ANALISIS INDUSTRI PAKAIAN JADI (GARMEN) DI INDONESIA (Pendekatan Structure-Conduct-Performance)
OLEH RYAN FEBRIYANTI H14102071
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKUTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
RYAN FEBRIYANTI. Analisis Industri Pakaian Jadi (Garmen) di Indonesia (Pendekatan Structure-Conduct-Performance) (dibimbing oleh BUNGARAN SARAGIH). Industri pakaian jadi merupakan industri yang bersifat padat karya dan memiliki kontribusi yang cukup tinggi pada nilai ekspor TPT di Indonesia. Namun terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh industri pakaian jadi pada saat ini, antara lain mengenai penyelundupan produk pakaian jadi dari China dengan harga murah serta masalah restrukturisasi permesinan. Hal ini tentu mengakibatkan ketatnya persaingan yang terjadi pada industri pakaian jadi di Indonesia. Ketatnya persaingan dapat mempengaruhi bentuk struktur pasar, perilaku dan kinerja perusahaan-perusahaan pakaian jadi di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisa struktur, perilaku dan kinerja industri pakaian jadi di Indonesia (2) menganalisa pengaruh struktur dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja industri pakaian jadi di Indonesia. Untuk menganalisa struktur pasar, perilaku dan kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia dilakukan analisis deskriptif, sedangkan untuk membahas pengaruh struktur dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja dilakukan analisis regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Squared (OLS), dengan menggunakan software E-views 4.1. Hasil penelitian menunjukkan industri pakaian jadi di Indonesia termasuk ke dalam tipe pasar persaingan monopolistik dimana pasar ini bersifat banyak penjual dan pembeli, produk yang heterogen, serta hambatan untuk masuk dan keluar dari pasar yang rendah. Perilaku-perilaku yang terdapat pada industri pakaian jadi antara lain adalah perilaku dalam menentukan harga berdasarkan pada jenis bahan, inovasi produk pada desain dan warna, promosi produk melalui contact buyer (menghubungi pembeli), pola distribusi yang cenderung ekspor, adanya integrasi vertikal pada industri ini serta perilaku sourcing atau tindakan untuk mencari bahan baku. Kinerja industri pakaian jadi di Indonesia sudah relatif baik dengan menerima margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) yang cukup rendah dengan rata-rata sebesar 24,93 persen dan tingkat efisiensi-X yang cukup tinggi sebesar 60,27 persen. Berdasar pada hasil regresi yang telah dianalisis dapat diketahui pengaruh struktur dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja. Variabel CR4 yang mewakili struktur pasar berpengaruh secara signifikan dan negatif terhadap kinerja (PCM). Karena tingginya tingkat persaingan yang terdapat pada industri pakaian jadi di Indonesia akan semakin mengurangi keuntungan yang diterima. Faktor lainnya yang diwakili oleh variabel Growth berpengaruh secara signifikan terhadap PCM. Sementara variabel krisis (dummy) tidak berpengaruh terhadap PCM. Variabel efisiensi-X dan Produktivitas berpengaruh secara signifikan terhadap PCM. Oleh karena itu jika terjadi peningkatan terhadap ketiga variabel yang signifikan
tersebut maka kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia juga akan mengalami peningkatan. Berdasar pada hasil penelitian ini dapat dibuat saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu agar meneliti industri-industri lain yang tergabung dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Sehingga dapat diketahui bagaimana bentuk struktur pasar, perilaku dan kinerja yang terdapat pada industri lainnya sebagai bagian dari industri TPT di Indonesia.
ANALISIS INDUSTRI PAKAIAN JADI (GARMEN) DI INDONESIA (Pendekatan Structure-Conduct-Performance)
Oleh RYAN FEBRIYANTI H14102071
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKUTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Ryan Febriyanti
Nomor Registrasi Pokok
: H14102071
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Industri Pakaian Jadi (Garmen) di Indonesia (Pendekatan Structure-Conduct-Performance)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. NIP. 130 350 045
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi.
Dr. Ir.Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU HASIL KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2006
Ryan Febriyanti H14102071
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ryan Febriyanti lahir pada tanggal 1 Februari 1985 di Jakarta, Ibukota negara Republik Indonesia. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Mufrizal Ramadhani dan Sri Nurdiaty. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN 07 Pagi Jakarta Timur, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 252 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 81 Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis meninggalkan Ibukota Jakarta tercinta untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan Ibukota Jakarta pada khususnya dan kota-kota lain pada umumnya. Penulis masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif pada organisasi Hipotesa dan menjabat sebagai bendahara. Keikutsertaan penulis pada organisasi ini telah memberikan banyak manfaat dan pengalaman.
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI....................................................................................................
i
DAFTAR TABEL............................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
vi
I. PENDAHULUAN ........................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..........................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................................
8
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................................
8
II. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................
9
2.1. Pengertian Industri ....................................................................................
9
2.2. Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja ......................................................
10
2.3. Pengertian Industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil)..............................
12
2.4. Struktur Pasar ............................................................................................
14
2.4.1 Pangsa Pasar.....................................................................................
17
2.4.2 Konsentrasi.......................................................................................
17
2.4.3 Hambatan Untuk Masuk ..................................................................
18
2.4.4. Pasar Persaingan Monopolistik .......................................................
19
2.5. Perilaku Pasar............................................................................................
20
2.5.1. Kerjasama dan Kolusi .....................................................................
21
2.5.2. Integrasi Vertikal, Konglomerasi dan Merger ................................
22
2.5.3. Diferensiasi Produk.........................................................................
23
2.6. Kinerja Pasar .............................................................................................
24
2.7. Penelitian Terdahulu .................................................................................
26
2.8. Kerangka Pemikiran..................................................................................
29
2.9. Hipotesis....................................................................................................
30
ii
III. METODOLOGI PENELITIAN.................................................................
32
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................
32
3.2. Jenis dan Sumber Data ..............................................................................
32
3.3. Metode Analisis ........................................................................................
33
3.3.1. Struktur Pasar ..................................................................................
34
3.3.2. Perilaku Pasar..................................................................................
36
3.3.3. Kinerja Pasar ...................................................................................
38
3.3.4. Hubungan Struktur dan Faktor Lainnya dengan kinerja .................
39
3.3.5. Uji Statistika dan Ekonometrika .....................................................
45
IV. GAMBARAN INDUSTRI PAKAIAN JADI DI INDONESIA................
50
4.1. Sejarah Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi (Garmen) .............................
50
4.2. Periode Pada Industri Pakaian Jadi ...........................................................
52
4.2.1. Periode Sebelum Krisis ...................................................................
52
4.2.2. Periode Krisis ..................................................................................
54
4.2.3. Periode Pasca Krisis........................................................................
56
4.3. Struktur Biaya Industri Pakaian Jadi Indonesia ........................................
59
V. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................
60
5.1. Struktur Pasar ............................................................................................
60
5.1.1. Pangsa Pasar....................................................................................
61
5.1.2. Konsentrasi......................................................................................
62
5.1.3. Hambatan Masuk ............................................................................
63
5.2. Perilaku Pasar............................................................................................
64
5.2.1. Strategi Harga dan Produk .............................................................
64
5.2.2. Strategi Promosi .............................................................................
66
5.2.3. Strategi Distribusi...........................................................................
66
5.2.4. Integrasi Vertikal............................................................................
67
5.2.5. Perilaku Lainnya yang Terkait dengan Industri Pakaian Jadi di Indonesia ....................................................................................
68
5.3. Kinerja Pasar .............................................................................................
70
5.4. Hubungan Struktur dan Faktor Lainnya dengan Kinerja ..........................
71
V. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................
83
iii
6.1. Kesimpulan ...............................................................................................
83
6.2. Saran..........................................................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
86
LAMPIRAN.....................................................................................................
88
iv
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Tabel Profil Industri Pakaian Jadi .............................................................
2
2.1. Tabel Ciri-ciri Tipe Pasar..........................................................................
15
4.1. Tabel Utilitas Produksi Industri Pakaian Jadi ...........................................
54
4.2. Tabel Ekspor dan Impor Industri Pakaian Jadi .........................................
58
5.1. Hasil Dugaan Awal Persamaan PCM Pada Industri Pakaian jadi Indonesia ........................................................
72
5.2. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen Tahap Awal ...........................
74
5.3. Hasil Dugaan Persamaan PCM Pada Industri Pakaian Jadi Indonesia .....
75
5.4. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen ................................................
76
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Hubungan Struktur-Perilaku-Kinerja ........................................................
11
2.2. Bagan Kerangka Pemikiran ......................................................................
30
4.1. Nilai Ekspor Industri yang Terdapat Pada Industri TPT Nasional ...........
57
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Nama-Nama Perusahaan Garmen Berskala Besar .......................................
88
2. Struktur Biaya Industri Pakaian Jadi Indonesia ...........................................
89
3. CR4 Industri Pakaian Jadi Indonesia ...........................................................
90
4. Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Pakaian Jadi Indonesia(1983-2003)................................................
91
5. Price-Cost-Margin Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) ...............
92
6. Nilai Efisiensi-X Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) ..................
93
7. Growth Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) .................................
94
8. Produktivitas Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) ........................
95
9. Hasil Estimasi Output Regresi Dan Uji Ekonometrika................................
96
10. Uji Multikolinearitas ..................................................................................
97
11. Hasil Estimasi Output Regresi Dan Uji Ekonometrika Tahap 1................
98
12. Uji Multikolinearitas Tahap 1 ....................................................................
99
13. Hasil Output Minitab Tahap 1 ................................................................... 100 14. Hasil Estimasi Output Regresi Dan Uji Ekonometrika Tahap 2................ 101 15. Hasil Estimasi Output Regresi Dan Uji Ekonometrika Tahap 3................ 102 16. Hasil Estimasi Output Regresi Dan Uji Ekonometrika Tahap 4................ 103 17. Barang Hasil Produksi Industri Pakaian Jadi (Garmen) ............................ 104
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) berperan cukup penting bagi
banyak negara dalam memulai proses industrialisasi. Bagi Indonesia, TPT yang semula hanya merupakan produksi substitusi impor saat ini telah berubah menjadi komoditi ekspor andalan. Menurut ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Benny Sutrisno, ekspor industri TPT Indonesia pada tahun 2005 mencapai US$ 7,5 Miliar dan diproyeksikan untuk tahun 2006 ini mencapai US$ 8,35 Miliar (Kompas, 2006). Menurut API, TPT Indonesia juga memiliki daya saing yang relatif baik di pasar internasional. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki industri pertekstilan yang lengkap dari hulu ke hilir, yakni dari produk serat (fibers), produk benang/pemintalan (spinning), pertenunan (weaving), rajutan (knitting), pakaian jadi (garment), dan produk tekstil lainnya (other textile). Indonesia memiliki industri pemintalan (spinning) yang besar di kawasan Asia dan Oceania. Demikian pula dengan industri pertenunan yang produksinya kedua terbesar setelah Cina, serta industri pakaian jadi yang dikenal di dunia internasional. Sampai saat ini Indonesia menjadi negara pengekspor ke-11 terbesar di dunia dengan pangsa pasar 3,15 persen dari total pasar tekstil dunia sebesar US$ 194,7 Miliar pada tahun 2004. Untuk ekspor pakaian jadi, Indonesia menempati urutan kesembilan dengan pangsa pasar sebesar 4,45 persen dari total nilai pasar tekstil dunia sebesar US$ 258,1 Miliar (Kompas, 2006).
2
Pada industri TPT ini, salah satu sub sektor yang cukup menjadi pusat perhatian adalah sub sektor industri pakaian jadi atau garmen. Hal tersebut dikarenakan industri pakaian jadi merupakan sub-sektor industri hilir dengan sifat padat karya. Selain itu, sub sektor ini memiliki kontribusi yang cukup tinggi pada nilai ekspor TPT di Indonesia. Seperti yang sudah terangkum dalam tabel 1.1, pada tahun 2004 industri pakaian jadi mengalami peningkatan kapasitas produksi dan produksi riil yang masing-masing sebesar 12,88 persen dan 12,14 persen dibandingkan tahun 2003. Pada tahun 2004 terjadi penurunan volume ekspor sebesar 2,84 persen dibanding tahun sebelumnya. Namun karena rata-rata unit price produk pakaian jadi pada tahun tersebut meningkat 13,17 persen, maka secara keseluruhan terjadi peningkatan nilai ekspor sebesar 9,94 persen. Tabel 1.1. Tabel Profil Industri Pakaian Jadi Deskripsi Perusahaan Investasi Kapital Mesin Tenaga Kerja Kapasitas Produksi Produksi Value Ekspor
Volume Value Volume
Unit Unit Milyar Rp Unit Pekerja ‘000 Ton Milyar Rp ‘000 Ton Juta US$ ‘000 Ton
2002 849 2.913 285.136 350.901 591 52.085 462 3.805 328
Tahun 2003 2004 855 861 2.958 n/a 290.838 n/a 352.457 353.590 590 666 54.637 55.887 461 3.926 332
517 4.289 324
2005 n/a n/a n/a n/a n/a 48.545 383 4.899 367
Sumber: API, 2005
Namun terdapat beberapa permasalahan yang harus dihadapi oleh industri pakaian jadi pada saat ini. Impor produk pakaian jadi ilegal atau penyelundupan merupakan isu utama yang bahkan tidak saja harus dihadapi oleh industri pakaian jadi tetapi juga merupakan isu utama yang harus dihadapi oleh industri tekstil dan
3
produk tekstil (TPT) nasional. Penyelundupan yang terjadi lebih dikarenakan banyaknya produk-produk pakaian jadi dengan harga murah yang berasal dari Cina memenuhi pasar pakaian jadi didunia. Sehingga banyak dari pengusaha yang melihat peluang tersebut memasukkan produk-produk pakaian jadi dari Cina ke Indonesia dengan berbagai cara. Menurut Sekretaris Eksekutif BPN API, Ernovian G. Ismy, data penyelundupan TPT selama tahun 2004 meningkat. Ini berdasarkan total konsumsi nasional sebanyak 881.904 ton, tetapi total penjualan produsen TPT lokal hanya sebanyak 634.000 ton. Artinya terdapat selisih angka sebanyak 247.904 ton, atau TPT ilegal mengambil porsi TPT domestik sebesar 20 persen (Bisnis Indonesia, 2006). Sekretaris Eksekutif BPN API, Ernovian G. Ismy, menjelaskan keberadaan produk TPT ilegal tersebut semakin mengganggu produk lokal, terutama kategori produk pakaian jadi yang dihasilkan oleh industri menengahkecil. Peranan industri pakaian jadi menengah-kecil dan rumahan, imbuhnya, sangat besar menyerap output industri pertenunan (weaving) dan perajutan (knitting). Jika pasar industri pakaian jadi menengah-kecil dan rumahan mengalami gangguan, maka hal ini juga akan menggganggu industri di sektor hulu pertenunan dan perajutan, bahkan produsen serat (Bisnis Indonesia, 2006). Dari data penjualan TPT domestik, diketahui bahwa industri pakaian jadi menengah-kecil dan rumahan punya peran sentral dalam rantai pola distribusi, khususnya sebagai pembeli utama produk kain domestik. Dari total output produk kain tahun 2004 sebanyak 131 juta ton, sebanyak 39,4 persen diserap oleh industri
4
pakaian jadi menengah-kecil dan rumahan, sementara 42,6 persen diserap oleh industri pakaian jadi besar dan sisanya diekspor (Bisnis Indonesia, 2006). Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah di dalam menghadapi permasalahan penyelundupan yang tengah dialami oleh industri TPT adalah dengan
diterbitkannya
Surat
Keputusan
(SK)
oleh
Menperindag
No.
276/MPP/Kep/4/2003 tentang Varifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). SK tersebut bertujuan untuk mengantisipasi kegiatan penyelundupan yang masih marak terjadi di Indonesia, meningkatkan upaya perlindungan konsumen dari dampak negatif importasi tekstil dan produk tekstil dan meningkatkan iklim usaha yang kondusif. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mengurangi tingkat penyelundupan yang semakin marak terjadi dan memberikan berbagai dampak positif lainnya bagi industri pakaian jadi di Indonesia. Masalah lain yang juga dialami oleh industri pakaian jadi Indonesia adalah masalah restrukturisasi mesin. Industri pakaian jadi memiliki mesin berusia lebih dari 10 tahun sebanyak 31.997 unit. Industri pakaian jadi sebagai bagian dari industri TPT termasuk ke dalam industri yang beresiko tinggi, hal ini membuat perbankan nasional sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit mereka kepada industri pakaian jadi (Sinar Harapan, 2006). Standar operasional bank menerapkan aturan pengajuan kredit harus dianalisis melalui 5C, yakni pertama, Carracter guna menunjukkan track record debitur; kedua, Capital untuk mengetahui kemampuan finansial mengembalikan kredit; ketiga, Condition of Economy yakni prospek bisnis berkaitan dengan
5
situasi sekarang dan dimasa mendatang; keempat, Capacity adalah kemampuan meningkatan usahanya dalam memenuhi kewajiban kepada bank; dan kelima, Collateral untuk mengetahui jaminan debitur terhadap kemungkinan risiko yang timbul. Dari kelima analisis tersebut, industri TPT paling tidak memenuhi syarat Capacity. Sektor ini dinilai tidak mampu meningkatkan kemampuan usahanya yang diduga disebabkan oleh masalah manajerial yang masih kurang baik sehingga kinerjanya tidak kompetitif. Hal ini juga dialami oleh industri pakaian jadi nasional sebagai bagian dari industri TPT (Sinar Harapan, 2006). Pada sisi lain, pihak perbankan membantah tidak menyalurkan kredit kepada sektor TPT. Bank tetap bersedia menyalurkan kredit kepada industri TPT guna mendorong industri TPT agar dapat menyelesaikan masalah yang kini tengah dihadapi oleh industri tersebut. Namun, hal tersebut dilakukan perbankan secara selektif dan melihat perkembangan dari sektor-sektor TPT, termasuk di dalamnya industri pakaian jadi. Jika restrukturisasi permesinan dapat segera dilakukan, maka produsen-produsen pakaian jadi nasional tentu akan dapat bersaing dengan produsen-produsen lainnya yang berasal dari luar negeri. Berdasarkan pada situasi yang tengah dihadapi oleh industri pakaian jadi saat ini, maka penelitian mengenai industri pakaian jadi ini dirasakan cukup menarik bagi peneliti untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
1.2.
