ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAYA SAING DAN IMPOR SUSU INDONESIA PERIODE 1976-2005
OLEH SYARIFAH AMALIAH H14103129
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
SYARIFAH AMALIAH. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing dan Impor Susu Indonesia Periode 1976-2005 (dibimbing oleh IDQAN FAHMI). Merujuk pada definisi pertanian dalam arti luas, peternakan yang merupakan salah satu subsektor yang tergabung dalam integrasi tersebut mempunyai potensi bernilai untuk dikembangkan. Salah satu komoditas yang telah dikenal luas oleh masyarakat adalah susu. Realitas yang terjadi, besarnya potensi permintaan akan susu tersebut tidak mampu dipenuhi oleh kapasitas produksi nasional (excess demand). Melalui mekanisme perdagangan internasional, strategi yang ditempuh adalah dengan mengizinkan aliran impor susu masuk untuk menutupi kondisi excess demand baik dari industri pengolahan susu (IPS) sebagai bahan baku untuk diolah lebih lanjut, maupun konsumen akhir. Isu krusial yang menjadi benang merah menghadapi fenomena peningkatan impor susu tersebut adalah daya saing (competitiveness), terlebih pasca penghapusan kebijakan rasio impor di tahun 1998. Metode Penelitian yang digunakan terdiri atas: Pertama, metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan Porter’s Diamond dijadikan alat analisis untuk menganalisa kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu domestik di tengah serbuan impor susu pasca penghapusan kebijakan rasio impor. Kedua, analisis faktor–faktor yang mempengaruhi impor susu baik dalam jangka panjang maupun pendek diestimasi secara kuantitatif dengan metode Engle-Granger Cointegration dan Error Correction Model (ECM). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi daya saing susu domestik melalui pendekatan Porter’s Diamond menghasilkan implikasi penelitian bahwa kelemahan mendasar daya saing susu domestik terletak pada kondisi faktor. Skala usaha yang tidak ekonomis dengan bentuk usaha perseorangan dan rata-rata kepemilikan sapi perah sebanyak tiga sampai empat ekor, komposisi ketenagakerjaan yang didominasi pekerja harian dengan tingkat pendidikan rendah, dan teknologi yang bersifat konvensional berkontribusi terhadap rendahnya kapasitas produksi susu domestik. Sebaliknya, faktor yang diduga berkontribusi besar terhadap kondisi daya saing adalah kondisi permintaan. Permintaan akan susu domestik sebagai permintaan turunan atas produk susu olahan distimulasi oleh peningkatan pendapatan perkapita masyarakat, peningkatan populasi dan urbanisasi, peningkatan awareness akan manfaat susu, dan peningkatan persaingan antar IPS untuk menghasilkan produk susu olahan yang terdiferensiasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Industri pendukung dan terkait melibatkan peranan koperasi primer peternak dihadapkan pada permasalahan mismanajemen dan pemborosan akibat diversifikasi usaha yang tidak relevan dan menjadi biaya yang besar bagi koperasi. Kondisi strategi, struktur, dan persaingan antara susu domestik dan
impor belum kondusif untuk meningkatkan daya saing susu domestik. Hal ini dikarenakan harga susu impor lebih kompetitif dengan spesifikasi kualitas yang lebih unggul. Ketergantungan pemasaran susu kepada IPS membuat bargaining position GKSI sebagai representasi peternak sapi perah menjadi lemah dalam menetapkan harga susu domestik. Intervensi pemerintah melalui penghapusan kebijakan rasio impor memberikan pengaruh yang beragam bagi setiap determinan. Implikasi yang menarik dalam penelitian ini adalah peningkatan persaingan menyebabkan keluarnya usaha yang tidak mampu bersaing meningkatkan efisiensi agregat usaha peternakan sapi perah. Determinan kesempatan dengan indikator pergerakan nilai tukar riil Rupiah mempengaruhi daya saing susu domestik. Impor susu Indonesia dari sisi permintaan (import demand) pada jangka panjang dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil susu impor, harga riil susu domestik, nilai tukar riil Rupiah, dan pendapatan perkapita dan pengaruh yang dapat diidentifikasi dalam persamaan tersebut konsisten dengan hipotesis penelitian yang diajukan. Produksi susu domestik tidak mempengaruhi impor susu pada jangka panjang. Hal ini diduga karena terdapat variabel antara yang tidak mampu dijelaskan oleh model persamaan yang dibangun. Impor susu pada jangka pendek dipengaruhi secara siginifikan oleh produksi susu domestik, harga riil susu impor lag pertama, pendapatan perkapita saat ini dan lag ketiga, nilai tukar riil Rupiah pada lag kedua serta dummy penghapusan kebijakan rasio impor. Penghapusan kebijakan rasio diterapkan pada waktu yang relatif bersamaan dengan krisis ekonomi 1997, oleh karena itu efek netto peningkatan impor susu yang terjadi relatif kecil dalam jangka pendek. Harga riil susu domestik tidak berpengaruh terhadap impor susu karena bargaining position GKSI masih lemah dalam negosiasi penetapan harga dengan IPS. Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan oleh penelitian ini meliputi: Pertama, upaya peningkatan produksi susu domestik dalam jangka pendek. Kedua, penguatan bargaining postion GKSI dalam penetapan harga susu domestik. Ketiga, efek penghapusan kebijakan rasio impor yang ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 1998 berupa peningkatan volume impor susu dapat diatasi dengan exit strategy peningkatan produksi susu domestik. Saran yang dapat direkomendasikan kepada pihak terkait dalam rangka peningkatan daya saing susu domestik diantaranya adalah pemerintah perlu memberikan dukungan nyata dalam rangka mengembangkan usaha peternakan sapi perah pada khususnya. Sementara saran untuk penelitian lebih lanjut adalah menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga riil susu domestik sebagai sebuah proxy yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi daya saing susu domestik. Variabel harga riil susu domestik merupakan salah satu variabel yang responsif terhadap impor susu pada jangka panjang, sehingga implikasi penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi harga riil susu domestik melalui sistem persamaan simultan diharapkan dapat membuahkan rekomendasi kebijakan yang lebih baik bagi peningkatan daya saing susu domestik.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Syarifah Amaliah
Nomor Registrasi Pokok
: H14103129
Departemen
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing dan Impor Susu Indonesia Periode 1976 – 2005
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Ir. Idqan Fahmi, M.Ec NIP. 131 803 657
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Ir. Rina Oktaviani, M.S., Ph.D NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAYA SAING DAN IMPOR SUSU INDONESIA PERIODE 1976-2005
Oleh SYARIFAH AMALIAH H14103129
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2008
Syarifah Amaliah H14103129
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Syarifah Amaliah adalah puteri sulung dari tiga bersaudara pasangan Ir. H. Ayip Huda Rughby (Alm) dan Hj. Euis Ratna Suminar. Penulis lahir pada tanggal 28 Juli 1984 di Bogor, Jawa Barat. Riwayat pendidikan penulis dimulai ketika bersekolah di TK Amaliah Ciawi Bogor, kemudian pada tahun 1996 penulis menamatkan pendidikannya di SD Amaliah Ciawi Bogor. Tahun 1999 lulus dari SLTPN I Bogor, dilanjutkan dengan bersekolah di SMUN I Bogor dan lulus tahun 2002. Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada masa perkuliahan, penulis aktif dalam Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan bergabung dengan kepanitian beberapa acara himpunan profesi.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas curahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing dan Impor Susu Indonesia Periode 19762005”. Penulis sadar bahwa pencapaian ini bukan karya yang luar biasa, namun melalui karya ini penulis berharap agar dalam proses penyusunan hingga hasil yang dicapai dapat dijadikan pembelajaran bagi penulis sendiri maupun pembaca. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada: 1. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan, dan pembelajaran yang sangat berarti. 2. Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen penguji yang sangat meneladani. 3. Jaenal Effendi, MA selaku dosen komisi pendidikan yang telah banyak memberikan masukan tata cara penulisan. 4. Ir. H. Ayip Huda Rughby (Alm) sebagai inspirator terbesar. 5. Hj. Euis Ratna Suminar, Syarifah Mitha Hurahmah, dan Ayip Fahmi Faturrahman yang senantiasa menguatkan jiwa dan raga. 6. Ami Yus dan Tante Evi atas seluruh bantuan dan motivasi yang berharga. 7. Keluarga besar Ayip Rughby (Alm) dan Tb. Tjetjep Adiredja (Alm) atas doa dan perhatian dalam proses penyusunan skripsi . 8. Sahabat-sahabat terbaik (Kikie, Nadia, Eka, Yanti, Pritta, Maiva, Windy, Aci, Evi) untuk kebersamaan dalam suka dan duka yang terus terkenang. 9. Aji, Yogi, Echa, Devi, Andina, Mimi, Heri, Rini, Giri, Ani, Abang, Ratih, Anna, Dina, Diyan, Winsih, Hany, Wenia, Halida, Ikhwan, KW, dan Ikhdal atas partisipasi dan dukungan semangat bagi penulis. 10. Perta, Renie, Santy, Rosita, Dea, dan Rin yang selalu menghadirkan keutuhan persahabatan. 11. Staf Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi (Mas Anto, Mbak Ati, Pak Cecep, Mas Anwar, Mas Dede, dan Mas Rian) atas kerja sama dalam kelancaran pelaksanaan seminar dan sidang.
12. Nanny, Mbak Titiek, Mus, dan Mbak Tini atas keikhlasan bantuan yang telah diberikan. 13. Staf perpustakaan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Badan Pusat Statistik atas bantuan selama proses pengambilan data. 14. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 40 dan SMU Negeri 1 Bogor angkatan 2002 atas kebahagiaan yang telah mewarnai hari-hari penulis.
Bogor, Januari 2008
Syarifah Amaliah H14103129
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR ISI ...............................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
viii
I.
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1.
Latar Belakang ..........................................................................
1
1.2.
Perumusan Masalah ...................................................................
7
1.3.
Tujuan Penelitian .........................................................................
11
1.4.
Manfaat Penelitian .....................................................................
11
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian............................................................
12
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...................
14
2.1.
Tinjauan Pustaka .........................................................................
14
2.1.1. Definisi Daya Saing ..........................................................
14
2.1.2. Teori Perdagangan Internasional .......................................
16
2.1.3. Kurva Perdagangan Internasional ......................................
19
2.1.4. Teori Keunggulan Kompetitif ...........................................
21
2.1.5. Teori Permintaan...............................................................
25
2.1.6. Teori Permintaan Impor ...................................................
27
2.1.7. Teori Engle-Granger Cointegration ..................................
30
2.1.8. Teori Error Correction Model (ECM) ...............................
32
2.1.9. Studi Penelitian Terdahulu ................................................
35
2.2.
Kerangka Pemikiran Penelitian ....................................................
42
2.3.
Hipotesis Penelitian ...................................................................
45
III. METODE PENELITIAN... ....................................................................
47
3.1.
Jenis dan Sumber Data... ..............................................................
47
3.2.
Metode Penelitian... .....................................................................
48
3.2.1. Porter’s Diamond .............................................................
48
3.2.2. Engle-Granger Cointegration dan Error Correction Model (ECM).....................................................................
49
3.2.2.1. Kestasioneran Data ..............................................
49
3.2.2.2. Engle-Granger Cointegration .............................
50
3.2.2.3. Error Correction Model (ECM)..........................
52
3.2.2.4. Uji Diagnostik (Diagnostic Tests)........................
53
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PERSUSUAN NASIONAL.............
57
4.1.
Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia ...............
57
4.2.
Perkembangan Konsumsi Susu Indonesia ....................................
60
4.3.
Pemasaran Bahan Baku Susu dan Produk Susu Olahan Indonesia.
66
4.4.
Perkembangan Impor Susu Indonesia ..........................................
74
4.5.
Kebijakan Persusuan Indonesia ....................................................
78
V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................
82
5.1.
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kondisi Daya Saing Susu Domestik (Pendekatan Porter’s Diamond) ..........................
82
5.1.1. Kondisi Faktor .................................................................
82
5.1.2. Kondisi Permintaan ..........................................................
88
5.1.3. Industri Terkait dan Pendukung ........................................
92
5.1.4. Strategi, Struktur, dan Persaingan .....................................
96
5.1.5. Pemerintah ....................................................................... 101 5.1.6. Kesempatan ..................................................................... 105 5.2.
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Susu Indonesia Periode 1976-2005....................................................... 109 5.2.1.
Uji Stasioneritas .............................................................. 109
5.2.2.
Hasil Estimasi Engle-Granger Cointegration .................. 110
5.2.3.
Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM) ............... 112
5.2.4.
Uji Diagnostik (Diagnostic Tests) ................................... 112
5.2.5.
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Susu .. 114 pada Jangka Panjang
5.2.6.
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Susu .. 117 pada Jangka Pendek
5.3.
Rekomendasi Strategi Peningkatan Daya Saing Susu Domestik ... 123
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 129 6.1.
Kesimpulan ................................................................................. 129
6.2.
Saran .......................................................................................... 132
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 134 LAMPIRAN ................................................................................................. 138
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1.1. Perkembangan Share Sektoral terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Periode 2001–2005.................................................... 1 1.2. Kontribusi Subsektor Pertanian terhadap Sektor Pertanian Indonesia dalam Arti Luas Periode 2001-2005 ..................................
3
1.3. Produksi, Konsumsi, Ekspor,dan Impor Susu Indonesia Periode 1996-2005 ............................................................................................
11
3.1. Sumber Data Penelitian ........................................................................
48
4.1. Sebaran Populasi Sapi Perah (per Lima Tahun) di Indonesia Periode 1985-2005 ............................................................................................
58
4.2. Rata-rata Pemilikan Sapi Perah Rumah Tangga Peternak Indonesia pada Tahun 1973, 1983, 1993, dan 2003...............................................
60
4.3. Standarisasi Bahan Baku Susu menurut Total Kandungan Bakteri (TPC) pada Industri Pengolahan Susu (IPS) .........................................
63
4.4. Perkembangan Konsumsi per Kapita Produk Susu Olahan Beberapa Negara di Kawasan Asia ......................................................................
66
4.5. Market Share Empat Negara Importir Susu Terbesar Indonesia Periode 1995–2005...............................................................................
78
5.1. Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia Periode 1996–2004...............................................................................
83
5.2. Perkembangan Populasi Sapi Perah, Produksi, dan Produktivitas Susu Domestik Periode 1996–2005 ......................................................
87
5.3. Perkembangan Penyerapan Susu Domestik oleh IPS di Indonesia Periode 1996–2004...............................................................................
91
5.4. Struktur Biaya Koperasi Susu di Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur Tahun 2000 ..........................................................................................
93
5.5. Analisis Dampak Positif dan Negatif Penghapusan Kebijakan Rasio Impor Periode 1998–2005 .................................................................... 104 5.6. Hasil Uji Augmented Dickey Fuller pada Level..................................... 109 5.7. Hasil Uji Augmented Dickey Fuller pada First Difference .................... 110 5.8. Hasil Uji Augmented Dickey Fuller Persamaan Residual ...................... 111 5.9. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Susu pada Jangka Panjang..................................................................................... 114 5.10. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Susu pada Jangka Pendek ...................................................................................... 117
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Komparasi Perkembangan Harga Riil Susu Domestik dan Impor Periode 1996–2005...............................................................................
8
2.1. Analisis Keseimbangan Parsial Perdagangan Internasional ...................
21
2.2. Model Determinan Keunggulan Kompetitif Nasional Porter’s Diamond ..............................................................................................
22
2.3. Derivasi Kurva Permintaan Impor ........................................................
29
2.4. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian .................................................
44
4.1. Perkembangan Produksi Susu Domestik Indonesia Periode 1976-2005
61
4.2. Saluran Pemasaran Bahan Baku Susu dan Produk Susu Olahan ............
73
4.3. Perkembangan Impor Susu Indonesia Periode 1976-2005 2004............
77
5.1. Perkembangan Volume Impor, Produksi, dan Konsumsi Bahan Baku Susu Indonesia Periode 1996–2005 ......................................................
97
5.2. Perkembangan Volume Impor Susu Indonesia dan Nilai Tukar Riil Rupiah Periode 1976–2005 .................................................................. 105 5.3. Ringkasan Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Susu Domestik dengan Pendekatan Porter’s Diamond ......................... 108 5.4. Hasil Uji Normalitas Error Correction Model (ECM) .......................... 113
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Kompilasi Data Penduga Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Susu Indonesia Periode 1996–2005 (dalam Bentuk Logaritma Natural) ........ 138
2.
Hasil Uji Augmented Dickey Fuller pada Level dan First Difference .... 139
3.
Hasil Uji Augmented Dickey Fuller Persamaan Residual ...................... 142
4.
Hasil Estimasi Engle-Granger Cointegration ....................................... 142
5.
Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM) .................................... 143
6.
Hasil Uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM................................ 143
7.
Hasil Uji White Heteroskedasticiy ........................................................ 143
8.
Perkembangan Penetapan Rasio Impor Susu Indonesia Periode 1982-1997 ............................................................................................ 144
9.
Salinan Inpres Nomor 4 Tahun 1998 mengenai Koordinasi dan Pengembangan Persusuan Nasional........................................................
145
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Begitu melekatnya pencitraan mengenai keagrarisan Indonesia selama ini bukanlah suatu pernyataan yang tidak mendasar. Keragaman dan kekayaan produk pertanian Indonesia mengantarkan basis pertanian menjadi salah satu motor penggerak perekonomian nasional. Salah satu variabel yang dikenal luas untuk mengidentifikasi kontribusi sektoral terhadap perekonomian level makro adalah share sektoral terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Tabel 1.1. Perkembangan Share Sektoral terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Periode 2001-2005 Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Produk Domestik Bruto (PDB)
2001 15,64 11,60
2002 15,47 11,28
Tahun 2003 15,24 10,63
2004 14,98 9,66
2005 14,54 9,30
27,60 0,63
27,85 0,66
28,01 0,66
28,36 0,66
28,10 0,66
5,55 16,24
5,61 16,16
5,68 16,26
5,81 16,36
5,91 16,83
4,87
5,06
5,42
5,85
6,26
8,53
8,69
8.90
9,13
9,26
9,28 100,00
9,23 100,00
9,20 100,00
9,18 100,00
9,14 100,00
Sumber: BPS, 2006 (diolah) Catatan: Seluruh nilai dinyatakan dalam satuan persen
Berdasarkan informasi yang tertuang dalam Tabel 1.1, dapat ditarik sebuah konklusi bahwa telah terjadi transformasi struktural dalam tatanan perekonomian. Kontribusi
sektor
pertanian secara
relatif
telah
mengalami
penurunan
dibandingkan sektor lainnya. Ternyata sektor industri pengolahan serta
perdagangan, hotel, dan restoran yang mampu mendongkrak PDB Indonesia selama periode tersebut. Bentuk transformasi ekonomi sektor primer menuju sektor sekunder dan tersier ini merepresentasikan Indonesia sebagai negara yang ekspansi perekonomiannya merujuk pada pola serupa dengan negara-negara lainnya di dunia. Fenomena tersebut secara eksplisit dapat dilihat di negara-negara yang terlibat dalam skenario iring-iringan angsa terbang (the wild flying geese formation) seperti negara di kawasan Asia Timur dan sebagian Asia Tenggara yang ditandai dengan besarnya aliran sumberdaya dari sektor pertanian ke non pertanian (Saragih, 2000). Bagaimanapun tidaklah komprehensif apabila fenomena penurunan share pertanian terhadap PDB diidentifikasikan sebagai indikator tunggal untuk mengukur urgensi sektor pertanian. Pembangunan pertanian tetap menjadi krusial untuk dilakukan, manakala dikaitkan dengan ketahanan pangan nasional dan besarnya jumlah angkatan kerja pertanian di Indonesia. Ketergantungan impor pangan utama yang besar dalam upaya pemenuhan ketahanan pangan domestik telah memberikan tekanan luar biasa terhadap keseimbangan neraca perdagangan dari sektor pertanian. Sementara itu, Data Sensus Pertanian Indonesia di tahun 2003 menunjukkan bahwa terdapat 25,4 juta rumah tangga petani di Indonesia dengan 13,7 juta diantaranya dikelompokkan sebagai petani gurem dan berpendapatan rendah (BPS, 2003). Kedua hal tersebut telah memberikan tuntutan lebih untuk mewujudkan revitalisasi di sektor pertanian. Tantangan pembangunan pertanian akan menjadi lebih mudah untuk dijawab, hanya jika konsep pertanian dalam arti luas yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan,
serta peternakan dilaksanakan secara terintegrasi. Kontribusi setiap subsektor pertanian terhadap sektor pertanian dalam arti luas disajikan dalam Tabel 1.2. Tabel 1.2. Kontribusi dan Peranan Subsektor Pertanian terhadap Sektor Pertanian dalam Arti Luas Indonesia Periode 2001-2005 Subsektor 2001 111.020
2002 115.930
Tahun 2003 120.400
2004 124.580
2005 125.801
Tanaman pangan Peranan (%) (50,07) (49,76) (49,42) (49,25) (49,58) Tanaman 34.845 36.586 38.192 39.920 39.811 perkebunan Peranan (%) (15,44) (15,70) (15,71) (15,78) (15,69) Peternakan 27.770 29.394 30.727 32.158 32.346 Peranan (%) (12,30) (12,62) (12,64) (12,71) (12,75) Perikanan 32.441 33.082 35.900 37.900 38.560 Peranan (%) (14,37) (14,20) (14,77) (14,98) (15,20) Kehutanan 17.610 17.987 18.118 18.396 17.177 Peranan (%) (7,80) (7,72) (7,45) (7,27) (6,77) Pertanian 225.686 232.973 243.076 252.293 253.726 Peranan (%) (100,00) (100,00) (100,00) (100,00) (100,00) Sumber: BPS, 2006 Catatan: Kontribusi setiap subsektor pertanian dinyatakan dalam satuan Milyar Rupiah berdasarkan harga konstan tahun 2000
Kontribusi sektor pertanian secara relatif terhadap sektor pertanian dalam arti luas pada periode 2001-2005 menunjukkan tingkat pertumbuhan yang kecil. Begitu pula dengan subsektor peternakan. Meskipun demikian, subsektor peternakan mengalami trend pertumbuhan positif dengan kontribusi yang berada di kisaran 12,30-12,75 persen. Hal ini memberikan indikasi bahwa subsektor tersebut diduga mempunyai potensi bernilai untuk ditindaklanjuti pada periode mendatang. Salah satu produk peternakan yang telah dikenal luas oleh masyarakat adalah susu. Susu merupakan makanan yang paling sempurna nilai gizinya, karena semua kebutuhan tubuh terkandung di dalamnya dengan perbandingan yang sempurna. Susu mempunyai keistimewaan dalam mengimbangi kekurangan
zat gizi dalam makanan lain. Selain itu susu mudah dicerna, dan diserap oleh tubuh (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, 2002). Permintaan akan susu, telah mengalami perkembangan yang fluktuatif selama periode 1996-2005. Realitas ini diilustrasikan dalam statistik produksi, konsumsi, ekspor, dan impor susu yang tertabulasi dalam Tabel 1.3. Tabel 1.3. Produksi, Konsumsi, Ekspor, dan Impor Susu Indonesia Periode 1996-2005 Tahun
Produksi Impor Ekspor 000 ton (%) 000 ton (%) 000 ton (%) 441,2 1,79 739,4 -24,1 0 0 423,7 -3,96 392,8 -6,3 0 0 375,4 -11,39 588,0 -15,1 66,0 100 436,0 16,14 822,0 39,8 142,0 115,2 495,7 13,69 1.479,8 80,0 575,5 305,3 493,4 -3,19 1.476,0 -0,2 693,0 20,4 553,4 2,80 1.382,6 -6,3 609,6 -12,0 553,4 12,16 1.425,2 3,0 461,2 -24,3 549,9 -0,62 1.654,1 16,0 409,3 -11,2 535,9 -2,54 1.730,0 4,6 450,4 9,9 478,4 2,5 1.199,1 9,1 309,7 57,6
Konsumsi 000 ton (%) 1.180,6 -16,1 1.116,5 -5,4 897,4 -19,6 1.116,0 24,3 1.400,0 25,4 1.262,9 -9,8 1.266,4 0,3 1.517,4 19,8 1.794,7 18,3 1.816,6 1,2 1.343,3 3,8
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Ratarata Sumber: Ditjen Peternakan, 2006 Catatan: Produksi + impor = ekspor + konsumsi (stok susu nasional = 0) Kolom (%) menyatakan pertumbuhan
Interpretasi yang dapat disampaikan berkenaan dengan data yang terangkum dalam Tabel 1.3 adalah kecenderungan pertumbuhan volume impor yang semakin tinggi sebagai konsekwensi atas ketidakcukupannya kapasitas produksi susu domestik dalam memenuhi kebutuhan susu domestik yang berasal dari beragam kalangan. Setidaknya, 80 persen dari total kebutuhan susu domestik di Indonesia diutilisasi oleh Industri Pengolahan Susu (IPS). Sementara itu, 20 persen yang tersisa masing-masing digunakan sebagai input untuk industri kecil dan menengah sebesar lima persen, dikonsumsi secara langsung oleh konsumen
akhir sebesar lima persen, dan selebihnya digunakan untuk kegiatan lain (Fabiosa, 2005). Laju pertumbuhan rata-rata konsumsi susu domestik sebesar 3,8 persen yang melebihi produksi susu domestik (2,5 persen) pada periode 1996-2005 sebagaimana yang terangkum dalam Tabel 1.3 mengakibatkan pemenuhan kebutuhan susu domestik dilakukan dengan jalan importasi. Dominasi impor yang tumbuh sebesar 9,1 persen selama periode tersebut mengisyaratkan betapa tergantungnya konsumen susu domestik pada pasokan susu yang berasal dari negara lain. Guncangan nilai tukar yang terjadi pada periode krisis per tahun 1997 di Indonesia tidak menunjukkan gejala peningkatan daya saing akibat depresiasi nilai tukar (competitive depreciation) yang berarti. Penurunan volume impor susu pada periode 1997-1998 sebesar 15,1 persen tidak serta-merta memberikan keuntungan bagi posisi produksi susu domestik dalam rangka memenuhi konsumsi susu domestik. Volume produksi juga mengalami penurunan, seperti halnya impor dan konsumsi. Inflasi sebagai fenomena krisis memberikan dampak peningkatan biaya komponen input produksi sehingga tidak mampu mendongkrak volume produksi susu domestik. Permintaan susu sangat dipengaruhi oleh permintaan aktual konsumen atas produk susu olahan sebagai output IPS. Fabiosa (2005) mengemukakan bahwa konsumen akhir mengikuti perilaku konsumsi Engel’s curve. Teori ini menyatakan bahwa kenaikan pendapatan rumah tangga konsumen akan menurunkan proporsi pengeluaran untuk bahan pangan. Meskipun demikian, pada
dasarnya dibalik fenomena tersebut, terdapat pola perilaku konsumsi lainnya yang dapat diamati. Konsumen di negara berpendapatan rendah akan melakukan pergeseran konsumsi bahan pangan dari bahan pangan utama yang kaya akan karbohidrat kepada bahan pangan yang mempunyai tingkat kalori yang lebih tinggi seperti daging dan susu. Faktor lainnya yang disinyalir menyebabkan perubahan pola konsumsi ini adalah peningkatan populasi terutama di kota-kota besar sebagai akibat dari derasnya arus urbanisasi dan peningkatan awareness masyarakat akan manfaat susu bagi kesehatan. Minimnya kemampuan produksi nasional untuk mengimbangi tingkat konsumsi disebabkan oleh struktur industri on farm susu yang didominasi peternak sapi perah kecil. Para peternak tersebut teraliansi dalam suatu wadah, yakni Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) yang diekspektasikan dapat memperkuat bargaining postion peternak sapi perah. Karakteristik peternak sapi perah yang hanya mempunyai sekitar tiga sampai dengan empat ekor sapi perah memberikan implikasi akumulatif berupa rendahnya kapasitas produksi susu domestik. Kondisi ini diperburuk dengan maraknya inefisiensi dalam operasionalisasi koperasi. Ukuran skala usaha koperasi yang berada dalam fase decreasing return to scale1 mengagendakan koperasi untuk melakukan reorganisasi faktor-faktor produksi dalam menstimulasi pengembangan industri persusuan nasional (Yusdja dan Sajuti, 2002).
1
Decreasing return to scale adalah situasi dimana kenaikan output secara proporsional lebih kecil daripada kenaikan inputnya, dengan meningkatnya skala produksi (Lipsey, et al., 1995).
1.2.
