PENGARUH CARA PENGERITINGAN SERAT SABUT KELAPA DAN JUMLAH KARET TERHADAP KARAKTERISTIK SERAT SABUT KELAPA BERKARET (SEBUTRET)
Oleh TANTRI MARTINI F34102097
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGARUH CARA PENGERITINGAN SERAT SABUT KELAPA DAN JUMLAH KARET TERHADAP KARAKTERISTIK SERAT SABUT KELAPA BERKARET (SEBUTRET)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh TANTRI MARTINI F34102097
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH CARA PENGERITINGAN SERAT SABUT KELAPA DAN JUMLAH KARET TERHADAP KARAKTERISTIK SERAT SABUT KELAPA BERKARET (SEBUTRET)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : TANTRI MARTINI F34102097 Dilahirkan pada tangggal 22 Maret 1984 Di Bogor Tanggal Kelulusan : 4 April 2007
Menyetujui, Bogor, April 2007
Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS
Ir. Maurits Sinurat
Pembimbing I
Pembimbing II
TANTRI MARTINI. F34102097. Pengaruh Cara Pengeritingan Serat Sabut Kelapa dan Jumlah Karet terhadap Karakteristik Serat Sabut Kelapa Berkaret (Sebutret). Dibawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Maurits Sinurat. 2007. RINGKASAN Serat sabut kelapa merupakan salah satu hasil samping dari pengolahan buah kelapa. Dari produksi buah kelapa nasional rata-rata 15,5 milyar butir per tahun, serat sabut kelapa yang dapat diperoleh sekitar 1,8 juta ton (Allorerung et al., 2005). Pemanfaatan serat sabut kelapa belum dilakukan secara optimal. Salah satu produk dari pemanfaatan serat sabut kelapa yang memiliki nilai tambah tinggi yaitu serat sabut kelapa berkaret (sebutret). Sebutret merupakan produk hasil perpaduan dari serat sabut kelapa dan karet lateks. Sebutret dapat digunakan untuk pelapis (pad) bahan-bahan yang memerlukan kepegasan, misalnya jok dan kasur. Bahan baku pembuatan sebutret adalah serat keriting dan karet lateks. Serat keriting diperoleh melalui pengeritingan serat sabut kelapa. Karet lateks berfungsi mengikat dan membalut serat-serat keriting, sehingga produk yang dihasilkan lebih berpegas. Proses pengeritingan meliputi pemintalan serat, pengeringan, dan penguraian pintalan serat. Pintalan serat yang akan dikeringkan dapat diolah dengan proses kering (cara I), proses basah (cara II), dan pemanasan oleh uap air mendidih (cara III). Serat keriting yang dihasilkan dari ketiga cara pengeritingan memiliki geometri atau bentuk yang berbeda, dan jumlah karet yang bervariasi untuk mengikat dan membalut serat-serat mengakibatkan mutu sebutret tidak konsisten. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh cara pengeritingan serat sabut kelapa dan jumlah karet yang ditambahkan terhadap sifat atau mutu produk sebutret. Penelitian terdiri dari dua tahap. Pada penelitian tahap I dilakukan uji coba pengeritingan serat dengan proses kering (cara I), proses basah (cara II), dan pemanasan oleh uap air mendidih (cara III). Sedangkan pada penelitian tahap II dilakukan variasi jumlah karet yang mengikat dan membalut serat keriting, yaitu 50 gram, 60 gram, dan 70 gram. Pengujian yang dilakukan yaitu pengukuran bulk density untuk serat keriting serta pengujian sifat fisik untuk sebutret yang meliputi bobot jenis kamba, pampatan tetap 50% dan tegangan pampat 50%. Hasil pengukuran bulk density menunjukkan bahwa ketiga cara pengeritingan mempengaruhi nilai bulk density. Nilai bulk density serat keriting adalah 5,72 kg/m3-6,38 kg/m3 pada cara I, 6,10 kg/m3-6,45 kg/m3 pada cara II, dan 6,24 kg/m3-6,86 kg/m3 pada cara III. Analisis ragam menunjukkan ketiga cara pengeritingan tidak menghasilkan nilai bulk density yang berbeda nyata (α=0,05). Hasil pengujian sifat fisik sampel sebutret pada penelitian tahap I menunjukkan bahwa variasi bulk density yang dihasilkan ketiga cara pengeritingan mempengaruhi bobot jenis kamba, pampatan tetap 50% dan tegangan pampat 50%. Bobot jenis kamba sampel yang dihasilkan cara I adalah 19,50 kg/m3, bobot jenis kamba sampel yang dihasilkan cara II adalah 21,61 kg/m3, sedangkan bobot jenis kamba sampel yang dihasilkan cara III adalah 22,32 kg/m3. Nilai pampatan tetap 50% yang dihasilkan cara pengeritingan I, II dan III masing-masing adalah 24,68%, 30,03%, dan 33,26%. Sedangkan nilai tegangan pampat 50% yaitu 9,32 g/cm2 pada cara I, 12,40 g/cm2 pada cara II, dan 13,17
g/cm2 pada cara III. Analisis ragam menunjukkan bahwa ketiga cara pengeritingan tidak memberikan pengaruh yang nyata (α=0,05) terhadap bobot jenis kamba dan tegangan pampat 50%, dan memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap pampatan tetap 50%. Berdasarkan penilaian mutu dan juga pertimbangan faktor ekonomi atau tambahan perlengkapan yang digunakan pada ketiga cara pengeritingan, maka cara II ditetapkan sebagai cara pengeritingan terbaik, dan menjadi acuan atau pedoman untuk penelitian tahap II. Hasil penelitian tahap II menunjukkan variasi jumlah karet mempengaruhi bobot jenis kamba, pampatan tetap dan tegangan pampat. Nilai bobot jenis kamba sampel Sebutret 50, Sebutret 60, dan Sebutret 70 masingmasing adalah adalah 22,35 kg/m3, 24,46 kg/m3, dan 28,35 kg/m3. Bobot jenis kamba sampel Sebutret 40 (penelitian tahap I) adalah 21,61 kg/m3. Nilai pampatan tetap 50% sampel Sebutret 50, Sebutret 60, dan Sebutret 70 masing-masing adalah 28,83 kg/m3, 25%, dan 18,33%. Nilai pampatan tetap 50% sampel Sebutret 40 adalah 30,03%. Sedangkan nilai tegangan pampat sampel Sebutret 50, Sebutret 60, dan Sebutret 70 adalah 14,65 g/cm2, 18,16 g/cm2, dan 23,41 g/cm2. Nilai tegangan pampat sampel Sebutret 40 adalah 12,40 g/cm2. Analisis ragam menunjukkan bahwa jumlah karet sebanyak 50 gram, 60 gram, dan 70 gram memberikan pengaruh yang nyata (α=0,05) terhadap bobot jenis kamba, pampatan tetap 50% dan tegangan pampat 50%. Cara pengeritingan serat sabut kelapa dan jumlah karet dapat mempengaruhi karakteristik sebutret. Cara pengeritingan II dan jumlah karet 70 gram menghasilkan karakteristik sebutret yang paling baik.
TANTRI MARTINI. F34102097. The Influence of Curling Method of Coir Fibre and Amount of Rubber to the Characteristic of Rubberized Coir. Supervised by Liesbetini Hartoto and Maurits Sinurat. 2007. SUMMARY Coir fibre is one of by product from coconut production. From national coconut production the average was 15.5 billion every year, the amount of coir fibre that can be obtained was 1.8 million tons. Utilization of coir fibre is not done yet optimally. One of the product from utilization of coir fibre that has high added value is rubberized coir. Rubberized coir is a combination result of coir fibre and latex rubber. Rubberized coir can be used as pad of material needed elasticity such as chair pad and mattress. The raw material for production rubberized coir are curled fibre and latex rubber. The curled fibre was obtained with curling coir fibre. Latex rubber has function to bind and bandage curled fibres, so that the product will be more elastic. Curling fibre process consists of twisting fibre, drying, and scaterring twisted fibre. Twisted fibre which will be dried can be proceed with dry process (method I), wet process (method II), and heated by steam (method III). Curled fibre obtained from the three methods have different form or geometry, and variant amount of rubber to bind and bandage the curled fibre causes inconsistent quality of rubberized coir. The objective of this research was to examine the influence of curling method of coir fibre and amount of rubber that bind and bandage fibre to character or quality of ruberrized coir. This research consisted of two phases, at research I curling fibre trial was conducted with dry process (method I), wet process (method II), and heated by steam (method III). While at research II varying amount of rubber that binded and bandaged curly fiber, that were 50, 60, and 70 gram was conducted. The conducted examination was measurement of bulk density for curled fibre and physical properties examination for rubberized coir, consisted of density, compression set of 50%, and compressive strength of 50%. The result of bulk density measurement showed that the three methods influenced value of bulk density. The value of bulk density of curled fibre in the range of 5.72-6.38 kg/m3 at the method I, 6.10-6.45 kg/m3 at the method II, and 6.24-6.86 kg/m3 at the method III. Analysis of variance showed the three methods do not result significant difference (α=0,05). Result of investigation on physical properties of the samples product at research I showed that various bulk density of curled fibre obtained from the three methods influenced density, compression set of 50%, and compressive strength of 50%. Density of sample obtained from method I was 19.50 kg/m3, density of sample obtained from method II was 21.61 kg/m3, and density of sample obtained from method III was 22.32 kg/m3. Value of 50% compression set of sample obtained from method I, II and III were 24.68%, 30.03%, and 33.26% respectively. While the value of 50% compressive strength of sample was 9.32 g/cm2 at the method I, 12.40 g/cm2 at the method II, and 13.17 g/cm2 at the method III. Analysis of variance showed the three methods did not give significant influence (α=0,05) to density and compressive strength and give significant influence to compression set. According to the evaluate quality and
consideration of economic factor or added equipment that used on the third of method, hence method II was decided as the best method, and became the refference or guidence for the research II. Result of research II showed that variation in the amount of rubber influenced density, compression set, and compressive strength. Density of sample Sebutret 50, Sebutret 60, and Sebutret 70 were 22.35 kg/m3, 24.46 kg/m3 at, and 28.35 kg/m3 respectively. Density of Sebutret 40 at research I was 21.61 kg/m3. Value of 50% compression set of sample Sebutret 50, Sebutret 60, and Sebutret 70 were 28.83%, 25%, and 18.33% respectively. Value of 50% compression set at Sebutret 40 was 30.03%. Value of 50% compressive strength of sample Sebutret 50, Sebutret 60, and Sebutret 70 were 14.65 g/cm2, 18.16 g/cm2, and 23.41 g/cm2 respectively. Value of 50% compressive strength of Sebutret 40 at research I was 12.40 g/cm2. Analysis of variance showed the amount of rubber 50 gram, 60 gram, and 70 gram affected significanly (α=0,05) to density, 50% of compression set, and 50% of compressive strength. Curling method of coir fibre and amount of rubber can influence the characteristic of rubberized coir. Curling method II and amount of rubber 70 gram produced the best character of rubberized coir.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “PENGARUH CARA PENGERITINGAN SERAT SABUT KELAPA DAN JUMLAH KARET TERHADAP KARAKTERISTIK SERAT SABUT KELAPA BERKARET (SEBUTRET)” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, April 2007 yang membuat pernyataan
Tantri Martini NRP : F34102097
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 22 Maret 1984. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan bapak Djadjang dan ibu Siti Rokoyah. Pada tahun 1990 penulis memulai pendidikan di TK Permata Bogor dan selesai pada tahun 1991. Kemudian penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Bogor Baru Bogor pada tahun 1996. Penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP PGRI 5 Bogor dan lulus pada tahun 1999. Kemudian penulis menempuh pendidikan di SMU Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis memperoleh Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2005 penulis melaksanakan Praktek Lapangan di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat dengan judul “Proses Produksi dan Pengemasan Susu Pasteurisasi di Milk Treatment Koperasi Peternakan Bandung Selatan (MT KPBS) Pangalengan, Bandung”. Pada bulan Juli 2006 penulis melaksanakan penelitian sebagai tugas akhir dengan judul “Pengaruh Cara Pengeritingan Serat Sabut Kelapa dan Jumlah Karet terhadap Karakteristik Serat Sabut Kelapa Berkaret (Sebutret)” di Balai Penelitian Teknologi Karet (BPTK) Bogor. Akhirnya pada bulan April 2007 penulis dinyatakan lulus dari Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2007
Penulis
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta beserta keluarga yang telah banyak memberikan kasih sayang, dorongan dan bantuan baik secara materi maupun spiritual, Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Ir. Maurits Sinurat selaku pembimbing II yang telah membimbing dan membantu penulis selama melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi, dan Ir. Sugiarto, Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Penelitian Teknologi Karet (BPTK) Bogor yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian di BPTK Bogor, seluruh staf dan karyawan BPTK Bogor yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam pelaksanaan penelitian, serta seluruh rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang secara langsung maupun tidak langsung membantu pelaksanaan penelitian dan penyelesaian skripsi. Semoga segala bantuan yang diterima penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu segala bentuk saran dan kritik sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, April 2007
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ............................................................. ............................
iv
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
vi
PENDAHULUAN .................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG .....................................................................
1
B. TUJUAN ..........................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
4
A. SABUT DAN SERAT SABUT KELAPA .......................................
4
B. SERAT KERITING SABUT KELAPA ..........................................
6
C. LATEKS PEKAT .............................................................................
7
D. KOMPON LATEKS .........................................................................
9
E. SERAT SABUT KELAPA BERKARET (SEBUTRET) .................
12
III. METODOLOGI ....................................................................................
16
I.
A. BAHAN .............................................................................................. 16 B. ALAT ...............................................................................................
16
C. METODE PENELITIAN .................................................................
17
1. Pembuatan Kompon Lateks ......................................................
17
2. Penelitian Tahap I .....................................................................
19
a. Pengeritingan Serat ..............................................................
19
b. Pembuatan Sampel Sebutret .................................................
21
c. Uji Sifat Fisik Sampel Sebutret ............................................
23
d. Penentuan Cara Pengeritingan Serat Terbaik .......................
24
ii
3. Penelitian Tahap II ....................................................................
27
a. Pengeritingan Serat ..............................................................
27
b. Pembuatan Sampel Sebutret .................................................
27
c. Uji Sifat Fisik Sampel Sebutret ............................................
27
D. RANCANGAN PERCOBAAN ......................................................
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
30
A. PENELITIAN TAHAP I .................................................................
30
1. Karakteristik Pengeringan Pintalan Serat....................................
30
2. Bulk Density Serat Keriting ........................................................
32
3. Uji Sifat Fisik Sampel Sebutret .................................................
35
a. Bobot Jenis Kamba .................................................................
36
b. Pampatan Tetap 50% ............................................................
38
c. Tegangan Pampat 50% ..........................................................
40
4. Penentuan Cara Pengeritingan Serat Terbaik .............................
41
B. PENELITIAN TAHAP II .................................................................
42
1. Bobot Jenis Kamba ....................................................................
43
2. Pampatan Tetap 50% ................................................................
44
3. Tegangan Pampat 50% ..............................................................
45
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
47
A. KESIMPULAN ...............................................................................
47
B. SARAN ............................................................................................
48
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
50
LAMPIRAN ...................................................................................................
53
iii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Luas lahan perkebunan kelapa nasional ..............................................
1
Tabel 2. Hasil pengolahan 1000 butir kelapa setara dengan 227,8 kg sabut ....
4
Tabel 3. Komposisi kimia sabut dan serat sabut kelapa ..................................
5
Tabel 4. Standar mutu lateks pekat (ASTM 1997) ............................................
