ANALISIS RESPONS PENAWARAN KELAPA DI INDONESIA PADA PERIODE 1971 - 2006
OLEH THOMSON MARGANDA SIANIPAR H14050232
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
THOMSON MARGANDA SIANIPAR. Analisis Respon Penawaran Kelapa di Indonesia Pada Periode 1971 - 2006 (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR). Sektor pertanian adalah sektor yang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat karena fungsinya sebagai penyedia kebutuhan pokok masyarakat. Selain itu sektor pertanian juga berperan dalam memberikan pendapatan ekspor dan juga sebagai sumber kehidupan dari jutaan orang petani. Sekitar tujuh juta orang petani menggantungkan kehidupannya pada komoditi kelapa. Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki luas areal kelapa terluas di dunia. Akan tetapi dari segi produksi kopra Indonesia masih kalah dengan Filipina. Hal ini menandakan ada masalah pada sisi produktivitas kelapa di Indonesia. Dewasa ini peran dari kelapa sebagai sumber utama minyak nabati telah tergantikan oleh minyak kelapa sawit. Hal ini membuat komoditi kelapa seolah-olah terabaikan dan harga kelapa (kopra khususnya) tidak lagi menjadi insentif bagi petani. Petani kelapa umumnya menjual produknya dalam bentuk produk primer (kelapa segar dan kopra) yang membuat petani hanya mendapatkan nilai tambah yang kecil dan akibatnya kesejahteraan petani menjadi sangat rendah. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini memilki tiga tujuan utama. Pertama, Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan luas areal dan produktivitas kelapa di Indonesia. Kedua, Menduga respon penawaran dari petani kelapa dalam jangka pendek dan jangka panjang. Ketiga, Menganalisis secara deskriptif gambaran umum perkembangan komoditas kelapa di Indonesia dan mengevaluasi dan merekomendasikan kebijakan yang sesuai untuk perkembangan agribisnis kelapa. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang dipergunakan adalah data time series berjumlah 36 observasi dari tahun 1971 sampai dengan tahun 2006. Data-data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Asian and Pacific Coconut Community (APCC), Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan Bogor, InterCAFE, serta sumber dan referensi pustaka yang lain yang relevan dengan tujuan penelitian ini. Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan metode analisis ekonometrika dengan menggunakan model penyesuaian parsial Nerlove. Untuk mengestimasi bagaimana pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel endogennya digunakan teknik estimasi Ordinary Least Square (OLS). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan E-Views 5.1. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa variabel-variabel yang secara signifikan memengaruhi luas areal kelapa di Indonesia adalah luas areal tahun lalu,
harga minyak goreng sawit tahun lalu, harga rata-rata pupuk tahun lalu, dan tingkat upah buruh tahun lalu. Sedangkan variabel yang tidak signifikan memengaruhi luas areal kelapa di Indonesia antara lain harga kopra tahun lalu, curah hujan tahun lalu, dan tingkat suku bunga riil tahun lalu. Sementara variabel-variabel yang secara signifikan memengaruhi produktivitas kelapa di Indonesia adalah produktivitas tahun lalu, harga kopra, harga pupuk, harga pestisida, upah buruh, tingkat curah hujan ratarata, dan tren waktu. Respon penawaran kelapa terhadap harga kopra dalam jangka pendek dan panjang bernilai positif dan bersifat inelastis yaitu 0.0284 pada jangka pendek dan 0.0491 pada jangka panjang. Angka elastisitas penawaran tersebut menandakan adanya kekakuan aset-aset pertanian khususnya pada usaha tani kelapa. Selama ini belum ada kebijakan khusus yang diterapkan pada komoditi ini terkait dengan kebijakan harga output. Sementara untuk kebijakan perdagangan internasional, belum ada kebijakan khusus untuk membatasi ekspor ataupun kebijakan pendukung ekspor. Sebaliknya untuk kegiatan impor, pemerintah melakukan kebijakan bea masuk dan pajak penjualan yang ditujukan untuk melindungi petani dalam negeri. Untuk kebijakan investasi, kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah kebijakan yang bersifat umum seperti menyangkut pembangunan infrastruktur yang tidak dilakukan secara khusus untuk pengembangan investasi agribisnis kelapa. Dari hasil penelitian ini, penulis menyarankan agar pemerintah lebih mensosialisasikan pengolahan berbagai produk olahan kelapa agar petani ikut mendapat nilai tambah dari produk-produk olahan kelapa yang sangat beragam. Selanjutnya konversi lahan yang semakin marak terjadi perlu menjadi perhatian pemerintah agar lahan-lahan pertanian sebagai penyuplai bahan makanan dalam negeri tidak terus berkurang. Sosialisasi penggunaan input-input seperti pupuk dan pestisida perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kelapa di Indonesia.
ANALISIS RESPONS PENAWARAN KELAPA DI INDONESIA PADA PERIODE 1971 - 2006
Oleh THOMSON MARGANDA SIANIPAR H14050232
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi : Analisis Respons Penawaran Kelapa di Indonesia Periode 1971 – 2006 Nama
: Thomson Marganda Sianipar
NIM
: H14050232
Menyetujui
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. NIP. 19630805 198811 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR
HASIL
DIGUNAKAN
KARYA
SEBAGAI
SAYA SKRIPSI
SENDIRI ATAU
YANG KARYA
BELUM
PERNAH
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Thomson Marganda Sianipar H14050232
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Respon Penawaran Kelapa di Indonesia”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada : 1. Bapak Prof.Dr.Ir Hermanto Siregar, M.Ec. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis, maupun moril sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Dr.Ir. Bambang Juanda, MS. selaku dosen penguji utama yang telah meberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Muhammad Findi selaku komisi pendidikan yang telah memberikan kririk dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4. Kak Ade, Kak Tonny, Pak Dicky, Pak Adi, dan semua pihak InterCafe yang selama ini sudah memberi masukan dan tempat bagi penulis untuk bekerja dan mengolah data di InterCafe. 5. Seluruh dosen pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Majanemen yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis serta semua staf Tatausaha yang telah memberikan kelancaran berbagai urusan administrasi. 6. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Hormat Sianipar dan Ibu Sarma Manurung yang tak henti-hentinya memberikan dorongan, dukungan,
semangat, motivasi, dan doa untuk kesehatan, kelancaran, dan keselamatan dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini. 7. Seluruh saudara penulis yaitu Bang Donald, Bang Julyan, Kak Erna, dan Dek Christian, serta Kak Pretty yang terus-menerus menyemangati penulis sampai saat ini. 8. Teman satu bimbingan skripsi penulis Renny Fitria, dan kepada seluruh anggota Supply Response Team (SRT) yaitu Made Sanjaya (Joger), Lukman, Tias Arum, Reja Lukiawan, Iqbal, Achun, Ginna, Grace, dan Rani buat kebersamaan dalam mencari dan mengolah data, sharing pengetahuan, dan lain-lain. 9. Teman-teman IE’42 yang tidak dapat disebutkan satu per satu. 10. Teman-teman, adik, dan kakak dari Komisi Kesenian (Komkes Crew), terutama Komkes’42 yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan dan kebersamaannya selama ini. 11. Janri, Jirey, Mario, dan Yogi atas kebersamaan selama ini di “Andalusia.” 12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan semuanya. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Terima Kasih.
Bogor,
Agustus 2009
ThomsonMarganda Sianipar H14050232
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Thomson Marganda Sianipar, lahir di Dolok Merangir, sebuah desa kecil yang berada di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 17 Maret 1988. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan Hormat Sianipar dan Sarma Manurung. Penulis memulai pendidikan formalnya di SD Negeri No. 091600 Dolok Merangir Kecamatan Dolok Batu Nanggar tahun 1993 dan diselesaikan pada tahun 1999. Pada tahun 2002, penulis menamatkan pendidikan menengah pertamanya di SLTP Negeri 1 Dolok Batu Nanggar. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 1 Dolok Batu Nanggar dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis meninggalkan daerah asalnya tersebut untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di bebepara organisasi seperti Komisi Kesenian Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB dan Ikatan Mahasiswa Siantar dan Sekitarnya.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vi I. PENDAHULUAN ............................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ...............................................................................
8
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 11 1.4 Kegunaan Penelitian .............................................................................. 12 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 12 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ........................... 13 2.1 Gambaran Umum Komoditi Kelapa ...................................................... 13 2.1.1 Jenis Kelapa ................................................................................... 13 2.1.1.1 Varietas Dalam ....................................................................... 14 2.1.1.2 Varietas Hibrida ..................................................................... 14 2.1.2 Sentra Produksi .............................................................................. 15 2.1.3 Aspek Strategis Komoditi Kelapa .................................................. 15 2.2 Analisis Penawaran ................................................................................ 16 2.3 Pengertian Respon Penawaran ............................................................... 18 2.3.1 Respon Penawaran Kelapa ............................................................. 19 2.4 Kajian Penelitian Terdahulu................................................................... 21 2.6 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 25 2.6.1 Kerangka Pemikiran Teoritis.......................................................... 25 2.6.1.1 Respon Penawaran .................................................................. 25 2.6.1.1.1 Perubahan Jumlah Produksi Menurut Perubahan Areal dan Produktivitas .................................................. 25
2.6.1.1.2 Respon Penawaran Melalui Respon Areal dan Respon Produktivitas ............................................... 26 2.6.1.2 Respon Beda Kala (lag) dalam Komoditas Pertanian ............ 28 2.6.1.3 Model Penyesuaian Parsial Nerlove ....................................... 29 2.6.2 Kerangka Pemikiran Konseptual .................................................... 32 2.7 Hipotesis Penelitian ............................................................................... 34 III. METODE PENELITIAN................................................................................. 35 3.1 Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 35 3.2 Metode Analisis...................................................................................... 35 3.3 Model Ekonometrika.............................................................................. 36 3.3.1 Model Respon Areal....................................................................... 36 3.3.2 Model Respon Produktivitas .......................................................... 37 3.4 Estimasi Respon Penawaran................................................................... 38 3.5 Evaluasi Model....................................................................................... 39 3.5.1 Uji Kriteria Ekonomi ...................................................................... 39 3.5.2 Uji Kriteria Statistik ....................................................................... 39 3.5.3 Uji Kriteria Ekonometrika .............................................................. 42 3.6 Defenisi dan Pengukuran Variabel-Variabel.......................................... 44 3.6.1 Spesifikasi Harga ........................................................................... 46 IV. PERKEMBANGAN KOMODITI KELAPA.................................................. 48 4.1 Perkembangan Areal Kelapa .................................................................. 48 4.2 Pasar dan Harga...................................................................................... 51 4.2.1 Penggunaan Dalam Negeri ............................................................. 51 4.2.2 Ekspor Produk Kelapa .................................................................... 51 4.2.3 Impor Produk Kelapa ..................................................................... 53 4.2.4 Harga Kelapa dan Produk Kelapa .................................................. 54 V. HASIL PENDUGAAN MODEL DAN IMPILKASI KEBIJAKAN ............... 56 5.1 Respon Areal Kelapa di Indonesia ......................................................... 56 5.2 Respon Produktivitas Kelapa di Indonesia ............................................ 60
5.3 Respon Penawaran Kelapa di Indonesia ................................................ 64 5.4 Berbagai Kebijakan tentang Kelapa ....................................................... 67 5.4.1 Infrastruktur dan Kelembagaan ...................................................... 67 5.4.2 Kebijakan Harga, Perdagangan, dan Investasi ............................... 68 5.4.3 Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kelapa ................................ 70 5.4.4 Peranan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (Balitka) ......................................................................................... 71 5.5 Implikasi Kebijakan tentang Kelapa ...................................................... 72 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 75 6.1 Kesimpulan............................................................................................. 75 6.2 Saran....................................................................................................... 78 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 80 LAMPIRAN ........................................................................................................ 83
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
Halaman Perkembangan Konsumsi Pangan Indonesia dari Beberapa Komoditas Perkebunan Tahun 2003, 2005, 2007....................................
4
Volume dan Nilai ekspor dan Impor Kelapa Indonesia Tahun 2000 – 2007...................................................................................
6
Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Berbagai Jenis Perkebunan Kelapa di Indonesia Tahun 2005 – 2008 .................................................
7
4.
Konsumsi Kelapa Setara Kopra di Indonesia Tahun 2003-2007.............
51
5.
Volume Ekspor Beberapa Produk Kelapa Tahun 2003-2007 (Metrik Ton) ............................................................................................
52
6.
Negara Tujuan Utama Beberapa Produk Kelapa Tahun 2003 dan 2007.
53
7.
Volume dan Nilai Impor Untuk Beberapa Produk Kelapa Indonesia Tahun 2007...............................................................................................
53
Perkembangan Harga Rata-Rata Komoditi Kelapa di Pasar Domestik dan Dunia Tahun 2001-2007...................................................
54
Perkembangan Harga Ekspor Beberapa Produk Kelapa Tahun 2003-2007......................................................................................
55
Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Respon Areal Kelapa di Indonesia..............................................................................................
56
11.
Hasil Estimasi Respon Produktivitas Kelapa di Indonesia......................
61
12.
Respon (elastisitas) Penawaran Kelapa di Indonesia dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang.........................................................
64
Kebijakan Perdagangan Kelapa di Indonesia Tahun 2007.......................
69
2. 3.
8. 9. 10.
13.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Pohon Industri Kelapa .............................................................................
17
2.
Kurva Penawaran.....................................................................................
18
3.
Profil Hasil Kelapa ..................................................................................
20
4.
Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian ............................................
33
5.
Persebaran Areal Kelapa di Indonesia Tahun 2007.................................
49
6.
Produksi Kopra Beberapa Negara Utama Tahun 2007 ...........................
49
7.
Jumlah Pabrik Minyak Kelapa di Indonesia Tahun 2007........................
50
8.
Kapasitas Pabrik Minyak Kelapa di Indonesia Tahun 2007....................
50
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Data Penelitian ........................................................................................
83
2.
Hasil Estimasi Respon Areal Kelapa Di Indonesia .................................
85
3.
Uji Autokorelasi Respon Areal Kelapa di Indonesia ..............................
85
4.
Uji Heteroskedastisitas Respon Areal Kelapa di Indonesia ....................
85
5.
Uji Multikolinearitas Respon Areal Kelapa Di Indonesia ......................
86
6.
Uji Normalitas Respon Areal Kelapa di Indonesia .................................
86
7.
Hasil Estimasi Respon Produktivitas Kelapa di Indonesia......................
87
8.
Uji Autokorelasi Respon Produktivitas Kelapa di Indonesia ..................
87
9.
Uji Heteroskedastisitas Respon Produktivitas Kelapa di Indonesia........
87
10.
Uji Multikolinearitas Respon Produktivitas Kelapa di Indonesia ...........
88
11.
Uji Normalitas Respon Produktivitas Kelapa di Indonesia .....................
