39 HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Emulsi Yang Dihasilkan Ukuran Partikel Sistem Emulsi
Dari tiga formula sistem emulsi yang dianalisa ukuran partikelnya menggunakan fotomikroskop menunjukkan bahwa formula B dengan surfaktan polietilen glikol (400) monooleat memberikan emulsi yang stabil dan ukuran partikel seragam dengan ukuran partikel sekitar antara 6,6 – 7,2 formula B terlihat bahwa formula dengan menggunakan
μm. Pada
virgin coconut oil
menghasilkan sistem emulsi yang lebih stabil dengan ukuran partikel yang relatif seragam dibandingkan dengan menggunakan minyak silikon dan minyak mineral. Hasil fotomikroskop formula A menunjukkan bahwa ukuran partikel sistem emulsi sangat besar dan ukuran partikel kurang seragam, yaitu berkisar antara 15,0 – 36,8 μm.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya komposisi bahan yang tidak sesuai antara surfaktan polietilen glikol (400) dioleat dengan komposisi bahan yang lainnya, sehingga terjadi tumbukan antara dua partikel membentuk partikel yang lebih besar yang disebut peristiwa coalescence. Gambar fotomikroskop ukuran partikel untuk formula A dapat dilihat pada Gambar 18. Untuk formula B terlihat dari hasil analisa fotomikroskop sistem emulsi yang menggunakan virgin coconut oil sebagai fase minyak memberikan ukuran partikel yang relatif seragam sekitar 7,2 μm. Sedangkan yang menggunakan minyak mineral dan minyak silikon tampak sistem emulsi kurang baik dengan ukuran pertikel yang tidak seragam. Ukuran partikel untuk formula B dapat dilihat pada Gambar 19. Sistem emulsi formula C pada Gambar 20, tampak ukuran partikel yang tidak seragam. Surfaktan sorbitan monooleat merupakan surfaktan non ionik dengan HLB sekitar 3,8 - 4,2. Surfaktan jenis ini lebih baik digunakan dalam sistem emulsi air dalam minyak daripada sistem emulsi minyak dalam air, sehingga penggunaan surfaktan dalam sistem emulsi minyak dalam air memberikan sistem emulsi yang tidak stabil.
40
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) dioleat – Minyak silikon
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) dioleat – VCO
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) dioleat – Minyak mineral Gambar 18. Fotomikroskop sistem emulsi formula A
41
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) monooleat – Minyak silikon
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) monooleat – VCO
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) monooleat – Minyak mineral Gambar 19. Fotomikroskop sistem emulsi formula B
42
Ukuran partikel sistem emulsi sorbitan monooleat- Minyak silikon
Ukuran partikel sistem emulsi sorbitan monooleat- VCO
Ukuran partikel sistem emulsi sorbitan monooleat- Minyak mineral Gambar 20. Fotomikroskop sistem emulsi formula C
43 Setelah disimpan selama tiga bulan, ukuran partikel sistem emulsi untuk semua formula menjadi lebih besar. Ukuran partikel formula A antara 6,7 – 38,6 μm, formula B antara 5 – 10,8 μm, dan formula C antara 3,6 – 12,3 μm.
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) dioleat – Minyak silikon
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) dioleat – VCO
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) dioleat – Minyak mineral Gambar 21. Fotomikroskop sistem emulsi formula A setelah disimpan 3 bulan
44
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) monooleat – Minyak silikon
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) monooleat - VCO
Ukuran partikel sistem emulsi PEG (400) monooleat – Minyak mineral Gambar 22. Fotomikroskop sistem emulsi formula B setelah disimpan 3 bulan
45
Ukuran partikel sistem emulsi sorbitan monooleat – Minyak silikon
Ukuran partikel sistem emulsi sorbitan monooleat - VCO
Ukuran partikel sistem emulsi sorbitan monooleat – Minyak mineral Gambar 23. Fotomikroskop sistem emulsi formula C setelah disimpan 3 bulan
46 Analisa ukuran partikel terhadap produk komersial dilakukan pada produk X, Y dan Z. Dari Gambar 24, tampak bahwa ukuran partikel untuk produk komersial berkisar antara 4,1-5,5 μm.
Ukuran partikel sistem emulsi X
Ukuran partikel sistem emulsi Y
Ukuran partikel sistem emulsi Z Gambar 24. Fotomikroskop sistem emulsi produk komersil
47 Stabilitas Relatif Sistem Emulsi
Hasil pengukuran rata-rata stabilitas relatif emulsi pada sistem emulsi dapat dilihat pada Gambar 25. Dari hasil uji keragaman menunjukkan perbedaan penggunaan jenis minyak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap stabilitas relatif emulsi pada α = 0,05. Berdasarkan uji lanjut Duncan pada Lampiran 11 didapatkan bahwa untuk perlakuan d (PEGMO + VCO), e (PEGMO + SO), f (PEGMO + MO) dan a (PEGDO + VCO) berbeda nyata. Untuk formulasi yang lainnya menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Nilai stabilitas tertinggi diperoleh pada formula B berkisar antara 93-98%. Nilai stabilitas tertinggi diperoleh pada formulasi yang menggunakan virgin coconut oil yaitu 98%. Sedangkan formula A stabilitas relatif emulsinya berkisar antara 86-92% dan stabilitas relatif emulsi formula C berkisar antara 80-88%. Secara keseluruhan tampak pada histogram dibawah ini bahwa
formula A,
formula B dan formula C yang didalam formulasinya menggunakan virgin coconut oil memberikan kestabilan relatif emulsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan minyak mineral maupun minyak silikon. Hal ini menujukkan bahwa penggunaan virgin coconut oil untuk produk kosmetika cukup baik karena sifat dari virgin coconut oil yang mempunyai densitas lebih tinggi dari minyak silikon dan minyak mineral, sehingga produk yang diperoleh menjadi lebih stabil. Stabilitas relatif emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan dimana partikel yang terdapat dalam bahan tidak mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lain dan membentuk lapisan yang terpisah. Faktor mekanis dan proses pembentukkan emulsi merupakan faktor kritis dalam stabilitas emulsi dan viskositas. Komposisi bahan yang tidak tepat, ketidakcocokan bahan, kecepatan pengadukan dan pemanasan yang tidak tepat juga menyebabkan sistem emulsi menjadi tidak stabil. Tidak sesuainya rasio antara fase terdispersi dan fase pendispersi serta jumlah dan penggunaan emulsifier juga menentukan kestabilan relatif emulsi. Air yang digunakan dalam formulasi juga dapat mempengaruhi kestabilan relatif emulsi. Menurut Keithler (1956) stabilitas emulsi tergantung pada penambahan air
48 yang banyak sebagai elektrolit yang dapat larut
yang secara langsung
mempengaruhi produk. Pengamatan secara visual yang dilakukan terhadap produk menunjukkan bahwa produk tidak mengalami perubahan warna, perubahan bentuk atau menjadi lapisan yang terpisah.
100 Stabilitas Relatif Emulsi (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 VCO
SO
MO
Gambar 25. Histogram stabilitas relatif emulsi Viskositas Sistem Emulsi
Dari hasil pengamatan terhadap viskositas pada sistem emulsi, untuk formula A berkisar antara 8.800 -8200 cP, fomula B berkisar antara 9.400-9.000 cP dan formula C berkisar antara 8.600-7.400 cP. Hasil uji keragaman pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa nilai viskositas berbeda nyata pada α = 0,05 terhadap jenis surfaktan dan jenis minyak. Berdasarkan uji lanjut Duncan didapatkan bahwa untuk perlakuan d (PEGMO + VCO) tidak beda nyata dengan perlakuan e (PEGMO + SO). Tetapi pada perlakuan d (PEGMO + VCO) dengan perlakuan f (PEGMO + MO) berbeda nyata. Viskositas sistem emulsi terbesar diperoleh pada formula B dengan menggunakan virgin coconut oil, yaitu 9400 cP sedangkan viskositas terkecil diperoleh pada formula C yaitu formulasi yang menggunakan sorbitan monooleat sebagai surfaktan dan minyak mineral sebesar 7.400 cP.
49 Pada Gambar 26 terlihat kecenderungan penurunan nilai viskositas setelah produk disimpan selama 3 bulan. Hasil uji keragaman pada Lampiran 13 menunjukkan bahwa nilai viskositas berbeda nyata pada α = 0,05 terhadap jenis surfaktan dan jenis minyak. Berdasarkan uji lanjut Duncan didapatkan bahwa untuk perlakuan d (PEGMO + VCO) beda nyata dengan perlakuan e (PEGMO + SO) perlakuan a (PEGDO + VCO) dan perlakuan f (PEGMO + MO). Dari histogram tersebut didapatkan nilai viskositas tertinggi pada formulasi yang menggunakan surfaktan polietilen glikol (400) monooleat dan virgin coconut oil dengan viskositas 8800 cP. Hal tersebut menunjukkan keterkaitan antara stabilitas emulsi dengan nilai viskositas. Nilai viskositas menurun berarti stabilitas emulsi juga menurun karena terjadinya gerakan antara partikel-partikel pendispersi dan yang terdispersi.
10 9 8
Viskositas (cP)
7 6 5 4 3 2 1 0 V CO
SO
MO
Gambar 26. Histogram viskositas sistem emulsi Hasil pengamatan pada produk lotion yang ada di pasaran dilakukan untuk membandingkan dengan
produk yang dihasilkan. Nilai viskositas produk
komersial dari X, Y dan Z berkisar antara 10.200-14.800 cP dapat dilihat pada Gambar 27. Dari hasil pengukuran tersebut terlihat bahwa sistem emulsi yang dihasilkan memiliki nilai viskositas yang jauh lebih kecil dibanding dengan produk komersil. Hal ini terjadi karena pada sistem emulsi yang dibuat tidak menggunakan bahan yang berfungsi sebagai bahan pengental seperti halnya
50 gelatin, sehingga sistem emulsi yang dibuat menjadi agak encer. Nilai viskositas berkaitan dengan kestabilan emulsi suatu bahan yang artinya berkaitan dengan nilai stabilitas relatif emulsi bahan. Semakin tinggi viskositas suatu bahan, maka bahan tersebut akan makin stabil karena pergerakan partikel cenderung sulit dengan semakin kentalnya suatu bahan. Viskositas merupakan salah satu parameter penting dalam produk-produk emulsi, khususnya skin lotion.
16 14
Viskositas (cP)
12 10 8 6 4 2 0 Z
X
Y
Gambar 27. Histogram viskositas produk komersil Tegangan Permukaan dan Tegangan Antar Muka Sistem Emulsi
Emulsifier atau zat pengemulsi didefinisikan sebagai senyawa yang mempunyai aktivitas permukaan (surface-active agents), sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan (surface tension) antara udara-cairan dan cairan-cairan yang terdapat dalam suatu sistem (Schueller & Romanowski, 1999). Kemampuannya menurunkan tegangan permukaan menjadi hal menarik karena emulsifier memiliki struktur kimia yang mampu menyatukan dua senyawa yang berbeda polaritasnya. Tingkat penurunan tegangan permukaan oleh senyawa pengemulsi berkisar antara 50 dyne/cm hingga kurang dari 10 dyne/cm jika digunakan pada konsentrasi lebih kecil dari 0,2%. Sejumlah energi dibutuhkan guna membentuk antar permukaan yang baru pada suatu sistem emulsi. Mula-mula suatu cairan di dispersikan dengan cara mekanis ke dalam cairan yang lain. Besarnya kerja yang diperlukan untuk
51 membentuk globula-globula yang berbentuk bola sangat ditentukan oleh besarnya diameter globula tersebut. Tegangan permukaan dan tegangan antar muka sistem emulsi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan alat Surface Tensiomart Model 21. Tegangan permukaan sistem emulsi relatif stabil setelah disimpan selama 3 bulan (Gambar 28), ada sedikit kenaikan tegangan permukaan namun kenaikannya tidak terlalu tajam karena secara visual sistem emulsi tidak membentuk lapisanlapisan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi diantara partikel-partikel surfaktan sehingga menaikkan energi permukaan. Dari hasil uji keragaman pada Lampiran 14 dan 15 menunjukkan bahwa jenis surfaktan dan jenis minyak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada α = 0,05 terhadap tegangan permukaan pada saat awal ataupun setelah disimpan selama 3 bulan. Berdasarkan uji lanjut Duncan didapatkan bahwa perlakuan d (PEGMO + VCO), e (PEGMO + SO), f (PEGMO + MO) dan a (PEGDO + VCO) berbeda nyata.Untuk formulasi yang lainnya menunjukkan perbedaan yang nyata pula. Penggunaan surfaktan polietilen glikol (400) monoleat memberikan nilai tegangan permukaan relatif rendah bila dibandingkan dengan menggunakan surfaktan polietilen glikol (400) dioleat dan sorbitan monooleat. Penurunan tegangan permukaan berkaitan dengan kestabilan emulsi, tegangan permukaan semakin kecil berarti sistem emulsi relatif lebih stabil. Tegangan permukaan terendah diperoleh pada surfaktan polietilen glikol (400) monooleat dengan fase minyak virgin coconut oil sebesar 30,0 dyne/cm, tegangan permukaan tertinggi sebesar 37 dyne/cm pada surfaktan sorbitan monooleat dengan minyak mineral sebagai fase minyak. Tegangan permukaan produk komersil berkisar antara 29,0-30,2 dyne/cm. Tegangan permukaan sistem emulsi sedikit lebih tinggi dari tegangan permukaan komersil, kemungkinan ini terjadi karena bahan-bahan penyusun emulsi yang berbeda. Tegangan permukaan produk komersil dapat dilihat pada Gambar 29.
52 40
10
PEGMO
SMO 3 BLN
SMO
PEGMO 3 BLN
PEGDO
PEGDO 3 BLN
SMO 3 BLN
PEGMO
PEGDO PEGDO 3 BLN
PEGMO 3 BLN SMO
PEGMO
15
SMO 3 BLN
20
PEGMO 3 BLN SMO
25
PEGDO 3 BLN
30
PEGDO
Tegangan Permukaan (dyne/cm)
35
5 0 VCO
SO
MO
Gambar 28. Histogram tegangan permukaan sistem emulsi
35
Tegangan Permukaan (dyne/cm)
30
25
20
15
10
5
0 Z
X
Y
Gambar 29. Histogram tegangan permukaan produk komersil Penggunaan surfaktan selain menurunkan tegangan permukaan juga dapat menurunkan tegangan antar muka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi. Dari hasil uji keragaman pada Lampiran 16 dan 17 menunjukkan bahwa jenis surfaktan dan jenis minyak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada α = 0,05 terhadap tegangan antar muka pada saat awal ataupun setelah disimpan
53 selama 3 bulan. Berdasarkan uji lanjut Duncan didapatkan bahwa perlakuan d (PEGMO + VCO), e (PEGMO + SO), f (PEGMO + MO) dan a (PEGDO + VCO) berbeda nyata. Untuk formulasi yang lainnya menunjukkan perbedaan yang nyata pula. Dilihat dari tegangan antar muka antara sistem emulsi dengan xylena, terlihat bahwa tegangan antar muka sistem emulsi yang cenderung stabil setelah disimpan selama tiga bulan. Tegangan antar muka terkecil pada formulasi surfaktan polietilen glikol (400) monooleat dengan virgin coconut oil sebesar 16,2 dyne/cm. Tegangan antar muka untuk seluruh formula berkisar antara 16,2 – 19 dyne/cm. Histogram tegangan antar muka sistem emulsi dapat dilihat pada Gambar 30.
6 4
PEGMO PEGMO 3 BLN SMO SMO 3 BLN
8
SMO 3 BLN
10
SMO 3 BLN
12
SMO
14
PEGDO PEGDO 3 BLN PEGMO PEGMO 3 BLN SMO
16
PEGDO PEGDO 3 BLN
18
PEGDO PEGDO 3 BLN PEGMO PEGMO 3 BLN
Tegangan Antar Muka (dyne/cm)
20
2 0 V CO
SO
MO
Gambar 30. Histogram tegangan antar muka sistem emulsi
Tegangan antar muka produk komersil dapat dilihat pada Gambar 31. Produk komersil mempunyai tegangan antar muka berkisar antara
16,4-18,8
dyne/cm. Terjadinya gaya bebas yang bekerja diantara molekul-molekul pada permukaan batas atau antar muka dari dua cairan memberikan gaya resultan yang seimbang.
54
Tegangan Antar Muka (dyne/cm)
20
15
10
5
0
Z
X
Y
Gambar 31. Histogram tegangan antar muka produk komersil
Hasil Sintesis Polimer Alami Derajat Deasetilasi dan Berat Molekul Chitosan
Dari spektrum FTIR pada Gambar 32 diketahui derajat deasetilasi chitosan adalah 58 %. Standar mutu chitosan menurut laboratorium Protan dalam Bastaman (1989) merekomendasikan bahwa chitosan yang memenuhi standar mutu harus mempunyai derajat deasetilasi lebih dari sama dengan 70%. Chitosan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memenuhi standar mutu laboratorium Protan,
hal ini terjadi karena bahan baku chitosan yang
digunakan rendah kemurniannya, sehingga masih banyak mengandung gugus asetil
sebagai akibat dari proses deasetilasi chitin yang tidak sempurna.
Sementara Cho et al. (2006) melaporkan hasil penelitiannya bahwa deasetilasi chitosan sebesar 92% dengan berat molekul 2,2 x 105 g/mol.
derajat
55 2.4 Abs
1068.56
2.2
3271.27
1560.41
3240.41 3230.77 3199.91
νC-N 3041.74 3008.95
1.4
646.15
1641.42
1.2
1384.89
3111.18 3078.39
abs
2914.44 2879.72
1408.04
1.6
1153.43
3450.65
1.8
1037.70 1028.06
3425.58 3396.64 3375.43 3358.07
νOH
2
1259.52
0.8
896.90
948.98
1332.81
1
0.4
2098.55
2368.59
0.6
0.2
0 4250 f ilm chitosan
4000
3750
3500
3250
3000
2750
2500
2250
2000
1750
1500
1250
1/cm
1000
750
500 1/cm
Gambar 32. Spektrum FTIR film chitosan Berat molekul bahan baku chitosan dianalisa dengan menggunakan metoda pengukuran viskositas polimer kemudian dihitung berat molekulnya dengan menggunakan persamaan Mark-Houwink-Sakurada. Berat molekul chitosan diperoleh sebesar 4,92 x 104 gram/mol. Berat molekul semakin besar maka rantai polimer akan semakin banyak , sehingga pada saat sintesis akan semakin banyak senyawa 3-kloro-2 hidroksipropil trimetil amonium klorida (CHTAC) yang akan bereaksi dengan chitosan. Pembuatan polimer kationik chitosan dilakukan dengan menggunakan perbandingan mol antara chitosan dengan pereaksi 3-kloro-2 hidroksipropil trimetil amonium klorida (CHTAC) dengan perbandingan 1:3; 1:4 dan 1:6. Skema sintesis polimer alami dari chitosan yang menghasilkan turunan chitosan amonium kuartener dapat dilihat pada Gambar 33.
56 COCH3 OH
CH2OH
NH
CH2OH O
O H
H
H
O
O
H
O H
OH
H
H
NH2
O
H
H OH
H
O CH2OH
H
Chitosan
n
+ OH
CH3
Cl-CH3-CH-CH2
+
N
ClCH3
CH3
3-kloro-2 hidroksipropil trimetil amonium klorida
COCH3 OH
CH2OH
CH2OH
NH
O
O H
H
O
H
O
H
O H OH
H
H
NH2
O
H
OH
H
H
HN
H
O CH2OH
Chitosan amonium kuartener
CH-CH-CH2 OH
CH3 ClN+ CH3 CH3
n
Gambar 33. Skema reaksi chitosan dengan CHTAC (Cho et al., 2006) Analisis Spektrum FTIR Chitosan Kationik
Turunan
chitosan
amonium kuartener terbentuk dengan
adanya
penambahan sejumlah kecil asam asetat yang meningkatkan terjadinya kecepatan reaksi dan membuat terjadinya substitusi ion Cl- dari CHTAC dengan gugus amin yang terdapat pada chitosan. Terjadinya reaksi dalam suasana asam memudahkan terlepasnya ion H+ pada gugus amin yang diikuti dengan meningkatnya kecepatan
57 reaksi. Sedangkan kondisi alkali akan mempercepat terjadinya konjugasi gugus hidroksil (-OH) dalam tulang punggung chitosan. Dengan terjadinya reaksi tersebut, polimer kationik menjadi bersifat larut dalam air, hal ini dapat dibuktikan dengan menganalisis spektrum FTIR. Spektrum FTIR dari chitosan dan turunan chitosan amonium kuartener 1:3, 1:4 dan 1:6, dapat dilihat pada Gambar 34, 35, 36, 37 dan 38. Puncak pada frekuensi (angka gelombang) 1412 cm-1 menunjukkan pita metil dari CHTAC, tampak pada spektrum untuk turunan chitosan amonium kuartener tetapi spektrum tersebut tidak nampak pada chitosan yang tidak di modifikasi (Gambar 37). Pada frekuensi 1525 cm-1 tampak pita dari gugus amina primer dalam chitosan, dan area puncak menurun untuk semua spektrum turunan chitosan amonium kuartener. Dengan analisa FTIR maka dapat dilihat terjadinya konjugasi dari CHTAC ke dalam gugus amina dari chitosan.
81
1753.29
1853.59
1778.37
79.5
1882.52
%T
78
1255.66
νCH3
1 305.81
73.5
1377.17
1568.13
1483.26
νN-H
abs
1409.96
νC-N
1543.05 1527.62
75
1664.57
76.5
696.30
1147.65
719.45
70.5
796.60
898.83
72
1016.49
638.44
69
νC-C 1076.28
67.5
66
64.5
63
61.5 1900 1800 Kationik chitosan 1:3
1700
1600
1500
1400
1300
1200
1100
1000
900
800
1/cm 700
1/cm
Gambar 34. Spektrum FTIR chitosan amonium kuartener 1:3
58 92 %T 91
90
1712.79
abs
898.83
1253.73
1300.02
1408.04
1377.17
1357.8 9
νCH3 1485.19
1570.06
1664.57
νN-H
86
1521.84
850.61
νC-N
87
642.30
1143.79
85
729.09
1755.22
1811.16
1855.52
1878.67
1899.88
88
1930.74
89
972.12
84
1080.14
νC-C
83
82
81
80
79
78
77
1900 1800 Kationik chitosan 1:4
1700
1600
1500
1400
1300
1200
1100
1000
900
1/cm 800
700 1/cm
Gambar 35. Spektrum FTIR chitosan amonium kuartener 1:4 75 %T 73.5
72
70.5
abs 69
858.36 840.81
67.5
1252.26
895.41
61.5
673.11
649.71
1039.71
1148.91
942.21
987.06
1525.26 1515.51
νC-C
1008.51
1412.16
1380.96
νCH3
νN-H
1314.66 1302.96
νC-N 64.5
63
803.76
66
60
58.5
1900 1800 kationik chitosan 2
1700
1600
1500
1400
1300
1200
1100
1000
900
800
1/cm
700 1/cm
Gambar 36. Spektrum FTIR chitosan amonium kuartener 1:6
59 68 %T 66
64
62
60
abs 58
1377.17
1149.57
950.91
648.08
896.90
50
605.65 590.22
νN-H
52
1307.74
1415.75
1560.41
νC-N 1587.42
1658.78
54
1261.45
56
997.20
48
1072.42
46
44
42
1800
1700
1600
1500
1400
1300
1200
1100
1000
900
1/cm
800
700
600
Gambar 37. Spektrum FTIR chitosan kationik chitosan 21 Kationik chitosan 1,31 Kationik chitosan 1,41 chitosan mmw-1
95
%T
A
90
85
abs 80
75
B 70
C
65
60
55
νC-N
νN-H
νCH3
D
50
νC-C
45 1900 1800 chitosan mmw-
1700
1600
1500
1400
1300
1200
1100
1000
900
800
700
600
1/cm a. Chitosan, (B) Chitosan amonium kuartener 1:6, (C) Chitosan amonium kuartener 1:4, (D) Chitosan amonium kuartener 1:3 1/cm
Gambar 38. Spektrum FTIR chitosan dan chitosan kationik
60 Analisis Spektrum NMR Chitosan Kationik
Selanjutnya untuk melihat bahwa terjadi reaksi antara chitosan dengan CHTAC, maka dilakukan analisis 1H NMR dari turunan chitosan amonium kuartener 1:3, 1:4 dam 1:6. Posisi puncak dari masing-masing gugus fungsi dapat dilihat pada gambar 39, 40 dan 41. Dari spektrum NMR, puncak pada δ = 1,9 ppm tampak gugus -COCH3 dari chitin dan pada δ = 3,5 - 3,6 ppm tampak adanya gugus C-3,4,5,6. Pada puncak δ = 3,1 ppm dan 3,3 ppm menunjukkan gugus +
N(CH3)3 dan –N-CH2 secara berturut-turut yang berasal dari CHTAC. Cho et al. (2006) melaporkan bahwa pada δ = 1,9 adalah puncak untuk
gugus -COCH3 yang berasal dari chitin. Pada puncak δ = 3,1 ppm dan 3,3 ppm menunjukkan gugus -+N(CH3)3 dan –N-CH2 dan pada δ = 3,5 – 4,0 ppm ada gugus C-3,4,5,6.
Gambar 39. Spektrum 1H NMR chitosan amonium kuartener 1:3
61
Gambar 40. Spektrum 1H NMR chitosan amonium kuartener 1:4
6 CH2OH 5
O
4
O 1
O
OH 3
2 HN
a CH2
b CH OH
c CH2
CH3 ClCH3 N+ CH3
Gambar 41. Spektrum 1H NMR chitosan amonium kuartener 1:6
62 Kelarutan Chitosan Kationik
Kelarutan polimer chitosan amonium kuartener dapat ditentukan dengan cara melarutkan bahan tersebut dalam air dan diukur kelarutannya yang berfungsi sebagai konsentrasi polimer dengan menggunakan alat UV- Visible Spektrometer pada panjang gelombang 600 nm. Nilai transmitan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi polimer chitosan ammonium kuartener, pada konsentrasi kurang dari 0,4 g/dL, transmitan relatif konstan (Gambar 42).
Transmitan (%)
100 90 80 70 60 50 40 0.2 0.4 0.6 0.8
1
2
3
5
7
10 20 30 40
Konsentrasi Polimer (g/dL)
Gambar 42. Transmitan UV-Visible dari chitosan amonium kuartener Pada konsentrasi chitosan amonium kuartener diatas 1 g/dL, transmitan mulai menurun dari 97% hingga 62 %. Dengan menggunakan ekstrapolasi pada transmitan 50 % konsentrasi kelarutan chitosan amonium kuartener dalam air dapat diperkirakan yaitu sebesar 30 g/dL. Kelarutan chitosan amonium kuartener ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cho et al. (2006), yaitu pada konsentrasi 25 g/dL. Terjadinya substitusi ion Cldari CHTAC kedalam rantai polimer chitosan meningkatkan kelarutan chitosan tersebut dalam air secara signifikan.
63 Analisis Spektrum FTIR Selulosa Kationik
Sintesis polimer kationik dari selulosa menggunakan reaktor pada suhu 50oC selama 2 jam dan reaksi dilanjutkan hingga suhu 76 oC selama 15 menit dengan kondisi variasi CHTAC yang sama dengan sintesa chitosan. Dari analisis spektrum FTIR puncak pada frekuensi 1475 cm-1 menunjukkan pita metil dari CHTAC, tampak pada spektrum untuk turunan selulosa amonium kuartener, namun pita dari gugus metil dalam selulosa bergeser hingga frekuensi 1471 cm-1. Untuk selulosa yang tidak dimodifikasi tidak nampak adanya pita metil pada frekuensi tersebut. Spektrum FTIR dari selulosa dan turunan selulosa dapat dilihat pada Gambar 43, 44, 45, 46 dan 48.
90 %T 87.5
85
2067.69
1660.71
2453.45 2524.82
898.83
657.73
561.29
993.34
νC-O-C
60
611.43
62.5
1053.13
1157.29
1357.89 1323.17
65
1240.23 1201.65
1431.18
2889.37
2833.43
3084.18
3275.13
νΟΗ
67.5
3142.04
70
2740.85
72.5
1105.21
3626.17
3577.95
75
2131.34
2376.3 0
77.5
1282.66
80
1764.87
abs
3776.62
82.5
57.5
55 4000 3750 selulosa
3500
3250
3000
2750
2500
2250
2000
1750
1500
1250
Gambar 43. Spektrum FTIR selulosa
1000
750
1/cm
500 1/cm
40
1064.71 1026.13
45
4000 3750 selulosa 1:4
3500
3250
47.5 78 26.13
50
3000
2750
2750
2500
2500
2250
70
2250
2000
2000
1750
νΟΗ
1750
1500
νCH3
1500 902.69
3000
1269.16 1236.37 1199.72
νC-O-C 1250
1250
1000
655.80 619.15 597.93 563.21
1153.43
55
νCH3
1000
754.17
902.69
1323.17
1413.82 1371.39
1570.06
1271.09 1236.37 1201.65
1477.47
2945.30
2499.75
2553.75
70
1477.47
3250
2835.36
2117.84
2372. 44
abs
1766.80
3500 3034.03
2 304.94
72.5
2156.42 2115.91
2372. 44
1/cm Gambar 44. Spektrum FTIR selulosa amonium kuartener 1:3 4000 3750 selulosa 1:3
2833.43
νOH 2881.65
60
1575.84
60 2980.02 2943.37
57.5 3286.70
3523.95
62.5
1413.82 1371.39
55 2883.58
3778.55
3965.65
3693.68
75
657.73 611.43 576.72 563.21 532 35
1153.43
50 3304.06 3286.70 3265.49 3248.13
3981.08
64
82.5 %T 80
77.5
67.5
65
52.5
750
1/cm
750
500 1/cm
%T 85
80
75
abs 65
νC-O-C
35
500 1/cm
Gambar 45. Spektrum FTIR selulosa amonium kuartener 1:4
65 85 %T 82.5
3984.93
80
77.5
2117.84
75
1772.58
72.5
2497.82
70
67.5
abs
825.53
651.94
968.27 1028.06
1301.95
23 33.87
1064.71
νC-O-C
νCH3
2362. 80
νΟΗ
45
1471.69 1450.47
47.5
1575.84
3383.14 3327.21 3305.99 3267.41
50
1099.43
1357.89
1664.57
2954.95 2931.80
3032.10
55
52.5
875.68
1147.65
918.12
60
57.5
775.38 727.16
65
62.5
42.5
40
4000 3750 selulosa 1:6
3500
3250
3000
2750
2500
2250
2000
1750
1500
1250
1000
750
50 1/cm
1/cm Gambar 46. Spektrum FTIR selulosa amonium kuartener 1:6 Smooth Smooth Smooth Smooth
%T
A
abs
B
C D νOH
νCH3 νC-O-C
4000 3750 selulosa 1 6
3500
3250
3000
2750
2500
2250
2000
1750
1500
1250
1000
1/cm 750
500 1/cm
(A) Selulosa, (B) Selulosa amonium kuartener 1:6, (C) Selulosa amonium kuartener 1:4, (D) Selulosa amonium kuartener 1:3 Gambar 47. Spektrum FTIR selulosa dan selulosa kationik
66 Skema sintesis polimer alami dari selulosa yang menghasilkan turunan selulosa amonium kuartener dapat dilihat pada Gambar 48.
CH2OH O O OH
n
Selulosa
H
OH
+ OH
CH3
Cl-CH3-CH-CH2
N
+
ClCH3
CH3 3-kloro-2 hidroksipropil trimetil amonium klorida
CH3 H3C
+
N
ClCH3
O-CH2-CH-CH2 H2C
OH O O
OH
n OH
H
Selulosa amonium kuartener
Gambar 48. Skema reaksi selulosa dengan CHTAC (Drovetskaya et al., 2004)
67 Analisis Spektrum NMR Selulosa Kationik
Dari hasil analisa 1H NMR untuk selulosa yang telah dimodifikasi dapat dilihat pada Gambar 49.
6 CH2O 5
O
CH3 ClN+ CH3
H3C
CH-CH-CH3 O
4
OH 1
O
OH 3
H
2
Gambar 49. Spektrum 1H NMR selulosa amonium kuartener Dari spektrum NMR, puncak pada δ = 3,4-3,5 ppm tampak adanya gugus C-3,4,5,6. Puncak pada δ = 3,2 ppm menunjukkan gugus -+N(CH3)3 yang berasal dari CHTAC.
Hasil Aplikasi Polimer Kationik Pada Formula Skin Lotion
Komposisi formula skin lotion yang digunakan adalah polietilen glikol (400) monooleat, cetil alkohol, asam stearat, VCO, metil paraben, TEA, propilen glikol, air, chitosan kationik dan selulosa kationik.
68 Analisis aplikasi polimer kationik pada sistem emuilsi skin lotion meliputi pengamatan terhadap ukuran partikel menggunakan fotomikroskop, derajat keasaman, pengukuran stabilitas produk, dan total mikroba. Ukuran Partikel Formula Skin Lotion
Pada penelitian pendahuluan diperoleh banwa sistem emulsi yang relatif stabil dan lebih baik sifat fisiknya yaitu pada formulasi B yang menggunakan surfaktan polietilen (400) monooleat dengan virgin coconut oil sebagai fase minyak. Untuk selanjutnya pembuatan skin lotion menggunakan formula tersebut dengan penambahan chitosan dan selulosa kationik yang berfungsi sebagai bahan penstabil dan pengental. Dari hasil fotomikroskop tampak bahwa dengan adanya penambahan polimer chitosan kationik
dan selulosa kationik terhadap sistem emulsi
menunjukkan bahwa produk skin lotion tersebut memiliki ukuran parikel yang lebih kecil, lebih stabil dan lebih kental bila dibandingkan dengan produk yang tidak menggunakan polimer kationik. Dengan memvariasikan konsentrasi polimer kationik untuk chitosan 0,01, 0,05 dan 0,1 %, hasil analisa fotomikroskop dapat dilihat pada Gambar 50. Pada konsentrasi chitosan amonium kuatener 0,05% produk skin lotion lebih stabil dibandingkan dengan produk skin lotion yang ditambahkan 0,01 dan 0,1% chitosan amonium kuartener dengan ukuran partikel sekitar 4,1 µm. Pada produk skin lotion dengan penambahan 0,1% chitosan amonium kuartener terlihat skin lotion agak creamy dan sulit dituang karena viskositasnya tinggi. Konsentrasi selulosa yang ditambahkan ke dalam produk skin lotion yaitu sebesar 0,1, 0,5 dan 1,0%, hasil analisa fotomikroskop dapat dilihat pada Gambar 51. Pada konsentrasi 0,1% produk skin lotion lebih stabil dan mempunyai ukuran partikel yang relatif kecil bila dibandingkan dengan penambahan selulosa amonium kuartener 0,5% dan 1%. Hal tersebut membuktikan bahwa dengan penambahan sedikit saja polimer kationik ke dalam produk skin lotion mampu meningkatkan kestabilan serta kekentalan dengan ukuran partikel yang lebih kecil.
69
Konsentrasi chitosan amonium kuartener 0,01%
Konsentrasi chitosan amonium kuartener 0,05 %
Konsentrasi chitosan amonium kuartener 0,1% Gambar 50. Fotomikroskop sistem emulsi polimer chitosan kationik
70
Konsentrasi selulosa amonium kuartener 0,1%
Konsentrasi selulosa amonium kuartener 0,5%
Konsentrasi selulosa amonium kuartener 1% Gambar 51. Fotomikroskop sistem emulsi polimer selulosa kationik
71 pH Formula Skin Lotion
Nilai pH merupakan nilai yang menunjukkan derajat keasaman suatu bahan, yang dapat diketahui dengan menggunakan alat pH-meter ataupun indikator pH. Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) lotion bayi, nilai pH yang disyaratkan berkisar 4,0-7,5. Produk kosmetika yang memiliki nilai pH yang sangat tinggi atau sangat rendah dapat menambah daya absorpsi kulit sehingga menyebabkan kulit teriritasi. Oleh karena itu pH untuk produk kosmetika sebaiknya dibuat sesuai dengan pH kulit yaitu antara 4,5-7,5. Menurut Sudarwanto (1996), produk kosmetika yang memiliki pH yang jauh dengan pH fisiologis kulit (4,5-5,5) akan lebih mudah mengiritasi kulit. Kulit dilapisi oleh mantel asam yaitu lapisan lembab yang bersifat asam di permukaan kulit. Mantel asam ini terbentuk dari asam lemak yang berasal dari minyak kulit, asam susu dalam keringat serta asam amino. Mantel asam ini berfungsi melindungi kulit dari kekeringan, infeksi bakteri dan kapang. Mantel asam akan rusak bila sering terkena bahan atau kosmetika yang mempunyai pH jauh berbeda dengan pH fisiologis kulit. Pada hasil pengukuran produk lotion didapat bahwa pH berkisar antara 6,35-7,28, nilai tersebut masih berada dalam kisaran nilai pH yang disyaratkan oleh Standar Nasional Indonesia untuk lotion bayi 16-4952-1998, sehingga produk yang dihasilkan relatif aman digunakan pada kulit. Uji banding yang dilakukan pada produk skin lotion komersial menunjukkan nilai pH pada produk komersial berkisar antara 7,25-7,88. Nilai pH produk komersial jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk skin lotion yang dibuat, sehingga dapat disimpulkan bahwa produk skin lotion yang dihasilkan relatif lebih aman dibandingkan produk komersial karena nilai pH-nya tidak terlalu jauh dengan nilai pH fisiologis kulit. Perbedaan nilai pH antara formula skin lotion dengan produk komersial disebabkan oleh komposisi bahan penyusunnya yang berbeda pula. Hasil pengukuran analisis pH formula skin lotion dan produk komersial dapat dilihat pada Tabel 4.
72 Tabel 4. Hasil analisis pH formula skin lotion dan produk komersil Formula 1. Produk Komersil Z X Y 2. Formula sistem emulsi skin lotion PEGMO + VCO+ CHITOSAN 0,01% PEGMO + VCO+ CHITOSAN 0,05% PEGMO + VCO+ CHITOSAN 0,1%
pH
7,12 7,20 7,35
PEGMO + VCO+ SELULOSA 0,1% PEGMO + VCO+ SELULOSA 0,5% PEGMO + VCO+ SELULOSA 1%
6,35 6,48 6,80
7,48 7,25 7,88
Stabilitas Emulsi Formula Skin Lotion
Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan yaitu emulsi yang terdapat dalam bahan tidak mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lain dan membentuk lapisan yang terpisah. Emulsi yang baik memiliki sifat tidak berubah menjadi lapisan-lapisan, tidak berubah warna dan tidak berubah konsistensinya selama penyimpanan. Pada penelitian ini dilakukan uji stabilitas skin lotion dengan menyimpan produk selama satu bulan pada 3 suhu yang berbeda, yaitu suhu 25oC, 45oC dan 50oC. Menurut Barnett (1962), emulsi suatu produk kosmetika harus stabil pada suhu 45oC sampai 50oC dan suhu kamar. Skin lotion yang disimpan harus tetap stabil dan dapat dituang. Suhu tersebut merupakan suhu ekstrim bagi produk emulsi, dengan semakin stabilnya produk yang disimpan pada suhu ekstrim menunjukkan bahwa produk lotion yang dihasilkan relatif stabil untuk jangka waktu yang lama. Dari hasil uji keragaman menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi chitosan kationik dengan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap stabilitas emulsi pada α = 0,05. Berdasarkan uji lanjut Duncan pada Lampiran 18 didapatkan bahwa untuk interaksi c2t2 (konsentrasi chitosan kationik 0,05%, suhu 45oC tidak berbeda nyata dengan interaksi c2t1 (konsentrasi
73 chitosan kationik 0,05%, suhu 25oC), tetapi berbeda nyata dengan interaksi c2t3 (konsentrasi chitosan kationik 0,05%, suhu 50oC). Hasil pengukuran rata-rata stabilitas emulsi pada skin lotion yang telah ditambahkan polimer chitosan dan telah mengalami penyimpanan selama satu bulan pada suhu 25oC berkisar antara 86% sampai 89%. Pada suhu penyimpanan 45oC nilai rata-rata stabilitas emulsi antara 85% sampai 89%, sedangkan pada suhu 50oC nilai rata-rata stabilitas emulsi cenderung menurun, yaitu berkisar antara 84% sampai 88,5%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan, nilai stabilitas semakin menurun yang disebabkan karena terjadinya penurunan viskositas sehingga produk skin lotion menjadi lebih encer. Nilai stabilitas tertinggi diperoleh pada konsentrasi chitosan kationik 0,05%, sedangkan nilai rata-rata stabilitas terendah diperoleh pada skin lotion dengan konsentrasi chitosan kationik sebesar 0,1%.
90 80
kontrol
konsentrasi 0,1%
konsentrasi 0,01%
konsentrasi 0,05%
kontrol
konsentrasi 0,1%
konsentrasi o,01% konsentrasi 0,05%
30
kontrol
40
konsentrasi 0,1%
50
konsentrasi 0,01%
60
konsentrasi 0,05%
stabilitas emulsi (%)
70
20 10 0 25
45
50 o
Suhu Penyimpanan ( C)
Gambar 52. Histogram stabilitas emulsi formula skin lotion yang ditambah polimer chitosan kationik
Dari hasil uji keragaman pada produk skin lotion yang menggunakan selulosa kationik menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi selulosa kationik memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap stabilitas emulsi pada α = 0,05. Berdasarkan uji lanjut Duncan pada Lampiran 19 didapatkan bahwa pada
74 perlakuan konsentrasi selulosa kationik 0,1% tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi selulosa kationik
0,5%, tetapi berbeda nyata dengan
perlakuan konsentrasi selulosa kationik 1%. Pada perlakuan suhu 25oC berbeda nyata dengan perlakuan suhu 45oC dan suhu 50 oC. Pada suhu penyimpanan 25oC, nilai rata-rata stabilitas emulsi antara 86% sampai 84%, sedangkan pada suhu 45oC nilai rata-rata stabilitas emulsi cenderung menurun, yaitu berkisar antara 85,5% sampai 82% (Gambar 53). Sama halnya dengan produk skin lotion yang ditambahkan polimer chitosan kationik, pada suhu 50 oC nilai stabilitas emulsi cenderung mengalami penurunan yaitu antara 84% sampai 81%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan nilai stabilitas semakin menurun yang disebabkan karena terjadinya penurunan viskositas sehingga produk skin lotion menjadi lebih encer. Nilai stabilitas tertinggi diperoleh pada konsentrasi selulosa kationik 0,1%, sedangkan nilai ratarata stabilitas terendah diperoleh pada skin lotion dengan konsentrasi selulosa kationik sebesar 1%. Pengamatan visual yang dilakukan terhadap produk skin lotion menunjukkan bahwa produk tidak mengalami perubahan warna dan bentuk. Hasil analisa stabilitas emulsi pada produk komersil yaitu Z, X dan Y berkisar antara 70,35% sampai 85,60% (Gambar 54). Untuk produk komersil, setelah disimpan selama satu bulan pada suhu penyimpanan 45 oC dan 50 oC, stabilita emulsi cenderung mengalami penurunan. Stabilitas emulsi terendah pada produk X sedangkan stabilitas tertinggi pada produk Y. Stabilitas emulsi produk X lebih rendah daripada Y dan Z, karena pada produk tersebut tidak ditambahkan polimer yang berfungsi sebagai bahan pengental dan penstabil, sedangkan untuk produk Y ditambah bahan carboxy vinyl polimer dan dalam produk Z ditambah bahan carbomer sebagai bahan pengentalnya.
75 90
30
konsentrasi 1%
konsentrasi 0,1% konsentrasi 0,5%
konsentrasi 1%
40
konsentrasi 0,1% konsentrasi 0,5%
50
konsentrasi 1%
60
konsetrasi 0,1%
70
konsentrasi 0,5%
Stabilitas Emulsi (%)
80
20 10 0 25
45
50
Suhu Penyimpanan (o C)
Gambar 53. Histogram stabilitas emulsi formula skin lotion yang ditambah polimer selulosa kationik
80 75 Z
Y
Z X
Y
Z
Y
70 X
65
X
Stabilitas Emulsi (%)
85
60 25
45
50 o
Suhu Penyimpanan ( C)
Gambar 54. Histogram stabilitas emulsi produk komersil
Perbandingan stabilitas emulsi dan komposisi antara produk komersil dengan formula skin lotion yang telah ditambahkan polimer kationik dapat dilihat pada Tabel 5.
76 Tabel 5. Perbandingan stabilitas emulsi serta komposisi produk komersil dan formula skin lotion yang ditambah polimer kationik Formula dan Komposisi
Stabilitas emulsi 25 oC
Produk X : minyak mineral, cetil alkohol, asam 70,35
45 oC
50 oC
70,25
69
81,5
81
stearat, TEA, benzophenon 3, metil paraben, propil paraben, ajidew, sorbitol, air, parfum. Produk Y : air, minyak mineral, asam stearat, 82,6
dimethicon,
gliserin,
GMS,
stearamid
AMP,
siklometikon, GMS, cetil alkohol, Mg-Al silikat, KOH, parfum, metil paraben, carboxy vinyl polimer, soybean sterol,propil paraben, dimeticol 5,5, dimetil hidantoin, Na2EDTA, ekstrak lesitin. Produk Z : air, asam stearat, dimetikon, stearil 80,9
79
78,5
89
88,5
alkohol, carbomer, gliseril stearat, minyak mineral, TEA, cetil alkohol, asam sitrat, metil paraben, imidazolidinil urea. Formula c2 : polietilen glikol (400) monooleat, 89
cetil alkohol , asam stearat , VCO, metil paraben , TEA, propilen glikol, air, chitosan kationik. Formula s1 : polietilen glikol (400) monooleat, 86
85,5
84
cetil alkohol, asam stearat , VCO, metil paraben , TEA, propilen glikol, air, selulosa kationik.
Analisis Total Mikroba Formula Skin Lotion
Tumbuhnya mikroba dapat menyebabkan kerusakan pada produk yang mengalami penyimpanan. Tumbuhnya mikroba pada suatu produk dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya tempat penyimpanan, kemasan dan suhu. Berdasarkan uji yang telah dilakukan tidak terdapat mikroba yang tumbuh setelah produk disimpan pada berbagai suhu. Hal tersebut terjadi karena dalam pembuatan produk skin lotion ditambahkan suatu zat pengawet yang bernama
77 metil paraben. Pengawet yang ditambahkan terbukti efektif untuk mencegah tumbuhnya mikroba yang dapat merusak produk skin lotion. Hasil pengamatan total mikroba dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Total mikroba formula skin lotion Formula
Pertumbuhan mikroba
Formula B + chitosan kationik 0.01 %
-
Formula B + chitosan kationik 0.05 %
-
Formula B + chitosan kationik 0.1%
-
Formula B control
-
Formula B + selulosa kationik 0.1%
-
Formula B + selulosa kationik 0.5%
-
Formula B + selulosa kationik 1.0%
-
Interaksi Antara Surfaktan dengan Polimer Kationik
Intekaksi antara surfaktan polietilen glikol (400) monooleat dengan polimer kationik dapat diilustrasikan seperti Gambar 55. Polietilen glikol (400) monooleat merupakan surfaktan non-ionik yang memiliki gugus polar yang larut dalam air dan gugus non polar yang dapat larut dalam minyak. Dengan adanya polimer yang ditambahkan dalam sistem emulsi maka polimer tersebut akan menyelubungi surfaktan karena adanya interaksi antar surfaktan dengan polimer. Interaksi antara surfaktan polietilen glikol monooleat dengan polimer (chitosan dan selulosa) berupa ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen itu terjadi antara oksigen pada rantai utama polietilen glikol dengan gugus hidroksil pada chitosan atau selulosa. Ikatan hidrogen akan terbentuk banyak, karena banyaknya oksigen pada polietilen glikol, begitu juga halnya dengan gugus hidroksil yang terdapat pada chitosan. Gugus polar dalam surfaktan yang terdapat dalam chitosan amonium kuartener maupun dalam selulosa amonium kuartener membentuk ikatan hidrogen. Polimer chitosan dan selulosa amonium kuartener akan menyelubungi droplet-droplet surfaktan dimana droplet-droplet surfaktan tersebut tidak saling
78 berinteraksi sehingga tidak terjadi koalesen yang dapat menyebabkan terpisahnya antara fasa air dan fasa minyak. Dengan berkurangnya interaksi diantara droplet mengakibatkan menurunnya energi permukaan, sehingga sistem emulsi menjadi lebih stabil. Sistem emulsi
Chitosan kationik HOH2C
O
O
HO
n
H NH
Ikatan hidrogen
CH2CHCH2 OH H3C
O H3C
C H2
C C 7 H H
C H2
N+
Cl-
CH3
CH3
Larut air
C 7
O
Hidrofobik
C H2
C H2
OH 9
Hidrofilik
Polietilen glikol (400) monooleat Gambar 55. Interaksi antara surfaktan polietilen glikol (400) monooleat dengan chitosan amonium kuartener
Gambar bahan baku, produk-produk hasil penelitian dan peralatan yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 20 dan 21.