8
Tabel 5. Formula pembuatan bahan dispersi 50% ............................................ 18 Tabel 6. Formula kompon lateks untuk sebutret ............................................... 18 Tabel 7. Perbandingan cara pengeritingan serat ............................................... 41
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Mekanisme reaksi vulkanisasi......................................................... 10 Gambar 2. Diagram alir pembuatan sebutret secara umum ............................. 13 Gambar 3. Sebutret ........................................................................................... 15 Gambar 4. Pintalan serat (tambang) ................................................................ 19 Gambar 5. Diagram alir penelitian tahap I ....................................................... 26 Gambar 6. Diagram alir penelitian tahap II ..................................................... 28 Gambar 7. Grafik penurunan bobot pintalan serat selama pengeringan pada cara pengeritingan I ......................................................................... 30 Gambar 8. Grafik penurunan bobot pintalan serat selama pengeringan pada cara pengeritingan II ....................................................................... 31 Gambar 9. Grafik penurunan bobot pintalan serat selama pengeringan pada cara pengeritingan III ...................................................................... 32 Gambar 10. Grafik perbedaan bulk density serat keriting karena perbedaan cara pengeritingan serat dan suhu pengeringan ............................. 33 Gambar 11. Serat keriting hasil penguraian pintalan serat ................................ 35 Gambar 12. Grafik pengaruh cara pengeritingan serat terhadap bobot jenis sebutret ........................................................................................... 36 Gambar 13. Grafik pengaruh cara pengeritingan serat terhadap pampatan tetap 50% sebutret ................................................................................... 38 Gambar 14. Grafik pengaruh cara pengeritingan serat terhadap tegangan pampat 50% sebutret ................................................................................... 40 Gambar 15. Grafik pengaruh jumlah karet terhadap bobot jenis sebutret .......... 43 Gambar 16. Grafik pengaruh jumlah karet terhadap pampatan tetap 50% sebutret ........................................................................................... 44 Gambar 17. Grafik pengaruh jumlah karet terhadap tegangan pampat 50% sebutret ........................................................................................... 46
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran
1. Produk turunan dari pengolahan sabut kelapa ......................... 53
Lampiran
2. Uji karakteristik pengeringan pintalan serat cara pengeritingan I suhu 60, 80 dan 100°C .......................................................... 54
Lampiran
3. Uji karakteristik pengeringan pintalan serat cara pengeritingan II suhu 60 °C ............................................................................ 55
Lampiran
4. Uji karakteristik pengeringan pintalan serat cara pengeritingan II suhu 80 °C ........................................................................... 56
Lampiran
5. Uji karakteristik pengeringan pintalan serat cara pengeritingan II suhu 100 °C ......................................................................... 57
Lampiran
6. Uji karakteristik pengeringan pintalan serat cara pengeritingan III suhu 60, 80 dan 100 °C ..................................................... 58
Lampiran
7. Uji sifat fisik sebutret ............................................................... 59
Lampiran
8 a. Bulk density serat keriting ......................................................
60
Lampiran
8 b. Perbandingan bentuk atau geometri serat keriting ................. 60
Lampiran
9 a. Bobot bahan pada sampel produk penelitian tahap I .............. 61
Lampiran
9 b. Bobot bahan pada sampel produk penelitian tahap II ............. 61
Lampiran 10 a. Sifat fisik sampel sebutret (penelitian tahap I) ....................... 62 Lampiran 10 b. Sifat fisik sampel sebutret (penelitian tahap II) ...................... 62 Lampiran 10 c. Analisis ragam suhu pengeringan pintalan serat ...................... 62 Lampiran 11 a. Analisis ragam bulk density serat keriting ............................... 63 Lampiran 11 b. Analisis ragam bobot jenis sebutret (penelitian tahap I) ........ 63 Lampiran 11 c. Analisis ragam pampatan tetap 50% sebutret (penelitian tahap I) .................................................................... 63 Lampiran 12 a. Uji lanjut Duncan pampatan tetap 50% sebutret (penelitian tahap I) .................................................................. 64 Lampiran 12 b. Analisis ragam tegangan pampat 50% sebutret (penelitian tahap I) .................................................................. 64 Lampiran 13 a. Analisis ragam bobot jenis sebutret (penelitian tahap II) ....... 65 Lampiran 13 b. Uji lanjut Duncan bobot jenis sebutret (penelitian tahap II) .. 65
vi
Lampiran 14 a. Analisis ragam pampatan tetap 50% sebutret (penelitian tahap II) ................................................................... 66 Lampiran 14 b. Uji lanjut Duncan pampatan tetap 50% sebutret (penelitian tahap II) ................................................................. 66 Lampiran 15 a. Analisis ragam tegangan pampat 50% sebutret (penelitian tahap II) ................................................................ 67 Lampiran 15 b. Uji lanjut Duncan tegangan pampat 50% sebutret (penelitian tahap II) ................................................................ 67 Lampiran 16 a. Alat pendispersi bahan kimia .................................................. 68 Lampiran 16 b. Alat pemintal serat sabut kelapa ............................................ 68 Lampiran 17 a. Cetakan sampel sebutret ........................................................ 69 Lampiran 17 b. Alat penyemprot kompon lateks ............................................ 69 Lampiran 17 c. Oven vulkanisasi .................................................................... 69 Lampiran 18 a. Jok kursi sebutret ................................................................... 70 Lampiran 18 b. Kasur sebutret ........................................................................ 70
vii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Kelapa dan karet merupakan komoditas yang memberikan kontribusi besar dalam perekonomian nasional. Luas areal perkebunan karet tahun 2005 mencapai lebih dari 3,2 juta hektar yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, 85 persen diantaranya merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7 persen perkebunan besar negara serta 8 persen perkebunan besar milik swasta. Produksi karet nasional pada tahun 2005 mencapai angka sekitar 2,2 juta ton. Nilai ekspor karet pada tahun 2006 mencapai US$ 4,2 milyar (Anwar, 2006). Kelapa merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Luas areal perkebunan kelapa Indonesia yaitu 3,74 juta hektar merupakan yang terluas di dunia, 98 persen diantaranya merupakan perkebunan rakyat (Allorerung et al., 2005). Luas lahan perkebunan kelapa di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas lahan perkebunan kelapa nasional menurut status pengusahaan (ha) Tahun Perkebunan rakyat
2001
2002
2003
2004
2005
3.818.946 3.806.032 3.785.343 3.759.736 3.786.063
Perkebunan negara
11.661
9.764
5.838
5.452
5.462
Perkebunan swasta
121.023
123.766
121.949
106.893
106.893
Total
3.951.630 3.939.562 3.913.130 3.872.081 3.898.418
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2006) Sabut kelapa merupakan salah satu hasil samping dari pengolahan buah kelapa yang belum dimanfaatkan secara optimal. Sabut kelapa dapat diolah lebih lanjut menjadi produk yang bernilai tambah tinggi. Produk turunan dari pengolahan sabut kelapa ditunjukkan pada Lampiran 1. Hasil samping utama pengolahan sabut kelapa adalah serat sabut kelapa. Serat sabut kelapa bersifat kuat, tahan lama, tidak mudah lapuk, ringan, elastis dan mampu menyerap panas (Lay dan Pasang, 2003). Serat sabut kelapa mempunyai karakteristik material yang ramah lingkungan, sehingga dampak
2
pencemaran limbah terhadap lingkungan sangat rendah (Purba, 1999). Potensi ketersediaan serat sabut kelapa untuk dikonversi menjadi produk komersial cukup besar. Dari produksi buah kelapa nasional rata-rata sebanyak 15,5 milyar butir/tahun, dapat diperoleh serat sabut kelapa sekitar 1,8 juta ton. Konversi serat sabut kelapa yang prospektif antara lain menjadi jok mobil mewah, springbed, dan geotextile (Allorerung et al., 2005). Salah satu produk dari pemanfaatan serat sabut kelapa yang dianggap memiliki nilai ekonomi tinggi yaitu sebutret. Sebutret merupakan bahan berpegas yang dapat digunakan untuk pelapis (pad) bahan-bahan yang memerlukan kepegasan, misalnya kasur dan jok. Sebutret lebih ringan dan berpegas jika dibandingkan dengan karet busa (busa alam), karena terdiri dari karet dan serat-serat bergelombang yang memiliki rongga yang besar, bersifat sejuk dan dingin, tahan terhadap air dan bakteri, bebas dari segala macam kutu dan serangga, tidak berdebu seperti kapuk, dan pemakaiannya tidak berisik (Sinurat, 2003). Bahan baku pembuatan sebutret adalah serat keriting (bergelombang) dan karet lateks. Serat keriting diperoleh melalui pengeritingan serat kelapa. Penggunaan serat keriting dalam pembuatan sebutret bertujuan untuk meningkatkan ketinggian lentur produk, produk yang dihasilkan mempunyai rongga udara dengan sifat kepegasan yang lebih baik dari bahan serat alami (Sinurat, 2001). Pembuatan serat keriting di BPTK Bogor dilakukan dengan pemintalan serat, pengeringan, pemeraman, dan penguraian pintalan serat. Terdapat tiga cara untuk memperoleh serat keriting, yaitu dengan mengurai pintalan serat yang mengalami proses pengeritingan cara kering, pengeritingan cara basah, dan pengeritingan dengan pemanasan oleh uap air mendidih. Pada proses kering, serat dipintal dalam kondisi alaminya (kering), pada proses basah, serat yang akan dipintal terlebih dahulu dibasahi dengan sedikit air, dan pada pemanasan dengan uap air mendidih, serat yang telah dipintal dilalukan dengan uap panas. Perlakuan penambahan air dan pemanasan dengan uap air mendidih bertujuan agar serat menjadi lemas dan mengikuti bentuk spiral atau sinusoidal (Sinurat, 2001). Diperkirakan bahwa geometri serat keriting yang
3 dihasilkan dari ketiga cara pengeritingan tersebut berbeda dan berpengaruh terhadap mutu produk. Pintalan serat yang diproses dengan cara kering, cara basah, dan pemanasan dengan uap air mendidih dikeringkan hingga mencapai kadar air keseimbangan. Pengeringan bertujuan agar serat menjadi berbentuk sinusiodal dan plastis atau tidak mudah kembali ke bentuk semula. Pada proses pengeringan dilakukan variasi suhu untuk mengetahui pengaruhnya terhadap karakteristik serat keriting yang dihasilkan. Setelah proses pengeringan pintalan serat didinginan dan diperam pada suhu ruangan. Karet lateks berfungsi mengikat persinggungan dan membalut seratserat keriting, sehingga produk yang dihasilkan lebih berpegas. Jumlah karet yang membalut serat keriting yaitu 50 persen dari bobot produk (sebutret). Optimasi penggunaan jumlah karet yang mengikat dan membalut serat keriting perlu dilakukan agar produk sebutret yang dihasilkan memiliki kepegasan dan kemampuan menahan beban yang lebih baik sesuai penggunaannya. Pada penelitian ini dilakukan uji coba penambahan jumlah karet yang mengikat dan membalut serat keriting untuk mengetahui pengaruhnya terhadap sifat atau mutu produk sebutret. Pengeritingan serat dipengaruhi oleh cara pengeritingan dan suhu pengeringan pintalan serat. Uji coba ketiga cara pengeritingan serat yaitu proses kering, proses basah, dan pemanasan oleh uap air mendidih dengan variasi suhu pengeringan serta penambahan jumlah karet perlu dilakukan untuk dapat mengetahui karakteristik produk sebutret yang dihasilkan, serta diharapkan dapat menjadi acuan untuk menentukan cara pengeritingan serat dan jenis mutu dalam proses produksi sebutret.
B. TUJUAN Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memperoleh produk serat sabut kelapa berkaret (sebutret) yang memiliki sifat dan mutu yang baik. Tujuan penelitian secara khusus adalah untuk mengetahui pengaruh cara pengeritingan serat sabut kelapa dan jumlah karet yang mengikat dan membalut serat terhadap karakteristik sebutret yang dihasilkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. SABUT DAN SERAT SABUT KELAPA Sabut kelapa merupakan bagian yang cukup besar dari buah kelapa, yaitu 35 persen dari berat keseluruhan buah. Sabut kelapa adalah bagian terluar buah kelapa yang membungkus tempurung kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri dari lapisan terluar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium). Menurut United Coconut Association of The Philippines (UCAP), dari satu buah kelapa dapat diperoleh rata-rata 0,4 kg sabut. Sabut mengandung 30 persen serat (Suhardiyono, 1988). Sabut kelapa terdiri dari serat dan gabus yang menghubungkan satu serat dengan serat lainnya (Anonim, 2005). Pengolahan lanjut sabut kelapa dalam rangka diversifikasi produk, adalah dengan mengadakan pemisahan serat sesuai dengan penggunaannya. Pemisahan serat sabut kelapa dapat dilakukan secara mekanis maupun biologis (perendaman dalam air tawar maupun air laut). Dari serat kelapa dapat diperoleh 12 persen bristle fibre dan 18 persen mattress fibre (Barlina et al., 1990). Serat bristle dan serat mattress terkadang sering dicampur dan dipintal serta dilakukan proses pengeritingan menjadi tali berpilin satu, yang disebut dengan curled coir fibre, bahan ini sering digunakan sebagai bahan baku pada industri pembuatan serat berkaret (Aprianita dan Sudibyo, 1985). Hasil pengolahan sabut kelapa menurut Djatmiko et al., (1990) ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengolahan 1000 butir kelapa setara dengan 227,8 kg sabut Komposisi 1. Bristle fibre 2. Mattress fibre 3. Coir fibre a. Epicarp b. Fibrous dust (serat yang sangat pendek) c. Pith (gabus) Jumlah Sumber: Djatmiko et al., (1990)
Bobot (kg) 62,6 38,2
Rendemen (%) 27,5 16,8
42,6 6,2
18,7 2,7
78,2 227,8
34,3 100,0
5 Serat sabut kelapa memiliki panjang antara 150-350 mm, bahkan ada yang mencapai 400 mm. Diameter serat sabut kelapa sekitar 0,1-1,5 mm (Djatmiko et aI., 1990). Serat sabut kelapa sangat elastis dan tahan terhadap pembusukan (Awang, 1991). Komposisi kimia sabut dan serat sabut kelapa ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia sabut dan serat sabut kelapa Komponen
Sabut (%) Air 26,00 Pektin 14,25 Hemiselulosa 8,50 Lignin 29,23 Selulosa 21,07 Sumber : Joseph dan Kindangen (1993)
Serat sabut (%) 5,25 3,00 0,25 45,84 43,44
Menurut Ketaren dan Djatmiko (1985), terdapat tiga tipe serat kelapa, yaitu mat/yarn fibre, bristle fibre dan mattress fibre. Yarn fibre adalah seratserat panjang dan halus, cocok digunakan untuk bahan tikar atau tali. Bristle fibre merupakan serat kasar dan sering digunakan untuk pembuatan sapu atau sikat. Mattress fibre, yaitu serat pendek, biasa digunakan untuk bahan pengisi kasur. Mutu serat sabut kelapa ditentukan oleh warna, persentase kotoran, kadar air, dan proporsi berat antara serat panjang dan serat pendek. Serat sabut kelapa yang bermutu tinggi berwarna cerah cemerlang dengan persentase berat kotoran tidak lebih dari 2 persen dan tidak mengandung komponen asing. Yarn fibre diklasifikasikan menjadi dua kelas yaitu hard twist, yaitu serat yang diperoleh dari olahan mesin dan soft twist, yaitu serat yang diperoleh dari olahan tangan. Mutu serat bristle didasarkan atas warna dan panjang serat. Mutu yang baik warnanya cerah dan mempunyai panjang serat maksimum 12 inci (31,08 cm). Mutu serat mattress didasarkan atas warna, panjang serat, elastisitas, dan kebersihan. Serat mattress yang bermutu baik berwarna keemasan, sedangkan yang bermutu rendah berwarna suram dan tidak bercahaya (Palungkun, 1999).
