ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN INDUSTRI KECAP DI INDONESIA
OLEH RINA MARYANI H14103070
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
RINA MARYANI. Analisis Permintaan dan Penawaran Industri Kecap di Indonesia (dibimbing oleh BUNGARAN SARAGIH). Industri kecap merupakan salah satu agroindustri yang penting untuk dikembangkan karena dapat memberikan nilai tambah komoditas kedelai yang mudah rusak, meningkatkan permintaan kedelai yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani, menyerap tenaga kerja, dan menambah devisa negara melalui pemanfaatan peluang ekspor. Permasalahan yang sering dihadapai oleh industri kecap adalah semakin mahalnya harga bahan baku kedelai dan lamanya proses pembuatan kecap yang dapat berlangsung berbulan-bulan. Hal tersebut membuat sebagian pengusaha mengganti bahan baku kedelai dengan bahan-bahan lain yang lebih murah seperti air yang dicampur dengan perasa dan pewarna kecap. Akibatnya, kualitas kecap cenderung menurun atau encer sedangkan kuantitas produksinya meningkat. Sementara itu, perkembangan industri kecap di Indonesia, tumbuh seiring dengan peningkatan konsumsi kecap dalam masyarakat. Namun untuk memenuhi tingginya kebutuhan masyarakat akan produk kecap, Indonesia masih harus mengimpor sebagian supply kecapnya dari luar negeri. Impor kecap tersebut meningkat pada saat produksi kecap dalam negeri juga meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan industri kecap di Indonesia, menganalisis faktor-faktor yang diduga berpengaruh nyata terhadap permintaan dan penawaran kecap di Indonesia, serta mengetahui pengaruh adanya impor dan ekspor kecap terhadap permintaan dan penawaran kecap. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder time series mulai tahun 1988 sampai dengan tahun 2004. Data sekunder yang digunakan diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS). Metode analisis yang digunakan adalah metode Kuadrat terkecil Biasa (Ordinary Least Square/OLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan industri kecap di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang meningkat, baik dilihat dari sisi produksi maupun konsumsi. Peningkatan pada produksi kecap tidak terlepas dari permasalahan yang dihadapi yaitu mahalnya harga bahan baku kedelai serta panjang dan rumitnya proses pembuatan kecap yang membuat sebagian pengusaha mengganti bahan baku kedelai dengan bahan-bahan yang lebih murah, seperti beras, jagung, pewarna maupun perasa kecap. Salah satu penyebab mahalnya harga kedelai adalah produksi kedelai dalam negeri, baik kedelai kuning maupun kedelai hitam, yang masih belum mampu memenuhi tingginya kebutuhan industri yang berbahan baku kedelai, termasuk industri kecap. Produksi kedelai hitam, yang merupakan bahan baku kecap, semakin langka karena kurang mendapat perhatian baik dari petani maupun pemerintah. Peningkatan produksi kecap juga tidak terlepas dari peningkatan konsumsi kecap seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk serta berkembangnya industri pemakai kecap. Namun, karena kecap hanya digunakan sebagai penyedap makanan yang penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari tidak terlalu banyak,
sehingga laju pertumbuhan konsumsi kecap di Indonesia relatif lebih lamban jika dibandingkan dengan pertumbuhan produksinya. Hasil estimasi persamaan permintaan kecap menunjukkan bahwa variabel permintaan kecap tahun sebelumnya dan harga kecap domestik berpengaruh nyata terhadap permintaan kecap, sedangkan variabel harga impor kecap, pendapatan per kapita dan tingkat inflasi tidak berpengaruh nyata. Sementara dari hasil estimasi penawaran kecap diketahui bahwa variabel harga kecap, harga kedelai, upah pekerja, dan tingkat inflasi berpengaruh nyata terhadap penawaran kecap, sedangkan variabel volume ekspor kecap tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata. Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, diketahui bahwa variabel harga impor kecap tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan dan volume ekspor kecap tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata terhadap penawaran, namun memiliki pengaruh yang sesuai dengan hipotesis. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut dapat mempengaruhi baik permintaan maupun penawaran, akan tetapi terdapat alasan lain yang menyebabkan pengaruh kedua variabel tersebut tidak terlihat atau tidak nyata. Selain itu, terdapat dua variabel dalam persamaan penawaran kecap yang tidak sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis, yaitu variabel harga kedelai dan variabel tingkat inflasi yang berpengaruh positif terhadap penawaran kecap. Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini yaitu pemerintah dapat membentuk program kemitraan empat pilar antara pemerintah-lembaga Litbangdunia usaha (industri)-petani. Dengan demikian, diharapkan produksi kedelai hitam dapat ditingkatkan yang akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani di mana hasil panen petani tersebut akan diserap oleh dunia usaha (industri). Hal ini juga dimaksudkan dalam rangka memperkuat ketahanan industri kecap agar tidak mudah terguncang jika terjadi fluktuasi harga bahan baku kedelai. Pemerintah, melalui instansi terkait, sebaiknya lebih memperhatikan lagi proses produksi yang dilakukan produsen kecap. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan sanksi administratif kepada produsen yang terbukti melakukan penyelewengan dalam proses produksi. Dengan demikian, diharapkan para produsen kecap akan lebih memperhatikan proses produksinya dan tidak hanya mementingkan keuntungan semata. Konsumen sebaiknya lebih berhati-hati dalam memilih produk kecap dan jangan hanya tergiur dengan harga yang murah karena harga yang murah belum tentu menjamin bahwa produk tersebut aman untuk dikonsumsi.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Rina Maryani lahir pada tanggal 20 September 1985 di Pamanukan-Subang. Penulis adalah anak tunggal dari pasangan Wihat dan Nemah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan. Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada SDN Kubangsari tahun 1997, kemudian penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Pamanukan, pada tahun 2000 penulis melanjutkan ke SMUN 1 Pamanukan dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). IPB menjadi pilihan dengan harapan penulis dapat mengembangkan pola pikir dan memperoleh ilmu yang lebih banyak serta pengetahuan yang lebih luas. Penulis masuk IPB dan terpilih sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU HASIL KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
Agustus 2007
Rina Maryani H14103070
ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN INDUSTRI KECAP DI INDONESIA
Oleh RINA MARYANI H14103070
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Rina Maryani
Nomor Registrasi Pokok
: H14103070
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Permintaan dan Penawaran Industri Kecap di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. NIP. 130 350 045
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaiakan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Permintaan dan Penawaran Industri Kecap di Indonesia”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis baik pada saat penyusunan skripsi maupun pada saat seminar dan siding hingga skripsi ini diselesaikan. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Orang tua dan keluarga tercinta atas doa, semangat, dukungan, kesabaran serta pengertiannya yang sangat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir Bungaran Saragih, M.Ec, yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 3. Bapak Nunung Nuryartono, Ph.D sebagai penguji utama dalam sidang skripsi. Semua saran dan kritikan dari beliau sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. 4. Bapak Syamsul Hidayat Pasaribu, S.E, M.Si sebagai penguji komisi pendidikan. Terima kasih atas semua saran mengenai perbaikan tata cara penulisan skripsi dan metode analisis yang sesuai dalam skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. 5. Teman-teman Ilmu Ekonomi, Tika, Hany, Dewi, Imas, Diyan, Pritta, Erni, Mega, Andin, Halida, Asih, Tyas dan semua teman IE angkatan 40 yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas persahabatan yang kalian berikan dan kebersamaan yang tidak terlupakan selama empat tahun. Bantuan
dan masukan-masukan dari kalian sangat membantu dalam penyusunan skripsi ini. 6. Teman-teman Wisma MOBster, Luluk, Likah, Uut ,Riri, Dian (B-face) serta semua penghuni MOBster lainnya. Terima kasih atas nasihat, saran, serta dukungan semangat yang telah diberikan sehingga penulis mempunyai keyakinan untuk menyelesaikan skripsi ini. 7. Staf-staf departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan pelayanan dalam persiapan seminar dan sidang. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Tanpa kalian skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Semoga Allah SWT. membalas kebaikan kalian semua. Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor,
Agustus 2007
Rina Maryani H14103070
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv I. PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .........................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................
4
1.3. Tujuan ......................................................................................................
5
1.4. Kegunaan .................................................................................................
6
1.5. Ruang Lingkup .........................................................................................
6
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .......................
7
2.1. Tinjauan Teori ..........................................................................................
7
2.1.1. Definisi Kecap .................................................................................
7
2.1.2. Teori Permintaan dan Penawaran ....................................................
8
2.1.3. Teori Perdagangan Internasional ..................................................... 12 2.2. Penelitian Terdahulu ................................................................................ 15 2.2.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Kecap ............................................. 15 2.2.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Permintaan dan Penawaran ........... 16 2.3. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 18 2.3.1. Fungsi Permintaan ........................................................................... 18 2.3.2. Fungsi Penawaran ........................................................................... 20 2.3.4. Kerangka Pemikiran Konseptual ..................................................... 21 2.4. Hipotesis ................................................................................................... 23 III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 25 3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................................. 25 3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................................... 25 3.3. Model dan Definisi Operasional Peubah .................................................. 26 3.3.1. Uji Kriteria Ekonomi dan Statistik .................................................. 28 3.3.2. Uji Kriteria Ekonometrika .............................................................. 30
xi
3.4. Batasan Operasional ................................................................................. 32 IV. PERKEMBANGAN INDUSTRI KECAP DI INDONESIA ...................... 34 4.1. Sejarah Singkat Industri Kecap ................................................................ 34 4.2. Perkembangan Industri Kecap .................................................................. 35 4.2.1. Produksi .......................................................................................... 35 4.2.2. Produsen .......................................................................................... 39 4.2.3. Permintaan ...................................................................................... 41 4.2.4. Ekspor dan Impor ............................................................................ 45 4.3. Kebijakan Pemerintah .............................................................................. 47 4.3.1. Kebijakan Investasi .......................................................................... 47 4.3.2. Kebijakan Tarif Impor ...................................................................... 47 4.3.3. Kebijakan Mengenai Bahan Baku .................................................... 48 4.4. Standardisasi Kecap ................................................................................. 49 V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN DAN PENAWARAN KECAP ................................................................................. 52 5.1. Hasil Estimasi Parameter Model .............................................................. 52 5.1.1. Uji F ................................................................................................ 52 5.1.2. Uji Autokorelasi .............................................................................. 52 5.1.3. Uji Heteroskedastisitas .................................................................... 53 5.1.4. Uji Multikolinieritas ........................................................................ 54 5.2. Hasil Estimasi Model ............................................................................... 54 5.2.1. Permintaan Kecap ........................................................................... 54 5.2.2. Penawaran Kecap ............................................................................ 57 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 61 6.1. Kesimpulan .............................................................................................. 61 6.2. Saran ......................................................................................................... 62 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 64 LAMPIRAN ....................................................................................................... 67
xii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1.
Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Impor Kecap ........................... 3
1.2.
Perkembangan Ekspor Kecap Indonesia tahun 2000-2004 ..................... 4
4.1.
Tarif Impor Kecap di Indonesia tahun 2003 ........................................... 48
4.2.
Spesifikasi Persyaratan Mutu Kecap Kedele (SNI 01-3543-1994) ........ 50
4.3.
Kriteria Penentuan Kualitas Kedelai ....................................................... 51
5.1.
Hasil Estimasi Model Permintaan Kecap ................................................ 55
5.2.
Hasil Estimasi Model Penawaran Kecap ................................................ 58
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1.
Mekanisme Terjadinya Perdagangan Internasional ................................ 14
2.2.
Pengembangan Kurva Permintaan Pasar dari Kurva-kurva Permintaan Individu ................................................................................ 19
2.3.
Alur Kerangka Pemikiran Konseptual .................................................... 23
4.1.
Perkembangan Produksi Kecap Indonesia Tahun 1990-2004 ................ 38
4.2.
Perkembangan Permintaan Kecap di Indonesia Tahun 1991-2004 ........ 43
4.3.
Perbandingan Laju Pertumbuhan Konsumsi dan Laju Pertumbuhan Produksi Kecap di Indonesia Tahun 1988-2004 ..................................... 44
4.4.
Perkembangan Ekspor dan Impor Kecap Indonesia ............................... 45
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai ........... 68
2.
Proporsi Penggunaan Kedelai Impor Pada Industri Kecap ..................... 68
3.
Kandungan Energi dan Zat Gizi Kecap Kedelai per 100 gr .................... 68
4.
Komposisi Asam Amino Kecap Kedelai (mg/gr Nitrogen Total) .......... 69
5.
Distribusi Pabrik Kecap di Indonesia Berdasarkan Propinsi .................. 69
6.
Jumlah Perusahaan Pada Industri Kecap Menurut Skala Industri .......... 70
7.
Jumlah Perusahaan Pada Industri Kecap Menurut Status Penanaman Modal ...................................................................................................... 70
8.
Sepuluh Eksportir Kecap Utama Dunia Tahun 2004 .............................. 70
9.
Perkembangan Konsumsi, Produksi, Ekspor, dan Impor Kecap serta Pertumbuhannya ...................................................................................... 71
10.
Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kecap ......................................... 72
11.
Hasil Uji Ekonometrika Permintaan Kecap ............................................ 72
12.
Hasil Estimasi Persamaan Penawaran Kecap ......................................... 73
13.
Hasil Uji Ekonometrika Penawaran Kecap ............................................. 73
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tujuan utama pembangunan ekonomi bangsa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Disamping itu, Pembangunan ekonomi sangat berkaitan dengan pembangunan industri. Salah satu kelompok industri yang diharapkan dapat segera dikembangkan adalah agroindustri. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai potensi yang besar dalam menghasilkan produk pertanian dan mempunyai potensi demand potensial terhadap hasil industri yang relatif tinggi. Agroindustri mempunyai peran yang sangat besar dalam pembangunan pertanian di Indonesia terutama dalam rangka transformasi struktur perekonomian dan dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor agroindustri ataupun industri (Yusdja dan Iqbal, 2002). Upaya pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan kegiatan budidaya, tetapi juga kegiatan lain dalam sistem agribisnis secara keseluruhan, mulai dari pengadaan bahan baku, usaha tani, pengolahan, dan pemasaran (Irawati, 1996). Agroindustri
strategis
untuk
dikembangkan
di
Indonesia
karena
peranannya yang besar dalam proses pembangunan dan pengembangan industri nasional. Agroindustri dalam pembangunan nasional adalah pioneer yang didukung oleh sektor pertanian, merupakan pendorong ekspor hasil pertanian, dan substitusi impor (Simatupang dalam Anggono, 1993). Sedangkan peran agroindustri dalam pengembangan industri nasional adalah sebagai pendorong pengembangan aneka industri, terutama industri kecil dan komoditi ekspor,
2
meningkatkan nilai tambah, dan dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar (Hartarto, 1987 dalam Irawati, 1996). Salah satu jenis industri yang dapat dikelompokkan ke dalam agroindustri hilir adalah industri kecap yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku utamanya. Industri kecap menjadi penting untuk dikembangkan karena mampu memberikan nilai tambah komoditas kedelai yang mudah rusak disamping juga dapat meningkatkan permintaan kedelai yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani, menyerap tenaga kerja dan menambah devisa negara melalui pemanfaatan peluang ekspor. Kedelai yang umumnya digunakan pada industri kecap adalah kedelai lokal. Namun, permasalahan yang sering dihadapai oleh agroindustri yang berbasiskan pertanian dalam negeri adalah tidak kontinyunya pasokan, mutu yang rendah, dan jumlah yang tidak mencukupi kebutuhan (Tjitroresmi, 2001). Hal ini terjadi karena budidaya kedelai hitam, yang umumnya digunakan sebagai bahan baku kecap, kurang mendapat perhatian. Penyebabnya adalah diversifikasi pemanfaatan kedelai hitam tidak sebanyak kedelai kuning, sehingga petani merasakan bahwa pemasaran kedelai berkulit kuning lebih mudah dibandingkan kedelai berkulit hitam. Walaupun sebenarnya kedelai hitam memiliki peranan penting pula di sektor industri kecap. Penggunaan kedelai berkulit hitam sebagai bahan pembuatan kecap akan menghasilkan warna dan kualitas kecap yang lebih baik dibandingkan kedelai kuning (Purwanti, 2004). Selain mempunyai peran penting bagi industri kecap, kedelai hitam juga memiliki peluang ekspor yang
3
cukup besar, terutama untuk pasar Jepang. Saat ini budidaya kedelai hitam hanya terpusat di daerah tertentu seperti Jawa, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Bali. Terbatasnya pasokan kedelai di dalam negeri menyebabkan harga kedelai lokal semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2006, saat ini harga kedelai mencapai Rp 5.000 per kilogram. Mahalnya harga bahan baku dan proses pembuatan kecap yang dapat berlangsung berbulan-bulan terkadang membuat sebagian pengusaha mengganti bahan baku kedelai dengan bahan-bahan yang lebih murah, seperti air yang dicampur dengan perasa dan pewarna kecap (Didinkaem, 2007). Kondisi seperti ini menyebabkan kualitas kecap akan menurun atau encer sedangkan kuantitas produksinya meningkat (Afifa, 2006). Tabel 1.1. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Impor Kecap Tahun 1993 1996 1999 2002 2003 2004
Jumlah penduduk (jiwa) 188.753.458 194.717.638 204.783.931 211.315.952 214.373.556 217.072.535
Produksi (kg) 13.398.745 77.596.431 50.361.514 147.322.084 117.046.738 120.057.811
Konsumsi (kg) 36.947.715 78.006.129 76.124.418 106.513.939 101.298.780 102.355.102
Impor (kg) 585.458 1.289.323 996.511 1.812.352 1.593.017 2.338.345
Sumber: BPS, 2004 (diolah).