Perumusan Masalah Industri pakaian jadi merupakan industri padat karya yang dapat
memperkerjakan jutaan pekerja. Selain itu, investasi yang terdapat pada industri
6
ini memiliki nilai yang sangat besar. Investasi yang terdapat pada industri pakaian jadi sebagai bagian dari industri TPT pada tahun 2003 jumlahnya hampir mencapai US$ 3 Miliar dengan tenaga kerja langsung sebanyak 360.000 orang dan tenaga kerja tidak langsung 700.000 orang (Sinar Harapan, 2006). Industri pakaian jadi sebagai penyumbang ekspor terbesar dari seluruh ekspor TPT pada saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan antara lain perubahan permintaan pasar yang semakin cepat. Seiring dengan percepatan perkembangan fashion dunia yang tidak hanya mengandalkan musim tetapi trend mode, menyebabkan pesanan untuk pakaian jadi pun cepat berubah. Kemampuan industri pakaian jadi untuk berkompetisi tidak hanya di pasar global tetapi juga di pasar domestik sangatlah tergantung pada keseriusan semua pihak sehingga industri ini dapat terus berkembang. Kondisi lainnya yang saat ini juga dihadapi oleh industri pakaian jadi Indonesia adalah produk-produk pakaian jadi dari Cina yang semakin memenuhi pasar domestik, baik yang legal maupun ilegal. Data API menunjukkan total pertumbuhan impor pakaian jadi Cina yg tercatat resmi, belum termasuk ilegal, dalam lima tahun terakhir, tahun 2004 mencapai 380 persen (Kompas, 2006). Produk-produk tersebut diperjualbelikan dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan produk-produk dari dalam negeri, hal ini tentu saja sangat merugikan produsen pakaian jadi nasional. Selain murah, produk dari Cina juga memiliki keunggulan dalam desain. Sebagai contoh, setelan baju tidur (anak perempuan) dari Cina dijual seharga Rp 350.000 per kodi (20 pasang atau Rp 17.500 per pasang). Harga untuk produk lokal yang sejenis adalah lebih dari Rp
7
400.000 per kodi atau Rp 20.000 per pasang. Setelan pakaian anak-anak yang terdiri dari celana, rompi, dan kaus diperdagangkan hanya Rp 40.000 per pasang. Sementara itu celana untuk anak-anak buatan dalam negeri dijual dengan harga Rp 30.000 per potong (Kompas, 2006). Masalah restrukturisasi permesinan pada industri pakaian jadi juga merupakan sebuah hambatan dalam meningkatkan produktivitas dalam industri ini. Sebagian besar mesin tergolong tua, buatan tahun 1970-an, dengan tingkat efisiensi yang rendah. Data API menyebutkan bahwa pada industri pakaian jadi terdapat sekitar 81 persen mesin tua yang memerlukan adanya peremajaan (Kompas, 2006). Berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh industri pakaian jadi serta semakin meningkatnya jumlah perusahaan-perusahaan pakaian jadi di Indonesia, mengakibatkan ketatnya persaingan yang terjadi pada industri ini. Hal ini tentu mempengaruhi bentuk struktur pasar dari industri industri pakaian jadi di Indonesia. Selanjutnya untuk dapat terus bertahan dalam persaingan yang semakin ketat, perusahaan-perusahaan tersebut melakukan beberapa perilaku. Kinerja dari industri pakaian jadi pada akhirnya yang menentukan apakah perusahaanperusahaan yang berada dalam industri tersebut sudah termasuk perusahaanperusahaan yang sudah dikelola dengan baik. Dari berbagai hal yang telah diuraikan maka permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu : 1) Bagaimana struktur, perilaku, dan kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia?
8
2) Bagaimana pengaruh struktur (CR4) dan faktor-faktor lainnya (Growth, Produktivitas, dan Dummy) terhadap kinerja (PCM) industri pakaian jadi di Indonesia?
I.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada maka penelitian ini
bertujuan untuk: 1) Menganalisa struktur, perilaku dan kinerja industri pakaian jadi di Indonesia, 2) Menganalisa pengaruh struktur (CR4) dan faktor-faktor lainnya (Growth, Produktivitas, dan Dummy) terhadap kinerja (PCM) industri pakaian jadi di Indonesia.
I.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:
1) Gambaran yang lebih jelas mengenai industri pakaian jadi di Indonesia. 2) Bahan rujukan bagi pembaca dan informasi untuk penelitian selanjutnya. 3) Sarana pembelajaran bagi penulis dalam memahami industri pakaian jadi dan dalam menerapkan ilmu yang telah didapatkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam memahami dan menganalisis perihal hubungan struktur, perilaku dan kinerja pasar akan diperlukan pengetahuan tentang teori dalam ekonomi industri. Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi yang membantu menjelaskan mengapa pasar perlu diorganisir dan bagaimana pengorganisasiannya mempengaruhi cara kerja pasar industri. Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku dan kinerja pasar (Jaya, 2001).
2.1.
Pengertian Industri Industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan
barang-barang yang homogen, atau barang-barang yang mempunyai sifat saling mengganti yang erat (Hasibuan, 1993). Sedangkan menurut Dumairy (1995) istilah industri mempunyai dua arti. Pertama, industri dapat berarti himpunan perusahaan-perusahaan sejenis. Dalam konteks ini sebutan industri tekstil, misalnya, berarti himpunan atau kelompok perusahaan penghasil tekstil. Kedua, industri dapat pula merujuk ke suatu sektor ekonomi yang di dalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Sementara itu, industri berbeda dengan perusahaan, sebab perusahaan menurut Badan Pusat Statistik (2002) merupakan suatu satuan usaha yang melakukan kegiatan ekonomi dengan tujuan menghasilkan dan atau menjual
10
barang atau jasa. Perusahaan tersebut terletak atau menempati lokasi tersendiri dan bersifat menetap, mempunyai aktivitas dan catatan administrasi yang dapat dipisahkan dari kegiatan lain serta ada seorang atau lebih yang bertanggung jawab penuh atas resiko usaha serta dapat menjamin kelangsungan usaha tersebut baik sebagai pemilik atau pimpinan ataupun sebagai pekerja.
2.2.
Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja Model Struktur-Perilaku-Kinerja (Structure-Conduct-Performance), pada
awalnya menggunakan kesimpulan dari analisis mikroekonomi untuk membahas organisasi industri. Dalam paradigma Struktur-Perilaku-Kinerja, suatu industri sangat bergantung kepada perilaku pembeli dan penjual, dimana perilaku ini bergantung kepada struktur pasar sedangkan struktur pasar pada gilirannya bergantung kepada kondisi-kondisi dasar atau awal seperti teknologi dan permintaan terhadap suatu produk. Hubungan yang sesungguhnya, bagaimanapun tidak pernah dijelaskan secara detail (Carlton, D.W., et al., 2000). Hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja ditunjukkan dalam gambar 2.1 dimana struktur pasar dianggap mempengaruhi perilaku melalui tingkah laku perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam industri dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerjanya dalam hubungan satu arah atau satu jalur. Sejalan dengan perkembangan studi ekonomi industri maka hubungan antara ketiga variabel semakin kompleks, bukan lagi hanya hubungan satu arah tetapi juga hubungan dua arah (hubungan sebab akibat). Namun sebagian besar analisis
11
hubungan sebab akibat dimulai secara terarah dari struktur yang akhirnya mempengaruhi perilaku dan atau kinerja. Kondisi pasar Permintaan Elastisitas harga Tingkat pertumbuhan Bentuk pemasaran Metode pembelian Elastisitas silang dan elastisitas subtitusi
Penawaran Elastisitas harga Teknologi Daya tahan produk Bahan mentah Kebijakan pemerintah
Struktur (Structure) Struktur biaya Difereniasi produk Hambatan masuk (barriers to entry) Diversifikasi
Integrasi vertikal Skala ekonomi Struktur biaya
Perilaku (Conduct) Strategi harga Iklan Strategi produk
Tingkat kerjasama Riset dan inovasi
Kinerja (Performance) Efisiensi Kemajuan teknologi Full employment
Pemeratan Pertumbuhan
Sumber: Jaya, 2001
Gambar 2.1 Hubungan Struktur-Perilaku-Kinerja
Dalam penelitian-penelitian empiris pada umumnya tingkah laku perusahaan seringkali diabaikan. Pengujian hipotesa dengan pola hubungannya seperti di atas selalu terbentur variabel tingkah laku yang sulit diukur dan
12
dijabarkan sehingga sulit untuk mendapatkan hasil pengujian yang berarti untuk hubungan antara struktur dan perilaku. Oleh karena itu, perkiraan atas kinerja industri dapat diketahui melalui unsur-unsur yang dimasukkan sebagai variabel bebas. Pengujian hipotesa pola hubungan struktur dan kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu indikator tertentu dari struktur pasar seperti tingkat konsentrasi penjual dan menggunakan PCM sebagai indikator kinerja. Tetapi akan lebih baik bila memasukkan unsur-unsur struktur pasar yang lain dalam pengujian.
2.3.
Pengertian Industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) Tekstil merupakan hasil dari proses pertenunan atau perajutan benang
yang hasilnya akan berbentuk tekstil lembaran, tenunan dan rajutan. Produk tekstil adalah hasil proses lanjutan dari tekstil lembaran yang produknya antara lain berupa pakaian jadi untuk keperluan individu (Hartanto, NS dan Watanabe, 1993). Industri tekstil dan industri produk tekstil memiliki pengertian yang terpisah menurut API (2005), industri tekstil merupakan gabungan dari industri pembuatan serat, pemintalan, pertenunan, pencelupan dan penyempurnaan kain. Sementara industri produk tekstil adalah industri yang mencakupi industri pakaian jadi atau garmen dan industri produk tekstil lainnya. Sehingga industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan industri yang mencakup mulai dari industri serat hingga industri produk tekstil lainnya.
13
Secara teknis, struktur industri TPT nasional dibagi menjadi tiga subsektor (Djafrie dalam Yulaekha, 2005), yaitu : 1. Sektor hulu (upstream) Industri sektor hulu adalah industri pembuat serat (fibre) dan pemintal (spinning), seperti serat kapas, serat sintetik, serat selulosa dan bahan baku serat sintetik. Pada umumnya sifat yang dimiliki oleh industri pada sektor hulu adalah padat modal, full-automatic, berskala besar, output tenaga kerja besar dan jumlah tenaga kerja sedikit. 2. Sektor menengah (midstream) Sektor ini meliputi industri yang bergerak pada bidang pemintalan (spinning),
pertenunan
(weaving)
dan
pencelupan
atau
penyempurnaan
(dyeing/finishing). Pada umumnya sifat yang dimiliki oleh sektor menengah adalah semi padat modal dan teknologi yang digunakan telah berkembang serta penyerapan tenaga kerjanya lebih besar dari sektor hulu. 3. Sektor hilir (downstream) Industri yang terdapat pada sektor hilir adalah industri pakaian jadi (garment). Industri pakaian jadi ini merupakan industri yang mengolah bahan kain menjadi produk akhir berupa pakaian jadi yang siap dikonsumsi. Sifat industrinya yang padat karya, mengindikasikan bahwa sektor ini adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Pembeda pada sektor-sektor ini adalah pada jumlah tenaga kerjanya, yaitu sebagian besar dari tenaga kerjanya adalah wanita.
14
2.4.
Struktur Pasar Istilah struktur pasar (market structure) mengacu pada semua aspek
(feature) yang dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja perusahaan di suatu pasar, misalnya, jumlah perusahaan di pasar, atau jenis produk yang mereka jual (Lipsey, et al., 1996). Untuk menyederhanakan analisis struktur pasar, para ahli ekonomi memusatkan perhatian pada empat struktur pasar teoritis yang mencakupi sebagian besar keadaan aktual. Struktur ini dinamakan persaingan sempurna, monopoli, persaingan monopolistik, dan oligopoli. Perbedaan struktur pasar yang ada dapat terjadi karena (Legowo, 1996) : 1. Adanya perbedaan dalam tingkat konsentrasi antara penjual dengan pembeli yang diukur dari jumlah penjual dan pembeli yang termasuk dalam pasar tersebut. 2. Tingkat mobilitas sumberdaya, dapat diketahui melalui kemudahan produk perusahaan untuk masuk ke dalam pasar atau ada hambatan masuk dalam industri (barriers to entry). 3. Sifat-sifat produk yang ditawarkan, homogen atau heterogen. 4. Kemampuan perusahaan dalam menguasai atau memproduksi sendiri bahanbahan (input) untuk produksi serta kemampuan dalam menguasai saluran distribusi dari produk yang dihasilkan (integrasi vertikal). 5. Tingkat kekuatan perusahaan dalam menguasai sejumlah pasar dari produk yang dihasilkan yang telah didiferensiasi. 6. Tingkat pengetahuan dari pelaku ekonomi (perusahaan, pemasok, konsumen) terhadap harga dan biaya produksi.
15
Ciri-ciri dan tipe pasar suatu industri dapat diketahui sebagai berikut : Tabel 2.1. Ciri-ciri Tipe Pasar Ciri-ciri
Monopoli
Kondisi utama
Memiliki 100 persen pangsa pasar
Indeks HirschmanHerfindhal (HHI) Jumlah Produsen Entry/Exit barrier Tipe produk
HHI 10.000
Kekuasaan menentukan Persaingan selain harga Informasi Profit Efisiensi
Perusahaan Dominan Menguasai 50 persen sampai dengan 100 persen pangsa pasar tanpa pesaing kuat
= 2.500
Oligopoli Gabungan beberapa perusahaan terkemuka yang pangsa pasarnya 60 persen sampai dengan 100 persen 1.000
Persaingan Monopolistik Banyak pesaing yang efektif dan tidak satu pun memiliki lebih dari 10 persen pangsa pasar
Persaingan Murni Lebih dari 50 pesaing yang tidak satupun memiliki pangsa pasar yang berarti
100
HHI<100
Satu
Banyak
Sedikit
Banyak
Sangat tinggi Heterogen
Tinggi
Tinggi
Rendah
Heterogen
Heterogen
Sangat Banyak Sangat rendah Homogen
Sedikit
Tidak ada
Sangat besar Tidak ada
Relatif
Homogen/ Heterogen Relatif
Besar
Besar
Besar
Tidak ada
Sangat terbatas Berlebih
Cukup terbuka Berlebih
Terbatas
Cukup terbuka Normal
Terbuka
Kurang baik
Kurang baik
Cukup baik
Baik
Agak berlebih Kurang baik
Normal
Sumber: diolah dari berbagai sumber.
Pasar monopoli terdiri dari satu produsen yang menguasai pangsa pasar keseluruhan atau sebesar 100 persen dan memiliki hambatan masuk pasar yang sangat tinggi karena produsen yang menguasai pasar akan berusaha keras agar tidak ada pesaing pada pasar yang dipimpinnya. Pada struktur pasar yang
16
dipimpin oleh perusahaan dominan, pelaku usaha terdiri dari beberapa perusahaan namun hanya ada satu pelaku usaha yang terlihat mendominasi pasar. Hambatan untuk masuk pasar ini cukup tinggi namun biasanya informasi pasarnya cukup terbuka. Pada pasar oligopoli terdapat beberapa pelaku usaha yang memimpin pasar dengan pangsa pasar gabungannya sebesar 60 persen sampai dengan 100 persen. Hambatan masuknya cukup tinggi dan informasi yang diterima terbatas. Para oligopolis juga bertindak sebagai monopolis terutama jika mereka melakukan kerjasama sehingga efisiensinya menjadi kurang baik. Pasar monopolistik terdiri dari banyak produsen dimana banyak pesaing yang efektif dan tidak ada satu pun yang memiliki pangsa pasar diatas 10 persen. Para produsen menjual produknya dengan karakteristik yang berbeda-beda dan dapat menjualnya dengan harga yang diinginkan. Hambatan masuk dan informasinya cukup terbuka sehingga tingkat persaingannya tinggi dan efisiensinya cukup baik. Sementara pasar persaingan murni setiap produsen tidak memiliki pangsa pasar yang berarti. Dengan hambatan masuk yang rendah dan informasi yang terbuka maka para pesaing potensial dapat mudah memasuki pasar. Struktur pasar merupakan suatu pokok bahasan yang kompleks, dengan sejumlah
konsep
yang
terpadu
mengevaluasinya (Jaya, 2001).
serta
dibutuhkan
banyak
data
untuk
17
2.4.1. Pangsa Pasar Pangsa pasar dapat juga diartikan sebagai persentase perusahaan dari total pendapatan industri yang dapat diukur dari 0 persen hingga 100 persen. Pangsa pasar yang besar biasanya menandakan kekuatan pasar yang besar, sebaliknya pangsa pasar perusahaan yang kecil berarti perusahaan tidak mampu bersaing dalam tekanan persaingan. Peranan pangsa pasar, seperti halnya elemen struktur pasar lainnya, adalah sebagai sumber keuntungan bagi perusahaan. Hipotesa umum mengatakan adanya hubungan antara tiap pangsa pasar perusahaan dengan tingkat keuntungannya (Jaya,2001).
2.4.2. Konsentrasi Konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaanperusahaan oligopolis di mana mereka menyadari adanya suatu ketergantungan (Jaya, 2001). Kelompok perusahaan ini terdiri dari 2 sampai 8 perusahaan. Kombinasi pangsa pasar mereka membentuk suatu tingkat pemusatan dalam pasar. Alat yang digunakan untuk mengukur konsentrasi perusahaan dalam penelitian ini adalah Concentration Ratio (CR4), yaitu alat ukur paling sederhana untuk mengukur tingkat konsentrasi dari perusahaan-perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar. CR4 dirumuskan: Total jumlah penjualan 4 perusahaan terbesar CR4 =
(2.1) Total penjualan industri
18
Nilai CR4 yang dihasilkan antara nol sampai satu. Semakin besar nilai CR4 yang dihasilkan maka struktur pasar semakin monopoli, sebaliknya jika nilainya semakin kecil (mendekati nol) maka persaingannya sempurna (Jaya, 2001). Rasio konsentrasi yang standar memerlukan data mengenai ukuran pasar secara keseluruhan dan ukuran perusahaan-perusahaan yang memimpin pasar. Pengukuran ini lebih jelas daripada pengukuran yang lain dan mempunyai pengertian yang lebih mantap.
2.4.3. Hambatan Untuk Masuk Menurut Jaya (2001) ada beberapa hal umum mengenai hambatan memasuki suatu pasar yang harus dipahami. Pertama, hambatan-hambatan timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak hanya dalam bentuk perangkat yang legal ataupun dalam bentuk kondisi-kondisi yang berubah dengan cepat. Kedua, hambatan dibagi dalam tingkatan mulai dari tanpa hambatan sama sekali (“bebas masuk”), hambatan rendah, sedang sampai tingkatan tinggi di mana tidak ada lagi jalan masuk. Ketiga, hambatan merupakan sesuatu yang kompleks. Peranan hambatan untuk masuk suatu pasar masih diperdebatkan. Hal lain yang dapat dijadikan faktor hambatan masuk adalah dengan pengukuran Minimum Efficiency Scale (MES). Pesaing baru tidak akan masuk kecuali yakin akan memperoleh keuntungan setelah masuk dalam pasar. Jika MES relatif besar terhadap pasar maka perusahaan baru tidak akan dapat membuka pabrik yang beroperasi secara efisien tanpa meningkatkan output industri.
19
Perusahaan yang memasuki pasar dengan kondisi di bawah MES tidak akan sanggup bersaing dengan perusahaan yang telah ada di pasar. Beberapa ukuran yang dapat dijadikan proksi bagi MES yaitu output dari pabrik terbesar, ukuran rata-rata dari seluruh pabrik yang berada pada kelas distributor tinggi dan ukuran rata-rata dari beberapa pabrik yang terbesar yang menguasai 50 persen output industri.
2.4.4. Pasar Persaingan Monopolistik Persaingan monopolistik adalah suatu jenis pasar yang mempunyai sifatsifat sebagai berikut (Jaya, 2001): 1) Banyak perusahaan dan pembeli Pasar terdiri dari sejumlah besar perusahaan dan pembeli yang bertindak secara bebas. 2) Produk yang dibedakan Produk-produk yang ditawarkan oleh perusahaan yang bersaing memiliki perbedaan dalam satu atau lebih hal antara satu produk dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan ini mungkin dalam hal fisiknya yaitu yang meliputi penampilan atau perbedaan-perbedaan yang diciptakan melalui iklan dan promosi penjualan. 3) Pasar yang bebas dimasuki dan ditinggalkan Pasar yang tidak memiliki hambatan-hambatan untuk dimasuki (barriers to entry)
oleh
perusahaan-perusahaan
baru
atau
hambatan-hambatan
perusahaan-perusahaan yang sudah ada di dalam pasar tersebut untuk ke luar.
bagi
20
4) Dalam jangka pendek akan menghasilkan laba diatas normal Dalam jangka panjang laba diatas normal akan menyebabkan perusahaanperusahaan baru memasuki pasar, yang kemudian akan mengakibatkan turunnya volume penjualan pada tingkat harga yang berlaku. Proses masuknya perusahaanperusahaan baru akan berlangsung sampai laba lebih yang diperoleh sebelumnya tidak ada lagi. Posisi laba yang normal dari perusahaan untuk jangka panjang adalah sama dengan posisi keseimbangan jangka panjang perusahaan tersebut dalam persaingan sempurna. Akan tetapi persaingan monopolistik akan menghasilkan kinerja pasar yang kurang efisien bila dibandingkan dengan persaingan sempurna. Khususnya bagi perusahaan monopolistik yang bersaing untuk memproduksi tingkat output yang lebih rendah dan menjual output tersebut dengan haga yang lebih tinggi dibndingkan dengan harga-harga output perusahaan yang bersaing secara sempurna.
2.5.