6 B. SERAT KERITING SABUT KELAPA Pengertian serat keriting dalam pembuatan serat sabut kelapa berkaret (sebutret) yaitu serat alami dari sabut kelapa yang diubah bentuknya menjadi serat
bergelombang
(keriting)
melalui
proses
pengeritingan.
Tujuan
penggunaan serat keriting adalah untuk meningkatkan tinggi lentur produk yang
dihasilkan.
Pengeritingan
dilakukan
dengan
pemintalan
serat,
pembentukan pintalan serat (tambang), serta pengeringan dan pemeraman tambang. Dengan mengubah serat menjadi pintalan atau tambang, maka serat menjadi terikat dan terpuntir keras serta tidak ada kecenderungan menjadi longgar atau kembali ke posisi semula (Sinurat, 2001). Tambang hasil pengeringan dan pemeraman diurai kembali menjadi bentuk serat-serat, sehingga diperoleh jenis serat yang berubah bentuk menjadi bergelombang yang disebut serat keriting (curled fibre). Serat keriting sebaiknya tidak dibebani secara mekanik sebelum dilapisi dengan karet, karena serat dapat berubah menjadi lurus atau pipih dan tidak bergelombang (Sinurat, 2003). Susunan atau tumpukan serat keriting memiliki ikatan antar serat yang lebih kuat dan lebih elastis dibandingkan tumpukan serat lurus. Penggunaan serat keriting sebagai bahan pembuatan sebutret dapat menghasilkan produk sebutret yang mempunyai sifat kepegasan yang lebih baik dari bahan serat alami. Jika serat-serat keriting diikat persinggungannya dan dibalut kerangkanya dengan karet maka sebutret memiliki sifat kepegasan yang lebih baik karena bentuk gelombang yang dimilikinya menjadi permanen, atau segera kembali ke bentuk semula setelah pembebanan. Pengikatan dan pembalutan karet pada serat keriting bertujuan agar persinggungan serat-serat keriting dapat bersatu dan terikat dengan baik sehingga lebih kuat untuk menahan beban dinamis (Sinurat et al., 2000). Keuntungan penggunaan serat keriting dalam pembuatan sebutret sebagai bahan pengisi jok yaitu dapat meningkatkan tinggi lentur jok. Selain itu, jok memiliki rongga yang besar, bobotnya ringan dan bersifat lunak atau lembut. Ukuran dan tinggi lentur berpengaruh terhadap berat dan kerapatan jok. Ketebalan dan kerapatan atau ketinggian lentur jok dapat ditentukan atau
7 divariasi pada waktu proses pembentukan jok di dalam cetakan (Sinurat, 2003).
C. LATEKS PEKAT Lateks adalah istilah untuk getah tanaman karet (Hevea brasilliensis). Menurut Honggokusumo (1985), lateks merupakan dispersi partikel karet dalam cairan serum yang mengandung substansi organik dan anorganik. Lateks mengandung 25-40 persen bahan karet mentah dan 60-75 persen serum (air dan zat terlarut) (Goutara et al., 1985). Lateks terdapat dalam tanaman Hevea brasilliensis pada bagian daun, biji dan sebagian besar terletak pada kulit batang. Dengan cara menyadap, umumnya dilakukan dengan membuat torehan berbentuk spiral pada batang tanaman karet, lateks akan keluar dari pembuluh lateks. Lateks segar ini berupa cairan berwarna putih kekuningan yang mengandung partikel karet dan biasa dikenal dengan lateks kebun (Suparto, 2003). Lateks pekat merupakan hasil pemekatan lateks kebun dengan metode pemekatan tertentu sehingga mengalami peningkatan kadar karet kering dan tetap merupakan koloid yang stabil. Solichin (1991) menyatakan, lateks kebun dipekatkan agar kadar karet keringnya menjadi tinggi. Lateks pekat dengan kadar karet kering 60 persen atau lebih akan seragam mutunya dan lebih sesuai untuk pengolahan barang jadi karet. Menurut Triwijoso (1975), lateks pekat adalah lateks yang sekurangkurangnya mengandung 60 persen kadar jumlah bahan padat. Penggolongan lateks pekat didasarkan pada cara pemekatan dan jenis pengawetannya. Pada umumnya dalam perdagangan dijumpai empat macam cara pemekatan lateks, yaitu
pemusingan
(centrifuge),
pendadihan
(creaming),
penguapan
(evaporation), dan dekantasi listrik (electrodecantation). Handoko (2003) menyatakan bahwa mutu lateks pekat ditentukan berdasarkan spesifikasi dari ASTM (American Society for Testing and Materials). Menurut ASTM (1997), mutu lateks pekat dibagi dalam tiga jenis berdasarkan sistem pengawetan dan metode pembuatan, yaitu :
8 1. Jenis I
: lateks pekat sentrifusi yang diawetkan dengan amonia saja atau dengan pengawet formaldehid dilanjutkan dengan pengawet amonia.
2. Jenis II : lateks pekat pendadihan yang diawetkan dengan amonia saja atau dengan pengawet formaldehid dilanjutkan dengan pengawet amonia. 3. Jenis III : lateks pekat sentrifusi yang diawetkan dengan amonia rendah dan bahan-bahan pengawet sekunder. Standar mutu lateks pekat menurut ASTM (1997) ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Standar mutu lateks pekat (ASTM 1997)
1. Jumlah padatan total (total solid) minimum 2. Kadar karet kering minimum (%) 3. Perbedaan angka butir 1 dan 2 maksimum (%) 4. Kadar amoniak (berdasarkan jumlah air yang terdapat dalam lateks pekat) 5. Endapan (sludge) dari berat basah maksimum (%) 6. Kadar koagulum dari jumlah padatan maksimum (%) 7. Bilangan KOH maksimum 8. Kemantapan mekanik (mechanical stability) minimum (detik) 9. Persentase kadar tembaga dari jumlah padatan maksimum (%) 10. Persentase kadar mangan dari jumlah padatan maksimum (%) 11. Warna
12. Bau setelah dinetralkan dengan asam borat Sumber : Handoko (2003)
Jenis I
Jenis II
Jenis III
61,5 60
66 64
61,5 60
2
2
2
0,6 min
0,55 min
0,29 maks
0,1
0,1
0,1
0,05 0,8
0,05 0,8
0,05 0,8
650
650
650
0,0008
0,0008
0,0008
0,0008 Tidak berwarna biru/abuabu Tidak berbau busuk
0,0008 Tidak berwarna biru/abuabu Tidak berbau busuk
0,0008 Tidak berwarna biru/abuabu Tidak berbau busuk
9 Jenis lateks pekat yang digunakan dalam pembuatan sebutret adalah lateks pekat sentrifugasi. Lateks pekat sentrifugasi diperoleh melalui sentrifugasi lateks menggunakan mesin sentrifugasi. Metode sentrifugasi merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam memproduksi lateks pekat, karena kapasitas produksi tinggi, viskositas lateks rendah, dan hasil lateksnya lebih murni (Solichin, 1991). Prinsip pembuatan lateks pekat dengan cara sentrifugasi yaitu berdasarkan perbedaan bobot jenis antara partikel karet dan serum. Serum mempunyai bobot jenis lebih besar dari partikel karet. Akibatnya partikel karet memiliki kecenderungan untuk naik ke permukaan, sedangkan serum merupakan lapisan dibawahnya (Nazaruddin dan Paimin, 1996). D. KOMPON LATEKS Menurut Abednego (1981), karet mentah baik karet alam maupun karet sintetik tidak dapat digunakan dalam keadaan mentah karena karet mentah mudah teroksidasi, berubah bentuk, dan kurang kuat. Dengan penemuan proses vulkanisasi maka karet mentah diubah menjadi karet matang yang memiliki sifat elastis dan tahan lama (stabil). Pada proses vulkanisasi, terjadi
reaksi
kimia
antara
molekul-molekul
karet
dengan
bahan
pemvulkanisasi sehingga terbentuk suatu jaringan tiga dimensi yang mantap. Mekanisme reaksi vulkanisasi dapat dilihat pada Gambar 1. Vulkanisasi pada awalnya merupakan proses pemanasan karet dengan belerang pada suhu tinggi sekitar 150 °C. Untuk mempercepat dan memudahkan proses vulkanisasi serta menghasilkan barang jadi karet sesuai dengan sifat fisik yang diinginkan maka selain belerang perlu ditambahkan bahan-bahan kimia tertentu (Abednego, 1981). Menurut Handoko (2003), kompon lateks adalah campuran antara lateks dengan berbagai bahan kimia. Pencampuran dilakukan dengan gilingan pada suhu tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan campuran yang homogen antara bahan baku (karet) dengan bahan-bahan kimia tertentu yang memungkinkan kompon tervulkanisasi secara sempurna pada saat dilakukan pembuatan barang jadi karet (Soeseno, 1989).
10
N
N C
S
S
C
(1) Bahan pencepat
S S Bereaksi dengan belerang N
N C
SX
S
C
S
(2) Polisulfida S
Bereaksi dengan molekul karet C C CH
N SX
S
(3) Polisulfida karet
C S
C
C (4) Ikatan silang
C CH
C SX
CH
Gambar 1. Mekanisme reaksi vulkanisasi (Abednego, 1990)
11 Abednego (1990) menyatakan, kompon karet umumnya mengandung lima atau lebih jenis bahan kimia karet yang masing-masing memiliki pengaruh terhadap sifat dan karakteristik yang ditimbulkan. Bahan-bahan kimia dalam kompon karet dapat dikelompokkan sebagai berikut. 1. Bahan Pemvulkanisasi Bahan pemvulkanisasi berfungsi untuk mengikat molekulmolekul karet membentuk jaringan tiga dimensi, sehingga karet mentah yang semula lunak dan plastis, akan berubah menjadi barang jadi karet yang kuat dan elastis. Bahan pemvulkanisasi yang biasa digunakan adalah belerang. 2. Bahan Pencepat (accelerator) Bahan pencepat merupakan katalisator pada proses vulkanisasi. Proses vulkanisasi tanpa bahan pencepat akan memerlukan waktu vulkanisasasi yang lama dan suhu yang tinggi. Berdasarkan kecepatan kerjanya, bahan pencepat digolongkan sebagai berikut. a.
Bahan pencepat lambat, yaitu golongan aldehida amin.
b.
Bahan pencepat sedang, yaitu golongan guanidin.
c.
Bahan pencepat sedang-cepat, yaitu golongan thiazol.
d.
Bahan pencepat cepat, yaitu golongan thiuram sulfida.
e.
Bahan pencepat sangat cepat, yaitu golongan dithiokarbamat.
3. Bahan Penggiat (activator) Bahan penggiat merupakan bahan untuk menggiatkan kerja bahan pencepat. Bahan penggiat yang biasa digunakan adalah seng oksida (ZnO). 4. Bahan Pemantap (stabilizer) Bahan pemantap digunakan untuk menjaga kompon lateks tetap stabil atau tidak terpisah. Bahan pemantap yang dapat digunakan adalah Kalium laurat, Kalium hidroksida, dan jenis surfaktan lainnya. 5. Antioksidan Antioksidan berfungsi mencegah karet dari kerusakan karena pengaruh ozon maupun oksigen dan melindungi karet dari suhu tinggi, sinar matahari, serta ion prooksidan. Antioksidan yang biasa digunakan adalah golongan fenil dan turunan fenol.
12 6. Bahan Pengisi Bahan pengisi berfungsi meningkatkan kekerasan dan tegangan putus vulkanisat sehingga kekuatan dan kekakuan karet dapat bertambah. Bahan pengisi yang digunakan antara lain Aluminium silikat, Magnesium silikat, dan carbon filler (karbon hitam). E. SERAT SABUT KELAPA BERKARET (SEBUTRET) Serat sabut kelapa berkaret atau sebutret adalah produk hasil vulkanisasi lapisan serat yang telah dilapisi dan dibalut oleh kompon lateks dengan cara penyemprotan. Sifat elastis vulkanisat karet yang mengikat dan membalut serat mengakibatkan produk serat berkaret menjadi lebih kuat dan memiliki kepegasan yang lebih baik (Sinurat et al., 2001). Serat-serat yang diikat persinggungannya dan dibalut kerangkanya dengan karet juga memiliki sifat yang lebih baik terhadap beban mekanik, kelembaban dan air, dan serangan jamur (Sinurat, 2003). Sebutret mempunyai bentuk yang berongga susunannya, serta daya pegas yang baik, kepegasannya mempunyai daya tahan yang cukup lama (Triwijoso, 1973). Sebutret merupakan bahan berpegas yang dapat menggantikan fungsi produk yang sejenis. Sebutret memiliki daya serap getaran yang baik, ringan dan lebih nyaman (Pole, 1964). Menurut Sinurat (2002), dibeberapa negara sebutret (rubberized coir) telah banyak diproduksi dan dimanfaatkan bahkan digunakan pula untuk jok mobil mewah seperti Mercedes dan BMW. Penggunaan sebutret diperkirakan akan lebih berpeluang lagi jika diarahkan bagi masyarakat untuk kebutuhan rumah tangga, perkantoran, dan industri antara lain untuk jok kursi (Lampiran 18 a) dan kasur (Lampiran 18 b). Diagram alir pembuatan sebutret secara umum ditunjukkan pada Gambar 2.
13
Kulit kelapa (exocarp)
Pemecahan
Serat kotor Penyortiran dan pembersihan serat
Serat campuran
Pemintalan (pembuatan tambang)
Pintalan serat (tambang)
Pengeringan dan pemeraman pintalan
Pintalan kering
Penguraian pintalan
Serat keriting
Pencetakan
Lapisan tipis serat keriting
A
Coir dust
14
A
Lapisan tipis serat-serat keriting mm Penyemprotan pada permukaan atas dan bawah lapisan serat sabut kelapa
Kompon lateks
Pengadukan 2-3 menit
Pengeringan awal pada suhu 80-90 °C selama 20-30 menit Pemotongan (berukuran khusus)
Penyemprotan pada permukaan lapisan Penumpukan lapisan tipis (pembuatan lapisan tebal)
Lapisan tebal
Pengempaan dalam cetakan Vulkanisasi dalam oven dengan suhu 100-110 °C selama 60-90 menit Pemotongan
SEBUTRET
Gambar 2. Diagram alir pembuatan sebutret secara umum (Sinurat, 2003)
15 Sebutret (Gambar 3) mempunyai banyak keunggulan yaitu memiliki kekenyalan dan elastisitas yang baik, bersifat sejuk dan dingin karena terbuat dari karet alam, tahan terhadap air dan bakteri karena serat telah dibalut oleh karet, bebas dari segala macam kutu dan serangga, tidak berdebu seperti kapuk, dan pemakaiannya tidak berisik karena mampu meredam bunyi (Sinurat, 2003).
Gambar 3. Sebutret Sebutret cocok digunakan sebagai bahan pengisi jok dan berharga relatif lebih murah dari karet busa. Jok maupun kasur yang terbuat dari sebutret lebih ringan dibandingkan dengan busa karet alam. Jok dari sebutret juga mempunyai kepegasan yang lebih baik karena rongga lebih besar dan kerapatannya dapat divariasi (Sinurat, 2003). Menurut Appleton (1947), sifat kepegasan mekanik serat berkaret dapat divariasi sesuai dengan kebutuhan atau penggunaanya terutama sebagai bahan pengisi jok untuk keperluan rumah tangga dan mobil.
