PENGARUH WAKTU DAN SUHU VULKANISASI PADA PEMBUATAN KASUR DARI SERAT SABUT KELAPA BERKARET
Oleh LISTIANA PUJIASTUTI F34103007
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGARUH WAKTU DAN SUHU VULKANISASI PADA PEMBUATAN KASUR DARI SERAT SABUT KELAPA BERKARET
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh LISTIANA PUJIASTUTI F34103007
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Listiana Pujiastuti. F34103007. Pengaruh Waktu dan Suhu Vulkanisasi pada Pembuatan Kasur dari Serat Sabut Kelapa Berkaret. Dibawah bimbingan Djumali Mangunwidjaya dan Maurits Sinurat. 2007
RINGKASAN Serat sabut kelapa berkaret merupakan suatu produk komposit antara serat kelapa dan karet. Karet berfungsi untuk mengikat persinggungan serat kelapa yang sudah dikeritingkan. Dengan adanya karet maka serat keriting akan menjadi lebih elastis. Sifat elastis karet dipengaruhi oleh proses vulkanisasi. Parameter penting dalam proses vulkanisasi adalah ketebalan vulkanisat, suhu, dan waktu terjadinya reaksi. Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap I bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan menentukan waktu pengeringan awal pada pembuatan sebutret yang akan dijadikan sebagai acuan dalam penelitian tahap dua. Pada penelitian tahap I ini ketebalan sebutret yang digunakan adalah 3,3 cm. Tahap II bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu dan suhu vulkanisasi terhadap parameter kerapatan massa, pampatan tetap, ketahanan usang, dan tegangan pampat sebutret serta menentukan waktu dan suhu vulkanisasi yang menghasilkan sampel kasur sebutret dengan karakteristik terbaik. Ketebalan sebutret pada penelitian tahap II ini adalah 10 cm. Sulfur yang digunakan adalah 2,5 psk (per seratus karet kering). Bahan pencepatnya adalah ZDEC (1,5 psk) dan ZMBT (1 psk). Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian tahap I adalah RAL satu faktor yaitu lama waktu pengeringan (5, 10, 15, 20 menit pada suhu 100-110oC dan 120 menit pada suhu udara). Dalam penelitian tahap II digunakan RAL dua faktor yaitu waktu dan suhu vulkanisasi. Waktu vulkanisasi mengandung lima taraf yaitu 60, 70, 80, 90, dan 100 menit. Suhu vulkanisasi terdiri dari dua taraf yaitu 95-105oC dan 105-115oC. Hasil penelitian tahap I menunjukkan bahwa waktu pengeringan awal yang menghasilkan sebutret terbaik adalah selama 15 menit pada suhu 100-110oC. Sifat fisik yang dipengaruhi oleh pengeringan awal adalah pampatan tetap pada suhu 70oC. Karakteristik fisik sebutret terbaik hasil penelitian tahap I ini meliputi kerapatan massa sebesar 48,12 kg/m3, pampatan tetap 17,89% (suhu ruang), pampatan tetap 26,09% (70oC), kemunduran pampatan tetap akibat pengusangan 45,98%, tegangan pampat 597,7 kg/m2 (pemampatan 40%) dan 865,5 kg/m2 (pemampatan 50%). Penelitian tahap II menunjukkan bahwa hanya pampatan tetap 50% pada suhu 70oC yang dipengaruhi oleh waktu dan suhu vulkanisasi. Ketahanan usang dipengaruhi oleh suhu vulkanisasi. Sifat fisik lainnya tidak dipengaruhi. Perlakuan suhu dan waktu vulkanisasi yang mampu menghasilkan sebutret terbaik adalah vulkanisasi pada suhu 105-115oC selama 60 menit. Proses vulkanisasi pada suhu 105-115oC selama 60 menit menghasilkan nilai terendah pampatan tetap suhu 70oC yaitu 27,72% dan persen penurunan pampatan tetap sesudah pengusangan 88,43%. Karakteristik sebutret terbaik yang dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kasur (ketebalan ±10 cm) adalah kerapatan massa 51,19 kg/m3,
pampatan tetap 14,70% (suhu ruang), pampatan tetap 27,72% (70oC), kemunduran pampatan tetap akibat pengusangan 88,43%, tegangan pampat 648,1 kg/m2 (pemampatan 40%) dan 885,4 kg/m2 (pemampatan 50%).
Listiana Pujiastuti. F34103007. The Effects of Vulcanisation Time and Temperature on The Making of Rubberized Coir Mattres. Under the supervision of Djumali Mangunwidjaya and Maurits Sinurat. 2007 SUMMARY Rubberized coir is a composite of coir fibre and rubber. The rubber functions is binds the contiguity of curled coir fibre. The presence of rubber makes curled fibre more elastic. The property of elasticity of the rubber is affected by vulcanisation process. The important parameters in vulcanisation is the vulcanisate thickness, temperature, and reaction time. The experimentation was done through two phases; Phase I to find the effect and to exact preliminary drying time in making the rubberized coir that would be used as basic points in the next experimentation phase; whilst Phase II to know the effect of vulcanisation time and temperature against specific density, compression set, deterioration in an air oven, compression strength of the rubberized coir and to specify vulcanisation time and temperature that would made the sample of rubberized coir mattress with best characteristics. Rubberized coir thickness in phase I is 3,3 cm, and 10 cm in phase II. The used of sulfur as a vulcanizing agent is 2,5 phr (perhundred rubber). The accelerator agent is ZDEC and ZMBT. Experimental design used in Phase I experiment was one-factor RAL, the drying time (5, 10, 15, 20 minutes under 100-110oC and 120 minutes under air temperature), while in Phase II being two-factor RAL, the vulcanisation time and temperature. The vulcanisation time parameter consisted of five stages: 60, 70, 80, 90, and 100 minutes, while vulcanisation temperature had two: 95-105oC and 105115oC. Results of Phase I experiment resulted in that the preliminary drying time producing best rubberized coir is 15 minutes under 100-110oC temperature. Physical attributes affected by preliminary drying was compression set under 70oC temperature. The best rubberized coir physical characteristics of this Phase are specific density of 48,12 kg/m3, compression set under room temperature of 17,89%, compression set under 70oC temperature 26,09%, compression set regression after wear 45,98%, compression strength (40%) 597,7 kg/m2, and compression strength (50%) 865,5 kg/m2. Phase II experiment showed that only compression set 50% on 70oC temperature that was affected by vulcanisation time and temperature. Deterioration in an air oven was affected by vulcanisation time, but other physical properties were not. Vulcanisation time and temperature treatment that gave the best rubberized coir is under 105-115oC temperature for as long as 60 minutes. Vulcanisation process under 105-115oC for 60 minutes gave the lowest value of compression set under 70oC temperature, that was 27,72% and the percentage of compression set regression after wear 88,43%. Characteristics of the best rubberized coir made as prematerial of mattress (with thickness ±10 cm) was with specific density 51,19 kg/m3, compression set under room temperature 14,70%, compression set under 70oC temperature 27,72%, deterioration in an air oven 88,43%, compression strength (40%) 648,1 kg/m2, and compression strength (50%) 885,4 kg/m2.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH WAKTU DAN SUHU VULKANISASI PADA PEMBUATAN KASUR DARI SERAT SABUT KELAPA BERKARET
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh LISTIANA PUJIASTUTI F34103007 Dilahirkan di Boyolali, pada tanggal 19 Februari 1986 Tanggal Lulus :
November 2007
Disetujui, Bogor,
Prof. Dr. Ir. Djumali M., DEA Pembimbing I
November 2007
Ir. Maurits Sinurat Pembimbing II
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul ”Pengaruh Waktu dan Suhu Vulkanisasi pada Pembuatan Kasur dari Serat Sabut Kelapa Berkaret’’ adalah hasil karya saya sendiri, dengan arahan dari dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor,
November 2007
Listiana Pujiastuti F34103007
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Boyolali, Jawa Tengah pada tanggal 19 Februari 1986 sebagai anak kedua dari pasangan Mulyono dan Sayekti. Penulis menempuh pendidikan di TK Pertiwi Gombang (1990-1991), SD
Gombang II (1991-1997), SLTP N. 1 Cawas (1997-2000), dan SMU N. 1 Klaten (2000-2003). Penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI, diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama masa kuliah, penulis bergabung dalam Tim Pendamping (asisten agama Katolik), anggota PMKRI cabang Bogor, Koor Mahasiswa Katolik, dan Paduan Suara FATETA. Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di PT. Industri Susu Alam Murni, Ujung Berung, Bandung dengan judul ’’ Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Produk Susu UHT Di PT. Industri Susu Alam Murni, Bandung’’. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul ’’ Pengaruh Waktu dan Suhu Vulkanisasi pada Pembuatan Kasur dari Serat Sabut Kelapa Berkaret’’ untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian bekerjasama dengan Balai Penelitian Teknologi Karet, Bogor di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Djumali M., DEA. dan Ir. Maurits Sinurat.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa yang penuh kasih atas segala berkah yang senantiasa dilimpahkan tiap harinya. Melalui limpahan kasih dan karunia yang Dia berikan pada penulislah maka skripsi yang berjudul ”Pengaruh Waktu dan Suhu Vulkanisasi pada Pembuatan Kasur dari Serat Sabut Kelapa Berkaret” dapat terselesaikan dengan baik. Selama melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi, penulis telah mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkian terima kasih kepada ; 1. Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwijaya, DEA. selaku pembimbing akademik yang senantiasa memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi. 2. Ir. Maurits Sinurat selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta dukungan moral selama penelitian dan penulisan skripsi. 3. Dr. Ir. Erliza Noor selaku dosen penguji atas saran, kritik dan arahan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. 4. Seluruh karyawan BPTK Bogor yang telah membantu dan tempat bertukar pikiran selama penelitian. 5. Rian, Yu-Yu, Endang, Endah, Windi, Dika, Idesh, Bunda, Lusi, dan teman-teman lainnya yang telah membantu selama penelitian. 6. Sahabat- sahabat penulis, Tiners 40 dan teman-teman pendamping IPB yang selalu memberikan dukungan pada penulis. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak yang berkaitan dengan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor,
November 2007 Listiana Pujiastuti
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...................................................................................... i DAFTAR ISI..................................................................................................... ii DAFTAR
TABEL......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ v DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
vii
I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG….....………….................…………………. 1 1.2. TUJUAN………………………………….....………………...........
4
1.3. LINGKUP PENELITIAN.................................................................. 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KELAPA......................…………......................................................
5
2.2. SABUT DAN SERAT KELAPA......................................................
6
2.3. LATEKS Hevea brasilliensis...........................…………………...... 8 2.4. LATEKS PEKAT SENTRIFUGASI................................................. 11 2.5. KOMPON LATEKS..........................................................................
11
2.6. VULKANISASI..........…………………….....……………….......... 13 2.7. KECEPATAN REAKSI KIMIA.......................................................
16
2.8. SERAT SABUT KELAPA BERKARET.........….....…………….... 16 2.9. KASUR.............................................................................................. 17 2.10. PENELITIAN TERDAHULU SEBUTRET.................................... 19 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. ALAT.................................................................................................
22
3.2. BAHAN..........................................................……………………... 22 3.3. METODE PENELITIAN................................................................... 24 3.3.1. PEMBUATAN SERAT KERITING........................................... 25 3.3.2. PENYIAPAN BAHAN-BAHAN KIMIA KOMPON.................
26
3.3.3. PEMBUATAN KOMPON SEBUTRET.....................................
26
3.3.4. PEMBUATAN SAMPEL SEBUTRET....................................... 28 3.3.4.1. PENELITIAN TAHAP I.................................................. 28
3.3.4.2. PENELITIAN TAHAP II................................................
30
3.5. RANCANGAN PERCOBAAN……….........…………………........
31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN TAHAP I...................................................………....
32
4.1.1. KERAPATAN MASSA………...................…………….….
33
4.1.2. PAMPATAN TETAP 50%.....................................................
35
4.1.3. KETAHANAN USANG……………………….....…………
38
4.1.4. TEGANGAN PAMPAT.........................................................
40
4.1.5. PENENTUAN WAKTU PENGERINGAN TERBAIK...........
43
4.2. PENELITIAN TAHAP II.................................…………………….
43
4.2.1. KERAPATAN MASSA.......................................................
44
4.2.2.
PAMPATAN TETAP 50%....................................................
46
4.2.3. KETAHANAN USANG......................................................
49
4.2.4.
TEGANGAN PAMPAT .......................................................
52
4.3. PENENTUAN PERLAKUAN TERBAIK.......................................
55
4.4. PERBANDINGAN SIFAT FISIK KASUR DARI SEBUTRET DENGAN BUSA KARET ALAM DAN BUSA POLIURETHAN
56
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN..................................................................................
58
5.2. SARAN..............................................................................................
58
DAFTAR PUSTAKA………………......…………………………………….
60
LAMPIRAN……………………………………………….....………………
64
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Karet Seluruh Indonesia menurut Pengusahaan……………….…………….…………….......
1
Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Seluruh Indonesia menurut Pengusahaan......................................................................... Tabel 3. Komposisi Kimia Serat Sabut dan Serbuk Kelapa (% bobot kering)
2 7
Tabel 4. Komposisi Kimia Lateks Hevea brasiliensis....................................... 10 Tabel 5. Syarat Ukuran Busa untuk Kasur (SNI 06-1845-1990).......................
18
Tabel 6. Syarat Mutu Karet Busa Lateks (SNI 06-0999-1989)......................... 18 Tabel 7. Syarat Mutu Plastik Busa Poliuretan Lentur (SNI 06-1004-1989)......
19
Tabel 8. Formulasi Kompon untuk Pembuatan Sebutret …………..…………
20
Tabel 9. Karakteristik Serat Kelapa................................................................... Tabel 10. Kualitas Lateks Pekat.........................................................................
23 24 26
Tabel 11. Formula Pembuatan Dispersi 50% Kompon Sebutret.......................
27
Tabel 12. Komposisi Bahan untuk Kompon Sebutret (Sinurat et al, 2001)…...
55
Tabel 13. Empat Kelas Produk Sebutret (IS 83911977)……….......................
56
Tabel 14. Karakteristik Fisik Sebutret Hasil Kombinasi Perlakuan Terbaik…. Tabel 15. Perbandingan Sebutret dengan Busa Karet Alam dan Busa Sintetis sebagai Bahan Dasar Pembuatan Kasur..............................................
34
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur isoprene ………………….………….…………………
9
Gambar 2. Struktur Kimia 1,4 cis-poliisopren...................................................
9
Gambar 3. Struktur Seng Dietil Ditio Karbamat (ZDEC).................................
13
Gambar 4 Ikatan Silang Vulkanisasi Lanjut pada Overlap Antar Partikel Karet (Blackley, 2000)..................................................................... Gambar 5. Mekanisme Vulkanisasi Belerang (Honggokusumo,1998).............. Gambar 6. Pembentukan Ikatan silang Molekul Karet dengan Sulfur Setelah Vulkanisasi (http://en.wikipedia.org/wiki/Vulcanization)............... Gambar 7. Struktur Ikatan Silang dan Ikatan Intermolekuler pada Vulkanisat Belerang (Craig, 1970)..................................................................... Gambar 8. Diagram Alir Persiapan Serat Sabut Kelapa Keriting (Sinurat,2003).................................................................................. Gambar 9. Diagram Alir Pembuatan Kompon (Sinurat, 2003)......................... Gambar 10. Diagram Alir Pembuatan Sebutret (Sinurat, 2003)........................ Gambar 11. Diagram Alir Pembuatan Sebutret (modifikasi Sinurat, 2003)...... Gambar 12. Grafik Pengaruh Waktu Pengeringan awal terhadap Kerapatan Massa Sebutret............................................................................. Gambar 13. Grafik Pengaruh Waktu Pengeringan Awal terhadap Pampatan Tetap Sebutret pada Suhu Ruang.................................................. Gambar 14. Grafik Pengaruh Waktu Pengeringan Awal terhadap Pampatan Tetap Sebutret pada Suhu 70oC.................................................... Gambar 15. Grafik Pengaruh Waktu Pengeringan Awal terhadap Ketahanan Usang............................................................................................ Gambar 16. Pengaruh Waktu Pengeringan Awal terhadap Tegangan Pampat 40% Produk Sebutret.................................................................... Gambar 17. Pengaruh Waktu Pengeringan Awal terhadap Tegangan Pampat 50% Produk Sebutret.................................................................... Gambar 18. Pengaruh Waktu dan Suhu Vulkanisasi terhadap Kerapatan Massa Produk Sebutret..................................................................
14 14 15 15 25 28 29 30 33 36 38 39 41 42 45
Gambar 19. Pengaruh Waktu dan Suhu Vulkanisasi terhadap Pampatan Tetap Suhu Ruang Produk Sebutret........................................................
46
Gambar 20. Pengaruh Waktu dan Suhu Vulkanisasi terhadap Pampatan Tetap suhu 70oC Produk Sebutret...........................................................
48
Gambar 21. Pengaruh Waktu dan Suhu Vulkanisasi terhadap Ketahanan Usang Produk Sebutret.................................................................. 50 Gambar 22. Pengaruh Waktu dan Suhu Vulkanisasi terhadap Tegangan Pampat 40% Produk Sebutret.......................................................
53
Gambar 23. Pengaruh Waktu dan Suhu Vulkanisasi terhadap Tegangan Pampat 50% Produk Sebutret.......................................................
54
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Metode Analisa Serat Kelapa Lurus.............................................. 64 Lampiran 2. Metode Analisa Lateks Pekat........................................................ 65 Lampiran 3. Metode Analisa Sifat Fisik Serat Sabut Kelapa Berkaret.............. 68 Lampiran 4. Data Hasil Penelitian Tahap I........................................................ 70 Lampiran 5. Data Hasil Penelitian Tahap II...................................................... 71 Lampiran 6. Analisis Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Hasil Penelitian Tahap I..........................................................................................