Perilaku Pasar Perilaku pasar merupakan tindakan dan kegiatan yang dilakukan
perusahaan-perusahaan dalam kapasitasnya sebagai produsen atau penjual dan pembeli barang dan jasa. Beberapa elemen yang menentukan perilaku pasar (Legowo, 1996): 1. Tujuan perusahaan (Firm Objectives). Contohnya: Laba, target pertumbuhan perusahaan dan lainnya.
21
2. Cara berkompetisi yang dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuannya, terutama dalam kebijakan menentukan harga, besarnya produksi, adanya diferensiasi produk yang dihasilkan. 3. Pengaturan perilaku perusahaan. Seberapa jauh diperkenankannya adanya persaingan
antara perusahaan-perusahaan
dalam pasar. Kemungkinan
terjadinya koordinasi di antara perusahaan dalam menentukan harga dan melakukan kolusi secara terang-terangan (kartel) atau secara diam-diam (price leadership). Perilaku perusahaan menjadi subjek analisis yang menarik hanya jika persaingan yang terjadi tidak sempurna, akan berbeda jika yang terjadi pasar persaingan sempurna. Pada pasar persaingan tidak sempurna, ada insentif bagi perusahaan untuk melakukan promosi, mengamati tindakan pesaing, melakukan kolusi atau kerjasama, atau berusaha menghalangi masuknya perusahaan baru (Jaya, 2001).
2.5.1. Kerjasama dan Kolusi Kerjasama yang dapat bertahan lama akan memberikan keuntungan lebih banyak bagi kelompok perusahaan yang melakukan kerjasama tersebut. Hal itu dikarenakan dengan adanya kerjasama maka kelompok perusahaan dapat menaikkan harga. Kerjasama yang dapat bertahan lama akan menjadikan kolusi berjalan dengan sangat efektif. Semakin sempurnanya kerjasama diantara perusahaan-perusahaan tersebut, pasar akan semakin menyerupai pasar monopoli (Shepperd, 1990).
22
Kondisi-kondisi yang mendorong adanya kolusi antara lain adalah konsentrasi dan kelangkaan, biaya, kondisi permintaan, “titik pusat”, persaingan bukan harga dan informasi. Ada beberapa macam kolusi yang dilakukan oleh perusahaan dalam suatu industri. Kategori-kategori utamanya adalah kartel, pengawasan terhadap masuknya perusahaan baru dan daerah pasar, persetujuan penetapan harga, dan kolusi terselubung (Jaya, 2001).
2.5.2. Integrasi Vertikal, Konglomerasi Dan Merger Merger adalah suatu penggabungan (kombinasi) dua atau lebih perusahaan yang kemudian diberi nama (yang hidup) salah satu dari perusahaan yang bergabung itu. Merger biasanya dilakukan atas dasar pengujian bersama yang bertujuan meningkatkan efisiensi karena diharapkan ada pengaruh sinergis (Legowo, 1996). Terdapat tiga tipe merger: 1. Merger Horizontal adalah merger antara perusahaan-perusahaan dalam pasar yang sama (pesaing dalam pasar). Contoh: pabrik semen A merger dengan pabrik semen B, dll. 2. Merger Vertikal adalah merger perusahaan-perusahaan antara kolom perusahaan (kolom dari industri hulu ke hilir). Contoh: pabrik tepung terigu merger dengan pabrik mie instan, dll. 3. Merger Konglomerat adalah merger antara perusahaan-perusahaan yang tidak ada hubungannya dalam pasar baik vertikal maupun horizontal. Tujuannya
23
untuk melakukan diversifikasi kegiatan dan menyebar resiko. Contoh: bank merger dengan perusahaan otomotif, dll. Integrasi vertikal adalah penggabungan perusahaan-perusahaan yang mempunyai kelanjutan proses produksi. Jenis integrasi juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu integrasi ke hulu (up stream) dan integrasi ke hilir (down stream). Jadi, integrasi dapat terjadi antara perusahaan-perusahaan yang mempunyai proses produksi yang berkelanjutan, baik di hulu maupun di hilir (Hasibuan, 1993). Selanjutnya, istilah konglomerat, yang artinya tidak lebih dari perkumpulan atau pengelompokan memilki sebutan yang lebih umum yaitu merger konglomerat.
2.5.3. Diferensiasi Produk Persaingan akan berjalan dengan sempurna apabila pembeli dapat membandingkan barang yang satu dengan barang yang lainnya. Bila barangbarang didiferensiasi maka persaingan menjadi tidak efektif. Perbandingan produk yang satu dengan yang lainnya menjadi sulit dilakukan karena memang berbeda. Pembeli menjadi tertarik pada suatu produk tertentu. Suatu perusahaan tidak dapat bertahan hidup tanpa menciptakan produk baru. Produk yang sebelumnya dihasilkan akan menjadi semakin dewasa dan pada suatu saat nanti akan mengalami penurunan sehingga layak digantikan. Oleh karena itu sebuah produk memiliki siklus yang dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu perkenalan (introduction), pertumbuhan (growth), kedewasaan (maturity) dan penurunan (decline) (Jaya, 2001).
24
Perilaku pasar menggambarkan tindakan-tindakan perusahaan sebagai akibat dari struktur pasar yang dihadapinya. Perilaku pada penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu : perilaku dalam startegi harga, strategi produk, strategi promosi, dan strategi distribusi. Selain keempat jenis perilaku tersebut, penelitian ini juga akan membahas perilaku lainnya yang terkait dengan industri pakaian jadi di Indonesia.
2.6.
Kinerja Pasar Kinerja pasar adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan
perilaku industri (Hasibuan, 1993). Elemen-elemen yang terdapat di dalam kinerja pasar adalah (Legowo,1996): 1. Efisiensi dalam produksi. Kemampuan berproduksi dengan efisien. 2. Efisiensi dalam penyaluran. Kemampuan mendistribusikan hasil produksi dengan biaya yang rendah (efisien). 3. Efisiensi dalam mengalokasikan sumber daya sehingga harga yang dikenakan kepada pembeli bisa rendah sesuai dengan rendahnya biaya produksi termasuk keuntungan yang normal bagi produsen. 4. Kemampuan memanfaatkan kemajuan teknologi, sehingga dapat diperoleh biaya produksi yang rendah dan teknik distribusi yang lebih tepat. 5. Kinerja berupa mutu, harga dan jumlah (variasi produk) yang sesuai dan bisa memuaskan konsumen (masyarakat). Kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek namun biasanya dipusatkan pada tiga aspek pokok yaitu efisiensi, kemajuan teknologi
25
dan keseimbangan dalam industri (Jaya, 2001). Efisiensi mempunyai dua bagian utama, yaitu efisensi internal dan efisiensi alokasi. Tingkat efisiensi internal menggambarkan perusahaan yang dikelola dengan baik. Efisiensi ini diukur dengan perbandingan nilai tambah dan nilai input setiap perusahaan. Sedangkan efisiensi alokasi menggambarkan alokasi sumber daya ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi perbaikan dalam berproduksi yang dapat menaikkan nilai output. Kemajuan teknologi dan tindakan inovasi merupakan suatu bentuk upaya terus-menerus untuk melakukan tindakan-tindakan yang memberikan dorongan kemajuan. Sementara keseimbangan dalam industri dilihat dalam pemenuhan kebutuhan dan keinginan untuk memenuhi harapan-harapan serta penghargaan yang nyata dan bernilai. Kinerja juga dapat dilihat dari pola keuntungan yang didapat perusahaanperusahaan dalam industri. Pola keuntungan ini dapat digambarkan oleh PriceCost-Margin (PCM). Penggunaan PCM sebagai variabel kinerja pertama kali digunakan oleh Collins dan Preston pada tahun 1968. PCM dapat diperoleh dengan membagi selisih antara nilai tambah dikurangi upah yang harus dibayarkan terhadap nilai pengiriman (Jaya, 2001). Nilai tambah adalah nilai pengiriman dikurangi nilai material, persediaan dan tempat penyimpanan, bahan bakar, tenaga listrik dan kontrak kerja. Upah yang harus dibayarkan merupakan total pengeluaran perusahaan untuk membayar tenaga kerja. Sedangkan nilai barang yang dihasilkan adalah bagian dari nilai output perusahaan yang menunjukan jumlah total dari hasil produksi. Analisis
26
tentang hubungan stuktur dan kinerja pasar akan berusaha menunjukan adanya pengaruh antara variabel-variabel struktur pasar terhadap keuntungan yang diproksi dengan PCM. Tingkat PCM yang tinggi hanya dapat tercipta jika terdapat monopoly power atau rasio konsentrasi yang tinggi.
2.7.
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai Struktur-Perilaku-Kinerja dari suatu industri telah
dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Meskipun begitu penelitianpenelitian tersebut meneliti industri yang berbeda-beda dan penelitian ini juga meneliti industri yang berbeda pula dengan penelitian sebelumnya. Dua diantaranya adalah penelitian dengan judul “Analisis Structure-ConductPerformance industri ban di Indonesia” yang telah dilakukan oleh Delima (2005) kemudian mengenai industri susu dengan judul “Analisis Struktur-PerilakuKinerja Industri Susu Di Indonesia” yang telah dilakukan oleh Andiani (2006). Hasil penelitian Delima (2005) menunjukkan bahwa struktur pasar industri ban di Indonesia adalah termasuk ke dalam tipe pasar oligopoli ketat dimana pasar ini terbentuk dikarenakan penggabungan pangsa pasar dari empat perusahaan besar yang menghasilkan pangsa pasar sebesar 60 persen sampai dengan 100 persen. Perilaku dari industri ban Indonesia berdasarkan pada hasil penelitian Delima (2005) antara lain menunjukkan adanya strategi dalam harga berupa adanya kesepakatan harga yang terjadi dalam pasar yang dilakukan oleh asosiasi produsen ban di Indonesia, pengembangan feature produk dengan cara
27
memodifikasi karakteristik fisik produk, mengembangkan kualitas yang sesuai dengan SNI, dan menambah model serta ukuran, perilaku promosi yang dilakukan oleh industri ban Indonesia melalui media massa baik cetak maupun media elektronik. Perilaku pengalihan dari pasar domestik ke pasar ekspor ketika pasar domestik mengalami kelesuan adalah strategi distribusi yang dilakukan oleh produsen ban Indonesia. Dari segi kinerja, industri ban di Indonesia menerima margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) sebesar 17,41 persen selama tahun 1985 sampai dengan tahun 2003. Diduga kasus yang terjadi pada industri ban di Indonesia adalah penurunan konsentrasi rasio disebabkan karena pertambahan jumlah perusahaan pada industri mampu meningkatkan persaingan. Pertambahan jumlah perusahaan (yang relatif cukup besar) pada industri yang bersangkutan, selain menekan konsentrasi rasio juga mampu menciptakan andil pendapatan yang besar. Sehingga secara keseluruhan pendapatan industri yang bersangkutan mengalami peningkatan pertumbuhan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang ada pada industri merupakan perusahaan-perusahaan yang besar dan mempunyai daya saing yang tinggi. Penelitian selanjutnya mengenai industri susu dengan judul “Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Susu Di Indonesia” telah dilakukan oleh Andiani (2006). Hasil dari penelitian dengan menggunakan data dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 tersebut menunjukkan bahwa industri susu di Indonesia memiliki struktur pasar oligopoli ketat. Hal ini berdasarkan pada cukup
28
tingginya tingkat konsentrasi dari industri susu di Indonesia, dengan nilai rata-rata CR4 sebesar 73,79 persen. Perilaku yang terdapat pada industri susu di Indonesia berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya strategi harga dan produk serta strategi promosi. Dalam melakukan penetapan harga, umumnya perusahaan susu melakukan pengamatan tingkat harga yang ditetapkan pesaing dengan asumsi harga yang ditetapkan semua pesaing adalah harga yang tinggi. Strategi produk yang dilakukan oleh produsen susu adalah melakukan inovasi melalui produk dan merek dengan memproduksi susu sesuai dengan jenis. Terdapat tiga jenis susu yang diklasifikasikan lagi sesuai dengan umur konsumen. Pemberian merek dagang pada setiap kemasan yang menarik akan menjadi perhatian konsumen dalam memilih produk untuk dikonsumsi. Sementara itu, strategi promosi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan susu adalah melalui promosi berbentuk merek, promosi berdasarkan industri atau pasar dan promosi secara politik. Kinerja dari industri susu di Indonesia menunjukkan hasil bahwa nilai efisiensi-X dan nilai margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) yang cukup tinggi. Rata-rata efisiensi-X pada industri ini mencapai 66,99 persen. Sementara itu nilai rata-rata PCM pada industri susu mencapai 43,28 persen. Struktur pasar oligopoli ketat memiliki efisiensi yang kurang baik dan keuntungan yang agak berlebih. Meskipun begitu, kebijakan yang dibuat oleh produsen dari masing-masing industri dapat mengantisipasi kelemahan yang terjadi sebagai dampak dari bentuk struktur pasar. Untuk industri susu, produsen
29
dalam industri ini menjaga keseimbangan antara penawaran produksi dan permintaannya yang bertujuan untuk menghindari dari kerugian perusahaan. Sehingga meskipun memiliki struktur pasar yang sama dengan industri ban, industri susu memiliki kinerja yang lebih baik.
2.8.
Kerangka Pemikiran Di dalam kerangka pemikiran untuk menganalisis berjalannya suatu proses
pasar perlu diketahui bahwa ada hubungan antara struktur (structure), perilaku (conduct) dan kinerja (performance) dari industri tersebut. Ketiga unsur tersebut saling berinteraksi, struktur pasar akan mempengaruhi perilaku dan kinerja dari pasar tersebut. Sebaliknya, perilaku pasar dapat mempengaruhi struktur dan kinerja pasar. Demikian pula kinerja pasar dapat mempengaruhi struktur dan perilaku pasar. Pada penelitian ini terlebih dahulu akan menganalisa struktur pasar dan perilaku industri, kemudian untuk selanjutnya menganalisa kinerja industri. Tujuannya adalah untuk menganalisa apakah terdapat suatu kesesuaian hubungan yang tercipta antara struktur dengan perilaku pada industri pakaian jadi di Indonesia dimana kesesuaian maupun ketidaksesuaiannya dapat mempengaruhi kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia. Konsumen atau masyarakat mengharapkan adanya kinerja pasar yang bisa memberikan kesejahteraan kepada mereka antara lain dapat memperoleh barang dan jasa dengan harga murah, mutu baik, jumlah yang cukup, cepat diperoleh dan lain-lainnya. Untuk bisa mendapatkan hal tersebut, maka perlu dilakukan kinerja
30
yang efisien. Semua ini bisa diperoleh jika perilaku industri serta struktur pasarnya mendukung kinerja industri yang bisa mencapai tujuan yang dimaksud. Selain struktur pasar (CR4), variabel efisiensi-X (XEff) dan produktivitas (Prod), penelitian ini juga akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja (PCM) dari industri pakaian jadi di Indonesia diantaranya adalah pertumbuhan output industri (Growth) dan dummy yang berguna untuk membedakan periode sebelum dan sesudah krisis.
Industri Pakaian Jadi di Indonesia
Perilaku
Struktur Pasar
Kinerja
Faktor-faktor Lainnya: 1. Growth 2. Produktivitas 3. Dummy atau Krisis
Gambar 2.2. Bagan Kerangka Pemikiran
2.9.
Hipotesis Berdasarkan keadaan industri pakaian jadi atau garmen di Indonesia dan
teori-teori yang mendasari penelitian ini maka hipotesis yang diajukan adalah: 1. Pendugaan terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri pakaian jadi di Indonesia yaitu:
31
a. Struktur pasar industri pakaian jadi di Indonesia diduga merupakan struktur pasar yang bersifat persaingan monopolistik. b. Perilaku yang dimiliki oleh industri pakaian jadi di Indonesia diduga merupakan perilaku yang terkait dengan harga, produk, promosi dan distribusi produk, serta perilaku-perilaku lainnya yang pada umumnya terdapat di dalam suatu industri karena dipengaruhi oleh struktur pasar. c. Diduga kinerja industri pakaian jadi di Indonesia memiliki tingkat efisiensi-X dan tingkat keuntungan yang diperoleh cukup rendah. Hal ini dikarenakan banyaknya perusahaan yang terdapat dalam industri pakaian jadi dan tingginya persaingan yang terjadi. 2. Mengenai analisis pengaruh struktur dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja diduga struktur pasar (CR4) berpengaruh positif terhadap kinerja (PCM). Variabel lain (Growth, Xeff, Prod) diduga berpengaruh positif terhadap kinerja (PCM). Sedangkan variabel dummy atau krisis diduga berpengaruh negatif terhadap kinerja (PCM).
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data sekunder yang
berasal dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Badan Pusat Statistik, Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan yang semuanya berlokasi di Jakarta. Penelitian ini berlangsung pada bulan Januari - Juni 2006.
3.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diambil dari data-data yang telah diolah pada instansi-instansi terkait yaitu API, BPS dan Departemen perindustrian. Pengumpulan data juga diperoleh dari studi kepustakaan serta literatur yang relevan dengan penelitian ini. Data tersebut berasal dari perpustakaan pusat Institut Pertanian Bogor, perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dan dengan mengambil data-data dari laporanlaporan industri melalui internet. Unit analisa yang digunakan pada penelitian ini adalah industri garmen di Indonesia dan tidak menggunakan unit analisa berupa pemilihan perusahaan. Sehingga tidak diperlukan penjelasan mengenai penentuan sampel dalam penelitian ini. Data yang digunakan untuk analisis SCP secara deskriptif adalah data dari tahun 1983 sampai 2003. Data statistik yang diestimasi merupakan data time series dari tahun 1983 sampai 2003 dan diolah dengan menggunakan software EViews. 4.1. Data statisitk yang diperoleh harus disesuaikan dalam bentuk riil
33
agar dapat menunjukkan keadaan yang sebenarnya pada saat ini dengan cara membagi data nominal dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) kemudian dikalikan dengan 100. Nilairiil =
Nilainominal
X 100
(3.1)
IHPB
IHPB adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya perubahan harga perdagangan besar atau harga grosir dari komoditas-komoditas yng diperdagangkan di suatu negara atau daerah. Komoditas tersebut merupakan produksi dalam negeri yang dipasarkan di dalam negeri, diekspor, atau diimpor (Badan Pusat Statisitk, 2003). IHPB yang digunakan pada penelitian ini adalah IHPB Indonesia dengan tahun dasar 1993 (1993 = 100) yang diperoleh dari BPS.
3.3.
Metode Analisis Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan memberikan gambaran
dari hasil penelitian maupun secara kuantitatif dengan melihat pengaruh variabelvariabel yang saling berhubungan. Pada awal pembahasan mengenai struktur pasar, perilaku dan kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia akan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, sedangkan untuk membahas hubungan struktur dan faktor-faktor lainnya dengan kinerja digunakan metode kuantitatif. Statistik deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole, 1995). Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan
34
informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Statistik kuantitatif digunakan dalam menentukan hubungan antara struktur dan faktor-faktor lainnya dengan kinerja pada industri pakaian jadi di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan untuk melihat kondisi Industri pakaian jadi (garmen) di Indonesia adalah pendekatan SCP (Structure-ConductPerformance) dengan penjelasan sebagai berikut :
3.3.1. Struktur Pasar (Market Structure) a. Pangsa Pasar Setiap perusahaan memiliki pangsa pasarnya sendiri yang berkisar antara 0 persen hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Menurut literatur Neo-Klasik landasan posisi pasar perusahaan adalah pangsa pasar yang diraihnya. Pangsa pasar menggambarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dari hasil penjualannya. msi =
si stot
X
100%
Keterangan: msi = pangsa pasar perusahaan i (%), si = penjualan perusahaan i, stot = penjualan total seluruh perusahaan.