III. METODOLOGI
A. BAHAN Bahan baku yang digunakan dalam penelitian pembuatan serat sabut kelapa berkaret (sebutret) adalah serat sabut kelapa, lateks pekat sentrifusi dan bahan-bahan kimia. Serat kelapa diperoleh dari produsen serat kelapa di Bogor dan Ciamis, Jawa Barat. Lateks pekat diperoleh dari PTPN VIII Cikumpay, Jawa Barat. Lateks pekat dicampur dengan bahan-bahan kimia menjadi kompon lateks. Bahan-bahan kimia tersebut dikelompokkan menurut fungsinya sebagai berikut. 1. Bahan pemvulkanisasi, yaitu belerang dalam dispersi 50%. 2. Bahan pencepat (accelerator), berfungsi untuk mempercepat proses vulkanisasi. Bahan pencepat yang digunakan yaitu ZMBT (zinc mercapto benzothiazol) dan ZDEC (zinc diethyl ditiocarbamat), masing-masing dalam dispersi 50%. ZMBT termasuk bahan pencepat sedang-cepat, sedangkan ZDEC merupakan bahan pencepat ultra cepat. 3. Bahan penggiat (activator), berfungsi untuk meningkatkan kecepatan proses vulkanisasi dengan meningkatkan kegiatan bahan pencepat. Bahan penggiat yang digunakan yaitu seng oksida (ZnO) dalam dispersi 50%. 4. Bahan pemantap (stabilizer), berfungsi untuk menstabilkan kompon lateks agar tidak terpisah. Bahan pemantap yang digunakan yaitu larutan Kalium laurat 20% dan larutan Kalium hidroksida 10%. 5. Antioksidan, berfungsi untuk mencegah karet dari kerusakan akibat pengaruh oksigen maupun ozon. Antioksidan yang digunakan yaitu Ionol (buthyl-4-methylphenol) dalam dispersi 50%.
B. ALAT Alat yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan sebagai berikut. 1. Perlengkapan pendispersi bahan kimia, meliputi alat pendispersi (ball mill), gelas ukur, stoples bahan-bahan kimia dispersi, mixer, bak pemeraman kompon lateks, dan timbangan.
17 2. Peralatan pengeritingan serat, meliputi alat pemintal serat, oven, tangki air, dan kompor minyak tanah. 3. Perlengkapan penyemprotan, meliputi cetakan sampel berukuran 25 cm x 25 cm x 4 cm, dan alat penyemprot kompon lateks (engine clening sprayer) yang dihubungkan dengan kompresor udara. 4. Peralatan proses akhir, meliputi oven vulkanisasi, alat pemotong sampel, dan timbangan. 5. Peralatan uji sifat fisik, meliputi neraca, mistar, alat pemotong sampel uji, jangka sorong, alat uji pampatan tetap, dan alat uji tegangan pampat.
C. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di pabrik percobaan dan Laboratorium Fisika Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor dari bulan Juli hingga Desember 2006. Kegiatan penelitian diuraikan sebagai berikut. 1. Pembuatan Kompon Lateks Kompon lateks adalah campuran antara lateks pekat dengan bahan-bahan kimia. Bahan-bahan kimia tersebut pada umumnya berupa padatan atau cairan yang tidak larut dalam air. Agar dapat bercampur secara homogen dengan partikel karet di dalam lateks pekat, bahan-bahan kimia padat dicampur dalam bentuk dispersi. Pembuatan dispersi bahan kimia dilakukan dengan ball mill (Lampiran 16 a). Pembuatan larutan dan dispersi bahan-bahan kimia adalah sebagai berikut. • Pembuatan larutan KOH 10% dilakukan dengan melarutkan 10 gram KOH padatan dengan 90 ml akuades. • Pembuatan larutan kalium laurat 20% dilakukan dengan mereaksikan KOH padatan sebanyak 47,06 gram dengan 168,07 gram asam laurat dan 784,87 ml akuades, lalu diaduk dengan mixer selama 25-30 menit. • Bahan-bahan kimia padatan dalam dispersi 50%, yaitu ZDEC, ZMBT, ZnO, Ionol dan sulfur. Pembuatan bahan dispersi dilakukan melalui pencampuran bahan-bahan kimia dengan air, kemudian dihaluskan dan diaduk dalam ballmill selama 3 x 8 jam. Formula pembuatan bahan dispersi 50% ditunjukkan pada Tabel 5.
18
Tabel 5. Formula pembuatan bahan dispersi 50% Nama bahan
Jumlah (gram)
Bahan kimia padatan
100
Aluminium silikat (Bentonit)
0,5
Natrium sulfonat (Darvan)
4,5
Akuades
95
Jenis dan formulasi bahan kimia untuk pembuatan kompon lateks ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Formula kompon lateks untuk sebutret Jenis bahan
Bagian per berat basah [(w/w)(gram)]
Lateks pekat sentrifusi (KKK 60%)
167
Kalium laurat (larutan 20%)
4
Kalium hidroksida (larutan 10%)
3
ZDEC (dispersi 50%)
3
ZMBT (dispersi 50%)
2
Seng oksida (dispersi 50%)
10
Ionol (dispersi 50%)
2
Sulfur (dispersi 50%)
5
Sumber : Sinurat et al., (2001) Pencampuran lateks pekat dengan bahan-bahan kimia dispersi dilakukan dengan mengikuti formulasi pada Tabel 6. Agar dapat menghasilkan produk yang mempunyai sifat baik, kompon lateks memerlukan masa pemeraman atau penyimpanan selama 3 hari. Selama pemeraman kemungkinan terjadi pengendapan dispersi bahan kimia. Untuk mencegah kemungkinan ini, setiap hari selama pemeraman campuran harus diaduk perlahan-lahan selama 3 menit.
19
2. Penelitian Tahap I Penelitian tahap I bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara pengeritingan serat sabut kelapa terhadap karakteristik sebutret. Penelitian ini meliputi pengeritingan serat, pembuatan sampel sebutret, pengujian sifat fisik sebutret, dan penentuan cara pengeritingan terbaik. a. Pengeritingan Serat Tujuan pengeritingan serat adalah agar serat-serat keriting yang dihasilkan memiliki rongga udara dengan sifat kepegasan yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan ketinggian lentur produk sebutret yang dihasilkan. Susunan atau tumpukan serat keriting dalam produk memiliki ikatan antar serat yang lebih kuat dan lebih elastis dibandingkan tumpukan serat lurus. Pengeritingan serat meliputi pemintalan serat, pengeringan, pemeraman, dan penguraian pintalan serat yang bertujuan mengubah serat lurus menjadi serat berbentuk keriting (bergelombang) yang sinusoidal. Sebelum dipintal, serat kelapa dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran dan gabus. Kemudian serat kelapa dipintal secara manual menggunakan alat pemintal (Lampiran 16 b). Pintalan dijadikan tambang dan digulung. Pembentukan tambang (Gambar 4) bertujuan agar pintalan serat menjadi terikat keras serta tidak ada kecenderungan menjadi longgar atau kembali ke posisi semula.
Gambar 4. Pintalan serat (tambang)
20
Pembuatan serat keriting dilakukan dengan tiga cara yang berbeda dalam pengolahan pintalan serat. •
Proses Kering Pada proses kering, serat kelapa dipintal membentuk tambang, kemudian dikeringkan dalam oven. Selanjutnya pintalan serat kering diperam lebih dari 24 jam pada suhu kamar sebelum diurai
menjadi
serat-serat
keriting.
Dalam
penelitian
ini,
pengeritingan serat dengan proses kering disebut sebagai cara I. •
Proses Basah Pada proses basah, serat kelapa dibasahi dengan sedikit air hingga lembab agar pada saat dipintal serat menjadi lemas dan mengikuti
jalinan
pintalan
serat,
kemudian
serat
dipintal
membentuk tambang, selanjutnya dikeringkan dalam oven. Pintalan serat kering diurai menjadi serat-serat keriting setelah mengalami pemeraman selama lebih dari 24 jam pada suhu kamar. Pengeritingan serat dengan proses basah disebut sebagai cara II. •
Pemanasan Pintalan Serat oleh Uap Air Mendidih Pada proses pemanasan pintalan serat oleh uap, serat kelapa yang dipintal membentuk tambang dimasukkan ke dalam tangki air berisi air mendidih atau menghasilkan uap. Pintalan serat diletakkan di atas rak yang dipasang pada permukaan air di dalam tangki air. Tambang akan menyerap panas dari uap air mendidih, proses ini berlangsung selama 15-20 menit. Setelah penguapan, serat dikeringkan dalam oven. Pintalan serat kering didinginkan dan diperam lebih dari 24 jam pada suhu kamar sebelum diurai menjadi serat-serat keriting. Pengeritingan serat dengan pemanasan pintalan serat oleh uap air disebut sebagai cara III. Pengeringan
pintalan
serat
pada
masing-masing
cara
pengeritingan dilakukan pada tiga variasi suhu yaitu 60, 80, dan 100 °C. Pada masing-masing suhu dilakukan penentuan waktu optimal pengeringan melalui pengukuran bobot pintalan serat (tambang) setiap selang waktu 5 menit sampai diperoleh bobot konstan atau kadar air
21
nol. Tambang dibuat dengan bobot sekitar 100 gram pada cara I dan III, dan 150 gram pada cara II. Waktu optimal ditetapkan sebagai waktu pada saat pintalan serat mencapai bobot konstan, sedangkan kadar air awal ditentukan dengan cara menentukan persentase perbandingan selisih bobot awal dan bobot akhir terhadap bobot awal. Agar bentuk keriting yang dihasilkan lebih permanen, tambang hasil pengeringan diperam pada suhu kamar selama lebih dari 24 jam hingga tercapai kadar air keseimbangan. Tambang kering hasil pemeraman dibuka dan diurai secara manual menjadi serat-serat keriting (bergelombang). Pada penelitian ini serat keriting yang dihasilkan melalui ketiga cara pengeritingan diatas selanjutnya disebut sebagai serat keriting I (cara I), serat keriting II (cara II), dan serat keriting III (cara III). Serat keriting yang terbaik dari hasil pengeringan dan pemeraman ditentukan berdasarkan waktu pengeringan yang lebih singkat, memiliki nilai bulk density yang lebih rendah dan bentuk gelombang yang lebih permanen. b. Pembuatan Sampel Sebutret •
Persiapan Serat Keriting Serat-serat keriting disusun dalam cetakan berukuran 25 cm x 25 cm x 4 cm (Lampiran 17 a) dengan ketebalan yang bervariasi antara 4-6 cm untuk membentuk sit tipis. Pada penelitian ini dibuat sampel berukuran 25 cm x 25 cm x 6 cm. Jumlah serat yang dibutuhkan untuk membuat sampel tersebut adalah 40 gram.
•
Persiapan Kompon Lateks Kandungan karet dalam kompon lateks yang diperlukan untuk penyemprotan lapisan serat keriting yaitu 40 gram karet untuk 40 gram serat. Jumlah kompon lateks yang diperlukan untuk menghasilkan karet pengikat atau pembalut serat ditentukan berdasarkan persamaan menurut Sinurat (2002) sebagai berikut.
22
Jka Jko
= KKK x ηsp
•
Jko
=
jumlah kompon lateks
Jka
=
jumlah karet
KKK
=
kadar karet kering ≈ 60%
ηsp
=
efisiensi penyemprotan ≈ 60%
Penyemprotan Kompon Lateks Kompon lateks disemprotkan agar serat-serat keriting saling terikat. Penyemprotan dilakukan dengan menggunakan alat engine cleaning sprayer yang dihubungkan dengan kompresor udara (Lampiran 17 b) pada tekanan 5-8 bar dan kecepatan penyemprotan 0,22 m/detik. Perbandingan jumlah karet dan serat untuk membuat sampel sebutret adalah 40 gram karet untuk 40 gram serat. Jumlah kompon lateks yang disemprotkan sebanyak 115 gram. Penyemprotan kompon lateks pada lapisan serat keriting (sit) dilakukan sebanyak tiga kali, sebagai berikut. - Penyemprotan Awal Penyemprotan awal merupakan pengikatan antar serat oleh lapisan karet agar menjadi lebih kuat. Jumlah kompon lateks yang disemprotkan sebanyak 30 persen dari kompon total. Jarak antara ujung nozzle alat penyemprot dengan sit sekitar 20-30 cm. Penyemprotan awal yang terlalu dekat dapat menyebabkan tumpukan serat keriting yang sudah tersusun menjadi pipih dan tidak beraturan. Selanjutnya, sit basah yang baru disemprot dikeringkan awal pada suhu kamar selama 5 menit. - Penyemprotan Kedua Penyemprotan kedua adalah proses pelapisan dan pembalutan serat-serat oleh karet mulai dari permukaan hingga bagian dalam sit. Penyemprotan pada kedua permukaan atas dan
23
bawah lapisan sit dilakukan untuk menguatkan ikatan serat keriting sit, dan terjadi pembalutan serat-serat keriting dalam sit. Jarak ujung nozzle alat penyemprot dengan sit sekitar 3-5 cm. Jumlah kompon yang disemprotkan sekitar 35 persen dari jumlah kompon total. Selanjutnya sit dikeringkan dalam oven dengan suhu 70-80 °C selama 15 menit. - Penyemprotan Akhir Penyemprotan
akhir
dilakukan
sama
seperti
penyemprotan kedua, yaitu dilakukan dengan jarak ujung nozzle alat penyemprot pada sit sekitar 3-5 cm. Jumlah kompon yang disemprotkan sekitar 35 persen dari jumlah kompon total. Setelah penyemprotan, sit tipis dalam cetakan ditekan dengan cetakan penjepit secara perlahan dengan tangan atau alat tekan untuk memperoleh ketebalan sit yang diinginkan serta meningkatkan kerapatan sit. Kemudian kedua belah bagian atas dan bawah cetakan dikunci atau diikat dengan kawat pengikat yang dipasang pada cetakan. Selanjutnya cetakan yang berisi sit tersebut dimasukan ke dalam oven vulkanisasi (Lampiran 17 c). Proses vulkanisasi berlangsung pada suhu 100-110 °C selama 60 menit, dengan kecepatan aliran udara panas di dalam oven pemvulkanisasi antara 0,125-0,213 m/det. Setelah proses vulkanisasi, dilakukan penimbangan sampel produk (vulkanisat). •
Pemotongan Sampel Sebagai tahap akhir pengolahan, dilakukan pemotongan bagian samping produk hasil vulkanisasi dengan menggunakan alat potong sebutret. Selanjutnya sebutret yang dihasilkan dari ketiga cara pengeritingan diatas, masing-masing disebut sebagai Sebutret I (cara I), Sebutret II (cara II), dan Sebutret III (cara III).
c. Uji Sifat Fisik Sampel Sebutret Pengujian sifat fisik dilakukan untuk mengetahui karakteristik sampel sebutret. Pengujian dilakukan di Laboratorium Fisika Balai
24
Penelitian Teknologi Karet Bogor. Sifat-sifat fisika yang diuji yaitu bobot jenis, pampatan tetap 50% (compression set of 50%) dan tegangan pampat 50% (compressive strength of 50%). Pengukuran bobot jenis dilakukan untuk mengetahui bobot sampel pada satuan volume tertentu. Uji pampatan tetap dilakukan untuk mengetahui selisih nilai ketebalan sebutret setelah dibebani sampai ketinggian 50 persen dari tinggi awal, pengujian dilakukan selama 24 jam pada suhu ruangan. Uji pampatan tetap merupakan salah satu parameter elastisitas. Nilai pampatan tetap yang rendah menunjukkan tingkat elastisitas produk yang tinggi. Uji tegangan pampat menunjukkan kemampuan sampel untuk menahan suatu beban dengan bobot tertentu pada satuan luas tertentu. Uji tegangan pampat 50% digunakan untuk mengetahui beban yang dapat dikenakan pada sampel pada penurunan ketinggian tertentu yaitu 50% dari tebal semula. Nilai tegangan pampat yang besar menunjukkan kemampuan produk menahan beban pampat tinggi. Besarnya beban pampat yang dapat ditahan dengan compression set tertentu menunjukkan elastisitas dan kekuatan produk. Makin besar beban pampat yang dapat ditahan dengan compression set yang rendah, menunjukkan elastisitas dan kekuatan produk makin tinggi. Metode pengujian sifat fisik sampel sebutret ditunjukkan pada Lampiran 7. d. Penentuan Cara Pengeritingan Serat Terbaik Berdasarkan hasil pengujian bulk density dan sifat fisik sampel sebutret dilakukan seleksi cara pengeritingan terbaik dengan mempertimbangkan mutu dan faktor ekonomi pada masing-masing cara. Selanjutnya cara pengeritingan terbaik hasil seleksi digunakan dalam pembuatan sampel sebutret pada penelitian tahap II. Diagram alir penelitian tahap I diperlihatkan pada Gambar 5.