88
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara tropis yang mempunyai kekayaan alam
yang melimpah. Sektor-sektor pertanian, pertambangan, perikanan, peternakan hingga pariwisata memiliki potensi yang begitu besar untuk dikembangkan di Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang terbesar di dunia, Indonesia mempunyai luas daratan sebesar 2.027.087 km2 dengan luas lautan sebesar 3.166.163 km2 dari total luas area Indonesia yang mencapai 5.193.250 km2. Sementara Total populasi Indonesia pada tahun 2007 kurang lebih mencapai 226 juta jiwa. Sebagai negara yang kaya akan kekayaan alam, sektor pertanian adalah salah satu sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini disebabkan karena sangat besarnya potensi sektor pertanian secara umum termasuk perikanan, kehutanan, dan peternakan yang masih belum dimanfaatkan secara optimal. Akan tetapi sejak dibukanya keran arus modal asing pada masa awal orde baru membuat sektor pertanian secara perlahan namun pasti mulai tergeser peranannya oleh sektor-sektor lain terutama oleh sektor industri manufaktur yang banyak bersifat padat modal. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 kontribusi sektor pertanian terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya sebesar 12,97 persen, sementara kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB mencapai 27,54 persen. Pertumbuhan PDB sektor pertanian kumulatif tahun 2006 juga hanya mencapai 3,36 persen sementara untuk
sektor industri manufaktur mencapai pertumbuhan sebesar 4,59 persen. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pola pembangunan perekonomian di Indonesia selama ini, setidaknya pada masa orde baru, sangat ditujukan kepada sektor industri dengan mengabaikan potensi sektor pertanian yang begitu besar. Permasalahan kemudian timbul ketika jumlah penduduk Indonesia terus bertambah sementara output dari sektor pertanian sebagai penyedia kebutuhan pokok masyarakat mengalami pertumbuhan yang tidak begitu besar, yaitu sebesar 3,36 persen pada tahun 2006 dan 3,43 persen pada tahun 2007, untuk menopang pertambahan jumlah penduduk yang pada tahun 1995 adalah sekitar 195 juta jiwa dan tahun 2007 kurang lebih 226 juta jiwa. Ditambah lagi dengan tingginya angka tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian yang mencapai 41.331.706 juta orang1 atau mencapai 40,3 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Dari statistik ini dapat kita bayangkan bahwa para petani kita hanya mendapatkan share yang sangat kecil dari total pendapatan nasional. Akibatnya, kesejahteraan petani menjadi sangat rendah. Perkebunan adalah salah satu sub sektor bidang pertanian yang mempunyai potensi besar dan memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Pada tahun 2008 sub sektor perkebunan mempunyai kontribusi sebesar 14,86 persen terhadap PDB sektor pertanian atau kurang lebih sebesar 2,14 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).2
1
Data BPS 2009 menunjukkan bahwa sampai dengan Agustus 2008, jumlah tenaga kerja sektor pertanian adalah 41.331.706 jiwa. 2 Jumlah sementara
Kelapa (cocos nucifera L.) adalah salah satu komoditas perkebunan yang banyak menyangkut kehidupan masyarakat sehari-hari dan banyak tumbuh di daerah tropis. Tanaman ini banyak tumbuh di Indonesia, Filipina, India, Sri Langka dan beberapa negara Asia Pasifik. Dalam perekonomian Indonesia, kelapa merupakan tanaman industri pertanian yang cukup berperan sebagai penerimaan negara dari komoditi nonmigas. Industri kelapa di Indonesia juga menarik cukup banyak perhatian mengingat kontribusinya yang cukup besar terhadap perekonomian. Hal ini sangatlah wajar mengingat kelapa adalah tanaman multiguna yang dapat dimanfaatkan seluruh bagiannya mulai dari batang sampai daun. Saat ini, tanpa disadari kelapa telah melekat dalam kehidupan perekonomian, sosial dan kultur bangsa Indonesia. Di Indonesia, kelapa dikelola oleh sekitar 7 juta petani dimana lebih dari 99 persen bekerja pada perkebunan rakyat. Sementara luas areal perkebunan kelapa nasional pada tahun 2007 adalah sebesar 3.787.989 hektar dengan 3.720.533 hektar merupakan luas areal perkebunan kelapa rakyat. Penyebaran luas areal perkebunan kelapa nasional juga tersebar di seluruh pulau-pulau besar di Indonesia. Sehingga tidak berlebihan jika kita menyebut kelapa sebagai komoditas sosial bagi masyarakat. Sebagai bahan baku minyak goreng, kelapa (dalam bentuk kopra) di Indonesia mendapat saingan dari kelapa sawit. Pada awalnya kopra begitu menjanjikan sebagai sumber utama minyak nabati. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, ekspor kopra semakin menurun akibat kenaikan jumlah penduduk yang menyebabkan permintaan dalam negeri naik. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan
meningkatkan nilai tambah dari kopra, pemerintah melarang ekspor kopra pada tahun 1978 – 1979 untuk dijadikan minyak kelapa untuk diekspor. Adanya kebijakan pemerintah tersebut dan adanya upaya subtitusi minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit yang memilki harga yang lebih rendah membuat peran industri kelapa terganggu. Sehingga akhirnya pada bulan Juni 1991 pemerintah membebaskan ekspor kopra , minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (Siregar, 1993). Berbeda dengan kelapa yang sebagian besar pengusahaannya dilakukan oleh perkebunan rakyat, pengusahaan kelapa sawit umumnya dilakukan dalam skala besar oleh perkebunan-perkebunan swasta dengan penggunaan teknologi budidaya yang lebih maju. Pada tahun 2007, konsumsi minyak goreng asal kelapa sawit baik di kota maupun di desa mencapai 16,18 gram/kapita/hari, sedangkan minyak goreng asal kelapa hanya 6,39 gram/kapita/hari (Hardjo, 2008). Berikut adalah tabel perkembangan konsumsi pangan Indonesia dari beberapa komoditas perkebunan. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Pangan Indonesia dari Beberapa Komoditas Perkebunan Tahun 2003, 2005, 2007 (dalam : gram/kapita/hari) Komoditas Perkebunan Minyak Kelapa Sawit
Kota + Desa 2003 2005 2007 11,89 13,05 16,18
Minyak 9,71 8,98 Kelapa Kelapa 8,68 8,18 Gula Pasir 25,84 24,41 Sumber : Happy Hardjo, 2008
2003 14,86
Kota 2005 14,62
2007 17,75
2003 9,71
Desa 2005 11,81
2007 14,72
6,39
8,46
8,23
5,84
10,63
9,62
6,90
7,71 23,63
6,46 26,19
5,97 25,00
5,28 23,57
10,25 25,40
9,83 23,80
9,99 23,68
Dari Tabel 1. di atas dapat kita lihat bahwa tingkat konsumsi minyak dari kelapa menurun dari 9,71 gram/kapita/hari pada tahun 2003 menjadi 8,98 gram/kapita/hari pada tahun 2005 dan 6,39 gram/kapita/hari pada tahun 2007.
Sementara itu tingkat konsumsi minyak yang berasal dari kelapa sawit meningkat dari 11,89 gram/kapita/hari pada tahun 2003 menjadi 13,05 gram/kapita/hari pada tahun 2005 dan 16,18 gram/kapita/hari pada tahun 2007. Berdasarkan data tersebut berarti telah terjadi peralihan penggunaan dari minyak kelapa ke minyak kelapa sawit (Hardjo, 2008). Walaupun tingkat konsumsi dari minyak kelapa di dalam negeri menurun, peluang ekspor untuk berbagai produk kelapa masih cukup menjanjikan. Hal ini ditambah dengan kelapa yang dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati. Tercatat pada tahun 2007, ekspor kopra Indonesia ke berbagai negara tujuan mencapai 46.919 ton dengan nilai US$ 8,821 juta. Sedangkan untuk minyak kelapa baik minyak kelapa, minyak kelapa mentah, minyak kelapa setengah jadi, dan minyak kelapa murni volume ekspor pada tahun 2007 mencapai 739.923 ton dengan nilai US$ 570,41 juta. Tabel 2. berikut adalah tabel volume dan nilai ekspor dan impor kelapa Indonesia dari tahun 2001 – 2007.
Tabel 2. Volume dan Nilai ekspor dan Impor Kelapa Indonesia Tahun 2000 2007 Tahun
EKSPOR Bungkil Kopra Minyak Kelapa Volume Nilai Volume Nilai (Ton) (000 (Ton) (000 US$) US$) 408.431 22.472 666.172 192.691 2000 258.959 15.071 395.019 111.651 2001 301.759 23.509 446.319 157.847 2002 271.150 22.372 364.820 153.608 2003 267.052 23.530 447.113 264.944 2004 323.774 25.269 748.322 411.830 2005 238.359 15.774 519.973 270.674 2006 323.288 32.371 739.923 570.410 2007 Sumber : Deptan, Ditjen Perkebunan (2008)
IMPOR Bungkil Kopra Minyak Kelapa Volume Nilai Volume Nilai (Ton) (000 (Ton) (000 US$) US$) 60 78 35 18 18 14 2.200 277 368 333 1.911 1.541 6 7 6.950 3.646 8.990 3.693 7.336 3.341
Sebagai sumber penerimaan devisa non-migas, ekspor minyak kelapa kita pada tahun 2006 adalah sebsar 519.973 ton dengan nilai US$ 270,674 juta. Sementara ekspor bungkil kopra pada tahun yang sama adalah sebesar 238.359 ton dengan nilai US$ 15,774 juta. Menghadapi potensi permintaan baik untuk konsumsi pangan ataupun untuk bahan baku biofuel dan peluang ekspor yang masih cukup besar tersebut maka haruslah dicermati dua hal pokok yang saling berkaitan, yaitu produksi dan produktivitas kelapa.
Tabel 3. Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Berbagai Jenis Perkebunan Kelapa di Indonesia Tahun 2005 - 2009 Uraian Perkebunan Rakyat - Luas Areal (ha) - Produksi (ton) - Produktivitas (ton / ha) Perkebunan Besar Negara - Luas Areal (ha) - Produksi (ton) - Produktivitas (ton / ha) Perkebunan Besar Swasta - Luas Areal (ha) - Produksi (ton) - Produktivitas (ton / ha) Jumlah - Luas Areal (ha) - Produksi (ton) - Produktivitas (ton / ha)
2005
2006
2007
20081
20092
3.735.838 3.052.461 1,109
3.720.490 3.061.408 1,116
3.720.533 3.122.995 1,142
3.728.598 3.176.744 1,148
3.731.099 3.186.031 1,151
6.127 3.659 0,845
5.668 2.897 0,667
5.507 2.935 0,788
5.507 2.950 0,786
5.513 2.960 0,788
61.649 40.724 0,890
62.734 66.853 1,357
61.948 67.337 1,338
64.232 67.486 1,312
64.234 68.782 1,334
3.803.614 3.096.845 1,105
3.788.892 3.131.158 1.119
3.787.989 3.193.266 1,145
3.798.338 3.247.180 1,151
3.800.846 3.257.773 1,154
Sumber : Deptan, Ditjen Perkebunan (2008) ket : 1 angka sementara 2
angka estimasi
Tabel 3 di atas menunjukkan luas areal perkebunan kelapa di Indonesia pada tahun 2007 adalah sebesar 3.787.989 hektare dengan tingkat produksi sebesar 3.193.266 ton dan produktivitas 1,145 ton/hektare/tahun. Pada tahun yang sama tercatat ada sekitar 7.050.036 petani yang menggantungkan hidupnya pada komoditas ini. Sementara devisa yang diperoleh dari ekspor produk kelapa yang sebagian besar diperoleh dari minyak kelapa mencapai US$ 606,781 juta (Ditjen Perkebunan, 2008). Dari data di atas terlihat bahwa produktivitas dari perkebunan kelapa masih rendah. Dua hal yang membuat produktivitas kelapa nasional menjadi rendah adalah semakin tuanya usia tanam dan kurangnya perhatian petani dalam pemeliharaan
(Sukamto, 2001). Selain itu menarik juga untuk dilihat tidak hanya pengaruh harga kelapa terhadap produksi dan luas areal kelapa tetapi juga bagaimana pengaruh harga komoditi-komoditi lain yang terkait dengan kelapa baik secara langsung maupun tidak langsung, dan juga bagaimana pengaruh input seperti
pekerja, teknologi,
pestisida dan pupuk terhadap penawaran kelapa.
1.2.
Perumusan Masalah Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa output sektor pertanian yang
cenderung menurun pertumbuhannya dikhawatirkan tidak dapat mencukupi permintaan masyarakat akan bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Masalah kembali muncul ketika dunia mengalami krisis energi. Harga minyak mentah dunia yang melambung hingga mencapai US$ 147 per barel membuat negara-negara baik negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia mengalami kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga meningkatkan biaya produksi dalam negerinya. Tidak hanya sektor industri yang terkena dampak, tetapi juga sektor-sektor lain termasuk sektor pertanian mengalami kenaikan dalam hal ongkos produksinya. Berbagai program pun coba dirumuskan untuk mencari solusi dari krisis energi ini. Salah satu cara yang ditempuh adalah mencoba untuk mengganti bahan bakar berbahan baku fosil menjadi bahan bakar alternatif berbahan baku nabati. Beberapa komoditas pertanian pun bertambah fungsinya tidak hanya digunakan untuk kebutuhan pangan tetapi juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi.
Kelapa merupakan salah satu komoditas yang dapat dijadikan bahan baku untuk bahan bakar nabati. Walaupun proporsi perhatiannya tidak sebesar kelapa sawit dan tanaman jarak pagar, akan tetapi sebagai salah satu komoditi pangan dan salah satu penyumbang devisa yang cukup besar, analisis tentang produksi kelapa juga penting untuk kita lihat. Hal ini disebabkan karena adanya kecenderungan bahwa permintaan kelapa akan meningkat dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan yang kini tidak hanya digunakan untuk pangan. Berdasarkan data, konsumsi kelapa segar di Indonesia adalah sebesar 7,71 gram/kapita/hari. Jika ditotal untuk seluruh penduduk Indonesia maka total konsumsi kelapa tiap tahunnya adalah sebesar 636.536.686 ton. Saat kita masih menjadi net exporter dari komoditi kelapa. Akan tetapi perhatian lebih besar perlu ditujukan kepada masalah produktivitas dari kelapa ini sendiri. Melihat kondisi produktivitas kelapa di Indonesia yang rata-rata hanya mencapai 1 ton/hektare/tahun, menurut perkiraan Balitka (Balai Penelitian Kelapa), sebenarnya produktivitas kelapa masih dapat ditingkatkan hingga sekurangkurangnya 2 ton/hektare/tahun untuk jenis kelapa dalam dan 3,5 ton/hektare/tahun untuk jenis kelapa hibrida (Sukamto, 2001). Pemerintah telah melakukan beberapa program untuk meningkatkan produksi kelapa dalam negeri. Program tersebut meliputi perluasan areal, intensifikasi, peremajaan, dan rehabilitasi tanaman kelapa. Peremajaan dan rehabilitasi tanaman yang dimulai pada tahun 1979 yang dilaksanakan di sebagian besar propinsi di Indonesia telah mampu meningkatkan produksi kelapa nasional.
Produktivitas kelapa yang rendah ini umunya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain masih lemahnya kemampuan untuk mengadopsi teknologi baru di bidang teknik budidaya akibat rendahnya pendidikan petani. Usaha tani kelapa pada umumnya merupakan usaha tani tradisional. Lingkungan fisik tempat tumbuh kelapa, terjadinya musim panas panjang, dan serangan hama dan penyakit adalah kendala yang tidak dapat dikendalikan petani. Produktivitas kelapa yang rendah menyebabkan pendapatan yang diterima petani juga rendah. Hal ini pada akhirnya berakibat kurangnya minat petani dalam mengembangkan usahanya secara baik. Kebijakan pemerintah yang tepat dibutuhkan di sini tidak hanya untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada petani, tetapi juga dibutuhkan untuk menyediakan insentif harga bagi para petani. Penetapan harga output yang layak berupa harga komoditi yang sesuai bagi para petani sangat penting untuk dilakukan mengingat harga output merupakan salah satu insentif terbesar yang memengaruhi keputusan petani dalam menambah atau mengurangi produksinya. Demikian halnya dengan harga input. Harga input yang terlalu tinggi akan membuat biaya produksi dari petani menjadi meningkat yang membuat petani akan mengurangi produksinya. Selain itu masih banyak faktor-faktor lain yang memengaruhi keputusan produksi dari petani baik dalam hal berproduksi maupun dalam hal penggunaan faktor produksi. Semua keputusan tersebut semata-mata didasarkan pada prinsip efisiensi dalam menentukan alokasi yang optimal dari faktor-faktor produksi yang berorientasi pada keuntungan atau pendapatan petani.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi peningkatan luas areal dan produktivitas kelapa di Indonesia ? 2. Bagaimana respons penawaran dari petani kelapa dalam jangka pendek dan jangka panjang? 3. Bagaimana gambaran umum perkembangan komoditi kelapa di Indonesia dan evaluasi serta rekomendasi kebijakan apa yang sesuai untuk keberlanjutan agribisnis kelapa?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan
antara lain : 1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan luas areal dan produktivitas kelapa di Indonesia. 2. Menduga respons penawaran dari petani kelapa dalam jangka pendek dan jangka panjang. 3. Menganalisis secara deskriptif gambaran umum perkembangan komoditas kelapa di Indonesia dan mengevaluasi dan merekomendasikan kebijakan yang sesuai untuk perkembangan agribisnis kelapa.
1.4.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah dalam merumuskan
berbagai kebijakannya terkait dengan pembangunan industri kelapa agar dapat menjadi insentif bagi para petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan oleh berbagai instansi-instansi terkait guna melakukan penelitian lanjutan mengenai komoditi kelapa.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, penelitian ini dibatasi
pada faktor-faktor yang memengaruhi luas areal dan produktivitas dari komoditi kelapa di Indonesia. Penelitian ini juga dibatasi pada faktor-faktor yang memengaruhi tingkat elastisitas dari komoditi kelapa di Indonesia dan gambaran umum komoditi kelapa serta evaluasi dan rekomendasi kebijakan yang sesuai untuk komoditi kelapa.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Gambaran Umum Komoditi Kelapa Kelapa merupakan tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus
yang berasal dari famili Palmae. Ada dua pendapat mengenai asal-usul kelapa (Anonymous, 2009) yaitu dari Amerika Selatan menurut D.F. Cook, Van Martius Beccari, dan Thor Herjerdahl dan dari Asia atau Indo Pasific menurut Berry, Werth, Mearil, Mayurathan, Lepesma, dan Pureseglove. Kata coco pertama kali digunakan oleh Vasco da Gama, atau dapat juga disebut Nux Indica, al djanz al kindi, ganzganz, nargil, narlie, tenga, temuai, coconut, dan pohon kehidupan. Tanaman kelapa (Cocos nucifera L) merupakan tanaman serbaguna atau tanaman yang mepunyai nilai ekonomi tinggi. Seluruh bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, sehingga pohon ini sering disebut pohon kehidupan (tree of life) karena hampir seluruh bagian dari pohon, akar, batang, daun, dan buahnya dapat dipergunakan untuk kebutuhan kehidupan manusia sehari-hari.
