ANALISIS RESPONS PENAWARAN PADI DAN PERMINTAAN INPUT PADI DI INDONESIA PERIODE 1969-2006
OLEH RENNY FITRIA SARI H14051387
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN RENNY FITRIA SARI. Analisis Respons Penawaran Padi dan Permintaan Input Padi di Indonesia Periode 1969-2006 (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR). Beras adalah komoditi pangan paling strategis di Indonesia. Besar konsumsi beras Indonesia sebesar 139,15 kg perkapita pertahun, yaitu sebanyak 96 persen dari total konsumsi masyarakat Indonesia. Penyerapan tenaga kerja bagi sektor pertanian juga begitu besar yaitu sebanyak 90 juta petani pada tahun 2005. Selain itu, kerawanan pangan dapat menyebabkan ketidakstabilan politik. Dengan segala peran strategisnya dan semangat swasembada disertai ketahanan pangan, dibutuhkan analisis lebih dalam tentang respon penawaran padi dan permintaan input padi. Untuk menghindari simultanous equation bias akibat contemporaneous correlation yang terjadi maka dilakukan pendekatan dual dengan fungsi keuntungan. Metode estimasi yang digunakan adalah Seemingly Unrelated Regression (SUR) karena pendugaan dalam penelitian ini berbentuk serangkaian persamaan pangsa penerimaan dan pangsa biaya yang memungkinkan terdapat korelasi eror term antarpersamaannya. Hal ini disebabkan beberapa model ekonomi yang terdiri atas beberapa sistem persamaan yang memiliki variabel-variabel endogen yang berbeda dan variabel-variabel eksogen yang berbeda pula namun persamaan tersebut menggunakan data yang sama, kemungkinan besar eror termnya berkorelasi antarsatu persamaan dengan persamaan lainnya. Kemudian, pada fungsi penerimaan dan biaya diberikan restriksi homogenitas dan simetri. Pendugaan dilakukan melalui pangsa penerimaan dan pangsa biaya yang diturunkan dari fungsi keuntungan translog. Hasilnya adalah pangsa penerimaan padi dipengaruhi oleh harga gabah, jagung, kedelai, urea, TSP, pestisida, upah buruh, dan luas panen. Pangsa biaya urea dipengaruhi oleh harga gabah, jagung, kedelai, urea, dan TSP. Pangsa biaya TSP dipengaruhi oleh harga gabah, jagung, kedelai, urea, TSP, dan luas panen. Pangsa biaya pestisida dipengaruhi oleh harga gabah, jagung, kedelai, dan luas panen. Pangsa biaya buruh dipengaruhi oleh harga gabah, jagung, upah buruh, dan luas panen. Elastisitas penawaran padi terhadap harga gabah bernilai 0,4371, terhadap harga jagung bernilai 0,2335, terhadap harga kedelai bernilai 0,0339, terhadap harga urea bernilai -0,0431, terhadap harga TSP bernilai -0,058, dan terhadap upah buruh bernilai -0,349. Elastisitas permintaan urea terhadap harga gabah bernilai -1,0542, terhadap harga urea bernilai -0,6013, terhadap harga TSP bernilai -0,0741. Elastisitas permintaan TSP terhadap harga gabah bernilai -1,4038, terhadap harga urea bernilai -0,0581, dan terhadap harga TSP bernilai -0,598. Elastisitas permintaan pestisida terhadap harga gabah adalah -1,1772. Elastisitas upah buruh terhadap harga gabah bernilai -1,1020 dan terhadap upah bernilai -1,2206.
ANALISIS RESPONS PENAWARAN PADI DAN PERMINTAAN INPUT PADI DI INDONESIA Periode 1969-2006
OLEH RENNY FITRIA SARI H14051387
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi :Analisis Respons Penawaran Padi dan Respon Permintaan Input Padi di Indonesia Periode 1969-2006 Nama
: Renny Fitria Sari
NIM
: H14051387
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof.Dr.Ir Hermanto Siregar, M.Ec. NIP. 19630805 198811 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 19641023 198903 2 002 Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS RESPONS PENAWARAN PADI DAN PERMINTAAN INPUT PADI DI INDONESIA PERIODE 1969-2006” INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Renny Fitria Sari H14051387
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Renny Fitria Sari lahir di Bogor pada tanggal 28 Mei 1987. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan Sulasbi dan Tiwuk Murni Astuti. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan. Penulis menamatkan sekolah dasar di SDN Polisi 5 bogor, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Bogor. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMAN 5 Bogor dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menjadi Staff Divisi Research and Develompent HIPOTESA pada dua periode yaitu tahun 2007 dan 2008, dan mengikuti berbagai kepanitiaan baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb. Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan proses penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Respons Penawaran Padi dan Permintaan Input Padi di Indonesia Periode 1969-2006”. Topik ini menarik diteliti karena peran dan karakter pelaku pasar pada komoditi padi sangat unik di Indonesia dan diperlukan untuk dianalisis dalam mewujudkan swasembada pangan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, ketenangan, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: 1. Prof.Dr.Ir Hermanto Siregar, M.Ec. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, nasihat-nasihat yang berguna, dan bimbingan dengan sabar ditengah kesibukan yang luar biasa, baik berupa teknis, teoritis, maupun moral dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan pemahaman yang baik. 2. Dr. Ir. H. Bambang Juanda, M.S. dan Dr. Ir. M. Findi selaku dosen penguji. 3. Orang tua penulis yaitu Bapak Sulasbi dan Ibunda Tiwuk Murni Astuti yang memberikan dukungan moral yang tiada hentinya. Serta untuk kakakku mbak Ita, mbak Iin, mbak Yulin, dan adikku de Ihsan. Tidak lupa untuk keponakanku Salma Kineta yang menjadi hiburan ditengah penat. 4. Kak Ade dan Kak Tony Irawan, M.App.Ec. atas bimbingan, nasihat, jawaban sejuta pertanyaan, tempat menaruh harapan dalam proses penyusunan skripsi ini, serta Pak Adi atas segala informasi dan bimbingannya.
5. Dr.Ir. Sri Hartoyo atas bimbingan, dan penjelasannya tentang disertasi beliau. Tak lupa Mas Ari yang telah sangat membantu. 6. Untuk adik-adikku tersayang Marsela Ginting yang telah menjadi tempat bersandar, dapat diandalkan, mempermudah segala proses penyusunan skripsi, dan pemberi semangat serta ketenangan. Qurroh ‘Ayuniyyah yang mengingatkan sholat malam dan puasa, menegaskan agar selalu ada progres dalam proses penyusunan skripsi setiap minggu, dan memberikan kesejukan di kala buntu dan tertekan. Tifani Husna Siregar yang telah sangat menghibur dan membuat beban skripsi terlihat lebih ringan. Fitria Ayu dan Rizki Savitri atas perhatian dan dorongan semangat. 7. Untuk teman-teman Supply Response Team yang telah bersama-sama melewati banyak suka dan duka sejak awal penelitian proyek dimulai. 8. Seluruh teman Ilmu Ekonomi Angkatan 42 yang selama 4 tahun ini memasuki kehidupan penulis. Untuk Dewinta, Riri, Inna yang memberikan petuahpetuah bijak. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak merupakan hal yang sangat berharga terutama untuk penyempurnaan skripsi ini. Apabila terdapat kesalahan dalam penelitian ini, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca, serta pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
Renny Fitria Sari H14051387
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
I. PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Perumusan Masalah
8
1.3. Tujuan Penelitian
8
1.4. Manfaat Penelitian
9
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
10
2.1. Karakteristik Padi
10
2.2. Permintaan Pupuk
16
2.3. Permintaan Buruh
17
2.4. Perilaku Perusahaan
18
2.5.Fungsi Keuntungan Transendental Logaritma
20
2.6.Penelitian Terdahulu
22
2.6.1. Produksi Beras
22
2.6.2. Fungsi Keuntungan Transendental Logaritma
26
2.7.Kerangka Pemikiran
28
2.8.Hipotesis Penelitian
30
III. METODE PENELITIAN
31
3.1. Jenis dan Sumber Data
31
3.2. Model Analisis Data
32
3.3. Metode Analisis dan Pengujian Statistik
38
3.4. Definisi Oprasional dan Konsep Pemikiran
39
IV. PERKEMBANGAN KOMODITI PADI
42
4.1. Perkembangan Komoditi Padi di Indonesia
42
4.2. Produksi Padi
47
4.3. Pasar Gabah
49
4.4. Sosial Ekonomi Petani Indonesia
52
4.5. Kebijakan Perberasan Indonesia
55
V. ANALISIS EKONOMETRIKA RESPONS PENAWARAN PADI DAN PERMINTAAN INPUT PADI DI INDONESIA
61
5.1. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Keuntungan Translog
61
5.2. Pendugaan Elastisitas Penawaran Padi dan Permintaan Input
66
5.3. Implikasi Kebijakan
70
V.I. KESIMPULAN DAN SARAN
72
6.1. Kesimpulan
72
6.2. Saran
73
DAFTAR PUSTAKA
75
LAMPIRAN
78
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
I.1. Produksi, Area Panen, dan Area Intensifikasi Padi Indonesia 2000-2006
3
II.1. Dosisi Pemberian Pupuk
11
IV.1. Luas Sawah Indonesia 2001-2005
43
IV.2. Luas Sawah Irigasi Teknis Indonesia 2001-2005
45
IV.3. Trend Teknologi Intensifikasi Indonesia 1960-2006
46
IV.4. Produksi Padi Indonesia Tiap Propinsi 2007-2009
48
IV.5. Harga GKG dan GKP 2004-2009
52
V.1. Koefisien Fungsi Pangsa Penerimaan dan Pangsa Biaya Tanaman Pangan
62
V.2. Pendugaan Elastisitas Penawaran Padi dan Permintaan Input
69
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
I.1. Share Biodiesel Indonesia terhadap Biodiesel Dunia 2008
7
II.1. Efek Subsitusi dan Efek Output Akibat Penurunan Upah
19
II.2. Kerangka Pemikiran
29
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Tabel Lampiran 1. Data yang Digunakan
79
2. Pengujian Contemporaneous Correlation
82
3. Pendugaan Parameter Pangsa Penerimaan dan Pangsa Biaya
84
4. Pengujian Teknologi non-jointness
94
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Komoditi pertanian mempunyai banyak mata rantai yang saling berkaitan. Sehingga, isu pertanian khususnya mengenai masalah pangan selalu menarik perhatian baik untuk dijadikan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan, maupun menjadi bumerang pemerintahan bagi tersebut yang dapat dituntut oleh pihak diluar pemerintahan. Begitu pula yang terjadi pada negara lain, kerawanan pangan terbukti menyebabkan kerusuhan di beberapa negara seperti Kamerun, Burkina Faso, Haiti, Mesir, Filipina, Mauritania, Pantai Gading, Ethiopia, dan sebagian besar di 33 negara kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Selain berperan secara politik, penyerapan tenaga kerja bagi sektor pertanian juga begitu besar yaitu sebanyak 90 juta petani pada tahun 2005. Peran lain dari sektor pertanian adalah penyedia kebutuhan pangan sebagai salah satu kebutuhan primer masyarakat Indonesia, pembentuk Produk Domestik Bruto, sumber bahan baku industri, dan sebagai pendapatan tambahan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi masalah paling serius dinegara ini yaitu kemiskinan. Signifikansi peran sektor pertanian ini membuat perumusan kebijakan pada sektor pertanian tidak boleh dilakukan secara parsial dan terburu-buru. Penelitian yang terus berkelanjutan sangat diperlukan untuk menangkap perubahan karakteristik dari faktor-faktor yang memengaruhisektor ini.Sektor pertanian akan difokuskan pada sektor pangan yaitu ketersedian padi sebagai bahan dasar beras. Beras mendominasi
konsumsi komoditi pangan di Indonesia, yaitu sebesar 139,15 kg perkapita pertahun atau sama dengan 96 persen dari total konsumsi masyarakat Indonesia. Kebutuhan pangan merupakan basic need bagi setiap orang, keberlangsungan hidup dan tingkat kesejahteraan suatu negara salah satunya tercermin dari kemampuan negara tersebut menyediakan komoditi pangan yang terjangkau bagi rakyatnya baik dari segi kuantitas maupun stabilitas harganya. Ketersediaan kuantitas dan kestabilan harga beras didekati pada proses produksinya dan fasilitas yang diberikan kepada 90 juta petani akan memberikan dampak besar bagi penawaran komoditi pangan ini. Dalam mengidentifikasi karakteristik penawaran padi di Indonesia, maka diperlukan penelusuran faktor-faktor yang dapat memengaruhipenawaran komoditi tersebut baik faktor eksternal yaitu infrastruktur maupun pasar inputnya.
Dalam faktor
ketersediaan infrastruktur dapat didekati dengan luas intensifikasi dan luas areal panen. Seperti yang telah kita ketahui, dalam meningkatkan produksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu ekstensifikasi yaitu perluasan areal jika lahan masih tersedia dan intensifikasi yaitu dengan mengoptimalkan produktivitas lahan dengan mempertahankan luas lahan yang sama. Penggunaan lahan intensifikasi ini mencerminkan teknologi yang digunakan dalam bertani. Berdasarkan Tabel I.1. area intensifikasi pada tahun 2000 sebesar 6,23 juta hektar. Namun sangat disayangkan pada tahun 2006 berkurang menjadi 5,83 juta hektar. Selain area intensifikasi, luas areal panen juga mencerminkan produktifitas dari lahan pertanian. Semakin besar luas panen mencermikan peningkatan kualitas dari lahan tersebut dalam menghasilkan padi. Terhitung dari tahun 2000 hingga 2006 terlihat
penurunan areal panen sebesar 7,05 ribu hektar meskipun produksi gabah terus mengalami peningkatan. Penurunan pada luas area intensifikasi dan area panen disebabkan terjadi berbagai musibah pada kurun waktu tersebut seperti banjir bandang dan tsunami. Tabel I.1.Produksi, Areal Panen, dan Area Intensifikasi Padi Indonesia 2000-2006 Produksi Gabah (Ribu Ton)
Tahun
Luas panen (Ribu Ha)
Area Intensifikasi (Ribu Ha)
2000
50.069,26
11.793,48
6.237,42
2001
50.460,78
11.500,00
6.075,55
2002
51.489,69
11.530,68
6.009,67
2003
52.137,60
11.452,60
5.949,72
2004
54.088,47
11.922,97
6.101,91
2005
54.151,10
11.839,06
6.018,75
2006
54.454,94
11.786,43
5.828,49
Sumber: BPS, 2006 Keterangan: Areal intensifikasi adalah lahan yang diberikan perhatian khusus seperti penggunaan bibit unggul, pupuk seimbang, mekanisasi alat pertanian, dan lain sebagainya.
Pasar input komoditi padi terdiri dari pasar pupuk, benih, dan tenaga kerja tani. Pada pasar pupuk, subsidi pemerintah selama ini menjadi kebijakan politik meningkatkan permintaan input.Namun, kondisi demikian belum tentu menambah produksi padi jika pendidikan komposisipupuk belum begitu dipahami dan juga terjadi ketidakstabilan stok pupuk. Pasar ini mengalami berbagai masa, pada tahun 1960 hingga 1979 sistem yang dijalankan cukup membingungkan, yaitu pemerintah mengatur ketersedian dan penyaluran pupuk. Penyaluran pupuk kepada pengecer dilakukan dengan penyerahan kupon yang kemudian digunakan untuk mendapatkan pupuk dari penyalur, hal ini dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas
pupuk yang diterimanya dari P.T. Pusri. Subsidi pupuk diberikan hanya kepada petani peserta Bimas. Namun, tidak ada jaminan ketersedian stok pupuk setiap waktu dikarenakan adanya kredit macet dalam pembayaran yang dilakukan petani dan tidak tersedianya dana pemerintah untuk mengimpor pupuk. Hingga tahun 1993 ditetapkan 6 Prinsip Tepat dan ketentuan stok, sehingga menjamin ketersedian pupuk bagi petani. Seluruh pupuk untuk sektor pertanian disubsidi dan diperdagangkan pengadaan maupun
atas tanggung jawab P.T. Pusri baik dalam hal
penyalurannya. Perkembangan berikutnya, sejak tahun 1993
hingga 1998 hanya pupuk urea untuk sektor pertanian yang disubsidi dan diperdagangkan. Pengadaan dan penyaluran pupuk urea bersubsidi dibawah tanggungjawab P.T. Pusri, sedangkan untuk jenis yang lain tidak diatur. Sekalipun masih ada 6 Prinsip Tepat dan ketentuan stok untuk pupuk urea, namun tidak ada jaminan ketersediaan pupuk akibat adanya disparitas harga pasar pupuk urea bersubsidi dan non subsidi. Pada tahun 1998, pupuk TSP, ZA dan KCL kembali disubsidi, namun pada tanggal 1 Desember 1998 subsidi pupuk dan perdagangannya dicabut. Periode 1998-2002, terhitung mulai tanggal 1 Desember 1998 sampai tanggal 13 Maret 2001 pupuk tidak disubsidi dan menjadi komoditas bebas, dimana berlaku mekanisme supply dan demand. Tidak lagi diberlakukannya6 Prinsip
Tepat dan ketentuan stok pupuk
mengakibatkan sering terjadinya fenomena kelangkaan pupuk ditandai dengan mahalnya harga pupuk di tingkat petani. Kelangkaan dan mahalnya harga pupuk memberi peluang munculnya pupuk alternatif yang kualitasnya diragukan. Periode
2003 hingga sekarang, sistem pendistribusian pupuk berdasarkan rayonasi, dimana setiap produsen bertanggung jawab penuh untuk memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Jika produsen tidak mampu memenuhi permintaan pupuk bersubsidi wilayah yang menjadi tanggung jawabnya dari hasil produksi sendiri, wajib melakukan kerjasama dengan produsen lain dalam bentuk kerja sama operasional. Besarnya subsidi ditentukan oleh Menteri Keuangan dalam bentuk subsidi gas sebagai bahan baku utama produksi pupuk. Pada pasar benih, semua subsistem mulai dari penyiapan lahan, perbanyakan benih, pemrosesan, pengujian mutu, pelabelan, dan pemasaran diatur oleh undang-undang. Secara formal, benih yang dijual harus memenuhi standar kualitas yang terdapat pada kemasannya. Namun, petani dapat memproduksi sendiri dan menjualnya secara informal yang tentunya berkualitas dibawah standar. Benih tradisional ini masih banyak digunakan oleh petani karena benih ini dapat diperbanyakan berulang kali tanpa mengurangi potensi hasil secara signifikan. Penggunaan benih tradisional ini (tahun 1995 hingga 2005) pada komoditi padi, jagung, dan kedelai masing-masing sebesar 88 persen, 93 persen dan 97 persen
dari total luas lahan. Jalur formal
distribusi benih ini yaitu melalui P.T. Sang Hyang Seri (P.T. SHS) lalu kios dan kemudian petani. Pada pasar tenaga kerja, sebagian besar buruh berasal dari buruh tani lokal. Maka, dengan pengolahan faktor-faktor yang memengaruhisupply padi dengan tepat, akan mampu menghindari permasalahan ketidakstabilan penawaran padi yang akan mengakibatkan ketidakstabilan harga pangan itu sendiri. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, ketidakstabilan harga dan kuantitas komoditi yang dikonsumsi oleh 96 persen penduduk Indonesia akan memiliki dampak domino terhadap indikator sosial ekonomi lainnya dan juga kondisi politik yang merugikan pemerintah. Selain kelaparan, tidak tercukupinya konsumsi pangan yang seharusnya juga mengakibatkan kemiskinan pada sebagian besar mata pencaharian di Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh terbatasnya akses sumber daya atau kebijakan yang keliru. Sehingga baik konsumen, produsen beras, dan pemerintah sangat memerlukan kebijakan yang tepat sasaran demi menghidari krisis multidimensi ini. Pada lingkup global, krisis pangan mulai terasa dari kenaikan harga beras dunia yang terjadi saat ini hingga mencapai US$1000 per ton tahun 2008.Penyebab melonjaknya harga beras pada pasar dunia adalah peningkatan permintaan secara masif namun tidak direspons cepat dengan peningkatan penawaran. Peningkatan permintaan ini sebagian besar diakibatkan karena adanya wacana penggunaan biofuel di sebagian besar negara untuk mengurangi efek global warming dunia dan ketergantungan terhadap minyak fosil yang saat itu harganya terus melambung. Meskipun pengunaan biofuel ini solusi terbaik untuk mengatasi masalah tersebut, namun akan berdampak pada langkanya komoditi yang menjadi input dari biofuel. Dampaknya juga terasa bagi komoditi pangan lainnya berupa konversi penggunaan lahan demi memenuhi permintaan untuk biofuel. Berdasarkan Gambar I.1. peran Indonesia sebagai net surplus biofuel, mendesak Indonesia untuk juga memprioritaskan hasil panen komoditi biofuel.