25
Serat kotor Penyortiran dan pembersihan serat
Serat bersih
Pemintalan serat (pembuatan tambang)
Dibasahi dengan sedikit air (25 g)
Pemintalan serat (pembuatan tambang)
Serat basah
Pemintalan serat (pembuatan tambang)
Pintalan serat (tambang)
Pintalan serat (tambang)
Pengeringan tambang dalam oven dengan suhu 60, 80 dan 100 °C dan pengujian karakteristik pengeringan Pemeraman tambang
Pintalan kering
Penguraian pintalan
Serat keriting I, II dan III
A
Pintalan serat (tambang)
Dilalukan uap air mendidih selama15-20 menit
26
A Pengujian bulk density
Pencetakan
Lapisan tipis seratserat keriting mm Penyemprotan awal pada permukaan atas dan bawah lapisan tipis serat keriting
Pengeringan awal pada suhu ruang selama 5 menit Penyemprotan kedua
Pengeringan pada suhu 70-80 °C selama 15 menit Penyemprotan akhir
Vulkanisasi pada suhu 100 °C selama 60 menit
Sebutret I, II, III Pengujian bobot jenis, pampatan tetap, dan tegangan pampat Seleksi cara pengeritingan terbaik Gambar 5. Diagram alir penelitian tahap I
Kompon lateks
Pengadukan 2-3 menit
27
3. Penelitian Tahap II Penelitian tahap II bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah karet yang mengikat dan membalut serat terhadap karakteristik sebutret. Metode penelitian secara umum sama seperti penelitian tahap I. a. Pengeritingan Serat Pengeritingan serat dilakukan dengan cara pengeritingan terbaik pada penelitian tahap I, yang memiliki karakteristik yang baik dan menghasilkan produk akhir yang paling baik. b. Pembuatan Sampel Sebutret Pada pembuatan sampel sebutret dilakukan variasi jumlah karet yang mengikat dan membalut 40 gram serat, yaitu 50 gram, 60 gram dan 70 gram, sehingga perbandingan jumlah karet dengan serat adalah 50:40, 60:40, dan 70:40. Jumlah kompon lateks yang disemprotkan masing-masing sebanyak 140 gram, 167 gram, dan 195 gram. Selanjutnya produk akhir yang dihasilkan dengan variasi jumlah karet disebut sebagai Sebutret 50, Sebutret 60 dan Sebutret 70. c. Uji Sifat Fisik Sampel Sebutret Produk akhir yang dihasilkan diuji sifat fisiknya dengan pengujian yang sama dengan penelitian tahap I, yaitu bobot jenis, pampatan tetap 50% (compression set of 50%), dan tegangan pampat 50% (compressive strength of 50%). Hasil pengujian sifat fisik sampel sebutret yang diperoleh dibandingkan dengan hasil pengujian sifat fisik sebutret hasil cara pengeritingan terbaik pada penelitian tahap I karena proses pengeritingan seratnya menggunakan cara yang sama (cara II). Pada penelitian tahap II ini, sampel sebutret penelitian tahap I disebut sebagai Sebutret 40, karena kandungan karet dalam kompon lateks yang digunakan pada pembuatan sampel Sebutret 40 adalah sebanyak 40 gram. Diagram alir penelitian tahap II ditunjukkan pada Gambar 6.
28
Serat keriting hasil cara pengeritingan terbaik penelitian tahap I
Pencetakan
Kompon lateks A, B, C
Lapisan serat-serat keriting (sit), ketebalan 3-5 cm
Penyemprotan awal pada permukaan atas dan bawah sit Pengeringan awal pada suhu ruang selama 5 menit Penyemprotan kedua
Pengeringan pada suhu 70-80 °C selama 15 menit Penyemprotan akhir
Vulkanisasi pada suhu 100 °C selama 60 menit Sebutret 50, 60, 70
Pengujian bobot jenis, pampatan tetap 50%, dan tegangan pampat 50%
Keterangan : Kompon lateks A, B, C : Kompon lateks masing-masing sebanyak 140 gram, 167 gram, dan 195 gram dan mengandung karet 50 gram, 60 gram dan 70 gram. Gambar 6. Diagram alir penelitian tahap II
29
D. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh cara pengeritingan serat sabut kelapa dan jumlah karet terhadap karakteristik sebutret adalah rancangan acak lengkap dengan faktor tunggal. Jika hasil analisis keragaman menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Duncan. Model rancangan percobaan (Sudjana, 1994) adalah sebagai berikut. Yij = µ + τi + εij Yijk
= Variabel yang diukur
µ
= Rata-rata umum
τi
= Pengaruh cara pengeritingan atau jumlah karet
εk (ij) = Galat
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN TAHAP I Penelitian tahap I bertujuan untuk mengetahui pengaruh bentuk serat keriting terhadap karakteristik sebutret. Pada penelitian ini dilakukan pengujian karakteristik pengeringan pintalan serat, pengukuran bulk density serat keriting dan pengujian sifat fisik sampel sebutret. 1. Karakteristik Pengeringan Pintalan Serat Pengujian karakteristik pengeringan dilakukan untuk mengetahui waktu optimal yang dibutuhkan untuk mengeringkan pintalan serat (tambang). Pengeringan masing-masing pintalan serat dilakukan pada tiga variasi suhu yaitu 60 °C, 80 °C, dan 100 °C. Penurunan bobot pintalan serat selama proses pengeringan diukur setiap selang waktu 5 menit sampai diperoleh bobot konstan atau kadar air nol. Waktu optimal pengeringan ditetapkan sebagai waktu pada saat masing-masing pintalan serat mencapai bobot akhir yang sama dan konstan. Grafik proses pengeringan pintalan serat pada suhu 60 °C, 80 °C, dan 100 °C pada cara pengeritingan I, II dan III ditunjukkan masing-masing pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9.
102
Bobot (gram)
100 98 96 94 92 90 88 0
25
50
75
100
125
150
175
Waktu (menit) Suhu 60 °C
Suhu 80 °C
Suhu 100 °C
Gambar 7. Grafik penurunan bobot pintalan serat selama pengeringan pada cara pengeritingan I
31
Waktu
optimal
pengeringan
pintalan
serat
dengan
cara
pengeritingan I pada suhu 60 °C adalah 130 menit (2,17 jam), pada suhu 80 °C adalah 90 menit (1,5 jam), dan pada suhu 100 °C adalah 45 menit (0,75 jam). Setelah pengeringan, dilakukan pengukuran bobot akhir. Kadar air ditentukan dengan membandingkan jumlah air yang diuapkan dengan bobot awalnya. Bobot akhir pengeringan pintalan serat adalah 89,35 gram dan kadar air awal pintalan serat pada cara pengeritingan I adalah 10,65%.
160 150 140
Bobot (gram)
130 120 110 100 90 80 70 60 0
100
200
300
400
500
Waktu (menit) Suhu 60 °C
Suhu 80 °C
Suhu 100 °C
Gambar 8. Grafik penurunan bobot pintalan serat selama pengeringan pada cara pengeritingan II Waktu
optimal
pengeringan
pintalan
serat
dengan
cara
pengeritingan II yaitu 405 menit (6,75 jam), 275 menit (4,58 jam), dan 205 menit (3,42 jam), masing-masing untuk suhu pengeringan 60 °C, 80 °C, dan 100 °C. Bobot akhir pengeringan pintalan serat adalah 79,41 gram dan kadar air awal pintalan serat adalah 20,59%. Waktu
optimal
pengeringan
pintalan
serat
dengan
cara
pengeritingan III pada suhu 60 °C, 80 °C, dan 100 °C, berturut-turut adalah 165 menit (2,75 jam), 120 menit (2 jam) dan 65 menit (1,08 jam). Bobot akhir pengeringan pintalan serat adalah 91,07 gram dan kadar air awal pintalan serat adalah 12,43%.
32
106 104
Bobot (gram)
102 100 98 96 94 92 90 0
50
100
150
200
250
Waktu (menit) Suhu 60 °C
Suhu 80 °C
Suhu 100 °C
Gambar 9. Grafik penurunan bobot pintalan serat selama pengeringan pada cara pengeritingan III Hasil analisis ragam (Lampiran 10 c) menunjukkan bahwa suhu pengeringan sebesar 60 °C, 80 °C, dan 100 °C tidak berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap lama pengeringan. Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan serat dengan cara pengeritingan I relatif lebih cepat dibandingkan pada cara pengeritingan II dan III karena serat dikeringkan dalam kondisi alaminya (kering), sedangkan pada cara pengeritingan II dan III serat dikeringkan dalam kondisi agak basah. 2. Bulk Density Serat Keriting Serat keriting diperoleh dari hasil penguraian pintalan serat yang telah dikeringkan dan diperam selama lebih dari 24 jam. Makin lama waktu pemeraman, bentuk keriting yang dihasilkan akan makin baik dan permanen. Serat keriting yang diperoleh dari cara pengeritingan I, II dan III masing-masing disebut sebagai serat keriting I, serat keriting II, dan serat keriting III. Pengukuran bulk density serat keriting bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara pengeritingan terhadap bentuk serat keriting yang dihasilkan. Bulk density merupakan parameter yang menunjukkan perbandingan bobot serat keriting dengan volumenya (kg/m3). Pengukuran
33
dilakukan dengan mengukur bobot serat keriting pada volume tertentu. Makin tinggi bobot serat keriting per satuan volume, makin tinggi pula bulk density nya. Serat keriting yang diperoleh melalui cara pengeritingan I (serat keriting I) memiliki nilai bulk density 6,38 kg/m3, 6,05 kg/m3, dan 5,82 kg/m3, masing-masing untuk suhu pengeringan 60 °C, 80 °C, dan 100 °C, serat keriting yang diperoleh melalui cara pengeritingan II (serat keriting II) memiliki nilai bulk density 6,45 kg/m3, 6,33 kg/m3, dan 6,10 kg/m3 berturut-turut pada suhu pengeringan 60 °C, 80 °C, dan 100 °C, sedangkan serat keriting yang diperoleh melalui cara pengeritingan III (serat keriting III) memiliki nilai bulk density yaitu 7,16 kg/m3 , 6,61 kg/m3, dan 6,24 kg/m3 berturut-turut pada suhu pengeringan 60 °C, 80 °C, dan 100 °C. Grafik pengaruh suhu pengeringan pintalan serat terhadap nilai bulk density serat keriting ditunjukkan pada Gambar 10.
3
Bulk density (kg/m )
7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 60
80
100
Suhu (°C) Cara I
Cara II
Cara III
Gambar 10. Grafik perbedaan bulk density serat keriting karena perbedaan cara pengeritingan serat dan suhu pengeringan Nilai bulk density tertinggi terdapat pada serat keriting yang diperoleh dengan cara pengeritingan III (serat keriting III), yaitu antara 6,24 kg/m3 sampai 6,76 kg/m3. Nilai bulk density yang lebih tinggi menunjukkan tumpukan serat keriting yang lebih padat, karena memiliki kerapatan yang tinggi dan serat-serat keriting memiliki rongga yang lebih kecil dibandingkan dengan tumpukan serat keriting dengan bulk density
34
yang lebih rendah. Dalam volume ruang yang sama, kerapatan yang tinggi pada serat keriting memungkinkan penempatan ruang dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan serat yang lebih mengembang. Hasil analisis ragam (Lampiran 11 a), menunjukkan bahwa suhu pengeringan 60 °C, 80 °C, dan 100 °C memberikan pengaruh yang tidak nyata (α=0,05) terhadap nilai bulk density. Pengeringan pintalan serat pada suhu 60 °C, 80 °C, dan 100 °C menghasilkan perbedaan nilai bulk density yang tidak signifikan. Ketiga cara pengeritingan menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu makin rendah suhu pengeringan, nilai bulk density makin tinggi meskipun bobot akhir pengeringannya hampir sama. Diperkirakan hal ini disebabkan oleh perbedaan lama pemeraman atau penyimpanan pintalan serat sebelum dilakukan pengukuran bulk density. Pengeringan pintalan serat pada masing-masing cara pengeritingan dilakukan berurutan mulai pada suhu 60 °C , 80 °C lalu 100 °C. Pintalan serat yang dikeringkan pada suhu 60 °C mengalami pemeraman lebih lama dari pintalan serat yang dikeringkan pada suhu 80 °C dan 100 °C. Selama pemeraman, pintalan serat akan menyerap uap air dari udara sekitar hingga tercapai kadar air keseimbangan. Akibatnya bobot pintalan serat meningkat dan nilai bulk density juga menjadi bertambah. Bulk density serat keriting hasil pengeringan pintalan serat pada suhu 60 °C, 80 °C dan 100 °C yang berbeda diperkirakan juga merupakan akibat terjadinya ekspansi (pemuaian) pintalan serat pada saat pengeringan (pemanasan). Suhu yang lebih tinggi memungkinkan terjadinya pemuaian yang lebih besar sehingga bahan yang dikeringkan pada suhu yang lebih tinggi cenderung mengalami pemuluran yang lebih besar. Hal ini mengakibatkan nilai bulk density serat keriting pada suhu 100 °C paling rendah disebabkan rongga tumpukan yang besar. Bentuk serat keriting hasil penguraian pintalan serat (Gambar 11) diamati dan dibandingkan secara visual berdasarkan cara pengeritingan serat. Perbandingan ketiga bentuk atau geometri serat keriting ditunjukkan pada Lampiran 8 b.
35
Serat Keriting I
Serat Keriting II
Serat Keriting III
Gambar 11. Serat keriting hasil penguraian pintalan serat Pengamatan secara visual pada serat-serat keriting hasil penguraian pintalan serat menunjukkan serat keriting yang diperoleh melalui cara pengeritingan II (serat keriting II) dan cara pengeritingan III (serat keriting III) memiliki bentuk geometri yang hampir sama, sedangkan serat keriting hasil cara pengeritingan I (serat keriting I) cenderung lebih mengembang. Serat keriting II dan III memiliki bentuk atau geometri yang lebih baik dan bentuk keritingnya lebih permanen dibandingkan serat keriting I. Pada cara pengeritingan II serat dipintal dalam keadaan basah, sedangkan pada cara pengeritingan III pintalan serat dilalukan
dengan
uap
air
mendidih,
kedua
perlakuan
tersebut
mengakibatkan serat lebih plastis pada awal pengeringan dan mengikuti bentuk pintalan atau jalinan antar serat, akan tetapi menjadi elastis lagi setelah dikeringkan dengan bentuk keriting yang lebih permanen (Lampiran 8 b). Sifat atau bentuk serat keriting dipengaruhi pula oleh kepadatan atau kekerasan dan lama pemeraman pintalan serat atau tambang. Makin keras pintalan serat atau tambang hasil pemintalan, makin baik pula serat keriting yang dihasilkan (Sinurat, 2001). Makin lama pemeraman pintalan serat, makin permanen pula keriting serat yang dihasilkan. 3. Uji Sifat Fisik Sampel Sebutret Sampel sebutret pada penelitian ini berukuran 25 cm x 25 cm x 6 cm. Jumlah serat keriting yang dibutuhkan untuk membuat sampel sebutret
36
adalah 40 gram, dengan ketinggian yang bervariasi di dalam cetakan, yaitu sekitar 4-6 cm. Jumlah karet yang diperlukan untuk mengikat dan membalut serat keriting adalah 40 gram (perbandingan serat keriting dengan karet adalah 50:50). Karet sebanyak 40 gram diperoleh dari kompon lateks sebanyak 115 gram. Sampel sebutret yang diperoleh dari cara pengeritingan I, II dan III masing-masing disebut sebagai Sebutret I, Sebutret
II, dan Sebutret III. Uji sifat fisik yang dilakukan terhadap
sampel Sebutret I, II dan III adalah pengukuran bobot jenis kamba, pampatan tetap 50% (compression set of 50%), dan tegangan pampat 50% (compressive strength of 50%). a. Bobot Jenis Kamba Bobot jenis kamba merupakan perbandingan bobot sampel sebutret dengan volumenya (kg/m3). Hasil pengujian menunjukkan bobot jenis kamba sampel Sebutret I (bulk density 5,82 kg/m3) adalah 19,50 kg/m3, bobot jenis kamba sampel Sebutret II (bulk density 6,10 kg/m3) adalah 21,61 kg/m3, dan bobot jenis kamba sampel Sebutret III (bulk density 6,24 kg/m3) adalah 22,32 kg/m3. Grafik yang menggambarkan hubungan cara pengeritingan serat terhadap bobot jenis kamba sebutret ditunjukkan pada Gambar 12.
