat sebelumnya. Respon petani terjadi setelah beda kala (lag) sebagai dampak perubahan harga input, output, dan kebijakan pemerintah (Gujarati, 2004). Peubah beda kala (lagged variable) sering dimasukkan ke dalam model ekonometrik yang menduga respon pelaku ekonomi. Alasannya adalah respon dari pelaku ekonomi untuk merespon terhadap perubahan-perubahan peubah yang mempengaruhi mereka pada umumnya tidak dapat segera diwujudkan, karena diperlukan suatu penyesuaian terlebih dahulu. Dengan demikian, peubah lag dalam model merupakan salah satu cara untuk mempertimbangkan lamanya waktu proses penyesuaian dari perilaku ekonomi dan proses dinamis dari proses tersebut (Koutsoyiannis, 1977). Secara umum, model fungsi respon penawaran hasil-hasil pertanian dipengaruhi oleh tingkat penawaran periode sebelumnya, harga-harga input dan output periode sebelumnya serta faktor-faktor lain (Morzuch et al 1980 dalam Santika 2004).
45
2.5.2.4. Model Lag yang Didistribusikan Dalam Ilmu Ekonomi, ketergantungan suatu variabel Y atas variabel X jarang bersifat seketika (Firdaus, 2004). Sangat sering, Y beraksi terhadap X dengan suatu selang waktu atau setelah beberapa periode waktu. Selang waktu itu disebut lag. Ada tiga alasan utama terjadinya lag, yaitu : 1. Alasan Psikologis Alasan ini disebabkan oleh kekuatan kebiasaan (kelembaman). Contohnya, orang tidak mengubah kebiasaan konsumsi mereka dengan segera mengikuti penurunan harga atau peningkatan pendapatan, mungkin karena proses perubahan melibatkan suatu kehilangan kegunaan (disutility) yang cepat. 2. Alasan yang Bersifat Teknologi. Jika harga modal dibandingkan dengan tenaga kerja relatif menurun yang menyebabkan penggantian tenaga kerja secara ilmu ekonomi dimungkinkan. Tentu saja penambahan modal tersebut memerlukan waktu (persiapan). 3. Alasan Kelembagaan Misalkan kewajiban yang bersifat kontrak mungkin mencegah perusahaan untuk beralih dari satu sumber tenaga kerja atau bahan mentah yang lain. Untuk alasan-alasan tersebut di atas, lag menempati peranan pokok dalam ilmu ekonomi. Hal ini tercermin dalam konsep jangka pendek dan jangka panjang dalam ilmu ekonomi. Model autoregressive adalah suatu model jika dalam model regresi memasukkan satu atau lebih nilai masa lalu (lagged) dari variabel tidak bebas
46
diantara variabel yang menjelaskan. Dengan asumsi dasar bahwa variabel yang menjelaskan dalam model regresi bersifat stokastik. Model persamaan linier dapat dituliskan sebagai berikut : Yt = β1 + β2 Yt-1 + β3 Xt + Vt
(2.8)
Atau, Yt = β1 + (1 – λ) Yt-1 + β3 Xt + Vt
(2.9)
2.5.2.5. Model Nerlove Model merupakan suatu penjelas dari fenomena aktual sebagai suatu sistem atau proses. Salah satu model yang sering digunakan dalam menganalisis masalah ekonomi adalah model ekonometrika. Model ekonometrika adalah suatu model statistika yang menghubungkan peubah-peubah ekonomi dari suatu fenomena yang mencakup unsur stokastik. Unsur Stokastik ini biasanya diabaikan dalam model ekonomi lainnya yang pada umumnya mengasumsikan adanya hubungan-hubungan secara deterministik (Koutsoyiannis, 1977). Koutsoyiannis (1977) menyatakan bahwa kriteria suatu model yang terandalkan harus memenuhi tiga tolok ukur, yaitu : (1)
Memenuhi kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful),
(2)
Secara statistik dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria statistik yang sering digunakan adalah derajat ketepatan (goodness of fit) yang dikenal dengan koefisien determinasi (R2) serta nyata secara statistik (statistically significant).
47
(3)
Kriteria ekonometrika yang menetapkan apakah suatu taksiran memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, consistency, sufficiency, dan efficiency. Dari semua model ekonometrik yang digunakan untuk mengestimasi
respon penawaran produk pertanian dan perkebunan, model Nerlove adalah salah satu model yang paling sukses dan banyak digunakan serta terus diuji oleh banyak studi untuk memperbaiki model ini (Braulke, 1982). Model Nerlove adalah model dinamis yang menyatakan bahwa output adalah fungsi dari harga yang diharapkan, penyesuaian areal, dan beberapa variabel eksogen lainnya. Berdasarkan Gujarati (2004), sebuah model dikatakan dinamis jika nilai berikutnya dari variabel dependen dipengaruhi oleh nilai pada periode sebelumnya. Bentuk yang tereduksi (reduced form) dari model Nerlove akan berbentuk model autoregressive karena model tersebut memasukkan nilai lag dari variabel dependen diantara variabel-variabel penjelasnya. Model Nerlove menghipotesiskan reaksi petani atas dasar harga yang diinginkan dan penyesuaian parsial areal (produksi). Menurut Askari dan Cumings (1977), pada periode ke-t (A*t) tergantung pada peubah-peubah bebas X periode ke-t (Xt). Dalam hal ini, dimisalkan A*t adalah areal tanam kelapa sawit yang diinginkan, dan dipengaruhi oleh tingkat harga komoditas atau harga CPO pada periode ke-t (Pt) dan peubah bebas lainnya (Xt), maka persamaannya menjadi : A*t = a0 + a1 Pt + a2 Xt + ut
(2.10)
48
Luas areal yang diharapkan tidak dapat diamati secara langsung, sehingga untuk mengatasinya perlu didalilkan suatu hipotesis yang merupakan hipotesis perilaku penyesuaian parsial. Pada umumnya, luas tanam aktual At belum tentu sama besarnya dengan tingkat yang diinginkan A*t. Untuk melukiskan proses penyesuaian antara luas tanam aktual dan luas tanam yang diinginkan, Nerlove (1956) dalam Askari dan Cummings (1977) merumuskan hubungan matematis sebagai berikut : At – At-1 = d(A*t – At-1)
(2.11)
Atau dapat ditulis : At = dA*t + (1-d) At-1
(2.12)
Kemudian substitusikan persamaan (2.10) ke dalam persamaan (2.11) At = d(a0 + a1 Pt + a2 Xt + ut) + (1-d) At-1 = da0 + da1 Pt + da2 Xt+ (1-d) At-1 + (dut)
(2.13)
Sehingga reduced form-nya menjadi: At = b0 + b1 Pt + b2 Xt+ b3 At-1 + et
(2.14)
Dengan : At – At-1
= Perubahan luas areal aktual yang terjadi
Pt
= tingkat harga yang diharapkan pada waktu ke t
A*t – At-1
= Perubahan luas areal yang diinginkan
d
= Koefisien penyesuaian (adjusment coefficient)
Koefisien d bernilai 0 ≥ d ≥ 1 merupakan pengukur kecepatan penyesuaian areal aktual sebagai respon terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi areal tanam yang akan direncanakan. Jika d = 0, maka tidak ada perubahan apapun
49
dalam areal, jika d = 1 maka perubahan areal yang diinginkan sama dengan perubahan areal yang terjadi. Persamaan (2.13) dan (2.14) merupakan persamaan dengan model persamaan parsial Nerlove. Model tersebut menunjukan bahwa besarnya nilai peubah pada suatu periode luas areal (At) sebagian dipengaruhi oleh harga komoditas itu sendiri (Pt) dan sebagian dipengaruhi oleh cadangan hasil periode sebelumnya. Karena luas areal dan produktivitas secara bersama-sama menentukan produksi, maka model yang dipakai untuk menduga fungsi respon produktivitas sama dengan model yang dipakai untuk menduga luas areal panen.
2.6.
Kerangka Pemikiran Konseptual Secara umum, untuk menduga respon penawaran petani kelapa sawit di
Indonesia dapat didekati dengan menggunakan pendekatan perubahan produksi. Perubahan produksi kelapa sawit dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan bahwa produksi adalah hasil perkalian antara luas areal dan produktivitas. Untuk mengetahui besarnya perubahan produksi kelapa sawit, terlebih dahulu dilakukan identifikasi peubah-peubah eksogen dari luas areal dan produktivitas kelapa sawit. Namun, seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa baik komoditas pertanian maupun perkebunan memiliki respon beda kala (lag). Untuk itu, dalam masing-masing model baik model respon luas areal maupun model respon produktivitas, dimasukkan peubah lag dari masing-masing peubah endogennya.
50
Berdasarkan uraian di atas, analisis respon penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO akan dilakukan menggunakan model penyesuaian Nerlove. Model Nerlove terdiri dari dua model yaitu model respon luas areal dan model respon produktivitas. Setelah kedua model terbentuk, maka dapat diketahui besarnya respon areal dan produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan menjumlahkan besarnya respon luas areal dan respon produktivitas kelapa sawit, maka dapat diketahui besarnya respon penawaran kelapa sawit. Dengan demikian, perubahan produksi dari para petani kelapa sawit dipengaruhi oleh perubahan dari luas areal dan perubahan produktivitas yang pada akhirnya mempengaruhi penawaran kelapa sawit, sedangkan luas areal dan produktivitas sendiri dipengaruhi oleh berbagai hal. Dari hasil analisis ini, maka dapat diketahui prospek kelanjutan produksi kelapa sawit. Penulis membuat alur pemikiran yang digambarkan dalam Gambar 2.4 untuk mempermudah pelaksanaan penelitian.
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Konseptual
51
52
2.7.