Disamping itu, adanya peningkatan pada produksi kecap juga tidak terlepas dari permintaan kecap yang terus meningkat, baik permintaan kecap oleh rumah tangga, industri pemakai kecap, maupun permintaan ekspor. Jika ditinjau dari aspek konsumsi, masyarakat Indonesia memiliki tingkat konsumsi kecap yang cukup tinggi. Faktor utama dalam peningkatan konsumsi kecap adalah peningkatan populasi penduduk indonesia dan perkembangan industri pemakai
4
kecap, seperti industri mie instan, restauran, dan lain-lain. Konsumsi kecap juga dapat dilihat dari semakin besarnya jumlah kecap yang diimpor oleh Indonesia. Di sisi lain, terbukanya peluang menembus ekspor membawa dampak yang positif bagi industri kecap Indonesia. Berdasarkan data BPS selama lima tahun terakhir (2000-2004), volume ekspor kecap Indonesia cenderung mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun (Tabel 1.2). Namun secara nominal, nilai ekspor kecap Indonesia justru memperlihatkan kecenderungan yang meningkat. Volume ekspor kecap Indonesia mencapai 6.168 ton dengan nilai US$ 5.086 pada tahun 2004. Data perkembangan ekspor kecap Indonesia dapat diliihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Perkembangan Ekspor Kecap Indonesia Tahun 2000-2004 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004
Volume (kg) 5.049.414 7.610.998 5.538.899 6.172.058 6.168.369
Nilai (US$) 3.208.303 3.343.640 4.101.907 4.352.335 5.086.107
Sumber: BPS, 2004.
1.2. Perumusan Masalah Fenomena industri kecap di Indonesia cukup menarik untuk dicermati, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Jika dicermati dari sisi permintaan, dicerminkan oleh konsumsi masyarakat akan produk kecap yang menunjukkan peningkatan (Tabel 1.1). Berdasarkan data Wartaekonomi (2003), konsumsi kecap per tahun mencapai sekitar 130 juta liter dengan market size Rp 3 triliun. Namun demikian, untuk memenuhi tingginya kebutuhan masyarakat tersebut Indonesia ternyata masih mengimpor. Besarnya impor kecap dari tahun ke tahun
5
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat (Tabel 1.1), meskipun pada saat yang sama juga terjadi aktivitas ekspor kecap. Hal ini diduga kecapkecap yang diekspor memiliki kualitas yang lebih baik sesuai dengan kriteria negara tujuan ekspor. Sementara dari sisi produksi, beberapa permasalahan yang muncul diantaranya yaitu mahalnya biaya produksi (mahalnya harga bahan baku kedelai) dan lamanya proses pembuatan kecap. Hal ini seringkali membuat sebagian pengusaha melakukan kecurangan dengan mengganti bahan baku kedelai dengan bahan-bahan yang lebih murah, sehingga kuantitas produksi terus meningkat namun kualitas kecap menurun. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun pertanyaan sebagai berikut: 1) Bagaimana perkembangan industri kecap di Indonesia? 2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan (dilihat melalui data konsumsi) dan penawaran (dilihat melalui data produksi) kecap di Indonesia?
1.3. Tujuan Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah seperti yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengetahui perkembangan industri kecap di Indonesia. 2) Menganalisis faktor-faktor yang diduga berpengaruh nyata terhadap permintaan dan penawaran kecap di Indonesia.
6
3) Mengetahui pengaruh adanya impor kecap (dilihat melalui harga impor) dan ekspor kecap (dilihat melalui volume ekspor tahun sebelumnya) terhadap permintaan dan penawaran kecap di Indonesia.
1.4. Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pemerintah mengenai keragaman ekonomi kedelai hitam, sehingga akhirnya dapat menjadi stimulus bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan lagi produksi kedelai hitam. Hal ini dikarenakan kedelai hitam mempunyai peranan penting terutama sebagai bahan baku industri kecap. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para produsen kecap dalam menetapkan strategi produksi, khususnya dalam hal proses produksi, dan dapat menjadi bahan informasi serta sebagai literatur dalam penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Ruang lingkup industri kecap dalam penelitian ini adalah industri kecap dengan skala besar dan sedang berdasarkan kode ISIC (International Standard Industry Clasification) 15493 (1998-2004) atau 31241 (1988-1997). Karena Biro Pusat Statistik (BPS) tidak membedakan produksi kecap manis dan kecap asin, maka produk kecap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah produk kecap secara keseluruhan yang dihasilkan oleh perusahaan pada industri kecap di Indonesia tanpa membedakan jenis dan mereknya.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Definisi Kecap Definisi kecap, menurut Standar Industri Indonesia (SII No. 32 Tahun 1974)
0032-74
yang
dikeluarkan
oleh
Departemen
Perindustrian
dan
Perdagangan, adalah cairan kental yang mengandung protein yang diperoleh dari rebusan kedelai yang telah diragikan dan ditambahkan gula, garam serta rempahrempah. Syarat mutunya adalah: 1) Kadar protein mutu I minimal 6 persen dan mutu II minimal 2 persen. 2) Kadar logam-logam berbahaya negatif. 3) Kadar bau, rasa, dan lain-lain adalah normal. Kecap merupakan ekstrak dari hasil fermentasi kedelai yang dicampurkan dengan bahan-bahan lain (gula, garam, dan bumbu) untuk meningkatkan cita rasa masakan. Jenis kedelai yang umum digunakan dalam pembuatan kecap adalah kedelai hitam dan kedelai kuning. Tidak ada perbedaan komposisi diantara keduanya dan perbedaan jenis kedelai tersebut tidak berpengaruh terhadap efektivitas fermentasi. Menutut Utomo dan Nikkuni (2000), dalam proses pembuatan kecap terdapat dua cara fermentasi. Pertama, fermentasi dengan menggunakan Aspergillus pada suhu 20-30oC selama tiga sampai tujuh hari. Hasil kedelai yang terbentuk dari proses fermentasi tersebut dicampur dengan 20-30 persen larutan garam untuk dibawa ke fermentasi cara kedua yaitu dengan larutan garam di
8
bawah 20 persen pada suhu 25-30oC selama 14-120 hari. Kemudian bubur yang telah difermentasi disaring. Terdapat tiga macam kecap berdasarkan kualitasnya. Kualitas pertama, kecap yang mengandung protein lebih dari enam persen. Kualitas kedua, kecap yang mengandung empat sampai enam persen protein. Kualitas ketiga, kecap yang digunakan sehari-hari sebagai bumbu mengandung empat sampai lima persen protein, satu persen lemak, dan sembilan persen karbohidrat (Utomo dan Nikkuni, 2000).
2.1.2. Teori Permintaan dan Penawaran Permintaan adalah banyaknya jumlah barang yang diminta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dan dalam periode tertentu (Putong, 2003). Menurut Lipsey (1995), ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam konsep permintaan. Pertama, jumlah barang yang diminta merupakan kuantitas yang diinginkan (desired). Kedua, apa yang diinginkan merupakan permintaan efektif, artinya merupakan jumlah di mana orang bersedia membelinya pada harga yang mereka harus bayar untuk komoditi tersebut. Ketiga, kuantitas yang diminta merupakan arus pembelian yang kontinyu. Banyaknya komoditi yang akan dibeli semua rumah tangga pada periode waktu tertentu dipengaruhi oleh variabel-variabel berikut ini:
9
1) Pergerakkan di sepanjang kurva permintaan a) Harga komoditi itu sendiri Berdasarkan hipotesis ekonomi dasar, harga suatu komoditi dan kuantitas yang akan diminta berhubungan secara negatif, dengan faktor lain tetap sama. Dengan kata lain, semakin rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang akan diminta untuk komoditi itu akan semakin besar, dan semakin tinggi harga semakin rendah jumlah yang diminta. 2) Pergeseran pada kurva permintaan a) Rata-rata pendapatan rumah tangga Jika rumah tangga menerima rata-rata pendapatan yang lebih besar, maka mereka dapat diperkirakan akan membeli lebih banyak beberapa komoditi (barang normal), walaupun harga komoditi-komoditi itu tetap sama. Kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga akan menyebabkan lebih banyak komoditi yang akan diminta pada setiap tingkat harga yang mungkin. b) Harga-harga lainnya Kenaikan harga barang substitusi suatu komoditi tertentu akan meningkatkan permintaan untuk komoditi tersebut, lebih banyak yang akan dibeli pada setiap tingkat harga. Sedangkan penurunan harga suatu komoditi komplementer akan meningkatkan permintaan untuk komoditi tersebut, lebih banyak yang akan dibeli pada setiap tingkat harga. c) Selera Selera memiliki pengaruh yang besar terhadap keinginan seseorang untuk membeli suatu komoditi pada suatu waktu tertentu. Perubahan selera bisa
10
membutuhkan waktu yang cepat atau lambat. Cepat atau lambat perubahan selera terhadap suatu komoditi dapat meningkatkan permintaan dan lebih banyak barang yang akan dibeli pada tiap tingkat harga. d) Distribusi pendapatan Perubahan dalam distribusi pendapatan akan meningkatkan permintaan untuk komoditi yang dibeli, terutama oleh mereka yang menerima tambahan pendapatan tersebut, dan akan menurunkan permintaan untuk komoditi yang dibeli terutama oleh mereka yang berkurang pendapatannya. e) Jumlah penduduk Pertumbuhan jumlah penduduk tidak secara langsung mempengaruhi permintaan. Akan tetapi permintaan dapat berubah jika penduduk yang bertambah tersebut memiliki daya beli. Tambahan orang berusia kerja biasanya akan menciptakan pendapatan baru sehingga permintaan untuk semua komoditi yang dibeli oleh penghasil pendapatan baru tersebut akan meningkat. Putong (2003) menyatakan bahwa penawaran adalah banyaknya barang yang ditawarkan oleh penjual pada suatu pasar tertentu pada periode tertentu dan pada berbagai macam tingkat harga tertentu. Sementara Lipsey (1995) menyatakan bahwa jumlah yang ditawarkan perusahaan tidak harus merupakan jumlah yang benar-benar terjual atau jumlah yang berhasil dipertukarkan oleh perusahaan. Jumlah komoditi yang bersedia diproduksi dan ditawarkan oleh perusahaan untuk dijual dipengaruhi oleh beberapa variabel penting berikut ini:
11
1) Pergerakkan di sepanjang kurva penawaran a) Harga komoditi itu sendiri Berdasakan hipotesis ekonomi dasar, untuk kebanyakan komoditi, harga komoditi dan kuantitas atau jumlah yang akan ditawarkan berhubungan secara positif, dengan semua faktor yang lain tetap sama. Dengan kata lain, makin tinggi harga suatu komoditi, makin besar jumlah komoditi yang akan ditawarkan, semakin rendah harga, semakin kecil jumlah komoditi yang akan ditawarkan. 2) Pergeseran pada kurva penawaran a) Harga-harga masukan Adanya kenaikan pada harga setiap masukan (bahan baku, tenaga kerja dan mesin) maka makin kecil keuntungan yang akan diperoleh dari memproduksi suatu komoditi, ceteris paribus. Dengan kata lain, semakin tinggi harga setiap masukan mana pun yang digunakan perusahaan, semakin rendah jumlah komoditi yang akan diproduksi dan ditawarkan pada setiap tingkat harga. b) Tujuan perusahaan Dalam teori dasar ilmu ekonomi, perusahaan diasumsikan memiliki satu tujuan tunggal yaitu memaksimumkan laba. Akan tetapi, perusahaan bisa saja memiliki tujuan lainnya atau tujuan sebagai substitusi untuk memaksimumkan laba. Misalkan, jika tujuan perusahaan berubah dari orientasi produksi masal ke orientasi produksi terbatas (tetapi tetap mendapatkan keuntungan yang relatif sama), maka perusahaan atau produsen tidak menambah penawarannya, akan tetapi mengurangi penawarannya sehingga kurva penawaran akan bergeser ke kiri.
12
c) Teknologi Perubahan teknologi apapun yang menurunkan biaya produksi akan menaikan keuntungan yang dapat dihasilkan pada harga tertentu dari komoditi itu. Selama kenaikan keuntungan tersebut diikuti oleh kenaikan produksi berarti semakin
besar
kesediaan
untuk
memproduksi
komoditi
tersebut
dan
menawarkannya untuk dijual pada tiap kemungkinan harga.
2.1.3. Teori Perdagangan Internasional Pada dasarnya perdagangan internasional dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Faktor-faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional antara lain bersumber dari keinginan untuk memperluas pasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan devisa bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan permintaan dan penawaran antar negara, tidak semua negara mampu menyediakan kebutuhan masyarakatnya, serta adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu (Gonarsyah, 1987 dalam Nelly, 2003). Berdasarkan teori keunggulan komparatif David Ricardo, perdagangan internasional dapat terjadi jika suatu negara melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif (Hady, 2004). Secara umum, para ahli ekonomi berpendapat bahwa perdagangan internasional memiliki dampak menguntungkan dalam pembangunan ekonomi
13
suatu negara. Keuntungan dengan adanya perdagangan internasional antara lain (Rubowo,1993): 1) Perluasan pasar barang-barang yang dispesialisasikan, pada akhirnya membuat skala ekonomi akan menurunkan biaya produksi. 2) Menghasilkan devisa yang dapat digunakan untuk membeli barang dan atau jasa dari luar negeri. 3) Sebagai dasar bagi pengembangan industri-industri lain penunjang industri yang menghasilkan barang ekspor (berorientasi ekspor). Salvator (1993) merumuskan model sederhana terjadinya perdagangan internasional sebagai berikut: Sebelum terjadinya perdagangan internasional harga relatif komoditi X di negara A adalah sebesar Pa, sedangkan harga relatif komoditi X di negara B adalah Pb. Pada harga-harga tersebut, baik di negara A maupun negara B, terjadi keseimbangan produksi dan konsumsi. Setelah terjadi perdagangan internasional, harga relatif komoditi X akan terletak di antara Pa dan Pb jika kedua negara tersebut memiliki kekuatan ekonomi yang cukup besar. Jika harga yang berlaku di atas Pa, maka negara A akan memproduksi komoditi X lebih banyak daripada tingkat permintaan (konsumsi) domestiknya. Akibatnya, penawaran meningkat menjadi Q2A dan permintaan menurun menjadi Q1A sehingga terjadi kelebihan penawaran sebesar Q1AQ2A. Kelebihan penawaran tersebut selanjutnya akan diekspor ke negara B. Di lain pihak, jika harga yang berlaku lebih kecil dari Pb, maka negara B akan mengalami peningkatan permintaan sehingga tingkatnya lebih tinggi dari produksi
14
domestiknya. Akibatnya, permintaan di negara B meningkat menjadi Q2B dan penawarannya menurun menjadi Q1B. Dengan demikian, terjadi kelebihan permintaan di negara B sebesar Q1BQ2B. Hal ini akan mendorong negara B untuk mengimpor kekurangan kebutuhnnya atas komoditi X dari negara A. P
S
P S
Pe
P
S
Pb Pe
Pe
Pa
D D 2 1 e QA QAQA Q Negara A (pengekspor)
D Qe
Q
Pasar Internasional
Q1B QeB Q2B Q Negara B (pengimpor)
Gambar 2.1. Mekanisme Terjadinya Perdagangan Internasional Sumber: Salvator, 2003.