2.1.1. Jenis Kelapa Kelapa dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya : 1. Kelapa Dalam dengan varietas Viridis (kelapa hijau), Rubescens (kelapa merah), Macrocorpu (kelapa kelabu), Sakarina (kelapa manis) 2. Kelapa Genjah dengan varietas Eburnea (kelapa gading), varietas Regia (kelapa raja), Pumilia (kelapa punyuh), Pretiosa (kelapa raja Malabar)
3. Kelapa Hibrida.
2.1.1.1.Varietas Dalam Varietas ini berbatang tinggi dan besar, tingginya mencapai 30 meter atau lebih. Kelapa dalam mulai berbuah agak lambat, yaitu antara 6-8 tahun setelah tanam dan umurnya dapat mencapai 100 tahun lebih. Keunggulan varietas ini adalah : 1. Produksi kopranya sekitar 1 ton kopra/ha/tahun pada umur 10 tahun. 2. Produktivitasnya sekitar 90 butir/pohon/tahun. 3. Daging buah tebal dan keras dengan kadar minyak yang tinggi. 4. Lebih tahan terhadap hama dan penyakit.
2.1.1.2.Varietas Hibrida Kelapa varietas hibrida diperoleh dari hasil persilangan antara varietas genjah dengan varietas dalam. Hasil persilangan itu merupakan kombinasi sifat-sifat yang baik dari kedua jenis varietas asalnya. Sifat-sifat unggul yang dimiliki oleh kelapa hibrida adalah : 1. Lebih cepat berbuah, sekitar 3-4 tahun setelah tanam. 2. Produksi kopra tinggi, sekitar 6-7 ton/ha/tahun pada umur 10 tahun. 3. Produktivitas sekitar 140 butir/pohon/tahun. 4. Daging tebal, keras, dan kandungan minyaknya tinggi. 5. Produktivitas tandan buah, sekitar 12 tandan, dan berisi sekitar 10-20 butir kelapa, daging buahnya mempunyai ketebalan sekitar 1,5 centimeter.
2.1.2. Sentra Produksi Kelapa banyak terdapat di negara-negara Asia dan Pasifik yang menghasilkan 9.144.156 ton atau sekitar 83 persen dari produksi dunia dengan luas 10.638.000 ha pada tahun 2007 yang meliputi 15 negara3, sedangkan sisanya tersebar di negaranegara Amerika, Afrika, dan negara Asia lainnya. Indonesia merupakan negara perkelapaan terluas (3.787.989 ha pada tahun 2007) yang tersebar di Riau, Jateng, Jabar, Jatim, Jambi, Aceh, Sumut, Sulut, NTT, Sulteng ,dan Maluku dengan produksi sebesar 3.193.266 ton (Ditjen Perkebunan 2008).
2.1.3. Aspek Strategis Komoditi Kelapa Kelapa merupakan tanaman yang mempunyai banyak manfaat dan mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi. Prospek ekonomi kelapa di Indonesia dapat dilihat dari dua aspek (Asnawi dan Darwis, 1985), pertama; dari aspek pemasaran internasional. Artinya bagaimanakah prospek harga kelapa dan produk-produknya di pasaran internasional dalam jangka panjang. Harga pasaran internasional sebagian besar ditentukan oleh keadaan permintaan dan penawaran. Penawaran sangat tergantung kepada jumlah produksi, sedang permintaan dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, selera dan lain sebagainya. Kedua; dari aspek pemasaran dalam negeri sendiri. Hal ini juga ditentukan oleh keadaan-keadaan permintaan dan penawaran. Dari segi permintaan, jumlah penduduk dan pendapatan 3
15 negara anggota Asian and Pasific Coconut Community, yaitu F.S Micronesia, Fiji, India, Indonesia, Kiribati, Malaysia, Marshall Island, Papua New Guinea, Philipina, Samoa, Solomon Islands, Sri Langka, Thailand, Vanuatu, dan Vietnam.
masyarakat akan menentukan tingkat permintaan tersebut. Sedang penawaran juga ditentukan oleh produksi dalam negeri dan impor dari luar negeri. Gambar 1 merupakan gambar pohon industri kelapa. Gambar ini memperlihatkan bagaimana setiap bagian dari tanaman kelapa mempunyai nilai ekonomis. Dari tiga bagian utama kelapa yaitu buah, batang, dan lidi (daun) dapat dibuat bermacam-macam produk dan terdiri dari berbagai tahap produksi yang menjelaskan model industri komoditi kelapa, dimana model komoditi merupakan suatu penjelasan formal dari suatu industri, pasar komoditi, dan unit perusahaan yang mencakup perilaku ekonomi, kebijakan, dan kelembagaan (Labys dalam Siregar, 1993). Gambar di bawah juga menunjukkan suatu model pasar, dimana setiap proses merupakan hubungan yang terintegrasi satu sama lain. Perumusan model industri komoditi kelapa Indonesia akan dibatasi pada masalah dan tujuan penelitian.
2.2.
Analisis Penawaran Menurut Lipsey et al. (1995), jumlah yang akan dijual oleh perusahaan
disebut kuantitas yang ditawarkan untuk komoditi itu. Kuantitas atau jumlah yang ditawarkan merupakan arus, yaitu banyaknya per satuan waktu. Satu hipotesis ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditi, harga komoditi dan kuantitas atau jumlah yang akan ditawarkan berhubungan secara positif, dengan faktor yang lain tetap sama. Dengan kata lain, makin tinggi harga suatu komoditi, makin besar jumlah komoditi yang akan ditawarkan, semakin rendah harga, semakin kecil jumlah komoditi yang ditawarkan.
S Sumber : http:///www.kanwilppajakkhusus.deepkeu.go.id/inddustri/industri__kelapa.htm (18 Juni J 2009)
Gambar 1.. Pohon Ind dustri Kelap pa Kurv va penawaraan adalah peenyajian pennawaran dallam bentuk grafik skeddul p penawaran (supply ( scheedule) yangg menggambbarkan jumlaah yang akaan dijual paara p produsen pada p hargaa-harga alteernatif kom moditi terseebut. Kurvva penawarran m menunjukka an hubungann antara jumllah atau kuanntitas yang ditawarkan d d harga, jiika dan f faktor lainn nya tetap sam ma; kemirinngan positiff menunjukkkan bahwa kuantitas attau j jumlah yang g ditawarkann bervariasi dalam d arah yang y sama dengan d hargaa. Gambar 2 di b bawah men nunjukan kuurva penaw waran yang menggambbarkan hubbungan antaara
kuantitas per periode dengan harga. Pergeseran kurva penawaran terjadi ketika faktorfaktor lain yang memengaruhi jumlah yang ditawarkan suatu perusahaan selain harga komoditi itu sendiri berubah, misalnya harga input, perubahan teknologi, harga komoditi lain, dan tujuan perusahaan (Lipsey et al, 1995). Harga
S1
S0
S2
Kuantitas per periode Sumber : Lipsey, 1995
Gambar 2. Kurva Penawaran 2.3.
Pengertian Respons Penawaran Secara umum menurut Ali dan Abedullah (1998), respons produksi dari
produsen sebuah komoditi diasumsikan merupakan fungsi dari harga yang diharapkan dari komoditi itu sendiri (P*t), harga yang diharapkan dari komoditi lain (P*jt), harga input (
), dan faktor tetap ( ), atau dapat dituliskan sebagai berikut :
Y*t = f (P*t, P*jt, Wt, Zt, α*, β*, γ*, τ*)
(2.1)
dimana : Y*t
= tingkat produksi yang diharapkan dari petani suatu komoditi sebagai respons dari perubahan harga yang diharapkan pada waktu ke t.
α*, β*, γ*, τ*
= parameter respons produksi dalam jangka panjang dari suatu komoditi sebagai respons terhadap harga sendiri, harga komoditi lain, harga input, dan faktor tetap.
j
= komoditi alternatif. Jika kita mengasumsikan petani mempunyai motivasi untuk memaksimunkan
keuntungan, maka α* akan positif dan γ* akan negatif. Sedangkan β* akan positif jika komoditi bersangkutan dengan komoditi j bersifat komplementer, dan sebaliknya jika bersifat subtitusi maka akan bernilai negatif, atau mempunyai nilai nol jika tidak berkaitan. Sementara τ* akan bernilai positif atau nol tergantung peran dari input tetap tersebut terhadap produksi.
2.3.1. Respons Penawaran Kelapa Tanaman kelapa mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan tanaman tahunan lainnya. Tanaman ini membutuhkan waktu untuk menghasilkan yang lebih lama dibandingkan dengan tanaman lainnya. Menurut Labys dalam Siregar (1993) tanaman kelapa membutuhkan waktu kurang lebih empat tahun dari menanam sampai dengan menghasilkan. Setelah itu tanaman kelapa dapat berproduksi terus-menerus sampai dengan umur 50-60 tahun. Karakteristik demikian membuat tanaman kelapa mempunyai keterlambatan dalam respons produksinya.
Y
Tahun 4 Sumber : Labys dalam Siregar, 1993
Gambar 3. Profil Hasil Kelapa Dalam jangka pendek respons produksi lebih kecil disebabkan karena perubahan dalam hal penggunaan satu atau lebih faktor input, sedangkan kapasitas produksi tetap. Sedangkan dalam jangka panjang, perubahan dalam kapasitas produksi itu dimungkinkan. Hal ini disebabkan karena dalam jangka panjang dimungkinkan untuk melakukan peremajaan tanaman kelapa dan menambah areal baru. Menurut Siregar (1993), perubahan areal baru dari tanaman kelapa dapat dituliskan sebagai berikut : Xt = Lt-4 + Rt-4 - Nt
(2.2)
dimana : Xt
= kapasitas produksi pada waktu t
Lt-4
= luas areal peremajaan yang ditanam empat tahun lalu
Rt-4
= luas areal tanam baru yang ditanam empat tahun yang lalu
Nt
= luas areal yang berkurang dari tahun t dan tahun t-1 Persamaan (2.2) di atas menggambarkan bahwa kapasitas produksi dari
tanaman kelapa berubah setiap tahunnya karena adanya perubahan areal baru. Oleh
karena itu, respons penawaran kelapa sulit untuk dilihat pengaruh jangka panajng dan jangka pendeknya yang disebabkan tidak adanya data yang sesuai dengan persyaratan teori respons penawaran.
2.4.
Kajian Penelitian Terdahulu Rientje (1990) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Permintaan dan
Penawaran Kelapa di Indonesia” dengan menggunakan data time series selama tahun 1968 – 1986. Penelitian ini menggunakan persamaan simultan yang diestimasi dengan metode 2SLS (Two Stage Least Square). Permintaan kelapa dibedakan menjadi dua yaitu permintaan kelapa oleh konsumen dan permintaan kelapa untuk industri pengolahan. Hasilnya untuk permintaan kelapa oleh konsumen, variabel yang berpengaruh nyata adalah harga kopra dengan nilai elastisitas -0,22. Sedangkan yang tidak berpengaruh nyata adalah harga minyak kelapa sawit, pendapatan per kapita dan peubah dummy kebijakan pemerintah yang melarang ekspor kopra pada tahun 1978 – 1979. Sementara permintaan untuk industri pengolahan kelapa, variabel yang berpengaruh nyata adalah harga kopra dengan elastisitas sebesar -0,20, harga minyak kelapa dengan elastisitas sebesar 1,24, dan jumlah perusahaan dengan elastisitas sebesar 0,6. Untuk penawaran kelapa penelitian Rientje (1990) juga menemukan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi kelapa adalah peubah dummy musim kemarau pada tahun 1972 dan tahun 1982. Hal ini disebabkan produksi kelapa sangat tergantung kepada ketersediaan air tanah sehingga pada musim kemarau
ketersediaan air tanah yang kurang menyebabkan produksi kelapa menjadi berkurang. Sementara itu variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap penawaran kelapa adalah harga kopra. Hal ini disebabkan kelapa adalah tanaman yang berproduksi secara terus-menerus (tanpa musim) sehingga produksi kelapa kurang responsif terhadap harga. Selain itu, untuk tanaman kelapa yang sudah berumur lebih dari dua puluh tahun, petani mulai menerapkan sistem tanaman sela seperti padi, jagung, dan tanaman palawija lainnya bahkan juga untuk jenis tanaman industri seperti kopi dan kakao sehingga petani mendapatkan tambahan penghasilan dari tanaman-tanaman sela tersebut. Hal ini membuat petani kurang responsif terhadap perubahan harga yang terjadi. Variabel luas lahan juga tidak berpengaruh nyata terhadap penawaran kelapa yang disebabkan program pemerintah untuk perluasan lahan tamanan untuk kelapa varietas dalam dan kelapa varietas hibrida belum optimal. Dan terakhir variabel tahun yang digunakan sebagai pendekatan untuk melihat perkembangan teknologi juga tidak berpengaruh nyata. Hal ini disebabkan program pemerintah seperti intensifikasi dan ekstensifikasi belum berpengaruh secara ekonomi terhadap penawaran kelapa. Siregar (1993) melakukan penelitian dengan judul “Model Ekonometrika Penawaran Kelapa dan Ekspor Kopra Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan”, dengan menggunakan data sekunder periode tahun 1970 – 1991. Dalam penelitian tersebut dilakukan analisis simulasi alternatif kebijakan melalui pendekatan ekonometrika dan persamaan simultan. Dimana model diformulasikan menjadi tiga sektor yaitu sektor integrasi pasar kelapa dan kopra, sektor ekspor dan penawaran
domestik kopra, serta sektor integrasi pasar kelapa dan kopra domestik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku pengusaha dalam meningkatkan areal tanam dan produktivitas dipengaruhi oleh harga kopra, harga minyak goreng sawit, suku bunga dan tingkat upah. Tetapi produktivitas tanaman kelapa dalam jangka panjang hanya responsif terhadap perubahan harga riil kopra. Dalam jangka pendek dan jangka panjang harga kelapa domestik lebih responsif terhadap perubahan harga kopra domestik. Dengan kata lain perubahan harga kopra lebih memengaruhi tingkat harga kelapa dibanding perubahan harga kelapa terhadap tingkat harga kopra. Widianingsih (2001) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis hubungan Produksi Kelapa Varietas Dalam dengan Curah Hujan” di PT. Perkebunan Wira Citespong – Sukabumi dengan menggunakan analisis model fungsi transfer dan model ARIMA dengan peubah bebas curah hujan. Data yang digunakan berupa data bulanan produksi kelapa varietas dalam dan curah hujan dari tahun 1989-1997. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan metode fungsi transfer dalam mengkaji hubungan antara produksi kelapa varietas dalam dan curah hujan tidak dapat digunakan untuk peramalan. Walaupun demikian metode transfer memberikan pedoman mengenai sejauh mana curah hujan secara kritis memengaruhi produksi kelapa. Sedangkan metode ARIMA dengan peubah bebas curah hujan memberikan model yang cukup sesuai untuk permodelan produksi kelapa varietas dalam. Oleh karena itu sampai saat ini model tersebut digunakan untuk peramalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan berpengaruh terhadap produksi kelapa
dalam. Model yang digunakan untuk melakukan peramalan produksi kelapa dalam tersebut adalah model ARIMA dengan peubah bebas curah hujan. Purwandari (2006) juga melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Respons Penawaran Kelapa di Pulau Jawa” dengan menggunakan model distribusi beda kala penyesuaian Nerlove dengan persamaan tunggal regresi berganda. Peubah bebas yang digunakan untuk respons areal kelapa yaitu luas areal kelapa (t-1), harga kopra, harga padi, dan harga kacang hijau sedangkan untuk respons produktivitas adalah harga kopra, harga kacang hijau, harga jagung, harga padi, dan harga kacang tanah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan deret waktu (time series) selama 20 tahun yaitu dari tahun 1984 sampai dengan tahun 2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap respons areal kelapa di Pulau Jawa adalah harga riil kopra tahun sebelumnya, harga riil padi tahun sebelumnya, dan harga riil kacang hijau tahun sebelumnya. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap respons produktivitas adalah variabel produktivitas kelapa tahun sebelumnya. Hasil dari respons areal kelapa di Pulau Jawa bertanda negatif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan hasil dari respons produktivitas kelapa di Pulau Jawa juga bertanda negatif. Sementara respons penawaran kelapa di Pulau Jawa pada jangka pendek bertanda negatif.
2.6.
Kerangka Pemikiran
2.6.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 2.6.1.1. Respons Penawaran Di dalam ilmu ekonomi respons penawaran berarti variasi dari output pertanian dan luas areal dalam kaitannya dengan perubahan perubahan harga (Ghatak dan Ingersent, 1984). Jika kurva supply menggambarkan hubungan antara harga dan kuantitas dengan asumsi cateris paribus atau menganggap semua faktor lain konstan, maka respons penawaran menggambarkan respons output terhadap perubahan harga dengan tidak menahan faktor lain konstan.