3
Bobot jenis kamba (kg/m )
23 2 2 ,3 2
22 2 1 ,6 1
21 20 1 9 ,5 0
19 18 17 I
II
III
C ara p en geritin ga n
Bulk density 5,82 kg/m3
Bulk density 6,10 kg/m3
Bulk density 6,24 kg/m3
Gambar 12. Grafik pengaruh cara pengeritingan serat terhadap bobot jenis kamba sebutret
37
Bobot jenis kamba sampel berkolerasi positif terhadap bulk density. Peningkatan nilai bulk density mengakibatkan peningkatan nilai bobot jenis kamba. Hasil analisis ragam (Lampiran 11 b) menunjukkan bahwa bulk density sebesar 5,82 kg/m3 (cara pengeritingan I), 6,10 kg/m3 (cara pengeritingan II), dan 6,24 kg/m3 (cara pengeritingan III) memberikan pengaruh yang tidak nyata (α=0,05) terhadap bobot jenis kamba. Ketiga cara pengeritingan menghasilkan serat keriting dengan bulk density yang tidak berbeda nyata sehingga nilai bobot jenis kamba produk (sebutret) hampir sama. Bobot jenis kamba sampel dipengaruhi oleh bobot sampel keseluruhan. Bulk density yang lebih besar (rongga yang lebih kecil) memungkinkan lebih banyak jumlah karet yang mengikat dan membalut lapisan serat keriting. Peningkatan jumlah karet dalam sampel dapat meningkatkan bobot sampel secara keseluruhan, sehingga meningkatkan bobot jenis kambanya.
Nilai bobot jenis
kamba yang lebih rendah pada sampel Sebutret I disebabkan oleh rongga di dalam produk berukuran lebih besar karena bentuk serat yang kurang keriting bahkan cenderung lurus. Hal ini mengakibatkan jumlah karet yang mengikat dan membalut serat relatif lebih sedikit, sehingga bobot sampel keseluruhan lebih rendah. Perbedaan bobot jenis kamba produk dapat disebabkan pula oleh perbedaan cara menyemprotkan kompon lateks. Meskipun pada proses penyemprotan digunakan kompon lateks dalam jumlah yang sama, namun memungkinkan terjadinya loss bahan (kompon lateks), sehingga jumlah kompon lateks yang disemprotkan menjadi berbedabeda, yang mengakibatkan perbedaan jumlah karet dalam sampel. Jumlah karet pada Sebutret I rata-rata sebanyak 42,85 gram, pada Sebutret II rata-rata sebanyak 46,83 gram, dan pada Sebutret III ratarata sebanyak 49,46 gram. Sampel Sebutret III mengandung jumlah karet terbanyak sehingga bobot jenis kambanya paling tinggi. Jumlah karet pada sampel produk untuk masing-masing cara pengeritingan ditunjukkan pada Lampiran 9 a.
38
b. Pampatan Tetap 50% Pampatan tetap merupakan parameter kepegasan sampel sebutret. Kepegasan adalah kemampuan suatu bahan untuk kembali ke bentuk semula setelah mengalami pembebanan. Selain dipengaruhi oleh serat-serat keriting yang bersifat elastis, kepegasan sebutret juga dipengaruhi oleh lapisan karet yang membalut serat-serat keriting dan kekuatan ikatan perpotongan masing-masing serat oleh karet sehingga menjadi agak kaku dan cenderung kembali kepada posisi awal pada saat dibebani (Sinurat, 2001). Makin rendah nilai pampatan tetap 50% menunjukkan makin tinggi tingkat elastisitas atau kepegasan sampel. Hasil pengujian pampatan tetap 50% menunjukkan bahwa nilai pampatan tetap 50% sampel Sebutret I (bulk density 5,82 kg/m3), sampel Sebutret II (bulk density 6,10 kg/m3), dan sampel Sebutret III (bulk density 6,24 kg/m3) masing-masing adalah 24,68%, 30,03%, dan 33,26%. Grafik yang menggambarkan hubungan cara pengeritingan serat dengan pampatan tetap 50% sampel sebutret ditunjukkan pada Gambar 13. 35
Pampatan tetap 50% (%)
33,26
30 25
30,03 24,68
20 15 10 5 0 I
II
III
Cara pengeritingan
Bulk density 5,82 kg/m3
Bulk density 6,10 kg/m3
Bulk density 6,24 kg/m3
Gambar 13. Grafik pengaruh cara pengeritingan serat terhadap pampatan tetap 50% sebutret
39
Peningkatan bulk density serat keriting mengakibatkan peningkatan pampatan tetap 50% sebutret. Nilai pampatan tetap 50% terendah terdapat pada sampel Sebutret I (bulk density 5,82 kg/m3). Hasil analisis ragam (Lampiran 11 c) menunjukkan bahwa bulk density memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap nilai pampatan tetap 50%. Uji lanjut Duncan pada Lampiran 12 a menunjukkan cara pengeritingan I (bulk density 5,82 kg/m3) dan III (bulk density 6,24 kg/m3) menghasilkan pampatan tetap 50% yang berbeda nyata. Cara pengeritingan I menghasilkan serat keriting yang lebih mengembang, sehingga produk akhir (Sebutret I) bersifat lebih lentur dan kurang padat dibandingkan Sebutret III. Sifat lentur mengakibatkan sampel Sebutret I cenderung kembali ke bentuk semula setelah dipampat, sehingga selisih ketebalan sampel sebelum dan setelah dipampat relatif kecil yang menunjukkan pampatan tetap yang lebih rendah. Nilai pampatan tetap dipengaruhi oleh keseragaman karet di dalam produk. Penyemprotan yang dilakukan secara manual dapat mengakibatkan kecepatan penyemprotan dan jarak nozzle alat penyemprot dengan lapisan serat keriting bervariasi, kompon lateks yang disemprotkan pada lapisan serat keriting kurang seragam sehingga distribusi karet pada produk tidak homogen. Akibatnya kepegasan pada potongan-potongan sampel uji bervariasi, dan mempengaruhi hasil pengujian pampatan tetap. Sifat pampatan tetap dipengaruhi pula oleh sempurna tidaknya proses vulkanisasi (Aprianita dan Sudibyo, 1985). Proses vulkanisasi dapat menurunkan plastisitas dan sifat lengket (tackiness), kepekaan terhadap panas dan dingin, serta memberikan sifat yang baik pada elastisitas, kekuatan dan kemantapan (Honggokusumo, 1985). Proses vulkanisasi yang tidak sempurna dapat mengakibatkan sifat fisik atau mutu vulkanisat kurang baik.
40
c. Tegangan Pampat 50% Pengujian tegangan pampat 50% bertujuan untuk mengetahui beban tekan yang dapat ditahan oleh sampel sebutret pada penurunan ketinggian 50% dari tebal semula. Makin besar beban pampat yang dapat ditahan, menunjukkan kekuatan sampel makin tinggi. Nilai tegangan pampat 50% pada sampel Sebutret I (bulk density 5,82 kg/m3) adalah 9,32 g/cm2, pada sampel Sebutret II (bulk density 6,10 kg/m3) adalah 12,40 g/cm2, dan pada sampel Sebutret III (bulk density 6,24 kg/m3) adalah 13,17 g/cm2. Grafik yang menggambarkan hubungan cara pengeritingan serat dengan tegangan pampat 50% sampel sebutret ditunjukkan pada Gambar 14.
2
Tegangan pampat 50% (g/cm )
14 13,17
12
12,40
10 9,32
8 6 4 2 0 I
II
III
Cara pengeritingan Bulk density 5,82 kg/m3
Bulk density 6,10 kg/m3
Bulk density 6,24 kg/m3
Gambar 14. Grafik pengaruh cara pengeritingan serat terhadap tegangan pampat 50% sebutret Analisis ragam (Lampiran 12 b) menunjukkan bahwa bulk density 5,82 kg/m3 (cara pengeritingan I), 6,10 kg/m3 (cara pengeritingan II), dan 6,24 kg/m3 (cara pengeritingan III) memberikan pengaruh tidak nyata (α=0,05) terhadap nilai tegangan pampat 50%. Ketiga cara pengeritingan menghasilkan perbedaan nilai tegangan pampat yang tidak nyata.
41
Nilai tegangan pampat tertinggi terdapat pada sampel Sebutret III. Bentuk serat keriting mempengaruhi tegangan pampat 50%. Cara pengeritingan III menghasilkan serat keriting dengan bulk density yang lebih tinggi dan rongga yang lebih kecil, kedua sifat tersebut memungkinkan jumlah karet yang membalut lapisan serat keriting III lebih banyak, sehingga produk akhir bersifat lebih kaku, lebih elastis dan kompak. Rongga yang lebih besar pada serat keriting I mengakibatkan produk akhir (sebutret) bersifat lemah atau tidak kaku dan tidak kuat untuk menahan beban atau gaya penekanan. 4. Penentuan Cara Pengeritingan Serat Terbaik Cara pengeritingan terbaik pada penelitian tahap I ditentukan dengan membandingkan ketiga cara pengeritingan berdasarkan hasil pengukuran bulk density serat keriting, uji sifat fisik sampel sebutret serta tambahan perlengkapan yang dibutuhkan. Perbandingan ketiga cara pengeritingan ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Perbandingan cara pengeritingan serat Cara I
Cara II
Cara III
Lama pengeringan
- suhu 60 °C :130
- suhu 60 °C : 405
- suhu 60 °C : 165
pintalan serat (menit)
- suhu 80 °C : 90
- suhu 80 °C : 275
- suhu 80 °C : 120
- suhu 100 °C: 45
- suhu 100 °C: 205
- suhu 100 °C : 65
3
Bulk density (kg/m )
5,82
6,10
6,24
Bobot
19,50
21,61
22,32
24,68
30,03
33,26
9,32
12,40
13,17
-
bak air
boiler, autoclave,
jenis
kamba
3
(kg/m ) Pampatan tetap 50% (%) Tegangan pampat 2
50% (g/cm ) Tambahan perlengkapan
bahan bakar (skala produksi besar)
42
Secara umum ketiga cara pengeritingan menghasilkan nilai bulk density yang tidak berbeda nyata, demikian juga dengan hasil uji sifat fisik sampel sebutret yang meliputi bobot jenis kamba, pampatan tetap 50% dan tegangan pampat 50% menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata. Karakteristik sampel hasil cara pengeritingan II hampir sama dengan sampel cara pengeritingan III. Kedua cara pengeritingan menghasilkan karakteristik sampel yang lebih baik dibandingkan cara pengeritingan I. Perbandingan cara pengeritingan II dan III menunjukkan bahwa cara pengeritingan II memiliki keunggulan dibandingkan cara pengeritingan III yaitu menghasilkan sebutret yang bersifat lebih ringan dan lebih pegas dibandingkan cara pengeritingan III, yang ditunjukkan dengan bobot jenis kamba dan pampatan tetap 50% yang lebih rendah. Apabila ditinjau dari faktor ekonomi, cara pengeritingan II lebih menguntungkan dibandingkan cara III karena tidak memerlukan tambahan perlengkapan untuk penguapan yang membutuhkan biaya yang besar. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, disimpulkan bahwa cara pengeritingan II merupakan cara yang paling baik untuk pembentukan serat keriting pada suhu pengeringan 100 °C.
C. PENELITIAN TAHAP II Penelitian tahap II bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi jumlah karet terhadap karakteristik sebutret. Variasi jumlah karet yang digunakan adalah 50 gram, 60 gram, dan 70 gram, masing-masing untuk 40 gram serat keriting. Serat keriting yang digunakan merupakan hasil cara pengeritingan terbaik penelitian tahap I, yaitu cara pengeritingan II (pengeritingan dengan pembasahan serat). Produk akhir yang dihasilkan disebut sebagai Sebutret 50 (jumlah karet 50 gram, Sebutret 60 (jumlah karet 60 gram), dan Sebutret 70 (jumlah karet 70 gram). Hasil pengujian sifat fisik ketiga sampel sebutret tersebut dibandingkan dengan hasil pengujian sifat fisik sebutret yang dibuat dengan cara yang sama (cara II). Sampel sebutret hasil penelitian tahap I dengan cara pengeritingan II disebut sebagai Sebutret 40 (jumlah karet 40 gram).
43
1. Bobot Jenis Kamba Hasil pengujian bobot jenis kamba menunjukkan nilai bobot jenis kamba
sampel Sebutret 50 adalah 22,35 kg/m3, bobot jenis kamba
sampel Sebutret 60 adalah 24,46 kg/m3, dan bobot jenis kamba sampel Sebutret 70 adalah 28,35 kg/m3. Bobot jenis kamba sampel Sebutret 40 (penelitian tahap I) adalah 21,61 kg/m3. Grafik yang menggambarkan hubungan jumlah karet dengan bobot jenis kamba sebutret ditunjukkan pada Gambar 15.
Bobot jenis kamba (kg/m3)
29
28,35
26 24,46
23 20
22,35 21,61
17 14 11 8 5 40
50
60
70
Jumlah karet (gram)
Gambar 15. Grafik pengaruh jumlah karet terhadap bobot jenis kamba sebutret Bobot jenis kamba makin meningkat dengan makin banyaknya jumlah karet yang membalut serat. Analisis ragam (Lampiran 13 a) menunjukkan bahwa jumlah karet memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot jenis kamba. Uji lanjut Duncan pada Lampiran 13 b menunjukkan jumlah karet sebanyak 70 gram memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap bobot jenis kamba sampel, sedangkan jumlah karet 40 gram (Sebutret 40), 50 gram (Sebutret 50) dan 60 gram (Sebutret 60) tidak memberikan pengaruh yang nyata (α=0,05). Jumlah karet yang mengikat dan membalut serat dapat meningkatkan bobot sampel secara keseluruhan, sehingga makin banyak
44
jumlah karet mengakibatkan peningkatan bobot jenis kamba. Nilai bobot jenis kamba sampel sebutret yang hampir sama disebabkan oleh jumlah karet pada masing-masing sampel tidak berbeda nyata. Pada Sebutret 40 jumlah karet rata-rata sebanyak 46,83 gram, pada Sebutret 50 rata-rata sebanyak 49,67 gram, pada Sebutret 60 rata-rata sebanyak 59,25 gram, sedangkan pada Sebutret 70 rata-rata sebanyak 72,40 gram. Jumlah karet pada masing-masing sampel produk ditunjukkan pada Lampiran 9 b. Jumlah karet yang dikandung produk tidak sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan disebabkan oleh proses penyemprotan kompon lateks yang tidak seragam dan mungkin terjadi loss bahan (kompon lateks). 2. Pampatan Tetap 50% Hasil pengujian pampatan tetap 50% menunjukkan nilai pampatan tetap 50% pada sampel Sebutret 50, Sebutret 60, dan Sebutret 70 masing-masing adalah 28,83%, 25% dan 18,33%. Nilai pampatan tetap 50% sampel Sebutret 40 (penelitian tahap I) adalah 30,03%. Grafik yang menggambarkan hubungan jumlah karet dengan pampatan tetap 50% sampel sebutret ditunjukkan pada Gambar 16.