Perumusan Masalah Importasi
susu
dalam
mekanisme
perdagangan
internasional
mengakibatkan susu domestik menghadapi persaingan head to head dengan susu impor, baik dari sisi harga maupun kualitas. Persaingan antara susu domestik dan impor berdasarkan indikator harga menghasilkan beberapa catatan penting dalam perkembangannya. Pertama, shock krisis moneter di tahun 1997 telah memberikan stimulan positif pada harga susu domestik. Depresiasi nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, mengakibatkan harga impor menjadi jauh lebih mahal dibandingkan harga domestik. Harga riil susu domestik mencapai Rp 1.190/liter sementara harga riil susu impor mencapai Rp 1.678/liter. Insentif tersebut hanya dapat diperoleh peternak pada kurun waktu yang relatif singkat. Seiring dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar yang terjadi di Indonesia harga susu impor kembali mengalami penurunan secara gradual. Kedua, penurunan harga susu impor pasca krisis ekonomi telah mendegradasi daya saing susu domestik di pasar nasional. Hal ini dikarenakan harga dapat dikategorikan sebagai sebuah proxy pada konsep daya saing. Marjin harga tertinggi antara susu domestik dan impor terjadi pada tahun 2000. Dengan nilai tukar sebesar Rp 8.534/US$ harga riil susu domestik mencapai Rp 1.950/liter sementara harga impor berada di level Rp 1.133/liter. Realita ini mendorong industri untuk memenuhi kebutuhan input produksi melalui impor karena harga yang lebih kompetitif. Fenomena ini diperkuat dengan data yang tersaji dalam
Tabel 1.3, dimana pertumbuhan impor susu mencapai 80 persen pada periode 1999-2000. Ketiga, harga susu impor pada periode 2001-2005 mengalami fluktuasi sesuai dengan perkembangan nilai tukar yang terjadi dan interaksi permintaan serta penawaran komoditas susu. Harga riil susu impor di tahun 2005 menunjukkan trend kenaikan yang mencapai Rp 2.200/liter mengakibatkan impor hanya tumbuh sebesar 4,6 persen pada periode tersebut. Komparasi perkembangan harga riil susu domestik dan impor pada periode 1996-2005 dapat dilihat pada Gambar 1.1. 2500
Rp/liter
2000 1500 1000 500 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun Harga riil susu domestik
Harga riil susu impor
Sumber: Ditjen Peternakan, 2006 Catatan: Harga riil susu impor dikonversi dalam Rupiah per liter
Gambar 1.1. Komparasi Perkembangan Harga Riil Susu Domestik dan Impor Periode 1996-2005 Komitmen Indonesia untuk mengadopsi liberalisasi perdagangan yang diawali dengan ratifikasi World Trade Organization (WTO) di tahun 1995, secara struktural disinyalir telah mengubah tatanan internal industri persusuan nasional 2
2
Industri persusuan nasional menyatakan sistem yang mencakup produksi susu segar (usaha peternakan sapi perah), pengolahan (IPS) , pemasaran (GKSI), dan distribusi susu (Erwidodo dan Hasan, 1993).
tanpa melalui bentuk mekanisme penyesuaian. Puncak dari realisasi komitmen tersebut dilegitimasi dengan dicabutnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Pertanian, dan Menteri Perindustrian No. 236/Kpb/VII/1982, No. 344/M/SK/1982 dan No. 521/Kpts/Um/J/1982 mengenai mekanisme Bukti Serap (BUSEP) dan perhitungan rasio impor dalam kaitannya dengan penyerapan susu impor dan domestik melalui penetapan Inpres No. 4/1998. Esensi dari regulasi tersebut adalah dengan tidak diberlakukannya beberapa ketentuan terdahulu dalam lampiran Inpres No. 2/1985 tentang koordinasi pembinaan dan pengembangan persusuan nasional yang meliputi penghapusan kebijakan rasio impor serta pengendalian impor dan harga susu di dalam negeri. Kebijakan yang dihapuskan tersebut bersifat restriktif dan anti liberalisasi perdagangan karena dikategorikan sebagai suatu non tariff barrier. Praktis, semenjak kebijakan ini diberlakukan industri persusuan nasional mengarah kepada mekanisme pasar. Hanya penetapan tarif sebesar lima persen terhadap susu impor yang merefleksikan intervensi pemerintah saat ini. Penetapan tarif yang relatif rendah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling luas membuka pasar produk pertaniannya (Sawit, 2003). Minimalisasi proteksi dari pemerintah tersebut diduga mengakibatkan daya saing susu domestik menjadi rendah dalam kerangka mekanisme perdagangan internasional. IPS diberikan kebebasan untuk melakukan impor susu, tanpa harus menyerap sejumlah susu domestik terlebih dahulu. Fenomena ini
dapat dijelaskan melalui perkembangan impor susu (Tabel 1.3) yang mengindikasikan bahwa pasca penerapan penghapusan kebijakan rasio impor di tahun 1998, impor susu secara responsif meningkat di tahun 1999 sebesar 39,8 persen menjadi 822.000 ton (Ditjen Peternakan, 2006). Kapasitas produksi susu domestik yang rendah untuk mencukupi kebutuhan IPS, harga susu impor yang secara riil lebih ekonomis dengan spesifikasi kualitas yang lebih unggul apabila dibandingkan dengan susu domestik, dan berkurangnya restriksi impor menimbulkan dugaan bahwa IPS sebagai konsumen utama susu mempunyai preferensi yang lebih tinggi untuk menggunakan susu impor sebagai input dalam proses produksi. Di lain pihak, harga riil susu domestik yang kurang kompetitif itu sendiri belum memberikan keuntungan yang layak bagi peternak sapi perah akibat inefesiensi produksi. Kondisi tersebut belum dapat menstimulasi perkembangan usaha peternakan sapi perah untuk meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas susu. Hal inilah yang menyebabkan susu impor mendominasi pangsa pasar susu Indonesia (www.media-indonesia.com, 2 Juli 2007). Isu krusial yang harus menjadi fokus perhatian untuk menghadapi permasalahan ini adalah daya saing (competitiveness) karena peningkatan volume impor susu diduga merefleksikan daya saing susu domestik yang lemah. Hanya dengan langkah strategis yang bermuara pada tujuan utama peningkatan daya saing, industri persusuan nasional dapat keluar dari ancaman “total net importer” yang kian mengkhawatirkan.
Berdasarkan deskripsi tersebut, beberapa permasalahan yang mengemuka mengenai industri persusuan nasional meliputi: 1. Bagaimanakah kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu domestik? 2. Faktor–faktor apakah yang menjadi determinan impor susu Indonesia pada periode 1976-2005? 3. Apakah rekomendasi strategi yang diprediksi memiliki kapabilitas untuk meningkatkan daya saing susu domestik di pasar persusuan nasional?
1.2.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan
sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisa kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu domestik. 2. Mengidentifikasi dan menganalisa faktor–faktor yang menjadi determinan impor susu Indonesia pada periode 1976-2005. 3. Merumuskan rekomendasi strategi yang mampu meningkatkan daya saing susu domestik di pasar persusuan nasional.
1.3.
Manfaat Penelitian Adapun pencapaian substansi yang diharapkan dari penelitian ini meliputi:
1.
Memberikan wacana dan informasi lebih terperinci kepada penulis untuk mandalami kondisi industri persusuan nasional sekaligus mengkaji efek
kebijakan penghapusan rasio impor terhadap daya saing susu domestik sebagai suatu kasus yang spesifik. 2.
Rekomendasi bagi instansi regulator yang berperan sebagai pihak yang berkepentingan (interest groups) dalam industri persusuan nasional. Secara langsung tertuju pada Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, serta Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dalam merumuskan sekaligus menetapkan kebijakan yang koordinatif sekaligus kondusif secara ekonomi bagi industri persusuan nasional.
3.
Penelitian ini diharapkan menjadi pertimbangan bagi para pelaku pasar, seperti peternak sapi perah, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Industri Pengolahan Susu (IPS), pedagang eceran, maupun konsumen akhir produk susu dan turunannya dalam proses pengambilan keputusan.
4.
Sebagai bahan referensi dan informasi untuk penelitian lebih lanjut.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada perdagangan komoditas susu,
baik yang berasal dari dalam negeri (domestik) maupun luar negeri (impor). Analisis deskriptif Porter’s Diamond digunakan untuk mengidentifikasi kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu domestik terhadap impor. Konteks pendekatan ini menitikberatkan analisisnya pada karakteristik susu sebagai bahan baku IPS mengingat 80 persen kebutuhan susu domestik diutilisasi sebagai input IPS (Fabiosa, 2005), sehingga selanjutnya susu yang diproduksi
maupun diimpor oleh Indonesia diklasifikasikan menurut tujuan penggunaannya sebagai bahan baku susu domestik3 dan bahan baku susu impor4. Disamping itu, analisis juga terbatas pada industri persusuan nasional yang meliputi usaha peternakan sapi perah dalam subsistem hulu, Industri Pengolahan Susu (IPS) dalam subsistem hilir, subsistem pemasaran susu yang melibatkan peranan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), dan kebijakan pemerintah pada kurun waktu 1998-2005. Analisis kuantitatif faktor-faktor yang mempengaruhi impor susu Indonesia pada periode 1976-2005 diestimasi melalui persamaan satu arah sisi permintaan (import demand). Kebijakan pemerintah yang menjadi fokus analisis dalam penelitian ini adalah penghapusan kebijakan rasio impor susu per tahun 1998 yang dipaparkan dalam kedua analisis tersebut.
3
Bahan baku susu domestik adalah output usaha peternakan sapi perah Indonesia dalam bentuk susu segar yang digunakan sebagai input IPS untuk menghasilkan produk susu olahan. 4
Bahan baku susu impor adalah produk setengah jadi (intermediate products) berbahan dasar susu segar yang berasal dari negara lain dan digunakan sebagai input IPS untuk menghasilkan produk susu olahan.
II.TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Definisi Daya Saing Cook dan Bredahl dalam Saragih (2000) mendefinisikan keunggulan bersaing secara operasional sebagai: ”the ability to deliver goods and services at the time, place, and form sought by buyer’s in both the domestic and international markets at prices as good or better than those of other potential suppliers, while earning at least opportunity cost on resources employed”. Sementara itu, Tweeten dalam Saragih (2000) lebih lanjut mengartikan keunggulan bersaing sebagai kemampuan suatu perusahaan dalam mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar secara menguntungkan dan berkelanjutan melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya. Konsep keunggulan bersaing dengan deskripsi tersebut secara eksplisit menyertakan preferensi atau selera konsumen sebagai syarat keharusan (necessary condition) dalam upaya peningkatan daya saing. Harga yang murah dan kompetitif sebagai implikasi dari orientasi biaya produksi minimum (efisiensi) di pasar bukanlah suatu determinan tunggal dalam keunggulan bersaing. Preferensi konsumen merupakan sebuah cetak biru (blue print) yang harus digarap secara serius. Terlebih pada struktur pasar yang mengarah pada mekanisme liberalisasi perdagangan tanpa distorsi, dimana pelaku pasar tidak mempunyai kekuatan yang berarti untuk menentukan harga.
Porter (1990) menyatakan bahwa daya saing dapat diidentifikasikan dengan produktivitas, yakni tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Peningkatan produktivitas ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningkatan teknologi (total factor productivity). Pendefinisian daya saing selanjutnya dikemukakan oleh World Economic Forum yang merujuk pada pernyatan bahwa daya saing dianggap sebagai kemampuan suatu negara untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang tinggi dan berkelanjutan (www.weforum.org, 15 Februari 2007). Penjelasan yang mempunyai benang merah serupa juga dikemukakan oleh Organisation
for
Co-operation
and
Development
(OECD).
OECD
menginterpretasikan daya saing sebagai kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa yang berskala internasional melalui mekanisme perdagangan yang adil dan bebas, sekaligus menjaga dan meningkatkan pendapatan riil masyarakat dalam jangka panjang (www.oecd.org, 15 Februari 2007). National Competitiveness Council mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan untuk menerima keberhasilan sebagai pemimpin pasar untuk memberikan standar kehidupan yang lebih baik untuk setiap orang. Definisi ini kemudian diterangkan melalui sebelas kriteria yang harus dipenuhi dalam membangun daya saing, yaitu performa ekonomi (economic performance), internasionalisasi (internationalisation), modal (capital), pendidikan (education), produktivitas, kompensasi tenaga kerja, dan biaya tenaga kerja per unit
(productivity, labour compensation, and unit labour cost), biaya perusahaan non tenaga kerja (non-labour enterprise cost),
perpajakan (taxation),
ilmu
pengetahuan dan teknologi (science and technology), informasi kemasyarakatan (information society), infrastruktur transportasi (transport infrastructure), serta pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup (environmental protection and management). Kesebelas kriteria tersebut kemudian dilengkapi dengan dua kriteria krusial lainnya yaitu kondisi regulasi dalam suatu negara (regulatory environment), dan kualitas kehidupan (quality of life) (www.forfas.ie, 15 Februari 2007).
2.1.2. Teori Perdagangan Internasional Ekonom klasik Adam Smith mengemukakan teori mengenai perdagangan diantara dua negara yang dikenal luas dengan teori keunggulan absolut (absolute advantage). Asumsi yang menjadi dasar dalam teori ini menyatakan bahwa perdagangan internasional hanya dapat terjadi pada negara yang memiliki keunggulan absolut. Jika sebuah negara lebih efisien atau memiliki keunggulan absolut terhadap negara lainnya dalam meproduksi suatu komoditas, namun kurang efisien dibandingkan (memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam komoditas unggulan dan menukarkannya dengan komoditas lainnya yang tidak memiliki keunggulan absolut dalam suatu mekanisme perdagangan internasional (Salvatore, 1997). Realisasi dalam forum perdagangan global
menunjukkan fakta secara empiris bahwa tidak semua negara di dunia mempunyai keunggulan absolut dalam perdagangan. Kelemahan teori keunggulan absolut ini kemudian dikoreksi oleh David Ricardo melalui buku yang berjudul Principal of Political Economy and Taxation. Teori tersebut dalam perkembangannya disebut sebagai teori keunggulan komparatif (comparative advantage). Menurut hukum keunggulan komparatif, meskipun suatu negara kurang efisien (memiliki kerugian absolut) terhadap negara lain dalam memproduksi sebuah komoditas, namun masih terdapat asumsi keunggulan komparatif yang dapat mendasari dalam perdagangan internasional. Negara–negara di dunia mengaplikasikan asumsi ini melalui spesialisasi dalam kegiatan produksi produk ekspor dengan kerugian absolut lebih kecil (keunggulan komparatif) dan sebaliknya melakukan impor terhadap komoditas yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar (kerugian komparatif). Spesifikasi asumsi lainnya yang dikemukakan oleh Ricardo meliputi beberapa hal seperti berikut. Pertama, hanya terdapat dua negara dengan dua komoditas. Kedua, perdagangan bersifat bebas. Ketiga, mobilitas tenaga kerja sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antar dua negara tersebut. Keempat, biaya produksi konstan. Kelima, tidak terdapat biaya transportasi. Keenam, teknologi konstan. Ketujuh, menggunakan teori nilai tenaga kerja. Perkembangan dalam teori perdagangan internasional selanjutnya dilansir oleh Heckscher-Ohlin (H-O). Teori tersebut mendeskripsikan bahwa perdagangan internasional berlangsung atas dasar keunggulan komparatif yang berbeda dari
masing–masing negara. Teori ini juga membahas mengenai dampak perdagangan internasional terhadap tingkat pendapatan dari masing–masing faktor produksi. Teorema Heckscher-Ohlin (H-O) dapat dikategorikan ke dalam dua buah teori yang terkait satu sama lain yaitu teori Heckscher-Ohlin dan teori penyamaan harga faktor. Teori Heckscher-Ohlin secara umum menggambarkan perilaku negara-negara yang melakukan ekspor terhadap komoditas padat faktor produksi yang ketersediaannya melimpah dan berharga murah di negara tersebut. Sebaliknya, negara tersebut akan memutuskan untuk melakukan impor apabila faktor produksi dari komoditas tersebut mempunyai karakterisasi yang langka dan mahal. Teori penyamaan harga faktor produksi atau Teori Heckscher-OhlinSamuelson
memberikan
penjelasan
mengenai
fenomena
perdagangan
internasional yang cenderung menyamakan harga. Baik itu secara relatif maupun absolut terhadap berbagai faktor produksi yang homogen di antara negara-negara yang terlibat dalam mekanisme perdagangan internasional (Salvatore, 1997). Konsep keunggulan komparatif pada prinsipnya telah memberikan implikasi yang positif terhadap perdagangan internasional. Pertama, pasar dunia memberikan kesempatan pada suatu negara untuk membeli komoditi pada tingkat harga yang lebih murah sehingga negara tersebut dapat meningkatkan pendapatannya dengan mekanisme perdagangan. Kedua, jika suatu negara kurang mampu menguasai akses perdagangan, maka negara tersebut tetap akan memperoleh manfaat potensial dari adanya perdagangan meskipun negara lain akan memperoleh manfaat juga. Ketiga, suatu negara akan memperoleh manfaat
lebih besar dari perdagangan dengan mengekspor komoditi dengan faktor produksi melimpah yang dipunyai dan mengimpor komoditi dengan kelangkaan faktor produksi (Salvatore, 1997) Evolusi teori berikutnya dikembangkan oleh Schydlowsky melalui teori keunggulan komparatif dinamis (Dynamic Comparative Advantage). Dalam teorinya disertakan faktor perubahan dinamis, baik aktual maupun ekspektatif. Perubahan diinterpretasikan sebagai perubahan harga komoditi di pasar internasional dan perubahan dalam biaya input domestik. Selain itu, perubahan teknologi yang bersifat endogen maupun eksogen karena proses asimilasi teknologi yang berbeda serta sifat economies of scale dari proses produksi. Asumsi yang paling realistik dari teori ini adalah harga yang terbentuk di pasar internasional tidak merefleksikan kelangkaan sosial (social scarcities) karena pasar tersebut dianggap tidak sempurna berdasarkan faktor dinamis dan realistis di pasar internasional. Keunggulan komparatif dinamis tersebut dianggap ekuivalen dengan keunggulan kompetitif (Halwani, 2002).
2.1.3. Kurva Perdagangan Internasional Gambar 2.1 memperlihatkan proses terciptanya harga komoditi relatif equilibrium dengan adanya perdagangan internasional berdasarkan analisis keseimbangan parsial. Kurva Dx dan Sx pada panel A dan C menggambarkan kurva permintaan dan penawaran komoditi X di Negara 1 dan 2. Sumbu vertikal
pada ketiga panel menunjukkan harga relatif untuk komoditi X5, sementara sumbu horizontal mengukur kuantitas komoditi X. Panel A memperlihatkan bahwa dengan adanya perdagangan internasional, Negara 1 akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik A berdasarkan harga relatif komoditi X sebesar P1. Negara 2 akan berproduksi dan mengkonsumsi di titik A’ berdasarkan harga relatif P3. Apabila Px/Py lebih besar dari P1, maka Negara 1 akan mengalami kelebihan penawaran komoditi X (excess supply) sehingga kurva penawaran ekspornya mengalami peningkatan seperti yang terlihat dalam Panel B. Kelebihan produksi itu selanjutnya akan diekspor ke Negara 2. Di lain pihak, jika harga yang berlaku lebih rendah dari P3, Negara 2 akan terinsentif untuk meningkatkan permintaannya akan komoditi X. Kondisi kelebihan konsumsi atas produksi domestik (excess demand) ini akan mendorong Negara 2 untuk mengimpor kekurangan kebutuhannya dengan cara mengimpor dari Negara 1. Mekanisme perdagangan internasional untuk komoditi X akan mencapai kondisi equilibrium pada tingkat harga relatif P2 . Pada tingkat harga relatif P2, kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan oleh Negara 1 bernilai sama dengan kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh Negara 2. Jika Px/Py lebih besar dari P2, kuantitas ekspor komoditi X akan melebihi kuantitas impornya sehingga lambat laun harga relatif komoditi X (Px/Py) akan melakukan adjustment untuk kembali ke P2. Sebaliknya, apabila Px/Py lebih kecil
5
Harga relatif untuk komoditi X (Px/Py) diartikan sebagai sejumlah komoditi Y yang harus dikorbankan untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi X (Salvatore, 1997).
dari P2 akan terjadi kelebihan kuantitas impor komoditi X yang selanjutnya akan meningkatkan Px/Py agar bergerak mendekati atau sama dengan harga relatif keseimbangan (P2). Analisis keseimbangan parsial perdagangan internasional secara grafis disajikan pada Gambar 2.1.
Px/Py
(A)
Px/Py
(B)
Px/Py
(C) Sx
P3
Sx Ekspor
P3 A’’ B*
P2 P1
A*
E*
A’
S B’ D
E’ Impor
Dx
A Dx 0 Negara 1 (Eksportir)
X 0 X 0 Perdagangan Internasional
X Negara 2 (Importir)
Sumber : Salvatore, 1997
Gambar 2.1. Analisis Keseimbangan Parsial Perdagangan Internasional
2.1.4. Teori Keunggulan Kompetitif Porter (1990) menyatakan empat atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional, yakni kondisi faktor (factor conditions), kondisi permintaan (demand conditions), industri terkait dan pendukung (related and supporting industries), serta strategi, struktur, dan persaingan (firm strategy, structure, and rivalry). Sementara itu, atribut determinan eksternal dikategorikan menjadi pemerintah (government) dan terdapatnya kesempatan (chance events). Komprehensivitas determinan baik secara internal maupun eksternal ini secara
sistemik dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengidentifikasian daya saing (competitiveness) nasional.
Pemerintah Strategi, struktur, dan persaingan
Kondisi Faktor
Daya saing
Kondisi Permintaan
Industri terkait dan pendukung Akses dan kesempatan
Sumber: Porter, 1990
Gambar 2.2. Model Determinan Keunggulan Kompetitif Nasional Porter’s Diamond Penjelasan lebih spesifik mengenai determinan keunggulan kompetitif nasional Porter’s Diamond dijelaskan sebagai berikut:
Kondisi Faktor (Factor Conditions) Kondisi faktor direpresentasikan dengan faktor sumberdaya yang dimiliki
suatu negara yang berhubungan dengan proses produksi. Kontribusi sumberdaya sebagai modal dasar dalam membangun keunggulan kompetitif merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri. Porter (1990) mengklasifikasikan kondisi faktor produksi tersebut berdasarkan teori ekonomi klasik menjadi lima kelompok meliputi tenaga kerja,
tanah, sumberdaya alam, kapital, dan infrastruktur. Tingkat signifikansi faktor produksi terhadap keunggulan kompetitif didasarkan pada kemampuan faktor produksi untuk menghasilkan manfaat yang spesifik dan berkesinambungan.
Kondisi Permintaan (Demand Conditions) Kondisi permintaan domestik sangatlah mempengaruhi penentuan daya
saing nasional. Suatu negara dikatakan memperoleh benefit dari kondisi permintaan ketika permintaan domestik mampu memberikan gambaran yang representatif mengenai preferensi konsumen. Konsumen lokal dapat membantu perusahaan nasional dengan cara memberikan sinyal ”early warning system” sehingga perusahaan dapat melakukan tindakan antisipatif untuk bersaing di pasar domestik maupun global. Secara umum, konsumen dapat menekan perusahaan untuk melakukan inovasi dan membangun daya saing terhadap produk asing. Besarnya permintaan domestik menurut Porter (1990) mempunyai pengaruh yang kurang signifikan dibandingkan dengan karakter dari permintaan domestik itu sendiri.
Industri Terkait dan Pendukung (Related and Supporting Industries) Eksistensi industri terkait dan pendukung sebagai sebuah sistem akan
mempengaruhi daya saing secara global. Struktur industri hulu dan hilir yang kuat akan memberikan kemudahan bagi upaya pencapaian peningkatan daya saing. Diantaranya adalah: pertama, aliran informasi dan perubahan teknologi akan meningkatkan tingkat inovasi dan improvisasi. Kedua, keterkaitan industri akan menghasilkan banyak keahlian baru dan menyediakan potensi bagi perusahaan lain untuk masuk ke dalam industri untuk meningkatkan persaingan.
Strategi, Struktur, dan Persaingan (Firm Strategy, Structure, and Rivalry) Tingkat persaingan domestik dapat menghasilkan tuntutan kepada
perusahaan untuk mengadopsi inovasi dan perbaikan (improvement) dari segi kualitas. Pesaing domestik memberikan tekanan satu sama lainnya untuk meminimumkan biaya, meningkatkan kualitas dan pelayanan, dan menstimulasi penemuan–penemuan baru. Karakteristik persaingan domestik juga dicirikan dengan diversifikasi motif yang mendasari persaingan itu sendiri. Persaingan dalam memperebutkan market share bukanlah merupakan motif tunggal. Keunggulan teknologi merupakan salah satu contoh variabel yang dapat dijadikan sebagai anchor dalam persaingan domestik.
Pemerintah (Government) Pemerintah berperan sebagai katalisator untuk mendorong perusahaan
untuk mengarahkan kinerjanya pada taraf yang lebih baik. Pemerintah tidak dapat secara langsung meningkatkan daya saing perusahaan, melalui instrumen kebijakan yang kondusif perusahaan dapat menerima efek positif dari tindakan fasilitasi pemerintah tersebut. Permasalahan yang terjadi dalam penetapan kebijakan pemerintah adalah seringkali kebijakan–kebijakan tersebut secara orientatif ditujukan untuk jangka pendek. Deregulasi terhadap kebijakan yang menghambat inovasi dan faktor dinamis lainnya, seperti halnya proteksi diperlukan untuk menciptakan manfaat yang berkesinambungan. Prinsip dasar yang perlu dikembangkan oleh pemerintah dalam membuat kebijakan suportif diantaranya dengan sikap pro perubahan, mendukung
persaingan domestik, dan menstimulasi inovasi. Pendekatan kebijakan pemerintah dengan prinsip tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing nasional secara keseluruhan (Porter, 1990).
Kesempatan (Chance Events) Kesempatan, seperti halnya pemerintah berada di luar perusahaan dalam
menentukan daya saing. Beberapa hal yang dianggap sebagi suatu keberuntungan merupakan suatu bentuk dari kesempatan. Sebagai ilustrasi, pergerakan nilai tukar (exchange rate) merupakan determinan penting dalam kegiatan ekspor–impor di pasar internasional. Depresiasi nilai tukar mata uang domestik dapat dianggap sebagai suatu indikator yang membuka kesempatan lebih luas kepada para negara importir untuk mengurangi kegiatan impor dan menyerap produk domestik. Faktor non ekonomi seperti stabilitas politik disinyalir mempunyai pengaruh yang besar terhadap perekonomian suatu negara. Lingkungan dan sirkumstansi yang kondusif memberikan kenyamanan bagi pelaku usaha untuk membangun daya saingnya.
2.1.5. Teori Permintaan Jumlah komoditi total yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga disebut jumlah yang diminta (quantity demanded) untuk komoditi tersebut. Terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam konsep ini. Pertama, jumlah yang diminta adalah suatu jumlah yang diinginkan pada tingkat harga komoditi tersebut, dan pada harga komoditi lain, pendapatan konsumen dan sebagainya yang sudah tertentu. Jumlah yang diminta digunakan untuk menerangkan jumlah
yang ingin dibeli, dan jumlah yang benar-benar dibeli untuk menerangkan jumlah yang sebenarnya. Kedua, apa yang diinginkan merupakan permintaan efektif. Artinya, merupakan jumlah yang bersedia dibayar oleh rumah tangga pada harga tertentu. Ketiga, kuantitas yang diminta merupakan arus pembelian yang kontinu. Oleh karena itu kuantitas harus dinyatakan dalam banyaknya per satuan waktu (Lipsey, et al.,1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan diantaranya sebagai berikut: 1.
Harga komoditi itu sendiri Harga komoditi dan kuantitas yang diminta berhubungan secara negatif, ceteris paribus. Perubahan harga komoditi akan menyebabkan pergerakan pada kurva permintaannya. Semakin rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang diminta untuk komoditi tersebut akan meningkat.
2.
Harga komoditi yang lain Perubahan harga komoditi yang lain akan mempengaruhi jumlah yang komoditi yang diminta. Apabila hubungan yang terjadi antara kedua komoditi tersebut bersifat substitusi, maka kenaikan harga komoditi lain akan menggeser kurva permintaan komoditi ke kanan menandakan peningkatan jumlah komoditi yang diminta. Sebaliknya, apabila terjadi hubungan komplementer di antara kedua komoditi tersebut maka kenaikan harga komoditi lain akan mengakibatkan penurunan jumlah permintaan komoditi tersebut.
3.
Selera Selera berpengaruh besar terhadap keinginan orang untuk membeli. Perubahan selera baik cepat maupun lambat akan menggeser kurva permintaan. Jika selera dan preferensi rumah tangga meningkat terhadap komoditi, jumlah komoditi yang diminta akan mengalami kenaikan.
4.
Rata-rata penghasilan rumah tangga Kenaikan rata-rata penghasilan rumah tangga akan meningkatkan daya beli rumah tangga. Kondisi ini akan berdampak pada kenaikan jumlah komoditi yang diminta, ceteris paribus.
5.
Distribusi pendapatan di antara rumah tangga Perubahan dalam distribusi pendapatan akan meningkatkan jumlah komoditi yang diminta, terutama oleh rumah tangga yang memperoleh tambahan pendapatan tersebut. Sebaliknya, jumlah komoditi yang diminta akan menurun pada rumah tangga yang berkurang pendapatannya.
6.
Besarnya populasi Peningkatan populasi akan menggeser kurva permintaan komoditi ke arah kanan, yang menunjukkan lebih banyak komoditi yang dibeli pada setiap tingkat harga.
2.1.6. Teori Permintaan Impor Permintaan impor suatu negara terjadi apabila jumlah barang yang diminta oleh konsumen domestik melebihi kapasitas jumlah barang yang ditawarkan produsen domestik pada suatu harga tertentu (Koo dan Kennedy, 2005). Oleh
karena itu, permintaan impor (import demand) dapat diartikan sebagai kelebihan permintaan (excess demand). Fungsi permintaan impor dijelaskan dalam persamaan sebagai berikut Qm(P) = Qd(P) – Qs(P) .........................................................................(2.1) Dimana: Qm(P) = Jumlah barang yang diimpor pada suatu harga tertentu Qd(P) = Jumlah barang yang diminta pada suatu harga tertentu QS(P) = Jumlah barang yang ditawarkan pada suatu harga tertentu Merujuk pada Persamaan 2.1, dapat diketahui bahwa permintaan impor mempunyai keterkaitan fungsional yang erat dengan harga. Hal ini dikarenakan permintaan dan penawaran domestik sangat dipengaruhi oleh harga. Kenaikan harga menyebabkan kenaikan produksi domestik, sementara konsumsi domestik mengalami penurunan sehingga mengakibatkan penurunan terhadap permintaan impor. Permintaan impor dapat diturunkan dari permintaan dan penawaran domestik melalui analisis keseimbangan parsial seperti yang tertera pada Gambar 2.3. Gambar 2.3(a) menunjukkan kurva perpotongan antara permintaan dan penawaran domestik suatu barang. Titik keseimbangan terjadi di titik E, dengan jumlah barang yang diminta bernilai sama dengan jumlah barang yang ditawarkan pada
Q0 dan harga sebesar P0. Kondisi mengindikasikan tidak terjadinya
permintaan akan impor. Jika terjadi penurunan harga barang dari P0 ke P1, penawaran domestik akan mengalami penurunan menjadi QS1 sebaliknya permintaan domestik akan
naik menjadi QD1 sebagai transformasi dari mekanisme penyesuaian. Akibat dari pergerakan tersebut, terjadi kelebihan permintaan yang dapat ditutupi dengan permintaan impor sebesar a’b’ pada Gambar 2.3(b). Penurunan harga lebih jauh ke P2 akan kembali menurunkan penawaran domestik ke QS2 sementara permintaan domestik akan terus bertambah menjadi QD2. Kelebihan permintaan yang terjadi akan meningkat menjadi c’d’. Hubungan yang terjadi antara pergerakan harga dan permintaan impor adalah inverse relationship yang direpresentasikan oleh slope negatif kurva permintaan impor (Gambar 2.3(b)). P
P
I
E
A
B
P0 G
P1
a’ C
D
b’ F
P2
c’
d’
H
QS2
QS1 Q0 QD1 QD2
Q (a)
QD1-QS1
QD2-QS2
Q (b)
Sumber: Koo dan Kennedy, 2005
Gambar 2.3. Derivasi Kurva Permintaan Impor Berdasarkan konsep kesejahteraan sosial (social welfare), penetapan harga keseimbangan di titik E membuat konsumen menerima surplus seluas area segitiga I, sementara surplus yang diterima produsen sebesar area segitiga
A+C+H. Ketika terjadi penurunan harga ke P1, surplus konsumen6 meningkat menjadi A+I+B sementara surplus produsen7 menurun menjadi C+H. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan surplus konsumen sebesar area A merupakan efek dari penurunan surplus produsen.
