ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PENGOLAHAN DAN HASIL OLAHAN KAKAO INDONESIA
OLEH : RIZA RAHMANU H14052235
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN RIZA RAHMANU. Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia (dibimbing oleh IDQAN FAHMI). Indonesia merupakan negara penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia, di bawah Pantai Gading dan Ghana dengan pangsa produksi dunia tahun 2007 sebesar 15,68 persen. Akan tetapi biji kakao yang berlimpah di Indonesia tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh industri pengolahan kakao nasional, padahal permintaan hasil olahan kakao dunia terus meningkat setiap tahunnya. Biji kakao yang ada lebih banyak diekspor ke beberapa negara seperti Malaysia, Amerika Serikat, dan Singapura dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bahan baku industri pengolahan kakao nasional. Hal ini diduga terkait dengan kebijakan pemerintah berupa penerapan PPN sebesar 10 persen terhadap komoditi primer, termasuk biji kakao. Selain itu kondisi industri pengolahan kakao yang tidak berkembang dengan baik juga menjadi kendala dalam menyerap biji kakao yang ada. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa posisi daya saing hasil olahan kakao Indonesia, menganalisa faktor-faktor yang menjadi kendala perkembangan industri pengolahan kakao Indonesia, menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi posisi daya saing hasil olahan kakao Indonesia, serta merumuskan strategi peningkatan daya saing industri pengolahan dan hasil olahan kakao Indonesia. Berdasarkan beberapa masalah yang ada, penelitian ini akan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisa posisi daya saing hasil olahan kakao Indonesia, metode Porter’s Diamond untuk menganalisa faktor-faktor yang menghambat perkembangan industri pengolahan kakao nasional, dan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menganalisa faktorfaktor yang mempengaruhi posisi daya saing hasil olahan kakao Indonesia. Selain itu berdasarkan hasil penelitian akan dirumuskan suatu strategi peningkatan daya saing industri pengolahan dan hasil olahan kakao Indonesia. Industri pengolahan kakao nasional saat ini didukung oleh 15 perusahaan pengolahan kakao, padahal pada tahun 1998 terdapat 28 perusahaan pengolahan kakao yang beroperasi di Indonesia. Dari 15 perusahaan pengolahan kakao tersebut hanya 10 perusahaan yang melakukan aktivitas produksi. Hal ini menandakan bahwa kondisi industri pengolahan kakao tidak berkembang dengan baik. Akan tetapi hasil olahan kakao yang merupakan output dari industri pengolahan kakao nasional memiliki permintaan yang cukup baik di dunia. Setiap tahunnya permintaan hasil kakao olahan Indonesia mengalami trend yang meningkat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi industri makanan dan minuman di pasar domestik maupun pasar internasional. Hasil penelitian dengan metode RCA menunjukkan bahwa kakao olahan Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 dengan nilai RCA di bawah satu dan memiliki keunggulan komparatif pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 dengan nilai RCA diatas satu. Hal ini
dikarenakan pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 nilai ekspor hasil olahan kakao masih relatif sedikit dan mulai meningkat pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 seiring dengan meningkatnya permintaan hasil olahan kakao dunia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi industri makanan dan minuman dunia. Sedangkan menurut hasil Porter’s Diamond menunjukkan bahwa industri pengolahan kakao nasional kurang kompetitif. Beberapa hal yang menjadi kendala perkembangan industri pengolahan kakao adalah infrastruktur yang terbatas, sulitnya akses terhadap sumber permodalan, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada komoditi primer serta kualitas biji kakao yang rendah. Berdasarkan hasil kedua metode tersebut dapat disimpulkan bahwa saat ini Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan daya saing hasil olahan kakaonya dengan cara mengatasi beberapa kendala yang menghambat perkembangan industri pengolahan kakao Indonesia. Hasil metode OLS menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao adalah harga ekspor kakao olahan, volume ekspor kakao olahan, dan krisis ekonomi, sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia adalah produktivitas industri pengolahan kakao. Pada variabel produktivitas industri pengolahan kakao tidak berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao, karena daya saing hasil olahan kakao lebih dipengaruhi oleh mutu dan kualitas produk, sedangkan peningkatan produktivitas tidak menjamin peningkatan mutu hasil olahan kakao. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil olahan kakao Indonesia memiliki daya saing yang rendah (tidak memiliki keunggulan komparatif) pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 dan daya saing tinggi (memiliki keunggulan komparatif) pada tahun 1996 sampai dengan 2006, faktor-faktor yang menghambat perkembangan industri pengolahan kakao nasional adalah infrastruktur yang terbatas, sulitnya akses terhadap sumber permodalan, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada komoditi primer serta kualitas biji kakao yang rendah, faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao Indonesia adalah harga ekspor, volume ekspor dan krisis ekonomi, sedangkan faktor yang tidak berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia adalah tingkat produktivitas industri pengolahan kakao. Berdasarkan hasil penelitian diharapkan pemerintah dapat menerapkan SNI pada komoditi biji kakao, memberikan akses permodalan kepada pelaku agribisnis kakao untuk dapat mengembangkan biji kakaonya sampai ke tahap industri, memperbaiki jalur distribusi antara industri hulu dan hilir. Perusahaan pengolahan kakao diharapkan dapat meningkatkan teknologi pengolahan kakao serta memberikan pelatihan kepada sumber daya manusia yang tersedia agar dapat meningkatkan mutu dan kualitas hasil olahan kakao nasional.
ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PENGOLAHAN DAN HASIL OLAHAN KAKAO INDONESIA
Oleh RIZA RAHMANU H14052235
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PENGOLAHAN DAN HASIL OLAHAN KAKAO INDONESIA” ADALAH BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Riza Rahmanu H14052235
i
KATA PENGANTAR Puji syukur alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT, karena atas rahmat dan hidayah-NYA maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “ Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan juga penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dengan penuh hormat kepada : 1. Kedua orang tua penulis, Bapak Herman Supriadi. dan Almarhumah Ibu Sri Susanti beserta saudara-saudara penulis yang telah memberikan segala doa dan dukungannya baik secara moril maupun materil kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan secara teoritis dan teknis kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 3. Tanti Novianti, M.si. selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik, dan ilmu yang bermanfaat dalam skripsi ini. 4. Fifi Diana T, M.si. selaku dosen penguji pengawas pendidikan yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa penulisan skripsi. 5. Teman-teman satu bimbingan skripsi yaitu Adrian, Vagha, Hendra yang telah menjadi teman dalam suka dan duka dalam penyusunan skripsi. 6. Gerry, Lukman, Dina, Ucil, Tara, Acun, Zaenal, Dhamar, Raul, Nchie, Tyas dan Rajiv serta teman-teman IE 42 yang telah memberikan saran, kritik, bantuan serta dukungan dalam penyusunan skripsi ini. Bogor, Agustus 2009 Riza Rahmanu H14052235
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2
Perumusan Masalah ....................................................................................... 5
1.3
Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6
1.4
Manfaat Penelitian ......................................................................................... 7
1.5
Ruang Lingkup Penelitian .............................................................................. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1
Definisi Industri dan Industri Pengolahan Kakao .......................................... 9
2.2
Definisi Daya saing ........................................................................................ 9
2.3
Konsep perdagangan internasional .............................................................. 10 2.3.1 Teori Keunggulan Komparatif ............................................................ 10 2.3.2 Teori Keunggulan Kompetitif ............................................................. 11
2.4
Penelitian Terdahulu .................................................................................... 15
2.5
Kerangka pemikiran ..................................................................................... 17
2.6
Hipotesis....................................................................................................... 20
III. METODE PENELITIAN 3.1
Jenis dan Sumber Data ................................................................................. 22
3.2
Metode Analisis Data ................................................................................... 22 3.2.1 Metode Revealed Comparative Advantage (RCA) ............................. 23 3.2.2 Metode Porter’s Diamond .................................................................. 25 3.2.3 Metode Ordinary Least Square (OLS) ................................................ 26 3.2.3.1 Pemilihan Variabel Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia ............................ 28
iii
3.2.3.2 Model Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia ......................................................... 30 3.2.3.3 Uji Kesesuaian Model ............................................................. 31 IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PENGOLAHAN DAN HASIL OLAHAN KAKAO INDONESIA 4.1
Industri Pengolahan Kakao .......................................................................... 36 4.1.1 Bahan Baku Industri Pengolahan Kakao............................................. 36 4.1.2 Kondisi Industri Pengolahan Kakao ................................................... 37 4.1.2 Kendala Industri Pengolahan Kakao ................................................... 39 4.1.3 Kebijakan Pemerintah Pada Sektor Industri Pengolahan Kakao ........ 39
4.2
Hasil Olahan Kakao ..................................................................................... 40 4.2.1 Pasar Kakao Olahan Dunia ................................................................. 41 4.2.2 Perdagangan Hasil Olahan Kakao Indonesia ...................................... 42
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Posisi Daya saing Hasil Olahan Kakao Indonesia ....................................... 43
5.2
Faktor-Faktor Yang Menjadi Kendala Perkembangan Industri Pengolahan Kakao Indonesia ........................................................................................... 45 5.2.1 Faktor Sumberdaya ............................................................................ 46 5.2.2 Faktor Permintaan ............................................................................... 51 5.2.3 Industri Terkait dan Pendukung .......................................................... 53 5.2.4 Persaingan dan Struktur Industri Serta Strategi Perusahaan ............... 56 5.2.5 Peran Pemerintah ................................................................................ 56 5.2.6 Peran Kesempatan ............................................................................... 57
5.3
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Kakao Olahan Indonesia 58
5.4
Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao ............................................................................................... 65
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan .................................................................................................. 68
6.2
Saran............................................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 70 LAMPIRAN ......................................................................................................... 72
iv
DAFTAR TABEL Nomor
Hal
1.1 Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2003-2007 .................................................. 2 1.2 Perkembangan Konsumsi Bahan Baku Olahan Kakao Dari Berbagai Industri Pengguna Tahun 1999-2005 (dalam Ton). .......................................... 3 1.3 Negara Tujuan Ekspor Kakao Olahan Indonesia (USD) .................................. 4 4.1 Produksi Industri Pengolahan Kakao Indonesia ............................................. 38 4.2 Konsumsi Kakao Olahan Dunia (dalam 000 Ton) .......................................... 42 5.1 Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia .................................................... 44 5.2 Luas Areal dan Produksi Biji Kakao Tahun 2002-2006 ................................. 46 5.3 Volume Ekspor Kakao Olahan Indonesia HS 6 Digit (dalam Kg) ................. 52 5.4 Industri Benih Biji Kakao ............................................................................... 54 5.5 Kawasan Sentra Perkebunan Kakao Indonesia ............................................... 55 5.6 Hasil Estimasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Kakao Olahan Indonesia............................................................................................. 61 5.7 Harga Ekspor Kakao Olahan Indonesia .......................................................... 62
v
DAFTAR GAMBAR Nomor
Hal
2.1 Kerangka Pemikiran ........................................................................................ 19 3.1 Teori Porter’s Diamond .................................................................................. 26 5.1 Produksi Biji Kakao Tahun 2007 .................................................................... 47
vi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Hal
1.
Hasil Perhitungan Analisis Daya Saing Olahan Kakao dengan Menggunakan Metode RCA (dalam US$) ................................................... 73
2.
Data Nominal Periode 1988-2006 ................................................................. 74
3.
Data Riil Periode 1988-2006 ......................................................................... 75
4.
Hasil Estimasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia ................................................................................ 76
5.
Uji Multikoliniearitas Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia ...................................................................... 76
6.
Uji Heteroskedastisitas Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia ...................................................................... 76
7.
Uji Autokorelasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia ................................................................................ 76
8.
Uji Normalitas Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia ................................................................................ 77
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki peran strategis dalam meningkatkan daya saing ekonomi, karena sektor industri terkait langsung dalam menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan menambah penghasilan masyarakat, sehingga perkembangan sektor ini akan berpengaruh besar terhadap perekonomian suatu negara. Pertumbuhan sektor industri yang seimbang antara industri hulu dan industri hilir dapat dijadikan pondasi perekonomian yang kuat untuk membangun sistem industrialisasi yang memiliki daya saing tinggi. Indonesia sebagai negara yang memiliki sumberdaya alam berlimpah tentunya memiliki peluang dan potensi untuk menciptakan sistem industrialisasi yang baik dengan cara mengembangkan potensi industri-industri yang ada dan menghubungkan rantai produksi dari industri hulu ke industri hilir. Salah satu industri yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan di Indonesia adalah industri pengolahan kakao, karena Indonesia merupakan penghasil biji kakao (cacao beans) terbesar ketiga di dunia dengan pangsa produksi sebesar 15,68 persen, di bawah Pantai Gading dan Ghana dengan pangsa produksi masing-masing sebesar 36,37 persen dan 18,19 persen. Sedangkan pertumbuhan produksi biji kakao Indonesia pada tahun 2007 berada di peringkat kedua dunia dengan pertumbuhan produksi sebesar 6,63 persen per tahun, di bawah Ekuador dengan pertumbuhan produksi sebesar 7,29 persen (Tabel 1.1). Hal ini
2
menunjukkan bahwa pertumbuhan biji kakao Indonesia cukup baik dibandingkan negara-negara produsen biji kakao lainnya. Berlimpahnya biji kakao merupakan suatu potensi yang dimiliki Indonesia untuk dapat mengembangkan industri pengolahan kakao nasional. Tabel 1.1 Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2003-2007 (dalam 000 Ton) Tahun Negara Kamerun Pantai Gading Ghana Nigeria Brazil Ekuador Indonesia Malaysia Lainnya Total dunia
2003 160 1.352 497 173 163 86 410 36 292 3.169
2004 169 1.407 737 180 163 117 430 34 304 3.541
2005 188 1.286 599 200 171 116 460 29 332 3.381
2006 168 1.408 741 200 162 114 560 34 379 3.767
2007 168 1.229 615 190 126 115 530 33 374 3.380
Pertumbuhan Produksi (%/thn) 1,29 2,34 5,48 2,34 6,14 7,29 6,63 2,30 6,37 1,63
Pangsa Produksi (%/thn) 4,98 36,37 18,19 5,62 3,73 3,39 15,68 0,97 11,06 100
Sumber :International Cocoa Organization, 2009
Potensi lain industri pengolahan kakao juga dapat dilihat dari tingginya permintaan hasil olahan kakao Indonesia, baik permintaan dari pasar domestik maupun pasar internasional. Di Indonesia penggunaan hasil olahan kakao oleh beberapa industri makanan dan minuman cukup banyak, dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005 konsumsi beberapa industri terhadap produk olahan kakao mengalami tingkat pertumbuhan yang positif (Tabel 1.2). Pada umumnya kakao olahan yang biasa dikonsumsi industri makanan dan minuman adalah kakao olahan setengah jadi seperti lemak kakao, bubuk kakao, dan tepung kakao. Kakao olahan setengah jadi dapat digunakan sebagai bahan baku penunjang industri makanan dan minuman seperti industri biskuit, industri kembang gula, industri roti, industri susu, industri es krim, dan industri cokelat.