73
Lampiran 7. Analisis Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Hasil Penelitian Tahap II………………………………….........…………………
75
I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Luas perkebunan karet secara nasional tahun 2005 adalah 3,3 juta hektar, dan 85 persen diantaranya merupakan perkebunan rakyat. Sisanya 15 persen merupakan perkebunan besar. Jumlah produksi sekitar 1,9 juta ton (T.Kus/toeb, 2006). Perkembangan luas areal dan produksi perkebunan karet Indonesia disajikan pada tabel 1. Pada tahun 1999, areal tanaman kelapa di Indonesia tercatat seluas 3,712 juta ha, didominasi oleh perkebunan rakyat (96,6%) dan oleh perusahaan perkebunan besar (3,4%). Tabel 2 menyajikan perkembangan luas areal dan produksi perkebunan kelapa di Indonesia. Tabel 1. Luas areal dan produksi perkebunan karet seluruh Indonesia menurut pengusahaan Tahun
Luas Areal (Ha)
Produksi (ton)
PR
PBN
PBS
total
PR
PBN
PBS
total
2003
2.772.490
241.625
275.997
3.290.112
1.396.244
1 91.699
204.405
1.792.348
2004
2.747.899
239.118
275.250
3.262.267
1.662.016
1 96.088
207.713
2.065.817
2005
2.767.021
237.612
274.758
3.279.391
1.838.670
2 09.837
222.384
2.270.891
2006*
2.796.251
237.869
275.352
3.309.472
1.916.538
2 18.724
231.802
2.367.064
2007**
2.840.991
241.675
279.758
3.362.424
1.986.382
226.695
240.250
2.453.32
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, 2007 Keterangan : *) angka sementara **) angka sangat sementara Potensi ketersediaan serat sabut kelapa untuk dikonversi menjadi produk komersial cukup besar. Dari produksi buah kelapa nasional rata-rata sebanyak 15,5 milyar butir pertahun, dapat diperoleh serat sabut kelapa sekitar 1,8 juta ton (Allorerung et al., 2005 dalam Martini, 2007). Sejauh ini, industri rakyat masih memanfaatkan sabut kelapa untuk membuat keset, tali, sapu, anyaman, dan bahan bakar. Oleh karena sebagian perkebunan karet dan kelapa merupakan perkebunan rakyat maka perlu digalakkan suatu usahatani yang mampu meningkatkan pendapatan petani rakyat. Usahatani merupakan tumpuan
sebagian besar petani di Indonesia. Namun hingga saat ini kegiatan ini belum mampu meningkatkan pendapatan petani secara riil. Dalam keseluruhan mata rantai kegiatan ekonomi di sektor pertanian dan perkebunan, kegiatan usahatani memiliki nilai tambah yang paling kecil. Karena itu dalam upaya meningkatkan pendapatan petani sekaligus meningkatkan kesempatan kerja dan ekspor, maka perlu pengalihan pandangan dalam pembangunan pertanian dan perkebunan dengan menempatkan kegiatan hilir, yaitu agroindustri (pengolahan) dan perdagangan (pemasaran) sebagai penggerak ekonomi pertanian dan perkebunan. Tabel 2. Luas areal dan produksi perkebunan kelapa seluruh indonesia menurut pengusahaan Tahun
Luas Areal (Ha)
Produksi (ton)
PR
PBN
PBS
total
PR
PBN
PBS
total
2003
3.785.343
5.838
121.949
3.913.130
3.136.360
2.629
115.865
3.254.854
2004
3.723.879
4.883
68.242
3.797.004
3.000.839
4.489
49.183
3.054.511
2005
3.735.838
6.127
61.649
3.803.614
3.052.461
3.659
40.724
3.096.845
2006*
3.749.844
6.148
61.804
3.817.796
3.112.040
3.672
41.164
3.156.876
2007**
3.763.472
6.170
62.029
3.831.671
3.162.655
3.731
41.834
3.208.220
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, 2007 Keterangan : *) angka sementara **) angka sangat sementara PR
: perkebunan Rakyat
PBN : perusahaan besar Negara PBS : perusahaan besar swasta Pemberian
bekal
pengetahuan
praktis
untuk
mengolah
hasil
perkebunan kepada para petani bermanfaat untuk meningkatkan penghasilan petani sekaligus menggerakkan perekonomian. Salah satu proses pengolahan sumber daya alam yang dapat ditawarkan oleh lembaga penelitian dan telah siap dikomersialkan adalah pengolahan serat sabut kelapa berkaret.
Kombinasi bahan baku karet dan sabut kelapa dapat memberikan nilai tambah bagi kedua komoditas tersebut. Serat sabut kelapa berkaret berfungsi sebagai bahan berpegas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan alternatif lain dari busa karet alam maupun busa sintetis. Sebutret yang merupakan sebutan lain dari serat sabut kelapa berkaret, dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan jok kursi dan kasur pada industri furniture dan industri mobil. Keunggulan sebutret dibandingkan dengan busa karet alam maupun busa sintetis adalah relatif ringan, bersifat sejuk dan dingin karena terbuat dari bahan alami dengan rongga yang lebih besar. Kelebihan lainnya yaitu tahan terhadap air dan bakteri karena serat-serat yang membentuk jaringan, diikat dan dibalut lapisan karet, tidak banyak menampung debu, tidak berisik karena mampu meredam bunyi, mempunyai elastisitas/ kepegasan yang baik, dan kerapatan/ densitasnya dapat divariasi (Sinurat, 2003). Sebutret ini juga lebih ramah terhadap lingkungan dibandingkan dengan busa sintetis yang dapat menghasilkan gas berbahaya (isosianat) untuk kesehatan (Maspanger, et al., 2005). Salah satu pemanfaatan sebutret adalah sebagai bahan baku produksi kasur. Karet bukan penghantar panas yang baik, sehingga waktu vulkanisasi optimum tergantung pula pada ketebalan barang yang divulkanisasi. Oleh sebab itu, waktu vulkanisasi optimum perlu ditetapkan untuk ketebalan vulkanisat tertentu (Kusnata, 1976). Proses vulkanisasi merupakan salah satu tahapan proses penting dalam pembuatan sebutret. Vulkanisasi merupakan reaksi kimia antara karet dengan belerang sehingga membentuk ikatan silang dan menghasilkan struktur tiga dimensi (Bhuana, 1990). Kondisi vulkanisasi yang tidak tepat akan menyebabkan vulkanisat kurang matang atau lewat matang (Laporan tahunan, 1985). Proses vulkanisasi dilakukan untuk memperbaiki sifat karet agar barang yang dihasilkan lebih elastis dan lebih kuat. Beberapa parameter yang berhubungan dengan proses vulkanisasi adalah suhu dan waktu. Sebutret merupakan produk komposit antara karet dan serat kelapa. Karet yang digunakan untuk produk ini lebih dari 50% bobot keseluruhan produk. Perlu adanya suatu penelitian yang mengkaji pengaruh
suhu dan waktu vulkanisasi pada pembuatan produk sebutret, terutama untuk produk yang tebal seperti kasur. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk proses pembuatan sebutret yang tebal dalam skala industri.
1.2. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur pengaruh serta menentukan waktu dan suhu proses pengeringan awal dan vulkanisasi untuk mendapatkan sifat barang jadi kasur yang terbaik.
1.3. LINGKUP PENELITIAN Lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menentukan waktu pengeringan awal yang menghasilkan sebutret terbaik. 2. Menentukan waktu dan suhu vulkanisasi terbaik untuk sebutret, khususnya dalam aplikasinya sebagai barang jadi kasur.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KELAPA Tanaman kelapa ditemukan di lebih dari 80 negara tropis di dunia. Kelapa merupakan kelas Monocotyledonae, ordo Arecales, family Palmaceae, genus Cocos, dan spesies Cocos nucifera (Palungkun, 1992). Menurut
Warisno
(1998),
berdasarkan
warna
kulit
buah
(exocarpium), buah kelapa dibagi menjadi tiga, yaitu kelapa coklat (Cocos nucifera L. rubenten), kelapa hijau (Cocos nucifera L. veridis), dan kelapa kuning (Cocos nucifera L. eburen). Menurut Palungkun (1992), berdasarkan varietasnya kelapa dibagi menjadi: 1. Kelapa dalam (tall variety), mempunyai ciri-ciri : batang tinggi (25 m atau lebih), ukuran batang, daun dan buahnya relatif lebih besar dibanding kelapa genjah, memiliki daging buah tebal dengan umur berbuah sekitar 5-8 tahun. Produktivitas sekitar 90 butir/ pohon/ tahun. 2. Kelapa genjah (dwarf variety), memiliki ciri-ciri : tinggi batang 5 m, ukuran batang, daun dan buahnya relatif lebih kecil dibanding kelapa dalam, serta memiliki daging buah tipis dengan umur berbuah sekitar 3-4 tahun. Produktivitas sekitar 140 butir/ pohon/ tahun. 3. Kelapa hibrida, kelapa ini merupakan persilangan antara kelapa genjah dan kelapa dalam. Cepat berbuah (sekitar 3-4 tahun setelah tanam), produktivitas besar (sekitar140 butir/ pohon/ tahun), daging buah tebal. Berat rata-rata satu buah kelapa adalah 2 kg (Soedijanto dan Sianipar, 1985). Awang (1991) mengatakan bahwa komposisi buah kelapa adalah 35% sabut, 12% tempurung, 28% daging buah, dan 25% air. Bagianbagian buah kelapa adalah sebagai berikut : 1. Lapisan terluar (exocarpium). Ketebalan kulit luar kelapa berkisar 5-6 cm. Lapisan ini terdiri dari : a. Epicarpium, yaitu kulit paling luar dari kelapa yang memiliki penampakan halus, kuat dan tahan air b. Mesocarpium (lapisan tengah) dibagi menjadi serat dan gabus, terdiri atas untaian serat-serat memanjang yang disebut coir atau
sabut, dimana kekerasannya terjadi pada saat buah kelapa matang penuh. Sabut berfungsi melindungi buah pada saat terjatuh dari ketinggian dan membantu kemampuan mengapung bila mengalami flotasi dalam air. Serat yang terdapat pada mesocarpium dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu serta panjang dan kasar (bristle fiber), serat pendek (mattres fibre) dan bubuk serat (fibrous dust). Serat sabut kelapa dapat dimanfaatkan untuk membuat tali, karung, isolator panas dan suara, pulp, bahan pengisi jok, dan kasur serta papan hardboard. 2. Lapisan dalam (endocarpium), merupakan lapisan keras yang disebut tempurung kelapa. Tempurung kelapa memiliki ketebalan 3-5 mm. Sifat keras pada tempurung kelapa disebabkan oleh kandungan silika (SiO2) yang tinggi. 3. Brown skin atau kulit coklat yaitu lapisan tipis berwarna coklat yang terdapat diantara endocarpium dan daging buah. 4. Daging buah dan air
2.2. SABUT DAN SERAT KELAPA Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari 6 butir kelapa dapat menghasilkan 4,2 kg sabut kelapa, berarti tiap kelapa rata-rata menghasilkan 700 gr sabut kelapa (Palungkun, 1992). Dapat disimpulkan bahwa rata-rata sabut kelapa yang dihasilkan di Indonesia adalah lebih dari satu juta ton/tahun. Sabut kelapa terdiri dari 13,9% serat kasar, 25,9% serat halus, dan 60,2% debu atau serbuk. Kandungan sabut kelapa adalah selulosa, lignin, asam pyrolignin, tannin dan potassium (Awang, 1991). Jaringan sabut kelapa mengandung lignin dan selulosa yang menimbulkan sifat kasar dan kegetasan. Komposisi kimia serat sabut dan serbuk kelapa disajikan pada Tabel 3. Serat sabut kelapa adalah serat alami yang dihasilkan dari sabut kelapa. Rendemen serat adalah 80-90 gram serat perbutir (van-Dam, 1997). Serat sabut kelapa memiliki panjang 15-30 cm, bahkan bisa mencapai 40
cm. Jika dibandingkan dengan serat alami lainnya, maka serat sabut kelapa tergolong pendek, misalnya serat sisal 140 cm dan abaca 240 cm. Diameter serat sabut kelapa sekitar 0,1-1,5 mm (Djatmiko et al., 1990). Tabel 3. Komposisi kimia serat sabut dan serbuk kelapa (% bobot kering) Komponen
Serbuk
Serat sabut
Air
26,00
5,25
Pektin
14,25
3,00
Hemiselulosa
8,50
0,25
Selulosa
29,23
45,84
Lignin
21,07
43,44
Sumber : Joseph dan Kindangen (1993) Proses pembuatan sebutret memerlukan bahan baku serat coklat, karena serat coklat berasal dari serat sabut kelapa tua dengan kandungan serat lebih tinggi. Jenis kelapa yang dimanfaatkan seratnya dalam pembuatan sebutret adalah kelapa dalam karena memiliki kekerasan yang tinggi, artinya tidak mudah putus atau sobek bila mengalami pembebanan secara berulang. Sabut kelapa yang diolah biasanya berasal dari kelapa tua (berumur lebih dari 10 bulan) kerena memiliki kandungan serat yang lebih tinggi dibanding kelapa muda (Indriati, 2004). Beberapa langkah penting dalam pembuatan serat coklat adalah (Awang, 1991): 1. Pemisahan sabut kelapa yang telah masak dari tempurung kelapa 2. Perendaman dalam bak berisi air, diusahakan dalam air yang mengalir supaya terjadi penggantian air yang baik dan kontinyu. Maksud perendaman adalah untuk melunakkan sabut kelapa agar mudah terjadi pemisahan serat-serat dari gabus dalam sabut kelapa. Apabila lapisan epicarpium dihilangkan maka lama proses perendaman hanya 3-5 hari dan bila tidak dihilangkan maka proses perendaman 3-6 minggu.
3. Pemisahan serat sabut kelapa dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama pemisahan serat menggunakan rol berputar dengan sejumlah besar paku sepanjang 4-5 cm. Rol pemecah (breaker roll) akan berputar dan pakunya merobek sabut kelapa tanpa merusak serat. Tahap ini menghasilkan serat yang berukuran besar, panjang dan kasar yang disebut bristle fiber. 4. Tahap kedua adalah tahap membersihkan serat kasar melalui proses penggilingan dengan rol pembersih yang permukaannya terpasang paku-paku yang lebih halus dari rol pemecah. Tahap ini menghasilkan serat yang lebih halus yang disebut matress fiber. Mutu serat kasar (bristle fibre) didasarkan atas warna dan panjang serat. Mutu yang baik warnanya cerah dan mempunyai panjang serat maksimum 12 inchi (31,08 cm). Matress adalah serat yang banyak digunakan untuk bahan kasur. Mutunya didasarkan atas warna, panjang serat, elastisitas, dan kebersihan. Matress yang bermutu baik berwarna keemasan, sedangkan yang bermutu rendah berwarna suram dan tidak bercahaya (Palungkun, 1992). Pengertian serat keriting dalam pembuatan serat sabut kelapa berkaret adalah serat alami dari sabut kelapa yang diubah bentuknya menjadi serat bergelombang (keriting) melalui proses pengeritingan. Tujuan penggunaan serat keriting adalah untuk meningkatkan tinggi lentur produk yang dihasilkan. Pengeritingan dilakukan dengan pemintalan serat, pembentukan pintalan serat (tambang), serta pengeringan dan pemeraman tambang. Makin lama proses pemeraman pintalan serat maka bentuk keriting yang dihasilkan makin permanen. Tambang hasil pengeringan dan pemeraman diurai kembali menjadi bentuk serat-serat, sehingga diperoleh jenis serat yang berubah bentuk menjadi bergelombang yang disebut serat keriting (Sinurat, 2001).
2.3. LATEKS Hevea brasilliensis Lateks adalah getah tanaman karet (Hevea brasiliensis) yang termasuk dalam divisi Spermathophyta, subdivisi Angiospermae, kelas
Dicotyledonae, ordo Geraniles, family Euphorbiaceae, dan genus Hevea (Webster dan Baulkwill, 1989). Menurut Nazaruddin dan Paimin (1998) lateks terdapat pada tanaman Hevea brasiliensis pada bagian daun, biji dan sebagian besar terletak pada kulit batang. Nazaruddin dan Paimin (1998) menyatakan lateks adalah suatu sistem koloid yang kompleks, terdiri dari partikel karet dan bahan bukan karet yang terdispersi dalam cairan yang dinamakan serum. Bahan bukan karet berjumlah relatif kecil, sebagian besar terdapat dalam serum, lainnya terabsorbsi pada permukaan partikel karet. Kadar karet dalam lateks bervariasi menurut jenis klon, intensitas sadap, iklim dan pemupukan. Komposisi kimia lateks Hevea brasiliensis disajikan dalam tabel 4. Lateks dari Hevea brasiliensis merupakan sumber lateks utama karena jumlah dan mutunya lebih baik dibandingkan lateks dari tanaman lain. Tanaman penghasil lateks lainnya adalah Ficus elastis, Funtumia elastis, Castilla elastis, Taraxacum koksagyz, Palagunium gutta, dan Parthenium argentatum (Webster dan Baulkwill, 1989). Lateks Hevea brasiliensis merupakan hidrokarbon poliisoprena dengan nama kimia cis 1,4-poliisoprena. Nama kimia tersebut merupakan suatu polimer dengan bobot molekul 400.000-1.000.000. Monomernya adalah isoprena (2-metil 1,3-butadiena) dengan rumus molekul C5H8. Struktur
molekul
dan
bentuk
ruang
dari
kepala
ke
ekor
(cis)
(Honggokusumo, 1985). Struktur kimia isoprena dan poliisoprena ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2. CH3 CH2=C-CH=CH2 Gambar 1. Struktur isoprena (Bras, 1968) H3C
H
CH3
C=C -H2C Kepala
H C=C
CH2
CH2
CH2- n
ekor
kepala
ekor
Gambar 2. Struktur kimia 1,4 cis-poliisoprena (Bras,1968)
Tabel 4. Komposisi kimia lateks Hevea brasiliensis ( Suparto, 2002) Komponen
Persentase
Karet
30-35
Resin
0,5-1,5
Protein
1,5-2,0
Abu
0,3-0,7
Gula
0,3-0,5
Air
55-60 Lateks mengandung 25-40% bahan karet mentah dan 60-75% serum.
Bahan karet mentah mengandung 90-95% karet murni, 2-3% protein, 1-2% asam lemak, 0,2-0,5% garam dari Na, K, Mg, Ca, P, Cu, Mn, dan Fe. Partikel karet tersuspensi (tersebar merata) dalam serum lateks dengan ukuran 0,04-3 mikron, atau 0,2 milyar partikel karet permililiter lateks. Bentuk partikel lonjong sampai bulat. Berat jenis lateks 0,945 kg/m3, serum 1,02 kg/m3dan karet 0,91 kg/m3. Adanya perbedaan berat jenis tersebut menyebabkan pemisahan pada permukaan lateks (Goutara et al., 1985). Kemantapan lateks segar disebabkan oleh tiga faktor : Gerak Brown, muatan listrik dan hidrasi. Gerak Brown adalah ciri khas dari partikelpartikel kecil dalam dispersi. Gerak Brown cukup besar untuk melawan gaya tarik bumi, sehingga pertikel karet tidak berkelompok dan tidak berpisah dari serum. Partikel karet mempunyai selubung pemantap yang terdiri dari lipida dan protein yang bersifat amfoter. Partikel karet yang diselubungi oleh lipid dan protein ternyata merupakan koloid yang hidrofilik, sehingga partikel-partikel tersebut mempunyai selubung molekul air. Molekul air yang polar tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk lapisan molekul air bersifat sebagai pelindung dan membantu kemantapan lateks (Abednego,1993).
2.4. LATEKS PEKAT SENTRIFUGASI Lateks pekat adalah lateks kebun yang dipekatkan dengan suatu metode pemekatan tertentu hingga mengalami peningkatan kadar karet kering dan tetap merupakan koloid yang stabil. Pengolahan lateks pekat dapat dilakukan dengan empat metode yaitu sentrifugasi, pendadihan, penguapan, dan dekantasi listrik. Proses pemekatan lateks yang paling banyak digunakan adalah metode sentrifugasi dan pendadihan (Handoko, 2003). Prinsip pengolahan lateks pekat didasarkan pada perbedaan berat jenis antar partikel karet dengan serum. Goutara et al. (1985) menyatakan partikel karet dalam lateks mengalami Gerak Brown, karena terjadi gaya tolak menolak antar partikel yang bermuatan sama. Gerak Brown akan memperlambat pemisahan partikel karet dengan serum. Pada proses sentrifugasi, lateks yang dimasukkan dalam mesin sentrifugasi akan mengalami gaya sentripetal dan sentrifugal. Gaya sentrifugal yang timbul jauh lebih besar dibandingkan percepatan gravitasi bumi dan gaya brown, sehingga partikel karet dan serum akan terpisah. Pemekatan lateks kebun dengan cara pemusingan dilakukan dengan menggunakan alat pemusing yang mempunyai kecepatan antara 6000-7000 rpm (Abednego, 1993). Lateks pekat ini mengandung karet kering sekitar 60%, sedangkan lateks skim masih mengandung karet kering antar 3-8%. Dengan cara pemekatan ini, lateks pekat yang dihasilkan mengandung sedikit bahan bukan karet, bahan-bahan bukan karetnya sebagian besar masuk kedalam lateks skim (Goutara et al., 1985).