2.1.7. Teori Engle-Granger Cointegration Konsep kointegrasi diawali dengan melakukan sebuah analisis formal yang menyatakan hubungan variabel ekonomi dalam keseimbangan jangka panjang, seperti yang tercantum dalam persamaan 2.2. β1X1t + β2X2t + ..... + βnXnt = 0
(2.2)
dimana β dan Xt mendenotasi vektor (β1,β2,.....,βn) dan (X1t, X2t, ...., Xnt), dan sistem tersebut mencapai keseimbangan jangka panjang ketika βXt =0. Deviasi dari keseimbangan jangka panjang disebut dengan equilibrium error (et). et = βXt
(2.3)
Jika terjadi keseimbangan, maka equilibrium error dikatakan stasioner. Engle dan Granger dalam Enders (2004) mendefinisikan bahwa komponen vektor Xt = (X1t, X2t, ...., Xnt) dikatakan terkointegrasi pada ordo d,b, yang didenotasikan dengan Xt ~ CI (d,b) jika:
6
Surplus konsumen adalah selisih antara nilai yang bersedia dikorbankan konsumen (consumer’s willingness to pay) untuk membayar suatu komoditi dengan nilai yang dibayarkan secara aktual pada tingkat harga tertentu. 7 Surplus produsen adalah selisih antara nilai aktual yang diterima atas pembayaran konsumen dengan nilai yang bersedia diterima produsen (producer’s willingness to accept)
1. Seluruh komponen Xt terintegrasi pada derajat d. 2. Keberadaan vektor β =(β1,β2,.....,βn) dalam kombinasi linear β1X1t + β2X2t + ..... + βnXnt terintegrasi pada derajat (d-b) dimana b>0 dan vektor β disebut sebagai cointegrating vector. Terdapat empat hal penting yang harus diperhatikan mengenai kointegrasi, yaitu: a.
Kointegrasi adalah kombinasi linear dari variabel-variabel yang tidak stasioner. Secara teoritis, sangat tidak mungkin terdapat hubungan jangka panjang yang non linear diantara variabel-variabel yang terintegrasi.
b.
Berdasarkan definisi Engle-Granger, kointegrasi merujuk pada variabel yang terintegrasi pada ordo yang sama. Umumnya variabel-variabel I(d) tidak berkointegrasi. Tidak adanya kointegrasi mengindikasikan bahwa tidak terdapat keseimbangan jangka panjang antar variabel.
c.
Jika terdapat sebanyak n komponen yang tidak stasioner pada Xt, maka terdapat paling banyak n-1 vektor kointegrasi tak bebas yang linear.
d.
Literatur mengenai kointegrasi hanya memfokuskan pada kasus-kasus dimana setiap variabel hanya memiliki satu unit root. Hal ini dikarenakan pada umumnya analisis regresi atau time series hanya diaplikasikan ketika variabel adalah I(0). Di lain pihak, terdapat beberapa variabel ekonomi yang terintegrasi sehingga kointegrasi merujuk pada kasus dimana variabelvariabelnya adalah CI(1,1).
Enders (2004) menyatakan bahwa Engle-Granger Cointegration memiliki beberapa kelemahan, yaitu: a.
Tidak memiliki prosedur sistematis untuk mengestimasi vektor kointegrasi berganda (multiple cointegration) secara terpisah.
b.
Prosedur estimasi Engle-Granger Cointegration terdiri atas dua tahap yang saling berkaitan. Tahap pertama adalah menghasilkan residual. Tahap kedua adalah mengestimasi regresi, akibatnya koefisien yang diperoleh melalui estimasi regresi menggunakan residual dari regresi lainnya. Hal ini mengakibatkan error yang dihasilkan pada tahap pertama dilanjutkan pada tahap kedua.
2.1.8. Teori Error Correction Model (ECM) Error Correction Model (ECM) lahir dan dikembangkan untuk mengatasi masalah perbedaan kekonsistenan hasil peramalan antara jangka pendek dengan jangka panjang dengan cara proporsi disequilibrium pada satu periode dikoreksi pada periode selanjutnya sehingga tidak ada informasi yang dihilangkan hingga penggunaan untuk peramalan jangka panjang (Thomas, 1997). Thomas berkesimpulan bahwa penggunaan ECM memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut : a. Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah data time series yang non-stasioner dan regresi yang palsu (spurious). b. Model dengan variabel-variabel dalam bentuk first difference mengeliminasi trend dari variabel.
c. ECM dapat diestimasi dengan metode OLS (Ordinary Least Square). d. ECM dapat dilakukan dengan pendekatan “umum ke spesifik” (yaitu melihat kecenderungan umum dan membaginya menjadi pendekatan jangka pendek dan jangka panjang). Dengan cara melakukan uji stasioneritas terhadap data terlebih dahulu akan membantu menghindari masalah multikolinearitas pada saat pengolahan data. e. Membedakan dengan jelas antar parameter jangka panjang sehingga sangat ideal untuk digunakan menaksir dari keakuratan sebuah hipotesis. f. Jika terdapat variabel yang tidak nyata, pengeliminasian variabel tersebut dapat dilakukan sehingga akan meningkatkan efisiensi estimasi. Kelebihan lain dari ECM adalah seluruh komponen dan informasi pada tingkat variabel telah dimasukkan dalam model, memasukkan semua bentuk kesalahan untuk dikoreksi yaitu dengan cara mendaur ulang error yang terbentuk pada periode sebelumnya, menghindari terjadinya trend dan regresi palsu (Spurious Regression). Selain itu dalam pendekatan ECM sifat-sifat statistik yang diinginkan dari model akan memberikan makna yang lebih sederhana. Artinya model ECM mampu memberikan makna lebih luas dari estimasi model ekonomi sebagai pengaruh perubahan variabel independen terhadap dependen dalam hubungan jangka pendek maupun jangka panjang (Enders, 2004). Akan tetapi, ECM juga mempunyai kelemahan. Kelemahan yang paling berbahaya dalam ECM adalah kemungkinan terjadinya overparameterisasi (Breusch dan Wickens dalam Pasaribu dan Saleh, 2001)
Bentuk umum ECM dapat dilihat pada persamaan di bawah ini. Misalkan ada sebuah persamaan yaitu : yt = β0 + β1xt + ut
(2.4)
Dimana nilai yt dan xt adalah nilai Y dan X dalam logaritma dan ut merupakan sebuah fungsi : ut = yt – β0 + β1xt
(2.5)
Syarat untuk menghasilkan persamaan ECM adalah yt dan xt tidak stasioner, dan ut stasioner. Jika persyaratan ini terpenuhi, maka persamaan 2.5 akan ditulis dalam bentuk ECM sebagai berikut : ∆yt = θ∆xt – λ(yt – β0 – β1xt) + εt
(2.6)
Dimana : ∆yt
= First difference Y (yt – yt-1),
∆xt
= First difference X (xt – xt-1),
yt
= Variabel endogen,
xt
= Variabel eksogen,
εt
= Galat.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menggunakan ECM adalah : Pertama, variabel yang digunakan minimal ada satu yang tidak stasioner pada tingkat level. Kedua, persamaan yang digunakan mengandung kointegrasi. Ketiga, persamaan yang digunakan univariate (hanya variabel endogen yang mempengaruhi variabel eksogen). Jika salah satu dari ketiga persyaratan tidak terpenuhi maka metode ini tidak dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang ada.
2.1.9. Studi Penelitian Terdahulu Suhartini (2001) dalam Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keragaan Industri Persusuan di Indonesia, menyatakan bahwa jumlah sapi perah dipengaruhi harga susu di peternak dan harga sapi perah. Produktivitas dipengaruhi harga susu di peternak, jumlah sapi laktasi, tingkat bunga, dan teknologi. Permintaan susu dalam negeri oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) dipengaruhi oleh kebijakan rasio impor. Permintaan susu segar oleh koperasi dipengaruhi oleh harga susu eceran, upah tenaga kerja industri dan teknologi. Permintaan susu produksi dalam negeri oleh industri makanan dipengaruhi oleh upah tenaga kerja industri dan teknologi. Harga susu dipeternak dipengaruhi oleh penawaran bahan baku, harga susu olahan dan teknologi. Harga susu di koperasi dipengaruhi permintaan susu segar oleh IPS, harga susu di peternak dan teknologi. Penawaran susu eceran oleh koperasi dipengaruhi perubahan teknologi, sedangkan permintaan dipengaruhi jumlah penduduk kota. Harga susu eceran dipengaruhi oleh jumlah permintaan. Penawaran susu olahan dipengaruhi oleh harga susu olahan tahun lalu dan harga impor bahan baku susu sementara permintaannya dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga susu olahan, dan harga susu eceran. Harga susu olahan dipengaruhi oleh harga bahan baku impor susu dan teknologi. Model dibangun dengan sistem persamaan simultan untuk menganalisis data sekunder periode 1969-1996 dengan menggunakan metode 2 SLS (Two Stage Least Square). Kebijakan peningkatan suku bunga kurang kondusif bagi peternak, perkembangan IPS dan merugikan konsumen susu olahan. Kebijakan devaluasi
Rupiah menurunkan impor bahan baku. Penghapusan rasio impor meningkatkan impor bahan baku. Peningkatan upah tenaga kerja menurunkan produksi susu domestik dan olahan, dan kebijakan peningkatan ekspor dunia meningkatkan impor bahan baku susu. Kombinasi kebijakan yang diterapkan pada umumnya menurunkan produksi domestik dan peningkatan impor. Alternatif kebijakan yang paling menguntungkan adalah kebijakan peningkatan suku bunga yang dikombinasikan dengan penghapusan rasio impor susu. Fabiosa (2005), melakukan kajian tentang implikasi perdagangan dari peningkatan permintaan untuk bahan makanan sumber protein hewani di Indonesia yang mencakup ikan, daging unggas, daging sapi, daging babi, telur, dan susu. Estimasi untuk mengetahui pertumbuhan potensial dari konsumsi bahan makan sumber protein hewani dilakukan dengan menggunakan spesifikasi model permintaan double-hurdle. Hasil dari penelitian ini memberikan koefisien elastisitas berdasarkan data kompilasi SUSENAS untuk setiap kelompok bahan makanan. Output dari pengestimasian tersebut menunjukkan bahwa bahan makanan sumber protein hewani di Indonesia merupakan barang normal, dimana elastisitas pendapatan bertanda positif dan mempunyai korelasi negatif dengan harga. Berdasarkan responsivitas dari masing-masing kelompok bahan makanan, produk susu mempunyai tingkat elastisitas yang paling tinggi diikuti oleh daging sapi, daging unggas, daging babi, ikan dan telur.
Salah satu bahan makanan yang memiliki tingkat perkembangan konsumsi yang tinggi adalah produk susu olahan. Struktur produksi susu domestik sangatlah terbatas dalam rangka memenuhi konsumsi domestik yang kian meningkat. Dominasi peternak sapi perah kecil dan biaya produksi yang tinggi merupakan beberapa alasan yang menyebabkan rendahnya kapasitas produksi nasional. Pengaplikasian instrumen kebijakan perdagangan yang relatif liberal melalui penghapusan restriksi rasio impor menyebabkan ekspektasi untuk mengimpor bahan baku susu untuk memenuhi excess demand meningkat. Australia dan Selandia Baru merupakan negara yang menerima manfaat dari kondisi tersebut. Ekspansi permintaan bahan baku susu menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar yang potensial untuk menyalurkan kelebihan supply bahan baku susu kedua negara eksportir tersebut. Studi yang dilakukan oleh Peng dan Cox (2005), menganalisis secara ekonomi dampak dari liberalisasi perdagangan pada pasar bahan baku dan produk susu regional Asia. Beberapa asumsi yang digunakan dalam studi ini adalah: Pertama, ruang lingkup mencakup 21 negara yang berperan sebagai eksportir maupun importir di pasar susu Asia. Kedua, komoditi diperdagangkan meliputi lima jenis susu segar yang berasal dari sapi perah, kambing, domba, unta, dan kerbau dengan empat komponen (milkfat, kasein, laktosa, dan whey protein). Sementara produk turunan susu yang diperdagangkan meliputi keju,mentega, susu bubuk full cream, susu bubuk skim, susu kental manis, dan yoghurt. Ketiga, model yang digunakan aplikatif dalam jangka menengah (tiga sampai dengan lima tahun) dan responsif terhadap perubahan permintaan dan penawaran.
Skenario liberalisasi perdagangan yang diestimasi dengan mengggunakan model keseimbangan parsial hedonic (UW-WDM) memberikan dampak yang beragam bagi negara-negara yang berada di kawasan Asia. Jepang dan Korea yang semula mendistorsi perdagangan dengan mengenakan proteksi yang tinggi menerima kerugian yang lebih besar dibandingkan negara lainnya pasca liberalisasi perdagangan. India merupakan eksportir susu yang potensial untuk pasar kawasan Asia maupun dunia. China merupakan negara importir yang potensial di Asia tetapi merupakan negara eksportir yang kompetitif di pasar dunia. Negara-negara Asia Tenggara diklasifikasikan sebagai importir yang sangat potensial. Peningkatan derajat liberalisasi perdagangan akan meningkatkan ekspor dari negara eksportir yang potensial dan menghilangkan tekanan impor pada negara importir yang potensial. Berdasarkan kriteria daya saing, urutan negara di kawasan Asia dimulai dari yang terlemah setelah diberlakukannya skenario liberalisasi perdagangan adalah Jepang, Korea, Asia Tenggara, Negara Asia Barat, China dan India. Ilham dan Swastika (2001), menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) dalam menganalisis daya saing susu segar (bahan baku susu) dalam negeri pasca krisis ekonomi dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha peternakan sapi perah di Indonesia. Hasil analisis daya saing menunjukkan bahwa usaha peternakan sapi perah cukup efisien, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah sampai sedang. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien DRCR 8 selama pasca krisis sebesar 0,5735 untuk dataran tinggi dan 0,6713 untuk dataran rendah 8
Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) adalah rasio biaya sumberdaya domestik yang dapat digunakan untuk mengukur efisiesi reatif suatu aktivitas ekonomi. Jika nilai DCDR lebih kecil dari satu, aktivitas ekonomi yang di analisis efisien dalam penggunaan sumberdaya domestik.
sampai sedang, pada tingkat harga aktual di IPS sebesar Rp 1.300/liter dan harga CIF US$ 0,2227/liter. Usaha memproduksi susu segar dalam negeri akan mengalami daya saing apabila nilai tukar Rupiah berada di kisaran Rp 6.000 sampai dengan Rp 6.500/US$ pada tingkat suku bunga 18 persen per tahun. Apabila tingkat suku bunga ditingkatkan menjadi 24 persen dengan nilai tukar Rp 6.500/US$, produk susu segar yang dihasilkan oleh dataran rendah tidak akan memiliki keunggulan komparatif. Permasalahan yang dihadapi oleh usaha peternakan sapi perah rakyat adalah masih rendahnya kualitas sapi induk dan tingginya penggunaan komponen impor pada pakan konsentrat. Disamping itu, pemasaran susu segar juga masih tergantung pada IPS dengan penentuan harga secara sepihak. Penelitian yang dilakukan oleh Erwidodo dan Hasan (1993), mengevaluasi tentang penerapan kebijakan persusuan pada industri persusuan nasional. Kebijakan tersebut terbukti sangat efektif dalam memacu perkembangan usaha peternakan sapi perah. Efek penerapan ini ternyata tidak menjadi beban biaya bagi IPS, karena secara rata-rata IPS hanya membayar susu segar 12 persen lebih tinggi dibandingkan harga paritas impor, namun jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat proteksi (insentif) yang mereka terima. Proteksi yang diterima oleh usaha peternakan sapi perah lebih tinggi apabila dibandingkan dengan proteksi yang diterima oleh produsen produk susu olahan (IPS).
Erwidodo dan Trewin (1996), membahas secara deskriptif dampak kebijakan persusuan Indonesia yang difokuskan pada kebijakan rasio impor susu yang dimulai pada tahun 1982 terhadap kesejahteraan sosial. Kebijakan rasio impor menghasilkan perkembangan yang signifikan pada populasi sapi perah, jumlah peternak sapi perah, serta produksi susu segar dan turunannya. Tetapi dipandang dari sisi konsumen baik itu industri maupun konsumen langsung, kebijakan ini telah menghilangkan peluang untuk menerima manfaat lebih dari mekanisme perdagangan internasional karena memberikan tingkat utilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kondisi pembebasan restriksi rasio impor. Poin penting yang menjadi rekomendasi first best dalam penelitian ini adalah penghapusan kebijakan rasio impor yang dikombinasikan dengan pengenaan tarif impor dengan Nominal Rate of Protection (NRP)9 sebesar 25 sampai dengan 30 persen untuk intermediate products susu sebagai langkah untuk menjaga penyerapan produksi domestik, terutama oleh industri. Deregulasi secara gradual pada pasar susu domestik merupakan sebuah urgensi yang sebaiknya dilaksanakan dalam rangka memperkuat posisi daya saing susu domestik di pasar internasional melalui perbaikan efisiensi. Penelitian Mahisya (2004) tentang Analisis Permintaan Ekspor CPO Indonesia secara umum bertujuan untuk mengkaji perkembangan permintaan CPO pada
pasar
yang
dihadapi
Indonesia,
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi permintaan produk minyak kelapa sawit Indonesia dan 9
Nominal Rate of Protection (NRP) adalah rasio (%) yang menyatakan perbedaan antara harga domestik dan harga bayangan (border price) komoditi tertentu yang telah disesuaikan. Nilai NRP yang positif melambangkan proteksi terhadap harga.
memproyeksikan nilai permintaan produk minyak kelapa sawit untuk permintaan ekspor. Alat analisis yang digunakan adalah Error Correction Model (ECM). Hasil dari penelitian tersebut antara lain perkembangan ekspor CPO pada pasar yang dihadapi Indonesia membentuk suatu pola yang khas yaitu dalam satu tahun jumlah tertinggi volume permintaan ekspor terjadi pada akhir tahun, dan jumlah permintaan terendah terjadi pada awal tahun. Faktor-faktor jangka pendek yang memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan volume ekspor CPO Indonesia adalah pertumbuhan harga domestik, lag 3 pertumbuhan harga ekspor, dan lag 3 pertumbuhan nilai tukar. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini mengkombinasikan analisis deskriptif Porter’s Diamond untuk menjelaskan refleksi komprehensif dari kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu domestik dalam menghadapi persaingan dengan susu impor dan metode Engle-Granger Cointegration dan Error Correction Model (ECM) yang secara kuantitatif dapat menjelaskan faktor–faktor yang mempengaruhi volume impor susu baik itu pada jangka panjang maupun pendek. Volume impor susu dijadikan sebagai variabel identifikasi kompetitor yang dapat menggambarkan kekuatan susu domestik dalam menghadapi persaingan dengan susu impor. Peningkatan impor susu diduga mengindikasikan daya saing susu domestik yang lemah terhadap susu impor. Kebijakan yang menjadi fokus pembahasan pada kedua analisis tersebut adalah penghapusan kebijakan rasio impor susu yang menandakan reduksi intervensi pemerintah di pasar susu domestik. Melalui kedua analisis tersebut,
penelitian ini diharapkan dapat menghasikan rekomendasi strategi yang dapat memperkuat daya saing susu domestik.
2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian Merujuk pada definisi pertanian dalam arti luas, peternakan yang merupakan salah satu subsektor yang tergabung dalam integrasi tersebut mempunyai potensi bernilai untuk dikembangkan. Meningkatnya konsumsi akan komoditi hasil peternakan, dalam hal ini tertuju pada susu sebagai dampak dari karakteristik permintaannya yang responsif terhadap peningkatan pendapatan. Realitas yang terjadi, besarnya potensi permintaan akan susu tersebut tidak mampu dipenuhi oleh kapasitas produksi nasional (excess demand). Melalui mekanisme perdagangan internasional, strategi yang ditempuh adalah dengan mengizinkan aliran impor susu masuk untuk menutupi kondisi excess demand baik dari industri pengolahan susu (IPS) sebagai bahan baku untuk diolah lebih lanjut, maupun konsumen akhir. Dibukanya kran impor untuk bahan baku dan produk susu, melahirkan trade off terutama bagi peternak sapi perah. Hal ini dikarenakan kepentingan peternak sapi perah tidak terakomodasi seperti halnya kepentingan konsumen di pasar domestik. Atas argumentasi tersebut diberlakukan kebijakan restriktif mekanisme Bukti Serap (BUSEP) yang mengatur rasio penyerapan susu domestik terhadap impor susu. Pengembangan produksi susu nasional memberikan sinyalemen positif sebagai akibat dari proteksi kebijakan tersebut. Namun, upaya pengembangan
produksi susu nasional tersebut kembali terbentur dengan komitmen pro liberalisasi perdagangan Indonesia di forum perdagangan internasional. Langkah responsif yang diambil para policy makers dalam hal ini Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, serta Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah adalah dengan membuat kesepakatan untuk menghapuskan kebijakan rasio impor sebagai suatu bentuk aktualisasi. Adopsi liberalisasi perdagangan pada komoditas susu telah menyebabkan pergerakan harga susu domestik relatif lebih tinggi dibandingkan harga susu impor yang pada faktanya unggul dari segi kualitas. Hal ini memberikan tantangan yang lebih besar bagi produsen untuk mengembangkan produksi susu nasional karena secara implikatif telah meningkatkan preferensi konsumen susu domestik untuk melakukan impor susu. Isu krusial yang menjadi benang merah menghadapi fenomena peningkatan impor susu tersebut adalah daya saing (competitiveness). Fenomena peningkatan volume impor susu diduga merefleksikan daya saing susu domestik yang lemah. Konsep daya saing dipercaya dapat menjadi sebuah benchmark bagi pengembangan susu domestik. Melalui peningkatan daya saing, susu domestik diekspektasikan memberikan insentif lebih baik bagi setiap pelaku industri persusuan nasional. Metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan Porter’s Diamond dijadikan alat analisis untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu domestik pasca penghapusan kebijakan rasio impor. Sementara itu, analisis faktor–faktor yang mempengaruhi impor susu baik dalam jangka panjang
maupun pendek diestimasi secara kuantitatif dengan metode Engle-Granger Cointegration dan Error Correction Model (ECM). Ilustrasi kerangka pemikiran penelitian tertera dalam Gambar 2.4. Excess demand komoditas susu akibat peningkatan konsumsi susu yang belum dapat diimbangi dengan peningkatan produksi susu domestik melahirkan konsekwensi peningkatan impor susu
Harga riil susu impor yang lebih kompetitif disertai dengan kualitas yang lebih unggul diduga memberikan insentif lebih kepada konsumen (terutama IPS) untuk meningkatkan import demand susu
Penghapusan kebijakan rasio impor semenjak tahun 1998 pada tata niaga susu sebagai indikasi minimalisasi restriksi perdagangan pada industri persusuan nasional
Peningkatan volume impor susu merefleksikan daya saing susu domestik yang lemah
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing dan Impor Susu Indonesia Periode 1976-2005
Engle-Granger Cointegration Error Correction Model (ECM) Diagnostic Tests
Porter’s Diamond
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor susu Indonesia periode 1976-2005
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi daya saing susu domestik
Faktor–faktor yang mempengaruhi impor susu pada jangka panjang
Faktor–faktor yang mempengaruhi impor susu pada jangka pendek
Rekomendasi strategi peningkatan daya saing susu domestik
Gambar 2.4. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
2.3.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan teori, studi penelitian terdahulu, dan referensi terkait,
beberapa hipotesis yang akan diuji melalui penelitian ini meliputi : 1. Volume produksi susu domestik Volume produksi susu domestik berhubungan negatif terhadap volume impor susu. Variabel produksi susu domestik mencerminkan kekuatan penawaran
domestik
yang
turut
mempengaruhi
import
demand.
Peningkatan produksi susu domestik diasumsikan akan diserap oleh IPS sehingga akan mengurangi susu yang di impor. 2. Harga riil susu impor Harga riil susu impor mempunyai hubungan negatif terhadap volume impor susu. Artinya, kenaikan harga impor susu akan menurunkan volume impor susu. 3. Harga riil susu domestik Harga riil domestik mempunyai hubungan positif dengan volume impor susu. Kenaikan harga riil susu domestik akan menurunkan permintaan akan susu domestik sehingga menyebabkan peningkatan penyerapan susu impor sebagai barang substitusi. 4. Nilai tukar riil Rupiah Nilai tukar Rupiah secara riil berhubungan negatif terhadap volume impor susu. Depresiasi Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat menyebabkan harga susu domestik lebih kompetitif dibandingkan dengan harga susu
impor di pasar susu nasional, sehingga menurunkan insentif untuk mengimpor susu. 5. Pendapatan riil per kapita Pendapatan riil per kapita masyarakat mempunyai hubungan yang positif dengan volume impor susu. Kenaikan pendapatan riil per kapita masyarakat akan meningkatkan permintaan produk susu olahan dengan asumsi produk susu olahan dikonsumsi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Peningkatan permintaan ini secara transmisional juga mengakibatkan peningkatan terhadap derived demand impor susu. 6. Penghapusan kebijakan rasio impor Terdapat hubungan positif antara kebijakan liberalisasi perdagangan melalui mekanisme penghapusan kebijakan rasio impor dengan volume impor susu. Penghapusan kebijakan rasio impor mengakibatkan konsumen susu dapat melakukan importasi susu, tanpa harus terlebih dahulu melakukan penyerapan susu domestik yang ditetapkan melalui mekanisme Bukti Serap (BUSEP). Oleh karena
itu, berkurangnya restriksi
perdagangan diduga telah memberikan keleluasaan bagi konsumen susu untuk melakukan impor susu.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Spesifikasi data yang digunakan dalam menjawab perumusan masalah
penelitian berupa data sekunder. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu domestik dengan pendekatan Porter’s Diamond bersumber dari beragam literatur dan referensi relevan yang dilengkapi dengan data-data statistik yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Badan Pusat Statistik. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor susu Indonesia periode 1976-2005 menggunakan data sekunder berbentuk time series tahunan (annual) pada periode penelitian tersebut. Volume impor susu Indonesia dijadikan sebuah variabel diagnostik untuk merefleksikan kondisi daya saing (competitiveness) susu domestik terhadap susu impor dalam suatu kerangka kompetisi. Peningkatan volume impor susu disinyalir merefleksikan daya saing susu domestik yang rendah. Variabel yang diduga merupakan faktor–faktor yang mempengaruhi impor susu meliputi volume produksi susu domestik, harga riil susu impor, harga riil susu domestik, nilai tukar riil Rupiah, pendapatan riil perkapita dan dummy kebijakan penghapusan rasio impor. Seluruh data dikompilasi dari publikasi statistik beberapa badan dan direktorat seperti yang terangkum pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Sumber Data Penelitian Variabel Volume impor susu
Ton
Simbol Koefisien QM
Volume produksi susu domestik
Ton
QP
Harga riil susu impor
US$/kg
PM
Harga riil susu domestik
Rp/liter
PD
Nilai tukar riil Rupiah Pendapatan riil per kapita
Rp/US$ Rp/orang
RER GDP
3.2.
Satuan
Sumber data Direktorat Jenderal Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan Bank Indonesia Badan Pusat Statistik
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: Pertama, metode
deskriptif untuk menjelaskan fenomena yang terjadi berkaitan dengan kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu domestik sebagai bahan baku susu domestik di tengah serbuan impor pasca penghapusan kebijakan rasio impor dengan menggunakan pendekatan Porter’s Diamond. Kedua, metode kuantitatif dengan menggunakan alat ekonometrika melalui pengestimasian Engle-Granger Cointegration dan Error Correction Model (ECM) untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi impor susu sebagai permasalahan yang mendegradasi daya saing susu domestik pada jangka panjang maupun pendek. Pengestimasian tersebut dilakukan dengan menggunakan software E-Views 4.1.
3.2.1. Porter’s Diamond Analisis deskriptif faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi daya saing susu domestik dilakukan dengan menggunakan pendekatan Porter’s Diamond berdasarkan referensi terkait dan data-data publikasi statistik sebagai pendukung. Kondisi faktor secara fokus menganalisis kondisi produksi susu domestik,
komposisi ketenagakerjaan (sumberdaya manusia), permodalan, dan infrastruktur pasa subsistem usaha peternakan sapi perah. Kondisi permintaan menyoroti konsumsi produk susu olahan yang digerakkan diantaranya oleh peningkatan per kapita masyarakat dan populasi. Koperasi dan industri pakan dijadikan sebagai objek penganalisisan determinan industri terkait dan pendukung. Sementara strategi, struktur, dan persaingan lebih dalam membahas mengenai kondisi persaingan antara susu domestik dan impor sebagai input IPS. Pemerintah, sebagai faktor eksternal melakukan intervensi melalui penghapusan kebijakan rasio impor yang memiliki dampak beragam terhadap determinan kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan pendukung, serta strategi, struktur, dan persaingan. Determinan kesempatan direpresentasi oleh pergerakan nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.
3.2.2. Engle-Granger Cointegration dan Error Correction Model (ECM) 3.2.2.1. Kestasioneran Data Hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian dengan menggunakan data time series adalah stasioneritas. Data yang tidak stasioner dapat menyebabkan spurious regression, yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal dalam kenyataannya tidak sebesar regresi yang dihasilkan tersebut. Pengujian untuk mengukur stasioneritas dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test atau uji akar-akar unit (unit root test).
Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah: H0 = data tidak stasioner (mengandung unit root) H1 = data stasioner (tidak mengandung unit root) Penolakan H0 menunjukkan data yang dianalisis sudah stasioner. Data dikatakan stasioner jika ADF test statistics lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon.