(3.2)
35
b. Konsentrasi Industri Tingkat konsentrasi industri merupakan suatu variabel yang dapat diukur. Dengan mengetahui tingkat konsentrasi maka tipe pasar yang dihadapi suatu industri juga dapat diketahui. Penggunaan CR dalam menjelaskan struktur pasar dilakukan agar konsisten dengan penjelasan hubungan struktur pasar pada hubungan tersebut. CR juga digunakan dalam model untuk menggantikan Indeks Hirschman-Herfindahl (Hd) karena dianggap lebih mewakili kondisi industri pakaian jadi di Indonesia. msi =
si stot
X
100%
(3.3)
Keterangan: CRm = rasio konsentrasi sebanyak m perusahaan (%), msi = pangsa pasar perusahaan ke-i (%). c. Hambatan Masuk Pasar Hambatan masuk pasar dapat dilihat dari mudah atau tidaknya pesaingpesaing potensial untuk masuk ke suatu pasar. Segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru merupakan hambatan untuk masuk. Hambatan-hambatan ini tidak hanya dalam bentuk perangkat-perangkat yang legal tapi juga dapat terjadi secara alami. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat hambatan masuk adalah dengan mengukur skala ekonomis yang didekati melalui output perusahaan yang menguasai pasar lebih dari 50 persen. Nilai output tersebut kemudian dibagi
36
dengan output total industri. Data ini disebut sebagai Minimum Efficiency Scale (MES), Output perusahaan terbesar MES =
(3.4) Output total
3.3.2. Perilaku Pasar (Market Conduct) Penelitian dalam melihat bagaimana perilaku dari pelaku usaha yang berada dalam industri pakaian jadi di Indonesia akan dilakukan dengan penjelasan deskriptif. Pembentukan perilaku yang secara umum dipengaruhi oleh struktur dan kinerja pasar akan dapat dilihat dari variabel-variabel struktur pasar (tingkat konsentrasi perusahaan dan hambatan masuk ke dalam pasar) dan variabel kinerja pasar (PCM dan efisiensi internal). Elemen-elemen dalam perilaku pasar dari industri pakaian jadi Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Strategi harga dan produk Dalam hal ini akan dilihat bagaimana strategi penetapan harga yang akan dilakukan oleh industri pakaian jadi serta bagaimana strategi khusus dalam menentukan produk yang akan dijual. Penetapan harga pada industri pakaian jadi pada umumnya tergantung pada bahan baku sebagai faktor produksi. 2. Strategi promosi Strategi promosi merupakan salah satu perilaku yang dibutuhkan oleh produsen untuk menarik konsumen.
37
3. Strategi distribusi Strategi distribusi juga diperlukan agar produk yang dihasilkan dapat didistribusikan dengan baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Bentuk-bentuk perilaku lainnya dari pelaku usaha industri pakaian jadi di Indonesia yang mungkin terjadi antara lain adalah integrasi vertikal dan Sourcing. Hal tersebut didasarkan atas informasi yang berasal dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia, yang diterima oleh peneliti. Perilaku integrasi vertikal yang terjadi pada industri pakaian jadi disebabkan karena industri pakaian jadi itu sendiri merupakan bagian dari industri tekstil dan produk tekstil yang saling berhubungan. Industri pakaian jadi membutuhkan industri serat dan industri lainnya yang terdapat pada industri TPT untuk menunjang kelangsungan industri pakaian jadi itu sendiri. Perilaku sourcing yang terjadi pada industri pakaian jadi merupakan suatu perilaku atau kegiatan untuk mencari bahan baku. Pembeli (buyer) dalam industri ini terlebih dahulu akan melakukan pemesanan baju, dimana pembeli akan menunjukkan bahan seperti apa yang diinginkannya untuk membuat baju yang akan dipesan. Kemudian produsen pakaian jadi yang menerima pesanan akan mencari bahan tersebut. Kegiatan pencarian bahan inilah yang dinamakan sourcing. Informasi mengenai perilaku dari industri pakaian jadi ini diperoleh dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) serta penelitian kepustakaan dan informasi dari berbagai media.
38
3.3.3. Kinerja Pasar (Market Performance) Untuk menjelaskan kinerja suatu industri dilakukan dengan menggunakan analisis efisiensi internal atau efisiensi-X dan Price-Cost Margin (PCM). Efisiensi internal menunjukkan kemampuan perusahaan dalam kemampuan suatu industri dalam menekan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Semakin efisien suatu perusahaan, semakin besar pula keuntungan yang akan diperoleh. Untuk mengukur tingkat efisiensi internal adalah dengan membagi nilai tambah dengan input industri tersebut. nilai tambah industri XEff =
(3.5) nilai input industri
Nilai tambah diperoleh dengan mengurangkan biaya input terhadap nilai outputnya. Nilai output itu sendiri adalah nilai dari seluruh barang dan jasa atau disebut juga sebagai produk yang dihasilkan oleh sektor-sektor produksi dengan memanfaatkan faktor produksi yang tersedia seperti tenaga listrik yang dijual, jasa industri, keuntungan jual beli, pertambahan stok barang jadi dan penerimaan lain. Sementara itu nilai input memiliki pengertian yang dikelompokkan menjadi dua yaitu :
Input antara adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk barang dan jasa yang digunakan habis dalam proses produksi (bahan baku, bahan penolong, jasa perbankan).
Input primer adalah biaya yang timbul sebagai akibat dari pemakaian faktor produksi dalam suatu kegiatan ekonomi antara lain tenaga kerja, tanah, modal
39
dan kewirausahaan. Contoh : upah gaji, surplus usaha, penyusutan barang modal, dan pajak tidak langsung netto. Variabel yang digunakan sebagai indikator kinerja yang berikutnya adalah proksi dari keuntungan Price-Cost Margin (PCM). PCM dinyatakan sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga diatas biaya produksi. PCM diperoleh dengan membagi selisih antara nilai tambah yang dikurangi pengeluaran upah bagi pekerja dengan nilai barang jadi (output yang dihasilkan). Tingkat PCM yang tinggi umumnya dapat tercipta jika terdapat rasio konsentrasi pasar yang tinggi. P – AVC PCM =
nilai tambah – upah total =
P
(3.6) barang yang dihasilkan
3.3.4. Hubungan Struktur dan Faktor Lainnya dengan Kinerja Hubungan struktur suatu industri dan faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruh kinerja industri tersebut dapat dilihat dengan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Squared (OLS) seperti persamaan 3.7. Pemilihan metode OLS untuk meramalkan model disebabkan oleh mudahnya penggunaan serta pendeskripsian hasil dari regresi. Disamping itu metode ini juga lebih sederhana jika dibandingkan dengan metode lain. Metode ini merupakan salah satu metode yang cukup sering digunakan para peneliti di bidang ekonomi untuk melihat hubungan antar variabel-variabel ekonomi.
40
Variabel terikat dalam model ini adalah proksi dari keuntungan suatu industri yaitu PCM (%). Variabel bebas yang digunakan adalah konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4), pertumbuhan output (growth), effisiensi-X (XEff), produktivitas (Prod), dan dummy untuk membedakan periode sebelum dan sesudah krisis. Penggunaan variabel PCM sebagai proksi keuntungan telah digunakan oleh Collins dan Preston pada tahun 1968 kemudian digunakan pula oleh Shepherd pada tahun 1972 dan kini semakin banyak digunakan dalam penelitian-penelitian ilmiah (Delima, 2005). Penelitian ini menggunakan model yang pernah digunakan oleh Delima (2005) yang juga mengacu kepada model (persamaan 3.7) yang pernah digunakan oleh Chou (1986). Aspek perdagangan luar negeri dimasukkan sebagai faktor yang diperkirakan mempengaruhi hubungan struktur dengan kinerja. Kemudian Delima (2005) menggantikan beberapa variabel karena dianggap tidak sesuai dengan kondisi industri yang ditelitinya. PCMt = a0+a1HDt+a2MESMSt+a3GRSt+a4Pet+a5Tmt+a6Txt+a7FDIt+ut
(3.7)
Keterangan: PCM
= Price-Cost Margin,
HD
= Indeks Hirschman-Herfindahl,
MESMS
= Pangsa pasar domestik tiap perusahaan untuk mencapai skala efisiensi minimum,
GRS
= Tingkat pertumbuhan nilai produksi industri yang mewakili kondisi permintaan pasar,
PE
= Variabel dummy yang mewakili perusahaan Negara,
41
Tm
= Intensitas impor,
Tx
= Intensitas ekspor,
FDI
= Rasio jumlah perusahaan asing terhadap total jumlah perusahaan yang ada,
u
= Unsur gangguan,
a0
= Intercept,
a1,a2,a3,a4,a5,a6,a7
= Koefisien kemiringan parsial,
a1>0 ; a2>0 ; a3>0 ; a4>0 ; a5<0 ; a6<0 ; a7<0. Delima (2005) menggantikan variabel Hd dengan variabel CR4 karena dianggap lebih mewakili struktur industri yang ditelitinya. Variabel MESMS dan FDI juga tidak digunakan karena adanya keterbatasan data. Sementara itu variabel PE tidak digunakan pula karena sudah tidak ada lagi perusahaan yang berstatus sebagai perusahaan negara. Variabel MES juga tidak dapat digunakan, hal ini dikarenakan variabel ini tidak memberikan hasil terbaik pada penelitian ini. Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka model yang digunakan oleh Delima (2005) dan yang akan digunakan sebagai model acuan pada penelitian ini adalah: PCMi=a0+a1CR4t+a2Growtht+a3Tmt+a4Txt+a5XEfft+a6Prodt+a7dummy+ut
(3.8)
Keterangan: PCMi
=
Rasio keuntungan industri yang mencerminkan kelebihan atas biaya langsung pada tahun ke-t (%)
CR4t
=
Konsentrasi empat perusahaan terbesar dalam suatu industri pada tahun ke-t (%)
42
GRSt
=
Tingkat pertumbuhan nilai produksi industri yang mewakili kondisi permintaan pasar pada tahun ke-t (%)
Tmt
=
Intensitas impor tahun ke-t (%)
Txt
=
Intensitas ekpor tahun ke-t (%)
XEfft
=
Rasio
efisiensi
yang
dinyatakan
sebagai
perbandingan antara nilai tambah dan nilai input industri pada tahun ke-t untuk mengukur efisiensi industri (%) Prodt
=
Produktivitas
yang
dinyatakan
sebagai
perbandingan antara nilai output dan nilai input tenaga kerja pada tahun ke-t (%) dummy
=
Variabel pembeda periode sebelum dan sesudah krisis
ut
=
Unsur gangguan
a0
=
Intercept
a1,a2,a3,a4,a5,a6,a7
=
Koefisien kemiringan parsial
a1>0 ; a2>0 ; a3<0 ; a4>0 ; a5>0 ; a6>0 ; a7<0. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Nilai tambah - upah PCMi
=
Tmt
=
x 100%
(3.9)
Barang yang dihasilkan Imports x 100% Sales
(4.0)
43
Exports Txt
=
XEfft
=
Prodt
=
x 100%
(4.1)
Sales Nilai tambah industri x 100%
(4.2)
x100%
(4.3)
Barang yang dihasilkan Nilai output Nilai input tenaga kerja Model yang akan digunakan pada penelitian ini dan yang telah digunakan
oleh Delima (2005), menggunakan variabel efisiensi-X. Hal ini didasarkan pada pendapat Shepherd (Shepherd dalam Delima, 2005) yang mengatakan bahwa kinerja merupakan fungsi dari pangsa pasar, konsentrasi, hambatan masuk, efisiensi internal, dan kondisi eksternal. Variabel produktivitas juga digunakan dalam model PCM pada penelitian ini. Penggunaan variabel produktivitas dalam model PCM ini mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu Delima (2005) dan Andiani (2006). Pemilihan variabel CR4 dilakukan karena variabel ini dapat mewakili kondisi industri pakaian jadi di Indonesia. Variabel Tx dan Tm tidak dapat digunakan dalam penelitian ini karena adanya keterbatasan data, dimana data penjualan (sales) tidak dapat dipublikasikan oleh perusahaan-perusahaan pakaian jadi (garmen). Selain itu, variabel Growth digunakan untuk meneliti pertumbuhan output yang terjadi pada industri pakaian jadi di Indonesia. Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya maka model yang akan digunakan pada penelitian ini adalah persamaan (4.4), atau PCMt = a0+a1CR4t+a2Growtht+a3XEfft+a4Prodt+a5dummy+ut
(4.4)
44
Keterangan: PCMt
=
Rasio keuntungan industri yang mencerminkan kelebihan atas biaya langsung pada tahun ke-t (%)
CR4t
=
Konsentrasi empat perusahaan terbesar dalam suatu industri pada tahun ke-t (%)
Growtht
=
Mencerminkan pertumbuhan output yang terjadi pada tahun ke-t (%)
XEfft
=
Rasio
efisiensi
yang
dinyatakan
sebagai
perbandingan antara nilai tambah dan nilai input industri pada tahun ke-t untuk mengukur efisiensi industri (%) Prodt
=
Produktivitas
yang
dinyatakan
sebagai
perbandingan antara nilai output dan nilai input tenaga kerja pada tahun ke-t (%) dummy
=
Variabel pembeda periode sebelum dan sesudah krisis
ut
=
Unsur gangguan
a0
=
Intercept
a1,a2,a3,a4,a5
=
Koefisien kemiringan parsial
a1>0 ; a2>0 ; a3>0 ; a4>0 ; a5<0. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Nilai tambah - upah PCMt
=
x100% Nilai barang yang dihasilkan
(4.5)
45
Growtht
=
XEfft
=
Prodt
=
Output riil pada tahun ( t) – Output riil pada tahun (t-1)
x100% (4.6)
Output riil pada tahun (t-1)
Nilai tambah industri x 100%
(4.7)
x100%
(4.8)
Nilai input industri Nilai output Nilai input tenaga kerja
3.3.5. Uji Statistika dan Ekonometrika Setelah mendapatkan parameter estimasi, langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian terhadap parameter estimasi tersebut agar suatu model dikatakan baik. Pengujian-pengujian tersebut yaitu uji statistik terhadap model penduga melalui uji F dan pengujian untuk parameter-parameter regresi melalui uji t serta melihat berapa persen variabel bebas dapat dijelaskan oleh variabelvariabel terikatnya melalui koefisien determinasi (R-Squared). Uji ekonometrika yang dilakukan antara lain uji autokorelasi, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas. a. Uji R-Squared (R2) Mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai variabel terikat. Nilai R2 memiliki dua sifat yaitu memiliki besaran positif dan besarannya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 sebesar nol maka hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antar variabel terikat dengan variabel bebas sedangkan jika R2 sebesar satu maka terdapat kecocokan yang sempurna antar variabel terikat dengan variabel bebas. Nilai R2 ini juga merupakan fraksi dari variasi yang mampu dijelaskan oleh model. Selain nilai R2 terdapat pula nilai
46
Adjusted-R2. Nilai ini akan memberikan penalty atau hukuman terhadap setiap penambahan variabel yang tidak memberikan pengaruh. Nilai adj R2 tidak akan pernah melebihi nilai R2 bahkan dapat turun jika anda menambahkan variabel bebas yang tidak perlu. Dan bahkan untuk model yang memiliki kecocokan yang rendah (goodness of fit) adj R2 dapat memiliki nilai yang negatif. b. Uji F Pengujian ini bertujuan untuk menjelaskan kemampuan variabel secara bersamaan dalam menjelaskan keragaman dari variabel terikat. Untuk menjelaskan uji signifikansi masing-masing variabel bebas, maka dihipotesiskan bahwa variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Hipotesis ini disebut hipotesis nol. Hipotesis : H0 : Semua βi=0, tidak ada variabel bebas yang mempengaruhi PCM H1 : βi ≠ 0, setidaknya ada satu variabel bebas yang mempengaruhi PCM Kriteria Uji : Probabilitas (F-stat) < taraf nyata
tolak H0
Probabilitas (F-stat) > taraf nyata
terima H0
Jika probabilitas (F-stat) < taraf nyata maka tolak H0 berarti ada minimal satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel terikat. Probabilitas (F-stat) > taraf nyata maka terima H0 berarti secara bersama variabel bebas yang digunakan tidak bisa menjelaskan secara nyata keragaman dari variabel terikat.
47
c. Uji t Pengujian ini bertujuan untuk menguji secara statistik apakah koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas yang dipakai secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel terikat. Hipotesis : H0 : β i = 0 H1 : βi ≠ 0 ; i = 1,2,…., k Kriteria Uji : Probabilitas (t-stat) < taraf nyata
tolak H0
Probabilitas (t-stat) > taraf nyata
terima H0
Jika H0 ditolak berarti variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dalam model dan sebaliknya, jika H0 diterima maka variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat. d. Uji Normalitas Uji ini dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30, karena jika sampel lebih dari 30 maka error term akan terdistribusi secara normal. Uji ini disebut Jarque-Bera Test. Langkah-langkah untuk melakukan uji normalitas error term adalah :
H0 : error term terdistribusi normal H1 : error term tidak terdistribusi normal
Jika α = 5% maka daerah kritis penolakan H0 adalah Jarque-Bera (J-B) > χ2 df =2 atau Probability (P-Value) < α
Jika P-Value > α maka terima H0
48
e. Uji Autokorelasi Autokorelasi merupakan gejala adanya korelasi antara serangkaian observasi yang diurutkan menurut deret waktu (time series) (Gujarati, 1978). Suatu model dikatakan baik apabila telah memenuhi asumsi tidak terdapat gejala autokorelasi. Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah hasil estimasi model tidak mengandung korelasi diantara disturbance term. Pada program EViews, uji autokolerasi dilakukan dengan melihat probability Obs*R-squared pada uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Kriteria uji yang digunakan:
Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared > taraf nyata (α) yang digunakan, maka persamaan tidak mengalami autokorelasi.
Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared < taraf nyata (α) yang digunakan, maka persamaan terdapat autokorelasi.
f. Uji Heteroskedastisitas Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas (tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS, tetapi penaksir tadi tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun besar (yaitu asimtotik) (Gujarati, 1978). Gejala adanya heteroskedastisitas dapat ditunjukkan oleh probability Obs*R-squared pada uji White Heteroskedasicity. Kriteria uji yang digunakan:
Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared > taraf nyata (α) yang digunakan, maka persamaan tidak mengalami heteroskedastisitas.
49
Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared < taraf nyata (α) yang digunakan, maka terdapat heteroskedastisitas dalam persamaan tersebut.
g. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear yang sempurna di antara beberapa atau semua variabel penjelas dalam model regresi (Frisch dalam Gujarati, 1978). Dalam penetapan suatu model seringkali terdapat kesulitan untuk memisahkan pengaruh antara dua atau lebih variabel bebas dengan variabel terikat. Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat koefisien korelasi antar variabel bebas yang terdapat pada matriks korelasi. Jika terdapat koefisien korelasi yang lebih besar dari |0.8| maka terdapat gejala multikolinearitas.
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PAKAIAN JADI DI INDONESIA
4.1.
Sejarah Pertumbuhan Industri Pakaian Jadi (Garmen) Industri pakaian jadi atau garmen merupakan salah satu sub sektor dalam
industri TPT di Indonesia, selain pembuatan serat, pemintalan, pertenunan dan perajutan, serta pencelupan, pencapan dan penyempurnaan kain. Industri pakaian jadi di Indonesia dimulai pada tahun 1969, awal Pelita I, tetapi perkembangannya yang lebih berarti terjadi pada Pelita II. Pertumbuhan industri pakaian jadi sebagai salah satu sub sektor dari industri TPT ditandai dengan meningkatnya penanaman modal di bidang ini setelah mulai diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Peningkatan ini juga disertai dengan peningkatan tenaga kerja yang diserap oleh industri tersebut. Pada Pelita I kenaikan rata-rata jumlah tenaga kerja 4,1 persen per tahun kemudian pada Pelita II naik menjadi 19 persen per tahun (Deprind, 1982). Meningkatnya perdagangan pakaian jadi dunia pada tahun-tahun tersebut memberikan prospek yang baik pada Indonesia untuk meningkatkan ekspor pakaian jadinya. Pada tahun 1975 nilai ekspor tekstil dan pakaian jadi hanya sebesar 0,18 persen
dari nilai seluruh ekspor. Kemudian terus mengalami
peningkatan selama lima tahun ke depan. Bila dibandingkan dengan keseluruhan nilai ekspor, maka ekspor tekstil dan pakaian jadi baru mencapai sekitar 2 persen, dari nilai ekspor non minyak dan hanya 0,99 persen dari nilai seluruh ekspor dalam tahun 1979.
51
Ekspor tekstil pada Pelita II meningkat 6 kali lipat sedang ekspor pakaian jadi 10 kali lipat bila dibandingkan dengan Pelita I. meskipun demikian neraca perdagangan tekstil Indonesia masih tetap minus yang berarti impor lebih besar dari pada ekspor. Juga meskipun ekspor tekstil meningkat dengan pesat, ekspor tersebut hanya merupakan sebagian kecil saja dari pada ekspor industri kita. Tingginya nilai impor tersebut dikarenakan masih tinggi pula ketergantungan terhadap impor bahan baku, mesin-mesin dan kimia. Meskipun begitu, pengembangan industri-industri yang dapat menunjang pertumbuhan industri tekstil tersebut masih cukup mempunyai prospek yang sangat baik di Indonesia. Sejak tahun 1973 pemasaran tekstil dunia diatur atas dasar Multi Fiber Agreement (MFA) yang merupakan perluasan dari Short Term Cotton Agreement (STCA) yang lahir tahun 1961. MFA adalah persetujuan multilateral dalam rangka GATT yang ditanda tangani oleh negara importir dan eksportir yang bertujuan untuk mengatur laju pertumbuhan impor TPT disuatu negara agar tidak membahayakan industri TPT negara pengimpor. Sejak adanya MFA negara pengimpor TPT utama (Amerika Serikat, Kanada, Scandinavia, dll) mengendalikan pertumbuhan impor dari negara pemasok utama seperti Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Sebagai kompensasinya mereka mencari negara pemasok baru antara lain Indonesia, dan negara-negara lainnya yang belum terkena kuota. Sehingga dengan adanya MFA, TPT Indonesia termasuk di dalamnya industri pakaian jadi ikut terbantu dalam menembus pasaran ekspor.
52
Setelah Indonesia dianggap menjadi negara eksportir TPT, mulai tahun 1979 negara-negara pengimpor seperti Amerika Serikat, Swedia, MEE, Kanada dan Norwegia mengadakan persetujuan bilateral dengan Indonesia. Isi persetujuan tersebut antara lain berupa pembatasan volume ekspor TPT Indonesia ke negara yang bersangkutan dalam bentuk kuota. Tingkat pertumbuhan ekspor yang diperkenankan dibatasi maksimum hanya 3 persen hingga 7 persen dari volume ekspor tahun sebelumnya. Hal ini tentu saja berdampak pula bagi industri pakaian jadi yang memang merupakan bagian dari pada industri TPT Indonesia.
4.2.
Periode pada Industri Pakaian Jadi
4.2.1. Periode Sebelum Krisis Selama tahun 1985 hingga tahun 1990, industri pakaian jadi juga berkembang sangat pesat, terutama akibat berdirinya perusahaan-perusahaan baru dengan kapasitas besar. Sebagian dari perusahaan-perusahaan tersebut didirikan oleh investor asing asal beberapa negara Asia seperti Taiwan, Korea Selatan, Hongkong dan Jepang yang merelokasi pabrik pakaian jadinya ke Indonesia, baik secara sendiri ataupun bekerjasama dengan mitra lokal. Banyak investor merelokasikan industrinya karena di negara mereka industri tersebut tidak lagi memiliki keunggulan komparatif disebabkan oleh mahalnya biaya tenaga kerja. Berdasarkan nilai, 70 persen investasi pada industri pakaian jadi di Indonesia adalah PMA, sedangkan PMDN hanya 30 persen. Hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara sasaran relokasi industri pakaian jadi yang menarik.
53
Pada tahun 1989 jumlah industri pakaian jadi di Indonesia adalah 513 perusahaan dengan kapasitas 71,7 juta lusin per tahun. Dari segi lokasi sebagian besar terletak di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Di kedua daerah tersebut masingmasing terdapat 277 perusahaan dengan kapasitas 33,0 juta lusin dan 120 perusahaan dengan kapasitas 25,5 juta lusin. Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), pada tahun 1991 jumlah perusahaan pakaian jadi yang tergabung dalam asosiasi adalah 194 perusahaan dengan jumlah mesin 162.600 unit. Dengan asumsi satu unit mesin menghasilkan 2,80 lusin per hari, maka kapasitas seluruhnya adalah 136,6 juta lusin per tahun. Walaupun pertumbuhan industri pakaian jadi mengalami pertumbuhan yang sangat pesat akan tetapi perkembangan ekspor pada industri ini terhambat oleh adanya sistem kuota. Sementara ekspor ke negara non kuota menghadapi kendala antara lain tidak terjaminnya stabilitas permintaan dan kecilnya margin yang diperoleh dibanding non dengan ekspor kuota. Meskipun demikian, ekspor ke negara non kuota tetap perlu digalakkan. Neraca perdagangan TPT Indonesia sejak tahun 1981 sampai dengan tahun 1985 menunjukkan defisit, namun mulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1990 menunjukkan surplus. Nilai surplus untuk tahun 1990 adalah US$ 125 Juta. Apabila dilihat per sub sektor, sumbangan devisa terbesar adalah dari ekspor tekstil yang meliputi benang dan kain serta pakaian jadi. Rata-rata pertumbuhan volume ekspor pakaian jadi sejak tahun 1983 sampai dengan 1990 adalah sebesar 27,75 persen per tahun. Peningkatan yang pesat terjadi pada tahun 1985 sampai dengan tahun 1986 yaitu mencapai pertumbuhan 59,03 persen sedangkan pada
54
tahun 1986 sampai dengan tahun 1987 mengalami penurunan sebesar -3,87 persen (Bank Bumi Daya, 1992).
4.2.2. Periode Krisis Berdasarkan Tabel 4.1, perkembangan industri pakaian jadi mulai dari sebelum krisis di tahun 1995 hingga periode krisis bahkan pasca krisis, terus mengalami peningkatan jika didasarkan pada kapasitas dan produksinya. Pada tahun 1995 kapasitas produksi sebesar 441.168 ton meningkat terus bahkan dimasa krisis sekalipun, menjadi 572.026 ton di tahun 1999. Peningkatan kapasitas terpasang diikuti dengan peningkatan jumlah produksi dari 402.460 ton di tahun 1995 menjadi 543.150 ton di tahun 1999. peningkatan realisasi produksi tersebut meningkatkan utilisasi pada tahun 1995 hingga tahun 1999 dari 91 persen menjadi 95 persen. Tabel 4.1. Utilisasi Produksi Industri Pakaian Jadi Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Kapasitas (Ton) 441.168 469.000 486.062 564.900 572.026 573.502 584.972 591.231 590.322 666.748
Produksi (Ton) 402.460 427.740 460.365 535.034 543.150 554.436 565.524 462.343 461.632 516.987
Utilisasi (%) 91 91 95 95 95 97 97 78 78 78
Sumber: Departemen Perindustrian dan API, 2005
Selama periode krisis yang terjadi di Indonesia, untuk daerah jawa tengah setidaknya hampir 50 persen tenaga kerja di industri pakaian jadi tidak bisa
55
bekerja penuh, meskipun mereka tidak sampai mengalami PHK. Bahkan tingkat produksi yang diperoleh hanya tinggal 60 persen dari normal. Hal tersebut juga dikarenakan seluruh produksi adalah untuk konsumsi ekspor, sehingga masih bisa mempertahankan sekitar 300 pekerja. Upaya-upaya yang dilakukan oleh para produsen tersebut adalah dengan mengantisipasi pasar, misalnya dengan mencari pembeli baru dan tidak hanya berharap pada pelanggan tradisional. Selain itu, hal yang lain yang perlu dilakukan adalah melakukan diversifikasi usaha meskipun masih dalam satu bidang usaha. Sebagai contoh, seperti yang dilakukan oleh batik tobal, selain berusaha meningkatkan produksi pakaian jadi, sejak awal dilakukan diversifikasi dengan memproduksi sarung palekat. Upaya ini dilakukan sebagai cara untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Sedangkan pada industri pakaian jadi untuk konsumsi domestik yang sangat tergantung pada produksi tekstil dalam negeri, mengalami penurunan sekitar 40 persen dari rata-rata produksi 600 potong seminggu. Penurunan ini bahkan belum pulih benar pasca krisis moneter. Apalagi pengaruh kenaikan nilai Rupiah tidak banyak berarti bagi kebutuhan bahan baku tekstil. Industri pakaian jadi sebagai salah satu sub sektor dari industri TPT, berperan penting dalam menyerap tenaga kerja dan ekspor non-migas. Sumbangan industri pakaian jadi beserta tekstil dan sepatu dalam konfigurasi ekspor non migas dari industri padat karya (Unskilled Labour Intensive Industry/ULI) mencapai 86 persen, dengan nilai ekspor hampir US$ 8 Miliar. Namun, ekspor komoditas pakaian jadi di ikuti tekstil dan sepatu terus-menerus mengalami
56
penurunan sejak tahun 1994. Dilihat dari nilai ekspor memang mengalami kenaikan, tetapi pangsanya terhadap total ekspor ULI cenderung menurun dari tahun ke tahun. Ada beberapa faktor yang dituding sebagai penyebab utama menurunnya ekspor non migas. Pertama, menurunnya permintaan di negara-negara tujuan ekspor nonmigas dari Indonesia, yang bersamaan dengan faktor struktural terutama meningkatnya persaingan dan menurunnya produktivitas. Kedua, menurunnya ekspor ULI disebabkan banyaknya perusahaan yang menutup usahanya akibat krisis ekonomi maupun kalah bersaing dengan negara-negara pengekspor produk yang sama (Kuncoro, 2006).
4.2.3. Periode Pasca Krisis Pada periode ini industri pakaian jadi atau garmen memiliki nilai ekspor yang jauh lebih tinggi daripada nilai ekspor industri-industri lain yang tergabung dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia (Gambar 4.1). Nilai ekspor dari industri pakaian jadi ditahun 2001 sebesar US$ 4.344 Juta meskipun kemudian mengalami sedikit penurunan ditahun-tahun berikutnya, akan tetapi nilai dari industri-industri lainnya yang tergabung pada industri TPT ini tidak ada yang mencapai US$ 4 Juta. Hal ini mengindikasikan bahwa produk pakaian jadi memiliki kualitas yang cukup tinggi.
Thousands
57
10.000.000 8.000.000 6.000.000 4.000.000 2.000.000 0 2001
2002 Fibers
Yarn
2003 Fabric
2004 Garment
2004 *) Oth. Text. Prod.
2005 *) Total
Sumber: API, 2005 Keterangan : Tanda (*) menunjukkan data Januari-Juni
Gambar 4.1. Nilai Ekspor Industri yang Terdapat Pada Industri TPT Nasional
Namun di sisi lain, terdapat permasalahan yang sedang dihadapi oleh industri pakaian jadi nasional sebagai bagian dari industri TPT di Indonesia. Masalah mengenai penyelundupan saat ini dirasakan sangat merugikan industri pakaian jadi bahkan bagi industri TPT nasional. Akibat penyelundupan tersebut, banyak produk-produk pakaian jadi dari Cina yang memenuhi pasar dalam negeri, sehingga hal ini merugikan para produsen pakaian jadi dalam negeri. Menurut data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia, impor ilegal pakaian jadi dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 terus meningkat sebesar 281 persen dari segi volume dan 136 persen dari segi nilai barang. Disamping itu bila diperhatikan antara volume impor dengan nilai impor dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 pada kenyataannya indikasi barang-barang yang diimpor merupakan kualitas rendah. Oleh karena itu, apabila tidak ada perlindungan dari pemerintah maka dapat dipastikan setengah dari jumlah pengusaha pakaian jadi
58
menengah-kecil akan gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan produkproduk dari Cina. Tabel 4.2. Ekspor dan Impor Industri Pakaian Jadi Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Unit Kg US$ Kg US$ Kg US$ Kg US$ Kg US$ Kg US$
Ekspor 339.627.367 3.735.067.318 364.859.727 4.561.846.704 317.514.266 4.000.200.682 379.905.979 3.805.458.457 314.613.600 3.671.586.223 305.674.310 4.037.110.492
Impor 7.878.191 17.372.097 13.257.786 25.458.645 11.946.656 17.561.012 11.647.343 27.635.883 3.623.365 14.981.378 3.205.819 27.708.497
Balance 331.749.176 3.717.695.221 351.601.941 4.536.388.059 305.567.610 3.982.639.670 368.258.636 3.777.822.574 310.990.235 3.656.604.845 302.468.491 4.009.401.995
Sumber: API, 2005
Data
Asosiasi
Pertekstilan
Indonesia
(API)
menunjukkan
total
pertumbuhan impor pakaian jadi dari Cina yang tercatat resmi, belum yang termasuk ilegal, dalam lima tahun terakhir tahun 2004 mencapai 380 persen. Akan tetapi sampai saat ini pakian jadi, termasuk industri TPT, masih menjadi sektor ekspor non migas yang terbesar dan tempat paling fleksibel untuk menampung luapan tenaga kerja. Berdasarkan pada tabel 4.2 mengenai ekspor dan impor pada industri pakaian jadi, dapat diketahui bahwa kinerja ekspor terus meningkat dari US$ 3,7 Miliar di tahun 1999 mengalami peningkatan terus hingga tahun 2001 sebesar US$ 4 Miliar. Akan tetapi penurunan sedikit terjadi pada tahun 2002 dan 2003 menjadi US$ 3,8 Miliar dan US$ 3,6 Miliar. Kemudian mengalami peningkatan kembali pada tahun 2004 menjadi US$ 4 Miliar.
59
4.3.
Struktur Biaya Industri Pakaian Jadi Indonesia Berdasarkan pada lampiran 2 maka dapat diketahui bahwa industri pakaian
jadi merupakan industri yang mengandalkan bahan baku. Jika dirata-ratakan hampir 70 persen biaya dari total biaya dikeluarkan untuk bahan baku dan penolong. Hal ini menunjukkan bahwa industri pakaian jadi di Indonesia merupakan industri yang cenderung padat modal. Industri pakaian jadi juga merupakan industri yang padat karya karena biaya untuk tenaga kerja yang dikeluarkan jumlahnya cukup besar. Berdasarkan pada lampiran 2, pada tahun 2000 pengeluaran untuk tenaga kerja sebesar 12,6 persen dan proporsinya meningkat pada tahun 2001 sebesar 16,2 persen dan pada tahun 2002 sebesar 21,4 persen. Akan tetapi terjadi penurunan pada tahun 2003 menjadi sebesar 17,6 persen, namun angka ini masih bernilai cukup besar bila dibandingkan dengan tahun 2001 dan tahun 2000. Nilai input tenaga kerja yang terdapat pada industri pakaian jadi jauh lebih rendah di bawah nilai output. Berdasarkan pada hal tersebut maka dapat diperkirakan bahwa produktivitas yang diberikan cukup tinggi.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Struktur Pasar Pakaian merupakan salah satu dari kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh
manusia pada saat ini. Oleh karena itu permintaan terhadap pakaian jadi tidak akan menurun atau setidaknya bersifat konstan. Barang-barang lain pada umumnya dapat mengalami penurunan permintaan dari konsumen terhadap barang tersebut, akan tetapi konsumen akan selalu membutuhkan pakaian sehingga permintaan konsumen terhadap pakaian setidak-tidaknya bersifat konstan. Klasifikasi yang terdapat dalam industri pakaian jadi di Indonesia secara garis besar dapat dibedakan berdasarkan pada usia, jenis kelamin konsumen, dan pakaian yang digunakan berdasarkan pada situasi dan kondisi. Pakaian berdasarkan pada usia, yaitu untuk anak-anak dan dewasa. Pakaian berdasarkan pada jenis kelamin, yaitu untuk pria dan wanita. Pakaian berdasarkan pada situasi dan kondisi, yaitu pakaian eksklusif dan pakaian biasa. Sementara itu, klasifikasi pakaian jadi yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (2003) lebih beragam (Lampiran 17). Beragamnya klasifikasi pakaian jadi tersebut akan menyulitkan untuk menganalisis struktur pasar dari tiap-tiap jenis pakaian jadi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini industri pakaian jadi di Indonesia akan digeneralisasikan secara umum. Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, struktur pasar dari industri pakaian jadi di Indonesia merupakan struktur pasar persaingan monopolistik, dimana pasar ini bersifat banyak penjual
61
dan pembeli, produk yang heterogen, hambatan untuk masuk dan keluar dari pasar yang rendah serta tingkat keuntungan yang normal.
5.1.1. Pangsa Pasar Peranan pangsa pasar adalah sebagai sumber keuntungan bagi perusahaan. Keuntungan yang diperoleh dari pangsa pasar bisa besar atau kecil dan keuntungan ini mencerminkan kekuatan pasar atau efisiensi yang lebih baik. Dalam industri pakaian jadi atau garmen, menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia, perusahaan-perusahaan pakaian jadi tersebut tidak memiliki pangsa pasar lebih dari 5 persen pada pasar domestik. Hal ini berlaku bagi semua golongan perusahaan, baik perusahaan besar maupun kecil. Data 18 perusahaan pakaian jadi yang tergolong besar terdapat pada lampiran 1. Untuk data pangsa pasar yang lebih spesifik dari perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat dipublikasikan. Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor utama pakaian jadi di dunia memiliki pangsa pasar sebesar 1,7 persen pada tahun 2004 dan menduduki peringkat nomor sembilan dengan nilai sebesar US$ 4,45 Miliar. Dimana peringkat pertama ditempati oleh negara-negara Eropa dengan pangsa pasar sebesar 29,0 persen dan nilai sebesar US$ 74,92 Miliar. Sementara posisi kedua dan ketiga di tempati oleh negara Cina dan Hongkong sebagai bagian dari negara Cina. Total nilai keseluruhan dari negara-negara pengekspor pakaian jadi di dunia adalah sebesar US$ 258,10 Miliar (API, 2005). Berdasarkan pada teori dan penjelasan yang telah diberikan maka dapat disimpulkan bahwa industri pakaian jadi Indonesia termasuk pada industri yang
62
persaingannya bersifat monopolistik. Karena produk yang dihasilkan oleh industri pakaian jadi ini adalah produk yang heterogen (Lampiran 17). Perbedaan produk yang ditawarkan baik secara fisik atau citra mereknya maupun perbedaan yang diciptakan melalui promosi penjualan.
5.1.2. Konsentrasi Konsentrasi pasar yang merupakan suatu variabel dapat dihitung dengan menggunakan beberapa metode. Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah perhitungan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4). CR4 industri pakaian jadi di Indonesia dapat dilihat pada lampiran 3. Berdasarkan pada nilai konsentrasi CR4 yang cukup kecil pada lampiran 3 maka dapat diketahui bahwa perusahaan pakaian jadi berskala besar yang terdapat di Indonesia tidaklah cukup dapat menguasai pasar. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata CR4 dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 sebesar 16,22 persen. CR4 mempunyai nilai yang cukup kecil dan jumlahnya berfluktuasi dengan nilai CR4 terbesar pada tahun 1993 sebesar 41,59 persen dan nilai CR4 terkecil pada tahun 2002 sebesar 7,24 persen. Hal ini diduga sebagai dampak dari penghapusan sistem kuota dan semakin tingginya tingkat penyelundupan produkproduk dari Cina. Tingkat konsentrasi industri pakaian jadi yang relatif rendah ini menggambarkan struktur pasar yang dimiliki oleh industri pakaian jadi Indonesia adalah struktur pasar persaingan monopolistik. Struktur pasar ini menandakan bahwa tingkat konsentrasi yang cukup rendah, entry condition yang berukuran
63
rendah dan jenis produk yang berupa heterogen. Industri pakaian jadi atau garmen yang memiliki struktur pasar persaingan monopolistik menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri ini telah menghasilkan kinerja yang cukup efisien.
5.1.3. Hambatan Masuk Sebelum dihapuskannya sistem kuota, dimana dalam perdagangan TPT dunia yang selama ini memperkenankan adanya pembatasan impor melalui sistem kuota, ada anggapan bahwa sistem kuota tersebut akan menghambat masuknya produk-produk dari negara lain secara berlebihan dan dapat melindungi para produsen dalam negeri. Selain itu, tarif bea masuk garmen atau pakaian jadi sebesar 15-20 persen yang pada saat ini direncanakan untuk ditingkatkan menjadi 40 persen pun ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah satu cara untuk membatasi impor pakaian jadi atau garmen. Keberadaan perusahaan terbesar yang telah ada sebelumnya dalam suatu industri merupakan salah satu hal yang dapat menjadi hambatan bagi pesaing potensial untuk masuk ke dalam industri tersebut. Berdasarkan pada teori yang telah ada, diketahui bahwa untuk dapat mempertahankan eksistensi dalam industri pakaian jadi atau garmen di Indonesia maka para pesaing potensial harus memiliki skala minimum efisiensi (MES) yang setara dengan yang dimiliki oleh perusahaan terbesar. Namun pada industri pakaian jadi di Indonesia tidak terdapat adanya perusahaan terbesar yang dapat menguasai pasar.
64
Nilai MES diperoleh dari perbandingan nilai output perusahaanperusahaan terbesar dengan nilai output total. Nilai MES industri pakaian jadi di Indonesia dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 dapat dilihat pada lampiran 4. Berdasarkan pada lampiran 4 dan teori yang ada maka dapat diketahui bahwa jika pelaku baru ingin bersaing dalam industri pakaian jadi Indonesia maka setidak-tidaknya output minimal yang harus dihasilkan adalah rata-rata sebesar 5,94 persen dari total output pakaian jadi di Indonesia. Nilai MES yang lebih besar dari 10 persen menunjukkan hambatan masuk yang tinggi pada suatu industri (Comanor dan Wilson dalam Alistair, 2004). Berdasarkan pada teori yang ada, semakin besar nilai MES suatu industri maka semakin tinggi pula hambatan masuk pada industri tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hambatan masuk pada industri pakaian jadi Indonesia sangatlah rendah. Oleh karena itu banyak perusahaan-perusahaan baru yang dapat masuk ke dalam industri pakaian jadi Indonesia dengan mudah.
5.2.
Perilaku Pasar
5.2.1. Strategi Harga dan Produk Pada suatu industri, para produsen perlu memiliki strategi tertentu dalam penetapan harga. Hal ini juga diperlukan untuk menghadapi persaingan dengan produk-produk sejenis. Dalam industri pakaian jadi ini harga bersifat sensitif, dimana para produsen cenderung untuk bersaing dalam menurunkan harga, kecuali untuk produk-produk yang sudah memiliki merek terkenal dipasaran. Selain itu, penetapan harga yang beragam juga ditetapkan berdasarkan jenis bahan
65
yang akan digunakan untuk membuat pakaian jadi tersebut. Terdapat empat jenis bahan yang umumnya digunakan untuk membuat pakaian adalah : 1) Poliester
3) Cotton
2) Rayon
4) Campuran
Bahan campuran adalah bahan yang terbentuk dari penggabungan antara dua jenis bahan dari ketiga bahan lainnya, seperti cotton dengan poliester, cotton dengan rayon, dll. Strategi harga yang ditetapkan berdasarkan ke-empat jenis bahan ini adalah penetapan harga yang paling tinggi untuk pakaian dengan jenis bahan rayon. Untuk pakaian yang terbuat dari poliester, harga yang ditetapkan adalah harga yang paling murah. Harga pakaian dari cotton tidak berbeda jauh dengan harga pakaian dari poliester. Sementara untuk pakaian yang terbuat dari bahan campuran memiliki harga yang variatif akan tetapi tidak lebih mahal dari rayon dan tidak lebih murah dari poliester. Penetapan-penetapan harga tersebut dengan mengasumsikan bahwa ketebalan kain yang digunakan adalah sama. Inovasi produk yang lebih difokuskan pada desain dan warna merupakan strategi produk dalam industri pakaian jadi atau garmen di Indonesia. Dimana, perusahaan yang dapat mengikuti trend warna dan desain adalah perusahaan yang akan memperoleh keuntungan lebih besar dan dapat bersaing dipasaran. Akan tetapi untuk saat ini banyak dari perusahaan pakaian jadi atau garmen yang lebih memilih untuk memproduksi produk sesuai pesanan luar negeri ketimbang mengikuti atau meniru apa yang menjadi trend mode pada saat ini. Akibatnya banyak dari perusahaan-perusahaan tersebut yang merugi dan tidak dapat bersaing dengan produk-produk dari luar negeri.
66
5.2.2. Strategi Promosi Strategi promosi dengan berbagai cara juga perlu dilakukan oleh produsen untuk meningkatkan volume penjualan dan menarik pelanggan. Dari struktur pasar yang telah dianalisis, diketahui bahwa struktur pasar industri pakaian jadi atau garmen merupakan pasar dengan persaingan monopolistik, dimana terdapat banyak pembeli dan penjual yang bertindak secara bebas. Sehingga dalam industri ini bagi perusahaan-perusahaan pakaian jadi berskala kecil tidak memerlukan adanya strategi promosi karena perusahaan-perusahaan tersebut dapat langsung menghubungi retailer mereka masing-masing seperti Sogo departement store, Ramayana, dll. Sementara itu bagi perusahaan-perusahaan pakaian jadi atau garmen berskala besar strategi promosi yang umumnya dilakukan adalah mengikuti contact buyer dan pameran di luar negeri.
5.2.3. Strategi Distribusi Pada industri pakaian jadi atau garmen, ketika kebutuhan pasar ekspor telah terpenuhi maka produsen akan menjual kelebihan produk yang dihasilkan ke pasar domestik. Hal ini dikarenakan para produsen pakaian jadi atau garmen Indonesia masih berorientasi ekspor daripada memenuhi kebutuhan pasar domestik. Padahal pangsa pasar lokal sesungguhnya sangat besar dan potensial untuk digarap karena menyangkut jumlah penduduk sekira 250 juta orang. Menurut API (2005), berdasarkan pada pola distribusi suplai kain dan garmen tahun 2004 dapat diketahui bahwa perusahaan-perusahaan garmen dan konveksi kecil telah menyumbangkan keseluruhan produksi mereka sebesar
67
511.167 ton untuk pasar domestik. Sementara itu perusahaan-perusahaan garmen berskala besar hanya menyumbangkan 26,08 persen dari keseluruhan produksi mereka. Karena produk mereka sebelumnya telah dijual kepasar ekspor sebesar 73,92 persen atau 414.411 ton.
5.2.4. Integrasi Vertikal Perusahaan-perusahaan yang termasuk ke dalam integrasi vertikal adalah perusahaan-perusahaan yang proses produksinya lebih awal atau di bagian hulu, dan pada tahap memproduksi ke arah atau sampai dengan barang-barang final (hilir). Dalam hal ini perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam industri pakaian jadi atau garmen di Indonesia mempunyai proses final atau hilir dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Integrasi vertikal bermanfaat dalam industri pakaian jadi karena dapat menjamin penyediaan masukan atau bahan baku dan saluran-saluran distribusi yang dapat dipercaya untuk dapat mempertahankan daya saing. Dampak integrasi vertikal yang lebih luas pada pelaksanaan pasar, pada satu sisi, dapat meningkatkan efisiensi pasar yang lebih besar dalam penggunaan sumber daya, atau pada sisi lain, dengan membatasi persaingan akan mengakibatkan pengalokasian sumber daya yang kurang efisien. Hal inilah yang mendasari cukup efisiennya kinerja dari industri pakaian jadi Indonesia.
68
5.2.5. Perilaku Lainnya yang Terkait dengan Industri Pakaian Jadi di Indonesia Perilaku lainnya yang terdapat pada industri pakaian jadi di Indonesia adalah tindakan Sourcing. Tindakan sourcing ini adalah suatu tindakan untuk mencari bahan baku. Pembeli (buyer) terlebih dahulu melakukan pemesan pakaian, dimana pembeli tersebut akan menentukan bahan apa yang diinginkannya. Kemudian produsen pakaian jadi yang menerima pesanan akan mencari bahan yang telah ditentukan sebelumnya. Sebagai contoh, pada awal tahun 2005 sebelum sistem kuota dihapuskan, pembeli (buyer) mendirikan kantor di Indonesia kemudian pembeli tersebut mencari perusahaan-perusahaan pakaian jadi dalam negeri yang diinginkannya untuk selanjutnya melakukan pemesanan kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Dari tindakan sourcing ini sebenarnya para produsen pakaian jadi Indonesia diuntungkan sebab tidak memerlukan adanya promosi, hal ini dikarenakan para pembeli atau buyer tersebutlah yang akan mencari dan mengajak kerjasama para produsen pakaian jadi dalam negeri. Akan tetapi semenjak dihapuskannya sistem kuota kegiatan sourcing ini menjadi berbalik, dimana para produsen pakaian jadi Indonesia yang kemudian melakukan tindakan sourcing dengan cara mengikuti pameran atau mencari para pembeli (buyer) di luar negeri. Perilaku lainnya yang dianggap merugikan oleh para produsen pakaian jadi di Indonesia adalah tindakan penyelundupan. Modus operandi penyelundupan yang terjadi pada industri TPT di Indonesia, yang turut pula mempengaruhi industri pakaian jadi sebagai bagian dari industri TPT adalah sebagai berikut:
69
a.
Penyelundupan fisik secara langsung melalui pelabuhan-pelabuhan kecil yang tidak dijaga oleh Bea Cukai pada dasarnya jumlahnya tidak terlalu banyak, karena hanya diangkut oleh perahu-perahu kecil. Barang-barang yang diselundupkan sebagian besar adalah TPT bekas.
b.
Penyelundupan dengan menggunakan pemalsuan dokumen (under invoice baik dalam bentuk pemalsuan volume barang dan pergeseran nomor HS) yang biasanya dilakukan melalui transit via Singapura, dimana setelah mendapatkan sinyal hijau dari sindikat, barang tersebut masuk melalui pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Emas atau Tanjung Perak.
c.
Penyelundupan melalui pemanfaatan fasilitas kawasan berikat (dengan alasan akan direekspor). Setelah barang berada di kawasan berikat, barang tersebut diselundupkan ke Daerah Pabean Indonesia lainnya.
d.
Penyelundupan melalui impor borongan (container borongan). Pemasukan barang impor yang dilegalkan oleh oknum petugas dengan membayar sejumlah tarif tertentu tanpa pemeriksaan apapun, container bisa bebas masuk ke Daerah Pabean Indonesia. Dalam undang-undang No. 10/1995 tentang kepabeanan ditentukan bahwa
tindakan penyelundupan dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi yang dikenakan sanksi administrasi, dirasakan masih belum berfungsi secara optimal karena masih banyak pihak yang tidak konsisten terhadap kebijakan yang telah dibuat tersebut.
70
5.3.
Kinerja Pasar Indikator yang digunakan untuk dapat menganalisis kinerja industri
pakaian jadi di Indonesia adalah melalui perolehan keuntungan dalam industri pakaian jadi. Di dalam menganalisis kinerja industri pakaian jadi, kendala utama yang dihadapi adalah tidak tersedianya data laba perusahaan maupun industri pakaian jadi. Untuk mengatasi kendala tersebut maka digunakan pendekatan Price-Cost Margin (PCM) sebagai persentase keuntungan dari kelebihan penerimaan atas biaya langsung. Nilai PCM industri pakaian jadi Indonesia (1983-2003) dapat dilihat pada lampiran 5. Pada tahun 1998, industri pakaian jadi menerima marjin keuntungan sebesar 26,12 persen. Angka ini cukup besar bagi industri pakaian jadi di Indonesia mengingat tahun 1998 masih berada pada peiode krisis yang tengah terjadi di Indonesia. Akan tetapi pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2001 terjadi penurunan marjin keuntungan sebesar 6 persen dari 27,98 persen menjadi 21,98 persen. Namun ditahun-tahun berikutnya terjadi peningkatan kembali. Berdasarkan pada lampiran 5 dapat dilihat bahwa rata-rata margin keuntungan industri pakaian jadi selama tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 adalah sebesar 24,93 persen. Penerimaan margin keuntungan terbesar terdapat pada tahun 2002 sebesar 30,17 persen, sedangkan penerimaan margin keuntungan terendah pada tahun 1993 sebesar 12,16 persen. Pada lampiran 6, terdapat nilai efisiensi-X industri pakaian jadi di Indonesia selama tahun 1983 hingga 2003. Lampiran 6 menunjukkan bahwa pada tahun 1998 efisiensi-X dari industri pakaian jadi nilainya cukup rendah yaitu
71
sebesar 49,29 persen. Akan tetapi untuk tahun 1999 terjadi peningkatan nilai efisiensi-X menjadi sebesar 59,39 persen. Nilai efisiensi-X terbesar terdapat pada tahun 2002 sebesar 82,23 persen. Rata-rata efisiensi-X industri pakaian jadi dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 yaitu sebesar 60,27 persen. Berdasarkan pada teori yang ada, efisiensi internal yang tinggi menggambarkan perusahaan yang dikelola dengan baik, usaha yang maksimum dari para pekerja, dan terhindarnya kejenuhan dalam pelaksanaan jalannya perusahaan.
5.4.
Hubungan Struktur dan Faktor Lainnya dengan Kinerja Pendekatan Structure-Conduct-Performance (SCP) menjelaskan bahwa
struktur pasar akan mempengaruhi profitabilitas secara positif. Kemudian hal ini menjadi hipotesis pada analisis hubungan struktur dan profitabilitas industri pakaian jadi di Indonesia. Struktur pasar dianalisis dengan menggunakan CR4 yang menunjukkan bahwa industri pakaian jadi termasuk ke dalam tipe pasar persaingan monopolistik. Indikator yang digunakan dalam menganalisis kinerja industri pakaian jadi Indonesia adalah PCM. Tingkat keuntungan perusahaan yang sebenarnya merupakan ukuran yang baik dalam menggambarkan kinerja suatu perusahaan tidak dapat digunakan karena adanya keterbatasan data. Dalam menganalisis hubungan antara struktur dan kinerja ini dimasukkan pula variabel-vaiabel bebas yang diperkirakan dapat turut mempengaruhi keuntungan, antara lain rata-rata tingkat pertumbuhan nilai output industri (growth), efisiensi-X (XEff), produktivitas (prod) dan dummy untuk membedakan
72
periode sebelum dan sesudah krisis. Hasil estimasi model dan uji ekonometrika dapat dilihat pada tabel 5.1. Tabel 5.1. Hasil Dugaan Awal Persamaan PCM pada Industri Pakaian Jadi Indonesia. Variabel Koefisien C -9,506994 CR4 -0,058096 GROWTH 0,048372 XEFF 0,377490 PROD 0,012372 DUMMY 1,341737 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression
St Error t-Statistik Probablititas 6,537991 -1,454115 0,1665 0,061785 -0,940297 0,3620 0,018962 2,551017 0,0222 0,078554 4,805490 0,0002 0,002962 4,176829 0,0008 1,505902 0,890986 0,3870 0,783051 D-W stat 2,019906 0,710735 F-Statistik 10,82813 0,000149 1,954284 Prob(F-statistic)
Sumber: Lampiran 11 Keterangan : Menggunakan taraf nyata 5 persen
Berdasarkan pada hasil pengolahan model awal pada penelitian ini dengan menggunakan software Eviews, dapat diketahui bahwa nilai koefisien determinasi (R-squared) adalah sebesar 0,783051. Artinya model regresi yang menggunakan PCM industri pakaian jadi sebagai variabel terikat mampu dijelaskan sebanyak 78,30 persen oleh variabel-variabel bebasnya secara bersamaan (CR4, growth, efisiensi-X, produktivitas, dan dummy). Sisanya sebesar 21,69 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Hubungan struktur dan kinerja pada industri pakaian jadi di Indonesia yang digambarkan oleh model pada penelitian ini harus memenuhi syarat ekonometrika. Syarat-syarat ekonometrika yang harus dipenuhi tersebut yaitu tidak terdapatnya gejala-gejala seperti autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas.
73
Uji pertama yang dilakukan adalah uji normalitas yang terdapat pada lampiran 12. Berdasarkan pada lampiran 12, nilai Probability (P-Value) yang diperoleh adalah sebesar 0,291097 lebih dari taraf nyata 5 persen, maka terima H0. Sehingga dapat disimpulkan data yang digunakan terdistribusi normal. Uji autokorelasi dapat dilihat pada lampiran 11. Pengujian autokorelasi tersebut dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Apabila nilai probability obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (α) maka hasil regresi tidak mengandung autokorelasi. Berdasarkan pada lampiran 11 dapat dilihat bahwa nilai Probability (P-Value) sebesar 0,940348 lebih dari taraf nyata 5 persen, maka terima H0. sehingga dapat disimpulkan bahwa model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memiliki masalah autokorelasi. Pengujian heteroskedastisitas (Lampiran 11) bertujuan untuk melihat apakah terdapat atau tidaknya variabel pengganggu yang memiliki varian yang sama (homoskedastisitas). Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji white heteroskedasticity, dimana nilai
probability obs*R-squared
pada
model
persamaan adalah 0,037672 yang bernilai kurang dari taraf nyata yaitu 5 persen. Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki masalah heteroskedastisitas. Uji multikolinearitas pada penelitian ini dilakukan dengan dua pengujian. Pengujian yang pertama dengan menggunakan software Eviews. Dimana suatu model diasumsikan terdapat gejala multikolinearitas jika terdapat suatu hubungan kausalitas pada variabel-variabel bebasnya. Model persamaan regresi PCM pada penelitian ini tidak memiliki masalah multikolinearitas, dimana semua variabel
74
yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai nilai mutlak korelasi yang tidak lebih besar dari |0.8|. Tabel 5.2. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen Tahap Awal PCM CR4 GROWTH XEFF PROD DUMMY
PCM 1,000000 -0,407130 0,310431 0,256086 0,319444 0,373556
CR4 -0,407130 1,000000 -0,176624 0,345836 -0,487863 -0,462914
GROWTH XEFF 0,310431 0,256086 -0,176624 0,345836 1,000000 -0,087790 -0,087790 1,000000 0,040572 -0,721059 -0,462795 0,049177
PROD DUMMY 0,319444 0,373556 -0,487863 -0,462914 0,040572 -0,462795 -0,721059 0,049177 1,000000 0,305853 0,305853 1,000000
Sumber: Lampiran 12
Pengujian yang kedua adalah dengan menggunakan software minitab. Dimana suatu model diasumsikan terdapat masalah multikolinearitas apabila nilai VIF (Variance Inflation Factors) pada tampilan hasil output lebih dari 10. Hasil output minitab pada penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 13. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai VIF kurang dari 10, sehingga tidak terdapat masalah multikolinearitas pada model persamaan PCM dalam penelitian ini. Berdasarkan pada pengujian-pengujian yang telah dilakukan dan dapat dilihat pada tabel 5.1 dan tabel 5.2, maka dapat disimpulkan bahwa model persamaan PCM pada penelitian ini bebas dari masalah normalitas, autokorelasi dan multikolinearitas, namun tidak terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Sehingga model persamaan PCM tersebut tidak dapat menghasilkan koefisien dugaan terbaik (BLUE). Estimasi ulang diperlukan pada penelitian ini, karena tidak dapat terpenuhinya salah satu syarat ekonometrika pada pengolahan data tahap pertama. Estimasi ulang yang dilakukan adalah dengan menambahkan variabel PCM(-1)
75
dan variabel AR(1). Hasil dugaan persamaan PCM yang berasal dari estimasi ulang yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel 5.3. Tabel 5.3. Hasil Dugaan Persamaan PCM pada Industri Pakaian Jadi Indonesia Variabel Koefisien C -23,60763 CR4 -0,166643 GROWTH 0,037651 XEFF 0,456346 PROD 0,012511 DUMMY -1,376205 PCM(-1) 0,489386 AR(1) -0,710023 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression
St Error t-Statistik Probablititas 4,363567 -5,410167 0,0002 0,042393 -3,930908 0,0023 0,014133 2,664097 0,0220 0,053378 8,549288 0,0000 0,001989 6,288630 0,0001 1,069238 -1,287089 0,2245 0,089063 5,494820 0,0002 0,224868 -3,157512 0,0091 2,236158 0,924435 D-W stat 19,22417 0,876347 F-Statistik 0,000024 1,334379 Prob(F-statistic)
Sumber: Lampiran 9 Keterangan: Menggunakan taraf nyata 5 persen
Syarat-syarat ekonometrika yang harus dipenuhi dari estimasi ulang ini adalah dengan melakukan beberapa pengujian seperti pada pengolahan data sebelumnya. Uji pertama yang dilakukan adalah uji normalitas (Lampiran 10). Berdasarkan pada lampiran 10 dapat dilihat bahwa nilai Probability (P-Value) sebesar 0,578129 lebih dari taraf nyata 5 persen, maka terima H0. Sehingga dapat disimpulkan data yang digunakan terdistribusi normal. Pada lampiran 9 dapat dilihat uji autokorelasi yang dilakukan melalui perangkat E-views 4.1. Pada lampiran 9 diketahui nilai probability obs*R-squared adalah 0,103744 yang artinya bernilai lebih besar dari taraf nyata yaitu 5 persen. Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memiliki masalah autokorelasi.
76
Pengujian heteroskedastisitas yang terdapat pada lampiran 9 bertujuan untuk melihat apakah terdapat atau tidaknya variabel pengganggu yang memiliki varians yang sama (homoskedastisitas). Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan white heteroskedasticity, dimana nilai probability obs*R-squared pada model persamaan adalah 0,518749 yang bernilai lebih dari taraf nyata yaitu 5 persen. Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memiliki masalah heteroskedastisitas. Uji multikolinearitas pada estimasi ulang ini tidak perlu menggunakan software minitab (Tabel 5.4). Dimana suatu model diasumsikan terdapat gejala multikolinearitas jika terdapat suatu hubungan kausalitas pada variabel-variabel bebasnya.
Model
persamaan
regresi
PCM
tidak
memiliki
masalah
multikolinearitas, dimana semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai nilai mutlak korelasi yang tidak lebih besar dari |0.8|. Tabel 5.4. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen
PCM CR4 GROWTH XEFF PROD DUMMY
PCM 1,000000 -0,407130 0,310431 0,256086 0,319444 0,373556
CR4 -0,407130 1,000000 -0,176624 0,345836 -0,487863 -0,462914
GROWTH XEFF 0,310431 0,256086 -0,176624 0,345836 1,000000 -0,087790 -0,087790 1,000000 0,040572 -0,721059 -0,462795 0,049177
PROD DUMMY 0,319444 0,373556 -0,487863 -0,462914 0,040572 -0,462795 -0,721059 0,049177 1,000000 0,305853 0,305853 1,000000
Sumber: Lampiran 10
Berdasarkan pada pengujian yang telah dilakukan dan dapat dilihat pada tabel 5.3 dan tabel 5.4 maka dapat disimpulkan bahwa model persamaan PCM pada penelitian ini terbebas dari masalah autokorelasi, heteroskedastisitas dan multikolinearitas sehingga menghasilkan koefisien dugaan terbaik (BLUE).
77
Berdasarkan pada hasil pengolahan model dengan menggunakan software Eviews, didapatkan nilai koefisien determinasi (R-squared) sebesar 0,924435 Artinya model regresi yang menggunakan PCM industri pakaian jadi sebagai variabel terikat (dependen) mampu dijelaskan sebanyak 92,44 persen oleh variabel-variabel bebasnya (independen) secara bersamaan (CR4, growth, efisiensi-X, produktivitas, dan dummy), sehingga dapat disimpulkan bahwa model persamaan PCM tersebut dapat diterima. Sisanya sebesar 7,55 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Uji F dilakukan untuk melihat apakah variabel-variabel bebas secara serentak berpengaruh pada variabel terikatnya. Nilai F-statistic sebesar 19,22417 dengan probability (F-statistic) sebesar 0,000024 yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen menjelaskan bahwa minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya, sehingga model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Uji t dilakukan untuk melihat apakah masing-masing variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya. Jika nilai probability t-statistic pada masing-masing variabel bebas lebih kecil dari taraf nyata 5 persen, maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya. Hasil pengujian yang dilakukan memperlihatkan bahwa keempat variabel bebas, yaitu CR4, Growth, Efisiensi-X dan Produktivitas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat nyata pada taraf 5 persen. Sementara itu variabel Dummy tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat tidak nyata pada taraf 5 persen.
78
Setelah model pada penelitian ini melakukan uji ekonometrika dan uji statistik maka tahap selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap hasil dugaan persamaan PCM industri pakaian jadi Indonesia (Tabel 5.3). Berdasarkan pada analisis pengaruh struktur terhadap kinerja, didapatkan bahwa hipotesa awal yang mengatakan bahwa pengaruh struktur terhadap profitabilitas adalah positif tidak dapat terpenuhi pada industri pakaian jadi di Indonesia. Variabel CR4 signifikan pada pada taraf 5 persen, namun didapatkan nilai negatif pada koefisien CR4 sebesar -0,166643. Sehingga menurut hasil regresi, setiap peningkatan konsentrasi empat perusahaan besar sebesar 1 persen maka PCM akan berkurang sebesar 0,166643 persen, asumsi ceteris paribus. Fungsi dari rasio konsentrasi sejumlah perusahaan besar adalah untuk mengukur
pangsa
pasar
relatif
dari
total
output
industri
yang
dipertanggungjawabkan oleh perusahaan-perusahaan itu. Nilai pangsa pasar dari industri pakaian jadi yang tidak dapat dipublikasikan, menurut API tidak ada yang melebihi 5 persen untuk pasar domestik menyebabkan rata-rata rasio konsentrasi pada industri pakaian jadi di Indonesia memiliki nilai yang sangat rendah. Menurut Leonard Weiss terdapat suatu hubungan yang positif antara keuntungan dengan produk-produk berkonsentrasi tinggi. Adanya hubungan yang positif antara keuntungan dan tingkat konsentrasi merupakan halangan masuk yang besar bagi perusahaan baru, karena dengan keuntungan yang mereka dapatkan,
perusahaan-perusahaan
yang
ada pada
industri itu
meningkatkan lagi konsentrasinya (Weiss dalam Jaya, 2001).
berusaha
79
Sebelumnya pada penelitian ini telah dijelaskan bahwa struktur pasar dari industri pakaian jadi di Indonesia merupakan pasar persaingan monopolistik yang memiliki pangsa pasar, CR4 dan hambatan masuk ke dalam industri yang bernilai rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara keuntungan dan tingkat konsentrasi pada industri pakaian jadi di Indonesia adalah negatif. Hal inilah yang mendasari terdapatnya nilai negatif pada koefisien variabel CR4 dalam penelitian ini. Variabel growth berpengaruh nyata positif terhadap PCM industri pakaian jadi di Indonesia pada taraf nyata 5 persen. Nilai koefisien growth sebesar 0,037651 dan nyata pada taraf 5 persen menunjukkan bahwa jika growth meningkat sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan PCM sebesar 0,037651 persen, asumsi ceteris paribus. Hubungan ini sesuai dengan teori, dimana kenaikan pertumbuhan output industri pakaian jadi akan meningkatkan PCM industri pakaian jadi tersebut. Variabel efisiensi-X signifikan pada taraf 5 persen dan memiliki koefisien sebesar 0,456346. Hal ini menunjukkan bahwa diduga setiap peningkatan efisiensi-X sebesar 1 persen akan meningkatkan PCM sebesar 0,456346 persen, asumsi ceteris paribus. Semakin efisien suatu perusahaan, semakin besar pula keuntungan yang akan diperoleh. Variabel prod (produktivitas) nyata pada taraf 5 persen dan memiliki koefisiensi sebesar 0,012511. Hal ini menunjukkan bahwa diduga setiap peningkatan produktivitas sebesar 1 persen akan meningkatkan PCM sebesar 0,012511 persen, asumsi ceteris paribus. Hubungan-hubungan
80
tersebut sesuai dengan hipotesis dan teori dimana kenaikkan efisiensi-X dan produktivitas akan meningkatkan proksi keuntungan industri pakaian jadi. Nilai produktivitas dari industri pakaian jadi ini sebenarnya dapat ditingkatkan lagi jika masalah restrukturisasi permesinan dapat segera diselesaikan. Untuk masalah restrukturisasi permesinan pemerintah mengharapkan perodusen pakaian jadi dapat menyelesaikannya dengan berbagai pendekatan. Sebagai contoh, pengusaha bisa melakukan imbal beli, yaitu membeli sebuah mesin dari produsen tekstil di luar negeri. Hasil dari industrinya itulah yang dijual ke negara tersebut. Dengan demikian, restrukturisasi ini diharapkan dapat menciptakan diversifikasi produk yang tidak bisa dilakukan oleh mesin-mesin tua. Variabel dummy yang tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen menunjukkan bahwa krisis diduga tidak berpengaruh terhadap PCM, asumsi ceteris paribus. Karena pada saat krisis terjadi, nilai tukar rupiah terhadap dollar mengalami depresiasi. Dimana produk pakaian jadi Indonesia di pasar luar negeri menjadi murah, hal ini kemudian akan meningkatkan permintaan dari negaranegara lain atas produk pakaian jadi tersebut. Sehingga ekspor pakaian jadi dari Indonesia akan mengalami peningkatan. Keuntungan yang diperoleh dari ekspor yang mengalami peningkatan tersebut akan digunakan untuk menutupi kerugian yang dialami oleh industri pakaian jadi di Indonesia. Oleh karena itu, industri pakaian jadi di Indonesia dapat bertahan di dalam menghadapi krisis. Dalam pengolahan data pada penelitian ini juga ditambahkan dua variabel yang berfungsi untuk mengatasi pelanggaran asumsi OLS. Kedua variabel tersebut adalah variabel PCM(-1) dan AR(1). Variabel PCM(-1) yang signifikan
81
pada taraf 5 persen menunjukkan bahwa variabel PCM sekarang dipengaruhi secara nyata positif terhadap PCM 1 tahun sebelumnya pada taraf nyata 5 persen. Nilai koefisien PCM(-1) atau PCM 1 tahun sebelumnya sebesar 0,489386 menunjukkan bahwa jika PCM 1 tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen, maka diperkirakan PCM sekarang akan naik sebesar 0,489386 persen, asumsi ceteris paribus. Pengolahan data pada penelitian ini juga menggunakan variabel AR(1) atau Auto Regressive sebagai salah suatu cara untuk menghilangkan masalah autokorelasi. Nilai Inverted AR roots adalah kurang dari 1 menunjukkan nilai yang stasioner. Pada pengolahan data tanpa menggunakan variabel PCM(-1) dan AR(1) ditemukan pelanggaran-pelanggaran terhadap asumsi OLS yaitu pelanggaran autokorelasi atau pelanggaran heteroskedastisitas. Pada pengolahan data tahap yang kedua (Lampiran 14) dengan hanya menambahkan variabel PCM(-1) ke dalam persamaan, ditemukan pelanggaran asumsi autokorelasi. Karena dalam pengujian dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM, nilai probability obs*R-squared yang diperoleh adalah sebesar 0,011777 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Variabel bebas yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikatnya pada taraf nyata 5 persen pada pengolahan data tahap ini hanya variabel growth dan dummy. Pengolahan data yang ketiga (Lampiran 15) dengan menambahkan variabel PCM(-1) dan PCM(-2) ke dalam persamaan, kembali ditemukan adanya pelanggaran asumsi autokorelasi. Karena dalam pengujian dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM, nilai probability obs*R-squared yang
82
diperoleh adalah sebesar 0,005477 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Variabel growth dan dummy adalah kedua variabel bebas yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikatnya pada taraf nyata 5 persen pada pengolahan data yang ketiga ini. Pengolahan
data
yang
keempat
(Lampiran
16)
dengan
hanya
menambahkan variabel AR(1) ke dalam persamaan, ditemukan adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas. Karena dalam pengujian dengan menggunakan white heteroskedasticity, nilai probability obs*R-squared yang diperoleh adalah sebesar 0,025899 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Disamping itu ketiga variabel bebasnya, yaitu CR4, growth dan dummy, dari kelima variabel yang digunakan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikatnya pada taraf nyata 5 persen. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan variabel PCM(-1) dan AR(1) untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ketiga asumsi OLS tersebut.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Dari hasil analisis yang didapatkan pada industri pakaian jadi di Indonesia
maka diperoleh beberapa kesimpulan yaitu : 1. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan maka dapat disimpulkan jenis struktur pasar, perilaku dan kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia adalah sebagai berikut : a. Industri pakaian jadi di Indonesia termasuk ke dalam tipe pasar persaingan monopolistik dimana pasar ini bersifat banyak penjual dan pembeli, produk yang heterogen, serta hambatan untuk masuk dan keluar dari pasar yang rendah. Rata-rata CR4 dari industri pakaian jadi di Indonesia selama tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 adalah sebesar 16,22 persen. b. Terdapat beberapa perilaku pada industri pakaian jadi di Indonesia. Perilaku ini dipengaruhi oleh jenis struktur pasar yang dimiliki oleh industri pakaian jadi Indonesia. Perilaku-perilaku tersebut antara lain adalah perilaku dalam menentukan harga yang bervariasi berdasarkan pada jenis bahan, melakukan inovasi produk pada desain dan warna, promosi produk melalui contact buyer (menghubungi pembeli), pola distribusi yang cenderung untuk ekspor, adanya integrasi vertikal pada industri ini dan perilaku lainnya yang hanya terdapat pada industri pakaian jadi Indonesia, yaitu perilaku sourcing atau suatu tindakan untuk mencari bahan baku.
84
c. Dari segi kinerja, industri pakaian jadi di Indonesia menerima margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) selama tahun 1983 sampai dengan tahun 2003 dengan rata-rata sebesar 24,93 persen, tingkat efisiensi-X sebesar 60,27 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat PCM yang rendah tersebut pada umumnya disebabkan oleh rendahnya rasio konsentrasi pasar. Tingginya nilai efisiensi-X menggambarkan bahwa suatu industri dan perusahaan sudah dikelola dengan baik. 2. Dari hasil regresi yang telah dianalisis dapat diketahui pengaruh struktur dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja. Variabel CR4 yang mewakili struktur pasar berpengaruh negatif terhadap kinerja (PCM). Karena tingginya tingkat persaingan yang terdapat pada industri pakaian jadi di Indonesia akan semakin mengurangi keuntungan yang diterima. Faktor lainnya yang diwakili oleh variabel Growth, berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja (PCM). Sementara faktor lainnya yang diwakili oleh variabel krisis (dummy) ternyata tidak berpengaruh terhadap kinerja (PCM) dari industri pakaian jadi di Indonesia. Variabel efisiensi-X dan Produktivitas berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja (PCM). Oleh karena itu, jika terjadi peningkatan terhadap ketiga variabel yang signifikan tersebut maka kinerja dari industri pakaian jadi di Indonesia juga akan mengalami peningkatan.
85
6.2.
Saran Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini berdasarkan hasil yang
diperoleh adalah bagi penelitian selanjutnya untuk meneliti industri-industri lain yang tergabung dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Sehingga dapat diketahui bagaimana bentuk struktur pasar, perilaku dan kinerja yang terdapat pada industri lainnya sebagai bagian dari industri TPT di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Alistair, A. 2004. Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja Pada Industri Tepung Terigu di Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli BULOG [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Andiani, I. 2006. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Susu di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asosiasi Pertekstilan Indonesia. 2005. The Industrial Development Plan in Facing Trade Globalization Era. Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistika. Statistika Industri Besar dan Sedang Volume I. Edisi Tahun 1983-2003. Jakarta. Bank Bumi Daya. 1992. Industri Tekstil dan Produk Tekstil: Produksi, Pemasaran dan Prospek. Bank Bumi Daya, Jakarta. Bisnis Indonesia. 2005. “TPT Ilegal Ambil Pangsa Pasar Lokal 28%”. http://www.textile.web.id/news/news_detail.php?art_id=675 [30 Juni 2006]. Carlton, D.W. dan Jeffrey M. Perloff. 2000. Modern Industrial Organization. Artists Right Society, New York. Chou, T. C. 1995. Industrial Organization in a Dichotomous Economy : The Case of Taiwan. Brookfield: Ave bury. Delima, D.K. 2005. Analisis Structure-Conduct-Performance Industri Ban di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Departemen Perindustrian. 1982. Keadaan dan Perkembangan Industri Tekstil di Indonesia Sampai Tahun 1980. Departemen Perindustrian, Jakarta. Dumairy, M.A. 1995. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga. Gujarati, D.N. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Hartanto, N.S. dan Watanabe. 1993. Teknologi Tekstil. Pradnya Paramita. Jakarta
87
Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli, dan Regulasi. LP3ES, Jakarta. Jaya, W.K. 2001. Ekonomi Industri. Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE. Kompas. 2005. “Produk China Mengancam Industri Lokal”. http://groups.google.co.id/perdagangan+industri+pakaian+jadi=dbc4bc10 [ 01 Februari 2006]. Kuncoro, M. 2005. ”Industri Indonesia di Persimpangan Jalan”. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/19/Fokus/1565611.htm [14 april 2006]. Legowo. 1996. Persaingan Usaha dan Pengambilan Keputusan Manajerial. Jakarta: UI-Press. Lipsey, R.G., et al. 1996. Penghantar Mikroekonomi Jilid 2. Edisi Ke-10. Maulana dan Saputra [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Nicholson, W. 1985. Teori Ekonomi Mikro, Prinsip Dasar dan Pengembangannya. Deliarnov [penerjemah]. PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta. Shepherd, W.G. 1990. The Economics of Industrial Organization. Edisi Ketiga. New Jersey: Prentice Hall. Sinar Harapan. 2004. ”Perdagangan Bebas TPT, Ancaman Sekaligus Tantangan”. http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2004/0825/ind1.html [18 Mei 2006]. Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yulaekha, S. 2005. Analisis Produktivitas Industri TPT Indonesia (Periode 19832002) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
88
Lampiran 1. Nama-nama Perusahaan Pakaian Jadi Indonesia Berskala Besar No
Perusahaan
Status
Jumlah Pekerja
Tahun Berdiri
1.
APAC CITRA CENTERTEX TBK., PT. Batara Wahanamas, PT. Batik Danar Hadi, PT. Batik Keris, PT. BEHAESTEX, PT. Delami Garment Industries, PT. Dease Garmin, PT. Eratex Djaya LTD. TBK., PT. Evershine Textile, PT. Fit-U Garment, PT. Great Golden Star, PT. Great River International, PT. Karwel Indonesia, PT. Muara Krakatau, PT. Mulia Knitting Factory, PT. Mulia Lestari, PT. Sakhuntala Knitting Industry, PT. JACOLINTEX, PT.
PMDN
3.000
1996
Kapasitas Produksi (Dozen) --
PMDN PMDN PMDN PMDN PMDN PMDN PMA PMDN PMDN PMDN PMDN PMDN PMDN PMDN PMDN PMDN PMDN
706 -2.000 1.850 2.500 1.700 4.800 2.200 1.354 3.500 11.500 15.000 2.000 1.670 437 250 703
1984 ---1979 1989 -1975 1980 1977 --2000 1991 1967 -2000
240.000 ----1.155.000 ---250.000 -300.000 100.000 700.000 -100.000 120.346
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Sumber : API, 2005. Keterangan : Tanda (--) menunjukkan data tidak tersedia
89
90
Lampiran 3. CR4 Industri Pakaian Jadi Indonesia Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Rata-rata
CR4 26,50 33,14 17,02 38,78 14,37 15,09 13,38 11,52 7,51 8,29 41,59 9,73 15,20 20,70 11,35 10,32 10,75 7,56 10,46 7,24 10,03 16,22
Sumber : BPS, 1983-2003, diolah
91
Lampiran 4. Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Nilai Output Perusahaan Terbesar (Rp) 12.707.672 31.051.316 28.734.844 128.316.929 26.285.870 57.116.836 55.277.091 89.866.140 72.107.692 107.460.784 335.913.382 132.522.868 423.264.682 646.503.357 307.572.819 262.229.353 297.219.190 216.723.553 362.257.189 230.326.772 366.900.806 Rata-rata
Sumber : BPS, 1983-2003, diolah. Keterangan : Tahun dasar 1993 (1993=100)
Nilai Output Total (Rp) 180.506.709 254.518.979 419.486.773 566.520.657 712.354.208 1.096.292.432 1.413.736.349 2.597.287.285 3.623.502.127 4.572.799.333 2.469.951.338 4.836.601.014 5.344.251.040 6.624.009.807 7.465.359.695 8.799.642.702 9.649.973.693 9.718.544.980 10.204.427.850 10.146.553.850 11.324.098.940
MES (%) 7,04 12,20 6,85 22,65 3,69 5,21 3,91 3,46 1,99 2,35 13,60 2,74 7,92 9,76 4,12 2,98 3,08 2,23 3,55 2,27 3,24 5,94
92
Lampiran 5. Price-Cost Margin Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Nilai Tambah (Rp) 70.095.068 106.415.069 166.969.235 220.842.428 217.432.555 389.880.049 494.466.999 930.497.282 1.213.828.011 1.476.126.995 1.009.303.317 1.974.049.208 2.126.475.514 2.564.006.548 2.736.466.016 2.905.228.653 3.595.746.822 3.604.319.054 3.498.816.899 4.578.519.274 4.518.835.220
Sumber : BPS, 1983-2003, diolah. Keterangan : Tahun dasar 1993 (1993=100)
Pengeluaran Tenaga Kerja (Rp) 26.549.872 37.792.202 55.018.076 70.286.655 49.492.165 117.157.419 155.547.592 317.702.656 398.254.130 472.877.225 708.933.798 710.628.498 744.298.411 779.361.756 808.999.295 606.346.925 849.798.636 884.919.074 1.255.048.256 1.516.608.738 1.452.067.700 Rata-rata
Barang yang Dihasilkan (Rp) 172.793.384 242.523.647 397.677.682 535.940.935 682.147.380 1.049.967.115 1.314.445.486 2.484.238.741 3.395.203.428 4.238.060.133 5.967.384.142 4.262.311.382 4.679.351.200 5.938.954.356 6.955.312.122 8.195.799.489 8.588.032.038 8.782.384.287 9.620.034.353 8.749.128.660 9.442.806.612
PCM (%) 24,12 26,96 26,68 26,57 23,57 24,87 23,97 23,59 22,50 21,93 12,16 26,12 25,86 26,94 25,81 26,12 28,45 27,98 21,98 30,17 27,08 24,93
93
Lampiran 6. Nilai Efisiensi-X Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Nilai Tambah (Rp) 70.095.068 106.415.069 166.969.235 220.842.428 217.432.555 389.880.049 494.466.999 930.497.282 1.213.828.011 1.476.126.995 1.009.303.317 1.974.049.208 2.126.475.514 2.564.006.548 2.736.466.016 2.905.228.653 3.595.746.822 3.604.319.054 3.498.816.899 4.578.519.274 4.518.835.220 Rata-rata
Sumber : BPS, 1983-2003, diolah Keterangan : Tahun dasar 1993 (1993=100)
Nilai Input (Rp) 110.411.641 148.103.911 252.517.539 345.678.229 494.921.653 706.412.383 919.269.349 1.666.790.003 2.409.674.117 3.096.672.339 1.460.648.021 2.862.551.805 3.217.775.525 4.060.003.259 4.728.893.679 5.894.414.052 6.054.226.871 6.114.225.924 6.705.610.954 5.568.034.581 6.805.263.725
Xeff (%) 63,49 71,85 66,12 63,89 43,93 55,19 53,79 55,83 50,37 47,67 69,10 68,96 66,09 63,15 57,87 49,29 59,39 58,95 52,18 82,23 66,40 60,27
94
Lampiran 7. Growth Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) Tahun 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Nilai Output (Rp) 122.447.857 180.506.709 254.518.979 419.486.773 566.520.657 712.354.208 1.096.292.432 1.413.736.349 2.597.287.285 3.623.502.127 4.572.799.333 2.469.951.338 4.836.601.014 5.344.251.040 6.624.009.807 7.465.359.695 8.799.642.702 9.649.973.693 9.718.544.980 10.204.427.850 10.146.553.850 11.324.098.940 Rata-rata
Sumber : BPS, 1982-2003, diolah. Keterangan : Tahun dasar 1993 (1993=100)
Growth (%) 47,42 41,00 64,82 35,05 25,74 53,90 28,96 83,72 39,51 26,20 -45,99 95,82 10,50 23,95 12,70 17,87 9,66 0,71 5,00 -0,57 11,61 27,98
95
Lampiran 8. Produktivitas Industri Pakaian Jadi Indonesia (1983-2003) Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Nilai Output (Rp) 180.506.709 254.518.979 419.486.773 566.520.657 712.354.208 1.096.292.432 1.413.736.349 2.597.287.285 3.623.502.127 4.572.799.333 2.469.951.338 4.836.601.014 5.344.251.040 6.624.009.807 7.465.359.695 8.799.642.702 9.649.973.693 9.718.544.980 10.204.427.850 10.146.553.850 11.324.098.940 Rata-rata
Sumber : BPS, 1983-2003, diolah. Keterangan : Tahun dasar 1993 (1993=100).
Nilai Input TK (Rp) 26.549.872 37.792.202 55.018.076 70.286.655 49.492.165 117.157.419 155.547.592 317.702.656 398.254.130 472.877.225 708.933.798 710.628.498 744.298.411 779.361.756 808.999.295 606.346.925 849.798.636 884.919.074 1.255.048.256 1.516.608.738 1.452.067.700
Produktivitas (%) 679,87 673,46 762,45 806,01 1439,32 935,74 908,87 817,52 909,84 967,01 348,40 680,60 718,02 849,92 922,78 1451,25 1135,56 1098,34 813,07 669,02 779,86 874,61
96
Lampiran 9. Hasil Estimasi Output Regresi dan Uji Ekonometrika Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 06/25/06 Time: 23:19 Sample(adjusted): 1985 2003 Included observations: 19 after adjusting endpoints Convergence achieved after 7 iterations Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C -23,60763 4,363567 -5,410167 CR4 -0,166643 0,042393 -3,930908 GROWTH 0,037651 0,014133 2,664097 XEFF 0,456346 0,053378 8,549288 PROD 0,012511 0,001989 6,288630 DUMMY -1,376205 1,069238 -1,287089 PCM(-1) 0,489386 0,089063 5,494820 AR(1) -0,710023 0,224868 -3,157512 R-squared 0,924435 Mean dependent var Adjusted R-squared 0,876347 S.D. dependent var S.E. of regression 1,334379 Akaike info criterion Sum squared resid 19,58624 Schwarz criterion Log likelihood -27,24852 F-statistic Durbin-Watson stat 2,236158 Prob(F-statistic) Inverted AR Roots -,71
Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 1,618679 Probability
0,232063
Obs*R-squared
2,647023
Probability
0,103744
White Heteroskedasticity Test: F-statistic 0,726733
Probability
0,694838
Obs*R-squared
Probability
0,518749
Uji Heteroskedastisitas
10,12982
Prob. 0,0002 0,0023 0,0220 0,0000 0,0001 0,2245 0,0002 0,0091 24,86053 3,794702 3,710371 4,108029 19,22417 0,000024
97
Lampiran 10. Uji multikolinearitas PCM PCM 1,000000 CR4 -0,407130 GROWTH 0,310431 XEFF 0,256086 PROD 0,319444 DUMMY 0,373556
CR4 GROWTH XEFF -0,407130 0,310431 0,256086 1,000000 -0,176624 0,345836 -0,176624 1,000000 -0,087790 0,345836 -0,087790 1,000000 -0,487863 0,040572 -0,721059 -0,462914 -0,462795 0,049177
PROD 0,319444 -0,487863 0,040572 -0,721059 1,000000 0,305853
DUMMY 0,373556 -0,462914 -0,462795 0,049177 0,305853 1,000000
Uji Normalitas
6 Series: Residuals Sample 1985 2003 Observations 19
5 4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3 2
-2.73E-12 0.177550 1.771292 -1.716620 1.043132 -0.069451 1.831659
1 Jarque-Bera Probability
0 -2
-1
0
1
2
1.095915 0.578129
98
Lampiran 11. Hasil Estimasi Output Regresi dan Uji Ekonometrika Tahap 1 Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 07/26/06 Time: 16:18 Sample: 1983 2003 Included observations: 21 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C CR4 GROWTH XEFF PROD DUMMY
-9,506994 -0,058096 0,048372 0,377490 0,012372 1,341737
6,537991 0,061785 0,018962 0,078554 0,002962 1,505902
-1,454115 -0,940297 2,551017 4,805490 4,176829 0,890986
0,1665 0,3620 0,0222 0,0002 0,0008 0,3870
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0,783051 0,710735 1,954284 57,28841 -40,33526 2,019906
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
0,003734
Probability
0,952137
Obs*R-squared
0,005600
Probability
0,940348
Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic
6,777128
Probability
0,002178
Obs*R-squared
17,79141
Probability
0,037672
24,92524 3,633620 4,412882 4,711317 10,82813 0,000149
99
Lampiran 12. Uji Multikolinearitas Tahap 1 PCM PCM 1,000000 CR4 -0,407130 GROWTH 0,310431 XEFF 0,256086 PROD 0,319444 DUMMY 0,373556
CR4
GROWTH
XEFF
PROD
DUMMY
-0,407130 1,000000 -0,176624 0,345836 -0,487863 -0,462914
0,310431 -0,176624 1,000000 -0,087790 0,040572 -0,462795
0,256086 0,345836 -0,087790 1,000000 -0,721059 0,049177
0,319444 -0,487863 0,040572 -0,721059 1,000000 0,305853
0,373556 -0,462914 -0,462795 0,049177 0,305853 1,000000
Uji Normalitas Tahap 1 12 Series: Residuals Sample 1983 2003 Observations 21
10 8
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
6 4 2
Jarque-Bera Probability
0 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
9.07E-15 0.494322 2.544458 -4.087276 1.692460 -0.838009 3.108452 2.468200 0.291097
100
Lampiran 13. Hasil Output Minitab Regression Analysis: PCM versus CR4; GROWTH; XEFF; PROD; DUMMY The regression equation is PCM = - 9,51 - 0,0581 CR4 + 0,0484 GROWTH + 0,377 XEFF + 0,0124 PROD + 1,34 DUMMY Predictor Constant CR4 GROWTH XEFF PROD DUMMY
Coef -9,507 -0,05810 0,04837 0,37749 0,012372 1,342
S = 1,954
SE Coef 6,538 0,06178 0,01896 0,07855 0,002962 1,506
R-Sq = 78,3%
T -1,45 -0,94 2,55 4,81 4,18 0,89
P 0,167 0,362 0,022 0,000 0,001 0,387
VIF 2,1 1,8 2,8 2,9 2,8
R-Sq(adj) = 71,1%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source CR4 GROWTH XEFF PROD DUMMY
DF 1 1 1 1 1
DF 5 15 20
SS 206,776 57,288 264,064
MS 41,355 3,819
F 10,83
P 0,000
Seq SS 43,770 15,507 48,865 95,602 3,032
Unusual Observations Obs CR4 PCM 11 41,6 12,160 3,61R
Fit 16,247
SE Fit 1,593
Residual -4,087
R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid -
101
Lampiran 14. Hasil Estimasi Output Regresi dan Uji Ekonometrika Tahap 2 Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 07/26/06 Time: 16:27 Sample(adjusted): 1984 2003 Included observations: 20 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C CR4 GROWTH XEFF PROD DUMMY PCM(-1)
-19,83180 -0,102530 0,056497 0,420186 0,011572 0,126356 0,376421
6,451094 0,054603 0,016469 0,067125 0,002497 1,320494 0,127371
-3,074177 -1,877734 3,430512 6,259715 4,634351 0,095688 2,955301
0,0089 0,0830 0,0045 0,0000 0,0005 0,9252 0,0112
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0,870409 0,810597 1,620356 34,13220 -33,72386 2,885318
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
24,96550 3,723207 4,072386 4,420892 14,55254 0,000043
Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
5,574820 6,344099
Probability Probability
0,035979 0,011777
F-statistic
2,597430
Probability
0,092894
Obs*R-squared
15,62504
Probability
0,155632
Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test:
Uji Multikolinearitas PCM PCM 1,000000 CR4 -0,407130 GROWTH 0,313599 XEFF 0,256086 PROD 0,319444 DUMMY 0,373556
CR4
GROWTH
XEFF
PROD
DUMMY
-0,407130 1,000000 -0,178528 0,345836 -0,487863 -0,462914
0,313599 -0,178528 1,000000 -0,083574 0,039146 -0,461026
0,256086 0,345836 -0,083574 1,000000 -0,721059 0,049177
0,319444 -0,487863 0,039146 -0,721059 1,000000 0,305853
0,373556 -0,462914 -0,461026 0,049177 0,305853 1,000000
102
Lampiran 15. Hasil Estimasi Output Regresi dan Uji Ekonometrika Tahap 3 Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 06/19/06 Time: 15:59 Sample(adjusted): 1985 2003 Included observations: 19 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C -22,56495 11,04279 -2,043411 CR4 -0,224038 0,074847 -2,993279 GROWTH 0,012976 0,032048 0,404895 XEFF 0,465276 0,095046 4,895263 PROD 0,012663 0,003527 3,589856 DUMMY -2,476615 1,946236 -1,272515 PCM(-1) 0,363062 0,201129 1,805123 PCM(-2) 0,130482 0,183428 0,711352 R-squared 0,785441 Mean dependent var Adjusted R-squared 0,648903 S.D. dependent var S.E. of regression 2,248492 Akaike info criterion Sum squared resid 55,61288 Schwarz criterion Log likelihood -37,16260 F-statistic Durbin-Watson stat 2,921972 Prob(F-statistic)
Prob. 0,0657 0,0122 0,6933 0,0005 0,0042 0,2294 0,0985 0,4917 24,86053 3,794702 4,753958 5,151617 5,752550 0,005391
Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
6,836073
Probability
0,025837
Obs*R-squared
7,714708
Probability
0,005477
White Heteroskedasticity Test: F-statistic 16,89946
Probability
0,002851
Obs*R-squared
Probability
0,136807
Uji Heteroskedastisitas
18,57720
Uji Multikolinearitas PCM PCM 1,000000 CR4 -0,407130 GROWTH -0,245985 PROD 0,319444 XEFF 0,256086 DUMMY 0,373556
CR4
GROWTH
PROD
XEFF
DUMMY
-0,407130 1,000000 0,224064 -0,487863 0,345836 -0,462914
-0,245985 0,224064 1,000000 -0,319403 0,068643 -0,668160
0,319444 -0,487863 -0,319403 1,000000 -0,721059 0,305853
0,256086 0,345836 0,068643 -0,721059 1,000000 0,049177
0,373556 -0,462914 -0,668160 0,305853 0,049177 1,000000
103
Lampiran 16. Hasil Estimasi Output Regresi dan Uji Ekonometrika Tahap 4 Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 06/27/06 Time: 21:50 Sample(adjusted): 1984 2003 Included observations: 20 after adjusting endpoints Convergence achieved after 21 iterations Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C -12,52113 8,333686 -1,502471 CR4 -0,145094 0,071300 -2,034981 GROWTH -0,012408 0,032553 -0,381173 XEFF 0,458079 0,096437 4,750045 PROD 0,014992 0,003724 4,025867 DUMMY -1,806095 1,865771 -0,968015 AR(1) -0,122316 0,320947 -0,381109 R-squared 0,702524 Mean dependent var Adjusted R-squared 0,565227 S.D. dependent var S.E. of regression 2,454981 Akaike info criterion Sum squared resid 78,35013 Schwarz criterion Log likelihood -42,03332 F-statistic Durbin-Watson stat 2,007658 Prob(F-statistic) Inverted AR Roots -,12
Prob. 0,1569 0,0628 0,7092 0,0004 0,0014 0,3507 0,7093 24,96550 3,723207 4,903332 5,251839 5,116835 0,006651
Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0,319135 Probability
0,582535
Obs*R-squared
0,518113
Probability
0,471648
White Heteroskedasticity Test: F-statistic 19,42816 Obs*R-squared 18,91806
Probability Probability
0,000034 0,025899
Uji Heteroskedastisitas
Uji Multikolinearitas PCM PCM 1,000000 CR4 -0,407130 GROWTH -0,245985 XEFF 0,256086 PROD 0,319444 DUMMY 0,373556
CR4 GROWTH XEFF -0,407130 -0,245985 0,256086 1,000000 0,224064 0,345836 0,224064 1,000000 0,068643 0,345836 0,068643 1,000000 -0,487863 -0,319403 -0,721059 -0,462914 -0,668160 0,049177
PROD 0,319444 -0,487863 -0,319403 -0,721059 1,000000 0,305853
DUMMY 0,373556 -0,462914 -0,668160 0,049177 0,305853 1,000000
104
Lampiran 17. Barang Hasil Produksi Industri Pakaian Jadi (Garmen) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Barang hasil produksi industri pakaian jadi (Garmen) Pakaian luar pria dari batik (dewasa/anak-anak) Pakaian luar pria selain dari batik (dewasa/anak-anak) Pakaian dalam pria (dewasa/anakanak) Pakaian dalam wanita (dewasa/anak-anak) Pakaian bayi Pakaian olah raga pria/wanita lainnya Pakaian jadi lainnya Jaket batik pria Kemeja lengan panjang batik pria Kemeja lengan pendek batik pria Celana panjang dan pendek batik pria Setelan pria lainnya Jas/blazer pria lainnya Jaket pria lainnya Baju hangat pria lainnya Rompi pria lainnya Jas hujan pria lainnya Kemeja lengan panjang pria lainnya Kemeja lengan pendek pria lainnya Celana panjang dan pendek pria lainnya Piyama pria lainnya Jubah pria lainnya Pakaian renang pria Baju koko Pakaian luar pria lainnya Pakaian luar wanita dari batik (dewasa/anak-anak) Pakaian luar wanita selain dari batik (dewasa/anak-anak) Pakaian dalam pria lainnya Pakaian kerja khusus
No. 30.
Barang hasil produksi industri pakaian jadi (Garmen) Setelan batik wanita
31.
Blouse batik wanita
32.
Kemeja batik wanita
33.
Gaun motif batik wanita
34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Rok dan rok terpisah batik Celana panjang dan pendek batik wanita Daster batik Gaun malam batik wanita Mantel wanita Setelan wanita lainnya Jas/blazer wanita lainnya
41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49.
Jaket wanita lainnya Baju hangat wanita lainnya Rompi wanita Blouse wanita Kemeja wanita Kebaya Gaun wanita Rok dan rok terpisah Celana panjang dan pendek wanita
50. 51. 52. 53. 54. 55.
Daster lainnya Gaun malam wanita lainnya Piyama wanita Pakaian luar wanita lainnya Pakaian dalam wanita lainnya Pakaian renang wanita
56.
Pakaian training
57. 58.
Pakaian adat (bukan kebaya) Perlengkapan bayi lainnya
Lampiran 2. Struktur Biaya Industri Pakaian Jadi di Indonesia Biaya Bahan baku dan penolong Bahan bakar, tenaga listrik dan gas Bahan lainnya Pemeliharaan dan jasa industri Sewa gedung, mesin dan alat Jasa non industri Pengeluaran untuk tenaga kerja Total biaya Nilai output Sumber : BPS, 2000-2003.
2000 Jumlah (000 Rp)
%
2001 Jumlah (000 Rp)
2002 Jumlah (000 Rp)
%
2003 Jumlah (000 Rp)
%
%
11.896.133.548
74,6
13.113.849.614
69,4
11.885.833.174
66,2
14.345.270.647
66,7
207.811.723 221.473.133
1,3 1,4
623.263.854 -
3,3 -
560.382.312 -
3,1 -
1.002.980.786 -
4,6 -
419.283.363
2,6
-
-
-
-
-
-
114.272.914 1 075.346.206
0,7 6,8
182.762.502 1.904.436.212
1 10,1
193.397.960 1.467.002.170
1,1 8,2
297.387.312 2.088.197.998
1,4 9,7
2.016.730.570 15.951.051.457 22.148.564.012
12,6 100
3.064.827.841 18.889.140.023 24.919.212.827
16,2 100
3.842.328.237 17.948.943.853 25.706.294.198
21,4 100
3.783.943.220 21.517.779.963 29.509.469.443
17,6 100