Harga yang terjadi di pasar internasional merupakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan mempengaruhi penawaran dunia dan perubahan dalam konsumsi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga dunia. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ekspor dan impor suatu negara sangat ditentukan oleh harga domestik, harga internasional serta keseimbangan permintaan dan penawaran dunia. Selain itu, secara tidak langsung ditentukan pula oleh perubahan nilai tukar (Exchange Rate) atau mata uang suatu negara terhadap negara lain.
15
2.2. Penelitian Terdahulu 2.2.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Kecap Sefiansyah (2004) melakukan penelitian mengenai preferensi dan pola konsumsi kecap rumah tangga di kota Cirebon dengan menggunakan lima metode analisis yaitu metode regresi logistik, metode regresi linier berganda, metode pengurutan prioritas, dan metode analisis deskriptif. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa prioritas yang paling diperhatikan konsumen di dalam melakukan pembelian adalah rasa, aroma dan kemudian secara berturut-turut adalah harga, kekentalan, volume, kemudahan memperoleh dan terakhir adalah kemasan. Pemilihan kecap manis oleh rumah tangga secara nyata dipengaruhi oleh besarnya volume kecap yang biasa dibeli dan frekuensi kecap sebagai bahan tambahan dalam memasak. Sedangkan besarnya jumlah konsumsi kecap manis rumah tangga dipengaruhi secara nyata oleh ukuran keluarga, wilayah dan frekuensi pemakaian kecap dalam makanan sehari-hari. Widyanggari (2005) melakukan analisis mengenai ekuitas merek kecap manis di wilayah Jakarta Pusat. Metode analisis yang digunakan yaitu metode Spearman Brown, Cochran Test, dan Brand Switching Pattern Matrix. Dari hasil analisisnya dapat disimpulkan bahwa kecap manis merek Bango memiliki ekuitas tertinggi, kemudian kecap manis ABC dan Indofood menduduki posisi kedua dengan hasil berimbang, diikuti oleh kecap manis merek Maya dan terakhir Piring Lombok dan Nasional. Sementara berdasarkan metode Cochran Test diperoleh hasil bahwa asosiasi kecap manis secara keseluruhan adalah merek terkenal, mudah didapat, dan harga terjangkau. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
16
bahwa kecap Bango dikesankan sebagai merek yang paling berkualitas, kemudian secara berturut-turut diikuti oleh kecap Indofood, ABC, dan kecap Maya. Penelitian lain mengenai kecap dilakukan oleh Khaerani (2005) mengenai analisis perilaku konsumen dan product positioning kecap manis ABC di Kota Bogor. Metode analisis yang digunakan adalah Importance Performance Analysis, analisis Biplot, dan Model Angka Ideal. Hasil analisis menunjukkan bahwa atribut rasa dan tingkat kekentalan merupakan indikasi penyebab terjadinya pergeseran konsumen dari kecap manis ABC ke kecap manis Bango. Kecap manis Bango merupakan pesaing terdekat bagi kecap manis ABC. Dimana kecap manis Bango memiliki keunggulan dalam hal rasa dan tingkat kekentalan, sedangkan kecap manis ABC unggul dalam hal promosi (iklan), kepopuleran, dan kemudahan memperoleh produk.
2.2.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Permintaan dan Penawaran Nelly (2003) menganalisis mengenai permintaan dan penawaran kayu bulat di Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah Two Stage Least Square (2SLS). Berdasarkan hasil analisis permintaan dan penawaran kayu bulat di Indonesia dapat diketahui bahwa industri pengolahan kayu dalam negeri mengalami over kapasitas sehingga kayu bulat menjadi langka. Keadaan tersebut diperparah dengan pembukaan keran ekspor dimana harga ekspor kayu bulat yang tinggi menjadi insentif yang menarik bagi para pengusaha untuk mengekspor kayu bulat. Kondisi ini dapat memicu penebangan illegal dan memperparah kerusakan hutan yang terjadi. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya melakukan
17
restrukturisasi dan pembatasan perkembangan industri pengolahan kayu. Disamping itu, pembangunan HTI sebaiknya benar-benar diwujudnyatakan dan ekspor kayu bulat seharusnya dihentikan mengingat industri domestik masih kekurangan bahan baku. Ratri (2004) melakukan analisis mengenai permintaan dan penawaran minyak goreng kelapa di Indonesia dengan menggunakan metode 2SLS. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perkembangan industri minyak goreng kelapa berjalan relatif lamban. Hal ini dapat dililihat dari menurunnya jumlah permintaan dan perusahaan minyak goreng kelapa. Lambatnya perkembangan industri minyak goreng kelapa disebabkan oleh menurunnya luas areal perkebunan kelapa, penggunaan kelapa untuk konsumsi lain selain bahan baku minyak goreng kelapa dan hadirnya minyak goreng sawit sebagai barang substitusi minyak goreng kelapa. Hal ini dikarenakan minyak goreng sawit semakin memiliki peranan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia karena harganya relatif lebih murah bila dibandingkan dengan minyak goreng kelapa. Berdasarkan hasil estimasi, persamaan penawaran menunjukan bahwa harga minyak goreng kelapa, harga minyak kelapa kasar dan stok tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata pada penawaran. Sedangkan upah dan trend berpengaruh nyata terhadap penawaran, di mana semua variabel tidak responsif dalam jangka pendek. Sementara hasil estimasi persamaan permintaan dan persamaan ekspor menunjukkan bahwa semua variabel berpengaruh nyata namun tidak responsif dalam jangka pendek.
18
Afifa (2006) melakukan penelitian terhadap permintaan kedelai pada industri kecap di Indonesia dengan menggunakan metode Kuadrat Terkecil Biasa (OLS/ Ordinary Least Square). Hasil estimasinya menunjukkan bahwa sebesar 71,3 persen keragaan permintaan kedelai pada industri kecap dijelaskan oleh keragaan variabel-variabel dari dalam model, sementara sisanya yaitu sebesar 28,7 persen dijelaskan oleh variabel dari luar model seperti menurunnya produksi dalam negeri sehingga impor kedelai selalu meningkat setiap tahunnya, ketidakstabilan kondisi ekonomi di Indonesia, kurangnya penggunaan teknologi untuk menghasilkan benih kedelai yang bermutu dan belum berkembangnya varietas-varietas baru yang diminati oleh petani kedelai yang sesuai dalam penggunaannya pada industri kecap serta mampu mensubstitusikan kedelai impor. Variabel-variabel yang diduga berpengaruh nyata secara positif terhadap model permintaan kedelai pada industri kecap yaitu harga kecap, nilai tukar rupiah, dan jumlah perusahaan kecap. Sedangkan variabel produksi kecap, harga kedelai, permintaan kedelai tahun sebelumnya, dan variabel dummy tidak berpengaruh nyata terhadap model.
2.3. Kerangka Pemikiran 2.3.1. Fungsi Permintaan Kecap merupakan suatu produk yang diproduksi secara massal, artinya kecap diproduksi untuk dipasarkan bukan berdasarkan pesanan. Oleh karena itu, fungsi permintaan kecap dapat diturunkan dari kurva permintaan pasar yang terbentuk dari beberapa kurva permintaan individu.
19
Fungsi permintaan pasar (market demand) untuk sejenis barang tertentu (Xi) adalah penjumlahan dari seluruh permintaan perorangan terhadap barang tersebut. m
dX 1 ∑ = X 1 ( P1 , K , Pm , I 1 ,K , I n )
(2.1)
j =1
dimana X adalah komoditi X; P adalah harga komoditi X; dan I adalah pendapatan. Kurva permintaan pasar untuk Xt dikembangkan dari fungsi permintaan tersebut dengan memvariasikan harga (Pt), cateris paribus. Px
Px
Px
Px*
D x1 0 X 1*
Dx 2
X 1 0 X2 *
(a) Individu 1
X2
(b) Individu 2
MDx 0
X*
X
(c) Permintaan pasar
Gambar 2.2. Pengembangan Kurva Permintaan Pasar dari Kurva-kurva Permintaan Individu Sumber: Nicholson, 2001.
Kurva permintaan pasar merupakan penjumlahan secara horizontal semua kurva permintaan individu. Untuk setiap tingkat harga, kuantitas di pasar merupakan jumlah keseluruhan permintaan individu. Total X = X1 + X2 = Dx1 (Px, Py, I1) + Dx2 (Px, Py, I2) = MDx (Px, Py, I1, I2)
(2.2)
20
dimana: Px
= harga kecap untuk orang pertama,
Py
= harga kecap untuk orang kedua,
I1
= pendapatan orang pertama,
I2
= pendapatan orang kedua,
MDx
= permintaan total kecap di pasar. Fungsi permintaan adalah spesifikasi hubungan antara jumlah kecap yang
diminta dan variabel-variabel yang mempengaruhi permintaan kecap tersebut. Secara sistematis: Q = f (Pkc, Pim, I)
(2.3)
dimana Q adalah jumlah kecap yang diminta; Pkc adalah harga kecap; Pim adalah harga impor kecap sebagai barang pembanding (substitusi); dan I adalah pendapatan.
2.3.2. Fungsi Penawaran Menurut Debertin (1986) dalam Ratri (2004), teori ekonomi produksi pertanian memfokuskan perhatiannya pada situasi pengambilan keputusan yang dilakukan produsen komoditi pertanian yaitu menentukan berapa banyak produksi yang harus dihasilkan untuk memaksimumkan pendapatan usahatani, dalam hal ini usaha tani kedelai sebagai bahan baku utama dalam proses produksi kecap. Produksi suatu komoditi (Q) dalam model agregat merupakan fungsi dari modal (K), tenaga kerja (L), dan biaya tetap (C). Q = f (K, L, C)
(2.4)
21
Jika produsen kecap diasumsikan rasional, maka fungsi keuntungan produksi kecap dapat dirumuskan sebagai berikut: π = P1f(K, L) − vK − wL
(2.5)
dimana P1 adalah harga kecap, vK adalah harga bahan baku yaitu kedelai, dan wL adalah upah pekerja. Untuk dapat memaksimumkan keuntungan maka syarat pertama dan kedua harus terpenuhi, yaitu:
∂π = Pf K − v = 0 ∂K ∂π = Pf L − w = 0 ∂L
(2.6) (2.7)
Berdasarkan fungsi di atas dapat diketahui peubah eksogen dan endogen, yaitu P1, K, L sebagai peubah eksogen dan Q sebagai peubah endogen. Sehingga fungsi penawaran kecap dapat dirumuskan sebagai berikut: Q = f (P1, v, w)
(2.8)
2.3.3. Kerangka Pemikiran Konseptual
Subsektor industri pertanian (agroindustri) merupakan alternatif terbaik untuk dikembangkan karena sesuai dengan tujuan pembangunan nasional yaitu industri yang kuat didukung oleh pertanian yang tangguh. Industri kecap merupakan salah satu industri yang dapat dikelompokkan ke dalam agroindustri hilir. Sebagai salah satu industri yang berbasis pertanian dalam negeri, pengembangan industri kecap menjadi semakin penting untuk meningkatkan permintaan kedelai dan mendorong perkembangan produksi kedelai yang selama bertahun-tahun mengalami penurunan. Meskipun kecap bukanlah merupakan
22
komoditas pangan pokok, namun kecap mampu memberikan andil yang cukup besar dalam meningkatkan asupan gizi dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, kecap merupakan bahan makanan yang paling banyak digunakan. Bahkan bagi sebagian kalangan, kecap dianggap menu wajib yang harus selalu tersedia dalam hidangan sehari-hari. Perkembangan industri kecap tumbuh seiring dengan meningkatnya permintaan akan kecap. Namun, konsumsi kecap yang semakin meningkat tersebut tidak hanya dipenuhi oleh produksi dalam negeri tetapi juga oleh impor. Hal ini dapat terlihat dari semakin banyaknya produk kecap impor yang masuk ke pasaran Indonesia. Di sisi lain, perkembangan produksi kecap tidak hanya ditujukan untuk memenuhi konsumsi kecap dalam negeri tetapi juga untuk ekspor. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui perkembangan industri kecap di Indonesia serta dapat ditentukan faktor-faktor apa saja yang diduga berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran industri kecap di Indonesia. Alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini.
23
Perkembangan industri kecap
Produksi
Ekspor
Konsumsi
Impor
Domestik
Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran kecap
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kecap
Metode Ordinary Least Square (OLS) Gambar 2.3. Alur Kerangka Pemikiran Konseptual
2.4. Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Permintaan kecap tahun sebelumnya (Qdt-1) berpengaruh positif terhadap permintaan kecap tahun sekarang (Qdt). Artinya, adanya kenaikan pada permintaan kecap tahun sebelumnya akan menyebabkan kenaikan pada permintaan kecap tahun sekarang. 2) Harga kecap domestik (Pkct) berpengaruh negatif terhadap permintaan kecap. Artinya, kenaikan harga kecap domestik akan menyebabkan penurunan permintaan kecap.
24
3) Harga kecap impor (Pimt), sebagai barang substitusi, berpengaruh positif terhadap permintaan kecap. Artinya, kenaikan harga kecap impor akan menyebabkan kenaikan permintaan kecap. 4) Pendapatan per kapita (It) berpengaruh positif terhadap permintaan kecap. Artinya, kenaikan pendapatan per kapita akan menyebabkan kenaikan permintaan kecap. 5) Tingkat inflasi (Inft) berpengaruh negatif baik terhadap permintaan maupun penawaran kecap. Artinya, kenaikan tingkat inflasi akan menyebabkan penurunan baik permintaan maupun penawaran kecap. 6) Harga kedelai (Pkdt), sebagai bahan baku, berpengaruh negatif terhadap penawaran kecap (Qst). Artinya, kenaikan harga kedelai akan menyebabkan penurunan penawaran kecap. 7) Upah pekerja (Wt) berpengaruh negatif terhadap penawaran kecap. Artinya, kenaikan upah pekerja akan menyebabkan penurunan penawaran kecap. 8) Volume ekspor tahun sebelumnya (Xt-1) berpengaruh positif terhadap penawaran kecap. Artinya, kenaikan volume ekspor kecap tahun sebelumnya akan menyebabkan kenaikan penawaran kecap.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder time series mulai tahun 1988 sampai dengan tahun 2004. Data sekunder yang digunakan berupa data produksi, konsumsi, upah, pendapatan per kapita serta ekspor dan impor. Data-data yang diperlukan diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS). Selain itu, bahan-bahan lain seperti teori-teori dan literatur yang menunjang penelitian diperoleh dari berbagai perpustakaan (perpustakaan LSI, perpustakaan FEM, dan perpustakaan FAPERTA) maupun dari media internet.