3.2.2.2. Engle-Granger Cointegration Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang (equilibrium) antara variabel-variabel yang tidak stasioner dan residual dari kombinasi linier tersebut harus stasioner. Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kestabilan jangka panjang antara variabel-variabel yang ada sehingga dapat digunakan dalam sebuah persamaan. Metode yang digunakan dalam pengujian ini adalah metode Engle-Granger Cointegration Test yang biasanya dilakukan pada persamaan tunggal yang searah. Engle-Granger Cointegration pada dasarnya menggunakan metode Augmented Dickey-Fuller (ADF) yang terdiri dari dua tahap. Tahap pertama dilakukan dengan meregresikan persamaan variabel dependen dengan variabel independen. Volume impor susu Indonesia diregresikan dengan produksi susu domestik, harga riil susu impor, harga riil susu domestik, nilai tukar riil Rupiah, dan pendapatan riil per kapita masyarakat) kemudian didapatkan residual (u) dari persamaan tersebut. Tahapan kedua dilakukan dengan menggunakan metode ADF yang menguji akar-akar unit terhadap u dengan hipotesis yang sama dengan hipotesis akar-akar unit ADF sebelumnya.
Jika hipotesis nol ditolak atau signifikan maka variabel u adalah stasioner atau dalam hal ini ada kombinasi linier antara volume impor susu Indonesia diregresikan dengan produksi susu domestik, harga riil impor susu, harga riil susu domestik, nilai tukar riil Rupiah, dan pendapatan riil per kapita atau stasioner untuk u = I(0). Artinya meskipun variabel-variabel yang digunakan tidak stasioner namun dalam jangka panjang variabel-variabel tersebut cenderung menuju pada keseimbangan. Oleh karena itu, kombinasi linier dari variabel-variabel ini disebut regresi kointegrasi dan parameter-parameter yang dihasilkan dari kombinasi tersebut dapat disebut sebagai co-integrated parameters atau koefisien-koefisien jangka panjang. Impor susu = f(Volume produksi susu domestik, Harga riil susu impor, Harga riil susu domestik, Nilai tukar riil Rupiah, dan Pendapatan riil per kapita). Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah: LNQMt= b0+ b1LNQPt+ b2LNPMt+b3LNPDt+ b4LNRERt+ b5LNGDPt+ ut, (3.1) Dimana : LNQMt = Volume impor susu Indonesia periode t, LNQPt = Volume produksi susu domestik periode t, LNPMt = Harga riil susu impor periode t, LNPDt = Harga riil susu domestik periode t, LNRERt = Nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada periode t, LNGDPt = Pendapatan riil per kapita pada periode t, ut
= error distribunce periode t.
3.2.2.3. Error Correction Model (ECM) Hasil estimasi pada pengujian akar-akar unit dan kointegrasi dapat digunakan untuk mengestimasi model dengan menggunakan Error Correction Model (ECM). DLNQMt= β1DLNQPt+β2DLNPMt+β3DLNPDt+β4DLNRERt+β5DLNGDPt+ D1+ γut-1+ et, (3.2) -1< γ < 0 Dimana : D
= Perbedaan pertama (first difference),
QMt = Volume impor susu Indonesia periode t, QPt
= Volume produksi susu domestik periode t,
PMt
= Harga riil susu impor periode t,
PDt
= Harga rill susu domestik periode t,
RERt = Nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat periode t, GDPt = Pendapatan riil per kapita Indonesia periode t, D1
= Dummy penghapusan kebijakan rasio impor,
γ
= Error Correction Term
ut
= LNQMt -b0-b1LNQPt -b2LNPMt - b3LNPDt - b4LNRERt - b5LNGDPt (3.3)
et
= error distribunce periode t.
Persamaan 3.2 dapat juga dianalisis dengan mengeluarkan koefisien dalam u menjadi: DLNQ t = β0+ β1DLNQPt+ β2DLNPMt+ β3DLNPDt+β4DLNRERt+ β5DLNGDPt +β6LNQMt-1β7LNQPt-1+β8LNPMt-1+β9LNPDt-1+β10LNRERt-1 +β11DLNGDPt-1+ D1+ et (3.4) Dimana: β0 = -b0 (γ)
β1 = b1 β2 = b2 β3 = b3 β4 = b4 β5 = b5 β6 = γ β7 = - b1(γ) β8 = -b2(γ) β9 = -b3(γ) β10 = - b4(γ) β11 = - b5(γ) Untuk mengetahui apakah spesifikasi model dengan ECM merupakan model yang valid maka dilakukan uji terhadap koefisien Error Correction Term (ECT). Jika hasil pengujian terhadap koefisien ECT signifikan, maka spesifikasi model yang diamati valid.
3.2.2.4. Uji Diagnostik (Diagnostic Tests) Penelitian ini menggunakan pengujian pelanggaran asumsi klasik (Gujarati, 1995), yaitu : 1. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah hubungan antar variabel-variabel eksogen. Dalam multikolinearitas terdapat hubungan fungsional yang bersifat linier antara dua atau lebih variabel bebas yang begitu kuat sehingga berpengaruh terhadap
koefisien hasil estimasi dan koefisien regresi dari variabel bebas tersebut. Konsekuensi dari adanya multikolinearitas yaitu : a. Hasil-hasil estimasi tetap tidak bias, b. Varian dan standar error akan meningkat, c. Nilai t akan turun, d. Hasil-hasil estimasi akan menjadi sangat peka terhadap perubahan-perubahan spesifikasi, e. Kecocokan data dan estimasi variabel-variabel yang tidak berkolinearitas tidak terpengaruh oleh munculnya multikolinearitas. Pendeteksian adanya multikolinearitas dapat dilakukan dengan memeriksa koefisien korelasi sederhana antar variabel penjelas. Apabila nilai R2 tinggi, maka ada dua variabel penjelas tertentu berkorelasi dan masalah multikolinaritas ada di dalam persamaan itu. Korelasi antara dua variabel dikatakan memiliki hubungan yang tinggi apabila nilai koefisien korelasi melebihi 0,80. 2. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang penting dari model regresi linier klasik adalah varian residual bersifat homoskedastik atau bersifat konstan. Apabila asumsi tersebut tidak terpenuhi maka varian residual tidak lagi bersifat konstan disebut dengan heteroskedastisitas. Konsekuensi dari adanya heteroskedastisitas yaitu : a. Estimasi dengan menggunakan ECM tidak akan memiliki varian yang minimum atau estimator tidak efisien,
b. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varian yang tinggi sehingga prediksi menjadi tidak efisien, Pengujian yang dapat dilakukan untuk mendeteksi apakah data yang diamati terjadi heteroskedastisitas atau tidak yaitu dengan uji WhiteHeteroskedasticity. Apabila nilai probability Obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata berarti terdapat gejala heteroskedastisitas pada model, namun bila nilai probability Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata berarti tidak terdapat gejala heteroskedastisitas pada model. 3. Uji Autokorelasi Masalah autokorelasi merujuk pada hubungan error term antar dua pengamatan. Autokorelasi terjadi pada serangkaian data runtut waktu, dimana error term pada satu periode waktu secara sistematik tergantung kepada error term pada periode-periode waktu yang lain. Konsekuensi dari adanya autokorelasi yaitu : a. Ragam yang diperoleh dari estimasi dengan ECM bersifat under estimate, yaitu nilai varian parameter yang diperoleh lebih kecil daripada nilai varian yang sebenarnya. b. Prediksi yang didasarkan pada metode ECM bersifat inefisien, artinya memiliki varian yang lebih besar dibandingkan dengan metode ekonometrika lainnya. Uji yang digunakan untuk mendeteksi apakah pada data yang diamati terjadi autokorelasi atau tidak adalah uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM.
Apabila nilai probability Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata maka tidak ditemukan gejala autokorelasi pada model, namun bila nilai probability Obs*Rsquared lebih kecil dari taraf nyata maka ditemukan gejala autokorelasi pada model. Cara untuk mengatasi autokorelasi adalah dengan menambahkan variabel Auto Regressive (AR). Uji pelanggaran asumsi klasik digunakan untuk melihat kestabilan elastisitas jangka pendek dari hasil pengolahan penelitian. 3.Uji Normalitas Normalitas merupakan salah satu asumsi statistik dimana error term terdistribusi normal. Jika asumsi ini terpenuhi, prosedur pengujian menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term yang dilakukan adalah uji Jarque-Bera. Jika probability Obs*R-squared lebih besar dibandingkan taraf nyata maka error term terdistribusi normal.
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PERSUSUAN NASIONAL
4.1.
Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia Peternakan sapi perah di Indonesia telah berkembang sebagai usaha sejak
masa penjajahan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke 19 mendatangkan sapi perah bibit jenis Fries Holland (FH) sebagai perintis peternakan sapi perah di Indonesia. Fries Holland mempunyai kemampuan laktasi yang tinggi dan relatif sesuai dengan kondisi klimatologi Indonesia, sehingga dapat dibudidayakan. Usaha peternakan sapi perah berkembang menjadi usaha skala menengah yang
terbatas
pada
wilayah tertentu pada
dekade
70-an.
Pemerintah
menggerakkan perkembangan usaha peternakan sapi perah yang diawali dengan kebijakan penanaman modal di subsektor industri manufaktur pengolahan susu segar (IPS), sehingga turut menstimulasi perkembangan usaha peternakan sapi perah on farm dalam peranannya dalam penyediaan input. Intervensi pemerintah untuk mengembangkan peternakan sapi perah semakin tercermin di era 1980-an. Penetapan kebijakan rasio impor susu, merupakan
puncak
dari
proteksi
yang
diberikan
pemerintah
untuk
mengembangkan usaha peternakan sapi perah. Kebijakan restriktif ini berlangsung sampai dengan tahun 1998. Pasca krisis ekonomi yang mengguncang Indonesia, deregulasi dilakukan di berbagai sektor untuk memenuhi tuntutan dari International Monetary Fund (IMF), tak terkecuali pada usaha peternakan sapi perah. Kebijakan rasio impor susu dihapuskan karena dianggap telah mendistorsi
perdagangan dan secara khusus telah menciptakan inefisiensi pada usaha peternakan sapi perah. Hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan deregulasi tersebut adalah penataan ulang struktur pasar susu nasional serta penyelamatan nasib ribuan peternak sapi perah yang menerima konsekuensi logis berupa penurunan surplus yang diterima oleh produsen (Yusdja dan Rusastra, 2001). Perkembangannya penyebaran usaha peternakan sapi perah relatif menunjukkan tingkat pendistribusian yang tidak merata di Indonesia. Hal ini tertabulasi pada Tabel 4.1 yang menunjukkan data sebaran populasi sapi perah (per lima tahun) di Indonesia periode 1985–2005. Tabel 4.1. Sebaran Populasi Sapi Perah (per Lima Tahun) di Indonesia Periode 1985–2005 Wilayah
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
844 (0,48) 346 (0,12) 220 (0,06) 133 (0,03) 152 (0,04)
0 (0) 116 (0,03) 51 (0,01) 306 (0,08) 774 (0,2)
Tahun 1985 (%) 1990 (%) 1995 (%) 2000 (%) 2005 (%)
8.628 (4,91) 9.988 (3,39) 9.363 (2,74) 7.763 (2,17) 7.806 (2,16)
165.821 (94,41) 283.200 (96,36) 331.531 (97,14) 346.257 (97,70) 352.488 (97,54)
Bali, NTB, dan NTT 131 (0,07) 119 (0,04) 75 (0,02) 54 (0,01) 62 (0,02)
Maluku dan Papua 145 (0,08) 109 (0,03) 94 (0,03) 111 (0,03) 69 (0,02)
Indonesia
175.638 (100) 347.989 (100) 341.334 (100) 354.386 (100) 361.351 (100)
Sumber: Ditjen Peternakan , 2006 Catatan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase populasi sapi perah per wilayah terhadap populasi sapi perah nasional
Distribusi penyebaran populasi sapi perah di Indonesia menunjukkan pola yang terkonsentrasi di Pulau Jawa. Berdasarkan Tabel 4.1, dapat diketahui bahwa 94–98 persen populasi sapi perah nasional berada di Pulau Jawa. Besarnya persentase penyebaran ini menandakan bahwa mayoritas usaha peternakan sapi perah berkembang di Pulau Jawa. Tiga propinsi yang menjadi sentra usaha
peternakan sapi perah berdasarkan kriteria besarnya populasi di adalah propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Di tahun 2005, populasi sapi perah di ketiga propinsi tersebut masing–masing mencapai 134.043 ekor, 114.116 ekor, dan 92.770 ekor. Berkaitan dengan pengkonsentrasian usaha peternakan sapi perah tersebut, Sutardi (1981) mengemukakan bahwa usaha peternakan sapi perah di Indonesia terletak pada dua wilayah ekstrim yaitu : (1) wilayah yang memiliki kondisi fisik alam yang rendah akan tetapi memiliki kondisi sosial ekonomi yang tinggi dan (2) wilayah dengan kondisi alam yang tinggi tetapi mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah. Pada dasarnya, tipe wilayah (1) merupakan dataran rendah yang terletak di sekitar kota besar dan bersuhu panas; dan tipe wilayah (2) menggambarkan pedesaan yang terletak dataran tinggi dan bersuhu sejuk. Beberapa kelemahan yang timbul dari karakteristik tersebut adalah rendahnya penyediaan hijauan dan performa produksi pada tipe wilayah (1) serta minimnya penyediaan konsentrat dan rantai pemasaran susu di tipe wilayah (2). Wilayah yang cocok untuk pengembangan usaha peternakan sapi perah di Indonesia adalah daerah pegunungan dengan ketinggian minimum 800 meter di atas permukaan laut. Penelaahan hubungan produksi susu sapi perah dengan topografi wilayah memperlihatkan bahwa selisih ketinggian 100 meter berkaitan erat dengan perbedaan produksi rata-rata sekitar empat persen. Karakteristik selanjutnya yang merefleksikan usaha peternakan sapi perah di Indonesia adalah relatif kecilnya skala usaha tersebut. Usaha peternakan sapi perah sebagai supplier domestik susu merupakan usaha subsisten dan belum
mencapai skala ekonomis. Sebesar 80 persen pengusahaan tersebut dilakukan oleh peternak kecil dengan rata-rata pemilikan tiga sampai dengan empat ekor sapi perah dan umumnya dilaksanakan sebagai usaha tambahan (Nurudin, 2006). Pernyataan tersebut didukung oleh Tabel 4.2 yang memperlihatkan bahwa ratarata pemilikan sapi perah rumah tangga peternak di Indonesia mencapai angka tertinggi sebesar 3,4 ekor/rumah tangga berdasarkan data sensus pertanian yang dipublikasikan pada tahun 1993. Tabel 4.2. Rata–rata Kepemilikan Sapi Perah Rumah Tangga Peternak Indonesia pada Tahun 1973, 1983, 1993, dan 2003 Tahun 1973 1983 1993 2003
Populasi Sapi Perah (ekor) 70.000 198.000 329.000 374.000
Jumlah Rumah Tangga Peternakan 31.438 64.663 98.000 118.752
Rata – rata Pemilikan Sapi Perah (ekor/ RT) 2,2 3,1 3,4 3,1
Sumber: Ditjen Peternakan, 2006
Swastika (2000), juga menyimpulkan hal yang serupa dimana skala usaha peternakan sapi perah di Indonesia belum mencapai nilai yang ekonomis. Ratarata pemilikan sapi perah enam ekor/rumah tangga merupakan skala usaha yang paling efisien untuk pengembangan usaha peternakan sapi perah. Peningkatan populasi sapi perah sangat mempengaruhi perkembangan produksi susu domestik. Tetapi besarnya peningkatan populasi sapi perah secara proporsional tidak selalu akan meningkatkan produksi susu dengan besar kenaikan yang sama. Hal ini dikarenakan 30 persen kemampuan berproduksi sapi perah dipengaruhi oleh kemampuan genetiknya sementara 70 persen lainnya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, tata laksana, iklim, penyakit, dan sebagainya (Suhartini, 2001).
Produksi susu domestik dalam perkembangannya menunjukkan trend perkembangan yang positif meskipun berfluktuasi seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 4.1. Hal ini disebabkan oleh peningkatan populasi sapi perah yang ditempuh melalui impor sapi perah bibit, pengembangan teknologi inseminasi buatan, dan kemudahan akses kredit yang diberikan oleh pemerintah pada usaha peternakan sapi perah. Injeksi modal usaha melalui kredit koperasi ini secara operasional memiliki kelemahan. Program sapi perah cenderung mengutamakan aspek pemerataan dan kurang mempertimbangkan efisiensi dan kesesuaian wilayah. Akibatnya usaha ternak sapi perah yang dirintis menghadapi banyak masalah dan pada akhirnya terjadi kemacetan dalam pelunasan kredit (Taryoto, 1993). 600,000 500,000 ton
400,000 300,000 200,000 100,000 0 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 tahun Produksi susu domestik
Sumber: Ditjen Peternakan, 2006
Gambar 4.1. Perkembangan Produksi Susu Domestik Indonesia Periode 1976 -2005 Produksi susu domestik mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dimulai pada dekade 80-an. Proteksi rasio impor memberikan kondusivitas bagi iklim usaha peternakan sapi perah. Kondisi ini terus berlanjut sampai dengan terjadinya krisis ekonomi di tahun 1997. Guncangan nilai tukar yang
mengakibatkan kenaikan harga impor pakan konsentrat dan sapi perah bakalan membuat daya beli peternak sapi perah menurun tajam. Membaiknya perekonomian makro pasca krisis yang ditandai dengan nilai tukar yang lebih stabil, direspon secara positif oleh usaha peternakan sapi perah yang kembali mampu memompa kapasitas produksinya. Susu segar sebagai output dari usaha peternakan sapi perah sekaligus input IPS mempunyai sifat fisik yang spesifik. Susu segar merupakan komoditi peternakan yang paling mudah rusak (perishable) dibandingkan dengan komoditi peternakan lainnya. Selain itu, wujudnya yang berbentuk cair dan memakan banyak tempat (voluminous) mengakibatkan penanganan pasca panen harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian (Departemen Pertanian dalam Karliyenna, 1990). Beberapa kualifikasi teknis yang harus dipenuhi oleh susu segar terlebih pada fungsinya sebagai input Industri Pengolahan Susu (IPS), adalah: (1)
Warna, bau, rasa, kekentalan: tidak ada perubahan
(2)
Berat Jenis (BJ) pada suhu 27,5o sekurang-kurangnya 1,0280
(3)
Kadar lemak (fat) sekurang-kurangnya 2,8 persen
(4)
Kadar bahan kering tanpa lemak (SNF) sekurang-kurangnya 8,0 persen
(5)
Derajat asam: 4,5 – 7o SH
(6)
Uji alkohol 70 persen : negatif
(7)
Uji didih: negatif
(8)
Katalase setinggi-tingginya 3 cc
(9)
Titik beku -0,520o C sampai -0,560o C
(10)
Angka refraksi 34,0
(11)
Kadar protein sekurang-kurangnya 2,7 persen
(12)
Angka reduktase dua sampai dengan lima jam, dan
(13)
Jumlah kuman yang dapat dibiakkan tiap cc setinggi-tingginya tiga juta.
Seluruh kriteria kualitas susu tersebut dirujuk berdasarkan Standar SK Direktorat Jenderal Peternakan No. 17/Kpts/DJP/Deptan/1983. Tidak semua kriteria tersebut dapat diaplikasikan melalui serangkaian pengujian pada usaha peternakan. Keterbatasan pengetahuan dan fasilitas menjadi sebuah kendala dalam mengukur kualitas. Kualitas merupakan dasar penetapan harga susu segar sebagai bahan baku industri. Berat Jenis (BJ) atau Total Solid (TS) dan kandungan lemak (fat) merupakan kriteria yang telah digunakan secara luas oleh Industri Pengolahan Susu (IPS). Kriteria penting lainnya untuk menyerap bahan baku susu adalah total kandungan bakteri atau Total Plate Cone (TPC). Tabel 4.3 berikut ini menyajikan standarisasi bahan baku susu menurut total kandungan bakteri (TPC). Tabel 4.3. Standarisasi Bahan Baku Susu menurut Total Kandungan Bakteri (TPC) pada Industri Pengolahan Susu (IPS) Standar Grade I Grade II Grade III Grade IV Grade V Grade VI Grade VII Grade VIII
Sumber: Nurudin, 2006
Total Kandungan Bakteri (TPC) per cc 1 – 500.000 500.000 – 1.000.000 1.000.000 – 3.000.000 3.000.000 – 5.000.000 5.000.000 -10.000.000 10.000.000 – 15.000.000 15.000.000 – 20.000.000 > 20.000.000
Hingga saat ini, usaha peternakan sapi perah setidaknya masih dihadapkan pada tiga permasalahan pokok sebagai berikut: 1)
Tingkat produktivitas susu yang relatif rendah. Rendahnya produktivitas ini pada umumnya disebabkan oleh tingkat pengelolaan yang kurang baik (poor management) sebagai akibat dari rendahnya tingkat pengetahuan petani. Performa dari produksi susu masih berada jauh di bawah potensi genetiknya.
2)
Sistem pemasaran bahan baku susu yang mencakup bentuk pasar dan proses pembentukan harga, fasilitas, maupun struktur kelembagaan belum kondusif untuk mendorong perkembangan usaha peternakan sapi perah. Lemahnya sistem pemasaran susu segar untuk bahan baku industri mengakibatkan biaya pemasaran menjadi tinggi.
3)
Penanganan pascapanen yang masih tradisional dan belum tertangani dengan baik mengakibatkan bahan baku susu menjadi mudah rusak (perishable) saat memasuki proses pemasaran.
4.2.
Perkembangan Konsumsi Susu Indonesia Peningkatan perdapatan per kapita masyarakat Indonesia dan peningkatan
populasi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan merupakan dua faktor utama terjadinya evolusi pola konsumsi rumah tangga di Indonesia. Pergeseran konsumsi juga terjadi di pos pengeluaran untuk bahan makanan. Rumah tangga cenderung untuk mengalihkan sebagian alokasi pengeluaran untuk bahan makanan pokok ke bahan makanan lain yang mempunyai kadar kalori dan protein
yang lebih tinggi seperti ikan, telur, daging unggas, daging sapi, daging babi, dan susu (Fabiosa, 2005). Konsumsi susu masyarakat di Indonesia didominasi oleh produk susu olahan dibandingkan susu segar. Simatupang, et al. (1993) menjelaskan penyebab kondisi tersebut adalah: pertama, kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap susu segar domestik; kedua, jangkauan pemasaran susu segar terbatas karena sifatnya yang mudah rusak dan terbatasnya akses terhadap cold storage; dan ketiga, keunggulan susu olahan yang praktis dan relatif tahan lama apabila disimpan; keempat, harga susu segar yang langsung disalurkan kepada konsumen relatif lebih mahal dibandingkan dengan produk susu olahan. Faktor–faktor tersebut menyebabkan konsumsi susu segar terbatas pada konsumen yang tinggal di daerah peternakan dan masyarakat kota yang berpendapatan tinggi. Perkembangan konsumsi susu di Indonesia dapat diketahui melaui perkembangan indikator konsumsi susu per kapita. Angka konsumsi susu olahan per kapita Indonesia mengalami peningkatan semenjak dekade 1980an sampai dengan 2000an terutama untuk susu kental manis (sweet canned liquid milk) dan susu bubuk full cream (Tabel 4.4). Perkembangan di dekade 2000an ditandai dengan angka konsumsi per kapita untuk susu bubuk skim mencapai 0,30 kg/orang/tahun. Angka ini mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan konsumsi per kapita susu bubuk skim pada dekade-dekade sebelumnya. Begitu pula halnya dengan konsumsi per kapita susu full cream yang mencapai 0,31 kg/orang/tahun. Konsumsi per kapita susu olahan Indonesia masih sangat rendah apabila
dibandingkan dengan negara tetangga lainnya di kawasan Asia. Malaysia, sebagai negara tetangga serumpun telah menjadi negara konsumen susu olahan tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Konsumsi per kapita Malaysia mencapai 2,54 kg/orang/tahun untuk susu bubuk skim dan 2,73 kg/orang/tahun untuk susu bubuk full cream. Potensi permintaan susu olahan di Indonesia seperti negara berkembang lainnya diprediksi akan terus bertambah seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita dan populasi masyarakat, meskipun konsumsi perkapita susu olahan dimulai dengan angka yang relatif rendah (Upton, 2001). Tabel 4.4. Perkembangan Konsumsi per Kapita Produk Susu Olahan Beberapa Negara di Kawasan Asia Produk
Negara
Susu bubuk skim
China India Indonesia Jepang Malaysia Filipina Korea Selatan China India Indonesia Jepang Malaysia Filipina Korea Selatan
Susu bubuk full cream
Konsumsi per kapita (kg/orang/tahun) 1980an 1990an 0,00 0,04 0,12 0,10 0,19 0,20 2,14 2,21 1,57 3,52 1,01 1,18 0,76 1,03 0,04 3,29 0,45 0,26
2000an 0,08 0,17 0,30 1,70 2,54 1,25 0,98
0,09 2,10 0,51 0,12
0,31 2,73 0,49 0,40
Sumber: USDA, 2000 Catatan: (-) Data tidak tersedia
4.3.
Pemasaran Bahan Baku Susu dan Produk Susu Olahan Indonesia Gambaran umum saluran pemasaran bahan baku susu dan produk susu
olahan dapat diklasifikasikan menjadi lima saluran pemasaran berbeda. Berdasarkan kriteria asal penawaran, kelima saluran pemasaran tersebut dapat
kembali diklasifikasikan menjadi dua yakni saluran pemasaran domestik (Saluran 1, 3, dan 5) serta saluran pemasaran impor (Saluran 2 dan 4). Saluran pemasaran utama bahan baku susu adalah Saluran 1 dan 2, yang secara lebih rinci akan dideskripsikan dalam sub bab 4.3. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa: Pertama, mayoritas peternak sapi perah sebagai supplier bahan baku susu domestik tergabung dalam wadah koperasi (Saluran 1) meskipun kapasitas produksi yang disalurkan sangat rendah. Kekurangan pasokan bahan baku tersebut direspon IPS dengan cara melakukan impor bahan baku susu (Saluran 2) dari negara importir bahan baku susu seperti Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, dan Belanda. Kedua, baik itu Saluran 1 maupun 2 merupakan saluran pemasaran bahan baku susu yang digunakan sebagai input IPS untuk menghasilkan produk susu olahan. Konsumen akhir mempunyai preferensi yang lebih tinggi untuk mengkonsumsi produk susu olahan dalam negeri yang dihasilkan oleh IPS. Proses pemasaran susu segar yang baik merupakan salah satu prasyarat pengembangan usaha peternakan sapi perah yang diilustrasikan melalui Saluran 1 pada Gambar 4.2. Keterbatasan peternak sapi perah yang tidak mampu menyediakan marketing channel yang baik mengakibatkan mereka beraliansi dengan format koperasi. Disamping itu, Baga (2005) menyatakan secara umum terdapat banyak alasan yang menyebabkan koperasi menjadi hal yang dibutuhkan bagi pengembangan pertanian. Pertama, petani menjalankan usaha yang relatif kecil dibandingkan partnernya, sehingga memiliki posisi rebut tawar yang lemah. Kedua, pasar produk pertanian pada umumnya dikuasai oleh pembeli yang
jumlahnya relatif sedikit dibandingkan petani yang berjumlah banyak. Ketiga, besarnya permintaan pembeli produk umumnya baru dapat dipenuhi dari penggabungan volume produksi banyak petani. Keempat, keragaman kualitas produk pertanian menyulitkan proses pemasaran apabila dilakukan secara individu. Kelima, karakter sektor pertanian yang secara geografis menyebar menyebabkan hanya sedikit petani yang berlokasi dengan pasar. Hal ini juga menyebabkan rendahnya kemampuan petani menjangkau berbagai alternatif pembeli. Keenam, kualitas sumberdaya manusia petani umumnya relatif rendah sehingga menyulitkan ekspansi usaha. Ketujuh, cara hidup petani yang identik dengan prinsip gotong royong berpengaruh terhadap proses pemecahan masalah. Koperasi yang dikategorikan sebagai koperasi primer ini beranggotakan peternak sapi perah kolektif yang terdiri atas 20 sampai dengan 1000 orang anggota. Hal ini dikarenakan kelompok koperasi tidak berazaskan pada one man one vote melainkan one group one vote (Sudaryanto, Rusastra, dan Jamal, 1999). Pada tahun 1980, didirikan koperasi sekunder yang berskala nasional untuk menjembatani kepentingan peternak sapi perah dan Industri Pengolahan Susu (IPS). Organisasi tersebut dinamakan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) yang secara sentralistik menerapkan kebijakan pada koperasi primer. GKSI mempunyai tugas untuk menentukan supply dan melakukan negosiasi harga susu segar. GKSI sendiri tidak mempunyai usaha peternakan sapi perah sehingga maksimisasi keuntungan hanya dapat ditempuh dengan meningkatkan harga kepada IPS atau pemotongan harga dengan proporsi yang lebih besar terhadap harga susu di level peternak. Bargaining position peternak sapi perah diharapkan
menjadi lebih tinggi melalui wadah ini, dikarenakan IPS hanya melakukan pembelian susu segar dengan sistem kontrak pada GKSI. Koperasi dengan proses pembentukan ”top down” akibat dominasi peranan GKSI dalam pemasaran dan penentuan harga susu secara agregat serta intervensi pemerintah dalam mengatur organisasi dan bisnis koperasi sebenarnya tidak sesuai dengan azas koperasi yang berasal dari bawah. Pembentukan anggota koperasi primer bukanlah atas dasar akumulasi modal anggota tetapi lebih banyak bersifat pemberian kredit ternak sapi dalam rangka kemitraan dengan bantuan modal sepenuhnya dari pemerintah. Status anggota koperasi primer hanya berfungsi pada saat menjual susu segar dan pembayaran iuran wajib serta simpanan pokok. Fungsi lain seperti fungsi kontrol dalam rapat pleno dan hak-hak lainnya tidak berjalan. Akibatnya koperasi primer sebagai lembaga ekonomi menjalankan manajemen tanpa pengawasan yang ketat oleh anggota, sebaliknya koperasi cenderung lebih berkuasa mengatur anggota (Yusdja, Ilham, dan Sejati, 2003). IPS sebagai processor menentukan jumlah permintaan susu segar sebagai bahan baku dengan tingkat harga tertentu. Jumlah permintaan bahan baku susu ini pada dasarnya merupakan derived demand daripada permintaan susu olahan masyarakat. Meningkatnya konsumsi per kapita susu olahan secara implikatif telah meningkatkan permintaan IPS akan bahan baku. Pada tahun 2005, konsumsi domestik susu dan produk susu mencapai 1,81 juta ton. Angka konsumsi tersebut kemudian dijadikan rujukan dalam menentukan jumlah permintaan bahan baku susu IPS. Kapasitas produksi susu segar domestik yang hanya sebesar 0,53 juta
ton, membuat IPS mengimpor bahan baku susu sebagai alternatif lain untuk memenuhi konsumsi domestik (Ditjen Peternakan, 2006) Suhartini (2001) mengemukakan bahwa mekanisme penentuan harga yang terjadi di pasar susu cenderung ditetapkan secara sepihak oleh IPS. Bentuk pasar yang bersifat oligopsoni antara GKSI yang hakikatnya
merepresentasikan
kepentingan ratusan ribu peternak sapi perah dan IPS yang jumlahnya relatif terbatas menyebabkan posisi peternak sapi perah kurang diuntungkan. GKSI sebagai negosiator, memperlihatkan andil yang kurang optimal. Terlebih setelah penghapusan kebijakan rasio impor susu, susu segar sebagai susu domestik dihadapkan pada kompetisi dengan susu impor. Pelaku lainnya dalam rantai pemasaran susu dan produk susu adalah para pedagang perantara (retailer). Retailer bertugas untuk mentransmisikan dan mendistribusikan
produk susu
olahan yang dihasilkan oleh IPS sampai ke tangan konsumen. Secara rata-rata, retailer memperoleh margin sebesar 10-20 persen dari harga aktual yang harus dibayarkan konsumen produk susu olahan (Nurudin, 2006). Ketidakcukupan produksi bahan baku susu domestik mendorong IPS untuk melakukan impor bahan baku susu yang ditunjukkan oleh Saluran 2. IPS yang diberikan keistimewaan (previlege) untuk mengimpor bahan baku susu adalah importir terdaftar (IT)10. Hingga saat ini, terdapat sepuluh IPS yang telah dilegalisasi sebagai IT, yakni: PT. Nestle Indonesia, PT. Indomilk , PT. Friesche Flag Indonesia, PT. Foremost Indonesia, PT. Ultrajaya Milk Industry, PT. Mirota SKM, PT. Nutricia Indonesia Sejahtera, PT. Danone Dairy Indonesia, PT. Sari 10
Importir terdaftar (IT) adalah importir yang mendapatkan izin perdagangan umum untuk mengimpor barang ke dalam wilayah pabean Indonesia dengan tujuan khusus untuk mengimpot barang tertentu yang ditentukan oleh pemerintah (CIC, 2005).