PenelitianTerdahulu
2.7.1. Penelitian Mengenai CPO Susila (1995) melakukan penelitian tentang model ekonomi minyak sawit mentah dunia. Kesimpulan hasil penelitian bahwa respon jangka pendek produksi, konsumsi, ekspor, dan impor terhadap perubahan harga CPO dan harga minyak pesaing bersifat inelastis. Pada sisi lain respon harga CPO terhadap perubahan produksi dalam jangka pendek bersifat elastis dengan koefisien 1,4. Hasil simulasi dengan skenario baku menunjukan bahwa produksi, konsumsi, ekspor-impor CPO dunia meningkat masing-masing dengan laju 6,08 persen, 5,0 persen, dan 4,12 persen pertahun untuk periode 1995-2000. Penelitian tentang CPO dilakukan oleh Askadirimi (2007) yang menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan minyak sawit (CPO) Indonesia dengan metode Two-Stage Least Squares (2SLS). Hasil penelitian Askadarimi menunjukan bahwa produksi minyak sawit (CPO) Indonesia tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal kelapa sawit dan produktivitas minyak sawit Indonesia. Persamaan luas areal kelapa sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil CPO domestik, harga riil karet domestik, dummy kebijakan perluasan areal kelapa sawit, dan luas areal kelapa sawit Indonesia tahun sebelumnya. Pada persamaan produktivitas kelapa sawit Indonesia menunjukkan bahwa harga riil ekspor CPO, dummy kebijakan perluasan areal kelapa sawit, dan produktivitas CPO Indonesia tahun sebelumnya berpengaruh nyata, sedangkan harga riil CPO domestik dan harga riil pupuk domestik tidak berpengaruh secara nyata. Pengenaan pajak ekspor CPO untuk
53
pengamanan pasokan domestik mestinya hanya menjadi kebijakan jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang kebijakan dari sisi produksi akan lebih efektif. Penelitian tentang CPO juga dilakukan oleh Wardani (2008) yang menganalisa dampak kebijakan perdagangan di sektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng dalam negeri dengan menggunakan metode Two-Stage Least Squares (2SLS). Hasil penelitian Wardani menunjukkan bahwa model keterkaitan ekspor CPO dan pengaruh pajak ekspor CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit Indonesia menghasilkan lima persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil ekspor CPO, nilai tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik, dan populasi Indonesia. Sedangkan lag ekspor CPO Indonesia tidak berpengaruh secara nyata terhadap ekspor CPO Indonesia. Berdasarkan hasil yang diperoleh, upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah perlu adanya suatu kebijakan alternatif selain pajak ekspor sebagai komplemen untuk mengatasi kelemahan dari penerapan pajak ekspor.
2.7.2. Penelitian Mengenai Respon Penawaran Alias dan Tang (2005) menganalisis hubungan jangka panjang antara pasokan
minyak
kelapa
sawit
Malaysia
dan
variabel-variabel
yang
mempengaruhinya menggunakan analisis kointegrasi multivarian Johansen. Analisis supply response kelapa sawit Malaysia menggunakan data tahunan (series) produsen kelapa sawit dari 1967 sampai 2002. Error Correction Model digunakan untuk menganalisis supply response kelapa sawit dalam jangka pendek.
54
Variabel-variabel yang digunakan adalah expected price minyak kelapa sawit relatif terhadap harga karet (tanaman substitusi), pengeluaran pemerintah sebagai proxy untuk kebijakan pemerintah, trend waktu untuk mewakili trend teknologi, dan interest rate yang mewakili cost of borrowing pembukaan lahan baru. Studi ini menggunakan produksi minyak kelapa sawit (dalam ton) sebagai variabel proxy untuk output kelapa sawit, bukan produktivitas ataupun luas areal. Hasil yang diberikan menggambarkan rasio produksi ke daerah-daerah perkebunan (hektar), yang lebih tepat untuk mengukur dampak kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis. Menurut teori fungsi produksi, peningkatan produksi akan meningkatkan rata-rata dari hasil sawit. Variabel tingkat suku bunga menggambarkan proxy biaya pembiayaan tanam. Koefisien pendugaan diharapkan negatif. Ketika terjadi peningkatan biaya pinjaman akan berdampak pada menurunnya pembukaan areal baru diharapkan ada negatif dampak tanam. Expected price CPO dapat dimodelkan dengan beberapa cara : naïve model, simple lagged model, dan model rational lag lainnya. Studi ini menggunakan naïve model dalam menentukan expected price komoditinya pada periode ke-t. Koefisien pada setiap variabel dengan tanda positif atau negatif (+/-) diharapkan menunjukkan hubungan antar variabel yang diharapkan. Leaver (2004) menganalisis elastisitas harga dari penawaran tembakau di Zimbabwe menggunakan model Nerlove yang diadaptasi. Variabel yang digunakan adalah produksi (ton), harga riil tembakau, produksi pada periode tahun sebelumnya, trend waktu sebagai proksi agro-teknologi, variabel dummy curah hujan, dan kuota penjualan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas
55
jangka pendek bernilai 0,34 dan elastisitas jangka panjang bernilai 0,81. Hasil ini menggambarkan bahwa para petani tembakau di Zimbabwe tidak responsive terhadap perubahan harga yang terjadi. Purwandari (2006) dalam Analisis Respon Penawaran Kelapa di Pulau Jawa menggunakan model distribusi beda kala penyesuaian Nerlove dengan persamaan tunggal regresi berganda. Peubah bebas yang digunakan untuk respon areal kelapa yaitu luas areal kelapa (t-1), harga kopra, harga padi, dan harga kacang hijau sedangkan untuk respon produktivitas adalah produktivitas (t-1) harga kopra, harga kacang hijau, harga jagung, harga padi, dan harga kacang tanah. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan deret waktu (time series) selama 20 tahun yaitu dari tahun 1984 sampai dengan tahun 2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap respon areal kelapa di Pulau Jawa adalah harga riil kopra tahun sebelumnya, harga riil padi tahun sebelumnya, dan harga riil kacang hijau tahun sebelumnya. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap respon produktivitas adalah variabel produktivitas kelapa tahun sebelumnya. Hasil dari respon areal dan respon produktivitas kelapa di Pulau Jawa bertanda negatif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sehingga respon penawaran kelapa di Pulau Jawa pada jangka pendek dan jangka panjang bertanda negatif.
56
2.8.
Hipotesis Penelitian Mengacu pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dalam
penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut : 1. Respon Luas Areal Diduga bahwa luas areal periode sebelumnya, harga CPO periode sebelumnya, dummy kebijakan inti plasma, dan dummy perkebunan swasta berpengaruh positif, sedangkan harga karet alam periode sebelumnya, tingkat suku bunga modal kerja, dan dummy krisis ekonomi berpengaruh negatif. 2. Respon Produktivitas Diduga bahwa produktivitas periode sebelumnya, harga CPO periode sebelumnya, dummy kebijakan inti plasma, dan dummy perkebunan swasta berpengaruh positif, sedangkan harga pupuk urea, harga pupuk sp36, upah tenaga kerja di sektor industri, dan harga pestisida serta dummy krisis ekonomi berpengaruh negatif.
57
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
dengan deret waktu (time series) selama 38 tahun, yaitu dari tahun 1969-2006. Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik Jakarta, Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Indonesian Palm Oil Comission Board (IPOC), Indonesian Palm Oil Research Institute (IOPRI), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan Bogor, dan jurnal-jurnal ekonomi serta instansi-instansi lain terkait dengan penelitian yang telah dilakukan. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah luas areal tanam kelapa sawit, produktivitas kelapa sawit, harga CPO, harga karet alam, upah tenaga kerja, harga pupuk urea, harga pupuk sp-36, suku bunga modal kerja, harga pestisida, dummy kebijakan inti plasma, dummy perkebunan swasta, dan dummy krisis ekonomi. Semua data harga yang masuk ke dalam model dideflasi dengan ratarata indeks umum harga yang diterima dan dibayarkan petani setiap tahunnya.
3.2.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode
kuantitatif. Untuk gambaran perkembangan CPO di Indonesia dan pembahasan hasil pengolahan data, dilakukan analisis secara deskriptif. Metode kuantitatif
58
dengan pendekatan Model Penyesuaian Parsial Nerlove dengan persamaan tunggal regresi berganda. Adapun fungsi yang digunakan adalah fungsi Double-log atau Logaritma natural ganda (ln). Fungsi Ln banyak digunakan dalam studi-studi respon penawaran
terdahulu
karena
hasil
koefisien
yang
dihasilkan
langsung
mengestimasi pada nilai elastisitas. Pendugaan model tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik estimasi Ordinary Least Square (OLS) dengan program Microsoft Excel 2007 dan Eviews 5.1.
3.3.
Spesifikasi Model Analisis Pada penelitian Leaver (2004) dan Alias dan Tang (2005), output yang
digunakan dalam model estimasi adalah jumlah produksi (ton). Namun dalam penelitian ini, pembentukan model estimasi respon penawaran diperoleh secara tidak langsung melalui respon luas areal dan respon produktivitas. Oleh karena itu, pengukuran respon penawaran menggunakan dua pendekatan respon, yaitu respon luas areal dan respon produktivitas. Alasannya adalah penggunaan luas areal tanam dan produktivitas sebagai variabel tidak bebas dapat dengan mudah ditentukan atau dikontrol oleh para petani (Askari dan Cummings, 1977). Selanjutnya, keputusan petani dalam menentukan luas areal tanam dan produktivitas merupakan refleksi langsung dari respon dari respon petani terhadap perubahan harga (Askari dan Cummings, 1977). Model respon luas areal dan produktivitas terdiri atas peubah bebas (eksogen) dan peubah tak bebas (endogen).
59
Adapun yang menjadi peubah tak bebas adalah luas areal (A) dan produktivitas (PRODV).
3.3.1. Model Respon Luas Areal Variabel-variabel yang dimasukan ke dalam model respon luas areal kelapa sawit antara lain luas areal kelapa sawit (t-1) karena dalam penelitian respon penawaran dilakukan secara tidak langsung melalui areal (t-1), harga CPO, harga karet alam, tingkat suku bunga modal kerja, dummy kebijakan inti plasma, dummy perkebunan swasta, dan dummy krisis ekonomi. Variabel harga CPO menggambarkan tingkat kesejahteraan petani kelapa sawit karena mereka memperoleh manfaat dari hasil menjual buah kelapa sawit kepada pabrik pengolah CPO dan juga sebagai indikator dari respon penawaran dari petani dalam jangka pendek dan jangka panjang (IPOC, 2007). Koefisien pendugaan diharapkan bertanda positif sehingga bila terjadi peningkatan harga CPO akan diikuti dengan peningkatan output yaitu luas areal. Variabel harga karet alam menggambarkan kondisi persaingan antara kelapa sawit dan karet alam dalam pengadaan luas areal karena menurut IOPRI (2008), persaingan yang terjadi diantara dua komoditi tersebut sangat kuat. Karet alam dan kelapa sawit merupakan komoditas andalan ekspor Indonesia. Secara agroklimat, kelapa sawit dan karet memiliki kesamaan dalam kebutuhan akan cuaca dan kondisi tanah dalam produktivitasnya. Koefisien pendugaan diharapkan bertanda negatif.
60
Tingkat suku bunga modal kerja adalah variabel yang menggambarkan proksi pembiayaan tanaman sehingga ketika terjadi peningkatan biaya pinjaman maka akan berdampak pada menurunnya pembukaan areal baru dan penawaran kelapa sawit pada periode berikutnya (Alias dan Tang, 2005). Koefisien dugaan diharapkan bertanda negatif sehingga ketika terjadi kenaikan suku bunga dalam peminjaman modal akan berdampak negatif terhadap pembukaan lahan baru. Model Respon Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia : At
= a0 + a1 At-1 +a2 HCPOt-1 + a3 HKRTt-1 + a4 TKSBt-1 + a5 DKRISt-1 + a6 DKEPRESt-1 + a7 DPBNSt-1 +et
(3.1)
Jika ditransformasikan ke dalam persamaan logaritma natural ganda (ln-ln) maka persamaannya menjadi : LnAt = a0 + a1 lnAt-1 +a2 lnHCPOt-1 + a3 lnHKRTt-1 + a4 TKSBt-1 + a5 DKRISt-1 + a6 DKEPRESt-1 + a7 DPBNSt-1 + et
(3.2)
Dengan : A
= Luas Areal Panen (Ha)
HCPO
= Harga CPO (Rp/Kg)
HKRT
= Harga Karet Alam (Rp/Kg)
TKSB
= Tingkat Suku Bunga Modal Kerja (%)
DKRIS
= Dummy Krisis Ekonomi (D1 = 0 untuk tahun 1969-1996 dan D1 = 1 untuk tahun 1997-2006)
DKEPRES
= Dummy Kebijakan Inti Plasma Kelapa sawit (D2 = 0 untuk tahun 1969-1985 dan D2 = 1 untuk 1986-2006)
61
DPBNS
= Dummy Perkebunan Swasta (D3 = 0 untuk tahun 1969-1979 dan D3 = 1 untuk tahun 1980-2006)
a0
= Konstanta Persamaan Regresi
a1, a2, …, a7
= Penduga Parameter
t-1
= Tahun Sebelumnya
t
= Rangkaian Tahun
e
= Galat
Tanda parameter dugaan yang diharapkan : a1, a2, a6, a7 > 0 ; a3, a4, a5, < 0
3.3.2. Model Respon Produktivitas Variabel-variabel yang dimasukan ke dalam model respon produktivitas antara lain produktivitas kelapa sawit tahun sebelumnya (t-1), harga CPO, harga pupuk urea dan harga pupuk sp-36 karena berdasarkan data dari Subdirektorat Pupuk Departemen Pertanian (2009) rasio kebutuhan subsidi pupuk kelapa sawit antara pupuk urea dan sp-36 adalah disekitar enam berbanding lima, harga pestisida, upah tenaga kerja di sektor industri sebagai proksi dari pendapatan yang diterima petani dari menjual buah kelapa sawit kepada pabrik pengolah CPO3, dummy kebijakan inti plasma, dummy perkebunan swasta, dan dummy krisis ekonomi.
3
Effendi Arianto. Perilaku Harga Minyak Sawit. 2008. http://strategika.wordpress.com/
62
Model Respon Produktivitas Indonesia : PRODVt
= b0 + b1 PRODVt-1 + b2 HCPOt + b3 HFUt + b4 HFSPt + b5 UTKt + b6 HPESTt + b7 DKRISt + b8 DKEPRESt + b9 DPBNSt + et
(3.3)
Jika ditransformasikan ke dalam persamaan logaritma natural ganda (ln-ln) maka persamaannya menjadi : LnPRODVt = b0 + b1 lnPRODVt-1 + b2 lnHCPOt + b3 lnHFUt + b4 lnHFSPt + b5 lnUTKt + b6 lnHPESTt + b7 DKRISt + b8 DKEPRESt + b9 DPBNSt + et
(3.4)
Dengan : PRODV
= Produktivitas Kelapa Sawit (Ton/Ha)
HCPO
= Harga CPO (Rp/Kg)
HFSP
= Harga Pupuk SP-36 (Rp/Kg)
HFU
= Harga Pupuk Urea (Rp/Kg)
UTK
= Upah Tenaga Kerja di Sektor Industri (Rp/HOK)
HPEST
= Harga Pestisida (Rp/Kg)
DKRIS
= Dummy Krisis Ekonomi (D1 = 0 untuk tahun 1969-1996 dan D1 = 1 untuk tahun 1997-2006)
DKEPRES
= Dummy Kebijakan Inti Plasma Kelapa sawit (D2 = 0 untuk tahun 1969-1985 dan D2 = 1 untuk 1986-2006)
DPBNS
= Dummy Perkebunan Swasta (D3 = 0 untuk tahun 1969-1979 dan D3 = 1 untuk tahun 1980-2006)
63
b0
= Konstanta Persamaan Regresi
b1, b2, …, b9
= Penduga Parameter
t
= Rangkaian Tahun
t-1
= Tahun Sebelumnya
e
= Galat
Tanda parameter dugaan yang diharapkan : b1, b2, b8, b9, > 0 ; b3, b4, b5, b6, b7 <0
3.3.3. Spesifikasi Variabel Menurut Askari dan Cummings (1977), terdapat beberapa catatan penting dalam menentukan model respon penawaran secara empirik. Ada beberapa permasalahan yang dihadapi ketika model seperti ini digunakan untuk tanaman tahunan seperti kelapa sawit yang mengakibatkan timbulnya modifikasi dari variabel-variabel yang digunakan. Apapun ukuran output yang digunakan, adalah masuk akal bahwa tingkat keluaran yang diinginkan adalah fungsi dari harga yang diharapkan. Penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan model Nerlove menyertakan lebih dari satu pengertian tentang formulasi harga terhadap analisis supply response selama beberapa tahun. Mengingat pentingnya variabel harga dalam studi respon penawaran, muncul pertanyaan variabel harga apa yang harus digunakan dalam model. Askari dan Cummings (1977) menjelaskan bahwa peubah harga yang sering digunakan pada penelitian tanaman tahunan adalah :
64
1. Harga yang diterima petani (harga nominal), 2. Harga yang diterima petani dideflasi dengan suatu indeks harga konsumen, 3. Harga yang diterima petani dideflasi dengan indeks harga input, 4. Harga yang diterima petani dideflasi dengan indeks harga komoditas relatif, Sebelum menentukan deflator apa yang akan digunakan, sangat memungkinkan bahwa tidak ada satupun dari jenis harga yang telah disebutkan di atas digunakan dalam penelitian. Oleh karena itu, akan menjadi sangat penting untuk mengasumsikan motif petani dalam meningkatkan produksinya terlebih dahulu. Beberapa asumsi yang memungkinkan adalah : 1. Petani ingin meningkatkan produksinya untuk menaikkan tingkat konsumsi komoditas yang dibudidayakan, 2. Petani ingin meningkatkan produksinya untuk mempertahankan tingkat konsumsi atas komoditas tersebut seiring dengan meningkatnya harga input, 3. Petani ingin meningkatkan produksinya untuk menaikkan tingkat konsumsi terhadap barang-barang lain, 4. Petani ingin meningkatkan produksinya untuk mempertahankan tingkat konsumsi terhadap barang-barang lain jika harga barang lain tersebut naik. Jika output berubah karena asumsi yang kedua, maka digunakan harga yang dideflasi oleh indeks harga input. Jika petani termotivasi atas alasan ketiga dan keempat, maka digunakan harga yang dideflasi oleh indeks harga konsumen. Jika petani menggunakan alasan yang pertama, maka tidak ada satu pun jenis
65
harga yang relevan untuk digunakan. Sama halnya jika digunakan harga relatif. Sebagai contoh, jika harga relatif beras terhadap gandum meningkat sementara harga lainnya konstan, maka terjadi peningkatan pada produksi beras. Begitu juga bila harga lainnya meningkat maka akan terjadi respon yang berbeda pula. Menurut Mamingi (1997), salah satu faktor penting dalam menentukan spesifikasi harga adalah memilih deflator yang relevan. Penggunaan harga nominal tidak akan relevan jika inflasi yang terjadi cukup tinggi, karena petani lebih tertarik pada daya beli aktual mereka dan hal ini justru akan merespon pada perubahan harga riil dan bukan harga nominal. Pemilihan spesifikasi harga dan deflator yang tepat harus relevan kepada keputusan para petani. Dalam menganalisis respon penawaran di negara berkembang seperti Indonesia, pemilihan deflator terkendala pada ketersediaan data. Dalam penelitian ini, variabel harga tanaman tumpang sari kelapa sawit yaitu kacang kedelai baik dalam model respon luas areal ataupun model respon produktivitas tidak dimasukkan karena tanaman ini hanya ditanam selama masa tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan (0-3 tahun) dan juga kendala terbatasnya data membuat proses estimasi menjadi tidak memungkinkan. Walaupun memang menambah income para petani dan pertumbuhan kelapa sawit tidak terganggu oleh pola tumpang sari tersebut, namun tidak cukup representatif dalam mempengaruhi keputusan petani dalam merespon luas areal ataupun merespon produktivitas kelapa sawitnya pada tahun berikutnya. Hal ini juga dikarenakan rasio benefit/cost yang besar justru diperoleh dari tanaman kacang kedelai yang ditanam dengan sistem olah tanah reguler (IOPRI, 2009).
66
Tidak dimasukkannya juga variabel curah hujan karena digunakan untuk daerah yang lebih spesifik dan distribusinya tidak merata. Berdasarkan Lampiran 5, mayoritas tanaman kelapa sawit dihasilkan di Pulau Sumatera, Riau, Kalimantan, dan Sulawesi. Karena lingkup penelitian ini adalah respon penawaran kelapa sawit di Indonesia, maka data curah hujan yang dibutuhkan adalah curah hujan Indonesia dan ini akan menghasilkan error yang cukup tinggi walaupun sebenarnya kelapa sawit termasuk tanaman yang membutuhkan kadar air yang cukup banyak dan curah hujan itu sendiri mampu menambah kandungan hara tanah (Susila, 2006). Adanya tenggang waktu antara menanam dan pertama kali memanen (gestation period) kelapa sawit adalah sekitar tiga tahun dan luas areal yang didefinisikan dalam penelitian ini adalah luas areal tanam, maka pada model luas areal dan produktivitas dimasukkan peubah lag (beda kala) dengan panjang lag sebesar satu tahun (t-1).
3.3.4. Model Respon Penawaran Berdasarkan respon areal dan produktivitas, respon penawaran jangka pendek dan jangka panjang dapat diduga. Respon atau pengaruhnya tersebut dapat dilihat melalui elastisitas responnya yang sesuai dengan persamaan (2.6), yaitu :
Respon penawaran kelapa sawit terhadap harga sendiri ( ) dapat diduga secara tidak langsung dengan menduga respon luas areal terhadap harga sendiri ( ) dan respon produktivitas terhadap harga sendiri ( ). Nilai elastisitas
67
jangka pendek dapat diketahui secara langsung dari besaran koefisien regresi karena model menggunakan fungsi ln-ln. Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang dapat diduga dari nilai elastisitas jangka pendek pada model beda kala (Koutsoyiannis, 1977) Elastisitas respon luas areal panen dan produktivitas dari fungsi linier berganda dapat dihitung sebagai berikut : 1. Elastisitas Respon Areal
! "
#$%& !
(3.5)
'() *
2. Elastisitas Respon Produktivitas
! "
#$%& !
'() *
Dengan : ESR
= Elastisitas jangka pendek
ELR
= Elastisitas jangka panjang
A
= Luas Areal
Y
= Produktivitas
Xi
= Peubah bebas ke i
d
= Koefisien penyesuaian (adjustment coefficient)
+,%$
= Koefisien peubah lag endogen
(3.6)
68
3.4.
Pengujian Model dan Hipotesis
3.4.1. Uji Kesesuaian Model Model yang dianalisis membutuhkan pengujian terhadap hipotesishipotesis yang dilakukan. Pengujian hipotesis secara statistik bertujuan untuk mengetahui nyata tidaknya suatu variabel yang dipilih terhadap variabel-variabel yang diteliti. Koefisien determinasi (R2) adjusted digunakan untuk mengukur keragaman peubah endogen yang dapat diterangkan oleh peubah eksogen. Semakin besar nilai R2 adjusted, maka semakin layak suatu regresi untuk dijadikan alat peramal.Untuk menghitung koefisien determinasi dapat dilakukan dengan rumus :
-
./0123 4/252 567/21 ./0123 4/252 8921
Uji simultan (Uji-F) digunakan untuk menguji secara bersama-sama apakah peubah-peubah eksogen dapat menjelaskan variasi peubah endogen. Mekanisme yang digunakan untuk mengkaji hipotesis tersebut adalah sebagai berikut : H0 = b1 = b2 = b3 = … = bi = 0 (tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan) H1 = b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ … ≠ bi ≠ 0 (paling sedikit ada satu variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap variabel endogen)
69
Statistik uji yang digunakan dalam uji-F :
:;<,=>?
@@/#A B 1* @@/#D B A*
Dengan : SSR
= Jumlah kuadrat regresi
SSE
= Jumlah kuadrat sisa
k
= Jumlah parameter
n
= Jumlah pengamatan (sampel) Kemudian dilakukan pengujian di mana Fhitung dari hasil analisis
dibandingkan dengan Ftabel. Jika Fhitung > Ftabel, maka tolak H0 yang berarti minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel endogen. Sedangkan jika Fhitung < Ftabel, maka terima H0 yang berarti secara bersama-sama variabel yang digunakan tidak dapat menjelaskan secara nyata keragaman dari variabel endogen.
3.4.2. Pengujian Hipotesis Untuk melakukan pengujian secara statistik terhadap masing-masing peubah eksogen yang dipilih berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, digunakan uji statistik t. mekanisme yang digunakan dalam menguji hipotesis masing-masing peubah penjelas adalah sebagai berikut :
70
Hipotesis : H 0 : bi = 0 (Perubahan suatu variabel eksogen secara individu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen) H 1 : bi ≠ 0 (Perubahan suatu variabel eksogen secara individu berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen) Statistik uji yang digunakan dalam uji t, yaitu : thitung = bi / S(bi) Dengan : bi
= Koefisien parameter dugaan
S(bi)
= Standar deviasi parameter dugaan
Kriteria uji : thitung < ttabel : terima H0 thitung > ttabel : tolak H0 Semakin banyak H0 yang ditolak, maka suatu model yang digunakan akan semakin baik untuk dijadikan model pendugaan persamaan fungsi Nerlove.
3.4.3. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu dan ruang. Dengan kata lain, autokorelasi adalah korelasi yang terjadi pada data itu sendiri dalam suatu urutan waktu. Analisis
71
regresi dilakukan untuk melihat pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat karena tidak diperkenankan terjadi korelasi antara observasi dengan data observasi sebelumnya. Persamaan regresi klasik mengasumsikan bahwa masalah autokorelasi tidak terdeteksi dalam galat (ui) yang dapat dituliskan sebagai berikut (Gujarati, 2004) : E(uiuj) = 0
i≠j
Jika dalam persamaan regresi terdapat autokorelasi maka dapat dituliskan sebagai berikut : E(uiuj) ≠ 0
i≠j
Autokorelasi dapat berupa autokorelasi positif dan negatif, meskipun pada umumnya lebih sering ditemukan masalah autokorelasi positif pada data time series karena pergerakan galat dari data tersebut baik ke atas ataupun ke bawah mengikuti panjangnya waktu. Masalah autokorelasi dapat diketahui dengan menggunakan uji BreuschGodfrey Serial Correlation LM Test. Apabila nilai probabilitas Obs*R-squarednya lebih besar dari taraf nyata tertentu, maka persamaan itu tidak mengalami autokorelasi. Bila nilai Obs*R-squared-nya lebih kecil dari taraf nyata tertentu, maka persamaan itu mengalami autokorelasi.
3.4.4. Uji Multikolinieritas Multikolinearitas mengacu pada kondisi di mana terdapat korelasi linear di antara variabel bebas sebuah model. Jika dalam suatu model terdapat multikolinear akan menyebabkan nilai R2 yang tinggi dan lebih banyak variabel
72
bebas yang tidak signifikan daripada variable bebas yang signifikan atau bahkan tidak ada satupun. Masalah multikolinearitas dapat dilihat melalui correlation matrix, di mana batas tidak terjadi korelasi sesame variabel yaitu dengan uji Akar Unit sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari |0.80| (Gujarati, 2004). Melalui correlation matrix ini dapat pula digunakan Uji Klein dalam mendeteksi multikolinearitas. Apabila terdapat nilai korelasi yang lebih dari
|0.80|, maka menurut uji Klein multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi nilai R-squared (Adj) atau R2-nya. Selain Uji Klein, uji multikolinieritas juga bisa dideteksi dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF). Batas nilai VIF adalah 10 di mana adanya kolinieritas ditunjukan oleh nilai VIF yang lebih besar dari 10. Adapun rumus untuk mendapatkan VIF yaitu :
HI:
1 #1 B - *
Dengan R2 = koefisien determinasi ganda Dalam bidang ekonomi, hampir tidak mungkin terdapat variabel yang tidak berhubungan satu sama lain. Oleh karena itu disarankan untuk memakai uji Klein atau VIF.
3.4.5.
Uji Heteroskedastisitas Kondisi heteroskedastisitas merupakan kondisi yang melanggar asumsi
dari regresi linear klasik. Heteroskedastisitas menunjukkan nilai varian dari variabel bebas yang berbeda, sedangkan asumsi yang dipenuhi dalam linear klasik adalah mempunyai varian yang sama (konstan)/homoskedastisitas. Dengan kata
73
lain, uji heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi liner kesalahan pengganggu (e) mempunyai varians yang sama atau tidak dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroscedasticity Test (Gujarati, 2004). Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probabilitas Obs*R-squared-nya. Apabila nilai probabilitas Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata tertentu, maka persamaan itu tidak mengalami heteroskedastisitas. Bila nilai Obs*R-squared-nya lebih kecil dari taraf nyata tertentu, maka persamaan itu mengalami heteroskedastisitas.
3.4.6. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30. Uji ini berguna untuk melihat error term apakah terdistribusi secara normal. Uji ini disebut uji Jarque-Bera test. Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probability Jarque-Bera Test. H0 : error term terdistribusi normal H1 : error term tidak terdistribusi normal Kriteria uji : Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0
74
Jika terima H0, maka persamaan tersebut tidak memiliki error term terdistribusi normal dan sebaliknya, jika tolak H0 (terima H1) maka persamaan tersebut memiliki error term yang terdistribusi normal.
3.4.7. Pengukuran Elastisitas Mengukur dan menjelaskan hingga seberapa jauh reaksi perubahan harga dan variabel-variabel lainnya, digunakan konsep yang disebut elastisitas (Lipsey, 1995). Secara umum nilai elastisitas dalam jangka pendek (short run) dapat dirumuskan sebagai berikut : Esr(Yt Xt) = bi * Xt/Yt Dengan : Esr(Yt Xt)
= Elastisitas jangka pendek peubah endogen terhadap peubahpeubah eksogen.
bi
= Koefisien dugaan dari peubah eksogen
Xt
= Rataan peubah-peubah eksogen
Yt
= Rataan peubah-peubah endogen Kriteria uji sebagai berikut : 1. Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E>1), dikatakan elastis (responsive) karena perubahan satu persen variabel eksogen mengakibatkan perubahan variabel endogen lebih dari satu persen.
75
2. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0<E<1), dikatakan inelastis (non responsive), karena perubahan satu persen variabel eksogen akan mengakibatkan perubahan variabel endogen kurang dari satu persen. 3. Jika nilai elastisitas sama dengan nol (E=0), maka dikatakan inelastis sempurna. 4. Jika nilai elastisitas tak hingga (E=∞), maka dikatakan elastis sempurna. 5. Jika nilai elastisitas sama dengan satu (E=1), maka dikatakan unitary elastis.
3.5.
Definisi Operasional
1. Luas Areal (A) adalah seluruh luas areal kelapa sawit di seluruh propinsi di Indonesia dalam satuan hektar. 2. Produktivitas (PRODV) adalah jumlah rata-rata produksi kelapa sawit Indonesia per satuan luas areal kelapa, diukur dalam satuan ton per hektar. 3. Minyak sawit (Crude Palm Oil, CPO) merupakan hasil olahan dari tandan buah segar kelapa sawit yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit 4. Indeks
Harga
Konsumen
(IHK)
adalah
angka
indeks
yang
menggambarkan besarnya perubahan harga pada tingkat konsumen dari komoditi yang dikonsumsi suatu negara. 5. Harga CPO (HCPO) adalah harga rata-rata CPO domestik setelah dideflasi (2000 = 100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per Kilogram.
76
6. Upah tenaga kerja di sektor industri (UTK) adalah upah tenaga kerja di sektor industri setelah dideflasi (2000 = 100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per HOK. 7. Harga pupuk urea (HFU) adalah harga rata-rata pupuk urea setelah dideflasi (2000 = 100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per Kilogram. 8. Harga pupuk SP-36 (HFSP) merupakan harga pupuk SP-36 setelah dideflasi (2000 = 100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per Kilogram. 9. Harga karet alam (HKRT) merupakan harga rata-rata karet alam Indonesia setelah dideflasi (2000 = 100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per Kilogram. 10. Harga pestisida (HPEST) adalah harga rata-rata pestisida setelah dideflasi (2000 = 100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per Kilogram. 11. Tingkat suku bunga modal kerja (TKSB) adalah tingkat suku bunga modal petani dikurangi dengan inflasi dan dinyatakan dalam satuan persen.
77
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Estimasi Parameter Model Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, pendugaan dan
pengujian model ekonomi dengan kriteria statistik menunjukkan hasil yang memuaskan karena sebagian besar parameter memberikan tanda yang sesuai dengan teori dan hipotesis. Masalah autokorelasi tidak ditemukan dalam persamaan karena dapat dilihat pada uji autokorelasi yang menyajikan nilai Godfrey Serial Correlation LM Test. Nilai Godfrey Serial Correlation LM Test yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan menunjukkan tidak terdapat masalah autokorelasi dalam persamaan. Masalah heteroskedastisitas juga tidak ditemukan dalam persamaan karena nilai White Heteroskedasticity Test lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan yaitu 15 persen, begitu juga dengan uji normalitas pada setiap model persamaan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada pembahasan dibawah ini.
4.1.1 Respon Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Variabel-variabel eksogen yang digunakan dalam respon luas areal kelapa sawit antara lain luas areal kelapa sawit lag 1 tahun sebelumnya, harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil, CPO) periode sebelumnya, harga karet alam periode sebelumnya, tingkat suku bunga modal kerja periode sebelumnya, dummy kebijakan inti plasma, dummy perkebunan swasta, dan dummy krisis ekonomi.
78
Hasil pendugaan parameter persamaan luas areal kelapa dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia Variabel Koefisien Prob. Konstanta 0,1360 0,9152 Luas Areal (t-1) 0,8952 0,0000* Harga CPO (t-1) 0,0261 0,0331** Harga Karet Alam (t-1) -0,1716 0,1443**** Tingkat Suku Bunga Modal Kerja (t-1) -0,0290 0,3772 Dummy Krisis Ekonomi (t-1) 0,0056 0,9445 Dummy Kebijakan Inti Plasma (t-1) 0,0367 0.7496 Dummy Perkebunan Swasta (t-1) 0.0720 0,3965 Adjusted R-sq 0,9939 F-Statistik 794,2155 Sumber Keterangan
: Lampiran 2 dan 3 :* : Nyata pada taraf α = 1% ** : Nyata pada taraf α = 5% *** : Nyata pada taraf α = 10% **** : Nyata pada taraf α = 15%
Berdasarkan Tabel 4.1, nilai koefisien penyesuaian determinasi pada persamaan respon luas areal sebesar 0,9939. Ini menunjukkan bahwa persamaan respon luas areal dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut sebesar 99,39 persen dan sisanya sebesar 0,61 persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat di luar model. Berdasarkan Lampiran 3, nilai Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test sebesar 0,3576 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. White Heteroskedasiticity Test menunjukkan nilai 0,4333 yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 menunjukkan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Nilai VIF menunjukan bahwa masing-masing variabel eksogen dalam model respon luas areal memiliki nilai
79
VIF dibawah 10 (Lampiran 2). Dengan demikian, model terbebas dari masalah multikolinieritas. Hasil pendugaan model respon luas areal secara nasional berdasarkan model penyesuaian Nerlove disajikan pada Tabel 4.1. Hasil uji statistik-t menunjukkan bahwa perkembangan areal panen sangat dipengaruhi oleh lag areal panen, harga CPO, dan harga karet alam. Koefisien dugaan dari lag luas areal bertanda positif dan signifikan pada taraf 1 persen menggambarkan bahwa peningkatan lag luas areal tahun sebelumnya akan diikuti dengan kenaikan luas areal pada tahun berikutnya. Koefisien dugaan dari harga CPO juga bertanda positif dan nyata pada taraf 5 persen mengindikasikan bahwa kenaikan harga CPO pada tahun sebelumnya akan diikuti dengan peningkatan luas areal pada tahun selanjutnya. Koefisien harga karet alam bertanda negatif menggambarkan dampak peningkatan harga karet alam pada periode sebelumnya akan diikuti oleh penurunan luas areal kelapa sawit pada periode selanjutnya. Tanaman karet merupakan kompetitor utama dalam pemanfaatan lahan di seluruh Indonesia sehingga ketika terjadi kenaikan harga secara umum dan dengan asumsi petani akan menanam komoditi yang menguntungkan, maka petani akan mengurangi lahan kelapa sawitnya dan memperbanyak menanam tanaman karet pada periode berikutnya karena tanaman karet memberikan keuntungan yang lebih besar. Variabel tingkat suku bunga modal kerja memiliki koefisien sebesar 0,0290 dan tidak nyata hingga taraf 15 persen. Koefisien dugaan bertanda negatif dan sesuai dengan parameter yang diharapkan. Tingkat suku bunga modal kerja
80
adalah variabel yang menggambarkan proksi pembiayaan tanaman sehingga ketika terjadi peningkatan biaya pinjaman maka akan berdampak pada menurunnya pembukaan areal baru dan penawaran kelapa sawit pada periode berikutnya. Dengan kata lain, biaya pembebasan areal lahan baru yang rendah akan memotivasi para petani untuk menanam kembali pohon kelapa sawit mereka yang telah memasuki usia tua atau mensubstitusi tanaman karet dengan tanaman kelapa sawit dalam persaingan luas areal. Namun hal ini menjadi tidak nyata karena dukungan kebijakan moneter tidak berpengaruh secara nyata dari pemerintah ke sektor perkebunan. Faktor ini juga dapat menggambarkan opprtunity cost petani dalam menyimpan uang tunai. Dalam menyimpan uang tunai, para petani harus memutuskan apakah uang tersebut disimpan atau diinvestasikan. Jika tingkat suku bunga modal kerja lebih tinggi dari tingkat return of production kelapa sawit, maka para petani tidak akan memilih meningkatkan produksinya dengan menanam kembali kelapa sawit secara intensif atau membeli lahan baru untuk menanam kembali kelapa sawitnya (Alias dan Tang, 2005). Begitu juga dengan dummy krisis ekonomi Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap luas areal hingga taraf 15 persen dengan koefisien dugaan bertanda positif dan tidak sesuai dengan parameter yang diharapkan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sekitar tahun 1997 sama sekali tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan petani kelapa sawit dalam menentukan luas arealnya pada periode selanjutnya. Sektor pertanian memiliki ketahanan yang cukup tinggi terhadap krisis ekonomi. Menurut IOPRI (2008), salah satu faktor penyebabnya
81
adalah bahan baku yang digunakan dalam proses produksi pada sektor ini sebagian besar merupakan bahan baku lokal, bukan impor. Sehingga ketika banyak perusahaan yang collapse akibat krisis tahun 1997 justru sektor pertanianlah yang mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga dapat menyelamatkan pemerintah dan negara dari kebangkrutan. Menurut Susila (2006), pengembangan industri CPO Malaysia sangat didukung oleh pemerintah Malaysia. Hal ini terbukti dengan adanya landasan hukum yang kuat dan diimplementasikan dalam bentuk kebijakan yang efektif yang dilaksanakan oleh keterpaduan lembaga-lembaga yang mengelola kelapa sawit di Malaysia. Untuk Indonesia, dukungan kebijakan industri kelapa sawit tidak sesolid di Malaysia. Hal ini ditunjukan oleh nilai dummy kebijakan inti plasma yang tidak nyata hingga taraf 15 persen sehingga diperlukan koordinasi antara kelembagaan kelapa sawit dan pemerintah dalam membentuk suatu kebijakan yang baik.
4.1.2 Respon Produktivitas Kelapa Sawit Indonesia Variabel-variabel eksogen
yang
digunakan
dalam
model
respon
produktivitas kelapa sawit adalah produktivitas kelapa sawit lag 1 tahun sebelumnya, harga CPO periode sebelumnya, dan harga-harga input yang berkaitan dengan produktivitas kelapa sawit yang dalam hal ini adalah harga pupuk urea periode sebelumnya, harga pupuk SP-36 periode sebelumnya, harga pestisida periode sebelumnya, dummy kebijakan inti plasma, dummy perkebunan
82
swasta, dan dummy krisis ekonomi. Hasil pendugaan parameter persamaan respon produktivitas dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Hasil Estimasi Parameter Produktivitas Kelapa Sawit di Indonesia Variabel Koefisien Prob. Konstanta 0,5974 0,6411 Produktivitas (t-1) 0,6805 0,1462*** Harga CPO 0,0281 0,0260** Harga Pupuk Urea -1,1641 0,1424*** Harga Pupuk SP-36 -0,0051 0,9652 Upah Tenaga Kerja 0,1225 0,1539 Harga Pestisida -0,3444 0,0027 * Dummy Krisis Ekonomi -0,0007 0,9920 Dummy Kebijakan Inti Plasma 0,0559 0,1472*** Dummy Perkebunan Swasta 0,0352 0,7495 Adjusted R-sq 0,8438 F-Statistik 4,0146 Sumber Keterangan
: Lampiran 2 dan 4 :* : Nyata pada taraf α ** : Nyata pada taraf α *** : Nyata pada taraf α
= 1% = 5% = 15%
Berdasarkan Tabel 4.2 dilihat bahwa koefisien penyesuaian determinasi pada persamaan respon produktivitas adalah sebesar 0,8438. Ini menunjukkan bahwa persamaan respon produktivitas dapat dijelaskan oleh variabel yang terdapat dalam model tersebut sebesar 84,38 persen dan sisanya sebesar 15,62 persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat di luar model. Berdasarkan Lampiran 4, nilai Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test sebesar 0,2046 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. White Heteroskedasiticity Test menunjukkan nilai 0,3836 yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 menunjukkan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Nilai VIF menunjukan bahwa
83
masing-masing variabel eksogen dalam model respon produktivitas memiliki nilai VIF dibawah 10 (Lampiran 2). Dengan demikian, model terbebas dari masalah multikolinieritas Hasil pendugaan model respon produktivitas secara nasional berdasarkan model penyesuaian Nerlove disajikan pada Tabel 4.2. Hasil uji statistik-t menunjukkan bahwa perkembangan produktivitas kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh produktivitas lag 1 tahun sebelumnya pada taraf 15 persen, harga CPO pada taraf 5 persen, harga pupuk urea pada taraf 15 persen, upah tenaga kerja pada taraf 15 persen, dummy kebijakan inti plasma, dan harga pestisida pada taraf 1 persen. Koefisien dugaan lag produktivitas bertanda positif dan nyata pada taraf 15 persen menggambarkan bahwa dengan asumsi increasing return to scale, para petani kelapa sawit sangat menikmati produktivitas kelapa sawit yang terus meningkat sepanjang tahun. Peningkatan lag produktivitas kelapa sawit akan direspon petani dengan meningkatkan pemeliharaan sehingga produktivitas kelapa sawit mereka akan meningkat pada periode selanjutnya. Koefisien harga CPO bertanda positif dan nyata pada taraf 5 persen mengindikasikan peningkatan harga CPO akan direspon oleh petani dengan meningkatkan pemeliharaan sehingga terjadi peningkatan produktivitas tanaman kelapa sawit pada periode selanjutnya. Koefisien dugaan harga pupuk urea bertanda negatif dan nyata pada taraf 15 persen menggambarkan bahwa peningkatan harga pupuk urea akan menurunkan produktivitas kelapa sawit periode berikutnya sampai dengan takaran tertentu. Mengingat pupuk urea merupakan jenis pupuk yang banyak digunakan oleh petani kelapa sawit pada masa panennya sehingga sangat berpengaruh
84
terhadap produktivitas kelapa sawit (Subdirektorat Pupuk Departemen Pertanian, 2009). Koefisien dugaan harga pupuk SP-36 bertanda negatif sekalipun tidak nyata hingga taraf 15 persen. Hasil ini menggambarkan kenaikan harga pupuk sp36 periode sebelumnya akan diikuti oleh penurunan produktivitas kelapa sawit periode berikutnya. Namun hal ini menjadi tidak nyata karena pupuk SP-36 bukan merupakan jenis pupuk utama yang dibutuhkan kelapa sawit melainkan jenis pupuk pilihan yang hanya diberikan pada tanaman kelapa sawit dalam masa pertumbuhannya karena dapat memacu pertumbuhan akar dan sistem perakaran yang baik, menambah daya tahan tanaman kelapa sawit, dan membantu pertumbuhan jaringan tanaman yang membentuk titik tumbuh tanaman (Subdirektorat Pupuk Departemen Pertanian, 2009). Pupuk urea dan pupuk SP-36 bersifat saling melengkapi satu sama lain. Koefisien dugaan upah tenaga kerja di sektor industri bertanda positif sekalipun tidak nyata pada taraf 15 persen. Hasil ini menggambarkan bahwa peningkatan upah tenaga kerja periode sebelumnya di sektor industri pengolahan kelapa sawit akan memicu petani untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya. Namun hal ini tidak nyata karena industri pengolahan CPO merupakan industri yang bersifat padat modal sehingga biaya-biaya pengolahan tandan buah segar lebih banyak dikeluarkan untuk perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi. Oleh karena itu, pengaruh upah tenaga kerja tidak signifikan terhadap keputusan-keputusan para petani dalam produktivitasnya.
85
Koefisien variabel harga pestisida bertanda negatif dan nyata pada taraf 1 persen menggambarkan naiknya harga pestisida akan berdampak pada menurunnya produktivitas pada periode berikutnya karena semakin sedikit petani yang menggunakan pestisida sehingga tidak mampu melindungi tanamannya dari hama. Aplikasi pestisida sangat dibutuhkan dalam melindungi tanaman kelapa sawit dari serangan hama. Hama yang paling sering menyerang kelapa sawit adalah kumbang tanduk (oryctes rhinoceros sp) dan umumnya menyerang tanaman kelapa sawit yang masih muda. Tanaman yang terserang hama ini dengan akut dapat mati dan jika dapat bertahan, maka daya hasil tanaman akan menurun atau bahkan saat awal produksinya tertunda. Pengendalian biasanya dilakukan dengan menangkap kumbang setiap hari atau aplikasi insektisida setiap minggunya. Perlu diketahui bahwa biaya operasional aplikasi insektisida ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan menangkap kumbang setiap hari (IOPRI, 2008). Variabel dummy krisis ekonomi memiliki koefisien bertanda negatif dan tidak nyata hingga taraf 15 persen. Secara teori, krisis ekonomi mengakibatkan harga-harga input yang digunakan pada produktivitas akan meningkat tajam. Namun hal ini tidak nyata karena estimasi dilakukan secara nasional sedangkan tanaman kelapa sawit tidak tumbuh di seluruh Indonesia (Lampiran 5). Kebijakan inti plasma yang diterapkan pemerintah terbukti mampu meningkatkan produktivitas pada taraf 15 persen karena perusahaan plasma dituntut untuk menggunakan bibit unggul, pupuk tepat dosis, dan aplikasi insektisida yang baik. Dengan demikian, kebijakan pemerintah mampu membina
86
Perkebunan Rakyat yang termasuk dalam perusahaan inti plasma untuk meningkatkan produktivitasnya karena terbukti produktivitas perusahaan inti plasma lebih baik daripada perusahaan rakyat biasa. Masuknya Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) ke sektor perkebunan kelapa sawit pada tahun 1980 mampu meningkatkan luas areal dan produktivitas kelapa sawit karena bersamaan dengan itu, berbagai kebijakan dan program pemerintah seperti penyediaan modal dan fasilitas pemyuluhan turut diimplementasikan dan berpengaruh terhadap perkembangan luas areal dan produktivitas di Indonesia. Namun hal ini menjadi tidak nyata karena areal perkebunan kelapa sawit terletak di daerah yang lebih spesifik seperti Sumatera dan Kalimantan (Lampiran 5).
4.2
Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa konsep respon
penawaran tercermin dalam elastisitas penawaran. Elastisitas penawaran mengukur ketanggapan kuantitas yang ditawarkan terhadap peubah-peubah yang mempengaruhinya dengan nilai antara nol sampai tak hingga. Adapun perbandingan elastisitas baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3.
87
Tabel 4.3. Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang Keterangan Respon Luas Areal Respon Respon Kelapa Sawit Penawaran Kelapa Produktivitas terhadap Harga Kelapa Sawit Sawit terhadap terhadap Harga CPO Harga CPO CPO Koefisien 0,1047 0,3194 adjustment Elastisitas 0,0261 0,0281 0,0542 Jangka Pendek Elastisitas 0,2496 0,0880 0,3377 Jangka Panjang Keterangan : Berdasarkan Tabel 4.3, nilai elastisitas dari respon luas areal kelapa sawit, respon produktivitas kelapa sawit, dan respon penawaran kelapa sawit dalam jangka pendek dan jangka panjang terhadap harga CPO berada di antara nol dan satu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa respon bersifat inelastis sehingga perubahan satu persen variabel eksogen dari masing model respon akan mengakibatkan perubahan variabel endogen kurang dari satu persen. Hal ini mengindikasikan bahwa petani relatif kurang responsif terhadap perubahan harga. Hasil yang diberikan dari respon luas areal kelapa sawit terhadap harga CPO dalam jangka pendek sebesar 0,0261 menggambarkan bahwa ketika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sebelumnya maka petani akan merespon dengan menaikkan luas areal kelapa sawitnya pada tahun berikutnya. Pada jangka panjang, respon luas areal kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,2496. Ini menggambarkan bahwa para petani telah memahami bahwa pada jangka panjang, permintaan terhadap CPO sebagai bahan baku agrofuel akan semakin meningkat. Oleh karena itu, para petani memutuskan untuk mengkonversi sisa lahan yang dimiliki mereka menjadi areal perkebunan
88
kelapa sawit (IOPRI, 2008) guna meningkatkan tingkat respon penawaran mereka. Hasil yang diberikan dari respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO dalam jangka pendek sebesar 0,0281 menggambarkan ketika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sebelumnya, maka petani akan meresponnya dengan meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya pada tahun berikutnya. Pada jangka panjang, respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami sedikit peningkatan yaitu sebesar 0,0880. Dengan demikian, dapat dipastikan akan terjadi peningkatan produktivitas kelapa sawit dalam jangka pendek dan panjang. Respon luas areal dan respon produktivitas pada jangka pendek bernilai relatif sama. Hasil ini menggambarkan bahwa dalam jangka pendek, respon petani baik luas areal dan produktivitas terhadap perubahan harga relatif sama. Namun dalam jangka panjang, respon produktivitas petani lebih kecil dibandingkan dengan respon luas arealnya. Berbeda dengan produktivitas mesin yang sangat elastis terhadap perubahan harga, produktivitas suatu tanaman bersifat inelastis karena ketika harga naik maka tidak serta merta langsung meningkatkan produktivitasnya. Ketika harga CPO meningkat, para petani meningkatkan pemeliharaan kelapa sawit mereka dengan menambah atau menggunakan inputinput baru seperti aplikasi pupuk Nitrogen Phospor Kalium (NPK). Fungsi NPK pada tanaman kelapa sawit adalah mempercepat pertumbuhan tanaman dan menjadikan tanaman lebih sehat dan kuat serta dosis pemberian pupuk yang lebih terukur.
89
Nilai respon penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek bertanda positif dan bersifat inelastis yaitu masing-masing sebesar 0,3377 dalam jangka panjang dan 0,0542 dalam jangka pendek. Hasil ini menggambarkan jika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sebelumnya maka akan direspon dengan meningkatkan penawaran kelapa sawit di Indonesia pada tahun berikutnya. Ini menjelaskan bahwa pada jangka pendek, beberapa faktor yang mempengaruhi luas areal bernilai tetap sementara dalam jangka panjang faktor-faktor tersebut sangat bervariasi. Para petani menggunakan acuan harga CPO tahun sebelumnya untuk meningkatkan penawarannya.
4.3
Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil estimasi, maka dapat diambil beberapa rekomendasi
implikasi kebijakan sebagai berikut : 1. Hasil penelitian menggambarkan bahwa pestisida sangat dibutuhkan dalam
pengembangan
perkebunan
kelapa
sawit
sekalipun
membutuhkanbanyak biaya. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan khusus dari pemerintah berupa subsidi terhadap biaya pestisida. 2. Sektor perkebunan kelapa sawit memiliki daya tahan yang cukup tinggi terhadap krisis ekonomi. Oleh karena itu, sektor perkebunan kelapa sawit harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah karena memiliki dasar yang kuat sebagai penopang perekonomian Indonesia. Perhatian ini dapat berupa dorongan ekspor hasil perkebunan kelapa sawit, meningkatkan konsumsi dalam negeri, memperbaiki infrastruktur perekonomian melalui
90
anggaran belanja negara, dan sistem barter dengan negara lain seperti barter CPO Indonesia dengan pupuk Rusia. 3. Perlunya penerapan kebijakan harga dan non harga dari pemerintah untuk merangsang peningkatan produksi kelapa sawit. Kebijakan harga yang dimaksud adalah menetapkan harga dasar yang layak sehingga petani lebih termotivasi lagi dalam kegiatan produksi. Namun kebijakan ini tidak dapat begitu saja meningkatkan produksi tanpa adanya dukungan dari kebijakan non harga seperti ketersediaan input yang baik dan dukungan dari program paket teknologi di mana petani dapat mengadopsinya. 4. Berdasarkan
uraian
sebelumnya,
salah
satu
faktor
yang
dapat
mempengaruhi elastisitas respon penawaran adalah adanya konversi biodiesel. Semakin tinggi harga minyak bumi membuat permintaan terhadap bahan bakar alternatif, yang dalam hal ini adalah agrofuel, semakin meningkat. Mengingat respon penawaran jangka panjang para petani kelapa sawit terhadap isu ini cukup besar, diharapkan pemerintah mulai merencanakan kebijakan pembudidayaan kelapa sawit secara massive atau besar-besaran. 5. Kebijakan inti plasma yang diterapkan oleh pemerintah mampu membina
Perkebunan Rakyat yang termasuk dalam perusahaan inti plasma untuk meningkatkan produktivitasnya karena produktivitas perusahaan inti plasma terbukti lebih baik daripada perusahaan rakyat biasa. Dengan demikian, kebijakan ini layak untuk terus dilanjutkan.
91
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut : 1. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap respon luas areal tanam kelapa sawit adalah luas areal lag 1 tahun sebelumnya, harga CPO, dan harga karet alam. Sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh nyata adalah tingkat suku bunga modal kerja, dummy kebijakan inti plasma, dummy perkebunan swasta, dan dummy krisis ekonomi. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap respon produktivitas kelapa sawit adalah produktivitas lag 1 tahun sebelumnya, harga CPO, harga pupuk urea, dummy kebijakan inti plasma, dan harga pestisida. Sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh nyata adalah harga pupuk SP-36, upah tenaga kerja di sektor industri, dummy perkebunan swasta, dan dummy krisis ekonomi. 2. Berdasarkan hasil estimasi, respon luas areal kelapa sawit di Indonesia terhadap harga CPO bertanda positif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kondisi ini cukup kondusif bila dilihat dari aspek bisnis perkebunan kelapa sawit secara nasional, khususnya terkait dengan isu agrofuel karena parameter dugaan yang berpengaruh nyata cukup representatif dalam memberikan gambaran respon luas areal kelapa sawit di Indonesia. Berdasarkan hasil estimasi, respon produktivitas kelapa
92
sawit Indonesia terhadap harga CPO bertanda positif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sehingga dapat dipastikan akan terjadi peningkatan produktivitas kelapa sawit dalam jangka pendek dan jangka panjang. 3. Berdasarkan hasil estimasi, respon penawaran kelapa sawit di Indonesia bertanda positif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dan bersifat inelastis. Hasil ini menggambarkan para petani menggunakan acuan harga CPO tahun sebelumnya untuk meningkatkan penawarannya. Hasil empiris dari model respon luas areal dan respon produktivitas cukup baik dalam menerangkan kondisi faktual yang ada. Ini bisa dilihat dari nilai koefisien determinasi yang cukup tinggi. Hasil pendugaan elastisitas menunjukan respon penawaran dalam jangka pendek dan jangka panjang yang bersifat inelastis sehingga prospek produksi kelapa sawit masih cukup menjanjikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Model penyesuaian parsial yang digunakan dalam analisis ini cukup baik untuk keperluan proyeksi suatu komoditas pertanian ataupun perkebunan yang berbasis lahan. Untuk keperluan analisis empiris, model ini sangat sesuai. 4. Pengembangan tanaman kelapa sawit di Indonesia memiliki prospek yang cukup bagus melihat besarnya respon penawaran (inelastis). Dengan demikian, Indonesia memiliki potensi yang baik untuk pengembangan kelapa sawit baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang karena hal ini menggambarkan terjadinya kekakuan aset para petani.
93
5.2
Saran Para peneliti yang tertarik untuk penelitian selanjutnya dapat memasukkan
variabel-variabel yang belum bisa dimasukkan dalam penelitian ini sehingga dapat memaparkan ruang lingkup dengan lebih spesifik. Adapun variabel-variabel yang dimaksud seperti curah hujan, harga tanaman tumpang sari yaitu kacang kedelai, harga minyak kedelai, dan luas areal teririgasi.
94
DAFTAR PUSTAKA
Abedullah. dan Mubarik Ali. 1998. “Supply, Demand, and Policy Environment for Pulses in Pakistan”. The Pakistan Development Review, Pakistan Institute of Development Economics, 37 (1) : 35-52. Adnyana, Made Oka. 2001. Penerapan Model Penyesuaian Parsial Nerlove dalam Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor Alias, Mohammad. dan Tuck Cheong Tang. 2005. “Supply Response of Malaysian Palm Oil Producers : Impact of Interest Rate Variation”. Malaysian Palm Oil Board. Malaysia Askadarimi. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perdagangan Minyak Sawit (CPO) Indonesia [skripsi]. Program Studi Ekonomi dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Askari, Hossein. dan John Thomas Cummings. 1977. “Estimating Agricultural Supply Response with The Nerlove Model”. International Economic Review, 18 (2) : 257-292. Badan Pusat Statistik. 2006. Indeks Harga Konsumen Indonesia 1990-2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2006. Statistical Year Book of Indonesia 1990-2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bank Indonesia. 2009. Buletin Mingguan Bank Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Bank Indonesia. 2001-2007. Laporan Tahunan Bank Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Ball, Eldon., Jean-Cristophe Bureau, Kelly Eakin, dan Agapi Somwaru. 1997. “CAP Reform : Modelling Supply Response Subject to The Land SetAside”. Agricultural Economics, 17 (1997) : 277-278. Braulke, Michael. 1982. “A Note on The Nerlove Model of Agricultural Supply Response”. International Economic Review 23 (1) : 241-246. Darminta, Syakdin. 1995. Penerapan Teknologi Maju Budidaya Kelapa Sawit untuk Meningkatkan Kinerja Perusahaan Perkebunan. Medan.
95
Departemen Pertanian. 2007. Neraca Bahan Makanan 2001-2007. Departemen Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. 2008. Harga Minyak Bumi Indonesia Tahun 2007. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas. Departemen Pertanian, Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Skema Penggunaan Hasil Pengolahan Tandan Kelapa Sawit. Departemen Pertanian, Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2008. Statistik Perkebunan Indonesia : Kelapa Sawit Tahun 2007-2009. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta. Direktorat Pengembangan Potensi Daerah Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2009. “Daerah Investasi Peta Indonesia Sebaran Kelapa Sawit” [regionalinvestment online]. http://regionalinvestment.com/sipid/id/idxarea.php [17 Juni 2009] Energy Information Administration. 2009. “World Crude Oil Prices” [eia online]. http://www.eia.doe.gov/oil_gas/petroleum/info_glance/petroleum.html / [1 April 2009] Firdaus, Muhammad. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara, Jakarta. Ghatak, Subrata. dan Ken Ingersent. 1984. Agriculture Land Economic Development. Harvester Press. Brighton. Gujarati, Damodar. 2004. Basics Econometrics, Fourth Edition. The McGrawHill Companies. Hallam, David. 1990. Econometric Modelling of Agricultural Commodity Markets. Routledge. London. Hallam, David. dan Raffaele Zanoli. 1993. “Error Correction Models and Agricultural Supply Response”. European Review of Agricultural Economics, 20 (1993) : 151-166. Hariyadi, Purwiyatno. et al. 2003. Kumpulan Abstrak Hasil Riset Industri Hilir Kelapa Sawit. Menristek dan Maksi. Jakarta. Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI). 2009. Kiat Menghadapi Mahal dan Langkanya Pupuk di Perkebunan Kelapa Sawit. Indonesian Oil Palm Research Institute, Medan.
96
Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI). 2008. Tumpangsari Kelapa Sawit dengan Kacang Kedelai. Indonesian Oil Palm Research Institute, Medan. Indonesian Palm Oil Comission (IPOC). 2007. Indonesian Palm Oil Statistics 2006. Indonesian Palm Oil Comission (IPOC), Jakarta. Koutsoyiannis, Anna. 1977. Theory of Econometrics : An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. Macmillan Publishers Ltd. New York. Labys, Walter. 1973. Dynamic Commodity Models : Specification, Estimation, and Simulation. Lexington Books. Leaver, Rosemary. 2004. “Measuring The Supply Response Function of Tobacco in Zimbabwe”. Agrekon, 43 : 1. Legislasi Mahkamah Agung. 1986. “Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1986 Tentang Pedoman Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang Dikaitkan dengan Pola Transmigrasi”. http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:qL3vMKJzqXQJ:legislas i.mahkamahagung.go.id/docs/Inpres/Inpres_1986_1_L_Pedoman%252 0Pengembangan%2520Perkebunan%2520DEngan%2520Perusahaan% 2520Inti%2520Rakyat.pdf+kebun+plasma+adalah&hl=en [30 July 2009] Lembaga Minyak Sawit Malaysia. 2007. “Palm Oil Engineering Bulletin”. Palm Oil Engineering Bulletin, 85. Leo, Zukhri Agusti. 2000. Analisis Respon Penawaran Padi di Indonesia [skripsi]. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Lipsey, Richard George. 1995. Pengantar Mikroekonomi Jilid Satu Edisi Kesepuluh. Binarupa Aksara. Jakarta. Malaysia Palm Oil Board. 2009. “Economics and Industry Development Division” [mpob online]. http://econ.mpob.gov.my/economy/EID_web.htm [5 April 2009] Mamingi, Nlandu. 1997. “The Impact of Prices and Macroeconomics Policies on Agricultural Supply : A Synthesis of Available Results”. Agricultural Economics, 16 : 17-34
97
Nainggolan, Kaman. dan Agus Suprapto. 1987. “Supply Response for Rice in Java : Empirical Evidence”. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, XXXV (2) : 239-264. Purwandari, Deisy. 2006. Analisis Respon Penawaran Kelapa di Pulau Jawa [skripsi]. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. PT. Smart Tbk. 2008. Laporan Tahunan PT. Smart Tbk Tahun 2008. Medan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2007. Rekomendasi Pemupukan Tanaman Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat Tahun 2007. Medan Santi, Laksmita Prima. dan Didiek Hadjar Goenadi. 2008. “Pupuk Organo-Kimia untuk Pemupukan Bibit Kelapa Sawit”. Menara Perkebunan, 76 (1) : 36-46. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor. Santika, Raden Desi. 2004. Analisis Respon Penawaran dan keberlanjutan Produksi Tebu di Jawa dan Luar Jawa [skripsi]. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian. Bogor. Sinuraya, Julia. 2000. Respon Produksi dan Ekspor Karet Sumatera Utara [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siregar, Hellyana. 1993. Model Ekonometrika Penawaran Kelapa dan Ekspor Kopra Indonesia [tesis]. Fakultas Pascasarjana. IPB. Bogor. Subdirektorat Pupuk. 2009. Kebutuhan Pupuk Sub Sektor Perkebunan Pada Komoditas Kelapa Sawit Tahun 2006-2009. Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta. Susila. 1995. Analisis Model Ekonomi Minyak Sawit Mentah Dunia. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Susila, Wayan. 2006. Membandingkan Industri CPO Malaysia dan Indonesia. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Bogor. Tomek, William. dan Kenneth Leon Robinson. 1972. Agricultural Product Prices. Cornell UniversityPress. London. Huang, Jikun. dan Frank Tongeren. 2004. China's Food Economy in The Early 21st Century Development of China's Food Economy and Its Impact n Global Trade and on The EU. Agricultural Economics Research Institute (LEI), The Hague.
98
Wardani, Wida Kusuma. 2008. Dampak Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit dalam Negeri [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
99
LAMPIRAN
100
LAMPIRAN 1. Tabel Uji Normalitas Model Respon Luas Areal Kelapa Sawit dan Model Respon ProduktivitasKelapa Sawit. a.
Tabel Uji Normalitas Model Respon Luas Areal
Date: 08/07/09 Time: 08:58 Sample: 1970 2006 LAT
LALAG1
HCPOT
HKRTT
TKSBT
DKEPREST
DKRIST
DPBNST
Jarque-Bera
2.734511 2.724899 7.798727
0.651435 5.636349
5.873843
7.014583 6.906796
Probability
0.254805 0.256033 0.202548
0.722009 0.161279
0.163029
0.209978 0.197059
Observations
b.
37
37
37
37
37
37
37
37
Tabel Uji Normalitas Model Respon Produktivitas
Date: 07/30/09 Time: 06:13 Sample: 1970 2006 PRODT PRODLAG1 HCPOT HFSPT
HFUT
HPESTT
UTKT
DKEPREST DKRIST DPBNST
Jarque-Bera
1.572591
0.537938
7.798727 3.461927 1.986339
2.481753
5.241536
Probability
0.455529
0.764167
0.202548 0.177114 0.370401
0.289131
0.162320
0.153029
37
37
37
37
Observations
37
37
37
37
5.873843
7.014583 6.906796 0.199780 0.177059
37
37
101
LAMPIRAN 2. Tabel Uji Multikolinieritas (Variance Inflation Factor) Model Respon Luas Areal dan Produktivitas a. Tabel VIF Model Respon Luas Areal Variabel Independen
VIF 8,855 1,468 2,757 4,955 4,091 8,050 8,219
LALAG1 HCPOT HKRTT TKSBT DKRIST DKEPREST DPBNST
b. Tabel VIF Model Produktivitas Variabel Independen
VIF
PRODLAG1
3,136
HCPOT
1,677 8,981
HFSPT HFUT HPESTT UTKT DKRIST DKEPREST DPBNS
8,578 4,621 2,307 5,645 7,945 8,987
102
LAMPIRAN 3. Pendugaan Model Respon Luas Areal. Dependent Variable: LAT Method: Least Squares Date: 08/07/09 Time: 08:45 Sample: 1970 2006 Included observations: 37 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LALAG1 HCPOT HKRTT TKSBT DKEPREST DKRIST DPBNST
0.271309 0.895282 0.026148 -0.171685 -0.029097 0.036770 0.005619 0.072024
1.222225 0.087473 0.041198 0.178476 0.032408 0.091663 0.080000 0.083591
0.221980 10.23501 0.634703 -0.961950 -0.897815 0.401140 0.070233 0.861630
0.8260 0.0000 0.0331 0.1443 0.3772 0.6915 0.9445 0.3965
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.995167 0.993914 0.094454 0.240882 37.46611 1.547984
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
13.76066 1.210739 -1.683778 -1.328270 794.2155 0.000000
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.556304 3.742066
Prob. F(2,26) Prob. Chi-Square(2)
0.425341 0.357699
Prob. F(11,23) Prob. Chi-Square(11)
0.568262 0.433323
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.059223 11.76865
103
LAMPIRAN 4. Pendugaan Model Respon Produktivitas. Dependent Variable: PRODT Method: Least Squares Date: 07/30/09 Time: 02:13 Sample: 1970 2006 Included observations: 37 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C PRODLAG1 HCPOT HFSPT HFUT HPESTT UTKT DKEPREST DKRIST DPBNST
0.597472 0.680544 0.028142 -0.005177 -1.164124 -0.344403 0.122552 0.055972 -0.000703 0.035262
1.266289 0.156165 0.048509 0.117656 0.673124 0.104415 0.081431 0.077555 0.069909 0.109220
0.471829 4.357844 1.987094 -0.044003 -1.609763 -3.298415 1.504987 0.721705 -0.010057 0.322857
0.6411 0.1462 0.0260 0.9652 0.1424 0.0027 0.1539 0.1472 0.9920 0.7495
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.891050 0.843828 0.080571 0.162292 44.37700 1.357823
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.772685 0.108037 -1.964400 -1.520015 4.014680 0.002808
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.424217 3.685229
Prob. F(2,25) Prob. Chi-Square(2)
0.370621 0.204656
Prob. F(13,21) Prob. Chi-Square(13)
0.477165 0.383699
White Heteroskedasticity Test F-statistic Obs*R-squared
1.588331 17.35222
104
LAMPIRAN 5. Peta Sebaran Komoditi Kelapa Sawit
105
106
107
108
109
110
111
112
113