3
Tabel 1.2 Perkembangan Konsumsi Bahan Baku Olahan Kakao Dari Berbagai Industri Pengguna Tahun 1999-2005 (dalam Ton). Tahun
Cokelat
Biskuit
Kembang gula
1999
15.097
1.461
2000
17.420
2001
Es Krim
Roti
Susu
1.774
5.670
2.887
6.957
33.846
Pertumbuhan (%) -
1.686
2.047
6.543
2.408
8.028
38.132
1,12
18.628
1.803
2.189
6.996
2.575
8.584
40.775
1,06
2002
20.502
1.984
2.409
7.701
2.834
9.448
44.878
1,10
2003
22.283
2.156
2.619
8.370
3.081
10.269
48.946
1,09
2004
22.649
2.192
2.661
6.106
3.131
10.437
47.176
0,96
2005
24.574
2.378
2.887
6.625
3.397
11.322
51.183
1,08
Total
Sumber : Departemen Perdagangan, 2005
Permintaan kakao olahan Indonesia tidak bersumber dari dalam negeri saja, tetapi permintaan itu juga datang dari beberapa negara penghasil cokelat seperti Amerika Serikat, Prancis, Belanda, Belgia, Australia, dan lain sebagainya Negara-negara tersebut pada umumnya mengimpor hasil olahan kakao Indonesia dalam bentuk kakao olahan setengah jadi untuk dijadikan bahan baku pendukung industri makanan dan minuman di negara tersebut. Berdasarkan Tabel 1.3 dapat dilihat bahwa nilai ekspor kakao olahan Indonesia mengalami trend yang meningkat dengan Amerika Serikat sebagai negara tujuan ekspor utama. Peningkatan nilai ekspor hasil olahan kakao Indonesia menunjukkan bahwa permintaan hasil olahan kakao Indonesia di pasar internasional cukup baik. Peningkatan permintaan terhadap hasil olahan kakao disebabkan oleh selera masyarakat dunia terhadap makanan dan minuman dengan citarasa cokelat yang semakin meningkat. Potensi yang dimiliki oleh Indonesia seharusnya dapat memotivasi para pelaku agribisnis kakao untuk mengembangkan industri pengolahan kakao nasional dari hulu hingga ke hilir, sehingga dapat tercipta rantai nilai (value chain)
4
yang dapat memberikan nilai tambah bagi industri pengolahan kakao nasional. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya perkembangan industri pengolahan kakao nasional tidak berkembang dengan baik. Hal ini ditandai dengan banyaknya perusahaan pengolahan kakao nasional yang tidak produktif. Tabel 1.3 Negara Tujuan Ekspor Kakao Olahan Indonesia (dalam USD) Negara
2004 Jepang 3.136.025 China 3.841.980 Singapura 5.045.827 Philipina 7.299.199 Australia 11.509.967 Amerika Serikat 51.437.993 Belanda 12.351.595 Spanyol 8.922.897 UAE 3.600.998 Inggris 7.192.574 Prancis 25.032.318 Belgia 6.265.010 Lainnya 33.467.980 Total 179.104.363 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2006
Tahun 2005 4.896.559 1.910.863 2.844.999 6.540.153 15.118.469 63.171.803 20.725.794 6.206.622 6.995.016 2.813.010 30.396.451 6.859.300 31.235.756 199.714.795
2006 5.426.175 2.591.843 2.371.178 6.240.452 28.661.824 65.591.758 35.474.687 6.591.015 9.672.676 2.211.328 29.137.470 10.050.689 30.739.799 234.760.894
Perkembangan industri pengolahan kakao yang kurang baik sebagai akibat dari diberlakukannya UU No 18 tahun 2000 tentang penerapan kebijakan PPN sebesar 10 persen terhadap komoditi primer seperti kakao, teh, kopi, lada, kayu, gula, dan karet yang dinilai merugikan industri pengolahan yang ada, khususnya industri pengolahan kakao. Dengan pemberlakuan PPN sebesar 10 persen berdampak pada sulitnya industri pengolahan kakao nasional untuk dapat menggunakan biji kakao domestik, karena dengan menggunakan biji kakao domestik perusahaan-perusahaan pengolahan kakao harus menambah biaya produksi.
5
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa kendala yang menghambat perkembangan industri pengolahan kakao nasional, sehingga industri pengolahan kakao yang ada tidak berkembang dengan baik, padahal Indonesia memiliki banyak potensi untuk mengembangkan industri pengolahan kakao. Oleh karena itu kajian mengenai analisis daya saing industri pengolahan dan hasil olahan kakao Indonesia dirasakan penting untuk dapat meningkatkan kinerja industri pengolahan kakao dan hasil olahan yang berdaya saing di tingkat internasional.
1.2 Perumusan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang berlimpah biji kakao. Pada tahun 2006 produksi biji kakao Indonesia mencapai 560.000 Ton (International Cocoa Organization, 2009). Akan tetapi berlimpahnya biji kakao Indonesia tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh industri pengolahan kakao nasional. Biji kakao yang ada lebih banyak diekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Malaysia, Singapura dan Brazil (Badan Pusat Statistik, 2006). Dominannya ekspor kakao Indonesia dalam bentuk biji kakao disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang membebaskan pajak ekspor biji kakao sampai dengan nol persen. Selain itu, kebijakan pemerintah berupa UU No 18 tahun 2000 tentang penerapan PPN sebesar 10 persen untuk biji kakao domestik akan menimbulkan biaya tambahan, jika ingin memproduksi kakao olahan dengan menggunakan biji kakao domestik. Hal ini yang membuat petani kakao lebih memilih untuk mengekspor dalam bentuk biji kakao daripada mengolahnya sampai ke tahap industri.
6
Beberapa kendala tersebut mengakibatkan industri pengolahan kakao di Indonesia tidak berkembang dengan baik. Menurut Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI,2009), saat ini hanya terdapat 15 perusahaan pengolahan kakao di Indonesia. Padahal pada tahun 1998 terdapat 28 perusahaan pengolahan kakao yang beroperasi di Indonesia. Selain itu dari 15 perusahaan pengolahan kakao yang ada saat ini hanya 10 perusahaan yang melakukan aktivitas produksi. Industri pengolahan kakao Indonesia yang tidak berkembang dengan baik tentunya akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Oleh karena itu dengan mengembangkan potensi yang dimiliki Industri pengolahan kakao diharapkan mampu mendorong perekonomian nasional. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana posisi daya saing hasil olahan kakao Indonesia? 2. Faktor-faktor apa saja yang membuat industri pengolahan kakao di Indonesia tidak berkembang dengan baik? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao Indonesia? 4. Strategi apa yang dapat mendukung peningkatan daya saing industri pengolahan dan hasil olahan kakao di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Menganalisa posisi dan tingkat daya saing hasil olahan kakao Indonesia. 2. Menganalisa secara deskriptif faktor-faktor yang membuat industri pengolahan kakao di Indonesia tidak berkembang dengan baik.
7
3. Menganalisa secara kuantitatif faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao Indonesia. 4. Merumuskan strategi yang dapat mendukung peningkatan daya saing industri pengolahan dan hasil olahan kakao di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Memberikan masukan kepada pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kinerja industri pengolahan kakao. 2. Memberikan Informasi kepada para pelaku usaha yang bergerak di bidang Industri pengolahan kakao untuk meningkatkan kinerjanya. 3. Menambah khasanah literatur mengenai studi industri pengolahan kakao di Indonesia sehingga dapat menambah wawasan baru bagi masyarakat.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas analisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri pengolahan kakao dan hasil olahan kakao Indonesia. Periode waktu yang dianalisis dalam penelitian ini dari tahun 1988 sampai dengan tahun 2006. Komoditi hasil olahan kakao yang diteliti berdasarkan Harmony System (HS) 6 digit dengan kode Harmony system sebagai berikut : 1.
Pasta kakao tidak dihilangkan lemaknya (HS 1803.10).
2.
Pasta kakao dihilangkan lemaknya ( HS 1803.20).
3.
Mentega, lemak, dan minyak kakao (HS 1804.00).
4.
Bubuk kakao tidak mengandung tambahan gula (HS 1805.00).
8
5.
Cokelat dan olahan makanan lainnya yang mengandung kakao (HS 1806.10).
6.
Olahan lainnya dalam bentuk balok, lempeng atau batang dengan berat lebih dari 2 kg atau dalam bentuk cair, pasta, bubuk, butiran (HS 1806.20).
7.
Cokelat olahan dan makanan lainnya mengandung kakao diisi (HS 1806.31).
8.
Cokelat olahan dan makanan lainnya mengandung kakao tidak diisi (HS 1806.32).
9.
Produk lainnya (1806.90).
9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Definisi Industri dan Industri Pengolahan Kakao Industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. (Badan Pusat Statistik, 2006). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa industri pengolahan kakao adalah industri yang mengolah bahan baku cokelat berupa biji kakao menjadi produk-produk yang mempunyai nilai tambah dalam bentuk barang jadi dan barang setengah jadi yang dapat digunakan untuk dikonsumsi atau sebagai bahan baku industri lain.
2.2 Definisi Daya Saing Porter (1990) menyatakan bahwa daya saing dapat diidentikkan dengan produktivitas, yakni tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Peningkatan produktivitas ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningkatan teknologi (total factor productivity). Pendefinisian daya saing juga dikemukakan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa yang berskala internasional melalui mekanisme perdagangan yang adil dan bebas, sekaligus menjaga dan meningkatkan pendapatan riil masyarakat dalam jangka
10
panjang. Daya saing yang baik dapat terlihat jika komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di dalamnya.
2.3 Konsep Perdagangan Internasional Perdagangan internasional adalah suatu proses pertukaran barang (perdagangan) yang timbul antar negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di negara-negara tersebut. Terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan penawaran antar negara. Perbedaan ini terjadi karena : (a) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditi yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis serta kandungan buminya dan (b) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien. Perdagangan internasional sebuah negara harus memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif guna menciptakan daya saing yang baik. Daya saing yang baik tercipta lewat mutu dan kualitas suatu produk serta besarnya permintaan terhadap produk tersebut. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai teori keunggulan komparatif dan teori keunggulan kompetitif.
2.3.1 Teori Keunggulan Komparatif Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan negara lain bila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditi yang dapat diproduksi dengan lebih efisien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor komoditi yang kurang efisien (mengalami kerugian absolut). Konsep keunggulan
11
komparatif yang dipopulerkan oleh David Ricardo (1823) menyatakan bahwa ”sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut untuk memproduksi dua komoditi jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditi ekspor pada komoditi yang mempunyai kerugian absolut kecil. Dari komoditi ini negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif dan akan mengimpor komoditi yang kerugian absolutnya lebih besar. Dari komoditi inilah negara mengalami kerugian komparatif” (Salvatore, 1997).
2.3.2 Teori Keunggulan kompetitif Menurut Michael E Porter dalam bukunya yang berjudul Competitive Advantage of Nations terdapat empat faktor utama yang menentukan keunggulan bersaing industri nasional, yaitu
kondisi faktor (factor condition), kondisi
permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting industry), dan struktur, persaingan dan strategi industri (firm strategy, structure, and rivalry). Selain keempat faktor tersebut terdapat dua faktor yang mempengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu faktor kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah (government). Secara bersamasama faktor-faktor ini membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut Porter’s Diamond theory. Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai Porter’s Diamond theory :
12
1. Kondisi Faktor (Factor Condition) Kondisi faktor merupakan suatu gambaran faktor sumberdaya yang dimiliki suatu negara yang berkaitan dengan proses produksi suatu industri. Peran faktor sumberdaya sangat penting dalam proses industri, karena faktor sumberdaya merupakan modal utama dalam membangun keunggulan kompetitif suatu industri. Menurut Porter, 1990 faktor sumberdaya diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu : sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), modal, dan infrastruktur. Kelima kelompok tersebut akan menggambarkan keunggulan yang dimiliki oleh suatu negara dan segala potensi yang dapat dikembangkan oleh negara tersebut.
2. Kondisi Permintaan (Demand Condition) Kondisi permintaan merupakan faktor penting yang mempengaruhi posisi daya saing nasional. Menurut Widayunita, 2007 mutu produk dan produktivitas suatu negara akan mempengaruhi kondisi permintaan dan pada akhirnya akan berpengaruh pada keunggulan kompetitif suatu negara. Mutu persaingan di tingkat global memberikan tantangan bagi perusahaanperusahaan untuk meningkatkan daya saingnya. Dalam pengembangan mutu, perusahaan-perusahaan akan melakukan inovasi serta peningkatan kualitas produk agar sesuai dengan permintaan konsumen.
13
3. Industri Terkait dan Industri Pendukung (related and supporting industry) Industri terkait dan industri pendukung merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi posisi daya saing suatu industri. Untuk itu perlu dijaga hubungan dan koordinasi dengan para pemasok, khususnya untuk menjaga dan memelihara rantai nilai produksi dari industri hulu hingga industri hilir. Keberadaan industri hulu mampu menyediakan bahan baku untuk proses produksi suatu industri sedangkan industri hilir menggunakan bahan baku tersebut untuk diproses menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah. Rantai nilai produksi antara industri hulu dan industri hilir yang terhubung dengan baik akan menciptakan keunggulan kompetitif bagi suatu negara.
4. Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan (Firm Strategy, Structure, and rivalry) Persaingan dalam negeri mendorong perusahaan untuk mengembangkan produk baru, memperbaiki produk yang telah ada, menurunkan harga dan biaya, mengembangkan teknologi baru, dan memperbaiki mutu serta pelayanan. Pada akhirnya, persaingan di dalam negeri yang kuat akan mendorong perusahaan untuk mencari pasar internasional (berorientasi ekspor). Globalisasi ekonomi akan menyebabkan terjadinya ketergantungan antar negara. Masing-masing negara membangun perekonomiannya berdasarkan kekayaan yang dimiliki, yang merupakan keunggulan komparatifnya. Namun, keberhasilan
pembangunan
tersebut
lebih
ditentukan
pada
keunggulan
kompetitifnya dikarenakan ada pesaing-pesaing yang dekat, yaitu negara lain yang
14
membangun keunggulan perekonomian mereka di sektor atau jenis industri yang sama dengan strategi serupa.
5. Peran Pemerintah (government) Peran pemerintah merupakan faktor yang menentukan posisi daya saing suatu industri. Peran pemerintah dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung, secara tidak langsung pemerintah dapat mempengaruhi permintaan melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, sedangkan peran pemerintah secara langsung adalah dengan bertindak sebagai pembeli produk dan jasa. Pemerintah juga dapat mempengaruhi berbagai sumber daya yang tersedia, berperan sebagai pembuat kebijakan yang menyangkut tenaga kerja, pendidikan, pembentukan modal, sumber daya alam dan standar produk. Dalam penerapan kebijakan peran pemerintah tidak selamanya baik, masih terdapat kemungkinan kegagalan yang dapat dilakukan pemerintah atau biasa disebut government failure.