Husada, dan PT. Sugizindo (CIC, 2005). Bahan baku susu pada umumnya dijual dengan sistem harga yang disebut free on board (FOB) tetapi beberapa importir juga menjualnya dengan sistem harga cost, insurance and freight (CIF). Bahan baku yang diserap oleh IPS digunakan sebagai campuran bahan baku susu domestik untuk menghasilkan susu bubuk maupun susu kental manis. Output IPS dengan yang memiliki kandungan domestik dan impor tersebut selanjutnya dipasarkan melalui saluran yang identik dengan Saluran 1. Hal ini disebabkan oleh Saluran 2 juga melibatkan peran serta retailer agar produk susu olahan sampai ke tangan konsumen akhir. Saluran 3 dan 5 merupakan saluran pemasaran sekunder bahan baku susu domestik. Saluran 3 dapat dilakukan oleh dua pihak. Pertama, oleh koperasi primer peternak yang belum memiliki fasilitas pengolahan yang memadai. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, yakni : belum tersedianya modal untuk pengadaan unit pengolahan karena jumlah anggota yang kecil dan belum tercapainya skala usaha (Swastika, et al., 2000). Insentif harga yang diberikan oleh IPS dirasakan kurang baik, apalagi dihadapkan pada fakta bahwa koperasi primer tersebut belum mampu menyediakan kualifikasi bahan baku susu yang telah diproses terlebih dahulu. Keterbatasan ini membuat peternak mengambil keputusan untuk memasarkan secara langsung susu segar kepada konsumen dengan menggunakan jasa para loper susu11. Kedua, koperasi primer yang telah memiliki unit pengolahan dengan teknologi sterilisasi yang baik membuat saluran alternatif yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan yang diterima oleh 11
Loper susu adalah setiap orang yang mengedarkan susu segar atau susu pateurisasi kepada konsumen akhir
peternak sapi perah. Produk susu yang telah disterilisasi ini dipasarkan secara langsung kepada konsumen melalui para pedagang keliling yang dilengkapi dengan fasilitas pendingin sehingga kualitas produk susu tetap terjaga. Trend pemasaran ini meningkat seiring dengan meluasnya jangkauan pemasaran susu UHT merek KPBS Koperasi Pengalengan Jawa Barat yang menjadi pioneer produk susu UHT non IPS. Strategi pemasaran ini memberikan pilihan kepada konsumen akhir untuk merasakan manfaat susu olahan yang berkualitas baik dalam bentuk segar. Saluran 5 pada dasarnya mempunyai karakterstik yang serupa dengan Saluran 3. Keduanya memasarkan susu dalam bentuk cair dan segar ke tangan konsumen dengan rantai pemasaran yang relatif pendek, tetapi Saluran 5 seringkali dilakukan oleh para peternak sapi perah yang tidak tergabung dalam wadah koperasi primer sehingga mengalami kesulitan untuk mengakses teknologi sterilisasi. Bahkan kerapkali para konsumen secara aktif mendatangi usaha peternakan sapi perah untuk membeli susu segar. Kelemahan yang terjadi pada Saluran 5 adalah pasar yang sempit karena hanya dapat menjangkau konsumen akhir dalam radius yang dekat. Saluran sekunder lainnya yang merupakan komponen penawaran impor adalah Saluran 4 yang mentransmisikan produk susu olahan dari negara importir kepada konsumen akhir dalam negeri. Produk susu olahan siap konsumsi ini dapat ditemukan dalam bentuk cair, bubuk, maupun kental manis yang mayoritas berasal dari Filipina, Selandia Baru, Thailand, Australia, dan Belanda. PT. Kerta Niaga merupakan perusahaan yang memiliki izin untuk mengimpor produk susu
olahan. Konsumen end products ini umumnya merupakan golongan masyarakat berpendapatan tinggi yang berdomisili di daerah perkotaan. Proses pemasaran bahan baku susu dan produk susu olahan secara ilustratif dapat dilihat dalam Gambar 4.2. Peternak Sapi Perah
Importir Produk Susu Olahan
1
Importir Bahan Baku Susu
Koperasi Primer (KUD unit susu)
GKSI Bahan Baku Susu
2
4
IPS
Produk Susu Olahan Impor
Pedagang Perantara (Retailer)
Loper Susu
Produk Susu Olahan Domestik
Pedagang Perantara (Retailer)
3
5
Konsumen Akhir
Sumber: Nurudin, 2006
Gambar 4.2. Saluran Pemasaran Bahan Baku Susu dan Produk Susu Olahan
4.4.
Perkembangan Impor Susu Indonesia Ketidakcukupan produksi susu domestik dalam memenuhi kebutuhan akan
susu membuat IPS memilih opsi untuk melakukan impor bahan baku susu. Pada dasarnya, terdapat konsekwensi negatif yang ditimbulkan dari importasi bahan baku susu. Di antara kerugian tersebut ialah terkurasnya devisa nasional, hilangnya kesempatan terbaik (opportunity loss) yang berasal dari tidak dimanfaatkannya potensi sumberdaya yang ada untuk pengembangan agribisnis persusuan, dan hilangnya potensi penerimaan yang seharusnya diperoleh pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan dikembangkan secara baik (www.ariefdaryanto.wordpress.com, 10 November 2007). Bahan baku susu impor itu sendiri merupakan produk setengah jadi (intermediate products) yang telah diproses menjadi bentuk bubuk. Varian bahan baku susu impor tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Non Fat Dry Milk Powder (NFDM) Non Fat Dry Milk Powder (NFDM) yang juga dikenal dengan sebutan susu bubuk skim merupakan hasil dari proses pengeringan dan pasteurisasi12 susu segar tanpa bahan tambahan (aditif) apapun. Bahan baku susu ini mempunyai kadar lemak yang rendah (kurang dari satu persen) sehingga baik untuk kesehatan. Mayoritas bahan baku susu yang diimpor oleh IPS adalah dalam bentuk NFDM karena secara luas digunakan sebagai campuran untuk mereduksi kadar lemak susu segar yang diperoleh dari para peternak sapi perah.
12
Pasteurisasi adalah proses pemanasan (heating) susu segar yang dilanjutkan dengan proses pendinginan saat penyimpanan untuk membunuh mikroorganisme yang dapat membahayakan kesehatan konumen.
Full Cream Milk Powder (FCMP) Full Cream Milk Powder (FCMP) merupakan bahan baku susu yang diproduksi melalui proses pasteurisasi. FCMP mempunyai kandungan solid susu sekaligus lemak yang tinggi, yakni sebesar 20 persen dan baik digunakan dalam pembuatan susu bayi formula.
Buttermilk Powder (BMP) Buttermilk Powder (BMP) adalah bahan baku susu yang merupakan produk sampingan dari pengolahan cream menjadi mentega (butter) yang dikenal dengan proses churning.
Anhydrous Milkfat (AMF) Anhydrous Milkfat (AMF) adalah kandungan lemak yang terdapat dalam susu maupun krim yang juga dihasilkan dalam proses churning.
Lactose Lactose adalah komposit dari dua kandungan gula yang ada di dalam setiap jenis susu yaitu glukosa dan galaktosa. Laktosa memberikan rasa manis dan merupakan komponen yang menyumbangkan kalori sebesar 40 persen pada susu segar. Impor susu di Indonesia secara langsung mulai dilakukan pada saat
Industri Pengolahan Susu (IPS) mulai dirintis di dekade 70-an. Meningkatnya trend impor susu memberikan kekhawatiran pada pelaku internal industri persusuan perihal penyerapan produksi susu domestik. Dalam rangka menjamin absorpsi susu domestik sebagai input IPS, pemerintah mengeluarkan kebijakan strategik SKB Tiga Menteri pada tahun 1982. Kebijakan ini secara garis besar
meregulasi penyerapan IPS dengan instrumen rasio impor. IPS diharuskan untuk menyerap sejumlah susu domestik sebelum dapat melakukan impor sesuai dengan rasio yang ditetapkan oleh tim koordinasi pengembangan persusuan nasional. Pemberlakuan kebijakan ini secara efektif telah menurunkan kemudian menstabilkan volume impor susu selama kurun waktu 15 tahun. Berkurangnya ketergantungan impor susu tidak serta merta mencerminkan preferensi IPS yang lebih tinggi untuk menyerap susu domestik. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mematuhi ketentuan rasio impor yang berlaku. Efek destruktif krisis di tahun 1997, turut memberikan andil dalam perkembangan volume impor susu. Harga impor yang melonjak membuat IPS menurunkan volume impor susu. Kronologis penting berikutnya yang berkaitan dengan hal tersebut adalah pencabutan kebijakan rasio impor di tahun 1998. Langkah ini dilakukan dalam rangka memenuhi serangkaian persyaratan Letter of Intent (LoI) IMF dalam program recovery perekonomian Indonesia. Pencabutan proteksi tersebut dijadikan peluang oleh IPS dengan meningkatkan volume impor susu. Terlebih, realisasi kapasitas produksi susu domestik masih jauh di bawah kebutuhan IPS.
Kedua hal ini menyebabkan
peningkatan volume impor susu menjadi sebuah konsekwensi logis yang ditempuh oleh IPS. Perkembangan volume impor susu Indonesia secara grafis tertuang dalam Gambar 4.3.
ton
2000000 1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 tahun Impor Susu
Sumber: Ditjen Peternakan, 2006 Catatan: Volume impor susu ekuivalen dengan susu segar
Gambar 4.3. Perkembangan Impor Susu Indonesia Periode 1976–2005 Susu impor di Indonesia disupply oleh negara-negara produsen bahan baku dan produk susu ternama di dunia. Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, dan Belanda merupakan empat negara importir dengan market share terbesar. Kompetisi untuk memperebutkan market share terjadi semenjak tahun 1998 diantara pemain utama tersebut. Peluang untuk memanfaatkan potensi permintaan yang besar di Indonesia mulai terbuka seiring dengan berkurangnya restriksi perdagangan. Berdasarkan Tabel 4.5 Selandia Baru adalah negara pertama yang dapat memanfaatkan peluang terbukanya pasar persusuan akibat penghapusan kebijakan rasio impor dengan meningkatkan market share nya menjadi 43,99 persen. Diikuti Australia (29,34 persen), Amerika Serikat (4,18 persen), dan Belanda (2,77 persen).
Tabel 4.5. Market Share Empat Negara Importir Susu Terbesar Indonesia Periode 1995-2005 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Selandia Baru 2,29 34,12 3,69 43,99 28,55 44,28 3,79 29,63 26,24 20,09 20,08
Australia 1,39 2,31 25,50 29,34 25,51 13,69 21,76 24,49 22,15 22,06 22,30
Amerika Serikat 5,52 3,32 1,26 4,18 1,78 3,67 17,71 13,15 21,35 22,53 23,33
Belanda 11,27 2,38 2,16 2,77 4,13 9,53 11,80 14,65 2,52 10,27 6,08
Sumber: BPS, 2006 (diolah) Catatan: Angka dinyatakan dalam satuan persen
Derajat kompetisi menjadi semakin tinggi mengakibatkan market share relatif terdistribusi pada periode 2002-2005. Pada tahun 2002, nilai market share Selandia Baru dan Australia meningkat di pasar susu impor Indonesia dengan share komposit kedua negara tersebut mencapai di atas 50 persen. Dibandingkan dengan Amerika Serikat, Selandia Baru dan Australia mempunyai kapasitas produksi besar dan letak geografis yang lebih dekat dengan Indonesia. Keunggulan ini membuat kedua negara tersebut dapat lebih cepat merespon peningkatan permintaan IPS dengan biaya yang lebih rendah.
4.5.
Kebijakan Persusuan Indonesia Kebijakan protektif yang diaplikasikan dalam industri persusuan Indonesia
sebelum tahun 1998, pada dasarnya mempunyai tujuan untuk melindungi industri persusuan Indonesia, meningkatkan produksi domestik, dan meningkatkan pendapatan dari para peternak sapi perah (Erwidodo dan Trewin, 1996). Serangkaian kebijakan tersebut akan dibahas secara terperinci pada poin-poin selanjutnya.
Kebijakan Rasio Impor Kebijakan rasio impor merupakan instrumen kebijakan yang paling
kompleks dalam industri persusuan nasional. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk dari non tariff trade barrier, dimana pemerintah menentukan sejumlah bahan baku susu yang diimpor berdasarkan jumlah bahan baku susu domestik yang diserap oleh IPS. Diantara seluruh kebijakan persusuan Indonesia, kebijakan ini diduga memberikan efek yang paling signifikan kepada produsen susu domestik karena secara otomatis mengatur jumlah bahan baku susu domestik sekaligus domestik dalam sebuah kesepakatan. Legitimasi kebijakan rasio impor dilakukan dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian, dan Menteri Pertanian No. 236/Kpb/VII/1982, No. 341/M/SK/7/1982, dan No. 521/Kpts/Um/7/1982 tentang Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Pengolahan dan Pemasaran Susu di Dalam Negeri. Perkembangan penentuan rasio impor yang tercantum dalam Lampiran 8, dilakukan per semester oleh tim koordinasi pengembangan persusuan nasional yang mengagendakan beberapa substansi penting dalam setiap pertemuan yang dilakukan, seperti: (1)
Pengestimasian jumlah impor bahan baku susu untuk memenuhi
permintaan
di
antara
IPS
dengan
mempertimbangkan estimasi produksi bahan baku susu domestik;
(2)
Negosiasi di antara IPS dan GKSI untuk menentukan jumlah impor bahan baku susu berdasarkan estimasi produksi bahan baku susu domestik yang telah dilakukan oleh GKSI;
(3)
Mengkoordinasikan tim untuk melegalisasikan rasio impor yang telah disepakati oleh kedua belah pihak melalui penetapan Surat Keputusan Menteri.
Ruang gerak untuk memproteksi industri persusuan nasional menjadi semakin sempit pada era liberalisasi perdagangan. Pemerintah dihadapkan pada opsi untuk mentransformasikan proteksi tersebut menjadi bentuk tarif impor (import tariffs).
Tarif Impor Pemerintah Indonesia menetapkan beban tarif sebesar lima sampai dengan
tiga puluh persen untuk semua bahan baku dan produk susu olahan yang diimpor. Bahan baku, seperti halnya non fat dry milk powder (NFDM) yang merupakan input dari produk susu olahan dikenakan tarif sebesar lima persen. Sementara produk susu olahan yang diimpor dikenakan tarif sebesar 30 persen sebelum dipasarkan di pasar produk susu olahan nasional.
Lisensi Impor Kebijakan lisensi impor pada intinya menunjuk sejumlah importir untuk secara teknis melakukan impor bahan baku dan produk susu olahan yang tercantum dalam paket kebijakan Juni 1993. Beberapa perusahaan yang mendapatkan lisensi impor tersebut adalah:
-
PT. Panca Niaga mendapatkan lisensi untuk mengimpor bahan baku susu untuk industri non makanan yang berbasis susu
-
PT. Kerta Niaga mengimpor produk susu olahan (end products) untuk memenuhi kebutuhan domestik.
-
IPS diperbolehkan untuk mengimpor bahan baku susu menurut rasio impor yang telah ditetapkan.
Kebijakan lisensi impor bagi importir terdaftar tersebut diterapkan sampai dengan tahun 1998. Pemerintah menghapuskan kebijakan tersebut dan mengeluarkan izin bagi para importir umum untuk melakukan impor bahan baku susu dan produk susu olahan.
Restriksi Investasi PMA pada IPS Pada tahun 1987, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
memprioritaskan investasi IPS untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Investasi asing semakin direstriksi pada tahun 1991, yang mengkondisikan IPS sebagai ruang tertutup untuk aliran investasi. Deregulasi kebijakan ini kemudian dilakukan dengan diberlakukannya Keppres No. 54 tahun 1993. Dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa investasi untuk industri susu kental manis dan susu bubuk tertutup perizinannya kecuali apabila dilakukan secara terpadu dengan peternakan baik untuk industri PMDN, PMA, maupun perusahaan non PMDN/PMA (CIC, 2005).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kondisi Daya Saing Susu Domestik (Pendekatan Porter’s Diamond) Perkembangan volume impor susu dalam kurun waktu 1976-2005 telah merefleksikan peningkatan intensitas persaingan dalam industri persusuan nasional, terutama pasca penghapusan kebijakan rasio impor di tahun 1998. Argumentasi infant industry dipatahkan dan sistem tertuju kepada market mechanism dengan proteksi penetapan tarif yang relatif minim bagi susu impor. Pendekatan Porter’s Diamond beserta seluruh atribut yang terkandung dijadikan sebuah alat analisis deskriptif dan komprehensif untuk mengidentifikasi kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu domestik sebagai bahan baku produk susu olahan (bahan baku susu domestik) sekaligus menganalisa lebih dalam mengenai efek penghapusan kebijakan rasio impor terhadap kondisi faktorfaktor tersebut.
5.1.1. Kondisi Faktor Struktur industri peternakan untuk semua komoditas ternak domestik sebagian besar (60-80 persen) tetap bertahan dalam bentuk usaha rakyat. Usaha rakyat mempunyai ciri-ciri antara lain tingkat pendidikan peternak rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvensional, lokasi ternak menyebar luas, ukuran skala usaha relatif sangat kecil serta pengadaan input utama yang masih tergantung pada musim, ketersediaan tenaga kerja keluarga, serta penguasaan lahan yang terbatas (Yusdja dan Ilham, 2006).
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia pun dapat digolongkan dalam identifikasi melaui kriteria serupa. Usaha peternakan sapi perah di Indonesia didefinisikan sebagai semua usaha yang dijalankan secara terus-menerus pada suatu tempat tertentu untuk tujuan komersil atau memperoleh keuntungan yang meliputi kegiatan pembibitan sapi perah13 dan budidaya sapi perah14. Secara teknis, usaha peternakan sapi perah mencakup: (1) semua usaha peternakan sapi perah yang berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), CV, Firma, Koperasi, maupun Yayasan ; dan (2) semua usaha peternakan sapi perah yang dikelola perorangan dan memenuhi persyaratan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.406/Kpts/Org/6/1980 mengenai jumlah kepemilikan minimum sapi perah betina laktasi dewasa sebanyak sepuluh ekor atau dua puluh sapi perah campuran (BPS, 2004). Perkembangan usaha peternakan sapi perah dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia Periode 1996–2004 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Pembibitan Sapi Perah 20 22 15 12 14 15 15 10 12
Budidaya Sapi Perah 445 474 417 361 391 407 402 375 341
Total 578 496 432 373 405 422 417 385 353
Sumber: BPS, 2004
Penurunan usaha peternakan sapi perah dalam jumlah besar terjadi pada periode 1997-1999. Jumlah usaha peternakan sapi perah yang semula 496 usaha
13
Pembibitan sapi perah adalah kegiatan pemeliharaan sapi perah dengan tujuan untuk pembibitan atau pengembangbiakkan ternak sapi perah (BPS, 2004). 14 Budidaya sapi perah adalah kegiatan pemeliharaan sapi perah dengan tujuan utama untuk pemerahan susu (BPS, 2004).
menurun drastis menjadi 432 usaha di tahun 1998 dan 373 usaha di tahun berikutnya. Krisis ekonomi disinyalir menjadi penyebab gulung tikarnya usaha peternakan sapi perah pada umumnya, dan budidaya sapi perah pada khususnya. Pada periode krisis, banyak peternak yang dengan terpaksa menjual ternak sapi perah yang masih produktif karena menderita kerugian akibat biaya produksi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penjualan susu (Siregar, 2003). Kemunduran usaha peternakan sapi perah tersebut hanya bersifat temporer. Membaiknya perekonomian di tahun 2000 meskipun dalam taraf pemulihan yang relatif lamban, memberikan rangsangan bagi peternak sapi perah untuk kembali mengembangkan usahanya. Berdasarkan karakteristik bentuk badan usaha, usaha peternakan sapi perah di Indonesia dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu: CV, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, milik perorangan, dan lainnya. Pada tahun 2004, mayoritas usaha peternakan sapi perah merupakan usaha milik perorangan dengan jumlah 268 buah, koperasi sebanyak 49 buah, CV sebanyak 11 buah, dan selebihnya diklasifikasikan sebagai usaha peternakan sapi perah dengan bentuk lainnya (BPS, 2004). Tenaga kerja yang mendukung usaha ini dapat dibedakan menjadi empat grup. Pertama, adalah tenaga kerja tetap. Tenaga kerja tetap adalah mereka yang bekerja di perusahaan dan menerima upah berupa uang maupun barang secara periodik baik terdapat kegiatan, maupun tidak. Kedua, tenaga kerja honorer yakni tenaga kerja yang bekerja secara tidak tetap tetapi mendapatkan upah bulanan, tanpa memperhatikan jumlah hari kerja. Ketiga, adalah tenaga kerja tidak dibayar
yaitu pekerja yang secara rutin bekerja di perusahaan tetapi tidak memperoleh upah. Tenaga kerja tidak dibayar pada umumnya merupakan famili dari pemilik usaha peternakan sapi perah. Keempat, tenaga kerja harian yaitu tenaga kerja yang menerima upah harian yang dibayarkan secara mingguan atau bulanan berdasarkan jumlah hari kerja. Kondisi ketenagakerjaan usaha peternakan sapi perah di tahun 2004 secara statistik memperlihatkan bahwa 100.744 orang berprofesi sebagai tenaga kerja harian, 440 orang dikategorikan sebagai tenaga kerja tidak dibayar, 293 orang pekerja honorer, dan 1.656 orang bekerja secara tetap. Terfokus pada grup karakteristik tenaga kerja tetap, penyerapan tenaga kerja pada usaha peternakan sapi perah cenderung mengalami penurunan. Jumlah tenaga kerja tetap periode krisis ekonomi mencapai 2.592 orang dan terus berkurang menjadi 1.656 orang di tahun 2004. Fenomena identik juga terjadi pada karakteristik tenaga kerja harian yang mendominasi komposisi ketenagakerjaan usaha peternakan sapi perah di Indonesia. Setelah tahun 1997, terjadi penurunan jumlah tenaga kerja harian sebesar 567.206 orang hingga menjadi 100.744 orang di tahun 2004 (BPS, 2004). Eksodus tenaga kerja tetap dan harian tersebut disebabkan karena secara aktual, banyak usaha peternakan sapi perah yang tidak mampu melanjutkan usahanya sehingga secara otomatis menurunkan jumlah lapangan kerja. Alasan lainnya adalah usaha ini belum mampu memberikan kompensasi yang baik pada tenaga kerja karena dihadapkan pada permasalahan efisiensi biaya produksi. Besarnya opportunity cost untuk bekerja pada sektor lain yang lebih
mendatangkan keuntungan turut berkontribusi terhadap penurunan penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan tingkat pendidikan, dapat dikatakan bahwa komposisi tenaga kerja usaha peternakan sapi perah secara umum dikuasai oleh tenaga kerja dengan pendidikan akhir Sekolah Dasar (BPS, 2004). Keterbatasan pengetahuan teoritis mengenai pembudidayaan sapi perah pada saat perekrutan tenga kerja membuat usaha peternakan sapi perah diharuskan untuk mengeluarkan biaya ekstra untuk melakukan training-training pendek. Status permodalan usaha peternakan sapi perah di Indonesia murni merupakan usaha PMDN dan permodalan pribadi di tahun 2004. Usaha PMDN mencapai 18 buah, sementara permodalan pribadi mencapai 335 buah. Sebenarnya, di tahun 1999 terdapat dua buah usaha peternakan sapi perah PMA tetapi dalam perkembangannya kedua usaha tersebut keluar dari industri persusuan nasional. Status kapital yang seutuhnya berasal dari dalam negeri seperti ini menghambat peluang untuk mengadopsi sekaligus mengabsorpsi teknologi maupun technical supports secara optimal. Infrastruktur yang dimiliki oleh usaha peternakan sapi perah sebagian besar merupakan produksi dalam negeri. Kandang dan peralatan sepenuhnya disupply oleh industri domestik kecuali milkcan yang pengadaannya masih dilakukan melalui impor. Mengacu pada pendefinisian Porter (1990) mengenai daya saing yang dapat
dianalogikan
dengan
kata
“produktivitas”,
maka
perkembangan
produktivitas bahan baku susu domestik pada periode 1996-2005 masih relatif
rendah dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 1,73 persen. Kondisi perkembangan populasi sapi perah, produksi, dan produktivitas susu domestik disajikan dalam Tabel 5.2. Tabel 5.2. Perkembangan Populasi Sapi Perah, Produksi, dan Produktivitas Susu Domestik Periode 1996-2005 Tahun
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata
Populasi Sapi Perah (ekor) 348.000 334.000 322.000 332.000 354.000 361.000 358.000 374.000 364.000 361.000 356.604
(%)
2,05 -4,02 -3,59 3,10 6,62 1,98 -0,83 4,47 -2,67 -0,82 0,63
Produksi (ton)
(%)
441.200 423.700 375.400 436..000 495.700 479.900 493.375 553.400 549.945 535.962 478.458
1,79 -3,96 -11,39 16,14 13,69 -3,19 2,80 12,16 -0,62 -2,54 2,49
Produktivitas (kg/tahun/ekor) 1.268 1.268 1.166 1.313 1.400 1.329 1.378 1.480 1.511 1.485 1.399
(%)
-0,23 0,04 -8,10 12,64 6,63 -5,06 3,67 7,37 2,10 -1,73 1,73
Sumber: Ditjen Peternakan, 2006 (diolah) Catatan: Kolom (%) menunjukkan persentase tingkat pertumbuhan
Interpretasi penting yang dapat diutarakan berkenaan dengan informasi yang terdapat pada Tabel 5.2 adalah bahwa sumber pertumbuhan produksi susu domestik sebesar 2,49 persen selama periode 1996-2005 lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas susu domestik (1,73 persen) dibandingkan dengan peningkatan populasi sapi perah (0,63 persen). Hal ini dapat dijadikan sebuah bukti empiris bahwa perkembangan usaha peternakan sapi perah telah berada dalam koridor yang benar untuk membangun daya saingnya. Tekanan kompetisi antara susu domestik dengan susu impor setelah diundangkannya penghapusan proteksi rasio impor telah memperkuat komitmen usaha peternakan sapi perah untuk melaksanakan serangkaian efisiensi dan perbaikan tata laksana dalam rangka mencapai good farming practices.