3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat perkembangan industri kecap
di
Indonesia,
sedangkan
analisis
kuantitatif
digunakan
untuk
mengidentifikasikan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi permintaan dan penawaran kecap di Indonesia. Karena keterbatasan data yang tersedia, maka variabel jumlah penggunaan jagung maupun beras (sebagai barang substitusi kedelai yang dapat menyebabkan menurunnya kualitas kecap) tidak dimasukan ke dalam persamaan. Disamping itu, karena penggunaan teknologi oleh suatu perusahaan pada umumnya sulit dikuatifikasikan, maka variabel penggunaan teknologi juga tidak dimasukan ke dalam persamaan. Model persamaan permintaan dan penawaran kecap dapat dirumuskan sebagai berikut:
26
Qdkct = a0 + a1 Pkct + a2 Pimt + a3 It + a4 Qdt-1 + a5 Inft + ut
(3.1)
QSkct = b0 + b1 Pkct + b2 Pkdt + b3 Wt + b4 Xt-1 + b5 Inft+ ut
(3.2)
Qdkct = QSkct
(3.3)
Berdasarkan data pada Lampiran 8, diketahui bahwa data konsumsi (permintaan) dan produksi (penawaran) yang ada tidak menunjukkan kondisi keseimbangan seperti yang telah dirumuskan pada persamaan (3.3) sehingga model persamaan permintaan dan penawaran dalam penelitian ini tidak bisa dianalisis dengan menggunakan model persamaan simultan Two Stage Least Square (TSLS). Oleh karena itu, masing-masing persamaan dalam penelitian ini akan dianalisis secara terpisah dengan menggunakan metode Kuadrat Terkecil Biasa (OLS/Ordinary Least Square) dengan bantuan program E-views versi 4.1 dan Microsoft Excel 2003.
3.3. Model dan Definisi Operasional Peubah Metode OLS digunakan untuk menganalisis fungsi permintaan dan penawaran kecap di Indonesia secara terpisah. Oleh karena itu, model persamaan permintaan dan penawaran dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Qdkct = a0 + a1 Pkct + a2 Pimt + a3 It + a4 Qdt-1 + a5 Inft + ut
(3.4)
QSkct = b0 + b1 Pkct + b2 Pkdt + b3 Wt + b4 Xt-1 + b5 Inft+ ut
(3.5)
dimana: Qdkct
= permintaan kecap pada tahun ke-t (kg),
QSkct
= penawaran kecap pada tahun ke-t (kg),
Pkct
= harga kecap domestik pada tahun ke-t (Rp/kg),
27
Pimt
= harga kecap impor pada tahun ke-t (Rp/kg),
Inft
= tingkat inflasi pada tahun ke-t (%),
It
= pendapatan per kapita penduduk Indonesia pada tahun ke-t (000 Rp),
Qdt-1
= permintaan kecap pada tahun ke-(t-1) (kg),
Pkdt
= harga kedelai pada tahun ke-t (Rp/kg),
Wt
= upah pekerja pada tahun ke-t (000 Rp),
Xt-1
= volume ekspor pada tahun ke-(t-1) (kg),
a, b
= koefisien regresi,
u
= unsur galat. Kemudian, untuk memudahkan analisis, persamaan (3.4) dan (3.5) diubah
ke dalam bentuk log-natural (kecuali variabel yang sudah dinyatakan dalam bentuk persen) menjadi: Ln Qdkct = a0 + a1 Ln Pkct + a2 Ln Pimt + a3 Ln It + a4 Ln Qdt-1 + a5 Inft + ut Ln Q
S
kct
(3.6)
= b0 + b1 Ln Pkct + b2 Ln Pkdt + b3 Ln Wt + b4 Ln Xt-1 + b5 Inft + ut
(3.7)
Bentuk log-natural menunjukkan bahwa besarnya koefisien masingmasing parameter dapat diartikan sebagai elastisitas yang konstan dari masingmasing variabel bebas terhadap variabel terikat. Log-natural mengasumsikan bahwa koefisien elastisitas konstan selama periode observasi, mengimplikasikan bahwa perubahan persentase dari setiap variabel penjelas akan memberikan pengaruh yang konstan terhadap perubahan persentase variabel dependen untuk setiap nilai perubahan variabel penjelas.
28
3.3.1. Uji Kriteria Ekonomi dan Statistik 3.3.1.1. Uji Kriteria Ekonomi Uji kriteria ekonomi digunakan untuk melihat parameter-parameter yang didapatkan dari proses estimasi model dengan melihat tanda dan besarannya, apakah sesuai dengan teori ekonomi atau tidak.
3.3.1.2. Uji Kriteria Statistik Uji kriteria statistik meliputi uji t, uji F, dan uji R2. Uji t atau uji parsial digunakan untuk melihat keabsahan setiap koefisien regresi. Hipotesis: H0: bi ≤ 0, H1: bi > 0, untuk i = 1, 2, 3, …, k, bi : parameter dugaan. Kriteria uji: Probabilitas tstatistik < taraf nyata (α) ; maka tolak H0, Probabilitas tstatistik > taraf nyata (α) ; maka terima H0. Jika nila probabilitas tstatistik lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatifnya diterima. Artinya, secara parsial variabel bebas berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat. Sebaliknya, jika nilai probabilitas tstatistik lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka hipotesis nol diterima dan hipotesis alternatifnya ditolak, artinya secara parsial variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.
29
Uji F digunakan untuk menguji apakah variabel-variabel bebas secara bersama-sama dapat menjelaskan variabel terikat. Hipotesis: H0: bi = 0 ; i = 1, 2, 3, …, k, H1: minimal ada satu koefisien regresi (peubah penjelas) yang tidak sama dengan nol, bi : parameter dugaan. Kriteria uji: Probabilitas Fstatistik > taraf nyata (α) ; maka terima H0, Probabilitas Fstatistik < taraf nyata (α) ; maka tolak H0. Jika nilai probabilitas Fstatistik lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatifnya diterima, yang artinya secara bersama-sama, minimal ada satu variabel bebas yang digunakan berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat. Dan sebaliknya, jika nilai probabilitas Fstatistik lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka hipotesis nol diterima dan hipotesis alternatifnya ditolak. Artinya, secara bersama-sama tidak ada satupun variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Uji R2 digunakan untuk menguji kemampuan garis regresi dalam menjelaskan variasi variabel terikat sebagai proporsi variasi variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas. Nilai R2 berkisar antara 0 hingga 1, semakin mendekati nilai satu berarti model semakin baik.
30
3.3.2. Uji Kriteria Ekonometrika Dalam melakukan estimasi persamaan linear dengan menggunakan metode OLS maka asumsi-asumsi dari OLS harus dipenuhi. Jika asumsi tidak terpenuhi maka tidak menghasilkan nilai parameter yang BLUE (Best Linear Unbiased Estomator). Asumsi-asumsi yang dimaksud adalah: 1. Nilai harapan dari rata-rata kesalahan adalah nol. 2. Variansnya tetap (homoskedastisitas). 3. Tidak ada hubungan antara variabel bebas dan error term. 4. Tidak ada korelasi serial antara error (tidak ada autokorelasi). 5. Pada regresi linear berganda tidak terjadi hubungan antar variabel bebas (tidak ada multikolinieritas).
3.3.2.1. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antara kesalahan (error term) tahun t dengan kesalahan tahun t-1. Salah satu asumsi dasar dari penerapan motode regresi dengan kuadrat terkecil adalah tidak adanya korelasi antar error term. Adanya masalah autokorelasi akan menghasilkan hasil estimasi koefisien yang konsisten dan tidak bias tetapi dengan varian yang besar, atau dengan perkataan lain hasil penafsiran tidak efisien. Nilai standar error hasil estimasi OLS (Ordinary Least Square) akan lebih kecil dibandingkan dengan standar error yang sebenarnya, sehingga cenderung untuk menolak hipotesis nol. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah dengan menggunakan uji Breusch Godfrey Serial Corelation LM Test yang sudah tersedia
31
pada program Eviews versi 4.1. Apabila nilai probabilitas dari uji Breusch Godfrey Serial Corelation LM Test lebih besar dari taraf nyata maka dapat disimpulkan bahwa dalam persamaan tersebut tidak terdapat masalah autokorelasi. Salah satu cara untuk mengatasi masalah autokorelasi yaitu dengan menambahkan variabel AR(n). Mekanisme penambahannya yaitu dimulai dengan AR(1), AR(2), dan seterusnya sampai didapatkan model yang terbaik.
3.3.2.2. Uji Heteroskedastisitas Asumsi yang dipakai dalam penerapan model regresi linier adalah variansnya konstan. Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana asumsi di atas tidak tercapai. Dampak adanya heteroskedastisitas adalah tidak efisiennya proses estimasi, sementara hasil estimasinya sendiri tetap konsisten dan tidak bias. Masalah heteroskedastisitas ini akan mengakibatkan hasil uji t dan F dapat menjadi tidak berguna (misleading). Uji
heteroskedastisitas,
pada
penelitian
ini,
diterapkan
dengan
menggunakan white heteroskedasticity yang tersedia pada program E-views 4.1. Apabila nilai probabilitas dari uji white heteroskedasticity lebih besar dari taraf nyata maka dapat disimpulkan bahwa pada persamaan tersebut tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.
3.3.2.3. Uji Multikolinieritas Multikolinieritas adalah hubungan linier antara variabel-variabel bebas pada persamaan regresi. Akibat hubungan linier dalam satu persamaan regresi,
32
maka nilai koefisien sulit untuk ditentukan atau bahkan jika dalam suatu persamaan regresi terdapat perfect multicolliniarity maka nilai koefisien tidak dapat ditentukan dan nilai standard error menjadi tidak terhingga (infinite). Dalam penelitian ini, uji yang dilakukan untuk melihat permasalahan multikolinieritas didasarkan pada besarnya nilai yang terdapat dalam matriks koefisien korelasi. Kaidah yang biasa digunakan adalah apabila koefisien korelasi antara dua peubah bebas lebih besar dari │0,8│ atau │0,9│ maka multikolinieritas merupakan masalah yang serius.
3.4. Batasan Operasional 1) Permintaan kecap merupakan total konsumsi kecap yang dinyatakan dalam satuan kg. 2) Penawaran kecap merupakan total produksi kecap dan dinyatakan dalam satuan kg. 3) Ekspor kecap merupakan jumlah total kecap yang diekspor dan dinyatakan dalam satuan kg. 4) Harga kecap domestik merupakan harga rata-rata produk kecap yang diperoleh dari hasil bagi antara nilai kecap yang diproduksi dengan banyaknya kecap yang diproduksi. Harga rata-rata tersebut kemudian dideflasi dengan indeks harga konsumen (1993=100) dan dinyatakan dalam satuan rupiah per kg. 5) Harga impor kecap merupakan harga rata-rata produk kecap impor yang diperoleh dari pembagian antara nilai impor kecap, setelah dikalikan dengan nilai tukar tahun berjalan (Rp/US$), dengan banyaknya kecap yang diimpor.
33
Kemudian dideflasi dengan indeks harga konsumen (1993=100) dan dinyatakan dalam satuan rupiah per kg. 6) Upah pekerja merupakan total biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja produksi termasuk uang lembur, bonus, dan lain-lain setelah dideflasi dengan indeks harga konsumen (1993=100) dan dinyatakan dalam satuan ribu rupiah. 7) Pendapatan per kapita penduduk Indonesia merupakan rata-rata pendapatan yang diperoleh penduduk Indonesia dan dinyatakan dalam satuan ribu rupiah. 8) Harga kedelai adalah harga rata-rata kedelai yang digunakan untuk memproduksi kecap baik kedelai domestik maupun kedelai impor. Harga ratarata ini diperoleh dari besarnya nilai kedelai secara keseluruhan yang digunakan untuk memproduksi kecap dibagi dengan banyaknya kedelai secara keseluruhan tersebut. Kemudian dideflasi dengan indeks harga perdagangan besar (1993=100) dan dinyatakan dalam satuan rupiah per kg. 9) Tingkat inflasi merupakan rata-rata laju inflasi tiap tahun yang dinyatakan dalam persen.
IV. PERKEMBANGAN INDUSTRI KECAP DI INDONSIA
4.1. Sejarah Singkat Industri Kecap Kecap adalah sari kedelai yang telah difermentasikan dengan atau tanpa penambahan gula kelapa dan bumbu. Bahan dasar pembuatan kecap umumnya adalah kedelai atau kedelai hitam. Beberapa peneliti menduga bahwa kecap merupakan bumbu masak tertua yang dikenal oleh manusia. Selain digunakan sebagai flavor enhancer (pembangkit selera), diduga kecap juga telah digunakan untuk mencegah kerusakan dan mengawetkan makanan (Beuchat, 1984; Nunomura dan Sasaki, 1986 dalam Sumaryanto, 1998). Cara pembuatan kecap diduga berasal dari daratan Cina yang ditemukan lebih dari 3000 tahun yang lalu. Selanjutnya kecap kedelai masuk ke Jepang dan negara lain di Asia, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri sulit dipastikan kapan pertama kalinya kecap kedelai ini dibuat. Namun, diperkirakan industri kecap di Indonesia telah ada sejak awal tahun 1920 dan pada saat itu hanya terbatas pada industri dengan skala usaha kecil saja. Sejak berdirinya pabrik kecap Cap Kaki Tiga di Mojokerto pada tahun 1922, yang kemudian diikuti oleh kecap Ratu Mojokerto pada tahun 1925 dan kecap Cap Bango pada tahun 1928, industri kecap terus mengalami perkembangan. Sampai saat ini sudah cukup banyak perusahaan kecap yang berkembang di Indonesia, mulai dari perusahaan skala rumah tangga, kecil, menengah hingga perusahaan yang berskala besar.
35
4.2. Perkembangan Industri Kecap 4.2.1. Produksi Kecap Industri kecap merupakan salah satu industri yang mempunyai kaitan erat dan langsung terhadap komoditas kedelai. Kedelai yang umum digunakan dalam industri kecap adalah kedelai hitam. Namun, sebagian pengusaha ada yang menggunakan kedelai kuning. Secara umum, tidak ada perbedaan komposisi zat gizi di antara keduanya, sehingga hal ini tidak berpengaruh terhadap efektivitas fermentasi. Alasan pengusaha lebih memilih menggunakan kedelai hitam dalam proses produksinya karena kedelai hitam dapat menghasilkan citarasa dan aroma yang lebih baik dibandingkan dengan kedelai kuning. Selain itu, diperoleh kenyataan bahwa koji1 yang terbuat dari kedelai kuning lebih mudah mengalami pembusukkan. Sebagian besar proses produksi kecap termasuk dalam kategori industri pengolahan kedelai tradisional. Meskipun dikatakan tradisional, bukan berarti bahwa industri yang termasuk dalam golongan ini diolah secara manual. Istilah tradisional di sini digunakan untuk menunjukkan bahwa tipe dan metode pengolahannya sudah dipraktekkan berabad-abad lamanya dan diwariskan secara turun-temurun kepada generasi berikutnya. Di Indonesia, umumnya kecap diproduksi dengan cara fermentasi tradisional dalam skala industri kecil dengan menggunakan peralatan yang sederhana. Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, saat ini telah banyak terdapat industri yang mengolah kecap dalam skala industri besar yang menggunakan peralatan yang modern (Anggono, 1993). 1 Koji adalah kedelai yang sudah difermentasi dengan kapang (jamur), biasanya jenis aspergillus, yaitu berupa rebusan kedelai yang sudah ditumbuhi jamur. Fermentasi tersebut berlangsung secara spontan antara tiga sampai tujuh hari.