Sumber: FAOOECD, 20081
Gambar I.1. Share Indonesia terhadap Biodiesel Dunia 2008 Meskipun dianggap solusi terbaik bagi permasalahan dunia, namun pada kenyataannya solusi ini tidak luput dari dampak negatif. Kenaikan harga beras yang merupakanbasic need ini dapat menggulingkan suatu rezim pemerintahan akibat ketidakstabilan politik. Saat ini, kerawanan pangan terbukti menyebabkan kerusuhan di sebagian besar di 33 negara kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Bahkan menurut Robert Zoellick, kepala Bank Dunia, 100 juta orang yang telah menderita kemiskinan akan bertambah miskin karena kenaikan harga pangan ini yang berarti akan terjadi pelambatan ekonomi bahkan depresi akibat jatuhnya daya beli masyarakat. Hal senada juga dikatakan oleh kepala IMF, Dominique Strauss Khan, memperingatkan bahwa dunia akan dilanda kelaparan massal jika harga pangan terus meningkat, karena sekitar 60 persen dari belanja rumah tangga penduduk pendapatan
1
)
http://www.thewe.cc/contents/more/archive/globalization.htm
rendah terdiri dari pengeluaran untuk pangan. Ini berarti untuk pemenuhan konsumsi autonomous saja masing-masing orang harus saling bersaing. Kegiatan usaha untuk sektor selain sektor kebutuhan primer pun akan mandek dan terabaikan. Kondisi mendesak ini sudah seharusnya diprioritaskan secara serius penanganannya demi menghindari krisis multidimensi baik pada konteks nasional maupun global. Tindakan yang dapat dilakukan adalah melalui kebijakan masing-masing negara dan bantuan luar negeri dari lembaga internasional. Namun demi kemandirian, kebijakan yang paling baik dilakukan adalah kebijakan yang berpijak dari karakteristik struktur produksi masing-masing negara dengan memfokuskan pada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku dari penawaran komoditi pangan, terutama padi sebagai bahan baku beras. 1.2.
Perumusan Masalah
1.
Faktor apa saja yang memengaruhipangsa penerimaan padi dan pangsa biaya input tanaman padi?
2.
Seberapa besar pengaruh dari perubahan faktor-faktor tersebut terhadap perilaku penawaran padi dan permintaan input tanaman padi di Indonesia?
3.
Apakah kebijakan yang paling tepat untuk meningkatkan penawaran padi melalui faktor-faktor yang telah dianalisis dalam penelitian ini? \
1.3.
Tujuan Penelitian
1.
Menganalisis faktor yang memengaruhipangsa penerimaan padi dan pangsa biaya input tanaman padi.
2.
Menganalisis besarnya elastisitas dari penawaran padi dan permintaan input tanaman padi di Indonesia.
3.
Menganalisis faktor yang paling tepat untuk dijadikan dasar dalam menentukkan kebijakan pemerintah Indonesia dalam menjaga ketersedian penawaran padi demi tercipta swasembada dan ketahanan pangan.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat sebagai perluasan wawasan dan mengukur
ketajaman pemikiran bagi penulis. Bagi masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru yang dapat digunakan dalam menerjemahkan kondisi yang terjadi saat ini. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi salah satu wacana yang dapat dijadikan dasar bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Dan bagi Departemen Pertanian, diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas dari rumitnya masalah pangan di Indonesia dan kemudian menyikapinya dengan kebijakan yang tepat. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya membahas respons penawaran komoditi padi dan
permintaan input komoditi padi saja.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Karakteristik Padi Padi adalah tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman ini termasuk
tanaman kuno karena bukti sejarah memperlihatkan adanya fosil butir padi dan gabah yang berusia 3000 tahun SM di Zhejiang (Cina) dan sekitar 100-800 SM di Hastinapur Uttar India. Padi juga disebut berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi adalah, Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, Vietnam. Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monotyledonae
Keluarga
: Graminaeae (Poaceae)
Genus
: Orzya
Spesies:
: Oryza spp.
Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah O. Sativa dengan dua subspesies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan.
Padi dapat tumbuh pada ketinggian 0-1500 mdpl dengan temperatur 19-27 derajat Celcius dan memerlukan penyinaran matahari penuh tanpa naungan. Angin berpengaruh pada penyerbukan dan pembuahan. Padi akan subur pada tanah lumpur yang subur dengan ketebalan 18-22 cm dan pH tanah 4-7. Perbandingan luas tanah untuk pembenihan dengan lahan tanam adalah 3:100 atau 1000 m2 sawah : 3,5 m2 pembibitan. Bibit yang dipindahtanamkan ke sawah berumur 21-40 hari, berdaun 5-7 helai, batang bawah besar dan kuat, pertumbuhan seragam, dan tidak terserang hama dan penyakit. Pemupukan diberikan seperti pada Tabel II.1.yaitu dengan dosis pupuk sesuai dengan hasil penen yang diinginkan, kemudian dicampur dan disebarkan merata ke lahan sesuai dosis. TabelII.1.Dosis Pemberian Pupuk untuk Tanaman Padi Waktu Aplikasi Jenis Pupuk Olah Tanah (kg) 14 hari ( kg ) 30 hari ( kg ) 45 hari ( kg ) 60 hari ( kg ) Urea 36,5 9 9 9 9 ZA 3,5 1 1 1 1 SP-36 6,5 1,5 1,5 1,5 1,5 KCl 20 5 5 5 5 Dolomit 13 3 3 3 3 SPR NASA 2 botol ( siram) 2 botol ( siram) Catatan : Dosis produksi padi 1,2 – 1,7 ton/ 1000 M2 Gabah Kering Panen Sumber: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, 2000
Kemudian penggenangan air dilakukan pada fase awal pertumbuhan, pembentukan anakan, pembuangan dan masa bunting. Sebelum fase bunting dilakukan pengeringan agar menghentikan pembentukan anakan dan fase pemasakan biji untuk
menyeragamkan dan mempercepat pemasakan biji. Panen dilakukan jika butir padi gabah 80 persen menguning dan tangkainya menunduk dengan menggunakan sabit. Setelah dikeringkan dengan sinar matahari selama 2-3 hari, kemudian digiling dan menghasilkan beras yang dapat dikonsumsi.Selain itu, pada penanamannya juga dibutuhkan identifikasi gejala hama dan penyakit agar penanganannya menjadi tepat, yaitu: 1.
Hama putih yang menyerang daun bibit, kerusakan berupa titik-titik yang memanjang sejajar tulang daun, ulat menggulung daun padi. Pengendalian dilakukan dengan pengaturan air yang baik, penggunaan bibit sehat, melepaskan
musuh
alami,
menggugurkan
tabung
daun,
menggunakanBVR.Gejala yang timbul daun menggulung dan berwarna kuning sampai kemerahan, pertumbuhan bibit terhambat, pada tanaman dewasa gabah tidak berisi. 2.
Wereng penyerang batang padi dan penyerang daun yang terdiri dari wereng padi coklat, wereng padiberpunggung putih, wereng padi hijau.Merusak dengan cara mengisap cairan batang padi dan dapat menularkan virus. Gejala yang timbul tanaman padi menjadi kuning dan mengering, sekelompok tanaman seperti terbakar, tanaman yang tidak mengering menjadi kerdil. Pengendalian dilakukan dengan bertanam padi serempak, menggunakan varitas tahan wereng seperti IR 36, IR 48, IR- 64, Cimanuk, Progo dsb, membersihkan lingkungan, melepas musuh alami seperti laba-laba, kepinding dan kumbang lebah, penyemprotanBVR.
3.
Walang sangit, menyerang buah padi yang masak susu. Gejala yang timbul buah hampa atau berkualitas rendah seperti berkerut, berwarna coklat dan tidak enak, pada daun terdapatbercak bekas isapan dan bulir padi berbintikhitam.Pengendalian
dilakukan
dengan
bertanam
serempak,
peningkatankebersihan, mengumpulkan dan memusnahkan telur, melepas musuh alami seperti jangkrik, laba-laba, penyemprotan BVR. 4.
Kepik hijau yangmenyerang batang dan buah padi. Gejala yang timbulpada batang tanaman terdapat bekas tusukan, buah padi yang diserang memiliki noda bekas isapan dan pertumbuhan tanaman terganggu. Pengendalian dilakukan
dengan
mengumpulkan
dan
memusnahkan
telur-telurnya,
penyemprotan BVR. 5.
Penggerek batang padi terdiri atas penggerek batang padi putih, kuning, bergaris dan merah jambu. Menyerang batang dan pelepah daun. Gejala yang timbulpucuk tanaman layu, kering berwarna kemerahan dan mudah dicabut, daun mengering dan seluruh batang kering. Kerusakan pada tanaman muda disebut hama "sundep" dan pada tanaman bunting (pengisian biji) disebut "beluk". Pengendalian dilakukan dengan menggunakan varitas tahan, meningkatkan kebersihan lingkungan, menggenangi sawah selama 15 hari setelah panen agar kepompong mati, membakar jerami, menggunakan BVR.
6.
Hama tikusyang menyerang batang muda (1-2 bulan) dan buah. Gejala yang timbul adanya tanaman padi yang roboh pada petak sawah dan pada serangan hebat ditengah petak tidak ada tanaman. Pengendalian dilakukan dengan
pergiliran tanaman, tanam serempak, sanitasi, gropyokan, melepas musuh alami seperti ular dan burung hantu, penggunaan NAT (Natural Aromatic). 7.
Burung yang menyerang menjelang panen, tangkai buah patah, bij berserakan. Pengendalian dengan mengusir menggunakan bunyi-bunyian atau orangorangan.
8.
Penyakit bercak daun coklat,penyebab: jamur Helmintosporium oryzae. Gejala yang timbul menyerang pelepah, malai, buah yang baru tumbuh dan bibit yang baru berkecambah, biji berbercak-bercak coklat tetapi tetap berisi, padi dewasa busuk kering, biji kecambah busuk dan kecambah mati. Pengendalian dilakukan dengan merendam benih di air hangat yang dilarutkan POC NASA, pemupukan berimbang, tanam padi tahan penyakit ini.
9.
Penyakit Blastpenyebabnya adalah jamur Pyricularia oryzae. Gejala yang timbul menyerang daun, buku pada malai dan ujung tangkai malai,daun, gelang buku, tangkai malai dan cabang di dekat pangkal malai membusuk, pemasakan
makanan
terhambat
dan
butiran
padi
menjadi
hampa.
Pengendalian dilakukan dengan membakar sisa jerami, menggenangi sawah, menanam varitas unggul Sentani, Cimandiri IR-48, IR-36, pemberian pupuk N di saat pertengahan fase vegetatif dan fase pembentukan bulir, pemberian GLIO di awal tanam. 10.
Busuk pelepah daunpenyebabnya adalah jamur Rhizoctonia sp. Gejala yang timbul menyerang daun dan pelepah daun pada tanaman yang telah membentuk anakan,menyebabkan jumlah dan mutu gabah menurun.
Pengendalian dilakukan dengan menanam padi tahan penyakit, pemberian GLIO pada saat pembentukan anakan. 11.
Penyakit Fusariumpenyebabnya adalah jamur Fusarium moniliforme. Gejala yang timbul menyerang malai dan biji muda menjadi kecoklatan, daun terkulai, akar membusuk. Pengendalian dengan merenggangkan jarak tanam, mencelupkan benih dan POC NASA kemudian disebari GLIO di lahan.
12.
Penyakit kresek atau hawar daunpenyebabnya bakteri Xanthomonas campestris pv oryzae. Gejala yang timbul menyerang daun dan titik tumbuh. Terdapat garis-garis di antara tulang daun, garis melepuh dan berisi cairan kehitam-hitaman, daun mengering dan mati. Pengendalian dilakukan dengan menanam varitas tahan penyakit seperti IR 36, IR 46, Cisadane, Cipunegara, menghindari luka mekanis, sanitasi lingkungan, pengendalian diawal dengan GLIO.
13.
Penyakit kerdilpenyebabnya virus ditularkan oleh wereng coklat. Gejala yang timbulmenyerang semua bagian tanaman, daun menjadi pendek, sempit, berwarna hijau kekuning-kuningan, batang pendek, buku-buku pendek, anakan banyak tetapi kecil. Pengendalian dilakukan dengan sulit dilakukan, usaha pencegahan dengan memusnahkan tanaman yang terserang ada mengendalikan vector dengan BVR atau PESTONA.
14.
Penyakit tungropenyebabnya virus yang ditularkan oleh wereng hijau. Gejala yang timbulmenyerang semua bagian tanaman, pertumbuhan tanaman kurang sempurna, daun kuning hingga kecoklatan, jumlah tunas berkurang,
pembungaan tertunda, malai kecil dan tidak berisi. Pengendalian dilakukan dengan menanam padi tahan wereng seperti Kelara, IR 52, IR 36, IR 48, IR 54, IR 46, IR 42 dan mengendalikan vektor virus dengan BVR. 2.2.
Permintaan Pupuk Menurut Pusat Penelitian Sosial Ekonomi (2000) permintaan pupuk aktual di
tingkat petani dipengaruhi oleh 10 faktor, yaitu: 1.
Terciptanya keuntungan finansial cukup tinggi akibat penggunaan pupuk dan adanya kesadaran petani akan manfaat pupuk sehingga petani termotivasi untuk menggunakan pupuk.
2.
Kemampuan petani membeli pupuk dan likuiditas tunai yang secara cepat dapat dicairkan menjadi uang untuk membeli pupuk.
3.
Ketersediaan pupuk secara tepat jenis, jumlah, waktu dan lokasi.
4.
Curah hujan dan distribusinya sepanjang tahun memengaruhi ketersediaan air yang selanjutnya memengaruhi penggunaan pupuk.
5.
Luas lahan beririgasi yang memengaruhi intensitas tanam yang kemudian berdampak pada kebutuhan pupuk.
6.
Pola tanam, yang menentukan jumlah pupuk yang diperlukan.
7.
Ketersediaan dan penggunaan benih varietas unggul yang responsif terhadap pupuk.
8.
Karakteristik tanah dan kandungan nutrisi dalam tanah.
9.
Total luas lahan yang diusahakan.
10.
Luas garapan per petani, dimana penggunaan pupuk per hektare petani sempit lebih banyak dibanding petani luas. Sedangkan yang memengaruhi petani dalam mengambil keputusan tentang
jenis dan jumlah pupuk yang digunakan dalam kegiatan berusaha tani terdapat dua faktor. Kedua faktortersebut adalah faktor teknis-agronomis dan faktor sosial ekonomi. Faktor teknis-agronomis terdiri dari: 1.
Jenis paket teknologi yang direkomendasikan.
2.
Informasi teknologi dari sumber-sumber lain.
3.
Kemungkinan subsitusi atau komplementaritas antar jenis pupuk.
4.
Pola tanam dalam setahun.
5.
Luas lahan yang diusahakan.
Sementara faktor-faktor sosial ekonomi yang memengaruhi keputusan petani dalam menggunakan jumlah dan jenis pupuk: 1.
Harga pupuk itu sendiri.
2.
Harga pupuk yang lain.
3.
Harga input lain.
4.
Harga output.
5.
Tingkat keuntungan usahatani.
2.3.
Permintaan Buruh Perusahaan
atau
usaha
tani
yang
memaksimumkan
labanya
akan
memperbanyak buruh taninya (tenaga kerjanya) yang dipekerjakan karena dua hal. Pertama, perusahaan akan mengganti input lain yang relatif lebih mahal dengan
tenaga kerja yang lebih murah. Kedua, penurunan upah akan mengurangi biaya marjinal perusahaan, yang memungkinkannya untuk meningkatkan output dan menaikkan penggunaan seluruh input termasuk tenaga kerja yang merupakan efek output. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan harga input akan menyebabkan usaha tani lebih sedikit menggunakan input tersebut (Nicholson,2002). 2.4.
Perilaku Perusahaan Menurut Nicholson (2002), bahwa perilaku perusahaan dalam memaksimisasi
laba dan meminimasi biaya. Maksimisasi laba dapat dilakukan dengan menggunakan unit tambahan dari input sampai suatu titik dimana tambahan penerimaan akibat penggunaan tambahan satu input tersebut akan sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan unit input tersebut. Selanjutnya digunakan simbol MEk dan MELyang menunjukkan biaya marginal bagi kapital dan buruh, kemudian menggunakan simbol MRkdan MRL yang menunjukkan penerimaan marginal bagi kapital dan buruh. Digunakan simbol v sebagai tingkat sewa input biaya modal dan w sebagai tingkat upah yang berlaku. Maka, dengan perusahaan sebagai price taker syarat maksimisasi laba dapat dituliskan seperti rumus dibawah ini. v = MEk= MRk w = MEL= MRL Selain itu, meminimumkan biaya dapat dilakukan dengan memilih kombinasi input untuk mendapatkan kombinasi harga yang termurah. Sehingga, untuk perusahaan yang menggunakan kombinasi dua input (atau lebih) dengan asumsi produk fisik marjinal buruh yang semakin menurun, jika nilai w menurun, perubahan
tidak hanya terjadi pada input buruh namun juga pada input modal karena akan dipilih kombinasi input yang baru, yang meminimalkan biaya. Pada saat input modal berubah, keseluruhan fungsi MPL bergeser (para pekerja sekarang bekerja dengan jumlah modal yang berbeda).
K1 A MC MC’ K2
C B
P
q2 q1 0
L1
L2 Jam buruh 0 per minggu a. Pilihan Input Sumber: Nicholson, 2002
q1
q2Output per minggu
b. Keputusan Output
Gambar II.1. Efek Subsitusi dan Efek Output Akibat Penurunan Upah Sebagai contoh, jika upah turun, efek subsitusi menyebabkan lebih banyak buruh yang akan dipekerjakan meskiput output dipertahankan konstan. Hal ini ditunjukkan sebagai pergerakan dari titik A ke titik B dipanel a. Perubahan w akan menggeser kurva biaya marjinal perusahaan. Dalam situasi yang normal, kurva MC bergeser ke kanan sebagai respons terhadap penurunan w, seperti ditunjukkan pada panel b. Dengan kurva yang baru (MC’) tingkat output yang lebih tinggi (q2) akan dipilih. Penggunaan buruh akan meningkat menjadi L2akibat efek output ini.