35
Pampatan tetap 50% (%)
30
30,03 28,83
25
25,00
20 18,33
15 10 5 0
40
50
60
70
Jumlah karet (gram)
Gambar 16. Grafik pengaruh jumlah karet terhadap pampatan tetap 50% sebutret
45
Hasil analisis ragam (Lampiran 14 a) menunjukkan bahwa jumlah karet memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap nilai pampatan tetap 50%. Makin banyak jumlah karet, akan mengakibatkan penurunan nilai pampatan tetap 50%, yang menunjukkan kepegasan sampel makin meningkat. Nilai pampatan tetap 50% tertinggi terdapat pada sampel dengan jumlah karet 40 gram (Sebutret 40). Hal ini menunjukkan bahwa sampel tersebut memiliki kepegasan yang paling rendah. Uji lanjut Duncan pada Lampiran 14 b menunjukkan jumlah karet 40 gram dan 50 gram memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap pampatan tetap 50%. Nilai pampatan tetap 50% sampel Sebutret 40 hampir sama dengan Sebutret 50, akibat distribusi karet yang tidak merata pada sampel dan efisiensi penyemprotan yang tidak seragam. Jumlah karet sebanyak 70 gram dan 60 gram memberikan pengaruh nyata terhadap pampatan tetap 50% sampel. Jumlah karet yang mengikat dan membalut serat mempengaruhi elastisitas atau kepegasan sampel, makin banyak jumlah karet mengakibatkan makin banyaknya ikatan silang yang terbentuk selama vulkanisasi. Peningkatan jumlah ikatan silang molekul karet dapat meningkatkan elastisitas atau kepegasan produk yang ditunjukkan dengan makin rendahnya nilai pampatan tetap. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah karet yang membalut serat-serat keriting pada saat penyemprotan dapat memperbaiki sifat produk sebutret. 3. Tegangan Pampat 50% Nilai tegangan pampat menunjukkan kemampuan sampel untuk menahan suatu beban dengan bobot tertentu per satuan luas. Nilai tegangan pampat yang makin rendah menunjukkan makin lemah produk menahan beban tekan. Hasil pengujian menunjukkan nilai tegangan pampat sampel Sebutret 50 adalah 14,65 g/cm2, nilai tegangan pampat sampel Sebutret 60 adalah 18,16 g/cm2, dan nilai tegangan pampat sampel Sebutret 70 adalah 23,41 g/cm2. Sampel Sebutret 40 pada penelitian tahap I memiliki nilai tegangan pampat sebesar 12,40 g/cm2.
46
Grafik yang menggambarkan hubungan jumlah karet dengan tegangan pampat 50% sampel sebutret ditunjukkan pada Gambar 17. 25 2
Tegangan pampat (g/cm )
23,41
20 18,16
15
14,65 12,40
10 5 0 40
50
60
70
Jumlah karet (gram)
Gambar 17. Grafik pengaruh jumlah karet terhadap tegangan pampat 50% sebutret Analisis ragam (Lampiran 15 a) menunjukkan bahwa jumlah karet memberikan perbedaan yang nyata (α=0,05) terhadap tegangan pampat 50%. Makin banyak jumlah karet yang membalut serat, makin tinggi tegangan pampat 50%. Uji lanjut Duncan pada Lampiran 15 b menunjukkan jumlah karet sebanyak 40 gram memberikan pengaruh hampir sama dengan jumlah karet 50 gram dan signifikan dengan jumlah karet 60 gram dan 70 gram. Jumlah karet 50 gram memberikan pengaruh signifikan dengan jumlah karet 70 gram. Nilai tegangan pampat 50% tertinggi terdapat pada sampel Sebutret 70. Jumlah karet yang lebih banyak mengakibatkan produk dapat menahan beban lebih kuat karena makin banyak karet yang mengikat serat dan menjadikan produk lebih kuat serta kompak. Kemampuan sampel untuk menahan beban dipengaruhi oleh komposisi bahan, elastisitas, kekompakan, dan plastisitas serat. Elastisitas vulkanisat dipengaruhi oleh jumlah karet yang mengikat dan membalut serat. Makin banyak karet yang membalut serat dapat mengakibatkan peningkatan jumlah ikatan silang akibat proses vulkanisasi, sehingga elastisitas vulkanisat (sebutret) akan bertambah.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pengeritingan dengan proses kering (cara pengeritingan I), proses basah (cara pengeritingan II), dan pemanasan oleh uap air mendidih (cara pengeritingan III), serta variasi penambahan jumlah karet yang mengikat dan membalut serat menghasilkan parameter mutu yang berbeda sebagai berikut. 1. Hasil pengeringan pintalan serat dengan cara pengeritingan yang berbeda memerlukan waktu pengeringan yang berbeda pula. Waktu optimal pengeringan pintalan serat dengan cara pengeritingan I pada suhu 60 °C, 80 °C, dan 100 °C berturut-turut adalah 130 menit (2,17 jam), 90 menit (1,5 jam), dan 45 menit (0,75 jam). Waktu optimal pengeringan pintalan serat dengan cara pengeritingan II yaitu 405 menit (6,75 jam), 275 menit (4,58 jam), dan 205 menit (3,42 jam), masing-masing untuk suhu pengeringan 60 °C, 80 °C, dan 100 °C. Waktu optimal pengeringan pintalan serat dengan cara pengeritingan III pada suhu 60 °C, 80 °C, dan 100 °C, berturut-turut adalah 165 menit (2,75 jam), 120 menit (2 jam) dan 65 menit (1,08 jam). Perbedaan waktu pengeringan terutama disebabkan oleh perbedaan suhu pengeringan dan kadar air yang terkandung pada masing-masing pintalan serat. Pintalan serat yang mengalami proses basah memiliki
kadar air yang paling tinggi,
selanjutnya berturut-turut pintalan serat yang mengalami proses pemanasan oleh uap air mendidih dan proses kering memiliki kadar air yang rendah. 2. Tumpukan serat keriting hasil penguraian pintalan serat kering dari cara pengeritingan yang berbeda memiliki bulk density yang berbeda pula. Perbedaan nilai bulk density terutama disebabkan oleh bentuk atau geometri serat keriting yang diperoleh dari masing-masing cara pengeritingan yang mengakibatkan ukuran atau volume rongga serat yang berbeda. 3. Sampel sebutret yang dibuat dari serat keriting dan kadar karet yang berjumlah sama dan menggunakan cara pengeritingan yang berbeda
48
memiliki bobot jenis, pampatan tetap 50%, dan tegangan pampat 50% yang berbeda pula. Perbedaan terutama disebabkan oleh bulk density tumpukan serat keriting yang berbeda pada masing-masing cara pengeritingan. Sebutret yang dibuat dari serat keriting dengan bulk density yang rendah memiliki bobot jenis, pampatan tetap, dan tegangan pampat yang rendah pula. Sebutret yang terbuat dari serat keriting yang memiliki bulk density yang tinggi memiliki bobot jenis, pampatan tetap, dan tegangan pampat yang tinggi pula. 4. Berdasarkan penilaian mutu sebutret dan pertimbangan faktor ekonomi untuk masing-masing cara pengeritingan, maka ditentukan proses basah (cara pengeritingan II) dengan lama pengeringan 205 menit pada suhu pengeringan 100 °C lebih layak diterapkan sebagai industri kecil dan menengah dan merupakan cara pengeritingan terbaik. Proses basah ini dijadikan acuan atau pedoman pembuatan sampel sebutret untuk mengetahui
pengaruh
variasi
(penambahan)
jumlah
karet
yang
terkandung di dalam sebutret. 5. Sampel sebutret yang dibuat dari jumlah serat keriting yang sama dan jumlah karet yang berbeda memiliki bobot jenis, pampatan tetap 50%, dan tegangan pampat 50% yang berbeda pula. Makin tinggi jumlah karet yang terkandung di dalam produk sebutret, makin tinggi pula bobot jenis dan tegangan pampat, akan tetapi makin rendah pampatan tetapnya atau makin baik kepegasannya. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan jumlah karet yang mengikat dan membalut serat keriting berpengaruh terhadap mutu produk.
B.
SARAN 1. Penggunaan jumlah karet sebanyak 50, 60 dan 70 gram untuk 40 gram serat menunjukkan kecenderungan yang meningkat terhadap mutu sebutret, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh penambahan jumah karet yang lebih banyak dari 70 gram untuk 40 gram serat terhadap karakteristik sebutret.
49
2. Perlu dirancang alat dan mesin tepat guna, yaitu mesin pengurai tambang agar proses dapat berjalan lebih cepat, dan mesin penyemprot kompon lateks, yang dapat menyemprotkan kompon lateks secara homogen pada serat, sehingga ditribusi karet dalam produk lebih merata dan berpengaruh baik terhadap kepegasan produk. 3. Perlu dilakukan pembuatan sebutret serta pengujian sifat fisik produk sebutret yang mengarah kepada standarisasi, sehingga barang jadi sebutret memiliki mutu baku penjualan dan sesuai dengan keinginan pasar atau konsumen.
50
DAFTAR PUSTAKA Abednego, J. G. 1981. Pengetahuan Teknologi Karet. Departemen Perdagangan dan Koperasi. Jakarta. Abednego, J. G. 1981. Pengetahuan Lateks. Departemen Perdagangan dan Koperasi. Jakarta. Abednego, J. G. 1990. Pembuatan Kompon Karet. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor. Bogor. Allorerung, D, Z. Mahmud, A. Wahyudi, G. S. Hardono, H. Novarianto, dan H.T. Luntungan. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Anonim, 2005. Pohon Serba Guna. www.e-smartschool.com. Anwar, C. 2006. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. www.ipard.com. Appleton, L. (1948). Resilient Product Composed of Latex Bonded Fibres. Transactions of the Institution of the Rubber Industry, Vol. XXIII, 19471948. The Institution of the Rubber Industry. London. Aprianita, N dan A. Sudibyo. 1985. Penelitian dan Pengembangan Pembuatan Serat Berkaret dari Sabut Kelapa. Laporan Hasil Penelitian dan Pengembangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian. Jakarta. Awang, S. A. 1991. Kelapa, Kajian Sosial dan Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta. Barlina, R, G. H. Joseph, M. M. Rumokoi, Kembuan, dan A. Lay. 1990. Peningkatan Nilai Tambah Hasil Kelapa Melalui Teknologi Pengolahan dan Diversifikasi. Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Badan Penelitian Pertanian. Bogor. Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Perkebunan Indonesia 2003-2005. Jakarta.
Pertanian.
2006.
Statistik
Djatmiko, B, S. Raharja, dan A. Iskandar. 1990. Pra Studi Kelayakan Komoditi Sabut Kelapa. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Goutara, B. Djatmiko dan W. Tjiptadi. 1985. Dasar Pengolahan Karet. Agroindustri Press. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fateta IPB. Bogor. Handoko, B. 2003. Pengolahan Lateks Pekat. Kursus Teknologi Barang Jadi dari Lateks. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor. Bogor.
51
Honggokusumo, S. 1985. Pengetahuan Lateks. Departemen Perdagangan dan Koperasi. Jakarta. Joseph, G. H dan J. G Kindangen. 1993. Potensi dan Peluang Pengembangan Tempurung, Sabut dan Batang Kelapa untuk Bahan Baku. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Ketaren, S dan B. Djatmiko. 1985. Daya Guna Hasil Kelapa. Agroindustri Press. Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB. Bogor. Lay, A dan P. M. Pasang. 2003. Alat Penyerat Sabut Kelapa Tipe Balitka. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Nazaruddin dan F.B. Paimin. 1996. Karet, Strategi Pemasaran Tahun 2000, Budidaya dan Pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta. Palungkun, R. 1999. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta. Pole, E. G. 1964. The Preparation of Flame Resistant Rubberized Hair. Rubber Development, vol 17 (1), p.4. Purba, E. S. L. 1999. Sabut Kelapa Merambah Mancanegara. Komoditas 1-3 (8), hal 58-59. Sinurat, M, B. Handoko, A. Alam dan R. A. Arizal. 2000. Teknologi Pembuatan Serat Sabut Kelapa Berkaret. Forum Komunikasi Teknologi Hasil Penelitian Karet Puslit Karet Medan. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. Sinurat, M. 2001. Pembentukan Serat Keriting Sebagai Bahan Pembuatan Serat Berkaret. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. Sinurat, M, B. Handoko, R. Arizal, A. M Santosa, dan D. Suparto. 2001. Peningkatan Mutu Serat Sabut Kelapa Berkaret dengan Memperbaiki Sistem Vulkanisasi. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor. Bogor. Sinurat, M. 2002. Utilization of Rubberized Coir to Make Elastic Pad. Proceeding International Seminar on Environmental Chemistry and Toxicology. Gadjah Mada Press. Yogyakarta. Sinurat, M. 2003. Teknologi Pembuatan Jok Dari Serat Sabut Kelapa Berkaret. Kursus Teknologi Barang Jadi Dari Lateks. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor. Bogor.
52 Sinurat, M. 2003. Pemanfaatan Serat Sabut Kelapa Berkaret Menjadi Jok Kursi. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Soeseno, S. 1989. Pembuatan Kompon Karet. Latihan Teknologi Barang Jadi Karet. Balai Penelitian Perkebunan. Bogor. Solichin, M. 1991. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu Lateks Pekat Pusingan. Lateks, Vol 6 (1), hal 33-40. Sudjana. 1994. Disain dan Analisis Eksperimen. Tarsito. Bandung. Suhardiyono, L. 1988. Tanaman Kelapa, Budidaya dan Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta. Suparto, D. 2003. Pengetahuan Tentang Lateks Hevea. Kursus Teknologi Barang Jadi dari Lateks. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor. Bogor. Triwijoso, S. U. 1973. Serabut Kelapa Berkaret dan Cara Pembuatannya. Menara Perkebunan 41 (4), hal 199-203. Triwijoso, S. U. 1975. Tinjauan Spesifikasi Lateks Pekat dan Pengujiannya. Menara Perkebunan 43 (1), hal 29-37.