36
Produksi kecap di Indonesia sangat tergantung dari keberadaan bahan baku kedelai. Apabila kedelai sebagai bahan baku mudah didapatkan atau jumlahnya tersedia sesuai dengan kebutuhan, maka akan memperlancar proses produksi yang dilakukan. Biro Pusat Statistik (BPS) tidak membedakan produksi kedelai hitam (Glycin soja) dan kedelai kuning (Glycin max), sehingga data mengenai perbedaan produksi kedua jenis kedelai tersebut tidak diketahui. Berdasarkan data BPS (2005), diketahui bahwa pada tahun 1990 supply kedelai masih mencapai 1,487 juta ton dan mencapai puncak pada tahun 1992 yaitu sebanyak 1,869 juta ton (Lampiran 1.). Namun, pada tahun-tahun berikutnya produksi kedelai terus menurun akibat adanya penurunan pada luas panen kedelai. Padahal kebutuhan kedelai sebagai bahan baku industri terus meningkat. Oleh karena itu, untuk menutupi kekurangan kebutuhan kedelai tersebut pemerintah melakukan impor kedelai. Namun, hal ini mengakibatkan ketergantungan yang serius terhadap kedelai impor, yang akhirnya menurunkan minat petani untuk menanam kedelai. Tingginya impor kedelai di Indonesia terjadi karena kebutuhan Indonesia yang tinggi akan kedelai kuning. Kedelai kuning sebenarnya bukan tanaman asli daerah tropis, sehingga hasilnya selalu lebih rendah daripada di Jepang atau Tiongkok yang merupakan daerah asli tanaman tersebut. Pemuliaan serta domestikasi2 yang dilakukan belum sepenuhnya berhasil mengubah sifat
2
Domestikasi merupakan pengadopsian yang dilakukan manusia terhadap tumbuhan dan hewan dari alam liar ke dalam kehidupan sehari-hari manusia, seperti seleksi, pemuliaan, serta perubahan perilaku atau sifat dari organisme yang menjadi objeknya.
37
fotosensitif3 kedelai kuning. Di sisi lain, kedelai hitam yang tidak fotosensitif kurang mendapat perhatian dalam pemuliaan meskipun dari segi adaptasi lebih sesuai bagi Indonesia (Wikipedia, 2007). Hal ini menyebabkan semakin langkanya kedelai hitam, sementara produksi kedelai kuning sendiri masih belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri akibat lemahnya daya saing petani dalam menghadapi kedelai impor. Kondisi ini mengakibatkan harga kedelai dalam negeri selalu lebih mahal dari kedelai impor. Meskipun pada umumnya kedelai yang digunakan pada industri kecap adalah kedelai lokal, namun sebagian pengusaha ada juga yang menggunakan kedelai impor. Penggunaan kedelai impor secara kotinyu pada industri kecap dilakukan sejak tahun 1997 dengan proporsi penggunaan kedelai impor yang tidak pernah lebih dari 30 persen dari total penggunaan kedelainya (Lampiran 2.). Pada prinsipnya proses pembuatan kecap merupakan fermentasi protein dan karbohidrat menjadi komponen yang lebih sederhana, sehingga menghasilkan aroma dan rasa yang khas. Komponen tersebut adalah protein larut air, asam amino, oligosacharida dan asam laktat. Pemecahan protein ini dilakukan oleh enzim yang dikeluarkan oleh kapang yang terdapat dalam starter yang ditambahkan. Seluruh proses pembuatan kecap dapat berlangsung antara tujuh sampai 10 bulan, tergantung dari kondisi fermentasi dan jenis bahan bakunya. Kecap ini biasanya lebih mahal, karena disamping bahan bakunya cukup mahal juga karena proses pembuatannya yang berlangsung berbulan-bulan.
3 Fotosensitif merupakan kepekaan tanaman terhadap cahaya. Kedelai adalah tanaman berhari pendek, sehingga tanaman kedelai tidak akan berbunga jika lama penyinaran melampaui batas kritis. Hal ini akan berakibat pada hasil produksi kedelai.
38
Proses pembuatan kecap yang begitu panjang, rumit, dan disertai mahalnya harga bahan baku dalam proses produksi tersebut merupakan alasan bagi pengusaha untuk melakukan rekayasa-rekayasa yang kurang baik. Misalnya dengan menambah perasa kecap, menambah bahan pewarna, meskipun sebenarnya proses fermentasinya belum tuntas atau seringkali bahan baku yang seharusnya kedelai digantikan dengan bahan-bahan lain yang lebih murah, misalnya jagung atau beras. Kekurangan protein kedelai tersebut digantikan dengan bahan-bahan lain seperti tulang, kepala atau kulit binatang (Didinkaem, 2007). Di samping itu, ada pula perusahaan yang memangkas jalur fermentasi, sehingga kecap yang dihasilkan tidak lebih dari sirup gula rasa kecap. Dampaknya nilai nutrisi yang dihasilkan sangat kecil bahkan tidak ada (LIPI, 2006). Berdasarkan penelitian Afifa (2006), kondisi seperti ini akan menyebabkan menurunnya kualitas kecap yang dihasilkan atau kecap menjadi encer sedangkan
180000000 160000000 140000000 120000000 100000000 80000000 60000000 40000000 20000000 0 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04
Produksi (kg)
kuantitas produksinya terus meningkat.
Tahun
Gambar 4.1. Perkembangan Produksi Kecap di Indonesia Tahun 1990-2004 Sumber: BPS, 2004 (diolah).
Gambar 4.1 menjelaskan bahwa data perkembangan produksi kecap di Indonesia menunjukkan perubahan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun. Namun,
39
cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan produk tersebut. Pada tahun 1988 produksi kecap Indonesia sebesar 12,713 juta kg dan meningkat pada tahun berikutnya. Kemudian turun kembali pada tahun 1993 menjadi sebesar 13,398 juta kg. Selama periode 1994-2001 produksi kecap terus meningkat. Peningkatan produksi yang cukup drastis terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 158,871 juta kg atau meningkat sebesar 82,64 persen dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 86,984 juta kg pada tahun 2000. Peningkatan produksi yang cukup tinggi pada tahun 2000 diduga sebagai akibat dari semakin banyaknya investor yang masuk dalam industri kecap, khususnya investor asing, hingga tahun 2004 produksi kecap Indonesia mencapai 120,058 juta ton (Lampiran 9.). Penggantian penggunaan jenis bahan baku pada industri kecap lebih banyak dipengaruhi oleh sisi supply bahan bakunya. Penyebab utamanya adalah kurang
diminatinya
budidaya
kedelai
hitam
oleh
petani
serta
belum
berkembangnya varietas-varietas baru yang diminati oleh petani kedelai yang sesuai dengan penggunaannya pada industri kecap serta mampu mensubstitusi kedelai impor.
4.2.2. Produsen Kecap Industri kecap merupakan salah satu industri yang dapat dijalankan dengan berbagai
metode
pengolahan
baik
secara
tradisional
maupun
dengan
menggunakan teknologi yang modern. Secara umum, kecap dapat diproduksi dalam skala usaha kecil atau menengah bahkan rumah tangga. Perusahaan kecap tersebar hampir di seluruh wilayah di Indonesia, baik di perkotaan maupun di
40
pedesaan, dengan skala usaha yang beragam mulai dari skala home industry hingga perusahaan dengan skala modal besar. Produsen di sektor industri kecap dapat dibedakan menjadi empat macam. Pertama, grup bisnis besar berskala nasional dan multinasional. Kedua, perusahaan besar nasional. Ketiga, perusahaan besar berskala regional di kota atau prorinsi tertentu. Keempat, perusahaan rumah tangga yang penyebarannya di wilayah yang lebih sempit lagi (Anonim, 2007). Berdasarkan data Capricorn Indonesia Consult (CIC) tahun 2000 dalam Morina (2004), hingga tahun 2000 terdapat sekitar 339 pabrik kecap dan diperkirakan jumlahnya akan terus meningkat. Total kapasitas produksi pada tahun yang sama mencapai lebih dari 200 juta liter. Namun, jika dilihat dari struktur industrinya maka sebagian besar perusahaan kecap tersebut masih berskala industri kecil, 116 pabrik diantaranya merupakan pabrik kecap dengan kategori sedang dan besar. Pulau Jawa merupakan sentra industri kecap dengan jumlah pabrik pengolahan kecap sebanyak 278 buah, akan tetapi jika dilihat dari kapasitas produksinya maka kapasitas produksi kecap terbesar terdapat di Jawa Barat (Lampiran 5.). Jumlah perusahaan pada industri kecap terus berfluktuasi dari tahun ke tahun (Lampiran 6.). Pada tahun 1996 terdapat 101 perusahaan, yang terdiri dari 12 perusahaan besar dan 89 perusahaan sedang. Kemudian menurun pada tahun 1997 hingga tahun 1999 akibat adanya krisis ekonomi. Perusahaan kecap kembali meningkat pada tahun 2000 menjadi 91 perusahaan. Hingga tahun 2004 jumlah perusahaan kecap di Indonesia mencapai 94 perusahaan, dengan 81 perusahaan berskala sedang dan 13 perusahaan berskala besar. Namun, jumlah perusahaan
41
tersebut tidak mencerminkan jumlah perusahaan kecap sebenarnya.
Hal ini
dikarenakan di Indonesia banyak perusahaan-perusahaan kecap tradisional yang mungkin belum terdaftar tetapi secara akumulatif jumlah produksinya cukup besar.
4.2.3. Konsumsi Kecap Proses pembuatan kecap dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu dengan cara fermentasi, hidrolisis asam, dan kombinasi antara keduanya (Koswara, 1992). Dibandingkan dengan kecap yang dibuat dengan cara hidrolisis, kecap yang berasal dari proses fermentasi biasanya mempunyai flavor dan aroma yang lebih baik. Hal ini diduga merupakan alasan jarangnya ditemukan pembuatan kecap secara hidrolisis asam. Di Indonesia, pembuatan kecap pada umumnya dilakukan secara fermentasi. Pembuatan kecap secara fermentasi pada prinsipnya adalah dengan menggunakan jasa mikroorganisme kapang, khamir (ragi), dan bakteri untuk mengubah senyawa makromolekul kompleks yang ada dalam kedelai (seperti protein, lemak dan karbohidrat) menjadi senyawa yang lebih sederhana, seperti peptida, asam amino, asam lemak dan monosakarida, sehingga zat-zat dalam kecap menjadi mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan oleh tubuh (Astawan, 2004). Dilihat dari kandungan gizinya, kecap kedelai ternyata masih memiliki protein dan kadar abu yang cukup tinggi (Lampiran 3.). Sementara itu, komposisi asam amino pada kecap kedelai sebagian besar didukung oleh asam glutamat,
42
prolin, asam asportat, dan leusin (Lampiran 4.). Asam amino mampu mencegah terjadinya sintesa kolestrol yang berlebihan di dalam hati. Sedangkan protein yang ada di dalam kecap mendorong pengeluaran kolestrol dalam empedu lebih banyak sehingga dikeluarkan dalam usus halus lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa mengkonsumsi kecap tidak hanya sekedar menikmati rasa asin atau manis, akan tetapi karena kecap kedelai memiliki zat gizi yang lengkap dengan asam aminonya (Santoso, 1994). Sedangkan dari segi gizi, saat ini telah ada upaya-upaya untuk menambahkan zat gizi tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh, seperti mineral iodium, zat besi, dan vitamin A. Ketiga zat gizi mikro tersebut sangat berguna bagi kesehatan mengingat masih banyaknya masalah gizi akibat kekurangan zat-zat tersebut. Misalnya gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI), anemia gizi akibat defisiensi zat besi, kekurangan vitamin A yang berdampak luas terhadap pemeliharaan sistem penglihatan (mencegah masalah kebutaan), serta peningkatan sistem pertahanan tubuh terhadap serangan berbagai penyakit infeksi (Astawan, 2004). Di Indonesia, saat ini sektor rumah tangga masih merupakan konsumen kecap terbesar dengan segmen pasar kecap mencapai 80 persen. Sedangkan 20 persen sisanya berasal dari segmen institusi seperti hotel, restoran, dan katering, termasuk di dalamnya yaitu sektor food street vendor (penjual bakso, mie ayam, sate, dan lain-lain) serta industri mie instan. Kecap untuk keperluan segmen institusi memiliki intensitas pembelian yang cukup tinggi.
43
Banyaknya jenis dan merek kecap yang beredar di pasaran memberikan banyak pilihan kepada konsumen untuk memilih produk kecap yang disukainya, termasuk produk kecap impor. Meskipun data riil mengenai konsumsi kecap impor belum ada, namun tendensi penggunaan kecap impor tersebut dapat diamati melalui semakin banyaknya produk kecap impor di pasaran. Hanya saja saat ini penyebaran produk kecap impor tersebut masih terbatas di pasar swalayan ataupun super market. Apabila kualitas kecap Indonesia tidak ditingkatkan atau paling tidak dipertahankan, seperti yang sudah dibahas dalam sub-bab 4.2.1., maka dikhawatirkan akan melemahkan daya saing kecap Indonesia dalam menghadapi produk impor, terlebih lagi jika perdagangan bebas dunia sudah diberlakukan. 120000000 Konsumsi (kg)
100000000 80000000 60000000 40000000 20000000
19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04
19 88
0
Tahun
Gambar 4.2. Perkembangan Konsumsi Kecap di Indonesia Tahun 1991-2004 Sumber: BPS, 2004 (diolah).
Berdasarkan Gambar 4.2 dapat diketahui bahwa konsumsi kecap pada tahun 1988 sebesar 46,374 juta kg dan terus meningkat hingga tahun 1990 menjadi sebesar 57,057 juta kg. Namun pada tahun-tahun berikutnya konsumsi kecap terus menurun hingga mencapai 36,947 juta kg pada tahun 1993. Belum
44
diketahui secara pasti penyebab terus menurunnya konsumsi kecap selama periode 1991-1993.
Pada
tahun
1994
konsumsi
kecap
terus
memperlihatkan
kecenderungan yang meningkat. Hingga tahun 2004 konsumsi kecap mencapai 102,355 juta kg (Lampiran 9.). Peningkatan permintaan kecap tersebut diduga akibat semakin bertambahnya jumlah penduduk, berkembangnya restoranrestoran,
pasar
swalayan,
perubahan
pola
konsumsi
masyarakat
serta
berkembangnya industri makanan yang menggunakan kecap sebagai salah satu komponen bumbu, seperti industri mie instan.
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 -0.2
19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04
Laju Pertumbuhan (%)
1.2
-0.4
Tahun Laju Konsumsi
Laju Produksi
Gambar 4.3. Perbandingan Laju Pertumbuhan Konsumsi dan Laju Pertumbuhan Produksi Kecap di Indonesia Tahun 1988-2004 Sumber: BPS, 2004 (diolah).
Jika dilihat dari laju pertumbuhan produksinya, tingkat konsumsi kecap di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang relatif lebih lamban, meskipun cenderung meningkat (Lampiran 9.). Hal ini karena kecap digunakan hanya sebagai penyedap makanan, sehingga pemakaian kecap dalam masakan seharihari tidaklah terlalu banyak. Faktor yang dianggap paling utama dalam meningkatkan konsumsi kecap tersebut adalah peningkatan populasi penduduk
45
Indonesia dan perkembangan industri pemakai kecap, seperti industri mie instan, restoran, pedagang makanan dan sebagainya.
4.2.4. Ekspor dan Impor Kecap Kecap yang diproduksi di Indonesia, selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga untuk diekspor ke luar negeri. Meskipun jumlah ekspor tersebut relatif masih sedikit, tidak lebih dari lima persen dari total produksi kecap, namun hal ini menunjukkan bahwa produk kecap Indonesia telah diterima oleh masyarakat internasional dan dapat bersaing di pasar internasional. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2007, posisi Indonesia sebagai eksportir kecap pada tahun 2004 telah mencapai peringkat kesembilan di dunia (Lampiran 8.). Keadaan ini merupakan jalan untuk melakukan ekspor kecap dalam jumlah yang lebih besar lagi. Namun demikian, tingkat pemenuhan kebutuhan produk kecap dari impor juga masih cukup tinggi. Hal ini dapat terlihat
8000000 7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04
Quantity (kg)
dari semakin banyaknya produk kecap impor yang masuk ke pasar Indonesia.