2.5.
Fungsi Keuntungan Transendental Logaritma Analisis permintaan input dan penawaran ouput dapat menggunakan dua
pendekatan. Kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan primal dan pendekatan dual. Pendekatan primal dilakukan dalam menganalisis hubungan antara input dan output yang dapat digambarkan dengan suatu model fungsi produksi, sedangkan pendekatan dual dilakukan dengan model fungsi keuntungan ataupun fungsi biaya. Meskipun pada dasarnya pendekatan primal dengan fungsi produksi merupakan cara yang cukup efektif, namun tetap ada beberapa kelemahan yang mendasar yang dapat dihindari jika kita menggunakan fungsi lain. Kelemahan tersebut adalah terdapatnya kemungkinan terjadinya simultanous equation biasakibat contemporaneous correlation yang dapat menyebabkan tidak konsistennya nilai dari parameter model yang diduga. Menurut Semaoen (1992) dalam Hartoyo (1994), bias simultan dalam fungsi produksi terjadi karena jumlah pemakaian input dianggap sebagai variabel eksogen, namun pada kenyataannya produsen membuat keputusan dalam alokasi penggunaan input berdasarkan harga-harga yang sifatnya eksogen, sehingga jumlah penggunaan input itu seharusnya merupakan variabel endogen. Untuk menghindari simultanous equation biastersebut pada bentuk model fungsi produksi, yang dapat dilakukan adalah menyesuaikan model fungsi produksi yang ada. Penyesuaian tersebut berupa penghindaran penggunaan ukuran input secara fisik sebagai peubah tetapi dinormalkan dengan Indeks Harga Konsumen yang berfungsi sebagai deflator terhadap peningkatan harga-harga input variabel dalam jangka pendek.
Pendekatan dual dengan fungsi keuntungan merupakan metode yang lebih baik untuk menganalisis aspek produksi dari suatu komoditas, karena pendekatan ini memiliki beberapa kelebihan, diantaranyainput dan output produksi dianalisa secara bersamaan, dengan diestimasinya fungsi keuntungan maka fungsi permintaan input dan penawaran output dapat diketahui secara sekaligus tanpa harus membuat fungsi produksi yang eksplisit,dapat digunakan untuk menelaah efisiensi teknik, harga dan ekonomi dari aktivitas produksi yang dilakukan, menggunakan ukuran harga untuk peubah-peubah yang ditelaah, sehingga mempunyai kesesuaian dengan realita mengenai peranan harga-harga di pasar dalam proses pengambilan keputusan penggunaan sumber daya (Handewi, 1986). Fungsi keuntungan dapat dibentuk dari fungsi produksi yang dimodifikasi. Jika suatu perusahaan memiliki fungsi produksi: Y= F(X1,X2,…,Xn;Zm) atau Y = f(X;Z) yaitu dengan: Y
= output
Xh...., Xn
= Input variabel
Zm
= Input tetap
Fungsi keuntuungan dapat ditulis sebagai perkalian antara harga output (Py) dan output (Y) sebagai penerimaan total yang kemudian di kurangi dengan perkalian antara harga input (Rxh) dengan input (Xh), seperti yang tercantum dibawah ini: π = Py . Y – Rxh . Xh π = Py. F(X1,X2,…,Xn;Zm) - ∑Pxh . Xh
sehingga saat fungsi keuntungan ditransformasikan ke dalam bentuk translog maka didapat persamaan berikut (Siregar, 1991): ln =
0+
i=1k ilnPi+
h=1m h
lnRh+
1=1n 1
lnZ1
+
0,5
i=1kj=1k ij
lnPi
lnPj
+
0,5
h=1mt=1m ht
lnRh
lnRt+
0,5
l=1nr=1n lr
lnZl
lnZr+
i=1kh=1m ih
lnPi
lnRh
+
i=1kl=1n l1
lnPi
lnZl+
h=1ml=1n hl
lnRh
lnZl
Dengan masing-masing variabel merepresentasikan: Pi
= Harga komoditi i, dengan i= 1,2,3. yaitu gabah, jagung, dan kedelai
Rh
= Harga input h, dengan h=1,2,3,4. yaitu hargapupuk urea, pupuk
TSP, pestisida, dan harga upah. Zl
= Kuantitas input tetap dengan l=1 yaitu areal panen.
a, b, c,d, E, F = Parameter yang diduga. 2.6.
Penelitian Terdahulu
2.6.1. Produksi Beras Situmorang (2005) melakukan penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan impor beras Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dalam deret waktu 1981-2003, metode analisis yang digunakan adalah metode kuantitatif. Model produksi dan impor beras terdiri dari lima persamaan struktural yaitu luas areal panen tanaman padi, produktivitas padi, harga gabah di tingkat petani, impor beras Indonesia, dan harga impor beras Indonesia. Analisis menggunakan model persamaan simultan dengan metode Two Stages Least Squares (2 SLS) dengan
menggunakan program Eviews version 4.0, hasil analisis menunjukkan bahwa dugaan model yang ada telah cukup baik, sebagaimana terlihat dari nilai koefisien determinasinya dari masing-masing persamaan struktural yang berkisar antara 0,54 0,98. Luas areal panen tanaman padi dipengaruhi oleh harga gabah di tingkat petani, harga pupuk urea, curah hujan dan lag luas areal panen. Semua variabel berpengaruh nyata terhadap luas areal tanaman padi. Produktivitas padi dipengaruhi jumlah penggunaan urea dan lag produktivitas. Harga gabah di tingkat petani dipengaruhi oleh harga dasar gabah, harga impor beras dan produksi padi. Sastrohoetomo (1984) melakukan studi dampak kebijakan harga pupuk dan beras terhadap pencapaian swasembada beras, perubahan kesejahteraan masyarakat, laju inflasi dan pengeluaran pemerintah. Untuk itu dirumuskan model persamaan tunggal yang diduga terpisah, yaitu persamaan produksi, persamaan permintaan pupuk, persamaan permintaan beras, persamaan produksi beras yang dipasarkan, dan persamaan inflasi. Lima alternatif kebijakan perubahan harga pupuk, harga dasar gabah dan harga eceran beras tertinggi dianalisis. Dalam hal ini yang menarik untuk dikemukakan adalah hasil analisisnya yang menunjukkan bahwa bila subsidi pupuk, harga gabah dan harga beras ataupun semua anggaran subsidi untuk sektor beras dihapuskan akan lebih berdampak positif ketimbang berdampak negatif bagi masyarakat. Indikasinya adalah produksi beras hanya turun sedikit, bahkan swasembada beras akan dapat tercapai pada kebijakan pengahapusan anggaran subsidi. Kenaikan inflasi tidak berarti, sebaliknya pengeluaran pemerintah dapat
dihemat, terjadi pemerataan pendapatan petani, dan secara keseluruhan keuntungan masyarakat meningkat. Hartoyo (1994) melakukan penelitian secara keseluruhan untuk semua tanaman pangan yaitu padi sawah, padi ladang, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar dengan meneliti pengaruh dari infrastuktur terhadap penawaran tanaman pangan di Jawa dengan pendekatan multi-input dan multi-output. Dalam penelitiannya ada dua model yang digunakan yaitu model pangsa areal logit linier dan model fungsi keuntungan transendental logaritma dengan pendekatan multi-input dan multi-output. Salah satu hasil yang dapat diketahui dari pendekatan pangsa areal logit linier adalah elastisitas pangsa areal terhadap harga sendiri dan tanaman alternatifnya adalah bersifat inelastis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pengurangan subsidi pupuk dan penggunaan irigasi tidak banyak menyebabkan penurunan penawaran output tanaman pangan. Pengurangan subsidi pupuk di Jawa tidak banyak mengurangi pendapatan petani. Oleh karena itu usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani di Jawa sudah tidak dapat dilakukan hanya dengan kebijakan subsidi harga pupuk. Hutaruk (1996) menggunakan model ekonometrika persamaan simultan untuk menganalisis dampak kebijakan penetapan dan perubahan harga dasar padi dan subsidi pupuk terhadap perubahan permintaan dan penawaran beras, kesejahteraan konsumen dan produsen beras Indonesia. Pada sisi penawarannya yaitu respons areal dan produktivitas didisagregasi untuk Jawa dan Luar Jawa. Asumsi ekonomi terbuka
tercermin dengan adanya peranan impor di dalam model ini, namun tidak dikaitkan dengan perilaku pengimpor atau pengeksopor lainnya. Leo (2000) melakukan penelitian respons penawaran untuk padi di Indonesia dengan disagregasi wilayah produksi yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara. Model yang digunakan yaitu regresi linier berganda. Hasil yang diperoleh adalah respons areal untuk Pulau Jawa dipengaruhi perubahan harga jagung, harga bibit, harga pestisida dan perubahan teknologi. Wilayah Sumatera dipengaruhi perubahan harga padi dan luas areal irigasi. Wilayah Kalimantan dipengaruhi perubahan harga padi, harga pupuk, harga pestisida, luas areal irigasi, dan curah hujan. Wilayah Sulawesi dipengaruhi oleh perubahan harga padi, jagung dan luas areal panen tahun sebelumnya. Sedangkan wilayah Bali dan Nusa Tenggara dipengaruhi oleh perubahan harga jagung, harga bibit, harga pupuk, upah buruh tani, luas areal irigasi, dan curah hujan. Untuk respons produktivitas di wilayah Jawa dipegaruhi oleh perubahan harga jagung, harga bibit, upah buruh tani, luas areal irigasi dan produktivitas tahun sebelumnya. Wilayah Sumatera dipengaruhi perubahan harga padi, harga bibit, harga pupuk, upah buruh tani dan produktivitas tahun sebelumnya. Wilayah Kalimantan dipengaruhi perubahan harga padi, harga bibit, harga pestisida, luas areal irigasi dan produktivitas tahun sebelumnya. Wilayah Sulawesi dipengaruhi oleh perubahan harga bibit, luas areal irigasi dan curah hujan. Sedangkan untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara, upaya peningkatan produktivitas guna meningkatkan produksi padi dipengaruhi oleh perubahan harga bibit, harga pupuk dan upah buruh tani.
2.6.2. Fungsi Keuntungan Transendental Logaritma Menurut Lau (1972) dalam Hartoyo (1994), teori multiproduk telah dipelajari mulai tahun 1962 oleh Mundlak. Kemudian sifat-sifat fungsi keuntungan juga dipelajari sejak tahun 1966, yaitu oleh McFadden, dan kemudian diikuti oleh Diewert serta ahli-ahli lainnya. Keuntungan pendekatan multi-output, multi-input adalah tidak diperlukannya pemisahan masing-masing output dan masing-masing input. Disamping itu, dengan multi-output, multi-input dapat digunakan untuk mendeteksi adanya keterkaitan keputusan berproduksi antara tanaman yang satu dengan tanaman yang lainnya. Salah satu cara menganalisis multi-inputdan multi-output dapat dilakukan dengan metode dual dari fungsi produksi, namun yang banyak digunakan adalah fungsi keuntungan. Kelebihan menggunakan fungsi keuntungan dibandingkan dengan fungsi biaya dan fungsi penerimaan adalah, pertama, fungsi keuntungan mudah diduga. Kedua, dalam pendugaan tidak ada peubah endogen yang digunakan sebagai peubah penjelas, sehingga dapat menghindari ketidak konsistenan dalam pendugaan ekonometrika terhadap masalah persamaan simultan. Squires (1987) dalam Hartoyo (1994) menurunkan fungsi keuntungan multiproduk jangka panjang dari fungsi keuntungan restriksi, pendugaan dilakukan dengan menggunakan fungsi keuntungan translog terhadap tiga output dan dua input variabel dan satu input tetap. Selanjutnya, fungsi ini digunakan untuk menduga elastisitas Marshal jangka panjangguna mempelajari struktur biaya multiproduk. Kemudian digunakan untuk mengukur scope ekonomi dan skala ekonomi, dan untuk mengukur
penggunaan kapasitas. Dengan model translog, elastisitas terhadap faktor tetap hanya dapat diketahui jika fungsi keuntungan dapat diduga. Sedangkan untuk menduga fungsi keuntungan dapat dilakukan jika pengamatannya cukup memadai. Namun jika banyaknya pengamatan hanya sedikit maka mencari elastisitas terhadap faktor tetap menjadi sulit. Penelitian yang dilakukan oleh Diana (2000) adalah melakukan pendugaan elastisitas permintaan input dan penawaran output pada usahatani padi sawah di Jawa. Pendekatan yang digunakan adalah dengan fungsi keuntungan Unit Output Price (UOP), dari fungsi keuntungan ini bisa diturunkan fungsi pangsa biaya (share) dan elastisitas permintaan input serta penawaran output. Sedangkan peubah-peubah input variabel yang diduga berpengaruh pada keuntungan (jangka pendek) produksi padi sawah (yang dinormalkan dengan harga pasar padi) adalah harga bibit padi, harga pupuk urea, harga pupuk TSP, harga pupuk kimia lainnya, harga pestisida dan harga/upah tenaga (tenaga kerja manusia, tenaga kerja hewan, dan traktor), dimana semua peubah tersebut dinormalkan dengan harga padi. Selain peubah input variabel dan input tetap, terdapat juga peubah dummy untuk provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur serta peubah trend. Nilai elastisitas permintaan input terhadap harga sendiri untuk input bibit, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk kimia lainnya, dan pestisida berbeda nyata dengan nol pada taraf satu persen, kecuali untuk input tenaga yang tidak berbeda nyata. Tanda negatif ini berarti sesuai dengan hukum permintaan, dimana jika harga input meningkat maka permintaan input tersebut akan turun.
Terakhir, penelitian yang dilakukan oleh Siregar (1991) yang menduga elastisitas penawaran output padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah,dan kedelai. Selain itu penelitian ini juga menduga elastisitas permintaan input buruh tani, pupuk, benih, dan pestisida. Dengan menggunakan fungsi keuntungan translog yang telah direstriksi dan diturunkan menjadi pangsa penerimaan dan pangsa biaya. Hasilnya adalah elastisitas penawaran padi terhadap harga gabah bersifat inelastis begitu juga dengan elastisitas permintaan input terhadap harga masing-masing inputnya. 2.7.
Kerangka Pemikiran Dikarenakan strategisnya peran beras, maka diperlukan penelitian tentang
penawaran padi dan permintaan input padi. Penelitian ini menganalisis karakteristik penawaran output padi dan permintaannya terhadap input variabel secara bersamaan yang teringkas dalam fungsi keuntungan translog melalui penurunan dengan Hotelling Lemma sehingga menghasilkan pangsa penerimaan dan pangsa biaya. Penawaran output diasumsikan dipengaruhi oleh harga komoditas itu sendiri, yaitu harga gabah dan harga komoditas subsitusi padi, yaitu: jagung dan kedelai. Pertimbangan memasukkan harga komoditas jagung dan kedelai adalah karena padi dan kedua komoditas tersebut menggunakan input yang sejenis dan ditanam bergantian. Permintaan input diasumsikan dipengaruhi oleh harga input variabel berupa harga pupukurea, TSP, pestisida, serta upah tenaga kerja.Selain input variabel, penelitian ini juga memasukkan pengaruh dari variabel tetap yaitu berupa areal panen yang merupakan proksi dari teknologi. Maka pembahasan dari penelitian ini seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 sebagai berikut:
Peran
Strategis
Beras
dalam
Politik
Peran
Strategis
Beras
dalam
Ekonomi
Peran
Strategis
Beras
dalam
Kesejahteraan
Sosial
Analisis
Penawaran
Padi
dan
Permintaan
Input
Padi
terhadap:
1. Harga
Gabah
2. Harga
Jagung
3. Harga
Kedelai
Harga
Input
Variabel:
1. 2. 3. 4.
Pupuk
Urea
Pupuk
TSP
Pestisida
Buruh
Input
Tetap:
1. Areal
Panen
Model
yang
digunakan:
ln =
0+
i=13 ilnPi+
h=14 h
lnRh+
1=11
lnZ1
+
0,5
i=13j=13 ij
lnPi
lnPj
+
0,5
h=14t=14 ht
lnRh
lnRt+
0,5
1=11r=11 1t
lnZi
lnZr+
i=13h=14 ih
lnPi
lnRh
+
i=131=11 i1
lnPi
lnZ1+
h=141=11 h1
lnRh
lnZ1
Demand
Response
Input
Padi
Supply
Response
Padi
Implikasi
Kebijakan
Gambar II.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
2.8
Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya
maka dapat diturunkan beberapa hipotesis sebagai berikut: 1.
Harga gabah akan memengaruhi secara signifikan untuk semua pangsa, baik pangsa penerimaan komoditi subsitusi padi maupun pangsa biaya input yang digunakan.
2.
Elastisitas penawaran padi terhadap harga gabah bernilai positif.
3.
Elastisitas penawaran paditerhadap harga input-input bernilai negatif.
4.
Elastisitas permintaan inputterhadap harga masing-masinginput-input bernilai negatif.
III. METODE PENELITIAN 3.1.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekundertime
series. Cara pengumpulan data didasarkan atas pencarian, pemilihan, dan pencatatan dari dokumen statistik berbagai lembaga terkait seperti Biro Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian (Deptan), dan beberapa bahan pustaka lainnya berupa literatur dari buku-buku, working paper, skripsi, disertasi, dan internet yang berhubungan dengan
topik
penelitian.
Pengambilan
data
mencakup
faktor-faktor
yang
memengaruhipenawaran padi di Indonesia dan mengacu kepada beberapa penelitiansebelumnya. Berdasarkan kelengkapan data yang tersedia maka penelitian ini dilakukan untuk seluruh Indonesia dari tahun 1969 hingga tahun 2006. Komoditas tanaman pangan lain yang memengaruhi penawaran padi yang akan dimasukkan dalam model adalah jagungdan kedelai. Faktor produksi yang dimasukkan dalam model adalah pupuk urea, pupuk TSP, pestisida, tenaga kerja, dan luas areal panen. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari luas areal panen, produksi padi, produksi jagung, produksi kedelai, penggunaan input tanaman padi, jagung dan kedelai, harga-harga input tanaman padi,jagung dan kedelai, harga gabah, harga dua komoditas subsitusi padi,dan Indeks Harga Konsumen.
3.2.