5.1.2. Kondisi Permintaan Tingginya potensi permintaan akan produk susu merupakan kekuatan utama industri persusuan Indonesia. Kekuatan tersebut diprediksi akan meningkat secara kontinu di masa yang akan datang seiring dengan meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat Indonesia (Riethmuller dan Smith, 1999). Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Fabiosa (2005) yang menyatakan bahwa konsumsi susu per kapita di Indonesia berpotensi untuk terus ditingkatkan karena produk susu olahan bersifat elastis terhadap peningkatan pendapatan per kapita. Komposisi kependudukan Indonesia yang menempati peringkat kelima jumlah penduduk terbesar di dunia dengan jumlah penduduk usia bayi dan balita tinggi menjadikan Indonesia dikategorikan sebagai pasar yang sangat potensial bagi produk susu olahan. BPS (2005) mempublikasikan bahwa data penduduk Indonesia berdasarkan golongan umur nol sampai dengan empat tahun (usia bayi dan balita) mencapai angka 19,9 juta jiwa di tahun 2000, dan terus mengalami pertumbuhan hingga mencapai angka 20,4 juta jiwa di tahun 2005. Cukup tingginya jumlah penduduk dalam usia tersebut diprediksi akan menggerakkan permintaan akan produk susu olahan yang kaya nutrisi dan diformulasi khusus untuk masa tumbuh kembang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia menurut USDA (2003) tidak mengakibatkan efek jangka panjang yang signifikan terhadap konsumsi produk susu olahan. Secara umum, pola konsumsi telah kembali sediakala seperti kondisi pra krisis. Sistem desentralisasi telah memberikan manfaat terhadap aktivitas
ekonomi dan perdagangan pada subsektor di level daerah, sehingga meningkatkan daya beli masyarakat berpendapatan menengah dan rendah. Selain itu, berkembangnya pola pikir dan kesadaran masyarakat akan kecukupan nutrisi bagi kesehatan juga memainkan peranan dalam peningkatan konsumsi produk susu olahan. Kompetisi yang terjadi diantara IPS yang mencapai 23 industri di tahun 2004 telah memberikan pilihan yang lebih luas kepada konsumen untuk mengkonsumsi produk susu olahan. Hal ini dikarenakan produk susu olahan yang dihasilkan lebih diversifikatif, segmentatif, dan inovatif. Spesifikasi produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan dijadikan sebagai pedoman untuk senantiasa meningkatkan consumer’s satisfaction. Sebagai ilustrasi, terdapat trend segmentasi di pasar produk susu olahan. Misalnya produk susu olahan rendah lemak sehingga baik untuk diet kesehatan, produk susu olahan untuk mencegah osteoporosis, dan produk susu olahan untuk meningkatkan kecerdasan bayi dan balita. Konsep pemasaran yang lebih sophisticated melalui advertensi dan saluran pemasaran yang baik, sebagai ujung tombak penjualan telah memberikan efek yang signifikan terhadap peningkatan permintaan produk susu olahan (USDA, 2000). Pembahasan mengenai kondisi permintaan Porter’s Diamond industri persusuan nasional dibatasi pada pembahasan mengenai karakteristik dan jumlah demand IPS sebagai pihak yang secara langsung menyerap bahan baku susu domestik sebagai input produksi. Pertimbangan yang melatarbelakangi hal
tersebut adalah: Pertama, demand IPS atas bahan baku susu pada dasarnya merupakan derived demand dari permintaan konsumen terhadap produk susu olahan, sehingga diasumsikan perubahan permintaan konsumen produk susu olahan akan secara transmisional merubah permintaan IPS terhadap bahan baku susu. Kedua, perkembangan proporsi penyerapan bahan baku susu domestik oleh IPS dapat dijadikan sebagai salah satu alat pendukung untuk menggambarkan daya saing bahan baku susu domestik terhadap bahan baku susu impor pasca penghapusan kebijakan rasio impor. IPS dapat dikelompokkan menjadi dua menurut tahapan proses pengolahan susu, yakni unit pengolah susu (milk treatment center-MTC) dan pabrik pengolahan susu (milk processing plants-MPP). MTC melakukan pengolahan susu segar sampai tahap pasteurisasi, sedangkan MPP mengolah susu segar yang sudah dipasteurisasi menjadi produk susu olahan. CIC (2005) menyatakan pada tahun 2004, empat IPS dengan rasio konsentrasi terbesar (CR4) meliputi PT. Sari Husada (22,20 persen), PT. Nestle Indonesia (15,32 persen), PT. Friesche Flag Indonesia (14,99 persen), dan GKSI Milk Treatment (8,63 persen). PT. Sari Husada berstatus Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), PT. Nestle Indonesia dan PT.Friesche Flag Indonesia berstatus Penanaman Modal Asing (PMA), sementara GKSI Milk Treatment merupakan Penanaman Modal Campuran (PNC). Keseluruhan IPS dihadapkan pada dua buah pilihan untuk memenuhi permintaan atas bahan baku, yakni penyerapan bahan baku susu domestik dan impor. Tabel 5.3 menyajikan perkembangan penyerapan bahan baku susu domestik sebagai indikator permintaan IPS akan bahan baku susu domestik.
Tabel 5.3. Perkembangan Penyerapan Bahan Baku Susu Domestik oleh IPS di Indonesia Periode 1996-2004 Tahun
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Produksi Bahan Baku Susu Domestik (ton) 441.200 423.700 375.400 436.000 495.700 479.900 493.375 553.400 549.945
Penyerapan Bahan Baku Susu Domestik oleh IPS (ton) 385.620 390.261 228.282 346.185 301.769 272.198 299.402 321.996 340.976
Total Penyerapan Bahan Baku oleh IPS (ton) 877.500 797.548 662.657 847.455 837.533 823.964 861.793 1.340.659 1.253.519
Kontribusi (%)
43,94 48,93 34,44 40,85 36,03 33,03 34,74 24,01 27,20
Sumber: Ditjen Peternakan15 dan BPS16, 2004 (diolah)
Penyerapan bahan baku susu domestik mencapai angka tertinggi pada periode krisis dengan share sebesar 48,93 persen. Data ini membuktikan bahwa bahan baku susu domestik dan impor merupakan bahan yang bersifat substitutif. Mahalnya harga bahan baku impor akibat melemahnya nilai tukar Rupiah membuat IPS berkecenderungan untuk meningkatkan penyerapan bahan baku susu domestik yang lebih bersaing dari sisi harga. Argumentasi ini secara konsisten didukung oleh publikasi penelitian sebelumnya oleh Ilham dan Swastika (2001) yang mengungkapkan bahwa dengan asumsi perdagangan substitusi impor, aktivitas untuk memproduksi bahan baku susu di dalam negeri akan lebih efisien dibandingkan dengan impor pada periode krisis. Pemerintah dapat menghemat devisa masing-masing sebesar 42,65 persen dan 32,87 persen atas penggunaan bahan baku susu domestik yang berasal dari usaha peternakan sapi perah di dataran tinggi maupun rendah.
15
Variabel produksi bahan baku susu domestik bersumber dari publikasi “Statistik Peternakan”, Direktorat Jenderal Peternakan. 16 Variabel penyerapan bahan baku susu domestik dan total penyerapan bahan baku IPS bersumber dari publikasi “Statistik Industri Besar dan Sedang Volume II”, Badan Pusat Statisik.
Peningkatan penyerapan yang dapat diekuivalenkan dengan peningkatan permintaan atas bahan baku susu domestik seharusnya menguntungkan peternak karena mempunyai posisi daya tawar yang lebih baik. Tetapi, kesempatan langka ini tidak difollow-up secara optimal oleh GKSI sebagai representatif dalam proses penentuan harga. Harga domestik yang disepakati antara kedua pihak turun menjadi Rp 1.190/liter setelah dalam periode sebelumnya mencapai Rp 1.233/liter. Kenaikan penyerapan bahan baku susu domestik sebesar 3,70 persen justru direspon dengan penurunan harga sebesar 3,48 persen. Implikasinya, para peternak sapi perah secara kondisional terpaksa menerima surplus yang kecil dari peluang tersebut. Pasca krisis, penyerapan bahan baku susu domestik kembali mengalami penurunan share. Membaiknya nilai tukar Rupiah kembali menjadi sebuah legitimasi bagi IPS untuk menyerap lebih banyak bahan baku susu impor. Kondisi semacam ini diduga juga didorong oleh motif politis. Keterkaitan antara IPS yang sebagian besar didirikan oleh investasi PMA dengan perusahaan induk di negara asalnya mengakibatkan eksistensi IPS di Indonesia tidak ditujukan untuk peningkatan produksi dalam negeri, melainkan sebagai tempat pemasaran produksi luar negeri. Oleh karena itu, tidak ditemukan suatu bentuk integrasi vertikal yang kuat antara usaha peternakan sapi perah domestik dan IPS.
5.1.3. Industri Terkait dan Pendukung Koperasi sebagai bagian terkait yang menghimpun peternak sapi perah mempunyai peran yang sangat penting bagi pengembangan usaha peternakan sapi
perah. Berdasarkan kegiatan usahanya, terdapat dua bentuk koperasi sapi perah yang lazim di Indonesia. Pertama, koperasi monosifikasi yaitu koperasi yang memfokuskan kegiatan usahanya pada usaha peternakan sapi perah. Kedua, koperasi diversifikasi yaitu koperasi yang membuka berbagai usaha. Koperasi peternak sapi perah pada umumnya bersifat diversifikasi dan hampir semua biaya aktivitas koperasi berasal dari fee penjualan susu segar peternak. Terlihat pada Tabel 5.4 bahwa lebih dari 70-80 persen biaya koperasi digunakan untuk membiayai usaha lain yang kerapkali tidak mempunyai relevansi dengan usaha peternakan sapi perah. Upah karyawan dan pengurus koperasi menunjukkan proporsi yang relatif tinggi yakni tiga sampai dengan tujuh persen di tahun 2000, karena jumlah karyawan aktual yang dipekerjakan oleh koperasi jauh melebihi jumlah ideal yang hanya mencapai sembilan orang untuk pengurus dan pegawai koperasi. Tabel 5.4. Struktur Biaya Koperasi Susu di Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur Tahun 2000 Uraian Bangunan Aktivitas organisasi Pajak Penyimpanan susu Pengolahan ternak Upah anggota Upah karyawan koperasi Biaya pengurus Transportasi Biaya usaha lain Total biaya koperasi
Jawa Barat
Jawa Timur 1,26 3,37 0,24 1,69 0,19 0,61 3,06 1,00 1,66 86,92 100,00
2,73 5,31 0,77 4,08 0,93 3,62 7,04 1,44 2,85 71,23 100,00
Sumber: GKSI dalam Yusdja, 2005 Catatan: Rincian biaya dinyatakan dalam satuan persen
Peran serta koperasi bukan hanya sebagai distributor dan negosiator harga, melainkan juga sebagai supplier pakan ternak sapi perah sebagai komponen pengeluaran terbesar dalam usaha peternakan sapi perah. Jika koperasi tersebut
menghimpun dana para peternak sapi perah, maka melalui kekuatan ekonomi koperasi para peternak mendapatkan pelayanan pasokan input seperti pakan, bibit, dan sebagainya dengan harga yang relatif murah. Yusdja dan Sayaka (1997) melaporkan bahwa sebagian besar koperasi di Jawa bertindak sebagai perusahaan perantara yang mempunyai prinsip memaksimumkan keuntungan melalui legitimasi kewenangan yang dimilikinya. Ketergantungan peternak atas pasokan pakan konsentrat yang disediakan koperasi seakan-akan membuat peternak tidak mempunyai
jalan
lain
selain
membeli
dari
koperasi.
Kenyataan
ini
menguntungkan koperasi karena dapat meramu pakan sesuai dengan selera dan keuntungan yang ingin diperoleh Strategi yang digunakan koperasi dalam meramu pakan konsentrat sapi perah tersebut adalah menggunakan material yang mudah diperoleh termasuk bahan pakan impor seperti wheat pollard dan jagung. Ketergantungan koperasi akan produk impor sebenarnya tidak perlu terjadi karena apabila koperasi mampu menyediakan hijauan yang baik dari segi kuantitas maupun kualitas, maka pakan konsentrat sama sekali tidak diperlukan (Sudaryanto, et al., 1999). Pasokan akan hijauan dari koperasi dirasa penting karena hampir seluruh peternak sapi tidak mempunyai lahan yang cukup untuk memasok kebutuhan hijauan sapi perah. Sumber hijauan utama peternak sapi perah diperoleh dari limbah pertanian, lapangan, dan kehutanan yang produksi hijauannya sangat tergantung pada musim. Industri pakan dalam negeri (feed industry) sebagai industri yang terkait dengan usaha peternakan sapi perah belum memberikan kontribusi yang besar
dalam hal penyediaan input. Sebesar 90 persen industri pakan ternak di Indonesia melakukan spesialisasi produksi pada pakan ternak unggas (Tangendjaja, 1999). Wheat pollard sebagai pakan konsentrat utama usaha peternakan sapi perah diperoleh melalui dua jalur pemasaran. Pertama, melalui industri tepung terigu. Wheat pollard merupakan produk sampingan yang dihasilkan oleh industri tepung terigu dengan bahan dasar gandum impor. Kandungan yang terdapat dalam pakan tersebut relatif konsisten dan sebagian besar langsung dikirim kepada koperasi peternak sapi perah. Kedua, diimpor secara langsung dari negara importir. Umumnya, wheat pollard impor yang berasal dari Amerika Serikat telah diperkaya dengan vitamin dan mineral sehingga mempunyai kualitas yang superior untuk meningkatkan kemampuan laktasi sapi perah. Krisis 1997 mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi pasokan pakan koperasi. Pasokan wheat pollard yang semula mencapai 60 persen menurun menjadi sepuluh persen dan disubstitusikan dengan pakan yang berasal dari dalam negeri. Peternak tidak dapat mengurangi pembelian konsentrat karena prosedur pembeliannya dikaitkan dengan jumlah susu yang mereka setorkan. Koperasi mewajibkan pembelian satu kilogram pakan konsentrat untuk setiap dua liter susu segar yang akan dipasarkan. Mutu pakan yang rendah dan kenaikan harga pakan konsentrat yang mencapai 100 persen menyebabkan turunnya produktivitas susu domestik.
5.1.4. Strategi, Struktur, dan Persaingan Para peternak sapi dapat perah dianggap sebagai tipikal price taker yang atomistik. Oleh karena itu strategi utama yang dilakukan oleh usaha peternakan sapi perah adalah dengan jalan beraliansi dalam wadah koperasi peternak pada lingkup daerah dan GKSI pada lingkup nasional untuk menciptakan market power yang diharapkan mempengaruhi harga melalui proses pemasaran bahan baku susu kolektif.
Faktor karakteristik susu segar
yang perishable dan mudah
terkontaminasi dengan mikroorganisme mengharuskan para peternak untuk menggunakan fasilitas pendinginan (cooler) yang memadai. Fakta yang terjadi usaha peternakan sapi perah tidak dilengkapi oleh alat tersebut, sehingga subsistem pemasaran sangat terkait dengan peran koperasi peternak. Permasalahan strategik mendasar yang terjadi dalam pembentukan koperasi sebagai bagian terkait dari usaha peternakan sapi perah adalah dengan ditetapkannya parameter jumlah anggota koperasi dan penumpukan modal yang berasal dari simpanan untuk mengukur keberhasilan koperasi. Memang secara rasional, peningkatan anggota koperasi dapat diasosiasikan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat tetapi laju perkembangan anggota koperasi yang jauh melebihi laju perkembangan koperasi dan produktivitas susu mengakibatkan Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dibagikan menjadi lebih kecil. Yusdja (2005) dengan menggunakan uji skala usaha dengan fungsi keuntungan Cobb-Douglas menyimpulkan bahwa kondisi industri koperasi susu saat ini yang tidak efisien disebabkan oleh manajemen yang tidak sehat dan penggunaan faktor produksi tetap yang tidak memberikan biaya rata-rata yang lebih tinggi dari biaya
minimum. Kecenderungan peningkatan biaya rata-rata seiring dengan peningkatan modal menyebabkan membesarnya peluang untuk melakukan inefisiensi dan praktek pemborosan karena diversifikasi usaha yang dilakukan koperasi. Berbicara mengenai struktur dan persaingan yang terjadi pada pasar bahan baku susu untuk memenuhi kebutuhan input IPS, bahan baku susu impor secara faktual telah mendominasi pasar tersebut. Hal ini dapat direpresentasikan melalui peningkatan penyerapan bahan baku susu impor atas produksi bahan baku susu
000ton
domestik yang relatif stagnan, seperti yang terlihat pada Gambar 5.1. 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
ta hun Volume Produksi
Volume Impor
Volume Konsumsi
Sumber : Ditjen Peternakan, 2006
Gambar 5.1. Perkembangan Volume Impor, Produksi, dan Konsumsi Bahan Baku Susu di Indonesia Periode 1996-2005 Volume impor bahan baku susu pasca krisis menunjukkan angka yang sangat tinggi pada rentang waktu 2000-2002 yakni sebesar 1.479.800 ton, 1.476.000 ton, dan 1.382.600 ton. Pada periode tersebut, jumlah impor bahan baku susu melebihi jumlah permintaan bahan baku IPS untuk kebutuhan nasional. Kelebihan impor tersebut diserap oleh sebagian IPS untuk direekspor sebesar 575.500 ton, 693.000 ton, dan 609.600 ton pada periode 2000-2002 ke negara tujuan ekspor bahan baku susu seperti seperti Iran, Singapura, Sri Lanka, dan Pakistan.
Kompetisi yang terjadi diantara kedua bahan baku tersebut dapat dikaji dari dua aspek, yakni harga dan kualitas. Berdasarkan harga, bahan baku susu impor mempunyai harga yang lebih kompetitif dibandingkan bahan baku susu domestik. Hal ini disebabkan bahan baku susu impor mendapatkan subsidi ekspor. Sebagai suatu contoh kasus, Australia memberikan subsidi sebesar US$2 untuk setiap liter susu yang dihasilkan (www.media-indonesia.com, 3 Juli 2007). Sementara itu, harga bahan baku susu domestik secara normatif ditentukan dalam sebuah regulasi. Departemen Koperasi dalam Karliyenna (1990) menyatakan bahwa teknis penentuan harga domestik bahan baku susu diperhitungkan atas dasar kombinasi tiga komponen yaitu: (1) Perhitungan biaya pemeliharaan sapi perah dengan skala pemilikan (2) Biaya produksi per liter (3) Perhitungan harga susu segar berdasarkan harga susu IPS di konsumen yang dapat diperhitungkan atas dasar: a.
Proporsi kualitas masing-masing jenis susu di konsumen, dan
b.
Jumlah rata-rata biaya susu dibagi empat (susu bubuk, susu kental manis, susu UHT, dan susu sterilized)
Harga susu segar sebagai bahan baku susu domestik pada kenyataannya kerapkali tidak ditentukan oleh biaya produksi yang dikeluarkan tetapi lebih ditentukan oleh harga impor dan mutu susu (Yusdja, 2005). Harga impor dijadikan ukuran penetapan harga, karena IPS disaat yang sama mempunyai pilihan lain untuk mengimpor bahan baku susu. Apabila negosiasi harga dengan GKSI dirasa kurang menguntungkan, tentunya IPS akan beralih untuk menyerap
bahan baku susu impor. Mutu bahan baku susu domestik yang rendah merupakan kelemahan yang semakin membuat harga menjadi tidak kompetitif. Penyebabnya adalah IPS akan memberikan penalti (charge) berupa biaya ekstra yang dikenakan kepada koperasi atas bahan baku susu karena tidak sesuai dengan standar kualitas. IPS yang oligopsonis berperilaku dominan dalam proses penentuan harga, sehingga terkesan dilakukan secara sepihak hanya untuk mengakomodir keinginan dan kebutuhannya sendiri. Dengan demikian, peternak kecil dengan pendapatan yang relatif rendah dapat dikatakan ”mensubsidi” IPS yang merupakan usaha multinasional dengan pendapatan yang relatif besar (Ilham, 2001). Permasalahan ini menjadi kian kompleks, ketika penetapan harga yang tidak mampu bersaing tersebut ternyata belum memberikan insentif yang baik kepada para peternak sapi perah untuk meningkatkan produktivitas mereka, bahkan
melanjutkan
usahanya.
Swastika
(2001)
menyatakan
bahwa
ketidakseimbangan biaya pakan dengan harga susu mengakibatkan banyak peternak sapi perah menjual sapinya dan keluar dari usaha ini. Faktor eksternal yang mendukung eksodus ini diantaranya adalah: (a) Tingginya bunga deposito menyebabkan sebagian peternak menjual sapi perah dan mendepostitokannya, dan (b) Harga daging sapi yang tinggi menyebabkan sebagian sapi perah dijual dalam bentuk sapi potong. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1999 harga bahan baku susu nominal di tingkat IPS mencapai Rp 2.712/liter sementara harga netto yang diterima oleh peternak sapi perah (farm gate price) hanya berkisar Rp 1.225/liter. Margin harga yang sedemikian besar digunakan untuk operasionalisasi koperasi dalam kegiatan utama memasarkan susu maupun kegiatan lainnya. Meskipun
harga yang diterima oleh peternak dianggap tidak menguntungkan bagi peternak, tetapi koperasi tetap mendapatkan margin. Koordinasi dalam penentuan harga farmgate dan efisiensi operasional koperasi harus ditingkatkan agar peternak dapat menjadi menerima insentif yang lebih komersial sehingga akan menggeluti usaha peternakan sapi perah secara serius. Perbedaan antara karakeristik dan spesifikasi bahan baku susu domestik dan impor yang dapat dipandang sebagai kunci dalam persaingan pada dasarnya terletak pada nilai tambahnya. Bahan baku susu domestik disalurkan dalam bentuk segar (fresh milk) yang hanya diproses dengan proses pasteurisasi sederhana sementara bahan baku susu impor telah diolah lebih lanjut (intermediate product) dalam bentuk bubuk sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama, serta memudahkan dalam proses pemasaran dan langkah pengolahan berikutnya. Salah satu spesifikasi non fat dry milk yang berkadar lemak rendah umumnya digunakan sebagai campuran bahan baku susu domestik dengan tujuan untuk menurunkan kadar lemak. Bahan baku impor juga dilengkapi dengan sertifikasi lengkap yang menjamin komposisi yang terkandung di dalamnya bebas dari penyakit berbahaya seperti penyakit mulut dan kuku, standarisasi internasional ISO maupun label halal. Serangkaian karakteristik dan spesifikasi tersebut membuat IPS dapat menerima surplus yang lebih besar karena mendapatkan bahan baku yang lebih berkualitas dengan harga yang lebih ekonomis.
5.1.5. Pemerintah Intervensi pemerintah terhadap koordinasi pengembangan persusuan nasional menjadi minim setelah pencabutan semua perlindungan non tarif yang tertuang dalam Inpres No. 4/1998 serta berbagai peraturan pelaksanannya. Penghapusan kebijakan rasio impor sebagai salah satu esensi deregulasi tersebut mempunyai tujuan utama untuk mendorong peningkatan efisiensi industri dalam negeri dan kelancaran arus barang. Tidak pernah ada lagi peraturan perundangan yang menjadi landasan bagi pengembangan persusuan kecuali berbagai proyek pemerintah yang memberikan dorongan seperti halnya program perguliran sapi perah, bantuan modal bergulir untuk peralatan koperasi serta beberapa peraturan pemerintah lainnya (CIC, 2005). Produktivitas akan menunjukkan peran yang lebih penting dibandingkan dengan proteksi industri. Oleh karena itu, deregulasi merupakan kondisi prasayarat (necessary condition) untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing industri persusuan nasional di pasar dunia (Erwidodo dan Trewin, 1996). Evaluasi penghapusan kebijakan rasio impor per tahun 1998 akan lebih lanjut dibahas berdasarkan determinan keunggulan kompetitif Porter’s Diamond. Berdasarkan kondisi faktor, perkembangan usaha peternakan sapi perah di penghujung dekade 90-an selanjutnya merepetisi siklus kemunduran yang terjadi pada saat krisis. Sebanyak 59 usaha peternakan sapi perah kembali keluar dari industri. Usaha peternakan sapi perah diduga menerima efek time lagged dari deregulasi kebijakan rasio impor yang sebelumnya telah ditetapkan pada tahun 1998. Kompetisi langsung antara output usaha peternakan sapi perah dengan susu impor dalam memperebutkan proporsi penyerapan input IPS menjadi sebuah
ancaman besar bagi usaha budidaya yang tidak efisien dalam memproduksi bahan baku susu domestik. Ketidakmampuan bersaing mengakibatkan usaha yang inefisien tidak mampu bertahan dalam subsistem on farm industri persusuan nasional. Fakta empiris yang terjadi tersebut secara progresif memperlihatkan proses pencapaian tujuan penghapusan kebijakan rasio impor yakni untuk mendorong peningkatan efisiensi industri dalam negeri. Peningkatan efisiensi ini didukung dengan fakta lainnya yakni pada tahun 1999, satu tahun setelah penetapan kebijakan rasio impor terjadi lonjakan peningkatan produksi sekaligus produktivitas bahan baku susu domestik sebesar 16,14 persen dan 12,64 persen sebagaimana yang tercantum pada Tabel 5.2 pada sub bab pembahasan kondisi faktor. Di lain sisi, dengan banyaknya usaha peternakan sapi perah yang keluar dari subsistem ini menyebabkan banyak pekerja harian di pedesaan yang mendominasi komposisi ketenagakerjaan usaha peternakan sapi perah kehilangan mata pencahariannya. Hal ini mengakibatkan usaha peternakan sapi perah tidak mampu lagi menyediakan lapangan kerja yang banyak bagi masyarakat pedesaan. Penghapusan kebijakan rasio impor memberikan insentif bagi IPS untuk meningkatkan permintaan bahan baku susu impor tanpa harus terlebih dahulu menyerap sejumlah bahan baku susu domestik. Kombinasi penghapusan kebijakan rasio impor dan stabilisasi nilai tukar mempunyai peran berimplikasi pada peningkatan impor bahan baku susu sebesar 39,80 persen di tahun 1999 menjadi 0,82 juta ton dan 1,48 ton di tahun 2000. Kondusivitas iklim berusaha bagi IPS menstimulasi berdirinya tiga IPS baru di tahun 1999. Establishment IPS yang di tahun 1998 berjumlah 21 usaha meningkat menjadi 24 usaha di tahun
1999. Kondisi yang menguntungkan bagi IPS tidak memberikan hal serupa kepada peternak sapi perah. Keuntungan tersebut tidak ditransfer kepada subsistem on farm karena IPS merespon peningkatan produksi dan produktivitas bahan baku susu domestik dengan menurunkan penyerapan bahan baku susu domestik. GKSI sebagai negosiator yang seharusnya memperlihatkan keberpihakan kepada peternak sapi perah belum mampu memberikan insentif harga yang baik kepada para peternak. IPS menerima harga negosiasi bahan baku susu domestik yang telah disesuaikan dengan kepentingan, kebutuhan, dan keinginan IPS. Ketergantungan saluran pemasaran susu segar sebagai bahan baku susu untuk diolah lebih lanjut menjadi bentuk produk susu olahan yang dikonsumsi oleh konsumen akhir, mengakibatkan dominasi IPS dalam menentukan harga bahan baku susu domestik terlihat semakin nyata pasca penghapusan kebijakan rasio impor. IPS menetapkan standarisasi bahan baku ketat berdasarkan kandungan lemak, berat jenis, maupun total kandungan bakteri dan memberikan penalti bagi bahan baku yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan sehingga meningkatkan biaya bagi peternak. Standarisasi tersebut di lain pihak memberikan efek positif karena dijadikan acuan untuk meningkatkan kualitas penanganan pasca panen. Perkembangan harga bahan baku susu domestik secara riil menjadi lebih mahal apabila dibandingkan dengan harga bahan baku susu impor pasca penghapusan kebijakan rasio impor. Ringkasan analisis positif dan negatif penghapusan kebijakan rasio impor disajikan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5. Analisis Dampak Positif dan Negatif Penghapusan Kebijakan Rasio Impor Periode 1998-2005 Determinan Kondisi Faktor
Reseptor Peternak
Positif -
Keluarnya usaha inefisien yang tidak mempu bersaing meningkatkan efisiensi agregat usaha peternakan sapi perah Terjadi peningkatan produksi dan produktivitas bahan baku susu domestik
-
IPS
Kondisi Permintaan
Peternak
--
IPS
Peningkatan supply bahan baku susu domestik memberikan pilihan yang lebih banyak kepada IPS untuk memenuhi kebutuhan inputnya Terjadi peningkatan daya saing bahan baku susu domestik akibat peningkatan intensitas persaingan dengan bahan baku susu impor pasca penghapusan proteksi rasio impor
Peternak
IPS
Strategi, Struktur, Persaingan
Peternak
Fenomena gulung tikarnya usaha peternakan sapi perah inefisien melahirkan konsekwensi penurunan penyediaan lapangan kerja di pedesaan
-
Peningkatan produksi dan produktivitas bahan baku susu domestik pasca penghapusan kebijakan rasio impor direspon dengan penurunan penyerapan bahan baku susu domestik
-
GKSI belum mampu menunjukkan eksistensinya sebagai negosiator yang merepresentasikan kepentingan peternak
-
IPS memberikan penalti harga bagi bahan baku susu domestik yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku sehingga mengakibatkan biaya ekstra bagi peternak Perkembangan harga bahan baku susu domestik secara riil menjadi lebih mahal apabila dibandingkan dengan harga bahan baku susu impor belum mampu menginsentif peternak
Penghapusan kebijakan rasio impor memberikan keleluasaan bagi IPS untuk meningkatkan permintaan bahan baku impor tanpa harus terlebih dahulu menyerap sejumlah bahan baku susu domestik Kondusivitas iklim berusaha karena berkurangnya restriksi bagi IPS menstimulasi berdirinya IPS baru
Industri Terkait dan Pendukung
Negatif -
-
IPS menerima harga negosiasi bahan baku susu domestik yang telah disesuaikan dengan kepentingan IPS
Standarisasi ketat yang dijadikan kualifikasi dalam menentukan harga domestik menjadi sebuah acuan untuk meningkatkan kualitas penanganan pasca panen
dan
-
IPS
5.1.6. Kesempatan
-
Dominasi IPS dalam menentukan harga bahan baku susu domestik terlihat semakin nyata
Nilai tukar riil mempunyai peranan yang penting terhadap kondisi makroekonomi, terlebih dalam perdagangan internasional. Nilai tukar riil pada dasarnya tidak berbeda dengan harga relatif dan mempunyai hubungan negatif dengan ekspor netto (NX). Apabila nilai tukar riil rendah (depresiasi Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat), harga domestik lebih murah dibandingkan harga barang di luar negeri. Penduduk domestik hanya akan membeli sedikit barang impor atau memilih untuk mengurangi impor. Akibat dari kedua tindakan ini, jumlah ekspor netto (NX) domestik akan meningkat. Begitupun sebaliknya (Mankiw, 2003). Perilaku nilai tukar riil dengan volume impor susu disajikan pada Gambar 5.2 yang menunjukkan perkembangan kedua variabel tersebut dalam bentuk logaritma natural untuk mengatasi permasalahan perbedaan satuan. 15 14 13 12 11 10 9 8 1980
1985
1990
1995
2000
2005
V o l u m e Im p o r S u s u ( L N Q M ) N ila i T u k a r R iil R u p ia h ( L N R E R )
Sumber: Lampiran 1 (diolah)
Gambar 5.2. Perkembangan Volume Impor Susu Indonesia dan Nilai Tukar Riil Rupiah Periode 1976-2005
Perilaku pergerakan nilai tukar riil menunjukkan kekonsistenan teori dengan volume impor susu berdasarkan Gambar 5.2. Secara parsial, pengaruh satu
arah di antara variabel tersebut lebih jelas dapat dilihat pada periode krisis dan pasca krisis (1997-2005). Volume impor susu menunjukkan trend yang positif sementara nilai tukar riil Rupiah menunjukkan trend negatif. Mekanisme nilai tukar mengambang (floating exchange rate) dan penghapusan kebijakan rasio impor diduga memperkuat responsivitas nilai tukar riil terhadap volume impor susu. Guncangan nilai tukar yang terjadi pada periode krisis merupakan kesempatan yang dapat dijadikan sebagai momentum untuk meningkatkan daya saing (competitive depreciation). Penurunan volume impor susu pada periode 1997-1998 sebesar 15,10 persen disertai pula dengan penurunan volume produksi susu domestik sebesar 11,39 persen sebagai implikasi atas penurunan konsumsi karena tingginya inflasi. Ketergantungan akan pakan konsentrat impor seperti wheat pollard diduga mengakibatkan penurunan volume produksi susu domestik. Insentif harga yang diterima pada saat krisis juga tidak dapat memberikan manfaat secara berkesinambungan. Harga riil susu domestik pada tahun 1997 mencapai Rp 1.190/liter dan kemudian kembali naik menjadi Rp 1.560/liter, sementara harga riil susu impor mencapai Rp 1.678/liter di tahun 1997 dan turun secara signifikan menjadi Rp 1.250/liter di tahun 1998. Investasi dalam usaha peternakan sapi perah maupun IPS dalam industri persusuan nasional masih dianggap sebagai bisnis yang beresiko saat ini (USDA, 2000). Iklim investasi yang kurang kondusif dan instabilitas politik membuat belum banyak melirik usaha tersebut.