6. Peran Kesempatan (chance event) Kesempatan memainkan peranan dalam membentuk lingkungan bersaing karena peluang merupakan peristiwa yang terjadi di luar kendali perusahaan, industri dan pemerintah, seperti terobosan besar dalam teknologi, pergeseran dramatik yang tiba-tiba terjadi dalam biaya faktor atau biaya masukan seperti krisis minyak, atau perubahan dramatis dalam kurs mata uang. Selain itu terjadinya peningkatan permintaan produk serta kondisi politik yang stabil juga merupakan kesempatan yang dapat diambil oleh para pelaku usaha.
15
Peran kesempatan merupakan suatu hal yang bersifat kecelakaan (accidental), sehingga dalam kenyataan peran kesempatan bisa terjadi atau tidak terjadi. Dalam hal ini peran kesempatan bisa menguntungkan atau merugikan para pelaku usaha.
2.4 Penelitian Terdahulu Yuniarsih (2002) melakukan penelitian mengenai analisis industri dan strategi peningkatan daya saing industri kakao Indonesia. Analisis yang digunakan adalah analisis Porter’s Diamond, analisis Biaya SumberDaya Domestik (BSD) dan analisis Herfindahl Index. Dari hasil analisis Porter’s Diamond dapat diketahui beberapa kendala industri pengolahan kakao Indonesia seperti kemampuan (skill) sumberdaya manusia di bidang pengolahan kakao masih rendah, akses permodalan masih kurang baik, letak geografis industri pendukung dengan industri pengolahan yang berjauhan, infrastruktur yang terbatas, dan peran pemerintah yang masih belum bisa memfasilitasi perkembangan indusri pengolahan kakao Indonesia. Irnawati (2008) melakukan penelitian mengenai daya saing kakao Indonesia di pasar internasional. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode Porter’s Diamond untuk mengetahui kondisi daya saing biji kakao Indonesia, selain itu Irnawati menggunakan nilai RCA dari 6 negara penghasil biji kakao terbesar dunia untuk mengetahui daya saing biji kakao Indonesia di antara 6 negara tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah biji kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional.
16
Widayunita (2007) melakukan penelitian Mengenai Analisis daya saing industri semen Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah metode RCA (Revealed Comparative Advantage) untuk mengukur posisi daya saing industri semen dan metode Two Stage Least Square (2SLS) untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi daya saing industri semen. Hasil penelitian dengan metode 2SLS dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri semen adalah produktivitas, efisiensi, ekspor semen Indonesia, nilai tukar Rupiah terhadap USD, dan jumlah tenaga kerja. Mudjayani (2008) melakukan penelitian mengenai analisis daya saing buah-buahan tropis Indonesia. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode Porter’s Diamond untuk menganalisis potensi, kendala, peluang dan keunggulan kompetitif buah-buahan tropis Indonesia, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode RCA (Revealed Comparative Advantage) untuk mengukur posisi daya saing buah-buahan tropis Indonesia. Selain itu untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing buah-buahan tropis metode yang digunakan adalah metode model analisis OLS (Ordinary Least Square). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa buahbuahan tropis Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Sementara itu analisis regresi berganda pada taraf nyata 10 persen menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap daya saing buahbuahan tropis Indonesia adalah nilai ekspor dan produktivitas, sedangkan faktorfaktor yang berpengaruh negatif adalah harga ekspor dan dummy krisis.
17
2.5 Kerangka Pemikiran Indonesia merupakan negara yang potensial dalam pengembangan industri pengolahan kakao. Hal ini dapat dilihat dari dua hal, yaitu : (1) Posisi Indonesia sebagai produsen biji kakao, dengan pangsa produksi dunia sebesar 15,68 persen (International Cocoa Organization, 2009). Berlimpahnya biji kakao Indonesia merupakan suatu keunggulan yang seharusnya dapat dikembangkan sampai ke tahap industri. (2) Permintaan hasil olahan kakao yang meningkat setiap tahunnya, yang dapat dilihat berdasarkan tingkat konsumsi hasil olahan kakao dunia yang mengalami trend meningkat (Tabel 4.2). Hal ini merupakan suatu gambaran bahwa hasil olahan kakao memiliki pasar yang luas. Realitas yang ada menunjukkan bahwa industri pengolahan kakao yang ada di Indonesia tidak berkembang dengan baik, tentunya hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menghambat pertumbuhan industri pengolahan kakao Indonesia. Beberapa kendala tersebut adalah kebijakan pemerintah berupa penerapan PPN terhadap biji kakao domestik sebesar 10 persen, infrastruktur yang terbatas, kualitas biji kakao yang rendah serta faktor-faktor penghambat lain yang akan dibahas dalam metode Porter’s Diamond. Pada penelitian ini teori Porter’s Diamond
akan digunakan untuk
menganalisis secara deskriptif faktor-faktor yang menjadi kendala pertumbuhan industri pengolahan kakao di Indonesia. Sementara itu untuk menganalisis secara kuantitatif posisi daya saing hasil olahan kakao Indonesia akan digunakan Metode RCA (revealed comparative advantage). Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Porter’s Diamond dapat diketahui secara deskriptif
18
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao nasional, oleh karena itu faktor-faktor yang dapat dikuantitatifkan dimasukkan ke dalam metode regresi linear berganda untuk melihat apakah faktor-faktor tersebut berpengaruh nyata secara kuantitatif Berdasarkan hasil analisis dengan metode Porter’s Diamond dan analisis regresi dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dapat dikembangkan strategi peningkatan daya saing industri pengolahan dan hasil olahan kakao. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran akan diilustrasikan ke dalam Gambar 2.1
19
Indonesia merupakan produsen biji kakao ketiga terbesar di dunia
Indonesia berpotensi untuk mengembangkan Industri pengolahan kakao
Faktor-faktor yang menjadi kendala perkembangan Industri pengolahan kakao (Metode Porter’s Diamond)
Permintaan Kakao Olahan Meningkat setiap tahunnya
Realita yang terjadi, industri pengolahan kakao Indonesia tidak berkembang dengan baik
Daya saing hasil olahan kakao Indonesia (metode RCA)
Tingkat daya saing dan posisi hasil olahan kakao Indonesia di pasar internasional
Hasil Porter’s Diamond
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing olahan kakao (Metode Regresi Linear)
Strategi peningkatan daya saing Industri pengolahan dan hasil olahan kakao
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
20
2.6 Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan penelitianpenelitian terdahulu mengenai daya saing dan teori ekonomi yang ada, adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Nilai RCA hasil olahan kakao Indonesia lebih besar dari satu, artinya Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada komoditi hasil olahan kakao, sehingga komoditi hasil olahan kakao memiliki daya saing yang kuat. 2. Indeks RCA hasil olahan kakao lebih besar dari satu artinya jika terjadi peningkatan RCA atau kinerja ekspor hasil olahan kakao Indonesia di pasar internasional. 3. Variabel-variabel independen yang digunakan seperti : produktivitas industri pengolahan kakao, harga ekspor kakao olahan, volume ekspor kakao olahan, dan dummy krisis diduga berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia. a) Produktivitas industri pengolahan kakao berhubungan positif terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia, semakin tinggi tingkat produktivitas industri pengolahan kakao Indonesia, maka daya saing hasil olahan kakao Indonesia akan semakin tinggi. b) Volume ekspor kakao olahan berhubungan positif terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia, semakin tinggi nilai ekspor kakao olahan maka daya saing hasil olahan kakao Indonesia akan semakin tinggi.
21
c) Harga ekspor kakao olahan berhubungan positif terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia, semakin tinggi harga ekspor kakao olahan maka daya saing hasil olahan kakao Indonesia akan semakin tinggi. d) Dummy krisis ekonomi berhubungan negatif terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia, dimana ketika terjadi krisis maka akan menurunkan daya saing hasil olahan kakao Indonesia.
22
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu (Time series) dari tahun 1988 sampai dengan tahun 2006. Jenis data tersebut meliputi data nilai ekspor hasil kakao olahan Indonesia dalam US$, harga ekspor hasil olahan kakao dalam US$/Kg, tingkat produktivitas industri pengolahan kakao, dan data IHPB (Indeks Harga Perdagangan Besar) sektor Industri. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Perdagangan, website UN Comtrade, International Cocoa Organization (ICCO) dan studi literatur yang didapat dari buku-buku yang berhubungan dengan industri pengolahan kakao dan teori mengenai daya saing.
3.2 Metode Analisis Data Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menjelaskan pengkajian potensi, kendala, dan peluang industri pengolahan kakao serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao dengan menggunakan teori Porter’s Diamond. Sedangkan untuk analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui ukuran daya saing hasil olahan kakao Indonesia dan juga untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao Indonesia. Metode yang digunakan dalam analisis kuantitatif ini adalah RCA (Revealed Comparatif Advantage) dan metode Ordinary Least Square (OLS).
23
3.2.1 Metode Revealed Comparative Advantage (RCA) Metode Revealed Comparative Advantage (RCA) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif suatu komoditi di suatu wilayah (negara, provinsi, dan lain-lain). Metode ini didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Pola pendekatan tidak hanya menggambarkan biaya untuk memproduksi komoditi tersebut, tetapi juga perbedaan faktor-faktor non harga yang menentukan keunggulan komparatif suatu komoditi. Pada dasarnya metode ini mengukur kinerja ekspor suatu komoditi tertentu dengan total ekspor suatu wilayah dibandingkan dengan pangsa komoditi tersebut dalam perdagangan dunia. Analisis keunggulan komparatif RCA diperkenalkan pertama kali oleh Bela Balassa pada tahun 1965 dalam penelitiannya mengenai pengaruh liberalisasi perdagangan luar negeri terhadap keunggulan komparatif hasil industri Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara yang tergabung dalam pasar bersama Eropa (MEE) serta pada tahun 1977 untuk negara yang sama ditambah Kanada dan Swedia. Pada mulanya Balassa menggunakan dua konsep pemikiran, pertama didasarkan pada rasio impor dan ekspor, dan kedua pada prestasi ekspor relatif. Dengan alasan bahwa impor lebih peka terhadap tingkat perlindungan tarif, dan pada perkembangan selanjutnya Balassa meninggalkan ukuran yang pertama. Balassa mengevaluasi prestasi ekspor masing-masing komoditi di negara-negara tertentu dengan membandingkan bagian relatif ekspor suatu negara dalam ekspor dunia untuk masing-masing dalam rumus sebagai berikut :
24
RCAt =
Pt / Qt Rt / S t
(3.1)
Dimana : RCAt = keunggulan komparatif Indonesia tahun ke t Pt
= nilai ekspor produk olahan kakao negara Indonesia tahun ke t
Qt
= nilai ekspor total Indonesia tahun ke t
Rt
= nilai ekspor produk olahan kakao di dunia tahun ke t
St
= nilai ekspor total produk dunia tahun ke t
t
= tahun 1988,.....,2006 Jika RCA > 1 maka wilayah tersebut lebih berspesialisasi produksi di
kelompok komoditi yang bersangkutan. Wilayah tersebut memiliki keunggulan komparatif pada komoditi tersebut. Semakin besar nilai RCA, maka akan semakin kuat keunggulan komparatif yang dimilikinya. Jika RCA< 1 maka sebaliknya wilayah tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif pada komoditi tersebut. Indeks RCA merupakan perbandingan antara nilai RCA sekarang dengan nilai RCA tahun sebelumnya. Rumus indeks RCA adalah sebagai berikut
Indeks RCAt =
RCAt RCAt-1
Dimana : Indeks RCAt = kinerja ekspor kakao olahan Indonesia periode ke t. RCAt
= nilai RCA tahun sekarang (t)
RCAt-1
= nilai RCA tahun sebelumnya (t-1)
t
= 1988,…,2006
(3.2)
25
Nilai indeks RCA berkisar antara nol sampai tak hingga. Nilai indeks RCA sama dengan satu berarti tidak terjadi kenaikan RCA atau kinerja ekspor kakao olahan Indonesia di pasar dunia tidak berubah dari tahun sebelumnya. Jika nilai indeks RCA lebih kecil dari satu berarti terjadi penurunan kinerja ekspor hasil olahan kakao. Sedangkan jika nilai indeks RCA lebih besar dari satu maka kinerja ekspor hasil olahan kakao Indonesia lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
3.2.2 Metode Porter’s Diamond Analisis daya saing kompetitif akan dibahas dengan metode kualitatif yaitu dengan menganalisa tiap komponen dalam Porter’s Diamond Theory. Komponen tersebut adalah faktor sumberdaya, faktor permintaan, faktor industri terkait dan industri pendukung, dan faktor Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan. Selain keempat komponen yang saling berinteraksi diatas terdapat dua komponen yang mempengaruhi keempat komponen tersebut yaitu faktor pemerintah dan faktor kesempatan (Gambar 3.1). Berdasarkan hasil analisis Porter’s Diamond kita dapat melihat faktor apa yang menjadi keunggulan dan kelemahan industri pengolahan kakao, sehingga kita dapat melihat potensi serta kendala pada industri pengolahan kakao nasional. Dalam penelitian ini beberapa faktor-faktor dalam metode Porter’s Diamond yang dapat dikuantitatifkan digunakan dalam uji regresi linear berganda untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao nasional.
26
Kesempatan Strategi, persaingan dan struktur perusahaan
Permintaan
Sumberdaya
Industri terkait dan industry pendukung Peran pemerintah
Sumber : Porter, 1990
Gambar 3.1 Teori Porter’s Diamond 3.2.3 Metode Ordinary Least Square (OLS) Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi posisi daya saing hasil olahan kakao di Indonesia adalah regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) atau metode kuadrat terkecil biasa. Metode OLS diperkenalkan oleh seorang ahli matematika berkebangsaan Jerman yang bernama Carl Frederich Gauss (Gujarati 1978). Menurut Koutsoyianis (1977), terdapat beberapa kelebihan metode Ordinary least Square (OLS) seperti berikut : 1. Hasil estimasi parameter yang diperoleh dengan metode OLS memiliki beberapa kondisi optimal (BLUE) ;
27
2. Tata cara pengolahan data dengan metode Ordinary Least Square (OLS) relatif lebih mudah daripada metode ekonometrika yang lain, serta tidak membutuhkan data yang terlalu banyak ; 3. Metode Ordinary Least Square (OLS) telah banyak digunakan dalam penelitian ekonomi dengan berbagai macam hubungan antar variabel dengan hasil yang memuaskan ; 4. Mekanisme pengolahan data dengan metode Ordinary Least Square (OLS) mudah dipahami; 5. Metode Ordinary Least Square (OLS) juga merupakan bagian dari kebanyakan metode ekonometrik yang lain meskipun dengan penyesuaian di beberapa bagian. Menurut Gauss Markov dalam menggunakan metode OLS, penduga koefisien regresi harus bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimated), bila persyaratan tersebut dipenuhi maka metode OLS dapat memberikan penduga koefisien regresi yang baik. Akan tetapi, sifat tersebut didasarkan pada berbagai asumsi yang tidak boleh dilanggar agar penduga tetap bersifat BLUE. Teorema tersebut dikenal dengan sebutan Teorema Gauss Markov. Asumsi-asumsi atau persyaratan yang melandasi estimasi koefisien regresi dengan metode OLS berdasarkan teori Gauss-Markov sebagai berikut : 1. E (µi) = 0 atau E (µi xi) = 0 atau E(Yi) = β1 + β2 Xi µi menyatakan variabel-variabel lain yang mempengaruhi Yi akan tetapi tidak terwakili dalam model.
28
2. Tidak ada korelasi antara µi dan µj {cov (µi,µj) = 0}; i tidak sama dengan j Artinya, pada saat Xi sudah terobservasi, deviasi Yi dari rata-rata populasi (mean) tidak menunjukkan adanya pola { E (µi,µj) = 0} 3. Homoskedastisitas : yaitu besarnya µi sama atau var (µi) =
2
untuk setiap i.
4. Kovarian antara varian µi dan X1 nol. {cov (µi,X1) = 0} Asumsi tersebut sama artinya bahwa tidak ada korelasi antara µi dan X1. Dengan perkataan lain, bila Xi non random maka E (µi,µj) = 0 5. Model regresi dispesifikasikan secara benar. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : a. Model harus berpijak pada landasan teori b. Perhatikan variabel-variabel yang diperlukan c. Bagaimana bentuk fungsinya Sifat yang dimiliki oleh estimator pada model regresi OLS dengan memenuhi asumsi-asumsi di atas adalah best linear unbiased estimator (BLUE). Ragam minimum (efisien) dan konsisten serta berasal dari model yang linear. Selain itu, nilai estimasi dari contoh (sample) akan mendekati nilai populasi.
3.2.3.1 Pemilihan Variabel Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia Pemilihan Variabel-variabel independent yang mempengaruhi daya saing kakao olahan didasarkan pada hasil metode Porter’s Diamond yang dapat dikuantitatifkan seperti produktivitas industri, harga ekspor kakao olahan, volume ekspor kakao olahan dan krisis ekonomi.
29
Produktivitas industri menggambarkan faktor sumberdaya industri pengolahan kakao, harga ekspor dan volume ekspor menggambarkan permintaan hasil olahan kakao, dan krisis ekonomi menggambarkan peran kesempatan (chance) dalam perdagangan hasil olahan kakao. Selain itu pemilihan faktorfaktor ini juga didasari beberapa penelitian terdahulu dan teori ekonomi yang ada. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing suatu komoditi adalah : 1
Produktivitas Produktivitas adalah suatu derajat tingkat produksi suatu perusahaan. Dalam penelitian Widayunita (2007) produktivitas berpengaruh positif terhadap daya saing industri semen Indonesia sehingga produktivitas bisa dikatakan identik dengan daya saing.
2
Volume Ekspor Komoditi Volume ekspor komoditi adalah besarnya jumlah ekspor suatu komoditi yang dihitung dalam Kg. Peningkatan volume ekspor kakao olahan akan berakibat pada peningkatan daya saing (nilai RCA) hasil olahan kakao Indonesia.
3
Harga Ekspor Komoditi Harga ekspor dapat diartikan sebagai suatu kesepakatan harga yang timbul dari proses perdagangan suatu komoditi antara kedua belah pihak (eksportir dan importir). Harga ekspor merupakan perbandingan antara nilai ekspor dan volume ekspor, sehingga kenaikan harga ekspor akan equivalent dengan kenaikan nilai ekspor yang secara tidak langsung juga akan mempengaruhi daya saing secara positif.
30
•
Dummy krisis Dummy krisis dapat diartikan sebagai periode krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara asia tenggara, termasuk Indonesia pada tahun 1997. Dalam penelitian Mudjayani (2008), dummy krisis berpengaruh negatif terhadap daya saing buah-buahan tropis Indonesia.
3.2.3.2 Model Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia Berdasarkan pemilihan variabel faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao, diduga faktor-faktor yang berpengaruh adalah produktivitas industri, harga ekspor kakao olahan, volume ekspor dan krisis ekonomi, maka secara matematis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan Indonesia dapat ditulis sebagai berikut : DSt = α + β1 VEt + β2 PROt + β3 HEt - β4Dummy + εt
(3.3)
Persamaan (3.3) akan diubah ke dalam bentuk logaritma natural (kecuali variabel yang sudah dalam bentuk persen) menjadi : DSt = α + β1 Ln VEt + β2 PROt + β3 Ln HEt - β4Dummy + εt Bentuk
logaritma
menunjukkan
persentase
perubahan
(3.4) variabel
independent terhadap variabel dependent. Dimana : α
= konstanta
β
= parameter yang diduga, dengan β =1,2,3, dan 4.
DSt
= tingkat daya saing produk olahan kakao Indonesia pada tahun ke-t (%) dengan nilai RCA sebagai proksi.
LnVEt
= volume ekspor produk olahan kakao Indonesia periode ke-t (%).
31
LnHEt
= harga ekspor produk olahan kakao Indonesia periode ke-t (%).
PROt
= tingkat produktivitas industri pengolahan kakao pada periode ke-t (%).
Dummy
= dummy krisis ekonomi
εt
= error term pada periode ke-t
t
= tahun ke-t
3.2.3.3 Uji Kesesuaian Model Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan bahwa model yang telah dihasilkan adalah baik. Pada umumnya digunakan 3 kriteria kesesuaian model sebagai berikut : 1. Kriteria Ekonometrika Pengujian dengan menggunakan kriteria ekonometrika didasarkan pada pelanggaran asumsi OLS. Hal-hal ini dilihat dalam kriteria ekonometrika antara lain adalah multikolinieritas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. A. Autokorelasi Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan diantara galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Jika kita mengabaikan adanya autokorelasi, maka akan berdampak terhadap pengujian hipotesis dan proses peramalan. Autokorelasi cenderung akan mengestimasi standard error lebih kecil daripada nilai sebenarnya, sehingga nilai t-statistik akan lebih besar (overestimated). Dampaknya adalah uji F dan uji t menjadi tidak valid dan peramalan juga menjadi tidak efisien. Walaupun demikian, hasil estimasi dan peramalannya masih bersifat konsisten dan tidak bias. Sifat konsisten pada hasil
32
estimasi dan peramalan model yang mengabaikan autokorelasi tidak akan bertahan lama, kecuali lag dependent variabel diikutsertakan sebagai variabel penjelas. Untuk melakukan pengujian ada atau tidaknya autokorelasi pada hasil estimasi di atas, kita akan menggunakan metode Breusch-Godfrey serial Correlation LM Test. Sebelum melakukan pengujian, lebih dulu disusun hipotesis awal dan hipotesis tandingannya. Ho : Tidak ada korelasi H1 : Ada autokorelasi Taraf nyata = α Pengambilan kesimpulan bisa dilakukan dengan melihat apakah nilai probabilitas dari obs*R-squared lebih kecil atau lebih besar daripada taraf nyata α. Jika nilai obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata α, maka terima Ho. Artinya tidak terdapat autokorelasi dalam model regresi yang diperoleh. Dan jika sebaliknya, maka dapat disimpulkan terdapat autokorelasi yang signifikan pada model regresi tersebut. B. Heteroskedastisitas Kondisi heteroskedastisitas merupakan kondisi yang melanggar asumsi dari regresi linear klasik. Heteroskedastisitas menunjukkan nilai varian dari variabel bebas yang berbeda, sedangkan asumsi yang dipenuhi linear klasik adalah mempunyai varian yang sama (konstan) atau homoskedastisitas. Pengujian masalah
heteroskedastisitas
dilakukan
dengan
menggunakan
uji
white
heteroskedasticity test (Gujarati, 1995). Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probabilitas obs*R-squarenya.
33
Ho : δ sama dengan 0 H1 : δ tidak sama dengan 0 Taraf nyata = α Pengambilan kesimpulan bisa dilakukan dengan melihat apakah nilai probabilitas dari obs*R-squared lebih kecil atau lebih besar daripada taraf nyata α. jika nilai obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata α , maka terima Ho, artinya tidak mengalami gejala heteroskedastisitas dalam model regresi yang diperoleh. Jika sebaliknya, maka bisa disimpulkan adanya gejala heteroskedastisitas pada model regresi tersebut. C. Multikolinearitas Untuk melihat ada atau tidaknya multikolinearitas dapat dilakukan dengan cara melihat correlation matrix. Multikolinearitas dideteksi dengan melihat koefisien korelasi antar variabel bebas. Jika korelasinya kurang dari 0,8 (rule of tumbs 0,8) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikoliniearitas. Tetapi jika nilai koefisien korelasinya lebih besar dari 0,8 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat multikolinearitas dalam model tersebut. Multikolinearitas yang dapat menyebabkan adanya pelanggaran terhadap asumsi OLS yaitu exact multicolinearity (multikolinearitas sempurna). Jika dalam suatu model terdapat multikolinearitas yang sempurna maka akan diperoleh nilai R² yang tinggi tetapi tidak ada koefisien variabel dugaan yang signifikan. 2. Kriteria Statistika Secara statistika terdapat beberapa uji yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian model yaitu :
34
A. Uji F Uji F digunakan untuk menguji bagaimanakah pengaruh seluruh variabel independent terhadap variabel dependent. Hipotesis : Ho : β1 = β2 = ….= βt = 0 (tidak ada variabel independent yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependent).
t=1,2,….n
H1 : minimal ada satu β1 yang tidak sama dengan 0 (paling tidak ada satu variabel independent yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependent). Jika probability t-statistic < taraf nyata α , maka tolak Ho dan simpulkan minimal ada satu variabel independent yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Jika probability t-statistic > taraf nyata α , maka terima Ho dan simpulkan tidak ada satu variabel independent yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen B. Uji t Uji t disebut juga sebagai uji signifikasi variabel secara parsial karena melihat signifikasi masing-masing variabel yang terdapat di dalam model besaran yang digunakan dalam uji ini adalah statistik t. Langkah pertama untuk melaksanakan uji t adalah dengan menuliskan hipotesis pengujian Ho : βt sama dengan 0
t = 1,2,…,n
H1 : βt tidak sama dengan 0 Selanjutnya dilakukan perhitungan t statistik dengan menggunakan rumus : t=
- βt Se β
(3.4)
35
Dimana : = parameter dugaan βt
= parameter hipotesis
Se β
= Standard error parameter β
Jika nilai t statistik yang didapat pada taraf nyata sebesar α lebih besar daripada t-Tabel (t-stat > t-Tabel), maka tolak Ho. Kesimpulan koefisien dugaan β tidak sama dengan 0 dan variabel yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Sebaliknya, jika nilai t statistik lebih kecil daripada t-Tabel (t-stat < tTabel), maka terima Ho. Kesimpulan koefisien dugaan β sama dengan 0 dan variabel yang diuji berpengaruh tidak nyata terhadap variabel tak bebas. Model yang digunakan diduga akan semakin baik jika semakin banyak variabel bebas yang signifikan atau berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya. 3. Kriteria Ekonomi Dalam kriteria ekonomi akan diuji tanda dan besaran dari tiap koefisien variabel independent yang diperoleh. Kriteria ekonomi mensyaratkan tanda dan besaran yang terdapat pada tiap koefisien variabel independent sesuai dengan teori ekonomi. Apabila model tersebut sesuai dengan teori ekonomi, maka model tersebut dapat dikatakan baik secara ekonomi.
36
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PENGOLAHAN DAN HASIL OLAHAN KAKAO INDONESIA
4.1 Industri Pengolahan Kakao 4.1.1 Bahan Baku Industri Pengolahan Kakao Industri pengolahan kakao menggunakan biji kakao sebagai bahan baku utama dalam proses produksinya. Biji kakao pada umumnya digunakan oleh industri pengolahan kakao Indonesia untuk dijadikan produk olahan setengah jadi atau makanan cokelat jadi yang kemudian dikonsumsi langsung oleh konsumen atau sebagai bahan baku bagi beberapa industri makanan dan minuman. Biji kakao yang baik untuk diolah adalah biji kakao yang telah melewati tahap fermentasi, karena pada tahap fermentasi bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp dan untuk memperbaiki dan membentuk citarasa cokelat yang enak dan menyenangkan serta mengurangi rasa sepat dan pahit pada biji (Widyotomo, dkk, 2004). Menurut International Cocoa Organization, 2009 pangsa produksi Indonesia pada tahun 2007 menempati posisi ketiga di dunia dengan nilai sebesar 15,68 persen. Hal ini merupakan suatu potensi untuk dapat mengembangkan industri pengolahan nasional. Akan tetapi kualitas biji kakao Indonesia pada umumnya masih rendah. Hal ini disebabkan biji kakao Indonesia tidak melewati tahap fermentasi terlebih dahulu, walaupun demikian biji kakao Indonesia tetap diminati di beberapa negara. Biji kakao Indonesia yang dijual dengan kualitas rendah (tanpa fermentasi) dikenakan potongan harga oleh negara pengimpor,
37
seperti kebijakan automatic detention yang diberlakukan oleh USA terhadap komoditi biji kakao Indonesia. 4.1.2 Kondisi Industri Pengolahan Kakao Indonesia Indonesia merupakan Negara yang berlimpah biji kakao, akan tetapi industri pengolahan kakao di Indonesia tidak berkembang dengan baik. Menurut Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), saat ini hanya terdapat 15 perusahaan pengolahan kakao di Indonesia, padahal pada tahun 1998 terdapat 28 perusahaan pengolahan kakao yang beroperasi di Indonesia. Selain itu nilai produksi industri pengolahan kakao Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2007 sebesar 165.000 Ton menjadi 154.000 Ton pada tahun 2008 dan jumlah produksi perusahaan pengolahan kakao masih jauh dari kapasitas terpasang yang ada sebesar 301.000 Ton/Tahun ( Tabel 4.1). Industri pengolahan kakao Indonesia didukung oleh 3 perusahaan besar yaitu PT General Food Industries, PT Bumi Tangerang Mesindotama, dan PT Davomas Abadi, dengan kapasitas terpasang masing-masing sebesar 70.000 Ton/tahun, 40.000 Ton/tahun, dan 30.000 Ton/tahun. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa dari 15 perusahaan pengolahan kakao yang beroperasi hanya 2 perusahaan yang mampu menambah jumlah produksi yaitu PT Davomas abadi dari 15.000 Ton pada tahun 2007 menjadi 20.000 Ton pada tahun 2008 dan PT BumiTangerang Mesindotama dari 26.000 Ton pada tahun 2007 menjadi 36.000 Ton pada tahun 2008. Sedangkan perusahaan lainnya mengalami penurunan produksi bahkan beberapa perusahaan tidak melakukan aktivitas produksi.
38
Perusahaan-perusahaan pengolahan kakao Indonesia umumnya berlokasi di pulau Jawa, menurut AIKI, 2009 dari 15 perusahaan pengolahan kakao yang berada di Indonesia 9 perusahaan di antaranya berada di pulau Jawa sedangkan sisanya berada di Makasar, Medan, dan Kendari. Beberapa perusahaan besar pengolahan kakao terdapat di Pulau Jawa seperti PT Davomas Abadi, PT Bumi Tangerang yang berlokasi di sekitar Jakarta dan PT General Food Industries yang berlokasi di Bandung. Jika ditinjau dari letak industri pengolahan kakao yang umumnya berada di pulau Jawa dengan letak sentra perkebunan kakao yang berada di pulau Sulawesi, tentunya perbedaan jarak ini akan menimbulkan biaya transportasi yang besar dalam pengiriman bahan baku. Tabel 4.1 Produksi Industri Pengolahan Kakao Indonesia No
Perusahaan (PT)
Kapasitas Terpasang/thn
Produksi 2007
Produksi 2008
1
General Food Industries
70.000
70.000
65.000
2
Davomas Abadi
40.000
15.000
20.000
3
BumiTangerang Mesindotama
30.000
26.000
36.000
4
Mas Ganda
7.000
3.000
3.000
5
Cacao Wangi Murni
15.000
3.000
2.000
6
Kakao Mas Gemilang
6.000
3.000
2.000
7
Budidaya Kakao Lestari
15.000
4.000
0
8
Teja Sekawan
15.000
5.000
2.000
9
Cocoa Ventures Indonesia
7.000
8.000
8.000
10
Maju Bersama Cocoa Industry
25.000
10.000
7.000
11
Kopi Jaya Cocoa
10.000
3.000
2.000
12
Unicom Kakao Makmur Sulawesi
10.000
5.000
0
13
Poleco Indonesia
4.000
0
0
14
Inti Coca Abadi Industries
12.000
0
0
15
Industri Kakao Utama
35.000
0
0
301.000
165.000
154.000
Jumlah Sumber: Asosiasi Industri Kakao Indonesia, 2009
39
4.1.2 Kendala Industri Pengolahan Kakao Industri pengolahan kakao di Indonesia sulit untuk berkembang, padahal Indonesia merupakan negara yang berlimpah biji kakao. Hal ini dikarenakan beberapa kendala yang menghambat proses produksi industri pengolahan kakao Indonesia. Beberapa kendala tersebut adalah infrastruktur yang terbatas, ketersediaan dan kemudahan akses terhadap sumber permodalan, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada komoditi primer, serta kualitas biji kakao yang masih rendah. Di Indonesia pembangunan infrastruktur belum bisa sepenuhnya mendukung
industri
pengolahan
kakao,
seperti
sarana
dan
prasarana
penyimpanan, pengangkutan, transportasi, dan telekomunikasi. Akses permodalan yang sulit didapat oleh para pelaku agribisnis kakao membuat mereka sulit untuk mengembangkan usahanya sampai ke tahap industri. Selain itu kualitas biji kakao sebagai bahan baku industri pengolahan kakao masih belum cukup baik karena biji kakao yang diproduksi di Indonesia belum melalui tahap fermentasi.
4.1.3 Kebijakan Pemerintah Pada Sektor Industri Pengolahan Kakao Pembangunan industri adalah bagian dari pembangunan nasional, sehingga kebijakan pembangunan industri yang ada harus mampu memberikan sumbangan yang berarti terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, dalam perancangan kebijakan pembangunan sektor industri di masa depan, baik jangka menengah maupun jangka panjang, bukan hanya ditujukan untuk mengatasi permasalahan di sektor industri saja yang disebabkan oleh
40
melemahnya daya saing, tetapi juga harus mampu turut mengatasi permasalahan secara nasional. Kebijakan pemerintah yang berpengaruh terhadap produktivitas industri pengolahan kakao adalah UU No 18 tahun 2000 mengenai pengenaan PPN sebesar 10 persen terhadap beberapa komoditi primer seperti kakao, teh, kopi, lada, kayu, gula dan karet yang dinilai memberatkan industri pengolahan kakao yang ada. Dengan adanya PPN tentu akan menambah biaya produksi industri pengolahan kakao yang ada, sehingga industri pengolahan kakao nasional harus menambah biaya jika ingin menggunakan biji kakao domestik. Selain itu kebijakan pemerintah yang membebaskan pajak ekspor biji kakao hingga nol persen dinilai semakin merugikan pihak industri pengolahan kakao, karena petani lebih tertarik untuk mengekspor biji kakaonya ke luar negri dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kakao nasional. 4.2 Hasil Olahan Kakao Kakao olahan merupakan hasil dari proses industri pengolahan kakao. Di pasar internasional kakao olahan memiliki permintaan yang terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya minat masyarakat dunia dalam mengkonsumsi makanan dan minuman berbahan baku cokelat. Dengan tingginya permintaan cokelat dunia, beberapa industri makanan dan minuman di dunia melakukan banyak inovasi dengan menambahkan citarasa cokelat di dalam produknya.
41
4.2.1 Pasar Kakao Olahan Dunia Kakao olahan merupakan salah satu komoditas yang banyak digunakan sebagai bahan baku penunjang berbagai industri seperti industri es krim, industri biskuit, industri susu, dan lain sebagainya. Selain itu hasil akhir kakao olahan berupa cokelat batang memiliki permintaan yang cukup tinggi baik di Indonesia maupun di dunia. Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 konsumsi kakao olahan dunia terus meningkat. Hal ini dikarenakan permintaan industri makanan dan minuman terhadap kakao olahan terus meningkat. Eropa merupakan konsumen kakao olahan terbesar dengan total konsumsi tahun 2004 sebesar 1.405.000 Ton atau setara dengan 42 persen konsumsi kakao olahan dunia. Di urutan kedua dan ketiga ditempati oleh Amerika dan Asia dengan konsumsi sebesar 852.000 Ton dan 573.000 Ton. Permintaan dunia terhadap kakao olahan yang semakin meningkat setiap tahunnya akan membuka pasar yang luas bagi hasil olahan kakao Indonesia, ditambah dengan pertumbuhan produktivitas yang baik serta didukung mutu dan kualitas hasil kakao olahan akan meningkatkan daya saing kakao olahan Indonesia. Akan tetapi realita yang terjadi justru sebaliknya pertumbuhan industri pengolahan kakao Indonesia berjalan lambat. Hal ini tentunya akan membuat industri pengolahan kakao Indonesia sulit untuk meningkatkan daya saing kakao olahan Indonesia di tingkat internasional.
42
Tabel 4.2. Konsumsi Kakao Olahan Dunia (dalam 000 Ton) No Negara I
Eropa
1 2 3 II
Jerman Belanda Lainnya Afrika
1
Pantai Gading Lainnya Amerika
2 III 1 2 3 IV 1 2 3
Brazil USA Lainnya Asia & Oceania Indonesia Malaysia Lainya Dunia Negara Produsen
2000/2001 1377 (45 %) 227 452 698 421 (13,7 %) 285
2001/2002 1282 (44.5%) 195 418 669 422 (14,6 %) 290
Tahun 2002/2003 1323 (43,3%) 193 450 680 446 (14,6%) 300
2003/2004 1350 (42,1%) 225 445 680 452 (14,1 %) 320
2004/2005 1405 (42,6%) 235 460 710 469 (14,2 %) 330
136 845 (27,6 %) 195 456 194 419 (13,7 %) 87 125 207 3063 991 (32,4 %)
132 762 (26,5 %) 173 403 186 415 (14,4%) 105 105 205 2881 965 (33,5 %)
146 804 (26,3 %) 196 410 198 481 (15,8%) 115 135 231 3053 1062 (34,8 %)
132 838 (26,2 %) 205 410 223 563 (17,6 %) 120 200 243 3203 1156 (36,1 %)
139 852 (25,8%) 211 419 222 573 (17,4 %) 115 210 248 3298 1178 (35,7 %)
Sumber : International Cocoa Organization, 2005
4.2.2 Perdagangan Kakao Olahan Indonesia Perdagangan hasil olahan kakao Indonesia didominasi dalam bentuk komoditi kakao olahan setengah jadi berupa lemak kakao dan mentega kakao (Tabel 5.3). Hal ini disebabkan tingginya permintaan terhadap komoditi tersebut. Pada umumnya komoditi tersebut digunakan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman. Pasar kakao olahan Indonesia berada di Amerika Serikat dan negaranegara Eropa seperti Belanda, Prancis, dan Belgia. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat dan Eropa sebagai sentra industri cokelat membutuhkan kakao olahan sebagai bahan input industri makanan dan minuman (Tabel 1.3).
43
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Posisi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia Posisi daya saing hasil kakao olahan Indonesia akan diukur melalui metode RCA (Revealed Comparative Advantage). Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor komoditi kakao olahan terhadap total ekspor Indonesia yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia. Dengan metode RCA dapat diketahui apakah komoditi kakao olahan Indonesia memiliki atau tidak memiliki keunggulan komparatif. Apabila nilai RCA lebih besar dari satu berarti negara tersebut memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi kakao olahan. Sebaliknya jika nilai RCA lebih kecil dari satu berarti negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif Hasil perhitungan RCA dapat dilihat pada Tabel 5.1, daya saing hasil olahan kakao Indonesia di pasar internasional dari tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 memiliki daya saing yang rendah dengan nilai daya saing di bawah 1 Hal ini dikarenakan industri pengolahan kakao Indonesia masih belum berkembang dengan baik dan nilai ekspor Indonesia dalam bentuk kakao olahan masih relatif sedikit dibandingkan nilai ekspor kakao olahan dunia. Pada tahun 1996 daya saing kakao olahan mulai meningkat dengan nilai RCA sebesar 1 dan peningkatan ini berlangsung sampai dengan tahun 2006 dengan nilai daya saing di atas 1 Hal ini dikarenakan permintaan dunia terhadap hasil olahan kakao yang meningkat setiap tahunnya. Selain itu krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 berpengaruh positif terhadap peningkatan daya saing
44
hasil olahan kakao Indonesia. Sejak terjadinya krisis ekonomi, nilai tukar mata uang Rupiah terhadap mata uang lain melemah, sehingga produk hasil olahan kakao Indonesia menjadi lebih murah dibandingkan kakao olahan negara lain. Hal ini menyebabkan banyak negara importir yang memilih produk Indonesia, sehingga nilai ekspor kakao olahan Indonesia pun meningkat dan diikuti dengan peningkatan nilai RCA hasil olahan kakao Indonesia. Tabel 5.1 Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia Ekspor Kakao Ekspor Kakao Olahan Dunia RCA Tahun Olahan Indonesia (US$) (US$) 1988 731.5918 949.925.937 0,31 1989 15.481.000 1.705.068.348 0,49 1990 28.881.552 2.017.726.993 0,77 1991 33.301.609 2.392.442.634 0,92 1992 30.838.381 4.428.922.961 0,50 1993 45.260.513 5.143.343.603 0.68 1994 66.897.306 7.734.467.182 0,82 1995 83.826.314 10.267.191.101 0,84 1996 111.079.683 11.186.647.681 1,00 1997 124.766.116 10.454.589.472 1,18 1998 120.306.628 10.117.766.228 1,28 1999 126.600.922 13.498.889.259 1,05 2000 106.135.519 10.269.622.358 1,19 2001 114.488.104 11.195.563.914 1,27 2002 179.777.365 12.840.463.706 1,75 2003 213.468.608 16.187.416.749 1,78 2004 179.104.363 18.399.697.389 1,37 2005 199.714.795 19.430.738.556 1,38 2006 234.760.894 21.306.425.944 1,44
Indeks RCA 0 1,57 1,55 1,19 0,54 1,34 1,20 1.03 1,18 1,19 1,08 0,82 1,13 1,07 1,38 1,03 0,76 1,00 1,05
Sumber : UN Comtrade, 2006 diolah dengan Microsoft Excel
Metode RCA juga dapat melihat perkembangan kinerja ekspor kakao olahan Indonesia di pasar dunia setiap tahunnya dari tahun 1988 sampai dengan tahun 2006 dengan menggunakan indeks RCA. Nilai indeks RCA berkisar dari nol sampai dengan tak hingga. Nilai indeks RCA sama dengan satu berarti tidak terjadi kenaikan RCA atau kinerja ekspor kakao olahan Indonesia pada tahun
45
sekarang sama dengan tahun sebelumnya. Nilai indeks RCA lebih kecil dari satu berarti terjadi penurunan RCA atau kinerja ekspor. Nilai indeks RCA lebih besar dari satu menandakan terjadi peningkatan kinerja ekspor kakao olahan Indonesia. Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa kinerja ekspor hasil olahan kakao Indonesia menunjukkan trend yang meningkat dari tahun 1988 sampai dengan tahun 2006. Hal ini dikarenakan permintaan terhadap hasil olahan kakao yang terus meningkat setiap tahunnya. Namun sepanjang tahun 1988 sampai dengan tahun 2006 kinerja ekspor kakao olahan mengalami penurunan pada tahun 1992, 1999, dan 2004. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut terjadi persaingan di pasar internasional yang menyebabkan nilai ekspor kakao olahan Indonesia mengalami penurunan, sedangkan nilai ekspor kakao olahan dunia meningkat. Selain itu pada tahun 2004 hama perusak kebun kakao yaitu hama pengerek buah kakao (PBK) dan hama vascular streak dieback (VSD) kembali menyerang ribuan hektar lahan perkebunan di Sulawesi Selatan menyebabkan menurunnya nilai produksi biji kakao nasional. Hal ini berakibat pada menurunnya nilai ekspor Indonesia dalam bentuk kakao olahan.
5.2
Faktor-Faktor Yang Menjadi Pengolahan Kakao Indonesia
Kendala
Perkembangan
Industri
Analisis daya saing Industri pengolahan kakao Indonesia menggunakan pendekatan teori berlian Porter (Porter’s Diamond Theory). Teori berlian Porter terdiri dari empat faktor yang menentukan ukuran daya saing industri pengolahan kakao yaitu faktor sumberdaya, faktor permintaan, faktor industri terkait dan industri pendukung, faktor persaingan dan struktur serta strategi perusahaan.
46
Selain keempat faktor tersebut masih ada dua faktor lagi yang mempengaruhi daya saing yaitu faktor peran pemerintah dan faktor kesempatan.
5.2.1 Faktor Sumberdaya (Factor Condition) Kondisi faktor sumberdaya terdiri dari sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur. Kelima faktor sumberdaya tersebut mempengaruhi tingkat daya saing industri pengolahan kakao Indonesia. Berikut ini merupakan penjelasan dari kelima faktor sumberdaya tersebut. 1. Sumberdaya Alam Dalam proses produksi suatu industri tentunya memerlukan bahan baku sebagai penunjang proses produksi, semakin banyak bahan baku yang tersedia tentunya akan memudahkan suatu industri untuk meningkatkan proses produksi. Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga dunia dengan total produksi pada tahun 2006 sebesar 769.386 Ton dan luas areal perkebunan kakao pada tahun 2006 sebesar 1.320.820 Ha (Tabel 5.2). Tabel 5.2 Luas Areal dan Produksi Biji Kakao Tahun 2002-2006 Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) 2002 914.051 571.155 2003 964.223 698.816 2004 1.090.960 691.704 2005 1.167.046 748.828 2006 1.320.820 769.386 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009
Berdasarkan Tabel 5.2, juga dapat dilihat setiap tahunnya dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 lahan perkebunan kakao dan produksi biji kakao terus meningkat. Hal ini merupakan potensi yang cukup baik untuk mengembangkan
47
industri pengolahan kakao. Akan tetapi permasalahan timbul dari faktor ini adalah kualitas bahan baku (biji kakao) yang dihasilkan oleh beberapa perkebunan di Indonesia masih kurang baik. Hal ini disebabkan oleh petani kakao yang tidak menggunakan proses fermentasi pada pengolahan biji kakao. Fermentasi bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp dan untuk memperbaiki dan membentuk citarasa cokelat serta mengurangi rasa sepat dan pahit pada biji. Perkebunan kakao di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat. Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa 90 persen produksi biji kakao Indonesia dihasilkan oleh perkebunan rakyat, sedangkan perkebunan swasta dan perkebunan negara masing-masing hanya menguasai sekitar lima persen. Secara umum penanganan pengolahan kakao perkebunan rakyat masih bersifat tradisional dan belum melalui tahap fermentasi sehingga kualitas biji kakao yang dihasilkan pun kurang baik.
Sumber : Statistik Perkebunan Kakao, 2009 Gambar 5.1. Produksi Biji Kakao Tahun 2007 (Ton)
Potensi produksi dan lahan perkebunan kakao yang dimiliki tentunya diharapkan mampu menyokong aktivitas industri pengolahan kakao Indonesia, akan tetapi hingga saat ini kedua hal tersebut belum mampu menjadi faktor
48
pendorong
pertumbuhan
industri
pengolahan
kakao
Indonesia.
Industri
pengolahan kakao Indonesia masih belum mengalami pertumbuhan yang baik, bahkan dalam dua tahun terakhir industri pengolahan kakao Indonesia mengalami penurunan produksi. Kelebihan faktor sumberdaya alam yang dimiliki oleh Indonesia hanya merupakan keunggulan statis yang tidak dapat dimanfaatkan untuk menciptakan hasil olahan kakao yang berdaya saing tinggi. Saat ini ekspor kakao Indonesia didominasi dalam bentuk biji kakao dengan jumlah ekspor pada tahun 2006 sebesar 490.777 Ton (International Cocoa Organization, 2007). Dengan dominasi ekspor berupa komoditi primer tidak akan memberikan nilai tambah bagi industri domestik dan kualitasnya pun akan kalah bersaing dengan biji kakao negara lain, karena biji kakao Indonesia tidak melalui proses fermentasi terlebih dahulu. Apabila ekspor biji kakao Indonesia dikurangi dan dijadikan sebagai pasokan bahan baku industri pengolahan kakao, tentunya akan memberikan nilai tambah kepada industri kakao nasional dan secara tidak langsung akan menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu hal ini akan meningkatkan kualitas dan daya saing kakao Indonesia di pasar internasional 2. Sumberdaya Manusia Faktor sumberdaya manusia memegang peranan penting bagi kemajuan industri nasional. Menurut Batubara, 1993 sumberdaya manusia yang dibutuhkan oleh industri adalah sumberdaya yang memiliki keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Oleh karena itu tingkat pendidikan sangat penting dalam menciptakan sumberdaya manusia yang unggul pada bidang industri.
49
Kondisi tenaga kerja Indonesia secara umum memiliki tingkat pendidikan rendah. Hal ini terlihat dari tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia yang ada saat ini. Menurut data BPS dan Sakernas hingga Februari 2008, sebanyak 102,05 juta jiwa pekerja Indonesia, tercatat 56,37 juta atau 56,40 persen pekerja hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Hal ini akan mengakibatkan sulitnya sektor industri mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas. Permasalahan sumberdaya manusia pada industri pengolahan kakao terletak pada pelaku agribisnis kakao, rendahnya tingkat pendidikan para petani kakao, lemahnya kemampuan manajerial serta kemampuan wirausahaan membuat para pelaku agribisnis kakao sulit untuk mengembangkan usahanya secara mandiri. Akibatnya petani kakao hanya bisa menjual dalam bentuk biji kakao tanpa fermentasi, padahal dengan melakukan fermentasi dan pengolahan biji kakao yang baik akan dapat meningkatkan kualitas kakao Indonesia di pasar Internasional. 3. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Keunggulan kompetitif dari agroindustri banyak ditentukan oleh kemampuan para pengelolanya untuk memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang dikuasainya dengan baik (Batubara, 1993). Penguasaan teknologi dari mulai pra panen, panen sampai dengan pasca panen akan menentukan peningkatan produktivitas, efisiensi, serta peningkatan nilai tambah dan mutu kakao yang akhirnya akan berdampak pada peningkatan daya saing industri pengolahan kakao nasional. Pada umumnya teknologi yang digunakan oleh
50
industri pengolahan kakao nasional masih sederhana, hanya beberapa perusahaan besar yang memiliki teknologi tinggi. Permasalahan yang terdapat pada faktor ini adalah pada proses alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari pakar kakao, lembaga peneliti dan pengembangan kakao kepada petani di Indonesia relatif lambat sehingga kualitas bahan baku berupa biji kakao yang dihasilkan pun menjadi kurang baik. Untuk itu perlu dibangun suatu akses informasi antara petani kakao dan peneliti kakao agar petani kakao dapat menghasilkan biji kakao dengan kualitas yang baik. Selain itu diperlukan penyuluhan langsung kepada petani-petani di daerah mengenai tata cara memaksimalkan potensi biji kakao yang ada. 4. Sumberdaya Modal Modal merupakan salah aspek penting dalam mengembangkan industri pengolahan kakao Indonesia, dengan modal yang memadai tentunya industri pengolahan kakao akan berkembang dengan baik dan dapat bersaing di pasar internasional, tetapi kepemilikan modal para pelaku industri pengolahan kakao relatif rendah. Jauhnya sentra perkebunan kakao dengan industri pengolahan membentuk jaringan tersendiri yang melibatkan banyak pelaku ekonomi, sehingga biaya input menjadi lebih mahal. Saat ini banyak perusahaan pengolahan kakao yang tidak berproduksi akibat sulit mendapatkan bahan baku berupa biji kakao, selain karena banyaknya biji kakao yang diekspor ke luar negeri, industri pengolahan kakao nasional sulit bersaing dengan perusahaan-perusahaan pengolahan kakao lainnya, karena pada umumnya teknologi yang digunakan masih bersifat tradisional. Akses permodalan
51
yang sulit didapat oleh para petani membuat mereka sulit untuk mengembangkan usahanya sampai ke tahap industri. Hal inilah yang membuat para petani lebih senang menjual dalam bentuk biji kakao dibandingkan dalam bentuk kakao olahan. 5. Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastruktur merupakan sarana dan prasarana fisik yang menentukan daya saing industri pengolahan kakao Indonesia. Sarana dan prasarana
tersebut
meliputi
pembudidayaan
kakao,
penyimpanan
dan
pengangkutan, transportasi, dan telekomunikasi. Sentra produksi bahan baku yang letaknya jauh dengan industri pengolahan kakao serta prasarana yang belum memadai akan mengganggu kelancaran transportasi dan komunikasi, sehingga biaya input relatif menjadi lebih tinggi sedangkan harga jual produk tetap (mengikuti harga pasar). Saat ini infrastruktur yang ada seperti : jalan, jembatan, pelabuhan, jaringan tenaga listrik, bahan bakar, jasa angkutan, pergudangan, telekomunikasi belum dapat menyokong perkembangan industri pengolahan kakao nasional. 5.2.2 Faktor Permintaan Kondisi permintaan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan daya saing industri pengolahan kakao nasional, semakin besar permintaan konsumen terhadap hasil olahan kakao nasional tentunya dapat meningkatkan daya saing hasil kakao olahan Indonesia di pasar internasional. Perdagangan hasil kakao olahan Indonesia di pasar internasional mengalami pertumbuhan yang positif. Berdasarkan Tabel 5.3 dapat dilihat dari tahun 2003
52
volume ekspor kakao olahan Indonesia sebesar 91.899.209 Kg dan meningkat terus setiap tahunnya hingga pada tahun 2007 volume ekspor kakao olahan sebesar 123.693.878 Kg. Hal ini menandakan bahwa permintaan dunia terhadap hasil olahan kakao Indonesia terus meningkat. Jenis komoditi yang banyak diminati oleh pasar dunia adalah mentega, lemak, serta minyak kakao (HS 1804.00), dan bubuk kakao tidak mengandung tambahan gula atau pemanis lainnya (HS 1805.00). Dua jenis komoditi kakao olahan tersebut banyak digunakan sebagai bahan baku penunjang industri-industri makanan dan minuman di dunia. Tabel 5.3 Volume Ekspor Kakao Olahan Indonesia HS 6 Digit (dalam Kg) TAHUN KOMODITI 2003 2004 2005 2006 2007 180310 1.954.609 863.466 948.038 2.005.029 2.055.142 180320 3.388.616 6.920.143 20.971.250 22.699.968 20.118.021 180400 43.354.210 43.226.313 40.387.804 49503117 51.148.914 180500 27.133.982 28.694.290 26.265.400 33.764.674 32.232.074 180610 1.861.318 1.497.720 1.404.649 331.385 93.685 180620 5.064.053 4.325.016 4.382.450 5.783.510 7.685.899 180631 20.051 180.863 65.963 54.738 150.611 180632 6.657.428 4.088.700 481.692 455.421 391.243 180690 2.010.948 1.901.641 1.576.717 3.478.934 7.958.683 Total 91.445.215 91.698.152 96.483.963 118.076.776 121.834.272 Sumber : UN Comtrade, 2008
Tujuan ekspor kakao olahan Indonesia cukup luas mulai dari kawasan Eropa, Asia, dan Amerika. Tujuan utama ekspor kakao olahan Indonesia adalah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa seperti Belanda, Prancis, Belgia, dan Inggris. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat dan Eropa sebagai sentra industri cokelat membutuhkan kakao olahan sebagai bahan input industri. Sementara itu tujuan ekspor kakao olahan Indonesia di Asia adalah Singapura, Malaysia dan RRC.
53
5.2.3 Industri Terkait dan Pendukung Peningkatan daya saing industri pengolahan kakao tentunya tidak terlepas dari peran industri terkait dan industri pendukung. Industri terkait memiliki peran sebagai pemasok bahan baku sedangkan industri pendukung memiliki peran dalam pengembangan hasil kakao olahan. Industri terkait pengolahan kakao berupa industri benih maupun perkebunan kakao sedangkan industri pendukung pengolahan
kakao
berupa
departemen-departemen
yang
fokus
pada
pengembangan biji kakao dan kebijakan pembangunan industri pengolahan kakao, dan juga lembaga-lembaga penelitian yang membantu dalam meningkatkan kualitas kakao Indonesia. 1. Industri Terkait •
Industri benih Pengembangan industri pengolahan kakao sangat tergantung terhadap
kinerja industri pemasok bahan dalam memasok bahan baku (benih), baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan saat ini telah dibangun 17 kebun induk kakao diantaranya tidak diaktifkan sebagai sumber benih karena terserang hama pengerek buah (PBK), sementara kebun induk yang diaktifkan sebanyak 10 kebun (Tabel 5.4). Wilayah induk kebun kakao terdapat di propinsi Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Timur. Ditinjau dari proporsi lokasi penyebaran kebun induk kakao belum merata dan sesuai dengan wilayah pengembangan kakao sehingga mengakibatkan terjadinya kelangkaan dan keterlambatan
54
pengadaan benih proyek-proyek perkebunan. Di samping itu mekanisme pengadaan dan penyaluran benih belum berjalan secara lancar (Yuniarsih, 2002). Tabel 5.4. Industri Benih Biji Kakao No Nama Pemilik
Nama Kebun
Varietas
Luas
Produksi
(Ha) 1
PT. Inangsari
Padang Mardani
Hibrida
4,50
2.500.000
2
PTPN VII
Wa Berutu
Hibrida
9,00
3.375.000
3
PTPN VIII
Bunisari
Amelondo
20,00
t.a.d
4
PTPN
Beji
Amelondo
25,00
t.a.d
5
PT.Megarsari Jaya
Jati Tumpak Mergo
Hibrida
10,00
1.250.000
6
Pusitkoka
Kaliwining
Hibrida
10,00
2.000.000
Manggis Kidul
Hibrida
4,00
t.a.d
Widodaren
Hibrida
4,90
1.026.000
Kaliputih
Hibrida
6,27
t.a.d
3,60
562.000
7
PT. PP Jember ind
8
PTPN VII
Mumbul
Hibrida
9
PT. Hasfarm Niaga
Ladongi
Hibrida
10
Pemda Tk. I NTT
Waikadada
Hibrida
22,10 30.000.000 2,50
1.000.000
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Keterangan : t.a.d = Tidak ada data
•
Perkebunan Kakao Perkebunan kakao merupakan pemasok bahan baku industri pengolahan
kakao dalam bentuk biji kakao. Mutu dan kualitas biji kakao yang baik akan mendukung hasil kakao olahan yang baik, oleh karena itu daya saing industri pengolahan kakao tergantung dari kinerja perkebunan kakao Indonesia. Luas areal perkebunan kakao pada tahun 2007 adalah 1.379.279 Ha dan lokasinya tersebar di beberapa pulau di Indonesia. Pulau Sulawesi merupakan sentra perkebunan kakao terbesar di Indonesia dengan jumlah produksi pada tahun 2007 sebesar 495.390 Ton dan luas perkebunan sebesar 846.898 Ha dan urutan kedua berada di pulau
55
Sumatera dengan luas perkebunan sebesar 249.977 Ha dan produksi sebesar 139.039 Ton (Tabel 5.5).
Keberadaan perkebunan kakao di Indonesia masih belum bisa mendorong pertumbuhan industri pengolahan kakao Indonesia. Hal ini dikarenakan biji kakao yang dihasilkan lebih banyak diekspor daripada diolah di dalam negeri. Selain itu biji kakao yang dihasilkan pun masih belum baik kualitasnya. Tabel 5.5 Kawasan Sentra Perkebunan Kakao Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8
Daerah Luas Area (Ha) Produksi (Ton) Sumatera 249.977 139.039 Jawa 82.638 25.553 Kalimantan 46.804 27.024 Sulawesi 846.898 495.390 Maluku 58.171 17.086 Nusa tenggara 48.353 13.548 Bali 11.584 7.457 Papua 34.854 14.910 Total 1.379.279 740.006 Sumber : Statistik Perkebunan Kakao, 2009
2. Industri Pendukung • Industri Jasa Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan Lembaga pendidikan, pelatihan, dan litbang memegang peranan penting dalam meningkatkan daya saing kakao nasional. Lembaga pendidikan dan pelatihan akan menciptakan sumberdaya manusia yang unggul dan memiliki kemampuan yang baik dalam pengolahan kakao. Sedangkan lembaga penelitian dan pengembangan akan menciptakan riset mengenai ilmu pengolahan kakao. Lembaga-lembaga yang berperan dalam pengembangan kakao adalah : • Industri Makanan dan Minuman Industri
makanan
dan
minuman
merupakan
industri
pendukung
pengolahan kakao. Hasil olahan kakao berupa pasta kakao, mentega kakao, lemak
56
kakao, minyak kakao, bubuk kakao, dan tepung kakao digunakan oleh industri makanan dan minuman untuk dijadikan produk makanan atau minuman dengan citarasa cokelat di dalamnya.
5.2.4 Persaingan dan Struktur Industri Serta Strategi Perusahaan Struktur industri pengolahan kakao Indonesia di dominasi oleh tiga pemain utama yaitu PT General Food Industries, PT BumiTangerang Mesindotama, dan PT Davomas Abadi, dengan kapasitas terpasang masingmasing sebesar 70.000 Ton/tahun, 40.000 Ton/tahun, dan 30.000 Ton/tahun. Dengan dominasi ketiga perusahaan ini membuat persaingan dalam industri pengolahan kakao menjadi tidak kompetitif. Kualitas bahan baku berupa biji kakao yang rendah serta penerapan pajak PPN sebesar 10 persen mengakibatkan beberapa perusahaan pengolahan kakao nasional memilih strategi mengimpor bahan baku berupa biji kakao dari negara produsen lain seperti Pantai Gading dan Ghana. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas serta untuk menghindari biaya yang tinggi akibat penerapan PPN pada komoditi kakao. 5.2.5 Peran Pemerintah Peran pemerintah dalam pengembangan industri pengolahan kakao dinilai masih belum maksimal. Akibat lemahnya perhatian pemerintah, industri pengolahan kakao tidak berkembang dengan baik di sentra-sentra perkebunan kakao Indonesia, khususnya di Pulau Sulawesi.
57
Saat ini banyak perusahaan-perusahaan pengolahan kakao domestik yang tidak berproduksi, padahal pada tahun 1998 terdapat 28 perusahaan pengolahan kakao di Indonesia. Berkurangnya jumlah perusahaan pengolahan kakao domestik merupakan sebuah akibat dari kebijakan pemerintah yang menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen pada komoditas pertanian, termasuk kakao yang dibeli pabrik dalam negeri. Sebaliknya, pedagang asing dan kalangan eksportir dapat membeli langsung komoditas kakao ke petani tanpa dikenakan PPN. Hal ini akan mengakibatkan harga yang ditawarkan kalangan pedagang (eksportir) lebih menarik dibandingkan harga yang dipatok industri pengolahan. Petani lebih senang menjual komoditas kakaonya untuk memasok pasar luar negeri daripada untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kakao domestik1 Kebijakan ini juga berdampak pada strategi perusahaan pengolahan kakao Indonesia untuk mengimpor bahan baku (biji kakao) dari negara-negara produsen lain, karena dengan membeli biji kakao dari petani dalam negri akan menambah biaya produksi akibat terkena PPN sebesar 10 persen Selain itu kualitas biji kakao domestik pun masih rendah akibat tidak difermentasi, sedangkan biji kakao dari produsen lain memiliki kualitas yang baik.
5.2.6. Peran Kesempatan Peran kesempatan merupakan peluang yang terjadi di luar kendali perusahaan-perusahaan pengolahan kakao, industri dan pemerintah. Dalam hal ini
1
Karyadi,U.2006.Penerapan PPN dan PE Komoditas Kakao.Kakao.htt:/dannydarussalam.com/engine/artikel.art/php.(12 Mei 2008).
58
peran kesempatan terjadi ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 yang melanda kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dampak dari krisis ekonomi tersebut membuat nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap US$. Namun, dengan terdepresiasinya mata uang Rupiah terhadap US$ mengakibatkan harga komoditi kakao olahan Indonesia menjadi lebih murah dibandingkan dengan hasil kakao olahan negara lain. Hal ini menyebabkan negara-negara importir lebih memilih hasil olahan kakao Indonesia dibandingkan hasil olahan kakao negara lain, sehingga nilai ekspor hasil olahan kakao Indonesia mengalami peningkatan di pasar dunia.
5.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Kakao Olahan Indonesia Dalam penelitian ini, terdapat beberapa faktor yang diduga mempengaruhi daya saing hasil kakao olahan Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah nilai ekspor komoditi kakao olahan, harga ekspor kakao olahan, harga biji kakao (harga bahan baku), dan produksi industri pengolahan kakao. Pengujian ini menggunakan perangkat E views 4.1 dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Sebelum melakukan pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao, terlebih dahulu dilakukan uji ekonometrika sebagai berikut : A. Autokorelasi Berdasarkan hasil serial Correlation LM Test yang dilakukan pada model persamaaan dalam penelitian ini (daya saing kakao olahan Indonesia) dapat dilihat pada Lampiran 7 bahwa nilai probability obs*R-Squared sebesar 0.11 atau lebih
59
besar daripada taraf nyata (α = 10 persen). Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam model persamaan dalam penelitian ini tidak mengalami gejala autokorelasi. B. Heteroskedastisitas Selanjutnya kriteria ekonomi yang perlu diuji adalah heteroskedastisitas. Pengujian ini ditujukan untuk melihat apakah model regresi memenuhi asumsi bahwa model memiliki gangguan yang variannya sama (homoskedastisitas). Pengujian
asumsi
ini
dilakukan
dengan
menggunakan
uji
White
Heteroskedasticity. Dari hasil uji yang dilakukan terhadap model dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 6 bahwa nilai probability obs*R-Squared yang diperoleh sebesar 0.68 atau lebih besar dari taraf nyata (α = 10 persen) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa model persamaan ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas. C. Multikoliniearitas Multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana terjadinya satu atau dua variabel bebas yang berkorelasi sempurna atau mendekati sempurna dengan variabel bebas lainnya. Terjadinya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat correlation matrix, jika korelasi antar variabel bebas dalam persamaan regresi kurang dari 0,8 (rule of thumbs) maka dapat disimpulkan dalam persamaan tidak ditemukan multikolinearitas, dan sebaliknya jika coefficient matriks lebih besar dari 0,8 (rule of thumbs) maka dapat disimpulkan dalam persamaan ditemukan
multikolinearitas.
Dalam
penelitian
ini
tidak
ditemukan
multikoliniearitas, karena tidak ditemukan nilai correlation matrix yang melebihi 0,8 (rule of thumbs) (Lampiran 5).
60
D. Uji normalitas Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah sampel yang digunakan dalam persamaan memiliki error term yang terdistribusi secara normal atau tidak. Hasil Uji normalitas dapat dilihat pada Lampiran 8 bahwa nilai probability (PValue) sebesar 0,24 lebih besar dari taraf nyata (α = 10 persen) maka dapat disimpulkan bahwa pada syarat keyakinan persen error term terdistribusi normal. Berdasarkan proses pengujian yang telah dilakukan, model dalam penelitian ini dapat dikatakan baik untuk dipakai dalam menganalisis daya saing kakao olahan Indonesia. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap posisi daya saing kakao olahan Indonesia adalah harga ekspor kakao olahan, Nilai ekspor kakao olahan, dan dummy krisis. Sedangkan variabel produktivitas tidak berpengaruh nyata terhadap daya saing. Hasil estimasi yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dilihat dari Tabel 5.6, pada persamaan tersebut memiliki nilai R-squared sebesar 0.87 dan Adjusted R-squared sebesar 0,84 artinya bahwa variasi variabel endogennya dapat dijelaskan secara linear oleh variabel bebasnya di dalam persamaan sebesar 87 persen dan sisanya sebesar 13 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Faktor-faktor yang tidak bisa dijelaskan oleh model adalah faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing kakao olahan, namun tidak dapat dikuantitatifkan seperti peningkatan teknologi industri, kemampuan sumberdaya manusia dan lain sebagainya
61
Tabel 5.6 Hasil Estimasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Kakao Olahan Indonesia Variabel
Koefisien
Probabilitas
Dummy
0.383620
0.0113
PRO
7.88E-06
0.9985
LNVE
0.208524
0.0114
LNHE
0.439599
0.0798
C
-3.190478
0.0202
RSquared
0.87
Adjusted RSquared
0,84
Sumber : BPS,UN Comtrade, 2006.(diolah). Keterangan : Taraf nyata (α = 10 persen). -VE
= volume ekspor kakao olahan
-PRO = Produktivitas industri pengolahan kakao -HE
= harga ekspor kakao olahan
-Dummy= periode krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997
Berikut ini adalah penjelasan lebih rinci faktor-faktor yang mempengaruhi posisi daya saing hasil olahan kakao Indonesia : • Harga Ekspor Kakao Olahan Dari hasil estimasi berdasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa harga ekspor berpengaruh signifikan terhadap daya saing dengan koefisien sebesar 0,43, artinya jika harga ekspor meningkat sebesar satu persen maka daya saing kakao olahan akan meningkat sebesar 0,43 persen, ceteris paribus. Harga kakao olahan bersifat inelatis, karena kakao olahan merupakan komoditi yang dibutuhkan oleh industri makanan dan minuman di dunia. Hal ini menyebabkan perubahan harga ekspor kakao olahan tidak terlalu berpengaruh terhadap demand hasil olahan kakao,
62
sehingga kenaikan harga ekspor kakao olahan tidak menurunkan demand kakao olahan, justru sebaliknya demand kakao olahan semakin meningkat beriringan dengan peningkatan harga ekspor kakao olahan. Pada dasarnya, peningkatan harga ekspor menggambarkan mutu dan kualitas hasil kakao olahan Indonesia, semakin tinggi harga ekspor kakao olahan menandakan bahwa mutu dan kualitas hasil kakao olahan Indonesia semakin baik, sehingga nilai daya saingnya (nilai RCA) juga semakin tinggi di pasar internasional. Dari Tabel 5.7 dapat dilihat bahwa harga ekspor kakao olahan Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 mengalami kenaikan harga dari 1.214 US$/kg menjadi 2.334 US$/kg pada tahun 2003. Kenaikan harga ekspor kakao olahan ini memicu kenaikan posisi daya saing kakao olahan (nilai RCA) dari 1,19 pada tahun 2000 menjadi 1,78 pada tahun 2003. Tabel 5.7. Harga Ekspor Kakao Olahan Indonesia Harga Ekspor Kakao Olahan RCA Tahun (US$/kg) 2000 1.214 1,19 2001 1.333 1,27 2002 1.835 1,75 2003 2.334 1,78 2004 1.953 1,37 2005 2.069 1,38 2006 1.988 1,44 Sumber : UN Comtrade data diolah, tahun 2008
Pada tahun 2004 harga ekspor kakao olahan mulai mengalami penurunan dengan nilai sebesar 1.953 US$/kg. Hal ini berdampak pada posisi daya saing kakao olahan (nilai RCA) yang turun menjadi 1,37. Dari Tabel 5.7 dapat disimpulkan bahwa dengan kenaikan harga ekspor kakao olahan akan berakibat pada kenaikan posisi daya saing kakao olahan Indonesia, sedangkan penurunan
63
harga ekspor kakao olahan Indonesia akan berakibat pada penurunan daya saing kakao olahan Indonesia. • Produktivitas Industri Pengolahan Kakao Produktivitas merupakan tingkat perbandingan output suatu perusahaan dengan biaya yang dikeluarkan Menurut teori dan beberapa penelitian terdahulu mengenai daya saing, perubahan tingkat produktivitas berpengaruh positif terhadap daya saing suatu komoditi. Akan tetapi dalam penelitian ini tingkat produktivitas industri pengolahan kakao tidak berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 5.6, nilai probabilitas produktivitas industri pengolahan kakao lebih besar dari taraf nyata (α = 10 persen) yang berarti variabel produktivitas tidak mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao. Faktor penyebab tidak berpengaruhnya tingkat produktivitas industri terhadap daya saing kakao olahan adalah faktor permintaan dari negara-negara pengimpor hasil olahan kakao di pasar internasional yang menginginkan mutu dan kualitas produk yang baik, sedangkan tingkat produktivitas industri yang tinggi tidak menjamin mutu dan kualitas produk yang baik. Oleh karena itu peningkatan nilai produktivitas industri pengolahan kakao tidak berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia, karena lebih dipengaruhi oleh peningkatan mutu dan kualitas hasil olahan kakao. • Volume Ekspor Kakao Olahan Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 5.6, dapat diketahui bahwa Volume ekspor kakao olahan berpengaruh positif terhadap daya saing hasil olahan kakao
64
Indonesia. Dengan nilai koefisien sebesar 0,20 menandakan bahwa kenaikan satu persen volume ekspor kakao olahan akan meningkatkan daya saing hasil olahan kakao (nilai RCA) sebesar 0,20 persen, ceteris paribus. Volume ekspor kakao olahan menggambarkan permintaan dunia terhadap kakao olahan. Semakin tinggi Volume ekspor kakao olahan, maka hasil kakao olahan Indonesia akan semakin diminati oleh negara-negara pengimpor. Hal ini akan berdampak pada peningkatan daya saing hasil olahan kakao Indonesia. Volume ekspor kakao olahan Indonesia menunjukkan trend yang meningkat. Hal ini disebabkan oleh naiknya permintaan hasil olahan kakao dunia setiap tahunnya. Hasil olahan kakao Indonesia umumnya banyak digunakan industri makanan dan minuman di dunia sebagai bahan baku penunjang produknya. • Dummy Krisis Berdasarkan hasil analisis, pada Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa nilai probability variabel dummy lebih kecil daripada taraf nyata (α = 10 persen) yang berarti variabel produktivitas berpengaruh positif terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia. Periode krisis ekonomi pada tahun 1997 mengakibatkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap USD. Hal ini akan menyebabkan harga komoditi kakao olahan akan menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga kakao olahan dari negara lain, sehingga banyak negara importir yang memilih untuk mengimpor hasil kakao olahan Indonesia. Oleh karena itu dengan terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia akan meningkatkan daya saing hasil olahan kakao Indonesia.
65
5.4 Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Porter’s Diamond dapat diketahui berbagai kendala yang menghambat Industri pengolahan kakao yaitu infrastruktur yang terbatas, sulitnya akses terhadap sumber permodalan, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada komoditi primer, serta kualitas biji kakao yang tidak stabil, sedangkan menurut hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing kakao olahan Indonesia dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia adalah harga ekspor kakao olahan, volume ekspor kakao olahan dan krisis ekonomi. Dengan hasil ini dapat dikembangkan beberapa strategi untuk meningkatkan hasil olahan kakao Indonesia, diantaranya : 1) Peningkatan Mutu dan Kualitas Hasil Kakao Olahan Strategi peningkatan mutu dan kualitas kakao olahan dapat dilakukan dengan cara mendorong pengembangan SDM Industri dan penguasaan teknologi. Salah satu permasalahan dalam industri pengolahan kakao adalah lemahnya kemampuan sumberdaya manusia dalam bidang teknik produksi, penguasaan teknologi dan manajemen bisnis, sehingga kualitas yang dihasilkan menjadi tidak maksimal. Oleh karena itu pengembangan SDM industri sangat penting untuk dilakukan guna meningkatkan mutu dan kualitas produksi industri pengolahan kakao. Salah satu cara pengembangan SDM industri adalah dengan mengadakan penyuluhan kepada petani untuk mengembangkan usahanya sampai tingkat industri. Selain itu pelatihan tenaga kerja industri
66
juga bisa menjadi salah satu cara untuk menciptakan sumberdaya manusia yang unggul dalam bidang industri pengolahan kakao. 2) Meningkatkan Volume Ekspor Hasil Olahan Kakao Strategi peningkatan volume ekspor hasil kakao olahan dapat dilakukan dengan cara memperluas pasar di dunia. Dengan memperlancar proses ekspor ke negara-negara tujuan diharapkan mampu menambah volume ekspor hasil olahan kakao Indonesia. Selain itu dengan cara menambah produksi komoditi kakao olahan yang paling banyak diminati negara importir seperti lemak dan mentega kakao. 3) Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Kakao Pengembangan klaster industri pengolahan kakao di daerah sentra perkebunan kakao akan memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai (value chain) dari industri termasuk kegiatan dari industri pendukung (supporting industries), industri terkait (related industries), industri penyedia infrastruktur, dan industri jasa penunjang lainnya. Keterkaitan ini dikembangkan sebagai upaya untuk membangun jaringan industri (networking) dan meningkatkan daya saing yang mendorong inovasi. 4) Mengembangkan Infrastruktur Infrastruktur merupakan hal penting dalam proses industri, dengan infrastruktur yang baik akan memacu perkembangan industri pengolahan kakao. Untuk itu diperlukan kerjasama dengan instansi terkait untuk mengembangkan prasarana dan sarana fisik di daerah-daerah yang prospek industrinya potensial ditumbuhkan seperti : jalan, jembatan, pelabuhan,
67
jaringan tenaga listrik, bahan bakar, jasa angkutan, pergudangan, dan telekomunikasi. Dengan mengembangkan infrastruktur akan menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya karena dengan lingkungan industri yang kondusif dapat mendukung proses industri. 5) Deregulasi Kebijakan Kebijakan pemerintah berupa penerapan PPN sebesar 10 persen pada komoditi pertanian termasuk kakao akan memberikan pengaruh yang negatif terhadap perkembangan industri pengolahan kakao Indonesia. Oleh karena itu penghapusan
pajak
PPN
sebesar
10
persen
diharapkan
dapat
mengembangkan industri pengolahan kakao yang ada. Selain itu penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada komoditi biji kakao diharapkan dapat meningkatkan kualitas bahan baku yang ada. 6) Memudahkan Akses Permodalan Akses permodalan merupakan masalah utama pelaku agribisnis kakao sulit untuk mengembangkan usahanya sampai ke tahap industri, sehingga mereka hanya mampu menjual dalam bentuk komoditi primer (biji kakao). Dengan kemudahan akses seperti pemberian kredit kepada pelaku agribisnis kakao diharapkan dapat mendukung perkembangan industri pengolahan kakao Indonesia.
68
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1 Hasil Olahan kakao Indonesia memiliki daya saing yang rendah (tidak memiliki keunggulan komparatif) di pasar internasional pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 dan daya saing tinggi (memiliki keunggulan komparatif) pada tahun 1996 sampai dengan 2006. 2 Faktor-faktor yang menghambat perkembangan industri pengolahan kakao nasional adalah infrastruktur yang terbatas, sulitnya akses terhadap sumber permodalan, dan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada komoditi primer serta kualitas biji kakao yang rendah. Hasil penelitian dengan metode Porter’s Diamond menunjukkan bahwa secara umum industri pengolahan kakao nasional tidak kompetitif, tetapi hasil RCA menunjukkan bahwa sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 hasil olahan kakao Indonesia memiliki daya saing yang tinggi (memiliki keunggulan komparatif). Hal ini dikarenakan hasil metode Porter’s Diamond hanya menunjukkan gambaran keseluruhan industri pengolahan kakao, padahal dari 15 perusahaan pengolahan kakao yang ada di Indonesia, terdapat beberapa perusahaan besar yang mampu menghasilkan hasil kakao olahan berdaya saing tinggi. 3 Faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao Indonesia adalah harga ekspor, volume ekspor dan krisis ekonomi, sedangkan faktor yang tidak berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia adalah tingkat produktivitas industri pengolahan kakao.
69
4 Strategi peningkatan daya saing industri dan hasil olahan kakao berupa peningkatan mutu dan kualitas hasil kakao olahan, meningkatkan volume ekspor hasil olahan kakao, pengembangan klaster industri pengolahan kakao, memudahkan akses permodalan, deregulasi kebijakan dan mengembangkan infrastruktur. 6.2 Saran 1. Pemerintah untuk dapat menerapan kebijakan SNI pada komoditi biji kakao, mempermudah akses permodalan kepada pelaku agribisnis kakao untuk dapat mengembangkan biji kakaonya sampai ke tahap industri, dan memperbaiki jalur distribusi antara industri hulu dan hilir. 2. Perusahaan pengolahan kakao untuk dapat meningkatkan teknologi pengolahan kakao serta memberikan. pelatihan kepada SDM agar dapat meningkatkan mutu dan kualitas hasil olahan kakao nasional
70
DAFTAR PUSTAKA
Adi, D.A., Suharyanto, dan Rubiyo. 2006. Pengaruh Fermentasi Biji Kakao Terhadap Mutu Produk Olahan Setengah Jadi Cokelat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Bali. Badan Pusat Statistik. Statistik Industri Besar dan Sedang. Berbagai Edisi.19882006 BPS, Jakarta. Batubara, et al. 1993.Tenaga Kerja Pengembangan Agroindustri. Edisi kedua. Bangkit, Jakarta. Balassa, B. 1971. The Structure of Protection in Developing Countries. The Johns Hopkins. London. Departemen Pertanian. 2007-2009. Statistik Perkebunan Indonesia Kakao. Ditjen Perkebunan. Jakarta. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta.
Zain dan Sumarno [penerjemah].
Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri : Persaingan, Monopoli, dan Regulasi, LP3ES, Jakarta. International Cocoa Organization. 2008. Annual Report 2007. [ICCO Online]. http://www.icco.org [12 Agustus 2008]. Irnawati. 2008. Daya Saing Kakao Indonesia Di Pasar Internasional.[skripsi] Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jaya, W.K. 2001. Ekonomi Industri, 2nd. Ed. PT BPFE, Yogyakarta. Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press, Bogor. Koutsoyiannis, A. 1997. Theory of Econometrics : An Introductory Exposition of Econometrics Methods. Second Edition. Macmillan Publishers Ltd.New York. Mudjayani, W.P. 2008. Analisis Daya Saing Buah-Buahan Tropis Indonesia. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nachrowi, D, Usman,H. 2003. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika. FEUI, Jakarta.
71
Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press, New York. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta. Suryana, A, et al. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta. Tambunan, T.T.H. 2001. Industrialisasi Di Negara Sedang Berkembang. Ghalia Indonesia, Jakarta. Widayunita, P. 2007.Analisis Daya Saing Industri Semen Periode 1978-2005 [skripsi].Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Widyotomo, S., Mulato, dan Handaka. 2004. Mengenal Lebih Dalam Teknologi Pengolahan Biji Kakao. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 26 No. 2, 2004. Winarno, W.W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. UPP STIM YKPN, Yogyakarta. Yuniarsih, Y. 2002. Analisis Industri dan Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Kakao Indonesia.[skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
72
LAMPIRAN
73
Lampiran 1. Hasil Perhitungan Analisis Daya Saing Hasil Olahan Kakao dengan Menggunakan RCA (dalam US$) Tahun Pt Qt Rt St RCA 1988
7315918 19218500000
949925937 7.85243E+11
0,31
1989
15481000 22158900000
1705068348 1.20087E+12
0,49
1990
28881552 25675300000
2017726993 1.37818E+12
0,77
1991
33301609 29142400000
2392442634 1.91771E+12
0,92
1992
30838381 33967000000
4428922961 2.45766E+12
0,50
1993
45260513 36823000000
5143343603 2.83213E+12
0.68
1994
66897306 40053400000
7734467182
3.7587E+12
0,82
1995
83826314 45418000000 10267191101 4.68301E+12
0,84
1996 111079683 49814800000 11186647681
4.997E+12
1,00
1997 124766116 53443600000 10454589472 5.30206E+12
1,18
1998 120306628 48847600000 10117766228 5.26935E+12
1,28
1999 126600922 48665400000 13498889259
5.4689E+12
1,05
2000 106135519 62124000000 10269622358 6.97762E+12
1,19
2001 114488104 56320900000 11195563914 6.77389E+12
1,27
2002 179777365 57158800000 12840463706 7.12316E+12
1,75
2003 213468608 61058200000 16187416749 8.31004E+12
1,78
2004 179104363 71584600000 18399697389 1.00851E+13
1,37
2005 199714795 85660000000 19430738556 1.14646E+13
1,38
2006 234760894 1.00799E+11 21306425944 1.31779E+13
1,44
Sumber : UN Comtrade, 2007 Keterangan : RCAt
= nilai daya saing hasil olahan kakao Indonesia tahun ke t
Pt
= nilai ekspor produk olahan kakao Negara Indonesia tahun ke t
Qt
= nilai ekspor total Indonesia tahun ke t
Rt
= nilai ekspor produk olahan kakao di dunia tahun ke t
St
= nilai ekspor total produk dunia tahun ke t
t
= 1988,.....,2006
74
Lampiran 2. Data Nominal Periode 1988-2006 Tahun
DS
VE (Kg)
1988
0.32
1989
0.49
1990
0.77
1991
0.92
1992
0.5
1993
0.68
1994
0.81
1995
0.84
1996
1
1997
1.18
1998
1.28
1999
1.05
2000
1.16
2001
1.23
2002
1.75
2003
1.79
2004
1.37
2005
1.38
2006
1.44
4109390 8711736 15240276 19470589 21253262 28698543 31220958 37009635 48739251 46418605 56272033 84546040 87399846 85868892 97957169 91445215 91698152 96483963 1.18E+08
Sumber : BPS, 2006
(USD NE)
HE (USD/Kg)
NO
NI
7315918
1.780292939
1.07E+08
78736530
15481000
1.777028138
1.4E+08
111701508
28881552
1.89508064
2.11E+08
161948897
33301609
1.710354474
2.88E+08
217358777
30838381
1.450995193
3.4E+08
241815130
45260513
1.577101423
3.85E+08
275701911
66897306
2.142705102
5.27E+08
356060771
83826314
2.264986239
5.45E+08
381222616
111079683
2.279060115
7.55E+08
575815249
124766116
2.687847168
1.01E+09
853419000
120306628
2.137947069
1.7E+09
1376861378
126600922
1.497419891
2.14E+09
1601140064
106135519
1.214367346
2.72E+09
2184549980
114488104
1.333289639
2.57E+09
1917811147
179777365
1.835265013
2.46E+09
1658706844
213468608
2.33438795
3.15E+09
2324674508
179104363
1.953194902
3.73E+09
3048941878
199714795
2.069927362
2.2E+09
1436279771
234760894
1.988205488
7.1E+09
5003295088
75
Lampiran 3. Data Riil Periode 1988-2006 Tahun
DS
1988
0.32
1989
0.49
1990
0.77
1991
0.92
1992
0.5
1993
0.68
1994
0.81
1995
0.84
1996
1
1997
1.18
1998
1.28
1999
1.05
2000
1.16
2001
1.23
2002
1.75
2003
1.79
2004
1.37
2005
1.38
2006
1.44
VE (Kg) 4109390 8711736 15240276 19470589 21253262 28698543 31220958 37009635 48739251 46418605 56272033 84546040 87399846 85868892 97957169 91445215 91698152 96483963 1.18E+08
HE (USD/Kg)
NO Riil
NI Riil
PRO Riil(%)
1.780292939
396842297.3
2.92E+08
135.9983771
1.777028138
488813772
3.91E+08
125.1684507
1.89508064
696666179.3
5.34E+08
130.575124
1.710354474
860222692.9
6.5E+08
132.3151749
1.450995193
956965102.3
6.8E+08
140.6510093
1.577101423
1026066049
7.35E+08
139.641508
2.142705102
1321810897
8.92E+08
148.1415615
2.264986239
1232969644
8.63E+08
142.8615075
2.279060115
1649483585
1.26E+09
131.109628
2.687847168
2137025384
1.8E+09
118.8634188
2.137947069
2182710803
1.77E+09
123.5770346
1.497419891
2223499665
1.66E+09
133.9101439
1.214367346
2719573341
2.18E+09
124.4912392
1.333289639
2298965331
1.72E+09
133.8877596
1.835265013
1986772862
1.34E+09
148.5491973
2.33438795
2419001163
1.78E+09
135.6183072
1.953194902
2748058805
2.25E+09
122.32655
2.069927362
1390450232
9.08E+08
153.0843083
1.988205488
3649262967
2.57E+09
141.9066016
Sumber BPS, 2006 Keterangan : DS = Daya Saing PRO = Produktivitas NO = Nilai Output NI = Nilai Input VE = Volume Ekspor HE = Harga Ekspor Rumus : Tingkat produktivitas = Nilai Output x 100% Nilai Input
76
Lampiran 4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia Dependent Variable: DS Method: Least Squares Date: 09/05/09 Time: 02:54 Sample: 1988 2006 Included observations: 19 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DUMMY LNHE PRO LNVE C
0.383620 0.648123 7.88E-06 0.208524 -3.190478
0.131538 0.198781 0.003999 0.071672 1.217833
2.916415 3.260491 0.001972 2.909408 -2.619799
0.0113 0.0057 0.9985 0.0114 0.0202
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.879595 0.845193 0.160646 0.361299 10.68381 1.288428
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1.050526 0.408296 -0.598296 -0.349759 25.56853 0.000003
Lampiran 5. Uji Multikoliniearitas Faktor-Faktor Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia
DUMMY PRO LNHE LNVE
DUMMY
PRO
LNHE
LNVE
1.000000 0.039038 -0.195851 0.793164
0.039038 1.000000 0.007819 0.116128
-0.195851 0.007819 1.000000 0.043662
0.793164 0.116128 0.043662 1.000000
Lampiran 6.Uji Heteroskedastisitas Faktor-Faktor Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia White Heteroskedasticity Test: F-statistic
0.526672
0.797541 Probability
Obs*R-squared
4.769440
0.688076 Probability
Lampiran 7. Uji Autokorelasi Faktor-Faktor Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
1.809950
0.205598 Probability
Obs*R-squared
4.403235
0.110624 Probability
77
Lampiran 8. Uji Normalitas Faktor-Faktor Mempengaruhi Daya Saing Hasil Olahan Kakao Indonesia 5 Series: Residuals Sample 1988 2006 Observations 19
4
3
2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-3.55E-16 -0.035753 0.325297 -0.212028 0.141676 0.935872 3.127229
Jarque-Bera Probability
2.786361 0.248284
1
0 -0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3