Model Analisis Data Penelitian ini menggunakan fungsi keuntungan transendental logaritma
(Translog) dan berbentuk fungsi keuntungan. Bentuk fungsi keuntungan translog diperkenalkan pertama kali oleh Christensen, Jorgenson dan Lau (1972)dalam Hartoyo (1994). Berikut ini adalah bentuk fungsi keuntungan yang akan digunakan dalam penelitian ini, yang telah diberi indeks sesuai tujuan dari penelitian, yaitu: ln =
0+
i=13 ilnPi+
h=14 h
lnRh+
1=11
lnZ1
+
0,5
i=13j=13 ij
lnPi
lnPj
+
0,5
h=14t=14 ht
lnRh
lnRt+
0,5
1=11r=11 1t
lnZi
lnZr+
i=13h=14 ih
lnPi
lnRh
+
i=131=11 i1
lnPi
lnZ1+
h=141=11 h1
lnRh
lnZ1
(1)
di mana, π adalah keuntungan, P adalah harga output i, R adalah harga input h, dan Z adalah input tetap l. Homogen mengisyaratkan fungsi tersebut telah memenuhi garis perluasan usaha dari input-inputnya artinya jika jumlah input digandakan maka jumlah keuntungan juga mengganda dalam jumlah tertentu. Sedangkan syarat simetri dibutuhkan agar fungsi tersebut dapat dimaksimumkan, karena jika fungsinya naik atau turun maka tidak dapat dimaksimumkan.Supaya fungsi keuntungan (π) memenuhi sifat homogen derajad satu terhadap harga output dan harga input diperlukan persyaratan sebagai persamaan (2) berikut :
i=13ai+
i=14bh
=
1
(2 )
j=13aij+
h=i4 ih
=
0
(2 )
i=13 hi+
t=14 ht
=
0
(2 )
i=13 il+
l=11 hl=
0
(2 )
Di samping itu, selain memenuhi sifat homogen derajad satu terhadap harga-
harga output, dan input, fungsi keuntungan tersebut juga mempunyai sifat simetri. Supaya sifat-sifat tersebut terpenuhi maka perlu dimasukkan persyaratan sebagai berikut,
ij
=
ji
untuk
i
j
ih=
hi
untuk
i
h
il
=
li
untuk
i
l
ht
=
th
untuk
t
h
hl=
lh
untuk
h
l
lr
=
rl
untuk
l
r
(3)
Dengan menggunakan Hotelling Lemma, maka persamaan (1) dapat diturunkan menjadi persamaan pangsa sebagai berikut.
lnπlnPi
=
PiYi
=
Si
untuk i=1, 2,3.
Si
=
ai+j=13aijlnPj+h=14bihlnRh+1=11cillnZl
(4)
lnπlnRh
=−RhXh
=−S1R1
untuk h=1, 2, 3, 4.
−S1Rℎ
=
bh+i=13ahilnPi+t=14bhtlnRt+l=11chllnZl
(5)
Persamaan (4) merupakan persamaan pangsa penerimaan sedangkan persamaan (5) merupakan persamaan pangsa biaya input variabel. Pangsa dari output mempunyai tanda positif sedangkan pangsa dari input mempunyai tanda negatif. Dari persamaan (4) dan (5) berturut-turut dapat dicari fungsi penawaran serta elastisitas penawaran output dan fungsi permintaan serta elastisitas permintaan input. Dalam menduga parameter dapat dilakukan secara simultan untuk persamaan (1), persamaan (4) dan persamaan (5). Tetapi, pendugaan parameter secara simultan ini hanya dapat dilakukan jika pengamatannya mencukupi. Sedangkan jika pengamatannya sedikit, maka pendugaan dapat dilakukan hanya pada persamaan (4)
dan persamaan (5) Sedangkan persamaan (1) dapat diduga jika koefisien persamaan (4) dan (5) telah diketahui. Kemudian elastisitas penawaran output (permintaan input) dapat didefinisikan sebagai presentase perubahan output (input) sebagai akibat perubahan harga output (input) sebesar satu persen. Elastisitas yang diturunkan dari fungsi keuntungan merupakan elastisitas Marshalian. Elastisitas penawaran output dapat diturunkan dari persamaan (4) yaitu: PiQiπ
=
Si Qi=
πSiPi
lnQi
=
lnπ+lnSi−
lnPi
(1) Elastisitas penawaran terhadap harga sendiri eii=
lnQi
lnPj=
lnπ
lnPi
+
lnSi
lnPi−
lnPi
lnPi
eii
=
Si∗+aiiSi∗−1
(6)
(2) Elastisitas penawaran (silang) terhadap harga output lain eij=
lnQi
lnPj=
lnπ
lnPj
+
lnSi
lnPj−
lnPi
lnPj
eij
=
Sj∗+aijSi∗
(7)
(3) Elastisitas penawaran terhadap harga input
eih=
lnQi
lnPh=
lnπ
lnPh
+
lnSi
lnPh−
lnPi
lnPh
eih
=
−Sh∗+dihSi∗
(8)
Elastisitas permintaan input dapat diturunkan dari persamaan (5) berikut: RiXi =Sh
Xi=π
ShRh
lnXh=lnπ
+lnS1rh−
lnRh
(9)
(4) Elastisitas permintaan input terhadap harga sendiri ehh=
lnXh
lnRh=
lnπ
lnRh
+
lnS1rh
lnRh−
lnRh
lnRh
ehh
=
−Sh∗−bhhSh∗−1
(10)
(5) Elastisitas permintaan (silang) input terhadap harga input lain eht=
lnXh
lnRt=
lnπ
lnRt
+
lnS1rh
lnRt−
lnRh
lnRt
eht
=
−S1rt∗−bhtSh∗
(11)
(6) Elastisitas permintaan input terhadap harga output ehi=
lnXh
lnPi=
lnπ
lnPi
+
lnS1rh
lnPi−
lnRh
lnPi
eih
=
−Si∗+dhiSh∗
(12)
dimana Si*, S1Rh* berturut-turut adalah dugaan pangsa output i dan input h pada tahun yang ditentukan. Si
=Pangsa penerimaan output ke i terhadap keuntungan
S1rh
=Pangsa
biaya input keh terhadap keuntungan.
π
= Keuntungan (total revenue-total variabel cost).
Rh
= Harga input variabel ke h, h= 1, 2, 3, 4, berturut-turut yaitu, harga pupuk
urea, harga pupuk TSP, harga pestisida, dan upah tenaga kerja, yang telah dideflasi dengan IHK. Pi
= Harga output variabel ke i, i = 1, 2, 3 berturut-turut yaitu harga gabah, harga
jagung dan harga kedelai yang telah dideflasi dengan IHK. Zl
= Input tetap ke ladalah luas panen.
αl , bh , c1= Konstanta aij, dih, bht, = Parameter output dan input terhadap fungsi keuntungan yang diduga. 3.3.
Metode Estimasidan Pengujian Statistik Metode estimasi yang digunakan adalah Seemingly Unrelated Regression
(SUR) yaitu pendugaan serangkaian bentuk persamaan pada saat yang bersamaan dan karakter dari variabel yang dipengaruhinya cenderung sama.Selain itu beberapa
model ekonomi terdiri atas beberapa persamaan yang membentuk sistem yang memiliki variabel-variabel endogen yang berbeda dan variabel-variabel eksogen yang berbeda pula namun persamaan tersebut menggunakan data yang sama, dan kemungkinan besar error termnya berkorelasi antar satu persamaan dengan persamaan lainnya. Maka, SUR merupakan metode estimasi yang paling tepat mengestimasi persamaan namun memperhitungkan hubungan korelasi antar persamaannya. Sebagai contoh, dalam data time series berupa output dari industri yang berbeda. Keadaan demikian dalam sebagian besar kasus, keputusan produksi antar output akan saling memengaruhi dan menyebabkan terjadinya contemporaneous correlation diantara error termnya (Yahya, et al., 2008). Software yang digunakan adalah MS Excel, Eviews 5, dan juga SAS 9. Saat model translog yang digunakan dalam penelitian ini terbukti dari uji Breuch-Pagan terdapat contemporaneous correlation diantara error termnya, pendugaan model dengan menggunakan metode OLS akan menyebabkan parameternya bias, maka metode
SUR
perlu
digunakan.Contemporaneous
correlation
diuji
dengan
menggunakan uji Breuch-Pagan LM test menggunakan Eviews 5. Hasilnya terdapat pada lembar lampiran 2, yaitu baik probabilitas F maupun Chi Square nya lebih dari alfa 5 persen, sehingga terbukti adanya contemporaneous correlationuntuk itu digunakan metode SUR. Pendugaan menggunakan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) memberikan efisiensi yang tinggi dalam pendugaan persamaan dibandingkan menggunakan Ordinary Least Square (OLS). Pengujian hipotesis akan diuji dengan menggunakan uji statistik t. Uji statistik t dapat digunakan untuk
menguji parameter dari masing-masing peubah, apakah secara terpisah peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas. Kemudian melihat koefisien determinasi model (R2), semakin tinggi R2 berarti model yang digunakan cukup baik. 3.4.
Definisi Operasional dan Konsep Pengukuran
Peubah yang diamati adalah keuntungan usaha tani padisebagai peubah tidak bebas dan diturunkan berdasarkan Hotelling Lemma menjadi Pangsa Penerimaan dan Pangsa biaya. Peubah bebas berupa harga output, harga input, dan proksi teknologi yaitu areal panen. Peubah harga output diantaranya adalah harga gabah, jagung dan kedelai. Peubah harga input adalah harga pupuk urea, harga pupuk TSP, harga pestisida dan upah buruh. Definisi masing-masing peubah dan pengukurannya sebagai berikut: 1.
Keuntungan usahatani padi (π) Keuntungan usahatani padi merupakan selisih antara penerimaan usahatani
padi (jumlah produksi gabah dikali dengan harga gabah) dengan biaya input variabel total (urea, TSP, pestisida, tenaga kerja)dikalikan dengan harga input masing-masing dan luas areal, dalam satuan rupiah. 2.
Tingkat produksi / output (Y)
Tingkat produksi output adalah tingkat produksi padi yang diukur dengan satuan ton. 3.
Harga Output (Py)
Harga Output adalah harga gabah diukur dalam rupiah per ton. 4.
Harga Pupuk Urea (R1)
Harga pupuk urea dipasaran diukur dalam rupiah perkilogram hektar. 5.
Harga Pupuk TSP (R2) Harga pupuk TSP di pasaran diukur dalam rupiah per kilogram hektar.
6.
Harga Pestisida (R3) Harga pestisida dipasaran diukur dalam rupiah perkilogram hektar.
7.
Harga/upah Tenaga Kerja (R4)
Harga/upah tenaga kerja merupakan upah tenaga kerja pertanian per hari orang kerja (HOK). 8.
Luas Panen (Zl)
Luas Panen adalah luas areal yang dipanen pada tahun tertentu. Sebagai variabel tetap dalam fungsi keuntungan translog yang juga merupakan teknologi dihitung dalam hektar.
IV. PERKEMBANGAN KOMODITI PADI 4.1.
Perkembangan Komoditi Padi di Indonesia
Bertolak dari kejadian krisis multidimensi yang dialami Indonesia tahun 1997, maka mulai tahun 2000Departemen Pertanian berencana lebih serius memfokuskan pada dua program utama, yaituPembangunan Sistem dan Usaha Agribisnisdan Peningkatan Ketahanan Pangan. Secara rinci dua program utama tersebut meliputi meningkatkan kapasitas produksi pertanian, mengentaskan kemiskinan di sektor pertanian dan wilayah pedesaan, meningkatkan pendapatan rumah tangga tani, memantapkan ketahanan pangan baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat nasional, meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, dan meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap devisa negara. Keenam program tersebut dapat dijadikan indikator perkembangan subsektor dalam pertanian termasuk sektor tanaman pangan padi. Maka indikator tersebut akan dibahas secara garis besar pada bab ini. Keseriusan peningkatan produksi tanaman pangan padi oleh pemerintah adalah dengan penyediaan infrastruktur yang dapat terlihat dari luas sawah, teknologi irigasi, dan trend teknologi dari area intensifikasi. Berdasarkan TabelIV.1. luas lahan sawah yang ada di Indonesia secara agregat mengalami kenaikan dari tahun 2001 hingga 2005 yaitu dari 7.779.733 ha meningkat menjadi 7.885.878 ha. Peningkatan luas lahan sawah tersebut juga sejalan dengan peningkatan hasil produksi padi pada
rentang waktu yang sama yaitu kenaikan dari 50.460.782 ton pada tahun 2001 menjadi 54.151.097 ton pada tahun 2005. Peningkatan luas lahan sawah sebenarnya didorong oleh perluasan yang ada di pulau di luar Jawa yaitu meningkat sebesar 209.767 ha, sedangkan yang terjadi di Pulau Jawa justru mengalami penurunan sebesar 103.622 ha dalam kurun 5 tahun terhitung dari tahun 2001. TabelIV.1. Luas Sawah Indonesia 2001-2005 No.
Pulau
Jumlah Lahan Sawah 2001
2002
2003
2004
2005
1
Sumatera
2.097.939
2.104.462
2.470.713
2.358.077
2.340.642
2
Jawa
3.339.168
3.316.577
3.334.627
3.066.611
3.235.546
3
413.377
418.547
433.447
422.669
421.515
4
Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan
992.165
1.008.425
1.074.393
1.018.802
995.919
5
Sulawesi
937.084
900.837
1.086.850
830.002
892.256
6
Luar Jawa
4.440.565
4.432.271
5.065.403
4.629.550
4.650.332
Indonesia
7.779.733
7.748.848
8.400.030
7.696.161
7.885.878
Sumber: BPS, 2005
Kemudian luas sawah irigasi teknis dari data yang didapat dari BPS tahun 2001 hingga 2005 menunjukkan bahwa luas sawah irigasi teknis yang ada di Indonesia tidak merata. Dari total irigasi teknis sebesar 2.244.297 ha yang ada di Indonesia pada tahun 2001, prioritas dari irigasi teknis difokuskan pada Pulau Jawa yaitu sebesar 1.532.293 ha dibandingkan sawah irigasi teknis yang terdapat di luar Jawa yang
hanya sebesar 712.004 ha. Fenomena tersebut cukup membuat paradoks karena pemerintahan dan segala kegiatan ekonomi berpusat di lahan yang sebenernya justru potensi dan diprioritaskan untuk menjadi lumbung padi. Berbeda dengan yang dialami pulau Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia ini adalah pulau yang paling sedikit sawah irigasinya yaitu sebesar 24.643 ha atau hanya sebesar satu persen dari total irigasi yang ada di Indonesia.Secara agregat sawah irigasi semakin berkurang, hingga tahun 2005 sawah irigasi teknis yang ada di Indonesia menurun menjadi 2.185.882 ha. Luas irigasi teknis paling banyak di pulau Sumatera adalah pada provinsi Lampung yaitu seluas 103.076 ha pada tahun 2005 atau sebanyak 31.5 persen seperti yang terlihat pada Tabel 4. ProvinsiJawa Timur memiliki luas irigasi terbesar di Pulau Jawa yaitu seluas 641.001 pada tahun 2005 atau 43,57 persen. Untuk pulau Bali dan Nusa Tenggara, provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki luas irigasi teknis yang paling besar yaitu seluas 78.154 ha atau 84,72 persen pada tahun 2005. Pada pulau Kalimantan luas irigasi teknis terpusat di Kalimantan Selatan yaitu seluas 17.039 ha atau 68,46 persen pada tahun 2005. Pulau Sulawesi, sawah irigasi teknis paling besar di provinsi Sulawesi Selatan yaitu seluas 153.659ha atau 56,91 persen pada tahun yang sama.
Tabel IV.2.Luas Sawah Irigasi Teknis Indonesia 2001-2005 No.
Pulau
1 2 3
Sumatera Jawa Bali dan Tenggara Kalimantan Sulawesi Luar Jawa Indonesia
4 5 6 7
Luas Lahan Sawah Irigasi Teknis
Nusa
2001 313.156 1.532.293 84.578
2002 321.234 1.516.252 84.632
2003 357.942 1.528.635 100.973
2004 315.519 1.486.658 88.584
2005 327.525 1.471.199 92.250
24.643 289.627 712.004 2.244.297
24.938 262.144 692.948 2.209.200
24.569 349.683 833.267 2.361.792
24.681 271.483 700.267 2.186.925
24.890 270.018 714.683 2.185.822
Sumber: BPS, 2005
Tabel IV.3. menjelaskan trendteknologi dari area intensifikasi dihitung dari pembagian antara area intensifikasi dengan luas panen padi pada periode tahun yang sama. Luas intensifikasi menunjukkan pemberdayaan lahan yang secara marginalnya diusahakan meningkat.Semakin besar angka trend teknologinya, maka semakin besar peningkatan teknologi yang diadopsi karena semakin banyak lahan panen yang diintensifikasikan. Jika dilihat trend yang ada pada Tabel IV.3. fakta yang menarik adalah saat terjadinya krisis multidimensi tahun 1997-1998 pemerintah memutuskan untuk meningkatkan trend teknologi ini menjadi 19 persen. Mengingat saat terjadinya krisis 1997-1998 tidak hanya daya beli masyarakat yang seharusnya menurun namun juga keterbatasan anggaran akibat penanganan krisis sebelumnya, namun pemerintah tetap mengintensifkan pembangunan subsektor padi dan mempertahankan hingga mengalami kenaikan pada tahun 2006 meski permintaannya diperkirakan menurun pada tahun 1998.
Tabel IV.3.TrendTeknologi Intensifikasi Indonesia 1969-2006. Trend
teknologi
(dalam
Persen)
1969
33
1982
18
1995
18
1970
29
1983
17
1996
19
1971
28
1984
17
1997
18
1972
28
1985
17
1998
19
1973
28
1986
17
1999
19
1974
23
1987
17
2000
19
1975
22
1988
18
2001
19
1976
22
1989
17
2002
19
1977
20
1990
18
2003
19
1978
20
1991
18
2004
20
1979
19
1992
18
2005
20
1980
18
1993
19
2006
20
1981
18
1994
19
Sumber: BPS, 2006 Keterangan: Trend teknologi dihitung dari presentase luas areal intensifikasi dibagi dengan luas areal panen.
Namun selain dari ketersediaan infrastruktur dan input, subsektor tanaman pangan padi juga dipengaruhi oleh kondisi iklim.Kondisi iklim saat ini dipengaruhi oleh global warming yang membuat musim tanam terganggu. Banjir pada lahan persawahan tidak dapat dihindari karena kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang memburuk. Pada tahun 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1.926.636 ha, dengan daerah yang mengalami puso seluas 471.711 ha. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut
berjumlah 2.131.579 ha, dengan gagal panen seluas 328.447 ha. Sedangkan tahun 2007 seluas 189.773 ha tanaman padi mengalami gagal panen, dari 577.046 ha sawah yang terkena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi 5 ton gabah perhektar, gabah yang terbuang akibat kekeringan dan banjir pada tahu 2006 mencapai 948.865 ton. Terlebih lagi adanya El Nino dapat menyebabkan produksi padi berkurang hingga 4,8 juta ton gabah. 4.2.