Fenomena kenaikan harga bahan baku susu impor asal Australia menjadi 4500 US$/ton akibat kekeringan (frost) panjang di pertengahan tahun 2007, membuat IPS meningkatkan harga jual produk susu olahan di seluruh kawasan Indonesia, mengingat mayoritas kebutuhan akan bahan baku IPS dipenuhi melalui impor. Lonjakan harga produk susu olahan terutama susu formula bayi meresahkan konsumen terutama para ibu yang mempunyai bayi dan balita yang berada dalam masa tumbuh dan kembang. Guncangan penawaran (supply shock) berupa kenaikan harga bahan baku susu impor pada petengahan Juni 2007 memberikan peluang bagi peningkatan daya saing susu domestik. Terjadi peningkatan permintaan susu domestik yang bukan hanya oleh IPS, melainkan juga konsumen akhir produk susu olahan yang beralih mengkonsumsi susu segar. Implikasinya, harga susu domestik meningkat karena usaha peternakan sapi perah belum mampu memenuhi seluruh peningkatan permintaan tersebut. Kenaikan harga susu tersebut menggairahkan para peternak sapi perah di sentra produksi susu segar karena mereka bisa mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga jual. Peternak sapi perah saat ini menikmati kenaikan harga rata-rata Rp 700/liter. Insentif harga ini diharapkan dapat memicu produktivitas bahan baku susu domestik di masa yang akan datang agar ketergantungan impor dapat dikurangi. Ringkasan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing bahan baku susu domestik dengan pendekatan Porter’s Diamond disajikan dalam Gambar 5.3.
Peningkatan kompetisi akibat dicabutnya proteksi rasio impor menyebabkan keluarnya usaha inefisien yang tidak mempu bersaing sehingga meningkatkan efisiensi usaha peternakan sapi perah secara agregat (+) Peningkatan produksi dan produktivitas bahan baku susu domestik pasca penghapusan kebijakan rasio impor direspon dengan penurunan penyerapan bahan baku susu domestik (-) Kebijakan rasio impor meningkatkan preferensi IPS untuk melakukan impor bahan baku (-)
Pemerintah
Skala usaha tidak ekonomis dengan bentuk usaha perseorangan dan populasi sapi perah tiga sampai dengan empat ekor (-) Komposisi ketenagakerjaan didominasi pekerja harian dengan tingkat pendidikan rendah (-) Teknologi konvensional (-) Indikasi perkembangan produktivitas bahan baku susu domestik pada periode 1996-2005 dapat dijadikan sebagai landasan peningkatan daya saing (+)
-
Usaha peternakan sapi perah beraliansi untuk memasarkan bahan baku susu domestik dalam format koperasi (GKSI) (+) Spesifikasi bahan baku susu impor yang unggul dan penghapusan kebijakan rasio impor meningkatkan preferensi IPS untuk melakukan impor bahan susu (-)
Strategi, struktur, dan persaingan Kondisi faktor
Kondisi permintaan Industri pendukung dan terkait
Inefisensi akibat diversifikasi usaha koperasi yang tidak relevan menyerap 70-80 persen struktur biaya koperasi (-) Pakan konsentrat wheat pollard disalurkan dari ouput sampingan industri tepung terigu dalam negeri (+)
Kesempatan
Fluktuasi nilai tukar riil mempengaruhi volume impor bahan baku susu
Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat menggerakkan peningkatan derived demand bahan baku susu domestik (+)
Populasi penduduk berusia bayi dan balita yang besar meningkatkan derived demand bahan baku susu(+)
Peningkatan derajat kompetisi IPS menggerakkan peningkatan derived demand bahan baku susu domestik (+) Mayoritas IPS yang berasal dari investasi PMA tidak ditujukan untuk mengutamakan penyerapan bahan baku susu domestik (-)
Gambar 5.3. Ringkasan Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Susu Domestik dengan Pendekatan Porter’s Diamond
5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Susu Indonesia Periode 1976-2005
Variabel impor susu periode 1976-2005 pada analisis kuantitatif dengan metode Engle-Granger Cointegration dan Error Correction Model (ECM) dijadikan sebagai variabel dependen yang dapat menggambarkan daya saing susu domestik terhadap susu impor pada jangka panjang maupun jangka pendek. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah peningkatan volume impor susu dapat dapat merefleksikan daya saing susu domestik yang lemah.
5.2.1. Uji Stasioneritas Data deret waktu dikatakan stasioner jika menunjukan pola yang konstan dari waktu ke waktu. Adapun uji akar unit yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Apabila nilai t-statistik ADF lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon, maka variabel tersebut tidak memiliki akar unit sehingga dikatakan stasioner pada taraf nyata tertentu. Hasil uji ADF untuk data time series setiap variabel pada tingkat level dapat dilihat pada Tabel 5.6. Tabel 5.6. Hasil Uji Augmented Dickey Fuller pada Level Variabel
Nilai ADF t-Statistic
Nilai Kritis MacKinnon 1%
5%
Keterangan 10%
LNQM
-2,018324
-4,309824
-3,574244
-3,221728
Tidak Stasioner
LNQP
-0,664515
-4,309824
-3,574244
-3,221728
Tidak Stasioner
LNPM
-4,617826
-4,467895
-3,644963
-3,261452
Stasioner
LNPD
-2,882525
-4,309824
-3,574244
-3,221728
Tidak Stasioner
LNRER
-2,870721
-4,309824
-3,574244
-3,221728
Tidak Stasioner
LNGDP
-5,585125
-4,309824
-3,574244
-3,221728
Stasioner
Sumber: Lampiran 2
Tabel 5.6 memperlihatkan bahwa terdapat empat variabel yang tidak stasioner pada level, yakni variabel volume impor susu (QM), volume produksi
susu domestik (QP), harga riil susu domestik (PD), dan nilai tukar riil Rupiah (RER). Keempat variabel tersebut mempunyai nilai ADF t-statistic yang lebih besar daripada nilai kritis MacKinnon. Berdasarkan hal tersebut, maka kembali dilakukan pengujian ADF test lanjutan pada tingkat first difference. Tabel 5.7. Hasil Uji Augmented Dickey Fuller pada First Difference Variabel
Nilai ADF t-Statistic
Nilai Kritis MacKinnon 1%
5%
Keterangan 10%
LNQM
-4,896263
-4,356068
-3,595026
-3,233456
Stasioner
LNQP
-4,977578
-4,339330
-3,587527
-3,229230
Stasioner
LNPM
-4.388161
-4.323979
-3,580623
-3,225334
Stasioner
LNPD
-7,578934
-4,323979
-3,580623
-3,225334
Stasioner
LNRER
-6,572882
-4,323979
-3,580623
-3,225334
Stasioner
LNGDP
-8,427985
-4,323979
-3,580623
-3,225334
Stasioner
Sumber: Lampiran 2
Uji akar unit pada tingkat first difference ini dilakukan sebagai konsekwensi dari tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada level. Tabel 5.7 menunjukkan bahwa semua data yang digunakan dalam penelitian ini stasioner pada first difference sehingga terintegrasi pada derajat satu (I(1)).
5.2.2. Hasil Estimasi Engle-Granger Cointegration Uji kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka panjang yang stabil antara variabel-variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama. Berdasaran hasil uji stasioneritas, seluruh variabel dalam penelitian ini terintegrasi pada derajat yang sama yaitu I(1). Dengan demikian dapat dilakukan uji
kointegrasi. Uji kointegrasi yang digunakan untuk penelitian ini adalah EngleGranger Cointegration. Engle-Granger Cointegration digunakan untuk mengestimasi hubungan jangka panjang antara volume impor susu (QM) dengan volume produksi susu domestik (QP), harga riil susu impor (PM), harga riil susu domestik (PD), nilai tukar riil (RER), dan pendapatan riil per kapita (GDP). Tahap awal dari EngleGranger Cointegration adalah dengan meregresi persamaan OLS antara variabel dependen dan variabel independen. Kemudian setelah meregresi persamaan didapatkan residual dari persamaan tersebut. Uji ADF pada residual bersifat stasioner pada level atau I(0) sehingga dapat dikatakan bahwa variabel yang digunakan cenderung menuju keseimbangan pada jangka panjang walaupun pada tingkat level terdapat variabel yang tidak stasioner. Hasil uji residual dengan ADF test tercantum dalam Tabel 5.8. Tabel 5.8. Hasil Uji Augmented Dickey Fuller Persamaan Residual Variabel
Nilai ADF t-statistic
Nilai Kritis MacKinnon 1%
ECT
-4,423487
5% -2,647120
-1,952910
10% - 1,610011
Keterangan
Stasioner
Sumber: Lampiran 3
Berdasarkan informasi yang tertuang dalamTabel 5.8, diketahui bahwa nilai ADF t-statistic lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen, sehingga residual persamaan regresi stasioner pada tingkat level. Hal ini mengindikasikan terdapat hubungan kointegrasi diantara variabel yang digunakan, sehingga selanjutnya dapat dilakukan pengestimasian Engle-Granger Cointegration untuk mengidentifikasi hubungan jangka panjang antara produksi susu domestik (QP), harga riil susu impor (PM),
harga riil susu domestik (PM), nilai tukar riil Rupiah (RER), dan pendapatan perkapita riil (GDP) terhadap impor susu (QM). Berdasarkan hasil Engle-Granger Cointegration terbentuklah persamaan 5.1. LNQMt =2,526654 - 0,088466 LNQPt - 0,603045 LNPMt+ 0,910812 LNPDt 0,716223 LNRERt + 0,653673 LNGDPt (5.1)
5.2.3.
Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM) Error Correction Model (ECM) digunakan untuk mengestimasi model
dinamis jangka pendek dari variabel volume impor susu sebagai variabel dependen. Penggunaan metode estimasi ECM dapat menggabungkan efek jangka pendek dan jangka panjang yang disebabkan oleh fluktuasi dan time lag dari masing variabel independen. Dalam penelitian ini, estimasi ECM untuk volume impor susu dilakukan dengan cara merestriksi variabel-variabel yang berpengaruh terhadap volume impor susu. Berdasarkan hasil Error Correction Model (ECM) terbentuklah persamaan 5.2. DLNQMt = -1,017246 DLNQPt-3 – 0,784756 DLNPMt-1 -0,538569 DLNRERt-2 + 1,791404 DLNGDPt – 0,228853 DLNGDP t-3 + 0,105243 D (5.2)
5.2.4. Uji Diagnostik (Diagnostic Tests) Uji diagnostik ekonometrika digunakan untuk mengidentifikasi apakah hasil estimasi ECM jangka pendek terbebas dari permasalahan yang berkaitan dengan asumsi klasik BLUE (Best, Linear, Unbiased, Estimator) seperti normalitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Uji multikolinearitas tidak dilakukan pada penelitian ini, karena model yang diestimasi telah berbentuk first
difference yang pada dasarnya merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas. Uji normalitas Jarque-Bera dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa error term terdistribusi secara normal karena nilai probabilitas sebesar 0,294817 yang lebih besar dari taraf nyata (α = 10 persen).
7 Series: Residuals Sample 1980 2005 Observations 26
6 5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
4 3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.007002 0.015604 0.217890 -0.324626 0.116160 -0.590511 3.927408 2.442804 0.294817
0.2
Gambar 5.4. Hasil Uji Normalitas Error Correction Model (ECM) Uji autokorelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah BreuschGodfrey Serial Correlation LM Test yang dapat dilihat dalam Lampiran 6. Nilai probabilitas (0,152340) yang lebih besar apabila dibandingkan dengan taraf nyata 10 persen menunjukkan bahwa tidak terdapat permasalahan autokorelasi dalam model persamaan tersebut. Uji heteroskedastisitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah White Heteroscedasticity Test (no cross term). Probabilitas Obs*R-squared sebesar 0,722465 yang lebih besar dibandingkan taraf nyata 10 persen membuat model
persamaan
dinamis
jangka
pendek
ECM
terbebas
dari
problem
heteroskedastisitas, seperti yang tertera dalam Lampiran 7.
5.2.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Susu pada Jangka Panjang Berdasarkan hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi impor susu pada jangka panjang dalam Tabel 5.9, dapat diketahui bahwa semua variabel yang digunakan dalam penelitian memiliki arah yang konsisten dan sesuai dengan hipotesis yang diajukan. Uji signifikansi kemudian dapat dilakukan dengan melihat indikator probabilitas. Apabila probabilitas lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata, maka variabel tersebut dapat dinyatakan sebagai variabel yang secara signifikan mempengaruhi variabel impor susu (QM). Begitupun sebaliknya, jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata maka variabel tersebut tidak mempunyai pengaruh yang signifikan. Empat variabel independen yang meliputi harga riil susu, harga riil susu domestik, nilai tukar riil Rupiah, dan pendapatan perkapita mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap volume impor susu. Sementara, produksi susu domestik tidak mempengaruhi volume impor susu secara signifikan pada jangka panjang. Tabel 5.9. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Susu pada Jangka Panjang Variabel
Koefisien
Constant LNQP LNPM LNPD LNRER LNGDP
Sumber: Lampiran 4, Catatan: Siginifikan pada taraf nyata 10%
Probabilitas 2,526654 0,088466 -0,603045 0,910812 -0,716223 0,653673
0,6537 0,5723 0,0066 0,0616 0,0400 0,0332
Harga riil impor susu bepengaruh negatif dan siginifikan terhadap volume impor susu pada jangka panjang. Interpretasi tersebut memiliki konsistensi dengan teori import demand yang menyatakan bahwa volume atau kuantitas barang yang diimpor merupakan fungsi dari harga barang itu sendiri dan mempunyai hubungan yang berkebalikan atau negatif. Harga riil susu domestik berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap volume impor susu. Tanda koefisien harga susu domestik yang bernilai positif terhadap volume impor bahan baku susu menunjukkan bahwa kedua bahan baku susu tersebut bersifat substitutif satu sama lainnya pada jangka panjang. Kenaikan harga susu domestik akan menggerakkan insentif IPS untuk mengimpor susu sebagai strategi untuk melakukan efisiensi biaya produksi. Restriksi perdagangan yang relatif longgar pasca penghapusan kebijakan rasio impor di tahun 1998 memberikan keleluasaan bagi IPS untuk menyerap susu impor. Koefisien nilai tukar riil Rupiah (RER) berkorelasi negatif terhadap volume impor susu dalam jangka panjang. Fluktuasi nilai tukar riil yang terjadi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap permintaan susu impor. Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap US$, menyebabkan harga riil susu impor yang dikonversi ke dalam Rupiah menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga rill susu domestik. Implikasi lanjutan yang akan dihadapi oleh IPS dalam keadaan tersebut adalah peningkatan biaya produksi akibat peningkatan harga input impor yang selama ini digunakan. IPS akan merespon kondisi tersebut dengan mengurangi permintaan akan susu impor dengan asumsi IPS tidak meningkatkan
harga output produk susu olahan agar dapat tetap bersaing di pasar produk susu olahan. Pendapatan per kapita masyarakat berpengaruh positif terhadap volume impor susu. Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat akan meningkatkan daya beli masyarakat pada jangka panjang. Daya beli yang semakin besar akan menggerakkan pola konsumsi pangan masyarakat dari makanan pokok yang kaya karbohidrat pada jenis pangan yang berkalori lebih tinggi seperti produk susu olahan dengan asumsi produk susu olahan dikonsumsi oleh seluruh masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan (Fabiosa, 2005). Peningkatan permintaan produk susu olahan yang dapat dikategorikan barang normal secara transmitif akan menggerakkan peningkatan derived demand IPS terhadap bahan baku susu. Kondisi aktual pasokan susu domestik yang belum mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat dan rincian spesifikasi bahan baku yang dituntut IPS menyebabkan IPS mengambil alternatif untuk meningkatkan permintaan impor susu. Volume produksi susu domestik tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap volume impor susu pada jangka panjang. Hal ini diduga karena pada perekonomian jangka panjang terdapat variabel-variabel antara yang mempengaruhi impor susu dan tidak dapat dijelaskan dalam persamaan model struktural faktor-faktor yang mempengaruhi impor susu dalam jangka panjang yang dibangun dalam penelitian ini. Perkembangan selera (taste) masyarakat yang senantiasa berubah maupun perkembangan kesadaran (awareness) akan manfaat susu bagi kesehatan, jargonisasi “white revolution” yang dipopulerkan oleh negara
–negara eksportir susu dunia, serta faktor-faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi penawaran impor diduga mempengaruhi impor susu Indonesia. Implikasi dari argumentasi ini adalah peningkatan volume produksi susu domestik tidak akan secara langsung mempengaruhi impor susu pada jangka panjang.
5.2.6. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Susu pada Jangka Pendek Berdasarkan
persamaan
ECM
dinamis
jangka
pendek,
dapat
diinterpretasikan bahwa semua variabel secara signifikan mempengaruhi variabel impor susu. Meskipun demikian, terdapat satu variabel yakni lag ketiga pendapatan per kapita yang inkonsisten dengan hipotesis yang telah diajukan, sementara variabel harga riil susu domestik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume impor susu pada jangka pendek. Ringkasan hasil estimasi faktorfaktor yang mempengaruhi impor susu pada jangka pendek disajikan pada Tabel 5.10. Tabel 5.10. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Susu pada Jangka Pendek Variabel DLNPM(-1) DLNQP(-3) DLNRER(-2) DLNGDP DLNGDP(-3) D ECT(-1)
Koefisien
Probabilitas -0,784756 -1,004660 -0,538569 1,791404 -0,228853 0,105243 -0,468050
0,0013 0,0004 0,0048 0,0142 0,0573 0,0816 0,0071
Sumber: Lampiran 5 Catatan: Siginifikan pada taraf nyata 10%
Harga riil susu impor tahun sebelumnya berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume impor susu. Peningkatan harga riil bahan baku susu impor lag pertama sebesar satu persen akan menurunkan volume bahan baku susu
yang diimpor sebesar -0,784756 persen, ceteris paribus. Kondisi ini berkaitan dengan asumsi klasik yang mengemukakan bahwa perilaku harga bersifat kaku (sticky price) pada perekonomian jangka pendek, sehingga harga riil impor diekspektasikan tidak akan berubah secara drastis di tahun berikutnya. Implikasinya IPS akan memilih alternatif untuk menurunkan permintaan impor susu akibat harga riil susu impor yang akan tetap tinggi. Kekakuan harga ini dimungkinkan mengingat terkadang harga ditetapkan dalam kontrak jangka panjang antara perusahaan dan pelanggan. Bahkan, tanpa kesepakatan formal perusahaan dapat melaksanakan strategi untuk mempertahankan harga di level tertentu agar tidak merepotkan pelanggan tetap mereka dengan sering terjadinya perubahan harga (Mankiw, 2003). Peningkatan volume produksi susu domestik sebesar satu persen lag ketiga akan menurunkan volume impor susu sebesar -1,004660 persen, ceteris paribus. Peningkatan volume produksi tiga tahun sebelumnya sebesar satu persen akan memberikan efek penurunan volume impor susu periode ini sebesar 1,004660 persen, ceteris paribus. IPS mengekspektasikan peningkatan volume produksi ini akan terus berlanjut dan mengalami trend perkembangan yang positif seiring dengan upaya perbaikan efisiensi dan peningkatan produktivitas yang terus dilakukan pada subsistem usaha peternakan sapi perah. Dengan asumsi peningkatan volume produksi ini akan diserap oleh IPS, maka volume impor susu yang diminta pada periode sekarang akan mengalami penurunan. Responsivitas variabel produksi susu domestik yang membutuhkan waktu selama tiga tahun terhadap variabel impor susu dapat dipahami mengingat statistik produksi susu
domestik di tahun 2005 (periode akhir penelitian) hanya mampu memenuhi 30 persen pangsa konsumsi domestik. Akumulasi peningkatan kapasitas produksi melalui serangkaian upaya perbaikan teknik budidaya dan tata kelola dalam selang waktu tersebut diprediksi akan memberikan respon penurunan volume impor susu yang elastis. Koefisien nilai tukar riil Rupiah lag kedua berhubungan secara positif dan signifikan terhadap volume impor susu. Melemahnya nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada lag kedua sebesar satu persen akan menurunkan volume impor bahan baku susu saat ini sebesar 0,538569 persen, ceteris paribus. Depresiasi Rupiah yang terjadi pada lag kedua mengakibatkan harga riil susu domestik menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga riil impor yang telah dikonversi dengan nilai tukar. Hal ini mengakibatkan IPS meningkatkan preferensinya untuk menyerap susu domestik dan secara aktual akan menurunkan kegiatan impor susu. Pergerakan nilai tukar diekspektasikan akan relatif stabil atau hanya berfluktuasi dalam kisaran yang kecil pada jangka pendek. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter mempunyai fungsi sebagai stabilisator yang meminimalisasi resiko pasar (market risk) yang diakibatkan oleh pergerakan nilai tukar agar tidak memperburuk kondisi makroekonomi Indonesia. Tingginya kredibilitas Bank Indonesia di mata pelaku pasar dalam hal stabilisasi nilai tukar mengakibatkan IPS sebagai salah satu pihak yang menggeluti kegiatan impor akan berperilaku rasional dengan mengurangi impor susu akibat depresiasi nilai tukar riil Rupiah pada lag kedua.
Variabel pendapatan per kapita riil berpengaruh positif dan signifikan terhadap volume impor susu. Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat sebesar satu persen akan meningkatkan pula volume impor susu sebesar 1,791404 persen, ceteris paribus. Peningkatan daya beli masyarakat yang berkorelasi kuat dengan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat akan merubah pola konsumsi pangan ke bahan pangan yang berkalori tinggi yang umumnya dicirikan dengan harga yang lebih tinggi seperti produk susu olahan. Peningkatan permintaan produk susu olahan akan pula meningkatkan impor susu sebagai input produk susu olahan, dengan asumsi masih terjadi excess demand kebutuhan bahan baku susu. Pendapatan per kapita lag ketiga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume impor bahan baku susu. Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat sebesar satu persen pada lag ketiga mengakibatkan volume impor susu menurun 0,228853 persen, ceteris paribus. Faktanya, peningkatan konsumsi produk susu olahan akibat peningkatan pendapatan secara spesifik dan nyata terjadi pada masyarakat golongan menengah ke atas yang mempunyai pendapatan relatif tetap dan bermukim di area perkotaan (urban). Fenomena ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan masyarakat yang terjadi di Indonesia turut berkontribusi pada kemiskinan (poverty) yang terjadi. Masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia meskipun terjadi pertumbuhan pendapatan per kapita pada lag ketiga merupakan hal yang mendasari ekspektasi negatif IPS untuk menurunkan volume impor susu.
Kebijakan penghapusan rasio impor mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap peningkatan volume impor susu dengan koefisien sebesar 0,105243. Artinya ketika kebijakan penghapusan rasio impor diterapkan, mengakibatkan kenaikan volume impor bahan baku susu sebesar 0,105243 kali dibandingkan dengan diberlakukannya restriksi rasio impor, ceteris paribus. Kebijakan penghapusan rasio impor yang mencerminkan minimalisasi intervensi pemerintah dalam rangka mendorong efisiensi industri persusuan nasional telah memberikan pilihan yang lebih bebas dan luas untuk melakukan penyerapan impor bahan baku susu tanpa melalui prasyarat penyerapan bahan baku susu domestik. Semenjak kebijakan tersebut diberlakukan industri persusuan nasional mengarah
pada
mekanisme
pasar
(market
mechanism)
karena
telah
menghilangkan suatu bentuk distorsi perdagangan. . Penerapan penghapusan kebijakan rasio impor yang dapat diartikan sebagai perluasan akses untuk melakukan impor bahan baku susu berdasarkan model Error Correction Model (ECM) relatif kecil mempengaruhi peningkatan volume impor bahan baku susu pada jangka pendek. Hal ini diduga disebabkan oleh waktu penerapan penghapusan kebijakan rasio impor yang relatif bersamaan dengan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia di tahun 1997. Kedua dummy tersebut, yang meliputi penghapusan kebijakan rasio impor maupun krisis ekonomi mempunyai pengaruh yang berlawanan arah terhadap volume impor susu. Pertama, penghapusan kebijakan rasio impor mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap volume impor susu sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam deskripsi sebelumnya. Kedua, krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, setidaknya mengakibatkan dua hal. Krisis telah memicu kenaikan harga secara umum (tingkat inflasi) dan depresiasi tajam nilai tukar riil Rupiah. Tingginya inflasi mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat serta penurunan aktivitas importasi IPS. Berdasarkan argumentasi tersebut, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kombinasi kedua dummy tersebut menghasilkan efek netto peningkatan volume impor susu pada jangka pendek dengan besaran yang relatif kecil. Variabel harga riil susu domestik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume impor susu pada jangka pendek. Hal ini dikarenakan negosiasi harga melalui sistem kontrak antara GKSI sebagai respresentatif dari peternak sapi perah dan IPS sebagai pihak yang merefleksikan kekuatan permintaan hanya mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan IPS secara sepihak. Bargaining position GKSI yang lemah disebabkan oleh: Pertama,
minimnya kapasitas
produksi bahan baku susu domestik dalam menghadapi kekuatan permintaan yang jauh lebih besar. Kedua, saluran pemasaran susu segar yang dipasarkan kepada IPS untuk diiutilisasi sebagai bahan baku susu domestik merupakan saluran utama pemasaran yang dilakukan. Ketergantungan akan saluran tersebut dan kurang berkembangnya alternatif marketing channel lain menjadikan IPS sebagai oligopsonis dapat berkolusi menetapkan harga. Ketiga, isu kualitas bahan baku susu domestik yang kerapkali berada di bawah standar IPS dengan konsekwensi penalti mengakibatkan harga yang diterima pada level farmgate belum dapat
merangsang pengembangan usaha peternakan sapi perah.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa fluktuasi harga riil bahan baku susu domestik dalam jangka pendek belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku impor IPS. Koefisien Error Correction Term (-1) sebesar 0,468050 menunjukkan bahwa disequilibrium periode sebelumnya terkoreksi pada periode sekarang sebesar 0,468050 persen. Besar koefisien Error Correction Term menunjukkan seberapa cepat equlibrium tercapai kembali ke keseimbangan jangka panjang.
5.3.
Rekomendasi Strategi Peningkatan Daya Saing Susu Domestik Kebutuhan untuk mengembangkan usaha peternakan sapi perah bukan
hanya dilakukan semata-mata untuk memenuhi konsumsi domestik. Beberapa tujuan penting lainnya yang juga hendak dicapai berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan peternak sapi perah melalui peningkatan pendapatan dan perbaikan distribusi pendapatan, peningkatan penyerapan tenaga kerja, serta meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui peningkatan asupan gizi nasional (Karliyenna, 1990). Keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) dengan industri lainnya yang terjadi di dalam persusuan nasional sangat erat. Secara alami, usaha peternakan sapi perah memiliki tingkat dependensi yang cukup tinggi dengan industri lainnya karena sebagian besar ouput usaha peternakan sapi perah digunakan sebagai bahan baku IPS (Soedjana, 2005). Oleh karena itu, peningkatan daya saing susu domestik dalam kerangka kompetisi terhadap susu impor diharapkan dapat menjadi alternatif solusi utama sehingga lebih jauh dapat memberikan dampak yang lebih baik kepada IPS dan
konsumen akhir produk susu olahan, seperti harga yang lebih murah maupun kualitas yang lebih baik. Komprehensivitas pendekatan Porter’s Diamond yang menganalisis daya saing susu domestik, Engle-Granger Cointegration, serta Error Correction Model (ECM) yang mengestimasi determinan yang mempengaruhi volume impor susu dalam time frame jangka panjang dan jangka pendek sebagai kompetitor melahirkan beberapa poin rekomendasi strategi, sebagai berikut: Pertama, upaya peningkatan produksi susu domestik dalam jangka pendek krusial untuk dilaksanakan. Peningkatan produksi susu domestik dalam rangka memenuhi kebutuhan IPS yang diprediksi akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita Indonesia yang menggerakkan konsumsi akan produk susu olahan. Berdasarkan analisis Porter’s Diamond, kondisi faktor merupakan kelemahan fundamental yang mengakibatkan rendahnya kapasitas produksi dan produktivitas bahan baku susu domestik. Skala usaha peternakan sapi perah yang relatif kecil dengan kepemelikan sapi perah tiga sampai dengan empat ekor, struktur permodalan yang rendah, komposisi ketenagakerjaan yang didominasi oleh tenaga kerja harian dan berpendidikan rendah, serta teknologi yang konvensional merupakan identifikasi umum dari kebanyakan usaha peternakan sapi perah di Indonesia. Siregar (2003), mengemukakan bahwa peluang peningkatan produksi sekaligus produktivitas susu domestik dapat ditempuh dapat melalui tiga kegiatan utama, yakni:
Penambahan populasi sapi perah betina
Populasi sapi perah betina yang rendah mengakibatkan kesulitan tersendiri bagi usaha peternakan sapi perah untuk mengimbangi peningkatan permintaan. Penambahan jumlah sapi perah betina pada jangka pendek dan instan hanya memungkinkan dengan cara mengimpor, seperti yang telah dilakukan selama ini. Tetapi, hal yang perlu menjadi perhatian adalah dengan cara bukan lagi mengimpor sapi perah dalam keadaan bunting karena memiliki kemampuan adaptasi yang rendah terhadap pakan dan lingkungan pemeliharaan baru. Rekomendasi yang dapat diutarakan adalah dengan cara mengimpor sapi perah betina muda yang secara relatif mempunyai tingkat imunitas dan adaptasi yang lebih baik terhadap proses pengiriman dan lingkungan pemeliharaan yang baru. Diharapkan dengan penambahan populasi sapi perah betina akan meningkatkan skala ekonomis dalam usaha peternakan sapi perah.