2.5. KOMPON LATEKS Kompon lateks adalah suatu campuran antara lateks dengan berbagai bahan kimia yang telah didispersi untuk memperoleh hasil akhir suatu vulkanisat dengan proses tertentu. Formula kompon lateks disusun berdasarkan pada 100 bobot karet kering (psk) yang terdapat dalam lateks pekat. Bahan kimia kompon yang secara umum terdiri dari bahan
pemvulkanisasi, pengaktif, pencepat, antioksidan, pengisi, pewarna dan sebagainya (Handoko, 2002). Bahan pemvulkanisasi adalah bahan kimia yang dapat bereaksi dengan gugus aktif pada molekul karet untuk membentuk ikatan silang antar molekul. Belerang (sulfur) adalah bahan yang pertama kali dan yang terutama digunakan untuk memvulkanisasi atau bahan pembentuk ikatan silang. Bahan pemvulkanisasi dapat juga bukan elemen belerang, tetapi dapat membentuk ikatan silang belerang, misalnya sulfur donor seperti tetrametil- thiuram disulfida (TMTD) atau 4,4 – dithiodimorpholina (DTDM). Metal oksida seperti ZnO dan MgO digunakan untuk vulkanisasi kloroprena, bromobutil, flourokarbon dan lain-lain (Honggokusumo,1998). Pembentukan ikatan silang akan lebih cepat jika belerang dikombinasikan dengan bahan pencepat dan bahan lain. Pencepat adalah bahan kimia yang digunakan dalam jumlah sedikit bersama belerang untuk mempercepat proses vulkanisasi. Ditinjau dari fungsinya, pencepat dapat diklasifikasikan menjadi pencepat primer dan sekunder. Pencepat primer adalah golongan thiazol dan sulfenamida. Pencepat sekunder adalah guanidine, thiuram, dithiokarbamat dan dithiofosfat. Pencepat sekunder ditambahkan untuk mempercepat laju vulkanisasi atau meningkatkan modulus
dengan
pertimbangan
keamanan
olah
tetap
terjamin
(Honggokusumo,1998). Metalik dan amino dialkilditiokarbamat kelas yang penting dan kelas thiazol merupakan bahan pencepat kedua yang sering digunakan bersama-sama dengan kelas ditiokarbamat (Handoko, 2002). Penggunaan ditiokarbamat biasanya berkisar antara 0,5-1,5 psk bersama-sama dengan ZnO berkisar antara 0,5-5,0 psk. Dialkilditiokarbamat mempunyai pengaruh terhadap sifat perpanjangan putus (EB) hasil vulkanisatnya sedangkan ZnO meningkatkan kekuatan tarik (TS) dan modulus pada tingkat kematangan optimum (Handoko, 2002). Struktur kimia ZDEC disajikan pada Gambar 3.
C2H5 C2H5
N-C-S S
Zn 2
Gambar 3. Struktur Seng Dietil Ditio Karbamat (ZDEC) Penggiat atau aktivator adalah bahan yang ditambahkan ke dalam sistem vulkanisasi dengan pencepat untuk meningkatkan laju pematangan. Penggiat di dalam sistem vulkanisasi yang menggunakan belerang umumnya digunakan
kombinasi
oksida
seng
(ZnO)
dan
asam
stearat
(Honggokusumo,1998). Antioksidan merupakan bahan kimia yang ditambahkan ke dalam kompon dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan vulkanisat terhadap oksidasi (Handoko, 2002). Antioksidan yang digunakan adalah ionol (Buthyl-4-methylphenol).
2.6. VULKANISASI Karet alam maupun karet sintetik tidak dapat digunakan dalam keadaan mentah. Faktor penyebabnya adalah keret mentah mudah mengalami reaksi oksidasi dan kurang elastis, artinya karet mentah akan mengalami perubahan bentuk yang bila ditarik atau ditekan tidak dapat kembali ke bentuk semula (Abednego, 1990). Tahun 1839, Charles Goodyear menemukan proses yang dapat memperbaiki sifat karet mentah, yaitu dengan mengubahnya menjadi karet matang sehingga memiliki sifat elastis dan lebih tahan terhadap perubahan suhu. Proses tersebut dinamakan vulkanisasi. Vulkanisasi adalah suatu proses mengaplikasikan panas kepada campuran elastomer dan bahan kimia untuk menurunkan plastisitas dan meningkatkan elastisitas, kekuatan dan kemantapan. Vulkanisasi merubah molekul karet yang panjang saling mengait menjadi suatu struktur tiga dimensi melalui pembentukan ikatan silang secara kimia (Honggokusumo, 1998). Proses vulkanisasi pada kompon dipengaruhi oleh suhu dan waktu. Parameter kritis selama vulkanisasi adalah waktu yang diperlukan untuk
memulai reaksi, laju dan lamanya proses pembentukan ikatan silang (Honggokusumo, 1994). Peningkatan suhu vulkanisasi akan mempersingkat waktu
vulkanisasi.
Sebaliknya,
penurunan
suhu
vulkanisasi
akan
memperpanjang waktu vulkanisasi (Honggokusumo,1998). Ketika partikel karet saling mendekat maka akan terjadi overlap antar partikel. Di dalam overlap partikel, gugus sulfur-pencepat berdifusi dan akan membentuk ikatan silang sehingga ikatan antar partikel karet menjadi kuat dan bersifat elastis. Daerah overlap antar partikel karet dapat dilihat pada Gambar 4.
Daerah overlap Gambar 4. Ikatan silang vulkanisasi lanjut pada overlap antar partikel karet (Blackley, 2000)
Panas yang tinggi dibutuhkan untuk menyempurnakan reaksi antara karet dan belerang, dan panas harus kontinyu selama periode waktu tertentu. Kebutuhan panas dapat dikurangi dengan penambahan bahan pencepat atau dengan meningkatkan waktu pemanasan (Polhamus, 1962). Mekanisme vulkanisasi belerang disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Mekanisme vulkanisasi belerang (Honggokusumo,1998)
Gambar 6. Pembentukan ikatan silang molekul karet dengan sulfur setelah vulkanisasi (http://en.wikipedia.org/wiki/Vulcanization) Gambar 6 menunjukkan pembentukan ikatan silang setelah vulkanisasi. Pada awal reaksi terjadi pemutusan lingkaran S8 dan terbentuk zat perantara berbentuk kompleks pengaktifan belerang yang melibatkan bahan pencepat dan ZnO. Zat perantara melepaskan rantai belerang oligomer yang reaktif. Oligomer tersebut menyerang posisi atom alilik pada molekulmolekul karet dan membentuk ikatan silang. Tetapi ikatan silang yang semula mengandung banyak atom belerang atau ikatan polisulfida yang mempunyai energi ikatan polisufida rendah, selama pemanasan yang relatif lama pada proses pemasakan, ikatan polisulfida akan putus dan membentuk ikatan silang yang lebih pendek. Sebagai akibatnya monomolekuler belerang yang putus membentuk ikatan silang yang baru atau ikatan belerang intermolekuler sepanjang molekul karet dan terbentuknya ikatan rangkap terkonjugasi. Peristiwa berkurangnya ikatan silang disebut reversi (Honggokusumo,1998). Struktur ikatan silang pada vulkanisat belerang disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Struktur ikatan silang dan ikatan intermolekuler pada vulkanisat belerang (Craig, 1970)
2.7. KECEPATAN REAKSI KIMIA Laju atau kecepatan reaksi adalah perubahan konsentrasi pereaksi ataupun produk dalam suatu satuan waktu. Laju suatu reaksi dapat dikatakan sebagai
laju
berkurangnya
konsentrasi
suatu
pereaksi,
atau
laju
bertambahnya konsentrasi suatu produk. Suatu persamaan yang memberikan hubungan antara laju reaksi dan konsentrasi pereaksi disebut persamaan laju atau hukum laju (Pudjaatmaka, 1984). Laju reaksi terukur, sering kali sebanding dengan konsentrasi reaktan suatu pangkat. Contohnya, mungkin saja laju itu sebanding dengan konsentrasi dua reaktan A dan B sehingga : v = k[A][B] Koefisien k disebut konstanta laju, yang tidak bergantung pada konsentrasi (tetapi bergantung pada temperatur) (Atkins, 1999). Besarnya konstanta kecepatan, yaitu kecepatan reaksi bila semua konsentrasi zat bernilai satu, tergantung dari berbagai faktor. Faktor-faktor ini dihubungkan secara kuantitatif oleh persamaan yang dikenal sebagai persamaan Arrhenius. k = A e-Ea/RT R adalah konstanta gas, T adalah suhu mutlak, k adalah konstanta kecepatan dan Ea adalah energi aktivasi. Faktor A adalah sebuah konstanta proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan juga orientasi molekuler selama tumbukan (Nur et al., 2004). Makin tinggi energi pengaktifan, makin kuat pula ketergantungan konstanta laju pada temperatur. Jadi energi pengaktifan yang tinggi mempunyai arti bahwa konstanta laju berubah dengan cepat terhadap temperatur (Atkins, 1999).
2.8. SERAT SABUT KELAPA BERKARET Serat sabut kelapa berkaret (sebutret) adalah produk hasil vulkanisasi lapisan serat yang telah dibasahi oleh kompon lateks dengan cara penyemprotan. Selama proses vulkanisasi terjadi perubahan sifat kompon yang plastis menjadi vulkanisat yang memiliki sifat elastis. Sifat elastis vulkanisat karet yang mengikat persinggungan dan membalut serat-serat
mengakibatkan produk serat berkaret menjadi lebih kuat dan memiliki kepegasan yang lebih baik (Sinurat et al., 2001). Serat yang dilapisi dengan karet memiliki sifat kepegasan yang lebih baik dan tahan terhadap beban mekanik, kelembaban dan air, dan serangan jamur. Jika serat keriting dilapisi atau dibalut dengan karet maka serat berkaret memiliki sifat kepegasan yang lebih baik karena bentuk gelombang atau ombak yang dimilikinya menjadi permanen, atau segera kembali pada keadaan semula setelah pembebanan (Sinurat, 2003). Salah satu pemanfaatan serat sabut kelapa berkaret adalah sebagai bahan pengisi pada kasur, jok kursi mobil maupun kursi furniture. Sebutret bersifat sejuk dan dingin karena terbuat dari bahan alami. Sebutret tahan terhadap air dan bakteri karena serat telah dibalut oleh lapisan karet. Jok dari sebutret juga mempunyai kepegasan yang lebih baik karena rongga lebih besar dan kerapatannya dapat divariasi (Balai Penelitian Teknologi Karet, 2003).
2.9. KASUR Kasur adalah alas tidur yang terbuat dari kain atau plastik yang berisi kapuk, karet busa, dsb (KBBI, 2001). Di Indonesia, pada umumnya ada empat jenis kasur. Pertama adalah kasur kapuk, kedua kasur busa poliuretan (sponge). Ketiga adalah kasur pegas (springbed) dan yang terakhir yang disebut dengan kasur lateks. Kasur kapuk menggunakan buah pohon randu sebagai bahan bakunya, kasur busa poliuretan (sponge) memakai busa kimiawi yang dinamakan ”poliuretan”. Kasur pegas menggunakan perpaduan pegas dan poliuretan (sponge), dan terakhir kasur lateks memakai bahan baku alam berupa cairan lateks (Irawan dan Mardana, 2003). Kasur dari Sebutret belum begitu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tebal kasur sebutret yang dibuat dalam penelitian ini mengacu pada syarat ukuran busa untuk kasur tipe IV, seperti yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 6 dan 7 menyajikan syarat mutu karet busa lateks alam dan syarat mutu plastik busa poliurethan lentur yang merupakan bahan dasar kasur. Tabel 5. Syarat ukuran busa untuk kasur (SNI 06-1845-1990)
Panjang (mm)
2000
Lebar (mm)
700, 800, 900, 1000, 1200, 1400, 1600, 1800, 2000
Tebal (mm)
Tipe I
180
Tipe II
150
Tipe III
120
Tipe IV
100
Tabel 6. Syarat mutu karet busa lateks (SNI 06-0999-1989) No.
Uraian
Persyaratan Klas I
Klas II
100-140
100-140
I
Fisika
1.
Kerapatan Massa (kg/m3)
2.
Kekerasan, Ø 300 mm 40% (kg)
25-35
25-35
3.
Kepegasan pantul (%)
Min 50
Min 40
4.
Tegangan putus (N/cm2)
Min 7,8
Min 4,9
5.
Perpanjangan putus (%)
Min 150
Min 75
2
6.
Ketahanan sobek (N/cm )
Min 5,9
Min 3,9
7.
Pampatan tetap (%)
Maks 8
Maks10
II
Organoleptis
1.
Keadaan dan atau penampakan Tidak boleh cacat atau rusak yang karet busa lateks
berupa sobek, lubang dan retak
2.
Uji hembus udara
Terasa hembusan
3.
bau
normal
Tabel 7. Syarat mutu plastik busa poliuretan lentur (SNI 06-1004-1989)
No.
Persyaratan
Uraian Klas I
Klas II
Klas III
Klas IV
I
Fisika
1.
Kerapatan Massa (kg/m3)
28-35
21-27
16-20
12-15
2.
Kekerasan, Ø 200 mm 25% (kg)
12-15
9-11,9
7-8
5-6,9
3.
Kepegasan pantul (%)
Min 50
Min 42
Min 34
Min 30
2
4.
Tegangan putus (N/cm )
Min 0,8
Min 0,8
Min 0,7
Min 0,7
5.
Perpanjangan putus (%)
Min 100
Min 125
Min 150
Min 160
2
6.
Ketahanan sobek (N/cm )
Min 0,6
Min 0,6
Min 0,5
Min 0,5
7.
Pampatan tetap (%)
Maks 5
Maks 7
Maks 8
Maks 10
II
Organoleptis
1.
Keadaan dan atau penampakan
Permukaan contoh harus rata, tidak boleh cacat
plastik busa poliuretan lentur
atau rusak yang berupa lubang-lubang atau retak
Uji hembus udara
Terasa hembusan
2.
2.10. PENELITIAN TERDAHULU SEBUTRET 1. Triwijoso (1973) membuat tulisan tentang ‘Serabut Kelapa Berkaret dan Cara Pembuatannya’. Tulisannya memuat penambahan bahan pengisi (kaolin) 30% dan 50% dapat meningkatkan berat jenis (0.026 dan 0.028 gr/cc) dan tegangan pampat 50% produk sebutret (20 dan 28 gr/cm2). Persen penurunan tegangan pampat setelah pengusangan adalah 38-48%. Pampatan tetap juga mengalami peningkatan yang berarti penurunan elastisitas. Pampatan tetap sebesar 20-28%. Komposisi kompon yang digunakan mengacu pada hasil penelitian Pole (1959). Triwijoso juga menyatakan bahwa investasi industri sebutret relative tinggi karena perlu menggunakan mesin pengolahan yang mahal. 2. Aprianita dan Sudibyo (1987), penelitiannya tentang pembuatan sebutret dengan perlakuan ketebalan sebutret, suhu dan waktu vulkanisasi. Ketebalan yang digunakan adalah 3-4 cm. Faktor suhu yang digunakan adalah 80 dan 100oC, dan waktu yang digunakan adalah 30, 60, 90, dan 120 menit. Parameter yang diuji adalah berat dan sifat pampatan tetap pada suhu ruang. Kesimpulan penelitian ini adalah suhu dan waktu tidak berpengaruh terhadap kedua parameter tersebut. Hasil terbaik secara
visual dari penelitian tersebut adalah menggunakan suhu vulkanisasi 100oC dan waktu vulkanisasi 60 menit. Komposisi kompon yang digunakan mengacu pada hasil penelitian Pole (1959). Nilai pampatan tetap non aging (3 x 24 jam) berkisar 24,36-41,18%. Perlu dilakukan penelitian pengaruh suhu dan waktu vulkanisasi pada sebutret yang berbeda ketebalan. Parameter uji sifat fisik perlu diperluas sesuai aplikasi barang jadinya. 3. Sinurat, et al. (2001), meneliti tentang pembuatan sebutret dengan menggunakan dua jenis lateks pekat dan perlakuan jumlah bahan dispersi kompon. Pengolahan sebutret dilakukan dengan menggunakan alat dan mesin pengolahan sebutret yang berteknologi tepat guna yang dirancang bangun oleh Sinurat pada penelitian tahun 2000. Formulasi kompon dari lateks dadih dan lateks pekat disajikan dalam Tabel 8. Penggunaan lateks dadih pada pembuatan sebutret menghasilkan sifat fisik pampatan tetap yang lebih baik (10%) dari pada dengan menggunakan lateks sentrifugasi (24,32%). Tetapi dalam praktek, pembuatan lateks pekat dengan cara pendadihan memiliki beberapa kendala dalam waktu pembuatan (lebih dari 10 hari). Dianjurkan untuk menggunakan lateks pekat sentrifusi, sehingga lebih cepat dan mudah didapat. Tabel 8. Formulasi kompon untuk pembuatan sebutret Bahan
Jumlah (w/w) gram Lateks dadih Lateks sentrifusi (A) (B)
Lateks pekat, KKK 60% Kalium laurat, larutan 20%
167 4
167 4
Kalium hidroksida, larutan 10%
3
3
Dispersi ZDEC 50%
3
3
Dispersi ZMBT 50% Dispersi ZnO 50%
2 10
2 10
BHT, dispersi 50%
2
2
Sulfur, dispersi 50%
5
5
4. Sinurat
(2003),
melakukan
penelitian
tentang
penyempurnaan
pembuatan produk sebutret dan rancang bangun prototipe oven vulkanisasi sebutret. Hasil kegiatan rancang bangun meliputi bangunan ruang vulkanisasi, prototype alat vulkanisasi dan cetakan sebutret. Prototype oven vulkanisasi hasil rancang bangun mampu menampung 8 buah kasur sebutret. Lama proses vulkanisasi sekitar 60-100 menit pada suhu antara 100-110oC. Hasil uji contoh menunjukkan bahwa kasur sebutret memiliki pampatan tetap rata-rata 14,534 % dan rapat jenis 0,0398 gr/ cm3. Kasur berukuran panjang 1915 mm, lebar 905 mm, dengan ketebalan dan berat rata-rata 133,3 mm dan 9,066 kg. perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang pengaruh waktu dan suhu vulkanisasi pada rentang yang telah ditentukan di atas, yaitu 60-100 menit pada suhu 100-110oC. 5. Indriati (2004) meneliti tentang pengaruh kadar karet kering dan umur pemeraman kompon lateks sentrifusi terhadap karakteristik sebutret. Kesimpulan yang didapat adalah bahwa proses pemeraman kompon selama 3 hari dan kadar karet kering lateks sentrifugasi yang mampu menghasilkan sifat fisik sebutret yang terbaik adalah 60%. Dalam penelitian
ini
belum
memberikan
solusi
untuk
permasalahan
penyumbatan pada proses penyemprotan, untuk itu perlu dilakukan penelitian supaya dapat memberikan solusi untuk masalah ini. 6. Martini (2007) meneliti tentang pengaruh cara pengeritingan serat sabut kelapa dan jumlah karet terhadap karakteristik sebutret. Kesimpulannya adalah cara pengeritingan serat terbaik adalah dengan cara basah, yaitu dengan pemercikan air sebelum pemintalan serat dan lama pengeringan pintalan 205 menit pada suhu 100oC. Semakin banyak jumlah karet yang ditambahkan maka sifat barang jadi sebutret semakin bagus.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Alat untuk mempersiapkan serat sabut kelapa keriting •
Alat pemintal, untuk memuntirkan serat kelapa
•
Bak pemeram dan pengeringan
•
Cetakan sampel (25 cm x 25 cm x 3 cm)
Peralatan untuk membuat kompon lateks •
Pendispersi bahan kimia (ball mill)
•
Alat pencampur (mixer)
Peralatan penyemprotan kompon •
Alat semprot (engine cleaning sprayer)
•
Kompressor udara
•
Perlengkapan pembersih
Peralatan proses vulkanisasi •
Oven
Peralatan uji •
Neraca
•
Alat pemotong (gunting, pisau)
•
Alat pengukur pampatan tetap
•
Tensometer (alat pengukur tegangan pampat)
•
Oven pengujian suhu 70oC
3.2. Bahan Penelitian ini menggunakan serat sabut kelapa dan lateks pekat sentrifugasi sebagai bahan baku utamanya. Serat kelapa berasal dari produsen serat kelapa di Bogor dan Ciamis. Lateks pekat diperoleh dari Perkebunan rakyat di Tasikmalaya. Bahan baku yang akan digunakan dalam penelitian ini dianalisis untuk mengetahui karakteristiknya. Metode pengujian yang digunakan untuk mengetahui karakterisasi serat kelapa dapat dilihat pada Lampiran 1. Serat
kelapa yang digunakan untuk pembuatan sebutret belum mempunyai standar baku, sehingga serat kelapa perlu diuji menggunakan standar SNI yang berhubungan (Standar Isi Jok Kursi dari Serat Sabut Kelapa). Standar ini dapat dilihat pada Tabel 9 beserta karakteristik bahan baku serat untuk penelitian. Tabel 9. Karakteristik serat kelapa Jenis uji
Hasil karakterisasi Standar SNI 12-6094-99
Kadar air (%) Bobot
7,90
Maks 6
10 cm keatas
53,03
Dilaporkan
5-10 cm
23,70
Dilaporkan
2-5 cm
13,98
Maks 10
9,30
Maks 1
serat
berdasarkan
panjangnya (gram):
Kadar impuritis (%)
Pengujian lateks pekat meliputi Kadar Karet Kering, Kadar Jumlah Padatan, kadar amoniak (%NH3), waktu kemantapan mekanik, bilangan ALE (asam lemak eteris), dan bilangan KOH. Metode pengujian yang digunakan untuk analisa lateks pekat dapat dilihat pada Lampiran 2. Sedangkan karakteristik lateks pekat sentrifugasi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 10 beserta standarnya. Bahan lainnya adalah bahan-bahan kimia pembuat kompon. Bahan kimia pembuat kompon meliputi : 1. Bahan pemvulkanisasi, yaitu belerang yang dibuat dispersi 50%. 2. Bahan pencepat (accelerator), berfungsi mempercepat vulkanisasi. Pencepat yang digunakan adalah ZMBT (zincmercapto benzotiazol) dan ZDEC (zinc dietil ditiocarbamat) dalam bentuk dispersi 50%. 3. Bahan pengaktif (activator) yang berfungsi untuk meningkatkan kinerja bahan pecepat. Bahan pengaktif yang digunakan adalah ZnO dalam bentuk dispersi 50%.
4. Bahan pemantap (stabilizer), berfungsi untuk menstabilkan kompon lateks agar tidak terpisah. Bahan pemantap yang digunakan adalah larutan KOH 10% dan larutan Kalium laurat 20%. 5. Antioksidan yang berfungsi untuk mencegah karet dari kerusakan karena pengaruh ozon maupun oksigen dan melindungi karet terhadap suhu tinggi sinar matahari, serta ion pro oksidan misalnya ion tembaga, bes, dan mangan. Antioksidan yang digunakan adalah Ionol (buthyl-4methylphenol) dalam dispersi 50%. Tabel 10. Kualitas lateks pekat Kualitas
Jumlah Padatan minimum (%)
60.81
Standar Lateks Pusingan (ASTM 1076 tahun 1997 dan SNI 06-31391992) 61,50
Kadar Karet minimum (%)
(KKK)
59.73
60,00
Perbedaan antara KJP dan KKK maksimum (%)
1.08
2,00
Kadar amoniak minimum (%)
0.82
0,60
Bilangan KOH maksimum (gr KOH dalam 100 gr padatan) Kemantapan Mekanis minimum (detik)
0.66
0,80
945
650
Bilangan Asam Lemak Eteris (ALE) maksimum (gr KOH/ 100 gr TS)
0.06
0,20
Kering
Hasil karakterisasi
3.3. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di Pabrik Percobaan Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor dari 26 Maret hingga 31 Juli 2007. Penelitian yang dilakukan dibagi dalam dua tahap. Tahap I untuk menentukan waktu pengeringan awal dengan sampel berukuran 25x25x3 cm. Penelitian tahap II dilakukan untuk mengetahui pengaruh waktu dan suhu vulkanisasi untuk sampel kasur sebutret berukuran 25x25x10 cm. Kegiatan penelitian meliputi :
3.3.1. Pembuatan Serat Keriting Serat lurus dari sabut kelapa masih mengandung kotoran-kotoran yang berupa debu dari gabus kelapa, serat pendek, dan sabut yang belum terurai dengan baik. Kotoran-kotoran ini perlu dipisahkan dari serat lurus yang akan digunakan untuk pembuatan sebutret. Serat lurus hasil pemisahan dapat segera dipintal untuk menghasilkan serat keriting. Gambar 8 menyajikan diagram alir pembuatan serat keriting. Serat kelapa lurus Pembersihan serat Pemintalan Pengeringan dan Pemeraman Pintalan Pintalan kering Penguraian Pintalan Serat Keriting
Gambar 8. Diagram alir persiapan serat sabut kelapa keriting (Sinurat,2003) Cara pemintalan dilakukan dengan cara basah, yaitu serat kelapa diperciki dengan sedikit air hingga lembab. Cara ini dilakukan supaya serat menjadi lemas dan pada saat dipintal akan mengikuti jalinan (Martini, 2007). Pintalan
berupa
tambang
yang
kemudian
digulung
dan
dikeringkan. Untuk mendapatkan serat keriting yang baik maka pintalan serat harus kuat, berlapis-lapis dan kering. Pengeringan pintalan dilakukan pada suhu 100oC selama ±4 jam, hingga didapat kadar air yang konstan. Setelah pengeringan, pintalan serat kemudian diperam pada suhu kamar.
Pemeraman dilakukan lebih dari 24 jam. Jika pintalan serat telah kering dan mengalami pemeraman, selanjutnya pintalan diurai untuk memperoleh serat keriting yang permanen.
3.3.2. Penyiapan Bahan-Bahan Kimia Kompon Bahan-bahan kimia padatan yang tidak dapat larut dalam air perlu dibuat dispersi sehingga dapat bercampur dan bereaksi dengan lateks. Masing-masing bahan kimia padatan (ZMBT, ZDEC, ZnO, Ionol dan sulfur) diaduk dalam gilingan peluru (ball mill) selama 3 x 8 jam. Proses pengecilan ukuran bahan kimia dilakukan dengan penumbukan bahanbahan formula dispersi dalam guci dan bola-bola keramik. Alumunium silikat dan natrium sulfonat berfungsi sebagai bahan pendispersi. Pembuatan dispersi menggunakan formula yang disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Formula pembuatan dispersi 50% kompon sebutret Nama Bahan
Jumlah (gr)
Bahan kimia padatan
100
Alumunium silikat (bentonit)
0,5
Natrium sulfonat (Darvan)
4,5
Air
95 Bahan kimia yang lain (KOH dan Kalium laurat) dibuat larutan.
Pembuatan larutan KOH 10% dilakukan dengan melarutkan 10 gram KOH padatan dengan akuades menjadi 100 ml larutan. Pembuatan Kalium Laurat 20% dengan cara mereaksikan 47,06 gr KOH padatan dengan 168,07 gr asam laurat serta 784,87 ml air kemudian diaduk selama 25-30 menit.
3.3.3. Pembuatan Kompon Sebutret Lateks pekat sentrifusi yang telah diuji dan memenuhi syarat dicampur dengan bahan-bahan dispersi dan larutan kimia pembuat kompon. Komposisi kompon sebutret dapat dilihat pada Tabel 10. Lateks
yang akan digunakan untuk pembuatan satu sampel kecil dengan ukuran 25x25x3,3 cm adalah setara dengan kadar karet kering 50 gr. Dalam penelitian ini lateks pekat yang digunakan mengandung karet kering sebesar 59,71%. Kadar Karet Kering lateks digunakan sebagai dasar penghitungan komposisi pembuatan kompon. Tabel 12. Komposisi bahan untuk kompon sebutret (Sinurat et al, 2001) Bahan Lateks pekat, KKK 60% Kalium laurat, larutan 20% KOH, larutan 10%
Bagian perseratus Karet Kering 100 0.8 0.3
Jumlah (gr) Berat Basah 167 4 3
Dispersi ZDEC 50%
1.5
3
Dispersi ZMBT 50% ZnO 50%
1 5
2 10
BHT, dispersi 50%
1
2
Sulfur, dispersi 50%
2.5
5
Bahan-bahan kimia dimasukkan ke dalam lateks sesuai dengan urutan dalam Tabel 12. Diagram alir proses pembuatan kompon disajikan pada Gambar 9. Pencampuran bahan kimia ke dalam lateks disertai dengan pengadukan. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya penggumpalan lateks dan mempercepat proses homogenisasi dispersi bahan kimia ke dalam lateks. Pengadukan dilakukan dengan menggunakan magnetik stirer. Kompon yang telah dibuat diperam selama 3 hari (Indriati, 2004). Tujuan dari proses pemeraman atau penyimpanan adalah untuk meningkatkan kemantapan kompon dan memungkinkan terjadinya peningkatan viskositas dan proses pravulkanisasi yang mempengaruhi sifat barang jadi lateks. Selama pemeraman juga dilakukan pengadukan untuk mencegah adanya pengendapan bahan-bahan kimia. Sesudah pemeraman maka kompon siap digunakan.
Lateks Pekat Sentrifusi
Uji KKK, KJP, WKM, kadar amoniak, KOH, ALE Bahan kimia Kompon
Pencampuran
Pemeraman 3 Hari
Kompon lateks
Gambar 9. Diagram alir pembuatan kompon (Sinurat, 2003) 3.3.4. Pembuatan Sampel Sebutret 3.3.4.1.Penelitian Tahap I Kajian yang dilakukan dalam penelitian tahap I adalah untuk mengetahui pengaruh lama waktu pengeringan awal terhadap sampel sebutret. Hasil akhir dari penelitian tahap I ini adalah waktu pengeringan awal yang tepat sehingga diperoleh sebutret yang terbaik. Sampel pada penelitian tahap satu terdiri dari satu lapis berukuran 25x25x3,3 cm, dengan menggunakan serat sebanyak 40 gram dan bahan karet kering 50 gr. Masing-masing perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Penyemprotan dan pengeringan awal dimaksudkan untuk menguatkan ikatan antar serat sehingga serat akan mampu mempertahankan
bentuknya
apabila
dilakukan
penyemprotan
kompon yang lebih banyak. Pada penyemprotan awal, jumlah kompon adalah 30% dari jumlah keseluruhan kompon. Jumlah ini diharapkan cukup untuk mengikat serat tanpa mengubah bentuk keritingnya. Jumlah keseluruhan kompon yang disemprotkan adalah 130,95 gr. Jumlah ini ditentukan berdasarkan perbandingan jumlah serat dan kadar karet kering yaitu 40:50 (gr) untuk sampel kecil berukuran 25x25x3,3 cm. Penghitungan efisiensi penyemprotan 75% berdasarkan
pada penelitian Martini (2007). Penyemprotan
dilakukan pada kedua permukaan serat. Diharapkan dengan cara ini akan didapat penyebaran kompon yang lebih merata.
Lapisan Tipis Serat
Penyemprotan Awal 30%
1. Pengeringan Awal pada suhu 100-110oC selama 5, 10, 15, 20 menit 2. 120 menit pada suhu ruang Penyemprotan akhir 70%
Pengempaan dalam Cetakan
Vulkanisasi 100-110oC selama 60 menit
SEBUTRET
Uji Kerapatan Massa Uji Tegangan Pampat Uji Pampatan Tetap Uji ketahanan usang
Gambar 10. Diagram alir pembuatan sebutret (Sinurat, 2003) Penyemprotan awal dilakukan pada ketinggian sekitar 70-80 cm dari cetakan. Kecepatan penyemprotan 0,22 m/ detik dengan tekanan udara 5-8 bar. Sesudah penyemprotan serat maka dilakukan pengeringan awal pada suhu 100-110oC. Pengeringan berfungsi untuk menguapkan air dalam kompon dan diduga telah terjadi proses vulkanisasi awal. Taraf waktu pengeringan awal yang digunakan dalam penelitian tahap ini adalah 5, 10, 15, dan 20 menit pada suhu oven 100-110oC dan selama 120 menit pada suhu udara luar. Selanjutnya sampel divulkanisasi selama 60 menit pada suhu 100110oC. Hasil uji sifat fisik terbaik dari penelitian tahap I ini akan digunakan sebagai acuan pada penelitian tahap II. Sifat fisik yang diuji adalah adalah kerapatan massa, pampatan tetap 50% pada suhu ruang dan suhu 70oC, tegangan pampat 50% dan 40%, serta ketahanan usang. Metode pengujiannya terlampir dalam lampiran 3.
3.3.4.2. Penelitian Tahap II Lingkup kegiatan penelitian tahap II meliputi pembuatan sampel sebutret dengan perlakuan waktu vulkanisasi 60, 70, 80, 90 dan 100 menit pada suhu 95-105oC dan 105-115oC. Penelitian tahap II bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan mendapatkan kombinasi suhu dan waktu vulkanisasi sebutret yang lebih tebal sebagai bahan baku industri kasur. Waktu dan suhu vulkanisasi terbaik ditentukan berdasarkan karakteristik fisik terbaik produk yang meliputi kerapatan massa, pampatan tetap 50% pada suhu ruang dan suhu 70oC, tegangan pampat 50% dan 40%, serta ketahanan usang. Sampel dalam penelitian tahap II ini terdiri dari tiga sampel kecil yang ditumpuk untuk mencapai ketebalan ± 10 cm. Gambar 11 menunjukkan diagram alir proses pembuatan sebutret pada penelitian tahap II. Masing-masing perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Lapisan Tipis Serat
Penyemprotan Awal 30%
Pengeringan Awal (hasil penelitian tahap I)
Penyemprotan akhir 70%
Penumpukan Lapisan Tipis
Pengempaan dalam Cetakan (tinggi ± 10 cm)
Vulkanisasi 95-105oC, 105-115oC selama 60, 70, 80, 90, 100 menit
SEBUTRET
Uji Kerapatan Massa Uji Tegangan Pampat Uji Pampatan Tetap Uji Ketahanan Usang
Gambar 11. Diagram alir pembuatan sebutret (modifikasi Sinurat, 2003)
3.4. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan dalam penelitian tahap I adalah Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor yaitu lama waktu pengeringan. Pengamatan yang dilakukan adalah kerapatan massa, pampatan tetap 50% pada suhu ruang dan suhu 70oC, tegangan pampat 50% dan 40%, serta ketahanan usang. Apabila hasil analisis keragaman menunjukkan adanya pengaruh dan perbedaan maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji lanjut Duncan. Model rancangan percobaannya adalah :
Yij = µ + Ai + εij Keterangan: Yij
= nilai pengamatan
µ
= rata-rata umum
Ai
= pengaruh faktor A pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5)
εijk
= error
A
= waktu pengeringan awal (5,10,15,20 menit pada suhu 100-110oC dan 120 menit pada suhu ruang) Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian tahap II adalah
rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua variable yaitu waktu vulkanisasi (A), dan suhu vulkanisasi (B). Parameter yang diamati dalam penelitian ini sama dengan pengamatan pada penelitian tahap I. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijkl Keterangan: Yijk
= nilai pengamatan
µ
= rata-rata umum
Ai
= pengaruh faktor A pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5)
Bj
= pengaruh faktor B pada taraf ke-j (j = 1, 2)
(AB)ij = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j εijk
= error
A
= waktu vulkanisasi (60, 70, 80, 90, dan 100 menit)
B
= suhu vulkanisasi (95-105oC, dan 105-115oC)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.PENELITIAN TAHAP I Penelitian tahap I ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pengeringan awal terhadap sifat fisik sebutret yang dihasilkan. Sifat fisiknya antara lain kerapatan massa, pampatan tetap 50% pada suhu ruang dan suhu 70oC, tegangan pampat 50% dan 40%, serta ketahanan usang. Selain itu tujuan khususnya adalah untuk menentukan lama waktu pengeringan awal untuk menghasilkan sebutret yang terbaik. Proses pemanasan akan menguapkan air sehingga jarak antar partikel karet semakin dekat. Jarak tersebut memungkinkan ikatan silang antar partikel terbentuk, sehingga mobilitas partikel karetnya terhenti (Ho, 2000). Proses pengeringan awal bertujuan untuk memperkuat ikatan antar serat keriting yang telah disemprot kompon. Apabila ikatan antar serat kuat, maka serat dapat menahan beban tumpukan lapisan dan penyemprotan kompon berikutnya. Proses pengeringan dapat menguapkan air yang terdapat dalam kompon maupun serat. Kadar air yang berkurang dalam kompon akan membuat jarak antar partikel karet semakin kecil sehingga dimungkinkan akan terjadi proses vulkanisasi atau pengikatan silang antar partikel karet. Dalam proses pengeringan tidak diharapkan terjadi proses vulkanisasi karena setelah penyemprotan kedualah akan dilakukan proses vulkanisasi sesungguhnya. Proses vulkanisasi yang berlebih akan membuat sifat vulkanisat tidak optimal. Perlakuan pengeringan awal dilakukan pada suhu 100-110oC selama 5, 10, 15 dan 20 menit, serta dilakukan pada suhu udara luar selama 120 menit. Pada penelitian sebelumnya, pemanasan awal dilakukan pada suhu 100oC selama 15-20 menit (Sinurat,2003). Pemilihan range suhu sebesar 10oC dilakukan untuk mendekatkan pada aplikasi pemakaian oven vulkanisasi sebutret hasil penelitian Sinurat (2003). Sampel yang mengalami pengeringan divulkanisasi selama 60 menit pada suhu 100110oC.
Alternatif pengeringan suhu udara dilakukan untuk mengetahui keefektifan pengeringan dengan menggunakan suhu rendah tanpa penggunaan pemanasan dalam oven. Waktu 120 menit diharapkan cukup mewakili pengeringan pada suhu ruang. Sampel yang dibuat pada penelitian tahap I ini berukuran 25 x 25 cm dengan ketinggian kurang lebih 3,3 cm. Sampel ini akan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sampel yang lebih tebal.
4.1.1. Kerapatan Massa Kerapatan massa merupakan massa suatu benda persatuan volumenya. Massa serat sabut kelapa berkaret merupakan massa dari serat kelapa, vulkanisat lateks dan udara yang terperangkap di dalamnya. Hasil pengujian kerapatan massa dapat dilihat pada Gambar 12. Hasil pengujian kerapatan massa menunjukkan kerapatan massa sebutret yang dihasilkan berkisar 47,97 kg/m3 sampai 48,33 kg/m3. Kerapatan massa sampel yang dibuat masuk dalam kelas sebutret yang lembut. Hasil analisis keragaman menunjukkan tidak adanya pengaruh antara waktu pengeringan awal dengan kerapatan massa. 6 0 .0 0 5 0 .0 0 4 0 .0 0 3 0 .0 0 2 0 .0 0 10 . 0 0 0 .0 0 5
10
15
20
Wa k t u p e n g e rin g a n ( m e n it ) s uhu p eng ering an 10 0 -110
s uhu p eng ering an ud ara (12 0 menit )
Gambar 12. Grafik pengaruh waktu pengeringan awal terhadap kerapatan massa sebutret
Penghitungan awal tingkat efisiensi penyemprotan adalah 75%. Kadar karet kering yang diinginkan untuk mengikat serat adalah 50 gr. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan sebutret dengan kelas soft atau lembut. Kelas ini mempunyai standar kerapatan massa 40-59 kg/m3 (IS 8391-1977). Secara teknis dalam penelitian ternyata efisiensi penyemprotan berkisar 85-90% sehingga karet yang mengikat serat mencapai 60 gr. Perbedaan ini masih dalam batas sebutret kelas yang soft atau lembut. Kelas-kelas serat sabut kelapa berkaret dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Empat kelas produk sebutret (IS 8391-1977) Densitas (kg/ m3)
Kelas Soft (lembut)
40-59
Medium
60-69
Firm (rapat)
70-79
Extra firm (ekstra rapat)
80-99
Perbedaan kerapatan lebih banyak disebabkan oleh perbedaan jumlah karet yang terdapat pada sebutret. Bobot karet yang beragam terjadi karena proses penyemprotan kompon yang kurang baik. Lateks yang telah dicampur bahan-bahan kimia mempunyai
viskositas
yang
relatif
tinggi
sehingga
akan
menimbulkan efek penyumbatan. Selain itu kemantapan mekanis kompon yang kurang baik akan membuat molekul-molekul lateks dalam kompon menggumpal. Hal tersebut mengakibatkan semakin besar kemungkinan penyumbatan. Penyumbatan-penyumbatan yang terjadi akan mengurangi bobot kompon yang tersemprot, sehingga masing-masing sampel mempunyai keragaman jumlah karet. Penggunaan alat penyemprotan yang otomatis sangat dianjurkan untuk mengurangi keragaman karet yang tersemprot.
Selain itu hendaknya dilakukan pemilihan bahan pelapis alat penyemprot yang tidak membuat karet lengket sehingga tidak terjadi penyumbatan. Perbedaan
ukuran
sampel
juga
berpengaruh
dalam
penentuan kerapatan massa. Perbedaan yang besar telah dapat diatasi dengan proses penekanan menggunakan cetakan. Hasil penelitian Martini (2007), kerapatan massa sebutret dengan perbandingan serat dan karet 40:60 adalah 23,69-24,75 kg/m3. Sebutret yang dihasilkan mempunyai ukuran 25x25x6 cm. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan massa produk sebutret lebih dipengaruhi oleh bobot dan ukuran sebutret itu sendiri. Standar kerapatan massa busa karet alam adalah 100-140 kg/ m3 (SNI 06-0999-1989). Standar karet busa poliuretan lentur atau karet busa sintetis adalah 28-35 kg/ m3 untuk tipe I, 21-27 kg/ m3 untuk tipe II, 16-20 kg/ m3 tipe III, 12-15 kg/ m3 tipe IV (SNI 06-1004-1989). Produk sebutret mempunyai kerapatan massa yang lebih kecil daripada karet busa alam, sehingga dapat dikatakan sebutret lebih ringan daripada busa karet alam. Hal ini merupakan salah satu kelebihan sebutret jika dibandingkan dengan busa karet alam. Apabila sebutret dibandingkan dengan karet busa sintetis, maka sebutret lebih berat.
4.1.2. Pampatan Tetap 50% Pampatan tetap merupakan salah satu parameter uji elastisitas suatu vulkanisat. Elastisitas adalah kemampuan suatu bahan untuk kembali ke bentuk semula setelah mengalami pembebanan (Sinurat, 2001). Beban yang digunakan pada pengujian pampatan tetap termasuk beban tetap dalam jangka waktu yang telah ditentukan (beban statis). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pampatan tetap pada suhu ruang berada pada kisaran 17,89% sampai 20,17%. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya. Pampatan tetap
50% pada suhu ruang yang dilakukan oleh Martini (2007) sebesar 17,00-19,42%. Data hasil pengujian pampatan tetap pada suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 13. Dari hasil analisis ragam, nilai pampatan tetap pada suhu ruang tidak terdapat perbedaan dari masing-masing taraf perlakuan. Untuk lebih mengetahui perbedaan dari masing-masing taraf terhadap sifat pampatan tetap maka dilakukan pengujian pampatan tetap pada suhu 70oC. Pengujian pampatan tetap pada suhu 70oC dimaksudkan untuk menciptakan kondisi ekstrim guna mewakili pemakaian produk dalam jangka waktu yang lama. Vulkanisat apabila disimpan dalam jangka waktu lama akan terjadi proses oksidasi. Proses oksidasi ini dalam pengujian laboratorium diwakili dengan pemakaian suhu tinggi (70oC), sesuai dengan standar SNI untuk karet busa alam dan busa sintetis. 2 5 .0 0 2 0 .0 0 15 . 0 0 10 . 0 0 5 .0 0 0 .0 0 5
10
15
20
Wa k t u p e n g e rin g a n ( m e n it ) s uhu p eng ering an 10 0 -110
s uhu p eng ering an ud ara (12 0 menit )
Gambar 13. Grafik pengaruh waktu pengeringan awal terhadap pampatan tetap sebutret pada suhu ruang Hasil pengujian pampatan tetap pada suhu 70oC nilai terendah terdapat pada perlakuan suhu pengeringan 15 menit, yaitu sebesar 26,09% untuk suhu 70oC. Makin kecil nilai pampatan tetap maka produk yang dihasilkan makin elastis. Hasil pengujian pampatan tetap pada suhu 70oC disajikan pada Gambar 14. Hasil analisa uji keragaman menunjukkan bahwa nilai pampatan tetap dengan pemeraman pada suhu 70oC dipengaruhi
oleh lama waktu pengeringan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan perbedaan waktu pengeringan awal, sifat pampatan tetap sebutret setelah mengalami proses oksidasi memiliki perbedaan. Oksidasi akan menyebabkan terputusnya ikatan-ikatan dalam polimer. Ikatan yang mudah putus dalam vulkanisat antara lain ikatan rangkap dua dalam polimer karet dan ikatan silang yang dihasilkan oleh penambahan sulfur. Pada proses pengeringan awal, dimungkinkan sudah terjadi proses vulkanisasi. Penyempurnaan proses vulkanisasi terjadi ketika
dilakukan
pemanasan
kedua
(proses
vulkanisasi).
Kemungkinan yang terjadi adalah pada waktu sebelum 15 menit, jumlah ikatan silang belum terjadi secara optimal. Pada waktu sesudah 15 menit, apabila dikombinasikan dengan proses vulkanisasi terjadi over vulkanisasi. Kompon yang disemprotkan sebelum pengeringan awal adalah sebesar 30% dari jumlah kompon keseluruhan. Dengan demikian, pengeringan awal dapat memberikan pengaruh yang berarti pada proses vulkanisasi selanjutnya. Selain itu pada waktu pengeringan awal 5 menit pada suhu 100-110oC dan pengeringan 120 menit pada suhu ruang, ikatan antar serat kurang kuat, sehingga ketika dilakukan penyemprotan kedua, sampel kurang dapat mempertahankan bentuknya. Hal ini menandakan lama waktu tersebut kurang tepat untuk dijadikan waktu pengeringan awal, karena proses ini bertujuan untuk mempertahankan bentuk keriting serat sehingga mampu menahan beban tumpukan sit tipis dan penyemprotan yang lebih besar. Selain dipengaruhi oleh serat-serat keriting yang bersifat elastis, kepegasan sebutret juga dipengaruhi oleh lapisan karet yang membalut serat-serat keriting dan kekuatan ikatan perpotongan masing-masing serat oleh karet sehingga menjadi agak kaku dan cenderung kembali kepada posisi awal pada saat dibebani (Sinurat,2001).
3 5 .0 0 3 0 .0 0 2 5 .0 0 2 0 .0 0 15 .0 0 10 .0 0 5 .0 0 0 .0 0 5
10
15
20
Wa ktu pe ng e ring a n (me nit) s uhu p eng ering an 10 0 -110
s uhu p eng ering an ud ara (12 0 menit )
Gambar 14. Grafik Pengaruh Waktu Pengeringan Awal Terhadap Pampatan Tetap Sebutret Pada Suhu 70oC Sekalipun serat keriting mempunyai sifat elastis, tetapi apabila diberi beban yang kontinyu dalam waktu yang lama serat akan kehilangan bentuk keritingnya. Kemampuan serat keriting untuk kembali kebentuk semula sesudah pembebanan statis tidak dapat bertahan lama apabila tidak dibantu dengan adanya karet yang mengikat persinggungan serat. Nilai pampatan tetap maksimum pada suhu 70oC untuk busa sintetis dan busa karet alam adalah 10% (SNI 06-1004-1989 dan SNI 06-0999-1989). Nilai pampatan tetap sebutret berada jauh di atas karet busa sintetis maupun karet busa alam. Hal ini berarti bahwa elastisitas sebutret lebih rendah dari busa karet alam dan busa sintetis. Hal mendasar yang menyebabkan perbedaan ini adalah karena sebutret merupakan produk komposit antara serat dan karet, dimana sifat elastis serat tidak sebaik karet.
4.1.3. Ketahanan Usang Pengusangan adalah perlakuan yang bertujuan untuk mengetahui kemunduran sifat fisik vulkanisat setelah jangka waktu lama. Pada pengusangan, terjadi proses oksidasi yang dipercepat dengan suhu tinggi. Pengusangan dapat digunakan sebagai simulasi penyimpanan dan pemakaian vulkanisat di ruang terbuka untuk jangka waktu lama.
Ketahanan usang dinyatakan dalam persentase perbedaan hasil uji sifat fisik sebelum pengusangan dan setelah pengusangan dibagi dengan sifat sebelum pengusangan. Dalam penelitian ini ketahanan usang hanya dilakukan untuk uji pampatan tetap. Makin besar nilai ketahanan usang atau kemunduran nilai pampatan tetap, maka produk tersebut semakin tidak dapat bertahan lama. Data hasil pengujian ketahanan usang penelitian tahap I dapat dilihat pada Gambar 15. 5 0 .0 0 4 0 .0 0 3 0 .0 0 2 0 .0 0 10 .0 0 0 .0 0 5
10
15
20
Wa ktu pe ng e ring a n (me nit) s uhu p eng ering an 10 0 -110
s uhu p eng ering an ud ara (12 0 menit )
Gambar 15. Grafik pengaruh waktu pengeringan awal terhadap ketahanan usang Dari hasil sidik ragam, ketahanan pengusangan yang dihasilkan tidak terdapat perbedaan nyata dari tiap-tiap perlakuan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa waktu pengeringan 15 menit memberi persentase kemunduran sifat pampatan tetap yang terkecil yaitu 45,98%. Persentase kemunduran sifat pampatan tetap terbesar terdapat pada waktu pengeringan 120 menit pada suhu ruang yaitu sebesar 50,85%. Hal ini menunjukkan bahwa pada lama waktu pemanasan awal 15 menit, sebutret yang dihasilkan lebih tahan terhadap panas yang merupakan simulasi ketahanan dalam pemakaian. Ketahanan terhadap panas dan oksidasi dipengaruhi oleh jenis ikatan silang pada vulkanisatnya.
Proses pemanasan awal yang dilakukan pada suhu rendah (suhu udara ±30oC), akan membuat laju penguapan air dalam kompon menjadi lambat sehingga reaksi vulkanisasi awal belum terjadi. Apabila diteruskan dengan proses penyemprotan kedua dan divulkanisasi, jumlah ikatan silang dalam karet menjadi belum optimal. Dalam praktek, ketahanan pengusangan barang jadi lateks atau karet dapat ditingkatkan dengan cara menambahkan antioksidan dalam penyusunan formulasi kompon. Antioksidan berfungsi melindungi karet dari kerusakan akibat oksidasi. Penambahan antioksidan yang lebih banyak dapat mencegah pengaruh
pengusangan
yang
lebih
besar,
sehingga
umur
penggunaan produk karet lebih lama (Alfa, 2002).
4.1.4. Tegangan Pampat Tegangan pampat merupakan salah satu pengujian sifat fisik vulkanisat karet. Prinsip pengujian ini adalah produk ditekan hingga ketinggian mencapai 50% dari ketinggian awal, dan dibaca besar beban untuk menekan persatuan luas produk. Pengujian ini digunakan untuk mengetahui kekuatan bahan menahan beban. Semakin besar nilai tegangan pampat maka semakin kuat bahan itu. Menurut Indriati (2004), tegangan pampat dipengaruhi oleh kandungan karet dan komponen zat padat dari bahan dispersi di dalam vulkanisat. Hasil reaksi komponen karet dan zat padat (bahan dispersi) mengakibatkan vulkanisat menjadi elastis dan bersifat padat. Kemampuan bahan untuk menahan beban ini dipengaruhi oleh komposisi bahan, elastisitas, kekompakan atau kerapatan, dan plastisitas serat ( Martini, 2007). Hasil pengujian tegangan pampat 40% disajikan pada Gambar 17. Nilai tegangan pampat 40% sampel sebutret berada pada kisaran 545,1 kg/ m2 sampai 686,5 kg/ m2. Berdasarkan hasil uji
anova, tegangan pampat 40% tidak dipengaruhi oleh lamanya waktu pengeringan. Pengujian tegangan pampat menggunakan pembebanan sementara dalam waktu yang relatif singkat. Adanya pembebanan yang singkat, kekuatan bahan diwakili oleh kekuatan serat dan karet. 7 0 0 .0 0 6 0 0 .0 0 5 0 0 .0 0 4 0 0 .0 0 3 0 0 .0 0 2 0 0 .0 0 10 0 .0 0 0 .0 0 5
10
15
20
Wa k t u p e n g e rin g a n ( m e n it ) s uhu pe nge ringa n 100-110
s uhu pe nge ringa n uda ra (120 m e nit)
Gambar 16. Pengaruh waktu pengeringan awal terhadap tegangan pampat 40% produk sebutret Sifat kekerasan dari sebutret didapat dari adanya komponen serat kelapa yang banyak kandungan selulosa (45,84%) dan lignin (43,44%) (Joseph dan Kindangen, 1993). Selain itu kekuatan menahan beban juga didapat dengan adanya ikatan antar serat yang telah didukung dengan karet. Serat keriting apabila diberi beban yang besar dalam jangka waktu tertentu akan kehilangan bentuk keritingnya. Untuk membuat bentuk keriting lebih permanen, maka ditambahkan karet untuk mengikat persinggungan serat. Tegangan
pampat
40%
ini
dilakukan
untuk
membandingkan dengan standar kekerasan karet busa alam yang menggunakan prinsip uji yang sama. Standar nilai kekerasan karet busa alam adalah 353,8-495,4 kg/m2. Hal ini menunjukkan bahwa produk sebutret lebih keras dan lebih kuat menahan beban daripada busa karet alam. Dari hasil analisis ragam nilai tegangan pampat 40% tidak menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan pengujian tegangan
pampat 50%. Data hasil pengujian tegangan pampat 50% dapat dilihat pada Gambar 16. Lama waktu pengeringan awal mempengaruhi jumlah ikatan silang pada vulkanisat. Berdasarkan hasil uji anova, tegangan pampat 40% dan 50% tidak dipengaruhi oleh lamanya waktu pengeringan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa jumlah ikatan silang vulkanisat pada range waktu pengeringan awal yang dilakukan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada sifat tegangan pampat. 10 0 0 .0 0 8 0 0 .0 0 6 0 0 .0 0 4 0 0 .0 0 2 0 0 .0 0 0 .0 0 5
10 15 Wa ktu pe ng e ring a n ( me nit )
s uhu p eng ering an 10 0 -110
20
s uhu p eng ering an ud ara (12 0 menit )
Gambar 17. Pengaruh waktu pengeringan awal terhadap tegangan pampat 50% produk sebutret Hasil pengujian tegangan pampat 50% terendah adalah 722,0 kg/ m2 pada lama waktu pengeringan 10 menit. Tegangan pampat tertinggi terdapat pada lama pengeringan 120 menit pada pengeringan suhu udara (±30oC) sebesar 913,3 kg/ m2. Nilai ini dihasilkan dari sebutret dengan kerapatan massa 47,97 kg/m3 sampai 48,33 kg/m3. Nilai tegangan pampat 50% hasil penelitian Martini (2007) berada pada kisaran 211,6-253,9 kg/ m2. Tegangan pampat ini dihasilkan dari sampel dengan kerapatan massa 25,8430,04 kg/ m3. Dari hasil di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan sifat tegangan pampat lebih dipengaruhi oleh kerapatan massa. Kerapatan massa suatu bahan dipengaruhi oleh bobot dan
volume. Perbedaan kerapatan massa dari sampel yang di uji adalah karena perbedaan bobot karet yang mengikat serat. Apabila karet yang mengikat jalinan serat keriting makin banyak maka ikatan antar serat semakin kuat sehingga bahan akan makin dapat menahan beban.
4.1.5. Penentuan Waktu Pengeringan Terbaik Hasil pengujian sifat fisik sebutret dari perlakuan lima taraf waktu pengeringan korelasi dengan suhu, sifat fisik yang dipengaruhi oleh lama waktu pengeringan adalah pampatan tetap suhu 70oC. Sifat-sifat fisik lainnya seperti kerapatan massa, pampatan tetap suhu ruang, ketahanan pengusangan, tegangan pampat 40%, dan tegangan pampat 50% setelah dilakukan uji anova tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dalam tiap perlakuan. Data keseluruhan sifat fisik sebutret hasil penelitian tahap I dapat dilihat pada Lampiran 4. Produk sebutret ini belum mempunyai standar yang bisa dijadikan acuan dalam menentukan sebutret yang terbaik. Pengambilan
keputusan
didasarkan
pada
sifat
fisik
yang
mengalami perbedaan signifikan yaitu sifat pampatan tetap pada suhu 70oC. Nilai pampatan tetap 70oC terendah dan yang berbeda diantara perlakuan terdapat pada perlakuan lama waktu pemanasan awal 15 menit pada range suhu 100-110oC yaitu sebesar 26,09%. Penentuan waktu pengeringan awal ini akan dijadikan acuan untuk penelitian tahap II.
4.2. PENELITIAN TAHAP II Penelitian tahap II ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu proses vulkanisasi terhadap sifat fisik serat sabut kelapa berkaret yang tebal. Sifat fisik yang diuji meliputi kerapatan massa, pampatan tetap 50% pada suhu ruang dan suhu 70oC, tegangan pampat 50% dan 40%, serta
ketahanan usang. Proses pengeringan awal dilakukan selama 15 menit pada suhu 100-110oC yang merupakan hasil penelitian tahap I. Serat sabut kelapa berkaret dalam penelitian ini khususnya untuk aplikasi pembuatan kasur yang mempunyai ketebalan kurang lebih 10 cm. Pencapaian ketebalan sampel ini dilakukan dengan menumpuk tiga sampel kecil sesudah proses penyemprotan kedua, kemudian ditekan hingga didapat ketinggian yang diinginkan. Variasi lama vulkanisasi adalah 60, 70, 80, 90 dan 100 menit. sedangkan variasi suhu vulkanisasi yang dilakukan adalah suhu 95-105oC dan suhu 105-115oC. Penentuan taraf waktu dan suhu vulkanisasi berdasar pada penelitian Sinurat (2003) yaitu, lama proses vulkanisasi sekitar 60-100 menit pada suhu antara 100-110oC. Pemilihan range suhu sebesar 10oC dilakukan untuk mendekatkan pada aplikasi pemakaian oven vulkanisasi sebutret hasil penelitian Sinurat (2003).
4.2.1. Kerapatan Massa Kerapatan massa merupakan perbandingan antara massa suatu benda dengan volumenya yang dinyatakan dalam satuan kg/m3. Hasil penelitian menunjukkan kerapatan massa terendah adalah pada waktu vulkanisasi selama 60 menit pada range suhu 95-105oC yaitu sebesar 49,30 kg/m3. Kerapatan tertinggi terdapat pada waktu vulkanisasi selama 100 menit pada range suhu 105-115oC yaitu sebesar 55,33 kg/m3. Hasil uji kerapatan massa ini menunjukkan bahwa sebutret yang dihasilkan merupakan kelas sebutret yang soft atau lembut (40-59 kg/m3). Gambar 18 menyajikan pengaruh waktu dan suhu vulkanisasi terhadap kerapatan massa kasur sebutret. Penelitian ini mempunyai perbedaan nilai kerapatan massa dengan penelitian sebelumnya karena terdapat perbedaan ukuran ketinggian sampel yang dibuat. Dari hasil uji statistik dapat diketahui bahwa kerapatan massa tidak dipengaruhi oleh waktu dan suhu vulkanisasi. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Lampiran 7.
6 0 .0 0 5 0 .0 0 4 0 .0 0 3 0 .0 0 2 0 .0 0 10 .0 0 0 .0 0 60
70
80
90
10 0
Wa ktu Vulka nis a s i (me nit) S uhu vulka nis a s i 95-105 C
S uhu vulka nis a s i 105-115 C
Gambar 18. Pengaruh waktu dan suhu vulkanisasi terhadap kerapatan massa produk sebutret Hasil penelitian Indriati (2004), kerapatan massa dipengaruhi oleh umur pemeraman kompon, kadar karet kering dan interaksi keduanya. Kerapatan massa rata-rata hasil penelitiannya dengan KKK 60% adalah 25,13-36,60 kg/m3. Sampel pada penelitian ini berukuran 25x25x5 cm, dengan menggunakan serat 40 gr dan kompon 100 gr. Pada permulaan
vulkanisasi, peningkatan bobot molekul
dapat dideteksi. Salah satu karakteristik vulkanisasi adalah peningkatan bobot molekul (Polhamus, 1962). Peningkatan bobot molekul ini terjadi akibat ikatan silang yang akan membuat rantai polimer makin panjang. Rantai polimer karet yang pada mulanya berupa rantai lurus akan menjadi bentuk tiga dimensi dengan adanya ikatan silang oleh sulfur. Perubahan bobot molekul akan terlihat melalui peningkatan bobot barang jadi karet ataupun lateks setelah proses vulkanisasi berlangsung. Tetapi dalam aplikasi pembuatan barang jadi komposit antara lateks dan serat kelapa, terdapat kendala teknis yang membuat perubahan bobot menjadi bias. Kendala teknis ini terjadi pada proses penyemprotan lateks. Untuk itu parameter bobot dan kerapatan
massa tidak dijadikan parameter yang penting dalam pengambilan keputusan. Lateks dengan viskositas yang tinggi (58,90 cp), setelah menjadi kompon dengan pemeraman tiga hari maka viskositasnya akan naik dengan drastis menjadi 93,47 cp (Indriati, 2004). Tingginya viskositas ini akan menyebabkan penyumbatan selama penyemprotan yang akan berakibat berkurangnya efisiensi proses penyemprotan. Hal inilah yang mengakibatkan keragaman jumlah kompon yang tersemprot.
4.2.2. Pampatan Tetap 50% Salah satu pengujian elastisitas suatu produk karet adalah dengan uji pampatan tetap. Pampatan tetap pada suhu ruang untuk vulkanisasi selama 60 menit pada suhu 95-105oC sebesar 16,22 %. Nilai ini adalah nilai tertinggi dari semua pengamatan. Hal ini dapat terjadi karena proses terbentuknya ikatan silang belum sempurna. Pada suhu vulkanisasi 95-105oC terjadi penurunan nilai pampatan tetap pada menit ke 70 yaitu sebesar 14,60%. Diduga bahwa 70 menit pada suhu 95-105oC adalah waktu optimum vulkanisasi.
Pampatan tetap (%)
Gambar 19 menunjukkan data hasil uji pampatan tetap suhu ruang. 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 60
70
80
90
100
Waktu vulkanisasi (me nit) Suhu vulkanis as i 9 5-10 5 C
Suhu vulkanis as i 10 5-115 C
Gambar 19. Pengaruh waktu dan suhu vulkanisasi terhadap pampatan tetap suhu ruang produk sebutret
Sifat elastisitas suatu barang jadi karet ditimbulkan karena adanya ikatan silang antar partikel karet. Ikatan silang ini terjadi karena adanya proses vulkanisasi. Sifat pampatan tetap seharusnya dipengaruhi oleh besar suhu vulkanisasi dan lamanya vulkanisasi, karena sifat pampatan tetap 50% dipengaruhi oleh kekenyalan. Kekenyalan dipengaruhi oleh sempurna tidaknya proses vulkanisasi (Aprianita et al, 1985). Hasil uji anova (α=0,05) menyatakan bahwa nilai pampatan tetap pada suhu ruang produk sebutret tidak dipengaruhi oleh waktu dan suhu vulkanisasi. Seharusnya ada pengaruh waktu vulkanisasi pada sifat pampatan tetap suatu barang jadi karet ataupun lateks. Perbedaan nyata dari sifat pampatan tetap suhu ruang pada perlakuan dua faktor yaitu suhu dan waktu vulkanisasi belum dapat terlihat jelas, untuk itu dilakukan pengujian pampatan tetap pada suhu 70oC. Kondisi vulkanisasi yang tidak tepat akan menyebabkan vulkanisat kurang matang atau lewat matang (Laporan Tahunan, 1985). Pada suhu tertentu akan didapat waktu optimum proses vulkanisasi. Apabila waktu pemanasan kurang dari waktu optimum itu maka ikatan silang yang terjadi belum optimal sehingga akan mempengaruhi sifat barang jadi karet maupun lateks. Tetapi apabila waktu pemanasan yang diberikan melebihi waktu yang optimum maka akan terjadi over vulkanisasi, yaitu terputusnya ikatan silang maupun ikatan dalam polimer karet itu sendiri. Over vulkanisasi ini terlihat secara visual yaitu dengan timbulnya sifat lengket pada karet. Pada
range
perlakuan
lama
waktu
yang
diberikan
belum
menunjukkan gejala kelengketan. Nilai pampatan tetap sesudah aging pada suhu 70oC selama 22 jam mengalami kenaikan jika dibanding nilai pampatan tetap pada suhu ruang. Hal ini merupakan indikasi penurunan elastisitas. Data hasil uji pampatan tetap suhu 70oC dapat dilihat pada Gambar 20.
Pampatan Tetap (%)
4 0 .0 0 3 5 .0 0 3 0 .0 0 2 5 .0 0 2 0 .0 0 15 .0 0 10 .0 0 5 .0 0 0 .0 0 60
70
80
90
10 0
W aktu Vul kani sasi (me nit) Suhu vulkanis as i 9 5-10 5 C
Suhu vulkanis as i 10 5-115 C
Gambar 20. Pengaruh Waktu Dan Suhu Vulkanisasi Terhadap Pampatan Tetap Suhu 70oC Produk Sebutret Nilai terendah pampatan tetap sesudah aging adalah 27,72% yaitu pada pemanasan suhu 105-115oC selama 60 menit. Pada perlakuan ini, diduga jumlah ikatan sulfida sudah optimum sehingga apabila diberi perpanjangan waktu vulkanisasi, yang terjadi adalah terputusnya ikatan silang. Nilai tertinggi adalah 37,10% yaitu pada vulkanisasi selama 90 menit suhu 95-105oC. Nilai pampatan tetap yang tinggi diduga pada vulkanisat dengan waktu vulkanisasi yang lama terjadi reversi ikatan polisulfida yang kurang tahan terhadap proses oksidasi. Pada penelitian ini, terdapat perbedaan signifikan yang ditimbulkan oleh lama waktu vulkanisasi terhadap nilai pampatan tetap setelah aging. Perbedaan yang signifikan terjadi juga pada perlakuan suhu vulkanisasi. Kalor dari proses pemanasan diubah menjadi energi kinetik untuk menggerakkan partikel karet. Gerakan partikel karet yang cepat akan menimbulkan tumbukan antar partikel semakin sering. Bersamaan dengan berkurangnya air dalam kompon maka jarak antar partikel semakin dekat sehingga akan membuat overlap antar partikel semakin banyak. Komplek aktif sulfur juga akan dapat berdifusi kedalam partikel karet.
Penggunaan suhu vulkanisasi yang tinggi menyebabkan pergerakan partikel karet dan difusi kompleks aktif sulfur ke dalam partikel karet menjadi lebih cepat. Selain itu suhu yang tinggi akan dapat membuat ikatan dalam polimer menjadi lebih renggang sehingga mempermudah terjadinya adisi bahan kimia lainnya, dalam hal ini adalah sulfur. Pada persamaan Arrhenius, konstanta laju reaksi dipengaruhi oleh adanya faktor praeksponensial (A) dan eksponensial (e-Ea/RT). Faktor praeksponensial adalah ukuran laju tumbukan, terlepas dari energinya. Faktor eksponensial dapat ditafsirkan sebagai fraksi tumbukan yang mempunyai cukup energi untuk menghasilkan reaksi. Jadi hasil kali antara faktor praeksponensial dengan eksponensial menyatakan laju tumbukan yang berhasil (Atkins, 1999). Kenaikan suhu terjadinya reaksi akan menyebabkan kenaikan nilai konstanta laju, yang berarti kecepatan reaksi akan bertambah. Kecepatan terjadinya reaksi pembentukan ikatan silang pada range suhu 105-115oC lebih efektif jika dibanding pada range suhu 95-105oC. Adanya kalor yang tinggi menyebabkan energi kinetik dari partikel karet juga semakin tinggi, sehingga kompleks aktif sulfur pencepat dapat membentuk ikatan silang lebih efektif juga.
4.2.3. Ketahanan Usang Barang karet alam kurang tahan terhadap pengusangan Pengusangan dilakukan pada suhu tinggi (70oC) untuk mempercepat terjadinya oksidasi. Uji ini merupakan simulasi pemakaian vulkanisat dalam jangka waktu yang lama. Kemunduran nilai pampatan tetap yang terjadi sebelum dilakukan pengusangan dengan setelah dilakukan pengusangan dapat dilihat pada Gambar 21. Kemunduran terkecil terdapat pada waktu pemanasan selama 60 menit pada range suhu 105-115oC yaitu sebesar 88,43%. Sedangkan kemunduran terbesar dapat terlihat pada
waktu pemanasan 80 menit pada range suhu 95-105oC sebesar 155,15%. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan pengusangan pada karet adalah oksigen, ozon, panas dan cahaya. Sebagai akibat pengusangan, kekuatan karet alam menurun. Menurunnya sifat tersebut terutama disebabkan karena terjadinya oksidasi pada karet, oksidasi tersebut dipercepat pada suhu tinggi. Pada karet alam yang telah divulkanisasi dengan belerang, selama terjadi oksidasi pada suhu tinggi kecuali rantai molekul karet alam terputus, terjadi juga pemutusan pada rantai belerang yang membentuk ikatan silang antara molekul karet. Hasil pengujian ketahanan usang menunjukkan perbedaan yang signifikan pada perlakuan suhu, sedangkan pada perlakuan waktu terdapat perbedaan yang kurang signifikan. Hal yang mungkin terjadi adalah karena rentang waktu yang diberikan kurang lebar sehingga pengaruh lama waktu vulkanisasi terhadap ketahanan usang sifat pampatan tetap produk sebutret kurang dapat terlihat.
Kemunduran pampatan tetap (%)
16 0 .0 0 14 0 .0 0 12 0 .0 0 10 0 .0 0 8 0 .0 0 6 0 .0 0 4 0 .0 0 2 0 .0 0 0 .0 0 60
70
80
90
10 0
Waktu vulkanisasi (me nit) S uhu vulka nis a s i 95-105 C
S uhu vulka nis a s i 105-115 C
Gambar 21. Pengaruh waktu dan suhu vulkanisasi terhadap ketahanan usang produk sebutret
Pada waktu lebih dari 60 menit, diduga terjadi proses pemutusan ikatan silang karena pemanasan yang cukup lama. Rentang
waktu
pemanasan
yang
diamati
kurang
terlihat
perbedaannya, tetapi terdapat kecenderungan kenaikan persentase kemunduran sifat fisik. Hal ini berarti semakin lama waktu vulkanisasi maka produk sebutret semakin tidak tahan terhadap pengusangan dan apabila dipakai dalam waktu yang lama akan mengalami penurunan elastisitas yang cukup besar. Ikatan silang mono dan disulfidik lebih tahan terhadap pengusangan karena panas daripada ikatan silang polisulfidik. Selanjutnya ikatan siklik merupakan titik lemah bagi serangan oksidasi (Abednego, 1983). Selain ikatan polisulfidik, ikatan rangkap dari polimer karet sendiri juga merupakan ikatan yang tidak tahan terhadap oksidasi. Pada suhu vulkanisasi yang lebih tinggi maka dimungkinkan terbentuknya ikatan silang monosulfidik menjadi lebih efektif. Persentase penurunan nilai pampatan tetap dalam uji ketahanan usang ini mengalami perbedaan antara hasil pada penelitian tahap I dan tahap II. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan ketebalan yaitu 3,3 cm pada penelitian tahap I dan 10 cm pada penelitian tahap II. Perbedaan ketebalan ini membuat panas tidak tersebar ke dalam sebutret dengan kecepatan yang sama meskipun kecepatan alir udara yang digunakan sama. Perbedaan ini akan membuat jenis ikatan pada vulkanisat juga berbeda. Diduga dengan adanya perambatan panas yang cepat maka pembentukan ikatan silang monosulfidik akan lebih efektif. Pada sit yang tipis, lebih banyak ikatan monosulfidik yang lebih tahan terhadap pengusangan. Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang diperlukan untuk terjadinya tumbukan yang efektif. Semua molekul yang memiliki energi kinetik lebih besar dari energi minimum tersebut dapat melakukan reaksi. Fraksi total molekul yang memiliki
energi molekul dengan energi kinetik yang cukup untuk melakukan tumbukan yang efektif akan lebih besar pada suhu yang lebih besar. Sebagai hasilnya, jumlah molekul yang melakukan reaksi naik dengan kenaikan suhu dan dengan sendirinya akan menambah kecepatan reaksinya (Nur et al., 2004). Untuk mendapatkan barang jadi karet yang tahan terhadap pengusangan perlu penyesuaian sistem vulkanisasi dan ditambahkan antioksidan, antiozonan dan sebagainya, sedang bahan pengisi digunakan untuk memperkuat sifat fisik maupun memperbesar volume sehingga menekan biaya pengolahan (Honggokusumo,1998). Antioksidan yang ditambahkan adalah ionol (BHT).
4.2.4. Tegangan Pampat Uji tegangan pampat merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui kekuatan suatu bahan dalam menahan beban persatuan luas. Penekanan yang diberikan hingga mencapai ketinggian tertentu dinyatakan dalam satuan kg/m2. Hasil pengujian tegangan pampat 40% dapat dilihat pada Gambar 22. Nilai tegangan pampat 40% sampel sebutret berada pada kisaran 607,6 kg/ m2 sampai 792,8 kg/ m2. Berdasarkan hasil uji anova, tegangan pampat 40% tidak dipengaruhi oleh lamanya waktu vulkanisasi dan suhunya. Perbedaan hasil uji tegangan pampat dari masing-masing taraf terutama disebabkan oleh perbedaan kerapatan massa masing-masing sampel. Penurunan kerapatan ikatan silang akan menurunkan kekerasan vulkanisat, juga dipengaruhi oleh ikatan silang dan struktur ikatan silang yang terdapat pada vulkanisat. Kekerasan akan meningkat dengan meningkatnya kerapatan ikatan silang. Sebaliknya akan menurun jika kerapatan ikatan silang menurun (Juleha, 1992).
Tegangan pampat (kg/m2)
800 700 600 500 400 300 200 100 0 60
70
80
90
100
Waktu vulkanisasi (menit) S uhu vulka nis a s i 95-105 C
S uhu vulka nis a s i 105-115 C
Gambar 22. Pengaruh waktu dan suhu vulkanisasi terhadap tegangan pampat 40% produk sebutret Dalam barang jadi karet padat maupun lateks, kerapatan ikatan silang dapat langsung tercermin dengan peningkatan kekerasan. Sebutret merupakan produk komposit antara serat kelapa dan lateks, sehingga kekerasan dari produk ini tidak hanya dipengaruhi oleh sifat lateksnya saja tetapi juga serat yang digunakan. Nilai tegangan pampat dipengaruhi oleh komposisi bahan pengisi dan kerapatan bahan penyusunnya. Penambahan bahan pengisi akan dapat membuat barang jadi karet maupun lateks semakin keras. Di dalam kompon pembuatan sebutret pada penelitian ini, tidak ditambahkan bahan pengisi khusus. Bahan pengisi akan menyebabkan penyumbatan pada lubang saluran nozzle sehingga akan menghambat penyemprotan. Hal ini sudah dicobakan pada penelitian terdahulu. Hasil pengujian tegangan pampat 50% disajikan dalam Gambar 23.
12 0 0 10 0 0 800 600 400 200 0 60
70
80
90
10 0
W a kt u v ul ka ni s a s i ( me ni t ) S uhu vulka nisa si 95- 105 C
S uhu vulka nisa si 105- 115 C
Gambar 23. Pengaruh waktu dan suhu vulkanisasi terhadap tegangan pampat 50% produk sebutret Nilai tegangan pampat 50% sampel sebutret berada pada kisaran 827,5 kg/ m2 sampai 1012,7 kg/ m2. Berdasarkan hasil uji anova, tegangan pampat 50% tidak dipengaruhi oleh waktu dan suhu vulkanisasi. Serat kelapa yang mengandung banyak selulosa dan lignin membuat sebutret mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk menahan beban. Dari hasil analisa statistik, perlakuan waktu dan suhu vulkanisasi pada berbagai taraf yang dilakukan tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada sifat tegangan pampat. Hal ini terjadi karena tegangan pampat dipengaruhi oleh kerapatan massa. Kerapatan massa yang beragam membuat nilai tegangan pampat yang dihasilkan menjadi beragam pula. Pada kisaran waktu dan suhu yang telah ditentukan dalam penelitian ini tidak sampai terjadi proses overvulkanisasi yang sampai menyebabkan karet menjadi lengket dan rusak. Apabila kisaran waktu dan suhu yang digunakan lebih lebar maka dapat diduga akan terdapat perbedaan yang signifikan terhadap sifat tegangan pampat.
4.3.PENENTUAN PERLAKUAN TERBAIK Sebutret mempunyai sifat plastis terutama disebabkan karena serat kelapa sebagai penyusunnya. Sifat plastis dari serat kelapa dapat dikurangi dengan adanya proses pengeritingan dan penambahan karet yang dapat mengikat persinggungannya.
Oleh karena adanya pembebanan secara
kontinyu, sifat plastis ini akan muncul dan dapat memperkecil elastisitasnya. Sifat fisik yang diuji dalam penelitian ini adalah kerapatan massa, pampatan tetap suhu ruang dan suhu 70oC, ketahanan usang, dan tegangan pampat 40% dan 50%. Dari semua sifat fisik yang diamati, hanya pampatan tetap pada suhu 70oC dan ketahanan usang yang dipengaruhi oleh suhu dan lama waktu vulkanisasi. Pengambilan keputusan mengenai kombinasi lama waktu vulkanisasi dan suhu yang tepat untuk pembuatan sebutret sebagai bahan dasar pembuatan kasur didasarkan pada kedua sifat tersebut. Waktu vulkanisasi yang tepat adalah selama 60 menit dan suhu vulkanisasi range 95-105oC. Sifat fisik sebutret yang dihasilkan dari kombinasi waktu dan suhu ini dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Karakteristik fisik sebutret hasil kombinasi perlakuan terbaik Sifat Fisik Sebutret
Nilai
Kerapatan Massa (kg/m3)
51,19
Pampatan Tetap suhu ruang (%)
14,70
Pampatan Tetap Suhu 70oC (%)
27,72
Ketahanan Usang (%)
88,43
Tegangan Pampat 40% (kg/m2)
648,1
Tegangan Pampat 50% (kg/m2)
885,4
4.4. PERBANDINGAN SIFAT FISIK KASUR DARI SEBUTRET DENGAN BUSA KARET ALAM DAN BUSA POLIURETHAN Kasur dari serat sabut kelapa berkaret belum dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Penelitian ini selain dapat digunakan untuk mengetahui kondisi proses vulkanisasi yang tepat dalam pembuatan kasur sebutret, karakteristik sebutret sebagai bahan baku pembuatan kasur juga dapat diketahui. Standar sifat fisik untuk kasur sebutret secara umum belum ada, sehingga yang dapat dilakukan adalah membandingkan dengan bahan lain. Bahan dasar kasur yang digunakan sebagai pembanding adalah busa karet alam dan busa sintetis (poliurethan) yang ada di pasaran. Perbandingan sifat sebutret terbaik dengan busa karet alam dan busa sintetis komersial hasil pengujian laboratorium disajikan pada Tabel 15. Busa sintetis yang diuji termasuk busa kelas IV. Busa ini di pasaran termasuk kelas soft sehingga digunakan untuk membandingkan sebutret kelas soft juga. Busa karet alam yang dibandingkan dalam penelitian ini adalah busa yang khusus digunakan untuk kasur busa, bukan kasur pegas. Tabel 15. Perbandingan sebutret dengan busa karet alam dan busa sintetis komersial sebagai bahan dasar pembuatan kasur Sifat Fisik
Sebutret
Busa Karet
Busa Karet
Alam
Sintetis
Kerapatan Massa (kg/m3)
51,19
161,09
13,05
Pampatan Tetap suhu ruang (%)
14,70
1,94
11,63
Pampatan Tetap Suhu 70oC (%)
27,72
3,23
17,39
Ketahanan Usang (%)
88,43
66,49
49,53
Tegangan Pampat 40% (kg/m )
648,1
1545,1
607,6
Tegangan Pampat 50% (kg/m2)
885,4
2326,4
677,1
2
Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa kelebihan sebutret jika dibandingkan dengan busa karet alam adalah kerapatan massa yang lebih kecil. Kerapatan massa yang lebih kecil menyebabkan sebutret menjadi
lebih ringan. Sifat ini merupakan salah satu kelebihan sebutret jika dibandingkan dengan busa karet alam. Sebutret masih lebih berat jika dibandingkan dengan busa sintetik. Sifat keelastisan sebutret yang ditandai dengan pengujian sifat pampatan tetap masih jauh di bawah busa karet alam dan busa sintetis. Elastisitas sebutret selain dipengaruhi oleh banyaknya karet yang mengikat serat, juga dipengaruhi oleh serat itu sendiri. Serat kelapa mempunyai keplastisan yang tinggi. Bentuk serat keriting dapat meningkatkan elastisitas bahan. Jumlah karet yang ditingkatkan akan memperbaiki sifat elastisitas sebutret, tetapi akan membuat biaya produksi meningkat. Sifat ketahanan usang yang dinyatakan dalam persentase kemunduran sifat pampatan tetap sebutret juga berada dibawah bahan yang lain. Tegangan pampat yang merupakan salah satu uji kekuatan bahan menahan beban, busa karet alam jauh lebih unggul jika dibandingkan sebutret. Tetapi apabila dibandingkan dengan busa sintetis, sebutret lebih baik. Peningkatan kekuatan dan kekerasan sebutret dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kerapatan massa.
V. KESIMPULAN A. KESIMPULAN Sifat fisik yang dipengaruhi oleh pengeringan awal adalah sifat pampatan tetap pada suhu 70oC. Sifat fisik lainnya seperti kerapatan massa, ketahanan usang dan tegangan pampat tidak dipengaruhi oleh lamanya proses pengeringan awal. Waktu pengeringan awal yang tepat adalah 15 menit pada suhu 100o
110 C. Pada pengeringan awal selama 15 menit, sifat pampatan tetap pada suhu 70oC adalah 26,09%. Proses vulkanisasi mempengaruhi sifat pampatan tetap pada suhu 70oC dan ketahanan usang. Sifat-sifat fisik lainnya seperti kerapatan massa, pampatan tetap pada suhu ruang, tegangan pampat 40% dan 50% tidak dipengaruhi oleh waktu dan suhu vulkanisasi. Kombinasi suhu dan waktu vulkanisasi sebutret yang dapat menghasilkan sifat fisik sebutret terbaik adalah pemanasan pada suhu 105-115oC selama 60 menit. Karakteristik sebutret yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kasur adalah kerapatan massa 51,19 kg/m3, pampatan tetap (suhu ruang) 14,70%, pampatan tetap (suhu 70oC) 27,72%, ketahanan usang 88,43%, tegangan pampat (40%) 648,1 kg/m2, dan tegangan pampat (50%) 885,4 kg/m2.
B. SARAN 1. Perlu dijajaki penggunaan sistem vulkanisasi yang semiefisien dengan mencampur bahan pemvulkanisasi dalam jumlah sedikit dan bahan pencepat jumlah banyak. 2. Pada aplikasi industri kecil dengan menggunakan oven vulkanisasi hasil penelitian Sinurat (2003), perlu adanya penambahan kipas angin untuk memperbesar kecepatan alir udara masuk kedalam lapisan sebutret yang lebih tebal dan mengeluarkan udara lembab dari ruang vulkanisasi
3. Perlu dilakukan penyusunan standar mutu dan metode pengujian untuk produk sebutret, sehingga dalam aplikasinya sebutret mempunyai kualitas yang terjamin
DAFTAR PUSTAKA Abednego, J. G. 1983. Penelitian Pembuatan Karet Tahan Usang karena Panas. Menara Perkebunan. Balai Penelitian Perkebunan Bogor. Bogor. Abednego, J. G. 1990. Pembuatan Kompon Karet. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. Di dalam Indriati, T. 2004. Pengaruh Kadar Karet Kering dan Umur Pemeraman Kompon Lateks Sentrifusi terhadap Karakteristik Serat Sabut Kelapa Berkaret. Skripsi. TIN IPB. Bogor. Abednego, J. G. 1993. Pengetahuan Lateks. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. Aprianita, N., dan Sudibyo, A. 1987. Penelitian dan Pengembangan Pembuatan Sabut Berkaret dari sabut Kelapa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian. Bogor. Allorerung, D. Z., et al. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Di dalam. Martini, T. 2007. Pengaruh Cara Pengeritingan Serat Sabut Kelapa dan Jumlah Karet terhadap Karakteristik Serat Sabut Kelapa Berkaret (Sebutret). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Atkins, P. W. 1999. Kimia Fisika. Edisi ke empat.Jilid 2. Erlangga. Jakarta. Awang, S. A. 1991. Kelapa, Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta. Balai Penelitian Tanaman Karet. 2003. Jok Sebutret, Produk Alternatif yang Prospektif. www. Depperin. co. id. Baron, H. 1948. Modern Rubber Chemistry. D. Van Nostrand Co. Inc. New York. P321. Bhuana, K. S. 1990. Teori Vulkanisasi Karet. Pusat Penelitian Perkebunan. Bogor. Di dalam Indriati, T. 2004. Pengaruh Kadar Karet Kering dan Umur Pemeraman Kompon Lateks Sentrifusi terhadap Karakteristik Serat Sabut Kelapa Berkaret. Skripsi. TIN IPB. Bogor. Blackley, D. C. 2000. Polymer Lactices Their Science and Technology. Applied Science Publ. LTD. London. Bras, J. L.1968. Introduction to Rubber (Revised edition). Maclaren and Sons Ltd. London. Coran, A. Y. 1978. Vulcanization in Science and Technology of Rubber (ed. Eirich, F.R.). Academic Press. New York.
Craig, A. S. 1970. Concise Encyclopaedic Dictionary of Rubber Technology. Elsevier Publ. Co. Amsterdam, Netherlands. Direktorat Jendral Perkebunan. 2007. Statistik Pertanian. 2007. Jakarta. Djatmiko, B., Goutara, dan Irawadi. Pengolahan Kelapa I. FATETA IPB. Bogor. Goutara, Bambang Djatmiko, dan Wachjuddin Tjiptadi. 1985. Dasar Pengolahan Karet. Agroindustri Press. Jurusan Teknologi Industri Pertanian FATETA IPB. Bogor. Handoko, B. 2002. Proses Pembuatan Barang Jadi dari Lateks. Di dalam Kursus Teknologi Barang Jadi dari Lateks. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. Handoko, B. 2003. Pengolahan Lateks Pekat. Di dalam Kursus Teknologi Barang Jadi dari Lateks. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. Ho, C. C. 2000. A Reapprasial of The Prevulcanisation Mechanism of Natural Rubber Latex, An AFM Study. Departemen of Chemistry, University of Malaysia. Kuala Lumpur. Di dalam Prihanto, S. 2000. Kajian Pengaruh Suhu Pravulkanisasi dan post vulkanisasi terhadap Sifat Fisik Vulkanisat DPNR (Deproteinized Natural Rubber). TIN IPB. Bogor. Honggokusumo, S. 1998. Disain Kompon. Di dalam Kumpulan Makalah Kursus Teknologi Barang Jadi Karet. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. Honggokusumo, S. 1998. Kimia dan Teknologi Vulkanisasi. Di dalam Kumpulan Makalah Kursus Teknologi Barang Jadi Karet. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. Honggokusumo, S. 1985. Pengetahuan Lateks. Departemen Perdagangan dan Koperasi. Jakarta. Di dalam Indriati, T. 2004. Pengaruh Kadar Karet Kering dan Umur Pemeraman Kompon Lateks Sentrifusi terhadap Karakteristik Serat Sabut Kelapa Berkaret. Skripsi. TIN IPB. Bogor. Honggokusumo, S. 1994. Sistem Vulkanisasi, Kursus Pengolahan Barang Jadi Karet. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. Di dalam Indriati, T. 2004. Pengaruh Kadar Karet Kering dan Umur Pemeraman Kompon Lateks Sentrifusi terhadap Karakteristik Serat Sabut Kelapa Berkaret. Skripsi. TIN IPB. Bogor. Indriati, T. 2004. Pengaruh Kadar Karet Kering dan Umur Pemeraman Kompon Lateks Sentrifusi terhadap Karakteristik Serat Sabut Kelapa Berkaret. Skripsi. TIN IPB. Bogor. Irawan, G dan B. D. Mardana. 2003. Kasur-kasur yang ”Meninabobokan”. http://www.sinarharapan.co.id/feature/ritel/2003/0318/rit01.html. 020807
Joseph, G. H., dan J. G. Kindangen. 1993. Potensi dan Peluang Pengembangan Tempurung, Sabut, dan Batang Kelapa. Di dalam Proceeding Konferensi Nasional Kelapa III Yogyakarta, 20-23 Juli 1993. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Jakarta. Juleha, S.E. 1992. Analisis Tingkat Swelling Vulkanisat Karet Alam dengan Berbagai Sistem Vulkanisasi. TIN IPB. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. 2001. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pustaka. Jakarta. Kusnata, T. 1976. Pengujian Fisik pada Karet. Pedoman Praktek. Balai Penelitian Perkebunan Bogor. Laporan Tahunan. 1985. Pengujian Tingkat Kematangan Barang Jadi Karet Alam dengan Metode Dekstruksi Refluks. Balai Penelitian Perkebunan Bogor. Bogor. Martini, T. 2007. Pengaruh Cara Pengeritingan Serat Sabut Kelapa dan Jumlah Karet terhadap Karakteristik Serat Sabut Kelapa Berkaret (Sebutret). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Maspanger, D., M. Sinurat, dan B. Drajat. 2005. Mengenal Lebih Jauh Teknologi Pembuatan Barang Jadi Karet. Di dalam. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 27 no. 1. Bogor. Morton, M. 1987. Rubber Technology. Reinhold Publ. Co. New York. Nazaruddin dan F. B.Paimin. 1998. Karet, Strategi Pemasaran Tahun 2000, Budidaya dan Pengolahan. Penebar Semangat. Jakarta. Nur, A., Zaenal A. M., Suminar S. A., Purwantiningsih, et al. 2004. Kimia Dasar 2. Departemen Kimia FMIPA IPB. Bogor. Palungkun, R. 1992. Aneka Produk Pengolahan Kelapa. Penebar Semangat. Jakarta. Pole, E. G. 1959. Improved Processing for Rubber or Fiber Pads. Rubber Development. The Natural Rubber Development Board. London. Polhamus, L. G. 1962. Rubber : Botany, Production, and Utilization. Interscience Publ, Inc. Newyork. Pudjaatmaka, A. H. 1984. Ilmu Kimia untuk Universitas. Edisi ke enam jilid 1. Erlangga. Jakarta.
Sinurat, M., Handoko, B., Arizal, R., Santosa, A. M., dan Suparto, D. 2001. Peningkatan Mutu Serat Sabut Kelapa Berkaret dengan Memperbaiki Sistem Vulkanisasi. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. Sinurat, M. 2003. Rancang Bangun Prototipe Alat Vulkanisasi Serat Sabut Kelapa Berkaret (Sebutret) Berskala Besar. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. Sinurat, M. 2003. Teknologi Pembuatan Jok dari Serat Sabut Kelapa Berkaret. Di dalam Kursus Teknologi Barang Jadi Lateks 2003. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. Soedijanto dan R.R.M. Sianipar. 1985. Kelapa. CV. Yasaguna. Jakarta. Staf pengajar nimia dasar. 2004. Diktat Kuliah Nimia Dasar 2. Departemen Nimia FMIPA IPB. Bogor. Suparto, D. 2002. Pengetahuan tentang Lateks Hevea. Di dalam Kursus Teknologi Barang Jadi Lateks 2002. Balai Penelitian Teknologi Karet. Bogor. T.Kus/toeb. 2006. Presiden : Produksi Kelapa Sawit Indonesia Akan Lampaui Malaysia. Selasa, 19 Des. 2006, 16:22 WIB. http://www.depkominfo.go.id/?action=view&pid=news_aceh&id=2828. Van-Dam, JEG. 1997. Prospect of Coir Technology and Market Development. Di dalam Evironment friendly Coconut and Coconut Product. Proceeding of the XXXIV Cocotech Meeting. Manila, Philipines, July 14-18. Warisno. 1998. Budidaya Kelapa Kopyor. Kanisius. Yogyakarta. Webster, C. C., dan W. J. Baulkwill. 1989. Rubber. John Willey and Sons, Inc. New York. Wijayanti, E. D. 2005. Kajian Suhu Pravulkanisasi dan Post Vulkanisasi terhadap Sifat Fisik Barang Jadi Lateks. Skripsi. FATETA IPB. Bogor. http://en.wikipedia.org/wiki/Vulcanization. 020807
Lampiran 1. Metode Analisa Serat Kelapa Lurus 1. Uji Kadar Air Serat (SNI 12-6094-1999) Prinsip : kadar air ditetapkan berdasarkan jumlah berat zat yang menguap dalam masing-masing bagian contoh pada pemanasan 103±2oC selama 2 jam. Sejumlah contoh uji dipotong-potong sepanjang 1-2 cm dengan menggunakan gunting. Timbang dengan teliti sebanyak kira-kira 1-3 gram ke dalam pinggan yang telah diketahui bobotnya. Panaskan dalam oven yang suhunya telah konstan 105oC. Setelah dua jam, pinggan diangkat dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang hingga bobot tetap. Bobot zat menguap Kadar air =
x 100% Bobot awal
2. Pengukuran Kadar Panjang Serat (SNI 12-6094-1999) Prinsip : panjang serat diukur dengan menggunakan alat ukur standar atau terkalibrasi.dengan hati-hati dan sekali genggam ambil sejumlah contoh uji dan setelah ditimbang, diletakkan di atas wadah. Pisahkan masing-masing ukuran serta impuritis yang masih melekat pada serat. Timbang berat masing-masing ukuran contoh uji tersebut. Penghitungan berat masing-masing ukuran : Berat ukuran a Ukuran a (>10 cm) =
x 100% Berat contoh uji
Penghitungan di atas juga dilakukan pada ukuran b (5-10 cm) dan ukuran c (2-5 cm).
3. Pengukuran Kadar Impuritis (SNI 12-6094-1999) Impuritis adalah debu atau serbuk sabut, baik yang telah terpisah maupun yang masih melekat pada serat sabut kelapa, termasuk serat yang panjangnya kurang dari 2 cm serta benda-benda asing lainnya. Prinsipnya adalah kadar impuritis dihitung sebagai selisih dari 100% dengan jumlah kadar ukuran panjang serat.
Lampiran 2. Metode Analisa Lateks Pekat 1. Penetapan Kadar Karet Kering (ASTM D 1076, 1997) Timbang ±10 gram lateks pekat dalam cawan alumunium. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan botol timbang, bobot lateks dan bobot botol timbang awal dikurangi bobot lateks sisa dan bobot botol timbang akhir. Setelah itu lateks ditambahkan dengan asam asetat 0,5% sebanyak 250 ml sambil diaduk perlahan hingga menggumpal. Masukkan dalam penangas air (suhu 90±5oC) tanpa diganggu selama 15-30 menit hingga tercipta serum yang jernih dan koagulum karet. Koagulum yang terbentuk digiling menjadi lembaran dengan tebal dengan tebal 2 mm kemudian dicuci pada air mengalir. Lapisan lateks yang telah digiling dikeringkan dengan alat pengering pada suhu 70±2oC hingga beratnya konstan. Hitung bobot akhir dan dibandingkan dengan bobot awal lateks sebelum diencerkan sehingga didapatkan nilai kadar karet keringnya. Pengujian dilakukan secara duplo, dengan perbedaan tidak boleh lebih dari 0,2%. Hasil Kadar Karet Kering merupakan rata-rata dari keduanya.
2. Uji Kadar Jumlah Padatan (ASTM D 1076, 1997) Lateks (W1) sebanyak ±2,5 gr dituang ke dalam cawan alumunium yang diketahui bobotnya (W2), kemudian diratakan. Penimbangan lateks dilakukan seperti penimbangan pada pengujian kadar karet kering. Lateks dalam cawan alumunium ditambahkan 1 ml air suling, kemudian dimasukkan dalam penangas air sampai terbentuk film. Cawan dan film dikeringkan dalam oven dengan suhu 100±2oC selama 2 jam. Cawan dan film didinginkan dalam desikator sampai bobot konstan (W3). Perhitungan KJP adalah : KJP (%) = W1/(W3-W2) x 100%
3. Uji Kadar Amonia/ Alkalinitas (ASTM D 1076, 1997) Sampel sebanyak ±2,5 gram dimasukkan dalam botol timbang 10 cm3, kemudian ditimbang (a). Lateks dituangkan ke dalam gelas piala yang
telah berisi 100 cm3 air suling, kemudian ditimbang kembali (b). Selisih a dan b adalah bobot sampel (w). Latek diukur pHnya dengan pH meter. HCl 0,1 N ditambahkan perlahan ke dalam lateks sampai pH mencapai 6 (V). Kadar amoniak dihitung sebagai gram NH3 pada 100 gr lateks. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan titrasi dengan penambahan indikator MM (metil merah). Titrasi dilakukan dengan HCl 0,1 N hingga terbentuk warna merah. Perhitungan kadar amonia adalah seperti di bawah ini : NH3 (%) = (1,7 x V x N)/ W Keterangan : N = normalitas HCl (0,1 N)
4. Uji Waktu Kemantapan Mekanik (ASTM D 1076, 1997) Contoh sebanyak 100 gram ditimbang dan diencerkan hingga KJP 55% menggunakan amoniak 0,6%. Sampel dipanaskan di penangas air hingga suhu 36-37oC. Lateks disaring dengan penyaring 180 μm sampai diperoleh 80 gr saringan, kemudian ditempatkan pada klaxon bersuhu 35oC. Sampel diputar dengan mixer Klaxon 14000±2 rpm dan stop watch dihidupkan. Setiap 15 menit pada saat pengadukan contoh diambil dengan menyentuhkan ujung kaca pengaduk ke dalam petridish berisi air, keadaan lateks tersebut diamati. Pengamatan dihentikan jika flokulan telah terbentuk, berupa bintik-bintik putih yang tidak pecah oleh goyangan. WKM dinyatakan sebagai waktu yang ditunjukkan oleh stopwatch pada saat akhir pengamatan (detik).
5. Uji Bilangan KOH (ASTM D 1076, 1997) Lateks setara dengan 50 gr padatan ditimbang dalam gelas piala 400 ml (W), dan diukur pHnya. Formaldehide ditambahkan sampai kadar amonia 0,5% terhadap fasa air (Vf). Air suling ditambahkan sampai KJP menjadi 30% (Va). Pengukuran pH diulangi setiap penambahan 1 ml KOH. Penambahan KOH dihentikan sampai perubahan pH maksimum.
Penghitungannya adalah : - penimbangan lateks W = (100 x 50)/ KJP - volume formaldehide yang diperlukan Vf = {[(0,5 x KJP) + (( 100 x %NH3) – 50))]/ (W + 189)} x W - volume air suling Va = ((100 x 50) / 30 – (W + Vf) - Bilangan KOH Bil KOH = (561 x V x N) / (W x KJP)
6. Uji Bilangan Asam Lemak Eteris (ALE) (ASTM D 1076, 1997) Timbang sampel lateks sebanyak 50±0,2 gr dalam gelas piala 250 ml. Tambahkan 50 ml larutan amonium sulfat, aduk hingga merata. Panaskan dalam penangas air 70oC, 3-5 menit hingga gumpalan sempurna. Saring serum yang ada ke dalam erlenmeyer 50 ml. Pipet saringan serum sebanyak 25 ml ke dalam erlenmeyer 25 ml yang telah berisi 5 ml asam sulfat (2+5), lalu diaduk. Pipet 10 ml campuran tadi masukkan dalam tabung penyuling markham. Tambahkan satu tetes silikon antibusa. Tutup penyuling markham kemudian alirkan uap air 100oC dari pembangkit uap air ke dalam tabung markham. Sulingan ditampung dalam erlenmeyer. Penyulingan dihentikan setelah dicapai volume sulingan 100 ml. Tambahkan 1 tetes BTB dan titrasi dengan larutan Ba(OH)2, hingga warna berubah menjadi biru muda dan tidak berubah selama 10-20 detik. Kerjakan pada blanko dengan substitusi 20 ml air suling ke dalam semua pereaksi yang digunakan.
Lampiran 3. Metode Analisa Sifat Fisik Serat Sabut Kelapa Berkaret 1. Uji Kerapatan Massa (SNI 06-0999-1989) Potong cuplikan dengan ukuran 12 cm x 12 cm, dengan ketebalan tertentu. Hitung volumenya. Timbang cuplikan dengan timbangan analitis yang mempunyai ketelitian sampai dengan 0,01 gr. Massa cuplikan Pengujian : D =
kg/ m3
Volume cuplikan
2. Uji Pampatan Tetap (ASTM D 395, 1994) Sampel ditekan dengan beban spesifik dan dijaga dalam kondisi ini dalam waktu dan suhu tertentu. Perubahan dari sampel diukur setelah 30 menit sesudah dilepaskan dari peralatan penekan. Uji pampatan tetap dimaksudkan untuk mengukur kemampuan vulkanisat karet yang dapat kembali kebentuk semula (sifat elastis) setelah penekanan dalam jangka panjang. Uji pampatan tetap dianggap sebagai uji yang dapat mewakili kondisi yang menggunakan tekanan statis. Uji ini sering dikondisikan pada suhu yang ditinggikan. Suhu yang digunakan adalah suhu ruang (berdasar penelitian sebelumnya) pada penekanan 24 jam, dan suhu 70oC selama 22 jam (berdasar standar mutu karet busa SNI 06-0999-1989). Sampel sebutret diambil dengan bentuk lingkaran yang berdiameter 4,5 cm, kemudian diukur ketebalan awalnya (x). Setelah ditekan pada suhu dan waktu tertentu sampel dilepaskan dari alat pampatan dan diukur ketebalan akhir (y). Masing-masing sampel diuji tiga kali diambil nilai tengahnya. (x – y) Pampatan tetap =
x 100% x
3. Uji Tegangan Pampat (ASTM D 395, 1997) Tegangan pampat diukur dengan menggunakan alat tensometer. Sampel dipotong dan dihitung luas permukaan yang akan kontak dengan plat penekan. Sampel diletakkan pada plat dalam tensometer. Sampel ditekan perlahan dengan plat yang telah dibebani sampai ketinggiannya 60%
(tegangan pamapat 40%) dan 50% (tegangan pampat 50%) dari ketinggian semula. Beban penekanan tercatat dalam kertas grafik. Tegangan pampat diukur sebagai massa beban penekan dibagi dengan luas sampel (gr/ cm2).
4. Uji Ketahanan Usang (ASTM 573-1994) Pengusangan adalah suatu perlakuan yang bertujuan untuk mengetahui sifat karet setelah jangka waktu lama. Pengusangan dilakukan pada suhu 70oC. Dengan cara membandingkan nilai hasil uji tersebut dengan nilainya tanpa pengusangan, dapat diketahui apakah terdapat perubahan sifat fisikanya. Atau dengan kata lain dapat diketahui ketahanan barang jadi tersebut jika digunakan dalam jangka waktu lama. Perubahan sifat fisika vulkanisat dapat dihitung dengan menggunakan rumus : (A-O) P=
X 100 O
P = persentase perubahan sifat O = sifat fisik awal A = hasil pengujian setelah pengusangan
Lampiran 4. Data Hasil Penelitian Tahap I
Waktu Pengeringan Awal dan Suhu 5 menit, 100-110oC 10 menit, 100-110oC 15 menit, 100-110oC 20 menit, 100-110oC 120 menit, 30-32oC (suhu ruang)
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Kerapatan Massa (kg/m3) 48,98 47,20 48,00 47,28 48,17 48,46 47,33 48,09 48,94 48,44 47,71 48,58 48,93 48,54 47,52
Pampatan Tetap 50% suhu ruang (%) 21,28 19,15 19,15 19,23 20,00 19,15 17,31 17,86 18,52 18,52 18,75 20,75 18,42 20,51 21,57
Sifat Fisik Pampatan Ketahanan Usang tetap 50% (kemunduran o suhu 70 C pampatan tetap (%) (%)) 28,57 34,26 30,00 56,66 30,00 56,66 28,13 46,28 28,57 42,85 30,00 49,19 26,67 54,07 25,81 44,51 25,81 39,36 27,27 47,25 30,00 60,00 28,57 37,69 29,03 57,60 33,33 62,51 28,57 32,45
Tegangan Pampat 40% (kg/m2) 602,48 588,13 588,13 559,44 588,13 602,48 573,79 616,82 602,48 631,17 602.48 645,51 674,20 631,17 602,48
Tegangan Pampat 50% (kg/m2) 774,62 860,68 875,03 631,17 731,58 803,31 817,65 975,44 803,31 903,72 903,72 918,06 975,44 961,10 803,31
Lampiran 5. Data Hasil Penelitian Tahap II
Waktu dan Suhu Vulkanisasi 60 menit, 95-105oC
70 menit, 95-105oC
80 menit, 95-105oC
90 menit, 95-105oC
100 menit, 95-105oC
Kerapatan Ulangan Massa (kg/m3) 1 49,50 2 50,25 3 48,15 1 48,74 2 51,94 3 49,62 1 44,81 2 56,65 3 53,21 1 47,50 2 50,96 3 50,83 1 48,07 2 49,24 3 51,03
Pampatan Tetap 50% suhu ruang (%) 17,39 15,38 15,87 15,22 15,87 12,70 15,52 12,28 16,67 16,98 12,07 16,00 16,67 14,75 14,04
Sifat Fisik Ketahanan Usang Pampatan (kemunduran tetap 50% pampatan tetap suhu 70oC (%) (%)) 37,78 117,25 33,33 116,71 34,85 119,60 33,90 122,73 33,33 110,02 28,33 123,07 37,50 141,62 38,33 212,13 35,29 111,70 38,18 124,85 36,76 204,56 37,04 131,50 36,76 120,52 35,94 143,66 35,48 152,71
Tegangan Tegangan Pampat Pampat 50% 40% 2 (kg/m ) (kg/m2) 607,64 798,61 694,44 972,22 520,83 781,25 520,83 746,53 763,89 989,58 572,92 763,89 642,36 833,33 902,78 1163,19 833,33 1041,67 659,72 833,33 625,00 850,69 642,36 868,06 416,67 625,00 538,19 781,25 555,56 781,25
Waktu dan Suhu Vulkanisasi 60 menit, 105-115oC 70 menit, 105-115oC 80 menit, 105-115oC 90 menit, 105-115oC 100 menit, 105-115oC
Pampatan Kerapatan Tetap 50% Ulangan Massa suhu ruang (%) (kg/m3) 1 51,50 14,81 2 54,71 14,29 3 47,37 15,00 1 47,13 14,75 2 51,20 12,90 3 55,36 16,67 1 50,64 15,79 2 53,74 13,43 3 50,46 15,15 1 46,6 14,52 2 54,26 14,49 3 53,63 14,75 1 53,77 12,50 2 59,55 14,52 3 52,65 15,79
Sifat Fisik Pampatan Ketahanan Usang tetap 50% (kemunduran o pampatan tetap suhu 70 C (%) (%)) 27,14 83,25 25,86 80,97 30,16 101,07 29,45 99,66 29,03 125,04 31,82 90,88 32,09 103,23 29,31 118,24 31,67 109,04 30,16 107,71 32,35 123,26 33,33 125,97 28,33 126,64 31,82 119,15 31,03 96,52
Tegangan Pampat 40% (kg/m2) 711,81 659,72 572,92 590,28 677,08 694,44 694,44 694,44 555,56 520,83 746,53 659,72 677,08 694,44 520,83
Tegangan Pampat 50% (kg/m2) 989,58 885,42 781,25 850,69 902,78 920,14 815,97 954,86 711,81 885,42 920,14 885,42 920,14 989,58 781,25
Lampiran 6. Analisis Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Hasil Penelitian Tahap I
1. Daftar Sidik Ragam Kerapatan Massa Sumber Ragam antar perlakuan galat Total
Derajat Jumlah Kuadrat Bebas Kuadrat Tengah 4 10 14
0.25 5.14 5.39
0.06 0.51
F-Tabel (Α=0,05)
F-Hitung
Kesimpulan tidak berbeda 3.48 nyata
0.12
2. Daftar Sidik Ragam Pampatan Tetap Suhu Ruang Sumber Ragam antar perlakuan galat Total
Derajat Jumlah Kuadrat Bebas Kuadrat Tengah 4 10 14
9.18 12.36 21.54
2.29 1.24
F-Tabel (Α=0,05)
F-Hitung
Kesimpulan tidak berbeda 3.48 nyata
1.86
3. a. Daftar Sidik Ragam Pampatan Tetap Suhu 70oC Sumber Ragam antar perlakuan galat Total
Derajat Jumlah Kuadrat Bebas Kuadrat Tengah F-Hitung 4 10 14
30.36 21.28 51.64
7.59 2.13
F-Tabel (Α=0,05) Kesimpulan
3.57
3.48 berbeda nyata
b. Uji lanjut Duncan Pampatan Tetap Suhu 70oC Subset Waktu 15.00 20.00 10.00 5.00 120.00 Sig.
N
1 3 3 3 3 3
2 26.0967 28.6133
.061
28.6133 28.9000 29.5233 30.3100 .213
4. Daftar Sidik Ragam Ketahanan Usang Sumber Ragam antar perlakuan galat Total
Derajat Jumlah Bebas Kuadrat 4 10 14
Kuadrat Tengah F-Hitung
51.87 1236.73 1288.59
12.97 123.67
F-Tabel (Α=0,05) Kesimpulan tidak berbeda 0.10 3.48 nyata
5. Daftar Sidik Ragam Tegangan Pampat 40% sumber ragam antar perlakuan galat Total
derajat bebas
Jumlah Kuadrat
4 7848.31 10 5937.35 14 13785.66
Kuadrat tengah
FF-tabel hitung (α=0,05) Kesimpulan tidak berbeda 1962.08 3.30 3.48 nyata 593.73
6. Daftar Sidik Ragam Tegamgan Pampat 50% sumber ragam
derajat bebas
antar perlakuan galat Total
4 10 14
Jumlah Kuadrat
Kuadrat tengah
72650.58 18162.64 57476.45 5747.64 130127.02
Fhitung
F-tabel (α=0,05) Kesimpulan tidak berbeda 3.16 3.48 nyata
Lampiran 7. Analisis Sidik Ragam dan Uji Lanjut Duncan Hasil Penelitian Tahap II
1. Daftar Sidik Ragam Kerapatan Massa Sumber Ragam suhu vulkanisasi waktu vulkanisasi interaksi galat total
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
1 34.28283 34.28283
F-Tabel F-Hitung (Α=0,05) 3.042
4 18.14835 4.537088 0.402587 4 29.32389 7.330972 0.650495 20 225.3967 11.26983 29 307.1517
Kesimpulan tidak 4.35 berpengaruh tidak 2.87 berpengaruh tidak 2.87 berpengaruh
2. Daftar Sidik Ragam Pampatan tetap Suhu Ruang Sumber Derajat Jumlah Ragam Bebas Kuadrat suhu vulkanisasi 1 2.160083 waktu vulkanisasi 4 2.457953 interaksi error total
Kuadrat Tengah
F-Tabel F-Hitung (Α=0,05) Kesimpulan tidak 2.160083 0.842498 4.35 berpengaruh tidak 0.614488 0.239669 2.87 berpengaruh tidak 4 2.771433 0.692858 0.270236 2.87 berpengaruh 20 51.27807 2.563903 29 58.66754
3. a. Daftar Sidik Ragam Pampatan Tetap Suhu 70oC Sumber Derajat Jumlah Ragam Bebas Kuadrat suhu vulkanisasi 1 204.7274 waktu vulkanisasi 4 58.20009 interaksi galat total
Kuadrat Tengah
F-Tabel F-Hitung (Α=0,05) Kesimpulan
204.7274 63.31677
4.35 berpengaruh
14.55002 4.499938
2.87 berpengaruh tidak 2.87 berpengaruh
4 26.91014 6.727534 2.080649 20 64.66766 3.233383 29 354.5052
b. Uji lanjut Duncan Pampatan Tetap Suhu 70oC Subset Waktu
N
70.00 60.00 100.00 80.00 90.00 Sig.
1 6 6 6 6 6
2 30.9867 31.4733 33.2267
.053
33.2267 34.0317 34.5233 .251
4. Daftar Sidik Ragam Ketahanan Usang Sumber Derajat Jumlah Ragam Bebas Kuadrat suhu vulkanisasi 1 6512.133 waktu vulkanisasi 4 4779.017 interaksi galat total
Kuadrat Tengah
F-Tabel F-Hitung (Α=0,05) Kesimpulan
6512.133 11.25855 1194.754 2.065559
4 819.7986 204.9496 0.354329 20 11568.34 578.4168 29 23679.29
4.35 berpengaruh tidak 2.87 berpengaruh tidak 2.87 berpengaruh
5. Daftar Sidik Ragam Tegangan Pampat 40% sumber ragam suhu vulkanisasi waktu vulkanisasi interaksi galat total
derajat bebas
Jumlah Kuadrat
1 4 4 20 29
Kuadrat tengah
F-tabel (α=0,05) Kesimpulan tidak 1004.565 1004.565 0.118609 4.35 berpengaruh tidak 71674.89 17918.72 2.11567 2.87 berpengaruh tidak 58974.41 14743.6 1.740782 2.87 berpengaruh 169390.5 8469.527 301044.4 F-hitung
6. Daftar Sidik Ragam Tegangan Pampat 50% sumber ragam suhu vulkanisasi waktu vulkanisasi interaksi galat total
derajat bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
1 4431.105 4431.105 0.424085 4 34802.55 8700.638 0.832707 4 99302.71 24825.68 2.375975 20 208972.5 10448.63 29 347508.9
F-tabel (α=0,05)
Kesimpulan tidak 4.35 berpengaruh tidak 2.87 berpengaruh tidak 2.87 berpengaruh