Produksi Padi
Jika dilihat dari Tabel IV.4.luas areal panen baik sawah maupun ladang, Indonesia memiliki 12.327.425 ha, dengan hasil produksi 60.325.925 dan produktivitas 48,94 kuintal per hektar tahun 2008. Jika dilihat secara parsial per pulau, maka Pulau Jawa adalah yang terluas. Luas areal panen provinsiJawaBarat adalah yang terluas yaitu 1.803.628 ha pada tahun 2008, dengan produktivitas 56,06 kuintal perhektar yaitu peringkat ketiga terbesar di Indonesia. Meskipun provinsiJawa Timur menempati provinsi terbesar produktivitasnya yaitu 59,02 kuintal perhektar, namun jika dilihat dari luas panennya pada tahun 2008 menempati peringkat kedua yaitu seluas 1.774.884 ha. Kemudian diikuti oleh DI Jogjakarta meskipun dengan luas panen yang kecil seluas 140.167, Pemda Jogja berhasil mengatur produksinya ditengah lahan yang kecil denganproduktivitasnya sebesar 56,95 kuintal perhektar. Selanjutnya adalah Jawa Tengah dengan luas 1.659.314ha dengan produktivitas 55,06 kuintal perhektar pada tahun yang sama. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki produksi terbesar di daerah luar Jawa, dengan produksi 4.083.356 ton pada tahun 2008 di areal panen seluas 836.298 ha.Pada Pulau
Kalimantan, produksi terbesar terpusat di Kalimantan selatan dengan total produksi tahun 2008 sebesar 1.954.284 ton di atas luas panen seluas 507.319 ha. Sumatera Utara berproduksi paling besar diantara peopinsi lain di Pulau Sumatera dengan produksi sebesar 3.340.794 dan produktivitas sebesar 44,63 kuital perhektar. Untuk pulau Bali dan Nusa Tenggara, provinsi Nusa Tenggara memproduksi paling banyak yaitu sebesar 1.750.677 ton pada tahun 2008. Dan terakhir pada pulau Papua, provinsi Papua adalah yang memiliki produksi paling besar dibandingkan dengan provinsi Papua Barat. Produksi di Provinsi Papuasebesar 85.699 ton pada tahun 2009 di luas panen 24.461 ha. TabelIV.4.Produksi Padi Indonesia Tiap Provinsi 2007-2009
Province 1. Nanggroe Aceh D. 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. R i a u 5. J a m b i 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Bangka Belitung 10. Riau Kepulauan 11. D.K.I. Jakarta 12. Jawa Barat 13. Jawa Tengah
Area (Ha)
2007 Yield Rate (Qu/H a)
360.717
42,51
1.533.369
329.109
42,61
1.402.287
356.705
43,18
1.540.405
750.232
43,53
3.265.834
748.54
44,63
3.340.794
772.927
44,89
3.469.529
423.655 147.167 149.888
45,75 33,30 39,14
1.938.120 490.087 586.63
421.902 147.796 143.034
46,59 33,44 40,67
1.965.634 494.26 581.704
436.086 161.735 153.99
47,25 35,64 41,64
2.060.320 576.412 641.202
691.467
39,81
2.753.044
718.797
41,34
2.971.286
742.129
41,28
3.063.561
123.853
37,99
470.469
127.506
38,03
484.9
125.11
38,41
480.606
524.955
43,97
2.308.404
506.547
46,22
2.341.075
547.04
46,57
2.547.516
9.01
27,07
24.39
6.266
24,06
15.079
7.182
27,31
19.617
117
29,32
343
134
30,15
404
149
29,66
442
1.544
51,83
8.002
1.64
50,93
8.352
1.66
51,63
8.57
1.829.085
54,20
9.914.019
1.803.628
56,06
10.111.069
1.873.318
56,69
10.620.613
1.614.098
53,38
8.616.855
1.659.314
55,06
9.136.405
1.683.897
55,38
9.326.123
Harvested
Production
Harvested
(Ton)
Area (Ha)
2008 Yield Rate (Qu/H a)
Production
Harvested
(Ton)
Area (Ha)
2009 Yield Rate (Qu/ Ha)
Production
(Ton)
Lanjutan Tabel… 14. D.I. Yogyakarta 15. Jawa Timur 16. Banten 17. B a l i 18. Nusa Tenggara Barat 19. Nusa Tenggara Timur 20. Kalimantan Barat 21. Kalimantan Tengah 22. Kalimantan Selatan 23. Kalimantan Timur 24. Sulawesi Utara 25. Sulawesi Tengah 26. Sulawesi Selatan 27. Sulawesi Tenggara 28. Gorontalo 29. Sulawesi Barat 30. Maluku 31. Maluku Utara 32. Papua Barat 33. Papua
133.369
53,18
709.294
140.167
56,95
798.232
146.082
55,95
817.3
1.736.048 356.803 145.03
54,16 50,90 57,90
9.402.029 1.816.140 839.775
1.774.884 362.637 143.999
59,02 50,14 58,37
10.474.773 1.818.166 840.465
1.837.004 367.507 144.288
59,01 50,54 58,64
10.839.308 1.857.323 846.075
331.916
45,99
1.526.347
359.714
48,67
1.750.677
372.974
49,92
1.861.781
166.753
30,32
505.628
187.907
30,75
577.895
194.611
30,62
595.872
399.832
30,64
1.225.259
423.601
31,20
1.321.443
405.317
31,26
1.267.211
229.665
24,49
562.473
205.684
25,41
522.732
204.555
26,94
551.013
505.846
38,63
1.953.868
507.319
38,52
1.954.284
504.527
39,89
2.012.400
155.484
36,50
567.501
157.341
37,25
586.031
153.1
38,35
587.206
103.189
47,97
494.95
109.951
47,31
520.193
114.217
47,88
546.825
204.342
41,96
857.508
211.876
46,51
985.418
220.195
45,58
1.003.598
770.733
47,16
3.635.139
836.298
48,83
4.083.356
840.853
49,23
4.139.492
110.498
38,31
423.316
102.52
39,53
405.256
107.453
38,95
418.487
44.548
44,99
200.421
46.942
50,67
237.873
46.213
52,27
241.557
66.63 15.352
46,93 37,21
312.676 57.132
72.471 19.142
47,36 39,61
343.221 75.826
72.337 20.234
47,79 38,2
345.697 77.292
14.497
33,48
48.531
14.831
34,79
51.599
13.606
34,32
46.694
8.357 22.957
33,75 35,58
28.204 81.678
11.467 24.461
34,48 35,03
39.537 85.699
11.984 30.004
35,69 36,1
42.774 108.325
47,05
57.157.435
12.327.425
48,94
60.325.925
12.668.989
49,38
62.561.146
Sumber: 2009 Indonesia BPS, 12.147.637
4.3.
Pasar Gabah
Sejak tahun 1969, pemerintah telah menerapkan kebijakan harga dasar gabah yang pada awalnya menggunakan Rumus Tani, dengan ketentuan dimana 1 kg padi=1 kg pupuk urea (Amang dan Sawit, 2001) dan sekarang menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) adalah untuk menjaga petani agar terhindar dari distorsi pasar
akibat kekurangan informasi dan bisa menikmati harga yang wajar. Maksud dari kebijakan ini adalah agar produksi gabah terus meningkat sehingga ketahanan pangan, khususnya beras baik di tingkat rumah tangga petani maupun nasional menjadi lebih terjamin. Ketidakstabilan persediaan pangan dan berfluktuasinya harga pangan utama (terutaman beras) di Indonesia telah terbukti dapat memicu munculnya kerusuhan nasional yang mengarah pada tindakan kriminal (Handewi, 2001). Pada akhir tahun 1999, Indonesia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus tunduk pada kesepakatan IMF yang tertuang dalam Letter Of Interest (LOI) dan berakhirlah kebijakan harga dasar yang dibelakukan selama ini. Dalam LOI, pemerintahan Indonesia kehilangan hak monopoli mengimpor berasnya yang berarti tidak dapat lagi melaksanakan kebijakan harga dasar yang dikenal dengan floor price policy. Selanjutnya, untuk memberikan insentif harga kepada petani salah satu caranya adalah dengan mengimplementasikan harga pembelian pemerintah (HPP). Dengan kebijakan HPP, maka pemerintah membeli sejumlah tertentu gabah/beras petani pada harga yang relatif tinggi dibandingkan dengan harga pasar dengan maksud mengangkat harga gabah/beras di tingkat petani terutama pada saat panen raya. Dalam implementasi kebijakan HPP, pemerintah hanya menetapkan harga pembelian dan tidak mempunyai kewajiban untuk membeli seluruh ekses suplai gabah/beras petani (sebagaimana kebijakan harga dasar) karena dana pemerintah yang sangat terbatas untuk membeli gabah petani, dan harga yang ditetapkan dalam kebijakan HPP ini adalah di tingkat penggilingan, bukan di tingkat petani (Simatupanget al., 2005).
Pemerintah mengatur harga batas untuk gabah dengan mengeluarkan Inpres. Harga gabah kering giling (GKG) dan harga gabah kering panen (GKP) dapat mensejahterakan petani jika berada diatas HPP seminimal mungkin terkena distorsi pasar. Berdasarkan TabelIV.5. harga yang diterima petani seringkali berada jauh dibawah HPP dan merugikan, seperti yang terjadi pada bulan Maret-April dan JuniJuli 2004 harga gabah kering panen (GKP) yang diterima petani masing-masing Rp 1.113 dan Rp 1.158 per kg sedangkan HPP GKP sebesar Rp 1.230. Begitu pula dengan harga GKG hanya pada bulan Juli nilainya lebih besar dari HPP. Namun pada akhirnya kondisi ini semakin membaik jika dilihat dari pertumbuhan dari harga GKP dan harga GKG berada diatas HPP yang ditetapkan pemerintah dari tahun 2005 hingga tahun 2009. Kondisi ini diharapkan dapat memacu keinginan petani untuk meningkatkan produksinya sehingga tercapai swasembada disertai ketahanan pangan.
TabelIV.5.Harga GKP (Gabah Giling)Indonesia 2004-2009 Bulan 2004 Maret April Mei Juni Juli 2005 Maret April Mei Juni Juli 2006 2007 2008 Oktober November Desember 2009 Januari Februari
Harga di petani GKP (per kg)
Kering
Panen)
GKG (per kg)
dan
GKG(Gabah
HPP GKP (per kg)
Kering
GKG (per kg)
1.113 1.158 1.288 1.227 1.203
1.700 1.522 1.666 1.700 1.821
1.230 1.230 1.230 1.230 1.230
1.725 1.725 1.725 1.725 1.725
1.402 1.356 1.351 1.429
1.873 1.904 1.869 1.727
1.330 1.330 1.330 1.330
1.740 1.740 1.740 1.740
1.446 2099,18 2600
1.634 2414,69 2784
1.330 1730 2000
1.740 2250 2575
2575 2557 2638
2909 2909 2961
2200 2200 2200
2840 2840 2840
2743 2778
2966 3147
2400 2400
3000 3000
Sumber:BPS, 2009
4.4.Sosial Ekonomi Petani Indonesia Peningkatan produksi beras hingga saat ini belum bisa sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani. Pendapatan perkapita perhari seorang petani padi kurang dari US$1 yaitu Rp 3.065 sampai dengan Rp 8.466 menurut survei dari Litbang Deptan tahun 2006 dalam (PPSEP, 2000). Selain itu fakta yang begitu mengejutkan, ternyata 80 persen pendapatan rumah tangga tani sendiri diperoleh diluar kegiatan pertanian, seperti menjadi pekerja kasar ataupun menjadi “tukang ojek”. Semakin terpuruknya
kesejahteraan para petani juga diukur dari meningkatnya jumlah petani gurem, yaitu petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha dan menurunnya indeks Nilai Tukar Petani (NTP). Hasil Sensus Pertanian BPS 2003 menunjukkan, jumlah rumah tangga petani gurem naik 2,4 persen per tahun, dari 10,8 juta pada 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga (51,9 persen) pada tahun 2003. Ini berarti kehidupan petani dalam sepuluh tahun terakhir terus terpuruk karena semakin banyaknya rumah tangga petani yang menguasai lahan sempit. Saat ini jumlah petani gurem diperkirakan membengkak menjadi 15,6 juta (55,1 persen). Kepemilikan lahan petani gurem juga semakin tergerus menjadi hanya 0,43 ha per petani dari rata-rata 0,5 ha yang tercatat pada Sensus Pertanian 1993. Hasil Sensus Pertanian BPS 2003 juga menunjukkan, persentasi rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan meningkat dari 52,7 persen pada 1993 menjadi 56,5 persen pada 2003. Ini menunjukkan semakin miskinnya petani Indonesia.NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani/nelayan terhadap indeks harga yang dibayar oleh petani atau nelayan (dalam persentase). Meningkatnya indeks NTP merupakan salah satu indikator perbaikan tingkat kesejahteraan kehidupan petani. •
NTP > 100 : Daya beli petani lebih baik dari daya beli petani pada saat tahun dasar
•
NTP = 100 : Daya beli petani sama dengan daya beli petani pada saat tahun dasar
•
NTP< 100 : Daya beli petani lebih rendah dari daya beli petani pada saat tahun dasar
Pada akhir 2008, NTP hanya 98,99 atau dapat dikatakan daya beli petani lebih rendah dari daya beli petani pada saat tahun dasar 2007. Pendapatan rata-rata petani Indonesia diperkirakan hanya Rp1.527 juta per tahun per kapita, jauh di bawah kriteria kemiskinan menurut Bank Dunia yang dipatok minimal US$2.Ini terjadi tidak lain karena kebijakan pangan pemerintah tidak maksimal, dimana penentuan dari HPP meskipun mengikuti trend dari inflasi tiap tahunnya namun tetap saja tidak cukup untuk menutupi biaya yang dikeluarkan oleh petani. Sebenarnya karakteristik petani Indonesia mengalami masalah yang dilematis yaitu pertama, komoditas tanaman pangan memiliki permintaan dan penawaran yang inelastis. Elastisitas permintaan (elastisitas harga dan elastisitas pendapatan) maupun elastisitas penawaran umumnya lebih kecil dari 1 artinya jika harga naik 10 persen, maka jumlah yang ditawarkan hanya bertambah lebih kecil 10 persen. Jadi, petani tidak bisa merespons kenaikan harga tersebut. Elastisitas pendapatan yang lebih kecil dari 1 bermakna bila pendapatan masyarakat naik 10 persen, maka permintaan terhadap pangan hanya naik kurang dari 10 persen. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak mempunyai dampak yang besar terhadap pertambahan permintaan pangan.Elasitisitas harga yang lebih kecil dari 1 berarti bahwa jika harga turun sebesar 10 persen, maka permintaan hanya naik kurang dari 10 persen.
Bila dilihat dari sisi lain, misalnya bertambahnya jumlah produksi, kesimpulannya akan cukup mengenaskan, jika produksi atau panen naik 10 persen, maka agar tambahan produksi dapat terjual habis harga jual harus diturunkan lebih besar 10 persen.Kemudian petani Indonesia 89,4 persen tergolong petani gurem yang hanya memiliki lahan di bawah 2 ha pada tahun 2003. Keterbatasan lahan menyebabkan petani terpaksa menjual gabahnya dalam keadaan basah kepada tengkulak karena tidak mempunyai lahan untuk menjemur, dimana HPP tidak berlaku pada gabah dengan kandungan air sebanyak itu. Lembaga penjamin terjadinya keseimbangan harga antara petani padi dengan konsumen adalah Badan Urusan Logistik (Bulog). Dari tahun 2007 pemerintah memberikan kekuasaan penuh pada Bulog untuk mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengamankan persediaan beras dalam negeri yang meliputi, monopoli impor, stabilisasi harga regional, membeli beras di luar HPP dan menjaga persediaan minimum beras. Hak monopoli impor inilah yang sering kali diributkan oleh petani, karena Bulog lebih memilih berperan sebagai lembaga pencari laba dari perbedaan harga beras dalam negeri dan luar negeri. 4.5.
Kebijakan Perberasan Indonesia
Berdasarkan situs Badan Urusan Logistik, pada masa presiden Soekarno Indonesia mengalami dualisme pengelolaan masalah pangan. Pengelolaan oleh Kementrian Pengawasan Makanan Rakyat (PMR) yang dibentuk oleh Indonesia dan Voedings Middelen Fonds (VMF) yang diaktifkan kembali oleh Belanda pasca Indonesia merdeka. Namun, VMF ini hanya membawahi daerah-daerah yang masih diduduki
Belanda saja. Kemudian pada tahun 1950 dibawah program swasembada dengan kesejahteraan KASIMO, VMF dibubarkan dan dibentuk Yayasan Bahan Makanan (BAMA) yang bertugas membeli, menjual, dan mengadakan persediaan pangan dibawah pengendalian Kementrian Pertanian yang berada dibawah Kementrian Perekonomian. Kemudian BAMA diubah menjadi Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) pada tahun 1952 yang lebih banyak berhubungan dengan masalah distribusi pangan dan dimulailah kebijakan stabilisasi harga beras.Pada tahun 1958 melalui program sentra padi, dibentuk Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) didaerah-daerah yang diketuai gubernur, yayasan ini bertugas melakukan pembelian padi. Dengan berdirinya YBPP, pemerintah tidak mampu untuk menjaga stabilisasi harga beras melalui mekanisme pasar, dan kemudian berorientasi pada distribusi fisik. Pada tahun 1964 masih berada dibawah program sentra padi, berdasarkan Peraturan Presiden No. 3 dibentuklah Dewan Bahan Makanan (DBM). Sejalan dengan itu YUBM dan YBPP daerah-daerah dilebur dan membentuk Badan Pelaksana Urusan Pangan (BPUP) yang bertugas mengurus bahan pangan, mengurus pengangkutan dan pengolahannya, serta menyimpan dan menyalurkannya menurut ketentuan dari DBM. Terbentuknya BPUP menegaskan pengelolaan bahan pangan bersifat sentralis. Tahun 1965 dilaksanakan program BIMAS Nasional dengan kegiatan pengembangan kelompok tani, prasarana pertanian, penyuluhan teknologi Panca Usaha Tani, penyediaan bibit unggul, pupuk dan pestisida, serta penyelenggaraan pusat-pusat intensifikasi yang menjadi pusat bimbingan Koperasi Produksi Pertanian.