Tahun Ekspor
Impor
Gambar 4.4. Perkembangan Ekspor dan Impor Kecap di Indonesia Tahun 1988 2004 Sumber: BPS, 2004 (diolah).
46
Berdasarkan grafik pada Gambar 4.3 dapat diketahui bahwa pada awal tahun 1990-an neraca ekspor-impor kecap Indonesia selalu defisit (Lampiran 9.). Hal ini dikarenakan pada saat itu perusahaan-perusahaan pada industri kecap mayoritas adalah perusahaan home industry maupun perusahaan berskala kecil dan hanya sedikit perusahaan yang berskala besar. Terbatasnya modal yang dimiliki mengakibatkan produk yang dihasilkan juga terbatas, yang akhirnya ekspor pun terbatas karena sebagian besar produksi yang ada digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan kekurangannya ditutupi oleh impor. Setelah tahun 1992, baik ekspor maupun impor kecap Indonesia terus mengalami peningkatan. Peningkatan ekspor yang cukup berarti pada industri kecap diduga akibat adanya peran serta para investor (Lampiran 7.), khususnya investor asing, di bidang industri kecap, sehingga produk yang tadinya tidak bisa menembus pasar ekspor dapat bersaing di pasar internasional. Jenis kecap yang menjadi andalan ekspor Indonesia adalah jenis kecap manis yang sudah diekspor ke berbagai negara diantaranya Australia, Uni Emirat Arab, Fiji, Suriname, Singapura, Hongkong, Kuwait, Brunei Darussalam, Taiwan, Jepang, Selandia Baru, Belanda, dan Kaledonia Baru (BPS, 2004). Sementara itu, peningkatan pada impor kecap diduga akibat semakin banyaknya restoran-restoran yang menyajikan makanan khas suatu negara serta adanya preferensi sebagian konsumen yang lebih memilih kecap impor daripada kecap lokal. Berbeda dengan ekspor, jenis kecap yang menjadi andalan impor Indonesia adalah jenis kecap asin yang antara lain diimpor dari negara Singapura, Cina, Thailand, Jepang, dan Malaysia (BPS, 2004).
47
Tidak adanya tata niaga yang mengatur baik ekspor maupun impor kecap membuat perusahaan mana pun bebas untuk melakukan kegiatan ekspor dan impor kecap. Hal ini merupakan salah satu penyebab yang mendorong peningkatan baik ekspor maupun impor kecap.
4.3. Kebijakan Pemerintah 4.3.1. Kebijakan Investasi Sesuai dengan paket kebijaksanaan pemerintah tentang investasi yang tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) No.1 Tahun 1995 pada bulan Mei (PakMei 1995), disebutkan bahwa investasi dalam industri kecap masih diperuntukkan bagi industri kecil. Akan tetapi agar industri kecil tersebut dapat berkembang, pemerintah memberi kesempatan untuk bekerja sama dengan perusahaan besar atau menengah. Disamping itu, industri kecap juga tidak termasuk ke dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) sebagaimana yang tertuang dalam Keppres RI No. 96 Tahun 2000, sehingga industri kecap terbuka untuk investasi baik dari dalam maupun luar negeri.
4.3.2. Kebijakan Tarif Impor Pada tahun 2000, industri kecap di Indonesia mendapat dukungan dari pemerintah
untuk
tumbuh
dan
berkembang.
Sebelum
diberlakukannya
perdagangan bebas, di mana Indonesia akan lebih terbuka terhadap produk-produk impor, pemerintah menerapkan pajak impor sebesar lima persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen. Penerapan pajak impor dan PPN
48
tidak hanya diberlakukan untuk kecap manis tetapi juga untuk jenis-jenis kecap lainnya. Perlindungan dari pemerintah terhadap industri kecap lebih dikarenakan produsen kecap dalam negeri masih merupakan produsen dengan skala industri kecil. Sedangkan untuk mencegah banyaknya kecap dari luar negeri yang masuk ke Indonesia, pemerintah memberlakukan bea masuk impor yang cukup tinggi. Sementara itu, untuk pelaksanaan impor sendiri tidak ada tata niaga yang mengaturnya, sehingga setiap perusahaan dapat melakukan impor kecap. Tabel 4.1. Tarif Impor Kecap di Indonesia tahun 1993 dan 2003
Jenis Produk Kecap manis Kecap asin Kecap lainnya
1993 Tarif Impor Tarif PPN (%) (%) 30 10 30 10 30 10
2003 Tarif Impor Tarif PPN (%) (%) 5 10 5 10 5 10
Sumber: Tarif Bea Masuk, 2003.
Namun jika dibandingkan dengan tahun 1993, dimana tarif impor yang diberlakukan adalah sebesar 30 persen, maka tarif impor pada tahun 2003 jauh lebih kecil yaitu sebesar lima persen. Hal ini berarti produk dalam negeri menjadi semakin bersaing dengan produk yang berasal dari luar negeri. Sedangkan PPN tidak mengalami perubahan dari tahun 1993 yaitu sebesar 10 persen.
4.3.3. Kebijakan Mengenai Bahan Baku Sebagai salah satu industri yang berbahan baku utama kedelai, maka kegiatan ekonomi pada industri kecap dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan komoditi kedelai. Kebijakan pemerintah
49
berubah setelah tahun 1998, melalui Keppres No. 19 Tahun 1998 pemerintah menghapus monopoli impor kedelai oleh BULOG yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1998. Penghapusan monopoli tersebut sangat berpengaruh terhadap distribusi kedelai dalam negeri. Kedelai impor yang awalnya dimonopoli oleh BULOG sekarang dilepas ke pasar, sehingga para importir bebas melakukan impor kedelai dengan menggunakan lisensi impor dan bebas pula menyalurkannya kepada para pengguna kedelai.
4.4. Standardisasi Kecap Untuk menjaga keseragaman mutu dan kualitas produk maka Departemen Perindustrian mengeluarkan spesifikasi persyaratan mutu kecap kedelai melalui Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3543-1994. Standardisasi ini berlaku untuk kecap kedelai dengan jenis produk kecap manis dan kecap asin tanpa membedakan ukuran kemasan maupun mereknya. Standar ini tidak hanya diberlakukan untuk komoditi kecap yang diekspor ataupun diimpor, tetapi juga diberlakukan terhadap kecap yang di pasarkan di Indonesia. Standar mutu ini hanya membatasi syarat minimal yang harus dipenuhi. Hal ini disebabkan oleh karakteristik mutu kecap yang diperjualbelikan di pasaran dalam negeri maupun pasaran internasional pada kenyataannya sangat bervariasi, misalnya karena perbedaan teknologi pengolahan yang digunakan. Secara rinci mengenai spesifikasi persyaratan mutu kecap kedelai dapat dilihat pada tabel berikut.
50
Tabel 4.2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Kecap Kedelai (SNI 01-3543-1994) No. Uraian
Persyaratan
Satuan
Manis 1. Keadaan : - Bau - Rasa
-
Asin
Normal, khas Normal, khas
Normal, khas Normal, khas
2. Protein (N x 6.25)
%, b/b
Min. 2.5
Min. 4.0
3. Padatan terlarut
%, b/b
Min. 10
Min. 10
4. NaCl (garam)
%, b/b
Min. 30
Min. 5
5. Total gula (dihitung sebagai sakarosa)
%, b/b
Min. 40
Mg/kg Mg/kg
Maks. 600 Maks. 250
Maks. 600 Maks. 250
Mg/kg
Maks. 250
Maks. 250
6. Bahan tambahan makanan : 1. Pengawet - Benzoat - Metil Benzoat para hidroksi benzoat - Propil para hidroksi benzoat 2. Pewarna tambahan
Sesuai SNI 01- Sesuai SNI 010222-1995 0222-1995
7. Cemaran logam : - Pb - Cu - Zn - Sn - Raksa (Hg)
Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg
Maks. 1.0 Maks. 30.0 Maks. 40.0 Maks. 40.0 Maks. 0.5
Maks. 1.0 Maks. 30.0 Maks. 40.0 Maks. 40.0 Maks. 0.5
8. Arsen
Mg/kg
Maks. 0.5
Maks. 0.5
Koloni/gr APM/gr APM/gr Koloni/gr
Maks. 105 Maks. 102 <3 Maks. 50
Maks. 105 Maks. 102 <3 Maks. 50
9. Cemaran mikroba : - Angka Lempeng Total - Bakteri colifurm - E. Coli - Kapang Sumber: bkpjatim, 2007.
Disamping itu, untuk mendapatkan kecap dengan kualitas yang baik dan sesuai dengan kriteria di atas, maka diperlukan syarat mutu biji kedelai yang akan digunakan. Berdasarkan syarat pokok mutu kedelai, tingkat mutu kedelai dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu mutu I, mutu II, dan mutu III (Tabel 4.3).
51
Tabel 4.3. Kriteria Penentuan Kualitas Kedelai No 1 2 3 4 5 6
Kriteria Kadar air maksimum (% bb) Kotoran maksimum (% bobot) Butir rusak (% bobot) Butir keriput (% bobot) Butir belah (% bobot) Butir warna lain (% bobot)
Mutu I 13 1 2 0 1 0
Mutu II 14 2 3 5 3 5
Mutu III 16 5 5 8 5 10
Sumber: SK Mentan No. 501/Kpts/TP. 830/8/1984 dalam Santoso, 1994.
Keterangan:
Kadar air adalah jumlah kandungan air di dalam biji kedelai yang dinyatakan dalam persentase basis basah (bb).
Kotoran adalah benda-benda bukan kedelai seperti batu, tanah, pasir, batang, tangkai, kulit polong dan biji lain.
Butir rusak adalah biji kedelai atau sebagian biji kedelai yang rusak karena faktor-faktor biologik, fisik, mekanik dan proses kimia seperti berkecambah, kutuan, berjamur, busuk, warna, bau, rasa dan bentuk.
Butir keriput adalah biji kedelai yang berubah bentuk menjadi keriput, berasal dari biji muda atau karena pertumbuhannya tidak sempurna.
Butir belah adalah biji kedelai tidak rusak, tetapi kulit biji terkelupas dan keping-kepingnya terlepas.
Butir warna lain adalah butir kedelai yang mempunyai kulit biji berwarna lain dari kedelai normal, misalnya kedelai hitam terdapat kedelai kuning, hijau, dan coklat.
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN DAN PENAWARAN KECAP
5.1. Hasil Estimasi Parameter Model 5.1.1. Uji F Uji F bertujuan untuk mengetahui bahwa variabel-variabel eksogen secara bersama-sama mampu menjelaskan variabel endogen di dalam model dan untuk mengetahui bahwa model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Berdasarkan hasil estimasi uji F pada program Eviews versi 4.1 dapat diketahui bahwa pada persamaan permintaan kecap nilai Fhitung sebesar 20,052 dengan nilai probabilitas sebesar 0,000 (Lampiran 10.) yang nyata pada taraf 10 persen. Sedangkan pada persamaan penawaran kecap, nilai Fhitung sebesar 19,269 dengan nilai probabilitas sebesar 0,003 (Lampiran 12.) dan nyata pada taraf 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama, minimal ada satu variabel bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka model persamaan permintaan dan penawaran kecap layak untuk digunakan pada pembahasan selanjutnya.
5.1.2. Uji Autokorelasi Pengujian ada tidaknya masalah autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji Breusch Godfrey Serial Corelation LM Test yang sudah tersedia dalam program Eviews versi 4.1. Ketika dilakukan pengujian, penulis menambahkan variabel AR(5) pada persamaan penawaran. Hal ini dilakukan
53
untuk mengatasi masalah autokorelasi. Nilai probabilitas Obs*Squared Breusch Godfrey Serial Corelation LM Test pada persamaan permintaan kecap sebesar 0,337 (Lampiran 11.) lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada persamaan permintaan kecap tidak terdapat masalah autokorelasi. Demikian pula halnya pada persamaan penawaran kecap. Nilai probabilitas Obs*Squared Breusch Godfrey Serial Corelation LM Test pada persamaan ini sebesar 0,195 (Lampiran 13.) lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 10 persen. Artinya, persamaan penawaran kecap terbebas dari masalah autokorelasi.
5.1.3. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas digunakan untuk melihat apakah model regresi memenuhi asumsi klasik bahwa model memiliki gangguan yang variansnya sama (homoskedastisitas). Pengujian heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan uji white heteroskedasticity. Nilai probabilitas Obs*Squared white heteroskedasticity pada persamaan permintaan kecap sebesar 0,876 (Lampiran 11.) lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 10 persen. Artinya, pada persamaan permintaan kecap tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Pada persamaan penawaran kecap, nilai probabilitas Obs*Squared white heteroskedasticity sebesar 0,326 (Lampiran 13.) lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada persamaan penawaran kecap tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.
54
5.1.4. Uji Multikolinieritas Uji multikolinieritas digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan linier antara variabel-variabel bebas dalam suatu model persamaan regresi. Ada tidaknya multikolinieritas pada suatu persamaan dapat dilihat melalui matriks koefisien korelasi dari masing-masing persamaan tersebut. Berdasarkan hasil estimasi pada persamaan permintaan kecap (Lampiran 11.) dapat diketahui bahwa semua hubungan antara dua variabel bebas yang terdapat dalam persamaan tersebut memiliki nilai yang tidak lebih dari │0,8│. Hal ini menunjukkan bahwa pada persamaan permintaan kecap tidak terdapat masalah multikolinieritas. Demikian pula pada persamaan penawaran kecap, tidak terdapat masalah multikolinieritas. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 13, dimana semua hubungan antara dua variabel bebas yang digunakan pada persamaan penawaran kecap memperlihatkan nilai yang tidak lebih besar dari│0,8│.
5.2. Hasil Estimasi Model 5.2.1. Permintaan Kecap Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa persamaan permintaan kecap memiliki daya penjelas yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai R2 yaitu sebesar 0,901 yang artinya bahwa sebesar 90,11 persen keragaman dalam variabel terikat mampu dijelaskan oleh variabel-variabel bebas di dalam persamaan dan sisanya sebesar 9,89 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Hasil estimasi persamaan permintaan kecap dapat dilihat pada Tabel 5.3.
55
Tabel 5.1. Hasil Estimasi Model Permintaan Kecap Variable Konstanta Ln Qdt-1 Ln Pkct Ln Pimt Ln It Inft R-squared Adjusted R-squared
Coefficient t-Statistic 0.857 0.436 0.935 5.864 -0.349 -2.857 0.178 1.682 0.222 0.693 -0.004 -1.172 0.901 Prob(F-statistic) 0.856 Durbin-Watson stat
Prob. 0.671 0.000 0.016 0.121 0.502 0.266 0.000 2.011
Berdasarkan hasil uji kriteria ekonomi diketahui bahwa semua variabel bebas pada persamaan permintaan kecap memiliki tanda koefisien yang sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis. Namun berdasarkan hasil uji t-statistik terdapat tiga variabel bebas yang tidak berpengaruh nyata pada taraf 10 persen, yaitu variabel harga kecap impor, pendapatan per kapita dan variabel tingkat inflasi. Berdasarkan Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa variabel permintaan kecap satu tahun sebelumnya (Qdt-1) memiliki pengaruh yang positif terhadap permintaan kecap saat ini dengan nilai koefisien sebesar 0,935, artinya jika terjadi peningkatan pada permintaan kecap tahun sebelumnya sebesar satu persen akan meningkatkan permintaan kecap tahun sekarang sebesar 0,935 persen, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa naik turunnya permintaan kecap tahun sekarang sangat dipengaruhi oleh naik turunnya permintaan kecap tahun sebelumnya. Variabel harga kecap domestik (Pkct) berpengaruh negatif terhadap permintaan kecap dengan nilai koefisien sebesar -0,349. Artinya, jika harga kecap meningkat sebesar satu persen maka permintaan kecap akan menurun sebesar 0,349, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan, dimana jika
56
harga suatu komoditi meningkat maka akan menurunkan permintaan terhadap komoditi tersebut. Jika harga kecap naik, maka harga kecap menjadi lebih mahal dari sebelumnya sehingga sebagian orang akan mengurangi konsumsinya, meskipun sebagian lagi masih tetap mengkonsumsi dalam jumlah yang sama. Hal ini akan berakibat pada menurunnya permintaan terhadap kecap. Variabel harga impor kecap (Pimt), sebagai barang substitusi, memiliki pengaruh yang positif terhadap permintaan kecap, namun tidak berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Hal ini diduga karena jumlah produk kecap impor yang masih terbatas serta penyebarannya yang juga masih terbatas, yaitu di super market atau di pasar swalayan. Selain itu, harga kecap impor juga masih relatif lebih
mahal dibandingkan dengan
harga
kecap
lokal, sehingga yang
mengkonsumsi produk kecap impor umumnya adalah kalangan menengah keatas ataupun restoran-restoran yang umumnya menyajikan masakan khas suatu negara seperti restoran Malaysia ataupun Chinese food restaurant. Variabel pendapatan per kapita (It) penduduk Indonesia berpengaruh positif terhadap permintaan kecap dan tidak nyata pada taraf 10 persen. Hal ini diduga karena sifat kecap itu sendiri yang hanya berfungsi sebagai bumbu masakan ataupun penyedap makanan yang intensitas penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari tidak terlalu banyak, sehingga adanya kenaikan pada pendapatan per kapita tidak secara langsung mengakibatkan peningkatan pada konsumsi kecap. Variabel tingkat inflasi (Inft) mempunyai pengaruh yang negatif terhadap permintaan kecap, namun tidak nyata pada taraf 10 persen. Hal ini menunjukkan
57
bahwa naik turunnya permintaan kecap tidak dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat inflasi. Tetapi, kemungkinan besar, dipengaruhi oleh variabel lain seperti selera, di mana orang yang mempunyai selera yang tinggi terhadap produk kecap akan menganggap bahwa kecap merupakan menu wajib yang harus selalu tersedia dalam hidangan sehari-hari. Sesuai dengan teori permintaan bahwa selera sangat mempengaruhi seseorang dalam membeli suatu komoditi. Pengaruh ini terlihat apabila terdapat perubahan selera terhadap suatu komoditi, maka kurva permintaan akan bergeser ke kanan. Hal ini berakibat pada meningkatnya jumlah komoditi yang akan dibeli pada setiap tingkat harga, ceteris paribus.
5.2.2. Penawaran Kecap Dari hasil analisis regresi pada persamaan penawaran kecap didapatkan nilai R2 sebesar 0,959 yang artinya sebesar 95,85 persen keragaman dalam variabel terikat mampu dijelaskan oleh variabel-variabel bebas di dalam persamaan, sedangkan sisanya sebesar 4,15 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar persamaan. Hasil estimasi model penawaran kecap dapat dilihat pada Tabel 5.2. Berdasarkan hasil uji kriteria statistik diketahui bahwa pada persamaan penawaran kecap hanya variabel penjelas volume ekspor satu tahun sebelumnya yang tidak berpengaruh nyata terhadap penawaran kecap. Sedangkan berdasarkan hasil uji kriteria ekonomi terdapat dua variabel yang memiliki tanda yang tidak sesuai dengan teori ekonomi yaitu variabel harga kedelai, sebagai bahan baku, dan
58
variabel tingkat inflasi. Keterangan lebih jelas dapat dilihat pada uraian di bawah ini. Tabel 5.2. Hasil Estimasi Model Penawaran Kecap Variable C Konstanta Ln Pkct Ln Pkdt Ln Wt Ln Xt-1 Inft R-squared Adjusted R-squared
Coefficient t-Statistic 29.099 1.535 1.227 3.619 0.433 2.104 -0.933 -4.693 0.190 1.137 0.015 3.101 0.883 6.494 0.959 Prob(F-statistic) 0.909 Durbin-Watson stat
Prob. 0.185 0.015 0.089 0.005 0.307 0.027 0.001 0.003 2.432
Variabel harga kecap (Pkct) berpengaruh positif terhadap penawaran kecap dengan nilai koefisien sebesar 0,433. Artinya, apabila terjadi peningkatan harga kecap sebesar satu persen maka penawaran kecap akan meningkat sebesar 0,433 persen, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan teori penawaran yang menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu komoditi, maka semakin banyak jumlah komoditi yang akan ditawarkan, ceteris paribus. Jika harga kecap meningkat maka keuntungan yang dapat diperoleh produsen kecap dipastikan akan meningkat, sehingga produsen akan terdorong untuk meningkatkan produksinya. Variabel harga kedelai (Pkdt) memiliki pengaruh yang positif terhadap penawaran. Hal ini tidak sesuai dengan hukum penawaran yang mengatakan bahwa peningkatan harga bahan baku (input) suatu komoditi akan menurunkan penawaran produk yang bersangkutan karena biaya produksi menjadi lebih mahal, ceteris paribus. Hal ini diduga akibat adanya pertumbuhan yang cukup pesat pada industri kecap serta adanya perubahan kondisi keuangan dari para produsen kecap
59
setiap tahunnya. Semakin berkembangnya sektor food street vendor (pedagang bakso, nasi goreng, sate, dan lain-lain), industri hotel dan restoran serta industri mie instan yang juga semakin berkembang mengakibatkan peningkatan dalam konsumsi kecap, yang berdampak pada peningkatan permintaan kedelai. Sehingga walaupun harga kedelai sebagai bahan baku mengalami kenaikan, produksi kecap dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Disamping itu, hal ini juga diduga akibat adanya penambahan atau penggantian bahan baku yang digunakan oleh industri kecap. Seperti yang telah dijelaskan pada bab IV, bahwa ada sebagian pengusaha yang mengganti bahan baku kedelai dengan beras atau jagung serta menambah bahan-bahan tertentu, seperti pewarna, perasa kecap ataupun bagian tubuh binatang ke dalam proses fermentasi. Jika memang demikian, maka produksi kecap tetap akan berlangsung meskipun harga kedelai meningkat dengan konsekuensi kualitas kecap yang dihasilkan menurun atau tidak sesuai standar yang telah ditentukan SNI. Variabel upah pekerja (Wt) memiliki tanda koefisien negatif sebesar 0,933 yang sesuai dengan teori ekonomi. Artinya, jika upah pekerja pada industri kecap meningkat sebesar satu persen akan mengakibatkan menurunnya penawaran kecap sebesar 0,933 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kenaikan pada tingkat upah akan menaikan biaya produksi, sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah kecap yang diproduksi. Variabel volume ekspor satu tahun sebelumnya (Xt-1) memiliki pengaruh yang positif terhadap penawaran kecap. Namun, variabel ini tidak berpengaruh nyata pada taraf 10 persen terhadap penawaran kecap. Hal ini diduga karena
60
ekspor kecap biasanya hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan berskala besar, di mana proporsi volume ekspor kecap terhadap total produksi kecap tidak lebih dari 5 persen, sehingga adanya kenaikan ekspor tahun sebelumnya tidak terlalu berpengaruh terhadap penawaran kecap secara keseluruhan. Variabel tingkat inflasi (Inft) memiliki nilai koefisien yang bertanda positif yang tidak sesuai dengan teori ekonomi. Penulis belum mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan tingkat inflasi berpengaruh positif terhadap penawaran. Namun, hal ini diduga akibat adanya peningkatan dalam konsumsi kecap, sehingga untuk mengimbangi kenaikan konsumsi tersebut para produsen terus meningkatkan produksinya. Berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, kenaikan permintaan menyebabkan kekurangan, dan konsumen yang tidak terpuaskan menawar dengan harga yang lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan diproduksinya kuantitas yang lebih besar, sehingga pada ekuilibrium yang baru terdapat lebih banyak yang dibeli dan dijual dengan harga yang lebih tinggi (Lipsey, 1995).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Perkembangan industri kecap di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang meningkat, baik dilihat dari sisi produksi maupun konsumsi. Peningkatan pada produksi kecap tidak terlepas dari permasalahan yang dihadapi yaitu mahalnya harga bahan baku kedelai serta panjang dan rumitnya proses pembuatan kecap yang membuat sebagian pengusaha mengganti bahan baku kedelai dengan bahan-bahan yang lebih murah, seperti beras, jagung, pewarna maupun perasa kecap. Salah satu penyebab mahalnya harga kedelai adalah produksi kedelai dalam negeri, baik kedelai kuning maupun kedelai hitam, yang masih belum mampu memenuhi tingginya kebutuhan industri yang berbahan baku kedelai, termasuk industri kecap. Hal ini dapat dilihat dari produksi kedelai hitam, yang merupakan bahan baku kecap, semakin langka karena kurang mendapat perhatian baik dari petani maupun pemerintah. 2. Peningkatan produksi kecap juga tidak terlepas dari peningkatan konsumsi kecap seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk serta berkembangnya industri pemakai kecap. Namun, karena kecap hanya digunakan sebagai penyedap makanan yang penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari tidak terlalu banyak, sehingga laju pertumbuhan konsumsi kecap di Indonesia relatif lebih lamban jika dibandingkan dengan pertumbuhan produksinya. 3. Hasil estimasi persamaan permintaan kecap menunjukkan bahwa variabel permintaan kecap tahun sebelumnya dan harga kecap domestik berpengaruh
62
nyata terhadap permintaan kecap. Sedangkan variabel harga impor kecap, pendapatan per kapita dan tingkat inflasi tidak berpengaruh nyata. Sementara dari hasil estimasi penawaran kecap diketahui bahwa variabel harga kecap, harga kedelai, upah pekerja, dan tingkat inflasi berpengaruh nyata terhadap penawaran kecap. Sedangkan variabel volume ekspor kecap tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata. 4. Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, diketahui bahwa variabel harga impor kecap tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan dan volume ekspor kecap tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata terhadap penawaran, namun memiliki pengaruh yang sesuai dengan hipotesis. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut dapat mempengaruhi baik permintaan maupun penawaran, akan tetapi terdapat alasan lain yang menyebabkan pengaruh kedua variabel tersebut tidak terlihat atau tidak nyata. Selain itu, terdapat dua variabel dalam persamaan penawaran kecap yang tidak sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis, yaitu variabel harga kedelai, sebagai bahan baku, dan variabel tingkat inflasi yang berpengaruh positif terhadap penawaran kecap.
6.2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini antara lain adalah : 1. Pemerintah dapat membentuk program kemitraan empat pilar antara pemerintah-lembaga
Litbang-dunia
usaha
(industri)-petani.
Melalui
63
pembentukan program kemitraan ini diharapkan produksi kedelai hitam dapat ditingkatkan yang akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini juga dimaksudkan untuk memperkuat ketahanan industri kecap agar tidak mudah terguncang jika terjadi fluktuasi harga bahan baku kedelai. 2. Pemerintah, melalui instansi terkait, sebaiknya lebih memperhatikan lagi proses produksi yang dilakukan produsen kecap. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan sanksi administratif kepada produsen yang terbukti melakukan penyelewengan dalam proses produksi. Dengan demikian, diharapkan para produsen kecap akan lebih memperhatikan proses produksinya dan tidak hanya mementingkan keuntungan semata. 3. Konsumen sebaiknya lebih berhati-hati dalam memilih produk kecap dan jangan hanya tergiur dengan harga yang murah karena harga yang murah belum tentu menjamin bahwa produk tersebut aman untuk dikonsumsi. 4. Variabel-variabel yang diduga turut berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran kecap di Indonesia, seperti teknologi, jumlah perusahaan, jumlah penduduk, dan lain-lain dapat dimasukkan untuk penelitian selanjutnya.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Perkembangan industri kecap di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang meningkat, baik dilihat dari sisi produksi maupun konsumsi. Peningkatan pada produksi kecap tidak terlepas dari permasalahan yang dihadapi yaitu mahalnya harga bahan baku kedelai serta panjang dan rumitnya proses pembuatan kecap yang membuat sebagian pengusaha mengganti bahan baku kedelai dengan bahan-bahan yang lebih murah, seperti beras, jagung, pewarna maupun perasa kecap. Salah satu penyebab mahalnya harga kedelai adalah produksi kedelai dalam negeri, baik kedelai kuning maupun kedelai hitam, yang masih belum mampu memenuhi tingginya kebutuhan industri yang berbahan baku kedelai, termasuk industri kecap. Hal ini dapat dilihat dari produksi kedelai hitam, yang merupakan bahan baku kecap, semakin langka karena kurang mendapat perhatian baik dari petani maupun pemerintah. 2. Peningkatan produksi kecap juga tidak terlepas dari peningkatan konsumsi kecap seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk serta berkembangnya industri pemakai kecap. Namun, karena kecap hanya digunakan sebagai penyedap makanan yang penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari tidak terlalu banyak, sehingga laju pertumbuhan konsumsi kecap di Indonesia relatif lebih lamban jika dibandingkan dengan pertumbuhan produksinya. 3. Hasil estimasi persamaan permintaan kecap menunjukkan bahwa variabel permintaan kecap tahun sebelumnya dan harga kecap domestik berpengaruh
62
nyata terhadap permintaan kecap. Sedangkan variabel harga impor kecap, pendapatan per kapita dan tingkat inflasi tidak berpengaruh nyata. Sementara dari hasil estimasi penawaran kecap diketahui bahwa variabel harga kecap, harga kedelai, upah pekerja, dan tingkat inflasi berpengaruh nyata terhadap penawaran kecap. Sedangkan variabel volume ekspor kecap tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata. 4. Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, diketahui bahwa variabel harga impor kecap tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan dan volume ekspor kecap tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata terhadap penawaran, namun memiliki pengaruh yang sesuai dengan hipotesis. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut dapat mempengaruhi baik permintaan maupun penawaran, akan tetapi terdapat alasan lain yang menyebabkan pengaruh kedua variabel tersebut tidak terlihat atau tidak nyata. Selain itu, terdapat dua variabel dalam persamaan penawaran kecap yang tidak sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis, yaitu variabel harga kedelai, sebagai bahan baku, dan variabel tingkat inflasi yang berpengaruh positif terhadap penawaran kecap.
6.2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini antara lain adalah : 1. Pemerintah dapat membentuk program kemitraan empat pilar antara pemerintah-lembaga
Litbang-dunia
usaha
(industri)-petani.
Melalui
63
pembentukan program kemitraan ini diharapkan produksi kedelai hitam dapat ditingkatkan yang akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini juga dimaksudkan untuk memperkuat ketahanan industri kecap agar tidak mudah terguncang jika terjadi fluktuasi harga bahan baku kedelai. 2. Pemerintah, melalui instansi terkait, sebaiknya lebih memperhatikan lagi proses produksi yang dilakukan produsen kecap. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan sanksi administratif kepada produsen yang terbukti melakukan penyelewengan dalam proses produksi. Dengan demikian, diharapkan para produsen kecap akan lebih memperhatikan proses produksinya dan tidak hanya mementingkan keuntungan semata. 3. Konsumen sebaiknya lebih berhati-hati dalam memilih produk kecap dan jangan hanya tergiur dengan harga yang murah karena harga yang murah belum tentu menjamin bahwa produk tersebut aman untuk dikonsumsi. 4. Variabel-variabel yang diduga turut berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran kecap di Indonesia, seperti teknologi, jumlah perusahaan, jumlah penduduk, dan lain-lain dapat dimasukkan untuk penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Afifa, R. D. 2006. Analisis Permintaan Kedelai Pada Industri Kecap di Indonesia [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anggono, Y. 1993. Analisis Agroindustri Kecap [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anonim. 2007. Tiga Kelebihan Kecap Korma. [Indosiar http://blog.indosiar.com/jakartasemarang/ [20 Mei 2007]
online].
Astawan, M. 2004. ”Tiada Hari Tanpa Kecap”. [Kompas Online] http:// www.kompas.com/kesehatan/news/0404/11/143157.htm [11 April 2004]. Biro Pusat Statistik. 2004. Pendapatan Nasional Indonesia. BPS, Jakarta. _______________. 2004. Statistik Ekspor Impor Indonesia. BPS, Jakarta. _______________. 2004. Statistik Industri Besar dan Sedang. BPS, Jakarta. BKPJaTim. 2007. ”Spesifikasi Persyaratan Mutu Kecap Kedelai [SNI 01-35431994]”. [bkpjatim Online] http://www. bkpjatim.or.id/pages/standardisasi/ kecap-kedelai.phb [19 Maret 2007]. Didinkaem. 2007. ”Kecap Bertulang”. [Halalguide Online] http://www.halalguide. info/content/view/811/38/ [2 Februari 2007] FAO. 2007. “Key Statistics of Food and Agriculture External Trade”. [FAO Online] http://www.fao.org/es/ess/toptrade/trade.asp?dir=exp&disp=country bycomm&resource=239&ryear=2004 [17 April 2007] Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Hady, H. 2004. Ekonomi Internasional. Ghalia Indonesia, Jakarta. Irawati. 1996. Analisis Strategi Pemasaran Kecap Pada Perusahaan Kecap Rina Sari [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Khaerani, R. 2005. Analisis Perilaku Konsumen dan Product Positioning Kecap Manis ABC di Kota Bogor [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai: Menjadikan Makanan Bermutu. Sinar Harapan, Jakarta.
65
LIPI. 2006. ”Kecap Bebas Kanker”. [LIPI online]. http://www.lipi.go.id/ www.cgi?berita&1143211824&2&2006& [2 Februari 2006] Lipsey, R. G, P. N. Courant, D. D. Purvis, dan P. O. Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Wasana dan Kirbrandoko [Penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Morina, B.S. 2004. Analisis Strategi Pemasaran Kecap Cap Banteng [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nelly. 2003. Analisis Permitaan dan Penawaran Kayu Bulat Indonesia [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nicholson, W. 2001. Teori Ekonomi Mikro. Deliarnov [Penerjemah]. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Purwanti, S. 2004. ”Kajian Suhu Ruang Simpan Terhadap Kualitas Benih Kedelai Hitam dan Kedelai Kuning”. Ilmu Pertanian, Vol.11, No.1: 22-23. Putong, I. 2003. Ekonomi Mikro dan Makro. Ghalia Indonesia, Jakarta. Ratri, C. D. 2004. Analisis Permintaan dan Penawaran Industri Minyak Goreng Kelapa di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manjemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rubowo, J. S. 1993. Penawaran dan Permintaan Produksi Hasil Hutan: Kayu Lapis Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Salvator, D. 2003. Ekonomi Internasional. Munandar [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Santoso, H. B. 1994. Kecap dan Tauco Kedelai. Kanisius, Yogyakarta. Sefiansyah. 2004. Analisis Preferensi Konsumen dan Pola Konsumsi Kecap Rumah Tangga di Kota Cirebon [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumaryanto, H. 1998. Mempelajari Pengaruh Jenis Rempah-rempah Terhadap Pembentukkan Flavor Kecap Manis [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tjitroresmi, E. 2001. ”Ketergantungan Indonesia Terhadap Pasokan Kedelai dan Jagung Dari Pasar Global”. Di dalam: M. Toha. Globalisasi Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan. P2E-LIPI, Jakarta.
66
Utomo, J. S. dan S. Nikkuni. 2000. ”Soybean foods In Indonesia”. Di dalam: A. A Rahmania dan S. Nikkuni. Soybean Production and Post Harvest Technology: For Inovation in Indonesia, . JIRCAS, Jepang. Widyanggari, E. N. 2005. Analisis Ekuitas Merek Kecap Manis di Wilayah Jakarta Pusat [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wikipedia. 2007. “Kedelai” [Wikipedia Online]. http//id.wikipedia.org/wiki/ kedelai [18 Maret 2007] Yusdja, Y dan M. Iqbal. 2000. “Kebijaksanaan Pembangunan Agroindustri”. Analisis Kebijaksanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pembangunan Agroindustri, 12: 199. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
68
Lampiran 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Luas panen (Ha) 1.334.100 1.368.199 1.665.706 1.470.206 1.406.918 1.447.432 1.279.286 1.119.079 1.095.071 1.151.079 824.484 678.848 544.522 526.796 565.155 621.541
Produksi (ton) 1.487.433 1.555.453 1.869.713 1.708.528 1.564.847 1.680.007 1.517.181 1.356.891 1.305.640 1.382.848 1.017.634 826.932 673.056 671.600 723.483 808.353
Produktivitas (Kw/Ha) 11,15 11,37 11,22 11,62 11,12 11,37 11,86 12,36 11,92 12,01 12,34 12,18 12,36 12,75 12,80 13,01
Sumber: BPS, 2004.
Lampiran 2. Proporsi Penggunaan Kedelai Impor Pada Industri Kecap Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Kedelai impor 704.196 3.000 650.050 2.411.342 10.676 5.046 866.213 727.034
Total penggunaan kedelai 6.678.523 3.592.971 4.713.514 7.917.416 6.336.894 4.952.238 6.387.851 7.789.555
% 10.544 0.083 13.791 30.456 0.168 0.102 13.560 9.333
Sumber: BPS, 2004.
Lampiran 3. Kandungan Energi dan Zat Gizi Kecap Kedelai per 100 gr Zat gizi Kandungan gizi Energi 86 kalori Air 57,4 gr Protein 5,5 gr Lemak 0,6 gr Karbohidrat 15,1 gr Serat 0,6 gr Sumber: Santoso, 1994.
Zat gizi Abu Kalsium Besi Vitamin B1 Vitamin B2
Kandungan gizi 21,4 gr 85 mg 4,4 mg 0,04 mg 0,17 mg
69
Lampiran 4. Komposisi Asam Amino Kecap Kedelai (mg/gr Nitrogen Total) Asam amino (gr) Nitrogen Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Fenilalanin Treonin Triptofan Sumber: Santoso, 1994.
Kecap (mg) 0,92 270 430 350 49 57 210 190 30
Asam amino (gr) Valin Arginin Histidin Alanin Asam asportat Asam glutamat Glisin Prolin Serin
Kecap (mg) 290 110 54 290 480 1.260 260 520 410
Lampiran 5. Distribusi Pabrik Kecap di Indonesia Berdasarkan Propinsi Propinsi
Jumlah Produksi Unit % Sumatera 53 13,28 DI Aceh 1 0,25 Sumatera Utara 12 3,01 Riau 8 2,01 Jambi 1 0,25 Sumatera Selatan 20 5,01 Bengkulu 2 0,50 Lampung 9 2.26 Jawa 278 69,67 DKI Jakarta 18 4,51 Jawa Barat 84 21,05 Jawa Tengah 52 13,03 DI Yogyakarta 8 2,01 Jawa Timur 116 29,07 Bali dan Nusa Tenggara 5 1,25 Bali 2 0,50 Nusa Tenggara 3 0,75 Kalimantan 45 11,28 Kalimantan Barat 22 5,51 Kalimantan Timur 4 1,00 Kalimantan Selatan 19 4,76 Sulawesi 14 3,51 Sulawesi Timur 3 0,75 Sulawesi Tengah 1 0,25 Sulawesi Selatan 10 2,51 Maluku 4 1,00 Maluku 4 1,00 Total 399 100 Sumber: CIC, 2000 dalam Morina, 2004.
Kapasitas Produksi Liter % 14 702 682 6,92 277.750 0,13 5.015.721 2,36 2.055.350 0,97 666.600 0,31 5.355.839 2,52 46.440 0,02 1.284.983 0,60 183.090.059 86,13 41.650.879 19,59 58.802.141 27,66 26.640.880 12,53 593.088 0,28 55.403.070 26,06 1.346.721 0,63 1.222.100 0,57 124.621 0,06 9.645.041 4,54 4.916.003 2,31 2.737.926 1,29 1.991.112 0,94 3.544.950 1,67 165.983 0,08 8.666 0,00408 3.370.300 1,59 233.866 0,11 233.866 0,11 100 212.326.118
Lampiran 6. Jumlah Perusahaan Pada Industri Kecap Menurut Skala Industri Tahun Besar 1996 12 1997 13 1998 9 1999 8 2000 9 2001 14 2002 15 2003 12 2004 13 Sumber: BPS, 2004.
Sedang 89 87 79 77 82 79 83 73 81
Total 101 100 88 85 91 93 98 85 94
Lampiran 7. Jumlah Perusahaan Pada Industri Kecap Menurut Status Penanaman Modal Tahun PMDN PMA Lainnya 1996 9 92 − 1997 9 91 − 1998 2 86 − 1999 3 4 78 2000 5 2 84 2001 11 5 77 2002 6 2 90 2003 4 2 79 2004 6 7 81 Sumber: BPS, 2004. Catatan: PMA : Penanam Modal Asing, PMDN : Penanam Modal Dalam Negeri.
Total 101 100 88 85 91 93 98 85 94
Lampiran 8. Sepuluh Eksportir Kecap Utama Dunia Tahun 2004 Nomor
Negara
1. China 2. Japan 3. United States of America 4. Netherlands 5. Switzerland 6. Thailand 7. Republic of Korea 8. United Kingdom 9. Indonesia 10. Malaysia Sumber: FAO, 2004
Jumlah (ton) 64.453 15.373 12.500 6.870 14.492 8.764 7.155 2.485 6.168 3.417
Nilai (000 US$) 36.810 26.935 17.937 17.624 12.859 7.803 7.071 5.230 5.086 4.567
Harga satuan (US$) 571 1.752 1.435 2.565 887 890 988 2.105 825 1.337
Lampiran 9. Perkembangan Konsumsi, Produksi, Ekspor, dan Impor Kecap serta Pertumbuhannya Tahun 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Konsumsi (kg) 46374522 57057610 62014693 56368729 43337252 36947715 46535528 65505367 76124418 76986754 77547497 78006129 85207303 98910596 106513939 101298780 102355102
Sumber: BPS, 2004 (diolah).
% − 0.230 0.087 -0.091 -0.231 -0.147 0.259 0.408 0.162 0.011 0.007 0.006 0.092 0.161 0.077 -0.049 0.010
Produksi (kg) 12713246 14794080 16779119 14152316 17907834 13398745 26476072 45631740 50361514 67303901 70542210 77596431 86983679 158871272 147322084 117046738 120057811
% − 0.164 0.134 -0.157 0.265 -0.252 0.976 0.724 0.104 0.336 0.048 0.100 0.121 0.826 -0.073 -0.206 0.026
Ekspor (kg) 164441 129543 128734 403392 1040113 1265149 1314248 1549061 2963358 2453776 825801 3097910 5049414 7610998 5538899 6172058 6168369
% − -0.212 -0.006 2.134 1.578 0.216 0.039 0.179 0.913 -0.172 -0.663 2.751 0.630 0.507 -0.272 0.114 -0.0006
Impor (kg) 661377 969760 693968 849301 562418 585458 504693 455427 1289323 1144870 674559 996511 1160505 1438171 1812352 1593017 2338345
% − 0.466 -0.284 0.224 -0.338 0.041 -0.138 -0.098 1.831 -0.112 -0.411 0.477 0.165 0.239 0.26 -0.121 0.468
72
Lampiran 10. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kecap Dependent Variable: Ln Qdt Method: Least Squares Date: 08/18/07 Time: 20:58 Sample: 1988 2004 Included observations: 17 Variable
Coefficient
Konstanta 0.856666 Ln Qdt-1 0.934643 Ln Pkct -0.349192 Ln Pimt 0.177973 0.222243 Ln It Inft -0.003621 R-squared 0.901133 Adjusted R-squared 0.856193 Durbin-Watson stat 2.011371
Std. Error
t-Statistic
1.965574 0.159397 0.122227 0.105802 0.320511 0.003089 F-statistic Prob(F-statistic)
Prob.
0.435835 0.6714 5.863618 0.0001 -2.856918 0.0156 1.682122 0.1207 0.693401 0.5024 -1.172312 0.2658 20.05206 0.000034
Lampiran 11. Hasil Uji Ekonometrika Permintaan Kecap Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.659700 2.173557
Probability Probability
0.540314 0.337301
Probability Probability
0.968066 0.875773
Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.266114 5.223266
Uji Multikolinieritas d
Ln Q t-1 Ln Pkct Ln Pimt Ln It Inft
Ln Qdt-1 1.000000 0.541827 0.567047 0.652136 0.125608
Ln Pkct 0.541827 1.000000 0.660220 0.130970 -0.309755
Ln Pimt 0.567047 0.660220 1.000000 0.289649 -0.171282
Ln It 0.652136 0.130970 0.289649 1.000000 0.383392
Inft 0.125608 -0.309755 -0.171282 0.383392 1.000000
73
Uji Normalitas 6 Series: Residuals Sample 1988 2004 Observations 17
5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
4 3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
-6.85E-15 0.021638 0.169231 -0.281184 0.103218 -0.825630 4.629261 3.811648 0.148700
0.2
Lampiran 12. Hasil Estimasi Persamaan Penawaran Kecap Dependent Variable: Ln Qst Method: Least Squares Date: 08/18/07 Time: 21:16 Sample(adjusted): 1993 2004 Included observations: 12 after adjusting endpoints Convergence achieved after 46 iterations Variable Konstanta Ln Pkct Ln Pkdt Ln Wt Ln Xt-1 Inft AR(5) R-squared Adjusted R-squared Durbin-Watson stat Inverted AR Roots
Coefficient
Std. Error
29.09948 0.432865 1.227028 -0.933195 0.190179 0.014788 0.882533 0.958546 0.908801 2.431632
18.96028 1.534760 0.1854 0.205700 2.104346 0.0893 0.339039 3.619137 0.0152 0.198851 -4.692933 0.0054 0.167329 1.136560 0.3072 0.004769 3.101093 0.0268 0.135898 6.494081 0.0013 F-statistic 19.26918 Prob(F-statistic) 0.002595
.98 -.79 -.57i
.30 -.93i
t-Statistic
.30+.93i
Prob.
-.79+.57i
Lampiran 13. Hasil Uji Ekonometrika Penawaran Kecap Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.561928 3.270308
Probability Probability
0.620478 0.194922
74
Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.963637 11.41850
Probability Probability
0.508221 0.325855
Uji multikolinieritas Ln Pkct 1.000000 0.169427 0.472612 0.316168 -0.309755
Ln Pkct Ln Pkdt Ln Wt Ln Xt-1 Inft
Ln Pkdt 0.169427 1.000000 0.436120 0.007115 -0.217039
Ln Wt 0.472612 0.436120 1.000000 0.788864 0.173358
Ln Xt-1 0.316168 0.007115 0.788864 1.000000 0.190125
Inft -0.309755 -0.217039 0.173358 0.190125 1.000000
Uji Normalitas 5 Series: Residuals Sample 1993 2004 Observations 12
4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3
2
1.46E-09 0.020597 0.286089 -0.257261 0.147735 0.031046 2.651172
1 Jarque-Bera Probability
0 -0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
Keterangan Simbol: Ln Qdt
= Permintaan Kecap
Ln QDt-1 = Permintaan Kecap Tahun Sebelumnya Ln Pkct
= Harga Kecap Domestik
Ln Pimt
= Harga Impor Kecap
Ln It
= Pendapatan per Kapita
Inft
= Tingkat Inflasi
Ln QSt
= Penawaran Kecap
Ln Pkdt
= Harga Kedelai
Ln Wt
= Upah Pekerja
Ln Xt-1
= Volume Ekspor Tahun Sebelumnya
0.062768 0.969103