Lampiran 1. Produk turunan dari pengolahan sabut kelapa Serat berkaret Matras Serat Panjang
Kerajinan - Keset - Karpet - Tali, dll
Geotekstil Sabut
Genteng Serat pendek Hardboard Cocopeat
Hardboard
Kompos
Isolator listrik
Debu sabut
53
54 Lampiran 2. Uji karakteristik pengeringan pintalan serat cara pengeritingan I suhu 60, 80 dan 100°C Waktu (menit)
0
Bobot (gram) Suhu (°C) 60
80
100
100,00
100,00
100,00
5
98,54
96,31
96,67
10
97,06
94,31
94,65
15
95,84
93,03
93,22
20
94,65
92,16
92,15
25
93,92
91,54
91,45
30
93,12
90,94
90,80
35
92,53
90,38
90,19
40
91,93
90,02
89,82
45
91,52
89,83
89,55
50
91,19
89,67
89,48
55
90,95
89,62
89,37
60
90,68
89,57
89,37
65
90,51
89,51
89,37
70
90,36
89,51
89,37
75
90,27
89,46
89,37
80
90,08
89,43
89,37
85
90,00
89,43
89,37
90
89,95
89,38
89,37
95
89,78
89,38
89,37
100
89,71
89,38
89,37
105
89,61
89,38
89,37
110
89,53
89,38
89,37
115
89,48
89,38
89,37
120
89,42
89,38
89,37
125
89,40
89,38
89,37
130
89,38
89,38
89,37
135
89,38
89,38
89,37
140
89,38
89,38
89,37
145
89,38
89,38
89,37
150
89,38
89,38
89,37
155
89,38
89,38
89,37
160
89,38
89,38
89,37
55 Lampiran 3. Uji karakteristik pengeringan pintalan serat cara pengeritingan II suhu 60 °C Waktu (menit)
Bobot (gram)
Waktu (menit)
Bobot (gram)
0
150,00
220
94,78
5
148,64
225
94,19
10
146,89
230
93,48
15
145,69
235
92,94
20
144,22
240
92,18
25
142,22
245
91,51
30
140,70
250
90,85
35
138,91
255
90,38
40
137,36
260
89,82
45
135,52
265
89,16
50
134,30
270
88,66
55
132,77
275
88,18
60
131,56
280
87,80
65
130,10
285
87,21
70
128,87
290
86,75
75
127,48
295
86,21
80
126,46
300
85,87
85
124,91
305
85,51
90
123,34
310
84,93
95
122,10
315
84,51
100
120,89
320
84,06
105
119,65
325
83,77
110
118,49
330
83,36
115
117,38
335
83,00
120
116,14
340
82,78
125
115,00
345
82,33
130
113,85
350
82,00
135
112,66
355
81,95
140
111,63
360
81,66
145
110,53
365
81,30
150
109,45
370
81,09
155
108,39
375
80,86
160
107,29
380
80,59
165
106,24
385
80,25
170
105,32
390
79,85
175
104,36
395
79,70
180
103,43
400
79,56
185
102,40
405
79,46
190
101,23
410
79,46
195
100,22
415
79,46
200
99,03
420
79,46
205
97,79
425
79,46
210
96,58
430
79,46
215
95,75
435
79,46
56 Lampiran 4. Uji karakteristik pengeringan pintalan serat cara pengeritingan II suhu 80 °C Waktu (menit)
Bobot (gram)
Waktu (menit)
Bobot (gram)
0
150,00
180
92,12
5
147,92
185
91,44
10
145,84
190
90,59
15
143,46
195
89,92
20
140,75
200
89,35
25
138,34
205
88,75
30
136,13
210
88,08
35
133,78
215
87,13
40
131,34
220
86,78
45
129,15
225
86,23
50
127,12
230
85,70
55
124,78
235
85,15
60
122,76
240
84,53
65
120,85
245
84,08
70
118,78
250
83,42
75
117,07
255
83,00
80
115,21
260
82,68
85
113,48
265
82,32
90
111,85
270
82,00
95
109,60
275
81,67
100
108,53
280
81,40
105
107,46
285
81,18
110
106,26
290
80,79
115
105,37
295
80,40
120
104,36
300
80,23
125
103,45
305
80,12
130
102,32
310
80,01
135
101,18
315
79,84
140
100,28
320
79,69
145
99,19
325
79,52
150
98,43
330
79,43
155
97,54
335
79,43
160
96,12
340
79,43
165
95,46
345
79,43
170
94,87
350
79,43
175
93,38
355
79,43
57 Lampiran 5. Uji karakteristik pengeringan pintalan serat cara pengeritingan II suhu 100 °C Waktu (menit)
Bobot (gram)
Waktu (menit)
Bobot (gram)
0
150,00
120
89,49
5
144,22
125
88,63
10
140,82
130
88,14
15
136,00
135
87,13
20
131,27
140
86,25
25
127,59
145
85,78
30
123,75
150
85,00
35
120,35
155
84,16
40
117,48
160
83,78
45
114,88
165
83,00
50
111,77
170
82,36
55
110,15
175
82,08
60
108,03
180
81,46
65
105,77
185
80,67
70
104,07
190
80,49
75
102,05
195
80,10
80
99,21
200
79,65
85
97,79
205
79,41
90
96,10
210
79,41
95
94,92
215
79,41
100
94,13
220
79,41
105
92,62
225
79,41
110
91,51
230
79,41
115
90,86
235
79,41
58 Lampiran 6. Uji karakteristik pengeringan pintalan serat cara pengeritingan III suhu 60, 80 dan 100 °C Waktu (menit) 60
Bobot (gram) Suhu (°C) 80 100
0
104,11
104,00
102,12
5
102,80
98,85
97,59
10
101,88
97,4
95,82
15
100,95
96,05
94,48
20
99,61
95,00
93,40
25
98,67
94,23
92,65
30
98,00
93,55
91,93
35
97,29
93,09
91,67
40
96,83
92,53
91,44
45
96,28
92,16
91,42
50
95,72
91,98
91,42
55
95,22
91,69
91,41
60
94,80
91,54
91,41
65
94,37
91,43
91,07
70
93,94
91,36
91,07
75
93,53
91,36
91,07
80
93,28
91,36
91,07
85
93,00
91,28
91,07
90
92,70
91,26
91,07
95
92,60
91,23
91,07
100
92,37
91,23
91,07
105
92,22
91,23
91,07
110
92,17
91,18
91,07
115
92,00
91,13
91,07
120
91,86
91,08
91,07
125
91,64
91,08
91,07
130
91,62
91,08
91,07
135
91,44
91,08
91,07
140
91,37
91,08
91,07
145
91,29
91,08
91,07
150
91,17
91,08
91,07
155
91,14
91,08
91,07
160
91,11
91,08
91,07
165
91,08
91,08
91,07
170
91,08
91,08
91,07
175
91,08
91,08
91,07
180
91,08
91,08
91,07
185
91,08
91,08
91,07
190
91,08
91,08
91,07
59 Lampiran 7. Uji sifat fisik sebutret 1. Bobot Jenis Sampel diukur panjang, lebar dan tingginya untuk menghitung volume (m3). Kemudian sampel ditimbang untuk mengetahui bobotnya (kg). Bobot jenis diukur dengan membagi bobot sampel dengan volumenya (kg/m3). 2. Pampatan Tetap 50% Pengukuran pampatan tetap bertujuan untuk mengetahui selisih nilai ketebalan sebutret setelah dikenai beban dalam jangka waktu tertentu. Sampel sebutret diuji dalam bentuk silinder berdiameter 4,5 cm, kemudian diukur ketebalan awalnya (x mm). Sampel diberi tekanan beban dengan alat pampatan berupa pelat silinder paralel. Tekanan diberikan pada sampel sampai ketebalannya 50% dari tebal awal pada suhu ruangan selama 24 jam. Selanjutnya sampel dilepaskan dari alat pampatan dan diukur ketebalan akhir (y mm). Selisih ketebalan (x-y) dibagi dengan tebal awal sampel dan dinyatakan dalam persen (%). Hasil uji pampatan tetap merupakan nilai yang menunjukkan kepegasan atau elastisitas sampel. Makin tinggi nilai selisih ketebalan awal dengan ketebalan setelah sampel mengalami pampatan menunjukkan kepegasan sampel makin rendah. 3. Tegangan Pampat 50% Sampel dipotong berbentuk tiga dimensi dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi tertentu. Sampel diletakkan pada neraca dengan beban tertentu.
Sampel
ditekan
perlahan
dengan
beban
tersebut
sampai
ketinggiannya 50% dari tinggi awal. Melalui penekanan dapat terbaca beban (bobot) pada neraca. Tegangan pampat 50% diukur sebagai bobot penekanan awal dibagi dengan luas permukaan sampel (g/cm2).
60 Lampiran 8 a. Bulk density serat keriting Cara pengeritingan
Bulk density (kg/m3) Pengeringan suhu 60 °C
Pengeringan suhu 80 °C
Pengeringan suhu 100 °C
6,38 6,45 7,16
6,15 6,33 6,61
5,82 6,10 6,24
I II III
Lampiran 8 b. Perbandingan bentuk atau geometri serat keriting Serat keriting Serat keriting I
Serat keriting II
Serat keriting III
Sifat - gelombang besar - rongga tumpukan besar - bentuk keriting kurang permanen - bulk density rendah - gelombang sedang - rongga tumpukan sedang - bentuk keriting permanen - bulk density agak tinggi - gelombang kecil - rongga tumpukan kecil - bentuk keriting lebih permanen - bulk density besar
61 Lampiran 9 a. Bobot bahan pada sampel produk penelitian tahap I Cara pengeritingan
Sampel produk
Cara I
1 2 3 x 1 2 3 x 1 2 3 x
Cara II
Cara III
Bobot serat (gram) 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40
Bobot produk (gram) 82,71 83,01 82,84 82,85 87,23 85,84 87,43 86,83 90,06 89,02 89,31 89,46
Bobot Ketebalan karet (mm) (gram) 42,71 65 43,01 65 42,84 65 42,85 65 47,23 60 45,84 60 47,43 60 46,83 60 50,06 60 49,02 60 49,31 60 49,46 60
Lampiran 9 b. Bobot bahan pada sampel produk penelitian tahap II Sampel produk Kode No S40
S50
S60
S70
1 2 3 x 1 2 3 x 1 2 3 x 1 2 3 x
Bobot serat (gram) 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40
Bobot produk (gram) 87,23 85,84 87,43 86,83 88,40 91,50 87,40 89,10 95,80 89,20 100,75 95,25 116,35 110,05 110,80 112,40
Bobot Ketebalan karet (mm) (gram) 47,23 60 45,84 60 47,43 60 46,83 60 48,40 60 51,50 60 49,10 60 49,67 60 57,80 60 59,20 60 60,75 60 59,25 60 76,35 60 70,05 60 70,80 60 72,40 60
Lampiran 10 a. Sifat fisik sampel sebutret (penelitian tahap I) Bobot jenis (kg/m3)
Sampel Sebutret I Sebutret II Sebutret III
1 17,86 18,93 20,76
2 19,76 20,77 21,84
3 20,89 25,14 24,37
Tegangan pampat 50% (g/cm2)
Pampatan tetap 50% (%) x 19,50 21,61 22,32
1 19,92 26,69 31,30
2 25,64 31,12 34,04
3 28,48 32,29 34,45
x 24,68 30,03 33,26
1 8,39 9,23 12,08
2 9,39 12,92 13,58
3 10,20 15,05 13,85
x 9,32 12,40 13,17
Lampiran 10 b. Sifat fisik sampel sebutret (penelitian tahap II) Bobot jenis (kg/m3)
Sampel Sebutret 40 Sebutret 50 Sebutret 60 Sebutret 70
1 18,93 21,85 23,69 25,84
2 20,77 22,44 24,34 29,17
3 25,14 22,76 24,75 30,04
Tegangan pampat 50% (g/cm2)
Pampatan tetap 50% (%) x 21,61 22,35 24,26 28,35
1 26,69 28,44 24,65 17,00
2 31,12 28,80 25,00 18,57
3 32,29 29,25 25,35 19,42
x 30,03 28,83 25,00 18,33
1 9,23 13,49 17,59 21,16
2 12,92 14,46 18,28 23,67
3 15,05 16,00 18,60 25,39
x 12,40 14,65 18,16 23,41
Lampiran 10 c. Analisis ragam suhu pengeringan pintalan serat Sumber variasi Perlakuan Galat Jumlah
Jumlah kuadrat 19384,667 79733,333
104550
Derajat keragaman 2 6 8
Kuadrat tengah 12408,333 13288,889
F 0,934
Signifikansi 0,444
Kesimpulan Tidak berbeda nyata
62
Lampiran 11 a. Analisis ragam bulk density serat keriting Sumber variasi Perlakuan Galat Jumlah
Jumlah kuadrat 0,558 0,571 1,129
Derajat keragaman 2 6 8
Kuadrat tengah 0,279 0,095
F 2,931
Signifikansi 0,129
Kesimpulan Tidak berbeda nyata
Lampiran 11 b. Analisis ragam bobot jenis sebutret (penelitian tahap I) Sumber variasi Perlakuan Galat Jumlah
Jumlah kuadrat 12,909 31,905 44,813
Derajat keragaman 2 6 8
Kuadrat tengah 6,454 5,317
F 1,214
Signifikansi 0,361
Kesimpulan Tidak berbeda nyata
Lampiran 11 c. Analisis ragam pampatan tetap 50% sebutret (penelitian tahap I) Sumber variasi Perlakuan Galat Jumlah
Jumlah kuadrat 112,765 61,337 174,101
Derajat keragaman 2 6 8
Kuadrat tengah 56,382 10,223
F 5,515
Signifikansi 0,044
Kesimpulan Berbeda nyata
63
Lampiran 12 a. Uji lanjut Duncan pampatan tetap 50% sebutret (penelitian tahap I) Cara pengeritingan I II III Signifikansi
Keterangan N 3 3 3
α = 0,05 1 24,68 30,03 0,086
2 A AB B
30,03 33,26 0,262
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata Lampiran 12 b. Analisis ragam tegangan pampat 50% sebutret (penelitian tahap I) Sumber variasi Perlakuan Galat Jumlah
Jumlah kuadrat 24,809 20,804 45,614
Derajat keragaman 2 6 8
Kuadrat tengah 12,405 3,467
F 3,578
Signifikansi 0,095
Kesimpulan Tidak berbeda nyata
64
Lampiran 13 a. Analisis ragam bobot jenis sebutret (penelitian tahap II) Sumber variasi Perlakuan Galat Jumlah
Jumlah kuadrat 81,980 31,175 113,155
Derajat keragaman 3 8 11
Kuadrat tengah 27,327 3,897
F 7,012
Signifikasi 0,013
Kesimpulan Berbeda nyata
Lampiran 13 b. Uji lanjut Duncan bobot jenis sebutret (penelitian tahap II) Jumlah karet 40 50 60 70 Signifikansi
N 3 3 3 3
α = 0,05 1 21,61 22,35 24,26 0,154
2
28,35 1,000
Keterangan A A A B
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
65
Lampiran 14 a. Analisis ragam pampatan tetap 50% sebutret (penelitian tahap II) Sumber variasi Perlakuan Galat Jumlah
Jumlah kuadrat 249,869 21,040 270,909
Derajat keragaman 3 8 11
Kuadrat tengah 83,290 2,630
F 31,669
Signifikansi 0
Kesimpulan Berbeda nyata
Lampiran 14 b. Uji lanjut Duncan pampatan tetap 50% sebutret (penelitian tahap II) Jumlah karet 40 50 60 70 Signifikansi
N 3 3 3 3
1 30,03 28,83
α = 0,05 2
Keterangan 3
25,00 0,390
1,000
18,33 1,000
A A B C
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
66
Lampiran 15 a. Analisis ragam tegangan pampat 50% sebutret (penelitian tahap II) Sumber variasi Perlakuan Galat Jumlah
Jumlah kuadrat 206,915 30,129 237,044
Derajat keragaman 3 8 11
Kuadrat tengah 68,972 3,766
F 18,314
Signifikansi 0,001
Kesimpulan Berbeda nyata
Lampiran 15 b. Uji lanjut Duncan tegangan pampat 50% sebutret (Penelitian Tahap II) Jumlah karet 40 50 60 70 Signifikansi
N 3 3 3 3
1 12,40 14,65 0,193
α = 0,05 2
Keterangan 3
14,65 18,16 0,058
23,41 1,000
A AB B C
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
67
68
Lampiran 16 a. Alat pendispersi bahan kimia
Lampiran 18 b. Alat pemintal serat sabut kelapa
69
Lampiran 17 a. Cetakan sampel sebutret
Lampiran 17 b. Alat penyemprot kompon lateks
Lampiran 17 c. Oven vulkanisasi
70
Lampiran 18 a. Jok kursi sebutret
Lampiran 18 b. Kasur sebutret