2.6.1.1.1. Perubahan Jumlah Produksi Menurut Perubahan Areal dan Produktivitas Menurut Tomek dan Robinson (1987), hal-hal yang umumnya menyebabkan perubahan dalam hal produksi adalah perubahan harga input (faktor), perubahan tingkat profitabilitas komoditi alternatifnya, perubahan dalam teknologi yang memengaruhi baik produktivitas maupun biaya produksi atau efisiensi, dan perubahan harga dari komoditi yang diproduksi secara bersamaan (joint products). Adapun pendugaan respons penawaran sederhana dapat didekati melalui konsep bahwa jumlah produksi pertanian adalah hasil perkalian antara luas areal tanam dengan produktivitasnya (Gathak dan Ingersent, 1984). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
.
(2.3)
dimana : Q
= Produksi
A
= Areal
Y
=Produktivitas Dengan demikian, perubahan produksi dari petani kelapa dipengaruhi oleh
perubahan dari luas areal dan perubahan produktivitas yang pada akhirnya memengaruhi penawaran kelapa, sedangkan luas areal dan produktivitas sendiri dipengaruhi oleh berbagai hal.
2.6.1.1.2. Respons Penawaran melalui Respons Areal dan Respons Produktivitas Konsep respons penawaran tercermin dalam elastisitas penawaran . Elastisitas penawaran ini mengukur ketanggapan kuantitas yang ditawarkan terhadap peubahpeubah yang memengaruhinya dengan nilai antara nol sampai tak terhingga. Menurut Lipsey et al (1995), ada beberapa hal penting yang patut diperhatikan mengenai konsep elastisitas. Jika kurva penawarannya vertikal – jumlah yang ditawarkan tidak akan berubah dengan adanya perubahan harga – elastisitas penawarannya sama dengan nol. Sebaliknya sebuah kurva penawaran yang horizontal memiliki elastisitas penawaran yang tingginya tak terhingga dimana penurunan harga sedikit saja dapat menurunkan jumlah yang akan ditawarkan oleh produsen dari
jumlah yang tak terhingga besarnya menjadi nol. Di antara kedua elastisitas penawaran yang ekstrim ini, terdapat berbagai variasi bentuk kurva penawaran. Pada umumnya produk pertanian memiliki elastisitas penawaran kurang dari satu (cenderung inelastis). Hal ini disebabkan pada saat permintaan turun, tanah, tenaga kerja, dan mesin yang ditujukan untuk pemakaian pertanian tidak ditransfer dengan cepat ke pemakaian bukan pertanian. Hal yang sebaliknya terjadi untuk kondisi yang berlawanan (Lipsey et all, 1995). Respons penawaran dapat diturunkan dari persamaan (2.3) dengan mengasumsikan baik luas areal maupun produktivitas mempunyai respons terhadap perubahan harga (Ghatak dan Ingersent, 1984). Dengan mendiferensiasikannya terhadap harga, maka diperoleh : (2.4) Dengan mengasumsikan tingkat pengembalian yang konstan (constant return to scale) dan kemudian membagi kedua ruas dengan Q/P, maka kita mendapatkan : / /
/ .
/
/ .
/ / /
/ /
/ /
(2.5) (2.6)
maka : (2.7) dimana : eQP
= Elastisitas (respons) penawaran kelapa terhadap harga
eAP
= Elastisitas (respons) areal tanam terhadap harga
eYP
= Elastisitas (respons) produktivitas terhadap harga
2.6.1.2. Respons Beda Kala (lag) dalam Komoditi Pertanian Salah satu karakteristik utama produk pertanian adalah adanya tenggang waktu antara menanam dan memanen yang disebut dengan gestation period atau beda kala (lag). Hasil yang diperoleh petani didasarkan pada perkiraan–perkiraan periode mendatang dan pengalamannya di masa lalu. Apabila terjadi peningkatan harga output suatu komoditas pertanian pada saat tertentu maka peningkatan itu tidak akan segera diikuti oleh peningkatan areal dan produktivitas karena keputusan alokasi sumber daya telah ditetapkan petani pada saat sebelumnya. Respons petani terjadi setelah beda kala (lag) sebagai dampak perubahan harga input, output, dan kebijakan pemerintah. Menurut Edwards (1959) yang dikutip oleh Tomek dan Robinson (1989), fakta menunjukkan bahwa sumberdaya yang diperuntukkan bagi pertanian cenderung tetap digunakan terutama ketika kesempatan alternatif untuk pekerjaan terbatas sehingga dalam jangka pendek elastisitas harga sangatlah inelastis. Kondisi ini dinamakan kekakuan asset (asset fixity). Pada umunya petani tidak memberikan respons pada tahun bersamaan melainkan lebih respons terhadap harga yang diharapkan sehingga banyak dugaan elastisitas respons areal terhadap harga menghasilkan nilai yang sangat rendah. Dalam Gujarati (1978), disebutkan tiga alasan utama yang mendasari terjadinya hal tersebut :
1. Alasan Psikologis. Disebabkan oleh adanya kekuatan kebiasan atau kelembaman. Para petani biasanya enggan untuk melakukan perubahanperubahan karena pada umumnya terpaku pada tradisi atau kebiasaan lama. 2. Alasan teknis. Proses produksi pertanian membutuhkan waktu antara saat menanam dan saat memanen sehingga tergantung pada peubah-peubah beda kala (lag). Demikian pula introduksi teknik produksi baru memerlukan waktu untuk sampai diadopsi oleh petani dan sampai petani mahir dalam menggunakan
teknik
produksi
baru
sebelum
pada
akhirnya
dapat
meningkatkan produksi penawarannya. 3. Alasan kelembagaan. Perubahan tidak dapat terjadi begitu saja karena ada aturan atau kelembagaan yang mengikat seperti adanya perjanjian kontrak waktu produksi dan aturan-aturan yang bersifat kelembagaan lainnya.
2.6.1.3. Model Penyesuaian Parsial Nerlove Dari semua model ekonometrik yang digunakan untuk mengestimasi respons penawaran produk pertanian, model Nerlove adalah salah satu model yang paling sukses dan banyak digunakan serta terus diuji oleh banyak studi untuk memperbaiki model ini (Braulke dalam Leaver, 2004). Berdasarkan Gujarati (1978), sebuah model dikatakan dinamis jika nilai berikutnya dari variabel dependen dipengaruhi oleh nilai pada periode sebelumnya. Bentuk yang tereduksi (reduced form) dari model Nerlove akan berbentuk model autoregressive karena model tersebut memasukkan nilai lag dari variabel dependen diantara variabel-variabel penjelasnya.
Nerlove dalam Koutsoyiannis (1977), mengemukakan bahwa output yang diinginkan pada periode t (A*t), tergantung dari nilai peubah x pada waktu ke t, atau dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut : A*t = b0 + b1Xt + ut
(2.8)
Persamaan (2.8) tidak dapat diestimasi karena dalam persamaan tersebut masih terdapat variabel A*t yang tidak dapat diobservasi sehingga untuk mengatasinya maka kita harus membuat hipotesis yang merupakan suatu hipotesis perilaku penyesuaian parsial. At – At-1 = δ(A*t – At-1)
(2.9)
0≥δ≤1 dimana : At – At-1
= Perubahan aktual dari output
A*t – At-1
= Perubahan yang diharapkan dari output
δ
= Koefisien adjustment. Kemudian kita subtitusikan persamaan (2.8) ke dalam persamaan (2.9), maka
kita akan mendapatkan : At – At-1 = δ[(b0 + b1Xt + ut) – At-1]
(2.10)
atau dapat ditulis : At = (δb0) + (δb1)Xt + (1 – δ)At-1 + (δut)
(2.11)
sehingga bentuk reduced form-nya menjadi : At = a0 + a1Xt + a2At-1 + et dimana :
(2.12)
a0 = δb0 a1 = δb1 a2 = (1 – δ) et = δut Model Penyesuaian Parsial Nerlove adalah model autoregresif dimana salah satu variabel bebasnya adalah lag dari variabel terikatnya. Masalah yang terkandung di dalam pendugaan model autoregresif dengan menggunakan teknik estimasi OLS adalah variabel bebasnya bersifat stokastik berkorelasi dengan unsur kesalahannya dan terdapatnya serial korelasi dari unsur gangguannya. Jika penggunaan teknik estimasi OLS tetap dipaksakan, maka hasil penaksiran akan menghasilkan parameter yang tidak hanya bias, tetapi juga tidak konsisten; yaitu bahkan jika ukuran sampel meningkat secara tak terbatas, penaksir tidak akan mendekati nilai populasi sebenarnya (Juanda, 2008). Akan tetapi untuk model penyesuaian parsial berbeda. Dalam model ini et = δut, dimana 0 ≥ δ ≤ 1. Jika ut memenuhi semua asumsi dari regresi linear klasik, maka δut juga. Jadi penaksiran OLS dari model penyesuaian parsial akan memberikan taksiran yang konsisten meskipun taksiran tadi cenderung bias untuk pendugaan dengan sampel yang relatif kecil. Secara intuitif, alasan untuk konsistensi ini adalah meskipun At-1 tergantung pada ut-1, At-1 tidak berhubungan dengan unsur kesalahan saat ini ut. Oleh karena itu, selama ut bebas secara serial, At-1 akan juga bebas atau setidaknya tidak berkorelasi dengan ut, sehingga memenuhi salah satu asumsi penting
dari OLS, yaitu tidak ada korelasi antara variabel yang menjelaskan dengan unsur gangguan (distribusi yang stokastik) (Juanda, 2008). Berbeda halnya dengan model distributed lag yang lain, seperti Model Geometric Lag Koyck ataupun Model Ekspektasi Adaptif (Adaptive Expectation Model), model penyesuaian parsial Nerlove tidak mempunyai masalah-masalah yang telah disebutkan di atas. Sehingga kedua model tersebut (Model Geometric Lag Koyck dan Model Ekspektasi Adaptif) tidak dapat diestimasi dengan menggunakan teknik OLS biasa. Cara mengatasinya dapat dilakukan dengan cara menggunakan metode peubah instrumental ataupun metode kemungkinan maksimun. Namun dalam penelitian ini tidak dibahas mengenai penggunaan dan cara mengestimasi kedua metode tersebut.
2.6.2 Kerangka Pemikiran Konseptual Untuk menduga respons penawaran petani kelapa di Indonesia dapat didekati dengan menggunakan pendekatan perubahan produksi kelapa. Perubahan produksi kelapa dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan bahwa produksi adalah hasil perkalian antara luas areal dan produktivitas. Sebelumnya, diidentifikasi terlebih dahulu peubah-peubah bebas yang memengaruhi baik luas areal maupun produktivitas. Seperti yang telah dibahas di atas bahwa produk pertanian mempunyai respons beda kala (lag). Untuk itu dalam masing-masing model baik model luas areal maupun produktivitas dimasukkan peubah lag dari masing-masing variabel dependen
dengan menggunakan model Nerlove. Dari pendugaan parameter masing-masing model akan diperoleh respons areal kelapa dalam jangka pendek dan panjang dan respons produktivitas kelapa baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya diestimasi respons (elastisitas) penawaran kelapa baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang di Indonesia. Respons Penawaran Kelapa di Indonesia
Perubahan Produksi Kelapa melalui Luas Areal dan Produktivitas
Peubah-peubah Bebas dari Luas Areal dan Produktivitas Kelapa
Pendugaan Model Areal Kelapa menggunakan model Nerlove
Respons Areal terhadap Harga Kelapa dalam jangka panjang dan pendek
Respon Beda Kala (lag) dalam Komoditi Pertanian
Pendugaan Model Produktivitas Kelapa menggunakan model Nerlove
Respons Produktivitas terhadap Harga Kelapa dalam jangka panjang dan pendek
Respons Penawaran Kelapa terhadap Harga Kelapa dalam jangka panjang dan pendek di Indonesia
Implikasi Kebijakan Yang Relevan untuk Usaha Tani Kelapa
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian
2.7 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang ingin diuji dalam penelitian ini antara lain : 1. Variabel yang berpengaruh secara positif terhadap respons luas areal adalah luas areal tahun lalu, harga riil kopra tahun lalu, dan tingkat curah hujan ratarata. Sedangkan variabel yang berpengaruh secara negatif terhadap respons luas areal adalah harga riil minyak goreng CPO tahun lalu, harga riil pupuk rata-rata tahun lalu, tingkat upah riil tahun lalu, harga riil pestisida tahun lalu, dan tingkat suku bunga riil modal kerja tahun lalu. 2. Variabel yang berpengaruh secara positif terhadap respons produktivitas antara lain produktivitas tahun lalu, harga riill kopra tahun lalu, curah hujan, dan variabel tren waktu sebagai variabel proxy dari perkembangan teknologi. Sementara untuk variabel yang berpengaruh secara negatif terhadap respons produktivitas antara lain harga riil pupuk rata-rata tahun lalu, tingkat upah riil tahun lalu, harga riil pestisida tahun lalu. 3. Elastisitas penawaran kelapa di Indonesia bersifat inelastis positif terhadap harga output baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
yang dipergunakan adalah data time series berjumlah 36 observasi dari tahun 1971 sampai dengan tahun 2006. Tetapi karena model dalam penelitian ini menggunakan lag, maka jumlah observasi penelitian ini berkurang menjadi 35 buah. Data-data tersebut diperoleh dari berbagai sumber antara lain Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Asian and Pacific Coconut Community (APCC), Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan Bogor, serta sumber dan referensi pustaka yang lain yang relevan dengan tujuan penelitian ini.
3.2.
Metode Analisis Dalam menganalisis respons penawaran kelapa dalam penelitian ini,
digunakan metode analisis model penyesuaian parsial Nerlove yang sering digunakan untuk studi mengenai respons penawaran berbagai komoditi berupa persamaan tunggal regresi berganda dengan fungsi Double Natural Logaritma atau Logaritma Natural (ln) Ganda dengan menggunakan teknik estimasi Ordinary Least Square (OLS). Permasalahan dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif
kuantitatif
dengan
menggunakan
model
ekonometrika.
Untuk
mempermudah dalam pengolahan data dalam penelitian ini maka, data-data yang
sudah didapatkan dikelompokkan terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan perhitungan dengan meggunakan program Microsoft excel 2007 dan kemudian diolah dengan menggunakan software Eviews 5.1.
3.3.
Model Ekonometrika
3.3.1. Model Respons Areal Produksi dari kelapa dipengaruhi oleh luas areal dan produktivitasnya. Sehingga untuk mengetahui respons penawaran dari kelapa kita harus menganalisis respons
areal
dan
respons
produktivitas
melalui
variabel-variabel
yang
memengaruhinya. Variabel yang memengaruhi respons areal kelapa antara lain luas areal kelapa tahun sebelumnya, harga riil kopra tahun sebelumnya, harga riil minyak goreng CPO tahun sebelumnya, harga pupuk rata-rata tahun sebelumnya, harga pestisida tahun sebelumnya, upah buruh tahun sebelumnya, tingkat suku bunga modal kerja riil tahun sebelumnya, dan tingkat curah hujan rata-rata di Indonesia tahun sebelumnya. Model Respons Areal Kelapa di Indonesia : At
= a0 + a1At-1 + a2HKPRt-1 + a3HMCPOt-1 + a4HPUPt-1 + a5HPESTt-1 + a6WAGEt-1 + a7RAINt-1 + a8It-1 + ut
(3.1)
ditransformasikan ke dalam persamaan logaritma natural ganda (ln-ln) : ln At
=
ln a0 + a1lnAt-1 + a2lnHKPRt-1 + a3lnHMCPOt-1 +
a5lnHPESTt-1 + a6lnWAGEt-1 + a7lnRAINt-1 + a8It-1 + ut
a4lnHPUPt-1 + (3.2)
3.3.2. Model Respons Produktivitas Variabel-variabel yang memengaruhi produktivitas antara lain produktivitas tahun sebelumnya, harga riil kopra, harga rata-rata pupuk, harga pestisida, upah buruh, curah hujan rata-rata di Indonesia, dan tren waktu sebagai proxy dari perkembangan teknologi. Model Respons Produktivitas : Y/At
= b0 + b1Y/At-1 + b2HKPRt + b3HPUPt + b4HPESTt + b5WAGEt + b6RAINt + b7T + Ut
(3.3)
ditransformasikan ke dalam persamaan logaritma natural ganda (ln-ln) : lnY/At = lnb0 + b1lnY/At-1 + b2lnHKPRt + b3lnHPUPt + b4lnHPESTt + b5lnWAGEt + b6lnRAINt + b7T + Ut dimana : A
= luas areal tanam kelapa (ha)
Y/A
= produktivitas kelapa (ton/ha)
HKPR = harga riil kopra (Rp/kg) HMCPO = harga riil minyak goreng CPO domestik (Rp/kg) HPUP = harga riil rata-rata pupuk (Rp/kg) HPEST= harga riil pestisida (Rp/ltr) WAGE= upah riil buruh industri (Rp/HOK) I
= tingkat suku bunga riil (%)
RAIN = curah hujan tahunan rata-rata (mm/tahun) T
= Trend waktu sebagai variabel proxy terhadap perkembangan teknologi.
(3.4)
3.4.
Estimasi Respons Penawaran Berdasarkan respons areal dan produktivitas, respons penawaran jangka
pendek dan jangka panjang dapat diduga. Respons atau pengaruhnya tersebut dapat dilihat melalui melaui elastisitas responsnya yang sesuai dengan persamaan (2.6) yaitu :
Respons penawaran kelapa terhadap harga sendiri (eQP) dapat diduga secara tidak langsung dengan menduga respons areal terhadap harga sendiri (eAP), serta respons produktivitas terhadap harga sendiri (eYP). Nilai elastisitas jangka pendek dapat diketahui secara langsung dari besaran koefisien regresi karena model menggunakan fungsi ln-ln. Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang dapat diduga dari nilai elastisitas jangka pendek pada model beda kala (Koutsoyiannis, 1977). Elastisitas respons areal panen dan produktivitas dari fungsi linear berganda ln-ln dapat dihitung sebagai berikut: 1. Elastisitas Respons Areal ln ln
1
1
(3.5) (3.6)
2. Elastisitas Respons Produktivitas ln ln
(3.7)
1
1
(3.8)
dimana : ESR
= Elastisitas jangka pendek
ELR
= Elastisitas jangka panjang
A
= Luas Areal
Y
= produktivitas
Xi
= peubah bebas ke i
d
= (1-bt-1) = Koefisien penyesuaian (adjustment coefficient)
bt-1
= koefisien lag luas areal maupun produktivitas.
3.5.
Evaluasi Model
3.5.1. Uji Kriteria ekonomi Uji kriteria ekonomi dilakukan dengan melihat besaran dan tanda parameter yang diestimasi, apakah sesuai dengan teori / keadaan atau tidak.
3.5.2. Uji Kriteria Statistik Uji kriteria statistik dilakukan sebagai berikut : 1. Uji Koefisien Determinasi (R2 / R2 adjusted) Uji Koefisien Determinasi (R2 / R2 adjusted) digunakan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel-variabel bebas dalam suatu model untuk menjelaskan variabel terikatnya. Nilai R2 / R2 adjusted berkisar antara 0
sampai dengan 1, semakin mendekati 1 maka model semakin baik. Untuk menghitung koefisien determinasi dapat dilakukan dengan rumus : 2
dimana : ESS
= Explained sum of squares,
TSS
= Total sum of squares.
2. Uji t Uji t merupakan kriteria statistik untuk melihat signifikansi variabel bebas tertentu memengaruhi variabel dependen (terikat)nya. Koefisien penduga ini (uji t) perlu berbeda dari nol secara signifikan atau P-Valuenya sangat kecil. Pengujian parsial ini (uji t) dapat dilihat dari nilai probabilitas t- statistiknya. Uji Satu Arah : H0 : bi = 0 H1 : bi > 0 atau bi < 0 tolak H0 jika |
| > tα artinya, variabel signifikan berpengaruh nyata pada
taraf α. Uji Dua Arah H0 : bi = 0 H1 : bi ≠ 0 tolak H0 jika | taraf α.
| > tα/2 artinya, variabel signifikan berpengaruh nyata pada
3. Uji F Uji ini dilakukan untuk melihat apakah semua koefisien regresi berbeda dengan nol atau dengan kata lain bahwa model tersebut dapat diterima. Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan adalah variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Pada Uji F, hipotesis yang diuji adalah : H0 : b1 = b2 = .... = bi = 0 H1 : minimal ada salah satu bi ≠ 0 Uji F ini dilakukan dengan membandingkan nilai taraf nyata (α) yang ditetapkan dan nilai probabilitas F-statistiknya. Dari uji F tersebut dapat diketahui suatu model dapat diterima atau tidak. Kriteria Uji : Probability F-Statistic < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability F-Statistic > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika uji F tolak H0 atau terima H1, maka dapat disimpulkan minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya dan model yang digunakan dapat diterima. Sebaliknya jika dalam uji F terima H0 atau tolak H1 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya dan model tidak layak digunakan.
3.5.3. Uji Kriteria Ekonometrika 1. Multikolinearitas Multikolinearitas mengacu pada kondisi dimana terdapat korelasi linear di antara variabel bebas sebuah model. Jika dalam suatu model terdapat multikolinear akan menyebabkan nilai R2 yang tinggi dan lebih banyak variabel bebas yang tidak signifikan daripada variabel bebas yang signifikan atau bahkan tidak ada satupun. Masalah multikolinearitas dapat dilihat melalui correlation matrix, dimana batas tidak terjadi korelasi sesama variabel yaitu dengan uji Akar Unit sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari |0,80| (Gujarati, 1978). Melalui correlation matrix ini dapat pula digunakan Uji Klein dalam mendeteksi multikolinearitas. Apabila terdapat nilai korelasi yang lebih dari |0.80|, maka menurut uji Klein multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi nilai R-squared Adjusted atau R2-nya. 2. Heteroskedastisitas Kondisi heteroskedastisitas merupakan kondisi yang melanggar asumsi dari regresi linear klasik. Heteroskedastisitas menunjukkan nilai varian dari variabel bebas yang berbeda, sedangkan asumsi yang dipenuhi dalam linear klasik adalah mempunyai varian yang sama (konstan) / homoskedastisitas. Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroscedasticity Test (Gujarati, 1978). Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probabilitas Obs*R-squared-nya.
H0 : δ = 0 H1 : δ ≠ 0 Kriteria Uji : Probability Obs*R-squared < taraf nyata (α), maka terima H0 Probability Obs*R-squared > taraf nyata (α), maka tolak H0 Jika hasil menunjukkan tolak H0 maka persamaan tersebut tidak mengalami gejala heteroskedastisitas. Begitu sebaliknya, jika terima H0 maka persamaan tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas. 3. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu dan ruang. Masalah autokorelasi dapat diketahui dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. H0 : τ = 0 H1 : τ ≠ 0 Kriteria uji : Probability Obs*R-squared < taraf nyata (α), maka terima H0 Probability Obs*R-squared > taraf nyata (α), maka tolak H0 Apabila nilai probabilitas Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata tertentu (tolak H0), maka persamaan itu tidak mengalami autokorelasi. Bila nilai Obs*R-squared-nya lebih kecil dari taraf nyata tertentu (terima H0), maka persamaan itu mengalami autokorelasi.
4. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30. Uji ini berguna untuk melihat error term apakah terdistribusi secara normal. Uji ini disebut uji Jarque-bera test. Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probability Jarque-bera Test. H0 : error term terdistribusi normal H1 : error term tidak terdistribusi normal Kriteria uji : Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0 Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0 Jika terima H0, maka persamaan tersebut tidak memiliki error term terdistribusi normal dan sebaliknya, jika tolak H0 (terima H1) maka persamaan tersebut memiliki error term yang terdistribusi normal.
3.6.
Definisi dan Pengukuran Variabel-Variabel
Luas Areal (A) Dalam penelitian ini luas areal yang digunakan adalah luas areal tanam seluruh perkebunan kelapa di Indonesia, diukur dalam satuan hektar. Harga riil Kopra (HKPR)
Variabel harga kelapa didekati dengan harga rata-rata kopra di tingkat produsen dibagi dengan indeks harga pedagang besar. Alasannya saat ini pengolahan kelapa masih didominasi oleh kopra. Diukur dalam satuan Rupiah per kilogram. Harga riil Minyak Goreng CPO (HMCPO) Minyak goreng CPO adalah barang subtitusi dari minyak kelapa. Harga riil minyak goreng CPO didekati dengan harga rata-rata minyak goreng CPO di tingkat produsen dibagi dengan indeks harga pedagang besar, diukur dalam satuan Rupiah per kilogram. Curah Hujan (RAIN) Variabel curah hujan digunakan dalam penelitian ini karena petani kelapa di Indonesia jarang mengairi tanamannya melalui irigasi, sehingga sumber air utama dari tanaman ini adalah dari air hujan. Variabel ini didekati dengan tingkat curah hujan rata-rata di Indonesia dan diukur dalam satuan millimeter per tahun. Tingkat Suku Bunga riil Variabel ini dimasukkan dalam model karena suku bunga adalah biaya dari meminjam modal dimana perkebunan kelapa di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat yang umumnya kesulitan dalam masalah permodalan. Variabel ini didekati dengan tingkat suku bunga modal kerja nominal dikurangi dengan tingkat inflasi dan diukur dalam satuan persen. Produktivitas (Y/A) Variabel produktivitas diukur dengan jumlah rata-rata produksi kelapa di Indonesia dibagi dengan satuan luas areal kelapa, diukur dalam satuan ton per hektar.
Harga riil rata-rata pupuk (HPUP) Variabel ini didapatkan dengan cara merata-ratakan harga pupuk urea, pupuk SP36, dan pupuk KCL kemudian dibagi dengan menggunakan indeks harga pedagang besar. Ketiga jenis pupuk ini adalah pupuk yang paling dominan yang dipakai oleh petani kelapa. Variabel ini diukur dengan satuan Rupiah per kilogram. Harga riil Pestisida (HPEST) Variabel ini didekati dengan harga pestisida dibagi dengan indeks harga pedagang besar. Variabel ini diukur dengan satuan Rupiah per liter. Upah riil Buruh (WAGE) Variabel upah buruh disini adalah upah buruh di pedesaan di luar keluarga dibagi dengan indeks harga pedagang besar. Variabel ini diukur dengan satuan Rupiah per HOK. Teknologi Dalam penelitian ini variabel yang digunakan untuk memproxy dari perkembangan teknologi adalah variabel tren waktu dimana angka 0, 1, 2, .... dari tahun awal penelitian.
3.6.1. Spesifikasi Harga Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam membuat spesifikasi harga adalah memilih peubah harga yang relevan dan mempunyai arti ekonomi. Menurut Askari dan Cummings (1977), peubah harga yang sering digunakan dalam penelitian jenis ini adalah :
1. Harga yang diterima petani (harga nominal). 2. Harga yang diterima petani dideflasi dengan suatu indeks harga konsumen. 3. Harga yang diterima petani dideflasi dengan indeks harga input. 4. Harga yang diterima petani yang dideflasi dengan indeks harga komoditas relatif. Adapun jenis harga yang dipilh tergantung dari alasan petani untuk meningkatkan produksi atau komoditas tertentu. Alasan yang perlu diperhatikan antara lain adalah (Askari dan Cummings, 1977) : 1. Petani ingin meningkatkan produksinya untuk meningkatkan konsumsi komoditas yang dibudidayakan. 2. Petani ingin meningkatkan produksinya untuk mempertahankan tingkat konsumsi atas komoditas tersebut seiring dengan meningkatnya harga input. 3. Petani
ingin
meningkatkan
produksinya
untuk
menaikkan
tingkat
konsumsinya atas barang-barang lain. 4. Petani ingin meningkatkan produksinya untuk menaikkan tingkat konsumsi terhadap barang-barang lain jika harga barang-barang lain tersebut naik. Alasan yang relevan yang digunakan petani dalam penelitian ini diasumsikan adalah alasan ketiga dan keempat. Untuk itu peubah harga yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga riil yaitu harga nominal yang dideflasi dengan menggunakan indeks harga konsumen (IHPB) pada tahun dasar yaitu tahun 2000 (IHPB 2000 = 100).
IV. PERKEMBANGAN KOMODITAS KELAPA
4.1.
Perkembangan Areal Kelapa Areal pertanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia,
dengan pangsa 31,5 persen dari total luas areal kelapa di dunia. Peringkat dua diduduki oleh Filipina (27,4 persen), disusul India (19,9 persen), dan Sri Lanka (3,2 persen). Namun dari segi produksi ternyata Indonesia hanya menduduki peringkat kedua setelah Filipina (Gambar 6). Hal ini membuktikan bahwa produktivitas kelapa di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Di Indonesia sendiri areal pertanaman kelapa tersebar di seluruh wilayah kepulauan. Pada tahun 2007, luas areal kelapa Indonesia mencapai 3,79 juta ha (Gambar 5.), yakni terdistribusi di Pulau Sumatera (33,4 persen), Pulau Jawa (22,4 persen), Nusa Tenggara (7,85 persen), Pulau Kalimantan (7,53 persen), Pulau Sulawesi (19,8 persen) dan Maluku dan Papua (9,06 persen). Produk utama yang dihasilkan di wilayah Sumatera adalah kopra dan minyak; di Jawa kelapa butir; Bali, NTB dan NTT kelapa butir dan minyak; Kalimantan kopra; Sulawesi minyak; Maluku dan Papua kopra. Komposisi keadaan tanaman secara national meliputi : Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) seluas 14,5 persen (0,55 juta ha), Tanaman Menghasilkan (TM) seluas 73,6 persen (2,79 juta ha), dan Tanaman Tidak Menghasilkan atau Tanaman Rusak (TTM/TR) seluas 11,9 persen (0,45 juta ha). Jumlah pabrik minyak kelapa di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 564 unit dengan kapasitas tahunannya mencapai 1.095.976 MT. Persebarannya antara lain
P Pulau Sumaatera 226 unnit, Pulau Jaawa 127 unnit, Pulau Kalimantan K 8 unit, Pullau 89 S Sulawesi 48 unit, dan wilayah Indonnesia lainnyaa sebanyak 74 7 unit (Gam mbar 7).
Luass Areal K Kelapa 4000000 3000000 2000000 1000000 0
Luas Areal Kelapa
S Sumber : Ditjeenbun, Departemen Pertaniann, 2008
Ga ambar 5. Peersebaran Areal A Kelapaa di Indonesia Tahun 2007. 2
Pro oduksi Ko opra 250000 00 200000 00 150000 00 100000 00 50000 00 0
Produksi Kopra
Indonesia Filipina
In ndia
Sri Lanka Negara Lainnya
S Sumber : APCC dan FAO, 20008
Gambar 6. Produksi Kopra K Beberrapa Negaraa Tahun 2007
Jumlah Pabrik M M.Kelap pa 600 400 200 Jumlah Paabrik M.Kelapaa
0
S Sumber : Depaartemen Perinddustrian, 2008
Gambar 7. Jumllah Pabrik Minyak M Kellapa di Indoonesia Tahu un 2007
Kap pasitas P Pabrik 1200000 1000000 800000 600000 400000
Kaapasitas Pabrikk
200000 0
S Sumber : Depaartemen Perinddustrian, 2008
Gamba ar 8. Kapassitas Pabrik k Minyak Keelapa di Ind donesia Tah hun 2007.
4.2.
Pasar dan Harga
4.2.1. Penggunaan Dalam Negeri Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk konsumsi segar, dibuat kopra atau minyak kelapa. Seiring perkembangan pasar dan dukungan teknologi, permintaan berbagai produk turunan kelapa semakin meningkat seperti dalam bentuk tepung kelapa (desiccated coconut), serat sabut, arang tempurung dan arang aktif. Dari Tabel 4 dapat kita lihat bahwa kecenderungan konsumsi kelapa yang menurun. Hal ini tidak terlepas dari munculnya minyak kelapa sawit sebagai komoditas subtitusi kelapa. Tabel 4. Konsumsi Kelapa Setara Kopra di Indonesia Tahun 2003-2007 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Penduduk 214.500.000 220.077.122 221.356.288 222.192.000 226.191.456
Konsumsi (MT) 2.296.860 2.315.867 2.350.604 1.940.606 1.975.537
Sumber : Asian and Pacific Coconut Community, 2008
4.2.2. Ekspor Produk Kelapa Menurut APCC, Indonesia merupakan negara produsen kelapa terbesar di dunia dengan jumlah produksi pada tahun 2007 mencapai 3,039 juta MT ton setara kopra. Pesaing utama adalah Filipina dan India dengan produksi masing-masing sebesar 2,352 juta ton dan 2,263 juta ton pada tahun yang sama.
Tabel 5. Volume Ekspor Beberapa Produk Kelapa Tahun 2003-2007 (Metrik Ton) Tahun
Kopra
2003 2004 2005 2006 2007
25.107 36.139 56.884 76.725 46.920
Coconut Oil 321.535 443.762 745.742 519.556 739.923
Copra Meal 271.148 267.030 323.856 240.195 323.195
DC 37.286 30.780 51.025 62.249 60.648
CC/Milk 20.340 20.240 32.480 27.402 27.437
Arang tempurung 35.373 7.322 800 656 610
Karbon Aktif 12.157 15.624 25.670 15.529 26.325
Sumber : BPS, 2008 Keterangan : DC = Desiccated Coconut, CC = Cream Coconut
Ekspor kopra mengalami peningkatan dari tahun 2003 sebesar 25.107 MT (4,281 juta US Dollar) menjadi 76.725 MT (14,032 juta US Dollar) pada tahun 2006, kemudian turun menjadi 46.920
MT (8,821 juta US Dollar) pada tahun 2007.
Sementara ekspor minyak kelapa pada tahun 2006 menunjukkan volume sebesar 519.556 MT dengan nilai 270,244 juta US Dollar, kemudian naik menjadi 739.923 MT dengan nilai 570,410 juta US Dollar. Tujuan ekspor produk kelapa Indonesia selama ini meliputi banyak negara di Eropa, Amerika, maupun Asia dan Pasifik. Pengaruh dinamika dan perbedaan preferensi antar pasar tujuan menyebabkan tingkat dan bentuk permintaan produk ekspor berbeda-beda antar negara. Disamping itu, arah perdagangan juga dapat berubah. Seperti ditunjukkan Tabel 6, selama 2003-2007 terdapat indikasi perubahan orientasi negara tujuan ekspor untuk beberapa produk ekspor kelapa Indonesia. Dominasi peran negara-negara Eropa sebagai tujuan ekspor secara perlahan digantikan oleh negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik.
Tabel 6. Negara Tujuan Utama Beberapa Produk Kelapa Tahun 2003 dan 2007 Negara Tujuan No 1
Crude Coconut Oil
Belanda, China, Korea, Malaysia
2007 Belanda, China, Malaysia, Amerika
2
Copra Meal
3
Desiccated Coconut Coconut Shell Charcoal
Belanda, Korea, Spanyol, India Singapura, UAE, Pakistan, Malaysia
Korea, Vietnam, India, Belanda Singapura, Jerman, Rusia, Malaysia
Malaysia, Jepang, Korea Taiwan
Malaysia, China, Taiwan
Jepang, Amerika, Belanda, Korea
Amerika, Cina, Belanda, Jepang
4
Jenis Produk
5 Activated Carbon Sumber : BPS, 2008
2003
4.2.3. Impor Produk Kelapa Meskipun Indonesia merupakan negara produsen kelapa terbesar di dunia, tetapi impor beberapa jenis produk kelapa masih ada. Disamping karena permintaan produk dengan spesifikasi yang berbeda, impor seperti itu biasanya juga dilakukan untuk pengamanan cadangan penggunaan dalam negeri. Tabel 7. Volume dan Nilai Impor Untuk Beberapa Produk Kelapa Indonesia Tahun 2007 Jenis Produk Kopra CCO Fraction Unrefined Coconut Oil Minyak Kelapa Murni DC Kelapa Olahan Lainnya Serat Kasar Kelapa
Volume (Ton)
Nilai (000 US$) 191 7.264 3
50 3.263 1
99 263 1.546 16
76 348 508 15
Sumber : BPS, 2008
Dibandingkan dengan volume dan nilai ekspornya, volume dan nilai impor beberapa produk kelapa tergolong kecil. Impor paling besar berasal dari minyak
kelapa dengan volume 7.264 ton atau senilai dengan 3,26 juta US Dollar. Jenis produk kelapa olahan lainnya juga merupakan produk yang cukup banyak diimpor dengan volume 1.546 ton atau senilai dengan 0,508 juta US Dollar. 4.2.4. Harga Kelapa dan Produk Kelapa Seiring dengan berkembangnya permintaan akan berbagai produk turunan dari kelapa, khususnya di pasar internasional, harga kopra dalam negeri cenderung meningkat setiap tahun. Pada tahun 2001, harga kopra dalam negeri adalah Rp 1.575 per kg dan naik menjadi Rp 1.994,3 per kg. Begitu juga di pasar dunia, tahun 2001 harga kopra adalah 201 US$/ metrik ton dan kemudian naik menjadi 389 US$/metrik ton (Tabel 8). Tabel 8. Perkembangan Harga Rata-Rata Komoditi Kelapa di Pasar Domestik dan Dunia Tahun 2001-2007 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Harga Domestik (Rp/kg) 1.575,0 1.663,3 1.810,3 1.959,4 2.289,0 1.963,3 1.994,3
Harga Dunia (US$/mt) 201 266 300 450 414 389 -
Sumber : Deptan dan BPS, 2008
Perkembangan harga ekspor minyak kelapa (CCO) cenderung fluktuatif. Pada tahun 2004 harga minyak kelapa naik dari 427 US$ per MT menjadi 596 US$ per MT, kemudian turun pada dua tahun berikutnya sampai menyentuh angka 535 US$ per MT dan kemudian naik lagi menjadi 767 US$ per MT. Perkembangan harga ekspor beberapa produk kelapa dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Perkembangan Harga Ekspor Beberapa Produk Kelapa Tahun 20032007 (US$ per MT) Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
CCO 427 596 537 535 767
CoM 83 87 82 61 112
DC 626 665 693 614 774
CSC 175 234 128 86 146
AC 724 790 640 885 864
Sumber : BPS, 2008 CCO : Crude Coconut Oil, CoM : Copra Meal, DC : Desiccated Coconut, CSC : Coconut Shel Charcoal, AC : Activated Carbon
Menurut APCC perolehan ekspor produk kelapa Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan perolehan negara pesaing utama (Filipina). Padahal bila dibandingkan tingkat harga ekspor antar produk kelapa di kedua negara, harga beberapa produk kelapa asal Indonesia lebih murah. Hal ini mengindikasikan dalam perolehan manfaat perdagangan kelapa Indonesia pengaruh faktor non harga masih cukup signifikan. Faktor-faktor yang terkait dengan: kualitas produk, tingginya biaya transportasi, dan kompleksitas prosedur ekspor diduga turut berpengaruh terhadap perolehan manfaat perdagangan (ekspor) produk kelapa Indonesia yang belum maksimal.
V. HASIL PENDUGAAN MODEL DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Sistematika penulisan pada bab ini diawali dengan analisa hasil estimasi model respons areal tanam kelapa kemudian dilanjutkan dengan analisa hasil estimasi respons produktivitas, dan analisis perhitungan respons penawaran kelapa di Indonesia.
5.1.
Respons Areal Kelapa di Indonesia Adapun hasil estimasi persamaan respons areal kelapa di Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Respons Areal Kelapa di Indonesia Peubah Bebas1 KONSTANTA Luas Areal (t-1) Harga Kopra (t-1) Harga Minyak Goreng Sawit (t-1) Harga Rata-rata Pupuk (t-1) Harga Pestisida (t-1) Upah Buruh (t-1) Curah Hujan (t-1) Suku Bunga (t-1) R-Squared R-squared adj. F hitung Autokorelasi Multikolinearitas Heteroskedastisitas Sumber : Tabel Lampiran 2.
Parameter Dugaan P-value 2,2234 0,8232 -0,0065 -0,0493 0,1095 -0,0223 0,0482 0,2626 -0,0005 99,5019% 99,3486% 649,1919 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
0,0011* 0,0000* 0,6441 0,0502*** 0,0382** 0,3557 0,0835*** 0,3059 0,2074
Keterangan :
* ** *** 1
Signifikan pada taraf nyata 1% Signifikan pada taraf nyata 5% Signifikan pada taraf nyata 10 %. Semua peubah bebas dalam bentuk logaritma natural (ln) kecuali Suku Bunga
Berdasarkan hasil estimasi model respons areal kelapa di Indonesia yang tergambar dari Tabel 10 di atas, dapat diketahui bahwa model respons areal kelapa di Indonesia mempunyai koefisien determinasi (R-squared) sebesar 99,5019%, artinya bahwa variasi dari variabel endogennya (luas areal tanam) dapat dijelaskan secara linear oleh variabel bebasnya di dalam model sebesar 99,5019 persen , dan sisanya sebesar 0,4981 persen dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model. Dari hasil uji-F dapat diperoleh bahwa variabel-variabel eksogen mampu menerangkan variabel endogen yang ditunjukkan oleh nilai probabilitasnya sebesar 0,00000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 10 persen (α = 10 persen). Nilai ini menandakan bahwa persamaan di atas telah mendukung keabsahan model. Dari uji-t menunjukkan ada satu variabel bebas yang berpengaruh signifikan / nyata terhadap variabel endogen pada taraf nyata satu persen. Variabel tersebut adalah luas areal periode sebelumnya. Variabel harga pupuk tahun sebelumnya signifikan memengaruhi luas areal pada taraf nyata 5 persen, sementara variabel harga minyak goreng CPO tahun sebelumnya dan upah buruh tahun sebelumnya signifikan memengaruhi pada taraf nyata 10 persen.
Dari ketiga kriteria uji ekonometrika, model respons areal kelapa di Indonesia sudah tidak mempunyai masalah dalam asumsi multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Hasil pengujian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 3, 4, dan 5. Dari hasil estimasi model respons areal kelapa di Indonesia, terdapat tiga variabel yang tidak sesuai dengan teori ekonomi. Ketiga variabel itu adalah harga kopra tahun sebelumnya, harga rata-rata pupuk tahun sebelumnya, dan upah buruh tahun sebelumnya. Variabel harga kopra secara negatif memengaruhi luas areal dan tidak signifikan pada taraf nyata hingga 20 persen sehingga secara statistika pengaruhnya tidak berbeda nyata dengan nol. Variabel harga pupuk tahun lalu memengaruhi luas areal kelapa secara positif. Variabel harga pupuk di sini adalah harga rata-rata pupuk urea, SP36, dan KCL. Hal ini berbeda dengan hipotesis yang mengatakan bahwa jika harga pupuk naik maka biaya untuk menambah areal baru akan bertambah, sehingga insentif petani untuk menambah areal baru akan berkurang. Menurut Sukamto (2001), pupuk urea dapat digantikan dengan pupuk kandang padat dari ternak. Sementara untuk pupuk SP36 dan KCL, dosisnya dapat dikurangi. Hal ini disebabkan karena pupuk kandang mengandung P2O5 dan K2O sehingga jumlah yang ditambahkan hanya untuk melengkapi kebutuhan tanaman. Kemampuan subtitusi dari pupuk kandang tersebut membuat ketika harga pupuk kimia meningkat maka permintaan dari pupuk kandang akan meningkat dan hasilnya areal juga dapat meningkat. Pola subtitusi ini juga terkait dengan kebijakan pemerintah melalui Departemen Pertanian yang akan lebih
mendorong penggunaan pupuk organik dan bio-organik sebagai subtitusi dari pupuk kimia4. Hal itu dilakukan dalam rangka menekan pemakaian pupuk kimia yang boros anggaran (subsidi pupuk) dan merusak lingkungan. Variabel upah buruh tahun lalu memengaruhi luas areal secara positif. Hal ini terkait dengan karakteristik perkebunan kelapa didominasi oleh perkebunan rakyat, sehingga ketika terjadi kenaikan upah buruh, maka petani kelapa akan mengganti buruh yang berasal dari luar keluarga dengan buruh dari dalam keluarga (Sukamto, 2001). Subtitusi ini dilakukan untuk mengurangi biaya produksi petani. Hasilnya kenaikan upah tidak akan menghambat petani untuk menambah areal baru. Variabel luas areal tahun sebelumnya mempunyai koefisien sebesar 0,8232 dan signifikan pada taraf nyata 1 persen. Hal ini berarti jika luas areal kelapa tahun sebelumnya meningkat sebesar 10 persen, maka areal kelapa sekarang akan meningkat sebesar 8,232 persen. Variabel harga minyak goreng CPO tahun sebelumnya mempunyai koefisien sebesar -0,0493 dan signifikan pada taraf nyata 10 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang mengatakan bahwa kelapa sawit adalah komoditas subtitusi dari kelapa. Meningkatnya permintaan minyak goreng kelapa sawit karena harganya yang lebih murah dibandingkan minyak goreng yang berasal dari kelapa membuat pola konsumsi masyarakat menjadi berubah. Variabel harga pestisida tahun sebelumya, curah hujan tahun sebelumya, dan tingkat suku bunga riil tahun sebelumnya mempunyai tanda yang sesuai dengan teori, tetapi ketiga variabel ini tidak signifikan memengaruhi luas areal. Pestisida adalah 4
http://dinpertantph.jawatengah.go.id/ (29 Agustus 2009)
input yang tidak terlalu banyak digunakan oleh petani kelapa sehingga pengaruh kenaikan harganya tidak signifikan menurunkan luas areal kelapa. Variabel curah hujan tahun sebelumnya tidak signifikan memengaruhi luas areal kelapa. Keputusan petani menambah atau mengurangi arealnya tidak dipengaruhi oleh curah hujan, karena petani beranggapan bahwa kelapa adalah tanaman yang tahan pada berbagai jenis musim. Hal ini disebabkan kelapa adalah tanaman yang umumnya dapat tumbuh dengan baik pada tempat dengan curah hujan antara 1300-2300 mm/tahun, bahkan sampai 3800 mm per tahun atau lebih, sepanjang tanah mempunyai drainase yang baik. Variabel suku bunga modal kerja tahun sebelumnya memengaruhi secara negatif luas areal kelapa. Hal ini sesuai dengan teori suku bunga sebagai biaya modal untuk membuka areal baru. Tanda yang tidak signifikan berarti petani kelapa tidak membiayai usahanya melalui kredit modal kerja.
5.2.
Respons Produktivitas Kelapa di Indonesia Hasil dari pendugaan model respons produktivitas kelapa di Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil estimasi model respons produktivitas kelapa di Indonesia pada Tabel 11 di bawah, dapat dilihat bahwa model tersebut mempunyai koefisien determinasi (R-squared) sebesar 94,8061, artinya bahwa variasi dari variabel endogennya (produktivitas kelapa) dapat dijelaskan secara linear oleh variabel bebasnya di dalam persamaan sebesar 94,8061 persen, dan sisanya sebesar 5,1939 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model.
Tabel 11. Hasil Estimasi Respons Produktivitas Kelapa di Indonesia Peubah Bebas1 KONSTANTA Produktivitas (t-1) Harga Kopra (t) Harga Rata-rata Pupuk (t) Harga Pestisida (t) Upah buruh (t) Curah Hujan (t) Trend R-Squared R-squared adj. F hitung Autokorelasi Multikolinearitas Heteroskedastisitas
Parameter Dugaan -0,5469 0,4212 0,0284 0,1608 -0,0737 -0,0899 0,0594 0,0079 94,8061% 93,4595% 70,40562 Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
P-value 0,2063 0,0061* 0,1802***** 0,0155** 0,0667*** 0,0218** 0,1388**** 0,0001*
Sumber : Tabel Lampiran 7. Keterangan : * Signifikan pada taraf nyata 1 persen ** Signifikan pada taraf nyata 5 persen *** Signifikan pada taraf nyata 10 persen **** Signifikan pada taraf nyata 15 persen ***** Signifikan pada taraf nyata 20 persen 1 Semua peubah bebas dalam bentuk logaritma natural (ln) kecuali Trend
Dari hasil uji-F didapatkan bahwa variabel-variabel bebas mampu menerangkan variabel endogen yang ditunjukkan oleh nilai probability F-statistic sebesar 0,00000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 10 persen (α = 10 persen). Nilai ini menandakan bahwa persamaan di atas telah mendukung keabsahan model. Dari hasil uji-t menunjukkan semua variabel penjelas dalam model respons produktivitas signifikan memengaruhi produktivitas kelapa di Indonesia. Variabel produktivitas tahun sebelumnya dan trend waktu signifikan memengaruhi produktivitas pada taraf nyata 1 persen. Variabel harga pupuk rata-rata dan upah buruh signifikan pada taraf nyata 5 persen. Variabel harga pestisida signifikan pada
taraf nyata 10 persen, sementara variabel curah hujan dan harga kopra masing-masing signifikan padataraf nyata 15 dan 20 persen. Dari ketiga kriteria uji ekonometrika, model respons produktivitas kelapa di Indonesia sudah tidak mempunyai masalah dalam asumsi multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Hasil pengujian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 7, 8, dan 9. Dari semua variabel bebas yang memengaruhi produktivitas kelapa di Indonesia, ada satu variabel bebas yang tandanya tidak sesuai dengan teori ekonomi. Variabel itu adalah harga rata-rata pupuk. Ada dua hal yang dapat menjelaskan hal ini. Yang pertama, kebiasaan petani kelapa di Indonesia yang jarang memupuk tanaman kelapanya sehingga kenaikan harga pupuk tidak dapat menurunkan produktivitas kelapa yang memang sudah rendah (Asnawi dan Darwis, 1985). Yang kedua, adanya subtitusi pupuk urea dengan pupuk kompos yang dilakukan oleh petani untuk menghemat pengeluaran jika terjadi kenaikan harga pupuk. Subtitusi itu juga terkait dengan himbauan pemerintah untuk mengganti penggunaan pupuk kimia dengan pupu organik terkait dengan masalah subisidi pupuk kimia yang dapat dikurangi dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan (kejenuhan lahan)5. Variabel produktivitas kelapa tahun sebelumnya mempunyai koefisien sebesar 0,4212. Artinya, jika produktivitas tahun sebelumnya meningkat sebesar 10 persen maka produktivitas kelapa akan meningkat sebesar 4,212 persen. Variabel harga kopra mempunyai koefisien sebesar 0,0284. Artinya, kenaikan harga kopra sebesar 10 5
http://dinpertantph.jawatengah.go.id/ (29 Agustus 2009)
persen masih direspons oleh petani untuk meningkatkan produktivitasnya sebesar 0,284 persen. Variabel input lainnya yaitu pestisida dan upah buruh mempunyai nilai koefisien masing-masing sebesar -0,0737 dan -0,0899. Kenaikan harga pestisida sebesar 10 persen direspons petani dengan mengurangi jumlah penggunaan pestisida sebesar 0,737 sehingga tanaman kelapa akan mudah terserang hama yang dapat mengurangi produksi. Sementara kenaikan upah buruh akan menyebabkan petani mengurangi jumlah penggunaan buruh (tenaga kerja) di luar keluarga. Dengan asumsi jumlah tenaga kerja sekarang tidak dapat mempertahankan produksi seperti sebelumnya, maka produktivitas kelapa akan menurun. Kelapa adalah tanaman yang mengandalkan curah hujan sebagai sumber pengairan utamanya, tidak seperti padi atau jagung yang menggunakan irigasi sebagai sumber pengairannya. Hal ini terbukti dari variabel curah hujan mempunyai koefisien sebesar 0,0594. Artinya kenaikan tingkat curah hujan rata-rata sebesar 10 persen, maka produktivitas akan meningkat sebesar 0,594 persen. Sementara variabel trend waktu yang merupakan proxy dari perkembangan teknologi yang dapat memengaruhi produktivitas kelapa mempunyai keofisien sebesar 0,0079. Dari nilai trend produktivitas yang positif dapat disimpulkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan produktivitas kelapa di Indonesia, yaitu sebesar 0,0079 persen per tahun.
5.3.
Respons Penawaran Kelapa di Indonesia Untuk menelaah lebih lanjut respons penawaran kelapa di Indonesia, maka
kita harus menghitung nilai elastisitas penawaran kelapa di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tabel 12 menyajikan nilai elastisitas penawaran kelapa di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tabel 12. Respons (elastisitas) Penawaran Kelapa di Indonesia dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang Keterangan Koefisien Adjusment
Respons Areal Kelapa terhadap Harga Kopra (eAP) 0,1768
Respons Produktivitas Kelapa terhadap Harga Kopra (eYP) 0,5788
Elastisitas 0 *) 0,0284 Jangka Pendek Elastisitas 0 *) 0,0491 Jangka Panjang Sumber : Data diolah, 2009 Keterangan : eAP + eYP = eQP *) bernilai nol karena tidak signifikan
Respons Penawaran Kelapa terhadap Harga Kopra (eQP) --0,0284 0,0491
Respons areal kopra terhadap kopra bernilai nol baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini berarti peningkatan harga kopra tidak akan direspon oleh petani melalui penambahan atau pengurangan arealnya. Nilai ini juga mengandung makna harga kopra tidak menjadi insentif yang utama bagi petani, yang disebabkan oleh beberapa hal : 1. Tersubtitusinya peran minyak kelapa oleh minyak kelapa sawit, sehingga perhatian pemerintah lebih tertuju kepada pengembangan komoditi keklapa sawit. 2. Perhatian pemerintah yang rendah tersebut dan harga riil kopra yang naik dengan trend yang menurun membuat petani malas untuk merawat
tanamannya dan memilih untuk mendiversifikasikan usahanya dengan menanam berbagai tanaman sela di antara tanaman kelapanya. 3. Tingginya konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian. Tanaman kelapa umumnya dapat ditemui disekitar areal persawahan di Indonesia, sehingga konversi sawah yang tinggi akan membuat areal kelapa ikut berkurang. Dari tabel di atas juga dapat kita lihat bahwa elastisitas produktivitas terhadap harga kopra bernilai 0,0284 pada jangka pendek dan 0,0491 pada jangka panjang. Artinya, kenaikan harga kopra sebesar 10 persen akan meningkatkan produktivitas kelapa sebesar 0,284 persen pada jangka pendek dan 0,491 persen pada jangka panjang. Berbagai program pemerintah yang didasarkan pada kegiatan penelitian tentang kelapa telah banyak dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kelapa dan pendapatan petani. Diantaranya adalah mensosialisasikan dampak ekonomi pemupukan terhadap tanaman kelapa, program peremajaan tanaman kelapa, dan memperkenalkan diversifikasi sistem usaha tani kelapa baik secara vertikal maupun horizontal kepada para petani kelapa. Diversifikasi secara vertikal misalnya dengan mengembangkan produk olahan kelapa lainnya sehingga petani tidak lagi menjual produknya dalam keadaan mentah (kelapa segar/butiran) maupun setengah jadi (kopra). Selama ini pihak pengumpul adalah pihak yang lebih banyak menerima nilai tambah.
Hal ini disebabkan
pengumpul membeli produk berupa kelapa utuh dari petani dimana dari produk tersebut sabut, tempurung, serta air kelapanya dapat diolah menjadi berbagai produk
olahan. Pengetahuan petani yang terbatas tentang hal tersebut membuat penerimaan petani kelapa menjadi sangat kecil yang berdampak pada tingkat kesejahteraannya. Sementara diversifikasi secara horizontal adalah dalam bentuk sistem pola tanam dengan menggunakan tanaman sela. Petani kelapa sekarang tidak dapat hanya mengandalkan
kelapa
sebagai
satu-satunya
sumber
pendapatannya.
Untuk
meningkatkan produktivitas lahan, petani dapat menanam berbagai tanaman sela di antara tanaman kelapanya. Tanaman yang biasa di tanam antara lain padi gogo, jagung, kacang-kacangan, pisang, nanas, kopi, kakao, panili, dan lain-lain. Penggunaan tanaman sela ini selain dapat meningkatkan pendapatan petani melalui nilai jual produknya yang bagus, juga dapat meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sendiri asal tanaman-tanaman sela ini ditanam dengan jarak tanam yang cocok (Sukamto, 2001). Elastisitas penawaran kelapa di Indonesia bernilai 0,0284 pada jangka pendek dan 0,0491 pada jangka panjang. Beberapa kesimpulan awal yang didapatkan dari nilai elastisitas penawaran kelapa di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Nilai elastisitas penawaran yang bersifat inelastis, berarti petani merespons dengan kecil kenaikan harga produkya. Hal ini disebabkan kekakuan aset-aset pertanian yang dimiliki oleh petani kelapa sehingga petani tidak dengan mudah meningkatkan produksinya ketika terjadi kenaikan harga dan sebaliknya.
2. Nilai elastisitas yang lebih besar dalam jangka panjang menandakan bahwa pada jangka panjang petani sudah dapat mengganti atau menambah aset-aset yang kaku tersebut sehingga penawaran kelapa menjadi lebih responsif. 3. Nilai elastisitas yang hanya berasal dari respons produktivitas manandakan bahwa petani hanya merespons penawaran kelapa hanya dari sisi intensifikasi yaitu dengan cara peningkatan produktivitas bukan dari cara ekstensifikasi atau perluasan areal.
5.4.
Berbagai Kebijakan Tentang Kelapa
5.4.1. Infrastruktur dan Kelembagaan Keberadaan
infrastruktur
sangatlah
penting
untuk
mendukung
keberlangsungan kegiatan ekonomi di suatu daerah. Akan tetapi yang terjadi di Indonesia sangatlah memprihatinkan. Infrastruktur yang memadai umumnya hanya ditemukan di Pulau Jawa sebagai akibat dari pola pembangunan yang terlalu sentralistis. Hasilnya, daerah-daerah di luar Pulau Jawa kurang memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung sektor perekonomian. Dampaknya bagi petani adalah bukan hanya akses yang terbatas kepada sumber daya tetapi juga membuat biaya usaha tani menjadi meningkat sehingga harga jual produk menjadi tidak bersaing. Hal ini membuat lembaga-lembaga yang terkait menjadi cenderung menekan petani. Kelembagaan pemasaran cenderung berbentuk monopsoni sehingga posisi tawar petani menjadi lemah. Kelembagaan keuangan didominasi sistem barter
yang cenderung merugikan petani, dan akses petani terhadap informasi pasar kurang tersedia karena kurang berjalanya lembaga-lembaga yang terkait dengan hal itu. Pada umumnya konsumen kelapa membeli kelapa dalam bentuk kelapa utuh. Bahkan konsumen di perkotaan kebanyakan membeli kelapa utuh untuk dikonsumsi dalam bentuk kelapa segar. Hal ini membuat rantai tata niaga menjadi panjang dan posisi petani menjadi tertekan seiring tertekannya harga kelapa. Alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan berbagai produk turunan kelapa di tingkat petani sehingga nilai tambah dari produk olahan kelapa juga ikut dinikmati oleh petani.
5.4.2. Kebijakan Harga, Perdagangan, dan Investasi Intervensi kebijakan pemerintah dalam mendukung agribisnis kelapa selama ini masih sangat terbatas. Pada komoditas ini belum pernah diberlakukan kebijakan harga output (price policy). Penentuan harga jual output selama ini diserahkan pada mekanisme pasar. Status komoditas yang bukan merupakan kebutuhan dasar dan tingkat penggunaan per kapita yang relatif rendah dapat menjadi faktor penjelas belum adanya urgensi intervensi kebijakan harga pada produk kelapa. Berbeda dengan perdagangan internasional kelapa sawit, untuk kegiatan ekspor kelapa pemerintah juga belum melakukan intervensi kebijakan. Secara formal belum ada pemberlakuan peraturan yang terkait dengan pembatasan ekspor, baik menyangkut volume, bentuk produk maupun tujuan eskpor. Begitu pula kebijakan pendukung kegiatan ekspor, juga belum ada. Intervensi kebijakan pemerintah baru dilakukan pada kegiatan impor. Intervensi tersebut berupa penetapan bea masuk
barang impor dan pajak penjualan yang selain memberikan pemasukan bagi negara juga dimaksudkan untuk melindungi para produsen di dalam negeri. Besaran bea masuk dan pajak penjualan bervariasi antar jenis produk (Tabel 13).
Tabel 13. Kebijakan Perdagangan Kelapa di Indonesia Tahun 2007
Jenis Produk Copra Crude Coconut Oil Refined Coconut Oil Copra Meal Desiccated Coconut Coconut Cream/Milk Coir Fibre and Coir Product Shell Charcoal Activated Carbon
Ekspor Pajak Pajak ekspor Lain non non non non non non non non non non non non non non non
non non non
Bea Masuk 10% 10% 5% 5% 5% 15%
Impor Pajak Penjualan 10% 10% 10% 10% 10% 10%
5% 15% 15%
10% 10% 10%
Sumber : Asian and Pasific Coconut Community (2008)
Dalam bidang investasi, insentif pemerintah untuk mendukung pengembangan agribisnis kelapa belum ada yang bersifat khusus. Penyediaan dan peningkatan kualitas infrastruktur yang selama ini juga dilakukan di daerah-daerah sentra produksi itupun tidak secara khusus dimaksudkan untuk mendukung pengembangan investasi dalam agribisnis kelapa. Demikian pula pada aspek modal. Meskipun terdapat penyediaan fasilitas kredit untuk usaha skala kecil dari beberapa bank pemerintah, tetapi pemberian fasilitas tersebut tidak secara khusus disediakan untuk usaha yang mengelola atau mengolah produk kelapa.
5.4.3. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kelapa Kebijakan adalah langkah-langkah strategis yang dapat diambil oleh pemerintah
sebagai
pengambil
kebijakan
(decision
maker)
dalam
rangka
mengintervensi perekonomian. Kebijakan yang terkait dengan agribisnis kelapa haruslah merupakan pendukung untuk mempercepat proses bangkitnya kelapa nasional sehingga dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam rangka percepatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan petani, memperluas lapangan pekerjaan di pedesaan, berkembangnya industri yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi berbahan baku industri, dan pelestarian lingkungan hidup. Sejak Pelita I, pemertintah sudah mulai memperkenalkan beberapa pola kebijakan maupun proyek untuk mengembangkan agribisnis kelapa. Pola pertama adalah pola swadaya. Dengan pola ini petani mengupayakan sendiri perbaikan usaha taninya, sementara pemerintah membantu sebagian saja, misalnya penyuluhan, pengadaan sarana produksi (pupuk, pestisida), serta perbaikan sarana dan prasarana jalan dan pasar. Pola kedua adalah UPP (Unit Pelaksana Proyek) uang selepas tahun 1980-an menjadi Unit Pelayanan Pengembangan. UPP ini merupakan unit terdepan dari suatu proyek, baik yang dananya bersumber dari APBN maupun bantuan luar negeri. Pada unit ini terus diupayakan penggalakan bimbingan lapangan oleh PLPT (Petugas Lapangan Proyek Terpadu) dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Pola ketiga adalah pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Dengan pola ini masyarakat peserta PIR yang memperoleh lahan garapan di areal plasma mendapat bimbingan dan bantuan dari PTPN atau PBS untuk membuka areal kebun. Pola keempat adalah pola PBS. PBS memperoleh bantuan kredit dari pemerintah untuk melakukan kemitraan dengan petani kelapa di sekitarnya. PBS pun wajib melakukan proses alih teknologi dan pembelian hasil untuk diolah menjadi bahan siap jual.
5.4.4. Peranan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (Balitka) Bagi pengembangan agribisnis kelapa nasional, Balitka mempunyai peranan yang sangat besar. Balitka merupakan lembaga di bawah Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Departemen Pertanian. Setelah sebelumnya sempat barganti-ganti nama mulai dari Lembaga Penelitian Tanaman Lemak menjadi Lembaga Penelitian Tanaman Industri (LPTI), kemudian menjadi Balai Penelitian Tananam Industri (BALITTRI), dan kemudian pada tahun 1984 menjadi Balai Penelitian Kelapa, hingga tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Balitka telah melakukan penelitian-penelitian yang sangat berguna bagi peningkatan produksi kelapa. Pada tahun 1984 diperkenalkan varietas Kelapa Hibrida Indonesia dan varietas Kelapa Dalam Unggul. Penemuan kedua varietas kelapa tersebut benar-benar mampu meningkatkan produksi kelapa secara nasional. Pada tahun yang sama Balitka juga mendeklarasikan Peta Kesesuaian Lahan dan Iklim Tanaman Kelapa di Indonesia (kecuali Pulau Jawa) dan Peta Rekomendasi
Pemupukan. Pada tahun 1987 penelitian difokuskan kepada metode peremajaan kelapa dan kemudian pada tahun 1994, penelitian lebih difokuskan pada pengolahan kelapa terpadu. Hasil-hasil penelitian tersebut kemudian dipublikasikan dalam Laporan Tahunan dari Balitka dan juga Prosiding Konperensi Nasional Kelapa.
5.5.
Implikasi Kebijakan tentang Kelapa Selama ini intervensi pemerintah kepada komoditi kelapa sangatlah terbatas.
Hal ini disebabkan kelapa bukanlah komoditi yang menjadi prioritas dalam pembangunan pertanian. Akan tetapi sekitar 7 juta petani menggantungkan hidupnya pada komoditi yang sering disebut tree of life ini. Untuk itu strategi kebijakan yang sesuai dan berpihak kepada petani diperlukan agar dapat tercipta situasi yang kondusif bagi perkembangan komoditi ini di masa mendatang. Berdasarkan fakta yang terjadi selama ini, diperlukan beberapa kebijakan untuk mendukung perkembangan perkelapaan di Indonesia. 1. Kebijakan perdagangan internasional yang berpihak kepada petani domestik. Selama ini intervensi pemerintah untuk kegiatan ekspor sangatlah terbatas, padahal potensi ekspor dari komoditi kelapa sangat besar. Untuk itu diperlukan kebijakan pendorong ekspor yang sesuai. 2. Pengembangan infrastruktur (jalan, pelabuhan, listrik, telepon, dan pengairan) yang tidak hanya terpusat di Pulau Jawa saja tetapi juga merata di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
3. Perbaikan lembaga-lembaga yang mendukung kegiatan perekonomian, seperti lembaga keuangan, lembaga pemasaran, penelitian dan pengembangan, dan lembaga yang terkait lainnya sehingga akses petani baik terhadap modal dan informasi menjadi lebih baik. Penerapan teknologi pada usaha tani kelapa hingga saat ini masih terasa kurang. Hal ini tercermin dari tingkat produktivitas lahan yang masih rendah. 4. Melihat fakta bahwa petani kelapa pada umumnya masih jarang untuk merawat tanamanya dari gangguan hama dan penyakit, diperlukan program sosialisasi penggunaan pestisida bagi petani kelapa. Hambatan yang terjadi selama ini adalah harga dari pestisida yang masih terlalu mahal. Untuk itu diperlukan subsidi harga untuk pestisida dari pemerintah. 5. Memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada petani kelapa terkait dengan upaya untuk meningkatkan SDM petani dipedesaan. Kegiatan penyuluhan seperti ini perlu dilakukan mengingat produktivitas kelapa di Indonesia yang masih belum mencapai produktivitas optimumnya, misalnya kegiatan sosialisasi dampak ekonomi pemupukan terhadap produksi kelapa, kebijakan peremajaan tanaman kelapa, maupun diversifikasi usaha tani kelapa baik secara vertikal berupa diversifikasi produk olahan maupun secara horizontal berupa sosialisasi pola tanaman dengan menggunakan tanaman sela.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Dari hasil penelitian yang berjudul Analisis Respons Penawaran Kelapa di
Indonesia dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: 1. Faktor-faktor yang signifikan memengaruhi luas areal kelapa di Indonesia antara lain luas areal tahun sebelumnya, harga minyak goreng sawit tahun sebelumnya, harga rata-rata pupuk tahun sebelumnya, dan tingkat upah buruh tahun sebelumnya. Sedangkan variabel yang tidak signifikan memengaruhi luas areal kelapa di Indonesia antara lain harga kopra tahun sebelumnya, curah hujan tahun sebelumnya, dan tingkat suku bunga riil tahun sebelumnya. Variabel harga kopra tahun sebelumnya mempunyai tanda yang tidak sesuai dengan teori. Hal ini disebabkan oleh tersubtitusinya peran dari kelapa sebagai bahan baku minyak goreng nabati oleh kelapa sawit. Hal ini membuat petani kelapa merespons dengan cara menanam berbagai tanaman sela di antara tanaman kelapa untuk menutupi kerugian akibat kenaikan harga kopra yang tidak signifikan. Variabel harga pupuk mempunyai tanda yang tidak sesuai dengan teori yang disebabkan kondisi yang terjadi pada petani kelapa di Indonesia, yang sebagian besar adalah perkebunan rakyat yang petaninya masih jarang memupuk tanamannya, adalah berusaha untuk mengganti pupuk urea dengan menggunakan pupuk yang lebih gampang mereka dapatkan yaitu pupuk kompos. Variabel upah buruh mempunyai tanda yang tidak sesuai
dengan teori. Hal ini terkait dengan karakteristik perkebunan kelapa didominasi oleh perkebunan rakyat, sehingga ketika terjadi kenaikan upah buruh, maka petani kelapa akan tenaga kerja yang dipakai akan senantiasa dapat diganti dengan tenaga kerja dalam keluarga. Sehingga kenaikan upah tidak akan menghambat petani untuk menambah areal baru. 2. Faktor yang signifikan memengaruhi produktivitas kelapa di Indonesia adalah produktivitas tahun sebelumnya, harga kopra, harga pupuk, harga pestisida, upah buruh, tingkat curah hujan rata-rata, dan tren waktu. Variabel harga pupuk rata-rata mempunyai tanda yang tidak sesuai dengan teori yang disebabkan oleh kebiasaan petani kelapa di Indonesia yang jarang menggunakan pupuk sehingga kenaikan harga pupuk tidak dapat menurunkan produktivitas kelapa yang memang sudah rendah dan adanya upaya subtitusi pupuk urea dengan pupuk kompos yang dilakukan oleh petani untuk menghemat pengeluaran jika terjadi kenaikan harga pupuk. 3. Respons penawaran kelapa terhadap harga kopra dalam jangka pendek dan panjang bernilai positif dan bersifat inelastis yaitu 0.0284 pada jangka pendek dan 0.0491 pada jangka panjang. Nilai elastisitas yang hanya berasal dari respons produktivitas manandakan bahwa petani hanya merespons penawaran kelapa hanya dari sisi intensifikasi yaitu dengan cara peningkatan produktivitas bukan dari cara ekstensifikasi atau perluasan areal. 4. Dari analisis deskriptif perkembangan komoditas kelapa di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki luas areal
kelapa terluas di dunia. Akan tetapi dari segi produksi Indonesia masih kalah dari Filipina. Hal ini menandakan produktivitas lahan kelapa di Indonesia yang masih belum dioptimalkan. Indonesia merupakan net exporter dari komoditi kelapa. Hal ini ditunjukkan melalui nilai ekspor yang lebih besar dibandingkan dengan nilai impor. Selama ini belum ada kebijakan khusus yang diterapkan pada komoditi ini terkait dengan kebijakan harga output. Status komoditi ini yang bukan merupakan kebutuhan dasar dan tingkat penggunaan per kapita yang rendah membuat intervensi pemerintah dalam komoditas ini sangat terbatas. Sementara untuk kebijakan perdagangan internasional, belum ada kebijakan khusus untuk membatasi ekspor ataupun kebijakan pendukung ekspor. Sebaliknya untuk kegiatan impor, pemerintah melakukan kebijakan bea masuk dan pajak penjualan yang ditujukan untuk melindungi petani dalam negeri. Untuk kebijakan investasi, kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah kebijakan yang bersifat umum seperti menyangkut pembangunan infrastruktur yang tidak dilakukan secara khusus untuk pengembangan investasi agribisnis kelapa. Rekomendasi kebijakan untuk mendukung pengembangan perkelapaan di Indonesia diantaranya kebijakan makro dan perdagangan internasional yang berpihak pada petani kelapa, pembangunan infrastruktur dan kelembagaan yang mendukung dan mempermudah akses petani kepada modal dan informasi, serta memberikan kegiatan-kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan SDM petani.
6.2.
Saran Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa respons areal terhadap harga
bernilai inelastis negatif yang disebabkan tergesernya komoditas ini oleh kelapa sawit dan tingginya konversi lahan. Hal ini menggambarkan kondisi usaha tani kelapa di Indonesia yang memang sudah tidak menaraik lagi bagi petani. Dari hasil temuan itu, penulis menyarankan agar pemerintah lebih mensosialisasikan pengolahan berbagai produk olahan kelapa agar petani yang sebelumnya hanya menjual produknya dalam bentuk kelapa segar dan dan kopra ikut mendapat nilai tambah dari produk-produk olahan kelapa yang sangat beragam. Ditambah lagi harga kopra yang tidak menarik dan juga konversi lahan yang semakin marak terjadi perlu menjadi perhatian pemerintah agar lahan-lahan pertanian sebagai penyuplai bahan makanan dalam negeri tidak terus berkurang. Menindaklanjuti penggunaan pupuk yang kurang terlalu banyak dipakai oleh petani, penulis menyarankan agar diadakan program-program sosialisasi dampak ekonomi dari penggunaan pupuk kimia terhadap produksi kelapa sehingga produktivitas kelapa dapat meningkat. Demikian halnya untuk pestisida dan upah buruh tani di pedesaan yang terbukti mampu menurunkan produktivitas kelapa jika terjadi kenaikan harga masing-masing. Untuk pestisida, pemerintah hendaknya memberikan subsidi harga terhadap input ini dan juga program sosialisasi agar petani kelapa lebih mampu dan mau untuk merawat tanamannya. Sementara untuk buruh, program pelatihan SDM diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dari masingmasing buruh.
Bagi penelitian lanjutan diharapkan agar melakukan penelitian tentang kelapa dengan menggunakan pendekatan (model) yang berbeda, misalnya dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas, CES, ataupun Translog. Kemudian diharapkan juga penelitian lanjutan tentang respons penawaran kelapa untuk daerahdaerah yang spesifik, misalnya sentra-sentra produksi kelapa (Riau, Sulawesi Utara, dan Jawa Timur).
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M dan Abedullah. 1998. “Supply, Demand, and Policy Environment for Pulses in Pakistan.” The Pakistan Development Review, 31 : 35-52. Hardjo, H. 2008. Hasil Susenas 2007 : Konsumsi Sagu Cenderung Meningkat. [www.deptan.go.id]. http://
[email protected]. Direktorat jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. Anonymous. 2009. Budidaya Kelapa (Cocos Nucifera L.). [www.bppt.go.id]. http://Ic.bppt.go.id/iptek/index.php?. [12 Mei 2009]. . 2009. Sejarah Balitka. [www.deptan.go.id]. http://balitka.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view [ 29 Agustus 2009]. Asian and Pasific Coconut Community. 2008. Coconut Statistical Year Book 2007. APCC, Jakarta. Askari, H dan Cummings J. T. 1977. “Estimating Egriculrural Supply Response With The Nerlove Model.” International Economic Review, 18: 257-292. Asnawi, S. Darwis S.N. 1985. Prospek Ekonomi Tanaman Kelapa dan Masalahnya di Indonesia. Balai Penelitian Kelapa, Manado. Asnawi, S. Darwis S.N. 1985. Dampak Ekonomi Pemupukan Kelapa Rakyat di Indonesia. Balai Penelitian Kelapa, Manado. Badan Pusat Statistik. 2009. Berbagai Terbitan. http://www.bps.go.id. [Mei-Juni 2009]. Damanik, S. 2007. “Kajian Penawaran Kelapa untuk Memenuhi Permintaan Industri Minyak Kelapa dan Industri Makanan dan Minuman.” Jurnal Littri, 13: 49-56. Darwis, S. N. 1985. Tanaman Sela di Antara Tamanan Kelapa. Balai Penelitian Kelapa, Manado.
Departemen Pertanian. 2007. Prospek dan Arah pengembangan Agribisnis Kelapa. Edisi Kedua. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Depatemen Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. 2008. Statistik Perkebunan Kelapa Indonesia 2007-2009. Statistik Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Ghatak, S dan K. Ingersent. 1984. Agriculture Land Economic Development. Harvester Press, Brighton. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zain (penerjemah). Erlangga, Jakarta. Juanda, B. 2008. Modul Kuliah Ekonometrika I. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Koutsoyiannis. 1977. Theory of Econometrics. Second Press, New York.
Edition. The Macmillan
Leaver, R. 2004. “Measuring The Supply Response Function of Tobacco in Zimbabwe.” Agrekon. Vol. 44. Lipsey, R. G. 1995. Pengantar Moikroekonomi. Jilid Satu Edisi Sepuluh. Binarupa Aksara, Jakarta. Purwandari, D. 2006. Analisis Respon Penawaran Kelapa di Pulau Jawa. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rientje, S. S. 1990. Analisis Permintaan dan Penawaran Kelapa di Indonesia. [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Santika, R. D. 2004. Analisis Respon Penawaran dan Keberlanjutan Produksi Tebu di Jawa dan Luar Jawa. [Skrisi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Siregar, H. 1993. Model Ekonometrika Penawaran Kelapa dan Ekspor Kopra Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. [Tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Sukamto. 2001. Upaya Peningkatan Produksi Kelapa. Penebar Swadaya, Jakarta. Syafa’at, N, Prajogo U. H, Dewa K. S, Erma M. L, Adreng. P, Jefferson S., Frans B. M. D. 2005. Laporan Akhir Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas
Utama Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Tarigans, D. D. 2005. Diversifikasi Usahatani Kelapa sebagai Upaya untuk Meningkatkan Pendapatan Petani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 4: 71-78. Tomek. W. G. dan Robinson, K. L. 1972. Agricultural Product Prices. Cornell University Press. London. Widianingsih, N. 2001. Analisis Hubungan Produksi Kelapa Varietas Dalam dengan Curah Hujan. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 2. Hasil Estimasi Respon Areal Kelapa Di Indonesia Variable C LOG(A(-1)) LOG(HKPR(-1)/IHPB(-1)) LOG(HMCPO(-1)/IHPB(-1)) LOG(RAIN(-1)) LOG(HPUP(-1)/IHPB(-1)) LOG(HPEST(-1)/IHPB(-1)) LOG(WAGE(-1)/IHPB(-1)) I(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient 2.223380 0.823161 -0.006448 -0.049344 0.026262 0.109475 -0.022302 0.048187 -0.000452 0.995019 0.993486 0.017008 0.007521 98.13236 2.327749
Std. Error t-Statistic 0.606813 3.664027 0.044828 18.36248 0.013794 -0.467450 0.024028 -2.053619 0.025143 1.044534 0.050132 2.183741 0.023716 -0.940379 0.026773 1.799872 0.000350 -1.292994 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.0011 0.0000 0.6441 0.0502 0.3059 0.0382 0.3557 0.0835 0.2074 14.95347 0.210727 -5.093278 -4.693331 649.1919 0.000000
Tabel Lampiran 3. Uji Autokorelasi Respon Areal Kelapa di Indonesia Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
1.001815
Prob. F(2,24)
0.382056
Obs*R-squared
2.696819
Prob. Chi-Square(2)
0.259653
Tabel Lampiran 4. Uji Heteroskedastisitas Respon Areal Kelapa di Indonesia White Heteroskedasticity Test: F-statistic
1.085807
Prob. F(16,18)
0.429887
Obs*R-squared
17.18976
Prob. Chi-Square(16)
0.373422
Tabel Lampiran 5. Uji Multikolinearitas Respon Areal Kelapa Di Indonesia A(t‐ HKPR HMCPO RAIN HPUP(t HPEST WAGE I(t‐ 1) (t‐1) (t‐1) (t‐1) ‐1) (t‐1) (t‐1) 1) 1.0 0.3 A(t‐1) 0 ‐0.48 ‐0.85 0.16 ‐0.31 ‐0.11 0.84 9 ‐ ‐ HKPR (t‐ 0.4 0.4 1) 8 1.00 0.38 ‐0.03 ‐0.05 0.07 ‐0.29 7 ‐ ‐ HMCPO 0.8 0.3 (t‐1) 5 0.38 1.00 ‐0.20 0.67 0.13 ‐0.80 3 RAIN (t‐ 0.1 0.4 1) 6 ‐0.03 ‐0.20 1.00 ‐0.38 0.00 0.32 2 ‐ ‐ HPUP(t‐ 0.3 0.1 1) 1 ‐0.05 0.67 ‐0.38 1.00 0.27 ‐0.49 8 ‐ ‐ HPEST (t‐ 0.1 0.2 1) 1 0.07 0.13 0.00 0.27 1.00 ‐0.13 2 WAGE (t‐ 0.8 0.5 1) 4 ‐0.29 ‐0.80 0.32 ‐0.49 ‐0.13 1.00 3 0.3 1.0 I(t‐1) 9 ‐0.47 ‐0.33 0.42 ‐0.18 ‐0.22 0.53 0
Tabel Lampiran 6. Uji Normalitas Respon Areal Kelapa di Indonesia 8 Series: Residuals Sample 1972 2006 Observations 35
7 6 5 4 3 2 1 0 -0.02
0.00
0.02
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-4.63e-15 -6.36e-05 0.041146 -0.031247 0.014873 0.396591 3.909947
Jarque-Bera Probability
2.125001 0.345591
0.04
Tabel Lampiran 7. Hasil Estimasi Respon Produktivitas Kelapa di Indonesia Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-0.546931
0.422362
-1.294933
0.2063
LOG(Y(-1))
0.421212
0.141568
2.975337
0.0061
LOG(HKPR/IHPB)
0.028386
0.020632
1.375835
0.1802
LOG(HPUP/IHPB)
0.160840
0.062247
2.583898
0.0155
LOG(HPEST/IHPB)
-0.073726
0.038582
-1.910914
0.0667
LOG(WAGE/IHPB)
-0.089970
0.036949
-2.435003
0.0218
LOG(RAIN)
0.059396
0.038935
1.525506
0.1388
T
0.007915
0.001687
4.692584
0.0001
R-squared
0.948061
Mean dependent var
-0.371320
Adjusted R-squared
0.934595
S.D. dependent var
0.116465
S.E. of regression
0.029785
Akaike info criterion
-3.991974
Sum squared resid
0.023953
Schwarz criterion
-3.636466
Log likelihood
77.85954
F-statistic
70.40562
Durbin-Watson stat
2.072800
Prob(F-statistic)
0.000000
Tabel Lampiran 8. Uji Autokorelasi Respon Produktivitas Kelapa di Indonesia Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
1.735988
Prob. F(2,25)
0.196802
Obs*R-squared
4.268028
Prob. Chi-Square(2)
0.118361
Tabel Lampiran 9. Uji Heteroskedastisitas Respon Produktivitas Kelapa di Indonesia White Heteroskedasticity Test: F-statistic
1.551061
Prob. F(14,20)
0.180185
Obs*R-squared
18.21941
Prob. Chi-Square(14)
0.196970
Tabel Lampiran 10. Uji Multikolinearitas Respon Produktivitas Kelapa di Indonesia Y (t‐ 1) HKPR (t) HPUP (t) HPEST (t) WAGE (t) RAIN (t) T Y (t‐1) 1.00 ‐0.59 0.43 0.11 0.22 ‐0.15 0.82 HKPR (t) ‐0.59 1.00 ‐0.05 0.05 ‐0.30 0.03 ‐0.62 HPUP (t) 0.43 ‐0.05 1.00 0.32 ‐0.42 ‐0.34 ‐0.01 HPEST (t) 0.11 0.05 0.32 1.00 ‐0.21 ‐0.03 ‐0.04 WAGE (t) 0.22 ‐0.30 ‐0.42 ‐0.21 1.00 0.28 0.62 RAIN (t) ‐0.15 0.03 ‐0.34 ‐0.03 0.28 1.00 ‐0.04 T 0.82 ‐0.62 ‐0.01 ‐0.04 0.62 ‐0.04 1.00
Tabel Lampiran 11. Uji Normalitas Respon Produktivitas Kelapa di Indonesia 8 Series: Residuals Sample 1972 2006 Observations 35
7 6 5 4 3 2 1 0 -0.05
0.00
0.05
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-7.34e-17 -0.002820 0.054256 -0.071521 0.026543 -0.461295 4.236797
Jarque-Bera Probability
3.472054 0.176219