Tahun 1966 dibentuk Komando Logistik Nasional (KOLOGNAS) dari peleburan BPUP berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 87. Tugas KOLOGNAS adalah mengendalikan operasional bahan-bahan pokok kebutuhan hidup(yang pada saat ini terjadi kekosongan stok pangan digudang-gudang BPUP), nihilnya devisa negara dan tingkat inflasi yang tinggi. Kebijakan yang dilakukan pada saat itu adalah menghilangkan dua sumber inflasi yaitu defisit anggaran dan kebijakan kredit murah. Sehingga pemerintah menetapkan semua arus pembiayaan untuk beras dikelola secara terpusat dan perencanaan impor beras secara bertahap diketatkan.Dengan kondisi yang demikian, dibubarkanlah KOLOGNAS pada tahun 1967 dan dibentuk Badan Urusan Logistik (Bulog) berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/Kep/1967. Berdasarkan Kepres tersebut, Bulog dinyatakan sebagai Single Puchasing Agency dan Bank Indonesia sebagai penyandang dana tunggal untuk beras. Pada tahun 1969, dibawah kepemimpinan presiden Soeharto berdasarkan KEPRES 11/1968, struktur organisasi Bulog diubah dan disesuaikan dengan tugas barunya sebagai pengelola cadangan pangan(buffer stock) dalam rangka mendukung upaya nasional meningkatkan produksi pangan dan menjaga kestabilan harga pangan, sementara penyediaan dan penyaluran beras untuk golongan ABRI dan pegawai negeri dilakukan secara rutin. Kemudiandimulailah penerapan konsep floor dan ceiling price, buffer stock, dan system tatacara pengadaan, pengangkutan, penyimpanan dan penyaluran. Pada tahun ini juga digunakan neraca pangan nasional
sebagai standar ketahanan pangan. Pada tahun 1973 terbentuklah serikat petani Indonesia yang berpengaruh membentuk harga beras saat itu. Pada tahun 1974 diterapkan revolusi hijau, yaitu melalui program Panca Usaha Pertanian (PUP). Pemerintah mendirikan beberapa pabrik pupuk kimia, memproduksi alat pengolah pertanian, dan medirikan industri pertisida. PUP yang memiliki kegiatan Demo Massal kemudian berubah jadi Bimbingan Massal (Bimas) Gotong Royong dengan disponsori dua perusahaan asing seperti Mitsubishi dan CIBA, anak perusahaan produsen obat-obatan kimia BASF di bidang pertanian. Diduga perusahaan tersebut sebenarnya hanya memanfaatkan pemerintah Indonesia untuk memasarkan produknya seperti benih, pupuk dan pestisida. Sehingga revolusi hijau hanyalah alat agar produk-produk kimia perusahaan tersebut bisa dijual pada petani. Agar petani bersedia menerima program ini, pemerintah memberikan bantuan kredit pada petani yaitu salah satunya dengan Kredit Bimas pada tahun 1981. Kredit ini memberikan 250 kg pupuk kimia, dua liter insektisida, dan uangsenilai Rp 10.000 yang diberikan dalam satu masa tanam selama tujuh bulan. Namun selain hal negatif dari revolusi hijau ini, pada periode ini juga dihasilkan penelitian pola tanam yang bekerja sama dengan IRRI. Pola tanam ini berbasis komoditi utama yaitu padi dan jagung yang secara intensif, bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan keluarga tani. Hasilnya adalah lima tanaman dapat ditanam dalam setahun melalui pola tanam berurutan (relay cropping) dengan menggunakan varietas padi unggul berumur pendek dan berbagai komponen teknologi yang dianjurkan. Selain itu, pola tanam berurutan ini juga menghasilkan
penggunaan paket teknologi tanaman pangan yang secara luas diterapkan oleh petani pada lahan sawah. Paket teknologi tersebut merupakan perpaduan antara varietas unggul baru (berumur pendek, mempunyai sifat ketahanan terhadap hama tertentu, dan dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ekstrem) dengan inovasi teknologi budidaya yang mampu meningkatkan produktivitas dan intensitas tanam. Pada tahun 1978 melalui Keppres no 39/1978 ditetapkan tugas Bulog yaitu membantu persediaan dalam rangka mengendalikan harga gabah, beras, gula pasir, tepung terigu dan bahan pangan lainnya dalam rangka menjaga kestabilan harga bagi kepentingan petani, produsen maupun konsumen sesuai kebijakan umum pemerintah. Pada tahun 1984 Indonesia mendapatkan medali dari FAO atas keberhasilannya mencapai swasembada pangan. Kemudian Bulog kembali disesuaikan tugasnya, berdasarkan Keppres RI no. 50/1995 Bulog ditugaskan mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, tepung terigu, kedelai, pakan, dan bahan pangan lainnya. Pada tahun 1995 juga telah diperkenalkan sistem usahatani padi (SUTPA) berorientasi agribisnis di 14 provinsi yang mencakup 44.000 ha lahan sawah berpengairan dengan paket teknologi yaitu varietas unggul baru padi dan tanaman lainnya, tanaman benih langsung dengan menggunakan alat tanambenih langsung, teknologi panen dan pasca panen, serta pengendalian hama terpadu (PHT) dan kembali diubah berdasarkan Keppres no 45/1997 yaitu hanya mengendalikan dan mengelola persediaan beras dan gula. Pada bulan Januari 1998 berdasarkan LOI, Bulog hanya memonopoli beras saja. Pada tahun 1998 dibawah kepemimpinan
presiden BJ Habibie juga terjadi barter antara pesawat IPTN dengan beras Impor dari Thailand. Penyesuaian tugas Bulog masih terus berlanjut pada tahun 2000 melalui Keppres no.29/2000 yaitu melaksanakan tugas umum pemerintah dan pembangunan di bidang manajemen logistik melalui pengelolaan persediaan, distribusi, pengendalian harga beras dan usaha jasa logistik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan kembali mengalami perubahan dengan keluarnya Keppres no 166/2000 yaitu tugas pokok Bulog hanya melaksanakan tugas pemerintah bidang manajemen logistik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian, tugas Bulog disempurnakan berdasarkan Keppres no 103/2001 yaitu selain melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen logistic sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga dengan kedudukan sebagai lembaga pemerintah non departemen yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Mulai tahun 2005 hingga 2009dicanangkan revitalisasi pertanian oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bertujuan menciptakan lapangan kerja dan usaha bagi penduduk pedesaan, meningkatkan pendapatan melalui peningkatan produktifitas dan nilai tambah, serta mengurangi kemiskinan.
V. ANALISIS EKONOMETRIKA RESPONS PENAWARAN PADI DAN PERMINTAAN INPUT PADI DI INDONESIA
5.1.
Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Keuntungan Translog
Setelah menghimpun data dari tahun 1969 hingga 2006 dari BPS, Deptan, dan sumber lainnya, Peneliti memasukkan data tersebut dalam model fungsi keuntungan translog dengan metode análisis Seemingly Unrelated Regression (SUR)dalam program SAS 9.1. Fungsi Keuntungan Translog yang digunakan memiliki 55 variabel bebas, dan akan bias jika pendugaan langsung menggunakan fungsi ini karena derajat bebas yang terlalu kecil. Sehingga menurut prinsip Hotelling Lemma, fungsi keuntungan tersebut dapat diduga dengan fungsi turunannya yaitu melalui fungsi penerimaan dan biaya. Kemudian fungsi penerimaan dan biaya diberikan restriksi homogenitas dan simetri. Dari penurunan fungsi Translog, didapatkan tiga fungsi penerimaan yaitu untuk komoditi padi, jagung, dan kedelai, dan empat fungsi pangsa biaya yaitu untuk input urea, TSP, pestisida, dan buruh. Hasil dari olahan data tersebut tertera pada Tabel V.1. dan pada lembar lampiran 3.
Tabel V.1.Koefisien Fungsi Pangsa Penerimaan dan Pangsa Biaya Tanaman Pangan Peubah
Pangsa Penerimaan Padi (S1)
Pangsa Penerimaan Jagung (S2)
Pangsa Penerimaan Kedelai (S3)
Pangsa Biaya Urea (S1R1)
Pangsa Biaya TSP (S1R2)
Pangsa Biaya Pestisida (S1R3)
Pangsa Biaya Buruh (S1R4)
Konst
5.625244*
(<.0001)
‐4.46398* (<.0001)
‐0.31418 (0.5518)
0.362948 (0.1513)
0.540146** (0.0777)
0.261999* (0.0305)
‐1.01218* (0.0026)
Ln P1
‐0.16017* (<.0001)
‐0.09635*
(<.0001)
‐0.02476* (0.0420)
0.030667* (<.0001)
0.032393* (<.0001)
0.004002** (0.0736)
0.214223* (<.0001)
Ln P2
‐0.09635* (<.0001)
0.075640* (0.0266)
0.029007 (0.1978)
0.026713* (0.0024)
0.028748* (0.0091)
0.010112* (0.0186)
‐0.04994* (<.0001)
Ln P3
‐0.02476* (0.0420)
0.029007 (0.1978)
0.055140* (0.0149)
‐0.03898* (<.0001)
‐0.01843* (0.0185)
‐0.01382* (0.0002)
0.011847 (0.2467)
Ln R1
0.030667* (<.0001)
0.026713* (0.0024)
‐0.03898* (<.0001)
‐0.02909* (<.0001)
‐0.00760** (0.0965)
‐0.00252 (0.2677)
‐0.00434 (0.1790)
Ln R2
0.032393* (<.0001)
0.028748* (0.0091)
‐0.01843* (0.0185)
‐0.00760** (0.0965)
‐0.03800* (<.0001)
0.001320 (0.5598)
0.001573 (0.6953)
Ln R3
0.004002** (0.0736)
0.010112* (0.0186)
‐0.01382* (0.0002)
‐0.00252 (0.2677)
0.001320 (0.5598)
‐0.00180 (0.3915)
0.002710
(0.1706)
Ln R4
0.214223* (<.0001)
‐0.04994* (<.0001)
0.011847 (0.2467)
‐0.00434 (0.1790)
0.001573 (0.6953)
0.00271 (0.1706)
‐0.13048* (<.0001)
Ln Z1
‐0.29379* (<.0001)
0.290680* (<.0001)
0.021448 (0.5219)
‐0.01834 (0.2564)
‐0.03531** (0.0681)
‐0.01601* (0.0345)
0.050686* (0.0149)
Sumber: Tabel Lampiran 3. Keterangan: 1. 2.
Angka didalam kurung adalah probabilitas. (*) signifikan pada taraf 5 persen dan (**) signifikan pada taraf 10 persen.
Dalam pendugaan fungsi pangsa penerimaan dan pangsa biaya pada tabel diatas telah dimasukkan pembatasan homogenitas dan simetri. Dengan terpenuhinya persyaratan simetri dan linier homogen dalam harga maka hipotesis maksimisasi keuntungan harapan dapat dipenuhi. Sehingga model fungsi keuntungan yang diduga melalui fungsi pangsa penerimaan dan biaya dapat digunakan untuk análisis selanjutnya. Kemudian dilakukan pengujian keterkaitan keputusan produksi antar komoditi padi,
jagung, dan kedelai melalui pengujian teknologi non-jointness. Pengujian teknologi non-jointness dapat dilihat probabilitas nilai F dengan Ho adalah aij untuk i=j. Probabilitas nilai F baik untuk padi, jagung, maupun kedelai lebih kecil dari alfa 0,05 persen yaitu <0.0001 untuk ketiganya, maka hipotesisnya tolak Ho, yang berarti keputusan berproduksi tanaman yang satu dengan yang lainnya saling terkait yang dapat dilihat pada Tabel Lampiran 4. Dari 63 parameter pangsa penerimaan dan pangsa biaya yang diduga, sebanyak 44 buah atau 69,84 persen berbeda nyata dengan nol pada taraf 10 persen atau kurang. Koefisien determinasi dari sistem persamaan ini adalah 70,75 persen yang artinya 70,75 persen keragaman pangsa dapat dijelaskan oleh peubah-peubah yang dimasukkan dalam model. Diantara peubah-peubah yang dimasukkan dalam model, yang banyak berpengaruh terhadap pangsa tersebut adalah harga gabah. Harga gabah memengaruhi baik pangsa penawaran output subsitusi maupun fungsi pangsa biaya yang nantinya menunjukkan elastisitas permintaan input. Harga output sendiri untuk masing-masing tanaman mempunyai pengaruh yang nyata pada taraf kurang dari 5 persen atau kurang terhadap pangsa penerimaan masing-masing output. Pada pangsa penerimaaan padi sebagai fokus utama penelitian, semua parameter yang diduga signifikan pada taraf kurang dari 10 persen, artinya terbukti bahwa harga output subsitusi dan input-input yang dimasukkan dalam model tepat dan memengaruhi keputusan penawaran padi. Begitu pula pada pangsa penerimaan jagung dengan menggunakan input yang sama.
Dalam hasil pendugaan, harga gabah berpengaruh negatif terhadap pangsa penawaran padi, namun saat dihitung, elastisitasnya hasilnya adalah positif dan sesuai dengan teori penawaran. Berbeda halnya dengan harga pada jagung dan kedelai, dalam hasil olahan berpengaruh positif secara signifikan terhadap pangsa penerimaannya. Semakin tinggi harga maka semakin banyak jagung dan kedelai yang ditawarkan, namun seberapa besar sensitifitasnya terhadap harga tetap harus dihitung dengan menggunakan elastisitas penawaran. Untuk pangsa biaya urea, semua harga input baik harga urea itu sendiri maupun TSP, dan pestisida berpengaruh signifikan pada taraf 10 persen atau kurang. Dalam hasil pendugaan harga gabah berpengaruh negatif terhadap pangsa penawaran padi, namun saat dihitung elastisitasnya maka hasilnya adalah positif dan sesuai dengan teori penawaran. Berbeda halnya dengan harga pada jagung dan kedelai, dalam hasil pendugaan berpengaruh positif secara signifikan terhadap pangsa penerimaannya. Semakin tinggi harga maka semakin banyak jagung dan kedelai yang ditawarkan, namun seberapa besar sensitifitasnya terhadap harga tetap harus dihitung dengan menggunakan elastisitas penawaran. Untuk pangsa biaya urea, harga gabah, jagung, kedelai, harga urea itu sendiri, dan TSP berpengaruh signifikan pada taraf 10 persen atau kurang. Pada pangsa biaya TSP, harga pada pestisida dan upah buruh tidak berpengaruh nyata pada taraf 10 persen atau lebih. Harga pestisida yang tidak memengaruhi pangsa biaya TSP dikarenakan pengeluaran untuk membeli pestisida paling kecil diantara pengeluaran untuk membeli input lainnya termasuk TSP. Perubahan upah buruh yang tidak berpengaruh nyata terhadap TSP dikarenakan selain fungsi pangsa biaya untuk
TSP masih terlalu kecil untuk dipengaruhi oleh upah buruh. Juga bagaimanapun pupuk dengan tenaga kerja memiliki fungsi yang
jelas berbeda maka untuk
menggantikan penggunaan pupuk TSP dengan tenaga kerja tidak semata mempertimbangkan masalah harganya namun juga kebutuhannya lahan pada saat itu. Hal menarik lainnya terlihat dari pengaruh faktor tetap luas areal panen berpengaruh negatif terhadap pangsa biaya TSP, pestisida dan juga pangsa penerimaan padi. Sedangkan pengaruh areal panen terhadap pangsa biaya buruh bernilai positif.Terlihat bahwa semakin besar luas areal panen semakin sedikit pangsa biaya TSP dan pestisidanya. Ini dapat disebabkan oleh penambahan luas panen tidak membuat petani menambah jumlah penggunaan TSP dan pestisidanya yang masih dianggap tidak penting. Penambahan luas areal tersebut direspons oleh petani dengan menambah buruh tani yang dipekerjakannya. Sehingga produksi padi akan turun akibat dari penggunaan TSP dan pestisida yang lebih sedikit dari seharusnya. Fakta ini juga menunjukkan bahwa usaha tani komoditi padi adalah labour intensive. Perlu diingat bahwa perubahan pangsa penerimaan ketiga output dan pangsa biaya keempat input yang disebabkan oleh perubahan harga sendiri dapat diakibatkan oleh dua hal. Pertama perubahan pangsa tersebut hanya dikarenakan oleh meningkatnya harga. Kedua, perubahan pangsa dapat disebabkan selain oleh harga yang berubah juga oleh kuantitas output atau penggunaan input yang berubah pula. Sehingga pengaruh harga terhadap pangsa yang sangat nyata belum tentu diikuti oleh perubahan kuantitas output ataupun penggunaan input yang nyata pula. Berdasarkan hal tersebut maka perubahan harga output yang satu terhadap pangsa penerimaan
output yang lainnya tidak dapat diramalkan hanya dari tanda koefisien fungsi pangsanya. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui pengaruh harga terhadap perubahan kuantitas output dan penggunaan input, perlu dihitung angka elastisitasnya. 5.2.
Pendugaan Elastisitas Penawaran Output dan Permintaan Input
Dengan menggunakan hasil pendugaan parameter dari pangsa penerimaan tiga komoditi, pangsa biaya empat input, dan persamaan (6) sampai dengan (12) maka dapat dihitung nilai elastisitasnya. Signifikansi dari masing-masing parameter yang digunakan untuk menghitung elastisitas didasarkan pada probabilitas masing-masing parameter pada pendugaan parameter dari pangsa-pangsa sebelumnya, karena telah terbukti dari pendugaan tersebut bahwa parameter-parameter yang diduga berpengaruh nyata. Dikarenakan tujuan penelitian ini difokuskan pada análisis kebijakan tahun selanjutnya, maka nilai elastistas dihitung pada tahun terakhir, yaitu pada tahun 2006. Nilai elastistas tertera pada Tabel 9, dari 27 nilai elastistas penawaran padi dan permintaan input-input yang diduga ternyata sebanyak 15 elastisitas atau 55,55 persen yang signifikan pada taraf nyata 10 persen. Elastisitas penawaran output terhadap harga sendiri untuk semua tanaman mempunyai tanda yang sesuai yaitu positif, elastisitas penawaran terhadap harga sendiri bersifat inelastis yaitu padi 0,04371, jagung 0,2335, kedelai 0,0339. Nilai elastisitas penawaran terhadap harga sendiri dari ketiga komoditi menyatakan jika harga ketiga komoditi itu naik (turun) satu persen, maka penawaran masing-masing komoditi akan naik (turun) sebesar 0,04371 persen untuk padi, 0,2335 persen untuk
jagung, dan 0,0339 persen untuk kedelai. Hasil ini sama seperti hasil yang dikemukakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Siregar (1991). Elastisitas penawaran padi terhadap harga jagung dan kedelai positif dikarenakan beberapa hal. Salah satunya adalah produktivitas padi ditentukan oleh konsentrasi urea dan air pada lahan yang jauh lebih banyak dibandingkan kedelai dan jagung, walaupun jenis input ketiga komoditas tersebut sama. Sehingga petani telah mengetahui jika lahan yang sebelumnya digunakan untuk menanam padi diganti menanam jagung dan
kedelai sebagai respons atas harga jagung dan kedelai,
produksinya tidak akan sebaik dan sebanyak jika ditanami kembali dengan padi.Dengan demikian, produksi padi akan tetap bertambah, begitu juga dengan penawaran padinya. Kemudian adanya kenaikan harga pada jagung dan kedelai, merupakan sinyal adanya kenaikan harga pangan secara agregat termasuk harga gabah. Oleh karena itu, keterikatan konsentrasi lahan yang hanya produktif untuk komoditi padi dan adanya sinyal akan terjadinya kenaikan harga pada gabah akan meningkatkan penawaran padi oleh petani. Sementara itu, elastisitas permintaan input terhadap harga gabah bersifat elastis. Nilai elastisitas yang negatif pengaruh harga gabah terhadap permintaan input dikarenakan beberapa hal. Pertama, kenaikan harga gabah tersebut telah terdistorsi pasar. Harga yang diterima petani pun bukan merupakan harga pasar. Tengkulak berperan sebagai jembatan antara petani dengan Bulog dan petani dengan perusahaan swasta yang ingin membeli gabah. Keberadaan tengkulak yang tidak asing ditengah pedesaan membuatnya menjadi price makerdalam penjualan gabah oleh petani.
Memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya adalah motif ekonomi mereka dan caranya adalah memperlebar rentang harga pasaran gabah dengan harga yang dibayarkan ke petani. Maka, pendapatan petani dari penjualan tidak akan bertambah meskipun harganya mengalami kenaikan. Dengan demikian, pengeluaran petani untuk input semakin sedikit sejalan semakin besarnya keinginan tengkulak menyerap keuntungan. Kedua, seperti yang telah kita ketahui,sebagian besar petani yang ada di Indonesia mendapatkan 80 persen pendapatannya bukan dari bertani. Hal ini menjelaskan semakin besarnya harga gabah bila benar-benar dinikmati petani, tidak membuatnya meningkatkan input jika ternyata pendapatan dari usaha lain tidak ikut bertambah. Kondisi demikian menyebabkan kenaikan pendapatan dari naiknya harga gabah lebih dirasa penting untuk memenuhi kebutuhan hidup dibandingkan untukmembiayai kegiatan usaha dengan share penerimaan yang sedikit dibanding kegiatan usaha lain, contohnya menjadi “tukang ojeg”.
Tabel V.2.Pendugaan Elastisitas Penawaran Padi dan Permintaan Input Peubah
Penawaran
Permintaan
Permintaan
Permintaan
Permintaan
Padi
Urea
TSP
Pestisida
Buruh
0,4371*
-1,0542*
-1,4038*
-1,1772**
-1,1020*
0,2335*
Diluar lingkup penelitian karena hanya meneliti penawaran
Harga Padi (P1) Jagung
output dan permintaan input untuk komoditi padi saja
(P2) Kedelai
0,0339*
output dan permintaan input untuk komoditi padi saja
(P3) Urea
Diluar lingkup penelitian karena hanya meneliti penawaran
-0,0431*
-0,6013*
-0,0581*
-0,0614
0,0602
-0,058*
-0,0741**
-0,598*
-0,0799
-0,08
-0,0084
-0,0094
-0,0119
-0,8474
-0,0128
-0,349*
-0,4852
-0,4889
-0,4898
-1,2206*
(R1) TSP (R2) Pestisida (R3) Upah (R4)
Sumber: Tabel Lampiran 3. Keterangan: (*) signifikan pada taraf 5 persen, (**) signifikan pada taraf 10 persen.
Elastisitas permintaan input urea dan TSP terhadap harga masing-masing sesuai teori yaitu bertanda negatif bernilai -0,6013 dan -0,598 yang artinya kenaikan (penurunan) pada harga masing-masing input 100 persen akan mengakibatkan permintaan input masing-masing turun (naik) sebesar 60,13 persen dan 59,8 persen.Elastisitas permintaan silang antara urea terhadap harga TSP bertanda negatif, begitu juga dengan elastisitas permintaan TSP terhadap harga urea.Ini memperlihatkan bahwa TSP dan urea saling berkomplementer. Sehingga respons perubahan harga silang urea dan TSP ditanggapi seperti perubahan pada harga sendiri terhadap permintaan input
masing-masing. Permintaan pestisida hanya signfikan terhadap perubahan harga gabah. Elastisitas permintaan buruh terhadap upah buruh bersifat elastis bernilai 1,2206 artinya jika upah naik 100 persen maka permintaan buruh akan turun sebesar 122,06 persen. Penelitian ini menghasilkan elastisitas permintaan input urea, dan TSP bersifat inelastis, seperti fakta yang dikemukakan dalam penelitian Siregar (1991). Selain itu, dalam penelitian ini pula dapat terlihat adanya kebijakan penentuan harga pupuk dan harga dasar gabah tidak efektif sama seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Sastrohoetomo (1984). 5.3.
Implikasi Kebijakan
Hasil pendugaan elastisitas yang telah dibahas pada subbab sebelumnya menjelaskan beberapa hal menarik yang terjadi pada sektor tanaman pangan padi di Indonesia. Elastisitas penawaran padi terhadap harga gabah yang inelastis disertai elastisitas permintaan input padi terhadap harga padi yang elastis negatif menandakan adanya distorsi harga gabah yang diterima petani. Maka kebijakan Harga Pembelian Pemerintah yang selama ini dijalankan tidak dinikmati oleh petani dan petani pun tidak responsif terhadap perubahan harga gabah. Sebaiknya pemerintah melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui penyuluhan tentang kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan bagaimana petani memiliki akses untuk menikmati harga penjualan padi berdasarkan HPP. Selain itu perlu adanya sosialisasi dan realisasi kontrak penjualan gabah sesuai HPP antara Bulog dengan petani.
Berdasarkan hasil pendugaan elastisitas permintaan pupuk terhadap harga pupuk masing-masing yang bernilai inelastis. Maka kebijakan yang selama ini dilakukan pemerintah dengan memberikan subsidi gas sebagai bahan baku pembuatan pupuk, diharapkan berimplikasi terlebih dahulu pada kestabilan stok pupuk dimasing-masing daerah yang setelah itu secara otomatis juga akan menjaga kestabilan harga pupuknya.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1.
Kesimpulan
Secara garis besar penelitian ini menghasilkan fakta bahwa : 1.
Pangsa penerimaan padi dipengaruhi oleh harga gabah, jagung, kedelai, urea, TSP, pestisida, upah buruh, dan areal panen. Sedangkan pangsa biaya input untuk urea dipengaruhi oleh harga gabah, jagung, kedelai, urea, dan TSP. Pangsa biaya input TSP dipengaruhi oleh harga gabah, jagung, kedelai, urea, TSP, dan luas panen. Pangsa biaya input pestisida dipengaruhi oleh harga gabah, jagung, kedelai, dan luas panen. Pangsa biaya buruh dipengaruhi oleh harga gabah, jagung, upah buruh, dan luas panen.
2.
Elastisitas penawaran padi terhadap harga gabah bersifat inelastis, terhadap harga jagung bersifat inelastis positif, terhadap harga kedelai bersifat inelastis positif, sedangkan terhadap harga input-inputnya bersifat inelastis negatif. Kemudian, elastisitas permintaan input urea terhadap harga urea dan harga TSP bersifat inelastis negatif, sedangkan terhadap harga gabah bersifat elastis positif. Elastisitas permintaan TSP terhadap harga gabah elastis negatif, sedangkan terhadap harga urea dan TSP inelastisnegatif.Elastisitas permintaan pestisida terhadap harga gabah bersifat elastis negatif.Elastisitas upah buruh terhadap harga gabah elastis dan terhadap upah bersifat elastis negatif.
3.
Kebijakan yang tepat dilakukan adalah kebijakan penghapusan distorsi pasar dari tengkulak, kebijakan penetapan stok pupuk tiap daerah dengan kuantitas dan harga yang terjamin dan stabil.
6.2.
Saran
Sehingga saran yang dapat diberikan adalah melakukan langkah kebijakan pertama yaitu pemerintah pusat adalah berkoordinasi dengan pemerintah daerah membentuk unit-unit Bulog di masing-masing kecamatan yang bertugas sebagai berikut: 1.
Maka jika pemerintah menentapkan kebijakan HPP, unit-unit Bulog di tiap kecamatan
inilah
yang
mengefektifkan
kebijakan
tersebut
dengan
mendatangi lahan-lahan padi yang akan panen dan membuat kontrak kerja sama berdasarkan HPP. Sehingga tidak ada ruang gerak untuk tengkulak menekan petani dalam penjualan gabahnya dan distorsi pasar dapat dihindari. 2.
Dengan terbentuknya unit-unit Bulog setiap kecamatan, maka aspirasi petani dapat tersampaikan sampai ke pemerintah daerah. Kemudian pemerintah daerah tersebut dengan kewenangannya bekerjasama dengan pemasok pupuk untuk mengatur pasokan pupuk ditiap kecamatan sesuai dengan pupuk yang dibutuhkan, dan tentu saja dengan harga yang stabil serta terjangkau.
3.
Saran bagi penelitian selanjutnya adalah melengkapi input lain yang relevan. Penambahan input dimaksudkan agar koefisien determinasi menjadi semakin besar. Selain itu, analisis multi-input dan multi-outputnya dilanjutkan dengan pangsa biaya dan elastisitas permintaan input tidak hanya untuk satu
komoditas saja. Sehingga,dapat menciptakan model yang lebih lengkap dan menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA Amang, B. dan M.H. Sawit. 2001. Perumusan Kebijaksanaan Harga Gabah dan Pupuk dalam Era Pasar Bebas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Buchinsky, M. 2003. Multivariate Seemingly Unrelated Regression (SUR) Model. UCLA. USA. Diana, D. 2000. Pendugaan Elastisitas Permintaan input dan Penawaran Output pada usahatani Padi Sawah di Jawa[Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Handewi. 1986. Pendugaan Fungsi Keuntungan dan Analisis Efisiensi Ekonomi Relatif Usahatani Padi Sawah (Studi pada Beberapa Desa di Jawa Barat) [Tesis]. Progaram Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hartoyo, S. 1994. Pengaruh Infrastruktur terhadap Penawaran Tanaman Pangan di Jawa : Pendekatan Multi-Input dan Multi-Output [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hutaruk, J. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi Pupuk terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jamal, E., Hendiarto, dan Ening Ariningsih. 2008. “Analisis Kebijakan Penentuan Harga Pembelian Gabah”. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian, 1: 75-81. Kariyasa, K. 2007. “Usulan HET Pupuk Berdasarkan Tingkat Efektivitas Kebijakan Harga Pembelian Gabah”. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 5: 72,85. Leo, A.Z. 2000. Analisis Respons Penawaran Kapas di Beberapa Sentra Poduksi di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nicholson, W. 1999. Teori Ekonomi Mikro. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. PT Penerbit Erlangga. Jakarta. Nurung, M. 2002. “Fungsi Keuntungan, Respons Penawaram Output, Permintaan Input, dan Efisiensi Alokatif Usahatani Padi Kecamatan Seginim Kabupaten Bengkulu Selatan”. Jurnal Penelitian UNIB, 3: 134-139.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi (PPSEP). 2000. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditi Pertanian Utama di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Bogor. Richardson, S.T., dan Mathias Drton. Multimodality of the Likelihood in the Bivariate Seemingly Unrelated Regression Model. 2002. Technical Reports No. 410. University of Washington, USA. Sastrohoetomo, M.A. 1984. Dampak Kebijaksanaan Harga Pupuk dan Beras terhadap Pendapatan Masyarakat [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Simatupang, P., S. Mardianto, K. Kariyasa, dan M. Maulana. 2006.“Evaluasi Pelaksanaan Harga Gabah Pembelian Pemerintah Tahun 2005 dan Perspektif Penyesuaian Tahun 2006”.Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 3: 187-200. Siregar, H 1991. Production Technology in Indonesian Dryland Crop Industri : Multi-Input, Multi-Output Framework.[Tesis]. University of New England. Australia Situmorang, T.M. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi dan Impor Beras di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syafa’at, N., U. H. Prajogo, K. S. Dewa,M. L. Erma, P. Adreng, S.Jefferson, dan B. M. D. Frans. 2005. Laporan Akhir Proyeksi Permintaam dan Penawaran Komoditas Utama Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Syafa’at. N. 1990. “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Efisiensi Teknis dan Sikap Petani dalam Menghadapi Resiko Produksi pada Usaha Tani Padi Sawah Beririgasi Teknis”. Jurnal Agro Ekonomi, 9 No. 2. Supriatna, Y., Sudi Mardianto, dan N.K. Agustin. 2005. “Dinamika Pola Pemasaran Gabah dan Beras di Indonesia”.Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, 23: 116-131. Tomek, W.G. dan K.L. Robinson. 1987. Agricultural Product Prices. Printing Cornell University Press. Third Edition, USA. Yahya, W.B., S.B, Adebayo, E.T. Jolayemi, B.A. Oyejola, dan O.O.M. Sanni. 2008. “Effect of Non-Orthoginality on the Efficiency of Seemingly Unrelated Regression (SUR) Model”.Interstat Jurnal, 1-24.
Tabel Lampiran 1. Data yang digunakan dalam model: Luas
Tahun
Harga
Harga
Panen
Produksi
Harga
Harga
TSP/SP-
Pestisida
Harga
Indek Harga
Padi(Ribu
Gabah
Gabah
Urea
36
(Rp./Kg;
Upah TK
Konsumen
Ha)
(Ribu Ton)
(Rp./Kg)
(Rp./Kg)
(Rp./Kg)
Rp./Ltr)
(Rp./HOK)
(2000=100)
1969
8,013.62
23,553.85
36.73
21.45
22.62
172.24
87.36
2.33
1970
8,135.08
25,269.24
38.33
21.51
23.26
182.81
107.10
2.62
1971
8,324.39
26,392.18
40.70
22.91
22.40
196.79
117.37
2.74
1972
7,993.98
25,351.11
48.85
25.83
25.93
212.82
143.39
2.91
1973
8,403.60
21,489.24
49.98
30.67
30.01
371.90
211.85
3.82
1974
8,518.60
22,464.38
51.32
50.89
34.74
541.51
332.08
5.37
1975
8,495.10
22,330.65
62.62
69.61
40.21
570.69
393.49
6.39
1976
8,368.76
23,300.94
74.63
71.33
46.55
662.00
489.44
7.66
1977
8,359.57
23,347.13
79.15
71.18
53.88
803.97
596.79
8.51
1978
8,929.17
25,771.57
82.36
71.18
62.37
828.59
712.27
9.20
1979
8,803.56
26,282.66
106.27
72.72
72.19
1,314.29
994.24
10.69
1980
9,005.07
29,651.91
121.27
72.01
73.85
1,491.10
1,414.00
12.62
1981
9,381.84
32,774.18
134.96
72.11
73.11
1,754.53
1,714.00
14.16
1982
8,988.46
33,583.68
149.72
81.89
82.10
1,610.01
1,932.00
15.51
1983
9,162.47
35,303.11
168.41
92.66
89.76
1,942.36
2,158.00
17.33
1984
9,763.58
38,136.45
175.04
96.24
96.22
2,255.45
2,371.00
19.15
1985
9,902.29
39,032.95
189.73
100.21
104.69
1,809.79
2,553.00
20.05
1986
9,988.45
39,726.76
167.27
105.57
115.49
1,929.66
2,757.00
21.22
1987
9,922.59
40,078.20
184.73
126.93
129.96
2,135.53
3,098.00
23.19
1988
10,138.16
41,676.17
232.08
135.90
131.78
2,582.30
3,441.00
25.05
1989
10,521.21
44,725.58
267.31
169.25
173.03
2,795.02
3,807.00
26.66
1990
10,502.36
45,178.75
299.08
215.61
238.18
3,141.47
4,013.00
28.74
1991
10,281.52
44,688.25
303.70
227.08
251.30
3,312.27
4,294.00
31.45
1992
11,103.32
48,240.01
284.05
246.62
282.21
3,402.04
5,034.00
33.82
1993
11,012.78
48,181.09
325.83
263.26
316.00
3,788.20
5,560.00
37.09
1994
10,733.83
46,641.52
419.81
292.48
348.10
4,071.02
6,136.00
40.25
1995
11,438.76
49,744.14
432.75
318.07
456.57
4,463.29
7,128.00
44.05
1996
11,569.73
51,173.51
498.27
376.04
491.93
4,640.85
8,301.00
47.56
1997
11,140.59
49,377.05
933.01
443.88
585.96
5,094.22
9,799.00
50.52
1998
11,730.33
49,236.69
1,234.10
572.56
748.63
8,737.69
11,064.60
80.02
1999
11,963.20
50,866.39
1,080.86
1,088.40
1,493.37
11,394.79
12,502.83
96.41
2000
11,793.48
50,069.26
1,141.22
1,352.81
1,927.45
12,879.24
14,253.48
100.00
2001
11,500.00
50,460.78
1,255.46
1,334.29
2,083.76
13,830.36
16,678.80
111.50
2002
11,530.68
51,489.69
1,249.33
1,400.32
2,110.90
20,353.12
17,475.84
124.75
2003
11,452.60
52,137.60
1,258.31
1,596.87
2,121.10
21,697.50
19,986.24
132.97
2004
11,922.97
54,088.47
1,572.50
1,626.77
2,153.58
23,679.33
21,488.64
141.27
2005
11,839.06
54,151.10
1,554.99
1,758.06
2,613.22
23,721.50
23,270.28
150.03
2006
11,786.43
54,454.94
1,641.53
1,865.46
2,815.14
23,763.68
24,977.22
161.22
Lanjutan Tabel Lampiran 1..
Tahun
Penggunaan
Jumlah
Luas
Penggunaan
Penggunaan
Pestisida
Tenaga
Panen
Pupuk Urea
Pupuk TSP/
Pada
Kerja
Jagung
Pada Padi
SP-36 Pada
Padi(KG/Ha;
Pada Padi
(Kg/Ha)
Padi(Kg/Ha)
Ltr/Ha)
(HOK/Ha)
Penggunaan Penggunaan
Pupuk TSP/
Harga
Pupuk Urea
SP-36 Pada
(Ribu
Jagung
Pada Jagung
Jagung
Ha)
(Rp./Kg)
(Kg/Ha)
(Kg/Ha)
1969
32.41
27.71
0.34
44.64
2,435.82
24.20
25.93
19.40
1970
53.39
26.15
1.08
57.69
2,938.61
26.23
42.71
18.31
1971
51.57
33.32
0.66
41.65
2,626.60
20.44
41.26
23.32
1972
49.66
35.79
0.70
43.88
2,160.05
27.32
39.73
25.05
1973
36.39
35.84
0.44
44.80
3,433.16
35.62
29.11
25.09
1974
57.04
53.88
0.75
47.35
2,666.87
46.73
45.63
37.72
1975
67.59
57.31
0.63
51.64
2,444.87
58.75
54.07
40.12
1976
58.00
59.76
0.69
64.70
2,095.05
65.13
46.40
41.83
1977
88.69
73.25
0.65
71.56
2,566.51
62.51
70.95
51.28
1978
81.40
63.33
0.70
72.66
3,024.61
65.73
65.12
44.33
1979
74.90
62.22
0.72
77.78
2,593.62
82.72
59.92
43.55
1980
68.70
28.48
1.29
92.09
2,734.94
70.73
54.96
19.94
1981
122.37
88.40
1.84
88.71
2,955.04
96.28
97.90
61.88
1982
137.23
81.33
1.77
89.59
2,061.30
125.75
109.78
56.93
1983
164.54
116.31
3.28
86.84
3,002.23
122.69
131.63
81.42
1984
132.34
102.34
1.91
106.60
3,086.25
129.13
105.87
71.64
1985
147.90
115.29
1.87
86.79
2,439.97
132.25
118.32
80.70
1986
168.51
114.02
1.99
82.54
3,142.76
147.62
134.81
79.81
1987
186.83
163.96
2.65
78.29
2,626.03
164.32
149.46
114.77
1988
186.22
164.78
3.29
78.34
3,405.75
189.89
148.98
115.35
1989
164.78
132.40
2.80
95.45
2,944.20
212.20
131.82
92.68
1990
159.16
137.59
1.32
94.39
3,158.09
233.17
127.33
96.31
1991
202.83
139.35
1.97
87.00
2,909.10
257.07
162.26
97.55
1992
171.90
166.17
1.94
88.55
3,629.35
264.31
137.52
116.32
1993
144.39
140.16
2.61
76.38
2,939.53
286.04
115.51
98.11
1994
157.02
139.75
1.35
88.93
3,109.40
325.37
125.62
97.83
1995
144.83
112.77
1.91
85.41
3,651.84
367.74
115.86
78.94
1996
124.48
135.62
1.77
86.39
3,743.57
427.86
99.58
94.93
1997
157.45
122.99
2.33
87.36
3,355.22
459.53
125.96
86.09
1998
190.41
110.35
2.88
88.34
3,847.81
632.26
152.33
77.25
1999
154.31
121.69
2.15
89.32
3,456.36
1,045.37
123.45
85.18
2000
125.04
83.37
2.02
90.29
3,500.32
1,028.65
100.03
58.36
2001
170.85
138.09
2.52
91.27
3,285.87
1,138.52
136.68
96.66
2002
167.06
144.60
1.84
92.24
3,109.45
1,212.10
133.65
101.22
2003
154.29
120.43
2.22
93.22
3,358.51
1,255.21
123.43
84.30
2004
148.96
113.17
2.18
94.19
3,356.91
1,366.81
119.17
79.22
2005
161.66
133.39
2.09
95.17
3,625.99
1,410.49
129.33
93.37
2006
166.99
138.82
2.21
96.14
3,345.81
1,477.93
133.59
97.17
Lanjutan Tabel Lampiran 1…
Tahun
Penggunaan
Jumlah
Pestisida
Tenaga
Pada
Kerja
Luas
Jagung
Pada
Panen
(KG/Ha;
Jagung
Kedelai
Ltr/Ha)
(HOK/Ha)
(Ribu Ha)
Penggunaan
Jumlah
Penggunaan
Penggunaan
Penggunaan
Pestisida
Tenaga
Pupuk Urea
Pupuk TSP/
Pupuk Kimia
Pada
Kerja
Harga
Pada
SP-36 Pada
Lain Pada
Kedelai
Pada
Kedele
Kedelai
Kedelai
Kedelai
(KG/Ha;
Kedelai
(Kg/Ha)
(Kg/Ha)
(Kg/Ha)
(Rp./Kg)
Ltr/Ha)
(HOK/Ha)
1969
0.51
55.80
753.78
55.99
40.51
30.48
4.08
0.51
53.57
1970
1.62
72.11
694.73
55.18
66.74
28.77
5.74
1.62
69.23
1971
0.99
52.06
679.63
58.80
64.46
36.65
1.66
0.99
49.98
1972
1.05
54.84
697.50
65.68
62.08
39.37
0.96
1.05
52.65
1973
0.66
56.00
743.66
101.83
45.49
39.42
0.53
0.66
53.76
1974
1.13
59.19
753.50
128.07
71.30
59.27
1.09
1.13
56.82
1975
0.95
64.55
751.69
137.60
84.49
63.04
1.64
0.95
61.97
1976
1.04
80.88
646.34
142.45
72.50
65.74
2.38
1.04
77.64
1977
0.98
89.45
646.12
160.00
110.86
80.58
2.39
0.98
85.88
1978
1.05
90.83
733.14
177.20
101.75
69.66
2.13
1.05
87.20
1979
1.08
97.22
784.49
230.79
93.63
68.44
2.51
1.08
93.33
1980
1.94
115.11
732.35
284.38
85.88
31.33
3.29
1.94
110.51
1981
2.76
110.89
809.98
321.00
152.96
97.24
4.38
2.76
106.46
1982
2.66
111.98
607.79
345.43
171.54
89.46
8.78
2.66
107.51
1983
4.92
108.55
639.88
396.91
205.68
127.94
19.40
4.92
104.21
1984
2.87
133.25
858.85
466.78
165.43
112.57
0.71
2.87
127.92
1985
2.81
108.48
896.22
480.32
184.88
126.82
1.69
2.81
104.15
1986
2.99
103.17
1,253.77
569.14
210.64
125.42
1.09
2.99
99.05
1987
3.98
97.86
1,100.57
584.20
233.54
180.36
7.58
3.98
93.95
1988
4.94
97.92
1,177.36
669.30
232.78
181.26
43.10
4.94
94.01
1989
4.20
119.31
1,198.10
684.81
205.98
145.64
73.85
4.20
114.54
1990
1.98
117.98
1,334.10
767.37
198.95
151.35
26.44
1.98
113.27
1991
2.96
108.75
1,368.20
843.11
253.54
153.29
51.34
2.96
104.40
1992
2.91
110.69
1,665.71
847.92
214.88
182.79
58.28
2.91
106.26
1993
3.92
95.47
1,470.21
917.20
180.49
154.18
51.30
3.92
91.65
1994
2.03
111.16
1,406.92
1,002.25
196.28
153.73
40.63
2.03
106.71
1995
2.87
106.77
1,477.43
1,033.96
181.04
124.05
46.34
2.87
102.50
1996
2.66
107.99
1,279.29
1,114.63
155.60
149.18
56.99
2.66
103.67
1997
3.50
109.21
1,119.08
1,218.53
196.81
135.29
77.69
3.50
104.84
1998
4.32
110.43
1,095.07
2,024.25
238.01
121.39
98.39
4.32
106.01
1999
3.23
111.65
1,151.08
2,520.84
192.89
133.86
35.33
3.23
107.18
2000
3.03
112.86
824.48
2,696.19
156.30
91.71
7.31
3.03
108.35
2001
3.78
114.08
678.85
2,991.60
213.56
151.90
25.46
3.78
109.52
2002
2.76
115.30
544.52
3,083.70
208.83
159.06
45.60
2.76
110.69
2003
3.33
116.52
526.80
3,277.85
192.86
132.47
69.85
3.33
111.86
2004
3.27
117.74
565.16
3,499.49
186.20
124.49
17.30
3.27
113.03
2005
3.14
118.96
621.54
3,684.64
202.08
146.73
60.11
3.14
114.20
2006
3.31
120.18
580.53
3,876.94
208.74
152.70
62.17
3.31
115.37
Lampiran 2. Pengujian Contemporaneous correlation Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
0.505712
Prob. F(2,20)
0.6106
Obs*R-squared
1.829200
Prob. Chi-Square(2)
0.4007
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 07/12/04 Time: 11:42 Sample: 1969 2006 Included observations: 38 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNP2
0.057387
0.158693
0.361624
0.7214
LNP3
0.023514
0.177228
0.132677
0.8958
LNR1
-0.008733
0.133455
-0.065441
0.9485
LNR2
-0.000187
0.121436
-0.001543
0.9988
LNR3
0.013882
0.123279
0.112607
0.9115
LNR4
-0.021501
0.114831
-0.187238
0.8534
LNZ1
0.039113
0.309013
0.126573
0.9005
LNZ2
-0.064727
0.547673
-0.118185
0.9071
S1
0.209586
0.730172
0.287037
0.7770
S1R1
-0.271275
3.477250
-0.078014
0.9386
S1R2
0.384741
2.436745
0.157892
0.8761
S1R3
1.669697
6.785152
0.246081
0.8081
S1R4
0.255718
1.011360
0.252846
0.8030
S2
0.148648
0.721620
0.205993
0.8389
S3
0.104914
0.645797
0.162456
0.8726
C
0.080589
5.592374
0.014410
0.9886
RESID(-1)
0.187187
0.294123
0.636425
0.5317
RESID(-2)
-0.213878
0.277799
-0.769903
0.4504
R-squared
0.048137
Mean dependent var
-4.25E-15
-0.760947
S.D. dependent var
0.041589
S.E. of regression
0.055188
Akaike info criterion
-2.650617
Sum squared resid
0.060915
Schwarz criterion
-1.874918
Log likelihood
68.36172
Hannan-Quinn criter.
-2.374629
F-statistic
0.059496
Durbin-Watson stat
Prob(F-statistic)
1.000000
Adjusted R-squared
1.976051
Lampiran 3. Pendugaan Parameter Pangsa Penerimaan dan Biaya dengan Memasukkan Restriksi Homogenitas dan Simetri
The
SYSLIN
Procedure
Seemingly
Unrelated
Regression
Estimation
System
Weighted
MSE
1.9009
Degrees
of
freedom
233
System
Weighted
R‐Square
0.7075
Model
s1
Dependent
Variable
s1
Label
pangsa
penerimaan
padi
Parameter
Estimates
Parameter
Standard
Variable
Variable
DF
Estimate
Error
t
Value
Pr
>
|t|
Label
Intercept
1
5.625244
0.625267
9.00
<.0001
Intercept
lnp1
1
‐0.16017
0.027729
‐5.78
<.0001
log
natural
harga
gabah
lnp2
1
‐0.09635
0.014580
‐6.61
<.0001
log
natural
harga
jagung
lnp3
1
‐0.02476
0.011637
‐2.13
0.0420
log
natural
harga
kedelai
lnr1
1
0.030667
0.005560
5.52
<.0001
log
natural
harga
urea
lnr2
1
0.032393
0.006671
4.86
<.0001
log
natural
harga
tsp
lnr3
1
0.004002
0.002156
1.86
0.0736
log
natural
harga
pestisida
lnr4
1
0.214223
0.017108
12.52
<.0001
log
natural
harga
upah
buruh
lnz1
1
‐0.29379
0.040055
‐7.33
<.0001
log
natural
luas
panen
Durbin‐Watson
0.557026
Number
of
Observations
38
First‐Order
Autocorrelation
0.69582
Model
s2
Dependent
Variable
s2
Label
pangsa
penerimaan
jagung
The
SAS
System
The
SYSLIN
Procedure
Seemingly
Unrelated
Regression
Estimation
Parameter
Estimates
Parameter
Standard
Variable
Variable
DF
Estimate
Error
t
Value
Pr
>
|t|
Label
Intercept
1
‐4.46398
0.625643
‐7.14
<.0001
Intercept
lnp1
1
‐0.09635
0.014580
‐6.61
<.0001
log
natural
harga
gabah
lnp2
1
0.075640
0.032382
2.34
0.0266
log
natural
harga
jagung
lnp3
1
0.029007
0.022005
1.32
0.1978
log
natural
harga
kedelai
lnr1
1
0.026713
0.008050
3.32
0.0024
log
natural
harga
urea
lnr2
1
0.028748
0.010283
2.80
0.0091
log
natural
harga
tsp
lnr3
1
0.010112
0.004054
2.49
0.0186
log
natural
harga
pestisida
lnr4
1
‐0.04994
0.006114
‐8.17
<.0001
log
natural
harga
upah
buruh
lnz1
1
0.290680
0.039820
7.30
<.0001
log
natural
luas
panen
Durbin‐Watson
0.818955
Number
of
Observations
38
First‐Order
Autocorrelation
0.53849
Model
s3
Dependent
Variable
s3
Label
pangsa
penerimaan
kedelai
Parameter
Estimates
Parameter
Standard
Variable
Variable
DF
Estimate
Error
t
Value
Pr
>
|t|
Label
Intercept
1
‐0.31418
0.521776
‐0.60
0.5518
Intercept
lnp1
1
‐0.02476
0.011637
‐2.13
0.0420
log
natural
harga
gabah
lnp2
1
0.029007
0.022005
1.32
0.1978
log
natural
harga
jagung
lnp3
1
0.055140
0.021307
2.59
0.0149
log
natural
harga
kedelai
lnr1
1
‐0.03898
0.008147
‐4.78
<.0001
log
natural
harga
urea
lnr2
1
‐0.01843
0.007385
‐2.50
0.0185
log
natural
harga
tsp
lnr3
1
‐0.01382
0.003184
‐4.34
0.0002
log
natural
harga
pestisida
lnr4
1
0.011847
0.010020
1.18
0.2467
log
natural
harga
upah
buruh
lnz1
1
0.021448
0.033083
0.65
0.5219
log
natural
luas
panen
Durbin‐Watson
0.588778
Number
of
Observations
38
First‐Order
Autocorrelation
0.687869
Model
s1r1
Dependent
Variable
s1r1
Label
pangsa
biaya
urea
Parameter
Estimates
Parameter
Standard
Variable
Variable
DF
Estimate
Error
t
Value
Pr
>
|t|
Label
Intercept
1
0.362948
0.246263
1.47
0.1513
Intercept
lnp1
1
0.030667
0.005560
5.52
<.0001
log
natural
harga
gabah
lnp2
1
0.026713
0.008050
3.32
0.0024
log
natural
harga
jagung
lnp3
1
‐0.03898
0.008147
‐4.78
<.0001
log
natural
harga
kedelai
lnr1
1
‐0.02909
0.005314
‐5.47
<.0001
log
natural
harga
urea
lnr2
1
‐0.00760
0.004424
‐1.72
0.0965
log
natural
harga
tsp
lnr3
1
‐0.00252
0.002233
‐1.13
0.2677
log
natural
harga
pestisida
lnr4
1
‐0.00434
0.003154
‐1.38
0.1790
log
natural
harga
upah
buruh
lnz1
1
‐0.01834
0.015839
‐1.16
0.2564
log
natural
luas
panen
Durbin‐Watson
1.214911
Number
of
Observations
38
First‐Order
Autocorrelation
0.367351
Model
s1r2
Dependent
Variable
s1r2
Label
pangsa
biaya
tsp
Parameter
Estimates
Parameter
Standard
Variable
Variable
DF
Estimate
Error
t
Value
Pr
>
|t|
Label
Intercept
1
0.540146
0.295289
1.83
0.0777
Intercept
lnp1
1
0.032393
0.006671
4.86
<.0001
log
natural
harga
gabah
lnp2
1
0.028748
0.010283
2.80
0.0091
log
natural
harga
jagung
lnp3
1
‐0.01843
0.007385
‐2.50
0.0185
log
natural
harga
kedelai
lnr1
1
‐0.00760
0.004424
‐1.72
0.0965
log
natural
harga
urea
lnr2
1
‐0.03800
0.005593
‐6.80
<.0001
log
natural
harga
tsp
lnr3
1
0.001320
0.002237
0.59
0.5598
log
natural
harga
pestisida
lnr4
1
0.001573
0.003976
0.40
0.6953
log
natural
harga
upah
buruh
lnz1
1
‐0.03531
0.018632
‐1.90
0.0681
log
natural
luas
panen
Durbin‐Watson
1.334094
Number
of
Observations
38
First‐Order
Autocorrelation
0.298805
Model
s1r3
Dependent
Variable
s1r3
Label
pangsa
biaya
pestisida
Parameter
Estimates
Parameter
Standard
Variable
Variable
DF
Estimate
Error
t
Value
Pr
>
|t|
Label
Intercept
1
0.261999
0.115201
2.27
0.0305
Intercept
lnp1
1
0.004002
0.002156
1.86
0.0736
log
natural
harga
gabah
lnp2
1
0.010112
0.004054
2.49
0.0186
log
natural
harga
jagung
lnp3
1
‐0.01382
0.003184
‐4.34
0.0002
log
natural
harga
kedelai
lnr1
1
‐0.00252
0.002233
‐1.13
0.2677
log
natural
harga
urea
lnr2
1
0.001320
0.002237
0.59
0.5598
log
natural
harga
tsp
lnr3
1
‐0.00180
0.002068
‐0.87
0.3915
log
natural
harga
pestisida
lnr4
1
0.002710
0.001929
1.41
0.1706
log
natural
harga
upah
buruh
lnz1
1
‐0.01601
0.007216
‐2.22
0.0345
log
natural
luas
panen
Durbin‐Watson
1.035306
Number
of
Observations
38
First‐Order
Autocorrelation
0.469194
Model
s1r4
Dependent
Variable
s1r4
Label
pangsa
biaya
upah
buruh
Parameter
Estimates
Parameter
Standard
Variable
Variable
DF
Estimate
Error
t
Value
Pr
>
|t|
Label
Intercept
1
‐1.01218
0.307126
‐3.30
0.0026
Intercept
lnp1
1
0.214223
0.017108
12.52
<.0001
log
natural
harga
gabah
lnp2
1
‐0.04994
0.006114
‐8.17
<.0001
log
natural
harga
jagung
lnp3
1
0.011847
0.010020
1.18
0.2467
log
natural
harga
kedelai
lnr1
1
‐0.00434
0.003154
‐1.38
0.1790
log
natural
harga
urea
lnr2
1
0.001573
0.003976
0.40
0.6953
log
natural
harga
tsp
lnr3
1
0.002710
0.001929
1.41
0.1706
log
natural
harga
pestisida
lnr4
1
‐0.13048
0.011562
‐11.29
<.0001
log
natural
harga
upah
buruh
lnz1
1
0.050686
0.019578
2.59
0.0149
log
natural
luas
panen
The
SAS
System
The
SYSLIN
Procedure
Seemingly
Unrelated
Regression
Estimation
Parameter
Estimates
Parameter
Standard
Variable
Variable
DF
Estimate
Error
t
Value
Pr
>
|t|
Label
RESTRICT
‐1
‐8.17379
2.027237
‐4.03
<.0001
RESTRICT
‐1
‐402.627
50.29340
‐8.01
<.0001
RESTRICT
‐1
‐133.048
36.15705
‐3.68
<.0001
RESTRICT
‐1
67.96580
26.37338
2.58
0.0075
RESTRICT
‐1
189.7517
123.1860
1.54
0.1254
RESTRICT
‐1
‐219.820
121.8903
‐1.80
0.0705
RESTRICT
‐1
‐258.606
190.4007
‐1.36
0.1788
RESTRICT
‐1
326.4309
51.17301
6.38
<.0001
RESTRICT
‐1
5.401607
13.59063
0.40
0.6983
RESTRICT
‐1
443.4292
46.21448
9.60
<.0001
RESTRICT
‐1
412.2468
46.62331
8.84
<.0001
RESTRICT
‐1
122.4814
34.68668
3.53
<.0001
RESTRICT
‐1
253.0045
81.70268
3.10
0.0009
RESTRICT
‐1
‐145.140
104.2528
‐1.39
0.1678
RESTRICT
‐1
‐146.726
63.38312
‐2.31
0.0177
RESTRICT
‐1
136.2963
87.99682
1.55
0.1233
RESTRICT
‐1
262.3686
88.93415
2.95
0.0017
RESTRICT
‐1
86.82208
69.57039
1.25
0.2179
RESTRICT
‐1
390.8619
95.53017
4.09
<.0001
RESTRICT
‐1
547.6691
188.8484
2.90
0.0021
RESTRICT
‐1
25.30978
189.6665
0.13
0.8966
RESTRICT
‐1
829.2341
70.83233
11.71
<.0001
RESTRICT
‐1
376.9288
62.37033
6.04
<.0001
RESTRICT
‐1
10.18041
48.94701
0.21
0.8394
RESTRICT
‐1
‐35.0583
94.45579
‐0.37
0.7174
RESTRICT
‐1
‐45.6757
179.0320
‐0.26
0.8037
RESTRICT
‐1
51.13635
108.7623
0.47
0.6464
RESTRICT
‐1
335.4912
182.1149
1.84
0.0643
RESTRICT
‐1
656.9511
138.0690
4.76
<.0001
RESTRICT
‐1
401.3720
119.9690
3.35
0.0002
Durbin‐Watson
0.597099
Number
of
Observations
38
First‐Order
Autocorrelation
0.677022
Lampiran 4. Pengujian Teknologi non-jointness Ordinary Least Squares
Model
s1
Dependent
Variable
s1
Label
pangsa
penerimaan
padi
Analysis
of
Variance
Sum
of
Mean
Source
DF
Squares
Square
F
Value
Pr
>
F
Model
9
1.719469
0.191052
28.36
<.0001
Error
28
0.188635
0.006737
Corrected
Total
37
1.908104
Model
s2
Dependent
Variable
s2
Label
pangsa
penerimaan
jagung
Analysis
of
Variance
Sum
of
Mean
Source
DF
Squares
Square
F
Value
Pr
>
F
Model
9
0.161011
0.017890
39.42
<.0001
Error
28
0.012706
0.000454
Corrected
Total
37
0.173717
Model
s3
Dependent
Variable
s3
Label
pangsa
penerimaan
kedelai
Analysis
of
Variance
Sum
of
Mean
Source
DF
Squares
Square
F
Value
Pr
>
F
Model
9
0.056777
0.006309
18.22
<.0001
Error
28
0.009694
0.000346
Corrected
Total
37
0.066471