Perbaikan pemberian pakan dan tata laksana Perbaikan pemberian pakan baik secara kualitas maupun kuantitas dan
tatalaksana pemeliharaan sapi perah. Suplementasi pakan konsentrat dengan kandungan protein dan energi yang lebih tinggi dapat mempompa kapasitas produksi bahan baku susu domestik. Sapi perah yang mempunyai kemampuan berproduksi yang tinggi membutuhkan zat gizi yang relatif banyak dalam pakannya. Bukan hanya dari segi kualitas dan kuantitas saja yang dapat dilakukan untuk memperbaiki permberian pakan. Peningkatan frekwensi pemberian pakan diyakini dapat memberikan dampak positif bagi kapasitas produksi. Frekwensi pemberian pakan yang ideal dalam usaha peternakan sapi perah adalah sebanyak dua kali sehari.
Intensifikasi pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) Peningkatan
kemampuan
berproduksi
susu
yang
mengacu
pada
peningkatan potensi genetik melalui program Inseminasi Buatan (IB) telah dilaksanakan selama puluhan tahun tetapi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Peranan IB yang masih rendah terhadap peningkatan kemampuan berproduksi susu disebabkan karena program IB yang dilakukan belum dilaksanakan secara baik dan terprogram serta tidak diikuti dengan program seleksi sapi perah betina. Program seleksi ketat dan berkelanjutan akan menurunkan keragaman kapasitas produksi pada setiap sapi perah sehinggga diekspektasikan akan memberikan dampak yang positif. Penguatan rekomendasi peningkatan kapasitas produksi dan produktivitas ditunjukkan melalui hasil estimasi ECM dinamis jangka pendek yang menyatakan bahwa variabel volume produksi susu domestik lag ketiga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume impor. Peningkatan volume produksi lag ketiga akan memberikan respon penurunan yang lebih banyak (elastis) terhadap variabel impor susu. Meskipun peningkatan produksi susu domestik tidak seketika memberikan respon penurunan volume impor pada periode yang sama, tetapi hal tersebut tidak menurunkan urgensi dari upaya peningkatan produksi susu domestik. Kedua, penguatan bargaining postion GKSI sebagai koperasi sekunder dalam negosiasi penetapan harga riil susu domestik dengan IPS. GKSI sebagai representatif kepentingan dan aspirasi GKSI seyogyanya mengutamakan agar pengembangan agribisnis berbasis peternakan dapat berjalan dengan baik.
Penetapan harga riil susu domestik harus mengakomodasi kepentingan usaha peternakan sapi perah. Negosiasi tersebut sebaiknya diagendakan sebagai upaya untuk mendapatkan win-win solutions bagi usaha peternakan sapi perah maupun IPS, yakni dengan menetapkan harga yang tetap kompetitif apabila dibandingkan dengan susu impor sekaligus mendatangkan tingkat keuntungan yang layak. Berdasarkan determinan
strategi,
struktur,
dan persaingan pada
pendekatan Porter’s Diamond dikemukakan bahwa salah satu kelemahan dari strategi penyaluran bahan baku melalui koperasi adalah maraknya praktek inefisiensi dan mismanajemen dalam tubuh koperasi, sehingga harga netto susu domestik yang diterima pada level peternak menjadi semakin kecil.
Hal ini
menjadi suatu disinsentif bagi pengembangan persusuan nasional. Kemampuan manajerial dan efisiensi aktivitas koperasi dapat ditumbuhkembangkan melalui kegiatan pelatihan kaderisasi yang terarah dan pelaksanaan supervisi yang optimal dalam setiap aktivitas koperasi. Upaya tersebut penting untuk dilakukan segera, meskipun analisis Error Correction Model (ECM) mengidentifikasi bahwa variabel harga riil susu domestik tidak mempengaruhi volume impor susu secara signifikan pada jangka pendek. Pengembangan semua subsistem dalam industri persusuan nasional secara serius akan menghasilkan harga riil domestik yang kompetitif dalam jangka panjang. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor susu pada jangka panjang dengan metode Engle-Granger Cointegration menyatakan bahwa variabel harga riil susu domestik merupakan salah satu variabel yang responsif (elastis) terhadap volume impor susu.
Ketiga, penghapusan kebijakan rasio impor yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 1998 mengakibatkan peningkatan impor susu Indonesia. Meskipun demikian pengembangan industri persusuan nasional dapat tetap dilakukan terutama pada subsistem usaha peternakan sapi perah. Peluang peningkatan produksi susu domestik pada jangka pendek secara intensif maupun ekstensif merupakan suatu jalan keluar (exit strategy) yang dapat ditempuh dalam era liberalisasi perdagangan. Peningkatan produksi susu domestik diduga akan terus diserap oleh IPS sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk susu olahan. Mayoritas IPS yang berasal dari penanaman modal asing saat ini dihadapkan pada fenomena trend peningkatan harga komoditas susu di negara-negara eksportir susu ternama di dunia. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya penurunan konsumsi per kapita susu masyarakat. Antisipasi permasalahan tersebut dilakukan IPS sebagai konsumen susu utama di Indonesia dengan menyerap supply susu domestik untuk mengimbangi kenaikan harga susu impor. Peningkatan tekanan derajat kompetisi pasca penghapusan kebijakan rasio impor yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 1998 disisi lain telah memberikan dampak positif bagi efisiensi subsistem usaha peternakan sapi perah. Efisiensi industri persusuan nasional tersebut secara agregat yang ditandai dengan keluarnya usaha peternakan sapi perah yang tidak mampu bersaing.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Kondisi kelebihan permintaan (excess demand) akibat peningkatan
konsumsi susu Indonesia yang jauh di atas peningkatan kapasitas produksi susu domestik menjadikan Indonesia dihadapkan pada pilihan untuk melakukan aktivitas importasi susu dalam mekanisme perdagangan internasional. Susu impor yang memiliki keunggulan dari sisi harga dan kualitas diduga turut berpengaruh menggerakkan preferensi Industri Pengolahan Susu (IPS) sebagai konsumen utama susu untuk meningkatkan impor. Terlebih di era liberalisasi perdagangan dalam industri persusuan nasional yang diaktualisasikan melalui penghapusan proteksi rasio impor. Rasio impor merupakan salah satu bentuk non tariff barrier yang mensyaratkan IPS menyerap susu domestik terlebih dahulu sebelum mengimpor susu berdasarkan rasio yang ditetapkan. Lonjakan volume impor susu yang terjadi pasca penghapusan kebijakan rasio impor diduga menggambarkan kondisi daya saing susu domestik yang rendah. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi daya saing susu domestik melalui pendekatan Porter’s Diamond menghasilkan implikasi penelitian bahwa kelemahan mendasar daya saing susu domestik terletak pada kondisi faktor. Skala usaha yang tidak ekonomis dengan bentuk usaha perseorangan dan rata-rata kepemilikan sapi perah sebanyak tiga sampai dengan empat ekor, komposisi ketenagakerjaan yang didominasi pekerja harian dengan tingkat pendidikan rendah, dan teknologi yang bersifat konvensional berkontribusi
terhadap rendahnya kapasitas produksi susu domestik. Sebaliknya, faktor yang diduga berkontribusi besar terhadap kondisi daya saing adalah kondisi permintaan. Permintaan akan susu domestik sebagai permintaan turunan atas produk susu olahan distimulasi oleh peningkatan pendapatan perkapita masyarakat, peningkatan populasi dan urbanisasi, peningkatan awareness akan manfaat susu, dan peningkatan persaingan antar IPS untuk menghasilkan produk susu olahan yang terdiferensiasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Industri pendukung dan terkait melibatkan peranan koperasi primer peternak sebagai pelaku industri persusuan nasional yang berperan dalam subsistem
pemasaran
susu.
Operasionalisasi
koperasi
dihadapkan
pada
permasalahan mismanajemen dan pemborosan akibat diversifikasi usaha yang tidak relevan dan menjadi biaya yang besar bagi koperasi. Kondisi strategi, struktur, dan persaingan antara susu domestik dan impor belum kondusif untuk meningkatkan daya saing susu domestik. Hal ini dikarenakan harga susu impor lebih kompetitif dengan spesifikasi kualitas yang lebih unggul. Ketergantungan pemasaran susu kepada IPS membuat bargaining position GKSI sebagai representasi peternak sapi perah menjadi lemah dalam menetapkan harga susu domestik. Intervensi pemerintah melalui penghapusan kebijakan rasio impor memberikan pengaruh yang beragam bagi setiap faktor. Implikasi yang menarik dalam penelitian ini adalah peningkatan persaingan menyebabkan keluarnya usaha yang tidak mampu bersaing meningkatkan efisiensi agregat usaha peternakan sapi
perah yang akan berdampak pada peningkatan produksi dan produktivitas susu domestik. Faktor kesempatan dengan indikator pergerakan nilai tukar riil Rupiah mempengaruhi daya saing susu domestik. Hal ini dikarenakan nilai tukar riil mempunyai peranan yang penting terhadap aktivitas ekspor-impor dalam kerangka perdagangan internasional Impor susu Indonesia dari sisi permintaan (import demand) pada jangka panjang dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil susu impor, harga riil susu domestik, nilai tukar riil Rupiah, dan pendapatan perkapita dan pengaruh yang dapat diidentifikasi dalam persamaan tersebut konsisten dengan hipotesis penelitian yang diajukan. Harga riil susu domestik dan pendapatan perkapita masing-masing berpengaruh positif terhadap impor susu, sementara harga riil susu domestik dan nilai tukar riil Rupiah berpengaruh negatif terhadap impor susu. Produksi susu domestik tidak mempengaruhi impor susu pada jangka panjang. Hal ini diduga karena terdapat variabel antara yang tidak mampu dijelaskan oleh model persamaan yang dibangun seperti perkembangan selera (taste) masyarakat, perkembangan kesadaran (awareness) akan manfaat susu bagi kesehatan, jargonisasi “white revolution” yang dipopulerkan oleh negara–negara eksportir susu dunia, serta faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi impor dari sisi penawaran. Impor susu pada jangka pendek dipengaruhi secara siginifikan oleh produksi susu domestik, harga riil susu impor lag pertama, pendapatan perkapita lag ketiga dan nilai tukar riil Rupiah pada lag kedua dengan pengaruh yang bersifat negatif. Pendapatan perkapita secara serta dummy penghapusan kebijakan
rasio impor secara signifikan dan positif mempengaruhi impor susu. Penghapusan kebijakan rasio diterapkan pada waktu yang relatif bersamaan dengan krisis ekonomi 1997, oleh karena itu efek netto peningkatan impor susu yang terjadi relatif kecil dalam jangka pendek. Harga riil susu domestik tidak berpengaruh terhadap impor susu karena bargaining position GKSI masih lemah dalam negosiasi penetapan harga dengan IPS. Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan oleh penelitian ini meliputi: Pertama, upaya peningkatan produksi susu domestik dalam jangka pendek krusial untuk dilaksanakan melalui penambahan populasi sapi betina, perbaikan pemberian pakan dan tata laksana, dan intensifikasi pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB). Kedua, penguatan bargaining postion GKSI sebagai koperasi sekunder dalam negosiasi penetapan harga riil susu domestik dengan IPS dan kaderisasi yang terarah serta pelaksanaan supervisi yang optimal dalam setiap aktivitas koperasi agar harga riil susu domestik yang diterima di level on farm meningkat. Ketiga, efek penghapusan kebijakan rasio impor yang ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 1998 berupa peningkatan volume impor susu dapat diatasi dengan exit strategy peningkatan produksi susu domestik.
6.2.
Saran Saran yang dapat direkomendasikan kepada pihak-pihak terkait dalam
rangka peningkatan daya saing susu domestik diantaranya adalah pemerintah perlu memberikan dukungan nyata dalam rangka mengembangkan usaha peternakan sapi perah pada khususnya. Upaya ini dapat ditempuh melalui
kemudahan akses usaha peternakan sapi perah terhadap kredit serta pendanaan bagi program penelitian dan pengembangan susu domestik. Hal ini dikarenakan kondisi faktor seperti skala usaha yang tidak ekonomis akibat populasi sapi perah yang kecil, kemampuan sumberdaya manusia yang belum optimal, akses teknologi yang minim, dan pengawasan kualitas produk yang kurang baik merupakan kelemahan mendasar yang terjadi pada subsistem on farm industri persusuan nasional. Tujuan utama peningkatan kapasitas produksi dan kualitas susu domestik merupakan langkah prioritas yang perlu dilakukan dengan segera dalam jangka pendek. Saran untuk penelitian lebih lanjut adalah menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga riil susu domestik sebagai sebuah proxy yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi daya saing susu domestik. Alasan yang melatarbelakangi saran ini adalah variabel harga riil susu domestik merupakan salah satu variabel yang responsif terhadap impor susu pada jangka panjang, sehingga implikasi penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi harga riil susu domestik melalui sistem persamaan simultan diharapkan dapat membuahkan rekomendasi kebijakan yang lebih baik bagi peningkatan daya saing susu domestik.
DAFTAR PUSTAKA
Asep. ”Produksi Susu Rendah karena Harga Rendah”. [Media Indonesia Online]. http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=137080. [2 Juli 2007]. Baga, L.M. 2005. ”Revitalisasi Koperasi Petani”. Agrimedia, 10: 38-46. Badan Pusat Statistik. Berbagai Edisi. Statistik Perusahaan Sapi Perah. Badan Pusat Statistik, Jakarta. . Berbagai Edisi. Statistik Industri Besar dan Sedang Volume II. Badan Pusat Statistik, Jakarta. . 2005. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. . 2003. Sensus Pertanian Indonesia Tahun 2003. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Budiono. 2001. Ekonomi Internasional. BPFE, Yogyakarta. Capricorn Indonesia Consult. 2005. Studi tentang Industri dan Pemasaran Susu di Indonesia. CIC Consulting, Jakarta. Daryanto, A. “Persusuan Indonesia Kondisi Permasalahan dan Arah Kebijakan”. http://ariefdaryanto.wordpress.com/2007/09/23/persusuan-indonesia-kondisi -permasalahan-dan-arah-kebijakan/. [10 November 2007]. Departemen Pertanian. 2005. ”Indonesian Dairy Development and it’s Obstacle”. The IDNC IDF Inauguration Handout, 1: 1-26. Direktorat Jenderal Peternakan. Berbagai Edisi. Statistik Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan. 2002. Teknologi Pengolahan Susu. Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Jakarta. Enders, W. 2004. Applied Economic Time Series. Wiley, Alabama. Erwidodo dan F. Hasan. 1993. “Evaluasi Kebijaksanaan Industri Persusuan di Indonesia”. Jurnal Agro Ekonomi, 12: 48-65. Erwidodo dan R. Trewin. 1996. “The Social Welfare Impact of Indonesian Dairy Policies”. Bulletin of Indonesian Economics Studies, 32: 55-84. Fabiosa, J.F. 2005. Growing Demand for Animal-Protein-Source Products in Indonesia: Trade Implications. Center of Agricultural and Rural Development, Iowa State University, Iowa. Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno. [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Halwani, R.H. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Ghalia Indonesia, Jakarta. Hardono, G.S. , P.S.R. Handewi, dan S.H. Sumartini. 2004. “Liberalisasi Perdagangan: Sisi Teori, Dampak Empiris dan Perspektif Ketahanan Pangan”. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 22: 75-88. Ilham, N. dan D.K.S. Swastika. 2001.”Analisis Daya Saing Susu Segar Dalam Negeri Pasca Krisis Ekonomi dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia”. Jurnal Agro Ekonomi, 19: 1943. Karliyenna, L. 1990. Penawaran dan Permintaan Susu Segar di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi Jawa Barat [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Koo, V.W. dan P.L. Kennedy. 2005. International Trade and Agriculture. Blackwell Publishing, Massachusetts. Lipsey, R.G., P.N. Courant, D.D. Purvis, dan P.O. Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi. J.Wasana dan Kirbrandoko. [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Mahisya, F.E. 2004. Analisis Permintaan Ekspor CPO Indonesia Suatu Pendekatan Error Correction Model [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi. I. Nurmawan. [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. National Competitiveness Council. ”Annual Competitiveness Report 2006”. http://www.forfas.ie/ncc/reports/ncc_annual_06/index.html. [15 Februari 2007]. Nurudin , A. 2006. Analisa Sumber-sumber Pertumbuhan Produksi Susu Segar Peternakan Sapi Perah di Indonesia [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Indonesia, Depok. Organisation for Co-operation and Development (OECD). “OECD International Trade and Indicators (ITCI)”. http://www.oecd.org/dataoecd/42/32/ 1860588.pdf. [15 Februari 2007]. Pasaribu, S.H. dan S. Saleh. 2001. “Pendekatan Koreksi Kesalahan dalam Persamaan Simultan Studi Kasus: Pendapatan dan Penawaran Uang di Indonesia ”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 16: 18-29. Peng, T. dan T.L. Cox. 2005. An Economic Analysis of The Impacts of Trade Liberalization on Asian Dairy Market. Department of Agricultural and Applied Economics, University of Wisconsin-Madison, Winsconsin.
Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press, New York. Riethmuller, P. dan D. Smith. 1999. “Strengths and Weaknesses of the Indonesian Dairy Industry”. RAP Publication, 37: 19-28. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Haris Munandar. [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Saragih, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan: Kumpulan Pemikiran. USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sawit, H.M. 2003. ”Indonesia dalam Perjanjian Pertanian WTO: Proposal Harbinson”. Analisis Kebijakan Pertanian, 19: 41-53. Simatupang, P., E. Jamal, M.H. Torop, dan C. Muslim. 1993. “Agribisnis Komoditas Peternakan”. Monograph Series, 8: 15-26. Siregar, S.B. 2003. “ Peluang dan Tantangan Peningkatan Produksi Susu Nasional”. Wartazoa, 13: 48-53. Sudaryanto, T., I.W. Rusastra, dan E. Jamal. 1999. “Analisis dan Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi”. Monograph Series, 20: 131-148. Suhartini, S.H. 2001. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keragaan Industri Persusuan di Indonesia [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Swastika, D.K.S., N. Ilham, T.B. Purwantini, dan I. Sodikin. 2000. “Dampak Krisis Ekonomi terhadap Prospek Pengembangan Peternakan Sapi Perah ”. Buletin Agro Ekonomi, 1: 9-18. Tangendjaja, B. 1999. “Feed Milling Industries in Indonesia”. RAP Publication, 37: 53-64. Taryoto, A.H. 1993. Analisis Perbandingan Kelembagaan pada Usahatani Susu Sapi Perah di Jawa Barat dan Jawa Timur. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics: an Introduction. Addison-Wesley Longman, Essex. Uantoro, A. 2007. “Kenaikan Harga Susu Belum Dinikmati Peternak”. [Media Indonesia Online] http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=137126. [3 Juli 2007]. United States Department of Agriculture. 2000. “Indonesia Dairy and Products Annual 2000”. Global Agriculture Information Network Report, 49: 1-17.
. 2003. “Indonesia Dairy and Products Annual 2003”. Global Agriculture Information Network Report, 53: 1-15. Upton, M. 2001. ”International Trade in Livestock and Livestock Products”. Livestock Policy Discussion Paper, 6: 1-53. Vidiayanti, A. 2004. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi pada Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Susu: Studi Kasus Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. World Economic Forum. “Global Competitiveness Report 2006”. http://www.weforum.org/en/initiatives/gcp/Global%20Competitiveness%20 Report/index.htm. [15 Februari 2007]. Yusdja, Y., B. Sayaka dan P. Riethmuller. 1999. ”A Study of Cost Structures of Dairy Cooperatives and Farmer Incomes in East Java”. RAP Publication, 37: 87-98. Yusdja, Y. dan I.W. Rusastra. 2001. ”Industri Agribisnis Sapi Perah Nasional Menantang Masa Depan”. Jurnal Agro Ekonomi, 19: 33-42. Yusdja, Y. dan Sajuti. 2002. “Skala Usaha Koperasi Susu dan Implikasinya bagi Pengembangan Usaha Sapi Rakyat”. Jurnal Agro Ekonomi, 20: 48-63. Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K. Sejati. 2003. “Profil dan Permasalahan Peternakan”. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 21: 44-56. Yusdja, Y. 2005. “Kebijakan Ekonomi Industri Agribisnis Sapi Perah di Indonesia”. Analisis Kebijakan Pertanian, 3: 257-268. Yusdja, Y. dan N. Ilham. 2006. ”Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan Rakyat”. Analisis Kebijakan Pertanian, 4: 18-38.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kompilasi Data Penduga Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Susu Indonesia Periode 1976-2005 (dalam Bentuk Logaritma Natural) Tahun 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
LNQM 12.70260 12.80820 12.99521 13.06938 13.29514 13.16370 13.19189 12.88334 13.04375 12.77451 12.88080 13.02298 13.11795 12.80820 12.62478 13.13784 13.15076 13.00987 13.18665 13.78989 13.51359 13.44850 13.28448 13.61950 14.20742 14.20485 14.13948 14.16982 14.31877 14.36412
LNQP 10.96820 11.01370 11.03972 11.18720 11.26958 11.35977 11.67504 12.07025 12.09514 12.16473 12.30229 12.36692 12.48711 12.73139 12.75304 12.79441 12.81366 12.86747 12.96384 12.97942 12.99725 12.95678 12.83575 12.98540 13.11373 13.08133 13.10902 13.22384 13.21757 13.19182
LNPM 2.351526 1.878833 1.911284 1.504231 1.526149 1.824804 1.759421 1.681320 1.430286 1.131935 1.190798 1.211968 1.355243 1.663284 1.411862 1.245356 1.398909 1.425110 1.243543 1.471474 1.449136 1.261885 0.616489 0.327250 0.465545 0.567550 0.441041 0.532948 0.625045 0.971938
LNPD 7.293963 7.160890 7.470593 7.303322 7.163670 7.455269 7.447148 7.442486 7.284809 7.202539 7.204811 7.214280 7.055710 7.030694 7.091607 7.090240 7.134970 7.141951 7.148917 7.090449 7.117789 7.081905 7.352131 7.213504 7.575585 7.364814 7.188131 7.259544 7.343547 7.426423
LNRER 8.657193 8.552327 8.805931 8.606805 8.461794 8.429546 8.399570 8.649866 8.640281 8.647947 8.941791 8.859726 8.855452 8.835820 8.798770 8.754902 8.744686 8.680991 8.632683 8.594276 8.565512 9.332013 9.108988 9.152719 9.051813 9.095982 8.849168 8.730784 8.764992 8.722254
LNGDP 14.95196 15.02170 16.07510 15.10759 15.15992 15.21061 15.21094 15.23014 15.26100 15.27727 15.32418 15.35277 15.38947 15.44189 15.49232 15.54163 15.58724 15.63353 15.68990 15.75290 15.81252 15.86353 15.69788 15.69546 15.72875 15.75100 15.78160 15.81503 15.85093 15.89325
Sumber: Ditjen Peternakan, Bank Indonesia, dan Badan Pusat Statistik, 2006 Catatan: LNQM = Volume impor susu LNQP = Produksi susu domestik LNPM = Harga riil susu impor LNPD = Harga riil susu domestik LNRER = Nilai tukar riil Rupiah LNGDP = Pendapatan per kapita riil D = Dummy penghapusan kebijakan rasio impor
D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1
Lampiran 2. Hasil Uji Augmented Dickey Fuller pada Level dan First Difference Impor Susu (LNQM) Null Hypothesis: LNQM has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.018324 -4.309824 -3.574244 -3.221728
0.5673
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LNQM) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.896263 -4.356068 -3.595026 -3.233456
0.0030
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Produksi Susu Domestik (LNQP)
Null Hypothesis: LNQP has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.664515 -4.309824 -3.574244 -3.221728
0.9665
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LNQP) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-4.977578 -4.339330 -3.587527 -3.229230
0.0023
Harga Riil Susu Impor (LNPM)
Null Hypothesis: LNPM has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 8 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.617826 -4.467895 -3.644963 -3.261452
0.0074
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LNPM) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.388161 -4.323979 -3.580623 -3.225334
0.0086
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Harga Rill Susu Domestik (LNPD)
Null Hypothesis: LNPD has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.882525 -4.309824 -3.574244 -3.221728
0.1822
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LNPD) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-7.578934 -4.323979 -3.580623 -3.225334
0.0000
Nilai Tukar Riil Rupiah (LNRER)
Null Hypothesis: LNRER has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.870721 -4.309824 -3.574244 -3.221728
0.1858
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LNRER) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.572882 -4.323979 -3.580623 -3.225334
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Pendapatan Per Kapita Riil (LNGDP)
Null Hypothesis: LNGDP has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.585125 -4.309824 -3.574244 -3.221728
0.0005
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LNGDP) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-8.427985 -4.323979 -3.580623 -3.225334
0.0000
Lampiran 3. Hasil Uji Augmented Dickey Fuller Persamaan Residual Null Hypothesis: ECT has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.423487 -2.647120 -1.952910 -1.610011
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECT) Method: Least Squares Date: 01/16/08 Time: 05:09 Sample(adjusted): 1977 2005 Included observations: 29 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
ECT(-1)
-0.812236
0.183619
-4.423487
0.0001
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.411340 0.411340 0.264042 1.952103 -2.022586
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
-0.001948 0.344144 0.208454 0.255602 1.983905
Lampiran 4. Hasil Estimasi Engle-Granger Cointegration Dependent Variable: LNQM Method: Least Squares Date: 07/18/07 Time: 01:28 Sample: 1976 2005 Included observations: 30 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNQP LNPM LNPD LNRER LNGDP
2.526654 0.088466 -0.603045 0.910812 -0.716223 0.653673
5.561230 0.154523 0.202802 0.464543 0.329751 0.289211
0.454334 0.572512 -2.973570 1.960661 -2.172013 2.260194
0.6537 0.5723 0.0066 0.0616 0.0400 0.0332
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.728689 0.672165 0.302125 2.190701 -3.313522 1.513804
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
13.33093 0.527665 0.620901 0.901141 12.89185 0.000004
Lampiran 5. Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM) Dependent Variable: DLNQM Method: Least Squares Date: 12/22/07 Time: 11:23 Sample(adjusted): 1980 2005 Included observations: 26 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DLNPM(-1) DLNRER(-2) DLNQP(-3) DLNGDP DLNGDP(-3) D1 ECT(-1)
-0.784756 -0.538569 -1.004660 1.791404 -0.228853 0.105243 -0.468050
0.207630 0.168582 0.236142 0.663679 0.113067 0.057232 0.155264
-3.779592 -3.194697 -4.254483 2.699204 -2.024038 1.838876 -3.014545
0.0013 0.0048 0.0004 0.0142 0.0573 0.0816 0.0071
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.793697 0.728549 0.133497 0.338605 19.54081
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
0.049797 0.256227 -0.964678 -0.625959 2.311305
Lampiran 6. Hasil Uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.476077 3.763280
Probability Probability
0.256391 0.152340
Lampiran 7. Hasil Uji White Heteroskedasticity White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.544599 9.647620
Probability Probability
0.854555 0.722465
Lampiran 8. Perkembangan Penetapan Rasio Impor Susu Indonesia Periode 1982–1997 Tahun 1982
Semester Semester I Semester II 1983 Semester I Semester II 1984 Semester I Semester II 1985 Semester I Semester II 1986 Semester I Semester II 1987 Semester I Semester II 1988 Semester I Semester II 1989 Semester I Semester II 1990 Semester I Semester II 1991 Semester I Semester II 1992 Semester I Semester II 1993 Semester I Semester II 1994 Semester I Semester II 1995 Semester I Semester II 1996 Semester I Semester II 1997 Semester I Semester II Sumber: Ditjen Peternakan, 2006
Susu Domestik
Susu Impor 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
8,00 7,00 6,00 5,00 3,50 3,50 2,00 2,00 3,50 3,50 2,00 2,00 1,70 0,70 0,70 0,70 0,53 0,75 1,00 2,00 2,00 2,00 1,25 1,60 1,60 2,00 2,13 2,90 2,40 2,00 1,70 2,00
Lampiran 9. Salinan Inpres Nomor 4 Tahun 1998 mengenai Koordinasi dan Pengembangan Persusuan Nasional
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1998 TENTANG KOORDINASI PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN PERSUSUAN NASIONAL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang bahwa dalam rangka reformasi dan restrukturisasi ekonomi nasional untuk tujuan mendorong peningkatan efisiensi industri dalam negeri dan kelancaran arus barang, maka dipandang perlu menetapkan kembali ketentuan tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional; Mengingat 1. 2. 3. 4.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992; Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1985;
MENGINSTRUKSIKAN Kepada: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Menteri Pertanian; Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil; Menteri Perindustrian dan Perdagangan; Menteri Dalam Negeri; Menteri Kesehatan; Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanamari Modal. UNTUK
Pertama Tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam Lampiran instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan : Pengembangan Persusuan Nasional yaitu : 1. Pasal 1 angka 8 yang berbunyi : "Rasio susu adalah perbandingan antara jumlah susu produksi dalam negeri yang diserap industri pengelolaan susu dengan jumlah bahan susu impor yang diizinkan dalam ekuivalen susu segar dan ditetapkan secara berkala." 2. Pasal 1 angka 9 yang berbunyi : "Kebijaksanaan impor satu pintu adalah kebijaksanaan yang menentukan bahwa seluruh impor susu melalui lembaga tata niaga tertentu." 3. Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi : "Impor susu dilakukan melalui kebijaksanaan satu pintu dan kebijaksanaan rasio susu." 4. Semua ketentuan yang berkaitan dengan pengendalian impor susu, kewajiban menyerap susu produksi dalam negeri, dan pengendalian harga susu di dalam negeri. Kedua : Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal 2 Februari 1998.
Dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 21 Januari 1998 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO