ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI FURNITURE ROTAN INDONESIA
OLEH ADRIAN RAMADHAN H14051439
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ADRIAN RAMADHAN. Analisis Daya Saing Industri Furniture Rotan Indonesia (dibimbing oleh IDQAN FAHMI). Rotan Indonesia mempunyai posisi yang dominan di pasar dunia, yaitu menguasai 80 persen bahan baku rotan dunia. Pada tahun 1980an hingga awal krisis ekonomi, industri furniture rotan Indonesia berkembang pesat dan menyumbangkan devisa yang cukup besar melalui nilai ekspornya yang cukup tinggi. Akan tetapi, akibat dari dibukanya ekspor rotan mentah dan setengah jadi melalui kebijakan pemerintah SK No: 12/M/Dag/Per/6/2005, berakibat pada industri furniture rotan domestik kekurangan bahan baku. Permasalahan ini berakibat kepada menurunnya daya saing produk furniture rotan Indonesia di pasar internasional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat daya saing industri furniture rotan Indonesia, baik secara komparatif maupun kompetitif. Selain itu, akan dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri furniture rotan itu sendiri, sehingga dapat diambil kebijakan yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing produk furniture rotan Indonesia di pasar internasional. Pada penelitian ini, untuk melihat tingkat daya saing produk furniture rotan Indonesia digunakan analisis RCA (Revealed Comparative Advantage). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing secara kuantitatif dilakukan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Squared), sedangkan secara deskriptif digunakan teori Porter’s Diamond. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat daya saing produk furniture rotan Indonesia yang tinggi di pasar internasional. Pada masa krisis ekonomi, produk ini mengalami guncangan berupa penurunan nilai RCA ke angka 2,12, akan tetapi pada tahun 1999 sudah dapat bangkit kembali ke 8,66. Ironisnya, dengan adanya kebijakan pemerintah pada tahun 2005, daya saing produk furniture rotan Indonesia kembali melemah. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri furniture rotan menggunakan metode OLS menunjukkan bahwa tingkat daya saing dipengaruhi oleh nilai produksi furniture rotan, nilai ekspor furniture rotan, dan kebijakan pemerintah, sedangkan yang tidak berpengaruh terhadap daya saing furniture rotan Indonesia adalah tingkat produktivitas industri furniture rotan, dan volume ekspor bahan baku industri furniture rotan yang berupa rotan mentah dan setengah jadi. Pada hasil analisis menggunakan Porter’s Diamond ditunjukkan bahwa industri furniture rotan nasional kurang kompetitif. Beberapa hal yang menjadi kendala perkembangan industri furniture rotan adalah infrastruktur serta industri penyedia layanan transportasi untuk distribusi masih kurang baik, ketersediaan informasi untuk akses pasar yang masih minim, dan kebijakan pemerintah yang memperbolehkan ekspor rotan mentah. Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing industri furniture rotan Indonesia antara lain dengan membatasi jumlah ekspor rotan
mentah, memperbaiki implementasi kebijakan pemerintah yang mengatur ekspor rotan mentah, memperbaiki infrastruktur maupun sarana untuk pengembangan produksi dan ekspor kerajinan rotan, serta melakukan promosi produk ekspor. Berdasarkan hasil penelitian, pemerintah diharapkan dapat membuat badan penyangga yang dapat berfungsi sebagai stabilisator ketersediaan bahan baku utama baik kuantitas, kualitas maupun harga. Melakukan perluasan pangsa pasar produk ekspor melalui promosi produk, salah satu caranya dengan melakukan pameran-pameran di luar negeri (negara importir). Melakukan kerjasama antara pemerintah dengan para pengusaha furniture rotan, serta pengumpul rotan terutama dalam penyediaan bahan baku, dan sistem transportasi serta distribusi, antara lain dengan pengadaan gudang sebagai tempat penyediaan bahan baku, serta kondisi sarana transportasi yang baik.
ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI FURNITURE ROTAN INDONESIA
Oleh ADRIAN RAMADHAN H14051439
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
: Analisis Daya Saing Industri Furniture Rotan Indonesia
Nama
: Adrian Ramadhan
NIM
: H14051439
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Ir. Idqan Fahmi, M.Ec NIP. 19631111 198811 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI FURNITURE ROTAN INDONESIA” ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Adrian Ramadhan H14051439
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Adrian Ramadhan lahir pada tanggal 19 Mei 1987 di Bogor. Penulis anak terakhir dari empat bersaudara, dari pasangan Bambang Sudiyono dan Susy Farlina. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Polisi I Bogor, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga dapat menjadi sumberdaya manusia yang berguna bagi Indonesia tercinta ini. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi seperti SES-C.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyususnan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Daya Saing Industri Furniture Rotan Indonesia”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan terselesaikan tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dengan penuh hormat kepada : 1. Kedua orang tua penulis, Bambang Sudiyono, dan Susy Farlina yang telah memberikan segala doa dan dukungannya baik secara moril maupun materil kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan secara teoritis dan teknis kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 3. Tanti Novianti, M.Si. selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik, dan ilmu yang bermanfaat dalam skripsi ini. 4. Fifi Diana Thamrin, M.Si. selaku dosen penguji pengawas pendidikan yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa dan pedoman penulisan skripsi. 5. Kepala Tata Usaha beserta staf pelaksana Departemen Ilmu Ekonomi yang telah membantu dan bekerja sama dengan penulis dalam menyelesaikan skripsi. 6. Pihak Badan Pusat Statistik Pusat yang telah memberikan data tentang produksi dan produktivitas industri furniture rotan dan IHPB tahun 19902006.
ii
7. Pihak ASMINDO khususnya Bapak Ambar Tjahyono, Bapak Hartono, dan para staff yang telah memberikan data pendukung dan gambaran mengenai kondisi industri furniture rotan Indonesia. 8. Pihak Departemen Industri, Departemen Perdagangan, dan Departemen Kehutanan yang telah memberikan data pendukung mengenai industri furniture rotan. 9. Teman-teman satu bimbingan skripsi yaitu Riza, Vagha, dan Hendra yang telah berjuang bersama dalam penyusunan skripsi. 10. Kepada teman-teman penulis yaitu Kei, Annie, dan Mark yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam mengakses jurnal dan datadata internasional. Gerry, Zaenal, Nchie, Tyas, Lukman, Embun, Ardani, Joger, dan Surya yang telah memberikan saran dan kritik dalam penyusunan skripsi serta teman-teman IE 42 dan 43 yang telah memberikan bantuan beserta dukungan yang sangat berarti kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Bogor, Agustus 2009
Adrian Ramadhan H14051439
iii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ...............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii I.
II.
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .................................................................................
1
1.2. Permasalahan....................................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................
6
1.4. Manfaat Penelitian ...........................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ....................
7
2.1. Teori Perdagangan Internasional ......................................................
7
2.2. Teori Merkantilisme .........................................................................
9
2.3. Definisi Daya Saing ......................................................................... 10 2.3.1. Keunggulan Kompetitif ........................................................ 10 2.3.2. Keunggulan Komparatif ....................................................... 14 2.4. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 15 2.5. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 16 2.6. Hipotesis ........................................................................................... 19 III.
METODE PENELITIAN .......................................................................... 21 3.1. Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 21 3.2. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 21 3.3. Metode Analisis Data ....................................................................... 21 3.4. Analisis Daya Saing (Porter’s Diamond) ........................................ 22 3.5. Analisis Daya saing Revealed Comparative Advantage (RCA) ...... 23 3.6. Metode Regresi Linear Berganda..................................................... 26 3.7. Definisi Operasional Variabel dalam Model.................................... 28 3.8. Uji Kesesuaian Model ...................................................................... 30
iv
IV.
GAMBARAN UMUM INDUSTRI FURNITURE ROTAN INDONESIA ............................................................................................ 34 4.1. Sejarah Perkembangan Industri Rotan di Indonesia ........................ 34 4.2. Perkembangan Tata Niaga Rotan ..................................................... 36 4.3. Perkembangan Industri Rotan Beberapa Tahun Terakhir ................ 38
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 40 5.1. Daya Saing Industri Furniture Rotan Indonesia ............................... 40 5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Furniture Rotan Indonesia ................................................................ 44 5.3. Keunggulan Kompetitif Industri Furniture Rotan Indonesia ........... 47 5.3.1. Kondisi Faktor ...................................................................... 48 5.3.2. Kondisi Permintaan .............................................................. 50 5.3.3. Industri Terkait dan Industri Pendukung .............................. 51 5.3.4. Persaingan, Struktur, dan Strategi Perusahaan ..................... 53 5.3.5. Peran Pemerintah .................................................................. 56 5.3.6. Peran Kesempatan ................................................................ 58 5.4. Analisis Strategi Peningkatan Daya Saing Furniture Rotan Indonesia .......................................................................................... 58
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 61 6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 61 6.2. Saran ................................................................................................. 62
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 64 LAMPIRAN ........................................................................................................ 66
v
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.1. Nilai Ekspor (US $) Rotan Indonesia Tahun 1994-2007 .......................... 3 1.2. Volume Ekspor (Ton) Rotan Indonesia Tahun 1990-2007 ....................... 4 5.1. Perkembangan Nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) dan Indeks RCA Tahun 1990-2006 .................................................................. 41 5.2. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Furniture Rotan Indonesia ......................................................................... 44 5.3. Jumlah Tenaga Kerja Industri Furniture Rotan Indonesia......................... 48 5.4. Jumlah Konsumsi Dalam Negeri Rotan Indonesia .................................... 51
vi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.1. Pangsa Pasar Ekspor Furniture Rotan Dunia .......................................... 5 2.1. Kurva Keseimbangan Parsial Perdagangan Internasional ....................... 9 2.2. Kerangka Pemikiran Operasional............................................................ 18 3.1. Diamond of Competitive Advantage ....................................................... 23
vii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Data Riil 1990-2006 .................................................................................. 67
2.
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test ........................................... 67
3.
Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang mempengaruhi Daya Saing ............... 68
4.
White Heteroscedasticity Test ................................................................... 68
5.
Correlation Matrix ..................................................................................... 68
6.
Jarque Bera-Test ........................................................................................ 69
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan potensi
sumber alam yang melimpah. Oleh karena itu struktur ekspor Indonesia pada awalnya sebagian besar berasal dari sumber alam yang dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu migas dan non migas. Dalam upaya meningkatkan ekspor produk non migas, pemerintah Indonesia berkomitmen mendukung percepatan liberalisasi perdagangan dengan melakukan pengembangan 10 produk utama, 10 produk potensial dan tiga jasa (Depperindag, 2008). Salah satu produk utama tersebut salah satunya adalah produk furniture, yang termasuk di dalamnya adalah industri furniture rotan. Rotan merupakan salah satu komoditas hasil hutan nonkayu yang cukup penting dan potensial. Rotan juga merupakan tanaman yang tumbuh di daerah tropis, sehingga tanaman ini banyak dijumpai di Indonesia. Rotan Indonesia mempunyai posisi yang dominan di pasar dunia, yaitu menguasai 80 persen bahan baku rotan dunia. Selain di Indonesia tanaman produk rotan dapat pula dijumpai di Philipina, Thailand, Malaysia, India, Vietnam, Madagaskar, dan Maroko. Namun, potensi terbesar saat ini terdapat di Indonesia. Hal ini dapat terlihat bahwa di Indonesia, rotan tumbuh secara alami dan tersebar di Daerah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya, dengan potensi sekitar 622.000 ton/tahun. (Biro Humas Depperindag, 2008). Di pasaran internasional harga ekspor rotan mentah dan setengah jadi Indonesia masih jauh lebih rendah dibanding dengan harga ekspor hasil industri
2
furniture rotan. Apabila dibandingkan, ekspor hasil industri furniture rotan lebih menguntungkan (Asmindo, 2009). Selain itu, industri kerajinan rotan tidak memerlukan investasi yang besar serta mampu menyerap tenaga kerja yang banyak, sehingga Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan industri furniture rotan, karena selain memiliki pasokan bahan baku murah, Indonesia juga memiliki potensi tenaga kerja yang cukup banyak. Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa industri furniture rotan memiliki nilai ekpor yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Diawali dengan nilai total ekspor sebesar US$ 348,1 juta pada tahun 1994, yang kemudian meningkat pada tahun 1995 ke nilai US$ 368,1 juta. Pada masa krisis, nilai ekspor Indonesia mengalami kemerosotan, yang dapat dilihat pada tahun 1997 dan 1998 dimana nilai ekspor turun ke angka US$ 194,9 juta dan US$ 64,4 juta. Pada tahun tersebut pemerintah terpaksa memberlakukan kebijakan yang membuka ekspor rotan bulat tanpa dikenakan pajak. Ketika ekspor rotan mentah dibuka, Cina, Vietnam, Kamboja, dan Filipina langsung membeli rotan dari Indonesia. Akibatnya para petani rotan memilih untuk mengekspor bahan baku ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 1999, terjadi perbaikan kondisi perekonomian yang diperlihatkan oleh peningkatan kembali ekspor yang mencapai nilai 293,9 juta US$, yang kemudian mulai meningkat kembali sampai tahun 2005. Hal ini dikarenakan oleh pemberlakuan peraturan pemerintah yang melarang ekspor rotan mentah, meskipun rotan setengah jadi masih boleh diekspor, yang diindikasikan dengan nilai ekspor yang mencapai 347 juta US$ atau meningkat 3,02 persen
3
dibandingkan tahun sebelumnya. Akan tetapi pemerintah pada pertengahan tahun 2005 memberlakukan SK No:12/M/Dag/Per/6/2005 Menteri Perdagangan mengenai izin ekspor rotan dalam bentuk asalan. Hal inilah yang mengakibatkan ekspor furniture rotan Indonesia berkurang karena kesulitan dalam memperoleh bahan baku, yang dapat dilihat oleh penurunan nilai ekspor sebesar 7,01 persen atau mengalami penurunan ke nilai 319,6 juta US$ pada tahun 2007. Tabel 1.1 Nilai Ekspor (US $) Rotan Indonesia Tahun 1994-2007 Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Ekspor Barang jadi 348.132.703 368.181.825 337.074.990 194.922.004 64.371.462 293.959.391 313.537.029
Persentase perubahan 3,77 5,76 -8,45 -42,17 -66,98 356,66 6,66
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Ekspor Barang jadi 290.311.314 302.057.589 313.490.087 336.888.537 347.068.246 343.775.586 319.691.359
Persentase perubahan -7,41 4,05 3,78 7,46 3,02 -0,95 -7,01
Sumber : Asmindo (2009)
Pada Tabel 1.2 dapat dilihat bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah mempengaruhi volume ekspor furniture rotan Indonesia. Pada tahun 1990 hingga 1994 terlihat laju pertumbuhan volume ekspor rotan jadi. Hanya saja, terjadi penurunan volume ekspor pada saat krisis ekonomi, selebihnya cenderung meningkat. Pada tahun 2005 terlihat dampak dari kebijakan ekspor rotan mentah, yaitu berakibat kepada menurunnya volume ekspor barang jadi rotan sebesar 5,58 persen. Pengaruh kebijakan ini mengakibatkan petani rotan lebih tertarik untuk mengekspor bahan baku rotan ketimbang menjualnya kepada industri domestik. Hal ini diakibatkan antara lain karena harga yang ditawarkan oleh industri pengrajin rotan di luar negeri lebih tinggi dibandingkan industri dalam negeri.
4
Tabel 1.2 Volume Ekspor (Ton) Rotan Indonesia Tahun 1990-2007 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Ekspor Barang Jadi 74,951 87,166 88,361 102,490 104,282 103,669 86,926 194,666 22,315
Persentase Tahun Perubahan 60.10 1999 16.30 2000 1.37 2001 15.99 2002 1.75 2003 -0.59 2004 -16.15 2005 123.95 2006 -88.54 2007
Ekspor Barang Jadi 112,078 117,976 115,945 133,387 136,888 136,452 128,838 132,914 112,732
Persentase Perubahan 402.26 5.26 -1.72 15.04 2.62 -0.32 -5.58 3.16 -15.18
Sumber: Asmindo (2009)
Dari Gambar 1.1 dapat dilihat pangsa pasar ekspor furniture rotan di dunia, Indonesia menduduki peringkat ke 3 dunia. Pangsa pasar yang dikuasai Indonesia saat ini sebesar 7,68 persen dari keseluruhan pangsa pasar dunia. Meski demikian, Indonesia masih sulit untuk bersaing dengan Cina maupun Italia yang menguasai pangsa pasar masing-masing sebesar 20,72 persen dan 17,71 persen untuk komoditi furniture rotan ini. Hal ini sungguh ironis melihat kenyataan bahwa Indonesia selaku pemilik kekayaan bahan baku rotan mentah hanya memiliki pangsa pasar 7,68 persen. Melihat permasalahan yang dihadapi Indonesia ini, maka diperlukan untuk melakukan penelitian mengenai “analisis daya saing industri furniture rotan Indonesia”.
1.2
Permasalahan Seperti yang dikemukakan pada latar belakang, industri furniture rotan
Indonesia memiliki keunggulan dalam kepemilikan bahan baku yang dapat diperoleh dari dalam negeri. Pada tahun 1980an hingga awal krisis ekonomi,
5
industri furniture rotan indonesia berkembang pesat dan menyumbangkan devisa yang cukup besar melalui nilai ekspornya yang cukup tinggi.
Sumber : UNComtrade (2009)
Gambar 1.1 Pangsa Pasar Ekspor Furniture Rotan Dunia Akibat dari dibukanya ekspor rotan mentah dan setengah jadi melalui kebijakan pemerintah SK No: 12/M/Dag/Per/6/2005 mengakibatkan industri furniture rotan domestik kekurangan bahan baku. Hal ini cukup mengherankan, karena Indonesia selaku produsen bahan baku rotan tidak mampu untuk memenuhi industri dalam negerinya sendiri. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang dapat dibentuk adalah : 1. Bagaimana daya saing industri furniture rotan Indonesia? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi daya saing industri furniture rotan Indonesia?
6
3. Strategi apa yang dapat mendukung peningkatan daya saing industri furniture rotan Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah dirumuskan, penelitian
ini bertujuan untuk : 1. Menganalisa daya saing industri furniture rotan Indonesia. 2. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri furniture rotan Indonesia. 3. Merumuskan strategi peningkatan daya saing industri furniture rotan Indonesia.
1.4
Manfaat Penelitian 1. Memberikan masukan kepada pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kinerja industri furniture rotan Indonesia, yaitu dengan menetapkan kebijakan yang mendukung Industri furniture rotan Indonesia. 2. Memberikan informasi kepada para pelaku usaha yang bergerak di bidang Industri furniture rotan Indonesia untuk meningkatkan kinerjanya. 3. Menambah khasanah literatur mengenai studi Industri furniture rotan Indonesia bagi pihak yang berkepentingan sehingga dapat menambah wawasan baru bagi masyarakat. 4. Untuk penulis dapat digunakan sebagai penyelaras teori di perkuliahan dengan kondisi nyata yang terjadi.
7
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain (Todaro, 1994). Ada
beberapa
faktor
yang
mendorong
timbulnya
perdagangan
internasional suatu negara dengan negara lain, yaitu keinginan untuk memperluas pemasaran
komoditi
ekspor,
memperbesar
penerimaan
bagi
kegiatan
pembangunan, adanya perbedaan penawaran permintaan antar negara dan tidak semua negara mampu untuk menyediakan kebutuhan masyarakatnya akibat adanya perbedaan relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional dapat dilihat dari teori penawaran dan permintaan (Tambunan, 2001). Dari teori penawaran dan permintaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional terjadi karena adanya kelebihan produksi dalam negeri (penawaran) dan kelebihan permintaan negara lain. Teori ini menggunakan konsep dasar penawaran dan permintaan domestik untuk kasus dua negara dengan suatu komoditi perdagangan tertentu. Misalkan kondisi penawaran dan permintaan negara A terhadap komoditi i di pasar digambarkan masing-masing melalui SA dan DA, serta SB dan DB untuk negara B.
8
Tanpa adanya perdagangan internasional, keseimbangan yang terjadi di negara A akan dicapai pada kondisi keseimbangan domestik, dimana volume transaksi berada di QA dan harga PA. Di negara B, keseimbangan akan tercapai pada kondisi volume transaksi berada di titik QB dan harga di PB, dengan menggunakan asumsi harga domestik di negara A lebih murah dibandingkan dengan negara B untuk komoditi tersebut. Dilihat dari struktur yang terjadi di negara A, harga yang terjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga yang terjadi di negara B. Jika harga yang terjadi di pasar negara A meningkat maka akan mengakibatkan peningkatan penawaran melebihi dari jumlah yang diminta konsumen di negara tersebut, yang mengakibatkan terjadinya excess supply di negara A. Sementara kondisi yang berlaku di negara B adalah ketika harga yang berlaku turun di bawah PB, akan mengakibatkan bertambahnya permintaan barang dan mengurangi penawaran barang tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya excess demand di negara B. Apabila terjadi perdagangan internasional antar kedua negara dengan mengasumsikan biaya transportasi adalah nol, kondisi permintaan dan penawaran yang terjadi akan berubah. Penawaran eksport di pasar internasional akan digambarkan oleh SW yang merupakan excess supply function dari negara A, dan fungsi permintaan akan digambarkan oleh DW yang merupakan excess demand function dari negara B, dan menciptakan keseimbangan yang terjadi saat harga berada di titik PW. Dengan kondisi yang berlaku saat perdagangan ini, maka negara A akan mengekspor (QA2-QA1) dengan jumlah yang sama dengan negara B
9
(QB2-QB1). Jumlah ekspor dan impor tersebut ditunjukkan oleh volume perdagangan sebesar QW pada pasar internasional. P
P DA
SA
P
SB
DB
SW
DW
PB PW PA
QA1 QA QA2
Q
QW
Q
QB1
QB
QB2
Q
Sumber : Tambunan (2001)
Gambar 2.1 Kurva Keseimbangan Parsial Perdagangan Internasional
2.2
Teori Merkantilisme Merkantilisme adalah suatu teori ekonomi yang menyatakan bahwa
kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan, dan besarnya volume perdagangan internasional amat penting. Aset ekonomi atau modal negara dapat digambarkan secara nyata dengan jumlah kapital yang dimiliki oleh negara dan modal ini dapat diperbesar jumlahnya dengan meningkatkan ekspor dan mencegah impor, sehingga neraca perdagangan akan selalu positif. Kebijakan merkantilisme masih dilakukan oleh banyak negara melalui kebijakan proteksi untuk melindungi dan mendorong ekonomi nasional dengan menggunakan kebijakan tarif maupun non tarif. Biasanya kebijakan tarif dilakukan dengan menggunakan kebijakan berupa pembebanan bea masuk impor. Meskipun demikian, kebijakan proteksi yang kini lebih banyak dilakukan
10
biasanya dalam bentuk nontarif, seperti larangan, sistem kuota, ketentuan teknis, karantina, dan lain sebagainya.
2.3
Definisi Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar
luar negeri dan kemampuan untuk bertahan di dalam pasar tersebut, dalam artian jika suatu produk memiliki daya saing maka produk tersebut banyak diminati konsumen. Daya saing juga mengacu pada kemampuan suatu Negara untuk memasarkan produknya yang dihasilkan Negara itu relatif terhadap kemampuan Negara lain (Astuty, 2000). Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
2.3.1 Keunggulan kompetitif Menurut Hady (2001), keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang dimiliki oleh suatu Negara atau bangsa untuk dapat bersaing di pasar internasional. Menurut konsep keunggulan kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Porter, dalam persaingan global suatu bangsa atau negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional jika memiliki empat faktor utama yaitu kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung yang kompetitif (related and supporting industry), serta kondisi struktur, persaingan dan strategi industri (firm strategy, structure, and rivalry).
11
Disamping keempat faktor utama, terdapat dua faktor yang mempengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu faktor kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah (government). Secara bersama-sama faktor-faktor ini membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut porter’s diamond (Porter, 1998). 1.
Kondisi Faktor (factor condition) Dalam persaingan suatu bangsa dengan bangsa lain, sumberdaya
merupakan faktor produksi yang penting untuk bersaing. Faktor sumberdaya terdiri dari lima kelompok, (1) Sumberdaya manusia, Sumberdaya manusia terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja. (2) Sumberdaya fisik atau alam yang mencakup ketersediaan air, mineral, energi serta sumberdaya pertanian, perikanan, perkebunan, dan kehutanan sebagai bahan baku yang dibutuhkan dalam industri. (3) Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Sumberdaya ini terdiri dari ketersediaan pengetahuan pasar, pengetahuan teknis, pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa. Sama halnya dengan ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga statistik, literatur bisnis, basis data, laporan penelitian serta sumber pengetahuan dan teknologi lainnya. (4) Sumberdaya modal yang terdiri dari jumlah dan biaya yang tersedia, jenis pembiayaan atau sumber modal, aksetabilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan. (5) Sumberdaya infrastruktur terdiri dari sistem transportasi, komunikasi, pos, dan
12
giro, serta system pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik, dan lain-lain. Kelima kelompok tersebut sangat mempengaruhi daya saing nasional. 2.
Kondisi Permintaan Kondisi permintaan sangat mempengaruhi besarnya daya saing suatu
komoditi atau produk, dimana kondisi permintaan tersebut dapat berasal dari pasar domestik dan pasar internasional. Kondisi ini memerankan peran yang penting dalam meningkatkan daya saing, karena ketika permintaan semakin besar terhadap produk tersebut, maka akan semakin besar produsen mencoba untuk memenuhi kebutuhan konsumen tersebut. Di lain pihak, kondisi permintaan masyarakat yang semakin maju juga akan menciptakan industri untuk selalu meningkatkan mutu dari produknya tersebut, serta akan terus berupaya melakukan inovasi guna memenuhi permintaan konsumennya. 3.
Industri Terkait dan Industri Pendukung (related and supporting industry). Industri pendukung memegang peranan yang penting dalam ikut
mengembangkan usaha jika industri tersebut berkembang dengan baik. Dengan adanya industri pendukung terkait, dapat menciptakan efisiensi dan sinergi. Industri pendukung yang ada bisa diklasifikasikan ke dalam dua jenis yaitu industri pendukung dalam penyediaan faktor produksi/pasar faktor produksi (market of factors of production) dan industri pendukung dalam proses pasca produksi. Industri terkait dan industri pendukung dapat mempengaruhi daya saing secara global, diantaranya dengan pengadaan industri hulu yang menjamin pasokan input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah, mutu yang
13
lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman yang cepat dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan industri. Sama halnya dengan industri hilir yang mendukung proses pasca produksi yang mendukung distribusi barang dari industri utama ke konsumen. Dengan menciptakan industri pendukung yang baik, efisiensi dapat tercapai terutama dengan berkurangnya biaya transaksi maupun biaya transportasi. 4.
Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan (Firm Strategy, Structure, and Rivalry). Tingkat persaingan bagi perusahaan akan mendorong kompetisi dan
inovasi. Dengan adanya persaingan, akan memotivasi perusahaan atau industri untuk selalu meningkatlan kualitas produk yang dihasilkan dan selalu mencari inovasi baru. Persaingan ini akan selalu memotivasi perusahaan agar senantiasa mengembangkan produk baru, memperbaiki produk yang ada, berupaya untuk menurunkan harga dan biaya, mengembangkan teknologi baru, serta memperbaiki mutu serta pelayanan. Pada akhirnya dengan didukung adanya persaingan yang sehat, perusahaan akan mencari strategi baru yang cocok dan berupaya untuk selalu meningkatkan efisiensi. 5.
Peran Pemerintah (Government) Peran pemerintah merupakan faktor yang tidak berpengaruh langsung
terhadap peningkatan daya saing global, akan tetapi berpengaruh terhadap faktorfaktor penentu daya saingnya. Pengaruh pemerintah dapat terjadi melalui kebijakan-kebijakan pemerintah baik dalam kebijakan fiskal maupun moneter yang mempengaruhi faktor-faktor penentu daya saing industri. Pemerintah dapat mempengaruhi berbagai sumber daya yang tersedia melalui kebijakan yang menyangkut tenaga kerja, pendidikan, pembentukan modal, sumber daya alam
14
serta penetapan standar mutu produk. Selain hal tersebut, pemerintah memegang peranan dalam kemudahan akses birokrasi serta perbaikan kualitas infrastruktur. 6.
Peran Kesempatan (Chance Event) Peran kesempatan menciptakan lingkungan bersaing karena berada diluar
kendali perusahaan maupun pemerintah, namun mempengaruhi tingkat daya saing. Beberapa contoh hal yang dianggap sebagai kesempatan adalah perubahan harga minyak yang dapat mempengaruhi biaya perusahaan, pergeseran dramatik dalam biaya faktor produksi atau kondisi politik yang dapat menguntungkan bagi peningkatan daya saing.
2.3.2
Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif memiliki artian kepada kemampuan seseorang
atau suatu negara untuk memproduksi suatu barang atau jasa dengan biaya marginal dan opportunity cost yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lain. Dalam hal ini, kemampuan suatu negara dalam memproduksi barang atau jasa secara efisien dapat diartikan sebagai negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan negara lain. Hal inilah yang menjelaskan bagaimana suatu perdagangan bisa terjadi dan dapat menguntungkan kedua belah pihak. Agar dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan negara lain, suatu negara akan melakukan spesialisasi dalam produksi komoditi yang dapat dilakukan lebih efisien (memiliki keunggulan absolut) dan mengimpor komoditi yang kurang efisien (mengalami kerugian absolut). Konsep yang dipopulerkan oleh David Ricardo (1923) mengenai keunggulan komparatif ini menyatakan
15
bahwa perdagangan yang saling menguntungkan antar kedua negara masih dapat berlangsung sekalipun suatu negara mengalami ketidakunggulan absolut untuk memproduksi dua komoditi jika dibandingkan dengan negara lain (Tambunan, 2001).
2.4
Penelitian Terdahulu Penelitian Sunenti (2005) dalam skripsinya mengenai aliran perdagangan
dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor mebel rotan Indonesia, dengan model analisis yang digunakan adalah regresi dengan gravity model. Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan per kapita, biaya transportasi dan populasi mempengaruhi aliran perdagangan mebel rotan di Indonesia. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa biaya transportasi berpengaruh terhadap ekspor, dan menjadi pertimbangan yang sangat penting. Akan tetapi, pengaruh dari nilai tukar dan harga mebel rotan tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam mempengaruhi permintaan ekspor mebel rotan Indonesia Penelitian Junaidi pada tahun 2007, tentang dampak kebijakan ekspor rotan mentah terhadap keragaan industri kecil menengah produk jadi rotan di kabupaten Cirebon. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis keragaan usaha model Hayami. Berdasarkan analisis keragaan usaha, kebijakan ekspor rotan mentah berdampak negatif terhadap pendapatan industri kecil menengah produk jadi rotan di Kebupaten Cirebon. Dengan adanya kebijakan ekspor rotan mentah, menyebabkan pendapatan yang diterima oleh industri kecil dan menengah yang masing-masing sebesar 70,14 persen dan 31,38
16
persen. Selain itu, penurunan juga terjadi pada nilai tambah yang dihasilkan, pendapatan tenaga kerja langsung, serta keuntungan industri. Virnaristanti pada tahun 2008 menganalisis faktor yang mempengaruhi ekspor mebel dan kerajinan rotan Indonesia ke Jepang. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda. Hasil analisis menjelaskan bahwa ekspor mebel dan kerajinan rotan ke Jepang dipengaruhi oleh produksi mebel dan kerajinan rotan, harga ekspor mebel dan kerajinan rotan di pasar internasional, pendapatan perkapita Indonesia maupun Jepang, jumlah penduduk Indonesia dan Jepang, serta pengaruh kebijakan ekspor-impor. Pada penelitian-penelitian sebelumnya belum ada yang menganalisis mengenai daya saing industri furniture rotan. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dianalisis daya saing furniture rotan dengan melihat variabel-variabel yang diperkirakan menjadi faktor yang mempengaruhi daya saing industri tersebut.
2.5
Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilatarbelakangi oleh peluang Indonesia sebagai produsen
furniture rotan di pasar Internasional. Indonesia memiliki kekayaan alam dalam menghasilkan rotan mentah yang merupakan bahan baku utama dalam produksi furniture rotan. Sejak abad 18 Indonesia merupakan negara pemasok utama rotan mentah dunia. Hingga pada tahun 1980an Indonesia mulai menutup keran ekspor rotan mentahnya untuk menghidupi industri pengolahannya. Sejak saat itu industri furniture rotan Indonesia mulai berkembang. Dengan didukung oleh ketersediaan pasokan rotan yang melimpah, produk furniture rotan Indonesia mulai diminati dunia dan menjadi salah satu negara pengekspor furniture rotan utama.
17
Furniture rotan itu sendiri amat diminati oleh masyarakat asing, terutama Eropa dan Amerika Serikat, karena barang-barang rotan memiliki kesan eksotis kebudayaan Timur. Jepang juga merupakan negara pengimpor produk furniture rotan utama. Dengan pangsa pasar yang cukup besar, Indonesia bersaing dengan negara penghasil furniture rotan yang terlebih dahulu masuk ke dalam pasar ini seperti Cina dan Italia. Pada tahun 2005 pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui SK No: 12/M/Dag/Per/6/2005 mengenai ekspor rotan mentah dan setengah jadi. Ketika keran ekspor rotan mentah dibuka, produsen furniture rotan Indonesia kekurangan pasokan bahan baku, karena bahan baku rotan lebih banyak yang diekspor. Akibatnya terjadi penurunan dari volume serta nilai ekspor rotan Indonesia. Hal ini disebabkan karena industri-industri furniture rotan di Indonesia bersaing dalam melakukan pembelian bahan baku rotan dengan negara pesaing. Dengan kondisi seperti ini, maka timbul permasalahan mengenai prospek dan perkembangan furniture rotan Indonesia di masa datang. Konsep keunggulan komparatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode RCA (Revealed Comparative Advantage) yang didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk/komoditi terhadap total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia.
18
Peluang Indonesia sebagai produsen furniture rotan di pasar Internasional
Pangsa pasar furniture Indonesia di pasar internasional
SK No: 12/M/Dag/Per/6/2005
Terjadi penurunan volume ekspor mebel dan kerajinan rotan
Tingkat faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing
Tingkat daya saing
Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Porter’s Diamond Theory
Ordinary Least Square (OLS)
Strategi Peningkatan Daya Saing Furniture Rotan
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Operasional
19
Tahapan dalam penelitian ini adalah pengkajian potensi, kendala, dan peluang industri furniture rotan Indonesia. Analisis yang dilakukan dengan pendekatan Porter’s Diamond tentang keunggulan bersaing negara-negara. Dalam penelitian ini berarti menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan kompetitif komoditas yang diteliti yaitu industri furniture rotan Indonesia. Pendekatan lain yang digunakan adalah analisis kuantitatif yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA). RCA digunakan untuk menjelaskan kekuatan daya saing industri furniture rotan Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain (dunia) yang juga menunjukkan posisi komparatif Indonesia sebagai produsen furniture rotan dibandingkan negara lainnya di pasar furniture rotan internasional. Analisis kuantitatif lainnya adalah metode regresi linear berganda dengan menggunakan metode analisis OLS (Ordinary Least Square) untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing furniture rotan Indonesia. Setelah itu merumuskan strategi yang dapat mendukung peningkatan daya saing furniture rotan Indonesia.
2.6
Hipotesis Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Industri furniture rotan Indonesia memiliki daya saing yang tinggi. 2. Industri furniture Indonesia memiliki peningkatan kinerja ekspor di pasar internasional.
20
3. Seluruh variabel bebas yang digunakan dalam analisis faktor yang mempengaruhi daya saing (nilai ekspor furniture rotan, volume ekspor bahan baku rotan, produksi furniture rotan, produktivitas, dan kebijakan ekspor) memiliki pengaruh terhadap variabel tidak bebas (daya saing furniture rotan Indonesia). Dimana: •
Nilai ekspor furniture rotan memiliki hubungan positif terhadap daya saing industri furniture rotan Indonesia. Semakin tinggi nilai ekspor, semakin tinggi daya saing industri furniture rotan Indonesia.
•
Volume ekspor bahan baku rotan berhubungan negatif terhadap daya saing industri furniture rotan Indonesia. Ketika volume ekspor bahan baku rotan meningkat, maka akan menurunkan daya saing industri rotan Indonesia.
•
Nilai produksi furniture rotan Indonesia diduga memiliki pengaruh yang positif terhadap daya saing industri furniture rotan Indonesia. Semakin tinggi nilai produksi furniture rotan Indonesia, maka akan semakin tinggi tingkat daya saing industri furniture rotan Indonesia.
•
Produktivitas memiliki koefisien positif terhadap daya saing furniture rotan Indonesia. Semakin tinggi produktivitas industri furniture rotan, maka akan meningkatkan pula daya saing industri furniture rotan Indonesia
•
Dummy kebijakan ekspor rotan memiliki koefisien negatif terhadap daya saing furniture rotan Indonesia. Ketika pemerintah membuka ekspor rotan mentah Indonesia melalui kebijakannya, akan menurunkan daya saing industri rotan Indonesia.
21
III.
3.1
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun
data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah data yang berasal dari beberapa instansi yang terkait dengan objek penelitian seperti Badan Pusat Statistik, Departemen Perindustrian RI, Departemen Perdagangan RI, Departemen Kehutanan, UNComtrade, serta studi kepustakaan melalui pengumpulan data yang bersumber dari buku-buku dan literatur. Jenis data yang digunakan adalah data deret waktu (time series) berupa data tahunan dari tahun 1990 hingga 2006. Jenis data meliputi data produksi, produktivitas, nilai ekspor barang jadi, volume ekspor bahan baku, total ekspor Indonesia, dan total ekspor dunia.
3.2
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membatasi pada rotan dalam bentuk barang jadi, yaitu
berupa furniture rotan. Industri furniture rotan dianalisis berdasarkan harmonized system (HS) dengan kode HS940380100: furniture of rattan.
3.3
Metode Analisis Data Analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif kualitatif dan analisis
kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif untuk menjelaskan pengkajian potensi, kendala, dan peluang yang berarti menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan kompetitif industri furniture rotan Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan Porter’s Diamond.
22
Sedangkan untuk analisis kuantitatif yang berguna untuk menjelaskan kekuatan daya saing digunakan analisis RCA (Revealed Comparative Advantage) serta untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri furniture rotan Indonesia, digunakan metode regresi linear berganda yaitu menggunakan model analisis OLS (Ordinary Least Square). Hasil dari analisis kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk merumuskan strategi yang dapat mendukung peningkatan daya saing industri furniture rotan Indonesia.
3.4
Analisis Daya Saing (Porter’s Diamond) Keunggulan
kompetitif
dalam
penelitian
ini
dianalisis
dengan
menggunakan Porter’s Diamond. Metode ini merupakan metode kualitatif yaitu menganalisis tiap komponen dalam Porter’s Diamond, yang seperti ditampilkan pada gambar. a. Factor Condition (FC) yaitu faktor-faktor produksi seperti Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, modal, infrastruktur, dan IPTEK. b. Demand Condition (DC) yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa dalam negeri. c. Related and Supporting Industries (RSI) yaitu keadaan industri pendukung dan terkait yang dapat meningkatkan efisiensi dan sinergi industri. d. Firm Strategy, Structure, and Rivalry (FSSR) yaitu strategi yang digunakan perusahaan pada umumnya, struktur industri serta keadaan kompetisi dalam industri. Selain itu terdapat komponen lain yang terkait dengan keempat komponen utama tersebut yaitu peran pemerintah dan kesempatan. Keempat faktor utama
23
dan dua faktor pendukung tersebut saling berinteraksi. Dari hasil analisis faktor penentu daya saing selanjutnya ditentukan komponen yang menjadi keunggulan dan kelemahan daya saing industri furniture rotan. Hasil keseluruhan interaksi antar komponen yang saling mendukung sangat menentukan perkembangan yang dapat menjadi competitive advantage dari suatu industri. Kondisi Faktor
Strategi dan Struktur Persaingan
Demand Condition
Industri Terkait dan Pendukung Sumber : Porter (1998)
Gambar 3.1 Diamond of Competitive Advantage
3.5
Analisis Daya saing Revealed Comparative Advantage (RCA) RCA yang dikemukakan oleh Balassa (1965) merupakan salah satu alat
ukur untuk menentukan tingkat kemampuan daya saing komoditas tertentu di pasar internasional. Rasio RCA ini akan digunakan dalam melakukan analisis perdagangan internasional untuk menentukan posisi ekspor produk tertentu suatu negara terhadap produk tertentu dari negara lainnya (Laursen, 1998). Untuk mengetahui daya saing industri furniture rotan Indonesia dalam penelitian ini digunakan metode analisis Revealed Comparative Advantage (RCA). Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah
24
sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk/komoditi terhadap total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia. RCA didefinisikan bahwa jika pangsa ekspor furniture rotan di dalam total ekspor komoditi dari suatu negara lebih besar dibandingkan pangsa pasar ekspor komoditi furniture rotan di dalam total ekspor komoditi dunia, diharapkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dalam produksi dan ekspor komoditi furniture rotan. Apabila nilai RCA lebih dari satu berarti Negara itu mempunyai keunggulan komparatif (di atas rata-rata dunia) untuk komoditi furniture rotan, yang dalam penelitian ini artinya komoditas tersebut berdaya saing kuat. Sebaliknya jika nilainya lebih kecil dari satu berarti keunggulan komparatif untuk komoditi furniture rotan rendah atau berdaya saing lemah. Kinerja ekspor furniture rotan terhadap total ekspor Indonesia ke pasar dunia yang selanjutnya dibandingkan dengan pangsa nilai ekspor furniture rotan dunia terhadap total nilai ekspor dunia, digunakan rumus RCA : Xij
RCAij =
Wj
Xis .................................................................................................. (3.1) Ws
Dimana: RCAij
= keunggulan komparatif (daya saing) Indonesia tahun ke t
Xij
= nilai ekspor furniture rotan Indonesia tahun ke t (US$)
Xis
= nilai total ekspor Indonesia tahun ke t (US$)
Wj
= nilai ekspor furniture rotan dunia tahun ke t (US$)
25
Ws
= nilai total ekspor produk dunia tahun ke t (US$)
j
= komoditi
t
= tahun ke-t
Nilai daya saing dari suatu komoditi ada dua kemungkinan, yaitu : 1. Jika nilai RCA > 1, berarti suatu negara memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia sehingga komoditi tersebut memiliki daya saing kuat.
2. Jika nilai RCA < 1, berarti suatu negara memiliki keunggulan komparatif di bawah rata-rata dunia sehingga suatu komoditi memiliki daya saing yang lemah. Indeks RCA merupakan perbandingan antara nilai RCA sekarang dengan nilai RCA tahun sebelumnya. Rumus indeks RCA adalah sebagai berikut : Indeks RCA =
RCA t ············································································ (3.2) RCA t − 1
Dimana : RCA t
= nilai RCA tahun sekarang (t)
RCA t-1
= nilai RCA tahun sebelumnya (t-1)
t
= 1990,…2006. Nilai indeks RCA berkisar dari nol sampai tak hingga. Nilai indeks RCA
sama dengan satu berarti tidak terjadi kenaikan RCA atau kinerja ekspor di pasar internasional tahun sekarang sama dengan tahun sebelumnya. Nilai RCA lebih kecil dari satu berarti terjadi penurunan RCA atau kinerja ekspor di pasar internasional sekarang lebih rendah dari tahun sebelumnya. Nilai indeks RCA lebih besar dari satu berarti terjadi peningkatan RCA atau kinerja ekspor dipasar internasional sekarang lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
26
3.6
Metode Regresi Linear Berganda Metode analisis yang digunakan untuk melakukan analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi daya saing industri furniture rotan Indonesia adalah regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) atau metode kuadrat terkecil biasa. Dengan asumsi-asumsi tertentu, metode Ordinary Least Square (OLS) mempunyai beberapa sifat statistik yang membuatnya menjadi satu metode analisis regresi yang paling kuat (powerful) dan populer. Menurut Koutsoyianis (1977), terdapat beberapa kelebihan metode Ordinary Least Square (OLS) seperti berikut: 1. Hasil estimasi parameter yang diperoleh dengan metode OLS memiliki beberapa kondisi optimal (BLUE). 2. Tata cara pengolahan data dengan metode OLS relatif lebih mudah daripada metode ekonometrik lain, serta tidak membutuhkan data yang terlalu banyak. 3. Metode OLS telah banyak digunakan dalam penelitian ekonomi dengan berbagai macam hubungan antar variabel dengan hasil yang memuaskan. 4. Mekanisme pengolahan data dengan metode OLS mudah dipahami. 5. Metode
OLS
juga
merupakan
bagian
dari
kebanyakan
metode
ekonometrik yang lain meskipun dengan penyesuaian di beberapa bagian. Beberapa sifat penduga yang utama agar metode OLS dapat digunakan adalah tidak bias, efisien dan varian minimum (Nachrowi dan Usman, 2003). Asumsi-asumsi atau persyaratan yang melandasi estimasi koefisien regresi dengan metode OLS berdasarkan teori Gauss-Markov sebagai berikut:
27
1. E(ui) = 0 atau E(ui|xi) atau E(Yi) = β1 + β2Xi ui menyatakan variabel-variabel lain yang mempengaruhi Yi akan tetapi tidak terwakili di dalam model. 2. Tidak ada korelasi antara ui dan uj {cov(ui,uj) = 0}; i ≠ j 3. Homokedastisitas : yaitu besarnya varian ui sama atau var (ui) = σ2 untuk setiap i. 4. Kovarian antara ui dan Xi nol. {cov(ui,Xi) = 0}. Asumsi tersebut sama artinya bahwa tidak ada korelasi antara ui dan Xi. 5. Model regresi dispesifikasikan secara benar. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: •
Model harus berpijak pada landasan teori
•
Perhatikan variabel-variabel yang diperlukan.
•
Bagaimana bentuk fungsinya.
Sifat yang akan dimiliki oleh estimator pada model regresi OLS dengan memenuhi asumsi-asumsi di atas adalah BLUE. Ragam minimum (efisien) dan konsisten serta berasal dari model yang linear. Selain itu, nilai estimasi dari contoh (sample) akan mendekati populasi. Dalam penelitian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri furniture rotan Indonesia, yang diperoleh dari hasil penelitianpenelitian terdahulu, dapat dilihat dari nilai ekspor barang jadi, nilai produksi, volume ekspor bahan baku, produktivitas, dan dummy kebijakan. Secara matematis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri furniture rotan Indonesia dapat ditulis sebagai berikut :
28
DSt = f(NXt, NPt, VXBBt, PROt, DKBJt) DSt = α + β1NXt + β2NPt + β3VXBBt + β4PROt + β6DKBJt + ε ······················ (3.2) Yang kemudian, untuk menyamakan variabel yang digunakan di dalam persamaan, persamaan akan diubah ke dalam bentuk double log (kecuali variabel yang sudah dalam bentuk persen) menjadi: DSt = α + β1LnNXt + β2LnNPt + β3LnVXBBt + β4PROt + β6DKBJt + ε ········· (3.3) Di mana : α
= autonomous daya saing
βt
= parameter yang diduga, dengan t = 1, 2,...4
DSt
= daya saing industri furniture rotan pada tahun ke-t (nilai RCA)
LnNXt
= nilai ekspor furniture rotan Indonesia periode ke-t (%)
LnNPt
= nilai produksi furniture rotan Indonesia periode ke-t (%)
LnVXBBt
= volume ekspor rotan mentah dan setengah jadi Indonesia periode ke-t (%)
PROt
= produktivitas furniture rotan Indonesia periode ke-t (%)
DKBJt
= dummy kebijakan ekonomi (1 untuk saat kebijakan berlangsung, 0 untuk kondisi tanpa kebijakan)
εt
= Error term pada periode ke-t
t
= tahun ke-t
3.7
Definisi Operasional Variabel dalam Model
1.
Daya Saing Daya saing industri furniture rotan Indonesia menjadi variabel tak bebas
dalam model di atas merupakan hasil olah dari kinerja ekspor industri furniture
29
rotan Indonesia terhadap total ekspor Indonesia ke pasar dunia yang selanjutnya dibandingkan dengan pangsa nilai ekspor kerajinan rotan dunia terhadap total nilai ekspor dunia. 2.
Nilai ekspor Nilai ekspor merupakan nilai dari penjualan barang yang dilakukan oleh
suatu negara ke negara lain. Dalam penelitian ini nilai ekspor yang dimaksud adalah nilai ekspor barang-barang industri furniture rotan Indonesia. 3.
Nilai produksi Nilai produksi merupakan nilai dari output produksi yang dihasilkan oleh
industri domestik. Nilai produksi dalam penelitian ini adalah nilai output yang dihasilkan oleh industri-industri penghasil furniture rotan Indonesia. 4.
Volume ekspor bahan baku rotan Indonesia Volume ekspor rotan mentah Indonesia adalah jumlah ekspor rotan mentah
ke pasar internasional. Variabel ini menggambarkan jumlah rotan mentah Indonesia yang dijual ke luar negeri sehingga dan tidak terserap oleh industri domestik 5.
Produktivitas Produktivitas adalah tingkat output yang dihasilkan dari setiap penggunaan
input dalam menghasilkan suatu barang. Dalam hal ini produktivitas industri furniture rotan Indonesia dihitung dari pembagian antara output produksi terhadap input
produksi.
30
6.
Dummy kebijakan Dummy kebijakan ekonomi merupakan variabel pembeda antara periode
sebelum pemberlakuan kebijakan ekspor rotan mentah Indonesia. Dummy kebijakan ini berlaku dari sebelum tahun 2005 dan periode pada saat kebijakan ekspor mulai dan sedang terjadi yaitu tahun 2005 sampai dengan 2006.
3.8
Uji Kesesuaian Model Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan bahwa
model yang dihasilkan adalah baik. Pada umumnya digunakan tiga kriteria kesesuaian model sebagai berikut. 1.
Kesesuaian Ekonometrika Pengujian dengan menggunakan kriteria ekonometrika didasarkan pada
pelanggaran asumsi yang digunakan dalam metode OLS. Hal yang dapat dilihat antara lain adalah multikolinearitas, autokorelasi, dan heterokedastisitas. Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau ruang. Pengujian autokorelasi dilakukan untuk melihat kemungkinan terjadinya hubungan diantara galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Jika keberadaan autokorelasi diabaikan, maka dapat berpengaruh terhadap hasil pengujian hipotesis dan proses peramalan. Autokorelasi cenderung akan mengestimasi standar eror lebih kecil dari pada nilai sebenarnya, sehingga nilai t-statistik akan lebih besar (overestimates). Dampak yang ditimbulkan adalah uji F dan uji t menjadi tidak valid dan peramalan menjadi tidak efisisen. Meskipun demikian, hasil estimasi dan peramalannya masih bersifat konsisten dan tidak bias.
31
Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi pada hasil estimasi di atas, dapat dilakukan pengujian menggunakan metode Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis yang digunakan untuk pengujian ini antara lain adalah : H0 : tidak ada autokorelasi H1 : ada autokorelasi Taraf nyata = α Pengambilan kesimpulan dapat dilakukan dengan melihat apakah nilai probabilitas dari obs*R-squared lebih kecil atau lebih besar daripada taraf nyata α. Jika nilai obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata α, maka terima H0, artinya tidak terdapat autokorelasi dalam model regresi yang diperoleh. Heteroskedastisitas merupakan kondisi yang melanggar asumsi dari regresi linear klasik. Heteroskedastisitas menunjukkan nilai varian dari variabel bebas yang berbeda, sedangkan asumsi yang dipenuhi adalah mempunyai varian yang sama (konstan) atau homokedastisitas. Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroskedasticity Test (Gujarati, 1995). Multikolinearitas dapat menyebabkan adanya pelanggaran terhadap asumsi OLS. Jika dalam suatu model terdapat multikolinearitas, maka akan diperoleh nilai R2 yang tinggi tetapi tidak ada koefisien variabel dugaan yang signifikan. Multikolinearitas dapat diuji keberadaannya dengan melihat correation matrix. Multikolinearitas dideteksi dengan melihat koefisien korelasi antar variabel bebas. Jika korelasinya kurang dari 0,8 (rule of thumbs 0,8) maka dapat disimpulkan
32
bahwa tidak ada multikolinearitas. Tetapi jika hasilnya lebih besar dari 0,8 maka dapat disimpulkan terdapat multikolinearitas (Gujarati, 1995). Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa error term mendekati distribusi normal. Uji ini dilakukan jika jumlah sampel yang digunakan kuran dari 30 (n<30). Hipotesis pengujiannya adalah : H0 : α = 0, error term terdistribusi normal. H1 : α ≠ 1, error term tidak terdistribusi normal. Wilayah kritis penolakan H0 adalah probabilitas < α, sedangkan daerah penerimaan adalah probabilitas > α. Jika H0 ditolak maka disimpulkan error term tidak terdistribusi normal, sedangkan jika H0 diterima maka disimpulkan bahwa error term terdistribusi normal. 2.
Kriteria Statistika Uji F digunakan untuk menguji bagaimana pengaruh seluruh variabel
independen terhadap variabel dependennya. Hipotesis : H0 : β1 = β2 = … = βt = 0 (tidak ada variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen), dimana t = 1, 2, …, n H1 : Minimal ada satu βt yang tidak sama dengan 0. Jika probability t-statistic < taraf nyata (α), maka tolak H0 dan simpulkan minimal ada satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependennya. Jika probability t-statistic > taraf nyata (α), maka terima H0 dan tidak ada variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen.
33
Uji t disebut sebagai uji signifikansi variabel secara parsial, karena melihat signifikansi masing-masing variabel yang terdapat di dalam model. Besaran yang digunakan dalam uji ini adalah statistik t. Jika statistik t yang didapat pada taraf nyata sebesar α lebih besar daripada t-Tabel (t-stat > t-Tabel), maka tolak H0 dan menghasilkan kesimpulan bahwa koefisien dugaan β tidak sama dengan 0 dan variabel yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Model yang digunakan akan semakin baik apabila semakin banyak variabel bebas yang signifikan atau berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya. Koefisien determinasi atau R2 digunakan untuk melihat sejauh mana variabel-variabel yang terdapat dalam model dapat menjelaskan variasi yang terjadi pada variabel tak bebasnya. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai dengan 1. Nilai R2 yang besar menunjukkan bahwa model yang didapat semakin baik. Nilai R2 dapat dihitung dengan persamaan :
3.
Kriteria Ekonomi Kriteria ekonomi akan menguji tanda dan besaran dari tiap koefisien
dugaan yang telah diperoleh. Kriteria ekonomi mensyaratkan tanda dan besaran yang terdapat pada tiap koefisien dugaan sesuai dengan teori ekonomi. Apabila model tersebut memenuhi kriteria ekonomi, maka model tersebut dapat dikatakan baik secara ekonomi.
34
IV.
GAMBARAN UMUM INDUSTRI FURNITURE ROTAN INDONESIA
Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia. Dalam struktur perekonomian Indonesia produk rotan dikelompokkan sebagai produk hasil hutan ikutan atau hasil hutan nonkayu. Walaupun demikian, rotan Indonesia merupakan salah satu sumber penghasil devisa negara yang cukup besar. Dalam jajaran sektor hasil hutan nonkayu, rotan menjadi primadona bagi pemasok devisa negara karena menduduki 80-90 persen total nilai ekspor hasil hutan nonkayu secara keseluruhan (Dephut, 2009). Produk rotan mentah Indonesia di pasaran internasional sampai saat ini masih tidak memiliki pesaing yang berarti. Hal ini disebabkan antara lain, kebutuhan rotan mentah dunia 80 persen dipasok oleh Indonesia. Oleh karena itu, penggunaan rotan dalam bentuk kawasan yang luas dan pengembangan pengolahannya merupakan suatu potensi yang dimiliki oleh Indonesia (Januminro, 2000).
4.1
Sejarah Perkembangan Industri Rotan di Indonesia Sebelum perang dunia pertama, industri pengolahan rotan Indonesia belum
begitu dikenal karena masih terbatas pada rotan asalan. Konsumsi rotan dalam negeri pun hanya terbatas pada pengolahan yang sederhana. Dengan perkembangan kebudayaan dan terbukanya hubungan Internasional, maka Indonesia mulai mengenal industri pengolahan rotan meskipun perkembangannya masih sangat lambat. Dalam statistik perdagangan rotan tahun 1968 sampai 1973, perbandingan ekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi baru mencapai rata-rata
35
sebesar 97 persen dan 3 persen. Namun, masyarakat Indonesia mulai mengenal industri rotan sehingga banyak kerajinan dan perabot rumah tangga yang dibuat dari rotan dengan desain yang mulai berkembang. Kemajuan ini disebabkan antara lain berkat adanya program pembangunan di bidang industri yang dilakukan pemerintah pada saat itu (Silitonga, 1985). Industri pengolahan barang jadi rotan masih terbatas pada industri rakyat (home industry) seperti furniture, kerajinan dan lain-lainnya. Industri yang bersifat mekanis masih sangat terbatas dan umumnya berlaku sebagai penghasil barang setengah jadi. Industri yang bersifat mekanis ini dapat dijumpai di Padang, Jambi, Banjarmasin, Ujung Pandang, dan Surabaya. Sedangkan di kota lainnya seperti Medan, Palembang, Cirebon, masih terbatas pada industri nonmekanis seperti peralatan rumah tangga. Barang-barang dari rotan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan umumnya dihasilkan melalui proses industri, yaitu kerajinan yang berbentuk karya seni yang dihasilkan melalui keterampilan. Walaupun demikian, terkait dengan perkembangan teknologi yang ada sekarang, pertumbuhan kerajinan relatif tidak banyak dipengaruhi oleh teknologi industri. Hal ini memiliki artian, proses pembuatan kerajinan itu masih tetap banyak menggunakan keterampilan tangan. Pengaruh dari perkembangan teknologi industri hanya dirasakan dalam segi pengadaan bahan baku. Karena keterbatasan penggunaan teknologi ini, maka pengembangan kerajinan rotan akan tetap banyak menyerap tenaga kerja. Modal utama industri kerajinan rotan di Indonesia adalah keterampilan dan kreatifitas seni yang dapat dikembangkan melalui latihan-latihan. Hal ini membuat
36
masyarakat Indonesia memiliki potensi yang cukup besar di bidang kerajinan rotan.
4.2
Perkembangan Tata Niaga Rotan Menurut Biro Humas Depperindag, Indonesia dikenal sebagai negara
pehasil rotan terbesar di dunia karena memasok 80 persen kebutuhan rotan mentah dunia. Pada tahun 1986 dikeluarkan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 274/Kp/X/86 tentang larangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi dari Indonesia. Tata Niaga Rotan tersebut dikeluarkan dengan tujuan memperluas kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah, dengan cara memacu industri dalam negeri serta untuk meningkatkan penerimaan dari devisa. Pada akhirnya, Indonesia mampu mengekspor produk jadi rotan berupa furniture rotan ke berbagai negara. Sebelum tahun 1986, Indonesia merupakan pengekspor bahan baku rotan terbesar di dunia, sedangkan industri pengolahan rotan nasional pada saat itu belum berkembang. Pada tahun 1986, yaitu ketika dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 274/KP/X/1986 mengenai larangan ekspor bahan baku rotan, industri pengolahan rotan nasional mengalami perkembangan yang sangat pesat yaitu meningkat dari hanya 20 perusahaan menjadi 300 perusahaan. Sementara itu, industri pengolahan rotan di luar negeri (Taiwan dan Eropa) yang bahan bakunya mengandalkan pasokan dari Indonesia banyak yang mengalami kebangkrutan dan mengalihkan usahanya ke Indonesia, khususnya di daerah Cirebon (Erwinsyah, 1999).
37
Dalam perkembangan selanjutnya ketika ekspor bahan baku rotan dibuka kembali pada tahun 2005, yaitu dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No.
12/M-DAG/PER/6/2005
tentang
Ketentuan
Ekspor
Rotan,
industri
pengolahan rotan nasional perkembangannya mulai terhambat dan kegiatan usaha tersebut menjadi lesu, sehingga berdampak pada terjadinya pengangguran, kredit macet, berkurangnya perolehan devisa dan menurunnya kontribusi industri pengolahan rotan nasional dalam pembentukan PDB. Sebaliknya di negara-negara pesaing seperti China, Taiwan dan Italia industri pengolahan rotannya bangkit kembali dan berkembang sangat pesat. Jika dilihat dari banyaknya permintaan, komoditi furniture rotan sangat diminati banyak negara sehingga nilai ekspornya cukup tinggi. Meskipun permintaan mebel kayu masih berada di atas mebel rotan, tetapi dengan keterbatasan bahan baku kayu, mebel rotan seharusnya dapat diangkat menjadi primadona Indonesia untuk ekspor mebel dan barang kerajinan non kayu. Berdasarkan data BPS dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, tahun 2003 nilai ekspor produk rotan seperti anyaman, mebel rotan dan rotan setengah jadi mencapai 331,74 juta dolar AS. Nilai ekspor itu naik dibandingkan dengan tahun 2002 yang hanya sebesar 313,11 juta dolar AS. Negara tujuan ekspor antara lain Eropa, Amerika, ASEAN dan Timur Tengah, dengan pangsa ekspor yang masih besar di Timur Tengah dan Eropa. Oleh karena itu, daya saing produk furniture rotan baik dari segi kualitas maupun harga harus dapat ditingkatkan. Salah satu upaya meningkatkan daya saing itu bisa terwujud apabila pasokan bahan baku di dalam negeri dapat dipenuhi. Selain itu, penyerapan tenaga
38
kerja yaitu para pengrajin furniture rotan cukup besar. Industri ini dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi ratusan ribu orang. Sebuah perusahaan industri mebel rotan saja bisa mempekerjakan sekitar 1600 pengrajin (ASMINDO, 2009).
4.3
Perkembangan Industri Rotan Beberapa Tahun Terakhir Pada periode 2003 – 2006, kapasitas industri pengolahan rotan nasional
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,38 persen per tahun atau hanya meningkat dari 545.405 ton/tahun menjadi 551.585 ton/tahun dan realisasi produksinya menurun dari 381.784 ton pada tahun 2003, menjadi 372.761 ton pada tahun 2006 atau mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata - 0,79 persen per tahun. Industri rotan sebagian besar berlokasi di Cirebon dan sekitarnya. Pada periode 2001 – 2004, baik jumlah perusahaan, produksi, ekspor maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan di Cirebon mengalami peningkatan, dimana jumlah perusahaan meningkat dari 923 unit usaha menjadi 1.060 unit usaha, produksi meningkat dari 62.707 ton menjadi 91.181 ton, ekspor meningkat dari 32.871 ton (senilai US$ 101,67 juta) menjadi 51.544 ton (senilai US$ 116.572 juta) dan penyerapan tenaga kerja meningkat dari 51.432 orang menjadi 61.140 orang. Namun sejak tahun 2005, baik produksi, ekspor maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan di Cirebon mengalami penurunan yang cukup signifikan, dan penurunan tersebut berlanjut pada tahun 2006.
39
Penurunan industri pengolahan rotan, baik yang terjadi pada skala nasional maupun di sentra industri Cirebon sejak tahun 2005 disinyalir penyebabnya adalah dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, yang memperbolehkan ekspor bahan baku rotan dan rotan setengah jadi (ditambah lagi dengan mengalirnya bahan baku rotan ke luar negeri secara illegal), mengakibatkan industri pengolahan rotan di dalam negeri sulit mendapatkan bahan baku. Di lain pihak, industri pengolahan rotan di negara-negara pesaing, terutama China dan Taiwan berkembang lagi secara pesat, sehingga merebut pangsa pasar dan potensi pasar ekspor produk rotan dari Indonesia. Disisi lain ekspor produk rotan China yang pada pada tahun 2002 masih berimbang dengan Indonesia sebesar US $ 340.000, pada tahun 2006 telah meningkat 4 kali lipat, sementara Indonesia sebagai penghasil bahan baku rotan kegiatan ekspor produk rotannya menurun.
40
V.
5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daya Saing Industri Furniture Rotan Indonesia RCA merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk
mengetahui keunggulan komparatif suatu wilayah (negara, propinsi dan lain-lain). Pada dasarnya metode ini mengukur kinerja suatu komoditi tertentu dengan ekspor total suatu tempat dibandingkan dengan pangsa komoditi tertentu dalam perdagangan dunia. Apabila diperhatikan pada Tabel 5.1, dalam periode tahun 1990 – 2006, terlihat bahwa rasio RCA untuk komoditi furniture rotan Indonesia memiliki nilai di atas 1. Hal ini memiliki arti bahwa komoditas furniture rotan Indonesia mempunyai keunggulan komparatif di pasar internasional dibanding dengan daya saing negara lain untuk jenis komoditas yang sama. Dengan kata lain Indonesia dapat lebih berspesialisasi pada komoditi furniture rotan. Akan tetapi pada tahun 1992, nilai RCA Indonesia mulai mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang memperbolehkan ekspor rotan setengah jadi (yang sudah diawetkan), meskipun pada saat itu masih dikenakan pajak ekspor sebesar 15US$ per kilogram. Selama krisis ekonomi berlangsung, komoditas ini juga mengalami penurunan ekspor yang cukup signifikan. Pada tahun 1995 mula-mula ekspor furniture rotan Indonesia senilai US$ 13,503 juta, kemudian pada tahun 1996 turun menjadi US$ 123,757 juta, dan turun lagi pada tahun 1997 menjadi US$ 64,781. Puncak penurunan nilai ekspor mencapai puncaknya pada tahun 1998 yaitu mencapai nilai US$ 21,121 juta.
41
Tabel 5.1 Perkembangan Nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) dan Indeks RCA Tahun 1990-2006 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
RCA 20.70 23.31 20.74 18.16 15.69 15.49 11.56 5.64 2.12
Indeks RCA 1.13 0.89 0.88 0.86 0.99 0.75 0.49 0.37
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
RCA 8.66 6.80 6.65 7.52 7.82 10.36 11.83 9.88
Indeks RCA 4.09 0.78 0.98 1.13 1.04 1.32 1.14 0.83
Sumber : UNComtrade (2009, diolah)
Terlihat dari nilai RCA pada Tabel 5.1, kemampuan daya saing komoditas furniture rotan Indonesia mengalami penurunan yang cukup drastis pada tahuntahun krisis ekonomi berlangsung. Diawali dengan nilai 15,49 pada tahun 1995 yang berangsur menurun menjadi 11,56 pada tahun 1996, dan kemudian anjlok mencapai nilai 5,64 dan 2,12 pada tahun 1997 dan 1998 yang dikarenakan oleh krisis ekonomi. Krisis ini memiliki dampak yang signifikan karena nilai RCA yang dipengaruhi oleh nilai ekspor yang dihitung dalam dollar AS. Jadi ketika terjadi krisis ekonomi, nilai ekspor akan berkurang secara drastis. Hal ini disebabkan karena nilai ekspor yang dihitung dalam dollar AS dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah yang saat itu terdepresiasi, sehingga nilai RCA pada tahuntahun tersebut menurun secara drastis. Akan tetapi, menurut teori perdagangan internasional, ketika nilai tukar terdepresiasi akan berdampak pada kenaikan jumlah ekspor barang tersebut. Hal ini disebabkan antara lain karena dengan terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS, sehingga harga barang tersebut menjadi relatif lebih murah di mata para importir luar negeri. Akan tetapi, menurut data yang diperoleh dari BPS, volume ekspor menunjukkan penurunan
42
yang cukup signifikan pada masa krisis. Pada masa krisis dimana nilai tukar berfluktuasi dari Rp 2.900/US$ pada tahun 1997 ke kisaran Rp 10.000/US$ dan sempat menembus ke angka Rp 16.000/US$ pada tahun 1998, yang kemudian ke kisaran Rp 7.800/US$ pada tahun 1999 dan kembali pada kisaran Rp 8.400/US$, ternyata juga mempengaruhi jumlah ekspor furniture rotan. Dapar dilihat pada Lampiran 1 jumlah ekspor furniture rotan sebesar 30,7 ton pada tahun 1997 dan 10,4 ton pada tahun 1998 yang lebih rendah dibandingkan masa sebelum dan sesudah krisis yaitu sebesar 38,9 ton pada tahun 1996 dan 43,9 ton pada tahun 1999, sehingga perubahan ini akan merubah nilai ekspor dan juga nilai RCA. Meskipun demikian, nilai RCA Indonesia masih menunjukkan nilai di atas 1, yang berarti pada tahun tersebut komoditas furniture rotan Indonesia masih memiliki daya saing di atas rata-rata dunia. Pada masa setelah krisis, kondisi daya saing furniture rotan kembali membaik. Hal ini dapat terlihat pada nilai RCA pada tahun 1999 yang kembali naik ke angka 8,66, meskipun pada tahun 2000 dan 2001 nilai RCA Indonesia kembali turun berturut-turut ke angka 6,80 dan 6,65. Hal ini disebabkan antara lain bahwa nilai ekspor yang digunakan dalam perhitungan RCA dipengaruhi oleh nilai kurs Rupiah terhadap Dollar AS, dimana pada tahun 1998-2001 memiliki nilai yang berfluktuasi. Nilai RCA pada tahun 2002 kembali meningkat ke nilai 7,52. Tahun berikutnya kondisi daya saing Indonesia terus meningkat ke nilai 7,82, 10,36, dan 11,83 berturut-turut dari tahun 2003 hingga 2005. Hanya pada tahun 2006 nilai daya saing kembali turun ke 9,88.
43
Apabila dilihat dari perkembangan kinerja ekspornya, furniture rotan Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun 1992 hingga 1996, yang ditunjukkan dengan nilai indeks RCA di bawah satu. Pada tahun 1997 dan 1998, kinerja ekspor furniture rotan Indonesia berkurang drastis, terlihat dari indeks RCA yang mencapai nilai dibawah 0,5 yaitu 0,49 dan 0,37. Di tahun berikutnya pada tahun 1999 kinerja ekspor furniture rotan Indonesia kembali membaik, meningkat ke nilai 4,09. Pada tahun 2000 dan 2001 kinerjanya kembali menurun ke nilai 0,78 dan 0,98. Hal ini antara lain bisa disebabkan oleh masih tidak stabilnya nilai kurs Rupiah terhadap Dollar AS yang menyebabkan nilai ekspor furniture rotan Indonesia turut berfluktuasi sehingga mempengaruhi kinerja ekspor furniture rotan Indonesia itu sendiri. Jika dilihat sepanjang tahun 2002 hingga 2005, kinerja ekspor furniture rotan Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, hanya saja pada tahun 2006 kembali memburuk. Jika dilihat dari nilai RCA yang dimiliki Indonesia, produk furniture rotan Indonesia memiliki daya saing yang tinggi di pasar internasional. Akan tetapi, Indonesia dapat bersaing di pasar internasional dikarenakan Indonesia memberlakukan proteksi pada industri dalam negerinya dalam hal memperoleh bahan baku rotan. Apabila kebijakan tersebut dicabut, Indonesia akan kembali kehilangan daya saingnya yang dapat dilihat dari nilai RCA yang menurun pada tahun-tahun kebijakan larangan ekspor dicabut. Dengan kata lain, daya saing yang dimiliki Indonesia selama ini merupakan daya saing semu, karena apabila proteksi tersebut dicabut, maka industri domestik akan kalah bersaing dengan industri
44
saingannya dari luar negeri yang dalam hal ini berani membayar mahal untuk memperoleh bahan baku rotan dari Indonesia.
5.2
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Furniture Rotan Indonesia Pada analisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri
furniture rotan Indonesia dengan menggunakan metode regresi linier biasa (OLS), diperoleh hasil bahwa tidak semua variabel berpengaruh secara nyata pada taraf sepuluh persen. Pada Tabel 5.2 dapat dilihat hanya variabel nilai ekspor, nilai produksi, dan dummy kebijakan yang berpengaruh nyata pada taraf sepuluh persen. Sedangkan variabel volume ekspor bahan baku dan tingkat produktivitas tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata sepuluh persen. Tabel 5.2 Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Furniture Rotan Indonesia Dependent Variable: RCA Variable LNNX LNNP PRO LNVXBB DKBJ C R-squared Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
Coefficient 7.049641 -15.34441 3.299417 0.176310 -8.331012 125.6394
Prob. 0.0100 0.0029 0.4631 0.6207 0.0802 0.1038 0.723608 1.220652 0.007495
Taraf nyata : 10% Sumber : BPS, UNComtrade (2009, diolah)
Dari variabel-variabel bebas tersebut, variabel nilai ekspor berpengaruh positif terhadap daya saing furniture rotan dengan koefisien sebesar 7,05 persen. Hal ini memiliki arti bahwa ketika nilai ekspor meningkat sebesar 1 persen, maka
45
akan meningkatkan pula daya saing dari industri furniture rotan Indonesia sebesar 7,05 persen. Variabel nilai produksi menunjukan pengaruh negatif terhadap daya saing dengan koefisien sebesar -15,34 persen. Peningkatan dari nilai produksi sebesar 1 persen akan menurunkan daya saing dari furniture rotan sebesar -15,34 persen. Pengaruh dari nilai produksi yang berpengaruh secara negatif terhadap daya saing tidak sesuai dengan hipotesis, akan tetapi variabel ini signifikan pada taraf nyata sepuluh persen. Hal ini dapat dimungkinkan terjadi karena nilai produksi merupakan nilai dari perkalian antara jumlah barang yang diproduksi, dengan harga barang itu sendiri. Apabila terjadi peningkatan harga pada barang tersebut, dapat meningkatkan nilai produksi yang dihasilkan sementara daya saing yang dihasilkannya akan melemah. Variabel produktivitas memperlihatkan nilai yang positif akan tetapi tidak signifikan pada taraf nyata sepuluh persen. Hasil yang tidak signifikan dimungkinkan terjadi karena faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor lebih dipengaruhi oleh kualitas barang, dan bagaimana pemasaran yang dilakukan terhadap barang tersebut. Pada variabel volume ekspor bahan baku rotan dapat terlihat bahwa variabel tersebut tidak signifikan pada taraf nyata sepuluh persen, dan tidak sesuai dengan hipotesis. Hal ini dimungkinkan terjadi, karena ekspor bahan baku hanya berperan dalam menekan harga jual pokok rotan mentah, tidak meliputi biaya pendistribusiannya. Sementara itu, kemerosotan produksi furniture rotan
46
Indonesia disinyalir lebih disebabkan oleh kurang baiknya pendistribusian bahan baku ke industri dalam negeri. Variabel dummy kebijakan menghasilkan nilai yang berpengaruh negatif terhadap daya saing. Hasil ini menunjukkan bahwa ketika kebijakan ekspor rotan mentah diberlakukan, akan menurunkan daya saing dari industri furniture rotan Indonesia. Model yang digunakan telah dinyatakan bebas dari gejala autokorelasi. Hal ini dapat diketahui melalui serial correlation LM Test yang diuji menggunakan perangkat Eviews. Hasil uji yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 2 menyatakan bahwa nilai probability obs*R-squared adalah sebesar 0,167 yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar sepuluh persen. Model
yang
diestimasi
juga
menunjukkan
tidak
mengalami
gejala
heteroskedastisitas. Hal ini terlihat pada Lampiran 4 dimana pengujian asumsi White Heteroskedasticity menghasilkan nilai probability obs*R-squared 0,302 yang lebih besar dari taraf nyata sepuluh persen. Pada uji multikolinearitas, di model juga tidak ditemukan adanya hubungan antar variabel bebasnya yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Meskipun jumlah data yang digunakan pada saat estimasi model berjumlah kurang dari 30, error termnya terdistribusi normal dikarenakan hasil Jarque Bera-Test yang dapat dilihat pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa nilai probability yang sebesar 0,359 lebih besar dari taraf nyata sepuluh persen. Demikian juga saat dilakukan pengujian statistik, untuk menguji keabsahan model yang digunakan. Pada nilai prob(f-statistic) yang sebesar 0,007
47
dapat terlihat dengan jelas bahwa nilai lebih kecil dari taraf nyata. Nilai ini menandakan bahwa persamaan yang digunakan mendukung keabsahan model atau dengan kata lain terdapat pengaruh yang baik yang ditimbulkan oleh keseluruhan variabel penjelas terhadap variabel terikat. Persamaan regresi yang digunakan untuk model daya saing industri furniture rotan Indonesia dapat terlihat pada tabel 5. Nilai R2 sebesar 0,72 memiliki artian bahwa 72 persen variasi variabel endogen dapat dijelaskan secara linear oleh variabel bebasnya di dalam persamaan tersebut, dan sisanya yang sebesar 28 persen dijelaskan oleh faktor diluar persamaan.
5.3
Keunggulan Kompetitif Industri Furniture Rotan Indonesia Dalam perdagangan dunia strategi persaingan adalah hal yang sangat
menentukan dalam mencapai keberhasilan atau kegagalan, hal ini berlaku baik untuk suatu perusahaan, industri maupun negara. Terlebih lagi dalam era perdagangan bebas, dimana halangan-halangan perdagangan (trade barriers), baik yang bersifat tarif maupun non-tarif tidak ada lagi. Suatu negara tidak bisa lagi menggantungkan keunggulannya hanya kepada keunggulan komparatif yang dimilikinya sebagai endowment factors, tetapi juga harus didukung dengan keunggulan kompetitif yang kuat. Ada empat unsur penting yang dapat menentukan mengapa industri tertentu dalam suatu negara dapat memenangkan persaingan internasional, yaitu kondisi faktor produksi, kondisi permintaan, keberadaan industri pendukung, kondisi persaingan dan struktur perusahaan dalam negeri.
48
5.3.1 Kondisi Faktor Kondisi faktor sumberdaya berpengaruh terhadap daya saing industri furniture rotan. Penggunaan faktor produksi yang efektif dan efisien akan mampu meningkatkan produktivitas suatu usaha. Demikian juga penggunaan faktor produksi yang harus dilakukan dalam usaha industri furniture rotan. Output yang dihasilkan oleh perusahaan tergantung pada teknik produksi yang digunakan. dengan jumlah input yang tetap, dan dengan penggunaan teknik produksi yang lebih efisien, maka akan lebih besar output yang mampu dihasilkan oleh suatu industri Masalah penggunaan faktor produksi yang ada secara apa adanya dan dikelola dengan manajemen dan teknik yang seadanya memang menjadi kendala utama. Padahal Indonesia memiliki faktor produksi yang lebih banyak dibandingkan dengan negara lain seperti tenaga kerja, dan produksi rotan yang melimpah yang sebenarnya harus mampu dikombinasikan dengan baik. Tabel 5.3 Jumlah Tenaga Kerja Industri Furniture Rotan Indonesia Tahun 2000 2001 2002 2003
Jumlah Tenaga Kerja (orang) 42,282 48,226 44,078 44,811
Tahun 2004 2005 2006
Jumlah Tenaga Kerja (orang) 38,882 35,756 38,670
Sumber : BPS (2009)
Ketika diberlakukannya peraturan pemerintah yang memperbolehkan ekpor rotan mentah ke pasar internasional, menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap rotan mentah Indonesia oleh pasar luar negeri sehingga harga rotan mentah meningkat di pasar. Hal ini dapat meningkatkan harga bahan baku rotan yang digunakan untuk produksi industri furniture rotan Indonesia. Karena
49
adanya peningkatan biaya produksi maka harga yang dihasilkan untuk memperoleh barang jadinya juga akan lebih mahal. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi peningkatan daya saing produk furniture rotan nasional di pasar global. Industri furniture rotan Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja yang cukup besar yang dapat dilihat pada Tabel 5.3, akan tetapi jumlah ini menurun pada tiga tahun terakhir sehingga dapat mempengaruhi produktivitas industri itu sendiri dan lebih jauh lagi akan mempengaruhi tingkat daya saingnya. Masalah tenaga kerja utama yang dihadapi industri furniture rotan sehingga mengakibatkan industri ini sulit bersaing dengan industri sejenis dari negara lain adalah rendahnya produktivitas pekerja. Hal ini disebabkan antara lain rendahnya etos kerja dari pekerjanya itu sendiri, sehingga kurangnya kreatifitas dalam menciptakan model baru bagi furniture rotan itu sendiri. Akibatnya, dalam melakukan proses desain produk furniture sering kali para produsen lebih sering menerima pesanan beserta modelnya dari konsumen luar negeri, yang tentu saja akan menurunkan nilai tambah dari nilai jual furniture rotan itu sendiri. Modal
merupakan
aspek
yang
penting
dalam
industri,
dengan
ketidaktersediaan modal, suatu industri tidak dapat bekerja. Demikian juga dengan industri furniture rotan Indonesia, dimana ketersediaan akses untuk memperoleh modal dari lembaga keuangan
cukup sulit, sehingga industri ini sulit untuk
melakukan perkembangan. Akses modal yang sulit ini terutama disebabkan antara lain oleh modal saat ini lebih banyak disalurkan ke sektor properti.
50
Teknologi merupakan faktor yang cukup penting dalam pengembangan industri. Akan tetapi, industri furniture rotan merupakan industri padat karya, sehingga faktor teknologi bukan merupakan masalah yang utama. Hal ini disebabkan dalam pengerjaannya industri ini lebih banyak membutuhkan pengerjaan tangan manusia, sehingga faktor teknologi lebih berperan pada industri hulu dalam hal pembudidayaan rotan. Apabila dilihat dari segi infrastruktur yang menunjang industri furniture rotan Indonesia, ketersediaan infrastruktur yang ada masih kurang memadai. Sarana penunjang transportasi pengangkutan bahan baku dari petani pengumpul rotan ke industri pengolahan masih terbilang buruk, terlebih lagi jika dilihat jarak yang harus ditempuh antara industri pengolahan rotan mentah ke industri pengrajinnya itu sendiri yang kebanyakan berada amat jauh. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya industri high cost sehingga berdampak kurang kompetitifnya industri Indonesia sehingga kalah bersaing dengan industri pengrajin sejenis dari luar negeri.
5.3.2 Kondisi Permintaan Kondisi permintaan dalam negeri untuk komoditi rotan olahan yang didalamnya juga termasuk produk furniture rotan masih cukup rendah dibandingkan dengan permintaan ekspornya. Hal ini disebabkan masih rendahnya minat masyarakat dalam negeri terhadap komoditas furniture jenis non kayu ini. Meskipun demikian, permintaan domestik untuk komoditi ini yang dapat dilihat pada Tabel 5.4, cenderung meningkat tiap tahunnya. Meskipun terjadi penurunan, itupun hanya terjadi pada tahun 2005. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh
51
adanya kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 2005 mengenai diperbolehkannya ekspor rotan mentah dan setengah jadi. Tabel 5.4 Jumlah Konsumsi Dalam Negeri Rotan Indonesia Jenis komoditi
satuan
Rotan Olahan
ton
2003
2004
2005
2006
2007
189,494 191,301 171,227 188,297 196,986
Sumber : BPS (2009)
Untuk kondisi permintaan pasar luar negeri, industri furniture rotan Indonesia tergolong cukup banyak diminati terutama oleh Amerika Serikat, Jepang, dan masyarakat Eropa. Apabila dilihat lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa industri furniture rotan Indonesia memang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri dibandingkan untuk memenuhi permintaan pasar domestik. Akan tetapi, jika dilihat dari kondisi pangsa pasar yang dimiliki untuk komoditi furniture rotan Indonesia di pasar internasional, pangsa pasar yang dimiliki Indonesia masih kalah bersaing dengan Cina maupun Italia. 5.3.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung Industri pendukung memiliki peranan dalam mengembangkan industri furniture rotan yang ada apabila industri pendukung tersebut bekerja dengan baik. Industri pendukung dalam pasar faktor produksi diantaranya industri pengawetan rotan, distributor, dan jasa pelatihan. Dapat dilihat pada permasalahan sebelumnya pada kondisi faktor produksi, bahwa permasalahan yang ada memiliki keterkaitan dengan pendistribusian bahan baku yang ada belum bekerja optimal. Ketika ekspor rotan mentah diperbolehkan, industri di Indonesia kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, sehingga biaya untuk memperolehnya menjadi meningkat. Hal ini dapat terjadi apabila kondisi industri pendukung, terutama
52
yang berperan dalam hal pendistribusian bahan baku belum bekerja dengan optimal. Kondisi ini dapat terlihat dari mahalnya harga beli bahan baku rotan untuk industri furniture, sehingga produsen rotan mentah lebih memilih untuk mengekspornya yang berakibat pada hancurnya industri dalam negeri ketika keran ekspor rotan mentah dibuka. Industri terkait dalam industri furniture rotan Indonesia adalah industri industri pengolahan rotan mentah ke rotan setengah jadi atau dalam hal ini disebut sebagai industri pengawetan rotan. Dalam hal ini, Indonesia sudah memiliki fasilitas industri yang cukup baik yang terletak di daerah-daerah sentra pengumpul rotan seperti Kalimantan dan Sulawesi. Keberadaan industri ini terbilang cukup baik karena industri ini memiliki lokasi yang berdekatan dengan lokasi pengumpul rotan sehingga rotan mentah yang didapat dari pengumpul rotan, dapat langsung diolah menjadi rotan setengah jadi tanpa harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk transportasinya. Pada industri pendukung dalam proses pasca produksi yang berperan penting dalam industri furniture rotan adalah jasa transportasi termasuk diantaranya
untuk
keperluan
packaging.
Kemampuan
industri
tersebut
mempunyai pengaruh yang kuat dalam ikut mengembangkan pemasaran hasil industri furniture rotan Indonesia di luar negeri. Industri penyedia jasa transportasi yang berguna bagi penyediaan faktor maupun pengiriman barang pasca produksi, merupakan faktor yang vital dalam industri furniture rotan di Indonesia. Ketidakmampuan industri ini untuk memberikan layanan yang baik dalam penyaluran bahan baku ke industri
53
pengrajin furniture berakibat kurangnya pasokan bahan baku sehingga industri tidak dapat bekerja. Hal ini yang tentu saja akan berimbas kepada pemenuhan permintaan furniture rotan oleh pihak importir dari luar negeri. Dampak jangka panjangnya adalah, industri di Indonesia dapat kehilangan kepercayaan dalam penyediaan komoditi furniture rotan, sehingga pihak importir lebih memilih sumber lain. Transportasi yang murah juga merupakan hal yang menjadi permasalahan bagi komoditas ekspor. Mengingat biaya pengangkutan dapat menimbulkan peningkatan harga jual barang ekspor. Dalam persaingan ekspor dengan negara lain, Indonesia seringkali kalah bersaing dalam hal tersebut. Industri pendukung lainnya yang tidak kalah penting adalah industri jasa pelatihan khususnya dalam pelatihan desain produk. Industri ini memiliki peranan penting dalam industri furniture dimana nilai produk ditentukan juga oleh desain yang dihasilkan. Sementara ini, Indonesia masih memiliki kualitas desain yang kurang dapat bersaing dengan produsen furniture rotan dari negara luar terutama Italia, yang memiliki desain yang unik sehingga dapat menarik pasar lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
5.3.4 Persaingan, Struktur, dan Strategi Perusahaan Beberapa faktor yang dapat dikategorikan kedalam faktor penentu persaingan adalah diferensiasi produk, identitas merk, dan informasi. Diferensiasi produk sebagai bagian dari strategi merebut pasar nampaknya masih belum begitu diperhatikan dari para perusahaan. Hal ini nampak dari kurangnya perhatian pengusaha terhadap desain akhir yang digunakan, dan cenderung masih terkesan
54
kurang menarik perhatian pasar. Dengan melakukan perlakuan akhir yang berbeda akan mampu menciptakan produk yang berbeda pula. Hal inilah yang akan mempengaruhi pola konsumsi konsumen, karena komoditas yang bersangkutan akan dianggap sebagai komoditas yang berbeda meski sebenarnya berasal dari bahan baku yang sama. Demikian juga diferensiasi produk ini bisa ditambahkan melalui sistem pengepakan yang berbeda. Adanya merk tertentu pada suatu kemasan akan ikut mempengaruhi posisi dan kemampuan daya saing perusahaan. Dengan adanya merk maka konsumen akan cepat mengetahui apakah komoditas tertentu tersebut sesuai dengan yang diinginkan atau tidak. Masalah pengepakan dan pemberian merk, nampaknya masih kurang mendapat perhatian dari pengusaha. Para produsen tidak menyadari bahwa pengepakan yang baik dan pemberian merk merupakan masalah bagi mereka. padahal salah satu kelemahan yang ada pada industri ini adalah berkaitan dengan pengepakan dan pemberian merk (labelling). Faktor penentu lainnya adalah akses informasi yang mampu diperoleh oleh perusahaan. Dalam era globalisasi sekarang ini, siapa yang mempunyai akses terhadap informasi lebih banyak maka akan mampu memenangkan persaingan. Demikian juga dengan akses pasar terhadap produk industri furniture rotan. Informasi mengenai pasar yang potensial dan efektif perlu didapat, terutama mengenai desain produk furniture yang sedang digemari di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pameran-pameran dagang, baik yang
55
dilakukan di dalam negeri maupun luar negeri. Dalam hal ini, peran pemerintah sangat diharapkan dalam membantu memperkenalkan produk furniture tersebut. Apabila dilihat menurut negara-negara pesaingnya, pangsa pasar ekspor yang diraih oleh produk furniture rotan Indonesia dapat dikatakan masih kurang baik. Meskipun dari Gambar 1 bisa dilihat Indonesia menduduki peringkat ketiga di pangsa pasar dunia, Indonesia hanya menyumbang 7,68 persen. Jika dibandingkan dengan pangsa pasar yang dimiliki oleh Cina yang mencapai 20,72 persen, pangsa pasar Indonesia masih kalah jauh mengingat Indonesia merupakan penyumbang 80 persen bahan baku rotan dunia. Sungguh disayangkan apabila potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia terbuang percuma. Jika dilihat lebih mendalam pada faktor penentu persaingan, ada baiknya jika ditinjau dari penentu kekuatan pembeli. Faktor penentu ini menentukan sejauh mana mereka dapat memanfaatkan nilai dan memperoleh laba normal. Kekuatan pembeli ini terletak pada kemampuan tawar menawarnya. Kemampuan tawar menawar pembeli dalam era perdagangan bebas sebenarnya cukup kuat, karena pembeli mempunyai informasi yang cukup mengenai pasar yang ada. Kemungkinan yang berlaku pada permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah, importir luar negeri memiliki informasi yang cukup besar mengenai pasar yang ada. Akibatnya, para importir lebih berani untuk menawar lebih mahal dibandingkan pembeli dari dalam negeri terhadap komoditas rotan mentah. Hal lain yang juga menjadi ancaman bagi produk furniture rotan Indonesia adalah kehadiran produk substitusi di pasar. Menurut Porter (1998), ada tiga faktor yang menentukan perubahan konsumsi konsumen untuk mencari produk
56
substitusi, yaitu harga, kinerja produk substitusi, dan kecenderungan pembeli terhadap produk tersebut. Dengan melihat perilaku konsumen luar negeri, konsumen mulai melirik terhadap kehadiran produk substitusi furnitur rotan yang mulai diganti dengan bahan plastik, yang didesain sedemikian rupa sehingga terlihat mirip rotan. Ditambah lagi kehadiran produk substitusi ini dikatakan lebih baik dari produk rotan aslinya, karena memiliki daya tahan yang lebih kuat dan lebih mudah di produksi di negara-negara maju yang merupakan negara tujuan ekspor Indonesia.
5.3.5
Peran Pemerintah Peran pemerintah dalam mendukung perkembangan industri furniture
rotan sangat diharapkan oleh pengusaha-pengusaha pengrajin furniture rotan. Secara hukum, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam mendukung perkembangan industri furniture di Indonesia. Salah satunya adalah dikeluarkannya kebijakan pembatasan ekspor bahan baku rotan melalui SK No : 12/M/Dag/Per/6/2005 Menteri Perdagangan yang diatur oleh peraturan Dirjen Luar Negeri No : 01/Daglu/Per/7/2005 tentang ekspor rotan tanaman, WNS dan setengah jadi hanya boleh diekspor sesuai dengan kuota yang telah ditetapkan. Kebijakan ini sekaligus merevisi kebijakan sebelumnya pada tahun 2004 melalui SK No : 355/MPP Kep/5/2004 yang memperbolehkan ekspor rotan tanaman, WNS, dan rotan setengah jadi. Kebijakan ini sebenarnya untuk merevisi kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 1998 yang karena krisis ekonomi, terpaksa diberlakukan kebijakan yang memperbolehkan ekspor rotan mentah maupun
57
setengah jadi ke pasar, yang pada akhirnya industri domestik kekurangan bahan baku karena kalah bersaing dalam melakukan penawaran. Meskipun pemerintah telah berusaha bertindak melalui berbagai kebijakan, akan tetapi pemerintah luput dalam beberapa hal yang amat penting. Diantaranya dalam proses pengadaan bahan baku bagi industri-industri furniture rotan yang letaknya terpisah jauh dari tempat produksi bahan bakunya. Sebagai contohnya sentra industri di Cirebon yang harus mendatangkan bahan baku dari Kalimantan, yang tentunya akan menambah biaya pengiriman. Selain itu, kondisi lain yang cukup berpengaruh adalah, karena sistem distribusi dan aturan yang terkait belum mampu mendukung pengembangan industri rotan untuk jangka panjang. Artinya penanganan perdagangan bahan baku yang dilakukan selama ini masih berdasarkan kepada perdagangan yang tradisional dan belum menyertakan perencanaan bisnis jangka panjang pada semua lini terkait. Pada 11 Agustus 2009, pemerintah menetapkan kebijakan baru yang mengatur ekspor rotan Indonesia, menyikapi kemunduran dari industri furniture rotan di Indonesia. Kebijakan ini tertuang melalui Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 36/M-DAG/PER/8/2009 yang menyatakan bahwa rotan asalan tidak boleh diekspor, dan rotan W/S dibatasi jumlah ekspornya sebesar 35.000 ton per tahun serta memiliki wajib pasok ke industri pengrajin rotan domestik. Melalui pemberlakuan kebijakan baru ini, pemerintah mengharapkan industri dalam negeri tidak kekurangan bahan baku dan para petani rotan dapat memperoleh keuntungan dari penjualan rotan mentahnya ke industri rotan domestik.
58
5.3.6
Peran Kesempatan Peran kesempatan dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang dilakukan
melalui SK No : 12/M/Dag/Per/6/2005, yang memperbolehkan ekspor rotan mentah Indonesia. Kebijakan pemerintah ini mengakibatkan industri dalam negeri harus bersaing ketat dengan industri luar negeri dalam memperoleh bahan baku yang ada. Industri dalam negeri selama ini dimanjakan oleh kebijakan pemerintah yang menutup ekspor rotan mentah sehingga bahan baku lebih mudah diperoleh. Melalui pemberlakuan kebijakan baru yang membuka ekspor rotan mentah, seharusnya dapat dijadikan kesempatan oleh perusahaan dalam industri furniture rotan dalam meningkatkan daya saing industrinya. Pada 11 Agustus 2009 ini, pemerintah memberlakukan kebijakan baru, yaitu melalui SK No : 36/M-DAG/PER/8/2009 pemerintah melarang ekspor rotan mentah dan membatasi ekspor rotan setengah jadi melalui kuota yang telah ditentukan. Kebijakan ini berlaku untuk dua tahun ke depan, sehingga diharapkan industri domestik dapat meningkatkan daya saing kompetitifnya melalui pembenahan di sisi perusahaan maupun infrastrukturnya. Jadi, ketika pemerintah tidak lagi melakukan proteksi, industri domestik dapat tetap survive bersaing dengan industri luar negeri.
5.4
Analisis Strategi Peningkatan Daya Saing Furniture Rotan Indonesia Melalui ketiga alat analisis yang telah diuraikan, yakni melalui analisis
keunggulan komparatif dengan Revealed Comparative Advantage, analisis keunggulan kompetitif dengan pendekatan Porter’s Diamond, dan analisis faktor-
59
faktor yang mempengaruhi daya saing furniture rotan Indonesia dengan menggunakan metode Ordinary Least Square maka dapat ditentukan strategi yang dapat digunakan agar daya saing furniture rotan dapat mengalami peningkatan. Strategi yang dapat dilakukan antara lain yang pertama dengan mengurangi jumlah ekspor rotan mentah, sehingga rotan mentah dapat diserap oleh industri domestik sebagai bahan baku dan dapat menghasilkan furniture rotan yang lebih memiliki nilai tambah. Pada tahapan akhir penelitian ini, pemerintah telah melakukan hal ini melalui SK No: 36/M-DAG/PER/8/2009 yang mulai berlaku terhitung 11 Agustus 2009. Kebijakan ini menutup ekspor rotan asalan, dan membatasi ekspor rotan setengah jadi dengan mewajibkan industri pengolah melakukan wajib pasok ke industri pengrajin. Disamping itu juga dilakukan pembatasan jumlah ekspor rotan setengah jadi dengan jumlah 35.000 ton per tahun yang sebelumnya sebesar 77.000 ton per tahun. Strategi kedua yaitu memperbaiki implementasi kebijakan pemerintah yang mengatur ekspor rotan mentah. Implementasi kebijakan pemerintah selama ini masih kurang baik dalam menjaga aliran perdagangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi terutama dalam menjaga kuota ekspor, sehingga industri dalam negeri masih kekurangan bahan baku rotan. Pemerintah diharapkan dapat mengawasi aliran perdagangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi yang dimungkinkan terjadinya penyelewengan akibat dari pembatasan ekspor dari kebijakan pemerintah tahun 2009. Strategi ketiga dengan memperbaiki infrastruktur maupun sarana yang berkaitan dengan pengembangan produksi dan ekspor kerajinan rotan. Salah satu
60
hal yang mendesak adalah membuat pergudangan untuk stok rotan yang dibeli dari petani rotan, sehingga akan berdampak pada rotan tidak menumpuk pada petani, petani rotan di untungkan dengan harga dari pemerintah dan bukan dari tengkulak, pengrajin/produsen rotan mudah mendapatkan bahan baku rotan. Strategi yang keempat, dengan melakukan promosi produk ekspor sehingga pangsa pasar furniture rotan Indonesia dapat meningkat. Strategi kelima, yaitu dengan meningkatkan keahlian tenaga kerja dalam desain produk furniture rotan. Melalui peningkatan keahlian ini, diharapkan industri furniture rotan dalam negeri tidak lagi harus menggantungkan desain produknya kepada importir dari luar negeri, sehingga produk furniture rotan Indonesia lebih memiliki nilai tambah.
61
VI.
6.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Komoditi furniture rotan Indonesia memiliki daya saing yang tinggi dibandingkan dengan rata-rata dunia. Hal ini dapat dilihat dari nilai RCA yang selalu lebih dari satu selama periode 1990-2006. Akan tetapi, daya saing ini merupakan daya saing semu, karena masih membutuhkan proteksi dari pemerintah melalui kebijakan pembatasan ekspor rotan mentah. 2. Daya saing furniture rotan Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh nilai ekspor furniture rotan Indonesia yang berpengaruh secara positif, nilai produksi furniture rotan Indonesia yang berpengaruh secara negatif, dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mengenai pembukaan ekspor rotan mentah Indonesia ke luar negeri melalui SK No : 12/M/Dag/Per/6/2005 yang juga berpengaruh secara negatif terhadap daya saing. 3. Dari analisis komponen daya saing, industri furniture rotan Indonesia memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan industri furniture rotan yang dapat menyebabkan daya saing industri furniture rotan tinggi tersebut adalah kondisi faktor dan kondisi permintaan yang masih memiliki banyak keunggulan dibandingkan kelemahannya. Akan tetapi, faktor industri terkait dan pendukung, faktor persaingan, struktur dan strategi perusahaan, dan faktor pemerintah masih terdapat banyak kelemahan. Keterkaitan antar faktor tidak terjalin sempurna sehingga menyebabkan faktor keunggulan industri furniture rotan tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk mendukung daya saing produk
62
furniture rotan yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya saing industri furniture rotan Indonesia masih rendah. 4. Strategi yang dapat dilakukan antara lain : -
Memperbaiki implementasi kebijakan pemerintah yang mengatur ekspor rotan mentah.
-
Memperbaiki infrastruktur maupun sarana untuk pengembangan produksi dan ekspor kerajinan rotan.
6.2
-
Melakukan promosi produk ekspor.
-
Meningkatkan keahlian tenaga kerja dalam desain produk furniture rotan.
Saran
1. Industri furniture rotan Indonesia tidak didukung oleh keunggulan kompetitif industri furniture rotan yang masih rendah, terutama dalam hal penyediaan bahan baku industri. Untuk menyikapi hal ini diperlukan adanya badan penyangga yang dapat berfungsi sebagai stabilisator ketersediaan bahan baku utama baik kuantitas, kualitas maupun harga. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan keunggulan kompetitif furniture rotan nasional agar industri ini dapat mempertahankan daya saingnya di pasar internasional. 2. Perlu dilakukan perluasan pangsa pasar melalui promosi produk, salah satu caranya dengan melakukan pameran-pameran di luar negeri (negara importir), sehingga pangsa pasar produk furniture rotan Indonesia dapat meningkat dan bersaing terhadap negara-negara pesaingnya,.
63
3. Melihat nilai produksi yang berpengaruh negatif terhadap daya saing, diperlukan kerjasama antara pemerintah dengan para pengusaha furniture rotan dalam mengatasi permasalahan ini, terutama dalam penyediaan bahan baku, dan sistem transportasi serta distribusi. Pengadaan gudang sebagai tempat penyediaan bahan baku, serta perbaikan kondisi sarana transportasi seperti ketersediaan pelabuhan untuk bongkar muat barang yang baik dapat digunakan untuk menyikapi masalah ini. 4. Meningkatkan keahlian tenaga kerja industri furniture rotan, terutama dalam hal desain produk melalui pelatihan-pelatihan. Dengan demikian, industri domestik tidak perlu lagi menggantungkan desain produknya terhadap importir luar negeri dan bisa menciptakan desain sendiri dengan baik. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dari produk furniture rotan Indonesia, sehingga daya saing dari produk furniture rotan Indonesia dapat meningkat.
64
DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO). 2009. Ekspor Rotan Indonesia 1990-2006. Jakarta. Astuty, E. D. 2000. Kajian Daya Saing Ekspor Komoditas Pertanian. Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistik. Statistik Industri Besar dan Sedang. Berbagai Edisi. BPS, Jakarta. Departemen Kehutanan. 2009. Data Perkembangan Ekspor Hasil Hutan Indonesia 1990-2007. Pusat Data dan Informasi, Jakarta. Departemen Perdagangan. 2008. Pengembangan Industri Pengolahan Rotan Indonesia. Biro Umum dan Humas, Jakarta. Erwinsyah. 1999. ”Kebijakan Pemerintah dan Pengaruhnya terhadap Pengusahaan Rotan di Indonesia”. EPIQ Discussion Paper. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Penerbit Erlangga, Jakarta. Hady, H. 2004. Ekonomi Internasional. Ghalia Indonesia, Jakarta. Januminro, C. F. M. 2000. Rotan Indonesia. Kanisius, Yogyakarta. Junaidi. E. 2007. Analisis Dampak Kebijakan Ekspor Rotan Mentah terhadap Keragaan Industri Kecil Menengah Produk Jadi Rotan di Kabupaten Cirebon [skripsi]. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Kuotsoyianis, A. 1977. Theory of Econometrics Second Edition. Harper & Row Publisher, USA. Laursen, K. 1998. ”Revealed Comparative Advantage and the Alternatives as Measures of International Specialisation”. DRUID Working Paper. 98-30: 1-12. Nachrowi, D, Usman, H. 2003. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika. FEUI, Jakarta.
65
Porter, M.E. 1998. The Competitive Advantage of Nations. Free Press, New York. Silitonga, T. 1985. “The Status and Development of Indonesian Rattans”. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Badan Litbang, Dephut, Bogor. Sunenti. 2005. Analisis Aliran Perdagangan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi EksporMebel Rotan di Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Tambunan, T. T. H. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Todaro. M. P. 1994. Economic Development in the Third World. Longman, New York. Virnaristanti, I. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia ke Jepang [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Bogor.
66
LAMPIRAN
67
Lampiran 1. Data Riil 1990-2006 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
NX (US$) 75339160 90453904 115654912 131719344 143132048 135025776 123757008 64781516 21120824 88414210 96141283 86166448 94498726 89508771 132799223 176113883 164759387
NP (000 Rp) 6837665 9314665 9646264 10667560 10405620 10371687 12000700 13027392 12541432 14598882 10654892 17358832 20788117 20000060 18590864 10568047 13983301
VXBB (kg) 1747443 196017 53230 20372 4979 2516 1273 26897 489428 4210009 14680430 22125450 22253818 32724502 33970022 18249257 21613739
PRO (%) 1.68 1.70 1.70 1.62 1.84 1.57 1.68 1.65 1.71 2.05 1.56 1.66 1.58 2.10 1.64 1.71 2.71
Sumber: UNComtrade (2008) Keterangan: NX
= Nilai ekspor furniture rotan Indonesia
NP
= Nilai produksi furniture rotan Indonesia
VXBB
= Volume ekspor rotan mentah dan setengah jadi
PRO
= Tingkat produktivitas industri furniture rotan Indonesia
VX
= Volume ekspor furniture rotan Indonesia
Lampiran 2. Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.201204 3.581781
Prob. F(2,9) Prob. Chi-Square(2)
0.344831 0.166812
VX (kg) 25605640 27649490 35902652 45570376 46896468 42248220 38992496 30714876 10420444 43999316 49585439 53552508 64412367 53023894 65802984 71817324 70447864
68
Lampiran 3. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang mempengaruhi Daya Saing Dependent Variable: RCA Sample: 1990 2006 Included observations: 17 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNNX LNNP PRO LNVXBB DKBJ C
7.049641 -15.34441 3.299417 0.176310 -8.331012 125.6394
2.270754 4.021863 4.339820 0.346230 4.322693 70.83657
3.104537 -3.815248 0.760266 0.509228 -1.927273 1.773652
0.0100 0.0029 0.4631 0.6207 0.0802 0.1038
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.723608 0.597975 3.861703 164.0402 -43.39059 1.220652
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
11.93603 6.090494 5.810658 6.104733 5.759710 0.007495
Lampiran 4. White Heteroscedasticity Test White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.296324 10.62508
Prob. F(9,7) Prob. Chi-Square(9)
0.374326 0.302285
Lampiran 5. Correlation Matrix LNNX LNNP LNNX 1.000000 -0.044585 LNNP -0.044585 1.000000 PRO 0.199123 0.219875 LNVXBB -0.040100 0.507470 DKBJ 0.423140 -0.032097
PRO LNVXBB DKBJ 0.199123 -0.040100 0.423140 0.219875 0.507470 -0.032097 1.000000 0.301944 0.574759 0.301944 1.000000 0.346834 0.574759 0.346834 1.000000
69
Lampiran 6. Jarque Bera-Test 7 Series: Residuals Sample 1990 2006 Observations 17
6 5 4 3 2 1 0 -10.0
-7.5
-5.0
-2.5
0.0
2.5
5.0
7.5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
6.40e-15 0.270341 7.002411 -8.173960 3.201955 -0.351598 4.547625
Jarque-Bera Probability
2.046818 0.359368