1
ANALISIS RESPON PENAWARAN EKSPOR SERAT SABUT KELAPA INDONESIA
Oleh : Priyo Hari Kustaman A.14101691
PROGRAM STUDI EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
2
RINGKASAN Priyo Hari Kustaman. Analisis Respon Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia. Di bawah Bimbingan Rina Oktaviani. Kelapa dan produk turunannya adalah salah satu produk perkebunan yang sebagian besar dikonsumsi oleh masyarakat untuk kelapa sayur dan sisanya diolah oleh industri sebagai bahan baku beberapa produk, seperti minyak kelapa, kopra, sabut kelapa, dan lainnya. Produk tersebut di ekspor ke beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Belanda, dan negara lainnya. Menurut APCC (2003) salah satu produk ikutan kelapa yang memiliki jumlah ekspor paling rendah adalah produk sabut kelapa (serat). Walaupun memiliki jumlah ekspor rendah, tetapi apabila dilihat dari trend, ekspor komoditas ini cenderung mengalami peningkatan. Serat sabut kelapa atau dalam perdagangan dunia dikenal dengan nama coconut coir, merupakan bahan baku untuk berbagai industri, seperti industri karpet, jok untuk kendaraan, jok perabot rumah tangga, matras, kemasan, dan tali. India dan Srilanka adalah salah satu produsen terbesar untuk produk - produk dari serat sabut kelapa ini. Sementara Indonesia yang memiliki areal perkebunan kelapa terluas di dunia hanya mampu menempati urutan kelima dalam ekspor sabut kelapa. Dikarenakan ekspor Indonesia hanya menempati urutan kelima maka perlu dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa di Indonesia, dan respon penawaran ekspor serat sabut kelapa terhadap faktor – faktor yang mempengaruhinya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa di Indonesia, dan menduga nilai elastisitas (respon penawaran) serat sabut kelapa terhadap faktor – faktor yang mempengaruhinya. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series. Data tersebut diperoleh dari Asian and Pacific Coconut Community (APCC), Badan Pusat Statistik (BPS), dan instansi – instansi lain yang relevan. Analisis regresi adalah metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel. Model persamaan yang digunakan adalah model regresi linier berganda (ekonometrika) atau model double log. Faktor – faktor yang menjadi variabel pada penelitian ini adalah harga ekspor serat sabut kelapa (X1) (US$/Kg), nilai tukar riil rupiah (X2) (Rp/US$), produk domestik bruto (X3) (Rp), produksi sabut kelapa (X4) (Kg), jumlah ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya (X5) (Kg) dan luas areal pertanaman kelapa (X6) (ha). Berdasarkan hasil pengujian maka model yang dipilih untuk menduga pengaruh variabel bebas terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah model double log. Dipilihnya model ini karena tidak memiliki permasalahan dengan asumsi model (multikolinier, autokorelasi, heterokedastis) dan nilai R2 yang dihasilkan cukup tinggi, yaitu 90,90 persen. Berdasarkan hasil identifikasi variabel diketahui bahwa variabel bebas yang dapat mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa di Indonesia adalah harga ekspor, nilai tukar riil rupiah, produk domestik bruto, produksi sabut kelapa, lag dan luas areal perkebunan kelapa. Dari ke enam variabel tersebut yang berpengaruh nyata terhadap ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah harga ekspor, nilai tukar riil rupiah, produk domestik bruto dan produksi sabut kelapa. Respon semua variabel bebas terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah inelastis. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan pada variabel bebas tersebut maka tidak akan menyebabkan terjadinya gejolak yang besar di pasaran.
3
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka disimpulkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah harga ekspor serat sabut kelapa, nilai tukar riil rupiah, produk domestik bruto dan produksi sabut kelapa, sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah lag dan luas areal perkebunan kelapa. Respon semua variabel bebas terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah inelastis.
4
ANALISIS RESPON PENAWARAN EKSPOR SERAT SABUT KELAPA INDONESIA
Oleh : Priyo Hari Kustaman A.14101691
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
5
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama
: Priyo Hari Kustaman
NRP
: A.14101691
Program Studi : Ekstensi Manajemen Agribisnis Judul
: Analisis Respon Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia
Dapat diterima sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131.846.872
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, MAgr NIP. 130.422.698
Tanggal Lulus Ujian : 14 Oktober 2005
6
PERNYATAAN
SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR – BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Oktober 2005
Priyo Hari Kustaman A. 14101691
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kelurahan Kemasan, Kecamatan Kota, Kodya Kediri, pada tanggal 17 Desember 1977 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dan merupakan putera dari pasangan Bapak Supriyono dan Ibu Napsiyah. Penulis mulai memasuki Sekolah Lanjutan Tingkat Atas pada tahun 1992 di Sekolah Menengah Atas Negeri Tiga, Kodya Kediri dan lulus pada tahun 1995. Setelah lulus kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Universitas Brawijaya sebagai mahasiswa program Diploma III dengan Program Studi Produksi Tanaman (Hortikultura), Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian. Setelah lulus dari program Diploma III (1998) penulis tidak langsung melanjutkan kuliah ke Strata-1 melainkan bekerja terlebih dahulu di PT. Waru Abadi (Distributor Semen Gresik) sampai dengan sekarang. Pada tahun 2002 penulis kemudian melanjutkan kuliah Strata-1 di Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor.
8
KATA PENGANTAR
Saya panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : Analisis Respon Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia. Adapun yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian respon penawaran ekspor serat sabut kelapa adalah dikarenakan ekspor Indonesia untuk komoditas serat sabut kelapa ini sangat rendah sekali bila dibandingkan dengan negara lain (India, Srilanka, Thailand dan Philipina) yang memiliki luas areal perkebunan dibawah negara Indonesia. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat diketahui faktor – faktor yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
9
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada bagian ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada : 1. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, saran dan nasihat mulai dari persiapan penyusunan skripsi sampai dengan penyelesaian penulisan skripsi ini. 2. Ir.
Netty Tinaprilla, MMA,
yang telah berkenan menjadi evaluator pada
waktu seminar proposal (kolokium). 3. Ayu Lestari, yang telah berkenan menjadi pembahas saya ketika seminar hasil. 4. Muhammad Firdaus, SP, MS, yang berkenan menjadi dosen layak uji dan penguji utama pada skripsi saya. 5. Ir. Murdiyanto, MSi, yang berkenan menjadi dosen penguji mewakili komdik pada sidang skripsi saya. 6. Istri dan anakku yang telah banyak memberikan dukungannya. 7. kedua orang tua yang telah banyak memberikan dukungan moriil dan materiil. 8. semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
10
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ..................................................................................... DAFTAR TABEL .............................................................................. DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
iii v vi
BAB I.
PENDAHULUAN ..............................................................
1
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................
8
1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
Latar Belakang ................................................................ Perumusan Masalah ........................................................ Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................... Ruang Lingkup Penelitian ................................................
1 5 7 7
2.1. Tinjauan Umum ............................................................... 2.1.1. Diversifikasi Produk Kelapa .................................. 2.1.2. Serat Sabut Kelapa ............................................... 2.1.3. Proses Produksi Serat Sabut Kelapa .................... 2.2. Tinjauan Empiris (Hasil Penelitian Terdahulu) .................. 2.2.1. Penelitian mengenai Sabut Kelapa ...................... 2.2.2. Penelitian mengenai Respon Penawaran ............
8 8 10 11 13 13 15
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................
17
BAB IV. METODE PENELITIAN ....................................................
28
BAB V.
40
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................... 3.1.1. Konsep Perdagangan Internasional ...................... 3.1.2 Penawaran Ekspor ............................................... 3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual ..................................... 3.3. Hipotesis ........................................................................ 4.1. Jenis dan Sumber Data .................................................. 4.2. Pengolahan dan Analisis Data ........................................ 4.2.1. Perumusan Model ................................................ 4.2.2. Masalah – masalah dalam Model .........................
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................... 5.1. Gambaran Umum Serat Sabut Kelapa Indonesia ........... 5.1.1. Produksi Serat Sabut Kelapa ................................ 5.1.2. Pemasaran Serat Sabut Kelapa ............................ 5.1.3. Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia dan Negara Lain di Dunia ......................................................... 5.1.4. Perkembangan Harga Serat Sabut Kelapa ........... 5.2. Model Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia ....................................................................... 5.2.1. Pengujian Model .................................................. 5.2.2. Analisis Model ......................................................
17 17 20 24 26 28 28 29 35 40 39 42 45 49 50 52 54
11
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................... 6.1. Kesimpulan ..................................................................... 6.2. Saran ..............................................................................
60 60 60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................ LAMPIRAN ......................................................................
61 63
12
DAFTAR TABEL
No. 1.
Teks
Halaman
Luas Areal Perkebunan Kelapa di Dunia, Tahun 2003 ..........
2
2. Produksi Kelapa Dunia (setara butir dan kopra (Ton)), Tahun 2003 ...........................................................................................
3
3. Perkembangan Ekspor Kelapa, Produk Ikutannya di Indonesia, Tahun 1999 – 2003 .....................................................................
4
4. Luas Areal Perkebunan Rakyat, Negara dan Swasta (Ha) beserta Produksinya di Indonesia (Ton), Tahun 1999 – 2003 ..................
5
5. Ekspor Sabut Kelapa dan Produk Sabut Dunia (Ton), Tahun 1999 – 2003 ................................................................................
5
6. Jenis Data yang Digunakan Beserta Sumbernya ........................
28
7. Luas Areal Perkebunan Kelapa (Ha) dan Produksi Kelapa (Ton) Per Wilayah Indonesia, Tahun 2003 ...........................................
42
8. Rata – rata Impor Produk Sabut Kelapa (Ton) Negara Jepang Dari Negara India, Srilanka dan Indonesia, Tahun 1999 – 2004 .
46
9. Kontribusi Serat Sabut Kelapa terhadap Pendapatan Ekspor Indonesia, Tahun 1999 – 2004 ...................................................
47
10. Nama Propinsi dan Pelabuhan Muat Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia, Tahun 1996 – 2004 ...................................................
48
11. Pertumbuhan Ekspor Produk Sabut Kelapa di Dunia, Tahun 1999 – 2003 ................................................................................
48
12. Harga Ekspor (US$) Komoditas Produk Sabut Kelapa di India, Tahun 1999 – 2003 .....................................................................
50
13. Hasil Dugaan Model Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia dan Nilai Elastisitasnya, Tahun 2004 ..........................
52
14. Hasil Uji Park ..............................................................................
54
13
DAFTAR GAMBAR
No.
Teks
Halaman
1. Mekanisme Terjadinya Perdagangan Internasional ....................
21
2. Kurva Kemungkinan Produksi .....................................................
22
3.
Alur Kerangka Pemikiran Konseptual..........................................
25
4.
Rantai Pemasaran Serat Sabut Kelapa di Indonesia...................
43
14
DAFTAR LAMPIRAN
1a.
Impor Coir Fibre di Dunia (Ton), 1999 - 2003 ...........................
64
1b.
Impor Coir Yarn di Dunia (Ton), 1999 - 2003 ..........................
65
1c.
Impor Coir Mats, Matting dan Rugs di Dunia (Ton), 1999 - 2003
66
2.
Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia ke Beberapa Negara di Di Dunia (Ton), Tahun 1996 – 2004 .........................................
67
3.
Luas Areal Produksi Kelapa dan Produksi Sabut Kelapa, Tahun 1967 – 2004 ..................................................................
70
4.
Data Dugaan Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia, Tahun 2004 ............................................................
71
5.
Hasil Pendugaan Penawaran Ekspor serat Sabut Kelapa Indonesia, Tahun 2004 .............................................................................. 72
15
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pada abad ke-21 ini, upaya untuk memacu pembangunan nasional perlu
terus dilakukan. Hal ini dikarenakan perkembangan dunia yang terus mengalami perubahan, baik ditingkat regional maupun ditingkat global. Perubahan tersebut sudah demikian cepat dan dinamis sehingga menyebabkan negara-negara di dunia menjadi terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang terjadi. Perubahan yang terjadi tersebut ditandai dengan adanya kecenderungan-kecenderungan, seperti arus globalisasi ekonomi dengan sistem ekonomi pasar terbuka dan timbulnya kekuatan-kekuatan regional yang mengarah kepada kepentingan kawasan. Oleh karena itu dalam menetapkan kebijaksanaan pembangunannya, Indonesia perlu mempertimbangkan kecenderungan perubahan yang terjadi secara keseluruhan. Hal ini perlu dilakukan agar Indonesia dapat meningkatkan perdagangannya di pasar internasional. Salah satu komoditas Indonesia yang perlu ditingkatkan perdagangannya dalam pasar internasional adalah produk perkebunan. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki berbagai jenis produk perkebunan yang bernilai strategis dalam bidang sosial ekonomi bagi bangsa Indonesia, khususnya dalam meningkatkan taraf hidup para petani di pedesaan. Salah satu produk perkebunan yang memiliki nilai sangat strategis adalah kelapa dan produk turunannya. Hal ini diketahui dari kemampuannya yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar, yaitu sampai tujuh juta orang untuk di seluruh Indonesia (Dirjen Kerjasama Industri dan Perdagangan, 2003).
16
Besarnya kemampuan komoditas kelapa dalam menyerap tenaga kerja karena ditunjang oleh luasnya areal perkebunan kelapa Indonesia. Menurut Asian and Pacific Coconut Community (2003), Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki areal perkebunan kelapa terluas di dunia. Luas perkebunan kelapa Indonesia tersebut apabila dilihat dari posisinya di dunia menempati urutan pertama. Urutan keduanya ditempati oleh negara Philipina yang memiliki luas areal mencapai 3.214.000 ha. Sementara itu, sisanya seluas 4.962.000 hektar dimiliki oleh beberapa negara, seperti India, Srilanka, Thailand, Tanzania, Brazil dan negara lainnya. Adapun perincian mengenai luas areal perkebunan kelapa di dunia ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Areal Perkebunan Kelapa di Dunia, Tahun 2003 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Negara Luas Lahan (ha) Persentase (%) Indonesia 3.883.000 32,20 Philipina 3.214.000 26,65 India 1.843.000 15,28 Srilanka 422.000 3,50 Thailand 328.000 2,72 Tanzania 310.000 2,57 Brazil 240.000 1,99 Negara lain 1.819.000 15,08 Total 11.909.000 100,00 Sumber : Asian and Pacific Coconut Community (APCC), 2003 Berdasarkan Tabel 1 tersebut diketahui bahwa luas areal perkebunan kelapa Indonesia tersebut pada tahun 2003 adalah sebesar 3.883.000 ha. Luasnya areal perkebunan kelapa Indonesia tersebut menyebabkan produksi kelapa Indonesia menjadi paling besar di dunia. Perincian data mengenai produksi kelapa di dunia dapat dilihat pada Tabel 2.
17
Tabel 2. Produksi Kelapa Dunia Setara Butir dan Kopra (Ton), Tahun 2003 No.
Nama Negara
1 2 3 4 5 6 7
Indonesia Philipina India Srilanka Brazil Meksiko Negara lain Total Sumber : APCC (2003)
Produksi Butir Kopra (Ton) 19.537.500.000 3.907.500 13.789.000.000 2.757.800 11.875.000.000 2.375.000 2.562.000.000 512.400 3.542.387.000 708.477 1.196.750.000 239.350 8.662.815.000 1.716.259 61.165.452.000 12.216.786
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa produksi kelapa Indonesia pada tahun 2003 adalah sebesar 19.537.500.000 butir atau sekitar 3.907.500 ton setara kopra. Kelapa tersebut sebagian besar dikonsumsi oleh masyarakat untuk kelapa sayur dan sisanya diolah oleh industri sebagai bahan baku beberapa produk, seperti serat dan sebagainya.
Luas dan besarnya produksi kelapa di Indonesia tersebut
merupakan kekayaan yang dapat dijadikan sebagai kekuatan perekonomian nasional. Kelapa dan produk turunannya tersebut di ekspor dalam bentuk minyak kelapa, kopra, bungkil kopra, minyak goreng kelapa, dessicated coconut, arang tempurung dan sabut kelapa.
Produk ini di ekspor ke beberapa negara, seperti
Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, Italia, Belgia, Irlandia, Singapura, Malaysia, Bangladesh, India, Srilanka, China, Taiwan, Korea Selatan, Thailand dan negara lainnya.
Perincian data mengenai perkembangan
ekspor produk kelapa beserta produk ikutannya dapat dilihat pada Tabel 3.
18
Tabel 3. Perkembangan Ekspor Kelapa, Produk Ikutannya di Indonesia, Tahun 1999 – 2003 Volume : Ton Nilai (Rp 000.000) No.
Komoditas
1
Minyak kelapa
2
Dessicated coconut
4
Copra Meal
5
Actived carbon
6
Arang tempurung
7
Sabut kelapa
Sumber
1999 349.644 1.664.570 23.533 159.813 142.823 79.156 11.283 62.551 18.742 27.744 59 -
: APCC (2003)
2000 734.560 2.702.162 31.373 185.560 408.431 189.947 10.205 64.082 26.735 39.535 102 -
Tahun 2001 395.019 1.150.004 34.820 331.547 258.955 155.232 12.104 12.104 23.452 44.239 191 -
2002 446.141 1.470.809 49.659 299.173 307.665 200.411 11.544 11.544 29.487 42.313 191 -
2003 332.228 1.316.574 36.238 203.664 271.148 191.750 12.409 12.409 35.373 52.969 432 -
Berdasarkan Tabel 3 diketahui ternyata produk ikutan kelapa yang di ekspor dalam jumlah besar adalah minyak kelapa, sedangkan produk lainnya hanya di ekspor dalam jumlah yang lebih rendah dari minyak kelapa. Adapun salah satu produk ikutan kelapa yang memiliki jumlah ekspor paling rendah adalah sabut kelapa dan produk turunannya (serat sabut kelapa). Walaupun memiliki jumlah ekspor yang rendah, tetapi apabila dilihat dari trend, ekspor komoditas ini cenderung mengalami peningkatan.
Hal ini berarti
bahwa permintaan sabut kelapa dan produk turunannya di dunia cenderung mengalami peningkatan. Besarnya permintaan sabut kelapa dan turunannya ini tercermin dari besarnya impor pada beberapa negara di dunia (Lampiran 1). Bahan baku sabut kelapa digunakan oleh industri di Indonesia untuk menghasilkan produk turunan, seperti serat sabut kelapa.
Sabut kelapa tersebut
sebagian besar diperoleh dari perkebunan kelapa yang dimiliki oleh rakyat, negara, dan swasta. Penyebaran lokasi utama perkebunan kelapa tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Lampung, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat dan Maluku (Dirjen Bina Produksi Perkebunan, 2004).
Perincian mengenai luas areal dan produksi kelapa pada
masing-masing perkebunan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
19
Tabel 4. No. I 1 2 3
II 1 2 3
Luas Areal Perkebunan Rakyat, Negara dan Swasta (Ha) beserta Produksinya di Indonesia (Ton), Tahun 1999 – 2003 Uraian
Luas areal P. Rakyat PB. Negara PB. Swasta Jumlah Produksi Setara Kopra P. Rakyat PB. Negara PB. Swasta Jumlah
Sumber
1999
2000
2001
2002
2003
3.585.743 15.313 78.320 3.679.376
3.601.698 13.891 80.428 3.696.017
3.818.946 8.006 70.515 3.897.467
3.806.032 7.070 71.848 3.884.950
3.803.640 7.070 71.848 3.882.558
2.903.716 12.205 78.701 2.994.622
2.951.005 9.038 87.515 3.047.558
3.068.997 8.272 85.749 3.163.018
3.010.894 4.815 82.787 3.098.496
3.141.649 4.815 82.787 3.229.251
: Dirjen Bina Produksi Perkebunan (2004)
Berdasarkan Tabel 4 diketahui ternyata produksi kelapa terbesar dihasilkan oleh perkebunan rakyat dan sisanya dihasilkan dari perkebunan negara dan swasta. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi rakyat terhadap perekonomian negara cukup besar, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja.
1.2.
Perumusan Masalah Serat sabut kelapa atau dalam perdagangan dunia dikenal dengan nama
coconut coir, merupakan bahan baku untuk berbagai industri, seperti industri karpet, jok untuk kendaraan, jok perabot rumah tangga, matras, kemasan, dan tali. India dan Srilanka adalah salah satu produsen terbesar di dunia untuk produk - produk dari sabut kelapa ini. Perincian data dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Ekspor Sabut dan Produk Sabut Dunia (Ton), Tahun 1999 – 2003 No. 1 2 3 4 5
Negara 1999 India 50.697 Srilanka 50.787 Thailand 6.890 Philipina 1.504 Indonesia 59 Total Sumber : APCC (2003)
2000 56.046 52.430 7.255 1.509 102
2001 54.136 52.684 12.259 1.673 191
2002 38.310 57.600 18.617 2.235 191
2003 70.550 50.950 30.789 2.933 432
20
Berdasarkan Tabel 5 diketahui ternyata India menempati urutan pertama dalam ekspor sabut dan produk sabut kelapa.
Jumlah produk yang mampu di
ekspor oleh India adalah ± enam produk. Produk tersebut meliputi, coir yarn, coir mattings, coir mats, coir rope, rugs, carpets, rubberized coir dan produk lainnya. Sementara Indonesia yang memiliki areal perkebunan kelapa terluas di dunia hanya mampu menempati urutan kelima dalam ekspor produk sabut kelapa, dibawah negara Srilanka, Thailand, dan Philipina.
Jumlah produk yang diekspor oleh
Indonesia pun hanya terdiri dari dua macam, yaitu benang serat kelapa dan serat sabut kelapa. Rendahnya ekspor serat sabut kelapa Indonesia ini menurut perajin di Ciamis adalah karena adanya keterbatasan mesin untuk mengolah komoditas serat sabut kelapa ini sehingga jumlah produksi produk sabut kelapa Indonesia menjadi rendah 1.
Selain karena keterbatasan mesin penyebab lain rendahnya jumlah
produksi produk sabut kelapa Indonesia menurut pedagang pengumpul di Lombok adalah karena banyak sabut kelapa yang ditampung oleh pedagang pengumpul dibakar.
Hal ini disebabkan oleh rendahnya harga jual sabut kelapa bila
dibandingkan dengan ongkos kirimnya2. Berdasarkan bahasan tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : 1.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia ?
2.
Bagaimana respon penawaran ekspor serat sabut kelapa terhadap faktor – faktor yang mempengaruhinya ?
1
www.bi.go.id/sipuk/lm/ind/serat_kelapa/sosek.htm#sosek. 2005. Pola Pembiayaan Sabut Kelapa 2 Kompas. 23 Maret 2001. Sabut Kelapa dan Mesin Pengolah Terjanji.
21
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka
secara garis besar tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.
2.
Menduga nilai elastisitas (respon penawaran) serat sabut kelapa terhadap faktor – faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti sendiri untuk
mengetahui perilaku penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.
Bagi
pembuat kebijakan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan dan peningkatan ekspor serat sabut kelapa di Indonesia.
Selain itu
diharapkan
penelitian ini juga dapat berguna bagi para pembaca yang tertarik dan ingin mempelajari pengembangan penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.
1.4.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah terbatas pada faktor-faktor yang
mempengaruhi peningkatan penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia untuk pasar internasional, dengan mengabaikan aspek biaya. Ruang lingkup yang diteliti adalah hanya terfokus pada perdagangan Indonesia saja.
22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Umum
2.1.1. Diversifikasi Produk Kelapa Pengolahan hasil perkebunan merupakan salah satu subsistem yang penting di samping tiga subsistem lainnya (prasarana, usahatani dan pemasaran) dalam agribisnis. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peranan pengolahan hasil pada komoditas perkebunan, seperti memperpanjang daya tahan, memberikan nilai tambah, memenuhi permintaan (kebutuhan) konsumen/masyarakat, meningkatkan daya saing pasar, meningkatkan pendapatan dan memenuhi tuntutan mutu hasil/perdagangan dalam negeri dan dunia (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, 2000). Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan (2000), komoditas perkebunan memiliki beberapa ciri, seperti produk tersedia dalam jumlah besar, tergantung pada alam yang mempengaruhi kesinambungan produksinya, bersifat musiman, mudah rusak dan diperoleh pada daerah-daerah tertentu berdasarkan kesesuaian agroklimat.
Oleh karena itu pengolahan hasil produksi
perkebunan harus memberikan fleksibilitas yang tinggi, baik melalui diversifikasi produk dan pemanfaatan hasil samping serta limbah. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas produk sehingga lebih mudah berakses terhadap pasar maupun lokasi. Pengolahan hasil diperlukan pada komoditas-komoditas unggulan yang dapat bersaing di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Untuk itu diperlukan adanya keterkaitan dari keseluruhan rantai kegiatan usaha sejak tahap pengelolaan
23
produksi, budidaya, pasca panen sampai kepada dukungan lain yang berorientasi agribisnis untuk meningkatkan “comparative” dan “competitive advantage”. Diversifikasi produk adalah salah satu cara untuk meningkatkan persaingan dalam pasar produk perkebunan.
Adapun salah satu komoditas yang memiliki
prospek untuk bersaing di pasaran tersebut adalah kelapa. Hal ini dikarenakan komoditas ini memiliki berbagai macam kegunaan, baik di industri pangan maupun non pangan.
Prospek kelapa tersebut antara lain tidak saja terkait dengan
pertumbuhan permintaan minyak nabati dalam negeri dan dunia, namun terkait juga dengan perkembangan jenis sumber minyak nabati lainnya, seperti minyak sawit, minyak kedelai dan minyak bunga matahari. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (2003), usaha kelapa ini memiliki keunggulan komparatif yang dapat dicapai dengan cara berproduksi yang efisien melalui penerapan teknologi anjuran di bidang budidaya dan penerapan diversifikasi usahatani, baik horizontal maupun vertikal. Diversifikasi usahatani secara horizontal berarti perubahan pola usahatani kelapa yang tadinya monokultur menjadi pola usahatani campuran dengan menanam tanaman sela, seperti kakao, lada, kopi robusta, panili, kapulaga, nenas dan pisang. Sementara itu diversifikasi vertikal dalam usahatani berarti menganekaragamkan produk secara efisien, antara lain : 1. Daging buah dapat dibuat kopra, minyak klentik, minyak mentah, minyak dimurnikan, produk lemak dan turunannya, santan awet, santan serbuk, protein kelapa, desiccated coconut, yoghurt berbasis kelapa, minuman dan skim kelapa. 2. Air kelapa dapat dibuat nata de coco, cuka air kelapa, kecap air kelapa dan minuman penyegar. 3. Nira kelapa dapat dibuat gula merah cetak, gula semut, cuka nira, sirup nira dan minuman ringan.
24
4. Tempurung atau batok kelapa dapat dibuat arang, arang aktif dan tepung lempung. 5. Sabut kelapa dapat dibuat coir fibre dan coir dust. 6. Batang kelapa dapat dibuat furniture dan kerajinan.
2.1.2. Serat Sabut Kelapa Serat sabut kelapa atau coco fibre merupakan produk yang berasal dari proses pemisahan serat dari bagian kulit buah.
Bagian kulit buah merupakan
bagian terbesar dari buah kelapa, yaitu sekitar 35 persen dari total bobot.
Ekstrak
sabut kelapa ini merupakan hasil samping dari suatu industri pengolahan kelapa. Serat sabut kelapa ini dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu serat sabut kelapa putih (white coir fibre) dan serat sabut kelapa coklat (brown coir fibre) (Pusat Penelitian Perkebunan Marihat – Bandar Kuala, 1995). 1.
Serat Sabut Kelapa Putih (white coir fibre) Serat sabut kelapa putih yang sering disebut juga yarn fibre, mat fibre atau
retted fibre merupakan jenis serat sabut berwarna kuning cerah dan diperoleh dengan cara merendam sabut segar, biasanya dalam air garam selama 6 – 12 bulan. Serat sabut kelapa putih (white coir fibre) hampir seluruhnya dipintal menjadi yarn fibre yang selanjutnya digunakan untuk bahan karpet, pelapis dinding, tali dan lain-lain. 2.
Serat Sabut Kelapa Coklat (brown coir fibre) Jenis serat ini diperoleh dari ekstraksi sabut kering (brown husk) secara
mekanik, baik secara basah maupun kering. Serat sabut kelapa coklat mempunyai kegunaan yang lebih luas bila dibandingkan serat sabut kelapa putih (white coir fibre). Serat sabut kelapa ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bristle fibred dan mattres fibre.
Bristle fibre secara tradisional banyak digunakan untuk bahan
perlengkapan rumah tangga, seperti sikat, sapu dan lain-lain. Sementara itu matres
25
fibre secara tradisional sering digunakan untuk keset, matras olahraga, bahan penyekat dan lain-lain. Bristle fibre dan matres fibre
dapat dicampur dengan lateks dan bahan
kimiawi yang lain untuk membuat serat sabut kelapa berkaret (rubberized coir) yang banyak digunakan untuk perlengkapan rumah tangga, penyaring, penyekat dan lainlain. Serat sabut kelapa ini bersaing dengan berbagai jenis serat nabati yang lain, juga dengan serat sintetis, produk-produk turunan minyak bumi (nylon, polyurethane dan lain-lain). Persaingan ini hampir disemua bidang penggunaannya.
2.1.3. Proses Produksi Serat Sabut Kelapa Proses produksi serat sabut kelapa di mulai dengan tahap persiapan. Pada tahap persiapan sabut kelapa yang utuh dipotong membujur menjadi sekitar lima bagian, kemudian bagian ujungnya yang keras dipotong. Sabut tersebut kemudian direndam selama sekitar tiga hari sehingga bagian gabusnya membusuk dan mudah terpisah dari seratnya. Setelah itu kemudian ditiriskan. Sabut yang telah ditiriskan tersebut kemudian dilunakan.
Pelunakan sabut secara tradisional
dilakukan dengan manual, yaitu dengan cara sabut dipukul menggunakan palu sehingga sabut kelapa menjadi terurai.
Pada tahap ini sudah dihasilkan hasil
samping berupa butiran gabus. Secara modern, pelunakan sabut dilakukan dengan menggunakan mesin pemukul yang disebut mesin double cruiser atau hammer mill 3. Setelah dilakukan pelunakan kemudian sabut kelapa dimasukkan ke dalam mesin pemisah serat untuk memisahkan bagian serat dengan gabus. Komponen utama mesin pemisah serat atau defifibring machine
adalah silinder yang
permukaannya dipenuhi dengan gigi-gigi dari besi yang berputar untuk memukul dan ”menggaruk” sabut sehingga bagian serat terpisah. Pada tahap ini dihasilkan 3
www.bi.go.id/sipuk/lm/ind/serat_kelapa/sosek.htm#sosek. 2005. Pola Pembiayaan Serabut Kelapa.
26
butiran-butiran gabus sebagai hasil samping. Serat-serat yang telah dipisahkan dari gabusnya
tersebut kemudian dimasukkan ke
dalam mesin sortasi untuk
memisahkan bagian serat halus dan kasar. Mesin sortasi atau pengayak (refaulting screen) adalah berupa saringan berbentuk cone yang berputar dengan tenaga penggerak motor.
Sortasi dan pengayakan juga dilakukan pada butiran gabus
dengan menggunakan ayakan atau saringan yang dilakukan secara manual sehingga dihasilkan butiran-butiran halus gabus4. Tahap pembersihan dilakukan untuk memisahkan bagian gabus yang masih menempel pada bagian serat halus yang telah terpisah dari bagian serat kasar. Tahap ini dilakukan secara manual.
Setelah bersih kemudian dilakukan proses
pengeringan dengan cara penjemuran atau dengan menggunakan mesin pengering. Serat sabut kelapa yang sudah bersih dan kering kemudian di pak dengan menggunakan alat press. Ukuran kemasan yang digunakan adalah sekitar 90 X 110 X 45 cm. Secara tradisional pemadatan serat dilakukan secara manual dengan cara diinjak sehingga dapat dihasilkan bobot setiap kemasan sekitar 40 kilogram. Sementara apabila dilakukan pemadatan dengan mesin press maka bobot setiap kemasan mencapai sekitar 100 kilogram4. Mutu serat sabut kelapa atau coconut fibre ditentukan oleh warna, persentase kotoran, keadaan air, dan proporsi antara bobot serat panjang dan serat pendek. Spesifikasi mutu produk serat yang diekspor oleh salah satu perusahaan eksportir di Jakarta adalah
kadar air kurang dari 10 persen, kandungan gabus
kurang dari lima persen, panjang serat (2 – 10 cm) 30 persen, panjang serat (10 – 25 cm) 70 persen, ukuran bale 70 x 70 x 50 cm, dan bobot per bale adalah 50 kilogram4.
4
ibid
27
2.2.
Tinjauan Empiris (Hasil Penelitian Terdahulu)
2.2.1. Penelitian mengenai Sabut Kelapa Sudirman (2003) dalam penelitiannya yang berjudul strategi pengembangan usaha pengolahan sabut kelapa dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat (Kasus Desa Muntai, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis) menyatakan bahwa usaha sabut kelapa yang dikembangkan di Desa Muntai sangat berpotensi. Begitu pula menurut hasil penelitian Nuraida (2003), mengenai prospek pengembangan serat sabut kelapa di CV. Rahmat Kurnia. Potensi tersebut menurut Sudirman (2003) dilihat dari analisis keuangannya. Berdasarkan hasil analisis keuangan diketahui ternyata dengan modal sebesar Rp 100,50 juta dengan kapasitas produksi 500 Kg bahan baku kulit kelapa, maka pengusaha sabut kelapa akan menghasilkan produksi berupa serat sabut kelapa dan gabus.
Keuntungan bersih yang diterima pengusaha sabut kelapa adalah
sebesar Rp 5,13 juta per bulan. Menurut Nuraida (2003) apabila dilihat dari aspek keuangannya, pengelolaan usaha yang baik dan terarah dapat memberikan dampak usaha yang cukup likuid, solvable dan profitable.
Hal ini berarti mencerminkan
bahwa usaha serat sabut kelapa merupakan usaha yang memiliki prospek cerah dan wajar untuk dikembangkan. Cerahnya prospek dari usaha ini karena terdapat hal lain yang mendukung, seperti peluang pasar yang masih memungkinkan, baik didalam negeri maupun diluar negeri, bahan baku yang mudah diperoleh dan terjamin kontinuitasnya serta teknologi proses yang sederhana.
Namun walaupun usaha ini masih memiliki
prospek yang cerah masih terdapat beberapa kendala yang perlu dihadapi oleh CV. Rahmat Kurnia, salah satunya adalah modal. Oleh karena itu CV. Rahmat Kurnia meminjam modal kepada perbankan. Dari bantuan permodalan tersebut, dampak positif dari usaha yang dikembangkan oleh CV. Rahmat Kurnia ini terlihat secara
28
nyata. Hal ini didasarkan kepada rata-rata penghasilan penjualan yang mencapai 19,03 persen.
Nilai penjualan tersebut diperoleh berdasarkan hasil pemenuhan
permintaan dari pelanggan lama maupun baru (Nuraida, 2003).
Kendala yang
terjadi pada CV. Rahmat Kurnia tersebut terjadi pula pada perajin sabut kelapa di Desa Muntai.
Untuk solusinya perajin Desa Muntai mencari pinjaman lunak dari
perbankan. Untuk dapat lebih mengembangkan usaha ini, maka Nuraida (2003) dengan menggunakan alat analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity,
Threats)
merekomendasikan beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan oleh pengusaha, yaitu (1) meningkatkan mutu produksi, (2) memanfaatkan lembaga perbankan untuk membantu permodalan dalam meningkatkan produktivitas usaha, (3) memotong jalur distribusi dengan menjual langsung ke pasar internasional agar mendapat nilai jual yang tinggi dan (4) melakukan pengembangan pasar untuk memperoleh pangsa pasar yang baru. Sementara itu dengan menggunakan alat analisis yang sama dengan Nuraida, yaitu SWOT, Sudirman (2003) merekomendasikan beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan oleh para perajin serat sabut kelapa di Desa Muntai. Adapun alternatif strategi tersebut adalah (1) proyek peningkatan kemampuan permodalan dalam bentuk kegiatan pinjaman lunak bergulir dan mengembangkan kelembagaan ekonomi lokal, (2) proyek peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam
bentuk
antara
lain,
menyelenggarakan
pendidikan,
pelatihan
dan
pendampingan melalui instansi terkait dengan praktisi pengolahan sabut kelapa yangtelah berhasil, (3) pemanfaatan teknologi dengan kapasitas produksi memadai pengadaan,
(4) penguatan kelembagaan ekonomi lokal sebagai alternatif
pemberdayaan permodalan pengusaha sabut kelapa, (5) proyek peningkatan pemasaran berbasis kualitas produk sabut kelapa.
29
Penelitian mengenai sabut kelapa yang pernah dilakukan tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu dari bentuk komoditasnya. Adapun bentuk komoditas yang akan diteliti pada tahun ini adalah serat sabut kelapa. Sementara perbedaannya terletak pada topik penelitian dan alat analisis yang digunakan. Topik penelitian terdahulu adalah mengenai strategi pemasaran sabut kelapa, sementara topik penelitian yang dilakukan tahun ini adalah mengenai respon penawaran ekspor. Alat analisis yang digunakan pada penelitian terdahulu adalah SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats).
Alat ini digunakan karena sesuai
dengan topik yang diteliti, yaitu strategi pemasaran. Sementara alat analisis yang digunakan untuk penelitian mengenai respon penawaran serat sabut kelapa adalah ekonometrika.
2.2.2. Penelitian mengenai Respon Penawaran Turnip (2002) dalam penelitiannya yang berjudul analisis faktor – faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor dan aliran perdagangan kopi Indonesia menyatakan bahwa faktor – faktor yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor kopi adalah produksi kopi, harga domestik, harga ekspor, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dan jumlah ekspor kopi Indonesia tahun sebelumnya (lag). Adapun model pendugaan yang digunakan untuk menganalisis faktor – faktor yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor kopi Indonesia adalah model regresi linier berganda. Berdasarkan model tersebut maka diketahui bahwa dari lima faktor yang diidentifikasi berpengaruh terhadap penawaran ekspor hanya empat faktor yang positif berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor.
Adapun faktor – faktor
tersebut adalah produksi, harga ekspor, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
30
Serikat, dan ekspor kopi Indonesia pada tahun sebelumnya (lag). Sementara harga domestik berpengaruh negatif. Nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan dari model tersebut adalah sebesar 85,70 persen. Hal ini berarti bahwa 85,70 persen dari keragaan volume ekspor kopi Indonesia dapat dijelaskan oleh keragaman variabel bebas di dalam model, sedangkan sisanya diterangkan oleh variabel lain. Model yang digunakan pada penelitian ekspor kopi Indonesia tersebut sama dengan yang digunakan pada penelitian respon penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.
Hal ini terjadi karena kategori komoditas yang diteliti adalah
sama, yaitu komoditas ekspor. Perbedaannya terletak pada bentuk komoditas yang diteliti, yaitu kopi dan kelapa. Manfaat dari studi hasil penelitian terdahulu terhadap penelitian ini adalah informasi mengenai serat sabut kelapa menjadi bertambah.
Selain itu dapat
diketahui pula faktor – faktor yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor pada komoditas hasil penelitian terdahulu yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mencari faktor – faktor yang berpengaruh terhadap respon penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.
31
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Perdagangan Internasional Pola perdagangan antar negara disebabkan oleh perbedaan bawaan faktor (Factor Endowment), dimana suatu negara akan mengekspor komoditas yang produksinya memerlukan faktor produksi yang relatif berlimpah. Dengan demikian perdagangan mendorong sumberdaya ke dalam sektor-sektor yang mempunyai keunggulan komparatif. Di samping itu perdagangan juga didorong oleh adanya penawaran dan permintaan antar negara (Salvatore, 1997). Menurut Salvatore (1997), bagi dua negara yang menjalin hubungan dagang dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. Hukum keunggulan komparatif menyatakan bahwa meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding
(atau
memiliki
kerugian
absolut
terhadap)
negara
lain
dalam
memproduksi kedua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (komoditas dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditas yang memiliki kerugian komparatif). Dalam konteks dua negara dan dua komoditas, jika salah satu negara telah ditetapkan memiliki keunggulan komparatif dalam satu komoditas, maka negara satunya harus dianggap memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas lainnya.
32
Efek gabungan dari kombinasi keunggulan komparatif dengan distorsi pasar yang terjadi disebut keunggulan kompetitif. Pada umumnya distorsi pasar bersumber dari kebijakan pemerintah. Hal ini dapat diatasi dengan meningkatkan deregulasi, debirokrasi dan proteksi. Bila distorsi pasar ditiadakan, maka keunggulan komparatif mencerminkan keunggulan kompetitif. Menurut Gonarsyah (1987), perdagangan internasional mulai terjadi bilamana rasio harga domestik dari komoditas-komoditas yang berbeda di negaranegara yang bersangkutan tidak sama akibat dari adanya perbedaan dalam kurva kemungkinan produksi, bagaimanapun biaya produksinya. Suatu negara akan mengekspor (mengimpor) komoditas yang relatif (dibandingkan dengan komoditas lain) lebih murah (mahal) di dalam negeri daripada di luar negeri. Selain itu, faktorfaktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional (ekspor - impor) suatu negara dengan negara lain adalah bersumber dari keinginan memperluas pemasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan devisa bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar negara, tidak semua negara mampu menyediakan kebutuhan masyarakatnya dan karena adanya faktor selera dan pendapatan. Salvatore (1997) merumuskan model sederhana terjadinya perdagangan internasional dengan deskripsi sebagai berikut, yaitu ketika sebelum terjadinya perdagangan internasional, harga keseimbangan komoditas kelapa (Y) di negara A adalah Pa, sedangkan di negara B adalah Pb. Pada harga ini, di negara A dan negara B terjadi kondisi keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Pe adalah harga keseimbangan di pasar internasional yang terletak di antara harga keseimbangan negara A dan negara B. Perdagangan internasional menyebabkan harga kelapa di negara A meningkat menjadi Pe, sedangkan harga kelapa di negara B turun menjadi Pe. Di
33
negara A konsumsi domestik akan kelapa berkurang menjadi Q1A, sedangkan penawaran domestik akan kelapa meningkat menjadi Q2A. Dengan demikian di negara A terjadi kelebihan penawaran kelapa sebesar Q1AQ2A, sedangkan di negara B konsumsi domestiknya meningkat menjadi Q2B dan penawaran domestiknya turun menjadi Q1B. Hal ini berarti bahwa terjadi kelebihan permintaan sebesar Q1BQ2B. Kelebihan penawaran di negara A kemudian diekspor ke negara B yang mengalami kelebihan permintaan. Gambaran mengenai perdagangan internasional tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. P
P
Pb Ekspor
Pe Pa 0
D
Q1A QeA Q2A Negara A (Pengekspor)
S
Pb
P Pb
S
Pe
D
Pa Qe Pasar Internasional
S
Pe
0
Impor
D
Q1B QeB Q2B Negara B (Pengimpor)
Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Perdagangan Internasional (Sumber : Salvatore, 1997) Keterangan : Pa : Harga domestik sabut kelapa di negara pengekspor sebelum terjadinya perdagangan internasional. OQeA : Jumlah konsumsi sabut kelapa di negara pengekspor sebelum terjadinya perdagangan internasional. Q1AQ2A : Kelebihan penawaran sabut kelapa di negara pengekspor setelah terjadinya perdagangan internasional. Pb : Harga domestik sabut kelapa di negara pengimpor sebelum terjadinya perdagangan internasional. OQeB : Jumlah konsumsi sabut kelapa di negara pengimpor sebelum terjadinya perdagangan internasional. Q1BQ2B : Kelebihan penawaran sabut kelapa di negara pengimpor setelah terjadinya perdagangan internasional. Pe : Harga keseimbangan sabut kelapa setelah terjadinya perdagangan internasional. OQe : Jumlah sabut kelapa yang diperdagangkan; jumlah ekspor sabut kelapa (Q1AQ2A) sama dengan jumlah impor sabut kelapa (Q1BQ2B).
34
Berdasarkan informasi tersebut maka diketahui bahwa harga yang terjadi di pasaran internasional merupakan keseimbangan antara penawaran dan permintaan dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan mempengaruhi penawaran dunia sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga dunia.
3.1.2. Penawaran Ekspor Penawaran statis dari segi komoditas pertanian diperlihatkan dari hubungan antara harga produksi dengan jumlah yang ditawarkan pada waktu tertentu, sedangkan faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus) (Lipsey, 1995). Penawaran ekspor suatu negara merupakan selisih antara produksi atau penawaran domestik dikurangi dengan konsumsi atau permintaan domestik negara yang bersangkutan ditambah dengan stok tahun sebelumnya. Menurut Laby’s seperti dikutip dari Ermi Tety (2002) ekspor ke suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik atau produksi barang atau jasa yang tidak di konsumsi oleh konsumen negara yang bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk stok. Menurut Malian (2003) dalam teori perdagangan internasional disebutkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi penawarannya.
Adapun faktor – faktor tersebut adalah harga ekspor, harga
domestik, nilai tukar riil, kapasitas produksi yang dapat diproduksi melalui investasi, impor bahan baku dan kebijakan deregulasi. Dari keenam faktor tersebut hanya tiga faktor yang digunakan pada penelitian ini. Hal ini dikarenakan data yang tersedia hanya untuk ketiga faktor tersebut.
Ketiga faktor tersebut adalah harga ekspor, nilai tukar riil rupiah dan
kapasitas produksi yang dapat diproduksi melalui investasi (Produk Domestik Bruto).
35
1.
Harga Ekspor Perbedaan relatif harga – harga atas berbagai komoditas antara dua negara
pada dasarnya mencerminkan keunggulan komparatif bagi masing – masing negara yang mencerminkan pijakan setiap negara dalam melangsungkan hubungan dagang yang saling menguntungkan. Negara yang harga relatifnya lebih besar atas suatu komoditas yang bersangkutan menjadi keuntungan bagi negara tersebut. Namun dilain pihak negara itu pun memiliki kerugian komparatif atas komoditas – komoditas lainnya yang selanjutnya menjadi andalan mata dagangan negara lain.
2.
Nilai Tukar Nilai tukar (exchange Rate) diantara dua negara adalah harga dimana
penduduk kedua negara saling melakukan perdagangan. Menurut Mankiw (2000) para ekonom membedakan nilai tukar dalam dua bentuk, yaitu nominal dan riil. Nilai tukar nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang – barang kedua negara. Peningkatan atau perbaikan nilai tukar perdagangan di suatu negara biasanya dianggap menguntungkan bagi negara tersebut.
Hal ini karena harga
yang diperolehnya dari ekspor akan meningkat secara relatif bila dibandingkan dengan harga – harga yang harus dibayarnya untuk memperoleh produk – produk impor. Menurut Mankiw (2000) biasanya ketika nilai tukar riil mengalami penurunan maka ekspor akan mengalami peningkatan dan impor akan mengalami penurunan. Kondisi ini terjadi karena ketika nilai tukar mengalami penurunan maka eksportir akan memperoleh keuntungan cukup besar dalam bentuk rupiah, sedangkan harga barang impor akan menjadi lebih mahal bila dibandingkan dengan harga barang di dalam negeri.
36
3.
Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Mankiw (2000) Produk Domestik Bruto adalah pendapatan dan
pengeluaran nasional untuk output barang dan jasa.
PDB biasanya dianggap
sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian suatu negara. PDB suatu negara merupakan ukuran kapasitas untuk memproduksi komoditas ekspor negara tersebut.
Kapasitas kemampuan suatu negara untuk
memproduksi komoditasnya dapat diketahui berdasarkan kurva batas kemungkinan produksinya. Menurut Lipsey (1995) batas kemungkinan produksi adalah sebuah kurva yang memperlihatkan berbagai alternatif kombinasi dua komoditas yang dapat diproduksi oleh sebuah negara dengan menggunakan
semua sumberdayanya
melalui teknologi terbaik yang dimilikinya. Adapun bentuk dari Kurva Kemungkinan Produksi dapat dilihat pada Gambar 2. Y K1 KKP 2 KKP 1
x1
E’
x2 x3
E
x
Gambar 2. Kurva Kemungkinan Produksi (Sumber : Salvatore, 1997) Pada Gambar 2 terlihat bahwa terdapat dua kurva kemungkinan produksi KKP1 dan KKP2. Kedua negara tersebut diasumsikan memproduksi komoditas X sehingga apabila terjadi kenaikan PDB maka negara akan menambah kapasitas untuk memproduksi komoditas ekspor tersebut dan menggeser kurva KKP1 menjadi KKP2. Besar perubahan KKP tergantung pada besar perubahan PDB yang terjadi dan pergeseran ini menggambarkan pertumbuhan produksi domestik suatu negara. Setelah terjadi pergeseran dengan asumsi konsumsi masyarakat sama dengan
37
negara pengekspor komoditas X maka ekspor akan meningkat dari sebesar X1X2 menjadi X1X3. PDB ini dapat mewakili ukuran ekonomi negara eksportir.
Ukuran ini
didasarkan kepada besarnya jumlah produksi komoditas ekspor yang dapat dijual oleh negara eksportir. Ukuran ekonomi adalah kemampuan potensial negara untuk melakukan perdagangan luar negeri dalam hal menjual atau membeli komoditas ekspor. Hal-hal lain yang penting dalam mempelajari penawaran komoditas pertanian adalah konsep elastisitas penawaran yang dapat diartikan sebagai persentase perubahan dalam jumlah komoditas yang ditawarkan akibat adanya persentase perubahan harga, sementara faktor lainnya diangap konstan (Lipsey, 1995).
Pada konsep elatisitas ini, lamanya waktu respon merupakan hal yang
kritis. Penawaran dalam waktu yang sangat pendek, akan sulit untuk mengubah jumlah yang ditawarkan. Namun apabila waktu penawaran tersebut cukup lama maka untuk mengubah jumlah penawaran tersebut akan lebih mudah. Kriteria uji yang digunakan dalam pendugaan nilai elastisitas ini, baik jangka pendek maupun jangka panjang adalah sebagai berikut : 1.
Jika nilai elastisitas lebih besar dari satu (E > 1), maka penawaran tersebut dapat dikatakan elastis (responsif).
2.
Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0 < E < 1) dikatakan inelastis (tidak responsif).
3.
Jika nilai elastisitas sama dengan no (E = 0), dikatakan inelastis sempurna.
4.
Jika nilai elastisitasnya sama dengan satu (E = 1), dikatakan unitary elastis. Untuk jangka panjang elastisitas penawaran biasanya diharapkan lebih
besar dari elastisitas jangka pendek. Oleh karena itu produsen dapat merubah atau mengurangi produksinya.
38
3.2.
Kerangka Pemikiran Konseptual Indonesia yang dikenal dengan nama negeri nyiur melambai merupakan
negara yang memiliki areal lahan perkebunan kelapa terluas di dunia. Akibat dari luasnya lahan perkebunan tersebut menyebabkan produksi kelapa di Indonesia menjadi terbesar di dunia. Namun walaupun produksi kelapa Indonesia terbesar di dunia, tetapi ekspor kelapa Indonesia terutama serat sabut kelapa lebih rendah dari negara lain. Padahal apabila dilihat dari permintaan dunia terhadap sabut kelapa ini cukup tinggi (Lampiran 1). Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan ekspor mengalami penurunan.
Selain itu, perlu dilakukan pula
analisis terhadap faktor yang dominan terhadap penawaran ekspor dan elastisitas penawaran. Untuk lebih jelasnya gambaran mengenai alur kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
39
1. Luas areal perkebunan kelapa besar 2. Produksi kelapa tinggi
Permintaan sabut kelapa di dunia tinggi
Ekspor Rendah
1. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia 2. Elastisitas penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia
R E K OME NDAS I
Gambar 3. Alur Kerangka Pemikiran Konseptual
40
3.3.
Hipotesis Hipotesis adalah pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu
kebenaran sebagaimana adanya pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta panduan dalam verifikasi (Nazir, 1999). Oleh karena itu maka hipotesis yang berlaku pada penelitian ini adalah : 1.
Harga ekspor serat sabut kelapa diharapkan memiliki hubungan positif dengan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.
Hal ini
berarti bahwa semakin tinggi harga ekspor maka jumlah penawaran ekspor akan semakin meningkat pula. 2.
Nilai tukar riil rupiah diharapkan memiliki hubungan negatif dengan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. meningkatnya nilai tukar riil rupiah
Hal ini berarti bahwa
akan menurunkan jumlah penawaran
ekspor serat sabut kelapa Indonesia. 3.
Produk Domestik Bruto (PDB) diharapkan memiliki hubungan positif dengan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.
Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi nilai PDB maka jumlah penawaran ekspor akan semakin meningkat pula. Penyebabnya adalah karena PDB terkait dengan pengeluaran total yang diasumsikan sebagai investasi. 4.
Produksi sabut kelapa diharapkan memiliki hubungan positif dengan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.
Hal ini berarti bahwa
semakin tinggi produksi sabut kelapa maka jumlah penawaran ekspor akan semakin meningkat pula. 5.
Jumlah ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya (lag) diharapkan memiliki hubungan positif dengan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi lag maka jumlah penawaran ekspor akan semakin meningkat pula.
41
6.
Luas areal perkebunan diharapkan memiliki hubungan positif dengan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.
Hal ini berarti bahwa
semakin tinggi luas areal perkebunan maka jumlah penawaran ekspor akan semakin meningkat pula.
42
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk
time series (deret waktu). Kurun waktu data yang digunakan pada penelitian ini adalah data triwulan yang diambil dari tahun 1996 – 2004. Jumlah rentang tahun tersebut didasarkan kepada ketersediaan data ekspor serat sabut kelapa di Indonesia. Data tersebut diperoleh dari Asian and Pacific Coconut Community (APCC), Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan,
Dirjen Bina Produksi
Perkebunan dan instansi – instansi lain yang relevan. Selain dari instansi tersebut, data sekunder juga diperoleh dari literatur – literatur yang relevan, seperti hasil penelitian terdahulu dan yang lainnya. Perincian jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jenis Data yang Digunakan Beserta Sumbernya No. 1 2 3 4 5 6
4.2.
Uraian Luas areal perkebunan Produksi kelapa Volume ekspor sabut kelapa Harga sabut kelapa di dunia Produksi Domestik Bruto Kurs
Satuan ha Ton Ton Rp Rp Rp
Sumber Departemen Pertanian/BPS Departemen Pertanian/APCC Depperindag/BPS BPS BPS BPS
Pengolahan dan Analisis Data Sebelum diolah data yang diperoleh dikelompokkan terlebih dahulu,
kemudian setelah itu dibuat dalam bentuk tabulasi guna mengidentifikasikannya.
43
Data yang dianalisis pada penelitian ini terdiri dari dua data, yaitu data kuantitatif dan kualitatif.
Data kuantitatif digunakan untuk menganalisis variabel - variabel
yang mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa di Indonesia, sedangkan data kualitatif digunakan untuk melihat perkembangan pasar, dan ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan komputer dan kalkulator.
Adapun program komputer yang digunakan untuk mengolah data
sekunder ini adalah program minitab versi 13.
Setelah data diolah kemudian
hasilnya diinterpretasikan dengan cara manual.
4.2.1. Perumusan Model Analisis
regresi
merupakan
menganalisis hubungan antar variabel.
suatu
metode
yang
digunakan
untuk
Hubungan tersebut dapat diekspresikan
dalam bentuk persamaan yang menghubungkan antara variabel terikat (Y) dengan satu atau lebih variabel bebas (X1, X2, X3, ….., Xn). Untuk membuat model regresi, metode yang dapat digunakan untuk mencapai penyimpangan atau error yang minimum adalah metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square = OLS). Menurut Gujarati (1999) untuk membuat regresi linier, asumsi-asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) adalah : 1.
Nilai rata-rata untuk kesalahan pengganggu sama dengan nol atau E (ui) = 0
2.
Tidak ada autokorelasi antara error ui dan uj atau covarian (ui, uj) = 0 ; i • j
3.
Keragaman dari u konstan (homoskedastis) atau varian (uj) = á2
4.
Untuk pengujian hipotesis, nilai error harus berdistribusi normal dengan nilai sama dengan nol dan keragaman dari u konstan (homoskedastis)
5.
Tidak ada hubungan linier (kolinieritas) antar variabel bebas
44
I.
Model Respon Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa
A.
Model Regresi Linier Berganda Model yang digunakan dalam analisis ini adalah model regresi linier
berganda (ekonometrika). Model ini digunakan karena memiliki keunggulan, yaitu dapat mengakomodasi semua faktor, sederhana dan mampu menjelaskan berapa persen variabel terikat dapat dijelaskan oleh variabel bebas dengan nilai goodness of fit (R2). Selain kelebihan, pada model ini juga terdapat kekurangan, seperti perlu menggunakan beberapa asumsi.
Contohnya adalah
peubah bebas dalam
persamaan tidak boleh saling berkorelasi (autokorelasi), tidak boleh ada kolinieritas antar peubah bebas (multikolinier), dan errornya harus memiliki keragaman yang sama (heterokedastisitas). Adapun bentuk model yang digunakan pada penelitian tentang respon penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia ini adalah sebagai berikut : Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + å Keterangan : Y : penawaran ekspor serat sabut kelapa (Ton) b : variabel yang diduga X1 : harga ekspor serat sabut kelapa (US$/Kg) X2 : kurs (Rp/US$) X3 : produk domestik bruto (Rp) X4 : produksi sabut kelapa (Kg) X5 : volume ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya (lag) (Ton) X6 : luas areal perkebunan (ha) å : galat sisa Faktor – faktor yang menjadi variabel penawaran ekspor serat sabut kelapa pada penelitian ini adalah harga ekspor serat sabut kelapa (US$/Kg), nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (Rp/US$), produk domestik bruto (Rp), produksi
sabut
kelapa
(Kg),
jumlah
ekspor
serat
sabut
kelapa
tahun
sebelumnya(lag) (Kg) dan luas areal pertanaman kelapa (ha). Penentuan faktor tersebut didasarkan kepada teori penawaran ekspor dan hasil studi pustaka dari penelitian terdahulu tentang penawaran ekspor.
45
B.
Model Double Log Selain model regresi linier berganda, pada penelitian ini akan dicobakan pula
model lain, yaitu model double log. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi apabila data penelitian tidak linier. Model double log adalah suatu model yang dihasilkan dari transformasi suatu model tidak linier menjadi model linier dengan jalan membuat model dalam bentuk logaritma.
Adapun bentuk dari model double log yang digunakan pada
penelitian respon penawaran ekspor serat sabut kelapa ini adalah sebagai berikut : Y = â0 X1â1 X2â2 X3â3 X4â4 X5â5 X6â6 eu Keterangan : Y : penawaran ekspor serat sabut kelapa (Ton) b : variabel yang diduga X1 : harga serat sabut kelapa ekspor (US$/Kg) X2 : kurs (Rp/US$) X3 : produk domestik bruto (Rp) X4 : produksi sabut kelapa (Kg) X5 : volume ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya (Ton) X6 : luas areal perkebunan (ha) : galat sisa å Berdasarkan bentuk modelnya maka sudah dapat dipastikan bahwa model tersebut adalah bukan model regresi linier. Model tersebut merupakan model yang tidak linier baik variabel maupun parameternya.
Namun model tersebut dapat
ditransformasikan sehingga parameternya berbentuk linier. Adapun bentuk model yang telah ditransformasikan tersebut secara umum adalah sebagai berikut : lnY = lnb0 + b1lnX1 + b2lnX2 + b3lnX3 + b4lnX4 + b5lnX5 + b6lnX6 + å Apabila variabel-variabel dalam model tersebut didefinisikan kembali, maka akan diperoleh model sebagai berikut : Y* = b0* + b1*X1* + b2*X2* + b3*X3*+ b4*X4* + b5*X5* + b6*X6* + å
Keterangan
:
46
Y* X*(1-7) b0 * b*(1-7)
= ln Y = ln X(1-7) = ln b0 = b(1-7) Berdasarkan dari model tersebut maka diketahui bahwa sesungguhnya
model yang terbentuk sudah regresi linier berganda dengan variabel dan parameter berbentuk linier.
Dengan demikian
maka b0* dan b(1-6)* dapat ditaksir dengan
menggunakan metode untuk mengestimasi parameter regresi sederhana, yaitu OLS (ordinary least square). II.
Pengujian Model
A.
Mengukur Goodness of Fit (R2) Menurut Gujarati (1999), R2 adalah alat untuk mengukur proporsi atau
persentase variasi total dalam variabel tidak bebas (Y) yang dijelaskan oleh variabel penjelas (X). Ukuran R2 ini mencerminkan seberapa besar variabel terikat (Y) dapat diterangkan oleh variabel bebas (X). Bila R2 sama dengan nol, maka arti dari angka tersebut adalah variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali. Sementara bila R2 sama dengan satu, maka hal ini berarti bahwa variasi dari Y seratus persen dapat diterangkan oleh X. Ciri khas dari R2 ini biasanya terletak antara kedua angka ekstrim tersebut.
Adapun rumus yang digunakan untuk
mencari R2 ini adalah sebagai berikut :
R2 =
ESS TSS
Keterangan : R2 = goodness of fit ESS = jumlah kuadrat penjelas TSS = jumlah kuadrat total Sementara TSS itu sendiri diperoleh dari rumus sebagai berikut : TSS = ESS + RSS Keterangan : RSS = jumlah kuadrat galat
47
Berdasarkan definisi dari R2 tersebut maka diketahui bahwa tidak tepatnya titik – titik berada pada garis regresi disebabkan oleh adanya faktor – faktor lain yang berpengaruh terhadap variabel terikat. Bila tidak ada penyimpangan tentunya tidak akan ada error. Akibat dari hal tersebut maka RSS sama dengan nol dan hal ini berarti bahwa ESS sama dengan TSS atau R2
sama dengan satu. Dari
penjelasan ini maka diketahui bahwa TSS sesungguhnya merupakan variasi dari data, sedangkan ESS adalah variasi dari garis regresi yang dibuat. B.
Uji Hipotesis Salah satu penggunaan statistik adalah untuk melihat nyata atau tidaknya
pengaruh peubah yang dipilih terhadap peubah-peubah yang diteliti. Oleh karena itu model yang dianalisis membutuhkan pengujian terhadap hipotesis-hipotesis yang dilakukan. Adapun uji hipotesis yang sering dilakukan adalah uji-t dan uji F. Uji-t merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah koefisien regresi layak atau tidak digunakan. Pengujian ini akan berguna jika pada pengujian analisis ragam diperoleh kesimpulan bahwa terdapat paling sedikit satu variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikat sehingga pengujian tstudent
akan sangat bermanfaat untuk menunjukkan peubah bebas mana yang
berpengaruh secara parsial terhadap peubah tak bebas. Uji-t dapat dirumuskan sebagai berikut :
t − hitung =
bi Se(b i )
Keterangan : Se(bi) = standar error dari parameter dugaan bi = parameter dugaan Sebelum melakukan pengujian, biasanya dibuat hipotesis terlebih dahulu. Adapun bentuk hipotesis yang lazim digunakan dalam penelitian dengan alat statistik uji-t adalah sebagai berikut : H0 H1
: b=0 : b• 0
48
Hal tersebut berarti bahwa berdasarkan data yang tersedia maka akan dilakukan pengujian terhadap b (koefisien regresi populasi).
Apabila b sama
dengan nol maka berarti b tidak mempunyai pengaruh nyata terhadap variabel terikat, sedangkan apabila b tidak sama dengan nol maka berarti b memiliki pengaruh nyata terhadap variabel terikat. Selain uji-t, pada penelitian ini juga dilakukan uji F (Uji simultan).
Uji F
bertujuan untuk mengetahui pengaruh semua variabel bebas yang terdapat pada model secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Penggunaan uji F dalam menguji pengaruh variabel bebas secara simultan sering disebut analisis ragam. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung uji F ini adalah sebagai berikut :
F − hitung =
ESS/dfR RSS/dfE
Keterangan: RSS = jumlah kuadrat regresi ESS = jumlah kuadrat error dfR = derajat bebas regresi dfE = derajat bebas error Uji F tersebut dilakukan dengan membandingkan nilai Fhitung dengan nilai F tabel.
Adapun bentuk uji F tersebut adalah : H0 H1
: b2 = b3 = …..= bk = 0 : salah satu ≠ 0
Kriteria uji yang berlaku untuk uji F ini adalah apabila F
hitung
tabel
maka
kesimpulan yang diambil adalah terima H0. Hal ini berarti bahwa secara bersamasama variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Sementara itu apabila F
hitung
>F
tabel
maka kesimpulan yang diambil adalah tolak H0. Hal ini
berarti bahwa secara bersama-sama variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.
49
4.2.2. Masalah – Masalah dalam Model •
Multikolinieritas Interpretasi
dari
persamaan regresi linier berganda secara implisit
bergantung pada asumsi bahwa variabel – variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi.
Koefisien – koefisien regresi biasanya
diinterpretasikan sebagai ukuran perubahan variabel terikat jika salah satu variabel bebasnya naik sebesar satu unit dan seluruh variabel bebas lainnya dianggap tetap. Namun terkadang interpretasi ini menjadi tidak benar apabila terdapat hubungan linier antar variabel bebas (Chaterjee dan Price dikutip dari Nachrowi dan Hardius, 2002). Hubungan linier antara dua atau beberapa variabel bebas tersebut dinamakan multikolinieritas (Hanke et.al, 1999).
Kekuatan multikolinier tersebut
dapat diukur melalui faktor varian inflasi (VIF = Variance Inflation Factor). Adapun rumus yang digunakan untuk mengukur multikolinieritas tersebut adalah sebagai berikut :
VIF =
1 , j = 1,2,....., k 1− R 2j
Menurut Sarwoko (2003) apabila nilai VIF yang diperoleh dari hasil perhitungan kurang dari 10 maka antar variabel bebas tidak terdapat hubungan linier (multikolinieritas). Sebaliknya jika nilai VIF lebih besar dari 10 maka antar variabel bebas terdapat hubungan linier. Akibat dari adanya multikolinieritas ini, menurut Gujarati (1999) akan menyebabkan : 1.
kesalahan standarnya cenderung semakin besar dengan meningkatnya tingkat korelasi antara peningkatan variabel
2.
selang kepercayaan untuk parameter populasi yang relevan cenderung untuk lebih besar
50
3.
probabilitas untuk menerima hipotesis yang salah (kesalahan Tipe II) meningkat
4.
kesalahan standarnya menjadi sangat sensitif terhadap sedikit perubahan dalam data
5.
R2 tinggi, tetapi tidak satupun atau sedikit koefisien yang ditaksir penting secara statistik
•
Heterokedastisitas Pada regresi linier berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar
taksiran parameter dalam model tersebut bersifat BLUE adalah semua error mempunyai variansi yang sama (var (uj) = σ2 (konstan)). Padahal terdapat kasuskasus tertentu dimana variansi uji tidak konstan karena suatu variabel berubahubah. Kondisi tersebut dinamakan heterokedastis. Bila pada multikolinieritas, permasalahan dapat dideteksi dengan besaran – besaran regresi yang didapat, maka untuk heterokedastisitas tidaklah demikian. Menurut Gujarati (1999) dalam ekonometrika masalah heterokedastisitas dapat diketahui dengan beberapa cara yang lebih menekankan pada statistiknya. Adapun salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi heterokedastisitas adalah dengan melakukan uji Park. Prinsip yang digunakan dalam uji Park adalah memanfaatkan bentuk regresi. Adapun langkah – langkah yang dikenalkan Park adalah sebagai berikut : 1.
Membuat persamaan regresi seperti dibawah ini :
ln u12 = a + b ln Xi + vi Keterangan : ui = istilah error pada model regresi 2.
Melakukan uji-t dengan membandingkan t dengan t
tabel.
hitung
yang diperoleh dari nilai b
Bila b secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap
variabel terikatnya maka berarti tidak terdapat heterokedastisitas.
51
Pada dasarnya uji Park ini ingin melihat hubungan sistem (linier) antara error, dan variabel bebas. Menurut Nachrowi dan Hardius (2002) bila model yang diuji adalah regresi linier berganda maka untuk variabel bebas pada uji Park cukup diwakili dengan nilai dugaan Y. Dampak dari heterokedastis ini terhadap OLS, menurut Gujarati (1999) adalah : 1.
variansi menjadi lebih besar dari taksiran
2.
selang kepercayaan menjadi lebar yang sebenarnya tidak diperlukan dan pengujian signifikan menjadi kurang kuat
3.
lebih besarnya variansi taksiran akan mengakibatkan standar error taksiran juga lebih besar sehingga interval kepercayaan menjadi sangat besar
4.
akibat beberapa dampak
tersebut, maka kesimpulan yang diambil dari
persamaan regresi yang dibuat dapat menyesatkan •
Autokorelasi Autokorelasi timbul ketika sederetan pengamatan dari waktu ke waktu saling
berkaitan satu dengan lainnya. Kemunculan autokorelasi diakibatkan oleh dampak variabel prediktor pada respon berdistribusi dari waktu ke waktu. Umumnya kasus autokorelasi banyak terdapat pada data time series. Suatu pendekatan yang biasa digunakan untuk menentukan keberadaan autokorelasi ini adalah dengan uji Durbin – Watson. Menurut Hanke et.al (1999) Uji Durbin – Watson dilakukan dengan menggunakan residual dari analisis regresi. Adapun rumus dari uji Durbin – Watson ini adalah sebagai berikut :
n Ó (e + e )2 t t −1 DW = t =2 n Óe2 t t =1
52
Keterangan : et = Yt – • t et = Yt-1 – • t-1
: residual periode waktu ke t : residual periode waktu ke t-1
Menurut Hanke et.al (1999) kriteria uji dari statistik uji Durbin – Watson ini adalah dengan membandingkan nilai hitung antara statistik Durbin – Watson dengan batas dibawah (L) dan batas diatasnya (U). Kaidah keputusannya adalah sebagai berikut : 1.
Apabila statistik Durbin – Watson lebih besar dari batas diatas (U) maka koefisien autokorelasi setara dengan nol (tidak terdapat autokorelasi positif).
2.
Apabila statistik Durbin – Watson lebih kecil dari batas dibawah (L) maka koefisien autokorelasi lebih besar dari nol (terdapat autokorelasi positif).
3.
Apabila statistik Durbin – Watson berada diantara batas dibawah (L) dengan batas diatas (U) maka pengujian tidak dapat disimpulkan.
III.
Elastisitas Pengukuran elastisitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
Oleh karena itu setiap variabel
bebas diukur elastisitasnya terhadap variabel terikat. Jika nilai elastisitasnya lebih besar dari satu (E>1) menunjukkan bahwa variabel bebas responsif terhadap variabel terikat.
Hal ini berarti bahwa perubahan satu persen variabel bebas
mengakibatkan perubahan variabel terikat lebih dari satu persen. Sebaliknya jika nilai elastisitas lebih kecil dari satu (E<1) menunjukkan bahwa variabel bebasnya tidak responsif terhadap variabel terikatnya. Hal ini berarti bahwa perubahan satu persen variabel bebas akan mengakibatkan perubahan variabel terikat kurang dari satu persen. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung elastisitas adalah sebagai berikut : E (Xi ) =
dYi Xi x dXi Yi
53
Keterangan : E(Xi) = elastisistas variabel Xi
dYi dXi
= koefisien regresi dari variabel Xi (variabel bebas)
Xi
= rata-rata peubah Xi (variabel bebas)
Yi
= rata-rata peubah Yi (variabel terikat) Rumus yang digunakan tersebut berlaku apabila model yang digunakan
untuk menganalisis respon penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah regresi linier berganda. Namun apabila model yang digunakan untuk menganalisis respon penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah model double log maka rumus tersebut tidak berlaku. Hal ini dikarenakan menurut Nachrowi dan Hardius (2002) dalam aplikasinya nilai dari parameter dugaan (bi) model double log adalah ukuran elastisitas variabel Y (variabel terikat) terhadap variabel X (variabel bebas) atau ukuran persentase perubahan dalam Y bila diketahui terdapat perubahan persentase dalam X. Hal lain yang dapat diperhatikan dalam model double log adalah koefisien elastisitas antara Y dan X selalu konstan. Hal ini berarti bahwa bila ln X berubah satu unit, maka perubahan ln Y akan selalu sama meskipun elastisitas tersebut diukur pada ln X yang mana saja (Nachrowi dan Hardius, 2002).
54
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Gambaran Umum Serat Sabut Kelapa Indonesia
5.1.1. Produksi Serat Sabut Kelapa Pohon kelapa adalah tanaman yang memiliki nilai dan peran penting dalam segi ekonomi maupun sosial budaya. Dari segi ekonominya tanaman ini memiliki nilai ekonomi mulai dari akar sampai dengan pucuk daunnya. Nilai ekonomi ini muncul apabila bagian kelapa tersebut diolah menjadi beberapa produk, seperti furniture, serat sabut kelapa, arang aktif, minyak kelapa, dan sebagainya.
Dilihat
dari sisi sosial budayanya tanaman ini dapat membantu pemerintah dalam mengurangi pengangguran di dalam negeri. Hal ini dikarenakan tanaman kelapa dan produk turunannya memiliki kemampuan dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Salah satu bagian kelapa yang memiliki nilai ekonomi dan sosial budaya tersebut adalah sabut kelapa. Sabut kelapa adalah hasil samping dari tanaman kelapa yang yang selama ini selalu dianggap sebagai barang sisa atau sampah. Nilai ekonomi dari sabut kelapa ini muncul bila sabut kelapa diolah menjadi produk, seperti serat sabut kelapa. Serat sabut kelapa tersebut diperlukan untuk membuat berbagai alat kebutuhan rumah tangga dan lainnya. Bahan baku serat sabut kelapa tersebut dapat diperoleh oleh industri pengolahan sabut kelapa dari pedagang pengumpul sabut kelapa.
Pedagang
pengumpul sabut kelapa memperoleh sabut tersebut dari petani atau pedagang kelapa dan industri kopra atau minyak kelapa yang tersebar pada seluruh kawasan sentra kelapa dan produksi kopra atau minyak kelapa yang ada di Indonesia. Pedagang atau petani dan industri kelapa tersebut memperoleh kelapa dari
55
perkebunan kelapa milik rakyat, swasta dan negara yang tersebar pada beberapa daerah, seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku Utara, dan Irian Jaya. Biasanya bahan baku sabut kelapa yang diinginkan oleh industri adalah yang berasal dari buah kelapa dalam dengan tingkat kematangan yang sesuai untuk pembuatan minyak kelapa atau kopra. Pada Tabel 7 terlihat bahwa daerah yang memiliki areal perkebunan kelapa paling luas di Indonesia adalah Sumatera. Luas areal perkebunan kelapa di daerah Sumatera mencapai 1.318.110 ha dengan produksi kelapa sekitar 1.119.300 ton setara kopra atau apabila dilihat dari nilai proporsinya mencapai 37 persen dari total produksi kelapa di Indonesia.
Sementara itu daerah yang memiliki areal
perkebunan paling kecil adalah Irian Jaya dengan luasan hanya sebesar 42.738 ha dan produksi kelapa 15.010 ton setara kopra. Jumlah propinsi di daerah Sumatera yang memiliki perkebunan kelapa adalah sebanyak sembilan propinsi.
Propinsi tersebut adalah Aceh, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung dan Bengkulu.
Sementara pada daerah lain jumlah propinsi yang memiliki
perkebunan kelapa dapat dilihat pada Tabel 7.
56
Tabel 7.
Luas Areal Perkebunan Kelapa (Ha) dan Produksi Kelapa (Ton) per Wilayah Indonesia, Tahun 2003
Area Luas Persen Sumatera 1.318.110 36,00 Aceh 115.140 3,14 Sumatera Utara 145.355 3,96 Sumatera Barat 92.972 2,53 Riau 598.415 16,30 Jambi 130.274 3,55 Sumatera Selatan 46.674 1,27 Bangka Belitung 15.449 0,42 Lampung 145.993 3,98 Bengkulu 27.838 0,76 Jawa 900.272 25,00 Jawa Barat 178.677 4,87 Banten 103.054 2,81 Jawa Tengah 288.266 7,85 Jawa Timur 286.180 7,79 DI. Yogyakarta 44.095 1,20 Bali 72.365 1,97 Kalimantan 268.392 7,31 Kalimantan Barat 100.035 2,72 Kalimantan Selatan 46.037 1,25 Kalimantan Tengah 68.661 1,87 Kalimantan Timur 53.659 1,46 Sulawesi 744.628 20,00 Sulawesi Utara 271.277 7,39 Gorontalo 58.058 1,58 Sulawesi Tengah 178.381 4,86 Sulawesi Selatan 186.473 5,08 Sulawesi Tenggara 50.439 1,37 Nusa Tenggara 232.445 6,00 Nusa Tenggara Barat 68.402 1,86 Nusa Tenggara Timur 164.043 4,47 Maluku Utara 92.495 3,00 Maluku 92.495 2,52 Maluku Utara 162.071 4,41 Irian Jaya 42.738 1,16 Total 3.671.445 100,00 Sumber : Dirjen Bina Produksi Perkebunan, 2004 Daerah
Produksi Luas persen 1.119.300 37,00 83.338 2,73 125.578 4,11 82.088 2,69 527.601 17,28 129.349 4,24 29.947 0,98 6.858 0,22 130.710 4,28 3,831 0,13 720.812 24,00 103.504 3,39 67.986 2,23 228.708 7,49 270.978 8,87 49.636 1,63 78.028 2,55 177.809 6,00 51.437 1,68 33.335 1,09 50.356 1,65 42.681 1,40 759.606 25,00 292.580 9,58 58.662 1,92 194.504 6,37 181.042 5,93 32.818 1,07 110.156 4,00 51.888 1,70 58.268 1,91 73.320 2,00 73.320 2,40 175.212 5,74 15.010 0,49 3.054.041 100,00
5.1.2. Pemasaran Serat Sabut Kelapa Luasnya sebaran wilayah produksi kelapa dan industri kopra di Indonesia tersebut menyebabkan timbulnya jaringan pemasaran yang beragam untuk menampung dan menyalurkan sabut kelapa yang jumlahnya cukup besar pada
57
tahun 2003, yaitu mencapai 1.068.914,350 ton.
Jaringan pemasaran tersebut
merupakan mata rantai kegiatan yang panjang dari banyak pedagang, industri kopra, dan perusahaan – perusahaan eksportir. Gambaran rantai pemasaran serat sabut kelapa di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4. Petani/Pedagang Kelapa
Industri Kopra/Minyak Kelapa
Sabut Kelapa
Pedagang Pengumpul Sabut Kelapa
Industri Pengolahan Serat Sabut Kelapa
Pedagang Pengumpul Serat Sabut Kelapa
Industri Pengguna Serat Sabut Kelapa
Eksportir Serat Sabut Kelapa Gambar 4. Rantai Pemasaran Serat Sabut Kelapa di Indonesia 5
5
ibid
58
Pada Gambar 5 (rantai pemasaran serat sabut kelapa) tersebut diketahui bahwa terdapat beberapa lembaga pemasaran, dan industri yang berperan dalam proses penyaluran dan pengolahan bahan baku sabut kelapa dari petani dan industri kopra ke eksportir. Adapun lembaga tersebut adalah pedagang pengumpul sabut kelapa, industri pengolahan serat sabut kelapa, pedagang pengumpul serat sabut kelapa, industri pengguna serat sabut kelapa domestik dan eksportir serat sabut kelapa.
Fungsi pedagang pengumpul serat sabut kelapa yang biasanya
terdiri dari pedagang pengumpul tingkat desa dan pedagang pengumpul tingkat kecamatan adalah menyalurkan sabut kelapa yang merupakan bahan dasar serat sabut kelapa kepada industri pengolahan sabut kelapa menjadi serat. Industri pengolahan sabut kelapa kemudian mengolah sabut tersebut menjadi serat sabut kelapa. Hal ini dilakukan agar diperoleh nilai tambah sabut kelapa karena secara tradisional apabila sabut kelapa diolah menjadi serat sabut kelapa maka serat tersebut dapat digunakan untuk bahan pembuat keset, tali dan alat-alat rumah tangga lainnya. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2003) industri yang mengolah sabut kelapa menjadi serat pada umumnya adalah industri berskala menengah. Setelah diolah pada industri pengolahan sabut kelapa menjadi serat, kemudian serat sabut kelapa tersebut dijual ke pedagang pengumpul serat sabut kelapa dan industri pengguna serat sabut kelapa.
Pedagang pengumpul serat
sabut kelapa kemudian menjual produk tersebut kepada eksportir. Dari eksportir serat sabut kelapa tersebut dijual kepada industri yang berada di luar negeri. Sementara itu serat sabut kelapa yang dijual kepada industri dalam negeri digunakan untuk bahan baku membuat keperluan rumah tangga dan sebagainya.
59
5.1.3. Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia dan Negara Lain di Dunia Pada perdagangan internasional, sabut kelapa Indonesia di ekspor hanya dalam satu bentuk, yaitu serat sabut kelapa. Sedikitnya jumlah komoditas produk sabut kelapa yang diekspor keluar negeri karena untuk saat ini Indonesia belum mampu memproduksi komoditas produk sabut kelapa selain serat.
Hal ini
dikarenakan adanya kendala, dan hambatan untuk membuat komoditas tersebut. Berdasarkan hasil studi kasus pada industri kecil pengolahan sabut kelapa di Kabupaten Ciamis diketahui bahwa kendala dan hambatan yang dihadapi oleh produsen adalah adanya keterbatasan dalam masalah permodalan untuk pengadaan mesin press. Selain itu akses informasi terhadap pasar ekspor juga merupakan salah satu kendala usaha kecil serat sabut kelapa pada aspek pemasaran. Akibat dari adanya kendala informasi ini maka pengusaha serat sabut kelapa
tidak
mengetahui secara
pasti
negara mana
saja
yang
sedang
membutuhkan serat sabut kelapa dan berapa besarnya kebutuhan serat sabut kelapa pada negara tersebut 6. Serat sabut kelapa yang diproduksi oleh produsen di Indonesia ini diekspor ke beberapa negara seperti jepang, Hongkong, Korea Selatan, Republik Rakyat Cina, Malaysia, Saudi Arabia, Turki, Perserikatan Emirat Arab, Australia, Kepulauan Cook, Kanada, Meksiko, Chili, Costa Rica, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol dan Yunani. Perincian datanya dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan lampiran 2 diketahui bahwa negara tujuan ekspor Indonesia yang utama adalah Jepang.
Hal ini dikarenakan Jepang setiap tahun selalu
mengimpor serat sabut kelapa dari Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain. Rata – rata impor serat sabut kelapa negara Jepang dari Indonesia per tahunnya (1996 – 2004) adalah sebesar 43,351 ton.
6
ibid
60
Saingan Indonesia dalam hal ekspor serat sabut kelapa ke negara Jepang adalah Srilanka dan India. Menurut APCC (2003), impor Jepang dari negara India dan Srilanka rata – rata per tahunnya (1999 – 2004) adalah sebesar 510,80 ton untuk India dan 5.707,20 ton untuk Srilanka.
Apabila dibandingkan dengan
Indonesia ternyata ekspor produk sabut kelapa negara India dan Srilanka ke negara Jepang lebih besar dari Indonesia. Besarnya jumlah impor produk sabut kelapa Jepang dari India dan Srilanka dikarenakan kebutuhan Jepang akan produk tersebut cukup tinggi.
Kebutuhan
negara Jepang tersebut tidak hanya satu produk, tetapi bermacam produk yang terbuat dari serat sabut kelapa. Adapun perinciannya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Rata – rata Impor Produk Sabut Kelapa (Ton) Negara Jepang dari Negara India, Srilanka dan Indonesia, Tahun 1999 – 2004 Komoditas
Mattress Fibre Bristle Fibre Coir Yarn Twisted Fibre Coir Twine Coir Mattings Coir Mats Textile Fibre for Coconut Raw Total Sumber : APCC (2003) * BPS (1999 – 2004)
315,60 195,20
Negara Srilanka 170,80 409,60 148,40 4.652,00 326,40 -
-
-
43,40
510,80
5.707,20
43,40
India
Indonesia*
-
Rendahnya ekspor serat sabut kelapa Indonesia ke negara Jepang ini karena Indonesia dihadapkan kepada negara – negara pesaing yang lebih maju dalam hal teknologi produksi serat sabut kelapa sehingga negara – negara tersebut lebih unggul dalam hal jumlah dan kualitas. Menurut APCC (2003), Srilanka dan India masih mendominasi pasar dari sabut kelapa dan produk sabut kelapa dengan rata – rata jumlah ekspor pada tahun 2003 adalah sebesar 50.950 ton untuk Srilanka dan 70.550 ton untuk India. Komoditas yang diekspor oleh negara Srilanka
61
tersebut adalah mattres fibre, bristle fibre, coir yarn, twisted fibre dan coir twine, sedangkan komoditas yang diekspor oleh negara India adalah coir yarn, coir matting, coir mats, coir rope, rugs, carpet, rubberized coir dan lainnya. Indonesia sebagai negara yang memiliki areal perkebunan terluas di dunia ternyata hanya mampu menempati urutan posisi kelima di dunia dalam hal ekspor produk sabut kelapa. Adapun besarnya ekspor produk sabut kelapa Indonesia pada tahun 2003 adalah sebesar 432 ton. Kontribusi ekspor serat sabut kelapa Indonesia ini terhadap pendapatan ekspor ternyata sangat kecil sekali. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel
9.
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Sumber
Kontribusi Serat Sabut Kelapa terhadap Pendapatan Ekspor Indonesia, Tahun 1999 - 2004 Total Ekspor (US$) 48.665.452.000 62.124.016.000 56.320.905.000 57.159.000.000 65.338.000.000 66.000.000.000
Ekspor Serat Sabut Kelapa (US$) 30.232,40 102.386,26 73.280,67 77.566,00 281.370,58 912.507,03
: BPS dalam APCC (2003)
Berdasarkan Tabel 9
Persentase 0,0000621 0,0001650 0,0001300 0,0001360 0,0004300 0,0013200
diketahui ternyata kontribusi serat sabut kelapa
terhadap pendapatan ekspor kurang dari satu persen.
Hal ini terjadi karena
produksi serat sabut kelapa di Indonesia masih kurang berkembang sehingga menyebabkan jumlah ekspornya masih sangat rendah sekali walaupun apabila dilihat dari trend cenderung mengalami peningkatan. Serat sabut kelapa yang diekspor ke beberapa negara tersebut dikirim melalui beberapa pelabuhan muat yang terdapat pada beberapa propinsi. Adapun propinsi dan pelabuhan muat yang digunakan untuk mengekspor serat sabut kelapa dapat dilihat pada Tabel 10.
62
Tabel 10.
Nama Propinsi dan Pelabuhan Muat Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia, Tahun 1996 – 2004
No. Propinsi Muat 1 Sumatera Utara 2 DKI Jakarta 3 Jawa Timur 4 Jawa Tengah 5 Bali 6 Sulawesi Selatan Sumber : BPS (1996 – 2004)
Pelabuhan Muat Belawan Tanjung Priok, Soekarno Hatta Tanjung perak Jebres/Adi Sumarmo, Tanjung Emas Ngurah Rai Ujung Pandang
Ekspor produk sabut kelapa ini apabila dilihat pada tingkat dunia ternyata dari tahun 1999 – 2004 cenderung mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan rata – rata per tahun adalah sebesar 8,08 persen.
Meningkatnya
ekspor produk sabut kelapa ini menunjukkan bahwa permintaan akan produk sabut kelapa cenderung mengalami peningkatan.
Hal ini berarti bahwa produk sabut
kelapa di dunia memiliki kemampuan untuk bersaing dengan produk substitusinya, seperti karet busa dan plastik yang berbahan baku dari kimia sintetis. Perincian data pertumbuhan ekspor produk sabut kelapa di dunia dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Pertumbuhan Ekspor Produk Sabut Kelapa di Dunia, Tahun 1999 – 2003 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 Rata - rata Sumber : APCC (2003)
Nilai Ekspor (Ton) 110.302 117.694 122.044 122.044 174.695 646.779
Pertumbuhan (%)
6,70 3,56 0,00 30,14 8,08
Adapun yang menyebabkan produk sabut kelapa ini dapat bersaing dengan produk sintetis adalah
dikarenakan produk ini memiliki karakteristik fisika kimia
yang spesifik, biodegradable dan memiliki fungsi sebagai heat retardant. Kelebihan produk sabut kelapa tersebut tidak dimiliki oleh produk sintetis seperti karet busa dan plastik 7.
7
Ibid
63
5.1.4. Perkembangan Harga Serat Sabut Kelapa Salah satu faktor yang mempengaruhi, baik permintaan maupun penawaran terhadap suatu barang adalah harga komoditas itu sendiri (Lipsey, 2000). Sebagaimana komoditas pertanian lainnya yang memiliki masa panen, maka harga sabut kelapa cenderung berfluktuasi akibat adanya masa tunggu dalam produksi dan faktor lainnya, seperti kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Perkembangan harga komoditas serat sabut kelapa di pasar dalam negeri, berdasarkan studi kasus di Kabupaten Ciamis diketahui ternyata
pada tingkat
produsen berkisar antara Rp 500 – 600 per kilogram, sedangkan harga ditingkat pembeli (Jakarta) berkisar antara Rp 900 – 1.200 per kilogram.
Kondisi harga
tersebut tergantung dari kualitas produk sabut kelapa yang dihasilkan 7. Sementara itu untuk perkembangan harga produk sabut kelapa pada pasaran ekspor untuk negara Indonesia pada tahun 2003 adalah berkisar antara US$ 3,62 – 5,64 per kilogram. Apabila dibandingkan dengan harga ekspor produk sabut kelapa India ternyata harga ekspor produk sabut kelapa Indonesia lebih rendah dari India. Hal ini terjadi karena kualitas produk sabut kelapa India lebih bagus bila dibandingkan negara Indonesia. Harga pasaran ekspor produk sabut kelapa dari negara India ini adalah harga yang menjadi acuan bagi negara – negara pengekspor produk sabut kelapa di dunia. Adapun perincian harga pasaran ekspor produk sabut kelapa India dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Harga Ekspor (US$) Komoditas Produk Sabut Kelapa di India, Tahun 1999 – 2003 Komoditas
1999 Coir Yarn 668,81 Coir Matting 1.674,03 Coir Mats 1.412,50 Coir Rope 596,68 Sumber : APCC (2003)
2000 636,33 1.410,46 142,08 536,84
Tahun 2001 615,03 1.754,76 1.389,16 571,85
2002 535,67 1.297,01 1.243,95 647,38
2003 584,24 1.410,77 1.322,77 588,50
64
Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa produk sabut kelapa India yang paling mahal adalah coir matting. Setelah itu disusul dengan produk lainnya, yaitu coir yarn, coir mats dan coir rope.
5.2.
Model Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia Indonesia yang merupakan negara pemilik areal perkebunan kelapa, dan
produksi kelapa terbesar di dunia ternyata sampai saat ini belum mampu menyaingi jumlah ekspor serat sabut kelapa yang berasal dari negara – negara yang memiliki luas areal perkebunan kelapa dan produksi kelapa dibawahnya.
Hal ini terjadi
karena diasumsikan terdapat beberapa variabel yang menjadi kendala dalam ekspor tersebut. Adapun variabel tersebut adalah harga ekspor serat sabut kelapa di luar negeri (H1), nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (K1), Produk Domestik Bruto (PDB1), produksi sabut kelapa Indonesia (PS1), jumlah ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya (Lag1), dan luas areal perkebunan kelapa di Indonesia (LL1). Data variabel yang digunakan untuk menganalisis penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia ini diperoleh dari data bulanan, triwulan dan tahunan. Adapun data variabel yang diperoleh dari data bulanan adalah data jumlah ekspor serat sabut kelapa Indonesia, harga ekspor serat sabut kelapa, nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dan jumlah ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya (lag). Sementara data produk domestik bruto, produksi sabut kelapa dan luas lahan diperoleh dari data triwulan dan tahunan. Sebelum diolah, agar data tersebut seragam maka data dari masing – masing variabel yang akan digunakan terlebih dahulu di konversi ke dalam bentuk data triwulan. Hal ini dilakukan karena pada data jumlah ekspor dan harga ekspor serat sabut kelapa
terdapat banyak data yang kosong pada setiap bulannya.
65
Kosongnya data tersebut dikarenakan pada bulan tertentu tidak terdapat ekspor serat sabut kelapa. Hal ini terjadi karena pada bulan tersebut tidak ada permintaan. Perincian datanya dapat dilihat pada Lampiran 2. Sementara untuk data tahunan produksi sabut kelapa, dikarenakan datanya belum tersedia maka sebelum dilakukan konversi ke dalam bentuk data triwulan maka terlebih dahulu dilakukan konversi data dari produksi kelapa ke dalam bentuk sabut kelapa. Cara mengkonversinya adalah dengan mengalikan bobot produksi kelapa per tahun dengan nilai rendemen sabut kelapa per bobot, yaitu 35 persen (Lampiran 3). Setelah dikonversi ke dalam bentuk sabut kelapa maka data produksi sabut kelapa bersama dengan data luas lahan kelapa dapat dikonversi ke dalam bentuk data triwulan.
Cara mengkonversinya adalah dengan mengalikan data tersebut
dengan persentase ekspor serat sabut kelapa Indonesia selama triwulan. Untuk lebih jelasnya perincian data yang digunakan untuk menduga penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 4. Setelah dikonversi ke dalam bentuk triwulan maka data untuk analisis respon penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia dapat diolah. Pengolahan data dilakukan dengan mencobakan dua model regresi, yaitu model regresi linier berganda dan model double log. Setelah dicobakan maka model yang dipilih untuk menganalisis respon penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah model double log. Dipilihnya model ini karena model dapat memenuhi asumsi tidak ada multikolinieritas, homokedastis dan tidak terdapat autokorelasi antar data. Dengan dipenuhinya asumsi tersebut maka jumlah variabel yang berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia tidak menjadi berkurang dan nilai R2 dapat menjadi besar sesuai dengan yang diharapkan. Adapun hasil pendugaan dari model double log ini dapat dilihat pada Tabel 13, sedangkan hasil
66
pendugaan model regresi linier berganda dapat dilihat pada Lampiran 5. Penjelasan dari model tersebut dapat dillihat pada sub bab berikutnya. Tabel 13.
Hasil Pendugaan Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia (Model Double Log), Tahun 2004
Peubah Konstanta LnH1 LnK1 LnPDB1 LnPS1 LnLag1 LnLL1 R2 F statistik Durbin Watson
Koefisien -8,305 -0,196 -0,699 1,56 0,914 -0,0853 -0,113 90,90 % 28,42 1,98
t hitung -3,76 -2,33 -2,39 3,09 9,65 -1,03 -1,64
P 0,002 0,032 0,029 0,007 0,000 0,317 0,119
VIF
1,4 4,2 3,6 1,7 1,2 1,6
Elastisitas -0,196 -0,699 1,56 0,914 -0,0853 -0,113
5.2.1. Pengujian Model Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa nilai koefisien determinasi (R2) dari model adalah sebesar 90,90 persen.
Hal ini berarti bahwa kemampuan model
untuk menjelaskan variabel bebas yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah sebesar 90,90 persen, sedangkan sisanya sebesar 9,10 persen dijelaskan oleh variabel lain yang berada diluar model. Selain nilai R2 yang tinggi, model dapat dikatakan baik apabila dapat memenuhi asumsi model, seperti tidak ada multikolinier, homoskedastis, dan tidak ada autokorelasi. Oleh karena itu maka penjelasan dari pengujian asumsi model adalah sebagai berikut. I.
Pengujian Asumsi Model
A.
Multikolinieritas Pada penelitian ini cara yang digunakan untuk menguji multikolinieritas
adalah dengan membandingkan antara nilai VIF distandarkan.
hitung
dengan nilai VIF yang telah
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa nilai VIF yang
diperoleh model ternyata nilainya masih lebih rendah dari nilai VIF yang
67
distandarkan untuk multikolinieritas, yaitu sepuluh.
Hal ini berarti bahwa tidak
terdapat hubungan linier antar variabel bebas (multikolinieritas) yang terdapat pada model tersebut. B.
Autokorelasi Pengujian terhadap autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji statistik
Durbin – Watson.
Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai uji statistik Durbin –
Watson sebesar 1,98. Apabila dibandingkan dengan nilai standar untuk statistik Durbin – Watson pada taraf nyata lima persen (1,90) maka nilai yang diperoleh model dari hasil perhitungan uji statistik Durbin – Watson lebih besar dari nilai standar uji. Hal ini berarti tidak terdapat autokorelasi pada model yang terbentuk. C.
Heterokedastisitas Heterokedastisitas diuji dengan menggunakan uji Park.
Park diperoleh nilai t hitung
hitung
Berdasarkan uji
untuk variabel bebasnya adalah sebesar 0,31. Nilai
yang diperoleh dari hasil uji Park tersebut ternyata lebih kecil dari nilai t
t tabel
untuk taraf nyata lima persen, yaitu 1,717. Hal ini berarti bahwa variabel bebas yang terdapat pada model tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya. Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa pada model tersebut tidak terdapat heterokedastisitas.
Hasil dugaan uji Park dapat dilihat pada
Tabel 14. Tabel 14. Hasil Uji Park Peubah Konstanta Y-est R2 II.
Koefisien 0,2
0,01796 0,00272
t hitung
0,31 0,20
Uji Hipotesis Berdasarkan hasil uji F diketahui ternyata nilai yang diperoleh model lebih
besar dari Ftabel. Hal ini berarti bahwa secara bersama – sama variabel bebas yang
68
terdapat dalam model berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Selain uji F, pada penelitian ini juga dilakukan uji-t. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh secara individu dari masing – masing variabel bebas terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Berdasarkan hasil uji-t ternyata diketahui bahwa jumlah variabel bebas yang berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen adalah sebanyak empat variabel.
5.2.2. Analisis Model Berdasarkan pengujian model (uji-t) maka diketahui ternyata variabel bebas yang berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah harga ekspor serat sabut kelapa (H1), nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (K1), produk domestik bruto (PDB1) dan produksi sabut kelapa di Indonesia (PS1). Sementara variabel bebas yang tidak berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah jumlah ekspor serat sabut kelapa Indonesia pada tahun sebelumnya (lag1) dan luas areal perkebunan kelapa di Indonesia (LL1).
Penjelasan dari masing –
masing variabel tersebut dapat dilihat pada sub bab berikut ini. 1.
Harga Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia Harga ekspor serat sabut kelapa Indonesia pada tahun analisis berdasarkan
pada Tabel 13 ternyata hasilnya memberikan pengaruh yang nyata terhadap ekspor serat sabut kelapa Indonesia pada taraf nyata lima persen. Pengaruh nyata yang dihasilkan dari hubungan antara harga dengan ekspor serat sabut kelapa Indonesia tersebut memiliki slope negatif. Hal ini berarti bahwa jika terjadi penurunan harga maka akan menyebabkan terjadinya peningkatan penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.
Besarnya peningkatan penawaran ekspor serat sabut kelapa
Indonesia tersebut apabila dikaitkan dengan nilai dugaan parameternya
jika
69
diasumsikan terjadi penurunan harga sebesar 10 persen adalah sebesar 1,96 persen. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan hipotesis yang diharapkan.
Hal ini
terjadi karena kualitas dari serat sabut kelapa Indonesia masih belum dapat memenuhi permintaan negara importir.
Penyebabnya adalah karena adanya
keterbatasan dalam hal teknologi. Oleh karena itu agar produknya dapat bersaing di pasaran dan jumlah ekspornya terus mengalami peningkatan maka
produsen
menjualnya dengan harga yang lebih rendah dari negara lain (India). Berdasarkan nilai dugaannya maka diketahui ternyata respon harga ekspor serat sabut kelapa terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah inelastis karena nilai dugaan parameternya kurang dari satu. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan harga ekspor serat sabut kelapa di pasaran dunia maka tidak akan menimbulkan gejolak yang besar terhadap penawaran ekspor. Kondisi tersebut terjadi karena Indonesia dalam perdagangan komoditas serat sabut kelapa di dunia termasuk ke dalam negara kecil. Hal ini dikarenakan jumlah komoditas dan kualitas produk sabut kelapa yang mampu di ekspor oleh Indonesia ke luar negeri sangat rendah sekali (Tabel 5). Akibat dari hal tersebut maka Indonesia tidak mampu mempengaruhi harga produk sabut kelapa di pasaran dunia. 2.
Nilai Tukar Riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat Berdasarkan hasil perhitungan diketahui ternyata nilai tukar riil rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen dengan slope negatif terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Hal ini berarti bahwa apabila nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat mengalami penurunan maka ekspor akan mengalami peningkatan.
Besarnya
peningkatan penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia tersebut apabila
70
dikaitkan dengan nilai dugaan parameternya jika diasumsikan terjadi penurunan nilai tukar sebesar 10 persen adalah sebesar 6,99 persen. Kondisi tersebut sesuai dengan hipotesis yang diharapkan. Hal ini terjadi karena ketika terjadi penurunan nilai tukar riil rupiah maka harga serat sabut kelapa dari Indonesia menjadi lebih murah bila dibandingkan dengan negara lain. Akibatnya permintaan akan serat sabut kelapa dari importir mengalami peningkatan sehingga eksportir atau produsen dapat memperoleh keuntungan yang cukup besar. Berdasarkan nilai dugaan parameternya maka diketahui ternyata respon nilai tukar terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah inelastis karena nilai dugaan parameternya kurang dari satu. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan nilai tukar maka tidak akan menimbulkan gejolak yang besar terhadap penawaran ekspor. Kondisi tersebut terjadi karena jumlah produksi produk sabut kelapa Indonesia masih sangat rendah sekali bila dibandingkan dengan negara lain sehingga walaupun terjadi peningkatan permintaan karena menurunnya nilai tukar riil rupiah tetap saja jumlah yang mampu ditawarkan terbatas.
Akibat dari hal
tersebut maka komoditas ini menjadi kurang responsif terhadap perubahan nilai tukar. 3.
Produk Domestik Bruto (PDB) Berdasarkan hasil perhitungan maka diketahui ternyata variabel produk
domestik bruto berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen dengan slope bertanda positif.
Kondisi ini menunjukkan bahwa apabila PDB meningkat maka
penawaran ekspor serat sabut kelapa pada tahun penelitian ini akan meningkat pula. Nilai peningkatan penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia apabila diasumsikan terjadi peningkatan PDB sebesar 10 persen adalah sebesar dugaan parameternya, yaitu 1,56 persen.
71
Kondisi tersebut sesuai dengan hipotesis yang diharapkan.
Hal ini
dikarenakan komponen untuk ekspor serat sabut kelapa Indonesia merupakan bagian dari komponen penyusun PDB.
Adapun komponen ekspor serat sabut
kelapa tersebut adalah konsumsi bahan baku serat, investasi untuk memproduksi serat (mesin), biaya jasa pengiriman ekspor dan lainnya. Berdasarkan nilai dugaan parameternya maka diketahui ternyata respon PDB terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah inelastis karena nilai dugaan parameternya kurang dari satu. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan nilai PDB maka tidak akan menimbulkan gejolak yang besar terhadap penawaran ekspor. Kondisi tersebut terjadi karena PDB yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk melakukan investasi pada bidang industri sabut kelapa masih sangat rendah sekali. Hal ini terjadi karena kontribusi serat sabut kelapa terhadap pendapatan ekspor Indonesia sangat rendah sekali dibawah satu persen.
Akibatnya jumlah ekspor
produk sabut kelapa Indonesia tetap lebih rendah dari negara lain, walaupun apabila dilihat dari trend cenderung mengalami peningkatan. 4.
Produksi Sabut Kelapa Indonesia Pada analisis ini produksi sabut kelapa Indonesia ternyata memberikan
pengaruh nyata pada taraf nyata lima persen terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia dengan slope bertanda positif. Hal ini berarti bahwa apabila produksi meningkat maka penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia akan meningkat pula. Positifnya slope dari produksi sabut kelapa Indonesia terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia sesuai dengan hipotesis yang diharapkan. Hal ini dikarenakan sabut kelapa merupakan bahan baku dasar untuk membuat serat dan jumlahnya sangat berlimpah di Indonesia (Lampiran 3).
Oleh karena itu
72
produsen serat sabut kelapa di Indonesia tidak perlu khawatir dengan ketersediaan sabut kelapa yang menjadi bahan baku dasar untuk membuat serat sabut kelapa. Nilai elastisitas yang diperoleh dari faktor ini adalah sama dengan nilai dugaan parameternya, yaitu sebesar 0,914 (inelastis). Hal ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan jumlah produksi sabut kelapa maka tidak akan menimbulkan gejolak yang besar terhadap penawaran ekspor. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa walaupun produksi sabut kelapa Indonesia sangat besar tetapi tetap tidak mampu berperan dalam pasar internasional. Hal ini terjadi karena sabut kelapa yang diolah oleh industri untuk menjadi serat sabut kelapa masih rendah sekali.
Penyebabnya adalah karena
terbatasnya teknologi yang digunakan, dalam hal ini adalah mesin. 5.
Volume Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia Tahun Sebelumnya (Lag) Volume ekspor serat sabut kelapa Indonesia tahun sebelumnya setelah
dihitung dengan model double log ternyata hasilnya tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata lima dan 10 persen. Hal ini terjadi karena nilai t hitung yang dihasilkan oleh variabel bebas ini lebih kecil dari t
tabel.
Tidak berpengaruhnya variabel bebas lag
ini terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia menunjukkan bahwa peningkatan dan penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia tidak dapat diprediksi. Hal ini terjadi karena produk serat sabut kelapa Indonesia belum mampu memenuhi kualitas yang diharapkan sehingga ekspornya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan negara lain. 6.
Luas Areal Perkebunan Kelapa Indonesia Pengaruh luas areal perkebunan kelapa Indonesia setelah dihitung dengan
menggunakan model double log ternyata hasilnya tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen.
Hal ini terjadi karena nilai t
variabel bebas ini lebih kecil dari nilai t
tabel.
hitung
yang dihasilkan oleh
Tidak berpengaruhnya variabel bebas
ini terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa dikarenakan produksi serat sabut
73
kelapa Indonesia masih sangat rendah sekali, sementara bahan sabut kelapa sangat berlimpah.
74
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
variabel yang berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah harga ekspor serat sabut kelapa, nilai tukar riil rupiah, produk domestik bruto dan produksi sabut kelapa, sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah lag dan luas areal perkebunan kelapa.
Respon semua variabel bebas
terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah inelastis.
6.2.
Saran Indonesia sebagai negara yang memiliki areal perkebunan dan produksi
kelapa terluas di dunia disarankan agar memperhatikan variabel – variabel yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor tersebut, terutama variabel PDB yang terkait dengan investasi. Hal ini perlu dilakukan agar jumlah produksi dan kualitas produk sabut kelapa Indonesia dapat bersaing di pasaran
sehingga responnya
tidak inelastis. Pada penelitian ini informasi yang dapat digali masih terbatas karena adanya keterbatasan variabel dan data. Oleh karena itu agar dapat informasi yang lebih dalam lagi maka disarankan agar penelitian ini dilanjutkan oleh mahasiswa yang akan melakukan penelitian berikutnya.
75
DAFTAR PUSTAKA
Asian and Pacific Coconut Community. 2003. Coconut Statistical (Yearbook). Asian and Pacific Coconut Community. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1996 – 2004. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Ekspor) Januari – Desember. Badan Pusat Statistik. Jakarta. _________________. 1996 – 2004. Nilai Tukar Valuta Asing di Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. _________________. 1996 – 2004. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik. Jakarta Dirjen Bina Produksi Perkebunan. 2004. Statistik Perkebunan Indonesia 2001 – 2003 (Kelapa). Dirjen Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian. Jakarta. Dirjen
Kerjasama Industri dan Perdagangan. 2003. Buku Pedoman Penanggulangan Komoditi Karet Alam, Lada dan Kelapa dalam Kerangka Kerjasama Multilateral. Dirjen Kerjasama Industri dan Perdagangan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta.
Gonarsyah, I. 1984. Landasan Perdagangan Internasional (Diktat Kuliah). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor. Gujarati, D. 1999. Essential of Econometrics (Second Edition). Irwin Mc. Graw-Hill. New York. Hanke, JE, Dean, WW dan Arthur, GR. 1999. Peramalan Bisnis (Edisi Ketujuh). PT. Prenhalindo. Jakarta. Lipsey, RG, et.al. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara. Jakarta. Malian, A.H. 2003. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Produk Pertanian dan Produk Industri Pertanian (Jurnal Agro Ekonomi Volume 21 No. 2). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Mankiw, GN. 2000. Teori Makroekonomi (Edisi Keempat). Penerbit Erlangga. Jakarta. Nachrowi, dan ND, Hardius, U. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometri. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
PT.
Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta Nuraida, I. 2003. Prospek Pengembangan Industri Serat Sabut Kelapa : Kasus CV. Rahmat Kurnia (Thesis). Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
76
Pusat Penelitian Perkebunan Marihat - Bandar Kuala. 1985. Kelapa (Cocos nucifera, L). Pusat Penelitian Perkebunan Marihat - Bandar Kuala. Pematang Siantar - Sumatera Utara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2002. Inovasi Teknologi untuk Peningkatan Daya Saing Produk Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Yogyakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2003. Hari Perkelapaan (Prosiding). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. 2000. Teknologi Hasil Tanam Perkebunan (Prosiding Pertemuan Komisi Penelitian Bidang Perkebunan). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan. Malang. Sarwoko. 2003. Dasar – Dasar Ekonometrika. Andi. Yogyakarta. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga. Jakarta. Sudirman. 2003. Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Sabut Kelapa dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Kasus Desa Muntai, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis) (Thesis). Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Turnip, CE. 2002. Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor dan Aliran perdagangan Kopi Indonesia (Skripsi). Departemen Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor. Teti, E.
2002. Pemasaran dan Permintaan Karet Alam Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional (Thesis). Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
77
LAMPIRAN
78
Lampiran 1a. Impor Coir Fibre di Dunia (Ton), 1999 – 2003 Negara Eropa Belgia Bulgaria Czekoslovakia Denmark Finlandia Jerman Yunani Irlandia Italia Belanda Polandia Portugal Rusia Spanyol Swedia Switzerland Inggris Yugoslavia
1999 28,45 0,36 0,51 9,91 0,90 0,79 0,55 2,84 0,66 1,48 1,22 0,28 7,25 1,70
2000 28,25 0,30 0,50 10,10 1,30 0,80 0,55 2,60 1,10 1,80 0,70 0,10 6,50 1,90
Tahun 2001 21,40 0,50 0,50 8,80 1,00 0,60 0,50 2,40 1,00 1,70 0,40 0,70 0,30 3,00 -
Amerika Serikat Negara Lain 12,90 11,60 Australia 0,74 0,60 Cina 0,46 0,20 Cyprus 0,14 0,20 Hongkong 0,08 0,10 Jepang 6,53 5,70 Korea 0,57 0,50 Maroko 0,06 Selandia Baru 0,48 0,30 Pakistan 0,84 1,20 Saudi Arabia 0,69 1,10 Afrika Selatan 2,31 1,70 Total 44,12 43,95 Sumber : APCC (2003) Derived from statistics of known trading partners
17,90 0,40 7,20 0,20 0,10 5,10 0,90 0,10 0,30 1,10 0,80 1,70 42,30
2002 21,40 0,50 0,50 8,80 1,00 0,60 0,50 2,40 1,00 1,70 0,40 0,70 0,30 3,00 -
2003 21,63 0,36 0,00 0,00 0,28 6,43 1,05 0,70 0,53 2,56 0,94 1,67 0,20 0,83 0,24 4,94 -
17,90 0,40 7,20 0,20 0,10 5,10 0,90 0,10 0,30 1,10 0,80 1,70 42,30
19,81 0,54 8,50 0,19 0,10 5,61 0,72 0,06 0,34 1,06 0,85 1,85 44,66
79
Lampiran 1b. Impor Coir Yarn di Dunia (Ton), 1999 – 2003 Negara Eropa Belgia Denmark Perancis Jerman Italia Belanda Polandia Portugal Spanyol Inggris Yugoslavia Amerika Serikat
1999 9,58 0,73 0,01 1,01 1,26 3,26 2,25 0,03 0,53 0,37 0,12 0,01
2000 11,28 1,10 0,01 1,80 1,60 3,60 2,10 0,03 0,40 0,50 0,12 0,01
Tahun 2001 9,46 0,90 0,01 1,60 1,10 2,90 1,90 0,03 0,50 0,30 0,20 0,01
2002 9,46 0,90 0,01 1,60 1,10 2,90 1,90 0,03 0,5, 0,30 0,20 0,01
2003 16,40 9,00 0,01 0,40 1,50 3,00 2,00 0,00 0,40 0,00 -
1,68
1,68
2,40
2,40
2,20
1,50 0,10 0,40 0,30 0,10 0,60 13,36
1,50 0,10 0,40 0,30 0,10 0,60 13,36
1,59 0,28 0,11 1,20 20,19
Negara Lain 1,68 2,10 Maroko 0,18 0,10 Pakistan 0,26 0,50 Saudi Arabia 0,18 0,10 Turki 0,33 0,40 Lainnya 0,74 1,00 Total 12,95 15,06 Sumber : APCC (2003) Derived from statistics of known trading partners
80
Lampiran 1c.
Impor Coir Mats, Matting, dan Rugs di Dunia (Ton), 1999 – 2003
Negara Eropa Austria Belgia Denmark Finlandia Perancis Jerman Yunani Irlandia Italia Belanda Norwegia Portugal Spanyol Swedia Switzerland Rusia Inggris Amerika Canada Amerika Serikat
1999 12,73 0,20 1,31 0,18 1,07 1,63 0.28 0,12 0,93 1,38 0,08 0,11 0,64 0,58 0,50 0,60 3,74
2000 23,30 0,30 2,20 0,20 0,10 3,60 4,40 1.10 1,60 2,20 0,20 0,20 0,60 0,70 0,60 0,60 5,30
Tahun 2001 21,40 0,20 1,60 0,20 0,10 3,90 3,90 0.90 1,60 1,80 0,20 0,20 0,50 0,50 0,50 0,60 5,30
2002 21,40 0,20 1,60 0,20 0,10 3,90 3,90 0.90 1,60 1,80 0,20 0,20 0,50 0,50 0,50 0,60 5,30
2003 24,01 1,20 0,20 0,10 1,60 3,80 0.60 0,15 3,10 2,60 0,20 0,20 0,50 0,00 0,00 0,00 7,50
9,44 0,40 9,04
10,00 0,30 9,70
12,30 0,30 12,00
12,30 0,30 12,00
21,70 1,20 20,50
1,50 1,00 0,30 1,40 37,00
1,50 1,00 0,30 1,40 37,00
1,59 1,80 0,10 0,42 48,03
Negara Lain 1,68 2,10 Australia 1,81 1,40 Jepang 0,11 0,30 Lainnya 1,30 1,20 Total 25,99 36,80 Sumber : APCC (2003) Derived from statistics of known trading partners
81
Lampiran 2. Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia ke Beberapa Negara di Dunia, Tahun 1996 - 2004 KOMODITI serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa
HS 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000
BULAN PROPINSI MUAT 01 SUMATERA UTARA 02 SUMATERA UTARA 03 SUMATERA UTARA 10 SUMATERA UTARA 11 SUMATERA UTARA 11 SULAWESI SELATAN 12 SUMATERA UTARA 01 SUMATERA UTARA 03 D K I JAKARTA 10 JAWA TIMUR 11 JAWA TIMUR 01 JAWA TIMUR 02 JAWA TIMUR 03 JAWA TIMUR 04 JAWA TIMUR 04 JAWA TENGAH 08 JAWA TIMUR 02 JAWA TIMUR 04 D K I JAKARTA 05 D K I JAKARTA 06 D K I JAKARTA 07 D K I JAKARTA 09 D K I JAKARTA 11 D K I JAKARTA 11 D K I JAKARTA 02 D K I JAKARTA 02 D K I JAKARTA
PELABUHAN MUAT BELAWAN BELAWAN BELAWAN BELAWAN BELAWAN UJUNGPANDANG BELAWAN BELAWAN TANJUNG PRIOK TANJUNG PERAK TANJUNG PERAK TANJUNG PERAK TANJUNG PERAK TANJUNG PERAK TANJUNG PERAK JEBRES/ADI SUMARMO TANJUNG PERAK TANJUNG PERAK TANJUNG PRIOK SUKARNO HATTA (U) TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK
NEGARA TUJUAN MALAYSIA MALAYSIA JEPANG MALAYSIA JEPANG JERMAN MALAYSIA MALAYSIA JEPANG JEPANG JEPANG JEPANG JEPANG JEPANG JEPANG AUSTRALIA JEPANG JEPANG JEPANG TURKI JEPANG JEPANG JEPANG JEPANG KANADA INGGRIS JERMAN
NILAI (US$) 16,605 5,119 5,650 3,903 318 4,499 9,153 8,484 1,645 105,610 136,000 1,242 2,735 1,420 1,425 51,650 1,451 8,400 90,916 843 1,353 1,757 1,763 1,767 5,398 8,639 42,602
BERAT (Kg) 77,835 31,692 2,750 27,816 6,375 18,367 42,243 68,254 3,803 3,185 3,057 3,276 6,008 3,481 3,831 9,773 3,640 35,678 29,756 252 10,125 9,215 9,249 7,249 950 5,651 32,536
TAHUN 1996 1996 1996 1996 1996 1996 1996 1997 1998 1998 1998 1999 1999 1999 1999 1999 1999 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2001 2001
82
serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa serat kelapa
530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000 530511000
12 12 03 04 04 09 10 10 12 03 03 05 06 06 07 07 07 08 09 11 11 11 11 12 01 01 02 02 03 04 04
JAWA TIMUR D K I JAKARTA JAWA TIMUR JAWA TENGAH D K I JAKARTA JAWA TIMUR D K I JAKARTA D K I JAKARTA D K I JAKARTA D K I JAKARTA JAWA TIMUR JAWA TIMUR D K I JAKARTA BALI JAWA TIMUR BALI BALI D K I JAKARTA D K I JAKARTA D K I JAKARTA BALI JAWA TIMUR JAWA TIMUR JAWA TIMUR D K I JAKARTA JAWA TIMUR D K I JAKARTA JAWA TIMUR D K I JAKARTA JAWA TIMUR BALI
TANJUNG PERAK TANJUNG PRIOK TANJUNG PERAK TANJUNG EMAS TANJUNG PRIOK TANJUNG PERAK TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK TANJUNG PERAK TANJUNG PERAK TANJUNG PRIOK NGURAH RAI (U) TANJUNG PERAK NGURAH RAI (U) NGURAH RAI (U) TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK NGURAH RAI (U) TANJUNG PERAK TANJUNG PERAK TANJUNG PERAK TANJUNG PRIOK TANJUNG PERAK TANJUNG PRIOK TANJUNG PERAK TANJUNG PRIOK TANJUNG PERAK NGURAH RAI (U)
MEKSIKO HONGKONG KOREA SELATAN PERANCIS JEPANG PERANCIS SPANYOL JEPANG JEPANG KOREA SELATAN COSTA RICA ITALIA REP.RAKYAT CINA ITALIA JEPANG KEP. COOK SPANYOL JEPANG REP.RAKYAT CINA REP.RAKYAT CINA KEP. COOK CHILI SPANYOL REP.RAKYAT CINA JEPANG REP.RAKYAT CINA JEPANG REP.RAKYAT CINA KOREA SELATAN REP.RAKYAT CINA JEPANG
521 82,455 3,850 21 17,630 3,369 13,706 21,360 17,630 6,043 2,607 670 9,028 3 252 693 720 5,269 4,841 5,119 91 13,260 80 7,430 5,140 10,000 4,800 4,290 1,539 3,158 56
541 33,929 3,850 21 17,630 3,369 13,706 21,360 17,630 30,216 1,078 4,699 47,520 1 273 199 139 19,521 31,237 42,662 24 10,804 111 92,880 18,350 100,000 24,000 33,707 10,995 24,297 15
2001 2001 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004
83
serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 serat kelapa 530511000 Jumlah Total
05 05 06 06 06 07 07 08 08 08 09 10 11 12
D K I JAKARTA JAWA TIMUR D K I JAKARTA D K I JAKARTA JAWA TIMUR D K I JAKARTA JAWA TIMUR D K I JAKARTA D K I JAKARTA KALIMANTAN BARAT D K I JAKARTA KALIMANTAN BARAT JAWA TIMUR JAWA TIMUR
TANJUNG PRIOK TANJUNG PERAK TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK TANJUNG PERAK TANJUNG PRIOK TANJUNG PERAK TANJUNG PRIOK TANJUNG PRIOK PONTIANAK TANJUNG PRIOK PONTIANAK TANJUNG PERAK TANJUNG PERAK
Sumber : Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2004
REP.RAKYAT CINA REP.RAKYAT CINA KOREA SELATAN REP.RAKYAT CINA REP.RAKYAT CINA REP.RAKYAT CINA REP.RAKYAT CINA JEPANG REP.RAKYAT CINA REP.RAKYAT CINA REP.RAKYAT CINA REP.RAKYAT CINA REP.RAKYAT CINA REP.RAKYAT CINA
3,110 7,813 2,643 3,110 6,313 17,040 16,072 3,600 8,500 2,262 18,830 4,899 5,045 5,023 848,514
38,880 60,098 13,000 61,246 48,558 121,000 123,627 24,000 61,000 15,000 134,500 36,296 64,177 54,020 1,806,686
2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004
85
Lampiran 3. Luas Areal, Produksi Kelapa dan Produksi Sabut Kelapa, Tahun 1967 2004 Produksi Kelapa Produksi Sabut Kelapa (Ton) (Ton) 1967 1,473,416 1,096,235 383,682.25 1968 1,595,494 1,132,749 396,462.15 1969 1,680,536 1,167,222 408,527.70 1970 1,805,711 1,202,902 421,015.70 1971 1,888,179 1,279,579 447,852.65 1972 1,908,220 1,255,951 439,582.85 1973 2,008,971 1,279,926 447,974.10 1974 2,130,564 1,343,411 470,193.85 1975 2,217,065 1,389,643 486,375.05 1976 2,328,833 1,534,641 537,124.35 1977 2,461,366 1,566,457 548,259.95 1978 2,505,561 1,578,242 552,384.70 1979 2,579,573 1,622,087 567,730.45 1980 2,680,423 1,666,073 583,125.55 1981 2,824,862 1,792,922 627,522.70 1982 2,852,164 1,603,045 561,065.75 1983 2,946,710 1,607,638 562,673.30 1984 3,011,480 1,750,488 612,670.80 1985 3,050,000 1,920,431 672,150.85 1986 3,112,528 1,974,642 691,124.70 1987 3,153,144 2,098,544 734,490.40 1988 3,225,488 2,143,987 750,395.45 1989 3,283,589 2,221,357 777,474.95 1990 3,393,922 2,331,570 816,049.50 1991 3,573,320 2,478,316 867,410.60 1992 3,598,565 2,475,284 866,349.40 1993 3,635,855 2,605,903 912,066.05 1994 3,681,380 2,649,034 927,161.90 1995 3,723,856 2,704,286 946,500.10 1996 3,736,056 2,760,886 966,310.10 1997 3,668,233 2,703,938 946,378.30 1998 3,705,974 2,778,127 972,344.45 1999 3,679,376 2,994,622 1,048,117.70 2000 3,696,017 3,047,558 1,066,645.30 2001 3,897,467 3,163,018 1,107,056.30 2002 3,884,950 3,098,496 1,084,473.60 2003*) 3,882,558 3,229,251 1,130,237.85 2004**) 3,982,650 3,331,328 1,165,964.80 Keterangan : *) Sementara **) Estimasi APCC Sumber : BPS (2004) APCC (2003) Tahun Luas Areal (ha)
86
Lampiran 4. Data Dugaan Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia, Tahun 2004 n Ekspor (Kg) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
27,374.00 17,873.00 8,484.00 1,645.00 241,610.00 5,397.00 53,075.00 1,451.00 8,400.00 93,112.00 3,520.00 7,165.00 51,241.00 82,976.00 3,850.00 17,651.00 3,369.00 52,696.00 8,650.00 9,701.00 11,775.00 25,980.00 25,769.00 26,203.00 66,304.00
Harga (US$/Kg) 4.10 5.30 8.05 2.31 0.03 2.37 0.26 2.51 4.25 0.43 5.25 1.14 0.75 0.42 1.00 1.00 1.00 1.00 3.62 5.38 4.36 5.64 7.26 9.39 7.23
Kurs 2,323.00 2,346.00 2,349.70 2,353.30 2,395.00 2,407.00 2,419.30 2,430.70 2,496.30 2,694.70 2,969.70 3,326.70 3,531.00 7,925.00 9,150.00 8,348.30 8,940.00 11,131.70 12,808.30 12,991.70 11,591.70 9,775.00 8,516.70 7,625.00 8,091.70
Luas Lahan
Prod. Sabut
123,324.00 2,260,313.88 133,090.00 27,374.00 1,475,742.12 143,090.00 17,873.00 3,668,233.00 211,575.00 8,484.00 25,200.62 257,106.00 1,645.00 3,680,773.38 275,227.00 241,610.00 331,511.78 271,596.00 5,397.00 3,258,823.32 277,558.00 53,075.00 36,793,760.02 271,526.00 1,451.00 276,831.67 280,028.00 8,400.00 36,960,170.83 313,532.00 93,112.00 116,054.93 359,677.00 3,520.00 36,960,170.06 354,231.00 7,165.00 1,488,052.90 388,452.00 51,241.00 2,409,414.10 398,411.00 82,976.00 192,693.52 417,768.00 3,850.00 884,214.62 428,700.00 17,651.00 168,606.83 432,332.00 3,369.00 2,639,435.03 437,297.00 52,696.00 598,690.44 435,652.00 8,650.00 671,294.28 454,460.00 9,701.00 814,948.92 451,252.00 11,775.00 1,797,624.35 464,924.00 25,980.00 867,819.44 499,495.00 25,769.00 882,156.98 524,498.00 26,203.00 2,232,673.59
PDB
Lag
584,617,610.50 381,692,489.50 946,378,300.00 6,611,942.26 965,732,507.70 94,435,404.77 928,317,846.90 25,364,448.34 79,891,732.97 885,102,269.90 33,492,662.42 68,158,634.67 422,674,095.30 684,382,204.70 53,789,890.56 246,826,191.40 47,066,154.24 736,791,363.80 174,282,676.50 195,418,124.30 237,236,924.70 523,300,124.60 254,063,729.90 258,261,203.20 653,639,866.90
88
Lampiran 5.
Hasil Pendugaan Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia, Tahun 2004
Peubah Koefisien Model Regresi Linier Berganda -15.867 Konstanta -5.615 H1 -5.604 K1 0,1986 PDB1 0,0001027 PS1 -0,0476 Lag1 -0,0005369 LL1 60,60 % R2 4,62 F statistik 2,04 Durbin Watson
t hitung -0,48 -1,97 -1,54 1,72 4,10 0,29 -0,74
P 0,634 0,065 0,140 0,102 0,001 0,774 0,469
VIF 1,1 3,5 3,2 1,2 1,2 1,3
Elastisitas
89
90